KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
(STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)
TESIS untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2
Program Studi Magister Hukum Jurusan Hukum Bisnis
diajukan oleh: Ferdy Alfonsus Sihotang
17447/PS/MH/05
Kepada SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2008
TESIS
KAJIAN HUKUM PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
(STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – JEPANG)
yang dipersiapkan dan disusun oleh
Ferdy Alfonsus Sihotang 17447/PS/MH/05
telah disetujui oleh:
Pembimbing Utama
Prof. Emmy Pangaribuan S, S.H. tanggal …………………….
Pembimbing Pendamping
Sularto, S.H., C.N, M.H. tanggal …………………….
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini
tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam Daftar Pustaka.
Yogyakarta, Juni 2008
Ferdy Alfonsus Sihotang 17447/PS/MH/05
iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmatnya, ditengah-tengah kesibukan pekerjaan yang begitu padat, penulis dapat
menyusun dan menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul : ”KAJIAN HUKUM
PENGATURAN BENTUK USAHA TETAP DALAM PERJANJIAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (STUDI KASUS TAX TREATY
INDONESIA – JEPANG).”
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan banyak fihak sulit rasanya untuk
menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada fihak-fihak yang telah
banyak membantu dalam penyusunan tesis ini baik secara langsung maupun tidak
langsung, antara lain :
1. Ibu Prof. Emmy Pangaribuan S, S.H. dan Bapak Sularto, S.H,C.N,M.H. yang
telah memberikan bimbingan secara tulus dalam penyusunan tesis ini, serta
seluruh staf pengajar yang telah membekali penulis dengan begitu banyak ilmu
pengetahuan.
2. Isteriku dan anak-anakku tersayang serta orang tua yang selalu memberikan doa
dan semangat bagi penulis dalam menjalani hidup ini.
3. Bapak Wahyu Winardi, SE.,M.Si sebagai pejabat di Kantor Pelayanan Pajak
Badan dan Orang Asing Satu di Jakarta dan Bapak Yudi Asmara Jaka Lelana,
S.H.,M.M sebagai Kepala Seksi Harmonisasi Peraturan Ditjen Pajak, yang telah
iv
menyediakan waktu untuk wawancara dan diskusi untuk melengkapi bahan
penulisan tesis.
4. Para Staf dan karyawan di Fakultas Hukum UGM baik yang di Yogyakarta
maupun di Jakarta, yang membantu penulis selama mengikuti pekuliahan.
5. Teman-teman satu angkatan penulis yang sering berdiskusi selama mengikuti
kuliah.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada
semua fihak tersebut di atas.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kelemahan dan
kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan saran
dna kritik yang membangun demi penyempurnaan tesis ini. Namun demikian, penulis
berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai kita sekalian
Jakarta, Juni 2008
Penulis
v
DAFTAR ISI Hal
JUDUL i
PENGESAHAN ii
PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
ABSTRACT viii
INTISARI ix
Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 10
C. Keaslian Penelitian 10
D. Manfaat Penelitian 11
E. Tujuan Penelitian 12
Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Fungsi Pajak 14
B. Azas-Azas Pemungutan Pajak 17
C. Pengertian Penghasilan 20
D. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Internasional 22
E. Tinjauan Umum tentang Bentuk Usaha Tetap 35
Bab III CARA PENELITIAN A. Sifat Penelitian 45
B. Jenis Penelitian 46
C. Jalannya Penelitian 49
D. Analisis Data 50
vi
Bab IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN A. Pengaturan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia menurut Undang-
Undang Pajak Penghasilan 51
B. Pengaturan Bentuk Usaha Tetap menurut Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang 67
C. Analisa Pengaturan Bentuk Usaha Tetap menurut Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang 80
Bab V KESIMPULAN dan SARAN A. Kesimpulan 97
B. Saran 100
DAFTAR PUSTAKA
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dilihat dari sudut pandang ekonomi, pajak adalah salah satu sumber
penerimaan negara yang paling potensial. Target penerimaan pajak dari tahun
ketahun selalu mengalami peningkatan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah
penduduk dan tuntutan kesejahteraan masyarakat. Target penerimaan pajak sesuai
APBN Perubahan Tahun 2007 adalah sebesar lebih kurang Rp. 395, 3 trilyun, di sisi
lain penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi semakin menurun yang
disebabkan cadangan sumber daya alam yang semakin berkurang dan terbatas.
Untuk itu dalam rangka meningkatkan penerimaan negara pemerintah harus
mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan domestik berupa pajak.
