![Page 1: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/1.jpg)
1 STIKes Dharma Husada Bandung
PERSEPSI TENTANG IMUNISASI BOOSTER PADA IBU YANG MEMILIKI BALITA
USIA 24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
GRIYA ANTAPANI KOTA BANDUNG
R. Nety Rustikayanti, S.Kp.,M.Kep1, Yeni Suryamah, S.KM., M.Epid2 Ning Ufiana, S.Kep3 123Program studi S1 Ilmu Keperawatan STIKes Dharma Husada Bandung
Jl Terusan Jakarta No 75 Antapani Bandung
ABSTRAK
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan tubuh pada balita dan imunisasi dapat
memberikan dampak negatif salah satunya adalah penyakit yang berulang, selain itu dampak positif
untuk mencegah terhadap penyakit. Jenis imunisasi ulang diantaranya BCG, DPT, dan campak.
Menurut cakupan imunisasi booster di Kota Bandung tahun 2016 belum mencapai target untuk
imunisasi DPT-HB-HIB (48,8%) dan campak (42,0%), dari cakupan tersebut dipengaruhi oleh
persepsi yang terdiri dari modalitas, ruang, waktu dan struktur konteks. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana persepsi tentang pemberian imunisasi booster pada ibu yang memiliki balita
usia 24 bulan di wilayah kerja puskesmas Griya Antapani Kota Bandung. Jenis penelitian deskriptif
dengan pendekatan survey cross sectional. Jumlah sampel menggunakan teknik random sampling,
sehingga didapatkan 71 orang ibu balita. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner. Analisis berupa
distibusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukan karateristik ibu balita didapatkan sebesar 63,4% rata-
rata usia 20-35 tahun, pendidikan SMA sebesar 60,6% dan ibu berstatus bekerja sebesar 59,2%,
sedangkan persepsi berdasarkan modalitas didapatkan 64,8%, dimensi ruang didapatkan 64,8%,
dimensi waktu didapatkan 76,1%, dan struktur konteks didapatkan 77,5% menunjukan buruk. Saran
diharapkan petugas kesehatan berperan aktif dalam pemberian jadwal imunisasi dengan cara kader
kesehatan dapat memberitahuan jadwal lewat pengeras suara, agar jika ibu lupa tentang jadwal
imunisasi booster ibu dapat melakukanya.
Immunization is the business of giving immunity in infants and immunization can negatively impact
one of which is a recurrent disease, in addition to the positive impact to prevent the disease. Type
repeated immunization include BCG, DPT, and measles. According to booster immunization coverage
in the city of Bandung in 2016 has not reached the target for the DPT-HB-Hib (48.8%) and measles
(42.0%), of such coverage is influenced by the perception that consists of modalities, space, time and
structure context. This study aims to determine how the perception of booster immunization in
mothers who have toddlers ages 24 months at wilayah kerja puskesmas Griya Antapani Kota
Bandung. Descriptive research with approach of cross sectional survey. The samples used in this
research that the mothers were 71 people. The instruments used were questionnaires. Analysis of the
frequency in the form of food distribution. The results showed the characteristics of mothers obtained
amounted to 63.4% of the average age of 20-35 years, the high school education of 60.6% and a
mother working status by 59.2%, while the perception is based on the modalities obtained 64.8%, the
spatial dimension obtained 64.8%, 76.1% earned time dimension and context structure obtained
77.5% showing bad. Suggestions health workers are expected to play an active role in the provision
of immunization schedule by way of health cadres can informed me on schedule through
loudspeakers, so that if mothers forget about the booster immunization schedule mothers can do it.
Kata Kunci : Balita, Booster , Ibu, Imunisasi, Persepsi, Usia
![Page 2: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/2.jpg)
2 STIKes Dharma Husada Bandung
PENDAHULUAN
Kesehatan balita dapat dipengaruhi oleh
lingkungan tempat balita dibesarkan dan
imunisasi yang didapatkannya 0-11 bulan
(imunisasi dasar) dan penting juga untuk di
lakukan imunisasi ulang (booster) pada usia 24
bulan (Marimbi.H, 2010). Program imunisasi
merupakan cara terbaik yang telah
menunjukan keberhasilan yang luar biasa dan
merupakan usaha untuk mencegah penyakit
menular dan juga telah berhasil
menyelamatkan begitu banyak kehidupan
dibandingkan dengan upaya kesehatan
masyarakat lainnya. Program imunisasi ulang
24 bulan yang imunisasi adalah DPT-HB-
HIB, dan campak (Lisnawati, 2011). Dampak
jika tidak dilakukan imunisasi campak yaitu
dapat menyebabkan supresi sistem kekebalan
yaitu penurunan jumlah dan respon dari
eosinofil, limfosit termaksud B dan T cell
sehingga dapat terjadi ensefalitis yang di
sebabkan oleh virus campak dan pneumonia,
laringotracheobronchitis, diare. Dampak tidak
melakukan imunisasi salah satunya adalah
mendapatkan penyakit yang berulang dan
beberapa penyakit yang berbahaya lainnya
(Hadinegoroh, 2011).
Imunisasi adalah suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit,
sehingga bila suatu saat terpapar dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya
mengalami sakit ringan (Kemenkes, 2013).
Imunisasi merupakan usaha memberikan
kekebalan pada bayi dan balita dengan
memasukan vaksin kedalam tubuh agar tubuh
membuat zat anti untuk mencegah terhadap
penyakit tertentu. Sedangkan yang dimaksud
dengan vaksin adalah bahan yang dipakai
untuk merangsang pembentukan zat anti yang
dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan
(misalnya BCG, DPT, dan campak) dan
melalui mulut (misalnya vaksin polio)
(Muhammad, 2012).
Imunisasi adalah suatu proses untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan
cara memasukkan vaksin, yakni virus atau
bakteri yang sudah dilemahkan, dibunuh, atau
bagian-bagian dari bakteri (virus) tersebut
telah dimodifikasi. Imunisasi booster
imunisasi yang diberikan secara ulangan pada
rentan usia 24 bulan (IDAI, 2015). Tujuan
pemberian imunisasi booster untuk diharapkan
balita menjadi kebal terhadap penyakit
sehingga dapat menurunkan angka mordibitas
dan mortalitas serta dapat mengurangi
kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (Ranih dkk, 2014).
