Download - Inkontinensia Pada Manusia Lanjut Usia
Inkontinensia pada Manusia Lanjut Usia
Ricky Sunandar
10.2012.227
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
I. Pendahuluan
Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada
orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan
oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut
merupakan masalah yang wajar terjadi pada usia lanjut dan tidak perlu diobati. Berbagai
komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, gangguan tidur,
masalah psikososial dan lainnya. Pada umumnya pasien akan mengurangi minum karena
khawatir mengompol yang berujung pada dehidrasi. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah ini baik nonfarmakologis, terapi bedah maupun pemberian obat.1
II. Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang
penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta
bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien. Berdasarkan anamnesis yang baik dokter
akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut.
1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan
diagnosis)
1 | P a g e
2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan
pasien (diagnosis banding)
3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor
predisposisi dan faktor risiko)
4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor
prognostik, termasuk upaya pengobatan)
6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan
diagnosisnya
Selain pengetahuan kedokterannya, seorang dokter diharapkan juga mempunyai
kemampuan untuk menciptakan dan membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya
untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis. Lengkap artinya
mencakup semua data yang diperlukan untuk memperkuat ketelitian diagnosis, sedangkan
akurat berhubungan dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh. 2
Anamnesis diawali dengan memberikan salam kepada pasien dan menanyakan
identitas pasien tersebut. Dilanjutkan dengan menanyakan keluhan utama, dan untuk setiap
keluhan waktu muncul gejala, cara perkembangan penyakit, derajat keparahan, hasil
pemeriksaan sebelumnya dan efek pengobatan dapat berhubungan satu sama lain.
Riwayat penyakit sekarang berhubungan dengan gejala penyakit, perjalanan penyakit
dan keluhan penyerta pasien. Riwayat penyakit terdahulu merupakan penyakit yang pernha
diderita pasien dapat masa lalu. Riwayat sosial ialah kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan
kebiasaan pasien sehari-hari. Riwayat keluarga ialah riwayat penyakit yang pernah dialami
atau sedang diderita oleh keluarga pasien.3
Pemeriksaan Fisik
Pada kasus didapati seorang wanita 75 tahun datang dengan keluhan sering tidak
dapat menahan keinginan berkemih sehingga sering miksi di celana terutama saat tertawa
hingga kemudian miksi tanpa sadar. Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum tampak
sakit ringan compos mentis dengan berat badan 60 kg dan tinggi badan 170 cm. Denyut nadi
85 kali per menit dengan tekanan darah 130/80 mmHg serta suhu 37oC dan respiratory rate 20
kali per menit.
2 | P a g e
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan demikian adalah
cotton swab test, pad test, paper towel test dan stress testing. Cotton Swab Test biasanya
digunakan untuk menilai mobilitas uretral pada wanita. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
memasukan cotton swab lubrikasi steril kedalam uretra hingga masuk ke kandung kemih.
Kemudian cotton swab ditarik hingga sekitar leher kandung kemih. Wanita dengan keadaan
lantai pelvis normal akan menunjukkan cotton swab yang membentuk sudut nol derajat
dengan lantai rata. Kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan ototnya seperti saat
menahan pada saat ingin berkemih dan perubahan sudut yang diharapkan adalah kurang dari
30 derajat. Apabila lebih dari 30 derajat maka pemeriksan ini menunjukkan adanya
hipermobilitas uretra yang merupakan salah satu penyebab inkontinensia urin.
Pad Test biasanya dilakukan sebagai tes objektif untuk melihat apakah cairan yang
keluar adalah benar urin biasanya menggunakan agen pewarna seperti phenyl salicylate,
benzoic acid, atropine sulfate, methylene blue dan agen lainnya dan pasiennya menggunakan
bantalan seperti pampers kemudian melakukan aktivitas biasa dan kenaikan satu gram pada
bantalan tersebut mengindikasikan adanya satu mililiter urin. Test ini disebut negatif apabila
perubahan beratnya kurang dari satu gram. Pad Test tidak dilakukan pada wanita yang sedang
dalam fase menstruasi.
Paper Towel Test merupakan uji dengan hasil yang cepat dan sesuai dengan berapa
banyak stress yang didapat hingga adanya urin yang keluar mengindikasikan inkontinensia
urin. Pasien diminta untuk batuk beberapa kali dengan menadahkan uretra ke arah tissue
toilet dan terdapat tetesan pada tissue toilet tersebut. Luas permukaan yang basah dapat
dihitung dan dapat mengindikasikan volume urin yang keluar akibat stress yang didapat.