Upaya peningkatan penerimaan pajak sangat tergantung kepada bagaimana
aktivitas ekonomi dan perdagangan di negara tersebut. Dalam hal ini peranan
investor baik domestik maupun asing sangat berperan dalam meningkatkan aktivitas
ekonomi dan perdagangan di suatu negara.
Perkembangan teknologi, komunikasi dan informasi di berbagai belahan dunia
berlangsung cepat sehingga mendorong banyak perusahaan-perusahaan di negara
pengekspor modal melakukan efisiensi perekonomiannya agar stabilitas dan
peningkatan produktifitasnya dapat terjamin. Hal ini menimbulkan persaingan yang
ketat dalam perdagangan dunia. Dikaitkan dengan ini, perusahaan sebagai pelaku
utama ekonomi akan berusaha untuk terus meningkatkan efisiensi dan efektivitas
2
bisnisnya dan berusaha mengembangkan usahanya sampai melewati batas yurisdiksi
suatu negara.
Untuk menjalankan operasi secara internasional, perusahaan-perusahaan bisnis
yang besar menyesuaikan struktur organisasinya untuk membagi risiko dan
memperoleh keuntungan dari keputusan ekonomi (Ray August : 192). Lebih lanjut
Ray August menyebutkan bahwa dilihat dari struktur organisasi perusahaan, maka
untuk menjalankan kegiatan usaha sampai melewati batas yurisdiksi suatu negara
dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga bentuk atau struktur organisasi
perusahaan.
Struktur organisasi perusahaan internasional yang sederhana adalah
Perusahaan Non Multinasional (Non Multinational Enterprise), yaitu suatu
organisasi perusahaan di suatu negara yang melakukan kontrak dengan perusahaan
asing yang independen untuk melakukan penjualan atau pembelian di luar negeri.
Banyak perusahaan domestik yang berfungsi dalam pasar internasional melalui
sebuah agen asing. Agen itu yang bisa saja merupakan perusahaan individu swasta
atau perusahaan independen yang bertindak atas nama perusahaan domestik untuk
menjual barang-barangnya atau jasa-jasa di luar negeri (agen seperti ini biasanya
disebut dengan “sales representative”), atau untuk membeli barang-barang atau
mendapatkan jasa untuk prinsipalnya (agen ini disebut “factor”).
Selanjutnya yang lebih kompleks adalah Perusahaan Multinasional Nasional
(National-Multinational Enterprise) yaitu suatu perusahaan induk yang berada di
suatu negara yang mendirikan beberapa cabang dan anak perusahaan di negara-
negara lain. Cabang merupakan suatu unit atau bagian dari induk (seperti kantor
pembelian di luar negeri, pabrik perakitan, pabrik manufaktur atau kantor
3
penjualan), sementara anak perusahaan (subsidiaries) merupakan suatu perusahaan
yang diorganisasikan sebagai entitas hukum yang terpisah yang dimiliki oleh induk.
Organisasi perusahaan yang paling kompleks adalah Perusahaan Internasional
Multinasional (International-Multinational Enterprise) yaitu organisasi perusahaan
yang terdiri dari dua atau lebih induk perusahaan (parent company) di negara-negara
yang berbeda yang menjalankan kegiatan usaha di dua atau lebih negara. Organisasi
Perusahaan ini mirip dengan organisasi perusahaan multinasional nasional, bedanya
ada pada kepemilikan dua atau lebih perusahaan induk yang berlokasi negara yang
berbeda. Kebanyakan perusahaan internasional multinasional berasal dari
penggabungan (merger) perusahaan-perusahaan induk yang beroperasi di negara-
negara berbeda di Eropa Barat.
Perdagangan internasional yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan
internasional tersebut di atas dapat memberikan manfaat ekonomi timbal balik kedua
negara, misalnya permintaan akan suatu produk atau komoditas dari luar negeri
dapat meningkatkan atau mengoptimalkan produktivitas, kesempatan kerja dan
penghasilan bruto kedua negara. Hubungan ekonomis tersebut dapat dimantapkan
dengan investasi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Investasi
asing tersebut selain dapat mengoptimalkan kapasitas produksi nasional dan
kesempatan kerja, juga dapat memperkenalkan produk dan metode penyelenggaraan
usaha, perdagangan atau produksi baru. Selain itu investasi yang dilakukan
perusahaan multinasional dengan strategi aliansinya dapat memperluas dan
memperbesar akses negara terhadap pasar internasional. Akses tersebut dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan ekspor dan perolehan devisa negara (Gunadi :
2007 : 3).
4
Dari segi kekuatan modalnya, negara-negara di dunia dapat dibagi menjadi
dua kelompok yaitu kelompok negara pengekspor modal (capital exporting
countries) dan kelompok negara pengimpor modal (capital importing countries).
