Download - Implementasi Model Problem Based Learning dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015
1
Implementasi Model Problem Based Learning
dalam Mengembangkan Kemampuan
Berpikir Kritis Siswa
Khairuntika1, Tina Yunarti
2.
Universitas Lampung
Abstrak— Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan
teknologi modern. Untuk dapat survive dalam kehidupannya, seseorang perlu
memiliki kemampuan berpikir yang tinggi. Salah satunya yakni kemampuan
berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis memiliki indikator yakni
kemampuan untuk menggambarkan masalah, memilih informasi untuk
memecahkan masalah, mengenali asumsi, merumuskan hipotesis, dan membuat
kesimpulan. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat
esensial dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Akan
tetapi, berdasarkan beberapa studi mengindikasikan bahwa kemampuan
berpikir kritis siswa di Indonesia masih rendah. Untuk itu diperlukan suatu
model pembelajaran yang diduga mampu mengembangkan kemampuan
berpikir kritis siswa. Salah satunya adalah model Problem Based Learning
(PBL). Model PBL memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir
divergen dalam menyelesaikan masalah matematika sehingga siswa dapat
menuangkan ide-ide kreatif dalam menemukan berbagai kemungkinan solusi
pemecahan masalah matematis, dengan tahap-tahap pembelajarannya yakni (1)
orientasi siswa pada masalah; (2) mengorganisasi siswa untuk belajar; (3)
membimbing penyelidikan individual; (4) menyajikan dan mengembangkan
hasil karya; dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Terdapat keterkaitan antara tahap pelaksanaan PBL dengan indikator
kemampuan berpikir kritis sehingga PBL dapat mengembangkan kemampuan
berpikir kritis. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa model PBL
dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Kata kunci: Berpikir Kritis, PBL
I. PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi modern. Oleh karena itu,
matematika merupakan salah satu bidang ilmu yang menentukan dan mendukung kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Melalui belajar matematika, siswa dapat mengembangkan kemampuan
berpikir logis, analitis, kritis, dan kreatif secara cermat dan objektif ketika menyelesaikan masalah. Dalam
upaya mengimbangi pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini, diperlukan
penguasaan matematika yang baik. Untuk dapat survive dalam kehidupannya, seseorang perlu memiliki
kemampuan berpikir yang tinggi. Terdapat beberapa kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dapat
dikembangkan, salah satunya yakni kemampuan berpikir kritis.
Berpikir kritis menurut Jensen [12] merupakan proses mental yang efektif dan handal, digunakan
dalam mengejar pengetahuan yang relevan dan benar tentang dunia. Menurut Santrock [16] pemikiran
kritis adalah pemikiran reflektif dan produktif, dan melibatkan evaluasi bukti. Cece Wijaya [6] juga
mengungkapkan gagasannya mengenai kemampuan berpikir kritis, yaitu kegiatan menganalisis ide atau
gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji
dan mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna. Jadi berpikir kritis adalah proses berpikir yang
sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan memutuskan keyakinannya sendiri serta
mengevaluasi setiap keputusannya dengan tepat.
Meskipun memiliki kemampuan berpikir kritis merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan,
akan tetapi hal tersebut belum dikuasai oleh siswa di Indonesia. Mullis [15] menyatakan kemampuan
matematis dari segi pengetahuan, aplikasi dan penalaran siswa di Indonesia masih rendah. Kemampuan
ISBN.
2
penalaran yang masih lemah menjadi indikasi lemahnya kemampuan berpikir kritis siswa, karena sesuai
dengan pendapat Yuliyanti [32] bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari penalaran.
Melihat pentingnya kemampuan berpikir kritis dalam kehidupan, dan masih lemahnya kemampuan
berpikir kritis siswa di Indonesia, maka dalam proses pembelajaran yang dilakukan disekolah diperlukan
suatu model pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dalam artikel
ini penulis memberikan solusi bahwa salah satu model pembelajaran yang dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa adalah model Problem Based Learning (PBL). Model PBL merupakan
model pembelajaran yang berorientasi pada masalah. Pembelajaran diawali dengan pemberian masalah
kontekstual dan bermakna, mamahami masalah untuk memulai mancari penyelesaian masalah, proses
penyelidikan individu maupun kelompok, analisis hasil yang diperoleh, dan mempresentasikan hasil yang
diperoleh. Dengan tahapan PBL, siswa dituntut menghasilkan gagasan baru serta dapat mengaitkan
konsep yang telah dimiliki sebelumnya dalam meyelesaikan masalah yang diberikan. Dengan demikian,
kemampuan berpikir kritis siswa dapat dikembangkan memalui model PBL.
