KINETIKA FERMENTASI DALAM
PRODUKSI MINUMAN VINEGAR
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun Oleh :
Frisca Melia Mardiana 11.70.0081
Kelompok B3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
0
Acara I
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil percobaan kinetika fermentasi dalam vinegar (cider apel) dapat dilihat pada tabel dan
grafik di bawah ini
Tabel 1.Kinetika Fermentasi dalam Minuman Beralkohol
Kel Perlakuan WaktuΣ Mikroorganisme tiap
perlakuanRata-rata / Σ Mo tiap
petak
Rata-rata / Σ tiap cc
OD pHTotal Asam
(mg/ml)1 2 3 4B1
B2
B3
B4
B5
Sari apel +S. cereviceae
Sari apel +S. cereviceae
Sari apel +S. cereviceae
Sari apel +S. cereviceae
Sari apel +S. cereviceae
N0
N24
N48
N72
N96
N0
N24
N48
N72
N96
N0
N24
N48
N72
N96
N0
N24
N48
N72
N96
N0
N24
N48
N72
N96
192140704342625868732321608113262678990100038326850
14205060444460616578263354921384960649288040355860
1821424040456473707524446610913044556395114038287171
12354563254368607568275467951334762626784032389270
15,7524,25
4458,25
3843,563,563
69,573,52538
61,7594,25133,2550,561
69,586
96,5037
33,2572,2562,75
6,3.104
9,7.104
17,6.107
23,3.107
15,2.107
1,74 x 108
2,54 x 108
2,52 x 108
2,78 x 108
2,94 x 108
108
15,2 x 107
24,7 x 107
3,77 x 108
5,33 x 108
2,02 x 108
2,44 x 108
2,78 x 108
3,44 x 108
3,86 x 108
01,48 x 108
1,33 x 108
2,89 x 108
2,51 x 108
0,1776-0,1453-0,2194-0,5796-0,30090,1124-0,1453-0,2194-0,5796-0,13040,21710,0476-0,2155-0,57930,21910,14500,6964-0,2179-0,36290,03590,3116-0,1453-0,02600,21550,0359
2,963,113,133,203,293,013,093,123,133,322,943,153,193,243,572,283,123,123,163,532,523,123,123,183,68
18,0520,1620,5417,0916,3219,9720,1620,5420,7422,0818,0518,2418,6216,3215,3615,3616,3218,2415,3616,3219,3919,5820,1620,1621,50
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata /∑ tiap petak dan tiap cc cider untuk B2
sampai B4 mengalami peningkatan dari hari ke-0 hingga hari ke-4 namun untuk B1 dan B5
mengalami peningkatan dari hari ke-0 sampai hari ke-3 dan untuk hari ke-4 mengalami
penurunan. Namun nilai optical density (OD) untuk B1 sampai B5 mengalami fluktuasi dari
hari ke-0 sampai hari ke-4. Untuk pH pada B1 sampai B3 untuk hari ke-0 sampai ke-4
mengalami peningkatan pH sedangkan pada B4 dan B5 pada hari ke-0 mengalami
peningkatan, hari ke-1 dan ke-2 sama yaitu 3,12 dan untuk hari selanjutnya yaitu hari ke-3
sampai ke-4 mengalami peningkatan. Kemudian untuk total asam untuk B1, B3, dan B4 pada
1
hari ke-0 sampai ke-2 mengalami peningkatan kadar total titrasi namun pada hari ke-3 sampai
ke-4 mengalami penurunan. Kemudian untuk B2 pada hari ke-0 sampai ke-3 mengalami
peningkatan namun pada hari ke-4 mengalami penurunan. Sedangkan untuk B5 pada hari ke-
0 sampai ke-2 mengalami peningkatan, untuk hari ke-2 dan ke-3 volumenya tetap, dan pada
hari ke-4 mengalami peningkatan.
