Download - hukum agraria
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Konflik agraria di Indonesia merupakan soal super serius. Namun penyelenggara
negara tak pernah serius menanganinya. Dampaknya, pemenuhan rasa keadilan bagi korban
kian mengawang-awang. Kliping ini mengurai realitas konflik agraria di Indonesia kini.
Konsorsium Pembaruan Agraria merekam 1.753 kasus konflik agrarian struktural, yaitu
kasus-kasus konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau
instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor,
seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat
dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil "melawan" dua kekuatan lain di
masyarakat, yakni: sektor bisnis dan/atau negara.
Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834
desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang
disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482
KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling
tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan
sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus),
kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus),
bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar
(59 kasus) dan sarana militer (47 kasus). Posisi negara (yang direpresentasikan lembaga
pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul
sebagai "lawan" rakyat.
Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai
jenis sengketa: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar,
perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan
produksi, dan sarana militer. Menyikapi rentetan peristiwa konflik agraria yang salah satunya
melibatkan militer, misalnya sengketa tanah di Pasuruan. Sudah saatnya pemerintah untuk
mengevaluasi dan mengambil tindakan tegas terkait dengan penguasaan militer di lapangan
agraria, baik untuk kepentingan latihan apalagi untuk kepentingan bisnis militer.
1
B. Perumusaan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka kemudian muncul suatu perumusan
masalah dalam paper ini yaitu sebatas mengurai konflik agrarian atas hak milik khususnya
yang melibatkan militer dan berkaitan dengan fungsi sosial hak-hak atas tanah.
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan paper ini adalah :
1. Untuk mengetahui seberapa jauh hukum agraria berpengaruh terhadap hukum yang
berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui berlakunya hukum agraria di Indonesia
3. Untuk mengetahui penyelesaian dari konflik agraria.
D. Manfaat
Manfaat penulisan paper ini adalah :
1. Memberikan kontribusi kepada ilmu pengetahuan hukum tentang hukum agraria di
Indonesia.
2. Sebagai sumbangan referensi bagi hukum agrarian khususnya di Indonesia.
3. Memberikan pengetahuan serta wawasan baik secara teoritis maupun secara praktis
terutama mengenai hukum agraria.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan paper ini diantaranya yaitu:
Bab I yaitu tentang Pendahuluan tentang penulisan kliping ini, yaitu terdiri dari : latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan , masalah, sitematika penulisan, dan
teknik pengumpulan data.
Bab II yaitu tentang .
Bab III yaitu sebagai penutup penulisan kliping ini, terdiri dari kesimpulan dan saran.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam membuat paper ini adalah :
Studi Kepustakaan yaitu dengan membaca buku dan mengkaji buku-buku sumber yang
relevan dengan judul dan permasalahan yang diteliti.
2
BAB II
HUKUM AGRARIA
A. Definisi Hukum Agraria
Definisi hukum agraria (Prof. Budi Harsono) yaitu “Hukum agraria adalah
keseluruhan kaidah-kaidah hukum tertulis/ tidak tertulis mengenai bumi, air, dan dalam
batas-batas tertentu ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Pengertian agraria dalam arti luas (UUPA) meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam pasal 48, bahkan
meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung: tenaga dan
unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan
kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya
yan bersangkutan dengan itu.
Pengertian agraria dalam arti sempit (UUPA) yaitu bumi meliputi permukaan bumi
(yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (pasal 1 ayat 4
jo pasal 4 ayat 1). Dengan demikian pengertian “tanah” meliputi permukaan bumi yang ada
di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.
B. Hak-hak Penguasaan atas Tanah
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik dan yuridis. Juga
berapek perdata dan beraspek publik. Dalam UUD 1945 dan UUPA pengertian “dikuasai”
dan “menguasai” dipakai dalam aspek publik, seperti yang dirumuskan dalam pasal 2 UUPA.
Hierarkhi hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, yaitu:
1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah
yang tertinggi, beraspek perdata dan publik;
2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2, semata-mata beraspek publik;
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam pasal 3, beraspek perdata dan
publik;
4. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas:
a. Hak-hak atas Tanah (pasal 4) sebagai hak-hak individual yang semuanya secara
langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam
pasal 16 dan 53.