Stress Testing merupakan uji paling sensitif yang merupakan uji pelvis dengan
observasi langsung terhadap hilangnya urin dengan uji pemberian stress yakni batuk. Uji ini
dapat mengarah pada kesalahan apabila keadaan kandung kemih pasien sedang dalam
keadaan kosong. Prinsipnya, kandung kemih pasien dimasukkan air steril kira-kira 250
hingga 500 mL dan setelah pasien diinstruksikan untuk batuk pada posisi litotomi. Apabila
adanya urin yang keluar berarti pasien tersebut terkena kondisi inkontinensia urin. Apabila
tidak maka dapat dilakukan pada posisi lain. Apabila hasil uji negatif pada pemeriksaan
penunjang cystometrogram maka pasien tersebut dapat didiagnosa menderita inkontinensia
urin.4
3 | P a g e
Pemeriksaan Penunjang
Kultur urin : untuk menyingkirkan infeksi.
IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula.
Urodinamik :
uroflowmetri : mengukur kecepatan aliran
sistometri : menggambarkan kontraktur detrusor
sistometri video : menunjukkan kebocoran urin saat mengedan pada pasien
dengan inkontinensia stres
flowmetri tekanan uretra : mengukur tekanan uretra dan kandung kemih saat
istirahat dan selama berkemih
Sistoskopi : jika dicurigai terdaoat batu atau neoplasma kandung kemih.
Pemeriksaan spekulum vagina ± sistogram jika dicurigai terdapat fistula
vesikovagina.5
Diferensial Diagnosis
I. Inkontinensia stress
Kebocoran urin terjadi ketika tekanan infraabdomen melebihi tekanan uretra
(misalnya batuk, mengedan, atau mengankat beban), biasanya pada gejala
inkompetensi uretra.
II. Inkontinensia urgensi
Ketidakstabilan otot detrusor idiopatik menyebabkan peningkatan tekanan
intravesika dan kebocoran urin. Ketidakmampuan menahan keluarnya urin
dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
III. Inkontinensia overflow
Kerusakan pada serat eferen dari refleks sakralis menyebabkan atonia kandung
kemih. Kandung kemih terisi oleh urin dan menjadi sangat membesar dengan
menetesnya urin yang konstan, misalnya distensi kandung kemih kronis akibat
obstruksi.5
IV. Inkontinensia fungsional
Terjadi karena imobilitas, defisit kognitif, paraplegia, atau daya kembang
kandung kemih yang buruk.
4 | P a g e
Working Diagnosis
Pada kasus didapatkan seorang wanita 75 tahun dengan keadaan umum yang tampak
sakit dan kesadaran yang kompos mentis. Pasien mengeluh tidak dapat menahan rasa
keinginan bermiksinya sehingga sering terjadi miksi involunter. Pasien juga mengatakan
miksi involunter terjadi terutama saat tertawa bersemangat dan secara tidak sadar urin telah
keluar secara involunter. Dari anamnesis pasien yang sedemikian rupa dan tidak didapati
tanda-tanda adanya infeksi atau lainnya, maka dapat dibuatkan working diagnosis bahwa
pasien mengidap Inkontinensia Urin Tipe Mixed et causa Stress dan Urgensi.
Etiologi
Penyebab dari Inkontinensia Urin seperti pada kasus dapat terjadi akibat beberapa hal.
Pada wanita, penyebab umum terjadinya Inkontinensia urin adalah lemahnya sokongan dari
pelvis. Wanita dapat kehilangan support dari pelvis setelah melahirkan, operasi, ataupun
penyakit yang dapat melemahkan kekuatan jaringan atau juga setelah kehilangan esterogen
postmenopausal. Atau sebab yang kurang ditemui seperti defisiensi kekuatan sphincter
intrinsic utethra yang dapat terjadi karena proses penuaan, trauma pelvis, atau operasi seperti
histerektomi, urethropexy atau pubovaginal sling.
Penuaan dapat menyebabkan inkontinensia akibat adanya pelemahan kekuatan
jaringan ikat, hipoesterogisme, peningkatan gangguan medis, peningkatan diuresis malam
hari. Obesitas, melahirkan, COPD dan merokok dapat menyebabkan inkontinensia, bersama
dengan aktivitas musculus detrusor yang berlebihan yang masih belum diketahui sebabnya.4
Epidemiologi
Inkontinensia urin biasanya tidak sempat didiagnosis dan juga tidak dilaporkan.