Dalam pemberian imunisasi booster salah
satunya dipengaruhi oleh persepsi dan prilaku
pasif seorang ibu misalnya tanggapan atau cara
penerimaan ibu, kurangnya informasi dan
pemahaman terutama pada ibu, hal tersebut
dapat berdampak terhadap peningkatan
frekuensi balita yang tidak diberikan
imunisasi ulang dan yang paling
mempengaruhi perilaku ibu dalam imunisasi
booster salah satu faktornya adalah
pengetahuan ibu tentang imunisasi booster
(Cristiana.N, 2012).
Cakupan imunisasi booster tahun 2015 di Kota
Bandung sudah mencapai target 50% dengan
DPT-HB-HIB (58,9%) dan campak (55%).
Cakupan imunisasi booster di Kota Bandung
tahun 2017 belum mencapai target untuk
imunisasi DPT-HB-HIB (48,8%) dan campak
(42,0%), (Dinas kesehatan kota Bandung).
Tahun 2015 imunisasi booster di puskesmas
Griya Antapani Untuk imunisasi DPT-HB-
HIB 40% dan campak 31%, pada tahun 2017
imunisasi booster DPT-HB-HIB mencapai
30% dan campak 28% (DINKES Kota
Bandung, 2017).
Berdasarkan hasil studi penelitian di
Puskesmas Griya Antapani Kota Bandung
yang didapatkan bahwa angka kejadian
campak pada balita usia 24 bulan mencapai
45% dan pada tahun 2014 meningkat menjadi
50,05%, dan angka kejadian Hepatitis pada
tahun 2015 mencapai 15% dan pada 2016
meningkat menjadi 25%.
Dari uraian di atas ternyata masih banyak
ditemukan angka kejadian campak dan
hepatitis B yang ditemukan di Puskesmas
Griya Antapani Kota Bandung pada bayi usia
24 bulan akibat tidak dilakukan imunisasi
booster. Sehingga peneliti ingin mengetahui
bagaimana persepsi tentang imunisasi booster
pada ibu yang memiliki balita usia 24 bulan di
wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani Kota
Bandung tahun 2016 dan komponen dalam
persepsi yaitu tentang pendidikan ibu (untuk
mengetahui tingkat pemahaman ibu tentang
imunisasi booster) dan bagaimana tentang
lingkungan ibu (dukungan dari keluarga
terdekat suami dan orang tua).
Persepsi merupakan salah satu aspek
psikologis yang penting bagi manusia dalam
merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala
di sekitarnya. Persepsi mengandung pengertian
![Page 3: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/3.jpg)
3 STIKes Dharma Husada Bandung
yang sangat luas, menyangkut intern dan
ekstern. Berbagai ahli telah memberikan
definisi yang beragam tentang persepsi,
walaupun pada prinsipnya mengandung makna
yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, persepsi adalah tanggapan
(penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui
panca inderanya. (Sugihartono dkk, 2007)
Oleh karena itu peran seorang ibu pada
program imunisasi sangatlah penting.
Karenanya suatu pemahaman tentang program
ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut.
Karena masih banyak ibu yang kurang
perhatian terhadap imunisasi ulang atau biasa
disebut dengan imunisasis booster, menyadari
akan hal tersebut maka penelitian yang akan
dilakukan berdasarkan berbagai realita yang
peneliti akan mengambil judul persepsi
tentang imunisasi booster pada ibu yang
memiliki balita usia 24 bulan di Puskesmas
Griya Antapani kota Bandung tahun 2017.
Kepercayaan dan persepsi kesehatan ibu juga
hal yang penting, karena penggunaan sarana
kesehatan oleh balita berkaitan erat dengan
persepsi dan kepercayaan ibu tentang
kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi.
Masalah pengertian dan keikutsertaan orang
tua dalam program imunisasi tidak akan
menjadi halangan yang besar jika pendidikan
yang memadai tentang hal itu di berikan (M.
Ali, 2012).
Dari uraian di atas ternyata masih banyak
ditemukan angka kejadian campak dan
hepatitis B yang ditemukan di lapangan pada
bayi usia 24 bulan sebanyak 31 orang akibat
tidak dilakukan imunisasi booster.Balita yang
tidak dilakukan imunisasi booster sebanyak 86
orang, Sehingga peneliti ingin mengetahui
bagaimana persepsi tentang pemberian
imunisasi booster pada ibu yang memiliki
balita usia 24 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Griya Antapani Kota Bandung
tahun 2017.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian ini termasuk jenis deskriptif.
Dimana studi deskriptif ini merupakan uraian
sistematis tentang teori (bukan sekedar
pendapat pakar atau penulis buku) dan hasil-
hasil penelitian yang relevan dengan variabel
yang diteliti (Sugiyono, 2015). Penelitian ini
menggambarkan persepsi tentang imunisasi
booster pada ibu yang memiliki balita usia 24
bulan di wilayah kerja Puskesmas Griya
Antapani Kota Bandung tahun 2017.
Pendekatan waktu pengumpulan data
dilakukan dalam satu waktu saja penelitian
dengan cara ini dinamakan survey cross
sectional. Survey cross sectional ialah suatu
penelitian untuk mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko dengan
efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada sekali
waktu (Notoatmodjo, 2010). Setiap subjek
penelitian hanya diobservasi sekali saja dan
pengukuran dilakukan dengan
mengindentifikasi bagaimana persepsi ibu
tentang pemberian imunisasi booster di
wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani Kota
Bandung tahun 2017.
Variabel pada penelitian ini persepsi
Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah subjek yang
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
(Nursalam, 2013). Populasi adalah
keseluruhan subjek penelitian (Arikunto,
2013). Oleh karena itu populasi yang diteliti
adalah semua ibu yang memiliki balita usia 24
bulan di wilayah kerja Puskesmas Griya
Antapani Kota Bandung tahun 2017 berjumlah
86 orang.
