Download - Lapkas Anestesi Lipoma Frontalis Dextra
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Usia : 73 Th
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Kp.Parakan Kawung RT 21/RW 08, Suka Galih, TSM
Tanggal Masuk RS : 21 Desember 2013
No. CM : 13961533
Dokter Anestesi : dr. Teguh Santoso E., Sp. AN-KIC., M. Kes
Dokter Bedah : dr. Panji, Sp. B
B. PERSIAPAN PRE-OPERASI
1. Anamnesa
a. A (Alergy)
Alergi debu (+)
Riwayat asma (+)
b. M (Medication)
Riwayat pengobatan hipertensi (captopril 25 mg 2x/hari)
c. P (Past Medical History)
Riwayat DM (-), hipertensi (+), sakit yang sama dan riwayat operasi (-)
d. L (Last Meal)
Pasien terakhir makan 8 jam pre-operasi
e. E (Elicit History)
1
Pasien datang ke RSUD Kota Tasikmalaya pada tanggal 21 Desember
2013, pukul 10.00 WIB dibawa keluarganya dengan keluhan terdapat
benjolan di kepala bagian depan (fontalis dextra).
2. Pemeriksaan Fisik
Tanggal Periksa : 22 Desember 2013
Waktu pemeriksaan : Pukul 20.00 WIB
Dirawat di : Ruang 3B kamar/bed 3
Vital sign
a. KU : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Kompos mentis
c. TD : 180/100 mmHg
d. Nadi : 88X/ menit
e. Respirasi : 16X/ menit
f. Suhu : 35,50 C
Status Generalisata
Berat badan : 47 Kg
Kepala
o Mata
Palpebra : Tidak bengkak dan cekung
Konjungtiva : anemis ( + ) / ( + )
Sklera : ikterik ( - ) / ( - )
Pupil : refleks cahaya ( + ) / ( + ), pupil
Isokor dextra = sinistra
2
o Hidung
Pernapasa cuping hidung : ( - )
Sekret ` : ( - )
Mukosa hiperemis : ( - )
o Telinga
Nyeri tekan ragus : ( - ) / ( - )
Auricula : tidak tampak kelainan
Meatus akustikus eksternus : ( DBN ) / ( DBN )
o Mulut
Bibir : mukosa bibir tenang, sianosis ( - )
Tonsil : T1 / T1
o Leher
KGB : pembesaran ( - ) / ( - )
o Thoraks
Inspeksi : Bentuk gerak simetris dextra = sinistra,
rektraksi supraclavicula ( - ) / ( - ),
retraksi
intercostalis ( - ) / ( - ), retraksi
subcostalis
( - ) / ( - ) dan retraksi epigastrium ( - )
Palpasi : iktus kordis teraba, tapi tidak terlihat
Massa (-)
Perkusi : sonor
Auskultasi : Vesiculer breathing sound (+) / (+),
Weezhing (-) / (-), Ronki (-) / (-), Bunyi
Jantung I, II regular, Gallop (-), Mur-
Mur (-)
3
Abdomen
Inspeksi : DBN (datar)
Auskulasi : Bising usus ( + ) normal
Palpasi : Difens muscular ( - ) seluruh lapang
abdomen, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Timpani
Hepar dan Lien
Palpasi : Tidak teraba
Ekstremitas
Edema : Ekstremitas atas dan bawah ( - )
Warna : Kemerahan tidak ada pada ekstremitas
Jari-jari : Normal, akral sianosis ( - )
Capilari Refill Time : Kurangn dari 2 detik
Akral hangat pada semua ektremitas
Mallampati Score:
Graduasi II (uvula dan palatum mole terlihat)
3. Pemeriksaan Penunjang
- Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 12 Desember 2013
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan Metode
Hematologi
C28 Waktu Perdarahan
(BT)
2.00 1-3 Menit Duke
C27 Waktu Pembekuan
(CT)
4.00 1-7 Menit Slide Test
4
G28 Golongan Darah B Slide Test
G29 Rhesus + Slide Test
H01 Hemoglobin 12,4 P: 12-16; L: 14-18 g/dl Auto Analyzer
H14 Hematokrit 30 P: 35-45; L: 40-50 % Auto Analyzer
H15 Jml Leukosit 7800 5.000-10.000 /mm3 Auto Analyzer
H22 Jml Trombosit 338.000 150.000-350.000 /mm3 Auto Analyzer
E48 Laju Endap Darah 30/42 P= < 20; L= <15 mm/jam Ves Matic
KARBOHIDRAT
K01 Glukosa Sewaktu 114 76-110 mg/dl GOD – POD
FAAL GINJAL
K04 Ureum 33 15-45 mg/dl Urease Klinetik
UV
K05 Keratini 0,67 P: 0.5-0.9; L: 0.7-
1.12
mg/dl Kinetic Jaffe
FAAL HATI/JANTUNG
K11 SGOT (ASAT) 17 P: 10-31; L: 10-38 U/L/37^ Klinek UV-
IFCC
K12 SGPT (ALAT) 10 P: 9-32; L: 9-40 U/L/37^ Klinek UV-
IFCC
ELEKTROLIT
K27 Natrium 142 135-145 mmol/L ISE
K28 Klium 4,9 3.5-5.0 mmol/L ISE
K29 Kalsium 1,13 0.80-1.10 mmol/L ISE
- Hasil Radiologi
Cord dan pulmo normal
5
4. Diagnosa Klinis
LIPOMA FRONTALIS DEXTRA
5. Kesimpulan
Status ASA (III)
C. LAPORAN ANESTESI (DURANTE OPERATIF)
- Diagnosis pra-bedah : Lipoma frontalis dextra
Jenis Pembedahan : Biopsi Eksisi
Jenis Anestesi : Anestesi umum
Premedikasi : Midazolam 2 mg
Ondansetron 4 mg
Dexametason 5 mg
Medikasi Induksi : Propofol 70 mg
Pethidin 40 mg
Rocuronium 30 mg
Maitenance : O2 (2 L/menit)
N2O (2 L/menit)
Isoflurane ( 2%)
Teknik Intubasi : LMA
Respirasi : 16 X/menit
Posisi : Supine
6
Cairan Perioperatif
Maintenance Cairan = 4 : 2 : 1
Kebutuhan Basal (4x10)+(2x10)+27= 87
Total= 87 cc
Defisit Cairan Puasa = Puasa jam x maintenance cairan
= 8 x 87
= 696 cc
Insensible Water Loss= Jenis Operasi x Berat Badan
= 4 x 47
= 188 cc
Kebutuhan cairan 1 jam pertama
= (½ x puasa) + IWL + maintenance
= (½ x 696)+188+87
= 623 cc
Kebutuhan cairan 1 jam kedua
= (¼ x puasa) + IWL + maintenance
= (¼ x 696)+188+87
= 449 cc
Kebutuhan cairan 1 jam ketiga
= (¼ x puasa) + IWL + maintenance
= 449 cc
Kebutuhan cairan 1 jam keempat
= IWL + maintenance
= 188+87
= 275 cc
7
Kebutuhan cairan 1 jam kelima
= IWL + maintenance
= 188+87
=275 cc
Perdarahan = Suction + Kasa (kecil 3)
= 0 + (3x10)
= 30 cc
EBV = BB x Konstanta wanita dewasa
= 47 x 65
= 3055
ΔBL = ΔHT x 3% x EBV
= ( Ht target-Ht awal) x 3% x EBV
= (45-30)x 3% x 3055
= 1374,75
- Tindakan Anestesi Umum Dengan Intubasi
Pasien diposisikan pada posisi supine
Memasang sensor finger pada tangan kanan pasien untuk
monitoring SpO2 dan SPO2 Rate. Dan memasang manset pada
lengan kiri pasien untuk monitoring tekanan darah
Pemberian obat Ondansentron 4 mg dan dexamethason 5 mg (iv)
dimasukkan untuk tujuan premedikasi
Obat berikut diberikan secara intravena:
Pethidin 40 mg
Propofol 70 mg
Rocuronium 30 mg
Pemberian gas anestesi dengan O2 dan N2O perbandingan : (O2
2L/menit dan N2O 2L/menit) serta volatile Isoflurane 2 Vol%.