Makalah ini membahas mengenai model PBL dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis
siswa berdasarkan tinjauan literatur. Untuk mengetahui kaitan model PBL dalam mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa kemampuan berpikir
kritis?, apa itu PBL?, apa kelebihan dan kekurangan PBL?, dan temuan/hasil penelitian apa yang
berkaitan dengan PBL dan kemampuan berpikir kritis siswa?. Tujuan dari artikel ini adalah untuk
mendeskripsikan implementasi model PBL dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis
siswa. Adapun manfaat atau kegunaan yang nantinya dapat diambil dari artikel ini secara teoritik dapat
membantu perkembangan pengetahuan khususnya yang terkait dengan model pembelajaran dalam
pembelajaran matematika. Secara praktis, memberikan model pembelajaran alternatif yang dapat
digunakan guru dalam proses pembelajaran khususnya matematika dalam rangka mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa.
II. PEMBAHASAN
A. Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Kusumaningsih [8] mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan proses berpikir secara tepat,
terarah, beralasan, dan reflektif dalam pengambilan keputusan yang dapat dipercaya. Semil [7]
mengungkapkan “Critical Thinking may also involve logical reasoning and ability to separate facts from
opinion, examine information critically with evidence before accepting or rejecting ideas and questions in
relation to the issue at hand. In other words, it makes individuals to think, question issues, challenge
ideas, generate solutions to problems and take intelligent decisions when faced with challenges” yang
dapat diartikan berpikir kritis mungkin juga melibatkan penalaran logis dan kemampuan untuk
memisahkan fakta dari opini, memeriksa informasi kritis dengan bukti sebelum menerima atau menolak
ide-ide dan pertanyaan sehubungan dengan masalah di tangan. Dengan kata lain, itu membuat orang
berpikir tentang masalah dari pertanyaan, ide, ataupun tantangan, menghasilkan solusi untuk
menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan ketika menghadapi tantangan.
Johnson [11] menyatakan berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang
digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk,
menganalisa asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah. Richard dan Paul [28] mendefinisikan berpikir
kritis sebagai suatu kemampuan dan disposisi untuk mengevaluasi secara kritis suatu kepercayaan atau
keyakinan, asumsi apa yang mendasari dan atas dasar pandangan hidup mana asumsi tersebut terletak.
Fachrurazi [10] mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah proses sistematis yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. .
Sejalan dengan itu Gunawan [4] menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan
untuk berpikir pada level yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan evaluasi. Berpikir kritis
melibatkan keahlian berpikir induktif seperti mengenali hubungan, manganalisis masalah yang bersifat
terbuka, menentukan sebab dan akibat, membuat kesimpulan dan mem-perhitungkan data yang relevan.
Sedang keahlian berpikir deduktif melibatkan kemampuan memecahkan masalah yang bersifat spasial,
logis silogisme dan membedakan fakta dan opini.
Berpikir kritis yang dikembangkan oleh Intercollege Commitee on Critical Thinking terdiri dari: (1)
kemampuan untuk menggambarkan masalah; (2) kemampuan untuk memilih informasi untuk
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015
3
memecahkan masalah, (3) kemampuan untuk mengenali asumsi (4) kemampuan untuk merumuskan
hipotesis, dan (5) kemampuan membuat kesimpulan [5]
Kemampuan berpikir kritis sebenarnya juga telah menjadi salah satu standar yang ditetapkan bagi
lulusan yang membuat siswa dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis dalam mengambil
keputusan [2]. Pendapat lain tentang berpikir kritis disampaikan juga oleh Lunenburg [14] yang
menyatakan bahwa belajar kritis melihat isi sebagai sesuatu yang hanya hidup diotak, seperti berpikir
melalui pertanyaan-pertanyaan, tidak textbook tetapi mencoba untuk memperbaharui pengetahuan siswa.
