ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG
KHALIFAH FIL ARDH DALAM IMPLEMENTASI
KEHIDUPAN SOSIAL BERMASYARAKAT
Makalah
Diajukan Sebagai Syarat Mengikuti
Latihan Kader II HMI Cabang Garut Tahun 2017
Disusun oleh:
MUHAMMAD NUR JAMALUDDIN
081223956738 / [email protected]
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
CABANG BANDUNG
1438 H / 2017 M
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, marilah kita memanjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratNya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahNya kepada Penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan Makalah yang merupakan salah satu syarat menikuti
Latihan Kader II HmI Cabang Garut Tahun 2017. Adapun tema dari Makalah yaitu
“ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KHALIFAH FIL ARDH DALAM
IMPLEMENTASI KEHIDUPAN SOSIAL BERMASYARAKAT”. Makalah LK-
II ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Allah SWT
2. Rakanda Beni Eka Putra, S.H.
3. Rakanda M. Sigit Ismail, S.H.
4. Rakanda Firman Nurhakim
5. Rakanda Dendinar Badrusalam
6. Keluarga Besar HmI
Komisariat Hukum Unpas
7. Agitha Yolanda Agustine
8. Keluarga Saya di Garut
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah LK II ini. Terlepas dari semua
itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
Penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar Penulis dapat
memperbaiki makalah LK-II ini. Akhir kata Penulis berharap semoga makalah LK-
II tentang “ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KHALIFAH FIL ARDH
DALAM IMPLEMENTASI KEHIDUPAN SOSIAL BERMASYARAKAT” dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandung, 1 September 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan ................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 4
A. Esensi Penciptaan Manusia Sebagai Khalifah Fil Ardh ............. 4
B. Kehidupan Manusia Sebagai Khalifah ....................................... 7
C. Manusia Sebagai Khalifah Fil Ardh Dalam Implementasi
Kehidupan Sosial Bermasyarakat .............................................. 11
BAB III PENUTUP ............................................................................... 16
A. Kesimpulan ............................................................................... 16
B. Saran ........................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... iii
A. Buku-buku ................................................................................. iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk lainnya.
Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna
sebagaimana tersirat dalam surat At-Tiin. Meskipun demikian, manusia
berpotensi atau berpeluang untuk menjadi makhluk paling mulia atau paling
hina. Hanya orang yang beriman dan beramal saleh yang akan menjadi makhluk
mulia di sisi Allah SWT.
Potensi inilah yang menjadikan manusia sangat disayang oleh Sang
PenciptaNya. Di antara bukti kasih sayangNya adalah penciptaan alam semesta
ini. Alam sengaja diciptakan olehNya dengan penuh keseimbangan dan
keteraturan, bukan tercipta secara kebetulan. Penciptaan alam ini terkait dengan
kepentingan manusia sebagai khalifah fil ardh (pemakmur di muka bumi ini),
karenanya alam diciptakan dalam pola-pola tertentu yang teratur agar manusia
dapat dengan mudah memahami alam dan memanfaatkannya.
Manusia, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, memiliki sifat fitrah
(kesucian) dan hanif (cenderungan kepada kebenaran). Hal ini ditegaskan
dengan ikrar kesaksian pada ketauhidan sebagaiman tercantum dalam Alquran
surat Al-Araf ayat 172. Manusia ketika masih di alam arwah telah berjanji akan
senantiasa beriman kepada Allah SWT. Namun Allah SWT tidak membiarkan
manusia berkata seperti itu begitu saja. Allah SWT akan menguji kebenaran
janji mereka. Ujian keimanan itu adalah menjadi makhluk penghuni bumi.
Lantas Allah SWT juga membekali manusia dengan hati, akal, dan nafsu untuk
menjalankan misi khalifah tersebut. Sisi keunggulan inilah yang menempatkan
manusia layak menerima amanat “khalifah Allah SWT di muka bumi ini”.1
Kesadaran akan eksistensi diri sebagai langkah awal dalam melakukan
kerja kemanusiaan memuat dimensi penting yaitu dimensi Ilahiyah. Dimensi
1 Budhy Rahman Munawar, Membaca Nurcholish Majid, Islam dan Pluralisme, Democary
Project, Jakarta, 2011, hlm. 17.
