BAB IITINJAUAN PUSTAKA
DefinisiChronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP) adalah suatu gangguan
neurologis yang dikarakteristik oleh kelemahan progresif dan gangguan fungsi sensorik pada
tungkai dan lengan. Gangguan ini kadang-kadang disebut chronic relapsing polyneuropathy,
disebabkan oleh kerusakan selubung mielin (selubung lemak yang membungkus dan melindungi
sekeliling serat saraf) nervus perifer. Meskipun gangguan ini dapat terjadi pada setiap umur dan
jenis kelamin, CIDP lebih sering terjadi pada dewasa muda, dan pria lebih sering dibandingkan
wanita. Gejala-gejala yang sering terlihat termasuk rasa geli atau mati rasa (dimulai pada jari-jari
kaki dan tangan), kelemahan kedua lengan dan tungkai, hilangnya refleks tendon dalam
(areflexia), fatigue, dan sensasi abnormal.1 Gejala-gejala, penanganan dan prognosis sangat mirip
dengan tipe penyakit lain yang dikenal sebagai guillain-barr-syndrome. CIDP awalnya dikenal
sebagai "chronic Guillain-Barré syndrome." Guillain-Barré syndrome adalah suatu gangguan
akut yang gejala-gejalanya cepat terlihat dan lebih jelas. Walaupun keduanya mirip, CIDP dan
Guillain-Barré merupakan dua kondisi yang berbeda. CIDP biasa juga dikenal sebagai chronic
relapsing polyneuropathy.2
Demyelinisasi nervus perifer menyebabkan kelemahan kedua tungkai dan lengan yang
berkembang secara progresif dan lebih berat sepanjang tahun. Kemampuan tungkai dan lengan
merasakan impuls sensorik seperti sentuhan, nyeri dan temperatur juga terganggu. Khasnya
pertama kali dirasakan sebagai tingling (rasa geli) atau tumpul pada jari-jari kaki dan tangan.
Gejala-gejala keduanya menyebar dan lebih berat sepanjang tahun.2,3
Epidemologi Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy adalah gangguan yang sering
terjadi dan meskipun kadang terdiagnosa, dan merupakan penyakit yang potensial dapat
ditangani, dengan prevalensi kira-kira 0.5 per 100,000 kasus. Persamaan klinik dengan varian
inflammatory demyelinating polyneuropathy acute (Guillain–Barré syndrome) memungkinkan
terapi immunosuppresif bermanfaat dalam penanganan pasien, sehingga diduga patogenesis
gangguan ini berupa immune-mediated. Saat Austin, dkk serta Dyck dkk., pertama kali
mendeskripsikan pasien dengan corticosteroid-responsive chronic polyneuropathy, spektrum
presentasi klinik dan penyokong diagnostik terus berkembang, termasuk pilihan terapi. Penting
membedakan gangguan ini dari chronic sensorimotor polyneuropathies yang timbul bersamaan
dengan diabetes, alkoholisme, atau malnutrisi.3,5
EtiologiCIDP adalah suatu gangguan sistem imun. Khususnya, sistem imun tidak dapat mengenal
sel-sel myelin nervus perifer dan menganggapnya sebagai agent asing. Kerusakan selubung
terjadi saat sistem imun mencoba untuk membersihkan tubuh dari agent asing. Tidak ada fakta
penelitian genetik yang menyokong terjadinya penyakit ini, ataupun riwayat keluarga. Beberapa
kesimpulan menunjukkan bahwa CIDP merupakan penyakit yang tidak diturunkan.3
Seperti Guillain-Barré syndrome, sangat kuat dugaan bahwa CIDP dipicu oleh infeksi
virus. Sebagai contoh, sel-sel imun dapat rusak oleh infeksi virus, seperti yang terjadi pada
acquired-immunodeficiency-syndrome (AIDS) sehingga menyebabkan malfungsi sistem imun.