3
- primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan oleh
Negara, dan Hak Pakai, yang diberikan oleh Negara (Pasal 16)
- sekunder : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah,
Hak Gadai, Hak Usaha Bagi-Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya
(pasal 37,41 dan 53)
b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan pasal 49;
c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam pasal 25, 33, 39 dan
51.
1. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh
Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan
atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu,
pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan
tanda-buktinya dan pemeliharaannya.
2. Kegiatan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah untuk pertama kali (“initial registration”) meliputi tiga bidang
kegiatan, yaitu:
1. bidang fisik atau “teknis kadastral”
2. bidang yurudis dan
3. penerbitan dokumen tanda-bukti hak.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (“initial registration”) dapat dilakukan
melalui 2 cara, yaitu secara sistematik dan secara sporadik. Pendaftaran tanah secara
sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara
serentak, yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan. Umumnya prakarsanya datang
dari Pemerintah. Contoh pendaftaran tanah secara sistematik adalah yang diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 tahun
1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Secara Sistematik. (Boedi Harsono,
ibid, 1996 C 22a). Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah
4
atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual atau massal, yang
dilakukan atas permintaan pemegang atau penerima hak atas tanah yang bersangkutan.
3. Sistem Pendaftaran Tanah
Ada dua sitem pendaftaran tanah, yaitu sistem pendaftaran akta (“registration of deeds”)
dan sistem pendaftaran hak (“registration of titles”. Title dalam arti hak)
4. Konsepsi Hukum Tanah Nasional
Tanah berfungsi sosial. Rumusan konsepsinya komunalistik religious sifatnya ditunjukan
oleh pasal 1 ayat 2. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya. Pernyatan ini menunjukan sifat Komunalistik konsepsi hukum
Tanah Nasional kita.
5. Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengna tanah yang dihaki.
6. Pertimbangan diadakannya empat
macam hak atas tanah primer
Pada hakikatnya pemakaian tanah itu hanya terbatas untuk 2 tujuan. Pertama untuk di-
usahakan, kedua tanah dipakai sebagai tempat membangun sesuatu.
Hak Pakai dengan sebutan nama Hak Milik
Hak Milik pada dasarnya diperuntukan khusus bagi wargnegara Indonesia saja yang
berkewarganegaraan tumggal.
Dalam Pasal 20 UUPA dinyatakan bahwa Hak Milik adalah hak atas tanah yang “terkuat
dan terpenuh”. Dijelaskan dalam Penjelasan pasal tersebut, bahwa maksud pernyataan itu
adalah untuk menunjukan, bahwa di antara hak-hak atas tanah Hak Miliklah yang “ter”-
(dalam arti “paling”) kuat dan “ter” –penuh. Yaitu mengenai tidak adanya batas waktu
penguasaan tanahnya dan luas lingkup penggunaannya, yang meliputi baik untuk
diusahakan ataupun digunakan sebagai tempat membangun sesuatu.
5
Hak Pakai dengan sebutan nama Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
Hak Guna Usaha yang memberi kewenangan memakai tanah untuk diusahakan. Hak
Guna Bangunan memberi kewenangan untuk membangun sesuatu di atasnya. Hak Guna
Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai ditentukan dalam UUPA jangka waktu
berlakunya dibatasi, dan dapat diberikan selain kepada warganegara Indonesia, juga
kepada badan-badan hukum Indonesia, baik yang bermodal nasional, asing maupun
paputungan.
Hak Pakai dengan sebutan nama Hak Pakai
Hak pakai yang keempat diberi kekhususan sifat atau peruntukan penggunaan bidang
tanahnya. Ataupun atas pertimbangan dari sudut penggunaan tanahnya dan/atau
pengunaannya tidak dapat diberikan dengan HM,HGU atau HGB. Hak-hak Pakai yang
sangat khusus ini diberi nama sebutan Hak Pakai.