2
inilah yang mendatangkan pencerahan dalam gerak langkah setiap individu,
karena hal itu sekaligus berperan sebagai sumber energi yang memotivisir dan
menggerakkan langkah. 2 Maka tiada gerak dan kerja yang tidak memiliki
dimensi Ilahiyah tersebut, karena tanpa itu hanya merupakan sesuatu perjalanan
tanpa tujuan, sehingga bagi HmI, semua kerja-kerja di muka bumi merupakan
suatu rangkaian ibadah kepada Allah SWT yang senantiasa hanya semata-mata
mengharap ridaNya. Sekaligus merupakan satu simbol dari penghambaan diri
dan pengakuan terhadap ke Maha Kuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kata
terakhir dari rumusan tujuan HmI adalah “Terbinanya insan akademis, pencipta,
pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertangung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil makmur yang diridai Allah SWT ”.3 Dengan kecenderungan
yang terjadi pada saat ini, maka penguatan dimensi Ilahiyah menjadi sesuatu
yang mutlak. Bukan saja terhadap diri individu, tetapi juga dalam menghadapi
tantangan mondial. Kemajemukan masyarakat menimbulkan adanya variasi
unsur (yang sering disebut primordialisme), sehingga untuk terciptanya suatu
harmoni dalam kemajemukan itu dituntut adanya satu simbol besama berupa
consensus. Untuk itu, maka penguatan terhadap jati diri individu berdasar basis
unsur kemasyarakatan (bukan primordalisme) seperti terhadap agamanya justru
diperlukan bagi penegasan itu, maka suatu harmoni dapat dieleminir dengan
munculnya identitas dan prioritas masalah yang dihadapi.4
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis bermaksud
membahasnya dalam bentuk makalah yang diberi judul “ESENSI AJARAN
ISLAM TENTANG KHALIFAH FIL ARDH DALAM IMPLEMENTASI
KEHIDUPAN SOSIAL BERMASYARAKAT”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana esensi penciptaan manusia sebagai khalifah fil ardh?
2. Bagaimana kehidupan manusia sebagai khalifah?
2 Nurchlish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Pramadina, Jakarta, hlm. 28. 3 Buku Saku LK I Komisariat Hukum Unpas, Komisariat Hukum Unpas, Bandung, 2015,
hlm. 5. 4 Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 36.
3
3. Bagaimana manusia sebagai khalifah fil ardh dalam implementasi
kehidupan sosial bermasyarakat?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui esensi penciptaan manusia sebagai khalifah fil ardh.
2. Untuk mengetahui kehidupan manusia sebagai khalifah.
3. Untuk mengetahui manusia sebagai khalifah fil ardh dalam implementasi
kehidupan sosial bermasyarakat.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Esensi Penciptaan Manusia Sebagai Khalifah Fil Ardh
Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain
dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada
setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek
apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolok ukurnya? Tentu manusia
bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan
berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan
menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur
terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah (dimensi
fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis), ia juga memiliki aspek insan
(dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim
serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut
terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material
sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.5
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain
manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar
(fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolok ukur
apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti
pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai
makhluk mulia atau hina. Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia
dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolok ukurnya bahwa manusia
merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan
Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya. Seluruh benda-
benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena
di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. 6 Jadi pandangan ini
5 Munzir Hatami, Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan, PT.
LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 69. 6 Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 67.
5
menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolok ukur
kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini
kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia.
Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah
pusat tata surya tetapi matahari.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan dianggap
tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan
mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada
bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh
batu bara.7 Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi
dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat
manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan,
pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan
manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolok ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau
Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang
dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolok
ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang
paling berilmu tinggi abad ke-20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari
seorang Paus Yohanes Paulus II, Bunda Teresia atau Mahadma Ghandi bagi
ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan
sepanjang peradaban kemanusiaan. Manusia tidak mampu mengubah dan
memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi
mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari
seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak
satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolok ukur)nya serta tidak ada yang
lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari
apa yang ditawarkan Islam.