Sampel Penelitian
Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau
yang dapat dipergunakan sebagai subjek
penelitian melalui sampling. Sedangkan
sampling adalah proses menyeleksi porsi dari
populasi yang dapat mewakili populasi yang
ada. Besar kecilnya jumlah sampel sangat
dipengaruhi oleh rancangan dan ketersediaan
subjek dari penelitian itu sendiri. Semakin
besar sampel yang digunakan semakin baik
dan representatif hasil yang diperoleh. Dengan
kata lain semakin besar sampel, semakin
mengurangi angka kesalahan. Terdapat
beberapa rumus yang dapat dipergunakan
untuk menentukan besar sampel (Nursalam,
2013). Pengambilan sampel pada penelitian ini
menggunakan sampel random sampling yaitu
secara acak dan jumlah sampel yang diambil
ditentukan sendiri oleh rumus random
sampling yaitu menggunakan rumus slovin
sebagai berikut :
𝑛 =𝑁
1 + 𝑁 (𝑒)2
![Page 4: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/4.jpg)
4 STIKes Dharma Husada Bandung
𝑛 =86
1 + 86 (0,05)2
𝑛 =86
1,215
𝑛 = 70,7
Keterangan :
n : Ukuran sampel
N : Ukuran populasi
e : Klonggaran ketidaktelitian karena
kesalahan pengambilan sampel yang dapat
ditolerir, kemudian dikuadratkan (e=0,05)
(Krisyantono, 2008).
Dengan menggunakan rumus Slovin tersebut,
maka jumlah sampel dalam penelitian ini
sebanyak 70,78 balita yang dibulatkan
menjadi 71 ibu. Pada penelitian ini
pengumpulan data menggunakan random
sampling yaitu ditentukan berdasarkan kriteria
sebagai berikut :
Insklusi :
1. Dilakukan nilai lotre dengan cara dikocok
berdasarkan nomor undian 1-86, bilamana
no undian keluar, maka no itu yang
digunakan untuk sampel sebanyak 71 orang
2. Ibu yang memiliki balita usia 24 bulan
3. Ibu yang bersedia dan ada pada saat
dilakukan penelitian
Eksklusi :
1. Ibu yang menolak
2. Ibu yang tidak termasuk undian
Instrumen Penelitian
Insterumen yang digunakan untuk mengukur
pengetahuan adalah kuesioner. Kuesioner
adalah teknik pengumpulan yang dilakukan
dengan cara memberi seperangkat pertanyaan
atau pernyataan secara tertulis kepada
responden. Kuesioner tersebut sudah
disediakan jawabanya sehingga responden
tinggal memilih jawaban yang telah tersedia
(Sugiyono. 2015). Kuesioner ini terdiri dari
beberapa jawaban (Sangat Setuju, setuju, tidak
setuju, sangat tidak setuju) responden hanya
memilih jawaban yang menurut mereka paling
benar. Kuesioner yang diambil dari BAB II
yang meliputi : Modalitas, Dimensi ruang,
Dimensi waktu, Struktur konteks yang sesuai
dengan teori Persepsi. Jumlah pertanyaan 31
pertanyaan, dengan bentuk skala likert yang
diberi skor jawaban Sangat Setuju, setuju,
tidak setuju, sangat tidak setuju dan peneliti
telah memodifikasi pertanyaan yang dibuat.
Hasil jawaban responden kemudian diberi
kategori yaitu 1=baik dan 2 diberi skor buruk.
Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang
menunjukkan tingkat- tingkat kevalidan dan
keshihan suatu instrumen (Riyanto, 2014). Uji
validitas dalam penelitian ini menggunakan
rumus Pearson Product Moment.
Rumus Pearson Pruduct Moment :
𝑟𝑥𝑦
=N ∑ XY − (∑ X)(∑ Y)
√{N ∑ X2 = (∑ X)2}√{N ∑ Y2 − (∑ Y)2}
( Riyanto, 2014).
Keterangan :
r hitung = koefisien korelasi
∑Xi = Jumlah skor item
∑Yi = Jumlah skor total (item)
N = Jumlah responden
Validitas data diolah dengan menggunakan
bantuan komputer yaitu membandingkan r
tabel dengan r hitung/hasil. Penentuan r tabel
ditentukan dengan tabel product moment (r)
dan r hasil dapat dilihat dalam kolom
“Corrected Item-Total Corelation”. Jumlah
responden yang diujikan kepada 30 orang
yaitu dengan tabelnya adalah 0,0361, apabila r
hasil >0,0361 maka semua pertanyaan
dinyatakan valid. Uji validitas dilakukan di
Puskesmas Antapani.
Keputusan uji validitas yang telah dilakukan di
Puskesmas Antapani terhadap 30 orang
diketahui hasil uji validitas sebagai berikut :
Tabel 3.2 Hasil Keputusan Uji Validitas
Sub Variabel Nilai Keputusan
Terendah Tertinggi
Modalitas 0,486 0,903 Valid
Dimensi Ruang 0,378 0,884 Valid
Dimensi Waktu 0,552 0,791 Valid
Struktur Konteks 0,512 0,763 Valid
Sumber : Hasil Pengolahan Statistik 2017
Tabel 3.2 diketahui nilai keputusan uji
validitas yang telah dilakukan di Puskesmas
Antapani terhadap 30 orang yaitu diketahui
dari variabel yang di ujikan adalah bagian sub
variabel modalitas, dimensi ruang, waktu dan
struktur konteks, dari 31 pernyataan yang
diujikan seluruhnya menunjukan nilai r
tabel>0,361 yang berarti valid dan sudah
layak digunakan untuk penelitian.
![Page 5: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/5.jpg)
5 STIKes Dharma Husada Bandung
Uji Realibilitas
Menurut (Riyanto, 2014) realibilitas adalah
indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu
alat pengukur dapat dipercaya atau dapat
diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan
sejauh mana hasil pengukuran tersebut tetap
konsisten atau sama bila dilakukan
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala
yang sama dengan menggunakan alat ukur
yang sama. Instrumen yang baik tidak akan
bersifat tendensius mengarahkan responden
untuk memilih jawaban-jawaban tertentu. Pada
uji reabilitas menggunakan rumus Alpha
Cronbach.
Rumus :
𝑟11= [𝑘
𝑘 − 1] [1 −
∑ 𝜎𝑏2
𝜎𝑡2 ]
Keterangan :
𝑟11 = Reabilitas Instrumen
k = Banyak Jumlah Pertanyaan
∑ 𝜎𝑏2 = Jumlah Varian Butir
𝜎𝑡2 = Farian Total
Pertanyaan yang sudah valid dilakukan uji
relebialitas dengan cara membandingkan r
tabel dengan r hasil. Jika nilai r hasil adalah
alpha yang terletak diawal output dengan
tingkat kemaknaan 5% (0,05) maka setiap
pertanyaan/pernyataan kuesioner dikatakan
valid, jika r alpha lebih besar dari konstanta
(0,6), maka pertanyaan/pernyataan tersebut
reliabel.
