Download - Keto Kona Zol
1
BAB I
PENDAHULUAN
Ketokonazol adalah senyawa sintetik turunan imidazol yang memiliki efek
antijamur dengan spektrum luas. Golongan imidazol ditemukan setelah tahun
1960, bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol jamur yang
mengakibatkan timbulnya defek pada memberan sel jamur. Tergantung pada
konsentrasi obat, azol dapat bersifat fungistatik atau fungisid. 1
Obat anti jamur golongan azol seperti Klotrimazol, ketokonazol, ekonazol,
oksikonazol, sulkonazol dan mikonazol, mempunyai kemampuan mengganggu
kerja enzim sitokrom P-450 lanosterol 14-α-demethylase yang berfungsi sebagai
katalisator untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Pada konsentrasi
tinggi, azol menyebabkan K+ dan komponen lain bocor keluar dari sel jamur.1
Ketokonazol diperkenalkan untuk pertama kali pada tahun 1981.
Ketokonazol merupakan antijamur golongan imidazol yang pertama diberikan
secara oral. Selama hampir satu dekade merupakan satu-satunya agen oral yang
tersedia untuk pengobatan infeksi jamur sistemik.2
1.2 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang Obat Ketokonazol yang
ditinjau dari pengertian, mekanisme kerja, aktifitas spektrum, farmakokinetik,
indikasi/kontraindikasi, dosis, bentuk sediaan, efek samping dan interaksi obat
sehingga diharapkan mampu menambah wawasan dan pemahaman bagi pembaca
yang ingin mengetahui lebih dalam tentang Ketokonazol.
2
BAB II
ISI
II. 1. Mekanisme Kerja
Ketokonazol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan
sterol utama untuk mempertahankan integritas memberan sel jamur. Bekerja
dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P-450, C-14-α-demethylase yang
bertanggung jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol. Akibatnya terjadi
gangguan fungsi berbagai enzim yang terikat pada membran sel jamur dan terjadi
hambatan pertumbuhan sel jamur. Mungkin juga terjadi gangguan sintesis asam
nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel sehingga merusak sel jamur. 3,4
Struktur Kimia Ketokonazol2
II. 2. Aktifitas Spektrum
Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap
Blastomyces dermatitis, Cryptococcus neoformans, Sporothrix spp, Candida
spesies, Coccidiodes imuritis, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur,
Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi
tidak efektif terhadap Aspergilus spesies dan Zygomycetes.5,6
3
II. 3. Farmakokinetik
Ketokonazol bisa diberikan peroral atau topikal. Ketokonazol merupakan
antijamur sistemik per oral yang diserap baik melalui saluran cerna dan
menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk menekan aktifitas berbagai jenis
jamur. Setelah pemberian oral, obat ini terdistribusi di dalam saliva, tulang, cairan
pleura, peritoneum, sinovia dan humor aquos. Penetrasi ke LCS buruk, hanya 5%
dari kadar plasma.5,7
Ketokonazol yang diberikan per oral, mempunyai bioavailabilitas yang
luas antara 37%-97% di dalam darah. Puncak waktu paruh yaitu 2 jam dan
berlanjut 7-10 jam. Ketokonazol mempunyai daya larut yang optimal pada pH
dibawah 3 dan akan lebih mudah diabsorbsi. Bioavailabilitas ketokonazol
menurun sampai 20-40% bila diberikan bersama makanan dan
akan lebih menurun apabila pH lambung meningkat. Penurunan
atau rendahnya absobsi dapat terjadi pada pasien AIDS karena
akloridia dan kelainan patologi lain yang merubah saluran
pencernaan. Kadar puncak dalam serum 3.4 ± 0.3 mg/L (6.4 ± 0.6
_mol/L) tercapai setelah pemberian dosis 200mg bersama dengan makanan. Vd
diperkirakan menjadi 0.36 ± 0.1 L/kg dengan dosis tunggal, meningkat menjadi
2.4 ± 1.6 L/kg selama terapi jangka panjang. Clearance diperkirakan menjadi 0,5
± 0,25 L/hr/kg selama terapi jangka panjang. t1/2. 8.7 ± 0.2 jam setelah pemberian
dosis tunggal, meningkat sampai 3.3 ± 1 jam selama terapi jangka panjang.5,8
Diperlukan keasaman lambung untuk melarutkan dan arbsobsi obat ini
yang terjadi di saluran cerna, penyerapan melalui saluran cerna akan berkurang
4
pada penderita dengan pH lambung yang tinggi, pada pemberian bersama
antagonis- H2 atau bersama antasida.5,9
Pasien yang menderita akloridia, harus mengkonsumsi ketokonazol
bersama dengan cairan yang asam dan pada pasien yang mendapat obat-obat
seperti antasid, antikolinergik, antiparkinson, dan antagonis H2 reseptor, sebaiknya
mengkonsumsi ketokonazol 2 jam sebelumnya oleh karena dapat mengurangi
absorbsi ketokonazol.8,9
Distribusi Ketokonazol 84% berikatan dengan protein plasma, terutama
fraksi albumin, 15 % berikatan dengan sel darah, dan 1% dalam bentuk bebas.