Menurut Scriven dan Paul [29] berpikir kritis dipandang sebagai proses kognitif yang aktif dan disiplin
serta digunakan dalam aktivitas mental seperti melakukan konseptualisasi, menerapkan, menganalisis,
mensintesis, dan atau mengevaluasi informasi. Yunarti [29] menyatakan bahwa untuk dapat mengevaluasi
seseorang harus mampu memahami masalah yang timbul, lalu mengumpulkan data atau informasi yang
dibutuhkan, dan kemudian menganalisis data yang diperoleh. Aktivitas-aktivitas ini membutuhkan
pemikiran yang mendalam, disiplin, dan logis agar dapat menghasilkan keputusan yang tepat.
Mustaji [20] mengatakan bahwa kemampuan berfikir kritis adalah kemampuan : (1) menentukan
kredibilitas suatu sumber; (2) membedakan antara yang relavan dari yang tidak relavan; (3) membedakan
fakta dari penilaian; (4) mengidentifikasi dan mengavaluasi asumsi yang tidak terucapkan; (5)
mengidentifikasi bias yang ada; (6) mengidentifikasi sudut pandang; dan (7) mengevaluasi bukti yang
ditawarkan untuk mendukung pengakuan. Jufri [31] memberikan enam indikator kemampuan berpikir
kritis siswa yakni (1) merumuskan masalah; (2) memberikan argumen; (3) melakukan deduksi; (4)
melakukan induksi; (5) melakukan evaluasi; dan (6) mengambil keputusan dan menentukan tindakan.
Ciri-ciri orang berfikir kritis dalam Kemendiknas [17] adalah (1) Menggunakan bukti yang kuat dan
tidak memihak; (2) Dapat mengungkapkan secara ringkas dan masuk akal; (3) Dapat membedakan secara
logis antara simpulan yang valid dan tidak valid; (4) Menggunakan penilaian, bila tidak ada bukti yang
cukup untuk mendukung sebuah keputusan; (5) Mampu mengantisipasi kemungkinan konsekuensi dari
suatu tindakan; (6) Dapat mencari kesamaan dan analogi (kemiripan); (7)Dapat belajar secara mandiri; (8)
Menerapkan teknik pemecahan masalah (problem solving); (9) Menyadari fakta bahwa pemahaman
seseorang selalu terbatas; dan (10) Mengakui kekurangan terhadap pendapatnya sendiri.
Zamroni dan Mahfudz [33] menyatakan ada empat cara meningkatkan keterampilan berpikir kritis
yaitu dengan: (1) model pembelajaran tertentu, (2) pemberian tugas mengkritisi buku, (3) penggunaan
cerita, dan, (4) penggunaan model pertanyaan socrates. Menurut Santrock [16] berpikir kritis meliputi
berpikir secara selektif dan produktif serta mengevaluasi bukti. Ada beberapa cara yang digunakan oleh
para guru untuk membangun pemikiran kritis dalam rencana mereka yaitu:
1. Menanyakan tidak hanya apa yang terjadi, tetapi juga “bagaimana” dan “mengapa”.
2. Memeriksa fakta-fakta yang dianggap benar untuk menentukan apakah terdapat bukti untuk
mendukungnya.
3. Berargumen dengan cara bernalar daripada menggunakan emosi.
4. Membandingkan beragam jawaban dari sebuah pertanyaan dan menilai yang mana yang benar-benar
merupakan jawaban terbaik.
5. Mengevaluasi dan menanyakan apa yang dikatakan orang lain daripada segera menerimanya sebagai
kebenaran.
6. Mengajukan pertanyaan dan melakukan spekulasi lebih jauh yang telah diketahui untuk menciptakan
ide-ide dan informasi baru.
Menurut Sapriya [24] tujuan berpikir kritis ialah untuk menguji suatu pendapat atau ide, termasuk di
dalamnya melakukan pertimbangan atau pemikiran yang didasarkan pada pendapat yang diajukan.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut biasanya didukung oleh kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan.
Seorang siswa dapat dikatakan berpikir kritis bila siswa tersebut mampu menguji pengalamannya,
mengevaluasi pengetahuan, ide-ide, dan mempertimbangkan argumen sebelum mendapat-kan justifikasi.
Agar siswa menjadi pemikir kritis maka harus dikembangkan sikap-sikap keinginan untuk bernalar,
ditantang, dan mencari kebenaran. Dari beberpa uraian dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir
kritis adalah kemampuan yang dibutuhkan dalam suatu proses melakukan penarikan kesimpulan dan
pembuatan keputusan akan sesuatu yang harus diyakini dan dilakukan oleh individu dengan indikator
yang dapat diukur yakni siswa mampu (1) merumuskan masalah; (2) memberikan argumen; (3)
melakukan deduksi; (4) melakukan induksi; (5) melakukan evaluasi; dan (6) megambil keputusan dan
menentukan tindakan.