Tabel 3.3 Hasil Keputusan Reliabilitas
Sub
Variabel
Jumlah
Soal Reliabilitas Keputusan
Modalitas 8 soal 0,955 Reliabel
Dimensi ruang 7 soal 0,887 Reliabel
Dimensi waktu 8 soal 0,906 Reliabel
Struktur
konteks
9 soal 0,898 Reliabel
Sumber : Hasil Pengolahan Statistik 2017
Tabel 3.3 diketahui nilai keputusan uji
reliabilitas yang dilakukan di Aantapani
terhadap 30 orang yaitu diketahui dari sub
variabel yang diujikan yaitu modalitas,
dimensi ruang, dimensi waktu dan struktur
konteks, dari item pernyataan yang diujikan
hampir seluruhnya menunjukan nilai r
alpha>0,6 yang berarti reliabel dan sudah
layak digunakan untuk penelitian.
Metode Pengumpulan Data
Pertama-tama peneliti mengunjungi tempat
melakukan penelitian, yaitu Wilayah Kerja
Puskesmas Griya Antapani. Kemudian peneliti
meminta izin kepada kepala Puskesma Griya
Antapani, dari puskesmas griya antapani
peneliti langsung ke kader setiap RT
kemudian membuat kontrak dengan ibu kader
dan ibu yang memiliki balita usia 24 untuk
mendapatkan persetujuan menjadi responden
dengan mengisi informed consent.
Peneliti memberikan penjelasan tentang cara
pengisian kuesioner kepada responden, jika
ada responden kurang mengerti atau tidak
mengerti dengan pertanyaan dalam kuesioner
tersebut maka peneliti menjelaskan sampai
responden benar-benar mengerti dan bisa
menjawab soal pertanyaan yang ada pada
kuesioner tersebut. Pengambilan data peneliti
dilakukan sendiri secara langsung oleh peneliti
untuk membagikan kuesioner tentang persepsi
ibu dan mendampingi responden pada saat
pengisian kuesioner sampai selesai. Saat
pengumpulan kuesioner, peneliti mengecek
jawaban dari responden apakah sudah terisi
semua atau belum. Setelah kuesioner
dikumpulkan peneliti melakukan analisis.
Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, dilakukan
pengolahan data, melalui beberapa tahap
sebagai berikut : Editing (Pengeditan Data),
Coding (Pengkodean), Data Entry (Pemasukan
Data)
Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan yaitu
analisa univariat. Analisa univariat bertujuan
untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian, analis
univariat yang dilakukan tehadap tiap variabel
dari hasil penelitian dalam analisa ini
menghasilkan distribusi dan persentase dari
tiap variabel. Analisa ini peneliti akan
menampilkan bagaimana persepsi tentang
imunisasi booster pada ibu yang memiliki
balita usia 24 bulan.
Hasil penelitian dilakukan interprestasi data
dari pertanyaan dengan cara menghitung
persentasi jawaban yang dijawab responden.
Rumus yang digunakan peneliti untuk
menghitung persentase adalah sebagai berikut:
P = 𝑥
𝑁 ×100%
Keterangan :
P = persentase
X = jumlah skor jawaban yang dipilih
responden
![Page 6: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/6.jpg)
6 STIKes Dharma Husada Bandung
N = jumlah skor maksimal
Setelah dilakukan analisis menggunakan
univariat pada penelitian ini dideskripsikan
berdasarkan kategori yang diketahui yaitu baik
dan buruk, kemudian dipaparkan berdasarkan
teori yang ada.
HASIL PENELITIAN
Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik ibu yang
memiliki balita usia 24 bulan di wilayah
kerja puskesmas Griya Antapani Kota
Bandung (n=71) Karakteritik f %
Usia Ibu <20 tahun 9 12.7
20-35 tahun 45 63.4
>35 tahun 17 23.9
Pendidikan
Ibu
SD 4 5.6
SMP 20 28.2
SMA 43 60.6
PT 4 5.6
Status
pekerjaan ibu
Bekerja 42 59.2
Tidak Bekerja 29 40.8
Tabel 4.1 menjelaskan karateristik responden
berdasarkan usia terbanyak pada 20-35 tahun
yaitu 45 orang (63,4%), berdasarkan tingkat
pendidikan ibu terbanyak yaitu SMA sebesar
43 orang (60,6%) dan status pekerjaan ibu
terbanyak yang bekerja sebesar 42 orang
(59,2%).
Tabel 4.2 Gambaran Persepsi ibu terhadap
pemberian imunisasi booster pada balita di
wilayah kerja puskesmas Griya Antapani
Kota Bandung (n=71)
Persepsi ibu f %
Baik 16 22.5
Buruk 55 77.5
Tabel 4.2 menunjukan bahwa persepsi ibu
77,5% mempunyai persepsi buruk terhadap
pemberian imunisasi booster
Tabel 4.3 Gambaran Persepsi ibu terhadap
pemberian imunisasi booster pada balita di
wilayah kerja puskesmas Griya Antapani
Kota Bandung (n=71)
Persepsi f %
Modalitas Baik 26 36.6
Buruk 45 63.4
Dimensi Ruang Baik 25 35.2
Buruk 46 64.8
Dimensi Waktu Baik 17 23.9
Buruk 54 76.1
Struktur Konteks Baik 16 22.5
Buruk 55 77.5
Berdasarkan tabel 4.3 terlihat bahwa modalitas
paling banyak didapatkan 63,4% persepsi ibu
buruk, dimensi ruang paling banyak
didapatkan 64,8% persepsi ibu buruk, dimensi
waktu didapatkan paling banyak 76,1%
persepsi ibu buruk dan dilihat dari struktur
konteks paling banyak didapatkan 77,5%
persepsi ibu buruk.
Pembahasan
Gambaran Karakteristik ibu di wilayah
kerja puskesmas Griya Antapani Kota
Bandung
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan
bahwa karakteritik usia ibu balita sebesar
63,4% berada pada kategori 20-35 tahun. Hal
ini usia tersebut merupakan usia produktif
yang mayoritas ibu belum memiliki
pengalaman yang berarti terhadap tumbuh
kembang pada balita. Pada dasarnya tidak ada
perbedaan antara tingkat usia ibu yang
muda dan tua dalam mengimunisasikan
balita nya, karena usia bukan merupakan
faktor resiko untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan terutama untuk
imunisasi balita, karena sama-sama
mempunyai kesempatan untuk
mengimunisasikan anaknya. Keikutsertaan
pada pelayanan imunisasi tidak membedakan
usia, baik ibu yang berusia 20 tahun
sampai yang berusia lebih dari 35 tahun tidak
memliki perbedaan dalam berperan aktif pada
program imunisasi booster.