Dipastikan airway pasien paten dan terkontrol
8
Dipastikan pasien sudah dalam kondisi tidak sadar dan stabil
untuk dilakukan intubasi LMA dengan nomor 4.
Setelah intubasi LMA cek suara nafas pada apek paru kanan dan
paru kiri, bassis paru kanan dan paru kiri serta lambung dengan
stetoskop, pastikan suara nafas dan dada mengembang simetris
Fiksasi LMA dan sambungkan ke conector Jackson-Rees
Maintenance dengan inhalasi O2 2liter/menit, N2O 2liter/menit,
Volatil Isoflurane 2 vol%
Monitor tanda – tanda vital pasien (nadi), saturasi oksigen,
tanda–tanda komplikasi (perdarahan, alergi obat, obstruksi jalan
nafas, nyeri)
Cek Vital Sign Setiap 15 menit
TIME SATURASI HEART RATE TENSI
11.00 100 98 209/113
11.15 100 84 174/82
11.30 94 83 162/78
11.45 98 72 130/74
Pada saat operasi dipasang selimut penghangat dan blood warmer untuk
mengjaga suhu tubuh pasien agar tidak hipotermi. Setelah operasi selesai gas
anestesi yang di pakai hanya Oksigen sebanyak 4 liter/menit. Selanjutnya
dilakukan ekstubasi tidur/bangun (deep/awake extubation), sebelumnya
dilakukan suction untuk membersihkan jalan napas. Oksigenisasi setelah
ekstubasi dengan cara di cuff sampai pasien memberikan respon gerak tangan
sebagai tanda bahwa pasien telah bangun dan jalan napas pasien telah aman.
9
Pasien diperbolehkan pindah ruang (keluar dari ruangan operasi) bila Aldrete
Score ≥ 8
D. POST-OPERASI
Setelah pasien dinilai dengan Aldrete Score dan didapatkan nilai Aldrete
Score ≥ 8, maka pasien diperbolehkan pindah ruangan.
Infuse : Asering 20 gtt/menit
Analgetik Tramadol 100 mg dan ketorolac 60 mg diberikan perdrip dalam
500 cc Asering
Antibiotik : sesuai TS bedah (cefotaxim 1 gr 1x/hari
Makan dan minum dapat dimulai bila pasien sudah sadar penuh sekitar 6
Jam / (bising usus +)
Monitoring Post-operasi :
Tensi : 130/74 mmHg
Keadaan umum pasien
E. FOLLOW UP PASCA OPERASI
1. Hari Pertama Beberapa Jam Post-Operasi (23 Desember 2013)
Pasien dirawat di ruang 3B kamar/bed 3
Pasien masih dipuasakan 4-6 jam/BU +
Pasien diberikan cairan infus asering 20 gtt/menit
Analgetik ketorolac 60 mg dan tramadol 100 mg diberikan perinfus dengan
cara didrip
Pasien diberikan antibiotik cefotaxim 1 gr (1x1) yang sebelumnya dilakukan
tes alergi dengan hasil (-)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : TD = 170/83 mmHg
10
N = 86 x/menit
S = 36,3o C
R = 18 x/menit
F. PEMBAHASAN
1. Pre-Operatif
a. Anamnesa
b. Pemeriksaan Fisik
Berat badan : 47 kg
Nadi : 88 x/menit
Nafas : 16 x/menit
Suhu : 35,50 C
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kepala, leher, torak : DBN
Abdomen : DBN
Ekstremitas : DBN
Mallampati Score : gradasi II
Malampati score adalah suatu klasifikasi untuk menilai tampakan faring
pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
Gradasi Pilar Faring Uvula Palatum Molle
1 Terlihat terlihat terlihat
2 Tidak terlihat terlihat terlihat
3 Tidak terlihat Tidak terlihat terlihat
4 Tidak terlihat Tidak terlihat Tidak terlihat
c. Pemeriksaan Penunjang
11
Data tanggal 12 Desember 2013
- BT, CT : 2.00/4.00
- HB : 12,4 gr%
- HT, Trombosit, Leukosit : 30, 338.000, 7800
- Gula darah sewaktu : 114 mg/dl
- Ureum, kreatinin : 33/0,67
- SGOT, SGPT : 17 dan 10
- Na, K, Ca : 142, 49, 1,13
Kesimpulan : DBN
2. Anestesi : Ternilai ASA III
ASA (American Society of Anesthesiologists) merupakan suatu klasifikasi
untuk menilai kebugaran fisik seseorang.
3. Rencana Anestesi : Anestesi umum
Premedikasi dengan midazolam, ondansetron, dexametason
Loading cairan dengan asering untuk mengganti cairan puasa 6
jam pre-operasi, agar komposisi cairan pasien yang berkurang saat puasa
terpenuhi.
2. Durante Operatif
Teknik Anestesi : Anestesi umum
Obat Anestesi : Propofol, rokuronium, pethidin
Maitenance : Isoflurane, N2O, O2
Kebutuhan Cairan : 1 jam pertama : 623 cc
1 jam kedua : 449 cc
1 jam ketiga : 449 cc
Pada kasus ini pemilihan teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi umum
yang dikarenakan pasien tegang dan merasa takut. Selain itu pembedahan yang akan
12
dilakukan di area kepala. Pada anestesi umum trias anestesi dilakukan untuk
menginduksi pasien dengan obat hipnotik sedasi, analgetik dan pelemas otot. Disini
pada obat hipnotik sedasi menggunakan propofol, analgetik menggunakan pethidin,
dan pelemas otot dengan rocuronium.