N0 N24 N48 N72 N960
200000000
400000000
600000000
Hubungan Jumlah Sel VS Waktu
B1
B2
B3
B4
B5
Waktu
Jum
lah
Sel
N0 N24 N48 N72 N96
-1.0000
-0.5000
0.0000
0.5000
1.0000
Grafik Hubungan OD dengan Waktu
B1
B2
B3
B4
B5
Waktu
OD
Grafik 1. Hubungan Waktu dan Jumlah Sel/cc
N0 - N24: B1 sama dan B2-B5 meningkatN24-N48: B2,B3 dan B4 meningkat, B1 dan B5 menurunN48-N72: B1-B5 meningkatN72-N96: B2-,B3, meningkat;
B1, B4-B5 menurun
Grafik 2. Hubungan Waktu dan ODN0 – N24 = B1-B3
menurun, B5 meningkatN24 – N48= B1-B4
menurun, B5 meningkatN48 – N72 = B1-B4
menurun, B5 meningkatN72 – N96 = B1-B4
meningkat, B5 menurun
2
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.80
100000000200000000300000000400000000500000000600000000
Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan OD
B1
B2
B3
B4
B5
OD
Jum
lah
Sel
2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2 3.4 3.6 3.80
100000000
200000000
300000000
400000000
500000000
600000000
Hubungan Jumlah Sel dengan pH
B1
B2
B3
B4
B5
pH
Jum
lah
Sel
15 16 17 18 19 20 21 22 230
100000000
200000000
300000000
400000000
500000000
600000000
Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan Total Asam
B1
B2
B3
B4
B5
Total Asam
Jum
lah
Sel
Grafik 3. Hubungan OD dan Jumlah Sel/cc
B1-B6 nilainya sangat fluktuatif dan acak
Grafik 4. Hubungan Jumlah Sel dan pH
B1-B5 nilainya fluktuatif
Grafik 5. Hubungan Jumlah Sel dan Total Asam
B1-B5 nilainya sangat fluktuatif dan acak
3
2. PEMBAHASAN
Fermentasi adalah suatu proses metabolisme yang melibatkan aktivitas mikroba dalam
memecah gula menjadi alkohol dan CO2. Hasil fermentasi berbeda-beda tergantung
dengan jenis bahan pangan atau substrat, macam-macam jenis mikroba dan proses
metabolismenya. Pada prinsipnya semua mikroorganisme menggunakan karbon
sebagai substrat utamanya dan kemudian baru menggunakan nitrogen. Cider adalah
salah satu hasil fermentasi yang menggunakan bahan dasar sari apel atau bahan
lainnya yang mengandung pati dengan atau tanpa penambahan gula dengan bantuan
yeast (Winarno et al., 1980).
Apple wine mengandung banyak sumber gula, termasuk fruktosa, glukosa, dan
sukrosa. Dari semua jenis gula yang terkandung tersebut maka sebanyak 70% akan
terfermentasi yaitu digunakan yeast untuk melakukan metabolismenya. Yeast yang
digunakan dalam pembuatan apple wine adalah Saccharomyces cereviceae karena
mampu bermetabolisme dengan cepat, efisien, dan dapat mengubah gula menjadi
alkohol tanpa menghasilkan off-flavor. Namun kelemahan
dari Saccharomyces cereviceae adalah proses konversi gula
menjadi alkohol yang terkadang tidak berjalan lengkap
sehingga masih terdapat sisa residu gula di akhir fermentasi.
Hal ini menjadikan kecepatan dalam produksi alkohol akan
sangat dipengaruhi oleh keberadaan gula pada awal
fermentasi. Gula jenis glukosa dan juga fruktosa akan digunakan terlebih dahulu
(Wang et al., 2004).
Langkah pertama dalam pembuatan cider yaitu pasteurisasi sari apel yang bertujuan
untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan dalam proses fermentasi.
Kemudian setelah dingin, starter S. cereviceae diinokulasikan pada sari apel tersebut
secara aseptis agar yeast tersebut tidak langsung mati akibat suhu yang tinggi
(Muljohardjo, 1988). Yeast banyak digunakan dalam memproduksi minuman
beralkohol, biomassa, dan beberapa produk metabolit. Saat ini yeast yang digunakan
sudah spesifik karena disebabkan sudah diisolasi dan diidentifikasi terlebih dahulu
sebelum digunakan untuk produksi. Keberadaan yeast ini berfungsi juga untuk
kesehatan, yaitu sebagai sumber protein, seperti protein sel tunggal (PST). Mikroba
memiliki kandungan protein yang tinggi dan juga dapat tumbuh dengan cepat. Hal ini
4
menyebabkan biomassa yang dihasilkan juga tinggi. Selain substrat jus apel yang
digunakan dalam praktikum, terdapat pula sumber lain yang dapat digunakan sebagai
substrat pertumbuhan yeast, antara lain adalah molase dari gula bit dan dari tebu.
Pemilihan substrat tersebut karena mengandung gula dan sumber energi yang berguna
bagi pertumbuhan yeast. (Damtew et al., 2012).
Saccharomyces cereviceae merupakan kategori yeast ascoporogenous yang
menghasilkan sel berbentuk ovoid, spherical, dan elongate. Yeast akan
memfermentasi glukosa pada suatu substrat menjadi karbondioksida dan juga etanol.
Mikroba ini mampu membentuk pelicle pada suatu substrat cair. Yeast ini tumbuh
baik pada kondisi air yang cukup dengan batas Aw minimum 0,88-0,94. Kisaran suhu
untuk pertumbuhannya sekitar 25-30° C dengan suhu pertumbuhan maksimum 35-
47°C. Yeast ini bersifat aerobik namun juga dapat tumbuh secara lambat pada kondisi
yang anaerobik. Pada kondisi anaerob akan melakukan fermentasi. Selama proses
fermentasi, yeast ini dapat menimbulkan kekeruhan di dasar tabung karena sifatnya
yang tidak menggerombol melainkan menyebar pada seluruh bagian dari medium
pada tabung reaksi (Fardiaz, 1992).
Proses berikutnya adalah inkubasi selama empat hari yang dilakukan pada shaker
incubator. Inkubasi disini berfungsi untuk memacu pertumbuhan dari starter,
menghindari kontaminasi luar, dan menjaga kondisi anaerob. Kondisi anaerob
dibutuhkan karena fermentasi alkohol hanya berlangsung dalam keadaan anaerob.
