Download - ef - perfor
Perawatan pada perforasi yang telah lama terjadi
Perawatan pada fase ini dilakukan jika pasien datang setelah terjadinya
perforasi dalam jangka waktu yang lama dan telah terjadi fistula oro-antral
ataupun telah terjadi infeksi, dimana infeksinya harus ditanggulangi lebih dahulu
sebelum dilakukan penutupan perforasi.
1. Metoda bukal flap menurut Berger (Kruger, 1969; Gans. 1972; Archer,
1975; Killey & Key, 1975) :
Metoda ini memberikan hasil berupa bentuk flap yang baik dan
cukup untuk menutupi perforasi, serta jika sesuai dengan bagian palatal
yang telah disiapkan, akan menghasilkan kontak yang baik antara kedua
jaringan tersebut. Penyembuhan yang cepat dan tidak disertai dengan daerah
yang terbuka dari mukosa adalah merupakan keunggulan utama dari metoda
ini. Kelemahan utama dari metoda ini adalah tidak selalu dapat digunakan,
misalnya pada mukosa dimana bermuaranya duktus Stensen, serta pada
daerah dimana jaringan bukalnya tidak cukup, akan menghambat proses
penyembuhan. Prinsip dari metoda ini adalah siapkan basis dan flap yang
cukup, kemudian pastikan bahwa sinus bebas dari infeksi (Gans, 1972).
Metoda ini dilakukan dengan cara membuat flap pada mukosa bukal
hingga ke pipi. Pada sebuah kasus dimana terjadi perforasi dengan
kehilangan tulang yang cukup besar. Mula -mula epitel di tepi sekitar soket
dibuang, serta ketebalan mukosa (margin gingival) di bagian palatal
dikurangi hingga tiga perempatnya dengan jarak kurang lebih 6 mm dari
tepi soket. Kemudian dibuat insisi mulai dari tepi bagian mesial dan distal
soket menuju kearah mukobukal fold dan diteruskan ke mukosa pipi. Flap
bersama periosteum dilepaskan dari tulang dan diangkat. Untuk lebih
memudahkan dapat dibuat refraction suture pada kedua tepi mesial dan
distal flap tersebut, sebagai pemegang flap. Selanjutnya permukaan dalam
dari flap ini, yakni pada periosteum dibuat insisi horizontal yang
dimaksudkan agar flap dapat ditarik memanjang, tanpa disertai ketegangan
sehingga cukup untuk menutupi soket. Kemudian flap dikembalikan dan di
jahit. Jahitan dibuka setelah lima hari sampai seminggu.
2. Metoda palatal flap menurut Dunning (Kruger, 1969; Gans, 1972; Archer,
1975;Killey & Key, 1975):
Sesuai dengan namanya, metoda ini dilakukan dengan cara membuat
insisi pada palatal, dimana arteri palatine terbawa bersama flap sehingga
dapat memberikan vaskularisasi yang baik bagi flap tersebut. Suatu kasus
perforasi sinus maksilaris dengan keadaan yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan penutupan dengan metoda bukal flap. Sehingga untuk itu
dilakukan metoda palatal flap, yakni flap yang dibentuk menyerupai tangkai
dan dipuntir kearah soket. Mula-mula insisi dilakukan pada bagian palatal
dari soket, sejajar lengkung rahang dan dengan panjang secukupnya
sehingga sesuai untuk menutupi soket. Sebelum itu sebagian kecil jaringan
pada bagian distopalatal dari soket dieksisi berbentuk V, guna menyediakan
tempat bagi flap yang akan dipuntir, serta untuk mencegah terjadinya
lipatan. Kemudian secara hati-hati flap diangkat bersama periosteumnya dan
dipuntir kearah soket hingga menutupi perforasi tersebut, selanjutnya
dijahit. Daerah tulang yang terbuka bekas pengambilan flap ditutup dengan
surgical cement atau pack.