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANESTESI UMUM
A. Definisi
Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat
dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesi berasal dari bahasa
Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthetos, "persepsi, kemampuan untuk merasa", secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. (1,7). Anastesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). (2)
B. Keuntungan Anestesi Umum
Membuat pasien lebih tenang
Untuk operasi yang lama
Dilakukan pada kasus-kasus yang memiliki alergi terhadap agen anestesia
lokal
Dapat dilakukan tanpa memindahkan pasien dari posisi supine
(terlentang)
Dapat dilakukan prosedur penanganan (pertolongan) dengan cepat dan mudah
pada waktu-waktu yang tidak terprediksi
C. Kerugian Anestesi Umum
Membutuhkan pemantauan ekstra selama anestesi berlangsung
13
Membutuhkan mesin-mesin yang lengkap
Dapat menimbulkan komplikasi yang berat, seperti : kematian,
infark myokard, dan stroke
Dapat menimbulkan komplikasi ringan seperti : mual, muntah, sakit
tenggorokkan, sakit kepala. Resiko terjadinya komplikasi pada pasien dengan
anestesi umum adalah kecil, bergantung beratnya kormobit penyakit
pasiennya.
D. Indikasi Anestesi Umum
1. Infant & anak usia muda
2. Dewasa yang memilih anestesi ummum
3. Pembedahannya luas / eskstensif
4. Penderita sakit mental
5. Pembedahan lama
6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
7. Riwayat penderita tksik / alergi obat anestesi local
8. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia
E. Komplikasi Anestesi
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain:
pembuluh darah, dan intubasi
a. Pembuluh Darah
Benzodiazepin dan kanulasi vena yang lama lebih mungkin menyebabkan
tromboflebitis dan infeksi.
b. Intubasi
Kerusakan pada bibir, gusi, dan gigi geligi dapat terjadi pada intubasi trachea.
14
2. Pernapasan
Yang paling ditakuti adalah obstruksi saluran pernapasan akut selama atau
segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit
dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap anestesi yang ringan,
terutama jika saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi
asing yang mencakup sekresi dan kandungan asam lambung.
3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi,
aritmia jantung, dan payah jantung. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah
systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya.
Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan,
overdosis obat anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia,
hipertensi, dan reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi
transfusi.
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi.
Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesia dan hipnosis yang tidak adekuat,
batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat.
Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia,
tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu.
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Zat anestesi
mengurangi susunan kekebalan tubuh dan membuat pasien lebih mudah terkena
infeksi yang mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval
6 minggu mungkin harus dihalangi.
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan
penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, bisa timbul hipotermi
15
yang parah, yang menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan
dan perfusi perifer tidak adekuat.
F. Komponen Anestesia
Komponen anestesia yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : (1,2)
(1) Hipnotik, Hipnotik didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran).
(2) Analgesia, Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu
(3) Relaksasi otot, Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus
otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan.
G. Stadium Anestesia
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter kedalam 4 stadium yaitu:
a) Stadium I (analgesi) dimuai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini.
b) Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran
dan refleksi bulu mata sampai pernapasan kembali teratur pada stadium ini
terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien
tertawa, berteriak, menangis, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne
dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi dan
muntah. Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan
kematian.
c) Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana I : pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya
16
ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum
tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.
Plana 2 : pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak terfiksasi ditengah,
pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan
refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3 : pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriassis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksaai otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d) Stadium IV (paralisis medulla oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan
darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhirnya terjadi
kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernapasan buatan.
H. Persiapan Pre-anestesia :
I. Persiapan mental dan fisik pasien
1. Anamnesis
- Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan pekerjaan
- Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesia seperti penyakit alergi, diabetes mellitus,
penyakit paru kronik, penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan
penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin dapat
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi.
17
- Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa kali dan selang
waktunya, serta apakah pasien mengalami komplikasi saat itu.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya anestesi
misalnya merokok, alkohool, obat-obat penenang atau narkotik.
2. Pemeriksaan fisik
- Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
- Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi
nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
- Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas, tanda-
tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus, persendian
temporo mandibula.
- Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau ortopnu,
sianosis, hipertensi
- Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat membuat
tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan regurgitasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
- Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa
perdarahan, hitung jenis leukosit
- Urine : protein, reduksi, sedimen
- Foto thoraks
- EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya
iskemia miokard
- Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
- Fungsi hati pada pasien ikterus
- Fungsi ginjal pada pasien hipertensi
- Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif
II. Perencanaan anastesia
18
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.
III. Merencanakan prognosis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari
The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakit merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
IV. Persiapan pada hari operasi
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
1. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama
puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam
(stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan
pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
2. Pengosongan kandung kemih
3. Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).
4. Pemeriksaan fisik ulang
5. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
6. Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau secara
intravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi
I. Premedikasi
19
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya :
Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam
Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas atropindan
hiosin
Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya pethidin
Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansetron
Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam
Mengurangi isi lambung
Mengurangi reflex yang membahayakan, misalnya tracurium, sulfas atropine
Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini : (3)
1. Narkotik analgesic, misalnya morfin pethidin
2. Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya diazepam dan
midazolam. Diazepam dapat dberikan peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anesthesia
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital
4. Antikolinergik, misal atropine dan hiosin
5. Antihistamin, misal prometazine
6. Antasida, misal gelusil
7. H2 reseptor antagonis misalnya cimetidine dan ranitidine. Ranitidine
diberikan 150 mg 1-2 jam sebelum operasi
J. Persiapan Induksi Anestesi
20
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkan STATICS :
S : Scope (stetoskop, laringoskop),
- Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
- Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih luas
serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis, pita
suara dan trakea.
Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
a. Blade lengkung (Miller, Magill). Biasa digunakan pada laringoskopi
dewasa.
b. Blade lurus.
T : Tube (pipa endotraceal, LMA),
- Pipa Endotrakeal
Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam trakea.
Endotracheal tube dikerjakan pada pasien yang memiliki kemungkinan
kontaminasi pada jalan nafas, posisi pembedahan yang sulit, pembedahan
di mulut atau muka dan pembedahan yang lama. (6)
- Laringeal mask airway (LMA)
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi face mask
atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA pada pasien-pasien
dengan resiko aspirasi isi lambung dan pasien-pasien yang membutuhkan
dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
LMA terdiri dari 2 macam : :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahanyang ujung distalnya berhubungan dengan
esofagus
21
A : Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka, pipa oropharing),
- Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding
belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih bernapas
spontan, alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan lendir dan
mencegah pasien mengigit pipa endotrakheal (ETT) (7)
- Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)
Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan napas
orofaring atau apabila secara tehnis tidak mungkin memasang alat bantu
jalan napas orofaring (misalnya trismus, rahang mengatup kuat dan cedera
berat daerah mulut).
- Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan udara/gas
anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan nafas pasien.
T : Tape (plaster), Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi
I : Inducer (stilet/ forceps Magill),
Stilet (mandren) digunakah untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakeal
sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi (Mc gill) digunakan
untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa nasogastrik melalui
orofaring.
C : Connection. Connection ialah hubungan antara mesin respirasi/anestesi
dengan sungkup muka, serta penghubung-penghubung yang lain,
22
S : Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot lendir,
ludah, dan lain-lainnya.
K. Induksi Anestesi
Induksi anestesi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
Cara pemberian anestesi umum:
a. Parenteral (intramuscular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang singkat atau
induksi anestesi. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral dikombinasikan
dengan cara lain.
- Anestesi intravena (4,5)
1. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak dengan jepekatan 1 % (1ml = 10
mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga sebelumnya dapat
diberikan lidokain 1-2 mg/kg IV. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis
rumatan 4-2 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0,2mg/kg.Propofol dapat menurunkan tekanan darah selama induksi anestesi
karena menurunnya resistensi arteri perifer dan venodilatasi.
2. Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesic dan anestetik. Ketamin sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersaliva, nyeri kepala, dan mual muntah.
Dosis bolus iuntuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3 –
10 mg.
3. Tiopental
Tiopental hanya dapat digunakan secara intravena dengan dosis 3-7 mg/kg.
Larutan ini sangat berifat alkalis sehinga dapat menyebabkan nekrosis jaringan
bila keluar dari vena.
23
4. Opioid (morfin, fentanil, petidin, sufentanil)
Opioid tidak mengganggu kardiovaskuler, sehingga digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi digunakan fentanil dosis induksi
20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/ menit
- Anestesi intramuscular
Hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuscular.
b. Per rektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat. Yang
termasuk induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam. Midazolam
memiliki kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit akut, miastenia gravis,
syok atau koma, intoksikasi alkohol akut dengan depresi tanda- tanda vital, bayi
prematur. Efek samping dapat menyebabkan kejadian- kejadian kardiorespirasi,
fluktuasi pada tanda- tanda vital.
c. Anestesi inhalasi yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi
yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara
pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan
konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan
parsial dalam jaringan otak akan menentuka kekuatan daya anestesi. Zat anestetik
disebut kuat bila dengan tekanan parsial yang rendah sudah dapat member
anestesi yang adekuat.
- N2O (nitrous oksida) gas ini bersifat anestetik lemah,. Pemberian anestesi
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25 % untuk menghindari hipoksia
difusi.
- Halotan, halotan sering dikombinasikan dengan N2O. pada nafas spontan
rumatan anestesi sekitar 1-2 vol % dan pada afas kendali sekitar 0,5 – 1 vol %.
Kontraindikasi pemakaian halotan adalah penderita gangguan hepar, pernah
dapat halotan dalam waktu kurang 3 bulan atau pasien yang terlalu gemuk.
24
- Enfluran, pada EEG dapat menimbulkan tanda-tanda epileptic. Enfluran lebih
iritatik dibanding halotan.
- Isofluran, isofluran dapat meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intracranial, serta efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal.
- Sevofluran, sevofluran memiliki efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil
dan jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihhentikan sevofluran
cepat dikeluarkan oleh tubuh.
2. Anestesi Pada Pasien Geriatri , Asma dan Hipertensi
Pre Anestesi
Evaluasi yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa gas darah, foto rontgen
thorax.
1. Riwayat Penyakit Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan
atau berat serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat
penggunaan obat-obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat
alergi (makanan, obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan
pengobatannya. Bila baru-baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan
menimbulkan serangan maka operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk
mencegah reaktifitas jalan napas.
2. Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi
jalan napas yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis,
ekspirasi memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing,
ronchi. Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan
tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak
ada whezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun) .
25
3. Pemeriksaan Laboratorium Pada asma eosinofil total dalam darah sering
meningkat. Jumlah eosinofil ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi
kortikosteroid dan dapat juga untuk membedakan asma dengan bronchitis khronis.
Pada pemeriksaan sputum selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya
kristal charcat leyden, spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergilus
fumigates.
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi.
Pemeriksaan tersebut umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi
diparu atau adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum,
atelektasis, pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar
karena hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang hiperluscen.
5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri) Untuk mengetahui kondisi klinis pasien
asma perlu dilakukan pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa
detik pertama (FEV1) dan arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila
dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi
paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita.
Nilai normal arus puncak ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-
laki dewasa muda lebih dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria
( < 150 L/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan
meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50% menunjukan
asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter menujukan
obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering terjadi
ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang baru
sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi
setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada
pasien-pasien yang menderita penyakit paru- paru sedang sampai berat yang
menjalani operasi yang berdampak pada sistem respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat
26
memprediksi terhadap resiko komplikasi paru postoperatif dan memprediksi
kebutuhan bantuan ventilasi dan respon pengobatan (Bronkodilator).
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :
Keadaan Klinik % FEV/FVC
Normal 80-100
Asma Ringan 75-79
Asma Sedang 50-74
Asma Berat 35-49
Status Asmatikus <35
6. Pemeriksaan Analisa gas darah Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan
pada penderita dengan serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan
meningkatkan resiko komplikasi paru-paru.
7. Fisioterapi dada. Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan
napas. Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk
dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang
berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang
batuknya sangat lemah.
Pengelolaan Preoperatif Langkah pertama persiapan penderita dengan
gangguan pernapasan yang menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas
kelainan. Proses obstruksi yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul
dan proses inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan
bronkodilator misalnya adalah empisema, tumor.Pasien dengan bronkospasme yang
frekuen harus diobati dengan preparat bronkodilator yang berisi β-adenergik agonis,
dosis terapi teopilin dan kortikosteroid. Pada pasien dengan serangan asma balans
27
cairan dan elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami
dehidrasi.
Manajemen Asma
Preparat yang digunakan untuk asma sebagai berikut : Sympathomimetik atau
β agonis agen, menyebabkan brokodilator melalui Cyclic adenosine monophosphate
(cAMP) yang memediasi relaxasi otot polos bronkus. Obat-obat ini juga menghambat
antihistamin dan juga neurotransmiter kolinergik.
1) Selektif β-adrenergik, umumnya diberikan secara inhalasi dan sampai saat ini
merupakan preparat yang paling efektif. Misalnya albuterol(ventolin) 2 puffs atau
lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam.
Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan metaproterenol (Alupent)
2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam.