7 Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 82.
6
Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber segala
kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala sesuatu.
Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam, manusia ideal
(insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di muka bumi
dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai
khalifah/nabi atau rasul sebagaimana tercantum dalam Alquran surat Al-
Baqarah ayat 30. Karena itu, ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/
termanifestasikan pada dirinya yang terdapat dalam Alquran surat Al-Ahzab
ayat 21. Kemudian sebagai contoh nyata yang terbaik (uswatun hasanah) dari
“gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi sebagaimana dijelaskan dalam
Alquran surat Alqalam ayat 4. Dengan kata lain bahwa karena Nabi merupakan
representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demikian
nabi/rasul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil
(manusia sempurna) dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi
walaupun manusia dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya,
pada saat yang sama, dalam konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud
kemulian menjadi sama bahkan lebih rendah dari binatang.8
Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul)
merupakan tolok ukur kemulian kemanusiaan manusia dan sebaliknya
berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap sebagai
syaitan sebagaimana tercantum dalam Alquran surat Al-An’am ayat 112.
8 Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 73.
7
B. Kehidupan Manusia Sebagai Khalifah
Manusia sebagai mahluk yang mulia, menempati posisi yang istimewa
yang diberikan Allah di muka bumi ini. Keistimewaan manusia ini terlihat dari
fungsi yang diberikan Allah kepadanya yakni sebagai Khalifah Allah di bumi.
FirmanNya dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 309:
Artinya: “Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat
“sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang Khalifah di muka bumi
…. (Qs. Al-Baqarah [2]:30).
Dari ayat tersebut terlihat bahwa manusia diberi kekuasaan untuk
mengolah dan memakmurkan alam ini dalam rangka beribadah kepada Allah
SWT, sehingga akan membedakannya dengan mahluk lain dalam kedudukan
dan tanggung jawab. Konsekuensi dari kedudukan dan tanggung jawab tersebut,
manusia akan diminta pertanggungangjawaban atas segala amal yang
dilakukannya dimuka bumi ini sebagai Khalifah Fil Ardh.
Makna kata Khalifah artinya “pengganti”. Ar-Ragib al-Asfahani, dalam
Mu’jam Mufradat fi Gharibil Quran, menjelaskan bahwa menggantikan yang
lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama
yang digantikannya maupun sesudahnya. Lebih lanjut, Al-Asfahani
menyebutkan bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di
tempat, kematian atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga
akibat penghormatan yang diberikan kepada orang yang menggantikan”.10
9 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Syaamil Alquran, PT. Sygma
Exmedia Arkaleema, Bandung, 2007. 10 Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer, Abosulte, Yogyakarta, 2010, hlm. 17.
8
Menurut Ahmad Hasan Firhat, seperti dikutip Samsul Nizar
menyebutkan bahwa kedudukan kekhalifahan manusia dapat dibedakan dalam
dua bentuk, yaitu khalifah kauniyat dan khalifah syariat. Khalifah kuaniyat
mencakup wewenang manusi secara umum yang telah dianugerahkan Allah
SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi
kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian wewenang
Allah kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemakmuran yang bersifat
umum tanpa dibatasi oleh agama atau keyakinan apa yang dia akui. Artinya,
label kekahalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai
penguasa alam semesta.11
Bila dimensi ini dijadikan standar dalam melihat predikat manusia
sebagai Khalifah Fil Ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan
kehidupan manusia dalam alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan
mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhailifahannya tanpa
kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai ilahiyah.
Akibatnya, keberadaannya di muka bumi bukan lagi sebagai pembawa
kemakmuran, namun cenderung berbuat mafsadah dan merugikan mahluk
Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat
tatkala Allah mengutakarakan keinginanNya mahluk yang bernama manusia.