7. Fungsi Sosial Hak-Hak Atas Tanah
Pasal 6 yaitu : “ Tidak hanya hak milik semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Hal ini telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 4)”. Dalam
PenjelasanUmum fungsi sosial hak-hak atas tanah tersebut disebut sebagai dasar yang
keempat dari Hukum Tanah Nasional. Dinyatakan dalam Penjelasan Umum tersebut: Ini
berarti, bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat
dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-
mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari
haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Tetapi dalam
pada itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan
terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang- Undang Pokok
Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada
akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi
rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).
6
Konsepsi Hukum Tanah Nasional, dinyatakan dalam pasal 1 semua tanah dalam
wilayah Negara kita adalah tanah Bangsa Indonesia (artinya, tanah kepunyaan bersama
para warganegara Indonesia), yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepadanya
dengan suatu Amanat, yaitu “supaya digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat...” (pasal 33 ayat 3 UUD jo pasal 2 ayat 3 UUPA). Dalam ketentuan
pasal 27,34, dan 40, tanah tidak boleh “ditelantarkan”. Menurut konsepsi Hukum Tanah
Nasional hak-hak atas tanah bukan hanya berisikan wewenang, sekaligus juga kewajiban
untuk memakai, mengusahakan dan memanfaatkan. Juga menurut konsepsi ini hak-hak
perorangan bersumber pada hak bersama (yaitu Hak Bangsa), dan mengandung unsure
kemasyarakatan. Untuk itu perlu adanya perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah
yang dimaksudkan dalam pasal 14. dengan menggunakan tanah sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah tersebut, terpenuhilah fungsi sosialnya.
Kepentingan umum harus diutamakan daripada kepentingan pribadi, sesui dengan asas
hukum yang berlaku bagi terselenggaranya berkehidupan-bersama dalam masyarakat.
Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 tentang “Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan
Benda-benda yang ada di atasnya” (LN 1961-288) mengatur pemberian ganti-kerugian
yang dimaksudkan. Juga dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang
“Penataan Ruang” (LN 1992-115) ada ketentuan dalam pasal 5 ayat 2, bahwa “Setiap
orang berkewajiban menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan”. Tetapi kalau
kegiatan pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan itu, mengakibatkan kerugian bagi seseorang yang empunya tanah, ia berhak
memperoleh penggantian yang layak (pasal 4 ayat 2c). Fungsi sosial hak-hak atas tanah
mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah sesuai dengan
keadaanya, artinya: keadaan tanahnya, serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Jika
kewajiban itu sengaja diabaikan maka hal tersebut dapat mengakibatkan hapusnya atau
batalnya hak yang bersangkutan. Dengan demikian tanah tersebut termasuk golongan
yang “ditelantarkan” (penjelasan pasal 27). Jika tanah Hak-Milik, tanah HGU, tanah
HGB ditelantarkan, haknya akan dihapus dan tanah yang bersangkutan jatuh pada
Negara, artinya menjadi tanah Negara kembali (pasal 27 ayat a/3, pasal 34 huruf e dan
pasal 40 huruf e). Ketentuan ini sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam Hukum
Adat. Sifat dan tujuan pemberian HGB adalah, bahwa yang empunya hak akan
membangun rumah atau bangunan lain diatasnya. Kalau tanahnya dibiarkan kosong tanpa
7
alasan, maka yang demikian itu termasuk dalam pengertian “ditelantarkan”. Dalam
hubungan ini lihat:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar (LNRI 1998-51; TLN 3745)
b. Peraturan Menteri Negarra Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1998 tentang
pemanfaatan Tanah Kosong Untuk Tanaman Pangan (Boedi Harsono, ibid. G 8 dan
9, G 11). Dalam konsepsi hukum barat, pengertian fungsi sosial pada hakikatnya
berupa pengurangan atau pembatasan kebebasan individu bagi kepentingan bersama.
Sebaliknya konsep fungsi sosial dalam Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional
merupakan bagiandari alam pikiran asli orang Indonesia. Yaitu bahwa manusia
Indonesia adalah manusia pribadi yang sekaligus mahluk sosial, yang mengusahakan
terwujudnya keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan pribadi
dan kepentingan bersama, kepentingan masyaraktnya. (Bandingkan TAP MPR
nomor IV/MPR/1998 jo nomor II/MPR/1993 tentang Asas Pembangunan Nasional,
yang harus ditetapkan dan dipegang teguh dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan nasional, yaitu bahwa: harus ada keseimbangan antara berbagai
kepentinagan... keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan...
individu, masyarakat dan negara...).