Hanya proporsi tertentu yang mencapai cairan serebrospinal. Kadar plasma
menurun secara biekspotensial, dengan waktu paruh distribusi sekitar 2 jam
diikuti dengan waktu paruh eliminasi 8 jam.10,11
Pada metabolismenya, didapatkan alur mekanisme metabolik yang sering
terjadi adalah oksidasi dan degradasi imidazol dan cincin piperazin, oksidatif,
dealkylasi, dan aromatic hydroxylation. Hal ini dikonversi ke berbagai metabolik
inaktif. Ketokonazol dimetabolisme secara ekstensif oleh hati. Rifampisin
menginduksi pelepasan enzim mikrosom yang meningkatkan oksidasi
ketokonazol. Siklosporin, terfenadin, dan astemizol menggangu metabolisme
enzim, yang menyebabkan peningkatan konsentarasi plasma ketokonazol. Diduga
sebagian besar ketokonazol diekskresi bersama cairan empedu ke lumen usus dan
hanya sebagian kecil yang keluar bersama urin. Insufisiensi ginjal tidak
5
berpengaruh pada waktu paruh, tetapi waktu paruh memanjang pada pasien
dengan insufisiensi hati.8,11
Ketokonazol mempunyai distribusi yang luas melaui urin, saliva, sebum,
kelenjar keringat eccrine, serebrum, cairan pada sendi, dan serebrospinal fluid
(CSF). Namun, ketokonazol 99% berikatan dengan plasma protein sehingga level
pada CSF rendah.8,10
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai
keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat eccrine. Penghantaran akan
menjadi lebih lamabat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4
minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari
setelah obat dihentikan.7,10
Ketokonazol dimetabolisme di hati dan diubah menjadi metabolit yang
tidak aktif dan diekskresi bersama empedu ke dalam saluran pencernaan.
Gangguan ginjal dan faal hati yang ringan tidak mempengaruhi kadarnya dalam
plasma. Pada tahap eliminasi diperkirakan 13% dosis yang diberikan
diekskresikan di urin. Rute eksresi umum melalui saluran empedu hingga saluran
pencernaan. Eliminasi plasma adalah bifasik dengan waktu paruh hingga 2 jam
selama 10 hari pertama dan waktu paruhnya berkisar antara 8-10 jam.5,7
II. 4. Indikasi dan Kontraindikasi
Antijamur golongan imidazol diindikasikan untuk pengobatan topikal,
vagina dan infeksi sistemik. Ketokonazol oral diindikasikan untuk terapi
dermatofitosis (termasuk yang resisten terhadap griseofulvin), pitriasis versikolor,
6
kutaneous kandidiasis, thrush (kandidiasis faringeal), sedangkan bentuk sediaan
foam/gel digunakan untuk seborrhoic dermatitis pada pasien dewasa dan anak-
anak 12 tahun ke atas yang imunokompeten. Untuk pengobatan infeksi jamur
pada kulit digunakan ketokonazol 1-2% krim, dosis dan lamanya pengobatan
tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan
dioleskan sekali sehari, sedangkan pengobatan seboroic dermatatitis dioleskan 2
kali sehari. Untuk pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan ketokonazol 2%
shampo dioleskan sekali sehari selama 5 hari sedangkan untuk pengobatan
dandruff digunakan ketokonazol 1% shampo sebanyak 2 kali seminggu lebih
kurang 8 minggu.4,7
Ketokonazol tidak boleh digunakan pada pasien dengan infeksi jamur di
memberan otak (fungal meningitis) dan semua pasien yang alergi dengan salah
satu zat pada tablet ketokonazol. Jika pasien dalam pengobatan menggunakan
aldosteron bloker (contohnya: eplerennone), astemizole, cisapride, conivaptan,
dofetilide, ergot alkaloid (contohnya ergotamin), eritromisin, midazolam,
nevirapin, pimozide, quinazolin (contohnya alfuzosin), quinidine, rifabutin,
rifampin, terfenadine, triazolam, atau 5-HT reseptor agonis (contohnya eletriptan),
maka ketokonazol tidak boleh digunakan secara bersamaan.6,9
II. 5. Dosis dan Penggunaan Klinik
Dosis ketokonazol yang diberikan pada orang dewasa 200 mg/hari, dosis