Apakah infeksi virus atau mikroba yang secara langsung menyebabkan CIDP masih belum
jelas.4,6
CIDP berbeda dari Guillain-Barré syndrome pada infeksi virus, dimana tidak terjadi
antara beberapa bulan saat gejala pertama terlihat. Pada Guillain-Barré syndrome, infeksi virus
atau bakteri, khas mendahului timbulnya gejala-gejala.6
PatogenesisProteksi melawan respon-respon imun terhadap autoantigen adalah kunci untuk
pemeliharaan self-tolerance. Pada chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, self-
tolerance mengalami kerusakan. Autoreactive T cells dan B cells, yang menjadi bagian normal
imunitas, teraktivasi menyebabkan kerusakan organ spesifik.3,6
Prinsip dasar respon imun seluler dan humoral yang memperlihatkan bahwa autoreactive
T cells mengenal suatu autoantigen spesifik dalam konteks kompleks immunokompatibilitas klas
II pada permukaan antigen-presenting cells (makrofag) pada kompartemen imun sistemik.
Infeksi dapat memicu kejadian ini melalui peniru molekuler, potongan melintang pada epitop
terbagi antara agent mikrobial dan antigen nervus. Limfosit T yang teraktivasi ini dapat melewati
barier pembuluh darah nervus dalam proses yang melibatkan molekul-molekul adhesi seluler,
matriks metaloproteinase dan kemokin. Diantara sistem saraf perifer, sel-sel T mengaktivasi
makrofag yang meningkatkan aktifitas fagositik, produksi sitokin dan pelepasan mediator toksik,
termasuk nitric oxida, reactive oxygen intermediates, matrix metalloproteinase, dan sitokin
proinflamasi, termasuk tumor necrosis factor- dan interferon . Autoantibodi melewati barier
pembuluh darah saraf atau secara lokal dihasilkan dari keterlibatan sel-sel plasma menyebabkan
kerusakan demielinasi dan aksonal. Autoantibodi dapat menyebabkan demyelinisasi melalui
sitotoksisitas seluler dependent-antibody, secara potensial memblokade epitop yang secara
fungsional sesuai dengan hantaran saraf, dan mengaktivasi sistem komplemen melalui pathway
klasik, menghasilkan mediator-mediator proinflamasi dan membran lisis- menyerang kompleks
C5b-9. Terminasi respon inflamasi terjadi melalui induksi apoptosis sel T dan pelepasan sitokin
antiinflamasi, termasuk interleukin -10 dan mentransformasi faktor pertumbuhan-. Selubung
mielin (sisipan) tersusun dari berbagai protein, seperti myelin protein zero, yang tersusun lebih
dari 50 % dari total protein membran pada mielin sistem saraf perifer manusia; myelin protein 2;
myelin basic protein; myelin-associated glycoprotein; connexin 32; dan gangliosida dan
dihubungkan dengan glikolipid. Molekul-molekul ini telah teridentifikasi sebagai antigen target
untuk respon-respon antibodi dengan berbagai frekuensi pada pasien dengan penyakit CIDP.3
Gambar. Immunopathogenesis dari Chronic Inflammatory Demyelinating Neuropathy
Klasifikasi
a. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy Klasik Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik, dikarakteristik oleh
kelemahan simetris pada otot-otot proksimal dan distal yang mengalami peningkatan
progresifitas lebih dari dua bulan (keadaan kondisi ini terpisah dari Guillain–Barré syndrome,
penyakit ini self-limited). Kondisi-kondisi yang ada berhubungan dengan gangguan sensasi, tidak
adanya atau berkurangnya refleks-refleks tendon, dan elevasi kadar protein cairan serebrospinal,
pada hantaran-saraf terdapat demielinasi, dan tanda-tanda demielinasi pada spesimen biopsi.
Dalam perjalanan penyakit, dapat terjadi relaps atau kronik dan progresif. Paling sering pada
dewasa muda.5
b. Neuropathy Demielinasi
Analisis klinik yang sangat teliti mendefinisikan bentuk lain dari acquired demyelinating
polyneuropathy. Penyebab diduga autoimun atau dysimmune yang berbeda dari chronic
inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik, baik dalam presentasi klinik maupun respon
terhadap penanganan. Namun tidak jelas apakah kondisi ini adalah varian chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy atau penyakit yang berbeda. Penyakit-penyakit tersebut antara
lain:3,5
Distal Acquired Demyelinating Symmetric Neuropathy. Diduga bahwa distal acquired
demyelinating symmetric neuropathy berbeda dengan acquired demyelinating polyneuropathy.
