-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
1/19
Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Riana Natalia Setiyawan
NIM: 13.70.0033
Kelompok E5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
2/19
2
1. MATERI DAN METODE
1.1.Materi
1.1.1.
Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain oven, blender, ayakan, gelas
bekker, pengaduk, kain saring, kertas pH, hot plate, dan termometer.
1.1.2.Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N
dan 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50%, dan 60%.
1.2.Metode
1.2.1.Demineralisasi
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh danditimbang
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
3/19
3
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan
10:1
Dipanaskan hingga suhu 80
o
C dan diaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24
jam
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
4/19
4
1.2.2.Deproteinasi
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan
perbandingan 6:1
Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC
selama 24 jam dan dihasilkan chitin
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
5/19
5
1.2.3. Deasetilasi
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu
90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%
dengan perbandingan 20:1
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
6/19
6
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran Kadar Rendemen Kitin dan Kitosan
Kel PerlakuanRendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
E1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%
26,32 28,57 32
E2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%
37,93 27,78 17,23
E3 HCl 1 N + NaOH 3,5% +
NaOH 50%
23,53 30,77 28,89
E4 HCl 1 N + NaOH 3,5% +
NaOH 50%
35 18,18 15,33
E5 HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +
NaOH 60%
29,17 25 42,5
Pada Tabel 1., dapat dilihat hasil kadar rendemen dari kitin dan kitosan dengan
perlakuan yang berbeda-beda. % rendemen kitin I tertinggi terdapat pada kelompok E2
dan terendah terdapat pada kelompok E3 dengan nilai secara berturut-turut 37,93% dan
23,53%. Nilai persen rendemen kitin II tertinggi terdapat pada kelompok E3 sebesar
30,77% dan terendah sebesar 18,18% pada kelompok E4. Pada hasil rendemen kitosan,
nilai persentase tertinggi sebesar 42,5% pada kelompok E5 dan terendah sebesar
15,33% pada kelompok E4.
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
7/19
7
3. PEMBAHASAN
Udang merupakan salah satu produk perikanan yang banyak digemari, baik untuk
dikonsumsi secara langsung maupun dijadikan produk udang beku yang dapat diekspor.
Namun, pada proses persiapan produk dilakukan pemisahaan antara daging udang
dengan kulit dan kepala udang. Kulit dan kepala udang tersebut akan menjadi limbah
padat yang memberikan efek polusi terhadap lingkungan. Oleh karena itu, limbah udang
tersebut dapat diolah dan memiliki daya guna yang memiliki nilai ekonomi yaitu
dengan dijadikan kitin dan kitosan (Budiyanto, 1993 dalam Patria, 2013). Menurut
Jiang et al. (2003) dalam Tarafdar & Biswas (2013), limbah udang yang berupa kepala
dan kulit udang mengandung kitin, protein, dan mineral. Jika limbah tersebut di
deproteinasi maka akan diperoleh kitin dan ketika kitin diasetilasi, maka akan diperoleh
kitosan.
Kitin merupakan polimer karbohidrat yang ditemukan pada eksoskeleton Crustaceans,
seperti kepiting, udang, dan lobster. Selain itu, juga dapat ditemukan pada insecta. Kitin
merupakan polisakarida yang terbentuk dari N-asetil-D-glukosamin dengan ikatan
rangkap -1,4. Karakteristik dari kitin adalah keras, inelastis, dan bewarna putih.
Kitosan merupakan polimer yang terbentuk dari diasetilasi kitin sehingga membentuk
polisakarida rantai linear yang terdiri dari -1,4 yang berikatan dengan 2 asetamino-2
deoksi--D glukopiranosa dan 2-amino-2-deoksi--D-glukopiranosa (Sahidi et al, 2005
dalam Islam et al.,2011). Berikut struktur kimia kitin dan kitosan :
Gambar 1. Struktur kimia kitin (Islam et al., 2011)
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
8/19
8
Gambar 2. Struktur kimia kitosan (Islam et al., 2011)
Menurut Lie et al. (1997) dalam Patria (2013), karakteristik dari kitosan adalah hanya
larut dalam pelarut asam, seperti asam asetat, asam format, dan asam sitrat.
Pada praktikum ini, bahan dasar yang digunakan untuk membuat kitin dan kitosanadalah kulit udang. Pertama-tama, limbah udang dicuci dengan menggunakan air
mengalir dan kemudian dikeringkan. Proses pencucian bertujuan untuk membersihkan
permukaan limbah padat udang dari kotoran sehingga tidak mencemari ekstrak kitin
yang dihasilkan. Kemudian, limbah padat udang dicuci kembali dengan menggunakan
air panas sebanyak 2 kali lalu dikeringkan dan dihancurkan hingga menjadi serbuk.