Menurut Said (1987), shaker inkubator berfungsi sebagai media aerasi dan juga
agitasi. Gerakan berputar pada shaker menyebabkan media bergejolak sehingga
terjadi aerasi. Selama proses fermentasi utama, S. cereviceae mengkonversi gula
menjadi etanol, CO2, dan produk metabolit lain seperti alkohol, ester, aldehid, dan
asam. Setelah itu, etanol difermentasi kembali oleh yeast dan menjadi gliserol (dalam
proses fermentasi lanjutan). Gliserol ini tidak mempengaruhi aroma produk akhir.
Konsentrasi gliserol yang dihasilkan bervariasi, sekitar 1-15 g/L dan rata-rata 7 g/L
(Yalcin & Ozbas, 2008; Arpah, 1993).
Sampel cider diambil
setiap hari dari hari
ke-0 hingga hari ke-4
5
secara aseptis kemudian dilakukan uji kepadatan sel menggunakan haemocytometer
dan spektrofotometer (panjang gelombang 660 nm), uji total asam menggunakan
titrasi, dan pengujian pH. Pengukuran laju kinetika dalam pertumbuhan yeast selama
fermentasi berfungsi untuk mengetahui sejauh apakah gula akan direduksi dan
seberapa banyak etanol yang dihasilkan yang merupakan produk metabolitnya. Selain
itu, proses ini juga dapat digunakan untuk memprediksi dan untuk mengontrol
masalah pada fermentasi serta untuk membantu dalam memahami suatu proses
fermentasi (Wang et al., 2004). Metode yang dilakukan oleh Wang et al. (2004)
dalam proses pendahuluan sama dengan yang dilakukan dalam praktikum, yaitu
dengan proses inokulasi kultur yeast dalam medium yang telah dipasteurisasi dalam
suhu ruang. Medium yang digunakan yaitu sari apel dan dilakukan pada suhu ruang,
yaitu sekitar 25oC. Kemudian, cider yang dihasilkan secara periodik diambil sebagian
untuk dilakukan pengukuran berat sel.
Spektrofotometri digunakan untuk mengukur
kekeruhan (metode turbidimetry) dari suatu sel. Alat
ini merupakan alat ukur analisis kuantitatif dan
pencirian suatu zat kimia dimana dilakukan suatu
studi terinci mengenai penyerapan energi cahaya
oleh suatu spesies kimia. Nilai yang terbaca melalui
alat ini adalah absorbansi. Pelczar & Chan (1986)
menambahkan bahwa jika penentuan massa sel dapat ditentukan melalui metode ini
dan berdasar atas sinar yang dilewatkan pada suspensi sel. Menurut Day &
Underwood (1992), jika konsentrasi semakin meningkat maka besar nilai
absorbansinya juga akan semakin meningkat pula. Menurut Fardiaz (1992), intensitas
cahaya yang ditransmisikan dan diabsorbansi oleh larutan dapat ditentukan melalui
hukum Beer-Lambert, dimana rasio intensitas yang diteruskan (I) dengan intensitas
cahaya mula-mula (I0) disebut persen transmitansi (%T). Semakin keruh suatu
suspensi maka semakin kecil %T-nya. Secara matematis hukum Beer-Lambert
dinyatakan sebagai: A = log (I0/It) = – log(I0/It) = – log T = abc.
Hasil pembacaan absorbansi pada spektrofotometer adalah optical density (OD) untuk
B1 sampai B5 mengalami fluktuasi dari hari ke-0 sampai hari ke-4 dan cenderung
mengalami penurunan. Hasil absorbansi rata-rata tiap kelompok minus, hal itu
6
menandakan bahwa larutan yang dipakai lebih bening atau jernih dari larutan control
yang digunakan. Namun hal itu tidak sesuai dengan pernyataan bahwa saat
fermentasi, terjadi pertumbuhan yeast dan perombakan substrat khususnya unsur gula
sehingga menimbulkan kekeruhan dan terbentuk endapan di dasar erlenmeyer
(Satuhu, 1993). Jadi, seharusnya pada awal fermentasi ini terjadi peningkatan
absorbansi akibat pertumbuhan yeast. Selain itu hasil minus pada rata-rata tiap
kelompok juga tidak sesuai dengan pernyataan bahwa jumlah sinar yang dihambat
sebanding dengan massa sel yang dideterminasi melalui hukum Beer-Lambert.
Hukum Beer-Lambert menyatakan bahwa besarnya absorbansi sebanding dengan
jumlah partikel yang efektif dalam radiasi absorpsi pada panjang gelombang tertentu.
Semakin banyak massa sel yang ada dalam suspensi maka sinar yang dihamburkan
akan semakin banyak (absorbansi semakin besar) (Ewing, 1976; Pelczar & Chan,
1986).
