Download - Lapkas epiLepsi
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An.Z
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 12 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Cipinang
ALLO-ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kejang saat dirumah sejak 1 hari yang lalu
Keluhan Tmbahan : Lemas (+), pusing (+), muntah (+), nyeri perut (+), nafsu makan
berkurang, demam (-)
Riwayat Penyakit Sekarang
• 1 hari SMRS Kejang pada saat dirumah pada siang hari, kejang berlangsung ± 20
menit, saat kejang dan setelah kejang anak sadar, saat kejang seluruh tubuh kaku,
kedua tangan dan kaki lurus kedepan, badan melengkung kedepan, kedua mata
melirik ke atas. Setelah kejang anak langsung muntah dan lemas, muntah 1x, muntah
menyembur , pusing dirasa berputar, nyeri pada ulu hati, nafsu makan menurun, BAB
dan BAK lancar.
• 2 jam sebelum masuk rumah sakit, anak kejang, kejang ± 20 menit, saat dan setelah
kejang anak sadar, tipe kejang sama seperti kejang saat 1 hari SMRS, anak lemas,
pusing(+) pusing dirasa berputar, muntah(-), nyeri pada ulu hati(+), nafsu makan
menurun, BAB dan BAK lancar.
1
Riwayat Penyakit Dahulu
. Anak tidak pernah kejang seperti ini sebelumnya, riwayat kejang demam disangkal, 1
tahun yang lalu anak mengalami kecelakan ada benturan di kepala saat jatuh kepala
bagian belakang terbentur dan sesaat setelah jatuh anak muntah,muntah menyembur 1x,
kaki kiri patah (tibia), semenjak setelah kecelakaan anak sering mengeluh pusing dan
muntah.
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga tidak ada yang pernah kejang seperti ini.
Riwayat Pengobatan
Belum berobat sebelumnya
Riwayat Psikososial
Anak sekolah kelas 1 SMP , sesuai dengan usia anak, anak bermain dengan teman sebaya,
makan teratur.
STATUS GENERALIS
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
- TD : 110/70 mmHg
- Nadi : 80x/menit (kuat, cukup, regular)
- RR : 24x/menit
- Suhu : 36,6 ºC
- BB : 50 kg
- TB : 165 cm
- Kepala : normochepal
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
Hidung : normonasi, deviasi septum (-), sekret (-)
Mulut : mukosa bibir kering (-), sianosis (-), lidah tremor (-), faring hiperemis
(-),
2
tonsil T1-T1, gigi geligi tidak lengkap
Telinga : normotia, sekret (-)
Leher : KGB tidak membesar, JVP tidak meningkat
Thorax
Jantung : BJ I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : bentuk datar
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), organomegali (-), nyeri epigastrium (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Ekstremitas
Atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
Bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
STATUS NEUROLOGIK
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 M6 V 5
Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk (+)
Laseque/Kernig tidak terbatas
Brudzinki I/II/III = (-/-/-)
Patrick (-/-) Kontrapatrick (-/-)
Saraf Kranial
N.I (Olfaktorius)
Daya Pembau : normosmia (+/+)
N.II (Optikus ) Kanan Kiri
Visus 6/6 6/6
Lapang Pandang normal normal
Funduskopi belum dapat melakukan
Papil edema belum dapat melakukan
3
Arteri:vena belum dapat melakukan
N.III (Okulomotorius) Kanan Kiri
Ptosis : - -
Gerakan Bola Mata
Atas : baik / baik
Bawah : baik / baik
Medial : baik / baik