Kemudian, diayak dengan menggunakan ayakan berukuran 40-60 mesh. Menurut
Prasetyo (2006), penggunaan air panas bertujuan untuk mensterilkan kulit udang dari
mikroorganisme. Limbah padat udang dijadikan bubuk bertujuan untuk memperluas
permukaan bahan sehingga pelarut dalam melarutkan komponen-komponen dapat
maksimal.
3 tahap yang dilakukan dalam praktikum ini adalah demineralisasi, deproteinasi, dan
deasetilasi. Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Mizani (2007) yang
menyatakan bahwa ekstraksi limbah udang dilakukan dengan cara demineralisasi
(perlakuan asam) dan perlakuan basa yang dsebut dengan deproteinasi. Pada praktikum
ini, proses demineralisasi dilakukan dengan cara menimbang kulit udang kering
sebanyak 10 gram lalu mencampurkan limbah udang dengan HCl 0,75 N (kelompok E1
dan E2), 1 N (kelompok E3 dan E4), dan 1,25 N (kelompok E5) dengan perbandingan
10:1 atau 10 gram bahan kering dalam 100 ml pelarut. Penambahan HCl sudah sesuai
dengan teori Alamsyah et al. (2007) yang menyatakan bahwa ekstraksi kitin pada tahap
demineralisasi akan dilakukan secara kimiawi dengan mereaksikan asam kuat dengan
limbah udang tersebut. Burrows et al. (2007) menjelaskan lebih lanjut bahwa larutan
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
9/19
9
HCl berfungsi untuk melarutkan mineral-mineral yang terkandung dalam limbah udang,
seperti kalsium karbonat. Selain itu, HCl merupakan asam encer sehingga tidak akan
mempegaruhi ekstraksi kitin karena kitin tidak larut dalam air. Hal serupa dijelaskan
oleh Trung et al. (2006) dalam Puvvada et al. (2012) yang menyatakan bahwa proses
demineralisasi merupakan proses yang digunakan untuk menghilangkan mineral-
mineral, terutama kalsium karbonat. Setelah itu, dipanaskan pada suhu 80oC dan setelah
suhu tersebut tercapai, dilakukan pengadukan selama 1 jam. Proses pengadukan
bertujuan untuk menghomogenkan larutan, mencegah terjadinya kegosongan akibat
pemanasan yang dilakukan, dan menhindari timbulnya gelembung-gelembung udara
selama proses demineralisasi. Gelembung udara yang terbentuk merupakan reaksi dari
HCl yang ditambahkan ke dalam sampel dan menghasilkan CO2. Reaksi demineralisasi
:
CaCO3(s) + 2 HCl(l)CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g)
(Robert, 1992)
Setelah proses pengadukan, dilakukan pencucian dengan mengunakan air hingga
diperoleh pH netral. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan senyawa HCl
yang ditambahkan pada proses. pH netral mengindikasikan bahwa senyawa mineral
yang terkandung pada limbah telah hilang karena mineral larut dalam HCl. Selain itu,
proses pencucian bertujuan untuk mencegah degradasi produk selama pengeringan dan
untuk meningkatkan efektivitas proses demineralisasi (Bastaman, 1989). Tahap terakhir
pada proses demineralisasi adalah pengeringan dengan menggunakan suhu 900C selama
24 jam. Hasil akhir yang diperoleh pada proses demineralisasi adalah berat rendemen
kitin I.
Proses selanjutnya adalah deproteinasi. Menurut Thanou (2005) dalam Tarafdar &
Biswas (2013), proses deproteinasi bertujuan membantu melemahkan stuktur protein
tersier yang terdapat pada kulit udang. Hargono & Haryani (2004) menjelaskan lebih
lanjut bahwa deproteinasi akan memisahkan ikatan-ikatan protein dan kitin. Pada
praktikum ini, dilakukan dengan cara mencampurkan tepung yang diperoleh dari proses
demineralisasi dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1). Alamsyah et al. (2007)
menjelaskan bahwa proses deproteinasi dilakukan secara kimia dengan menggunakan
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
10/19
10
pelarut basa kuat. Penambahan NaOH bertujuan untuk melarutkan protein yang masih
terkandung dalam kitin hasil demineralisasi, dimana protein larut dalam basa kuat tetapi
tidak larut dalam asam kuat. Selanjutnya, dilakukan pemanasan pada suhu 70oC dan
diaduk selama 1 jam. Proses pemanasan dan pengadukan bertujuan untuk menguapkan
air dan memaksimalkan fungsi NaOH dalam proses deproteinasi. Kemudian, dilakukan
penyaringan dan residu dicuci dengan menggunakan air hingga diperoleh pH netral. Hal
ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Thanou (2005) dalam Tarafdar & Biswas
(2013) bahwa residu yang diperoleh akan dicuci dan pHnya dibuat mendekati netral.
