Download - Kata Pengantar.doc
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi berasal dari dua kata : auto berarti sendiri, nomos berarti rumah
tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti mengurus
rumah tangga sendiri. Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah,
maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh
kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga
pemerintahan daerah sendiri.
Berdasarkan Keputusan Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun
2000 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi
menjadi dasar pengelolaan semua potensi daerah yang ada dan dimanfaatkan
semaksimal mungkin oleh daerah yang mendapatkan hak otonomi dari daerah
pusat. Kesempatan ini sangat menguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki
potensi alam yang besar untuk dapat mengelola daerah sendiri secara mandiri,
dengan peraturan pemerintah yang dulunya mengalokasikan hasil hasil daerah
75% untuk pusat dan 25% untuk dikembalikan kedaerah membuat daerah-daerah
baik tingkat I maupun daerah tingkat II sulit untuk mengembangkan potensi
daerahnya baik secara ekonomi maupun budaya dan pariwisata.
1
Dengan adanya otonami daerah diharapkan daerah tingkat I maupun Tingakat
II mampu mengelola daerahnya sendiri. Untuk kepentingan rakyat demi untuk
meningkatkan dan mensejahtrakan rakyat secara sosial ekonomi.
1.2 Tujuan
Tujuan ditulisnya makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui hal-hal
menegenai otonomi daerah.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Otonomi Daerah
Pengertian "otonom" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri".
Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".Secara
istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah
yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu
sendiri." dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah
masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan
keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan
tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Otonomi daerah menurut UU No.32
tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu daerah otonom dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 6
dijelaskan selanjutnya yang disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
3
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan,
ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi
daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang
tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah
berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan
yang dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2004 sebagai berikut:
1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerinta kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus penting dalam rangka
memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Pengembangan suatu daerah dapat
4
disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-
masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah
untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang
menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh
kemampuan dan kemauan pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi
dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak
melanggar ketentuan perundang-undangan.
2.2. Prinsip Otonomi Daerah
Otonomi daerah diselenggarakan untuk menterjemahkan gagasan
desentralisasi sebagai kritik atas kuatnya sentralisasi yang diselenggarakan pada
masa pemerintahan rezim Soeharto. Desentralisasi dipilih sebab ia memiliki
kelebihan dibanding sentralisasi negara yang melahirkan problem bernegara.
Melalui reformasi, otonomi daerah menjadi kebijakan yang dibuat untuk bisa
membangun tata kelola baru yang lebih baik dibanding masa sebelumnya.
Otonomi daerah memiliki prinsip-prinsip yang harus ada untuk bisa mencapai
tujuan. Prinsip itu adalah:
1. Adanya pemberian kewenangan dan hak kepada pemerintah daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri
2. Dalam menjalankan wewenang dan hak mengurus rumah tangganya,
daerah tidak dapat menjalankan di luar batas-batas wilayahnya.
5
3. Penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan
memperhatikan aspek demokrasi, pelayanan yang prima, keadilan,
pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
4. Penyelenggaraan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemampuan
daerah dan dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk mensejahterakan
masyarakat.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
antar daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah dirumuskan dalam tiga ruang lingkup
interaksi yang utama yakni politik, ekonomi serta sosial dan budaya :
1. Bidang politik. Otonomi daerah adalah sebuah proses untuk membuka
ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara
demokratis. Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan
pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan
memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas
pertanggung jawaban publik. Otonomi daerah juga berarti kesempatan
membangun struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah,
membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang
kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang
efektif.
6
2. Bidang ekonomi. Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan
kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus terbukanya peluang bagi
pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam
konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai
prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi,
memudahkan proses perijinan usaha dan membangun berbagai
infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan
demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat
kesejahteraan yang lebih tinggi untuk masyarakat daerah
3. Bidang sosial budaya Otonomi daerah digunakan untuk menciptakan dan
memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai
lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat
merespons dinamika kehidupan masyarakat.
2.3. Permasalahan Otonomi Daerah
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan
banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan
yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala
yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya
tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
1. Kewenangan yang tumpang tindih Pelaksanaan otonomi daerah masih
kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi
7
pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih
tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga
masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah
kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
2. Anggaran Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga
menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah
dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga
banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas
dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi
daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut
dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan
masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga
dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung
mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
3. Pelayanan Publik Masih rendahnya pelayanan publik kepada
masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan
tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya
akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak
terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan
kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi
terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan
”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan
mengabaikan profesionalitas jabatan.8
4. Politik Identitas Diri Menguatnya politik identitas diri selama
pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha
melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi
daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang
bernuansa etnis
5. Orientasi Kekuasaan Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran
kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat
secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit
lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai
momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara
memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti
”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
6. Lembaga Perwakilan Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata
tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga
perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota
DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan
perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek
terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan
lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan
karir pegawai di daerah.
7. Pemekaran Wilayah Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab
ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah
9
pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna
menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa
pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah
prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah.
Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh
kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan
nasional secara keseluruhan.
8. Pilkada Langsung Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah
ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya
tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung
hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya
yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini.
Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan.
Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard
yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya
itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang
lebih bagus dari sebelumnya.
2.4. Pokok – Pokok Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan bisa memacu prakarsa dan
kreativitas pemerintah daerah untuk bisa menjalankan pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan keseriusan agar
10
kebijakan ini bisa berhasil dijalankan. Pokok-pokok penyelenggaraan otonomi
daerah meliputi:
1. Penyerahan kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada
daerah. Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri,
peradilan, pertahanan, keagamaan serta beberapa bidang kebijakan
pemerintahan yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua
bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan.
2. Dalam otonomi pemerintahan daerah terbagi atas dua ruang lingkup,
bukan tingkatan, yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberi status
otonomi penuh dan propinsi yang diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh
berarti tidak adanya operasi pemerintahan pusat di daerah kabupaten dan
kota, kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan tadi. Otonomi
terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk
melakukan operasi di daerah propinsi.
3. Gubernur propinsi, selain berstatus kepala daerah otonom, juga sebagai
wakil pemerintah pusat. Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada
hubungan hierarki antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota), maka hubungan provinsi dan kabupaten bersifat
koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil pemerintah pusat,
gubernur mengkoordinasikan tugas-tugas pemerintahan antar kabupaten
dan kota di wilayahnya. Gubernur juga melakukan supervisi terhadap
pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan
11
pemerintah pusat serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan
pemerintah berdasarkan otnomi daerah di dalam wilayahnya.
4. Adanya penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala
daerah. Otonomi daerah memberi kewenangan untuk mempertegas DPRD
dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah.
Selain itu untuk memfungsikan peran pemberdayaan dan penyalur aspirasi
masyarakat yang sebenarnya.
5. Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanaan eksekutif melalui
pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai
dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan setara
dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih
responsif dengan kebutuhan daerah.
6. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang
jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian
revenue dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam,
pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi
daerah.
7. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari
pemerintah pusat yang bersifat ”block grant”, pengatura pembagian
sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah
untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya
12
pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya
pembangunan yang ada.
8. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang
bersifat kondusif terhadap uapaya memelihara harmoni sosial dan
solidaritas sosial suatu bangsa.
Dalam otonomi daerah, ada pembagian wewenang antara pemerintah pusat
dan daerah yang diatur menurut UU No.32 tahun 2004. Pembagian wewenang itu
meliputi: 1. Kewewenangan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 3) meliputi: a. politik
luar negeri; b. pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. moneter dan fiskal
nasional; dan f. agama; 2. Kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi (Pasal 13
ayat 1 UU. No. 32 Tahun 2004):
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
13
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota;
10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota ;
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
2.5. Regulasi Otonomi Daerah
Undang-Undang
UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah
UU No.34/2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara14
UU No.22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Menggantikan UU
N0.22/1999
2.6. Otonomi Daerah di Aceh
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum
yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh
terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini
15
tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara
Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15
Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat
menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem
NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan
kewenangan masing-masing.
2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU
Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan
secara nasional.
3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak
diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret
bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan
pemerintahan tersebut.
4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui
pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas
ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan
16
kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan
batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya
telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga
peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan
Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959
tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan
di Aceh.
Provinsi Aceh berdiri pada tanggal 7 Desember 1959 dengan landasan
pendirian berdasarkan UU No. 24 Tahun 1956 yang beribukota Banda aceh. Luas
wilayah provinsi ini ± 57.365,57 km2 dengan posisi ( letak geografis ) 2 derajat –
6 derajat lintang utara dan 95 derajat -98 derajat bujur timur dan berada dalam
pulau sumatra dan memiliki 21 kabupaten. Lambang dari provinsi Nanggroe aceh
Darussalam adalah pancacita. Provinsi ini mempunyai potensi yang sangat besar
baik itu dari segi perikanan, pertanian dan perkebunan, industri, peternakan,
pertambangan, dan kehutanan.
17
Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi yang telah menerapkan otonomi
daerah dengan landasan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan prinsip-
prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 yaitu Penyelengaraan
Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah. Pelaksanaan Otonomi
Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
Aceh merupakan provinsi yang mempunyai potensi perikanan dan
kelautan yang cukup besar. Hasil perikanan di Aceh terdiri dari perikanan darat
dan laut. Potensi perikanan laut di daerah Aceh cukup potensial, tetapi belum
dimanfaatkan secara optimal. Data tahun 1997 menunjukkan bahwa hasil
perikanan laut mencapai 110.817,1 ton dan perikanan darat mencapai 24.436,7
ton. Sedangkan pada tahun 1998 hasil produksi perikanan laut mencapai
114.778,4 ton dan perikanan darat mencapai 23.228,4 ton. Hasil potensi perikanan
di Aceh akan lebih banyak lagi jika perikanan tersebut dikembangkan dengan
menggunakan peralatan yang modern dan canggih. Potensi perikanan, termasuk
perikanan laut di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) belum dimanfaatkan
secara optimal. Sekitar 60% dari total potensi perikanan yang dimiliki oleh
provinsi Aceh belum termanfaatkan an 40% lainnya juga belum termanfaatkan
secaa optimal.