3. Proctor mengemukakan suatu metoda yang sederhana untuk menutup
perforasi, sebagai berikut (Kruger, 1969) :
Setelah soket gigi di kuret, suatu kartilago yang diawetkan berbentuk
kerucut dimasukkan kedalam soket gigi. Ukuran kartilago tersebut harus
sesuai dengan luas soket, karena jika tidak sesuai akan terlepas sebelum
terjadi penyembuhan atau akan masuk ke dalam rongga sinus.
4. Metoda penutupan perforasi yang terjadi pada palatum (Archer, 1975):
Perforasi pada palatum dapat terjadi antara lain akibat trauma
instrument, eksisi tumor dan sebagainya, sehingga perlu dilakukan
penutupan, dalam hal ini dilakukan dengan metoda sliding flap atau flap
geser.
Mula-mula dibuat out line flap tersebut pada palatum dan dalam hal
ini arteri palatina anterior dilibatkan. Perlunya flap geser yang besar
dilakukan, oleh karena suatu insisi elips yang sederhana akan memberikan
tegangan jaringan yang berlebihan dan mengganggu vaskularisasi. Pada
celah perforasi tampak adanya penyatuan epitel rongga mulut dengan epitel
rongga hidung. Setelah dilakukan insisi berdasarkan out line, maka flap
diangkat dan sebagian kecil jaringan flap bagian median dibuang guna
menyediakan tempat saat menggeser flap tersebut. Jaringan pada garis
tengah palatum dibuang secukupnya guna menyediakan tempat bagi flap
serta untuk menghilangkan jaringan yang miskin aliran darah. Epitel dan
jaringan pada celah perforasi dieksisi. Celah jaringan pada flap diatas daerah
perforasi dijahit. Kemudian flap digeser dan dijahit pada garis tengah
palatum. Selanjutnya jaringan tulang yang terbuka ditutup dengan zinc
oxide eugenol pack dan kasa steril, dan untuk menjamin aposisi yang baik
dari flap serta untuk mencegah hematoma submukus, maka tempatkan plat
geligi tiruan atau obturator.
Komplikasi Perforasi Sinus Maksilaris dan Pencegahannya
Oroantral Communication dan Fistula Oroantral
Gambar 8. Gambaran Komplikasi Sinus Maksilaris
Pada perforasi sinus maksilaris, jika perawatan yang dilakukan tidak
sesegera mungkin maka dapat mengakibatkan beberapa komplikasi. Dengan
terbuka oroantral fistula, kemungkinan terjadinya infeksi yang berasal dari rongga
mulut. Hal ini penting untuk diketahui apakah sinus telah terinfeksi atau belum.
Hasilnya ditentukan oleh lamanya fistula terbuka dan lebarnya kanal fistula
tersebut.
Namun beberapa penelitian melaporkan bahwa fistula dengan diameter
kurang dari 2mm dapat mengalami penyembuhan spontan. Dan fistula dengan
diameter lebih dari 3mm mengalami penghambatan penyembuhan dikarenakan
memiliki kemungkinan untuk terjadinya infeksi.
Penelitian juga mengungkapkan bahwa kurang mungkin terjadinya
penyembuhan spontan ketika oroantral fistula telah terbuka selama 3 sampai 4
minggu dengan diameter lebih dari 5.
Selain itu , komplikasi lain yang didapat setelah melakukan perawatan
yaitu dengan prosedur flap bukal dapat menyebabkan penurunan yang signifikan
pada vestibulum dan terjadi odema pada pipi. Jika dengan menggunakan flap
palatinal, komplikasi yang terjadi yaitu penggundulan permukaan palatal, rasa
nyeri, dan palatal tampak kasar dan lebih dalam akibat epitalisasi sekunder selama
2 sampai 3 bulan. Dan yang paling buruk , flap palatinal dapat menjadi nekrosis.
Definisi oroantral communication merupakan keadaan komplikasi yang
terjadi karena penembusan ke sinus maksilaris, sedangkan fistula oroantral adalah
lubang antara prosesus alveolaris dan sinus maksilaris yang tidak mengalami
penutupan dan mengalami epitelisasi. Oroantral communication bersifat akut,
sedangkan fistula oroantral bersifat kronis. Penderita fistula oroantral biasanya
sudah mengalami sinusitis maksilaris, baik akut maupun kronis. Fistula oroantral
kadang didefinisikan sebagai lubang sinus yang bertahan lebih dari 48 jam.