Proses pencucian hingga mendekati pH netral dapat membantu proses decolourization
pada limbah kulit udang. Rogers (1986) menjelaskan lebih lanjut bahwa proses
penetralan akan meningkatkan efektivitas proses hidrolisis basa pada gugus asetamida
pada rantai kitin. Tahap terakhir pada proses deproteinasi adalah pengeringan dengan
seuhu 90oC selama 24 jam. Hasil yang diperoleh akan ditimbang sehingga diperoleh
berat kitin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kitin adalah jenis bahan baku yang
digunakan, ketepatan pada proses demineralisasi dan deproteinasi, lamanya proses
pengolahan dan suhu yang digunakan, ketepatan pH saat proses pengekstraksian kitin
dan konsentrasi zat kimia yang ditambahkan. Semakin lama proses pengeringan maka
akan ada banyak protein yang ikut terlarut (Laila & Hendri, 2008). Menurut Mukku &
Willem (2005), jenis bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kitin tidak hanya
limbah Crustaceans dan insecta, tetapi juga dapat menggunakan mikroorganisme,
sepertiLactobacillus plantarum.
Proses terakhir dalam praktikum ini adalah deasetilasi. Hossain et al. (2005) dalamIslam et al. (2011) menjelaskan bahwa kitosan diperoleh dari proses deasetilasi basa
kitin yang akan memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan gugus nitrogen
yang terletak pada gugus asetamida kitin untuk diubah menjadi gugus amina. Pada
praktikum ini, tepung kitin ditambahkan NaOH 40% (kelompok E1 dan E2), 50%
(kelompok E3 dan E4), dan 60% (kelompok E5) dengan perbandingan 20:1. Hal ini
sesuai dengan teori Hirano (1989) yang menyatakan bahwa deasetilasi kitin dengan
menggunakan basa kuat akan menghasilkan kitosan. NaOH merupakan basa kuat.
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
11/19
11
Setelah itu, dilakukan pemanasan hingga suhu 90oC selama 1 jam sambil dilakukan
pengadukan. Kombinasi panas dengan NaOH dapat menyebabkan terlepasnya gugus
asetil (CH3CHO-) dari molekul kitin sehingga dapat terbentuk kitosan. Proses
pemanasan bertujuan untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang
terbentuk. Derajat deasetilasi dipengaruhi oleh suhu yang digunakan pada proses
pemanasan dan pengadukan, dimana semakin tinggi suhu yang digunakan maka derajat
deasetilasi dari kitosan yang terbentuk akan meningkat (Puspawati & Simpen, 2010).
Setelah itu, dilakukan penyaringan dan residu yang diperoleh akan dicuci hingga
diperoleh pH netral. Proses ini bertujuan untuk memisahkan residu dari komponen-
komponen yang tidak diinginkan serta menetralkan residu dari NaOH yang bersifat
basa. Seluruh pengujian pH dalam praktikum ini, menggunakan kertas lakmus. Apabila
pH telah mencapai netral, maka kertas lakmus yang semula bewarna kuning akan
berubah warna menjadi hijau muda. Tahap terakhir adalah dilakukan pengovenan pada
suhu 70oC selama 24 jam. Ramadan et al. (2010) menjelaskan bahwa proses
pengeringan pada tahap deasetilasi akan diperoleh kitosan yang berbentuk serbuk dan
bewarna putih kekuningan.
Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil persen rendemen kitin I tertinggi pada
kelompok E2 (HCl 0,75 N) sebesar 37,93% dan terendah pada kelompok E3 (HCl 1 N)
sebesar 23,53%. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Johnson &
Peterson (1974) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi HCl yang
ditambahkan, maka rendemen kitin yang dihasilkan akan semakin banyak pula karena
senyawa-senyawa mineral pada serbuk udang akan semakin mudah untuk dilepas.