Pupil : bulat, isokor, Ø ODS 3 mm
Refleks cahaya langsung : + / +
Refleks cahaya tidak langsung : + / +
Akomodasi : baik baik
N.IV (Trokhlearis) Kanan Kiri
Gerakan mata ke medial bawah : baik / baik
N.V (Trigeminus) Kanan Kiri
Menggigit : normal
Membuka Mulut : normal
Sensibilitas
5.1.(oftalmikus) : + +
5.2.(maksilaris) : + +
5.3 (mandibularis) : + +
Reflek kornea : + +
Refleks bersin : normal
Daya Kecap Lidah 2/3 depan : normal
N.VI (ABDUSENS) Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral : baik / baik
N.VII (FASIALIS) Kanan Kiri
Kerutan kulit dahi : + +
Menutup mata kuat : + +
Mengangkat alis : normal normal
4
Menyeringai : normal normal
Parese N. VII dextra sentral
N.VIII (Vestibulochoclearis) KANAN KIRI
Tes Bisik : tidak dilakukan
Tes Rinne : tidak dilakukan
Tes Weber : tidak dilakukan
Tes Schwabach : tidak dilakukan
N. IX (Glosofaringeus) Dan N. X (Vagus)
Arkus faring : gerakan simetris
Daya kecap lidah 1/3 belakang : tidak dilakukan
Uvula : letak ditengah, gerakan simetris
Menelan : Normal
Refleks muntah : + kanan kiri
N. XI (Aksesorius) Kanan Kiri
Memalingkan Kepala : baik baik
Mengangkat Bahu : baik baik
N.XII (Hipoglosus)
Sikap lidah : normal
Atropi otot lidah : (-)
Tremor lidah : (-)
Fasikulasi lidah : (-)
Motorik
Kekuatan Otot 5 5
5 5
tonus otot : normal
5
Atrofi : tidak ada
Sensorik Kanan Kiri
Nyeri : Ektremitas Atas : normal normal
Ekstremitas Bawah : normal normal
Raba : Ektremitas Atas : normal normal
Ekstremitas Bawah : normal normal
Suhu : tidak dilakukan
Fungsi Vegetatif
Miksi : baik
Defekasi : baik
Fungsi luhur
MMSE : tidak dilakukan
Reflek Fisiologis Refleks Patologis
Reflek bisep : ++/++ Babinski : -/-
Reflek trisep : ++/++ Chaddock : -/-
Reflek brachioradialis : ++/++ Oppenheim : -/-
Reflek patella : ++/++ Gordon : -/-
Reflek Achilles : ++/++
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah Hasil Rujukan
Hemoglobin 16,1 mg/dl 11,5-14,5 g/dL
Hematokrit 42 37-45 %
Trombosit 309.10^3/ul 150-400 103/µl
Leukosit 20,5 ↑ 5,0-11103/µl
SGPT 10,40 u/l 10.00-45.00
6
SGOT 19,20 u/l 10.00-35.00
GDS 103 70-110 mg/%
Ureum 18 10-50 mg%
Creatinin 0,6 0,67-1,17 mg%
Pemeriksaan Darah Hasil Rujukan
Diff count
Basofil 0,2 % 0,0-1,0%
Eosinofil 0,2 % 1,0 -3,0 %
Neutrofil 82,1 % 37,0-72,0
Limfosit 9,9 % 20,0 -40,0
Monosit 7,6 % 2,0 – 8.0
Elektrolit Hasil Rujukan
Natrium 145 mmol/l 132-145
Kalium 4,27 mmol/l 3,50-5,50
Klorida 116 mmol/l 98-110
Resume :
Anak Z 12 tahun datang ke RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan utama kejang saat
dirumah sejak 1 hari yang lalu, kejang berlangsung ± 20 menit, saat kejang dan setelah
kejang anak sadar, saat kejang seluruh tubuh kaku, kedua tangan dan kaki lurus
kedepan, badan melengkung kedepan, kedua mata melirik ke atas. Setelah kejang anak
7
Hasil EEG Fokal epileptikus di temporal kanan
langsung muntah dan lemas, muntah 1x, muntah menyembur, pusing (+), bak dan bab
lancar.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, GCS 15, tanda vital
dalam batas normal, tanda rangsang meningen (+).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb meningkat, leukositosis, neutrofil
meningkat, limfosit menurun, klorida meningkat.
Pada pemeriksaan EEG didapatkan fokal epileptikus di temporal kanan.