tunggal dan untuk kasus yang serius dapat ditingkatkan hingga 400 mg/hari,
sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB, dosis tunggal. Untuk anak
berusia < 2 tahun, pemberian ketokonazol peroral tidak direkomendasikan. Untuk
7
pasien berusia tua pemberian dosis sama dengan orang dewasa. Khusus untuk
kandidiasis vagina, dosis dewasa adalah 400 mg/hari selama 5 hari. Lama
pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2-4 minggu, tinea
versikolor selama 5-10 hari, sedangkan untuk tinea kapitis dan onikomikosis
biasanya tidak direkomendasikan.4,8,11
II. 6. Bentuk Sediaan
ketokonazol tersedia dalam bentuk tablet 200mg, gel/krim 2%, scalp
solution 20 mg/ml, bentuk sampo.11
II. 7. Efek Samping
Anoreksis, pruritus mual dan muntah merupakan efek samping yang sering
dijumpai. Efek samping yang lebih jarang adalah sakit kepala, vertigo, nyeri
epigastrik, fotofobia, parestesia, gusi berdarah, erupsi kulit, dan trombositopenia.
Ketokonazol juga dapat menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan tetapi
kerusakan hepar yang serius jarang terjadi. Peninggian tranaminase sementara
dapat terjadi pada 5-10% pasien. Efek samping yang serius dari hepatotoksik
adalah idiosinkratik dan jarang ditemukan yaitu 1:10000 dan 1:15000, biasanya
dijumpai pada pasien yang mendapatkan pengobatan lebih dari 2 minggu. Untuk
pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi
hati. hepatotoksisitas berat lebih sering terjadi pada wanita > 40 tahun dan yang
menggunakan obat ini untuk jangka lama.8,9,11
Dosis tinggi ketokonazol (>800 mg/hari) dapat menghambat sintesis
human adrenal dan testikular steroid yang dapat menimbulkan alopesia,
8
ginekomasti dan impoten, penurunan libido atau oligospermia dapat terjadi pada
pria. Karena ketokonazol menghambat aktivitas sitokrom P-450, maka sintesis
testosteron gonsd dan androgen adrenal juga dapat terhambat. Hal ini
mengakibatkan peningkatan kadar LH dan FSH dalam serum. Dosis 600-800 mg
sehari menghambat steroidogenesis adrenal pada tahap 11-hidroksilsdi proses
sintesisnya. Ketokonazol juga menghambat deposisi metilprednisolon, prednison,
dan prednisolon dengan menghambat 6-hidroksilase. Akibatnya efek supresi
adrenal kortikosteroid ini memanjang. Ketokonazol juga menghambat sintesis
kortisol endogen.5,8
Ketokonazol dapat menyebabkan pusing atau drowsiness. Efek-efek ini
dapat memburuk jika digunakan bersamaan alkohol atau obat tertentu. Meskipun
jarang ketokonazol dapat menyebabkan reaksi alergi berat setelah dosis pertama
diberikan. Gejala-gejala yang terjadi adalah kesulitan bernafas, rasa sesak di dada,
edem palpebra, wajah atau bibir disertai rash kulit. Ketokonazol bersama alkohol
juga dapat menyebabkan gejala yaitu, memerahnya kulit, bengkak, rash pada
tangan dan kaki, mual dan sakit kepala. Pada penggunaan topikal, efek
sampingnya bisa berupa iritasi, pruritus, dan rasa terbakar.10,11
United States FDA (food and drug administration) berdasrkan risiko obat
terhadap sistem reproduksi, kemungkinan timbulnya efek samping, dan
perbandingan besarnya faktor risiko dengan manfaat yang diperoleh. Kategori A
hingga X bukan mengimplikasikan peningkatan risiko. Obat yang termasuk
kategori D, X, dan C (beberapa), mungkin memiliki risiko yang hampir sama,
tetapi memiliki kategori berbeda berdasarkan besarnya perbandingan risiko dan
9
manfaatnya. Obat ketokonazol termasuk kategori C: studi pada binatang
percobaan memperlihatkan adanya efek samping pada janin (teratogenik atau
embriosidal atau efek samping lainnya) dan belum ada studi terkontrol pada
wanita, atau studi terhadap wanita dan binatang percobaan tidak dapat dilakukan.