Perkiraannya adalah 50-70% wanita dengan inkontinensia urin gagal untuk mencari
pertolongan medis akibat stigma sosial. Sekitar 10-13 juta orang diperkirakan mengalami
inkontinensia urin di USA dan sekitar 200 juta di dunia dengan perawatan inkontinensia urin
di USA memakan biaya 16.3 miliar dollar.
Inkontinensia urin lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria dengan
perbandingan dua banding satu. 7% pada anak diatas 5 tahun, 10-35% pada orang dewasa dan
50-84% pada pasien geriatri. Survei inkontinensia urin yang dilakukan oleh Divisi Geriatri
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada 208 orang usia lanjut
di lungkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta pada tahun 2002 mendapatkan angka
5 | P a g e
kejadian inkontinensia urin tipe stress sebesar 32,2%. Sedangkan pada tahun 2003 di tempat
yang sama pada 179 pasien geriatri didapatkan angka kejadian inkontinensia urin sebesai
20,5% pada laki-laki dan 32.5% pada perempuan. Sedangkan penelitian lain yang melakukan
penelitian pada 1150 orang yang diambil secara random dan diatas 60 tahun, 434 orang
diantaranya mengalami inkontinensia urin. Dari mereka yang mengalami inkontinensia urin
55,5% merupakan inkontinensia urin tipe campuran, 26,7% dengan inkontinensia urin tipe
stress saja, 9% dengan inkontinensia urin tipe urgensi dan 8,8% dengan diagnosis lain.1,4
Dibandingkan dengan ras dan suku, wanita kulit putih memiliki prevalensi terkena
inkontinensia urin yang lebih besar dibadingkan dengan wanita kulit hitam. Sekitar 46%
wanita kulit putih menderita inkontinensia urin sedangkan hanya 30% wanita kulit hitam
yang menderita inkontinensia urin.4
Patofisiologi
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian
koordinasi proses fisiologik yakni fase penyimpanan dan fase pengosongan. Ketika pengisian
kandung kemih terjadi, otot dalam kandung kemih yang dinamakan muskulus detrusor
berelaksasi, sebaliknya saat pengosongan. Kontraksi kandung kemih disebabkan karena
aktivitas parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sphincter uretra
internal akan tertutup karena akvitas saraf simpatis yang dipicu oleh nor-adrenalin.
Invervasi sphincter uretra interna dan eksterna terjadi oleh persarafan nervus pudendal
somatik setinggi sakral 4. Pada inkontinensia urin, inervasi tidak terjadi dengan baik
menyebabkan uretra tidak dapat menutup dengan baik sehingga urin dapat keluar, yang dapat
menyebkan inkontinensia urin tipe urgensi akibat tidak dapat menahan keinginan berkemih
dan dengan melemasnya sphincter uretra eksterna (dipersarafi oleh saraf motorik).
Sebaliknya, dengan pemberian adrenergik-alfa dapat menyebabkan sfingter uretra
berkontraksi. Atau apabila adanya tekanan intra abdomen dan kandung kemih yang penuh
serta dengan otot serat dasar pelvis yang tidak suportif lagi menyebabkan urin dapat keluar
menyebabkan inkontinensia stress (akibat adanya tekanan intra abdominal yang naik).1
Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan inkontinensia urine, dapat dilakukan beberapa cara, yaitu :
1. Terapi nonmedikamentosa
Biasanya hal yang dilakukan dalam terapi ini ialah dengan cara melatih otot panggul
untuk menahan kemih dengan teknik distraksi dan relaksasi. Usahakan agar berkemih
6 | P a g e
terjadi 6-7 kali saja dalam sehari. Para lansia akan dilatih untuk menahan keinginan
berkemihnya sendiri yang tadinya tidak terkontrol menjadi terkontrol, dalam waktu-
waktu tertentu saja. Mula-mula bisa dilakukan tiap jam, kemudian diperpanjang
intervalnya menjadi 2-3 jam.6
2. Terapi medikamentosa
Estrogen : Baik dosis oral, 0,3-1,25 mg, diminum tiap hari maupun krim
vagina memperbaiki keadaan estrogen pada uretra yang maksimal. Obat ini
ampuh untuk mengatasi inkontinensia urgensi.