DIAGNOSIS
• DIAGNOSIS KERJA
• Diagnosa Klinis : Epilepsi
• Diagnosa Etiologi : Kejang suspek menigitis
• Diagnosa Lokalis : Fokus epileptikus di temporal kanan
Diagnosa Faktor Resiko : Epilepsi ec suspek post trauma
PENATALAKSANAAN
O2 : 3 L / menit
IVFD Asering 12 jam
Ceftriakson 2x 1gr
Fenitoin 3x 100 mg
Asam folat 2x1
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
FOLLOW UP
Tgl/jam S O A P
8
02/10/13
Hari -1
Kejang (-)
Badan pegal-
pegal
Pusing(+) sedikit
KU: sakit sedangKesadaran: cmBerbicara: dbnMotorik : dbnTD: 100/60mmHg, HR: 80 x/menit,RR: 22 x/ menit,
S: 36,80CMotorik: tonus normal, atrofi (-)Sensorik/ Veg baikFL tidak dilakukanHb 14,6 mg/dlLeukosit 10.300/ulHT 39 %
Trombosit 258.103
Epilepsi Terapi lanjutkan
Tgl/jam S O A P
02/10/13
Hari -2
Kejang (-)
Badan pegal-
pegal
Pusing(-)
KU: sakit sedangKesadaran: cmBerbicara: dbnMotorik : dbnTD: 100/60mmHg, HR: 80 x/menit,RR: 22 x/ menit,S: 36,80CMotorik: tonus normal, atrofi (-)5,5,5,5Sensorik/ Veg baikFL tidak dilakukanHb 14,6 mg/dlLeukosit 10.300/ulHT 39 %Trombosit 258.103
Epilepsi Terapi lanjutkan
Boleh pulang
Tinjauan Pustaka
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai macam
9
etiologi.
Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure
adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan
oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak akut (“unprovoked”).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut
yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang.
Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan
tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang
(obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis).
Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70%
kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan
30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya
trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya
belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya
epilepsi,
Sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi
20%-30%.
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen,
hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan
epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat
menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi
.
Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan
hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause.
Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi
idopatik, remote symptomatic epilepsy (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada
anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam
klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE.
10
Epidemiologi
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak dengan
ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap
munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan,
stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2%
dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukan pola
bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut.
Klasifikasi
Klasifikasi epilepsy berdasarkan ILAE 1981 adalah sebagai berikut:
A. Epilepsi Parsial
1. Epilepsi parsial sederhana (tanpa hilangnya kesadaran)
• Epilepsi dengan gejala motorik atau sensorik atau dengan panca indera (seperti halusinasi,
perasaan seperti dijalari listrik atau melihat cahaya berkedip)
• Epilepsi dengan gejala gangguan fungsi otonomik tubuh seperti wajah kemerahan, pucat,
rasa tidak enak ulu hati, berkeringat.
• Epilepsi dengan gejala psikis seperti ilusi, halusinasi, keadaan seperti bermimpi (dreamy
state)
2. Epilepsi Parsial Kompleks (dengan hilangnya kesadaran)
• Pada awalnya berupa epilepsi parsial sederhana tetapi diikuti dengan hilangnya
kesadaran.
• Sejak awal serangan epilepsi telah disertai hilangnya kesadaran.
3. Epilepsi Umum Sekunder.
• Epilepsi parsial sederhana atau kompleks yang berkembang menjadi epilepsi umum.
B. Epilepsi Umum
11
1. Absensus (petit mal)
Jenis yang jarang, umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja.
Penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai.
Kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari.
