KEANEKARAGAMAN DAN POTENSI BAKTERI
LAHAN RAWA PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN
DAN LAHAN RAWA LEBAK SUMATRA SELATAN
MUHAMMAD FARHAN SYAH
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M / 1442 H
KEANEKARAGAMAN DAN POTENSI BAKTERI
LAHAN RAWA PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN
DAN LAHAN RAWA LEBAK SUMATRA SELATAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
MUHAMMAD FARHAN SYAH
11170950000018
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M / 1442 H
i
KEANEKARAGAMAN DAN POTENSI BAKTERI
LAHAN RAWA PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN
DAN LAHAN RAWA LEBAK SUMATRA SELATAN
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
MUHAMMAD FARHAN SYAH
11170950000018
Menyetujui,
Pembimbing I
Dr. Nani Radiastuti, M.Si.
NIP. 19650902 200112 2 001
Pembimbing II
Dr. Dwi Ningsih Susilowati, S.TP., M.Si.
NIP. 19710517 199903 2 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Priyanti, M.Si.
NIP. 19750526 200012 2 001
ii
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “Keanekaragaman dan Potensi Bakteri Lahan Rawa Pasang Surut
Kalimantan Selatan dan Lahan Rawa Lebak Sumatera Selatan” yang ditulis oleh
Muhammad Farhan Syah, NIM 11170950000018 telah diuji dan dinyatakan
LULUS dalam sidang Munaqasah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Agustus 2021. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata
Satu (S1) Program Studi Biologi.
Menyetujui,
Penguji I Penguji II
Narti Fitriana, M.Si. Ir. Etyn Yunita, M.Si.
NIDN. 0331107403 NIP. 19700628 201411 2002
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Nani Radiastuti, M.Si Dr. Dwi Ningsih Susilowati, S.TP., M.Si
NIP. 19650902 200112 2 001 NIP. 19710517 199903 2001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi
Nasrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D Dr. Priyanti, M.Si
NIP. 19710608 200501 1 005 NIP. 19750526 200012 2 001
iii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
JAKARTA, JULI 2021
MUHAMMAD FARHAN SYAH
11170950000018
iv
ABSTRAK
Muhammad Farhan Syah. Keanekaragaman dan Potensi Bakteri Lahan
Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan dan Lahan Rawa Lebak Sumatra
Selatan. Fakultas Sains dan Teknologi. 2021. Dibimbing oleh Dr.Nani
Radiastuti, M.Si. dan Dr.Dwi Ningsih Susilowati, S.TP., M.Si.
Lahan rawa pasang surut dan lebak merupakan sumber daya lahan yang
berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Namun, diperlukan inovasi teknologi
pemanfaatan lahan rawa dengan memerhatikan keanekaragaman serta potensi
bakteri indigenous pada lahan tersebut. Penelitian ini bertujuan menganalisis jenis
dan potensi bakteri lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan (KS) dan lahan
rawa lebak Sumatra Selatan (SS) yang berperan penting meningkatkan kesuburan
lahan rawa untuk sektor pertanian. Keanekaragaman bakteri lahan rawa diamati
dengan teknik pengkulturan dan nonpengkulturan menggunakan shotgun
metagenomic sequencing serta dilakukan uji potensi bakteri penghasil hormon
Asam Indol Asetat (AIA), siderofor, dan 1-aminosiklopropana-1-karboksilat
(ACC Deaminase). Hasil isolasi dengan teknik pengkulturan diperoleh 3 isolat
bakteri lahan rawa pasang surut KS serta 8 isolat bakteri lahan rawa lebak SS
yang semuanya termasuk ke dalam filum Firmicutes. Analisis potensi
menunjukkan semua isolat bakteri mampu menghasilkan hormon AIA, siderofor,
dan ACC Deaminase. Hasil isolasi dengan teknik nonpengkulturan menunjukkan
sebanyak 4 filum bakteri teridentifikasi sebagai Proteobacteria (0,63%),
Actinobacteria (0,13%), Firmicutes (0,06%), dan Gemmatimonadetes (0,04%)
pada lahan rawa pasang surut KS, dan lahan rawa lebak SS diperoleh 5 filum
bakteri yaitu, Proteobacteria (0,3%), Actinobacteria (0,24%), Acidobacteria
(0,12%), Chloroflexi (0,08%), dan Gemmatimonadetes (0,04%). Bakteri yang
teridentifikasi pada kedua lahan rawa berperan penting meningkatkan kesuburan
tanah untuk sektor pertanian.
Kata kunci: Bakteri lahan rawa, lebak, pasang surut, shotgun metagenomic
sequencing
v
ABSTRACT
Muhammad Farhan Syah. Diversity and Potential of Bacteria in Tidal
Swamp Land in South Kalimantan and Lebak Swamp Land in South
Sumatra. Faculty of Science and Technology. 2021. Supervised by Dr.Nani
Radiastuti, M.Si. and Dr.Dwi Ningsih Susilowati, S.TP., M.Si.
Tidal and lowland swamps are land resources that have the potential to be used as
agricultural land. However, technological innovations in the use of swamp land
are needed by taking into account the diversity and potential of indigenous
bacteria on the land. This study aims to analyze the types and potential of bacteria
in the tidal swamp land of South Kalimantan (KS) and the lebak swamp land of
South Sumatra (SS) which play an important role in increasing the fertility of
swamp land for the agricultural sector. The diversity of swamp bacteria was
observed by culturing and non-cultivation techniques using shotgun metagenomic
sequencing and testing the potential of bacteria producing the hormones Indole
Acetic Acid (AIA), siderophores, and 1-aminocyclopropane-1-carboxylate (ACC
Deaminase). The results of the isolation by culturing techniques obtained 3
isolates of bacteria from the tidal swamp land of KS and 8 isolates of bacteria
from the lebak swamps of SS, all of which belong to the phylum Firmicutes.
Potency analysis showed that all bacterial isolates were able to produce AIA,
siderophores, and ACC Deaminase hormones. The results of the isolation using
non-cultivation techniques showed that as many as 4 bacterial phyla were
identified as Proteobacteria (0.63%), Actinobacteria (0.13%), Firmicutes
(0.06%), and Gemmatimonadetes (0.04%) in tidal swamp land KS , and the Lebak
SS swampland obtained 5 bacterial phyla namely, Proteobacteria (0.3%),
Actinobacteria (0.24%), Acidobacteria (0.12%), Chloroflexi (0.08%), and
Gemmatimonadetes (0.04 %). The bacteria identified in the two swamps played
an important role in increasing soil fertility for the agricultural sector.
Keywords: Swampland bacteria, swamp, tidal, shotgun metagenomic sequencing
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala karena atas rahmat dan
karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada semua makhluknya. Berkat
rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, penulis diberikan kemudahan dalam menulis
serta menyusun skripsi ini dengan judul “Keanekaragaman dan Potensi Bakteri
Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan dan Lahan Rawa Lebak Sumatra
Selatan” sebagai syarat mendapat gelar Sarjana Sains di Program Studi Biologi,
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan beberapa pihak. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Narti Fitriana, M.Si. selaku Sekertaris Program Studi Biologi, Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Nani Radiastuti, M.Si. selaku Dosen pembimbing I serta Dr. Dwi Ningsih
Susilowati, S.TP., M.Si. selaku Dosen Pembimbing II.
5. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si., Reno Fitri, M.Si., dan Arina Findo Sari,
M.Si. selaku Dosen Penguji Seminar Proposal dan Hasil Penelitian.
6. Narti Fitriana, M. Si., dan Etyn Yunita, M.Si. selaku Dosen Penguji Sidang
Skripsi
7. Kedua orang tua Bapak Iwan Bisri dan Ibu Taty Kuraesin yang selalu
memberikan dukungan baik berupa moril maupun materil.
8. Bapak Jajang dan Ibu Aminah selaku keluarga BB-Biogen yang telah
membantu dalam proses penelitian.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan
skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Jakarta, Agustus 2021
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3. Hipotesis ................................................................................................... 3
1.4. Tujuan ...................................................................................................... 4
1.5. Manfaat .................................................................................................... 4
1.6. Kerangka Berpikir .................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi dan Karakteristik Lahan Rawa di Kalimantan dan Sumatra ....... 6
2.2. Lahan Rawa Pasang Surut dan Lahan Rawa Lebak ................................. 7
2.3. Bakteri Lahan Rawa ................................................................................. 8
2.4. Potensi Bakteri dalam Sektor Pertanian ................................................... 9
2.5. Identifikasi Komunitas Bakteri .............................................................. 10
2.6. Shotgun Metagenomic Sequencing ........................................................ 11
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat ................................................................................. 14
3.2. Alat dan Bahan ....................................................................................... 14
3.3. Cara Kerja .............................................................................................. 14
3.3.1. Pengambilan Sampel Tanah ............................................................ 15
3.3.2. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah ............................................. 15
3.3.3. Isolasi dan Purifikasi Bakteri .......................................................... 16
3.3.4. Uji Gram KOH ................................................................................ 16
3.3.5. Identifikasi Bakteri Secara Molekuler dengan Teknik
Pengkulturan ................................................................................... 16
3.3.6. Uji Potensi Bakteri Penghasil AIA ................................................. 19
3.3.7. Uji Potensi Bakteri Penghasil Siderofor ......................................... 19
3.3.8. Uji Potensi Bakteri Penghasil ACC Deaminase ............................. 21
3.3.9. Identifikasi Komunitas Bakteri Secara Molekuler dengan Teknik
Nonpengkulturan ............................................................................ 22
3.4. Analisis Data .......................................................................................... 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
viii
4.1. Hasil Identifikasi Bakteri Secara Molekuler dengan Teknik
Pengkulturan .......................................................................................... 23
4.2. Hasil Uji Potensi Bakteri dalam Sektor Pertanian ................................. 24
4.2.1. Hasil Uji Bakteri Penghasil Hormon AIA ...................................... 24
4.2.2. Hasil Uji Bakteri Penghasil Bakteri Siderofor ................................ 26
4.2.3. Hasil Uji Bakteri Penghasil ACC Deaminase ................................. 28
4.3. Keanekaragaman Bakteri Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan
Selatan dan Lahan Rawa Lebak Sumatra Selatan .................................. 30
4.4. Hasil Data Pendukung Sifat Fisik dan Kimia Tanah ............................. 34
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN ...................................................................................... 39
5.2. SARAN .................................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 40
LAMPIRAN ......................................................................................................... 55
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perkiraan luas lahan rawa di Indonesia (BBSDLP, 2015) ........................ 7
Tabel 2. Lokasi pengambilan sampel tanah lahan rawa ........................................ 15
Tabel 3. Analisis homologi sekuen gen 16S rRNA isolat bakteri culturable
menggunakan program Blast-N .............................................................. 23
Tabel 4. Skrining bakteri penghasil siderofor pada media Fe-CAS agar .............. 26
Tabel 5. Skrining bakteri penghasil ACC Deaminase pada media DF dan DF
yang dimodifikasi.................................................................................... 29
Tabel 6. Jenis bakteri potensial pada lahan rawa pasang surut KS dan lahan
rawa lebak SS dengan teknik nonpengkulturan ...................................... 33
Tabel 7. Sifat fisik tanah lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan (KS) dan
lahan rawa lebak Sumatra Selatan (SS) .................................................. 35
Tabel 8. Sifat kimia tanah lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan (KS)
dan lahan rawa lebak Sumatra Selatan (SS) ........................................... 36
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian keanekaragaman dan potensi bakteri
lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan (KS) dan lahan rawa
lebak Sumatra Selatan (SS) .................................................................. 5
Gambar 2. Konsentrasi hormon AIA yang dihasilkan oleh 11 isolat bakteri
lahan rawa pasang surut KS dan lahan rawa lebak SS ....................... 25
Gambar 3. Pertumbuhan isolat bakteri penghasil siderofor pada media Fe-CAS
agar. A. Isolat bakteri penghasil siderofor ditandai dengan koloni
berwarna oranye ................................................................................. 27
Gambar 4. Pertumbuhan bakteri penghasil ACC Deaminase. A. Pertumbuhan
bakteri di media DF; B. Pertumbuhan bakteri di media DF +
amonium sulfat; C. Pertumbuhan bakteri di media DF + ACC ......... 30
Gambar 5. Komposisi filum komunitas bakteri lahan rawa pasang surut KS dan
lahan rawa lebak SS ........................................................................... 31
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Diagram segitiga tekstur tanah (Soil Survey Staff, 2014). ............... 55
Lampiran 2. Kriteria analisis sifat kimia tanah (Eviati & Sulaeman, 2009). ........ 55
Lampiran 3. Perhitungan konversi KTK ............................................................... 56
Lampiran 4. Reaksi perubahan warna isolat bakteri pada media garam minimal
setelah ditambahkan pereaksi Salkowski ......................................... 57
Lampiran 5. Kurva larutan standar AIA ............................................................... 57
Lampiran 6. Keseluruhan filum, kelas, famili, dan genus serta jenis bakteri
lahan rawa pasang surut Kalimatan Selatan (KS) ............................ 59
Lampiran 7. Keseluruhan filum, kelas, famili, dan genus serta jenis bakteri
lahan rawa lebak Sumatra Selatan (SS) ........................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan rawa merupakan lahan di daratan yang mengalami genangan air secara
terus menerus atau pada waktu tertentu akibat memiliki sistem drainase kurang
baik (Haryono et al., 2013; Suwanda & Noor, 2014). Luas lahan rawa di
Indonesia mencapai ± 34,93 juta hektar (ha), seluas ± 12,9 juta ha lahan rawa
terdapat di Sumatra dan luas lahan rawa di Kalimantan mencapai ± 10 juta ha
(Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP), 2015). Lahan rawa di
Kalimantan dan Sumatra memiliki potensi untuk dikembangkan pada sektor
pertanian, perikanan, dan kehutanan (Suryana, 2016). Jenis lahan rawa yang
berpotensi untuk dijadikan pertanian yaitu lahan rawa pasang surut dan lahan
rawa lebak (Gazali & Fathurrahman, 2019). Lahan rawa pasang surut ketersediaan
airnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan sungai yang ada di sekitarnya,
sedangkan lahan rawa lebak ketersediaan airnya dipengaruhi oleh air hujan dan
sungai yang ada di sekitarnya (Ar-Riza & Alkasuma, 2008; Haryono et al., 2013;
Susilawati et al., 2016). Lahan rawa pasang surut dan lebak dapat dijumpai di
Kalimantan Selatan dan Sumatra Selatan. Lahan rawa pasang surut dan lebak
memiliki topografi lahan yang relatif datar dan ketersediaan air yang memadai
sehingga cocok untuk dijadikan lahan pertanian (Suwanda & Noor, 2014).
Lahan rawa pasang surut dan lebak merupakan sumber daya lahan yang
belum dimanfaatkan secara optimal karena kondisi lahan rawa sangat rentan
dengan perubahan iklim yang tidak menentu serta banyaknya gangguan hama
(Haryono et al., 2013). Selain itu, nilai produktivitas tanah lahan rawa sangat
rendah karena tanah di lahan rawa banyak mengandung unsur logam berat seperti
Al, Mn, Zn, dan Cu (Ar-Riza et al., 2015). Unsur logam berat yang teroksidasi di
lahan rawa dapat mengikat unsur hara Fosfor (P) dan Kalium (K) yang sangat
penting bagi tumbuhan (Suastika et al., 2014). Oleh karena itu, dalam
memanfaatkan lahan rawa untuk dijadikan lahan pertanian diperlukan teknologi
yang tepat guna menjadikan lahan tersebut menjadi lahan produktif (Hanafiah &
Sembiring, 2018). Berbagai teknologi pemanfaatan lahan rawa dapat dilakukan
2
seperti: 1) pengolahan tanah dan air; 2) pengendalian gulma; 3) penggunaan
varietas adaptif; serta 4) ameliorasi tanah dan pemupukan (Suriadikarta, 2012).
Inovasi teknologi pemanfaatan tanah lahan rawa terutama pemupukan dalam
sektor pertanian dapat dilakukan dengan mengidentifikasi keanekaragaman
komunitas bakteri indigenous pada lahan tersebut (Susilawati et al., 2017).
Perbedaan jenis tanah dari kedua tipe lahan rawa akan memengaruhi struktur
komunitas bakteri yang ada di lingkungannya (Kesaulya et al., 2015). Menurut
Tasma (2015), identifikasi dan analisis keanekaragaman bakteri indigenous dapat
dilakukan untuk mengetahui produktivitas lahan terutama dalam sektor pertanian
dan pemuliaan tanaman. Keberadaan bakteri indigenous sebagai agen
dekomposisi sangat erat kaitannya dengan sifat fisik-kimia seperti tekstur tanah,
kadar pH, C organik, serta rasio C/N pada tanah (Hao-Zhi et al., 2015).
Bakteri indigenous berperan penting dalam proses biogeokimia tanah, seperti
siklus karbon, penambat nitrogen, penghasil siderofor serta agen pengendali
cekaman salinitas tinggi dengan menghasilkan enzim 1-aminosiklopropana-1-
karboksilat (ACC) Deaminase (Ali et al., 2012; Too et al., 2018). Upadhyay et al.
(2018), menyatakan bakteri berperan penting di suatu lahan karena bakteri mampu
menghasilkan zat-zat perangsang pertumbuhan seperti hormon Asam Indol Asetat
(AIA), serta menyediakan dan memperbaiki unsur hara tanah. Bakteri juga dapat
berperan sebagai biopestisida alami karena sifat antagonis dan kompetitif dalam
pemanfaatan nutrisi yang ada di lingkungannya (Hanudin & Marwoto, 2012).
Schloter et al. (2018), menyatakan bakteri indigenous dapat dijadikan
indikator kesuburan tanah, semakin tinggi jumlah dan jenis bakteri maka semakin
baik kesuburan tanah di suatu lahan. Hal ini dikarenakan kelimpahan biomassa
bakteri berperan sebagai agen pembentuk hara di dalam tanah yang dimanfaatkan
tanaman dan berperan penting untuk memelihara kesuburan tanah (Susilawati et
al., 2013). Menurut Suriadikarta & Sutriadi (2007), potensi bakteri pembentuk
unsur hara dapat diketahui melalui beberapa uji, seperti uji potensi bakteri
penghasil AIA yang berperan penting dalam pertumbuhan tanaman, uji potensi
bakteri siderofor yang berperan sebagai pengikat senyawa besi, dan uji potensi
bakteri ACC Deaminase sebagai enzim pengatur produksi ACC yang berperan
penting dalam cekaman salinitas (A’ini, 2015; Marten et al., 2018).
3
Penelitian oleh Mahdiyah (2015), diperoleh 5 isolat bakteri dari lahan rawa
gambut yang berpotensi menghasilkan enzim protease. Hasil penelitian terbatas
pada jenis isolat bakteri yang tidak teridentifikasi. Oleh karena itu perlu dilakukan
analisis lebih lanjut mengenai identifikasi serta potensi bakteri terutama dalam
sektor pertanian. Salah satunya dengan menggunakan shotgun metagenomic
sequencing. Shotgun metagenomic sequencing merupakan analisis secara
molekuler untuk mempelajari keanekaragaman jenis bakteri yang dapat
dikulturkan (culturable) maupun tidak dapat dikulturkan (nonculturable)
berdasarkan ekstraksi Deoxyribonucleic Acid (DNA) total komunitas dari sampel
tertentu, tanpa harus mengisolasi dan mengkulturkan jenis individu sebelumnya
(Sharpton, 2014; Too et al., 2018). Analisis keanekaragaman bakteri secara
molekuler diharapkan dapat mengidentifikasi bakteri potensial lahan rawa
Kalimantan Selatan dan Sumatra Selatan serta uji potensi bakteri yang dilakukan
dapat dijadikan informasi dalam mengoptimalkan peran bakteri sebagai strategi
pengelolaan lahan rawa untuk peningkatan produktivitas pertanian.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat perbedaan komunitas bakteri dari lahan rawa pasang
surut Kalimantan Selatan (KS) dan lahan rawa lebak Sumatra Selatan (SS)
menggunakan teknik pengkulturan dan nonpengkulturan dengan shotgun
metagenomic sequencing?
2. Bagaimana pengaruh potensi bakteri tanah dari lahan rawa pasang surut
(KS) dan lahan rawa lebak (SS) terhadap kesuburan kedua lahan rawa
berdasarkan hasil uji potensi bakteri penghasil AIA, siderofor, dan ACC
Deaminase?
1.3. Hipotesis
1. Terdapat perbedaan komunitas bakteri pada lahan rawa pasang surut (KS)
dan lahan rawa lebak (SS) berdasarkan teknik pengkulturan dan
nonpengkulturan.
4
2. Potensi bakteri lahan rawa dalam menghasilkan hormon AIA, siderofor,
dan ACC Deaminase dapat meningkatkan kesuburan pada kedua lahan
rawa.
1.4. Tujuan
Menganalisis jenis dan potensi bakteri dari lahan rawa pasang surut KS dan
lahan rawa lebak SS yang berperan penting untuk meningkatkan kesuburan lahan
rawa untuk sektor pertanian.
1.5. Manfaat
Memberikan informasi mengenai hubungan keanekaragaman serta potensi
bakteri dari ekosistem lahan rawa dengan aktivitas atau fungsi tanah yang dapat
digunakan untuk menilai status kesuburan tanah. Adanya informasi tersebut
diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan yang mempelajari optimasi fungsi
tanah lahan rawa untuk peningkatan produksi pertanian.