ISBN.
4
B. Model PBL
Problem Based learning (PBL) dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Teori yang mendukung
dari PBL adalah teori yang dicetuskan Prof. Howard Barrows yang merupakan pelopor pengembanagan
PBL. Bahwa PBL adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya dirancang masalah-
masalah yang menuntut siswa mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir dalam
memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam
tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau
menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan sehari-hari [19]. Finkle dan Torp [1]
menyatakan bahwa Problem PBL atau PBM merupakan pengembangan kurikulum dan system pengajaran
yang mengembangkan secara simultan strategi pemecahan masalah dan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan dengan menempatkan peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan
sehari-hari yang tidak terstruktur dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Barrows [21] bahwa
pembelajaran berbasis masalah adalah metode yang melibatkan sekelompok kecil orang yang bekerja
bersama-sama pada tugas sebagai perwakilan fenomena kehidupan nyata.
Menurut Arends [23] PBL adalah pembelajaran yang menyuguhkan berbagai situasi masalah yang
autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan
penyelidikan. Sedangkan Sanjaya [30] berpendapat bahwa PBL dapat diartikan sebagai rangkaian
aktivitas pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.
PBL telah mempengaruhi dunia penelitian dan dalam beberapa kasus dinyatakan dapat megembangkan
keterampilan sosial siswa, motivasi, dan minat dalam materi pelajaran [3].
PBL merupakan pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju pemahaman akan resolusi suatu
masalah. Masalah tersebut dipertemukan pertama-tama dalam proses pembelajaran [18]. PBL merupakan
salah satu bentuk peralihan dari paradigma pengajaran munuju paradigma pembelajaran. Jadi, fokusnya
adalah pada pembelajaran siswa dan bukan pada pengajaran guru. Berdasarkan teori yang dikembangkan
Barrow dan Min Liu [1] menjelaskan karakteristik dari PBL, yaitu (1) Learning is student centered,
Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan kepada siswa sebagai orang belajar; (2)
Authentmic Problems form the organizing focus for learning, Masalah yang disajikan kepada siswa
adalah masalah yang otentik sehingga siswa dengan mudah; (3) New information is acquired through
self-directed learning, Dalam proses pemecahan masalah siswa belum mengetahui dan memahami semua
pengetahuan prasaratnya sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari
buku atau informasi lain.
Langkah-langkah PBL menurut Amir [19] adalah:
1. Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas
2. Merumuskan masalah
3. Menganalisis masalah
4. Menata gagasan secara sistematis dan menganalisinya secara dalam
5. Memformulasikan tujuan pembelajaran
6. Mencari informasi tambahan dari sumber lain (diluar diskusi kelompok)
7. Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru.
Adapun tahap-tahap PBL menurut Mariani, Wardono, dan kusumawardani [27] dapat diartikan
sebagai berikut:
1. Tahap 1 untuk memberi orientasi tentang masalah kepada para siswa
2. Tahap 2 untuk mengorganisir para siswa untuk melakukan riset.
3. Tahap 3 untuk membantu penyelidikan/investigasi secara individu dan kelompok
4. Tahap 4 untuk meningkatkan dan untuk mempresentasikan hasil diskusi
5. Tahap 5 untuk meneliti dan untuk mengevaluasi kemajuan memecahkan masalah.
Dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap pelaksanaan PBL adalah (1) orientasi siswa pada masalah; (2)
mengorganisasi siswa untuk belajar; (3) membimbing penyelidikan individual; (4) menyajikan dan
mengembangkan hasil karya; dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada
tahap orientasi siwa pada masalah siswa dapat merumuskan masalah yang diberikan guru dengan
memformulasikan pertanyaan yang mengarahkan kepada investigasi jawaban, kemampuan berpikir kritis
yang muncul yakni merumuskan masalah. Pada tahap kedua siswa diorganisasi untuk belajar sehingga
siswa dapat bebas memberikan argumen yang utuh sesuai dengan kebutuhan, kemampuan berpikir kritis
yang muncul yakni memberikan argumen. Pada tahap membimbing penyelidikan individual siswa dapat
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015
5
melakukan induksi yakni dengan mendeduksi secara logis dan menginterpretasikan secara tepat, serta
siswa dapat melakukan induksi yakni menganalisis data, membuat generalisasi, serta menarik
kesimpulan. Kemampuan berpikir kritis yang muncul pada tahap ini yakni melakukan deduksi dan
induksi. Tahap menyajikan dan mengembangkan hasil karya dapat mengambangkan kemampuan siswa
melakukan evaluasi berdasarkan fakta-fakta dan memberikan alternatif jawaban lainnya pada saat
kelompok lain mempresentasikan hasil diskusinya. Kemampuan berpikir kritis yang muncul pada tahap
ini yakni melakukan evaluasi. Tahap menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
membuat siswa dapat mengambil keputusan serta menentukan tindakan apa atau jalan keluar yang harus
dilakukan dengan keputusan mereka sendiri. Kemampuan berpikir kritis yang muncul pada tahap ini
yakni mengambil keputusan dan menentukan tindakan.
Dari langkah-langkah tersebut PBL didasarkan pada konsep bahwa siswa harus secara aktif terlibat
dalam pembelajaran mereka sendiri dan bahwa fakta terbaik yang diperoleh dalam konteks akan mereka
gunakan nantinya. PBL bukan untuk membantu guru memberi banyak informasi kepada siswa. Akan
tetapi, PBL dirancang untuk membantu siswa mengembangkan cara berpikir, penyelesaian masalah,
belajar menjadi orang dewasa, dan menjadi pembelajar yang independen serta mandiri. Peran guru dalam
pembelajaran ini adalah sebagai pemberi masalah, memfasilitasi investigasi dan dialog, serta memberi
motivasi dalam pembelajaran siswa. Paparan di atas tentang pembelajaran berbasis masalah menunjukkan
bahwa pembelajaran tersebut berpotensi mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
C. Kelebihan dan Kekurangan PBL
PBL sebagai suatu model pembelajaran meiliki kelebihan dan kekurangan, karena tidak ada lembaga
yang dapat menjamin suatu model pembelajaran mutlak memiliki kelebihan, pasti ada suatu kekurangan
terhadap model pembelajaran itu. Menurut Amir [19] sebagai suatu pembelajaran berbasis masalah,
memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:
1. Punya keaslian seperti didunia kerja, karena masalah yang disajikan sedapat mungkin memang
merupakan cerminan masalah yang dihadapi di dunia kerja.
2. Dibangun dengan mempertahankan pengetahuan sebelumnya, karena masalah yang dirancang dapat
membangun kembali pemhaman pembelajar diatas pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.
3. Membangun pemikiran yang metakognitif dan konstruktif, kerana masalah dalam PBL akan
membuat pembelajar terdorong melakukan pemikiran yang metakognitif.
4. Meningkatkan minat dan motivasi pembelajar, karena dengan rancangan masalah yang menarik dan
menantang, pembelajar akan tergugah untuk belajar.
5. Satuan Acara Pembelajaran (SAP) yang seharusnya menjadi sasaran mata pelajaran tetap dapat
terliputi dengan baik. Sasaran itu didapat pembelajar dengan peliputan materi yang dilakukan sendiri
oleh pembelajar.
Sedangkan Sanjaya [30] mengemukakan kelebihan PBL yakni: (1) PBL merupakan teknik yang cukup
bgus untuk lebih memahami pelajaran; (2) PBL dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan
kepuasaan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa; (3) PBL dapat meningkatkan aktivitas
pembelajaran; (4) melalui PBL bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran pada
dasarnya merupakan cara berpikir dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar
belajar dari guru dan buku-buku saja; (5) PBL dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa; (6) PBL
dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis; (7) PBL dapat memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata; dan (8) PBL dapat
mengembangkan minat siswa untuk belajar secara terus menerus sekalipun belajar pada pendidikan
formal telah berakhir.
Fitriawati [22] menyatakan beberapa kelebihan PBL antara lain: (1) menantang kemampuan siswa
serta dapat memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa; (2) meningkatkan
aktivitas belajar siswa; (3) membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk
memahami masalah dalam kehidupan; (4) membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya
dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan; (5) mengembangkan kemampuan
siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk mengyesuaikan dengan
pengetahuan yang baru; (6) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan
yang mereka miliki dalam dunia nyata; serta (7) mengembangkan minat siswa untuk terus menerus
belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. Kelebihan model PBL menurut Shoimin
[1] yaitu (1) siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi nyata; (2)
siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas belajar; (3)
ISBN.