Pengertian negara pengekspor modal adalah negara-negara yang sudah maju
sehingga membutuhkan pasal lain sebagai tempat ekspansi bagi modal yang
dimilikinya. Sebaliknya negara pengimpor modal adalah negara-negara yang
mengalami kekurangan modal untuk mendorong kegiatan ekonominya sehingga
perlu mengimpor modal sebagai sarana mendukung kegiatan perekonomiannya.
Kedua kelompok negara tersebut secara cepat atau lambat akan saling berhubungan
melalui pemasukan modal dari satu kelompok ke kelompok lain (Hutagaol : 2000 :
5).
Apabila ada aktivitas ekonomi antar negara yang dapat memberikan
penghasilan, pemerintah dari kedua belah pihak berkeinginan memungut pajak
atasnya. Negara tempat aktivitas dilakukan mengenakan pajak atas penghasilan
dengan penalaran bahwa penghasilan tersebut diperoleh dari sumber yang ada di
negara tersebut. Di pihak lain negara tempat kedudukan pelaku aktivitas
mengenakan pajak atas penghasilan dari aktivitas mancanegara tersebut berdasarkan
argumen bahwa orang atau badan itu adalah penduduk dari negara tersebut.
Aktivitas perusahaan multinasional maupun kegiatan usaha individu-individu
yang melewati yurisdiksi suatu negara akan menimbulkan pajak berganda karena
adanya keinginan dari negara lain untuk mengenakan pajak atas aktivitas bisnis dari
perusahaan multinasional maupun kegiatan usaha individu tersebut. Pajak berganda
sebagai akibat pemajakan oleh dua negara akan memberikan tambahan beban
kepada para pengusaha.
5
Tanpa adanya upaya rekonsiliasi dari undang-undang perpajakan dari masing-
masing negara, maka akan timbul pengenaan pajak berganda yang akan
menghambat arus modal antara suatu negara ke negara lain. Akibat lain yang
mungkin timbul adalah semakin gencarnya upaya untuk melakukan penyelundupan
pajak (tax evasion) yang dilakukan oleh para pengusaha yang melakukan transaksi
antar negara untuk meminimalisir beban pajak yang akan ditanggung (Santoso
Brotodihardjo : 2003 : 14).
Meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan transaksi internasional
akan mendorong pula peningkatan cara-cara penghindaran pajak internasional yang
dilakukan oleh Multinational Company (Majalah Inside Tax, 2007 : 6).
Disinilah pentingnya suatu persetujuan penghindaran pajak berganda antara
dua negara. Perjanjian Penghindaran Pajak berganda (P3B) adalah suatu perjanjian
antar negara yang berfungsi untuk membagi hak pemajakan antara negara sumber
dan negara resident atas penghasilan yang diperoleh oleh Wajib Pajak dari dua
negara yang mengadakan perjanjian.
Persetujuan penghindaran pajak berganda ini dilakukan melalui suatu proses
kompromi yang panjang, tergantung pada sejauh mana suatu negara menentukan hak
pemajakan internasionalnya. Pada dasarnya suatu persetujuan penghindaran pajak
berganda merupakan bentuk penghindaran pajak secara yuridis. Pasal-pasal yang
ada di dalam persetujuan tersebut pada hakekatnya merupakan distributive rules
yaitu membagi hak pemajakan dua negara (Rachmanto Surahmat : 2005 : 3)
Namun proses penyusunan tax treaty atau P3B itu sendiri bukanlah sesuatu hal
yang mudah karena banyaknya kepentingan masing-masing negara di dalamnya. Hal
ini disebabkan adanya perbedaan sudut pandang antara negara investor dengan
6
negara tujuan investasi. Negara investor yang merupakan negara yang
perekonomiannya maju menggunakan Organization for Economic Cooperation and
Development Model (OECD Model) untuk menyusun klausul-klausul dalam suatu
tax treaty atau P3B, sementara negara tujuan investasi yang merupakan negara
berkembang menggunakan United Nation Model (UN Model). Kedua model tax
treaty itu hanyalah berfungsi sebagai guideline yang berisi prinsip-prinsip umum
pembagian hak pemajakan, sedangkan isi dari suatu tax treaty merupakan hasil
kesepakatan negara-negara yang mengadakan perjanjian.