5
1.6. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir yang menjadi landasan dilakukannya penelitian ini adalah
sebagai berikut (Gambar 1).
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian keanekaragaman dan potensi bakteri
lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan (KS) dan lahan rawa
lebak Sumatra Selatan (SS)
Potensi lahan rawa di Kalimantan Selatan dan
Sumatra Selatan untuk sektor pertanian
Lahan rawa pasang surut Lahan rawa lebak
Pemanfaatan lahan rawa yang belum optimal
Inovasi teknologi pemanfaatan lahan rawa
dengan identifikasi bakteri indigenous
Identifikasi keanekaragaman bakteri indigenous
yang berkontribusi meningkatkan kesuburan tanah
Bakteri yang dapat dikultur
(culturable bacteria)
Bakteri yang tidak dapat
dikultur (unculturable bacteria)
Isolasi di media
pertumbuhan
Analisis komunitas bakteri
secara molekuler
Keanekaragaman komunitas bakteri lahan rawa di
Kalimantan Selatan dan Sumatra Selatan
Uji Potensi
Bakteri
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi dan Karakteristik Lahan Rawa di Kalimantan dan Sumatra
Lahan rawa merupakan lahan alami yang mengalami genangan secara terus
menerus atau dimusim tertentu akibat sistem drainase yang buruk (Suriadikarta,
2012). Lahan rawa memiliki karakteristik khusus terutama karena sistem perairan
dan ekosistemnya, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai lahan
pertanian, kehutanan, sumber air, serta konservasi lahan (Gazali & Fathurrahman,
2019). Lahan rawa memiliki ekosistem terdiri dari komunitas tumbuhan yang
telah beradaptasi dengan lingkungan rawa itu sendiri (Yusuf & Purwaningsih,
2009). Menurut Aziz et al. (2020), pada ekosistem rawa umumnya ditemukan
tumbuhan yang memiliki akar lutut dengan tunas berongga, serta memiliki tajuk
berlapis seperti Pulai (Alstonia sp.), Butun (Barringtonia sp.), Bonsai (Ficus
retusa), Simpur air (Dillenia sp.), Jelutung (Dyera sp.), dan Pandan wangi
(Pandanus sp.)
Lahan rawa dapat ditemukan di pulau Kalimantan. Kalimantan merupakan
pulau terluas di Indonesia dengan luas keseluruhan 743.330 km2. Pulau
Kalimantan diduduki oleh beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, dan
Brunei Darussalam. Luas pulau Kalimantan untuk wilayah Indonesia sebesar
545.150 km2 (73% dari total luas pulau Kalimantan) yang terbagi menjadi 5
provinsi salah satunya Kalimantan Selatan (Sosilowati et al., 2017). Luas lahan
rawa di Kalimantan tercatat ±10 juta ha yang terbagi menjadi 2,3 juta ha lahan
rawa pasang surut, dan 2,9 juta ha lahan rawa lebak (BBSDLP, 2015).
Pulau terluas kedua di Indonesia yaitu Sumatra dengan luas total 473.481
km2. Pulau Sumatra dibagi menjadi 10 provinsi besar salah satunya Sumatra
Selatan (Sosilowati et al., 2017). Luas lahan rawa di Sumatra tercatat ± 12,9 juta
ha yang terbagi menjadi 2,5 juta ha lahan rawa pasang surut, dan 3,9 juta ha lahan
rawa lebak (BBSDLP, 2015). Luas lahan rawa di Indonesia diketahui mencapai ±
34,9 juta ha berdasarkan data kompilasi peta rawa yang dilakukan Balai Besar
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) tahun 2015 (Tabel 1).
7
Tabel 1. Perkiraan luas lahan rawa di Indonesia (BBSDLP, 2015)
Pulau Rawa Pasang Surut
(ha)
Rawa Lebak
(ha)
Sumatra 2.501.888 3.988.301
Jawa 896.122 0
Kalimantan 2.301.410 2.944.085
Sulawesi 318.030 706.220
Maluku 74.395 88.159
Papua 2.262.402 3.916.123
Indonesia 8.354.247 11.642.288
Menurut Suryana (2016), lahan rawa di Kalimantan tersebar di dataran rendah
di sepanjang pantai selatan Kalimantan Selatan dengan luas lahan rawa ± 300 ribu
ha (Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan (BPSPKS), 2014),
sedangkan lahan rawa di Sumatra terdapat di pantai Timur provinsi Sumatra
Selatan dengan luas ± 500 ribu ha (Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatra Selatan
(BPSPSS), 2016).
Lahan rawa di Kalimantan Selatan biasa dimanfaaatkan untuk sektor
pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan (Sugiartanti & Sarah, 2020).
Lahan rawa di Sumatra Selatan memiliki potensi untuk dijadikan lahan pertanian
karena provinsi Sumatra Selatan memiliki kekayaan sumber daya genetik yang
melimpah terutama padi (Kodir et al., 2016).
2.2. Lahan Rawa Pasang Surut dan Lahan Rawa Lebak
Lahan rawa dapat dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut, lahan rawa
lebak dan lahan rawa gambut berdasarkan sumber ketersediaan airnya. Lahan
rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang ketersediaan airnya dipengaruhi
oleh pasang surut air laut dan sungai yang ada di sekitarnya (Susilawati et al.,
2016). Terdapat 4 tipe lahan rawa pasang surut berdasarkan jangkauan airnya,
yaitu lahan rawa pasang surut tipe A, B, C, dan D (Sawiyo et al., 2000; Sudana,
2005). Tipe A merupakan lahan yang selalu tergenang air saat musim panas
maupun musim hujan, tipe B merupakan lahan yang tergenang air saat musim
hujan, sedangkan tipe C merupakan lahan yang tidak pernah tergenang air, namun
dipengaruhi secara tidak langsung dengan kedalaman air tanah dari permukaan
tanah dengan tinggi kurang dari 50 cm, tipe D merupakan lahan yang tidak pernah
8
terluapi air dan air tanahnya memiliki kedalaman lebih dalam dari 50 cm (Sudana,
2005; Suryana, 2016).
Lahan rawa lebak merupakan lahan rawa yang dipengaruhi oleh lamanya
waktu genangan air lebih dari 3 bulan dan tinggi genangan mencapai lebih dari 50
cm (Haryono et al., 2013; Pujiharti, 2017). Genangan air di lahan rawa lebak
dipengaruhi luapan air dari sungai dan air hujan (Syahputra & Inan, 2019). Lahan
rawa lebak dibagi menjadi 3 berdasarkan lama genangan dan ketinggian air,
diantaranya lahan lebak dangkal lama waktu genangan kurang dari 3 bulan dengan
tinggi genangan kurang dari 50 cm, lahan lebak tengahan lama waktu genangan
kurang dari 6 bulan dengan tinggi genangan 50-100 cm, sedangkan lahan lebak
tinggi memiliki tinggi genangan lebih dari 100 cm dengan lama waktu genangan
lebih dari 6 bulan (Pujiharti, 2017).
Lahan rawa pasang surut dan lebak memiliki beberapa kendala dalam
pemanfaatanya seperti kesuburan tanah yang rendah karena memiliki pH masam
(Noor, 2010). Namun, berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian karena memiliki
ketersediaan air yang cukup dan tipologi lahan yang relatif datar (Waluyo et al.,
2008). Potensi lahan rawa dalam hal produktivitas dapat diketahui dengan
dilakukannya identifikasi bakteri tanah sebagai bakteri indigenous di dalamnya.
Menurut Too et al. (2018), bakteri indigenous berperan penting di lahan habitat
aslinya.
2.3. Bakteri Lahan Rawa
Bakteri merupakan mikroorganisme yang hidup berkoloni, bersel tunggal dan
tidak memiliki selubung inti namun dapat hidup saja baik di benda hidup maupun
mati seperti tanah di lahan rawa sekalipun (Yu et al., 2015). Kelimpahan bakteri
lahan rawa memiliki peran penting terutama dalam siklus biogeokimia tanah.
Penelitian Moulia et al. (2019) mengenai analisis keanekaragaman bakteri
lahan rawa sulfat masam di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah diperoleh
10 filum bakteri yang teridentifikasi diantaranya Proteobacteria, Acidobacteria,
Actinobacteria, Bacteroidetes, Chloroflexi, Spirochaetes, Nitrospirae, Chlorobi,
Fimicutes, dan Ignavibacteriae. Too et al. (2018), memperoleh filum bakteri yang
teridentifikasi dari lahan rawa gambut di Malaysia diantaranya, Proteobacteria,
9
Acidobacteria, Verrucomicrobia, Planctomycetes, Bacteroidetes, Actinobacteria,
dan Nitrospirae. Zhang et al. (2020), melaporkan 8 filum memiliki kelimpahan
relatif lebih dari 1% yang diisolasi dari lahan rawa di sungai Songhua, China
diantaranya Proteobacteria, Actinobacteria, Acidobacteria, Chloroflexi,
Bacteroidetes, Verrucomicrobia, Firmicutes, dan Gemmatimonadetes yang
berperan dalam metabolisme unsur hara di dalam tanah rawa. Penelitian
Mahdiyah (2015), memperoleh 5 isolat dari lahan rawa gambut penghasil enzim
protease. Sebanyak 3 isolat bakteri dari lahan rawa di Indralaya, Sumatra Selatan
juga teridentifikasi berpotensi menghasilkan enzim protease (Baehaki et al.,
2011).
2.4. Potensi Bakteri dalam Sektor Pertanian
Potensi bakteri pada sektor pertanian diantaranya mampu menghasilkan
hormon AIA (A’ini, 2015; Sukmadewi et al., 2015), siderofor (Prihatiningsih et
al., 2017; Marten et al., 2018), dan ACC Deaminase (Raka et al., 2012). Hormon
AIA merupakan hormon yang berperan penting dalam pertumbuhan fisiologis
tanaman (Kholida & Zulaika, 2015). Jenis bakteri tertentu mampu menyintesis
hormon AIA yang dapat memengaruhi pertumbuhan tanaman dengan memacu
pertumbuhan, pembelahan sel serta inisasi akar pada tanaman tersebut (Kesaulya
et al., 2015; Wulandari et al., 2019). Sintesis hormon AIA oleh bakteri dapat
dipicu karena adanya prekursor berupa L-Tryptophan (Kholida & Zulaika, 2015).
L-Tryptophan merupakan eksudat alami berupa asam amino aromatik yang dapat
ditemukan pada akar yang telah mati atau membusuk di dalam tanah (Kholida &
Zulaika, 2015; Larosa et al., 2013).
Pemanfaatan bakteri penghasil hormon AIA dapat diaplikasikan dalam
pertanian terutama dalam pembuatan pupuk organik (A’ini, 2015). 5 isolat bakteri
teridentifikasi sebagai Pseudomonas diminuta mampu melarutkan fosfat serta
menyintesis hormon AIA untuk memacu pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine
max) (Sudarmini et al., 2018). Sebanyak 21 isolat bakteri yang diisolasi dari
tegakan hutan rakyat Suren dan teridentifikasi sebagai Bacillus, Clostridium,
Coryneform, serta Erwinia mampu memproduksi hormon AIA (Firdausi, 2018).
Lestari et al. (2015), juga melaporkan 3 isolat bakteri jenis Bacillus aryabhattai,
10
Bacillus cibi, dan Bacillus marisflavi mampu menyintesis hormon AIA untuk
meningkatkan perkecambahan benih padi.
Potensi lainnya yaitu dengan menghasilkan siderofor. Siderofor merupakan
senyawa organik dengan berat molekul rendah yang dapat mengikat besi (Fe3+),
senyawa ini meningkatkan responsifitas sel bakteri untuk menyerap nutrisi
(Sharma & Johri, 2003). Siderofor disintesis oleh bakteri, jamur, dan tumbuhan
pada lingkungan yang miskin unsur besi (Wittenwiller, 2007; Husen et al., 2008).
Bakteri penghasil siderofor bermanfaat dalam sektor pertanian karena dapat
menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen yang dapat menyerang tanaman
(Prihatiningsih et al., 2017). Pseudomonas fluoresen merupakan salah satu bakteri
penghasil siderofor yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai penginduksi
ketahanan tanaman (Pratama et al., 2018). Genus Bacillus juga berpotensi sebagai
agen penghasil siderofor dan bioremoval unsur Fe (Farisna, 2015). Enterobacter
sp. dan Micrococcus sp. juga berhasil diisolasi dari tanaman padi sebagai bakteri
siderofor (A’laa, 2015).
Potensi bakteri selanjutnya yaitu dengan menghasilkan enzim ACC
Deaminase. ACC merupakan prekursor hormon gas etilen yang berperan penting
terhadap pertumbuhan fisiologis tanaman terutama pada proses pematangan buah
(Husen, 2011). Dalam kondisi lingkungan yang normal, gas etilen yang
diproduksi memberikan efek menguntungkan pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Namun, dalam kondisi cekaman lingkungan tanaman
cenderung memproduksi gas etilen secara berlebihan yang mengakibatkan
penghambatan proses perkecambahan dan pertumbuhan akar (Husen, 2011; Ali et
al., 2012). Bakteri penghasil ACC Deaminase berperan penting dalam sektor
pertanian karena dapat menghidrolisis produksi ACC berlebihan pada kondisi
cekaman lingkungan terutama cekaman kekeringan (Shrivastava & Kumar, 2015)
2.5. Identifikasi Komunitas Bakteri
Identifikasi komunitas bakteri dapat dilakukan secara konvensional dan
molekuler. Identifikasi bakteri secara molekuler melibatkan amplifikasi DNA
dengan bantuan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) kemudian amplikon
hasil PCR diurutkan dan dikomputasi untuk dikarakterisasi secara bioinfomatis,
11
sehingga dapat ditentukan jenis bakteri apa yang ditemukan (Goss-Souza et al.,
2017). Cara kedua analisis komunitas bakteri yaitu secara konvensional dengan
menumbuhkan bakteri di media pertumbuhan kemudian diamati morfologi serta
dilakukan uji biokimia untuk mengetahui sifat-sifat fisiologis dari bakteri tersebut
(Rahayu & Gumilar, 2017). Analisis bakteri secara konvensional dinilai kurang
akurat dibandingkan dengan identifikasi bakteri secara molekuler.
Identifikasi bakteri konvensional dianggap kurang efisien dalam segi tenaga
dan waktu karena uji setiap bakteri harus diamati melalui beberapa uji biokimia
untuk mengetahui sifat fisiologis dan beberapa reaksi yang terjadi terhadap zat
pewarna (Setiawan et al., 2017). Menurut Ochman & Santos (2005), identifikasi
bakteri secara biokimia merupakan identifikasi karakter fisik yang bersifat tidak
statis dan berubah karena adanya evolusi atau mutasi yang dapat memengaruhi
hasil identifikasi. Beberapa jenis bakteri sulit ditumbuhkan di dalam media karena
harus beradaptasi di lingkungan yang sangat berbeda dari lingkungan aslinya
(Kuczynski et al., 2011).
Seiring dengan kemajuan dalam bidang bioteknologi komputasi, teknik
sequencing dapat digunakan untuk mempelajari struktur komunitas bakteri yang
tidak dapat dikulturkan di laboratorium (Goss-Souza et al., 2017). Teknik
sequencing melibatkan pengurutan amplikon untuk mengkarakterisasi
keanekaragaman mikroorganisme. Bakteri hasil isolasi kemudian DNAnya
diektraksi lalu penanda informasi taksonomi yang menarik dan umum hampir
ditemukan di semua organisme ditargetkan, setelah itu diperkuat dengan PCR.
Analisis bakteri menggunakan studi sequencing biasanya menargetkan lokus 16s
rRNA yang merupakan penanda informatif taksonomi dan filogenetik (Langille et
al., 2013).
2.6. Shotgun Metagenomic Sequencing
Sequencing DNA bertujuan untuk menentukan urutan basa nitrogen yang ada
di dalam suatu sampel DNA. Pendeketan sequencing DNA dalam penerapannya
dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mendiagnosis, dan mengembangkan
pengobatan penyakit genetik (Tasma, 2015). Pendekatan sequencing yang biasa
digunakan yaitu Sanger dan Next Generation Sequensing (NGS).
12
Pendekatan NGS dapat membaca cetakan DNA secara acak sepanjang
seluruh genom dengan membuat potongan-potongan pendek DNA genom,
kemudian menyambungkannya dengan potongan DNA pendek yang didesain
khusus agar dapat dibaca oleh mesin NGS secara random selama proses sintesis
DNA (Mardis, 2008). Panjang bacaan sekuen DNA yang dihasilkan mesin NGS
lebih pendek dibandingkan menggunakan pendekatan Sanger. NGS menghasilkan
panjang sekuen DNA antara 50-500 bp (Morganti et al., 2019). Karena sekuen
yang dihasilkan NGS pendek, sequencing setiap fragmen DNA harus dilakukan
berulang, hal ini bertujuan mendapatkan akurasi data hasil sequencing yang akurat
(Mardis, 2008). Oleh karena itu teknologi NGS sering disebut dengan sequencing
paralel secara masif (massively parallel sequencing) (Shendure et al., 2017). Salah
satu pendekatan NGS adalah shotgun metagenomic sequencing.
Shotgun metagenomic sequencing terdiri dari sequencing DNA yang diisolasi
dari seluruh komunitas mikroba. Pembacaan sequencing yang diperoleh kemudian
dianalisis menggunakan basis data metagenomic sebagai referensi yang bertujuan
untuk menetapkan pembacaan sequencing ke takson tertentu (Truong et al., 2015).
Shotgun metagenomic sequencing memungkinkan analisis yang lebih akurat di
tingkat jenis, sehingga menghasilkan deskripsi rinci tentang komunitas bakteri
yang diidentifikasi. Hal ini dikarenakan pendekatan shotgun metagenomic
sequencing menggunakan cakupan yang lebih tinggi (10-30 juta pembacaan) dan
analisis data yang lebih kompleks (Laudadio et al., 2018).
Shotgun metagenomic sequencing dapat diterapkan untuk analisis struktur
komunitas dalam sampel yang lebih banyak dengan hasil yang lebih akurat
dibandingkan dengan pendekatan pengurutan amplikon 16s rDNA. Pengurutan
amplikon 16s rDNA memiliki beberapa kelemahan diantaranya data hasil PCR
yang bias (Logares et al., 2014), pengurutan amplikon dapat menghasilkan data
keanekaragaman yang bervariasi yang terkadang dapat menghasilkan urutan
pasang basa DNA yang seringkali sulit untuk diidentifikasi (Wylie et al., 2012).
Shotgun metagenomic sequencing digunakan untuk menutupi kekurangan dari
pendekatan pengurutan amplikon serta mikroba yang tidak dapat dikulturkan.
Shotgun metagenomic sequencing dilakukan dengan mengekstraksi DNA lagi
dari semua sel dalam komunitas. Semua DNA selanjutnya dipotong menjadi
13
fragmen kecil yang diurutkan secara independen (Sharpton, 2014). Urutan data
genom bacaan diambil sampelnya dari lokus genom yang informatif secara
taksonomis dan sampel lainnya diambil dari urutan pengkodean yang memberikan
wawasan tentang fungsi biologis yang dikodekan dalam genom (Laudadio et al.,
2018).
Penelitian dengan shotgun metagenomic sequencing sebelumnya oleh
Abraham et al. (2020), menganalisis 17 sampel tanah dari lahan rawa di
margasatwa Loxahatchee Florida Everglades, ditemukan 3 filum bakteri terbanyak
yaitu Actinobacteria, Acidobacteria, dan Proteobacteria. Penelitian oleh
Wiseschart et al. (2019), menggunakan shotgun metagenomic sequencing untuk
mengeksplorasi komposisi taksonomi dan potensi metabolisme bakteri dalam
tanah dari gua Manao-Pee, Thailand. Hasil diperoleh Actinobacteria dan
Gammaproteobacteria merupakan kelompok bakteri dominan di tanah gua.
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Mei 2021. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Tanaman (BB Biogen),
Jalan Tentara Pelajar 3A Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari neraca analitik (mettler),
autoklaf, inkubator (memmert), Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) (faithful CJ-
2S), Freezer -20 °C, pH meter, sentrifus (Microfuge 22R Beckman CoulterTM),
shaker, vortex, pipet mikro, tip pipet mikro (biru, kuning, putih), tube mikro (1,5
dan 2 mL), thermalcycler (Swift Maxi R-ESCO), tube PCR, alat elektroforesis
(Mupid-EXU Sub Marine Electrophoresis System), UV transiluminator, dan
spektrofotometer (Shimazdu).
Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari sampel tanah dari lahan
rawa pasang surut di Kalimantan Selatan dan lahan rawa lebak di Sumatra
Selatan. Media Nutrient Agar (NA), media Nutrient Broth (NB), akuades,
Natrium klorida (NaCl) fisiologis 0,85%, Alkohol 70 dan 96%, larutan HCl 0,1 N,
larutan NaOH 0,1 N, buffer Tris-Acetat EDTA (TAE) 1x, kit purifikasi genomik
DNA Wizard® (Promega), Go Taq® Green Master Mix, Nuclease Free Water
(NFW), 6x loading dye, DNA ladder 100 bp, primer 63f (5’ CAG GCC TAA
CAC ATG CAA GTC 3’), primer 1387r (5’ GGG CGG WGT GTA CAA GGC
3’), agarosa, gel red nucleic acid, lysozyme, isopropanol, RNAase solution, media
Fe-Chrome Azurol Sulfate (Fe-CAS), larutan standar AIA, media garam minimal,
larutan L-Tryptophan, larutan trace element, dan pereaksi Salkowski.