Khalifah syari’at meliputi wewenang Allah yang diberikan kepada
manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja untuk melaksanakan
tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah, secara khusus ditujukan kepada
orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan, agar dengan keimanan yang
dimilikinya, mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme
alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang telah digariskan Allah
SWT lewat ajaranNya. Dengan prinsip ini manusia, akan senantiasa berbuat
kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.12
11 Hamid Mowlana, Masyarakat Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda Politik, Shdra
Press, 2010, hlm 34. 12 Budhy Rahman Munawar, Membaca Nurcholish Majid, Islam dan Pluralisme,
Democary Project, Jakarta, 2011, hlm. 39.
9
Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan Islam, maka
dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai
dengan nilai-nilai Ilahiyah, pendidikan yang ditawarkan harus mampu
memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai
Ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan menjadi panduan baginya dalam
melaksanakan amanat Allah SWT di muka bumi. Kekosongan akan nilai-nilai
religius, akan mengakibatkan manusia bebas kendali dan berbuat
sekehendaknya. Sikap yang demikian akan berimplikasi timbulnya nilai-nilai
egoistis yang bermuara kepada timbulnya sikap angkuh dan sombong pada diri
manusia. Sikap ini akan berbias kepada tumbuhnya sikap memandang rendah
orang lain. Manusia di luar dirinya adalah alat yang bisa dikorbankan untuk
mencapai tujuan yang diinginkannya. Jika ini terjadi, pada waktu yang sama,
nilai-nilai sakral kemanusiaan manusia telah tercampak dan sekaligus
menumbuhkan cikal bakal mafsadah di muka bumi ini.13 Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(dengan sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Lukman [31]:18).
Berpijak pada penjelasan dan ayat di atas, dipahami bahwa untuk
menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, tugas
dan fungsi manusia sebagai khalifah tidaklah bisa diartikan secara umum, akan
tetapi dapat dilihat dalam konteks khalifah syar’iyyah. Sebab, hanya dengan
13 Nizar Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media
Pratama, Jakarta, 2001, hlm. 21.
10
predikat inilah manusia dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sesuai
dengan amanat Allah yang diberikan kepadanya.14
Uraian di atas, secara implisit memberikan gambaran bahwa dalam
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, manusia dihadapkan pada beberapa
konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan15, yaitu:
1. Senantiasa taat, tunduk dan patuh, serta berpegang teguh pada ajaran-
ajaranNya.
2. Mempersiapkan diri dengan seperangkat ilmu pengetahuan yang
menopang terlaksananya tugas dan fungsinya sebagai Khalifah Fil Ardh
secara optimal. Ilmu yang dimaksud, meliputi ilmu agama sebagai
indikator dalam bertindak, maupun ilmu-ilmu kealaman lainnya dalam
upaya menerjemahkan ayat-ayat Allah (baik quraniyah maupun
kauniyah) bagi terwujudnya kemaslahatan umat manusia.
3. Bertanggung jawab terhadap amanat yang diberikan Allah SWT
kepadanya, dengan cara memelihara serta memanfaatkan alam semesta
beserta isinya bagi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia,
sekaligus sebagai sarana ibadah kepada Khaliqnya, sesuai dengan
kemampuan mereka masing-masing.
4. Dengan diserahkannya predikat khalifah syar’iyyah kepada manusia,
maka akan terpeliharalah amanat yang diberikan Allah kepadanya
dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian nilai-nilai kemanusiaan
manusia pada derajat yang tinggi akan terjaga dengan baik sesuai
dengan potensi yang dimilikinya.
14 Munzir Hatami, Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan, PT.
LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 74. 15 Munzir Hatami, Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan, PT.
LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 76.
11
C. Manusia Sebagai Khalifah Fil Ardh Dalam Implementasi Kehidupan Sosial
Bermasyarakat
Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda
dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan selain
sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan
alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan
di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang
pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena
itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh
kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan
pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai
identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya
masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu
haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling
membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi
kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara
para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan kenal-
mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Sejarah umat manusia menunjukkan mata rantai yang panjang di mana
berbagai kejadian selalu muncul. Jika kemudian selalu lahir orang-orang besar,
orang-orang yang mampu menangkap kehendak sejarah dan berperan besar di
dalamnya, maka hal itu tak terlepas dari sejarah itu sendiri. Sang pemimpin
selalu muncul, dia ada di depan untuk mengarahkan masyarakat akan harapan
hari depan. Dia mampu menangkap sesuatu yang menjadi keresahan
masyarakat dan sekaligus memberikan harapan akan hari depan.