Pasien-pasien yang menggunakan terapi β-bloker hendaknya β bloker yang tidak
menimbulkan spasme bronkus seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol.
2) Campuran β1 dan β2 adrenergik termasuk epinefrine (Adrenalin), isoproterenol
(Isuprel) dan isoetharin (Brokosol). Efek samping takikardi dan arithmogenik
membahayakan pada penderita penyakit jantung. 3) Terbutaline sulfate pemberiannya
0,25 mg SC, dapat diulangi 15 menit, tetapi tidak lebih dari 0,5 mg dalam 4 jam.
1) Teofilin Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling
memperkuat. Teofilin, sebagai bronkodilator, memiliki 2 mekanisme aksi utama di
paru yaitu dengan cara relaksasi otot polos dan menekan stimulan yang terdapat pada
jalan nafas (suppression of airway stimuli). Mekanisme aksi yang utama belum
diketahui secara pasti. Diduga efek bronkodilasi disebabkan oleh adanya
penghambatan 2 isoenzim yaitu phosphodiesterase (PDE III) dan PDE IV. Sedangkan
efek selain bronkodilasi berhubungan dengan aktivitas molekular yang lain. Teofilin
28
juga dapat meningkatkan kontraksi otot diafragma dengan cara peningkatan uptake
Ca melalui Adenosin- mediated Chanels
2) Aminofilin Pada serangan asma akut reversible berat yang berhubungan dengan
bronkitis kronis dan enfisema digunakan aminofilin. Aminofilin merupakan
kompleks 2:1 dari Teofilin dan etilendiamin. Teofilin sebagai z.a untuk antiasma.
Etilendiamin digunakan agar terbentuk kompleks aminofilin yang mudah larut dalam
air. Bentuk pemberian adalah injeksi iv yang digunakan dalam wadah dosis tunggal
ampul. Tidak perlu ditambahkan pengawet karena sediaan dalam wadah dosis
tunggal. Sterilisasi akhir dengan autoklaf karena za tetap stabil pada pemanasan
tinggi. Pemberian aminofilin dengan cara :
a) Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan aminofilin dosis
awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit
b) Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan
separuhnya.
c) Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml
d) Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam Pengunaan
aminofilin tidak dianjurkan pada anak berusia < 12 tahun. Obat-obat yang dapat
meningkatkan kadar Teofilin: Propanolol, Allopurinol (>600mg/day), Erythromycin,
Cimetidin, Troleandomycin, Ciprofloxacin (golongan Quinolon yang lain),
kontrasepsi oral, Beta-Blocker, Calcium Channel Blocker, Kortikosteroid,
Disulfiram, Efedrin, Vaksin Influenza, Interferon, Makrolida, Mexiletine,
Thiabendazole, Hormon Thyroid, Carbamazepine, Isoniazid, Loop diuretics. Obat
lain yang dapat menghambat Cytochrome P450 1A2, seperti: Amiodaron,
Fluxosamine, Ketoconazole, Antibiotik Quinolon.
Obat-obat yang dapat menurunkan kadar Teofilin: Phenytoin, obat-obat yang dapat
menginduksi CYP 1A2 (seperti: Aminoglutethimide, Phenobarbital, Carbamazepine,
29
Rifampin), Ritonavir, IV Isoproterenol, Barbiturate, Hydantoin, Ketoconazole,
Sulfinpyrazone, Isoniazid, Loop Diuretic, Sympathomimetics.
Kortikosteroid sering digunakan pada pasien yang tidak respon terhadap terapi
Dan antagonis β2 adrenergi. Terutama bentuk parental yang digunakan untuk terapi
serangan asma berat. Mekanisme kerja obat ini melalui pengurangan oedem mukosa,
stabilisasi membran mast sel. Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui
mekanisme antara lain:
1) Menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga mempengaruhi leukotrien
dan prostaglandin.
2) Mengurangi kebocoran mikrovaskuler
3) Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi
4) Menhambat produksi cytokins
5) Meningkatkan kepekaan reseptor beta pada otot polos bronkus. Kortikosteroid
yang diberikan jangka panjang dapat menimbulkan efek samping oleh karena itu
dianjurkan pemberian melalui inhalasi (misalnya budesonide, beclometason)
digunakan dengan dosis maximal 2000 mcg, sangat efektif dalam mengendalikan
gejala asma dan mengendalikan ekserbasi. Bila pemberian kortikosteroid secara
inhalasi belum bisa mengontrol serangan asma maka dianjurkan pemberian
parenteral. Koortikosteroid yang biasa digunakan parenteral adalah 1-2 mg/kgBB
Hydrocortyson atau100mg IV per 8 jam dan methylprednisolon 40-80 mg IV per 4-6
jam atau 0,8 mg/kgBB.
Sodium Cromolyn dan sodium nedokromil adalah preparat inhalasi yang
digunakan sebagai profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini melalui stabilisasi
membrane mast sel dan anti inflamasi.
30
1) Acetylcysteine melalui inhalasi(Nebulizer) dapat menurunkan viscositas mukur
dengan memecah disulfida bonds yang terdapt di mucoproteins.
2) Hypertonik saline dapat digunakan untuk menurunkan viscositas mukus melalui
nebulizer
3) Recombinant deoxyribonukleaese(Dnase atau pulmozyme) 10 sampai 40 mg
perhari dengan inhaler. Digunakan pada pasien dengan fibrosis cystic untuk
menurunkan viscositas sekret bronkus. 4) Antileukotrien obat golongan ini bekerja
dengan menghambat enzim yang mensintesa leukotrien atau mempengaruhiikatan
pada reseptor. Termasuk antagonis reseptor leukotrien antara lain zafirlukast,
pranlukast dan montelukast, zafirlukast dapat digunakan sebagai kortikosteroid
inhalasi termasuk inhibitor 5-lipooxygenase adalah zilueton obat-obat antileukotrin
biasa digunakan untuk terapi asma kronik
Premedikasi
1. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan
asma berat dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada
pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.
2. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih yang
tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil
3. Anticholinergik pemberian dilakukan jika terdapat sekresi berlebihan atau
penggunaan ketamin sebagai agen induksi Antikolinergik tidak efektif untuk
mencegah reflek bronkospasme oleh karena tindakan intubasi.
4. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara teori
dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 sera normal akan menyebabkan
bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1 yang tanpa hambatan
dengan blokade H2 dapat menimbulkan bronkokonstriksi.
31
5. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau
kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi. Dianjurkan
pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80 mg) 1-2 jam sebelum
induksi anestesi.