3.3. Cara Kerja
Tahapan dalam penelitian ini meliputi preparasi alat dan bahan; pengambilan
sampel tanah; isolasi dan purifikasi bakteri tanah; identifikasi bakteri secara
15
molekuler dengan teknik pengkulturan; uji potensi bakteri penghasil AIA;
penghasil siderofor; penghasil ACC Deaminase; dan identifikasi bakteri
nonpengkulturan menggunakan shotgun metagenomic sequencing.
3.3.1. Pengambilan Sampel Tanah
Sampel tanah lahan rawa Kalimantan Selatan dan Sumatra Selatan didapatkan
dari laboratorium mineralogi, BBSDLP Bogor. Pengambilan sampel tanah
diambil secara acak (simple random sampling) dari lahan rawa di dua lokasi yang
berbeda (Tabel 2). Sampel tanah lahan rawa dari Kalimantan Selatan dan Sumatra
Selatan diambil pada akhir tahun 2019 dengan kedalaman masing-masing ± 20
cm. Pengambilan sampel tanah dari kedua lokasi tersebut dilakukan oleh tim
peneliti dari balai penelitian tanah.
Tabel 2. Lokasi pengambilan sampel tanah lahan rawa Lokasi Tipe Lahan Rawa Koordinat Geografis
Desa Jerapat Baru, Kec.
Tamban, Kab. Barito Kuala,
Kalimantan Selatan
Rawa pasang surut 03° 14' 47.2" LS -
114° 30' 44.9" BT
Poktan Harapan Baru, Desa
Tapus, Kec. Pampangan,
Kab. Ogan Komering Ilir,
Sumatra Selatan
Rawa lebak 03° 13' 00.0" LS -
104° 58' 23.2" BT
3.3.2. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Sampel tanah dari kedua lahan rawa dianalisis sifat fisik dan kimianya di
laboratorium Pelayanan Jasa Balai Penelitian Tanah (Balittanah). Metode
pengujian analisis sifat fisik dan kimia tanah merujuk pada metode yang
dikeluarkan oleh Balittanah. Faktor yang dianalisis meliputi tekstur tanah, total C,
total N, P2O5, K2O, pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan Kejenuhan Basa
(KB). Hasil analisis sifat fisik tanah kemudian diinterpretasikan dengan diagram
segitiga tekstur tanah dalam buku kunci taksonomi tanah (Soil Survey Staff, 2014)
(Lampiran 1), sedangkan hasil analisis kimia tanah diinterpretasikan dengan
kriteria analisis sifat kimia tanah dalam buku petunjuk teknis analisis kimia tanah
oleh (Eviati & Sulaeman, 2009) (Lampiran 2).
16
3.3.3. Isolasi dan Purifikasi Bakteri
Isolasi bakteri dilakukan di laboratorium mikrobiologi BB Biogen. Isolasi
bakteri mengacu pada Husen et al. (2007). Sampel tanah lahan rawa ditimbang
sebanyak 10 g lalu dimasukkan ke dalam 90 mL larutan NaCl fisiologis 0,85%
(0,85 g NaCl dalam 1.000 mL akuades), lalu dikocok selama 30 menit sehingga
diperoleh pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat seri pengenceran bertingkat
sampai 10-5 dan sebanyak 100 µl hasil pengenceran 10-3 – 10-5 ditumbuhkan pada
cawan petri yang berisi media NA (13 g Nutrient Broth; 25 g agar; akuades 1.000
mL) dengan metode spread plate. Kemudian media NA diinkubasi selama 3 hari
pada suhu ruang. Koloni bakteri tunggal diisolasi dan dimurnikan kembali ke
media NA yang baru, lalu diinkubasi pada suhu 30°C selama 24 jam. Koloni
tunggal bakteri yang tumbuh di dalam cawan petri diamati secara makroskopis
meliputi bentuk, elevasi, permukaan, margin dan warna. Koloni bakteri murni
juga disimpan pada media NA miring untuk dilakukan aplikasi lebih lanjut yaitu
uji potensi bakteri dan diidentifikasi secara molekuler.
3.3.4. Uji Gram KOH
Uji Gram KOH mengacu pada Anggraini et al. (2016). Uji Gram KOH
dilakukan untuk uji praduga bakteri termasuk Gram positif atau negatif sebelum
dilakukan isolasi DNA bakteri sehingga dapat disesuaikan dengan prosedur dari
KIT yang digunakan dalam isolasi DNA. Uji Gram dilakukan dengan KOH 3%,
10 μL KOH ditetesi ke kaca objek kemudian diambil satu ose koloni bakteri dari
media NA miring dan dicampurkan ke kaca objek. Terbentuknya lendir diamati
dengan menarik ose secara perlahan. Isolat dinyatakan sebagai bakteri Gram
negatif ditandai dengan terbentuknya lendir, sedangkan bakteri Gram positif
ditandai dengan tidak terbentuknya lendir.
3.3.5. Identifikasi Bakteri Secara Molekuler dengan Teknik Pengkulturan
3.3.5.1. Isolasi DNA Bakteri
Isolasi DNA dari koloni bakteri yang berhasil dikulturkan (bakteri culturable)
di media NA dilakukan sesuai dengan buku panduan Wizard Genomic DNA
Purification Kit. Sebanyak 1 mL koloni bakteri yang sudah dishaker semalaman
17
di media NB kemudian dihomogenkan menggunakan sentrifus pada kecepatan
13.000 x g selama 5 menit, lalu supernatan dibuang. Setelah dihomogenkan
menggunakan sentrifus. Pelet bakteri Gram positif hasil sentrifus sebelumnya
ditambahkan 480 μL EDTA 50 mM. Kemudian pelet ditambahkan 120 μL
lysozyme. Selanjutnya, pelet diinkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit. Setelah
diinkubasi, pelet dihomogenkan menggunakan sentrifus selama 2 menit pada
kecepatan 13.000 x g. Supernatan dibuang. Langkah selanjutnya dilakukan tahap
pelisisan sel.
Tahap pelisisan sel. Pelet koloni bakteri ditambahkan 600 μL nuclei lysis
solution sambil diambil menggunakan pipet perlahan sampai tercampur.
Kemudian pelet diinkubasi selama 5 menit pada suhu 80°C lalu didinginkan di
suhu ruang. Pelet yang sudah diinkubasi ditambahkan 3 μL RNAase solution, lalu
dihomogenkan. Selanjutnya, pelet diinkubasi kembali pada suhu 37°C selama 30
menit lalu dinginkan hingga suhu ruang. Setelah itu, dilakukan tahap presipitasi
protein.
Tahap presipitasi protein. Pelet ditambahkan 200 μL protein presipitasi
solution kemudian divortex. Selanjutnya pelet diinkubasi di dalam freezer 20 °C
selama 5 menit. Pelet yang sudah diinkubasi, dihomogenkan menggunakan
sentrifus selama 5 menit pada kecepatan 13.000 x g.
Tahap presipitasi dan rehidrasi DNA. Supernatan dipindahkan ke tube baru
yang sudah ditambahkan 600 μL isopropanol lalu dihomogenkan. Supernatan
yang sudah homogen dihomogenkan menggunakan sentrifus selama 5 menit pada
kecepatan 13.000 x g. Supernatan yang sudah homogen kemudian ditambahkan
600 μL etanol 70%, dihomogenkan. Supernatan dihomogenkan menggunakan
sentrifus kembali selama 3 menit pada kecepatan 13.000 x g. Etanol diuapkan dan
pelet dikeringkan di udara selama 10 menit. Setelah kering, pelet DNA direhidrasi
dengan 100 μL rehydration solution semalaman pada suhu 4°C. Konsentrasi dan
kemurnian DNA diukur menggunakan nanodrop.
3.3.5.2. Amplifikasi DNA Bakteri
Proses amplifikasi DNA mengacu pada Joko et al. (2011). Amplifikasi DNA
dilakukan dengan menghomogenkan beberapa larutan, yaitu 12,5 μL Go Taq®
18
Green Master Mix, 8,5 μL NFW, 1 μL primer 63f (5’ CAG GCC TAA CAC ATG
CAA GTC 3’), 1 μL primer 1387r (5’ GGG CGG WGT GTA CAA GGC 3’)
kedua pasangan primer digunakan karena menurut Marchesi et al. (1998), kedua
primer tersebut optimal digunakan dalam proses amplifikasi DNA berdasarkan
area konservasi 16S rRNA, dan 2 μL DNA bakteri hasil isolasi sebelumnya.
Semua bahan dimasukkan ke dalam tube PCR dengan total volume bahan 25 μL.
Tube-tube PCR kemudian dimasukkan ke dalam thermalcycler. Amplifikasi DNA
dengan thermalcycler dilakukan sebanyak 29 siklus dengan kondisi denaturasi
awal 94°C selama 5 menit, denaturasi pada suhu 94°C selama 1 menit 30 detik,
penempelan primer pada suhu 55°C selama 45 detik, dan polimerasi pada suhu
72°C selama 1 menit.
3.3.5.3. Visualisasi DNA Bakteri
Hasil amplifikasi DNA bakteri dideteksi menggunakan alat elektroforesis.
Gel agarosa dibuat dengan ditimbang 1,2 g agarosa kemudian dilarutkan dengan
100 mL larutan buffer TAE 1x lalu dimicrowave sampai homogen. Setelah gel
agarosa homogen, ditetesi 2 μL gel red nucleic acid. Gel agarosa kemudian
dituang ke dalam cetakan sampai membeku, lalu sisir cetakan agar dilepas.
Marker dibuat dengan mencampurkan 6x loading dye sebanyak 3 μL dengan
DNA ladder 100 bp sebanyak 2 μL di atas alumunium foil, kemudian dipipet
perlahan sampai homogen. Marker dimasukkan ke dalam sumur yang terdapat
pada gel. Sebanyak 3 μL DNA hasil amplifikasi dimasukkan ke dalam sumur
berikutnya. Gel agarosa diletakkan dalam tangki elektroforesis berisi buffer TAE
1x hingga terendam setinggi 1-2 mm.
Proses elektroforesis dilakukan dengan menyambungkan perangkat
elektroforesis ke sumber tegangan 220 V selama 25 menit. Setelah proses
elektroforesis selesai, gel diangkat dan diletakkan di atas UV transiluminator
untuk divisualisasikan. Hasil visualisasi pita DNA dengan UV transiluminator
kemudian didokumentasikan. Hasil amplifikasi DNA koloni bakeri culturable
yang berhasil divisualisasi dengan strip utama DNA yang tebal dan terang dikirim
ke PT. Genetica Science Indonesia untuk disequencing. Sequencing Sanger
digunakan untuk analisis bakteri culturable sesuai prosedur produsen.
19
3.3.6. Uji Potensi Bakteri Penghasil AIA
Uji potensi bakteri penghasil AIA mengacu pada Aji dan Lestari (2020).
Pertama, dibuat kurva larutan standar AIA. Sebanyak 0,1 mg AIA serbuk
ditimbang lalu dilarutkan dengan 5 ml metanol, kemudian ditera dengan akuades
sampai volume mencapai 20 mL. Larutan AIA sintesis dipipet ke dalam tabung
reaksi masing-masing 4 µL (0,2 ppm), 20 µL (1 ppm), 100 µL (5 ppm), dan 300
µL (15 ppm). Masing-masing konsentrasi larutan AIA ditambahkan akuades
hingga volume tabung reaksi menjadi 2.000 µL, kemudian ditambahkan 4 mL
reagen Salkowski pada masing-masing tabung reaksi lalu dihomogenkan dan
diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang. Larutan standar AIA diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm.
Koloni bakteri dari media NA miring ditumbuhkan pada media NB (13 g
Nutrient Broth; 1.000 mL akuades) selama 24 jam sambil dishaker. Setelah itu,
100 μL setiap kultur bakteri dari media NB diinokulasi ke dalam 10 mL media
garam minimal (0,272 g KH2PO4; 0,426 g Na2HPO4; 0,04 g MgSO4.7H2O; 200
mL akuades; 10 mL trace element) yang sudah ditambahkan 1 mL L-Tryptophan
lalu dishaker kembali selama 48 jam. Kemudian, 1 mL kultur bakteri dari media
garam minimal dihomogenkan menggunakan sentrifus dengan kecepatan 6.000 x
g pada suhu 4°C selama 10 menit. Setelah dihomogenkan menggunakan sentrifus,
supernatan diambil lalu dipindahkan ke tabung reaksi untuk ditambahkan 4 mL
pereaksi Salkowski (150 mL H2SO4 pekat; 250 mL akuades; 7,5 mL 0.5 M FeCl3.
6H2O). Supernatan diinkubasi selama 25 menit pada suhu 28°C. Bakteri yang
menghasilkan hormon AIA pada supernatannya berwarna merah muda. Intensitas
warna merah muda pada supernatan diukur menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 530 nm. Nilai absorbansi dicatat kemudian dibandingkan
dengan kurva larutan standar AIA. Uji bakteri penghasil AIA dilakukan dua kali
untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.
3.3.7. Uji Potensi Bakteri Penghasil Siderofor
Uji potensi bakteri penghasil siderofor mengacu pada Husen et al. (2008).
Prinsip dari uji bakteri siderofor yaitu media Fe-Chrome Azurol Sulfate (Fe-CAS)
20
sebagai sumber nutrisi bagi bakteri namun miskin unsur Fe. Hanya bakteri
siderofor yang dapat tumbuh di media Fe-CAS ditandai dengan warna koloni
berwarna oranye. Media Fe-CAS dibuat dari campuran larutan yang dibuat dan
disterilisasi secara terpisah.
Pembuatan larutan blue dye yang terdiri dari campuran 3 larutan. Larutan I
dibuat dengan ditimbang 0,06 g Chrome Azurol Sulfate dilarutkan dalam 50 mL
akuabides. Selanjutnya, larutan II dibuat dengan ditimbang 0,0027 g FeCl3.6H2O
dilarutkan dalam 10 mL HCl mM. Larutan III dibuat dengan ditimbang 0,073 g
hexadecy-ltrimetylammonium bromide (HDTMA) dilarutkan dalam 40 mL
akuabides. Sebanyak 10 mL Larutan II dimasukkan ke dalam larutan I,
dihomogenkan. Setelah itu, larutan III dimasukkan secara perlahan sambil diaduk
sampai larutan berwarna biru. Kemudian, larutan dituang pada wadah yang sudah
dideferasi dengan 6 M HCl. Larutan blue dye yang sudah homogen disterilisasi
dengan autofklaf selama 15 menit pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm.
Pembuatan larutan mixture yang terdiri dari larutan stok garam, stok glukosa
dan larutan asam cassamino. Larutan stok garam dibuat dengan ditimbang 15 g
KH2PO4, 25 g NaCl, dan 50 g NH4Cl dilarutkan dalam 500 mL akuabides. Stok
glukosa dibuat dengan ditimbang 4 g glukosa dilarutkan dalam 100 mL akuabides.
Setelah itu, disterilisasi dengan kertas saring 0,2 µm lalu diletakkan di botol steril.
Larutan asam casamino dibuat dengan ditimbang 5 g asam cassamino dilarutkan
dalam 45 mL akuabides, kemudian diekstrak dengan 3% 8-hydroxyquinoline
dalam kloroform (v/v). Ekstrak air yang didapat kemudian disterilisasi dengan
kertas saring 0,2 µm lalu diletakkan di botol steril.
Pembuatan media Fe-CAS agar dibuat dengan dilarutkan 100 mL larutan stok
garam dalam 750 mL akuabides. 32,24 g peperazine-N,N'-bis[2-ethanesulfonic
acid] (PIPES) ditimbang kemudian dimasukkan perlahan sambil diaduk
menggunakan batang pengaduk. NaOH ditambahkan secara perlahan hingga
PIPES larut sempurna atau hingga pH media mencapai 6,8. Kemudian
ditambahkan 25 g agar dan disterilisasi dengan autoklaf. Setelah steril, dibiarkan
hingga suhu media mencapai (60oC) lalu ditambahkan 30 mL larutan asam
cassamino dan 10 mL larutan stok glukosa. Secara perlahan ditambahkan 100 mL
blue dye melalui tepi wadah sambil dihomogenkan menggunakan magnet
21
pengaduk. Setelah homogen, media dituang ke dalam cawan petri steril.
Inokulasi bakteri dilakukan dengan metode gores, tiap isolat ditumbuhkan
pada 2 media Fe-CAS agar. Koloni bakteri dari media NA miring diambil
menggunakan ose lalu digoreskan di atas media Fe-CAS secara aseptis. Media
yang sudah diinokulasikan bakteri selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama
24 jam. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri di media Fe-CAS diamati.
Bakteri siderofor menghasilkan koloni berwarna oranye yang kontras dengan
warna biru pada media Fe-CAS agar.
3.3.8. Uji Potensi Bakteri Penghasil ACC Deaminase
Uji potensi bakteri penghasil ACC Deaminase mengacu pada Husen (2011).
Uji potensi bakteri penghasil ACC deaminase dilakukan dengan ditumbuhkan
koloni bakteri pada media selektif garam minimal Dworkin-Foster (DF) yang
dimodifikasi. Media DF dibuat dengan ditimbang 4 g KH2PO, 6 g Na2HPO4, 0,2 g
MgSO4.7H2O, 1 mg FeSO4.7H2O, 2 g glukosa, 2 g asam glukonik, 2 g asam sitrat,
25 g agar yang dilarutkan dalam 1.000 mL akuades. Dibuat juga media DF yang
dimodifikasi dengan ditambahkan amonium sulfat sebanyak 2 g (media DF +
Amonium Sulfat) dan ditambahkan 0,3033 g ACC (media DF + ACC). Media DF
dan DF + Amonium sulfat disterilisasi menggunakan autofklaf selama 15 menit
pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm, sedangkan media DF + ACC disterilisasi
dengan kertas saring 0,2 µm.
Sebanyak 11 isolat bakteri dari media NA ditumbuhkan dalam media NB
sambil dishaker selama 24 jam. Sebanyak 5 µL koloni bakteri yang telah
ditumbuhkan di media NB diinokulasikan ke media padat (DF, dan DF +
amonium sulfat). Koloni yang mampu tumbuh setelah diinkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam pada media selektif DF + amonium sulfat menjadi isolat bakteri
dugaan memiliki kemampuan menghasilkan ACC Deaminase. Isolat dugaan
penghasil ACC Deaminase kemudian diinokulasi ke media DF + ACC untuk
validasi adanya aktivitas bakteri penghasil enzim ACC deaminase. Koloni bakteri
yang mampu tumbuh pada media DF (tanpa amonium sulfat) menjadi indikasi
adanya bakteri yang mampu mendapatkan sumber N dengan menambat N2 dari
udara. Tiap isolat bakteri ditumbuhkan pada ketiga media sebanyak 2 kali.
22
3.3.9. Identifikasi Komunitas Bakteri Secara Molekuler dengan Teknik
Nonpengkulturan
Sebanyak masing-masing 250 g sampel tanah lahan rawa pasang surut
Kalimantan Selatan dan lahan rawa lebak Sumatra Selatan dikirim ke PT.
Genetica Science Indonesia untuk disequencing. Shotgun metagenomic
sequencing digunakan untuk analisis keanekaragaman dan potensi bakteri
nonculturable sesuai prosedur produsen.
3.4. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif berupa hasil keanekaragaman
dan potensi bakteri dengan pendekatan shotgun metagenomic sequencing untuk
bakteri nonculturable. Data hasil sequencing DNA bakteri culturable berupa
sekuen pasang basa (forward dan reverse) DNA bakteri diolah menggunakan
software Bioedit untuk memperbaiki hasil sequencing serta mendapatkan satu set
sekuen lengkap yang diinterpretasikan dengan grafik elektroferogram. Data hasil
sequencing yang sudah diperbaiki kemudian dicocokkan dengan DNA database
menggunakan Basic Local Alignment Search Tool Nucleotida (BLAST-N)
melalui website National Center for Biotechnology Information (NCBI)
(www.ncbi.nlm.nih.gov). Hasil analisis BLAST-N yang menunjukkan subjek
dengan persentase kemiripan 98-100 % ditentukan sebagai sekuen yang memiliki
kekerabatan terdekat dengan sekuen query.
Data hasil uji potensi bakteri yaitu uji deteksi bakteri penghasil hormon AIA,
penghasil siderofor, dan penghasil ACC Deaminase dianalisis secara deskriptif.
Data disajikan dalam bentuk tabel, grafik atau gambar dengan bantuan software
Microsoft Excel 2013.
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Identifikasi Bakteri Secara Molekuler dengan Teknik
Pengkulturan
Berdasarkan hasil analisis sekuen gen 16S rRNA dan dikomparatif
menggunakan data di GeneBank melalui program BLAST-N (Tabel 3)
menunjukkan isolat 26.1 teridentifikasi sebagai Lysinibacillus xylanilyticus, isolat
26.2 dan 26.3 teridentifikasi sebagai Bacillus cereus, isolat 27.1 teridentifikasi
sebagai Bacillus pseudomycoides, isolat 27.2 teridentifikasi sebagai Bacillus
siamensis, isolat 27.3 teridentifikasi sebagai Brevibacillus halotolerans, isolat
27.4 teridentifikasi sebagai P. alvei, isolat 27.5 teridentifikasi sebagai
Lysinibacillus xylanilyticus, dan isolat 27.6 teridentifikasi sebagai Bacillus
nitratireducens, sedangkan isolat 27.7 dan 27.8 teridentifikasi sebagai Bacillus sp.