Lubang terbentuk setelah pembedahan dan akibat trauma pada sinus. Persentase
terbentuknya fistula setelah penembusan sinus , apapun penyebabnya,
kemungkinan kecil. Fistula biasanya terbentuk bila lubang yang terjadi lebih besar
(lebih dari 3-4 mm) dan melibatkan lantai, adanya sinusitis, serta apabila
perawatan yang dilakukan tidak memadai. Dengan bertahannya lubang oroantral
tersebut, maka traktus akan mengalami epitelisasi, daerah rongga mulut seringkali
mengalami proliferasi jaringan granulasi/jaringan ikat penghubung, dan timbul
drainase purulen. Jila lubang tersebut bukan didahului oleh sinusitis kronis, maka
adanya fistula yang persisten akan memastikan keberadaannya. Pasien jarang
mengeluhkan rasa sakit, kecuali apabila ada infeksi akut.
Gambar 9. Oronasal Communication
Oroantral communication merupakan komplikasi yang kadang terjadi
saat mengekstraksi gigi atau akar pada bagian posterior rahang atas. Identifikasi
dapat dilakukan oleh dokter gigi, yaitu pada saat debridemen alveolar, kuret
periapikal memasuki kedalaman yang lebih dalam daripada normalnya. Hal ini
menandakan bahwa kuret telah memasuki sinus maksilaris.
Gambar 10. Oroantral communication setelah ekstraksi radiks M1RA
Oroantral communication dapat juga dikonfirmasi dengan adanya
observasi adanya adanya aliran udara atau bubbling (gelembung udara) pada
darah dari alveolar (setelah ekstraksi). Hal ini terlihat pada saat pasien mencoba
membuang napas (exhale) melalui hidung saat kedua lubang hidung pasien
ditutup. Tes ini disebut dengan tes Valsalva. Apabila pasienmembuang napas
melalui hidung mereka dengan tekanan yang besar, ada resiko yang menyebabkan
oroantral communication.
Cara mengetahui adanya oroantral communication melalui tanda klinis
yang lain adalah sebagai berikut.
1) Penggunaan instrumen, misalnya elevator, untuk dimasukkan ke dalam
rongga yang ada.
2) Pendarahan hidung
3) Pasien bisa / tidak mengeluhkan rasa sakit atau lepasnya udara dari sinus
ke rongga mulut pada saat menarik napas dalam keadaan mulut tertutup,
kecuali pasien sudah menderita sinusitis (peradangan pada sinus
maksilaris)
4) Lubang yang ada dilihat dengan suction dan lampu atau ditunjuk dengan
probing (dengan hati-hati)
Oroantral communication dapat terjadi baik melalui labial maupun palatal.
Contohnya, komplikasi dapat terjadi terutama selama tahap pembedahan untuk
pencabutan kaninus yang impaksi dengan lokalisasi di labial, selama prosedur
apikoektomi, dan lain sebagainya. Pada contoh kasus lainnya, oroantral
communication juga dapat terjadi pada prosedur pembuangan kista, eksotosis
palatal, dan lain sebagainya.
Oroantral communication dapat disebabkan oleh :
1. Dinding sinus atau dasar sinus tipis.
2. Adanya displacement dari gigi impaksi ataupun ujung akar gigi ke dalam
sinus maksilaris selama percobaan ekstraksi.
3. Ujung akar terletak pada dasar sinus maksilaris.
Gambar 11. Ujung akar berkontak dengan dasar sinus maksilaris
4. Adanya lesi periapikal yang mengikis/mengerosi dinding tulang pada
dasar sinus maksilaris. Atau kuretase yang berlebihan dari lesi yang
bersangkutan.
Gambar 12. Lesi Periapikal Dekat dengan Dasar Sinus
5. Fraktur luas pada tuberositas maksilaris (selama ekstraksi gigi posterior),
dimana bagian sinus maksilaris dapat hilang bersama tuberositas
maksilaris.