Sejarah munculnya Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dan
pelopor orang-orang Arab (dan kemudian dunia) yang kemudian dikenal
sebagai orang besar dalam sejarah dunia. Beliau memberikan jawaban dan
mengarahkan masyarakat bergerak untuk menjawab berbagai macam
kontradiksi yang ada, yang oleh banyak orang dikenal sebagai zaman
12
jahiliyah.16 Sejarah tersebut dapat dijadikan motivasi dan renungan bagi kita
sebagai umat Islam untuk menyongsong masa depan.
Dalam untaian khazanah perkembangan ilmu pengetahuan dunia Islam,
berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat dan individu yang ada
di dalamnya, telah mendapatkan perhatian yang besar. Hal tersebut dapat dilihat
di dalam beberapa karya besar ilmuwan muslim yang berbicara tentang
masyarakat, negara, politik, pemerintahan, dan lain sebagainya. Sayangnya,
ketika disiplin yang berkaitan dengan hal tersebut berkembang dan mewujud
dalam disiplin sosiologi serta menjadi semakin krusial keberadaannya dalam
ranah praktis, para ilmuwan muslim kontemporer justru sedikit sekali yang
dapat memberikan kontribusi signifikan yang mewarnai sosiologi
kontemporer.17
Pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadi manusia dan
kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tiada sesuatupun yang
berharga selain kemerdekaan itu.18 Di sisi lain, kehidupan manusia secara fitri
bersifat kemasyarakatan yang hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu
dengan dunia sekitarnya. Kebutuhan, keuntungan, kepuasan, karya dan kegiatan
manusia tidak mungkin terpenuhi dengan baik tanpa berada di tengah
sesamanya dalam suatu perangkat tradisi dan sistem tertentu.
Masyarakat merupakan senyawa sejati, sebagaimana senyawa ilmiah,
yang bersintesis dalam kebudayaan, bukan kefisikan. Kemudian yang disintesis
adalah jiwa, pikiran dan hasrat manusia yang memasuki kehidupan
bermasyarakat. Dengan karunia-karunia yang diperoleh dari alam dan
kemampuan-kemampuan bawaan mereka, secara kejiwaan melebur untuk
mendapatkan suatu identitas baru, yaitu jiwa kemasyarakatan. Sintesis ini
bersifat alamiah, unik dan khas. Unsur-unsur individu dan masyarakat saling
16 Munzir Hatami, Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan, PT.
LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 103. 17 Hamid Mowlana, Masyarakat Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda Politik, Shdra
Press, 2010, hlm 47. 18 Hamid Mowlana, Masyarakat Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda Politik, Shdra
Press, 2010, hlm 48.
13
memengaruhi dan diubah oleh pengaruh timbal balik untuk mendapakan suatu
kepribadian baru.19
Namun, suatu bentuk dan identitas baru ini tidak mengubah kejamakan
perseorangan menjadi suatu ketunggalan. Sintesis tidak menjadikan manusia
tunggal, suatu entitas kefisikan yang di dalamnya seluruh inividu terlebur secara
fisikal. Masyarakat yang diartikan sebagai suatu entitas tunggal kefisikan
hanyalah sebuah abstraksi rekaan. Individu yang merupakan salah satu unsur
pembentuk masyarakat selain alam dan sistem sebagai ikatan kemanusiaan tetap
merdeka dalam berfikir dan berkehendak secara perseorangan. Keberadaan
individu mendahului masyarakatnya.
Pertanggungjawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan
memiliki dua dimensi, pelaku (sebab-aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh
pelaku (sebab-akhir). 20 Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi
ketiga, berupa saran dan peluang yang diberikan untuk terjadinya tindakan
tersebut menjadi tindakan kolektif. Masyarakat adalah pihak yang memberikan
landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Untuk itu, ia
menjadi catatan amal suatu bangsa di hari akhir.
Tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur
orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan
adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk lain, adalah
diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Maha kuasa, dan tak seorang
pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin
pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan
anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak
Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain
melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk
memerintah dan menolak siapapun dan apapun hanyalahTuhan Yang Maha
19 Hamid Mowlana, Masyarakat Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda Politik, Shdra
Press, 2010, hlm 49. 20 Hamid Mowlana, Masyarakat Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda Politik, Shdra
Press, 2010, hlm 50.
14
Esa. Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak sesuai
dengan hukum-hukumNya.
Islam tidak hanya menekankan pentingnya kehidupan sosial, bahkan
menganggap perhatian pada permasalahan sosial dan perjuangan bagi
kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban. Tidak peduli pada
permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa besar.
Agar tercipta keteraturan sosial, diperlukan suatu hukum dalam
kehidupan sosial, karena tak ada masyarakat yang bisa bertahan hidup tanpa
adanya peraturan dan ketentuan sosial. Tujuan hukum bukan hanya untuk
menciptakan peraturan dan disiplin sosial, namun lebih dari itu adalah untuk
menjaga keadilan sosial.
Dalam perpsektif Islam, hukum-hukum sosial harus bisa
mempersiapkan landasan dan kondisi yang mendukung perkembangan spiritual
dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paling tidak, hukum-hukum sosial tidak
boleh bertentangan dengan perkembangan spiritual. Bahkan jika suatu hukum
bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan kemalangan abadi
bagi manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa diterima, bahkan
jika hukum tersebut diterima oleh mayoritas.
Teori yang berlaku di kebanyakan masyarakat dewasa ini adalah bahwa
hukum harus disahkan dan disepakati oleh masyarakat itu sendiri, atau wakil-
wakil mereka. Karena konsensus dari semua anggota masyarakat maupun dari
semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil terjadi, maka pendapat
mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu) merupakan kriteria validitas
hukum tersebut.
Dari sudut pandang Islam, hukum-hukum harus disahkan sedemikian
rupa sehingga bisa memberikan manfaat bagi anggota masyarakat, khususnya
bagi mereka yang ingin meningkatkan diri dan ingin memperoleh kebahagiaan
abadi. Jelas bahwa hukum semacam itu harus disahkan oleh seseorang yang
memiliki pengetahuan yang memadai tentang manfaat yang sejati dan
sesungguhnya bagi manusia, dan yang kedua, yang tidak mengorbankan
manfaat bagi orang lain demi kepentingannya pribadi dan nafsu yang sia-sia.
15
Jelas bahwa tak ada yang lebih bijaksana daripada Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang tidak memiliki kepentingan atas hamba-hambaNya atau sesuatu
yang mereka lakukan, dan yang telah menetapkan ketentuan ketuhanan hanya
demi memberikan manfaat bagi hamba-hambaNya itu. Tentu saja, hukum-
hukum sosial yang digambarkan dalam kitab-kitab yang diturunkan dari langit
itu tidak secara eksplisit menyatakan semua ketentuan sosial yang berlaku di
semua tempat dan waktu melainkan sekadar memberikan kerangka umum yang
bisa menjadi sumber penetapan peraturan yang diperlukan, berkaitan dengan
perbedaan waktu dan tempat.
Islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain,
membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah
penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya
penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah.
Jelas bahwa ada dua kualifikasi fundamental bagi mereka yang bertugas
menerapkan hukum, terutama bagi yang berada di puncak piramida kekuasaan:
pertama, pengetahuan yang memadai dari hukum tersebut untuk
menghindari penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan; dan yang
kedua, kontrol pribadi atas kehendaknya untuk mencegah keinginan yang
disengaja untuk menerapkan hukum secara salah. Dalam termonologi religius,
orang seperti ini disebut sebagaimaksum (terjaga dari dosa). Semua umat Islam
percaya pada kemaksuman Nabi Muhammad SAW.21
Di sisi lain, kita mengetahui bahwa kecuali bagi para nabi tidak ada
orang lain yang secara khusus ditunjuk oleh Tuhan untuk menjalankan hukum
dan untuk memerintah. Jadi, manusia harus berusaha untuk menemukan orang-
orang yang sebisa mungkin menyerupai para nabi, yang kemudian lebih dikenal
dengan istilah manusia sempurna (insan kamil).