Prevalensi meningkat pada pria dan mereka yang berumur lebih dari 50 tahun. Gejala yang
menonjol berupa sensory loss distal, kelemahan distal ringan (berbeda dengan defisit motor
yang lebih general pada chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik), dan
kehilangan keseimbangan. IgM paraproteinemia ditemukan pada hampir 23 pasien dengan
kondisi ini. IgM-associated distal demyelinating symmetric neuropathy berespon kurang baik
terhadap terapi immunosuppressive.3,5,7
Multifocal Motor Neuropathy. Penting untuk membedakan multifocal motor neuropathy dari
penyakit motor neuron. Multifocal motor neuropathy dikarakteristik oleh kelemahan asimetrik
tanpa sensory loss, seringkali dimulai pada otot lengan distal. Blokade hantaran motorik partial
pada kedua sisi adalah ciri khas gambaran elektrofisiologik, walaupun tidak semua pasien
mengalaminya. Sampai saat ini dilakukan deteksi antiganglioside antibody sirkulasi. Kadar
protein cairan cerebrospinal dan jumlah sel biasanya normal. Meskipun penanganan
kortikosteroid dan plasmapheresis tidak efektif, multifocal motor neuropathy dapat diperbaiki
dengan immune globulin atau terapi cyclophosphamide. 3,5
Multifocal Acquired Demyelinating Sensory dan Motor Neuropathy (Lewis–Sumner
Syndrome). Multifocal acquired demyelinating sensory and motor neuropathy (the Lewis–
Sumner syndrome) memiliki kemiripan dengan chronic inflammatory demyelinating
polyneuropathy (misalnya, defisit motorik dan sensorik, peningkatan kadar protein, dan pada
studi hantaran nervus motorik dan sensorik memberikan hasil abnormal) dan multifocal motor
neuropathy (misalnya, gejala-gejala yang asimetrik, sering dimulai dari lengan dan tangan, dan
blokade hantaran). Beberapa psaien dengan kondisi ini memiliki antibodi terhadap gangliosida,
dan pasien-pasien ini berespon baik terhadap penanganan intravenous immune globulin atau
cyclophosphamide.3,7
c. Neuropathy-neuropathy lain yang mirip dengan Chronic Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy.
Beberapa bentuk lain dari acquired dan chronic polyneuropathy memiliki gambaran yang
sama dengan chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy dan telah diklasifikasikan
menjadi sub kelompok. Bentuk-bentuk ini termasuk axonal chronic inflammatory demyelinating
polyneuropathy, pure sensory chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, dan pure
motor dan axonal chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (yang juga disebut
multifocal acquired motor axonopathy). Pasien-pasien dengan peripheral-nerve demyelination
dan respon complete atau partial terhadap immunoterapi, diduga sebagai bagian dari family
chronic acquired demyelinating polyneuropathies yang besar. Chronic idiopathic axonal
polyneuropathy adalah suatu kelompok gangguan heterogeneous akibat progresifitas neuropathy
sensorimotor lambat tanpa nyeri, dapat menyebabkan kecacatan ringan sampai sedang.8,9
Kriteria klinik
a. Kriteria klinik menurut American Academy of Neurology (AAN )3
- Klinik : disfungsi motorik, dan disfungsi sensorik, yang melibatkan > dari 1 tungkai,
atau keduanya.\
- Waktu berlangsungnya; dari 2 bulan
- Refleks: berkurang atau tidak ada
- Tes elektrodiagnostik: 3 dari 4 kriteria berikut: blokade kecepatan hantaran parsial 2
nervus motorik, pemanjangan latensi distal 2 nervus motorik atau tidak adanya
gelombang F.
- Cairan cerebrospinal: hitung leukosit < 10/mm3, peningkatan kadar protein (pendukung)
- Temuan biopsi: adanya demyelinisasi dan remyelinisasi
b. Kriteria Klinik Saperstein dkk.3
- Klinik ; Mayor: kelemahan proksimal dan distal simetrik; Minor: khusus kelemahan
distal atau sensory loss.
- Waktu berlangsungnya; dari 2 bulan
- Refleks: berkurang atau tidak ada
- Tes elektrodiagnostik: 2 dari 4 kriteria elektrodiagnostik AAN.