Kesalahan hasil yang minus dan fluktuasi pada semua kelompok dapat disebabkan
karena kesalahan praktikan dalam penggunaan spektrofotometer. Seharusnya nilai OD
berbanding lurus dengan jumlah sel yang ada. Tetapi berdasar hasil yang diperoleh
terdapat beberapa sampel dengan nilai perbandingan OD dengan jumlah sel yang tidak
sebanding. Kesalahan dalam penggunaan spektrofotometer antara lain: kuvet kotor
atau tergores, ukuran kuvet tidak seragam, penempatan kuvet kurang tepat, ada
gelembung gas dalam larutan, penyiapan sampel kurang sempurna, serta penggunaan
panjang gelombang yang tidak sesuai (Pelezar & Chan, 1986).
7
Sedangkan haemocytometer (untuk metode counting chamber)
adalah suatu alat yang digunakan untuk menghitung sel dengan
konsentrasi yang rendah secara cepat. Alat ini terdiri dari dari dua
chamber yang terbagi menjadi sembilan area dan terpisahkan oleh
tiga garis. Deck glass
digunakan
untuk menutup
bagian atas
dengan
ketebalan 0,1 mm. Haemocytometer diletakkan diatas spesimen pentas (tempat objek)
yang digunakan untuk menghitung jumlah suspensi sel. Ketelitian alat ini dikata
cukup tinggi, yaitu sekitar 84,6%. Untuk meletakkan sampel pada haemacytometer,
sampel diambil dengan menggunakan pipet pasteur dan tip kemudian diletakkan di
atas cekungan alat tersebut. Lalu berikutnya, permukaan cekungan tersebut ditutup
dengan menggunakan penutup kaca tipis dan diletakkan di mikroskop untuk dihitung
jumlah sel mikrobanya (Atlas, 1984). Sel yang dihitung adalah sel yang terdapat pada
suatu kotak 4x4 yang dibatasi oleh tiga garis lurus pada masing-masing tepinya.
Namun menurut Chen & Chiang (2011) sel yang terletak pada tiga garis lurus tidak
perlu dihitung.
Menghitung kepadatan sel dari suatu substrat berfungsi untuk mengetahui laju
pertumbuhan dari suatu mikroba. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan
hemocytometer, yaitu alat yang berbahan dasar gelas optik dimana suspensi sel
diinjeksi dalam alat ini sehingga jumlah sel dapat dihitung menggunakan mikroskop.
Keunggulan dari metode ini yaitu murah, dapat dilakukan untuk skala kecil, namun
seringkali menimbulkan bias, yaitu penghitungan yang kurang akurat (Chen &
Chiang, 2011). Dari setiap pengamatan di bawah mikroskop dapat dilihat jumlah sel
secara langsung seperti gambar-gambar di bawah ini.
N0 N24 N48 N72 N96
8
Kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat disebabkan karena keterbatasan alat
haemocytometer dalam menampilkan sel yeast pada mikroskop. Kelemahannya antara
lain adalah:
1. Tidak dapat membedakan sel mati dan sel hidup
2. Sulit untuk menghitung sel yang berukuran kecil karena sulit terlihat di bawah
miroskop
3. Metode ini tidak cocok untuk suspensi sel dengan kepekatan/kekentalan rendah
(Chen & Chiang, 2011).
Pengukuran kepadatan sel dilakukan dengan merata-rata jumlah empat buah kotak
4x4 dan didapat nilai rata-rata /∑ tiap petak. Volume setiap petaknya adalah 0,05 mm
x 0,05 mm x 0,1 mm. Nilai rata-rata /∑ tiap cc ditentukan dengan cara membagi rata-
rata /∑ tiap petak dengan volume petak. Jadi nilai rata-rata /∑ tiap petak sebanding
dengan rata-rata /∑ tiap cc.
Nilai rata-rata/ ∑ tiap petak dan tiap cc cider untuk B2 sampai B4 mengalami
peningkatan dari hari ke-0 hingga hari ke-4 namun untuk B1 dan B5 mengalami
peningkatan dari hari ke-0 sampai hari ke-3 dan untuk hari ke-4 mengalami
penurunan.
Menurut Fardiaz (1992), mula-mula mikroba mengalami fase lag dimana
pertumbuhannya mulai meningkat. Kemudian terjadi peningkatan jumlah mikroba
yang sangat pesat pada fase log. Diperkirakan selama 24 jam pertama inkubasi, yeast
telah mengalami fase lag dan fase log. Fase berikutnya adalah fase pertumbuhan
diperlambat (fase stasioner), dimana terjadinya peningkatan jumlah mikroba yang
tidak signifikan, bahkan jumlahnya mulai menurun/ berkurang. Menurut Wang et al.
(2004), pada fase eksponensial terjadinya peningkatan produksi etanol yang pesat
seiring dengan peningkatan biomassa. Kemudian pada fase stasioner pertumbuhan
yeast dan produksi etanol berjalan dengan lambat.
Pada hari ke-1 sampai ke-3 semua kelompok mengalami peningkatan, hal itu bisa
dikatakan bahwa semua kelompok masih dalam fase log maupun fase stationer.