21 Munzir Hatami, Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan, PT.
LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 103.
16
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
1. Secara konseptual-doktrinal telah diketahui bahwa Islam adalah agama
yang membawa ajaran yang menyeluruh dan paripurna bagi kelangsungan
hidup manusia di dunia. Dari sekian macam ajaran Islam, esensi ajaran
Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara universal yang
berpihak kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan
mengedepankan kedamaian, menghindari pertentangan dan perselisian,
baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak
bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat
manusia secara universal dengan tidak mengenal suku, bangsa dan agama.
2. Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh
syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah.
Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak
boleh dicampuri pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat
bersatu dalam kerjasama yang baik. Selanjutnya mengenai keadilan
ekonomi adalah aturan main (rules of the game) dalam ajaran Islam dapat
dipaparkan dalam beberapa hal. Pertama, seluruh anggota masyarakat mesti
memperoleh kesejahteraan yang memadai. Kedua, perbedaan dalam hal
pendapatan hendaknya bukan terjadi akibat praktik diskriminasi dalam
undang-undang dan kesempatan memperoleh fasilitas dan kesempatan.
Selain itu, kalangan kaya hendaknya menunaikan tugas dan kewajibannya
terkait hak kaum miskin dan hak pemerintahan Islam. Dalam sistem
ekonomi Islam, kemajuan jangan sampai berakibat buruk pada
pendistribusian kekayaan secara adil. Sebab kemajuan dan pertumbuhan
ekonomi tak lain adalah sarana untuk mewujudkan keseimbangan dan
keadilan ekonomi.
17
3. Tujuan akhir dari esensi manusia sebagai Khalifah Fil Ardh dan
kemasyarakatan adalah untuk menciptakan manusia muslim yang paripurna
dalam konsep al-insan dan al-kamil, yaitu manusia yang selalu istiqamah
dan kontinium terampil dalam memfungsikan daya jasmani dan rohani
mereka untuk selalu tunduk dan patuh kepada Allah SWT.
B. Saran
1. Dalam rangka meningkatkan peran esensi ajaran Islam tentang khalifah fil
ardh dalam implementasi kehidupan sosial bermasyarakat harus
meningkatkan kemampuan bakat dan minatnya dalam kehidupan sehari-
hari.
2. Sebaiknya para membaca harus memahami dirinya sebagai khalifah
sehingga dapat mengimplementasikan kebenaran ilmu pengetahuan yang
menopang terlaksananya tugas dan fungsinya sebagai Khalifah Fil Ardh
secara optimal dalam kehidupan sehari-harinya.
3. Diharapkan para pembaca dapat mengimplemtasikan tujuan akhir dari
esensi manusia sebagai Khalifah Fil Ardh dan kemasyarakatan yakni untuk
berusaha menjadi manusia muslim yang paripurna dalam konsep al-insan
dan al-kamil.
iii
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Abduh, Syekh Muhammad. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.
Abuddin, Nata. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Buku Saku LK I Komisariat Hukum Unpas. 2015. Bandung: Komisariat Hukum
Unpas.
Departemen Agama RI. 2007. Alquran dan Terjemahannya, Syaamil Alquran,
Bandung: PT. Sygma Exmedia Arkaleema.
Hatami, Munzir. 2009. Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul Sebagai Agen
Perubahan. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta.
Majid, Nurchlish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Pramadina.
Maulana, Achmad. 2010. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Abosulte.
Mowlana, Hamid. 2010. Masyarakat Madanai, Konsep Sejarah dan Agenda
Politik. Shdra Press.
Munawar, Budhy Rahman. 2011. Membaca Nurcholish Majid, Islam dan
Pluralisme. Jakarta: Democary Project.
Samsul, Nizar. 2001. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam.
Jakarta: Gaya Media Pratama.