2. Epilepsi miklonik
Biasanya tjd pada pagi hari, setelah bangun tidur. Pasien mengalami sentakan yang tiba-
tiba jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal
3. Epiklepsi konik
4. Epilepsi tonik
5. Epilepsi atonik
6. Epilepsi tonik-klonik
C. Epilepsi yang tidak diklasifikasikan
Patogenesis
Sistem saraf merupakan communication network (jaringan komunikasi). Otak berkomunikasi
dengan organ-organ tubuh yang lain melalui sel-sel saraf (neuron). Pada kondisi normal,
impuls saraf dari otak secara elektrik akan dibawa neurotransmitter seperti GABA (gamma-
aminobutiric acid) dan glutamat melalui sel-sel saraf (neuron) ke organ-organ tubuh yang
lain. Faktor-faktor penyebab epilepsi di atas menggangu sistem ini, sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan aliran listrik pada sel saraf dan menimbulkan kejang yang merupakan
salah satu ciri epilepsi. Faktor mencetus epilepsi antara lain tekanan, kurang tidur, sensitif
pada cahaya yang terang (fotosensitif), dan minum minuman keras.
12
Patofisiologi
1. Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah
epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun
dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas normal
mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat
kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans
berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa
penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-
kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat
sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik
terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (tabel 1). Contoh:
Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions.
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion Na+ (natrium
influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan
repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na+ seperti yang
terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks
yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi
dan repolarisasi yang berlangsung berulang kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada
neuron. Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat
mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan
hipereksitasi (depolarisasi-repolarisasi)
2. Patofisiologi Epilepsi Parsial
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah epilepsi lobus
temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis hippokampus terjadi
hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada keadaan normal
terjadi input eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan
input inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular).
Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi
propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal.
13
Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke lapisan molekular
dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang aberant ini menyebabkan
sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk sinaps pada dendrit sel granula
dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron eksitatori yang berada di gyrus dentatus
berkurang (yang secara normal mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi
hipereksitabilitas.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di hippocampus.
Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di daerah proliferatif gyrus
dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus baru dan pada akhirnya terjadi
ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi
perubahan komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor
GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan
hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal,
terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah sehingga
menyebabkan sensitivitas terhadap ion zinc meningkat dan akhirnya menghambat
mekanisme inhibisi. Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya
epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan terjadi
eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion
calsium yang berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion
calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel
namun terjadi hipereksitabilitas neuron.
3. Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor
otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi
genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan
mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang
mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus)
inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi
tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa
mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan
retardasi mental.
14
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak.
Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke
sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai
patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini
merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi.
Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit
dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium).
Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan
terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka
peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion- ion yang berperan dalam sistem
komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan
listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron. Jika terjadi kerusakan atau
kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu
sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor
neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti
gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik),
serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi,
asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori
dan proses belajar.
Gejala Klinis
1. Epilepsi Umum
a. Major
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder Epilesi
grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik. Manifestasi
klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada
ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-
kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi
manifestasi sesuai dengan letak focus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat
berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak,
15
mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.
Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita
terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat
hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru
terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan
epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah
mengguncang-guncang dan membanting- banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang
tonik-klonik berlangsung 2 – 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif
seperti berkeringat, midriasis pupil, reflek cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis.
Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor
sampai koma. Kira-kira 4 – 5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan
kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam
sampai setahun sekali.
b. Minor
Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang
idiopatik. Meliputi kira-kira 3 – 4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak
sebelum pubertas (4 – 5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang
berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat
dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata. Setelah
sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat
berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak
ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi
pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri, yaitu timbul pada usia 4 - 5
tahun dengan taraf kecerdasan yang normal, harus murni dan hilang kesadaran
hanya beberapa detik, mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat, pola
EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 kali/detik.
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan
kepala, fleksi lengan yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian
cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak.
Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. Bangkitan akinetik.
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot
dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan
kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan
akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
16
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma
West. Timbul pada bayi 3 - 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab
yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang
luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan
ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,
miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat. Bangkitan motorik. Fokus
epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu atau
sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita
seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari
tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi
klinik ini disebut Jacksonian marche.
2. Epilepsi parsial (20% dari seluruh kasus epilepsi).
a. Bangkitan sensorik
Bangkitan sensorik adalah bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus
epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak
di gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian
tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota
badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan
dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
b.Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang
khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan
psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik la-zimnya berupa automatisme.
Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan
hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi
(twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi
17
dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam.
Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan automatisme
pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan
automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.
Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis epilepsi didasarkan terutama pada anamnesa berikut aloanamnesa. Di
samping itu, pemeriksaan klinis umum dan pemeriksaan neurologik umum dan
khusus dapat menghasilkan data yang harus diintegrasikan dalam anamnesala-
loanamnesa supaya diagnosis yang mantap dapat tercapai.
1. Anamnesa/aloanamnesa
a. Fokalitas
Setiap aura yang dilaporkan penderita menunjuk kepada serangan epilepsi fokal.
Serangan epileptik yang mengenai daerah tubuh setempat, baik yang bersifat
motorik, sensorik, ataupun autonom harus diklasifikasikan sebagai serangan epilepsi
fokal.
b. Riwayat keluarga
Adanya anggota keluarga yang epileptik atau penyakit-penyakit yang erat
hubungannya dengan epilepsi.
c. Riwayat penyakit terdahulu
Infeksi serebral (ensefalitis, meningitis), riwayat stroke, ataupun trauma kapitis dan
kontusio serebri dapat dihubungkan dengan terjadinya fokus epileptikus.
d. Riwayat kehamilan dan kelahiran
Adanya trauma lahir atau gangguan cerebral dalam masa intrauterin, seperti infeksi
viral ataupun trauma abdominal dan keadaan-keadaan hipokalsemi yang dialami ibu
selama masa kehamilan.
18
2. Pemeriksaan fisik dan neurologis
Memeriksa ada tidaknya kelainan pada organ-organ tubuh seperti hati dan limpa,
ada tidaknya dehidrasi dan tanda infeksi serta ada tidaknya defisit neurologis atau
kelainan neuropsikologis.
3. Pemeriksaan Elektroensefalografi
Pada epilepsi, fase tonik ditandai dengan bentuk spike yang beramplitudo tinggi dan
berfrekuensi rendah dengan aktivitas yang cepat. Pada fase klonik, spike yang
beramplitudo tinggi akan diselingi oleh wave yang lambat (sejalan dengan kontraksi
dan relaksasi otot) membentuk spike and wave pattern.
Indikasi pemeriksaan elektroensefalografi pada pasien epilepsi adalah:
- Membantu menegakkan diagnosis
- Menentukan jenis serangan dan lokasi focus
- Menentukan prognosis pada kasus-kasus tertentu
- Melacak fokus pada kasus-kasus yang klinis dicurigai epilepsy
- Menentukan fokus untuk tindakan operasi
4. Pencitraan struktural dan fungsional
Pencitraan dapat dilakukan dengan menggunakan CT-Scan atau MRI.
Indikasi pencitraan struktural dan fungsional pada pasien epilepsi adalah:
- Dilakukan pada semua kasus serangan pertama yang diduga memiliki kelainan structural
- Terdapat defisit neurologis fokal
- Serangan pertama pada usia diatas 40 tahun
- “Intractable epilepsi” untuk persiapan operasi
- Epilepsi serangan parsial
19
Diagnosa Banding
PENYAKIT PERSAMAAN PERBEDAAN
1. Sinkope (pingsan) Tidak sadarkan diri, lemah Muka pucat, tek darah menurun, EEG
normal
2. Histeria Terdapat bangkitan, ada suara sebelum bangkitan, refleks kornea negatif Muka
tidak sianotik, gerakan tertentu, refleks kornea positif, EEG normal.