Namun pada hari ke-4 inkubasi kelompok B2 – B4 masih mengalami peningkatan
namun kelompok B1 dan B5 mengalami penurunan jumlah mikrobanya namun tidak
secara signifikan. Hal itu menunjukan bahwa kelompok B1 dan B5 mengalami fase
9
stationer dimana jumlah mikrobanya mengalami penurunan. Setelah mengalami fase
stasioner, yeast mengalami fase kematian (death phase) dimana jumlahnya menurun
secara signifikan (Fardiaz, 1992).
Saat semua gula telah digunakan yeast serta etanol berada pada konsentrasi
maksimum, pertumbuhan yeast berhenti dan memasuki fase stasioner. Jadi pada tahap
ini, peningkatan jumlah mikroba sangat sedikit bahkan tidak meningkat secara
signifikan. Proses fermentasi yang baik berjalan pada suhu ruang, yaitu sekitar suhu
25oC. Bila suhu terlalu rendah maka pertumbuhan yeast akan terhambat dan laju
konsumsi gula serta produksi etanol juga berjalan lebih lambat. Suhu dapat
mempengaruhi sensitivitas yeast terhadap alkohol, kecepatan tumbuh, laju fermentasi,
panjang fase lag, enzim, serta fungsi membran. Saat suhu rendah, ketahanan mikroba
terhadap alkohol menurun dan memanjangkan durasi fase log namun menurunkan
juga kecepatan fermentasi. Pada suhu tinggi akan mengganggu kerja enzim dan fungsi
membran sehingga menghambat fermentasi (Şener et al., 2007).
Dari uraian di atas diperoleh hasil yang berbeda pada tiap sampel dan dapat dikatakan
bahwa pertambahan jumlah yeast S. cereviceae mengalami peningkatan setiap hari
tetapi akan menurun pada titik tertentu. Menurut Damtew et al. (2012), selama
fermentasi terjadi peningkatan konsumsi gula karena yeast menggunakannya sebagai
substrat dalam konversi menjadi etanol dan produk metabolit lainnya. Misalnya yeast
menggunakan lebih dari 60% gula selama 72 jam proses fermentasi. Hal ini berarti
yeast dapat tumbuh maksimum hingga 72 jam (antara N24 hingga N72) pada fase log,
kemudian setelah itu pertumbuhannya tidak terlalu banyak dan akan menurun.
Peningkatan kadar hasil metabolit yeast berbanding lurus dengan jumlah biomassa
yeast yang dihasilkan. Jadi, semakin banyak etanol yang dihasilkan, yeast akan
meningkat jumlahnya serta kepadatannya juga meningkat. Teori ini sesuai dengan
hasil masing-masing sampel dimana terjadi peningkatan dari N0 hingga N72, dengan
peningkatan yang bervariasi.
Berdasarkan pernyataan Damtew et al. (2012), dapat dikatakan pula bahwa setelah 72
jam fermentasi tidak terjadi peningkatan jumlah mikroba, atau bahkan mengalami
penurunan. Dalam praktikum ini sampel B1 dan B5 berarti sudah sesuai dimana dari
N72 ke N96 terjadi penurunan jumlah. Namun untuk sampel B2 sampai B4 kurang
10
sesuai karena mengalami peningkatan. Seharusnya setelah peningkatan secara cepat
(fase log), hanya tersisa sedikit gula yang menjadi sumber makanan bagi yeast yang
mengakibatkan peningkatan pertumbuhannya melambat (fase stasioner akhir) bahkan
mengalami penurunan jumlah (fase kematian). Nilai yang meningkat pada beberapa
sampel dapat disebabkan karena kesalahan praktikan, seperti praktikan tidak segera
melakukan pengamatan setelah pengambilan sampel sehingga yeast akan mengendap.
Oleh karena itu, sebelum pengambilan sampel diperlukan penggojokan perlahan agar
yeast tersebar lebih merata pada sampel.
Kemudian untuk pengukuran total asam dengan cara titrasi menggunakan 3 tetes
indicator dan menggunakan larutan NaOH. Titrasi dihentikan ketika warna sampel
sudah berubah menjadi merah bata. Metode titrasi yang digunakan sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Kwartiningsih & Nuning (2005) yang menyatakan uji
kuantitatif asam asetat dapat dilakukan dengan titrasi menggunakan larutan NaOH 0,1
N dan indikator PP yaitu dengan metode alkalimetri. Indikator PP ( Phenolphtalein)
dapat bereaksi dengan basa dan membentuk warna merah bata (Sudarmadji et al .,
1989). Pada hasil titrasi untuk total asam untuk B1, B3, dan B4 pada hari ke-0 sampai
ke-2 mengalami peningkatan kadar total titrasi namun pada hari ke-3 sampai ke-4
mengalami penurunan. Kemudian untuk B2 pada hari ke-0 sampai ke-3 mengalami
peningkatan namun pada hari ke-4 mengalami penurunan. Sedangkan untuk B5 pada
hari ke-0 sampai ke-2 mengalami peningkatan, untuk hari ke-2 dan ke-3 volumenya
tetap, dan pada hari ke-4 mengalami peningkatan. Hal itu menyatakan bahwa semakin
tinggi kadar total titrasi maka semakin banyak asam asetat yang dihasilkan. Jadi pada
kelompok B1, B3, dan B4 pada hari ke-0 sampai ke-2 mengalami peningkatan kadar
asam asetatnya sedangkan pada hari ke-3 sampai ke-4 mengalami penurunan kadar
asam asetat. Untuk kelompok B2 pada hari ke-0 sampai ke-3 mengalami peningkatan
kadar asam asetat namun pada hari ke-4 mengalami oenurunan kadar asam asetatnya.