(Tabel 3). Isolat bakteri 27.7 dan 27.8 memiliki nilai similarity yang rendah
(<97%) (Tabel 3). Hal ini dikarenakan isolat bakteri yang dikulturkan kurang
murni yang menyebabkan banyaknya kontaminan sehingga sekuen hasil blast
menunjukkan kekerabatan yang rendah dengan sekuen database.
Tabel 3. Analisis homologi sekuen gen 16S rRNA isolat bakteri culturable
menggunakan program Blast-N
Lahan
Rawa Isolat Isolat Pembanding
Query
coverage
(%)
E
value
Percent
identity
(%)
Pasang
surut (KS)
26.1 Lysinibacillus xylanilyticus 99 0 99,88
26.2 Bacillus cereus 99 0 99,76
26.3 Bacillus cereus 100 0 100
Lebak (SS)
27.1 Bacillus pseudomycoides 99 0 99,88
27.2 Bacillus siamensis 100 0 100
27.3 Brevibacillus halotolerans 99 0 99,88
27.4 Paenibacillus alvei 100 0 100
27.5 Lysinibacillus xylanilyticus 100 0 96,7
27.6 Bacillus nitratireducens 100 0 100
27.7 Bacillus sp 98 0 81,93
27.8 Bacillus sp. 100 0 81,95
Semakin tinggi nilai homologi yang didapatkan maka semakin dekat
kekerabatan sekuen query dengan sekuen database (Gaffar & Sumarlin, 2020).
24
Menurut Tindi et al. (2017), jika nilai query coverage mendekati 100%, e-value
mendekati 0, dan percent identity mendekati 100% maka sekuen query dikatakan
paling mirip dengan database yang dicirikan dengan nilai total score dan max
score sama. Query coverage menyatakan panjang nukleotida yang selaras dengan
database dalam persen, e value menyatakan nilai statistik signifikan dari kedua
sekuen yang dibandingkan, sedangkan percent identity menyatakan kecocokan
antara sekuen query dengan sekuen database yang disejajarkan (Seprianto, 2017).
Semua isolat bakteri culturable yang teridentifikasi (Tabel 3), baik dari lahan
rawa pasang surut KS maupun lahan rawa lebak SS termasuk ke dalam filum
Firmicutes. Bakteri filum Firmicutes mudah dikulturkan karena koloni bakteri
filum Firmicutes umumnya menghasilkan endospora untuk bertahan hidup dan
membutuhkan waktu inkubasi yang relatif singkat untuk pertumbuhannya
(McKenney et al., 2013; Kurm et al., 2019).
4.2. Hasil Uji Potensi Bakteri dalam Sektor Pertanian
4.2.1. Hasil Uji Bakteri Penghasil Hormon AIA
Sebanyak 11 isolat bakteri terdeteksi mampu menyintesis AIA di media
garam minimal. Semua isolat bakteri dapat menyintesis AIA yang ditandai dengan
terbentuknya warna merah muda pada supernatant isolat bakteri setelah
penambahan pereaksi Salkowski (Lampiran 4). Berdasarkan (Gambar 2). hasil
konsentrasi hormon AIA yang telah dibandingkan dengan kurva larutan standar
AIA (Lampiran 5), diperoleh konsentrasi hormon AIA tertinggi yaitu 1,14 ppm
oleh L. xylanilyticus yang merupakan bakteri dari sampel tanah lahan rawa pasang
surut KS, sedangkan isolat bakteri dari sampel tanah lahan rawa lebak SS
diperoleh konsentrasi hormon AIA tertinggi sebesar 1,64 ppm oleh B.
Pseudomycoides.
Hal ini juga menunjukkan kemampuan isolat bakteri dalam menghasilkan
hormon AIA berbeda-beda walaupun termasuk dalam satu genus yang sama.
Sejalan dengan penelitian Beneduzi et al. (2013), didapatkan beberapa isolat yang
termasuk dalam satu genus yang sama tetapi menghasilkan konsentrasi hormon
AIA berbeda. Isolat bakteri yang didapatkan antara lain, Stenotrophomonas,
Burkholderia, dan Agrobacterium. Hormon AIA yang dihasilkan setiap isolat
25
bakteri berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh kemampuan pertumbuhan masing-
masing isolat bakteri, lingkungan, dan ketersediaan substrat (Herlina et al., 2017).
Gambar 2. Konsentrasi hormon AIA yang dihasilkan oleh 11 isolat bakteri lahan
rawa pasang surut KS dan lahan rawa lebak SS
Isolat bakteri lahan rawa pasang surut KS Isolat bakteri lahan rawa lebak SS
Berdasarkan (Gambar 2), hormon AIA tertinggi yang dihasilkan oleh oleh B.
pseudomycoides sebesar 1,64 ppm berasal dari lahan rawa lebak SS. Pada
penelitian ini, pH tanah lahan rawa lebak SS lebih cenderung mendekati netral
yaitu 4,05 dibandingkan pH tanah lahan rawa pasang surut KS yaitu 3,15 (Tabel
8). Menurut Accuna & Jorquenna (2011), pH tanah sangat memengaruhi bakteri
dalam menyintesis hormon AIA, pH tanah yang cenderung netral lebih optimal
bagi bakteri untuk menyintesis hormon AIA. Penelitian Larosa et al. (2013),
melaporkan kondisi pH lingkungan yang terlalu masam (<4,5) dapat menghambat
kerja enzim bakteri untuk proses metabolisme bakteri dalam menyintesis hormon
AIA.
Sintesis hormon AIA oleh bakteri di dalam tanah dipicu karena keberadaan L-
tryptophan. L-tryptophan merupakan prekursor dalam pembentukan hormon AIA.
Penelitian oleh Aji & Lestari (2020), melaporkan isolat bakteri dari genus
Enterobacter, Bacillus, Pseduomonas dan Staphylococcus yang diisolasi dari
tanaman jeruk nipis mampu menghasilkan hormon AIA setelah diberi prekursor
L-tryptofan. Reaksi perubahan L-tryptophan menjadi hormon AIA melalui
beberapa tahapan, yaitu tahap deaminase dengan bantuan enzim amino-
26
transferase L-tryptophan diubah menjadi asam indol piruvat, selanjutnya tahap
dekarboksilasi yang mengubah asam indol piruvat menjadi indol asetat dehid, dan
tahap terakhir yaitu tahap hidrolisis dengan bantuan enzim AIA1d mengubah
indol asetat dehid menjadi hormon AIA (Ahemad & Kibret, 2013; Patten et al.,
2013; Duca et al., 2014; Pambudi et al. 2017). Gen dekarboksilase indolpiruvate
putative (IpdC) menjadi enzim utama dalam pembentukan hormon AIA oleh
bakteri (Xie et al., 2016; Grady et al., 2016).
4.2.2. Hasil Uji Bakteri Penghasil Bakteri Siderofor
Berdasarkan (Tabel 4), hasil penelitian dari 11 isolat bakteri yang diuji
menghasilkan siderofor, semua isolat mampu menghasilkan siderofor yang
diindikasikan dengan perubahan warna biru media Fe-CAS agar menjadi warna
oranye (Gambar 3). Perubahan warna media Fe-CAS agar terjadi karena bakteri
penghasil siderofor mengikat Fe yang terkandung pada pewarna blue dye pada
media Fe-CAS agar (Farisna, 2015).
Tabel 4. Skrining bakteri penghasil siderofor pada media Fe-CAS agar Isolat Pertumbuhan pada media
Lysinibacillus xylanilyticus +
Bacillus cereus +
Bacillus cereus +
Bacillus pseudomycoides +
Bacillus siamensis +
Brevibacillus halotolerans +
Paenibacillus alvei +
Lysinibacillus xylanilyticus +
Bacillus nitratireducens +
Bacillus sp +
Bacillus sp +
Keterangan:
Berdasarkan kemampuan isolat bakteri tumbuh pada media siderofor. Tanda - =
koloni bakteri tidak tumbuh; + = koloni bakteri tumbuh. Isolat bakteri lahan rawa
pasang surut KS Isolat bakteri lahan rawa lebak SS
27
Terdapat tiga macam tipe siderofor yaitu, tipe katekolat (merah
muda/ungu), hidroksamat (oranye), dan karboksilat (coklat) (Carroll & Moore,
2018). Siderofor berwarna oranye yang dihasilkan 11 isolat bakteri termasuk
siderofor tipe hidroksamat. Hal ini sejalan dengan Ahmed & Holmstrom (2014),
tipe siderofor hidroksamat dan katekolat umumnya disintesis oleh
mikroorgsanisme seperti bakteri dan cendawan, sedangkan tipe karboksilat
umumnya disintesis oleh tanaman (Glick & Pasternack, 2013). Prihatiningsih et
al. (2017), melaporkan 1 isolat B. subtilis teridentifikasi menyintesis siderofor tipe
katekolat dan 4 isolat B. subtilis lainnya menyintesis siderofor tipe hidroksamat.
Siderofor dihasilkan oleh bakteri bermanfaat untuk mengikat senyawa besi
yang tersedia di lingkungan bagi tanaman. Selain itu, juga mencegah pemanfaatan
senyawa besi bagi mikoroorganisme patogen yang dapat menghambat
pertumbuhan tanaman (Radhakrishnan et al., 2014). Penelitian oleh Agustiansyah
et al. (2013), melaporkan B. subtilis, P. aeruginosa dan, P. dimunata mampu
menyintesis senyawa siderofor dan menghambat pertumbuhan Xanthomonas
oryzae pv.oryzae (Xoo) pada tanaman padi.
Gambar 3. Pertumbuhan isolat bakteri penghasil siderofor pada media Fe-CAS
agar. A. Isolat bakteri penghasil siderofor ditandai dengan koloni
berwarna oranye
Dalam kondisi lingkungan miskin unsur besi, siderofor yang dihasilkan oleh
bakteri dapat mereduksi Fe3+ bersifat tidak larut di dalam tanah menjadi Fe2+ yang
bersifat larut dan dapat dimanfaatkan oleh bakteri maupun tanaman (Wittenwiller,
2007; Raza & Shen, 2010). Siderofor disintesis oleh bakteri melalui nonribosomal
peptide synthetases (NRPSs) yang dikodekan oleh kelompok gen untuk
28
mengkomplekskan besi, kemudian unsur besi yang telah kompleks dikenali oleh
reseptor membran spesifik yang disebut sebagai spesific membrane-anchored
substrate-binding proteins (SBPs) lalu dipindahkan ke dalam sel bakteri untuk
dimanfaatkan dalam proses metabolisme (Wen et al., 2011; Hertlein et al., 2014).
4.2.3. Hasil Uji Bakteri Penghasil ACC Deaminase
Berdasarkan (Tabel 5), 11 isolat bakteri yang diuji menunjukkan hasil positif
menghasilkan enzim ACC Deaminase. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan 11
isolat bakteri yang tumbuh di media DF, DF + amonium sulfat, dan DF + ACC
(Gambar 4). Sebanyak 11 isolat yang mampu tumbuh pada media DF tanpa
sumber nitrogen (Tabel 5), menjadi indikasi bahwa ke 11 isolat merupakan bakteri
diazotrof. Bakteri diazotrof adalah bakteri yang mampu menambat N2 dari udara
sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan nitrogennya (Sari et al., 2015;
Santoso et al., 2019). Islam et al. (2019), melaporkan 18 isolat bakteri yang
diisolasi dari tanah perkebunan kelapa sawit memiliki potensi menambat nitrogen
dari udara.
Berdasarkan (Tabel 5), semua isolat bakteri lahan rawa menjadi isolat dugaan
dalam menghasilkan enzim ACC Deaminase yang ditandai dengan pertumbuhan
koloni yang tumbuh pada media DF + Ammonium sulfat (Gambar 5). Husen
(2011), melaporkan 292 isolat bakteri diisolasi dari rhizosfer maupun akar padi
dan rumput liar menjadi isolat dugaan menghasilkan ACC Deaminase.
Pertumbuhan bakteri pada media DF + amonium sulfat menjadi kontrol positif
bakteri diduga menghasilkan ACC Deaminase. Hal ini dikarenakan amonium
sulfat merupakan sumber nitrogen utama bagi bakteri untuk menghasilkan enzim
ACC Deaminase (Singh et al., 2015). Semua isolat bakteri yang dapat tumbuh
pada media DF dan DF + Ammonium sulfat ditumbuhkan pada media DF + ACC
dan didapatkan 11 isolat mampu menghasilkan enzim ACC Deaminase dengan
ditandai pertumbuhan isolat bakteri pada media DF + ACC (Tabel 5).
Mekanisme utama yang dilakukan oleh bakteri penghasil ACC Deaminase
yaitu dengan menghidrolisis ACC pada media DF + ACC menggunakan enzim
ACC Deaminase yang disintesis oleh bakteri. ACC merupakan prekursor
pembentukan gas etilen pada tanaman (Ghosh et al., 2018; Saikia et al., 2018).
29
Enzim ACC Deaminase dapat mendegradasi ACC menjadi amonia dan α-
ketobutirat, sehingga produksi gas etilen pada tanaman dapat diminimalisir
(Gamalero & Glick, 2015; Singh et al., 2015; Raghuwanshi & Prasad, 2018).
Tabel 5. Skrining bakteri penghasil ACC Deaminase pada media DF dan DF yang
dimodifikasi
Isolat
Pertumbuhan pada media
Keterangan DF
Agar
DF +
Amonium Sulfat
DF +
ACC
L. xylanilyticus + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
B. cereus + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
B. cereus + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
B. pseudomycoides + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
B. siamensis + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
B. halotolerans + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
P. alvei + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
L. xylanilyticus + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
B. nitratireducens + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
B. cereus + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
B. cereus + + + Menghasilkan
ACC Deaminase
Keterangan:
Berdasarkan kemampuan isolat bakteri tumbuh pada media DF, DF + amonium
sulfat, dan DF + ACC. Tanda - = koloni bakteri tidak tumbuh; + = koloni bakteri
tumbuh. Isolat bakteri lahan rawa pasang surut KS Isolat bakteri lahan rawa
lebak SS
30
Gambar 4. Pertumbuhan bakteri penghasil ACC Deaminase. A. Pertumbuhan
bakteri di media DF; B. Pertumbuhan bakteri di media DF +
amonium sulfat; C. Pertumbuhan bakteri di media DF + ACC
4.3. Keanekaragaman Bakteri Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan
Selatan dan Lahan Rawa Lebak Sumatra Selatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lahan rawa pasang surut KS
ditemukan 4 filum dominan yaitu Proteobacteria (0,63%), Actinobacteria
(0,13%), Firmicutes (0,06%), dan Gemmatimonadetes (0,04%), sedangkan pada
lahan rawa lebak SS ditemukan 5 filum dominan yaitu Proteobacteria (0,3%),
Actinobacteria (0,24%), Acidobacteria (0,12%), Chloroflexi (0,08%), dan
Gemmatimonadetes (0,04%) (Gambar 5). Tiap jenis bakteri yang teridentifikasi
terlampir pada (Lampiran 7 & 8). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya oleh Chen et al. (2020), melaporkan filum Proteobacteria merupakan
filum tertinggi yang mendominasi 3 lahan rawa di sungai Yongding, China
dengan kelimpahan relatif mencapai 49,8-57,9%, diikuti filum Bacteroidetes (7,9-
9,3%), dan Acidobacteria (4,5-5,7%).
Berdasarkan (Gambar 5), ditemukan filum unik yaitu Firmicutes yang hanya
ditemukan pada lahan rawa pasang surut KS (Gambar 5). Hal ini dikarenakan
Firmicutes dapat tumbuh optimal pada kondisi ekstrem. Lahan rawa pasang surut
KS diduga memiliki salinitas tinggi (3-4 dS/m) (Lampiran 2). Salinitas tinggi pada
lahan rawa pasang surut karena dipengaruhi intrusi air laut (Rachman et al.,
2018). Filipidou et al. (2016), menyatakan Firmicutes memiliki mekanisme
bertahan hidup dengan menghasilkan endospora pada kondisi yang ekstrem
seperti lingkungan dengan salinitas tinggi akibat kadar Na yang tinggi. Pada
penelitian ini, lahan rawa pasang surut KS memiliki kadar Na yang tergolong
tinggi (2,81 cmolc/kg), sedangkan lahan rawa lebak SS memiliki kadar Na yang
31
tergolong rendah (0,22 cmolc/kg) (Tabel 8). Sementara itu, filum Acidobacteria
dan Chloroflexi hanya ditemukan pada lahan rawa lebak SS.
Gambar 5. Komposisi filum komunitas bakteri lahan rawa pasang surut KS dan
lahan rawa lebak SS
Filum Acidobacteria hanya ditemukan pada lahan rawa lebak SS (Gambar 5).
Hal ini dikarenakan pertumbuhan Acidobacteria sangat dibatasi oleh tingginya
kadar Al3+ di tanah (Naether et al., 2012). Kadar Al3+ pada lahan rawa pasang
surut KS lebih tinggi dibandingkan dengan kadar Al3+ lahan rawa lebak SS (25,34
cmolc/kg > 7,5 cmolc/kg) (Tabel 8). Menurut Sutandi et al. (2011), kadar Al3+
yang tinggi dapat melepaskan ion H+ lebih banyak ke tanah dan menyebabkan pH
tanah semakin masam. Pada penelitian ini, pH tanah lahan rawa KS cenderung
lebih masam (3,15) dibandingkan dengan pH lahan rawa lebak SS (4,05) (Tabel
8). Penelitian oleh Sui et al. (2019), melaporkan kelimpahan relatif Acidobacteria
lebih tinggi pada lahan rawa dengan pH cenderung netral dibandingkan
kelimpahan relatif Acidobacteria pada lahan rawa dengan pH yang cenderung
masam.
Sama seperti filum Acidobacteria, filum Chloroflexi juga hanya ditemukan
pada lahan rawa lebak SS (Gambar 5). Hal ini dikarenakan kondisi lahan rawa
lebak SS lebih stabil dibandingkan kondisi lahan rawa pasang surut KS yang
dipengaruhi intrusi air laut. Menurut Ar-Riza & Alkasuma (2008), Kondisi lahan
yang tidak stabil akibat intrusi air laut menyebabkan perubahan kandungan unsur
hara di dalamnya. Kondisi lahan yang tidak stabil akibat alih fungsi lahan ataupun
32
secara alami memengaruhi unsur hara serta keberadaan mikroorganisme di
dalamnya (Sui et al., 2019). Kurniawan & Asriani (2020), menyatakan perubahan
kondisi lingkungan, struktur tanah dan air dapat berimplikasi terhadap keberadaan
mikroorganisme termasuk Chloroflexi.
Berdasarkan (Tabel 6), teridentifikasi bakteri filum Proteobacteria pada lahan
rawa pasang surut KS diantaranya Mesorhizobium soli, dan Sphingomonas
montana (kelas Alphaproteobacteria); Burkholderia vietnamsiensis, dan
Pandoraea pnomenusa (kelas Betaproteobacteria); serta Dyella japonica, dan
Rhodanobacter thiooxydans (kelas Gammaproteobacteria), sedangkan pada lahan
rawa lebak SS teridentifikasi sebagai Mesorhizobium sp., dan Sphingomonas
hengshuiensis (kelas Alphaproteobacteria); Burkholderia sp. (kelas
Betaproteobacteria); Dyella gingsengisoli, dan Rhodanobacter sp. (kelas
Gammaproteobacteria). Dahal & Kim (2017), mengisolasi bakteri tanah hutan
rawa dan teridentifikasi sebagai R. thioxydans, R. denitrificans, R. soli, dan R.
terrae merupakan bakteri yang toleran pada tanah masam dan alkali. Genus
Rhodanobacter dilaporkan juga berperan sebagai agen dentrifikasi pada tanah
masam (Van den Heuvel et al., 2010). Too et al. (2018), juga melaporkan D.
japonica berperan dalam siklus karbon dan nitrogen pada tanah rawa gambut. Butt
& Thomas (2018), melaporkan genus Burkholderia mampu menghasilkan
siderofor untuk mengikat unsur besi. Dalam penelitian Peeters et al. (2019),
melaporkan Pandoraea memiliki gen yang berperan dalam proses biodegradasi
xenobiotik. Serta Nguyen et al. (2015), juga melaporkan bakteri Mesorhizobium
soli berperan sebagai bakteri diazotrof atau mampu menambat N2 dari udara.
Jenis bakteri filum Actinobacteria juga teridentifikasi pada lahan rawa pasang
surut KS sebagai Mycobacterium angelicum, sedangkan pada lahan rawa lebak SS
teridentifikasi sebagai Streptomyces kanasensis; Streptomyces ipomoeae; dan
Streptomyces sp. (Tabel 6). Actinobacteria dilaporkan dapat mengikat nitrogen
dan bersimbiosis baik dengan tanaman (Lawson, 2018). Yu et al. (2015),
melaporkan bakteri dari lahan rawa memiliki aktivitas antimikroba yang
teridentifikasi sebagai Actinobacteria diantaranya genus Streptomyces,
Micromonospora, dan Rhodococcus. Selain itu, Actinobacteria juga dilaporkan
33
berperan sebagai saprofit dengan mendegradasi lignin, selulosa, dan kitin
(Eisonlord & Zak, 2010).