Suatu induk perusahaan yang hendak menjalankan aktivitas usahanya di
negara lain seperti Indonesia dapat dilakukan dengan mendirikan suatu perusahaan
yang berbadan hukum Indonesia (Perseroan Terbatas ) atau dapat juga tidak melalui
suatu perseroan terbatas. Pendirian cabang perusahaan atau kantor perwakilan di
negara lain dengan suatu Perseroan Terbatas, maka status perpajakan nya disamakan
dengan wajib pajak badan biasa seperti perusahaan lainnya di Indonesia. Sedangkan
apabila pendirian kantor perwakilan asing itu tidak berbadan hukum Indonesia maka
akan menimbulkan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, yang kewajiban
perpajakannya diatur di dalam UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan.
Untuk dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dari setiap kegiatan ekonomi
yang terjadi di suatu negara maka harus tersedia suatu administrasi perpajakan yang
baik di negara tersebut. Administrasi pajak yang baik akan dapat memantau
kepatuhan pelaksanaan ketentuan perpajakan dari seluruh Wajib Pajak (tax payers).
7
Mengenai hal ini Carlos Silvani ( 1992 : 275) menyebutkan beberapa kriteria
bagaimana suatu administrasi pajak disebut efektif untuk mengatasi turunnya
penerimaan pajak sebagai berikut :
“Tax administration will be effective if it is able to deal with following key
shortfalls :
1. Unregistered taxpayers. The first shortfalls originates in the gap between potential taxpayers and registered taxpayers;
2. Stopfilling taxpayers. The second shortfalls reflects the difference between registered taxpayers and those who file returns;
3. Tax Evaders. The third is difference between the tax reported by taxpayers and the potential tax according to the law;
4. Delinquent taxpayers. The fourth and the last gap is the one between the amount of taxes that reported owing or that the tax administration may eventually assess and the tax actually paid by taxpayers.” Dalam kenyataannya penyebab tidak optimalnya pencapaian penerimaan pajak
tidak melulu disebabkan kelemahan administrasi otoritas pajak di suatu negara
dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap seluruh Wajib Pajak, tetapi juga bisa
disebabkan oleh ketidak jelasan peraturan atau ketentuan perpajakan yang ada,
keterbatasan pengetahuan perpajakan Wajib Pajak dan persoalan mentalitas aparatur
negara yang kurang profesional. Hal ini tampaknya sejalan dengan pendapat
Soerjono Soekanto (2005 : 8), yang menyebutkan beberapa faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum, yang diantaranya adalah terkait dengan
keberadaan hukumnya/Undang-Undangnya, faktor penegak hukumnya dan faktor
masyarakat.
Persoalan kepatuhan terhadap pajak terkait erat dengan persoalan kepatuhan
terhadap hukum, karena pada hakekatnya pelaksanaan pajak itu merupakan wujud
dari pelaksanaan berbagai peraturan mengenai perpajakan itu sendiri.
8
Dalam praktek, sering terjadi permasalahan antara otoritas perpajakan dengan
investor asing menyangkut masalah Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang
mengakibatkan potensi penerimaan pajak dari BUT kurang optimal. Permasalahan
perpajakan yang timbul bukan hanya disebabkan tidak jelasnya atau kurang
dipahaminya persoalan tentang kriteria atau kedudukan BUT diantara subyek pajak
lainnya menurut UU domestik tetapi juga kurang difahaminya perlakuan perpajakan
BUT sesuai tax treaty atau P3B. Dalam kaitan ini pemahaman terhadap asas-asas
pemungutan pajak maupun teori-teori perpajakan yang ada akan sangat membantu
semua fihak dalam memahami ketentuan UU Pajak domestik maupun perjanjian
perpajakan.
Untuk itulah disamping dilakukannya aspek pengawasan oleh otoritas pajak,
juga mutlak diperlukan pemahaman yang baik akan butir-butir ketentuan tax treaty
baik oleh pelaku dunia usaha mau pun oleh aparatur Direktorat Jenderal Pajak. Tax
treaty itu merupakan aturan main yang penting bagaimana perlakuan pajak
penghasilan atas kegiatan usaha yang dilakukan investor negara asing di Indonesia.
Penerimaan pajak penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang dijalankan
oleh orang atau badan luar negeri tersebut dapat dioptimalisasikan oleh pemerintah
melalui pengawasan administratif berdasarkan undang-undang perpajakan Indonesia
maupun kerjasama perpajakan dengan negara domisili orang atau badan luar negeri
melalui perjanjian perpajakan (tax treaty).
Diantara banyak investor asing yang telah menanamkan modal di Indonesia,
Jepang termasuk salah satu investor asing yang cukup besar menanamkan modal
bagi Indonesia. Sudah sejak lama Jepang dikenal sebagai salah satu negara maju
9
yang sering memberikan bantuan modal ke Indonesia. Bantuan tersebut tidak hanya
berupa hibah (grant) tapi juga pinjaman atau utang (loan).