Untuk kelompok B5pada hari ke-0 sampai ke-2 mengalami peningkatan kadar asama
asetatnya, untuk hari ke-2 dan ke-3 kadar asam asetatnya tetap, dan pada hari ke-4
mengalami peningkatan kadar asam asetat.
Selanjutnya untuk pengukuran pH, sampel diukur pHnya menggunakan pH meter
(Sugiharto, 1987). Sebelum dilakukan pengukuran dengan pH meter maka diperlukan
kalibrasi. Prinsip pengukuran keasaman dengan pH meter adalah melihat kadar
11
hidrorgen yang dapat diketahui dari goyangan jarum yang ada alat penera
(potensiometer). pH meter terdiri dari potensiometer dan juga tersusun dari dua buah
elektroda (Suhardi, 1991). Untuk pH pada B1 sampai B3 untuk hari ke-0 sampai ke-4
mengalami peningkatan pH sedangkan pada B4 dan B5 pada hari ke-0 mengalami
peningkatan, hari ke-1 dan ke-2 sama yaitu 3,12 dan untuk hari selanjutnya yaitu hari
ke-3 sampai ke-4 mengalami peningkatan. Jadi rata-rata semua kelompok mengalami
peningkatan pH jadi semakin hari keasamannya menurun.
2.1. Hubungan Jumlah Mikroorganisme dengan Waktu
Hubungan jumlah mikroorganisme dengan waktu sesuai dengan kurva pertumbuhan
dimanakurva pertumbuhan mikroorganisme menunjukkan grafik pertumbuhan
mikroorganisme dengan empat macam fase, yaitu fase lag, log, stasioner, serta
kematian. Jadi laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme akan menurun saat waktu
fermentasinya berjalan lama. Pada fase lag, yeast mulai tumbuh dan mengkonversi
gula sehingga jumlah mikroba dan OD-nya meningkat perlahan. Pada fase lag, yeast
telah mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya sehingga kecepatan
pertumbuhannya meningkat pesat (Shuler, 1989). Pada fase ini kecepatan
pertumbuihannya dipengaruhi oleh medium, pH, nutrisi, suhu dan kelembaban udara.
Pada fase ini pula mikroba membutuhkan lebih banyak energi dibanding fase lainnya
(Fardiaz, 1992).
Fase berikutnya yaitu fase stasioner dimana
pertumbuhan mulai konstan/ mulai menurun.
Hal ini terjadi karena nutrisi dalam medium
mulai menipis akibat dikonsumsi oleh
mikroba tersebut dan terbentuk metabolit
yang menghambat pertumbuhan mikroba tersebut, namun jumlah sel hidup masih
lebih banyak dibanding sel mati (Thontowi et al , 2007). Selain itu juga dikarenakan
semakin banyaknya konversi gula yang menjadi alcohol, yang dihasilkan oleh jumlah
yeast yang bertambah banyak sehingga alkohol akan menjadi toksik atau racun bagi
yeast. Peningkatan jumlah alkohol mencapai 6-8% saat terjadi peningkatan jumlah sel
yeast (Sevda & Rodrigues, 2011). Pada fase ini, sel bersifat lebih tahan atau resisten
terhadap keadaan yang ekstrim, misal suhu panas, suhu dingin, radiasi dan bahan
kimia. fase terakhir yaitu fase kematian, dimana setiap sel akan mati bila kondisi
12
lingkungan sudah tidak mendukung bagi pertumbuhannya. Kecepatan kematian
berbeda-beda tergantung dari spesies mikroorganisme dan kondisi lingkungan
(Fardiaz, 1992).
Menurut Elevri & Surya (2006), Saccharomyces cerrevisiae mempunyai fase log yang
singkat. Pada jam inkubasi yang ke-20, Saccharomyces cerevisiae sudah mencapai
pertengahan fase log dan pada jam inkubasi ke-30, Saccharomyces cerrevisiae
memasuki fase stasioner. Berdasarkan teori Thontowi et al. (2007), proses fermentasi
dapat dihentikan setelah jam ke-84 hal itu dikarenakan Saccharomyces
cerrevisiae telah memasuki fase kematian.
Berdasarkan teori tersebut maka yang sesuai dengan terori adalah kelompok B1 dan
B5 yaitu pada hari inkubasi ke-4 mengalami penurunan. Sedangkan untuk kelompok
B1 sampai B4 mengalami peningkatan dari hari ke-0 sampai ke-4 jadi tidak sesuai
teori. Hal itu disebabkan substrat pada proses fermentasi vinegar tersebut terlalu
banyak sehingga yeast masih berada dalam fase log.