Sejalan dengan hasil penelitian Rizani
(2009), yang menyatakan karakteristik ibu
usia 20-35 tahun didapatkan paling banyak,
67,5% yang berarti usia ibu dengan dalam
pemberian imunisasi tidak mendapatkan
perbedaan. Sehingga usia dapat dikatakan
bukan merupakan faktor dalam pemberian
imunisasi dasar balita .
Usia adalah tingkatan usia yang terhitung sejak
dilahirkan sampai saat ini yang berarti semakin
bertambahnya usia maka semakin banyak
pengalaman yang ia peroleh dari hasil
informasi yang ia terima dari penyuluhan,
informasi dari media cetak, surat kabar dan
media lainya yang menunjang informasi
tentang imunisasi booster.
Petugas kesehatan disarankan agar dapat
memberikan penyuluhan tentang imunisasi
booster agar informasi dapat diterima oleh
seluruh ibu, baik dalam usia <20 tahun, 20-35
tahun dan >35 tahun. Sehingga hasil dari
![Page 7: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/7.jpg)
7 STIKes Dharma Husada Bandung
informasi penyuluhan terebut ibu dapat
melakukan imunisasi booster pada balita dan
di pandang baik terhadapnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan
bahwa di wilayah kerja puskesmas Griya
Antapani Kota Bandung mayoritas pendidikan
SMA sebesar 60,6%. Pendidikan sangat erat
kaitnya dengan pengetahun yang berarti, maka
semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin
mengetahui imunisasi booster yang berperan
terhadap kesehatan balitanya. Begitupun
dengan pendidikan rendah maka ibu kurang
aktif dalam pemberian imunisasi booster.
Menurut hasil penelitian Nugroho (2012)
tentang tingkat pengetahuan ibu dengan status
imunisasi dasar balita di Desa Japanan
Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten. Hasil
penelitianya menjelaskan bahwa pendidikan
berakitan erat dengan pengetahuan sebesar
68,7% yang diartikan bahwa ibu yang
berpengetahuan kurang berisiko lebih besar
untuk balita nya tidak mendapatkan imunisasi
booster daripada ibu yang berpengetahuan
baik.
Pendidikan adalah tingkatan jenjang
pendidikan yang pernah ditempuh oleh ibu
balita yang sesuai dengan izajah yang dimiliki
terakhir. Menurut Ahmadi, (2014) bahwa
pendidikan adalah proses pengendalian
secara sadar dimana perubahan-perubahan
didalam tingkah laku dihasilkan didalam diri
orang itu melalui didalam kelompok. Dari
pandangan ini pendidikan adalah suatu
proses yang mulai pada waktu lahir dan
berlangsung sepanjang hidup. Uhbiyati (2007)
mengemukakan bahwa pendidikan pada
hakekatnya merupakan suatu kegiatan yang
secara sadar dan disengaja, serta penuh
tanggung jawab yang dilakukan oleh orang
dewasa kepada anak sehingga timbul
interaksi dari keduanya agar anak mencapai
kedewasaan yang dicita-citakan dan
berlangsung terus menerus.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan
paling banyak di wilayah kerja puskesmas
Griya Antapani Kota Bandung ibu berstatus
bekerja sebesar 59,2%. Sebagian ibu yang
memiliki pekerjaan, ia tidak melakukan
imunisasi booster, dikarenakan mereka
beralasan ia sibuk bekerja dan dengan
kesibukan mereka ibu tidak tahu jadwal
imunisasi booster.
Sejalan dengan hasil penelitian Margawati
(2011) tingkat sosial ekonomi dengan status
imunisasi dasar lengkap pada balita.
Menunjukan hasil penelitiannya hampir 56,0%
ibu bekerja dan ibu tidak melakukan imunisasi
booster karena sibuk dan tidak tahu jadwal
imunisasi booster.
Pada dasarnya mengimunisasikan balita itu
sangat penting bagi tumbuh kembang balita.
Jika tanpa ada imunisasi, akan ada balita yang
terserang penyakit tertentu, bahkan bisa
menyebabkan kematian. Menurut informasi
yang bersumber dari data stastistik, kita bisa
tahu bahwa tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari
100 kelahiran anak akan meninggal
karenapenyakit campak ; 2 dari 100 kelahiran
anak meninggal karena batuk rejan ; 1dari 100
kelahiran anak akan meninggal karena
penyakit tetanus; dan darisetiap 200.000 anak,
1 akan menderita penyakit polio (Maulana,
2009).
Imunisasi yang dilakukan dengan memberikan
vaksin tertentu akan melindungi anak terhadap
penyakit-penyakit tertentu. Walaupun pada
saat ini fasilitas pelayanan untuk vaksinasi ini
telah tersedia di masyarakat, tetapi tidak
semua balita telah dibawa untuk mendapatkan
imunisasi yang lengkap (Maulana, 2009).
Gambaran Persepsi ibu berdasarkan
modalitas dalam pemberian imunisasi
booster pada balita 24 bulan di wilayah
kerja puskesmas Griya Antapani Kota
Bandung
Berdasarkan hasil penelitian di wilayah kerja
puskesmas Griya Antapani Kota Bandung
menunjukan bahwa persepsi ibu berdasarkan
modalitas paling banyak didapatkan 63,4%
persepsi ibu buruk terhadap pemberian
imunisasi booster. Hal tersebut dipengaruhi
oleh sikap ibu yang berpandangan dari
tindakan yang belum terlihat didalam diri ibu.
Oleh karena itu ibu yang berpandangan buruk
terhadap imunisasi tenaga kesehatan harus
memberikan promosi kesehatan dengan
menggunakan alat peraga agar balita mau di
imunisasi booster, serta ibu perlu ilustrasi
gambar, sehingga ibu berprinsip mau datang
dan hadir mengunjungi jadwal imunisasi
booster.
Persepsi berkaitan erat dengan sikap. Persepsi
adalah proses organisme menginterprestasikan
dan mengatur sensasi untuk menghasilkan
pengalaman berharga di dunia. Dengan kata
lain individu dihadapkan dengan situasi atau
stimulus. Individu tersebut
menginterprestasikan stimulus menjadi situasi
yang bermakna baginya berdasarkan pengalam
![Page 8: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/8.jpg)
8 STIKes Dharma Husada Bandung
sebelumnya, akan tetapi apa yang
diinterprestasikan atau dipersepsikan individu
mungkin secara subtansial berdasarkan dari
kenyataan (Borkowski, 2012).