8
JENIS HAK ATAS TANAH
Hukum Agraria Nasional membagi hak atas tanah dalam dua bentuk:
Hak primer, hak yang bersumber langsung pada hak Bangsa Indonesia, dapat dimiliki
seorang/badan hukum (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai);
Hak sekunder, hak yang tidak bersumber langsung dari Hak Bangsa Indonesia, sifat
dan penikmatannya sementara (Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang,
Hak Menyewa atas Pertanian).
Kemudian Pasal 16 UUPA hak atas tanah terbagi atas 7, yaitu: Hak Milik;(2) Hak Guna
Usaha (HGU); (3) Hak Guna Bangunan (HGB); (4) Hak Pakai; (5) Hak Sewa; (6) Hak
Membuka Hutan; (7) Hak Memungut Hasil Hutan; (8) Hak-hak lain yang tidak termasuk
dalam hak-hak tersebut di atas yang akan di tetapkan dengan UU serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.
Hak Milik
Hak milik adalah hak turun temurun (ada selama pemilik hidup dan jika meninggal dunia,
dapat dialihkan kepada ahli waris), terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Ada 3 hal dasar lahirnya hak milik atas
tanah, yaitu: 1) Menurut hukum adat; 2) Karena ketentuan UU; 3) Karena penetapan
Pemerintah (pasal 22 UUPA). Hapus atau hilangnya hak milik atas tanah, adalah jika: 1)
Menjadi tanah negara dapat terjadi karena: a. pencabutan hak, b. dilepaskan dengan sukarela,
c. dicabut untuk kepentingan umum, d. tanah ditelantarkan, e. dialihkan kepada warga negara
asing; (2) Tanahnya musnah.
9
Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha (HGU) adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan pertanian,
perusahaan perikanan, perusahaan peternakan dan perusahaan perkebunan untuk melakukan
kegiatan usahanya di Indonesia. HGU diatur lebih dan dijabarkan lanjut di pasal 28(1), (2), (3)
UUPA. Pemegang HGU adalah orang perorangan warga negara Indonesia tunggal atau badan
hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum negara Republik Indonesia (Pasal 30
UUPA). HGU dapat beralih menurut Pasal 28(3) UUPA, yang kemudian dipertegas oleh PP
No. 40/1996, khususnya Pasal 16(2), karena:
1. jual beli
2. tukar menukar
3. penyertaan dalam modal
4. hibah
5. pewarisan.
Hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 40/1996 terjadi karena 7 sebab,
yaitu:
1) Berakhirnya jangka waktu;
2) Tidak terpenuhi syarat pemegangnya;
3) Pencabutan hak;
4) Penyerahan suka rela;
5) Ditelantarkan;
6) Kemusnahan tanahnya;
7) Pemegang HGU tidak memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak yang
memenuhi syarat.
10
Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun
dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35 (1,2) UUPA). Subyek hukum yang
dapat mempunyai HGB adalah:
1) Warga Negara Indonesia dan;
2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia
(Pasal 36 (1) UUPA).
Hak Milik
Hak milik adalah hak turun temurun (ada selama pemilik hidup dan jika meninggal dunia,
dapat dialihkan kepada ahli waris), terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Ada 3 hal dasar lahirnya hak milik atas
tanah, yaitu: 1) Menurut hukum adat; 2) Karena ketentuan UU; 3) Karena penetapan
Pemerintah (pasal 22 UUPA). Hapus atau hilangnya hak milik atas tanah, adalah jika: 1)
Menjadi tanah negara dapat terjadi karena: a. pencabutan hak, b. dilepaskan dengan sukarela,
c. dicabut untuk kepentingan umum, d. tanah ditelantarkan, e. dialihkan kepada warga negara
asing; (2) Tanahnya musnah.
Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha (HGU) adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan pertanian,
perusahaan perikanan, perusahaan peternakan dan perusahaan perkebunan untuk melakukan
kegiatan usahanya di Indonesia. HGU diatur lebih dan dijabarkan lanjut di pasal 28(1), (2), (3)
UUPA. Pemegang HGU adalah orang perorangan warga negara Indonesia tunggal atau badan
hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum negara Republik Indonesia (Pasal 30
UUPA). HGU dapat beralih menurut Pasal 28(3) UUPA, yang kemudian dipertegas oleh PP
No. 40/1996, khususnya Pasal 16(2), karena:
11
1. jual beli;
2. tukar menukar;
3. penyertaan dalam modal;
4. hibah;
5. pewarisan.
Hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 40/1996 terjadi karena 7 sebab,
yaitu:
1) Berakhirnya jangka waktu;
2) Tidak terpenuhi syarat pemegangnya;
3) Pencabutan hak;
4) Penyerahan suka rela;
5) Ditelantarkan;
6) Kemusnahan tanahnya;
7) Pemegang HGU tidak memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak yang
memenuhi syarat.
Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun
dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35 (1,2) UUPA). Subyek hukum yang
dapat mempunyai HGB adalah:
1) Warga Negara Indonesia dan;
2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia
(Pasal 36(1) UUPA). Tanah HGB mempunyai sifat dan ciri-ciri yaitu wajib didaftarkan,
dapat beralih, dapat dialihkan, jangka waktunya terbatas, dapat dilepaskan oleh pemilik
HGB sehingga menjadi tanah negara dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak
12
Tanggungan.
Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam Keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa
menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan undang-undang (Pasal 41(1) UUPA). Sifat dan ciri-ciri Tanah Hak Pakai
yaitu wajib didaftarkan, dapat dialihkan, dapat diberikan dengan cuma-cuma dengan
pembayaran/pemberian jasa berupa apapun, dapat dilepaskan dan dapat dijadikan jaminan
hutang dengan Hak Tanggungan
Hak Sewa
Hak sewa adalah merupakan hak pakai yang memiliki ciri-ciri khusus (Penjelasan UUPA
Pasal 10(1)). Sifat dan ciri-ciri Tanah dengan Hak Sewa yaitu tidak perlu didaftarkan, cukup
dengan perjanjian yang dituangkan di atas akta bawah tangan atau akta otentik, bersifat
pribadi (tidak dapat dialihkan tanpa izin pemiliknya, dapat diperjanjikan, tidak terputus bila
Hak Milik dialihkan, dapat dilepaskan dan tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak
Tanggungan.
Hak Membuka Hutan
Membuka hutan dapat diartikan sama dengan mengelola hutan dalam arti luas, karena maksud
dari pengelolaan hutan menurut Pasal 21 Huruf (b) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
berkenaan dengan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Hutan yang tidak dapat
dimanfaatkan secara simultan oleh masyarakat adalah hutan kawasan, seperti hutan lindung,
suaka, dan hutan konservasi.
13
Hak Memungut Hasil Hutan
Masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari (Pasal 67 UU Kehutanan) . Selain itu, masyarakat juga berhak
memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal
68(2) huruf (a) UU Kehutanan).
Hak-hak lain
UUPA memberikan banyak varian tentang macam-macam hak atas tanah, yaitu: Hak Gadai
(pasal 7 UU No. 56 Prp/1960), Hak Bagi Hasil atas Tanah (PP No. 8/1953), Hak Sewa Tanah
Pertanian (berdasarkan musyawarah mufakat antara pengelola dan pemilik tanah), Hak
Menumpang (Hukum Adat dan Pasal 53 UUPA) dan Hak Pengelolaan (Penjelasan Umum
bagian A II (2) UUPA dan PP No. 40/1996.
Masalah Kepemilikan Kolektif Hak Atas Tanah
Hak milik atas tanah secara kolektif tidak diatur dalam undang-undang karena pasal 10 UUPA
menjelaskan, subyek hukum yang memiliki hak atas tanah adalah individu dan badan hukum.
Tanah ulayat adat (suku) hingga kini masih mendekati apa yang disebut dengan kepemilikan
hak atas tanah kolektif, namun sepanjang pengambilan hasil serta pengelolaannya, hal terlihat
khusus tanah adat (suku) jumlahnya tidak pernah berkurang. Karena hal ini tidak dapat
dimungkinkan adanya hak individu atas tanah di wilayah tanah adat (suku).