2.2. Hubungan Jumlah Mikroorganisme dengan Absorbansi
Teori Pelezar and Chan (1986) menyatakan bahwa jumlah mikroorganisme sebanding
dengan nilai absorbansinya. Hal ini dikarena semakin banyak jumlah sel di dalam
suatu suspensi, maka sinar yang dihamburkan semakin banyak karena kekeruhan yang
semakin meningkat. Hal itu tidak sesuai dengan hasil praktikum yang dilakukan
karena hasil absorbansi semua kelompok berfluktuasi. Ketidaksesuaian dengan teori
dapat disebabkan oleh kurang bersihnya kuvet serta penempatan kuvet kurang tepat,
dan juga karena adanya gelembung dalam larutan (Sudarmadji & Suhardi, 2000).
2.3. Hubungan Jumlah Mikroorganisme dengan pH
Nilai pH yang tinggi akan menurunkan laju produksi biomassa karena yeast tumbuh
optimum pada pH 4. pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah menyebabkan stress
pada sel yeast sehingga bisa mati (Yalcin & Ozbas, 2008). Perubahan pH pada sari
apel dapat dikarenakan oleh aktivitas sel yeast juga memproduksi asam-asam organik
seperti asam malat, asam tartarat, asam sitrat, asam asetat, asam butirat, dan asam
propionat sebagai hasil sampingan selain etanol yang dihasilkan (Susanto & Bags,
2011). Fermentasi vinegar meliputi dua tahapan yaitu fermentasi pembentukan
13
alcohol dan fermentasi pembentukan asam asetat dan air. Pada fermentasi
pembentukan alkohol melibatkan Saccharomyces cerevisiae. Sedangkan fermentasi
pembentukan asam asetat dan air melibatkan Acetobacter aceti (Kwartiningsih &
Nuning, 2005). Jadi pH yang tinggi akan menurunkan jumlah mikroorganisme.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh bahwa kelompok B1 sampai B5 tidak
begitu diketahui hubungan antara jumlah mikroorganisme dan pH karena jumlahnya
yang berfluktuasi. Ketidaksesuaian antara hasil dengan teori dikarenakan fermentasi
tahap kedua dengan Acetobacter aceti belum dilakukan sehingga hanya dapat
berlangsung fermentasi pembentukan alcohol oleh Saccharomyces
cerevisiae sedangkan fermentasi asam asetat belum berlangsung.
2.4. Hubungan Jumlah Mikroorganisme dengan Total Asam
Keasaman juga mempengaruhi proses fermentasi, dimana pH yang tinggi akan
menurunkan laju produksi biomassa karena yeast tumbuh optimum pada pH 4. pH
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah menyebabkan stress pada sel yeast sehingga
bisa mati. Produksi gliserol dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, pH, suhu,
konsentrasi substrat, laju aerasi, serta sumber nitrogen. Suhu yang tinggi (22-32oC)
dan pH mendekati netral (6,46) akan meningkatkan produksi gliserol, dan suhu
optimumnya sekitar 22-32oC (Yalcin & Ozbas, 2008). Jadi total asam yang rendah
akan menurunkan jumlah mikroorganisme yaitu total asam sebanding dengan jumlah
mikroorganisme. Hal itu sesuai dengan hasil praktikum dimana rata-rata semua
kelompok jika total asamnya tinggi maka jumlah mikrooganismenya juga tinggi dan
sebaliknya.
2.5. Hubungan Absorbansi dengan Waktu
Menurut Fardiaz (1992), jumlah sel yeast akan meningkat sebanding dengan
lamanya waktu fermentasi dan akan menurun pada fase kematian. Semakin banyak
jumlah koloni sel yeast , maka akan semakin keruh suatu larutan dan nilai absorbansi
akan semakin tinggi. Nilai absorbansi lebih berhubungan dengan jumlah koloni sel
yeast dibandingkan dengan lamanya waktu inkubasi yeast.
Berdasarkan hasil praktikum, diketahui bahwa nilai absorbansi semua kelompok
mengalami fluktuasi dan cendeung mengalami penurunan. Hasil yang diperoleh tidak
sesuai dengan teori yang diungkapkan Fardiaz (1992). Ketidaksesuaian hasil dengan
14
teori disebabkan kesalahan praktikan dalam saat menggunakan spektrofotometri yaitu
kuvet kurang bersih, penempatan kuvet kurang tepat, dan terdapat gelembung dalam
larutan (Sudarmadji & Suhardi, 2000)
15
3. KESIMPULAN
Cider adalah salah satu hasil fermentasi sari apel dengan bantuan yeast
Saccharomyces cereviceae mengkonversi gula pada sampel menjadi ethanol dan
karbondioksida selanjutnya etanol akan dikonversi menjadi gliserol
Selama fermentasi yeast akan menimbulkan kekeruhan pada dasar tabung
Langkah pertama dalam pembuatan cider adalah pasteurisasi sari apel yang bertujuan
untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan
Shaker incubator digunakan untuk media aerasi dan agitasi sampel
Pengukuran massa (kepatadan) sel menggunakan alat haemocytometer
Pengukuran kekeruhan sampel menggunakan spektrofotometer
Jumlah mikroorganisme dan absorbansi (Optical Density) sebanding dengan waktu
inkubasi
Jumlah mikroorganisme sebanding dengan dengan OD
Total asam sebanding dengan jumlah mikroorganisme
pH yang tinggi akan menurunkan jumlah mikroorganisme
Fase pertumbuhan yeast adalah fase lag, log, stasioner, dan kematian
Nilai OD dan massa sel sedikit meningkat pada fase lag, meningkat tajam pada fase
log, konstan pada fase stasioner, serta menurun pada fase kematian
Kekurangsesuaian teori dengan pengamatan yang ada dapat disebabkan karena
kelemahan dari alat yang digunakan serta kesalahan praktikan dalam penggunaan alat
ukur
Semarang, 02 Juni 2014Praktikan: Asisten Dosen:
- Andrian Cintya- Stella Maris
Frisca Melia Mardiana (11.70.0081)
16
4. DAFTAR PUSTAKA
Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Applications. Mac Millard Publishing Company. New York.