Aceh sejak tahun 1999 telah menerapkan otonomi daerah dal
kepemerintahannya. Secara filosofis, ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dari
penerapan kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah yaitu tujuan demokrasi
dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memposisikan pemerintah 18
daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat
akan menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai elemen
dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta
mempercepat terwujudnya masyarakat madani atau civil society. Tujuan
kesejahteraan mengisyaratkan pemerintahan daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal melalui penyediaan pelayanan publik secara
efektif, efesien.
Otonomi daerah ini berarti pemerintah daerah mempunyai wewenang
penuh dalam mengelola potensi yang dimiliki dan pembangunan. Selain itu
pendapatan yang didapatkan oleh pemerintah daerah 80% kembali ke daerah yang
digunakan sebagai kas daerah, pembangunan dan lain sebagainya dan 20% di
salurkan kepemerintahan pusat. Hal ini akan membuat pemerintah daerah merasa
diberlakukan dengan adil tanpa harus ada terjadinya kesenjangan-kesenjangan
dengan pemerintah pusat. Salah satu aspek yang mempunyai potensi di Nanggroe
Aceh Darussalam adalah perikanan dan kelautan yangterdiri dari perikanan darat
yang meliputi budidaya dan perikanan laut yang meliputi pengangkapan dan juga
budidaya. Peraturan yang mengatur perikanan di Aceh bersumber pada 2 hal yaitu
hukum adat dan perda ( peraturan daerah ) yang mana hal ini dikarenakan otonomi
daerah sehingga daerah mempunyai wewenang untuk mengeluarkan peraturan
yang menyangkut dengan daerahnya. Peraturan adat yang berlaku di Aceh di
dikenal dengan nama hukom laot. Adapun peraturan daerah yang mengatur
perikanan dan kelautan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di sesuaikan
dengan keadaan provinsi tersebut sehingga tidak bertentangan dengan hukum
19
adat. Dengan adanya peraturan daerah yang dibuat diharapkan pemerintah dan
segenap komponen masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam dapat
memanfaatkan potensi yang ada dengan optimal tanpa harus mengakibatkan
ekploitasi yang berlebihan .
Hukum adat yang ada diketuai oleh panglima laot. Panglima Laot
merupakan suatu struktur adat di kalangan masyarakat nelayan di propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, yang bertugas memimpin persekutuan adat pengelola
Hukôm Adat Laôt. Hukôm Adat Laôt dikembangkan berbasis syariah Islam dan
mengatur tata cara penangkapan ikan di laut (meupayang), menetapkan waktu
penangkapan ikan di laut, melaksanakan ketentuan-ketentuan adat dan mengelola
upacara-upacara adat kenelayanan, menyelesaikan perselisihan antar nelayan serta
menjadi penghubung antara nelayan dengan penguasa (dulu uleebalang, sekarang
pemerintah daerah.
Struktur adat ini mulai diakui keberadaannya dalam tatanan
kepemerintahan daerah sebagai organisasi kepemerintahan tingkat desa di
Kabupaten Aceh Besar pada tahun 1977 (Surat Keputusan Bupati Aceh Besar No.
1/1977 tentang Struktur Organisasi Pemerintahan di Daerah Pedesaan Aceh
Besar). Akan tetapi, fungsi dan kedudukannya belum dijelaskan secara detail.
Pada tahun 1990, Pemerintah Aceh menerbitkan Peraturan Daerah No. 2/1990
tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan
Masyarakat beserta Lembaga Adat, yang menyebutkan bahwa Panglima Laôt
adalah orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaan yang berlaku di bidang
penangkapan ikan di laut. Dengan adanya hukom laot ini dapat meminimalisir 20
terjadinya ekploitasi yang berlebihan terhadap penangkapan ikan dan mencegah
terjadi kepunahan ikan karena tata cara dalam menangkap ikan sudah diatur dalam
hukom laot ini.
21
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi,
otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan dan
diterapkan di kepemerintahan daerah. Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah
suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi
Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU
22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada
Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-
luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan
bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonomi
daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Seperti yang kita ketahui Negara
Indonesia memiliki daeah yang sangat luas yang terbagi dalam provinsi-provinsi,
22
kabupaten-kabupaten, kecamatan-kecamatan dan sebagainya. Dengan adanya
desentralisasi melalui penerapan otonomi daerah di harapkan dapat
mengoptimalkan pengelolaan daerah dan memeratakan pembangunan di daerah.
23
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Aceh. 2005. Dalam
Angka: Banda Aceh.
Cholisin, dkk, 2005, Kewarganegaraan SMA/MA kelas XI, Mediatama:Surakarta
J. Kaloh, 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Rineka Cipta: Bandung.
Suprapto,dkk, 2005, Kewarganegaraan Kurikulum 2004 Kelas 3 SMA, PT Bumi
Qaksara, Jakarta
Undang-Undang Otonomi Daerah ( UU. No. 32 dan 33 Tahun 2004) ,Citra
Umbara: Bandung
Wasistiono, Sadu dan Ondo Riyani, 2001, Etika Hubungan Legislatif-Eksekutif
dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah, Pusat Kajian Pemerintahan
STPDN: Bandung
24