- Cairan cerebrospinal: Protein > 45 mg/dl; hitung leukosit < 10/mm3 (pendukung)
- Temuan biopsi: gambaran menonjol demyelinisasi
c. Kriteria Inflammatory Neuropathy Cause and Treatment (INCAT)3
- Klinik : progresif atau relapsing motorik dan disfungsi sensorik lebih dari 1 tungkai
- Waktu berlangsungnya; > dari 2 bulan
- Refleks: berkurang atau tidak ada
- Tes elektrodiagnostik: blokade hantaran parsial ≥2 nervus motorik dan kecepatan
hantaran abnormal atau latensi distal atau latensi gelombang F pada 1 nervus lain; atau
tidak adanya blokade hantaran parsial, abnormalitas kecepatan hantaran, latensi distal,
atau latensi gelombang F pada 3 nervus motorik; atau abormalitas elektrodiagnostik
menunjukkan demyelinisasi 2 nervus dan pemeriksaan histologi menunjukkan adanya
demyelinisasi.
- Cairan cerebrospinal: analisis cairan cerebrospinal direkomendasikan tapi tidak
diharuskan.
- Temuan biopsi: tidak diharuskan (kecuali pada kasus-kasus dengan abnormalitas
elektrodiagnostik hanya pada 2 nervus motorik).3
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis terhadap gejala-gejala yang timbul serta
pemeriksaan klinis. CIDP biasanya mengalami kelemahan dan gangguan sensorik. Kadang-
kadang hanya terjadi gejala kelemahan tanpa gangguan sensorik, namun jarang terjadi hanya
gangguan sesorik sendiri.9
Gejala-gejala CIDP sering diawali dengan gejala-gejala seperti rasa geli atau mati rasa
yang dimulai dari jari-jari tangan dan kaki, kelemahan pada tangan dan kaki atau kaki terasa
berat dan kaku, tangan tidak bisa menggenggam, hilangnya refleks tendon dalam (arefleksia),
kelelahan dan adanya sensasi abnormal. Penyakit ini bisa menjadi progresif dan memburuk
dalam beberapa minggu, bulan atau kadang-kadang tahun. Bila semakin berat bisa terjadi tremor
terutama pada tungkai dan lengan bagian atas. Sangat jarang terjadi kelumpuhan pada daerah
wajah.3
Diagnosis CIDP dapat ditelusuri dengan tes darah, lumbal punksi dan uji hantaran saraf
menggunakan elektromiogram (EMG), EKG atau dengan MRI.
1. Lumbal punksi
Lumbal pungsi dilakukan untuk penilaian cairan cerebrospinal. Jumlah protein cairan
cerebrospinal pada CIDP, lebih banyak dibandingkan pada keadaan normal. Kadang-kadang
terdapat papil edema dan sindroma pseudotumor yang berhubungan dengan tingginya protein
cairan cerebrospinal. Analisis cairan cerebrospinal pada pasien CIDP menunjukkan adanya
disosiasi albuminositologik.6
2. EMG
Electromyography (EMG) digunakan untuk mengukur respon otot terhadap stimulasi
elektrik. Pada EMG, suatu elektroda diantara suatu jarum didorong melalui kulit kedalam otot;
beberapa elektroda dibutuhkan untuk dimasukkan melalui otot untuk akurasi pengukuran
perilaku otot. Stimulasi otot menyebabkan pola visual atau audio. Pola panjang gelombang
membawa informasi mengenai respon otot. Pola khas panjang gelombang dihasilkan oleh otot
yang sehat, yang disebut aksi potensial, yang dapat dibandingkan dengan otot dari seseorang
yang diduga mengalami CIDP. Untuk otot yang mengalami kerusakan nervus, aksi potensial
panjang gelombang lebih kecil dibandingkan dengan otot normal.4,6,9
3. EKG
Elektrokardiogram dapat digunakan untuk mencatat aktifitas elektrik pada jantung saat
diduga terjadi paralisis otot jantung. Kerusakan nervus akan merubah pola normal detak jantung.9
4. MRI
MRI digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan adanya kerusakan yang terjadi pada
sistem saraf perifer.