6
pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada hubungannya tidak perlu dipelajari
siswa. Hal ini mengurangi beban siswa dalam menghafal atau menyampaikan informasi; (4) terjadi
aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok.
Kelemahan dari PBL [30] antara lain: (1) ketika siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai
kepercayaaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan
untuk mencoba; (2) keberhasilan PBL memerlukan cukup waktu dalam persiapan; dan (3) tanpa
pemahaman mengapa mereka berusaha menyelesaikan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka
tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari. Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian
Fitriawati [22] bahwa ketika siswa tidak memiliki minat atau kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari
sulit untuk dipecahkan maka siswa akan enggan untuk mencoba. Sedangkan kelemahan PBL menurut
Shoimin [1] yaitu (1) tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan aktif
dalam menyajikan materi; serta (2) dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi
akan terjadi kesulitan dalam pembagian tugas. Dari keunggulan dan kelemahan yang telah dikemukakan,
guru, sebagai seorang pendidik hendaknya dapat memaksimalkan keunggulan dari model PBL ini untuk
meminimalisir kelemahan pada model PBL.
D. Temuan/Hasil Penelitian Berkaitan dengan PBL dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa
Beberapa penelitian telah dilakukan berkaitan dengan PBL dan kemampuan berpikir kritis siswa.
Salah satunya adalah penelitian Fitriawati [22] yang meneliti Penerapan Model Pembelajaran Berbasis
Masalah (Problem Based Learning) dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada mata
pelajaran IPS terpadu kelas VIII di MTs N Selorejo Blitar, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
penerapan model pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran ips terpadu kelas VIII di MTs N
Selorejo Blitar secara keseluruhan terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis yang memuaskan, hal
tersebut terlihat dari adanya peningkatan pada setiap siklus penelitian. Secara klasikan terjadi peningkatan
sebesar 13% pada siklus I dan 6% pada siklus II. Peningkatan secara individu sebesar 6% pada siklus I,
6% pada silus II, dan 3% pada siklus III.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Dinandar [9] menemukan bahwa kemampuan berpikir kritis
matematis siswa dengan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) lebih tinggi dibandingkan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Nilai
rata-rata pada setiap indikator kemampuan berpikir kritis matematis kelas eksperimen selalu lebih tinggi
dibanding kelas kontrol yang mengindikasikan bahwa penerapan model PBL memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Pada model PBL siswa diberikan sebuah
masalah untuk diselesaikan melalui penyelidikan individu maupun kelompok, kemudian siswa bersama
guru melakukan refleksi dengan membuat kesimpulan dari hasil diskusi yang telah dilakukan. Setelah
membuat kesimpulan siswa memiliki pemahaman konsep mengenai permasalahan yang telah dibahas,
sehingga melalui kegiatan ini kemampuan berpikir kritis matematis siswa menjadi lebih baik. Rohmah
[26] juga meneliti tentang ekeftivitas pembelajaran matematika menggunakan pendekatan Problem Based
Learning (PBL) yang dipasukan pelatihan matakognitif dengan seting Group Investigation (GI) terhadap
minat belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa SMP kelas VII menghasilkan bahwa proses
pembelajaran matematika dengan pendekatan PBL yang dipadukan pelatihan metakognitif dengan seting
GI tidak lebih efektif untuk meningkatkan minat siswa, tetapi lebih efektif untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa.
Hasil yang sama juga ditunjukkan dari hasil penelitian Hakim [25] yang meneliti penerapan
pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis
siswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa, namun tidak dapat meningkatkan disposisi matematis siswa. Pada
proses PBL diawali dengan pemberian masalah kepada siswa, kemudian siswa diminta menyelesaikan
masalah tersebut secara berkelompok. Masalah atau situasi masalah disajikan dalam lembar kerja siswa
Pada saat mengerjakan LKS, siswa membangun pola pikir kritis untuk menyelesaikan masalah yang
diberikan. Proses pembelajaran PBL ditandai dengan adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa
maupun guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang diketahui dan
bagaimana untuk memecahkan masalah secara berkelompok agar saling membantu sehingga mampu
berkolaborasi dalam memecahkan masalah. Melalui PBL dengan anggota kelompok yang heterogen
memungkinkan siswa untuk saling bertukar pikiran, bekerjasama untuk memecahkan masalah yang pada
akhirnya dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dengan demikian penerapan PBL juga
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015
7
membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis. PBL mengajak siswa secara langsung
aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Sebab dalam model PBL terdapat langkah yang dapat mengajak
siswa untuk turut aktif dalam proses pembelajaran. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dapat
melatih kemampuan berpikir kritis siswa.