Obat hanya dapat diberikan jika manfaat yang diperoleh melebihi besarnya risiko
yang mungkin timbul pada janin.12
Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil, karena pada tikus
dosis 80 mg/kgBB/hari menimbulkan cacat pada jari fetus hewan coba.5
II. 8. Interaksi Obat
Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti pada
antasid, antikolinergik, dan H2-antagonis sehingga sebaiknya obat ini diberikan
setelah 2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu
paruh seperti terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga sebaiknya tidak
diberikan bersamaan dan juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskuler
seperti pemanjangan Q-T interval dan torsade de pointes. Selain itu, bila
digunakan bersama terfenadin ada risiko aritmia jantung. Ketokonazol mungkin
jangan dikombinasikan dengan amfoterisin B karena ketokonazol mengganggu
sintesis ergosterol.6,9,11
Ketokonazol dapat menggangu clearance dan meningkatkan efek sistem
saraf pusat dari beberapa benzodiazepin yang dimetabolisme CYP3A isoform,
termasuk triazolam, midazolam, dan alprazolam. Ketokonazol adalah inhibitor
10
CYP3A yang poten dengan konstanta inhibisi (Ki) secara umum menurun dalam
rentang satuan nanamolar. Ketokonazol juga dapat meningkatkan level
siklosporin dan konsentrasi serum dari warfarin. Pemberian ketokonazol bersama
rifampicin dapat menurunkan efektifitas ke dua obat.1,10
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Brennan B, Leyden JJ. Overview of topical therapy for comman superficial fungal infections and the role of new topical agents. Journal of the American Academy of Dermatology. 1997.
2. Mcginnis Michael R, Pfaller Michael A, Anaissie Elias J. Antifungal therapy. In: Clinical Mycology. Churcil livingstone. 2009.
3. Yu Lu, et all. Transcriptional Profiles of the Response to Ketoconazole and Amphotericin B in Trichophyton rubrum. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, Jan. 2007, p. 144–153 Vol. 51
4. Kuswadji. Widary S. Obat Anti Jamur. Dalam: Budimulja U. Kuswadji, Bramono K editor. Dermatomikosis Superfisialis. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia. Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS Indonesia. 2001.
5. Bahry, Bahroelim. Setiabudy R. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1995.
6. Kwon-Chung KJ, Bennet JE. Principles of Antifungal Therapy. In : Medycal Mycology, Phladelphia London. 1992.
7. Dumansari, Ramona, Dr. Sp.KK. Pengobatan Dermatomikosis. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. 2008.
8. Philip O. Anderson, James E. Knoben, William G.Troutman. Handbook Of Clinical Drugs Data. Tenth edition. McGraw-Hill Companies. Amerika. 2002.
9. Jawetz E. Antifungal agent. In: Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. Sixth edition. Appleton & Lange. 1995.
10. Como J. Dismuskes WE. Azole Antifungal Drugs In: Dismukes W, Pappas PG, Sobel JD. Clinical Mycology. Oxford University Press. 2003.
11. Bakhriansyah M, biworo agung, yasmina alfi, joharman. Diktat Kuliah Farmakologi II. Edisi 2. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Banjarbaru. 2006
12. MIMS Edisi Bahasa Indonesia petunjuk konsultasi Volume 8 2008/2009. Jakarta: PT. Info Master. 2009
12
13. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Jakarta: CV. Sagung Seto, 2000