Seharusnya, rendemen kitin kelompok E5 yang menggunakan HCl 1,25 N akan
memiliki jumlah rendemen yang paling tinggi, kedian diikuti oleh kelompok E3 dan E4yang menggunakan HCl 1 N, dan yang terakhir adalah kelompok E1 dan E2 yang
menggunakan HCl 0,75 N. Namun, Prasetyo (2006) menjelaskan bahwa konsentrasi
HCl terbaik yang digunakan dalam proses demineralisasi adalah HCl 1 N. Konsentrasi
HCl yang semakin tinggi memang menghasilkan rendemen dalam jumlah yang lebih
banyak, tetapi konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan terdegradasinya kitin yang
akan mempengaruhi jumlah rendemen sehingga menjadi berkurang jumlahnya. Oleh
karena itu, hasil rendemen kelompok E5 yang lebih rendah dapat dikarenakan
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
12/19
12
terdegradasinya kitin. Namun penyimpangan yang terjadi pada kelompok E2, dimana
jumlah rendemennya tertinggi dapat disebabkan oleh proses pemberian takaran HCl
yang kurang tepat dan selama proses penyaringan, serta pencucian yang tidak tepat
sehingga mengakibatkan residu yang ikut terbuang saat pencucian dan tidak bersih saat
memindahkan residu ke cawan sehingga jumlah dari rendemen berkurang banyak
karena terbuang.
Nilai rendemen kitin II yang tertinggi terdapat pada kelompok E3 sebesar 30,77% dan
terendah sebesar 18,18% pada kelompok E4. Nilai rendemen ini diperoleh dengan
penambahan NaOH 3,5%. Fennema (1985) menjelaskan bahwa protein yang
terkandung dalam kulit udang dapat menghambat proses deproteinasi pada kitin. Hong
et al. (1989) menjelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan,
maka akan mengakibatkan depolimerasi rantai molekul kitosan yang dapat
menyebabkan berat molekunya menurun. Puspawati & Simpen (2010) juga menjelaskan
bahwa rendemen kitin yang berasal dari limbah kulit udang akan menghasilkan
rendemen kitin lebih dari 20%. Hasil yang diperoleh kelompok E4 tidak sesuai dengan
teori Puspawati & Simpen (2010). Penyimpangan yang terjadi dapat dikarenakan kitin
yang terikut air ketika proses penetralan pH dan kurang optimalnya proses
demineralisasi, diman masih ada mineral yang terdapat pada kulit udang sehingga
menghambat proses deproteinasi.
Pada praktikum ini, nilai rendemen kitosan tertinggi diperoleh kelompok E5 yang
menggunakan penambahan NaOH 60% dan terendah pada kelompok E4 yang
menggunakan NaOH 50%. Menurut Hirano (1989), penambahan NaOH bertujuan untuk
mengubah struktur kitin yang rapat menjadi lebih renggang sehingga memudahkanenzim yang menguraikan lebih mudah masuk pada proses deasetilasi kitin menjadi
kitosan. Martinou et al. (1995) menjelaskan lebih lanjut bahwa semakin tinggi
konsentrasi NaOH yang digunakan, maka semakin tinggi nilai derajat deasetilasi.
Derajat deasetilasi menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari
kitin untuk memproduksi kitosan. Namun akan menghasilkan kitosan dengan rendemen
yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan oleh proses depolimerisasi rantai molekul
kitosan sehingga berat molekul dari kitosan akan menurun (Patria, 2013). Hasil yang
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
13/19
13
diperoleh dalam praktikum ini tidak sesuai dengan teori tersebut. Seharusnya, kitosan
kelompok E5 memiliki berat rendemen paling rendah dan tertinggi pada kelompok E1
dan E2. Penyimpangan yang terjadi dapat dikarenakan proses diasetilisasi yang belum
sempurna.
Menurut Tarafdar & Biswas (2013), kitin yang diekstrak dari udang spesies tertentu
dapat digunakan sebagai antibakteri yang melawan aktivitas E. coli, B. subtilis, dan B.
cerevisea. Aktivitas dari antibakteri pada kitosan dipengaruhi oleh berat molekul,
derajat deasetilasi, konsentrasi palarut, dan pH dari medium yang digunakan. Islam et
al. (2011) menjelaskan bahwa kitosan dapat digunakan sebagai suplemen makanan,
bahan tambahan, dan obat. Selain itu, kitosan dapat meningkatkan kualitas dan umur
simpan dari buah dan sayuran, serta menjadi penangkal radikal bebas atau antioksidan
yang digunakan oleh industri pangan karena dapat menggantikan bahan tambahan
buatan (Tarafdar & Biswas, 2013). Abdou et al. (2012) menjelaskan bahwa kitosan
mengandung aktivitas antimikroba yang dapat digunakan sebagai edible coatingselama
proses pembekuan sehingga umur simpan produk ikan dapat tahan hingga 6 bulan. Paul
et al. (2013) berpendapat bahwa kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai edible film,
zat antimikroba, senyawa pengkelat (chelating agent), dan mengaktifkan beberapa
proses pertahanan pada jaringan induk dengan mengikat air dan menghambat beberapa
enzim.