6. Pembuangan tulang yang terlalu banyak untuk keperluan ekstraksi gigi
impaksi atau akar.
Pencegahan oroantral communication adalah dengan melakukan langkah-
langkah sebagai berikut.
1. Pemeriksaan klinis dan radiografis secara menyeluruh atau , khususnya
pada regio gigi yang akan diekstraksi (termasuk daerah di sekeliling gigi
yang akan diekstraksi).
2. Pemakaian instrumen dengan sangat hati-hati, khususnya pada saat
luksasi akar pada gigi posterior rahang atas. Hal ini tidak lepas dari
pemakaian tenaga atau kekuatan tekanan yang terkontrol.
3. Debridemen yang sangat hati-hati pada lesi periapikal yang berdekatan
dengan sinus maksilaris.
4. Menghindari tahap luksasi akar apabila daerah visualisasi operator
terhalang oleh adanya perdarahan / hemoragi.
5. Mempertimbangkan merujuk pasien apabila diperkirakan ada resiko
penembusan sinus yang tinggu, atau pada keadaan dimana penembusan
tidak terhindarkan.
Adapun penatalaksanaan apabila telah terjadi oroantral communication
adalah sebagai berikut.
1. Penatalaksanaan kasus oroantral communication bergantung pada
ukurannya dan kapan penatalaksanaan dijadwalkan.
2. Untuk oroantral communication yang berukuran kecil, dirawat segera
setelah ekstraksi. Penatalaksanaannya berupa tindakan bedah.
Keberhasilan penutupan lubang oroantral dengan cara pembedahan
tergantung pada pengontrolan infeksi sinus, pengambilan jaringan yang
berpenyakit/terinfeksi, dan drainase nasal yang memadai.
3. Untuk oroantral communication yang besar atau sudah terbuka selama
15 hari atau lebih harus ditatalaksana dengan teknik lain, seperti
dilakukannya penutupan dengan prosedur flap. Teknik-teknik yang biasa
digunakan adalah flap mukoperiosteal (flap bukal, palatal dan bridge
flap). Setelah itu, dilakukan penjahitan.
4. Diberikan tampon bedah ( 2 x 2 atau 4 x 4) pada daerah operasi.
Gambar 13. Pedicle Flaps
Gambar 14. Pedicle Bridge Flap
5. Administrasi antibiotik profilaksis tidak terlalu diperlukan, kecuali pada
oroantral communication yang merupakan hasil dari ekstraksi gigi
dengan inflamasi periapikal akut, atau pada penderita yang mengalami
riwayat sinusitis sebelumnya, dimana antibiotik spektrum luas harus
diadministrasikan.
6. Nasal decongestant , tetes hidung, serta analgesik harus diresepkan,
khususnya pada penderita fistula oroantral.
7. Buat rujukan yang dibutuhkan kepada spesialis bedah mulut.
8. Pasien diinformasikan tentang situasi yang sedang terjadi serta diberikan
instruksi seperti harus mencegah terjadinya bersin, blowing nose,
meludah dan lain sebagainya apabila rujukan masih dalam tenggang
waktu.
9. Pasien dijadwalkan kembali lagi untuk kontrol dan pemeriksaan-
pemeriksaan lain.
10. Teknik penutupan segera dengan prosedur flap diindikasikan ketika
sinus dalam keadaan bebas dari penyakit. Apabila terdapat infeksi sinus
maksilaris, prosedur flap dilakukan bersamaan dengan trepinasi antrum
(prosedur Caldwell-Luc).
11. Jaringan sinus yang berpenyakit (polip) dihilangkan dengan prosedur
Caldwell-Luc dan drainase hidung yang memadai dilakukan melalui
pembuatan jendela nasoantral pada meatus nasalis inferior. Penutupan
lubang dilakukan dengan pemindahan flap mukoperiosteal bukal ke arah
oklusal maupun palatal melalui daerah operasi dan menjahitnya kembali
pada mukosa palatal yang mengalami deepitelisasi ataupun mukosa yang
diangkat.