Sejalan dengan hasil penelitian Cristiana
(2012) hubungan persepsi dengan perilaku ibu
dalam pemberian imunisasi campak pada
balita. Hasil penelitianya menunjukan bahwa
82,2% persepsi ibu terhadap imunisasi yaitu
buruk.
Hasil kuesioner persepsi pada penelitian yang
telah dilakukan pada sub variabel modalitas,
pada pertanyaan dimensi modalitas, ibu
menyatakan tidak setuju jika balita 24 bulan
dilakukan imunisasi booster, karena ibu
berpandangan dengan usia 24 bulan balitanya
sudah cukup besar dan ibu juga berpandangan
bahwa dengan balita sakit bukan karena
imunisasi booster. Pemberian imunisasi
booster akan menimbulkan persepsi yang
positif terhadap pemberian imunisasi booster.
Begitu juga sebaliknya persepsi yang negatif
maka akan menimbulkan pengaruh yang buruk
dalam pemberian imunisasi booster. Pratiwi
dan Purnawati (2009) menerangkan bahwa
salah satu kendala dalam pemberian imunisasi
booster yaitu ibu yang kurang mengetahui
tentang manfaat pemberian imunisasi booster.
Pandangan masyarakat yaitu ibu balita
terhadap kesehatan sering terdapat persepsi
negatif tentang imunisasi. Tidak jarang
dijumpai orang tua yang ragu atau bahkan
menolak imunisasi mungkin berdasarkan
antara lain pandangan religi, fisolofis tertentu.
Alasan lain berhubungan dengan keamanan
vaksin, keraguan tentang manfaat dan
keamanan imunisasi, penggunaan jarum
suntik, ketakutan akan efek demam yang
timbul setelah imunisas, pandangan bahwa
PD3I tidak menimbulkan masalah kesehatan
yang berbahaya (Ranuh, 2011).
Gambaran Persepsi ibu berdasarkan
dimensi ruang dalam pemberian imunisasi
booster pada balita 24 bulan di wilayah
kerja puskesmas Griya Antapani Kota
Bandung
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukan
persepsi ibu berdasarkan dimensi ruang paling
banyak didapatkan 64,8% persepsi ibu buruk
terhadap pemberian imunisasi booster. Hal
tersebut ibu beranggapan bahwa imunisasi
hanya dilakukan pada balita sakit, akan tetapi
ibu tahu akan pentingnya imunisasi, karena
pada dasarnya imunisasi booster tidak
memandang status usia balita, karena
imunisasi booster pada balita merupakan
perencanaan dan jangka waktu yang sangat
panjang dan dilakukan pada balita sesuai
usianya. Selain itu persepsi dimensi ruang
yang dimiliki oleh ibu sebagian responden
didapatkan buruk. Hal ini terjadi karena
dipengaruhi oleh perilaku ibu, oleh karena itu
dibutuhkan peningkatan cakupan imunisasi
melalui pendidikan ibu telah menjadi strategi
populer di berbagai negara. Strategi ini
berasumsi bahwa anak-anak tidak akan di
imunisasi secara benar di sebabkan orang tua
tidak mendapat penjelasan yang baik atau
karena memiliki sikap yang buruk tentang
imunisasi. Program imunisasi dapat berhasil
jika ada usaha yang sungguh-sungguh dan
berkesinambungan pada orang-orang yang
memiliki pengetahuan dan komitmen yang
tinggi terhahad imunisasi (Ranuh, 2011)
Jika suatu program intervensi preventif seperti
imunisasi ingin di jalankan secara serius dalam
menjawab perubahan pola penyakit dan
persoalan pada anak dan remaja, maka
perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan
masyarakat sangat di perlukan. Strobino
mengatakan bahwa banyak literatur yang
menghubungkan antara faktor ibu dengan
penggunaan sarana kesehatan baik itu tindakan
pencegahan atau pengobatan penyakit, namun
hanya sediit penelitian yang secara khusus
mencari hubungan antara pengetahuan dan
sikap ibu dengan imunisasi anak (Ranuh,
2011)
Cakupan imunisasi yang rendah merupakan
persoalan yang kompleks. Bukan hanya faktor
biaya, karena ternyata vaksin gratis ternyata
juga tidak menjadi jaminan bagi suksesnya
imunisasi. Batas mengemukakan hasil
penelitian Becher yang mendapatkan bahwa
ibu-ibu yang anaknya jarang terserang
penyakit adalah mereka yang lebih sering
memanfaatkan sarana-sarana kesehatan
pencegahan. Mereka mengaku bahwa dengan
memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap
sarana pencegahan dan melakukan usaha
pencegahan yang teratur, anak mereka dapat
terhindar dari sakit (Ranuh, 2011)
Hasil kuesioner yang dilihat dari dimensi
ruang bahwa paling banyak menunjukan ibu
tidak setuju jika imunisasi booster hanya
dilakukan untuk balita sakit, karena dimesi
ruang erat kaitanya dengan latar belakang
riwayat sebelumnya, besar kemungkinan
sebagian ibu yang melakukan imunisasi
![Page 9: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/9.jpg)
9 STIKes Dharma Husada Bandung
booster pada balita 24 bulan, ibu pernah
memiliki latar belakang riwayat sebelumnya
yaitu balita ibu sering sakit, ketika ia tidak
melakukan imunisasi booster pada balitanya,
oleh karena itu ibu berpandangan bahwa untuk
pernyataan tersebut tidak setuju jika ruang
lingkup dihubungkan dengan balita sakit.
Gambaran Persepsi ibu berdasarkan
dimensi waktu dalam pemberian imunisasi
booster pada balita 24 bulan di wilayah
kerja puskesmas Griya Antapani Kota
Bandung
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan
bahwa persepsi ibu berdasarkan dimensi waktu
didapatkan paling banyak 76,1% persepsi ibu
buruk terhadap pemberian imunisasi booster.
Hal ini imunisasi booster yang dilakukan pada
balita 24 bulan dipengaruhi oleh budaya yang
menjadi penyebab persepsi ibu buruk terhadap
pemberian imunisasi pada balita adalah desas-
desus yang didengar oleh ibu tentang
imunisasi seperti adanya anggapan yang
menyatakan bahwa imunisasi tersebut tidak
berguna, imunisasi menyebabkan anak sakit,
imunisasi tersebut haram untuk diberikan pada
bayi dan seterusnya.