Hasil penelitian Sulaiman dan Eldy [13] juga menunjukkan bahwa diyakini PBL secara online sangat
menjajikan untuk menggantikan pembelajaran tradisional dan mampu meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa. Model PBL dimulai dengan menyajikan permasalahan kontekstual yang penyelesaiannya
membutuhkan kerjasama diantara siswa sehingga juga dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa.
Melalui masalah kontekstual tersebut siswa diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta
mampu melihat hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada di lingkungannya sehingga siswa
tidak hanya mempelajari teori namun juga melihat fakta di lingkungan. Penerapan model PBL dapat
membantu menciptakan kondisi belajar yang semula hanya transfer informasi dari guru kepada siswa ke
proses pembelajaran yang menekankan untuk mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pemahaman dan
pengalaman yang diperoleh baik secara individual maupun kelompok. Dengan pengetahuan dan
pengalaman yang telah terbentuk berdasarkan masalah-maslah kontekstual, siswa mampu menalar
membuat keputusan tentang hal yang logis dan tidak sehingga kemampuan berpikir kritis siswa juga
dapat berkembang. Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan model
PBL dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
III. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, model PBL dapat mebantu mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa. hal tersebut terlihat dari tahapan-tahapan pada model PBL yang
mengkonstrukdi pengetahuan dan pengalaman siswa sehingga siswa mampu menalar dan
mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Dengan demikian, untuk membantu mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa, dapat menggunakan model PBL dengan menggunakan masalah yang
disesuaikan dengan kemampuan berpikir kritis siswa yang akan dicapai. Mengingat terdapat kelebihan
dan kekurangan dalam PBL, maka perlu memanfaatkan kelebihan untuk mengurangi kelemahan yang
ada.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Aris Shoimin, "68 Model Pembelajaran Inovatif Dalam Kurikulum 2013”, Ar-Ruz Media: Shoimin, 2014.
[2] A Guza,”Standar Nasional Pendidikan”, Asa Mandiri: Jakarta, 2009, hal. 129.
[3] A.O Fatade, A.A Arigbabu, D. Mogari, A.O.A Awwofala, “Investigating Senior Secondary School Students beliefs about Further Mathematics In a Problem Based Learning Context”,. Bulgarian Journal of Science and Education Policy (BJSEP) Volume 8 Number 1, 2014, hal. 9. [online]: www.bjsep.com (19 April 2015)
[4] A.W Gunawan, “Genius Learning Strategy Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelarated Learning”, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2003, hal. 177-178.
[5] A.S. Pramasdyahsari dan Rasiman, ”Development of Mathematics Learning Media E-Comic Based on Flip Book Maker to Increase the Critical Thinking Skill and Character of Junior High School Students”,. International Journal of Education Research Volume 2 Nomor 11, 2014, hal. 357. [online] www.ijern.com (diakses 24 April 2015)
[6] Cece Wijaya, “Pendidikan Remidial: Sarana Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia”, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2010, hal. 72.
[7] Chukuweyum, Asuai Nelson, “Impact of Critical thinking on Performance in Mathematics among Senior Secondary School Students in Lagos State”, IOSR Journal of Research & Method in Education (IOSR-JRME) Volume 5 Issues 3, 2013, hal.18. [online] www.iosjournals.org (19 Maret 2015)
[8] Diah Kusumaningsih, “Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas X-C SMA N 11 Yogyakarta Melalui Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Contextual Teaching Learning Pada Materi Perbandingan Trigonometri”. Jurnal Pendidikan MIPA UNY: UNY, 2011, hal.19.[online] www.eprints.uny.ac.id (05 September 2015)
[9] Dinandar, “Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jakarta, 2014. [Online] www.respositiry.uinjkt.ac.id (14 Juli 2015)
[10] Fachrurazi, “Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar”, Jurnal UPI Edisi Khusus Nomor 1: UPI, 2011, hal. 81. [Online] http://jurnal.upi.edu (14 Juli 2015)
[11] Elanie B Johnson” Contextual Teaching and Learning”, MLC: Bandung, 2011, hal. 183.