Tabel 6. Jenis bakteri potensial pada lahan rawa pasang surut KS dan lahan rawa
lebak SS dengan teknik nonpengkulturan
Tipe Lahan Rawa Kelimpahan Relatif
Filum (%) Jenis Bakteri Potensial
Pasang Surut KS
Proteobacteria (0,63%)
Mesorhizobium soli,
Sphingomonas montana,
Burkholderia vietnamsiensis,
Pandoraea pnomenusa, Dyella
japonica, Rhodanobacter
thiooxydans
Actinobacteria (0,13%) Mycobacterium angelicum
Firmicutes (0,06%)
Paenibacillus alvei,
Paenibacillus elgii,
Paenibacillus ehimensis
Gemmatimonadetes
(0,04%) Gemmatimonas sp
Lebak SS
Proteobacteria (0,3%)
Mesorhizobium sp.,
Sphingomonas hengshuiensis,
Burkholderia sp., Dyella
gingsengisoli, Rhodanobacter
sp.
Actinobacteria (0,24%),
Streptomyces kanasensis,
Streptomyces ipomoeae,
Streptomyces sp.
Acidobacteria (0,12%)
Candidatus Koribacter
versatilis, Candidatus
Sulfotelmatobacter kueseliae
Chloroflexi (0,08%) Ktedonobacter racemifer,
Ktedonobacter sp.
Gemmatimonadetes
(0,04%) Gemmatirosa kalamazoonesis
Jenis bakteri filum Firmicutes teridentifikasi pada lahan rawa pasang surut
KS diantaranya Paenibacillus alvei, Paenibacillus elgii, dan Paenibacillus
ehimensis (Tabel 6). Penelitian oleh Aw et al. (2016), mengidentifkasi bakteri
lahan rawa gambut didapatkan P. elgii dan P. ehiimensis mampu menghasilkan
senyawa antimikroba. Flores-Nunez et al. (2018), melaporkan bahwa bakteri
filum Firmicutes terutama genus Bacillus dan Paenibacillus yang diisolasi dari
lahan hutan rawa mampu melarutkan fosfat di dalam tanah. Bakteri filum
Firmicutes juga dilaporkan dapat menghasilkan hormon AIA dan menekan
pertumbuhan mikroorganisme patogen (Khairani et al., 2019).
34
Selanjutnya, jenis bakteri filum Acidobacteria teridentifikasi pada lahan rawa
lebak SS diantaranya Candidatus Koribacter versatilis, dan Candidatus
Sulfotelmatobacter kueseliae (Tabel 6). Penelitian Kielak et al. (2016),
melaporkan bakteri tanah lahan rawa dari filum Acidobacteria berperan
menggunakan nitrit sebagai sumber nitrogen, menjaga unsur makro dan mikro
serta kestabilan pH tanah, mendegradasi gum gellan, dan menghasilkan
eksopolisakarida (EPS). Ward et al. (2009), juga melaporkan Acidobacteria dapat
menggunakan karbon, mengikat nitrogen, menghasilkan siderofor, dan bersifat
antimikroba.
Filum Chloroflexi ditemukan pada lahan rawa lebak SS didapatkan jenis
bakteri diantaranya Ktedonobacter racemifer, dan Ktedonobacter sp (Tabel 6).
Petriglieri et al. (2018), melaporkan genus Ktedonobacter sebagai bakteri yang
berperan dalam mengubah bahan organik menjadi gas metana dalam pembuatan
biogas. Spieck et al. (2019), juga melaporkan filum Chloroflexi merupakan agen
pengoksidasi nitrit ekstremofilik karena memiliki gen pengkode oksidoreduktase
nitrit dalam genomnya.
Jenis bakteri dari filum Gemmatimonadetes juga teridentifikasi pada lahan
rawa pasang surut KS dan lahan rawa lebak SS sebagai Gemmatimonas sp., dan
Gemmatirosa kalamazoonesis. Penelitian Wang et al. (2020), melaporkan filum
Gemmatimonadetes mendominasi lahan rawa di sungai Kuning, China dan
berperan dalam biogeokimia tanah terutama unsur C organik dan melarutkan
fosfat. Gemmatimonadetes juga berperan dalam proses difusi oksigen di dalam
tanah (Jiang et al., 2011).
4.4. Hasil Data Pendukung Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Hasil analisis sifat fisik tanah lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan
(KS) didapatkan tekstur tanah 39% debu dan 61% liat, sedangkan lahan rawa
lebak Sumatra Selatan (SS) memiliki tekstur tanah 46% debu dan 54% liat (Tabel
7). Berdasarkan diagram tekstur tanah (Lampiran 1), tekstur tanah lahan rawa
pasang surut KS bersifat liat, sedangkan tekstur tanah lahan rawa lebak SS
bersifat liat berdebu. Sifat fisik tanah memengaruhi ketersedian unsur hara,
penetrasi air oleh akar, serta kemampuan tanah menahan air. Tektur tanah liat
35
memiliki daya menahan air yang lebih tinggi dibandingkan tanah bertekstur debu
dan pasir, namun memiliki daya penetrasi unsur hara rendah karena memiliki pori
yang kecil. Sebaliknya tanah bertekstur pasir memiliki daya menahan air rendah,
namun memiliki penetrasi unsur hara tinggi karena memiliki pori yang besar
(Intara et al., 2011; Holilullah et al., 2015).
Tabel 7. Sifat fisik tanah lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan (KS) dan
lahan rawa lebak Sumatra Selatan (SS)
Sampel Lahan
Rawa
Tekstur
Pasir Debu Liat
--------------------------------%-------------------------------
Pasang surut KS 0 39 61
Lebak SS 0 46 54
Sifat kimia tanah juga dilakukan pada penelitian ini. Berdasarkan kriteria nilai
sifat kimia tanah oleh Eviati & Sulaeman (2009) (Lampiran 2), nilai pH tanah dari
kedua lahan rawa (Tabel 8) menunjukkan pH tanah yang tergolong sangat masam
(<4,5). Menurut Maftu’ah dan Susilawati (2018), tanah yang bersifat masam
mengandung pirit (Fe2S2) cukup tinggi, pirit yang mengalami oksidasi akan
menghasilkan asam sulfat dan mineral jarosit dengan tingkat kemasaman yang
mengganggu pertumbuhan tanaman di lahan pertanian. Kemasaman tanah juga
dapat disebabkan adanya unsur Al dan Fe terhidrolisis yang menyebabkan
pelepasan ion H+ ke tanah sehingga terjadi penurunan pH pada tanah (Rahmi &
Biantary, 2014). Menurut Kusumandaru et al. (2015), pH tanah yang baik untuk
pertanian adalah pH netral, karena pH yang terlalu masam menyebabkan senyawa
seperti Cu, Zn, Fe, dan P menurun dan menjadi tidak larut sehingga tidak bisa
diserap tanaman. Sebaliknya pH tanah yang terlalu basa akan menurunkan kadar
Ca dan P yang dibutuhkan tanaman.
Berdasarkan (Tabel 8), nilai rasio C/N tanah lahan rawa pasang surut KS
33,02 yang tergolong sangat tinggi (>25), sedangkan nilai rasio C/N tanah lahan
rawa lebak SS 13,37 yang tergolong sedang (11-15) (Lampiran 2). Lahan rawa
lebak SS memiliki kesuburan yang lebih baik dibandingkan lahan rawa pasang
surut KS yang memiliki rasio C/N sangat tinggi. Menurut Purnomo et al. (2017),
tanah dengan rasio C/N tinggi dapat memperlambat aktivitas mikroorganisme di
36
dalamnya untuk mendekomposisi bahan organik yang digunakan untuk
pertumbuhan tanaman.
Tabel 8. Sifat kimia tanah lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan (KS) dan
lahan rawa lebak Sumatra Selatan (SS)
Sampel
pH Bahan Organik HCl 25% Bray
1
H2O
Walkley &
Black Kjeldhal
C/N K2O P2O5
C N % Mg/100g ppm
KS 3,15 15,85 0,48 33,02 5,07 73,77
SS 4,05 7,22 0,54 13,37 9,1 11,3
Keterangan:
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Hasil analisis kadar K (Tabel 8) lahan rawa pasang surut KS sebesar 5,076
mg/ 100 g tanah, sedangkan lahan rawa lebak SS sebesar 9,1 mg/ 100 g tanah.
Kedua lahan rawa tersebut memiliki kadar K yang tergolong sangat rendah (<10)
(Lampiran 2). Rendahnya kadar K di tanah dapat disebabkan oleh pH tanah yang
terlalu masam (<4,5). Kemasaman tanah yang tinggi memicu unsur beracun
seperti Al3+, Fe2+, dan Mn2+ mudah larut dan memfiksasi unsur K di dalam tanah
(Subiksa & Setyorini, 2011).
Berdasarkan (Tabel 8), analisis kadar P lahan rawa pasang surut KS sebesar
73,77 ppm yang tergolong sangat tinggi (>15), sedangkan kadar P lahan rawa
lebak SS sebesar 11,3 ppm yang tergolong tinggi (11-15) (Lampiran 2). Tingginya
kadar P pada kedua tanah rawa disebabkan oleh pH pada kedua tanah rawa
tersebut tergolong sangat masam (<4,5). Menurut Sari et al. (2017), tanah dengan
kadar pH masam memiliki kandungan Al (>8) dan Fe (>5) tinggi dalam kondisi
terlarut yang memfiksasi unsur P di dalam tanah.
Hasil KTK tanah lahan rawa pasang surut KS dan lahan rawa lebak SS adalah
88,44 dan 48,19 cmolc/Kg (Tabel 8). Nilai KTK kedua lahan rawa tersebut
tergolong sangat tinggi (>40 cmolc/Kg) (Lampiran 2). Kapasitas tukar kation
Sampel
Nilai Tukar Kation (NH4-Acetat 1N, pH 7) KCl 1N
Ca Mg K Na KTK KB* Al3+ H+
cmolc/Kg % cmolc/Kg
KS 1,29 4,98 0,1 2,81 88,44 10,37 25,34 2,28
SS 4,89 2,37 0,16 0,22 48,19 15,85 7,5 0,36
37
(KTK) merupakan nilai kapasitas koloid tanah untuk menyerap unsur hara dan
penukaran kation yang berasal dari tanah oleh akar tanaman (Herawati, 2015).
Nilai KTK tanah yang tinggi (25-40 cmolc/Kg) menjadikan tanah lebih subur
dibandingkan tanah dengan nilai KTK rendah (5-16 cmolc/Kg). Menurut Sufardi
et al. (2017), tanah dengan nilai KTK tinggi mampu menyediakan unsur hara
lebih banyak dan menyerap kation yang didominasi kation basa seperti Ca, Mg,
K, dan Na. Sebaliknya, tanah dengan nilai KTK rendah didominasi oleh kation
asam seperti Al+ dan H+ yang dapat memfiksasi unsur P dan K yang dibutuhkan
oleh tanaman (Syahputra et al., 2015).
Nilai KB lahan rawa pasang surut KS dan lahan rawa lebak SS adalah 10,37
dan 15,85% (Tabel 4). Nilai KB kedua lahan rawa tersebut tergolong sangat
rendah (<20%) (Lampiran 2). Kejenuhan basa (KB) merupakan perbandingan
jumlah kation basa dengan jumlah semua jenis kation (asam dan basa) yang
dinyatakan dalam persen (Sudaryono, 2009). Nilai KB yang rendah menunjukkan
bahwa tanah kedua lahan rawa tersebut bersifat masam (4,5-5,5). Hal ini sejalan
dengan Sufardi et al. (2017), yang menyatakan bahwa semakin rendah nilai KB
maka semakin rendah pH tanah dan sebaliknya.
Selanjutnya, analisis kadar Na pada lahan rawa pasang surut KS sebesar 2,81
cmolc/kg tergolong tinggi (>1 cmolc/kg), sedangkan pada lahan rawa lebak SS
sebesar 0,22 cmolc/kg (Tabel 8) tergolong rendah (0,1 – 0,3 cmolc/kg) (Lampiran
2). Menurut Fitria et al. (2018), kesuburan tanah yang baik memiliki kadar Na
yang rendah yaitu sekitar 0,1 – 0,3 cmolc/kg. Tanah dengan kadar Na tinggi lebih
mudah erosi karena tanah mengalami dispersi (Utami, 2004).
Kadar Al dari kedua lahan rawa sebesar 25,34 dan 7,5 cmolc/Kg (Tabel 8),
jika dikonversikan ke dalam satuan ppm maka nilai kadar Al3+ dari kedua lahan
rawa tersebut tergolong sangat tinggi (>40 ppm) (Lampiran 2 & 3). Kadar ion H+
lahan rawa pasang surut KS sebesar 2,28 cmolc/Kg, sedangkan H+ lahan rawa
lebak SS sebesar 0,36 cmolc/Kg (Tabel 8). Ion Al3+ dan H+ merupakan kation
asam yang dapat ditukar. Semakin tinggi kadar ion Al3+ maka semakin tinggi
pelepasan ion H+ yang menyebabkan kemasaman tanah meningkat (Sutandi et al.,
2011).
38
Berdasarkan sifat fisik dan kimia tanah (Tabel 7 & 8) pada lahan rawa pasang
surut KS dan lahan rawa lebak SS, kedua lahan rawa bisa dimanfaatkan sebagai
sektor pertanian. Hal ini dikarenakan jenis bakteri dari filum yang teridentifikasi
pada kedua lahan rawa dapat memperbaiki sifat fisik kimia serta produktivitas
lahan rawa dengan potensi yang dimiliki bakteri tersebut. Bakteri yang
teridentifikasi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah lahan
rawa dengan membantu mendekomposisi bahan organik dan membantu
penyebaran unsur hara pada kedua lahan rawa tersebut.
39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
1. Diperoleh 3 isolat bakteri dari lahan rawa pasang surut KS dan 8 isolat
bakteri lahan rawa lebak SS dengan teknik pengkulturan yang termasuk ke
dalam filum Firmicutes. Hasil teknik nonpengkulturan, didapatkan 4 filum
bakteri pada lahan rawa pasang surut KS diantaranya Proteobacteria,
Actinobacteria, Firmicutes dan Gemmatimonadetes, sedangkan lahan rawa
lebak SS didapatkan 5 filum bakteri diantaranya Proteobacteria,
Actinobacteria, Acidobacteria, Chloroflexi, serta Gemmatimonadetes.
2. Semua bakteri yang berhasil dikultur dari jenis Bacillus, Paenibacillus,
Brevibacillus, dan Lysinibacillus baik dari lahan rawa pasang surut KS dan
lahan rawa lebak SS dapat meningkatkan kesuburan lahan rawa dengan
menghasilkan hormon AIA, Siderofor, dan ACC Deaminase. Hasil
nonpengkulturan juga ditemukan jenis yang berperan penting untuk
meningkatkan kesuburan tanah dalam sektor pertanian.
5.2. SARAN
Penelitian ini perlu dilakukan lebih lanjut mengenai keanekaragaman gen-gen
fungsional bakteri di dalam lahan rawa agar dapat dipelajari interaksi biogeokimia
antara bakteri dengan ekosistem lahan rawa, sehingga dapat dilakukan
pengoptimalan fungsi lahan rawa berdasarkan karakter keanekaragaman bakteri
serta daya dukung ekosistem yang dimiliki lahan rawa pasang surut dan lebak
dalam peningkatan produksi sektor pertanian.
40
DAFTAR PUSTAKA
A’laa, F. R. (2015). Skrining dan karakterisasi bakteri rhizosfer penghasil
siderofor dari tanaman padi (Oryza sativa L.) varietas Cisokan di
kabupaten Solok. Disertasi. Universitas Andalas.
A’ini, Z. F. (2015). Isolasi dan identifikasi bakteri penghasil AIA (Indole-3-
Acetic-Acid) dari tanah dan air di Situgunung, Sukabumi. Faktor Exacta,
6(3), 231-240.
Abraham, B. S., Caglayan, D., Carrillo, N. V., Chapman, M. C., Hagan, C. T.,
Hansen, S. T., Jeanty, R. O., Klimczak, A. A., Klingler, M. J., Kutcher, T.
P., Levy, S. H., Millard-Bruzos, A. A., Moore, T. B., Prentice, D. J.,
Prescott, M. E., Roehm, R., Rose, J. A., Yin, M., Hyodo, A., Lail, K.,
Daum, C., Clum, A., Copeland, A. Seshadri, R., Rio, T. G. D., Eloe-
Fadrosh, E. A., & Benskin, J. B. (2020). Shotgun metagenomic analysis of
microbial communities from the Loxahatchee nature preserve in the
Florida Everglades. Environmental Microbiome, 15(1), 1-10.
https://doi.org/10.1186/s40793-019-0352-4
Agustiansyah, A., Ilyas, S., Sudarsono, S., & Machmud, M. (2013). Karakterisasi
rizobakteri yang berpotensi mengendalikan bakteri Xanthomonas oryzae
pv.oryzae (Xoo) dan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi. Jurnal
Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 13(1), 42-51.
Ahemad, M., & Kibret, M. (2013). Mechanisms and applications of plant growth-
promoting rhizobacteria: current perspective. Journal of King Saud
University-Science, 26, 1-20.
Ahmed, E., & Holmstrom, S. J. (2014). Siderophores in enviromental research:
roles and applications. Microbial Biothecnology, 7(3), 196-208.
Aji, O. R., & Lestari, I. D. (2020). Bakteri endofit tanaman jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) penghasil Asam Indol Asetat (AIA). Al-Kauniyah: Jurnal
Biologi, 13(2), 179-191.
Ali, S., Charles, T. C., & Glick, B. R. (2012). Delay of flower senescence by
bacterial endophytes expressing 1-aminocyclopropane-1-carboxylate
deaminase. Journal Application Microbiol, 113(5), 1139-1144.
Ali, S. Z., Sandhya, V., & Rao, L. V. (2013). Isolation and characterization of
drought-tolerant ACC deaminase and exopolysaccharide-producing
fluorescent Pseudomonas sp. Annals of microbiology, 64(2), 493-502.
https://doi.org/10.1007/s13213-013-0680-3.
Amaresan, N., Kumar, M. S., Annapurna, K., Kumar, K., & Sankaranarayanan, A.
(2020). Beneficial microbes in agro-ecology: bacteria and fungi.
Academic Press. United States.
An, D. S., Lee, H. G., Lee, S. T., & Im, W. T. (2009). Rhodanobacter
ginsenosidimutans sp. nov., isolated from soil of a gingseng field in South
Korea. International Journal Systematic and Evolutionary Microbiology,
59, 691-694.
Anandham, R., Kwon, S. W., Gandhi, P. I., Kim, S. J., Weon, H. Y., Kim, Y. S.,
Sa, T. M., Kim, Y. K., & Ji, H. J. (2011). Dyella thiooxydans sp. nov., a
facultatively chemolithotropic, thiosulfate-oxidizing bacterium isolated
41
from rizhosphere soil oh sunflower (Helianthus annuus L.). International
Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 61, 392-398.
Anggraini, R., Aliza, D., & Mellisa, S. (2016). Identifikasi bakteri Aeromonas
hydrophila dengan uji mikrobiologi pada ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) yang dibudidayakan di kecamatan Baitussalam kabupaten
Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah,
1(2), 270-286.
Ar-Riza, I., & Alkasuma. (2008). Pertanian lahan rawa pasang surut dan strategi
pengembangannya dalam era otonomi daerah. Jurnal Sumberdaya Lahan,
2(2), 95-103.
Ar-Riza, I., Alwi, M., & Nurita. (2015). Peningkatan hasil padi di tanah sulfat
masam melalui kombinasi perlakuan lindi dan olah tanah. Jurnal
Agronomi Indonesia, 43(2), 105-110.
Astriany, D., Husein, S. G., & Mentari, R. J. (2017). Karaterisasi bakteri
Mycobacterium tubercolosis menggunakan spektrofotometri fourier
transform infrared. Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and
Technology, 6(2), 13-22.
Aw, Y. K., Ong, K. S., Lee, L. H., Cheow, Y. L., Yule, C. M., & Lee, S. M.
(2016). Newly isolated Paenibacillus tyrfis sp. nov., from Malaysian
tropical peat swamp soil with broad spectrum antimicrobial activity.
Frontiers in Microbiology, 7, 219.
Aziz., Henri., & Adi, W. (2020). Ragam vegetasi hutan rawa air tawar di Taman
wisata alam Jering Menduyung, Bangka Barat. Jurnal Ilmu Lingkungan,
18(1), 200-208.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan. (2014). Kalimantan Selatan
dalam angka. BPSPKS. Banjarmasin.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatra Selatan. (2016). Sumatra Selatan dalam
angka. BPSPSS. Palembang.
Baehaki, C., Rinto., & Budiman, A. (2011). Isolasi dan karakterisasi protease dari
bakteri tanah rawa Indralaya, Sumatra Selatan. Jurnal Teknol dan Industri
Pangan, 22(1), 40-45.
Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. (2015). Sumber daya lahan pertanian
Indonesia, luas, penyebaran dan potensi ketersediaan. Laporan Teknis
Nomor 1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Bogor.