3.Cataplexy
(tonus dan kekuatan otot yang menghilang mendadak) Lemah, kejang menyerupai atonik
Dirangsang oleh emosi yang kuat, mengantuk yang lama
4. Migrain
(tipe nyeri kepala yang sangat sakit) Paresthesia, kebutaan sementara, sakit kepala Nyeri
kepala yang sangat hebat, EEG normal, evolve in minute
5. Transient Ischemic Attack (TIA)
Episode sementara disfungsi serebral akibat gangguan aliran darah ke otak Lemah, paralisis
sebelah badan, kebutaan sementara Gangguan darah ke otak, EEG normal
6. Mioklonus Nocturnal Benigna (gerakan terkejut tiba-tiba pada permulaan tidur)
Pergerakan fleksi pada jari, persendian dan siku. Timbulnya selalu pada waktu malam, EEG
normal
7. Hypoglycemia Lemah, sinkope Biasanya pada pasien diabetes
8. Panic attack Takut, sinkope Sakit dada, palpitasi, EEG normal
9. Transient Global Amnesia
20
(episode anterograde amnesia) Tidak kenal keadaan sekeliling Gejala tidak berulang, tidak
bisa membuat memori baru
Tatalaksana
Setelah diagnosa ditetapkan maka tindakan terapeutik diselenggarakan. Semua
orang yang menderita epilepsi, baik yang idiopatik maupun yang non-idiopatik,
namun proses patologik yang mendasarinya tidak bersifat progresif aktif seperti
tumor serebri, harus mendapat terapi medisinal. Obat pilihan utama untuk
pemberantasan serangan epileptik jenis apapun, selain petit mal, adalah luminal
atau phenytoin. Untuk menentukan dosis luminal harus diketahui umur penderita,
jenis epilepsinya, frekuensi serangan dan bila sudah diobati dokter lain. Dosis obat
yang sedang digunakan. Untuk anak-anak dosis luminal ialah 3-5 mg/kg/BB/hari,
sedangkan orang dewasa tidak memerlukan dosis sebanyak itu. Orang dewasa
memerlukan 60 sampai 120 mg/hari. Dosis phenytoin (Dilatin, Parke Davis) untuk
anak-anak ialah 5 mg/kg/BB/hari dan untuk orang dewasa 5-15 mg/kg/BB/hari. Efek
phenytoin 5 mg/kg/BB/hari (kira-kira 300 mg sehari) baru terlihat dalam lima hari.
Maka bila efek langsung hendak dicapai dosis 15 mg/kg/BB/hari (kira-kira 800
mg/hari) harus dipergunakan.
Efek antikonvulsan dapat dinilai pada ‘follow up’. Penderita dengan frekuensi
serangan umum 3 kali seminggu jauh lebih mudah diobati dibanding dengan
penderita yang mempunyai frekuensi 3 kali setahun. Pada kunjungan ‘follow up’
dapat dilaporkan hasil yang baik, yang buruk atau yang tidak dapat dinilai baik atau
buruk oleh karena frekuensi serangan sebelum dan sewaktu menjalani terapi baru
masih kira-kira sama. Bila frekuensinya berkurang secara banding, dosis yang
sedang dipergunakan perlu dinaikan sedikit. Bila frekuensinay tetap, tetapi serangan
epileptik dinilai oleh orangtua penderita atau penderita epileptik Jackson
motorik/sensorik/’march’ sebagai ‘enteng’ atau ‘jauh lebih ringan’, maka dosis yang
digunakan dapat dilanjutkan atau ditambah sedikit. Jika hasilnya buruk, dosis harus
dinaikan atau ditambah dengan antikonvulsan lain.
Terapi pengobatan epilepsy
21
a. Obat pertama yang paling lazim dipergunakan:
(seperti: sodium valporat, Phenobarbital dan phenytoin)
Ini adalah anjuran bagi penderita epilepsi yang baru,
b. Obat kedua yang lazim digunakan:
(seperti: lamotrigin, tiagabin, dan gabapetin)
Jika tidak terdapat perubahan kepala penderita setelah mengunakan obat pertama, obatnya
akan di tambah dengan dengan obatan kedua.
Lamotrigin telah diluluskan sebagai obat pertama di Malaysia.
Obat baru yang diperkenalkan tidak dimiliki efek samping, terutama dalam hal kecacatan
sewaktu kelahiran.