6 Bronkodilator harus diberikan sampai proses pembedahan selesai, pasien yang
mendapatkan terapi lama glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk
mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison 50-100mg sebelum operasi dan
100mg/8 jam selama 1-3 hari post operasi.2,9 6. Pada penderita asma intubasi dapat
diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan
reaktifitas laring terhadap ETT. Pemberian anestesi inhalasi menggunakan
halothan/enfluran pada stadium dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang
refrakter.
Penanganan intraoeratif
Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah
pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi
khusus atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap
sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan
kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan atau untuk
mengendalian nyeri postoperatif. A. Regional Anestesi Spinal anestesi atau epidural
adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah. Pada pasien asma pernapasannya
tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot
perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat memperburuk kondisi jika
hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi kemampuan untuk batuk dan
membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal
napas.
32
Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk bronkokontriksi karena
terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah(T1-T4) dan menyebabkan
aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan anestesi umum
dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah hypoxemia
dan atelectasi. Pada prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan
dengan general anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan
penggunaan regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja
operasi dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan
yaitu pada tahap kritis pembedahan. B. Anestesi Umum Waktu paling kritis pada
pasien asma yang dianestesi adalah selama instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress,
emosional atau rangsangan selama anestesi dangkal dapat menimbulkan
bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan pelepasan histamin
(seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin, meperidin) harus dicegah atau
diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah
smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan
agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi
dan stimulasi pembedahan. Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan
menyebabkan bronkodilatasi dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
bronkospasme. Halothan berpengaruh pada diameter airway dengan cara memblok
reflek airway dan efek langsung relaksasi otot polos airway.
Namun hati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan gangguan jantung
karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat
pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara tetapi harus dinaikkan
secara lambat karena sifatrnya iritasi ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu
berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di
jalan napas. 2. Obat-Obat Induksi Intravena Untuk induksi anestesi dapat digunakan
obat- obat yang mempunyai onset kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat
digunakan adalah thiopenton, propofol, dan ketamin. Tiopenton paling banyak
33
digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan
bronkospasme karena adanya pelepasan histamin, beberapa hasil penelitian
menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan bronkokonstriksi melalui
reseptor μ2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan mekanisme umpan balik
negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut akibat stimulasi yang terus
berlangsung.
Oleh karena itu blok reseptor μ2 dapat menghambat ACH dan potensiasi
bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal (biasanya karena iritan)14 propofol
dan ethomidat dapat sebagai alternatif. Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk
mencegah dan mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan
neural dan melalui penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu
penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi
bronkokonstriksi, ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol.16 Propofol
dengan dosis 2,5 mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah intubasi
dibanding dengan penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/ kgBB.
Dibandingkan dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor
onset yang cepat dan akhit cepat pula.16 Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi
selain efek analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan
dengan pelan- pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar
saliva dan tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan
antisialogogue seperti atropin ataupun gycopyrrolate.17 Reflek brokospasme dapat
dicegah sebelum intubasi dengan pemberian tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB,
pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen volatil selama 5 menit atau diberikan
lidocain intravena atau intratracheal 1-2 mg/ kgBB.
Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika dosis
tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg atau
glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi. 3. Muscle Relaxant Faktor
lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan adalah perlu
34
tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran ACH endogen,
inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan sekresi jalan napas
dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan
antagonis muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate 0,5 mg untuk
meminimalkan efek samping muskarinik.
Alternatif lain dapat digunakan muscle relaxan short acting. Meskipun
suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan histamin tetapi secara umum dapat
digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien asma. 1. C. Terapi Bronkospasme
Intraoperatif Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing,
munculnya penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan
dari gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya.
Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube endotracheal
dari kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi endobronchial, tarikan aktif karena
anestesi dangkal, oedem pulmo atau emboli dan pneumothorak semua dapat
menyebabkan bronkospasme.2 Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta
adrenergik agonist baik secara aerosol atau inheler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit
napas (gas pembawa yang menggunakan dosis terukur dapat berinterferensi dengan
pembacaan massa spectrometer).2 Tehnik pemberian ini adalah secara matered dose
inheler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma
sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg)
atau keduanya.
Pasien yang tidak menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan aminopillin
bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9
mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan ventilasi
bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal, kecepatan
ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit) volume tidal yang rendah dan waktu
ekshalasi yang panjang.9 Penurunan diameter airway yang disebabkan
bronkokontriksi yang berat dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak
35
akibat penurunan ventilasi pada beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan
perfusi yang lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi
pulmoner akibat pemberian beberapa bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi
perfusi yang sudah rendah ini.
Oleh karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi, yang penting adalah
meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat terjadi
bronbkospasme. Hal ini tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga
meyakinkan tekanan partial oksigen dalam alveoli.14 Pada akhir pembedahan
sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi pelemas otot nondepolarisasi perlu
direvese dengan anticholin esterase yang tidak memacu terjadinya bronkospasme,
bila sebelumnya diberikan antikolinergik dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam perlu
dilakukan sebelum terjadi pulihnya reflek jalan napas normal untuk mencegah
brokospasme atau setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB
diberikan intravena atau dengan kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan reflek
jalan napas.
Penanganan postoperatif
Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator dilanjutkan
lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui
nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien mampu menggunakan MDI (Meteroid
Dose Inheler) sendiri secara benar.3,13 1. Buka penutup dan pegang inheler tegak 2.
Kocok inhaler 3. Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc 4.
Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut 5. Tekan
kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam 3-5 detik 6.
Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai paru- paru
7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator bisa
membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini perlu untuk
memberikan dosis yang benar 8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler
36
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi kriteria
sebagai berikut;3 1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit 2. Mampu menahan naps
selama 5 detik atau lebih 3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb 4. Mampu komunikasi
verbal dan mengikuti instruksi 5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai 6.
PEFR ≥ 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria Pada akhir
pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok neuromuskular
nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan brokospasme jika
diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang teridentifikasi resiko tinggi
perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada dan
suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post operatif adalah hal yang penting
menurunkan bronkospasme.17 Masalah berikut yang terjadi pasca bedah adalah
penurunan volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut
oleh karena terjadi penurunan VA (Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual
Capacity). Penurunan VA diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau
oleh peningkatn dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan
pengaruh anestesi, narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau
myesthenia gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada
neervus phrenicus.
Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung,
bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru,
dan pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi
endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura, cedera
nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang merupakan
predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan menurunkan angka
kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive spirometry merupakan
cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan mempertahankan FRC
atau dengan continous positive airway pressure (CPAP) dapat menghindarkan
atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam.