Hak Ulayat
Hak Ulayat merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan
tanah dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat yang
bersangkutan. Hak Ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang
merupakan wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA). Pemegang Hak Ulayat
adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan sedangkan Pelaksananya adalah Penguasa
Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu kepala Adat sendiri atau bersama-
sama para tetua adat masing-masing.
14
Pemerintah mengeluarkan PMNA/KABPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Di dalamnya terkandung kriteria penentu
keberadaan Hak Ulayat yang terdiri dari 3 unsur yaitu:
a. adanya masyarakat hukum adat tertentu;
b. adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil
keperluan hidup masyarakat hukum adat itu;
c. adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah
ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu. Pengakuan terhadap hak
tersebut memberikan penghormatan kepada hak orang lain dan upaya perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat adat.
Pengertian Konflik Agraria
Konflik agraria adalah salah satu tema sentral wacana pembaruan agraria. Christodoulou
(1990) mengatakan, bekerjanya pembaruan agraria tergantung watak konflik yang
mendorong dijalankannya pembaruan. Artinya karakteristik, perluasan, jumlah, eskalasi, dan
de-eskalasi, pola penyelesaian dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh konflik-konflik agraria
di satu sisi dapat membawa dijalankannya pembaruan agraria (menjadi alasan obyektif dan
rasional), di sisi lain menentukan bentuk dan metode implementasi pembaruan sendiri.
Konflik agraria mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok
masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam lain, seperti kaum
tani, nelayan, dan masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah adalah syarat
keselamatan dan keberlanjutan hidup. Namun, gara-gara konflik agraria, syarat keberlanjutan
hidup itu porak-poranda. Komitmen politik untuk menyelesaikan segala konflik menjadi
prasyarat yang tidak bisa ditawar. Dalam kerangka politik hukum, sebenarnya kita sudah
punya Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam. Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok upaya menyelesaikan
aneka konflik agraria yang diwariskan rezim masa lalu yang telah dan masih berlangsung
hingga kini.
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengertian benda dalam arti luas:benda adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh
orang.Dalam arti sempit sebagai barang yang terlihat saja.Macam benda adalah
bezit,levering,verjaring,bezwaring.Golongan benda adalah benda tak bergerak&benda
bergerak.UU membagi hak manusia:hak kebendaan&hak perseorangan.Hak kebendaan
adalah hak kebendaan memberi manfaat atas benda miliknya sendiri,orang
lain&jaminan.Privilegie adalah hak yang diberikan UU kepada kreditur yang satu diatas
kreditur yang lain semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.Macam privilegie:privilegie
umum dan khusus.Macam jaminan khusus:jaminan yang berkaitan dengan benda dan
perorangan.
Hak yang didahulukan privilegie:gadai dan hipotik.Bezit adalah keadaan lahir dimana
seseorang menguasai benda solah-olah benda itu kepunyaan sendiri.Unsur bezit adalah unsur
keadaan menguasai suatu barang dan kemauan seseorang pemegang barang untuk menguasai
barang itu sebagai pemilik.Fungsi bezit:mendapat perlindungan hukum,sedangkan fungsi
Zakenrechtelijk:bezit akan berubah menjadi hak milik melalui lembaga verjaring jika benda
itu tidak bergerak dan bezit itu berjalan tanpa ada gangguan orang lain.Macam beziter:beziter
yang jujur&tidak jujur.Cara memperoleh bezit:secara ocupatio&traditio.Hak milik adalah hak
yang terkuat karena hak milik orang lain dapat menikmati sepenuhnya.Hak milik menurut
hukum adat:hak untuk memungut hasil sepenuhnya dari suatu barang&menguasai barang itu
secara luas-luasnya.Cara memperoleh hak milik dengan pengambilan,perlekatan,lewat
waktu,pewarisan dan penyerahan.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Chidir Ali, S.H. Mr.Dr. H.F.A. Vollmar. Hukum Benda. Bandung:
Tarsito.
2. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan Prof. Dr, S.H. Hukum Benda.
Yogyakarta: Liberty, 2000.
3. Subekti, Prof, S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT
Intermasa, 2003.
4. Subekti, R. Prof, S.H. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001.
17