[12] Eric Jensen, “Pemelajaran Berbasis Otak: Paradigma Pengajaran Baru”. Indeks: Jakarta. 2011, hal.195.
[13] Fauziah Sulaiman dan Elnetthra Folly Eldy, “A Comparison Of Integrated Problem Based Learning Aproach in Theoretical and mathematical Courses in Physics Towards Student Critical Thinking”, International Journal of Education Research Volume 2 Nomor 1, 2014, hal. 7. [online] www.ijern.com (diakses 14 Maret 2015)
[14] F.C. Lunenburg, “ Critical Thinking and Constructivism Techniques for Improving Student Achievement. National Forum of Teacher” [Online]. www.hbswk.hbs.edu (27 September 2015)
ISBN.
8
[15] I. V. S., Mullis, “TIMSS 2011 international result in mathematics. Chesnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center: Boston College, 2012, hal. 462.
[16] John W Santrock, “Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua”. Kencana: Jakarta, 2008, hal. 11.
[17] Kemendiknas, “. Bahan Belajar Mandiri: Kajian Kritis” Dirjen PMPTP, 2010, hal. 13.
[18] Miftahul Huda,”Model Pengajaran dan Pembelajaran Matematika”,. Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2013, hal. 271.
[19] Muhammad Taufik Amir, “Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning”, Kencana: Jakarta, 2009. [20] Mustaji, “Pengembangan berpikir kritis dan kreatif dalam Beyer: Critical Thinking” Social Education, 2009, hal. 14.
[21] Nancy L Oldenburg, and Wei Chen Hung, “Problem Solving Strategies Used by RN-to-BSN Students in an Online Problem-Based Learning Course”, Journal of Nursing Education, 2010, hal. 219. [online]: www.ncbi.nlm.nih.gov (03 September 2015)
[22] Neni Fitriawati, “Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu Kelas VIII di MTs N Selorejo Blitar” Skripsi UIN Maulana Ibrahim Malik Malang: Malang, [Online] www.lib.uin.malang.ac.id (28 Agustus 2015)
[23] Richard I Arends, “Learning to Teach.” Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008, hal. 41.
[24] Sapriya, “ Pendidikan IPS: Konsep dan Pembelajaran. PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2011, hal. 87.
[25] Sovian Hakim, S.H Noer, P.Gunowibowo, “Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Memingkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis”, Jurnal Pendidikan Matematika Universitas lampung: Universitas Lampung, 2014.
[26] Siti Nur Rohmah, “Ekeftivitas Pembelajaran Matematika Menggunakan Pendekatan Problem Based Learning (Pbl) Yang Dipasukan Pelatihan Matakognitif Dengan Seting Group Investigation (Gi) Terhadap Minat Belajar Dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP Kelas VII”. Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Yogyakarta, 2013. [Online] www.uin-suka.ac.id (29 Agustus 2015)
[27] S. Mariani, Wardono, E.D Kusumawardani, “The Effectiveness of Learning by PBL Assisted Mathematics Pop Up Book Againts The Spatial Ability in Grade VIII on Geometry Subject Matter” International Journal of Education and Research Volume 2 Issues 8, 2014, hal. 537. [online]: www.ijern.com (19 April 2015)
[28] Tilaar, “Pedagogik Kritis: Perkembangan, substansi, Perkembangannya di Indonesia”, Rineka Cipta: Jakarta, 2011, hal. 16.
[29] Tina Yunarti, “Pengaruh Metode Socrates terhadap Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa SMA”, Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung, 2011.
[30] Wina Sanjaya, “Strategi Pembelajaran Beorientasi Standar Proses Pendidikaan”, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2009.
[31] W Jufri, “Belajar dan Pembelajaran Sains”, PT.Rineka cipta: Bandung, 2013, hal 104-105.
[32] Yuliyanti, “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Peluang Berbasi Reciprocal Teaching Untuk Melatih Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI SMK Negeri 3 Lubuk Linggau”, Jurnal Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya Volume 4 Nomor 1, 2010, hal. 98. [online] www.eprints.unsri.ac.id (13 Agustus 2015)
[33] Zamroni & Mahfudz, “Panduan Teknis Pembelajaran Yang Mengembangkan Critical Thinking”, Depdiknas: Jakarta, 2009, hal. 30.