Differensial diagnosis
Perlu dilakukan berbagai tes laboratorium yang lebih luas diperlukan pada beberapa
pasien untuk meneliti berbagai penyebab lain dari demyelinisasi polineuropathy, demikian juga
penyakit yang bersamaan dengan penyakit ini. Beberapa differensial diagnosa:
- Guillan-barre syndrome, yang ditandai dengan kelemahan muskular progresif dalam periode
1 bulan
- Neuropathy yang diturunkan, misalnya neuropathy motor dan sensorik yang diturunkan.
Diperlukan anamnesis riwayat keluarga dan analisis DNA untuk membuktikannya.
- Neuropathy metabolik: misalnya neuropathy diabetik dan neuropathy yang berhubungan
dengan gangguan toleransi glukosa: uremik, hepatik dan neuropathy acromegalic;
neuropathy yang berhubungan dengan hypotiroidisme. Diperlukan tes laboratorium yang
tepat untuk membuktikan kelainan-kelaian ini.
- Neuropathy paraneoplastik: neuropathy yang berhubungan dengan limphoma atau
karsinoma.
- Neuropathy yang berhubungan dengan monoklonal gammopathy: neuropathy yang
berhubungan dengan mieloma osteosclerosis, dengan monoklonal gammopathy yang tidak
dapat ditentukan, dan dengan Waldenstrom’s macroglobulinemia.
- Neuropathy yang berhubungan dengan penyakit infeksi: infeksi dengan immunodeficiensy
virus, Leprosy, Borreliosis (termasuk lyme disease), diptheria.
- Neuropathy toksik: alkohol, agent-agent industri (misalnya acrylamide), logam (misalnya
timah), obat-obatan (platinum-based agent, amiodarone, perhexiline, tacrolimus, chloroquin,
dan suramin).
- Neuropathy akibat defisiensi nutrisi: defisiensi vitamin B1, B6, B12, atau E
- Neuropathy yang berhubungan dengan porphyria
- Neuropathy yang berhubungan dengan penyakit-penyakit berat: polyneuropathy yang
berhubungan dengan sepsis, multiple organ failure, atau ventilasi jangka panjang.3
Penanganan
Dalam penanganan harus melibatkan ahli neurologi, ahli immunologi dan ahli terapi
fisik. Kelompok pendukung berguna dalam membantu penanganan.
Penanganan CIDP dan Guillain-Barré syndrome sama. Penggunaan kortikosteroid seperti
prednisone, yang akan mengurangi respon sistem imun, dapat mengurangi jumlah demielinasi
yang terjadi.3,8
Medikamentosa
Steroid
First line penanganan untuk CIDP termasuk kortikosteroid (mis. Prednisone),
Dengan dosis awal 100 mg/hari dan biasanya dinaikkan dalam 1-4 minggu kemudian dapat
diganti dengan terapi lain secara selang-seling. Apabila kekuatan otot menjadi normal kembali
dan mencapai keadaan plateu maka dosis prednison dapat diturunkan secara perlahan-lahan 5 mg
setiap 2-3 minggu.5,7
Obat-obat imunosuppresif
Obat-obat Immunosuppressive seringkali digunakan adalah klas Cytotoxic (kemoterapi),
termasuk Rituximab (Rituxan) dengan target sel-B, serta Cyclophosphamide, obat yang
mengurangi fungsi sistem imun. Ciclosporin juga telah digunakan pada CIDP tapi dengan
frekuensi yang kurang karena merupakan pendekatan yang baru. Ciclosporin diperkirakan terikat
pada immunocompetent Lymphocytes, khususnya limfosit-T.5,7,9
Penanganan immunosuppresif non-cytotoxic yang biasa digunakan termasuk
Azathioprine (Imuran) dan Mycophenolate mofetil (Cellcept). Anti-thymocyte globulin (ATG),
suatu agent immunosuppresif yang secara selektif menghancurkan limfosit T, telah dipelajari
untuk digunakan untuk CIDP. Anti-thymocyte globulin adalah fraksi gamma globulin antiserum
dari hewan yang telah diimunisasi melawan human thymocytes. Ini merupakan suatu polyclonal
antibody.4
Plasmapheresis (plasma exchange) dan immunoglobulin (IVIg)