Faktor lain yang mempengaruhi pemberian
imunisasi booster balita yaitu kepercayaan ibu
terhadap imunisasi booster. Dengan demikian
adanya pandangan ibu tentang persepsi buruk
terhadap kepercayaan, maka ibu tidak
memberikan imunisasi booster pada balitanya
dan selain itu dukungan yang diterima oleh
ibu, selama ini ibu tidak mendapatknya baik
dari dukungan suami, keluarga dan petugas
kesehatan. Oleh karena itu disarankan kepada
tenaga kesehatan agar memberikan arahan/
dorongan kepada orang tua khususnya ibu agar
merubah persepsi buruk tentang imunisasi
booster dengan cara melakukan penyuluhan
rutin, penyuluhan ini diutamakan pada ibu
yang tidak memberikan imunisasi booster
pada balitanya agar mereka memberikan
imunisasi booster sesuai usianya yaitu 24
bulan.
Menurut Notoatmodjo (2012) bahwa
menyatakan perilaku tidak hanya dipengaruhi
oleh persepsi saja. Sedangkan faktor – faktor
yang mengganggu pada persepsi ibu tentang
imunisasi booster pada balita adalah
kepercayaan, budaya, tenaga kesehatan, alat
dan vaksin. Semakin baik persepsi ibu tentang
imunisasi booster pada balita semakin baik
pula perilaku ibu untuk memberikan imunisasi
booster pada balitnya.
Hasil kuesioner berdasarkan dimensi waktu
bahwa sebagian ibu menjawab ibu tidak setuju
jika imunisasi booster memberikan jadwal
sesuai kebutuhan dan harapan ibu. Besar
kemungkinan jadwal yang dibutuhkan ibu
kurang sesuai dengan apa yang diharapkan ibu
saat ini sehingga dimensi waktu yang kurang
efektif dan ibu lupa tentang jadwal imunisasi
booster. Oleh karena itu petugas kesehatan
harus berperan aktif untuk melakukan
informasi tentang jadwal yang efesien dengan
cara petugas atau juru imunisasi/kader
kesehatan menginformasikan lewat pengeras
suara di mesjid agar jadwal imunisasi sangat
efektif dalam ibu melakukanya.
Gambaran Persepsi ibu berdasarkan
struktur konteks terhadap pemberian
imunisasi booster pada balita di wilayah
kerja puskesmas Griya Antapani Kota
Bandung
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan
bahwa persepsi ibu berdasarkan struktur
konteks paling banyak didapatkan 77,5%
persepsi ibu buruk terhadap pemberian
imunisasi booster. Hal ini dipengaruhi oleh
informasi tentang imunisasi ulang masih
belum dipahami oleh ibu balita. Pada dasarnya
informasi tentang imunisasi booster adalah
suatu hal yang penting bagi ibu balita.
Pelayanan yang baik dari petugas kesehatan
sangat mempengaruhi status imunisasi booster
pada balita. Petugas yang bersikap ramah, baik
dan selalu memberikan informasi tentang
pentingnya imunisasi dasar pada balita akan
mempengaruhi ibu-ibu yang mempunyai balita
akan datang ke tempat pelayanan kesehatan
dalam hal ini Posyandu untuk
mengimunisasikan balitanya.
Menurut Suparyanto (2011) pelayanan petugas
kesehatan yang baik terhadap ibu dipengaruhi
oleh kesadaran petugas kesehatan akan
profesionalisme kerja sangat mempengaruhi
kepuasan ibu. Pelayanan petugas kesehatan
dapat mempengaruhi imunisasi booster pada
balita, karena ibu balita merasa puas dengan
pelayanan yang diberikan oleh petugas
kesehatan, jika hasil dari pelayanan kesehatan
yang diperoleh oleh ibu secara optimal, maka
ibu akan merasa puas dab apabila diperoleh
hasil yang optimal bagi setiap ibu dan
pelayanan kesehatan memperhatikan
kemampuan ibu atau keluarganya, ada
![Page 10: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/10.jpg)
10 STIKes Dharma Husada Bandung
perhatian terhadap keluhan, kondisi
lingkungan fisik dan memprioritaskan
kebutuhan pasien, sehingga tercapai
keseimbangan yang sebaik-baiknya antara
tingkat rasa puas dan hasil yang diderita-derita
serta jerih payah yang dialami guna
memperoleh hasil tersebut. Upaya
memberikan pelayanan kesehatan pada
individu dan masyarakat yang profesional
akan mempengaruhi status kesehatan
masyarakat terutama kesehatan balitanya.
Hasil kuesioner berdasarkan dimensi struktur
konteks bahwa ibu berpandangan ibu kurang
setuju dengan informasi tentang imunisasi,
Karena saat ini masih belum dipahami oleh
sebagian ibu. Oleh karena itu petugas
informasi harus memberikan informasi secara
keseluruhan konteks baik dari segi dimensi
ruang misalnya petugas kesehatan memberikan
informasi lewat alat peraga seperti gambar,
lifleat agar balita mau di imunisasi booster
secara tepat dan lengkap.
SIMPULAN
1. Gambaran karateristik ibu balita didapatkan
usia 20-35 tahun sebesar 63,4%, paling
banyak pendidikan SMA sebesar 60,6%
dan ibu berstatus bekerja sebesar 59,2%.
2. Gambaran persepsi ibu berdasarkan
modalitas didapatkan 63,4% mempunyai
persepsi buruk, dimensi ruang didapatkan
64,8% mempunyai persepsi buruk, dimensi
waktu didapatkan 76,1% mempunyai
persepsi buruk dan struktur konteks
didapatkan hampir seluruhnya ibu
mempunyai persepsi buruk yaitu 77,5%
Saran
1. Bagi Puskesmas Griya Antapani
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan
bahwa persepsi ibu buruk, diharapkan agar
pihak Puskesmas dapat memberikan
informasi kepada ibu tentang imunisasi
booster, baik menggunakan alat peraga
ataupun tertulis, sehingga dapat
memberikan pemahaman ibu tentang
manfaat imunisai booster pada balita usia
24 bulan.