Komplikasi
Menderita epilepsi mendatangkan beberapa resiko terhadap diri anda atau orang lain yang
perlu anda antisipati, diantaranya:
- Jatuh, jika anda jatuh saat mendapat serangan epilepsi, anda mungkin akan melukai
kepala anda atau menderita patah tulang.
- Tenggelam, jika anda menderita epilepsi, resiko tenggelam meningkat 15 kali lipat
dibandingkan orang lain karena kemungkinan bangkitan epilepsi ketika berada di dalam air.
- Kecelakaan, epilepsi dapat menyebabkan anda kehilangan kesadaran atau kontrol selama
berkendara atau mengoperasikan peralatan. Anda sebaiknya telah bebas dari epilepsi ketika
anda mulai berkendara.
- Komplikasi pada masa kehamilan, bangkitan epilepsi selama masa kehamilan dapat
membahayakan ibu dan anak. Beberapa jenis obat epilepsi juga meningkatan resiko cacat
pada janin. Jika anda menderita epilepsi dan berkeinginan untuk hamil, berdiskusilah
dengan dokter anda. Umumnya wanita dapat hamil dan melahirkan bayi yang sehat. Anda
22
perlu berhati-hati dalam memonitor keadaan anda selama masa kehamilan dan mengatur
pengobatan anda. Perencanaan yang benar dengan dokter anda mutlak diperlukan.
Kondisi-kondisi lain yang dapat membahayakan jiwa jarang terjadi, tetapi tetap mungkin
terjadi adalah sebagai berikut:
- Status epilepticus. Kondisi ini terjadi dimana bangkitan epilepsi berlangsung lebih dari 5
menit atau beberapa bangkitan terjadi terus menerus tanpa ada masa sadar diantara
bangkitan-bangkitan itu. Status epileptikus beresiko menyebabkan kerusakan otak
permanen atau kematian..
- Sudden unexplained death in epilepsy (SUDEP). Tak diketahui penyebab jelas dari
SUDEP. Hal ini umumnya terjadi pada penderita epilepsi yang bangkitannya tidak terkontrol.
Resiko terhadap SUDEP lebih tinggi pada penderita epilepsi tonik-klonik (grand mal).
Kurang dari 1 dari 1000 penderita epilepsi meninggal karena SUDEP.
Prognosis
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa angka risiko kekambuhan berkisar antara
16-81% setelah mengalami kejang non febris tunggal. Penelitian kekambuhan serangan
lainnya yang berbasis populasi menunjukkan angka 56-81%. National General Practice
Study of Epilepsy (NGSPE) melalui studi diskriptif prospektif melaporkan bahwa risiko
terhadap kekambuhan setelah serangan mencapai 61% dalam 1 tahun dan 78% dalam 3
tahun berikutnya.
Banyak penelitian mendapatkan risiko yang lebih tinggi terhadap kekambuhan setelah
mengalami serangan dengan penyebab yang jelas. Hauser mendapatkan 37% pasien
mengalami serangan kedua setelah trauma kepala, dibandingkan 28% kasus idiopatik. Pada
penelitian selanjutnya didapatkan bahwa pasien dengan kausa tumor atau stroke mengalami
angka kekambuhan 77% setelah 55 tahun dibandingkan 45% serangan idiopatik.
Beberapa faktor prediksi tingginya angka kekambuhan setelah mengalami serangan afebril
pertama adalah:
1. Defisit neurologis sewaktu lahir
2. Usia < 16 tahun atau > 65 tahun
3. Serangan parsial
4. Latar belakang lesi structural
23
Dari penelitian prospektif terhadap pasien stroke, didapatkan hasil bahwa lesi di kortikal dan
jenis hemoragik mempunyai hubungan positif yang kuat timbulnya serangan. Tidak satupun
dari kasus serangan yang muncul saat awal stroke berkembang menjadi serangan ulang
atau epilepsi, namun 50% serangan yang muncul setelah berselang lama dari onset stroke
berkembang menjadi epilepsi. Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa serangan yang
muncul awal dari onset stroke cukup banyak tapi tidak berdampak pada out come serta tidak
berulang meski tidak diobati dengan anti epilepsi.
24