Agonis adrenergic-alfa, seperti pseudoefedrin−15-30 mg dosis oral, diminum
2 kali/hari, menghasilkan kontraksi otot polos, memperbaiki tekanan
penutupan uretra yang maksimal. Obat ini ampuh untuk mengatasi
inkontinensia stress.
Obat antikolinergik
o Ditropan atau Ditropan XL (oksibutinin) mencegah kontraksi detrusor
spontan. Efek samping meliputi mulut kering, iritabilitas, ansietas, dan
retensi urine.
o Detrol atau Detrol LA (tolterodin) memiliki sedikit efek samping
karena obat ini memiliki afinitas selektif yang tinggi terhadap reseptor
muskarinik di kandung kemih. Namun, obat ini dikontraindikasikan
pada pasien penderita glaucoma, retensi urine atau gastrik.
Antidepresan trisiklik, seperti imipiramin−Obat ini telah berhasil mengatasi
baik inkontinensia stress maupun urgensi. Obat ini memiliki efek
antikolinergik dan alfa-adrenergik.
Agens antimuskarinik: Karena obat ini secara tidak langsung berlawanan
dengan saraf simpatis yang merelaksasi otot polos, obat ini digunakan untuk
kandung kemih yang hiperaktif. Lihat informasi sebelumnya pada Obat-obatan
antikolinergik.7
3. Terapi pembedahan
Terapi ini biasanya dilakukan pada penderita inkontinensia tipe urgensi dan stres.
Dengan catatan, apabila kedua cara terapi diatas sudah dilakukan dan tidak berhasil.
Terapi ini dilakukan dengan pembedahan untuk menghilangkan retensi pada urin.6
7 | P a g e
Komplikasi
Komplikasi yang dapat menyertai Inkontinensia Urin adalah infeksi saluran kemih,
kelainan kulit, gangguan tidur, depresi, mudah marah dan rasa terisolasi dan juga dehidrasi
akibat kurang asupan air dan decubitus.1
Prognosis
Baik dengan perawatan yang baik pula dari tim medis. Pada Inkontinensi tipe stress
dengan terapi alpha-agonist keadaan dapat membaik sekitar 19-74%, dengan terapi dan
operasi dapat membaik sekitar 88%. Sedangkan pada Inkontinensi tipe urgensi, keadaan
dapat membaik sekitar 75% dengan pelatihan kandung kemih dan 44% dengan obat golongan
antikolinergik. Tindakan pembedahan memiliki angka morbiditas yang tinggi pada
Inkontinensia tipe Urgensi.4
Pencegahan
Tidak mengangkat barang yang berat sewaktu muda serta menjalani tindakan-
tindakan operasi yang melemahkan dasar panggul dapat menjadi tindakan pencegahan
Inkontinensia Urin. Mengurangi kejadian obesitas juga dapat mengurangi prevalensi
Inkontinensia, sejalan dengan tidak merokok dapat mengurangi prevalensi Inkontinensia.4
III. Kesimpulan
Inkontinensia urin adalah salah satu penyakit yang banyak diderita oleh para lanjut usia (lansia). Dari skenario, dapat diketahui bahwa Ny. A menderita inkontinensia urin tipe campuran stres dan urgensi. Diagnosis ini dikarenakan Ny. A tidak dapat menahan kencing pada saat batuk ataupun tertawa dan tidak dapat menahan miksi sebelum sampai ke WC. Inkontinensia urin dapat diringankan dengan terapi medikamentosa, terapi non-medikamentosa, dan terapi pembedahan. Hipotesis diterima.
IV. Daftar Pustaka
1. Setiati S, Pramantara DP. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.865-74.
2. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-17.
8 | P a g e
3. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC; 2009.h.2-7.
4. Vasavada SP, Kim ED [editor]. Urinary Incontinence. Diunduh dari Medscape for
iPad. 15 Desember 2013.
5. Grace AP, Borley NR. At a glance ilmu bedah ed. 3. Jakarta: Erlangga ; 2007.h.181.
6. Suhartoyo E. Apakah itu inkontinensia urin pada orang lanjut usia. Diunduh dari
http://www.deherba.com/apakah-itu-inkontinensia-urin-pada-orang-lanjut-usia.html.
16 Desember 2013
7. Geri M, Hamilton C. Obstetri dan ginekologi : panduan praktik. Jakarta: EGC;
2009.h.295
9 | P a g e