Plasmapheresis (plasma exchange) dan intravenous Immunoglobulin (IVIg) yang dapat
diberikan tunggal atau kombinasi dengan obat immunosuppresif lain.5,7,8
Prosedur medis yang dikenal sebagai plasmapheresis, atau plasma exchange, dapat menjadi
pilihan penanganan yang lain. Pada plasmapheresis, plasma darah dikeluarkan dari tubuh,
Eritrosit diambil dari plasma dan dikembalikan kedalam tubuh dengan plasma yang bebas
antibodi atau dengan cairan intravena. Oleh karena plasma darah dikeluarkan dari tubuh pasien
CIDP dapat mengandung antibodi terhadap selubung myelin, mengeluarkan antibodi-antibodi ini
dapat mengurangi efek dari sistem imun tubuh menyerang sel-sel nervus.7,9
Prosedur lain yang menghasilkan hasil yang sama yaitu pemberian intravenous
immunoglobulin (IVIg). IVIg secara umum ditujukan untuk penanganan sistem imun yang
berhubungan dengan neuropathy. Seperti plasmapheresis, immunoglobulin dapat membantu
mengurangi jumlah anti-myelin antibody, dan untuk menekan respon imun.9
Fisioterapi
Fisioterapi memegang peranan penting dalam penanganan CIDP. Fisioterapi dapat
memperbaiki kekuatan, fungsi dan mobilitas otot dan meminimalisasikan penyusutan otot dan
tendon serta distorsi sendi-sendi.4
Pemulihan dan Rehabilitasi
Pemulihan dari CIDP bervariasi dari satu orang ke orang lain. Beberapa orang pulih
sempurna tanpa intervensi pengobatan, sedangkan yang lain dapat relaps lagi dan lagi. Oleh
karena beberapa orang dapat mengalami kelemahan atau numbness yang permanen, terapi fisik
dapat digunakan sebagai bagian dari regimen rehabilitasi.7
Prognosis
Prognosis seorang pasien berkisar antara pemulihan sempurna sampai pola ulangan
periodik gejala-gejala dan residual kelemahan atau numbness otot. Seperti pada Multiple
Sclerosis, suatu kondisi yang mirip demyelinasi, tidak mungkin diprediksi dengan pasti
bagaimana CIDP mempengaruhi seseorang nantinya. Pola relaps dan remisi sangat bervariasi
pada tiap-tiap pasien. Periode relaps bisa sangat mengganggu, tapi beberapa pasien dapat
mengalami pemulihan signifikan.
Jika terdiagnosa secara dini, inisiasi penanganan dini untuk mencegah nerve-loss
direkomendasikan. Akan tetapi, beberapa orang masih menyisakan gejala-gejala sisa seperti; rasa
tumpul, kelemahan, tremor, fatigue dan gejala-gejala lain yang dapat memicu morbiditas jangka
panjang dan membatasi kualitas hidup.1
Penting untuk membangun hubungan yang baik dengan dokter, penyedia layanan primer
dan spesialis. Oleh karena penyakit yang jarang, beberapa dokter tidak memiliki kesiapan untuk
menanganinya. Tiap-tiap kasus CIDP berbeda, dan relaps jika terjadi dapat membawa gejala-
gejala dan masalah baru. Oleh karena variabilitas dalam berat dan progresifitas penyakit, dokter-
dokter tidak mampu menentukan prognosis pasti. Periode eksperimentasi dengan regimen
penanganan berbeda penting untuk menemukan regimen penanganan yang tepat untuk diberikan
pada pasien. 1,3
Perhatian Khusus
Masalah penting, penggunaan IVIg akan meningkatkan resiko kerusakan ginjal pada
penderita usia tua atau diabetes. Perlu diberikan Lovenox (Enoxaparin) yang dapat menurunkan
resiko pembekuan darah pada pasien hipertensi. Resiko meningkat bila Lovenox diberikan
bersama dengan aspirin atau obat antiinflamasi. Penggunaan kortikosteroid dapat menekan
efisiensi sistem imun, sehingga meningkatkan resiko infeksi sekunder atau oportunistik. Staf
medis perlu memonitor pasien yang menerima penanganan ini untuk timbulnya tanda-tanda
komplikasi.1,3