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
14/19
14
4. KESIMPULAN
Limbah udang yang berupa kepala dan kulit udang mengandung kitin, protein, dan
mineral.
Kitin dapat ditemukan pada eksoskeleton Crustaceans dan insecta, serta dapat
diperoleh dari mikroorganisme, sepertiLactobacillus plantarum.
Kitin bersifat inelastis, keras, dan bewarna putih.
Kitosan hanya larut dalam pelatut asam dan memiliki warna putih kekuningan.
Kitin diperoleh melalui proses demineralisasi (perlakuan asam) dan deproteinasi
(perlakuan basa).
Kitosan diperoleh melalui proses deasetilasi kitin.
Larutan HCl berfungsi sebagai pelarut mineral yang terkandung dalam limbah
udang.
NaOH berfunsi untuk melarutkan protein yang terkandung dalam kitin hasil proses
demineralisasi.
Proses pencucian hingga pH netral dapat membantu proses decolourization.
Semakin tinggi konsentrasi HCl, semakin banyak rendemen kitin yang dihasilkan.
Konsentrasi HCl terbaik dalam proses demineralisasi adalah HCl 1 N.
Pada proses deproteinase, semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, maka
rendemen yang dihasilkan akan semakin sedikit.
Pada proses deasetilase, semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, maka
semakin rendah rendemen kitosan yang dihasilkan.
Pada industri pangan, kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai antimikroba, edible
film, edible coating, antioksidan, suplemen makanan, dan pengganti bahan
tambahan buatan.
Semarang, 31 Oktober 2015
Praktikan Asisten Dosen
-Tjan, Ivana Chandra
Riana Natalia Setiyawan
13.70.0033
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
15/19
15
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdou, Entsar S., Osheba, A.S., and Sorour, M. A. (2012). Effect of Chitosan and
Chitosan-Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics ofFish Fingers. International Journal of Applied Science and Technology. Vol. 2
No. 7; August 2012.
Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang
sebagai Bahan Baku Industri.http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan
from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing
Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise.
(2007).Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed
Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. &
Environ. Sci., 2 (2): 103- 111, 2007.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New
York.
Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam ProsesDemineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin
from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Islam, Monarul Md.; Shah Md. Masum; M. Mahbubur Rahman; Md. Ashraful IslamMolla; A. A. Shaikh; S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp
Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic &
Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01. Bangladesh.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II.
The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media
Pendukung Amobilisasi Enzim -Amilase. http://lemlit.unila.ac.id
/file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf
http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdfhttp://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf -
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
16/19
16
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by
enzymatic means.
Mizani, A.Maryam dan B.Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for
Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European
Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen, 16-20 September
2007.
Mukku Shrinivas Rao and Willem F Stevens.(2005).Chitin production by Lactobacillus
fermentation of shrimp biowaste in a drum reactorand its chemical conversion to
chitosan.
Patria, Anshar. (2013). Production and Characterization of Chitosan From Shrimp
Shells Waste. AACL Bioflux, 2013, Volume 6, Issue 4.
Paul, Jiffy P; Sharmila Jesline J.W & K. Mohan. (2013). Development of Chitosan
Based Active Film to Extend the Shelf Life of Minimally Processed Fish.
International Journal of Research in Engineering & Technology. Vol. 1, Issue 5,
Oct 2013, 15-22. India.
Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit
Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan
Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 90.
Puvvada, Y.S., Vankayalapati, S., Sukhavasi, S. (2012). Extraction of Chitin From
Chitosan From Exoskeleton of Shrimp for Application in The Pharmaceutical
Industry. Puvvada et al., International Current Pharmaceutical Journal 2012,
1(9): 258-263.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya
terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia
Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
17/19
17
Tarafdar, A. and Biswas, G. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes
and Examination of its Viable Commercial Applications. ISSN : 2319-3182,
Volume-2, Issue-3, 2013.
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
18/19
18
6. LAMPIRAN
6.2. Perhitungan
Kelompok E1
Rendemen kitin I
Rendemen kitin II
Rendemen kitin III
Kelompok E2
Rendemen kitin I
Rendemen kitin II
Rendemen kitin III
Kelompok E3
Rendemen kitin I
Rendemen kitin II
Rendemen kitin III
Kelompok E4
Rendemen kitin I
Rendemen kitin II
Rendemen kitin III
-
7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
19/19
19
Kelompok E5
Rendemen kitin I
Rendemen kitin II
Rendemen kitin III
6.3. Laporan Sementara
6.4.
Diagram Alir
6.5. Abstrak Jurnal