Balkwill, D. L., Fredrickson, J. K., & Romine, M. F. (2006). Sphingomonas and
related genera. Springer-Verlag. New York.
Beneduzi, A., Moreira, F., Costa, P. B., Vargas, L. K., Lisboa, B. B., Favreto, R.,
& Baldani, J. I. (2013). Diversity and plant growth promoting evaluation
abilities of bacteria isolated from sugarcane cultivated in South of Brazil.
Apllication Soil Ecology, 63, 94-104.
Bui, T. P., Kim, Y. J., Kim, H., & Yang, D. C. (2010). Rhodanobacter soli sp.
nov., isolated from soil of a gingseng field. International Journal
Systematic and Evolutionary Microbiology, 60, 2935-2939.
Butt, A. T., & Thomas, M. S. (2017). Iron acquistion mechanisms and their role in
the virulence of Burkholderia species. Frontiers in Cellular Infection
Microbiology, 7, 460.
42
Cai, Y. M., Gao, Z. H., Chen, M. H., Huang, Y. X., & Qiu, L. H. (2018). Dyella
halodurans sp. nov., isolated from lower subtropical forest soil.
International Jurnal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 68(10),
3237-3242.
Cardoso, E. J. B. N., Vasconcellos, R. L. F., Bini, D., Miyauchi, M. Y. H., Santos,
C. A. D., Alves, P. R. L., Paula, A. M., Nakatani, A. S., Pereira, J. M., &
Nogueira, M. A. Soil health: looking for suitable indicators. What should
be considered to assess the effects of use and management soil health?.
Scientica agricola, 70, 274-289.
Carroll, C. S., & Moore, M. M. (2018). Ironing out siderophore biosynthesis: a
review of non-ribosomal peptide synthetase (NRPS)-independent
siderophore synthetases. Critical Reviews in Biochemistryand Molecular
Biology, 53(4), 356-381. https://doi.org/10.1080/10409238.2018.1476449
Chang, Y. J., Land, M., Hauser, L., Chertkov, O., Del Rio, T. G., Nolan, M.,
Copeland, A., Tice, H., Cheng, J. F., Lucas, S., Han, C., Goodwin, L.,
Pitluck, S., Ivanova, N., Ovchinikova, G., Pati, A., Chen, A., Pelaniappan,
K., Mavromatis, K., Liolios, K., Brettin, T., Fiebig, A., Rohde, M., Abt,
B., Goker, M., Detter, J. C., Woyke, T., Bristow, J., Eisen, J. A.,
Markowitz, V., Hugenholtz, P., Kyrpides, N. C., Klenk, H. P., & Lapidus,
A. (2011). Non-contigous finished genome sequence and contextual data
of the filamentous soil bacterium Ktedonobacter racemifer type strain
(SOSP1-21). Europe PMC, 5(1), 97-111. doi: 10.4056/sigs.211.4901
Chen, X., Lu, J., Zhu, J., & Liu, C. (2020). Characteristic of denitrifying bacteria
in different habitats of the Yongding river wetland, China. Journal of
Enviromental Management, 275, 111273.
https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2020.111273
Cho, G. Y., Lee, J. C., & Whang, K. S. Rhodanobacter rhizopharae sp, nov.,
isolated from soil of gingseng rhizospere. International Journal of
Systematic and Evolutionary Microbiology, 67(5), 1387-1392.
Coenye, T., & Vandamme, P. (2003). Miniriview: diversity and significance of
Burkholderia species occupying diverse ecological niches. Environmental
Microbiology, 5(9), 719-729.
Dahal, R. H., & Kim, J. (2017). Rhodanobacter humi sp. nov., an acidtolerant and
alkalitolerant gammaproteobacterium isolated from forest soil.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 67(5),
1185-1190. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.001786
De Meyer, S. E., Andrews, M., James, E. K., & Willems, A. (2019).
Mesorizhobium carmichaelinearum sp. nov., isolated from
Carmichaelineae spp. root nodules. International Journal of Systematic
and Evolutionary Microbiology, 9(69), 146-152.
Dewi, N, K., & Rudiarto, I. (2013). Identifikasi alih fungsi lahan pertanian dan
kondisi sosial ekonomi masyarakat daerah pinggiran di kecamatan
Gunungpati kota Semarang. Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 1(2), 175-
188. https://doi.org/10.14710/jwl.1.2.175-188.
Dewi, T. K., Arum, E. S., Imamuddin, H., & Antonius, S. (2015). Karakterisasi
mikroba perakaran (PGPR) agen penting pendukung pupuk organik hayati.
Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 1(2),
289-295. doi: 10.13057/psnmbi/m010220
43
Duca, D., Lorv, J., Patten, C. L., Rose, D., & Glick, B. R. (2014). Indole-3-acetic
acid in plant-microbe interactions. Antonie Van Leeuwenhoek, 106(1), 85-
125. https://doi.org/10.1007/s10482-013-0095-y
Eisonlord, S. D., & Zak, D. R. (2010). Simulated atmospheric nitrogen deposition
alters actinobacterial community composition in forest soils. Soil Science
Society of America Journal, 74(4), 1157-1166.
Eviati., & Sulaeman. (2009). Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air,
dan pupuk (2nd ed). Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Farisna, S. T. (2015). Potensi Bacillus sebagai bakteri siderofor dan bioremoval
logam besi (Fe). Disertasi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Filippidou, S., Wunderlin, T., Junier, T., Jeanneret, N., Dorador, C., Molina, V.,
Johnson, D. R., & Pilar, J. (2016). A combination of extreme enviromental
conditions favor the prevalence of endospore-forming Firmicutes.
Frontiers in Microbiology, 7, 1707.
Firdausi, A. (2018). Isolasi bakteri rhizosfer penghasil AIA (Indol Acetic Acid)
dari tegakan hutan rakyat Suren. Skripsi. Program Studi Kehutanan.
Universitas Hasanuddin.
Flores-Nunez, V. M., Amora-Lazcano, E., Rodriguez-Dorantes, A., Cruz-Maya, J.
A., & Jan-Roblero, J. (2018). Comparison of plant growth-promoting
rhizobacteria in a pine forest soil and agricultural soil. Soil Research,
56(4), 346.
Gaffar, S., & Sumarlin. (2020). Analisis sekuen mtDNA COI pari totol biru yang
didaratkan di tempat pendaratan ikan kota Tarakan. Jurnal Harpodon
Borneo, 13(2), 80-89.
Gamalero, E., & Glick, B. R., (2015). Bacterial modulation of plant ethylene
levels. Plant Physiology, 169, 13-22. doi: 10.1104/pp.15.00284
Gazali, A., & Fathurrahman, F. (2019). Tinjauan Aspek Tanah Dalam
Pengelolaan Daerah Rawa Pasang Surut Di Kalimantan Selatan. SPECTA
Journal of Technology, 3(1), 13-24.
Ghosh, P. K., De, T. K., & Maiti, T. K. (2018). “Role of ACC Daminase as a
stress ameliorating enzyme of plant growth-promoting rhizobacteria useful
in stress agriculture: a review,” in role of rhizospheric microbes in soil:
volume 1: stress management and agricultural sustainability, ed. V. S.
Meena. Springer Singapore, 1, 57-106. doi: 10.1007/978-981-10-8402-
7_3
Glick, B. R., & Pasternak, J. J. (2003). Molecular Biothecnology, Third Edition.
Amer.Soc.for Microbiology. Washington, D.C.
Goss-Souza, D., Mendes, L. W., Borges, C. D., Baretta, D., Tsai, S. M., &
Rodrigues, J. L. M. (2017). Soil microbial community dynamics and
assembly under long-term land use change. FEMS Microbiology Ecology,
93(10). https://doi.org/10.1093/femsec/fix109
Grady, E. N., MacDonald, J., Liu, L., Richman, A., & Yuan, Z. C. (2016). Current
knowledge and perspectives of Paenibacillus: a review. Microbial Cell
Factories, 15(203), 1-18. doi: 10.1186/s12934-016-0603-7
Green, S. J., Prakash, O., Jasrotia, P., Overholt, W. A., Cardenas, E., Hubbard, D.,
Tiedje, J. M., Watson, D. B., Schadt, C. W., Brooks, S. C., & Kostka, J. E.
(2012). Denitrifying bacteria from the genus Rhodanobacter dominate
bacterial communities in the highly contaminated subsurface of a nuclear
44
legacy waste site. Application Environment Microbiol, 78(4), 1039-1047.
doi: 10.1128/AEM.06435-11
Hanafiah, A. S., & Sembiring, M. (2018). Uji potensi isolat bakteri pereduksi
sulfat (BPS) terhadap perubahan kemasaman tanah sulfat masam dan
pertumbuhan tanaman jagung dengan kondisi air tanah berbeda di rumah
kaca. Jurnal Online Agroekoteknologi, 6(3), 515-525.
Hanudin., & Marwoto, B. (2012). Prospek penggunaan mikroba antagonis sebagai
agen pengendali hayati penyakit utama tanaman hias dan sayuran. Jurnal
Litbang Pertanian, 31(1), 9-13.
Hao-Zhi, L., Bao-Gui, Z., Xiu-Kun, W., Guang-Xiu, L., Wei, Z., Xi-Sheng, T.,
Xiao-Pei, D., & Gao-Sen, Z., (2015). Quantitative characteristics of
microorganisms in permafrost at different depths and their relation to soil
physicochemical properties. Science Cold Arid Reg, 4, 127.
https://doi.org/10.3724/sp.j.1226.2012.00127.
Haryono. (2012). Lahan rawa, lumbung pangan masa depan Indonesia. AIARD
Press Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Haryono., Noor, M., Syahbuddin, H., & Sarwani, M. (2013). Lahan rawa:
penelitian dan pengembangan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta.
Hatmanti, A., Lisdyanti, P., Widada, J., & Wahyuona, S. (2018). Keragaman
aksinomisetes yang dapat dikultur dari dasar laut dalam selat Makassar,
Indonesia. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 3(2), 73-93.
Herawati, M. S. (2015). Kajian status kesuburan tanah di lahan kakao kampung
Klain Distrik Mayamuk kabupaten Sorong. Jurnal Agroforestri, 201-208.
Herlina, L., Pukan, K., & Mustikaningtyas, D. (2017). Kajian bakteri endofit
penghasil AIA (Indole Acetic Acid) untuk pertumbuhan tanaman. Cell
Biology & Development, 1(1), 31-35. doi: 10.13057/cellbioldev/t010106
Hertlein, G., Muller, S., Garcia-Gonzales, E., Poppinga, L., Sussmuth, R. D., &
Genersch, E. (2014). Production of the catechol type siderophore
bacilibactin by the honey bee pathogen Paenibacillus larvae. PLoS ONE,
9, e108272.
Holilullah., Afandi., & Novpriansyah, H. (2015). Karakteristik sifat fisik tanah
pada lahan produksirendah dan tinggi di PT Great Giant Pineapple. Jurnal
Agroteknologi Tropika, 3(2), 2337-4993.
Husen, E., Saraswati, R., & Hastuti, R. D. (2008). Rizobakteri pemacu tumbuh
tanaman. Pupuk organik dan pupuk hayati, 191.
Husen, E., Saraswati, R., & Simanungkalit, R. D. (2007). Soil biological analysis
methods (R. Saraswati, E. Husen, & R. D. Simanungkalit eds.)). Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Indraswari, R, R., & Yuhan, R, J. (2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi
penundaan kelahiran anak pertama di wilayah perdesaan Indonesia:
analisis data SDKI 2012. Jurnal Kependudukan Indonesia, 12(1), 1-12.
https://doi.org/10.14203/jki.v12i1.274
Intara, Y. I., Sapei, A., Erizal., Sembiring, N., & Djoefrie, M. H. B. (2011).
Pengaruh pemberian bahan organik pada tanah liat dan lempung berliat
terhadap kemampuan mengikat air. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia,
16(2), 130-15.
45
Islam, H., Nelvia, N., & Zul, D. (2019). Isolasi dan uji potensi bakteri diazotrof
non simbiotik asal tanah kebun kelapa sawit dengan aplikasi tandan
kosong dan limbah cair pabrik kelapa sawit. Jurnal agroteknologi, 9(2).
35-40.
Jiang, X., Wright, A. L., Wang, J., & Li, Z. (2011). Long-term tillage effects on
the distribution patterns on microbial biomass and activities within soils
aggregates. CATENA, 87, 276-280.
Joeng, S. E., Lee, H. J., Jia, B., & Joen, C. O. (2016). Pandoreae terrrae sp. nov.,
isolated from forest soil, and emended description of the genus
Pandoraea. International Jurnal Systematic Evolutionary Microbiology,
66, 3524-3530. doi: 10.1099/ijsem.0.001229.
Joko, T., Kusumandari, N., & Hartono, S. (2011). Optimasi metode PCR untuk
deteksi Pectobacterium carotovorum, penyebab penyakit busuk lunak
Anggrek. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 17(2), 54-59.
Jung, H. M., Ten, L. N., Kim, K. H., An, D. S., Im, W. T., & Lee, S. T. (2009).
Dyella gingsengisoli sp. nov., isolated from soil of a gingseng field in
South Korea. International Journal Systematic and Evolutionary
Microbiology, 59, 460-465.
Karlinski, L., Ravnskov, S., & Rudawska, M. (2020). Soil microbial biomass and
community composition relates to poplar genotypes and enviromental
conditions. Forests, 11(3), 262.
Kasai-Mata, H., Hirakawa, H., & Nakamura, Y. (2013). Commonalities and
differences among symbiosis island of three Mesorhizobium loti strains.
Microbes and Environments, 28(2), 275-278. doi:
10.1264/jsme2.ME12201
Kesaulya, H., Zakaria, B., & Syaiful, S. A. (2015). Isolation and physiological
characterization of PGPR from potato plant rhizosphere in medium land of
Buru Island. Italian Oral Surgery, 3, 190–199.
https://doi.org/10.1016/j.profoo.2015.01.021
Khairani., Aini, F., & Riany, H. (2019). Karakterisasi dan identifikasi bakteri
rizosfer tanaman sawit Jambi. Al-Kauniyah, 12(2), 198-206.
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kauniyah
Kholida, F. T., & Zulaika, E. (2015). Potensi azotobacter sebagai penghasil
hormon AIA (Indol-3-Acetic-Acid). Jurnal Sains dan Seni ITS, 4(2), 2337-
3520.
Kielak, A. M., Barreto, C. C., Kowalchuk, G. A., Van Veen, J. A., & Kuramae, E.
E. (2016). The ecology of Acidobacteria: moving beyond genes and
genomes. Fronties in Microbiology, 7(744), 1-16. doi:
10.3389/fmicb.2016.00744
Kodir, K. A., Juwita, Y., & Arif, T. (2016). Inventarisasi dan karakteristik
morfologi padi lokal lahan rawa di Sumatra Selatan. Buletin Plasma
Nutfah, 22(2), 101-108.
Kotska, J. E., Green, S. J., Rishishwar, L., Prakash, O., Katz, L. S., Ramirez, L.
M., Jordan, I. K., Munk, C., Ivanova, N., Mikhailova, N., Watson, D. B.,
Brown, S. D., Palumbo, A. V., & Brooks, S. C. (2012). Genome sequences
for six Rhodanobacter strains, isolated from soils and the terrestrial
subsurface, with variable denitrification capabilities. Journal of
Bacteriology, 194(16), 4461-4462. doi: 10.1128/JB.00871-12
46
Kuczynski, J., Lauber, C. L., Walters, W. A., Parfrey, L. W., Clemente, J. C., &
Gevers, D., (2011). Experimental and analytical tools for studying the
human microbiome. Nat. Rev.Genet, 13, 47–58. doi:10.1038/nrg3129
Kuncharoen, N., Pitayyakhajonwut, P., & Tanasupawat, S. (2015).
Micromonospora globbae sp. nov., an endophytic actinomycete isolated
from roots of Globba winitii C. H. Wright. International jurnal of
Systematic and Evolutionary Microbiology, 68(4), 1-5.
Kurm, V., Van Der Putten, W. H., & Hol, W. H. G. (2019). Cultivation-succes of
rare soil bacteria is not influenced by incubation time and growth medium.
PLoS ONE, 14(1), e0210073.
Kurniawan, A., & Asriani, E. (2020). Review: quorum sensing bakteri dan
peranannya pada perubahan nilai pH di kolong pascatambang timah
dengan umur berbeda. Jurnal Ilmu Lingkungan, 18(3), 602-609.
Kusumandari, A., Kusumawardani, F., Subroto, S. A., & Wianti, K. F. (2018).
Soil chemical and physical characteristics as a base for achieving
sustainable forest land use in RPH watugudel, KPH Ngawi, Jawa Timur.
In Proceeding of the 2nd International Conference on Tropical Agrculture,
1, 1-6.
Kusumandaru, W., Hermiyanto, B., & Winarso, S. (2015). Analisis indeks
kualitas tanah di lahan pertanian tembakau kasturi berdasarkan sifat
kimianya dan hubungannya dengan produktivitas tembakau kasturi di
kabupaten Jember. Berkala Ilmiah Pertanian, 10(10), 1-6.
Langille, M. G., Zaneveld, J., Caporaso, J. G., McDonald, D., Knights, D., &
Reyes, J. A. (2013). Predictive functional profiling of microbial
communities using 16S rRNA marker gene sequences. Nat. Biotechnol,
31, 814–821. Doi: 10.1038/nbt.2676
Larosa, S. F., Kusdiyantini, E., Raharjo, B., & Sarjiya, A. (2013). Kemampuan
isolat bakteri penghasil Indol Acetic Acid (AIA) dari tanah gambut sampit
Kalimantan Tengah. Jurnal Biologi, 2(3), 41-54.
Laudadio, I., Fulci, V., Palone, F., Stronati, L., Cucchiara, S., & Carissimi, C.
(2018). Quantitative assessment of shotgun metagenomics and 16S rDNA
amplicon sequencing in the study of human gut microbiome. Omics: a
Journal of Integrative biology, 22(4), 248–254.
https://doi.org/10.1089/omi.2018.0013
Lawson, P. A. (2018). Chapter 1 – phylum Actinobacteria. In the Bifidobacteria
and related organisms. Academic Press.
Leiato, J. H., Sousa, S. A., & Ferreira, A. S. (2010). Pathogenicity, virulence
factors, and strategies to fight against Burkholderia capacia complex
pathogens and related species. Application Microbiolology Biothecnology,
87(1), 31-40. doi: 10.1007/s00253-010-2528-0
Lestari, P., Suryadi, Y., Susilowati, D. N., Priyatno, T. P., & Samudra, I. M.
(2015). Karakterisasi bakteri penghasil asam indol asetat dan pengaruhnya
terhadp vigor benih padi. Berita Biologi, 14(1), 19-28.
Logares, R., Sunagawa, S., Salazar, G., Cornejo-Castillo, F. M., Ferrera, I.,
Sarmento, H., Hingamp, P., Ogata, H., de Vargas, C., Lima-Mendez, G.,
Raes, J., Poulain, J., Jaillon, O., Wincker, P., Kandels-Lewis, S., Karsenti,
E., Bork, P., & Acinas, S. G. (2014). Metagenomic 16S rDNA Illumina
tags are a powerful alternative to amplicon sequencing to explore diversity
47
and structure of microbial communities. Environmental
microbiology, 16(9), 2659–2671. https://doi.org/10.1111/1462-2920.12250
Maftua’ah, E., & Susilawati, A. (2018). Bioleaching untuk meningkatkan
produktivitas lahan sulfat masam aktual untuk tanaman padi. Jurnal Ilmu-
Ilmu Hayati, 17(3), 253-264. doi: 10.14203/beritabiologi.v17i3.2922
Mahdiyah, D. (2015). Isolasi bakteri dari tanah gambut penghasil enzim protease.
Jurnal Pharmascience, 2(2), 72-79.
Marchesi, J. R., Sato, T., Weightman, A. J., Martin, T. A., Fry, J. C., Hiom, S. J.,
& Wade, W. G. (1998). Design ang evaluation of useful bacterium-spesific
PCR primers that amplify genes coding for bacterial 16S rRNA. Applied
and Enviromental Microbiology, 64(2), 795-799.
Mardis, E. R. (2008). Next-generation DNA sequencing methods. Annual review
of genomics and human genetics, 9, 387–402.
https://doi.org/10.1146/annurev.genom.9.081307.164359
Marten, T. W., Advinda, L., & Anhar, A. (2018). Pengaruh sumber mineral dan
jenis isolat dari Pseudomonad fluoresen terhadap produksi siderofor. BIO
SAINS, 1(1), 1-10.
McKenney, P. T., Dricks, A., & Eichenberger, P. (2013). The Bacillu Subtilis
endospore: assembly and functions of the multilayered coat. Nature
Reviews Microbiology, 11(1), 33-44.
Mohite, B. (2013). Isolation and characterization of indole acetic acid (AIA)
producing bacteria from rhizosperic soil and its effect on plant growth.
Journal Soil Science and Plant Nutrition, 13(3), 638-649.