2. Bagi Ibu Balita
Diharapkan ibu dapat melakukan imunisasi
booster pada balita usia 24 bulan, secara
rutin, umur dan sesuai jadwal, sehingga
kesehatan untuk balitanya dapat terjamin.
3. Bagi Petugas Kesehatan
Diharapkan agar petugas kesehatan dapat
berperan aktif dalam memberikan jadwal
imunisasi kepada ibu, dengan cara kader
kesehatan memberitahuan jadwal lewat
pengeras suara dan jika ibu lupa tentang
jadwal imunisasi booster ibu dapat
melakukanya, walapun ibu bekerja, akan
tetapi balitanya dapat dittipkan pada orang
tua ibu mereka, atapun tentangga yang
melakukanya.
4. Bagi Penelitian Selanjutnya
Diharapkan agar penelitian selanjutnya
dapat meneliti tentang perbedaan
pendidikan terhadap persepsi ibu tentang
imunisasi booster pada balita 24 bulan,
sehingga hasilnya dapat dibedakan antara
seblum dan sesudah informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, 2014. Psikologi Sosial. Jakarta.
Rineka Cipta.
Arikunto, 2013. Prosedur Penelitian: Suatu
pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Bloom, (2001) dalam Notoatmodjo (2010).
Pendidikan dan Perilaku
kesehatan.Cetakan 2 Jakarta:PT.
Rineka Cipta.
Cristiana, C. N. 2012. Hubungan Persepsi
dengan Perilaku Ibu Dalam Pemberian
Imunisasi Campak pada Balita. Prodi
DIII Keperawatan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Ponorogo.
Dewi, 2010. Teori dan Pengukuran
Pengetahuan , Sikap dan Perilaku
Manusia.. Yogyakarta : Nuha Medika
DINKES Kota Bandung, 2017. Data
cakupan imunisasi tahun 2015-2016.
Hadinegoroh, 2011. Perilaku dan sikap,
pandangan masyarakat tentang
Imunisasi.
Hidayat, 2005. Pengantar Konsep Dasar
Keperawatan, Jakarta: Salemba
Medika
IDAI, 2015. Imunisasi Booster diakses
pada tanggal 10 April, 2016 melalui
situs :
Repository.usu.ac.id/bitstream/123456
789/57887/4/Chapter II,pdf
Kemenkes, 2013. Kesehatan Anak Untuk
Imunisasi, diakses pada tanggal 10
April, 2016 disutus :
![Page 11: Jurnal persepsi tentang imunisasi booster balita usia 24 bulan](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022103010/5a6767c67f8b9a656a8b4e8d/html5/thumbnails/11.jpg)
11 STIKes Dharma Husada Bandung
http://kesehatananakku.com/apakah-
imunisasi-booster-itu-perlu.html.
Kotler, 2000. Persepsi dan pengukuranya.
Jakarta : EGC.
Krisyantono, 2008. Teknik Praktis Riset
Komunikasi dan Pandangan Persepsi.
Jakarta: Kencana.
Laura A. K, 2010. Psikologi Umum.
Jakarta: Salemba Humanika.
Lisnawati, 2011. Dampak status imunisasi
anak balita Di indonesia terhadap
kejadian penyakit. Media Penelit. dan
Pengembang. Kesehat. Volume XIX
Tahun 2009, Suplemen II
M. Ali, 2012. Penelitian Kependidikan
Prosedur dan Strategi, Bandung :
Angkasa.
Margawati, 2011. Persepsi Mahasiswa
terhadap Etika Profesi.
Marimbi.H, 2010. Tumbuh Kembang
Status Gizi dan Imunisasi Dasar pada
balita. Jakarta : EGC.
Maulana, 2009. Promosi Kesehatan.Jakarta:
EGC
Mitayani, 2010. Asuhan Keperawatan
Maternitas (Imunisasi). Jakarta:
Salemba Medika.
Muhammad, 2012. Vaksin dan Zat Anti
Body. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, 2007. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, 2010. Promosi Kesehatan
Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Novi Candra Cristiana, 2012. Hubungan
Persepsi Dengan Perilaku Ibu Dalam
Pemberian Imunisasi Campak Pada
Balita.
Nugroho, 2012. Tingkat pengetahuan ibu
dengan status imunisasi dasar bayi di
Desa Japanan Kecamatan Cawas
Kabupaten Klaten.
Nursalam, 2013. Pendekatan praktis
metodologi Riset Keperawatan.
Jakarta
Patilima hamid, 2013 Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung : Alfabeta
Pediatrik, 2010. Manfaat Imunisasi untuk
balita.
Ranih dkk, 2014. Imunisasi Booster pada
Balita, diakses pada tanggal 10 April
2016, diakses melaluisitus:
http://www.parenting.co.id.
Ranuh, G., Suyitno, H., Hadinegoro,
S.R.S., Kartasasmita, B.C.,
Ismoedijanto., dan soedjatmiko. 2011.
Pedeoman imunisasi di
indonesia.satgas Imunisasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Riyanto, 2014. Aplikasi Metodologi
Penelitian Kesehatan. Nuha Medika.
Yogyakarta.
Rizani 2009. Pentingnya Imunisasi Booster
pada Anak, akses pada tanggal 10 april
2016 melalui situs :
Library.usu.ac.id/donwnload/fk/anak-
muhammad,pdf.
Robbins, 2003. Buku ajar patologi. 7 nd ed
, Vol. 1. Jakarta : Penerbit. Buku
Kedokteran EGC
Rusmil, K., Fadlyana, E., dan BachtiarS.
N,. 2010. Booster Vaksinasi Hepatitis
B Terhadap Anak yang Non
Responder. Sari Pediatri, Vol. 12, No.
2, Agustus 2010.
Saleh & Wahab, 2004. Seputar Imunisasi
Booster pada Anak, diakses pada
tanggal 10 April, 2016, melalui situsus
:http://www.dokter-
anakku.com/seputar-imunisasi/
jadwal-imunisasi.
Soekanto, 2012. Sosiologi suatu Pengantar.
Jakarta: P.T.Raja Grafindo.
Sugihartono dkk, 2007. Psikologi
Pendidikan, Yogyakarta : UNY Press.
Sugiyono, 2015. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&B.
Bandung: Alfabeta.
Suparyanto, 2011. Pelayanan Petugas
Imunisasi Biooster. Rineka Cipta.
Sutomo, 2010. Perkembangan Usia Balita.
Jakarta. EGC.
Uhbiyati, 2007. Fisiologis dan pendidikan.
Jakarta EGC.