Chen, Y. W. & P. J. Chiang. (2011). Automatic Cell Counting for Hemocytometers through Image Processing. World Academy of Science, Engineering and Technology 58 2011.
Damtew, W.; S. A. Emire; & A. B. Aber. (2012). Evaluation of Growth Kinetics and Biomass Yield Efficiency of Industrial Yeast Strains. Archives of Applied Science Research, 2012, 4 (5):1938-1948
Day, R. A. & A. L. Underwood. (1992). Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga.Jakarta.
Elevri, P.A dan Surya R.P. (2006). Produksi Etanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae yang Diamobilisasi dengan Agar Batang. Akta Kimia Indonesia 1(2) : 105-114.
Ewing, G. W. (1976). Instrumental Methods of Chemichal Analysis. Mc Grow Hill Book Company. USA.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pengolahan I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kwartiningsih, E dan Ln. Nuning S.M. (2005). Fermentasi Sari Buah Nanas Menjadi Vinegar. Ekuilibrium 4(1) : 8-12.
Muljohardjo, M. (1988). Teknologi Pengawetan Pangan Edisi ketiga. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Pelczar, M. J. & E.C.S Chan. (1986). Microbiology. McGraw Hill Book Company. New York
Said, E. G. (1987). Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Satuhu, S. (1993). Penanganan & Pengolahan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Şener, A.; A. Canbaş; & M. Ü. Ünal. (2007). The Effect of Fermentation Temperature on the Growth Kinetics of Wine Yeast Species. Turk J Agric For 31 (2007) 349-354.
17
Sevda SB and Rodrigues L. (2011). Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During Guava (Psidium Guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production. Journal Food Processing and Technology 2(4) : 1-9.
Shuler, L. M. (1989). Bioprocess Engineering Basic Concepts. Prentice Hall International Incorporation. London.
Sudarmadji S. & B.H. Suhardi. (2000). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Susanto, W.H dan Bags R.S. (2011). Pengaruh Varietas Apel ( Malus sylvestris) dan Lama Fermentasi Oleh Khamir Saccharomyces cerevisiae Sebagai Perlakuan Pra- pengolahan Terhadap Karakteristik Sirup. Jurnal Teknologi Pertanian 2(3):135-142.
Thontowi, A; Kusmiati; Sukma N. (2007). Produksi β– Glukan Saccharomyces cerevisiae dalam Media dengan Sumber Nitrogen Berbeda pada Air-Lift Fermentor . Biodiversitas 8(4) : 253-256.
Wang, D.; Y. Xu; J. Hu & G. Zhao. (2004). Fermentation Kinetics of Different Sugars by Apple Wine Yeast Saccharomyces cerevisiae. Journal of the Institute of Brewing (2004) Publication no. G-2004-1304-255
Winarno, F. G.; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yalcin, S. K.; Z. Y. Ozbas. (2008). Effects of pH And Temperature on Growth and Glycerol Production Kinetics of Two Indigenous Wine Strains of Saccharomyces Cerevisiae from Turkey. Brazilian Journal of Microbiology (2008) 39:325-332
18
5. LAMPIRAN
5.1. HASIL PERHITUNGAN
Perhitungan :
Rata-rata / Σ tiap cc : Total Asam :
Jumlah sel/cc = 1
vol . petak x rata-rata jumlah MO/petak Total asam (mg/ml) =
ml NaOH x N NaOH x19210 ml sampel
N0 25
2,5 x 10−7 = 108 N0 9,4 x 0,1 x 192
10 =
18,05 mg/ml
N24 38
2,5 x 10−7 = 15,2 x 107 N24 9,5 x0,1 x192
10 =
18,24 mg/ml
N48 61,75
2,5 x 10−7 = 24,7 x 107 N48 9,7 x0,1 x192
10 = 18,62
mg/ml
N72 94,25
2,5 x 10−7 = 3,77 x 108 N72 8,5 x0,1 x192
10 = 16,32
mg/ml
N96 133,25
2,5 x 10−7 = 5,33 x 108 N96 8 x0,1 x192
10 = 15,36 mg/ml
5.2. Laporan Sementara
5.3. Jurnal
19