Morganti, S., Tarantino, P., Ferraro, E., D'Amico, P., Duso, B. A., & Curigliano,
G. (2019). Next Generation Sequencing (NGS): A Revolutionary
technology in pharmacogenomics and personalized medicine in
cancer. Advances in experimental medicine and biology, 1168, 9–30.
https://doi.org/10.1007/978-3-030-24100-1_2
Moulia, E., Radiastuti, N., & Susilowati, D. N. (2019). Analisis komunitas bakteri
tanah sulfat masam dari dua tipe lahan rawa di Kalimantan dengan
pendekatan next generation sequencing (NGS). Skripsi. Fakultas Sains dan
Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Naether, A., Foesel, B. U., Naegele, V., Weinert, J., Bonkowski, M., & Lohaus,
G. (2012). Enviromental factors affect Acidobacterial communities below
the subgroup level in grassland and forests soils. Applied and Enviroment
Microbiology, 78, 7398-7406.
Nguyen, T. M., Pham, V. H., & Kim, J. (2015). Mesorhizobium soli sp. nov., a
novel species isolate from the Rhizosphere of Robina pseudoacacia L. In
South Korea by using a modified cultur method. Antonie Van Leewenhoek,
108(2), 301-310.
Norris, M. H., Schweizer, H. P., & Tuanyok, A. (2017). Structural diversity oh
Burkholderia pseudomallei lipopolysaccharides affects innate immune
signaling. PLoS Negl Trop Dis, 11(4), e0005571. doi:
10.1371/journal.pntd.0005571
Noor, M. (2010). Lahan gambut, pengembangan, konservasi, dan perubahan
iklim. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
48
Ochman, H., & Santos, S. R., (2005). Exploring microbial microevolution with
microarrays. infection, Genetic and Evolution, 5(1), 103-108.
https://doi.org/10.1016/j.meegid.2004.09.002
Padda, K. P., Puri, A., & Chanway, C. P. (2017). Paenibacillus polymyxa: a
prominent biofertilizer and biocontrol agent for suistainable agriculture.
In agriculturally important microbes for suistainable agriculture.
Springer. Singapura.
Patten, C. L., Blakney, A. J. C., & Coulson, T. J. D. (2013). Activity, distribution
and function of indole-3-acetic acid biosynthetic pathways in bacteria. Crit
Rev Microbiology, 39, 395-415.
Peeters, C., Canck, E. D., Cnockaert, M., Brandt, E. D., Snauwaert, C., Verheyde,
B., Depoorter, E., Spilker, T., LiPuma, J. J., & Vandamme, P. (2019).
Comparative genomics of Pandoraea, a genus enriched in xenobiotic
biodegradation and metabolism. Frontiers in Microbiology, 10, 2556. doi:
10.3389/fmicb.2019.02556
Petriglieri, F., Nierchylo, M., Nielsen, P. H., & Mcllroy, S. J. (2018). In situ
visualisation of the abundant Chloroflexi populations in full-scale
anaerobic digesters and the fate of immigrating species. PLOSE ONE,
13(11), 1-14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0206255
Phongsopitanum, W. T., Kudo, M., Mori, K., Shiomi, P., Pittayakajonwut, K.,
Suwanborirux., & Tanasupawat, S. (2015). Micromonospora fluostatini
sp. nov., isolated from marine sediment. International Jurnal of Systematic
and Evolutionary Microbiology, 65(12), 4417-4423.
Poeloengan, M., Komala, I., & Noor, S. M. (2007). Bahaya dan Penanganan TBC.
Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonis. 207-215.
Pratama, I., Advinda, L., & Fifendy, M. (2018). Pengaruh sumber karbon terhadap
produksi siderofor dari bakteri Pseudomonad fluoresen. Bioscience, 2(2),
50-57.
Prihatiningsih, N., Djatmiko, H. A., & Lestari, P. (2017). Aktivitas siderofor
Bacillus subtilis sebagai pemacu pertumbuhan dan pengendali patogen
tanaman terung. J. HPT Tropika, 17(2), 170-178.
https://doi.org/10.23960/j.hptt.217170-178
Pujiharti, Y. (2017). Peluang peningkatan produksi padi di lahan rawa lebak
Lampung. Jurnal Litbang Pertanian, 36(1), 13-20.
Purnomo, E. A., Sutrisno, E., & Sumiyati, S. (2017). Pengaruh variasi C/N rasio
terhadap produksi kompos dan kandungan kalium (K), pospat (P) dari
batang pisang dengan kombinasi kotoran sapi dalam sistem
vermicomposting. Jurnal Teknik Lingkungan, 6(2), 1-15.
Puspitawati, M. D., Sugiyanta., & Anas, I. (2013). Pemanfaatan mikroba pelarut
fosfat untuk mengurangi dosis pupuk P anorganik pada padi sawah. Jurnal
Agronomi Indonesia, 41(3), 188-195.
Rachman, A., Dariah, A., & Santono, S. (2018). Pengelolaan sawah salin
berkadar garam tinggi. AIARD Press. Jakarta
Radhakrishnan, M., Samshath, K. J., & Balagurunathan, R. (2014). Hydroxamate
siderophore from Bacillus sp. SD12 isolated from iron factory soil.
Current World Environment, 9(3), 990-993.
Raghuwansi, R., & Prasad, J. K. (2018). Perspective of rhizobacteria with ACC
Deaminase activity in plant growth under abiotic stress, in root biology,
49
eds B. Giri, R. Prasad, & A. Varma. Springer International Publishing,
303-321. doi: 10.1007/978-3-319-75910-4_12
Rahayu, S. A., & Gumilar, M. H. (2017). Uji Cemaran air minum masyarakat
sekitar margahayu raya Bandung dengan identifikasi bakteri Escherichia
coli. IJPST, 4(2), 50-57.
Rahmi, A., & Biantary, M. P. (2014). Karakteristik sifat kimia tanah dan status
kesuburan tanah lahan pekarangan dan lahan usaha tani beberapa kampung
di kabupaten kutai barat. ZIRAA’AH, 39(1), 30-36.
Raka, I. G. N., Khalimi, K., Nyana, I. D. N., & Siadi, I. K. (2012). Aplikasi
rizobakteri Pantoea agglomerans untuk meningkatkan pertumbuhan dan
hasil tanaman jagung (Zea mays L.) varietas hibrida Bisi-2. Agrotop:
Journal on Agriculture Science, 2(1), 1-9.
Raza, W., & Shen, Q. (2010). Growth, Fe 3+ reductase activity, and siderophore
production by Paenibacillus polymyxa SQR-21 under differential iron
conditions. Current microbiology, 61(5), 390-395.
Sabbathini, G. C., Pujiyanto, S., Wijanarka., & Lisdiyanti, P. (2017). Isolasi dan
identifikasi bakteri genus Sphingomonas dari daun padi (Oryza sativa) di
area persawahan Cibinong. Jurnal Biologi, 6(1), 59-64.
Sahin, N., Tani, A., Kotan, R., Sedlacek, I., Kimbara, K., & Tamer, A. U. (2011).
Pandoraea oxalativorans sp. nov., Pandoraea faecigallinarium sp. nov.
and Pandoraea vervacti sp. nov., isolated from oxalate-enriched culture.
International Jurnal Systematic Evolutionary Microbiology, 61, 2247-
2253.
Saikia, J., Sarma, R. K., Dhandia, R., Yadav, A., Bharali, R., & Gupta, V. K.
(2018). Alleviation of drought stress in pulse crops with ACC Deaminase
producing rhizobacteria isolated from acidic soil of Northeast India.
Science Repository. 8, 3560. doi: 10.1038/s41598-018-21921-w
Santoso, K., Rahmawati., & Rafdinal. (2019). Eksplorasi bakteri penambat
nitrogen dari tanah hutan mangrove sungai peniti, kabupaten Mempawah.
Jurnal Protobiont, 8(1), 52-58.
Sari, M. N., Sudarsono., & Darmawan. (2017). Pengaruh bahan organik terhadap
ketersediaan fosfor pada tanah-tanah kaya Al dan Fe. Buletin Tanah dan
Lahan, 1(1), 65-71.
Sari,. Ramdana., & Retno, P. (2015). Rhizobium: pemanfaatannya sebagai bakteri
penambat nitrogen. Info Teknis Botani, 12(1), 51-64.
Sawiyo, D., Subardja., & Djaenudin, D. (2000). Potensi lahan rawa di daerah
Kapuas Murung dan Kapuas Barat untuk pengembangan pertanian. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 19(1), 9-15.
Schloter, M., Nannipieri, P., Sorensen, S. J., & Van Elsas, J. D. (2018). Microbial
indicators for soil quality. Biology and Fertility of Soils, 54(1), 1-10.
https://doi.org/10.1007/s00374-017-1248-3
Shimoda, Y., Hirakawa, H., & Sato, S. (2016). Whole-genome sequence of the
nitrogen-fixing symbiotic rhizobium Meshorizobium loti strain TONO.
Genome Announcements, 4(5). doi: 10.1128/genomeA.01016-16.
Shrivastava, P., & Kumar, R. (2015). Soil salinity: a serious enviromental issue
and plant growth promoting bacteria as one of the tools for its alleviation.
Saudi Journal Biology Science, 22, 123-131. doi:
10.1016/j.sjbs.2014.12.001
50
Singh, R. P., Shelke, G. M., Kumar, A., & Jha, P. N. (2015). Biochemistry and
genetics of ACC deaminase: a weapon to “stress ethylene” produced in
plants. Frontier Microbiology, 6, 937. Doi: 10.3389/fmicb.2015.00937
Seprianto. (2017). Modul mata kuliah pengantar bioinformatika. Program Studi
Bioteknologi. Universitas Esa Unggul. Jakarta.
Setiawan, B., Sulistyanto, D., & Senjarini, K. (2017). Karakterisasi fisiologi dan
molekuler bakteri simbion-nematoda entomopatogen berdasarkan sekuen
gen pengkode 16S rRNA dari Bromo kabupaten Probolinggo. Jurnal Ilmu
Dasar, 18(1), 39-42.
Sharma, A., & Johri, B. N. (2003). Growth promoting influence of siderophore-
producing Pseudomonas strains GRP3A and PRS9, in maize (Zea mays L.)
under iron limiting conditions. Microbiol. Res, 158(3), 243–248.
https://doi.org/10.1078/0944-5013-00197
Sharpton, T. J. (2014). An introduction to the analysis of shotgun metagenomic
data. Frontiers in Plant Science. https://doi.org/10.3389/fpls.2014.00209
Shendure, J., Balasubramanian, S., Church, G. M., Gilbert, W., Rogers, J.,
Schloss, J. A., & Waterston, R. H. (2017). DNA sequencing at 40: past,
present and future. Nature, 550(7676), 345–353.
https://doi.org/10.1038/nature24286
Silitonga, D. M., Priyani, N., & Nurwahyuni, I. (2013). Isolasi dan uji potensi
isolat bakteri pelarut fosfat dan bakteri penghasil hormon AIA (Indol
Acetic Acid) terhadap pertumbuhan kedelai (Glycine max L.) pada tanah
kuning. Sainitia Biologi, 1(2), 35-41.
Soil Survey Staff. (2014). Kunci taksonomi tanah edisi ketiga. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Sosilowati., Ichwan, R, M., Nababan, M, L., Wahyudi, A, R., Mahendra, Z, A.,
Massudi, W., Ermuna, S, S., Handayani, A., Utami, S., & Wardhana, W,
A. (2017). Sinkronisasi program dan pembiayaan pembangunan jangka
pendek 2018-2020 keterpaduan pengembangan kawasan dengan
infrastruktur pupr pulau Kalimantan. Pusat Pemrograman dan Evaluasi
Keterpaduan Infrastruktur PUPR, Badan Pengembangan Infrastuktur
Wilayah, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jakarta.
Sosilowati., Ichwan, R, M., Nababan, M, L., Wahyudi, A, R., Mahendra, Z, A.,
Massudi, W., Ermuna, S, S., Handayani, A., Utami, S., & Wardhana, W,
A. (2017). Sinkronisasi program dan pembiayaan pembangunan jangka
pendek 2018-2020 keterpaduan pengembangan kawasan dengan
infrastruktur pupr pulau Sumatra. Pusat Pemrograman dan Evaluasi
Keterpaduan Infrastruktur PUPR, Badan Pengembangan Infrastuktur
Wilayah, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jakarta.
Spieck, E., Spohn, M., Wendt, K., Bock, E., Shively, J., Frank, J., Indenbirken,
D., Alawi, M., Lucker, S., & Hupeden, J. (2019). Extremophilic nitrite-
oxidizing Chloroflexi from yellowstone hot springs. The ISME Journal,
14, 364-379. https://doi.org/10/1038/s41396-019-0530-9
Suastika, I, W., Hartatik, W., & Subiksa, I, G, M. (2014). Karakteristik dan
teknologi pengelolaan lahan sulfat masam mendukung pertanian ramah
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Subiksa, I. G. M., & Setyorini, D. (2011). Pemanfaatan fosfat alam untuk lahan
sulfat masam. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
51
Sudana, W. (2005). Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi
pertanian. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 3(2), 141-151.
http://dx.doi.org/10.21082/akp.v3n2.2005.141-151
Sudarmini, D. P., Sudana, I. M., Sudiarta, I. P. & Suastika, G. (2018).
Pemanfatatan bakteri pelarut fosfat penginduksi hormon AIA (Indol Acetic
Acid) untuk peningkatan pertumbuhan kedelai (Glycine max). Jurnal
Agrikultur Saind dan Bioteknologi, 7(1), 1-12.
Sudaryono. (2009). Tingkat kesuburan tanah ultisol pada lahan pertambangan
batubara sangatta, Kalimantan Timur. Jurnal Teknologi Lingkungan,
10(3), 337-346.
Sufardi., Martunis, L., & Muyassir. (2017). Pertukaran kation beberapa jenis
tanah di lahan kering kabupaten Aceh Besar provinsi Aceh (Indonesia).
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP). Universitas Syekh
Kuala.
Sugiartanti, D., & Sarah. (2020). Inovasi pemanfaatan lahan rawa kalimantan
selatan: peternakan dan perikanan untuk masa depan Indonesia. Prosiding
Seminar Teknologi dan Agribisnis Peternakan. Fakultas Peternakan
Universitas Jendral Soedirman. Semarang.
Sui, X., Zhang, R., Frey, B., Yang, L., He Li, M., & Ni, H. (2019). Land use
change effects on diversity of soil bacterial, Acidobacterial, and fungal
communities in wetlands of the Sanjiang Plain, northeastern China.
Scientific Reports, 9(1), 1-14.
Sukmadewi, D. K. T., Suharjono, S., & Antonius, S. (2015). Uji potensi bakteri
penghasil hormon AIA (Indol Acetic Acid) dari tanah rhizosfer cengkeh
(Syzigium aromaticum L.). Biotropika: Journal of Tropical Biology, 3(2),
91-94.
Sukmawati., & Hardianti, F. (2018). Analisis Total Plate Count (TPC) mikroba
pada ikan asin kakap di kota Sorong, Papua Barat. Jurnal Biodjati, 3(1),
72-79.
Supong, K. C., Suriyachadkun, P., Pitayakhajonwut, K., Suwanborirux., &
Thawai, C. (2013). Potential of actinomycetes species isolated from
marine enviroment. Asian Pasific Jurnal Tropical Biomedic, 2(6), 469-
473.
Suriadikarta, D. A. (2012). Teknologi pengelolaan lahan rawa berkelanjutan: studi
kasus kawasan eks PLG Kalimantan Tengah. Jurnal Sumberdaya Lahan,
6(1), 45-54. http://dx.doi.org/10.21082/jsdl.v6n1.2012.%25p
Suriadikarta, D. A., & Sutriadi, M. T. (2007). Jenis-jenis lahan berpotensi untuk
pengembangan pertanian di lahan rawa. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3),
115-121.
Suryana. (2016). Potensi dan peluang pengembangan usaha tani terpadu berbasis
kawasan di lahan rawa. Jurnal Litbang Pertanian, 35(2), 57-68.
http://dx.doi.org/10.21082/jp3.v35n2.2016.p57-68
Susilawati., Mustoyo., Budhisurya, E., Anggono, R. C. W., & Simanjuntak, B. H.,
(2013). Analisis kesuburan tanah dengan indikator mikroorganisme tanah
pada berbagai sistem penggunaan lahan di Plateau Dieng. Agric, 25(1), 64-
72.
52
Susilawati, A., Nursyamsi, D., & Syakir, M. (2016). Optimalisasi penggunaan
lahan rawa pasang surut mendukung swasembada pangan nasional. Jurnal
Sumberdaya Lahan, 10(1), 51-54.
Susilawati, A., Wahyudi, A., & Minsyah, N. (2017). Pengembangan teknologi
untuk pengelolaan lahan rawa pasang surut berkelanjutan. Jurnal Lahan
Suboptimal, 6(1), 88-94.
Sutandi, A., Nugroho, B., & Sejati, B. (2011). Hubungan kedalaman pirit dengan
beberapa sifat kimia tanah dan produksi kelapa sawit (Elais guineensis).
Jurnal Tanah Lingkungan, 13(1), 21-24.
Suwanda, H., & Noor, M. (2014). Kebijakan pemanfaatan lahan rawa pasang
surut untuk mendukung kedaulatan pangan nasional. Jurnal Sumberdaya
Lahan Edisi Khusus, 12(1), 31-40.
http://dx.doi.org/10.21082/jsdl.v8n3.2014.%25p
Syahputra, E., Fauzi., & Razali. (2015). Karakteristik sifat kimia sub grup tanah
ultisol di beberapa wilayah Sumatra Utara. Jurnal Agroekoteknologi, 4(1),
1796-1803.
Syahputra, F., & Inan, I. Y. (2019). Prospek lahan sawah lebak untuk pertanian
berkelanjutan di kabupaten Banyuasin provinsi Sumatra Selatan.
Indonesian Journal of Socio Economics, 1(2), 109-114.
Tanaka, Y., Matsuzawa, H., Tamaki, H., Tagawa, M., Toyama, T., Kamagata, Y.,
& Mori, K. (2017). Isolation of novel bacteria including rarely cultivated
phyla, Acidobacteria and Verrucomicrobia, from the roots of emergent
plants by simple culturing method. Microbes and Environments, 32, 288-
292.
Tando, E. (2018). Review: upaya efisiensi dan peningkatan ketersediaan nitrogen
dalam tanah serta serapan nitrogen pada tanaman padi sawah (Oryza sativa
L.). Buana Sains, 18(2), 171-180.
Tasma, I. M. (2015). Pemanfaatan teknologi sekuensing genom untuk
mempercepat program pemulAIAn tanaman. Jurnal Litbang Pert, 34(4),
159-168.
Tabatabaei, M., Dastbarsar, M., & Moslehi, M. A. (2019). Isolation and
identification of Pandoraea spp. from bronchoalveolar lavage of cystic
fibrosis patients in Iran. Italian Journal of Pediatrics, 45(118), 1-8.
https://doi.org/10.1186/s13052-019-0687-x
Thawai, C. (2015). Micromonospora casti sp. nov., isolated from a leaf of Costus
speciosus. International Jurnal Systematic Evolution Microbiology, 65,
1456-1461.
Tindi, M., Mamangkey, N. G. F., & Wullur, S. (2017). The DNA barcode and
molecullar phylogenetic analysis several bivalve species from North
Sulawesi waters based on COI gene. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 1(2),
32-38.
Tjampakasari, C. R. (2021). Patogenisitas dan virulensi Burkholderia sp. sebagai
patogen oportunitis. Jurnal Biomedika dan Kesehatan, 4(1), 27-36.
http://dx.doi.org./10.18051/JBiomedKes.2021.v4.27-36
Too, C. C., Keller, A., Sickel, W., Lee, S. M., & Yule, C. M. (2018). Microbial
community structure in a Malaysian tropical peat swamp forest: the
influence of tree species and depth. Frontiers in Microbiology, 9.
https://doi.org/10.3389/fmicb.2018.02859
53
Truong, D. T., Franzosa, E. A., Tickle, T. L., Scholz, M., Weingart, G., Pasolli,
E., Tett, A., Huttenhower, C., & Segata, N. (2015). MetaPhlAn2 for
enhanced metagenomic taxonomic profiling. Nature methods, 12(10),
902–903. https://doi.org/10.1038/nmeth.3589
Upadhyay, M. K., Yadav, P., Shukla, A., & Srivastava, S. (2018). Utilizing the
potential of microorganisms for managing arsenic contamination: a
feasible and suistainable approach. Frontiers in Enviromental Science
Microbiothecnology, 6, 24. https://doi.org/10.3389/fenvs.2018.00024
Utami, P. S. (2004). Laju fotosintesis timun akibat perbedaan kadar natrium pada
aplikasi sipramin. Skripsi. Universitas Jember.
Valvano, M. A. (2015). Intracellular survival of Burkholderia cepacia complex in
paghocyctic cell. Journal Microbiology, 61(9), 607-15. doi: 10.1139/cjm-
2015-0316
Van Den Heuvel, R. N., Van Der Beizen, E., Jatten, M. S. M., Hefting, M. M. &
Kartal, B. (2010). Denitrification at pH 4 by a soil-derived
Rhodanobacter-dominated community. Enviromental Microbiology,
12(12), 3264-3271.
Waluyo., Suparwoto., & Sudaryanto. (2008). Fluktuasi genangan air lahan rawa
lebak dan manfaatnya bagi bidang pertanian di Ogan Komering Ilir. Jurnal
Hidrosfir Indonesia, 3(2), 57-66.