37
Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan
mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.3
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU : 1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory
Support 2. FEV atau PEV < 50% 3. PCO2 > 50 mmHg 4. PO2 < 50 mmHg 5. Pasien
nampak bingung dan lemah 6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan
dan farmakologis 7. Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat
apalagi disertai instabilitas hemodinamika 8. Pasien major trauma yang dilakukan
prosedur Damage Control Surgery 9. Pasien yang menjalani major surgery BAB III
KESIMPULAN 1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode
berulang penyempitan bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat
pernapasan yang lebih normal. 2. Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting
dilakukan evaluasi pasien dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi
paru-paru. 3. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan
pengobatan sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau
kondisi dimana gejala -gejala asma sudah minimal. 4. Pencegahan bronkospasme
pada saat operasi penting dilakukan terutama pada saat manipulasi jalan napas. 5.
Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu dipertimbangkan untuk
menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang terjadinya
bronkospasme atau serangan asma. 6. Rencana tindakan atau obat-obat untuk
mengatasi serangan asma atau bronkospasme harus disiapkan agar jika terjadi
serangan bronkospasme kondisi reversibel dapat tercapai.
Pernafasan
Penurunan elastisitas jaringan paru, menyebabkan distensi alveoli berlebihan yang
berakibat mengurangi permukaan alveolar, sehingga menurunkan efisiensi pertukaran
gas. Ventilasi masker lebih sulit. Arthritis sendi temporomandibular atau tulang
belakang servikal mempersulit intubasi. Tidak adanya gigi, sering mempermudah
visualisasi pita suara selama laringoskopi.
38
Penurunan progresif refleks protektif laring dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi.
Fungsi ginjal
Aliran darah ginjal dan massa ginjal menurun. (massa korteks diganti oleh lemak dan
jaringan fibrotik). Laju filtrasi glomerulus dan bersihan kreatinin (creatinin clearance)
menurun Gangguan penanganan natrium, kemampuan konsentrasi, dan kapasitas
pengenceran memberi kecenderungan pasien usia lanjut untuk mengalami dehidrasi
atau overload cairan. Fungsi ginjal menurun, mempengaruhi kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan obat. Penurunan kemampuan ginjal untuk menangani air dan
elektrolit membuat penatalaksanaan cairan yang tepat menjadi lebih sulit; pasien usia
tua lebih cenderung untuk mengalami hipokalemia dan hiperkalmeia. Hal ini
diperparah oleh penggunaan diuretik yang sering pada populasi usia lanjut.
Fungsi Gastrointestinal
Berkurangnya massa hati berhubungan dengan penurunan aliran darah hepatik,
menyebabkan Fungsi hepatik juga menurun sebanding dengan penurunan massa hati.
Biotransformasi dan produksi albumin menurun. Kadar kolinesterase plasma
berkurang. Ph lambung cenderung meningkat, sementara pengosongan lambung
memanjang.
Sistem Saraf
Aliran darah serebral dan massa otak menurun sebanding dengan kehilangan jaringan
saraf. Autoregulasi aliran darah serebral tetap terjaga. Aktifitas fisik tampaknya
mempunyai pengaruh yang positif terhadap terjaganya fungsi kognitif. Degenerasi sel
saraf perifer menyebabkan kecepatan konduksi memanjang dan atrofi otot skelet.
Penuaan dihubungkan dengan peningkatan ambang rangsang hampir semua rangsang
sensoris misalnya, raba, sensasi suhu, proprioseptif, pende-ngaran dan penglihatan.
Volume anestetik epidural yang diberikan cenderung mengakibatkan penyebaran
39
yang lebih luas ke arah kranial, tetapi dengan durasi analgesia dan blok motoris yang
singkat. Sebaliknya, lama kerja yang lebih panjang dapat diharapkan dari anestetik
spinal. Pasien usia lanjut sering kali memerlukan waktu yang lebih lama untuk pulih
secara sempurna dari efek SSP anestetik umum, terutama jika mereka mengalami
kebingungan atau disorientasi preoperatif.
Muskuloskeletal
Massa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopik, neuromuskuler junction menebal.
Kulit mengalami atrofi akibat penuaan dan mudah mengalami trauma akibat pita
berperekat, bantalan elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi. Vena seringkali
lemah dan mudah ruptur pada infus intravena. Sendi yang mengalami arthritis dapat
mengganggu pemberian posisi (misalnya, litotomi) atau anestesi regional (misalnya,
blok subarakhnoid).
Perubahan farmakologi terkait usia
Distribusi dan eliminasi juga dipengaruhi oleh terganggunya ikatan protein plasma.
Albumin yang cenderung berikatan dengan obat yang bersifat asam (misalnya
barbiturat, benzodiazepin, agonis opioid), menurun. α1-asam glikoprotein, yang
berikatan dengan obat yang bersifat basa (misalnya, anestetik lokal), meningkat.
Perubahan farmakodinamik utama adalah penurunan kebutuhan anestetik,
ditunjukkan oleh MAC yang rendah. Titrasi hati-hati bahan anestetik mem- bantu
menghindari efek samping dan durasi yang panjang; bahan kerja singkat seperti
propofol, desflurane, remifentanil, dan suksinilkolin sangat berguna pada pasien usia
lanjut. Obat yang secara bermakna tidak tergantung pada fungsi hepatik dan ginjal
atau aliran darah, seperti mivacurium, atracurium, dan cistracurim dapat berguna.
Anestesi inhalasi MAC
untuk agen inhalasi berkurang sekitar 4% per dekade umur setelah usia 40 tahun.
Sebagai contoh, MAC halotan pada usia 80 tahun diharapkan menjadi 0,65 (0,77-
40
[0,77 x 4% x 4]). Onset kerja menjadi lebih cepat jika curah jantung berkurang, tetapi
akan lebih lambat jika terdapat gangguan ventilasi/perfusi yang signifikan. Efek
depresan miokardial dari anestetik gas bertambah pada pasien usia lanjut, sementara
kecenderungan takikardi dari isofluran dan desfluran mele- mah. Berlawanan dengan
efeknya pada pasien yang lebih muda, isofluran mengurangi curah jantung dan
denyut jantung pada pasien usia lanjut. Pemulihan dari anestesi yang menggunakan
anestetik gas kemungkinan memanjang sebab peningkatan volume distribusi
(peningkatan lemak tubuh), penurunan fungsi hepatik (penurunan metabolisme
halotan) dan penurunan pertukaran gas paru.
Bahan anestesi non volatile
Pasien usia lanjut menunjukkan kebutuhan dosis barbiturat, opioid agonis, dan
benzodiazepin yang lebih rendah. Sebagai contoh, umur 80 membutuhkan kurang
dari setengah dosis induksi tiopental dibandingkan dengan kebutuhan pada umur 20-
an. Benzodiazepin cenderung berakumulasi dalam penyimpanan lemak, volume
distribusinya lebih besar pada pasien usia lanjut sehingga eliminasi dari tubuh juga
lambat. Waktu paruh lebih dari 36 jam dapat menyebabkan kebingungan selama
beberapa hari setelah pemberian diazepam.