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal jumlah proyek
dan investasi Jepang dalam lima tahun terakhir adalah sebagai berikut :
Tabel 1 Jumlah Proyek dan Investasi Jepang di Indonesia dalam Lima Tahun Terakhir
No
Tahun
Jumlah Proyek
Nilai Investasi (US $ juta)
1 2002 82 518,6 2 2003 75 1.253,5 3 2004 76 1.689,1 4 2005 76 1.176,4 5 31 Ags 2006 38 281,5
Sumber : Laporan Bulanan Perkembangan Penanaman Modal, BKPM, Agustus 2006
Belakangan ini peranan negara Jepang dalam melakukan investasi di Indonesia
mendapat perhatian yang cukup penting dimata pemerintah. Dalam kunjungan
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla ke Jepang tanggal 23 Mei 2007, diperoleh pernyataan
komitmen dari sejumlah perusahaan Jepang untuk mengembangkan usaha dan
menambah investasi mereka di Indonesia (Kompas, 24 Mei 2007).
Tingginya volume investasi dari negara Jepang di Indonesia seperti tersebut di
atas akan mempunyai potensi pajak yang besar melalui Bentuk Usaha Tetap, baik
melalui pendirian suatu tempat untuk melakukan kegiatan bisnis seperti cabang,
perwakilan, pabrik atau gedung kantor atau melalui kegiatan-kegiatan tertentu.
Penerimaan pajak dari laba suatu Bentuk Usaha Tetap sangat besar peranannya
dalam mendukung penerimaan negara dari sektor pajak secara keseluruhan. Untuk
dapat memajaki Bentuk Usaha Tetap tidak hanya tergantung bagaimana UU Pajak
domestik mengatur tentang Bentuk Usaha Tetap tetapi juga bagaimana perjanjian
10
penghindaran pajak berganda antara Indonesia dan Jepang menentukan kriteria suatu
Bentuk Usaha Tetap.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis hendak mengkaji bagaimana
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Antara Negara Indonesia dengan Negara
Jepang (untuk selanjutnya disingkat P3B Indonesia-Jepang) mengatur masalah BUT
ini, sehingga judul tesis ini adalah “Kajian hukum pengaturan bentuk usaha tetap
dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (Studi kasus tax treaty Indonesia dan
Jepang).”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan Bentuk Usaha Tetap menurut Undang-Undang Pajak
Penghasilan di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaturan Bentuk Usaha Tetap dalam Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda antara Indonesia dengan Jepang ?
3. Apakah pengaturan Bentuk Usaha Tetap dalam Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang telah memberikan hak pemajakan
yang menguntungkan bagi Indonesia ?
C. Keaslian Penelitian
Setelah penulis melakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan
Pascasarjana Fakultas Hukum UGM, maka penelitian dengan judul maupun topik
tesis yang sama belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Namun
11
demikian tesis dengan topik Bentuk Usaha Tetap sudah pernah ditulis oleh
mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum UGM yaitu Triyono Martanto dengan
judul Tesis : “Konsep Bentuk Usaha Tetap di Era Transaksi Elektronik”. Tesis ini
membahas apakah ketentuan Bentuk Usaha Tetap menurut Pasal 2 ayat 5 UU
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dapat diterapkan atas transaksi
elektronik atau tidak.
Dari judul maupun materi yang ditulis oleh penulis sebelumnya jelas
mempunyai materi yang sangat berbeda, karena topik yang ditulis sebelumnya
berhubungan dengan bagaimana Bentuk Usaha Tetap dapat timbul atas transaksi
usaha yang dilakukan melalui media elektronik (virtual), sedangkan topik yang
dipilih penulis kali ini adalah menganalisis bagaimana pengaturan BUT menurut
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya
dalam hukum pajak internasional dalam merancang suatu Tax Treaty yang
dapat memberikan keuntungan yang maksimal bagi Indonesia.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Republik Indonesia
khususnya Direktorat Jenderal Pajak untuk mengkaji kembali keberadaan P3B
Indonesia-Jepang dilihat dari sudut kepentingan ekonomis dan fiskal Indonesia.
12
E. Tujuan Penelitian
Mengacu kepada rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian ini
adalah untuk :
1. Mengetahui pengaturan Bentuk Usaha Tetap di dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan di Indonesia.
2. Mengetahui pengaturan Bentuk Usaha Tetap menurut Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang.
3. Mengetahui apakah pengaturan Bentuk Usaha Tetap dalam Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Jepang itu telah
memberikan hak pemajakan yang menguntungkan bagi Indonesia.