Wang, J., Wang, J., Zhang, Z., Li, Z., Zhang, Z., Zhao, D., Wang, L., Lu, F., & Li,
Y. (2020). Shifts in the bacterial population and ecosystem functions in
response to vegetation in the yellow river delta wetlands. Msysystems,
5(3), e004112-20.
Ward, N. L., Challacombe, J. F., Janssen, P. H., Hentrissat, B., Coutinho, B., &
Wu, M. (2009). Three genomes from the phylum acidobacteria provide
insight into the lifestyles of these microorganism in soils. Application
Environment Microbiology, 75, 2046-2056.
Welkos, S. L., Klimko, C. P., & Kern, S. J. (2015). Characterization of
Burkholderia pseudomallei strains using a murine intraperitoneal infection
model and in vitro machropage Assays. PLoS One, 10(4), e0124667. doi:
10.1371/journal.pone.0124667
Wen, Y., Wu, X., Teng, Y., Qian, C., Zhan, Z., & Zhao, Y. (2011). Identification
and analysis of the gene cluster involved in biosynthesis of paenibactin, a
catecholate siderophore produced by Paenibacillus elgii B69. Enviroment
Microbiology, 13, 2726-2737.
Wirawan, B. D. S., Putra, E. T. S., & Yudono, P. (2016). Pengaruh pemberian
magnesium, boron, dan silikon, terhadap aktivitas fisiologis, kekuatan
struktural jaringan buah dan hasil pisang (Musa acuminata) “raja bulu’.
Vegetalika, 5(4), 1-14.
Wiseschart, A., Mhuantong, W., Tangphatsornruang, S., Chantasingh, D., &
Pootanakit, K. (2019). Shotgun metagenomic sequencing from Manao-Pee
cave, Thailand, reveals insight into the microbial community structure and
its metabolic potential. BMC microbiology, 19(1), 1-14.
Wittenwiler, M. (2007). Mechanisms of iron mobilization by siderophores.
Review Journal. Master Studies in Enviromental Sciences.
54
Wulandari, N., Irfan, M., & Saragih, R. (2019). Isolasi dan karakterisasi plant
growth promoting rhizobacteria dari rizosfer kebun karet rakyat. Jurnal
Dinamika Pertanian, 3, 57-64.
Wylie, K. M., Truty, R. M., Sharpton, T. J., Mihindukulasuriya, K. A., Zhou, Y.,
Gao, H., & Pollard, K. S. (2012). Novel bacterial taxa in the human
microbiome. PloS one, 7(6), e35294. 10.1371/journal.pone.0035294
Xie, C. H., & Yakota, A. (2005). Dyella japonica gen. nov., sp. nov., a γ-
proteobacterium isolated from soil. International Journal Systematic
Evolutionary Microbiology, 55, 753-756.
Xie, J., Shi, H., Du, Z., Liu, X., & Chen, S. (2016). Comparative genomic and
functional analysis reveal conservation of plant growth promoting traits in
Paenibacillus polymyxa and its closely related species. Science
Repository, 6, 21329.
Yabuuchi, E., & Kosako, Y. (2005). Order IV. Sphingomonadales ord. nov. In:
Garrity, G. M., Brenner, D. J., Krieg, N. R., & Staley, J. T. (Eds). Bergeys
manual of systematic bacteriology second edition. Departement of
microbiology and molecular genetics, Michigan state university.
USASingleton, O., & Sainsbury, D. (2006). Dictionary of Microbiology
and Molecular Biology. Wiley & Sons Ltd. United Kingdom.
Yamaya-Ito, H., Shimoda, Y., & Hakoyama, T. (2018). Loss-of-function of
Aspartic peptidase nodule-induced 1 (APN1) in Lotus japonicus efficient
nitrogen-fixing symbiosis with spesific Mesorhizobium loti strains. The
Plant Journal, 93(1), 5-16. doi: 10.1111/tpj.13759.
Yu, J., Zhang, L., Liu, Q., Qi, X., Ji, Y., & Kim, B. S. (2015). Isolation and
characterization of Actinobacteria from Yalujiang coastal wetland, North
China. Asian Pasific Journal of Tropical Biomedicine, 5(7), 555-560.
Yusuf, R., & Purwaningsih. (2009). Studi vegetasi hutan rawa air tawar di Cagar
Alam Rimbo Panti, Sumatra Barat. Berita Biologi, 9(5), 491-508.
Zakary, S., Oyewusi, H. A., & Huyop, F. (2021). Genomic analysis of
Mesorhizobium loti strain TONO reveals dehalogenases for
bioremediation. Jurnal of Tropical Life Science, 11(1), 67-77.
http://dx.doi.org/10.11594/jtls.11.01.09
Zhang, J., Zheng, J. W., Hang, B. J., Ni, Y. Y., He, J., & Li. S. P. (2011).
Rhodanobacter xiangquanii sp. nov., a novel anilofos–degrading
bacterium isolated from a wastewater treating system. Current
Microbiology, 62(2), 645-649.
Zhang, T., Xu, F., Huai, B. D., Yang, X., & Sui, W. Z. (2020). Effects of land use
changes on soil bacterial community diversity in the riparian wetland
along the downstream of Songhua river, Huan Jing ke Xue, 41(9), 4273-
4283.
Zheng, Y., Saitou, A., Wang, C. M., Toyoda, A., Minakuchi, Y., Sekiguchi, Y.,
Ueda, K., Takano, H., Sakai, Y., Abe, K., Yokota, A., & Yabe, S. (2019).
Genome fetaures and secondary metabolites biosynthetic potential of the
class ktedonobacteria. Frontiers in Microbiology, 10, 839.
https://doi.org/10.3389/fmicb.2019.00893
55
LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram segitiga tekstur tanah (Soil Survey Staff, 2014).
Lampiran 2. Kriteria analisis sifat kimia tanah (Eviati & Sulaeman, 2009).
Parameter
Tanah* Nilai
Keterangan
Sangat
Rendah Rendah Sedang Tinggi
Sangat
Tinggi
C (%) <1 1 - 2. 2 - 3 3 - 5 >5
N (%) <0,1 0,1 - 0,2 0,21 - 0,5 0,51 - 0,75 >0,75
C/N <5 5 - 10 11 - 15 16 - 25 >25
P2O5 HCl
25%
(mg/100 g)
<15 15 - 20 21 - 40 41 - 60 >60
P2O5 Bray
(ppm) <4 5 - 7 8 - 10 11 - 15 >15
K2O HCl <10 10 - 20 21 - 40 41 - 60 >60
56
25%
(mg/100 g)
KTK/CEC
(me/100 g
tanah)
<5 5 - 16 17 - 24 25 - 40 >40
Susunan kation
Ca (me/100
g tanah) <2 2 - 5 6 - 10 11 - 20 >20
Mg (me/100
g tanah) <0,3 0,4 - 1 1,1 - 2,0 2,1 - 8,0 >8,0
K (me/100 g
tanah) <0,1 0,1 - 0,3 0,4 - 0,5 0,6 - 1,0 >1,0
Na (me/100
g tanah) <0,1 0,1 - 0,3 0,4 - 0,7 0,8 - 1,0 >1,0
Kejenuhan
Basa (%) <20 20 - 40 41 - 60 61 - 80 >80
Salinitas
(dS/m) <1 1-2 2-3 3-4 >4
Unsur Makro &
Mikro (ppm) Nilai
Keterangan
Sangat
Rendah Rendah Sedang Tinggi
Sangat
Tinggi
Ca 71 107 143 286 572
Mg 2 4 6 23 60
K 8 12 21 36 58
Mn 1 1 3 9 23
Al 1 3 8 21 40
Fe 1 3 5 19 53
P 1 2 3 9 13
NH4 2 2 3 8 21
NO3 1 2 4 10 20
SO4 20 40 100 250 400
CI 30 50 100 325 600
Sangat
Masam Masam
Agak
Masam Netral
Agak
Alkalis Alkalis
pH H2O <4,5 4,5-5,5 5,5-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5
Lampiran 3. Perhitungan konversi KTK
1ppm = 1mg/100g
57
Cmolc/Kg = me/100g = mg/100g
Cmolc/Kg ke ppm = a x {(berat atom a / valensi a) x 10}
• Kadar Al3+ lahan rawa pasang surut KS (25,34 Cmolc/Kg)
= 25,34 x {(27 / 3) x 10}
= 25,34 x 90
= 2.280,6 ppm
• Kadar Al3+ lahan rawa lebak SS
= 7,5 x {(27 / 3) x 10}
= 7,5 x 90
= 675 ppm
Lampiran 4. Reaksi perubahan warna isolat bakteri pada media garam minimal
setelah ditambahkan pereaksi Salkowski
Lampiran 5. Kurva larutan standar AIA
Konsentrasi Larutan Standar Nilai Absorbansi (ppm)
0,2 0,012
1 0,041
5 0,196
15 0,531
58
59
Lampiran 6. Keseluruhan filum, kelas, famili, dan genus serta jenis bakteri lahan rawa pasang surut Kalimatan Selatan (KS)
Filum Kelas Famili Genus Jenis Lokasi
Proteobacteria Alphaproteobacteria
Phyllobacteriaceae Mesorhizobium
Mesorhizobium amorphae
Lahan Rawa Pasang Surut
Kalimantan Selatan (KS)
Mesorhizobium australicum
Mesorhizobium ephedrae
Mesorhizobium erdmanii
Mesorhizobium helmanticense
Mesorhizobium huakuii
Mesorhizobium kowhaii
Mesorhizobium metallidurans
Mesorhizobium muleiense
Mesorhizobium oceanicum
Mesorhizobium opportunistum
Mesorhizobium plurifarium
Mesorhizobium prunaredense
Mesorhizobium qingshengii
Mesorhizobium sanjuanii
Mesorhizobium soli
Mesorhizobium temperatum
Mesorhizobium wenxiniae
Mesorhizobium sp.
Sphingomonadaceae Sphingomonas
Sphingomonas azotifigens
Sphingomonas echinoides
Sphingomonas elodea
Sphingomonas ginsenosidimutans
60
Lampiran 6. Lanjutan
Sphingomonas haloaromaticamans
Sphingomonas hankookensis
Sphingomonas histidinilytica
Sphingomonas jatrophae
Sphingomonas melonis
Sphingomonas montana
Sphingomonas mucosissima
Sphingomonas pruni
Sphingomonas rubra
Sphingomonas soli
Sphingomonas sp.
Betaproteobacteria
Burkholderiaceae Burkholderia
Burkholderia ambifaria
Burkholderia catarinensis
Burkholderia cenocepacia
Burkholderia cepacia
Burkholderia gladioli
Burkholderia glumae
Burkholderia lata
Burkholderia latens
Burkholderia mallei
Burkholderia metallica
Burkholderia multivorans
Burkholderia oklahomensis
Burkholderia pseudomultivorans
Burkholderia puraquae
61
Lampiran 6. Lanjutan
Burkholderia pyrrocinia
Burkholderia reimsis
Burkholderia seminalis
Burkholderia sp.
Burkholderia stagnalis
Burkholderia territorii
Burkholderia thailandensis
Burkholderia ubonensis
Burkholderia vietnamiensis
Pandoraea
Pandoraea norimbergensis
Pandoraea oxalativorans
Pandoraea pnomenusa
Pandoraea pulmonicola
Pandoraea sp.
Gammaproteobacteria
Rhodanobacteraceae
Dyella Dyella japonica
Dyella sp.
Rhodanobacter
Rhodanobacter glycinis
Rhodanobacter sp.
Rhodanobacter thiooxydans
Actinobacteria Actinobacteria Mycobacteriaceae Mycobacterium
Mycobacterium alsense
Mycobacterium angelicum
Mycobacterium canettii
Mycobacterium colombiense
Mycobacterium interjectum
Mycobacterium liflandii
62
Lampiran 6. Lanjutan Mycobacterium paraense
Mycobacterium parascrofulaceum
Mycobacterium paraseoulense
Mycobacterium parmense
Mycobacterium saskatchewanense
Mycobacterium shinjukuense
Mycobacterium sp.
Micromonosporaceae
Micromonospora
Micromonospora aurantiaca
Micromonospora auratinigra
Micromonospora carbonacea
Micromonospora chalcea
Micromonospora chokoriensis
Micromonospora citrea
Micromonospora coriariae
Micromonospora cremea
Micromonospora eburnea
Micromonospora echinaurantiaca
Micromonospora echinofusca
Micromonospora globbae
Micromonospora globispora
Micromonospora globosa
Micromonospora humi
Micromonospora inyonensis
Micromonospora krabiensis
Micromonospora matsumotoense
63
Lampiran 6. Lanjutan
Micromonospora nigra
Micromonospora pallida
Micromonospora peucetia
Micromonospora purpureochromogenes
Micromonospora rifamycinica
Micromonospora rosaria
Micromonospora saelicesensis
Micromonospora sediminicola
Micromonospora sp. 5R2A7
Micromonospora tulbaghiae
Micromonospora viridifaciens
Micromonospora wenchangensis
Firmicutes Bacilli Paenibacillaceae Paenibacillus
Paenibacillus agaridevorans
Paenibacillus alginolyticus
Paenibacillus algorifonticola
Paenibacillus alvei
Paenibacillus amylolyticus
Paenibacillus antibioticophila
Paenibacillus apiarius
Paenibacillus aquistagni
Paenibacillus assamensis
Paenibacillus barcinonensis
Paenibacillus barengoltzii
Paenibacillus beijingensis
Paenibacillus bouchesdurhonensis
64
Lampiran 6. Lanjutan
Paenibacillus bovis
Paenibacillus camerounensis
Paenibacillus castaneae
Paenibacillus catalpae
Paenibacillus cellulosilyticus
Paenibacillus chitinolyticus
Paenibacillus chondroitinus
Paenibacillus contaminans
Paenibacillus crassostreae
Paenibacillus curdlanolyticus
Paenibacillus daejeonensis
Paenibacillus darwinianus
Paenibacillus dauci
Paenibacillus dendritiformis
Paenibacillus donghaensis
Paenibacillus durus
Paenibacillus ehimensis
Paenibacillus elgii
Paenibacillus etheri
Paenibacillus ferrarius
Paenibacillus fonticola
Paenibacillus forsythiae
Paenibacillus ginsengihumi
Paenibacillus glucanolyticus
Paenibacillus gorillae
65
Lampiran 6. Lanjutan
Paenibacillus graminis
Paenibacillus harenae
Paenibacillus herberti
Paenibacillus ihbetae
Paenibacillus ihuae
Paenibacillus ihumii
Paenibacillus illinoisensis
Paenibacillus jamilae
Paenibacillus jilunlii
Paenibacillus lactis
Paenibacillus larvae
Paenibacillus macerans
Paenibacillus macquariensis
Paenibacillus massiliensis
Paenibacillus montanisoli
Paenibacillus mucilaginosus
Paenibacillus nanensis
Paenibacillus naphthalenovorans
Paenibacillus odorifer
Paenibacillus oryzae
Paenibacillus paeoniae
Paenibacillus panacisoli
Paenibacillus pasadenensis
Paenibacillus pectinilyticus
Paenibacillus phocaensis
66
Paenibacillus physcomitrellae
Paenibacillus pini
Paenibacillus pinihumi
Paenibacillus pinisoli
Paenibacillus polymyxa
Paenibacillus polysaccharolyticus
Paenibacillus popilliae
Paenibacillus prosopidis
Paenibacillus rhizosphaerae
Paenibacillus rigui
Paenibacillus rubinfantis
Paenibacillus sanguinis
Paenibacillus selenitireducens
Paenibacillus senegalensis
Paenibacillus senegalimassiliensis
Paenibacillus silvae
Paenibacillus solani
Paenibacillus sp.
Paenibacillus stellifer
Paenibacillus swuensis
Paenibacillus taiwanensis
Paenibacillus terrae
Paenibacillus terrigena
Paenibacillus thiaminolyticus
Paenibacillus tianmuensis
67
Paenibacillus tuaregi
Paenibacillus tyrfis
Paenibacillus uliginis
Paenibacillus wynnii
Paenibacillus xerothermodurans
Paenibacillus xylanexedens
Paenibacillus yonginensis
Paenibacillus zanthoxyli
Gemmatimonadetes Gemmatimonadetes Gemmatimonadaceae Gemmatimonas Gemmatimonas sp.
Lampiran 7. Keseluruhan filum, kelas, famili, dan genus serta jenis bakteri lahan rawa lebak Sumatra Selatan (SS)
Filum Kelas Famili Genus Jenis Lokasi
Proteobacteria Alphaproteobacteria
Phyllobacteriaceae Mesorhizobium
Mesorhizobium ciceri
Lahan rawa lebak
Sumatra Selatan (SS)
Mesorhizobium hawassense
Mesorhizobium japonicum
Mesorhizobium sp.
Sphingomonadaceae Sphingomonas
Sphingomonas aerolata
Sphingomonas asaccharolytica
Sphingomonas astaxanthinifaciens
Sphingomonas changbaiensis
Sphingomonas dokdonensis
Sphingomonas endophytica
Sphingomonas fennica
Sphingomonas hengshuiensis
Sphingomonas indica
68
Lampiran 8. Lanjutan
Sphingomonas jaspsi
Sphingomonas koreensis
Sphingomonas laterariae
Sphingomonas mali
Sphingomonas oleivorans
Sphingomonas phyllosphaerae
Sphingomonas pituitosa
Sphingomonas sanguinis
Sphingomonas sanxanigenens
Sphingomonas sp.
Sphingomonas taxi
Sphingomonas turrisvirgatae
Sphingomonas wittichii
Betaproteobacteria
Burkholderiaceae Burkholderia
Burkholderia contaminans
Burkholderia dabaoshanensis
Burkholderia novacaledonica
Burkholderia plantarii
Burkholderia singularis
Burkholderia sp.
Gammaproteobacteria Rhodanobacteraceae
Dyella Dyella ginsengisoli
Dyella sp. 4G-K06
Rhodanobacter Rhodanobacter fulvus
Rhodanobacter sp. 115
Actinobacteria Actinobacteria Streptomycetaceae Streptomyces Streptomyces abyssalis
Streptomyces aidingensis
69
Lampiran 8. Lanjutan
Streptomyces albidoflavus
Streptomyces albulus
Streptomyces albus
Streptomyces almquistii
Streptomyces amritsarensis
Streptomyces armeniacus
Streptomyces aurantiacus
Streptomyces azureus
Streptomyces bobili
Streptomyces bottropensis
Streptomyces bungoensis
Streptomyces caatingaensis
Streptomyces canus
Streptomyces catenulae
Streptomyces cellostaticus
Streptomyces celluloflavus
Streptomyces cellulosae
Streptomyces chartreusis
Streptomyces coelicoflavus
Streptomyces collinus
Streptomyces corchorusii
Streptomyces cyaneogriseus
Streptomyces davaonensis
Streptomyces decoyicus
Streptomyces exfoliatus
70
Lampiran 8. Lanjutan
Streptomyces fulvoviolaceus
Streptomyces gilvosporeus
Streptomyces globisporus
Streptomyces globosus
Streptomyces griseoplanus
Streptomyces griseorubens
Streptomyces griseorubiginosus
Streptomyces guanduensis
Streptomyces hirsutus
Streptomyces humi
Streptomyces hyaluromycini
Streptomyces iakyrus
Streptomyces incarnatus
Streptomyces ipomoeae
Streptomyces koyangensis
Streptomyces lavendulae
Streptomyces leeuwenhoekii
Streptomyces lincolnensis
Streptomyces longisporoflavus
_Streptomyces lunaelactis
Streptomyces malaysiensis
Streptomyces mangrovisoli
Streptomyces melanosporofaciens
Streptomyces natalensis
Streptomyces nigra
71
Streptomyces orinoci
Streptomyces ossamyceticus
Streptomyces parvulus
Streptomyces pathocidini
Streptomyces pluripotens
Streptomyces populi
Streptomyces pratensis
Streptomyces pristinaespiralis
Streptomyces prunicolor
Streptomyces puniceus
Streptomyces qaidamensis
Streptomyces recifensis
Streptomyces regalis
Streptomyces regensis
Streptomyces reticuliscabiei
Streptomyces rimosus
Streptomyces roseochromogenus
Streptomyces rubrogriseus
Streptomyces scabrisporus
Streptomyces silvensis
Streptomyces sp.
Streptomyces thermoautotrophicus
Streptomyces tricolor
Streptomyces venezuelae
Streptomyces violaceorubidus
72
Streptomyces violaceusniger
Streptomyces wadayamensis
Streptomyces wuyuanensis
Streptomyces xylophagus
Streptomyces yangpuensis
Streptomyces yerevanensis
Streptomyces zhaozhouensis
Streptomyces zinciresistens
Acidobacteria
Acidobacteriia Acidobacteriaceae
Candidatus koribacter Candidatus koribacter versatilis
Candidatus
sulfotelmatobacter
Candidatus sulfotelmatobacter kueseliae
Candidatus sulfotelmatobacter sp. SbA7
Candidatus
sulfotelmatomonas Candidatus Sulfotelmatomonas gaucii
Unclassified Unclassified Acidobacteriia bacterium AA117
Chloroflexi Ktedonobacteria Ktedonobacteraceae Ktedonobacter Ktedonobacter racemifer
Ktedonobacter sp.
Gemmatimonadetes Gemmatimonadetes Gemmatimonadaceae Gemmatirosa Gemmatirosa kalamazoonesis
Unclassified Unclassified Unclassified Gemmatimonadetes bacterium