Pelumpuh otot
Penurunan curah jantung dan aliran darah otot yang lambat dapat menyebabkan
pemanjangan onset blokade neuromuskuler sampai 2 kali lipat pada pasien usia
lanjut. Pemulihan dari pelumpuh otot nondepolarisasi yang tergantung pada ekskresi
ginjal (misalnya, metokurin, pankuronium, doksakurium, tubokurarin) mungkin
tertunda akibat menurunnya bersihan obat. Demikian juga, penurunan ekskresi
hepatik akibat kehilangan massa hati memperpanjang waktu paruh eliminasi dan lama
kerja rokuronium dan vekuronium. Pria usia lanjut dapat menunjukkan sedikit
pemanjangan efek suksinilkolin akibat kadar kolinesterase plasma mereka yang
rendah.
41
3. Pengelolaan Anestesi Pada Pasien Hipertensi
Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan
menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari,
yaitu:8
Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya
Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah
terjadi.
Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,
untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis
riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan
prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah
menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya
ataukah suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan
vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan
hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko
terjadinya aritmia.9,10,11 Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat
membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia
miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa
untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika
ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan
peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler,
riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.
Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat
tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri
42
dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan
mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke
sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%.12
Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan
anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau
115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau
operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak
ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan
pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan
fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa
hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler
dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi
menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan
risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji
klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka
kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka
kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda operasi hanya untuk
tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan
kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu
dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil
mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan
dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila
ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut
perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association / American
College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS _ 180 mmHg
dan/atau TDD _ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi,
43
terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD
dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat
antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi
cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2
fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi.
Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons
hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperative yang sudah
dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih
stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.8
Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bias kita gunakan serta maksud
dan tujuan penggunaanya:12
EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multiple lead ST, karena pasien
hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz:
hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI
berulang.
Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan
perifer.
Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita
mempertahankan kadar CO2.
Suhu atau temperature.
Premedikasi
44
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.
Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan
ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam. Obat antihipertensi tetap
dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit
air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan
alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.8
Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat
intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer
terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan
penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu
hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan
efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE
inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa
menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian
hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%.
Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi.8
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-
10 menit.
Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-
1 mikrogram/ kgbb).
Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
45
Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
Menggunakan anestesia topikal pada airway.
Pemilihan obat induksi untuk penderita Hipertensi adalah bervariasi untuk
masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat
keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan
pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium
atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi
secara inhalasi.8,12
Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama
pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperative. Pada
hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral
dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan
aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi
jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi
kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral
sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:8
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.
46
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance
anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bias
digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipergunakan
sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering
menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien
dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan
yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti
phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan penderita
hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang
khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk jenis
operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak.
EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine
diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan
pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena
sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang
mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.8
Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada
periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak
berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara
parenteral (lihat tabel), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bias diatasi
seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan
terlebih dahulu.8
Tabel. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut
47
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik,
penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit
bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek
yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel).
Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat
dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada
tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif.
Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi
dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami
hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.13 Hal-hal yang paling
sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat
antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagen-
vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma,
preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan
target organ yang rusak akibat hipertensi ini.7 Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti
adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan
intra serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina,
diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau
48
insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk
menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi
kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan pada wanita hamil yang
mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati pada TDD < 100
mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg
dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD
diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan
sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110
selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan TD ditoleransi dengan baik adalah selama
fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.2 Hipertensi urgensi adalah
situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya
kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau
ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus
dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.13
Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien
yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia
jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang
luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi
menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat
penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak
faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi
dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload
cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan
obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.
Nyeri merupakan salah satu factor yang paling berkonstribusi menyebabkan
hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya
49
ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu.
Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara
farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi
TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat
hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi
pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral
misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi
dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa
diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure
sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara
langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara
intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium
nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya
antihipertensi secara oral segera dimulai.8,13
KESIMPULAN
Secara umum ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kasus
ini. Selain penyakit yang akan di tangani saat oprasi seperti penyakit penyerta lainnya
yang mungkin akan menjadi pennyulit saat anestesi dilakukan. Pada kasus ini selain
lipoma frontalis, pasien juga terdapat beberapa riwayat penyakit lainnya seperti
riwayat asma, hipertensi.
Selain penyakit penyerta yang diderita pasien, disini kita juga harus
memperhatikan uisa pasien. Karena dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa
dengan usia > 50 tahun keatas beberapa system organ pada tubuh akan mengalami
penurunan fungsi, dimana dengan terjadinya penurunan fungsi dari beberapa organ
tubuh pada pasien geriatric juga akan menjadi penyulit pada anestesi. Dari setiap
tahapan anestesi harus menjadi pantauan khusus yang meliputi premedikasi,
intraoperatif dan post-operatif.
50
1) Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan anestesi, pasien mendapat terapi antihipertensi 2 hari
sebelumnya dengan kaptopril 25 mg 2 X 1/hari. Dimana pemilihan antihipertensi
ini didasari dari berat ringannya hipertensi yang diderita oleh pasien. Pemberian
midazolam 2 mg sebagai premedikasi diharapkan dapat menurunkan ketegangan
pasien sehingga efek simpatis yang dapat berpengaruh pada hipertensi dapat
teratasi. Induksi dengan propofol 2 mg/kgBB merupakan pilihan untuk pasien-
pasien dengan riwayat asma dan hipertensi.
2) Intraoperatif
Pada masa pembedahan monitoring harus diperhatikan adalah tensi, heart rate, dll.
Pada masa intraoperatif walaupun asma dan hipertensi sudah teratasi kita tetap
harus mempersiapkan obat bronkoddilator seperti aminofilin.
3) Post-operatif
Pemilihan ekstubasi pada passion-pasien seperti ini harus sangat diperhatikan.
Pada pasien dengan riwayat asma dapat kita lakukan ekstubasi dalam jika kita
menggunakan ETT, namun pada pasien ini dipilh ekstubasi bangun karena tehnik
intubasinya menggunakan LMA. Selain itu monitoring postoprasi sangat penting
dilakukan terkait dengan riwayat hipertensinya. Pengobatan hipertensi dapat
diteruskan jika TD darah masih tinggi.
Pada kasus ini semua factor yang mungkin menjadi penyulit pada anestesi harus
tetap diperhatikan guna meminimalisir komplikasi yang mungkin timbul akibat
tindakan anestesi itu sendiri. Monitoring secara keseluruhan sangatlah penting guna
antisipasi hal-hal yang mungin terjadi terkait efek dari obat-anestesi dan penyakit
penyerta yang mungkin menjadi penyulit pada anestesi.
51
52