Download - Case Tetanus - Fix
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan hormat,
Presentasi kasus pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode 2
Juni 2014 – 9 Agustus 2014 dengan judul “Tetanus” yang disusun oleh :
Nama : Andreas Surya
NIM : 030.09.017
Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :
Pembimbing : dr. Rivai Usman, Sp.A
Menyetujui,
(dr. Rivai Usman, Sp.A)
1
BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. M. I Tn. T Ny. R
Umur 8 hari 32 tahun 30 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan
Alamat KP CISALAK RT 03/05 SUMUR BATU KOTA BEKASI
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMA SMA
Pekerjaan - Buruh Harian Lepas Ibu Rumah Tangga
Penghasilan - - -
Keterangan Hubungan dengan
orang tua : Anak
kandung
ANAMNESIS
Dilakukan secara Alloanamnesis pada hari Selasa, tanggal 1 Juli 2014
Keluhan Utama :
Kaku badan
Keluhan Tambahan :
Demam dan lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien diantar oleh orang tuanya dengan keluhan badan kaku sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien saat itu dalam keadaan sadar, lalu badan pasien
tampak seperti kejang, pasien kaku dan mata tertutup selama kurang lebih 5 menit
kemudian pasien tertidur. Jumlah kejang pasien tidak terhitung oleh orang tuanya. Pasien
juga mengalami demam sejak 2 hari SMRS, mendadak, naik turun, panas tidak diukur,
2
turun jika diberi obat. Ibu pasien merasa anaknya malas minum ASI sejak 1 hari SMRS.
Tidak ada mual muntah. BAB dan BAK pasien baik.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung -
Cacingan - Diare - Ginjal -
DBD - Kejang - Darah -
Thypoid - Maag - Radang paru -
Otitis - Varicela - Tuberkulosis -
Parotis - Operasi - Morbili -
.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang serupa.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :
KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan
Perawatan antenatal Setiap bulan periksa ke
bidan (tetapi ibu pasien
tidak disuntik TT)
KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah Pasien
Penolong persalinan Dukun didampingi Bidan
Cara persalinan Spontan
Masa gestasi 39 Minggu
Keadaan bayi
Berat lahir 3300 gr
Panjang badan tidak diukur
Lingkar kepala tidak diukur
Langsung menangis
Nilai apgar tidak tahu
Tidak ada kelainan bawaan
Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan pasien tidak baik.
Riwayat Imunisasi :
3
vaksin Dasar (umur)
BCG -
DPT
POLIO -
CAMPAK
HEPATITIS B -
Kesan : Imunisasi dasar tidak dilakukan
Riwayat Keluarga :
Ayah Ibu Anak pertama
Nama Tn. T Ny. R An. I. M
Perkawinan ke Pertama Pertama -
Umur 32 tahun 30 tahun 8 hari
Keadaan kesehatan Baik Baik
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik.
Riwayat Sosial Ekonomi:
Pasien adalah anak pertama dari Tn.M yang bekerja sebagai Buruh harian lepas, dan
Ny.I yang bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Kesan : Keadaan ekonomi keluarga Os tergolong menengah kebawah.
Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Tinggal dirumah kontrakan. Terdapat 1 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Ventilasi kurang
baik, tidak memiliki jendela, cahaya matahari tidak masuk rumah, air minum dan air
mandi berasal dari air tanah yang ditampung menggunakan ember. Rumah pasien
terletak di rumah padat penduduk. Di sekitar perumahan sanitasi kurang baik terdapat
selokan yang jarang dibersihkan. Di rumah pasien tidak terdapat hewan peliharaan.
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien kurang baik.
PEMERIKSAAN FISIK
4
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
PAT:
A: Tone : tidak valid dinilai; Interactiveness: tertidur; Consolability: tenang;
Look (-) Speech (-)
B: NCH (-) Retraksi (-) Nasal kanul O2
C: Sianosis (-) CRT <2”
Anemis (-), ikterik (-), dypneu (-)
Heart Rate : 160 x/menit
Pernapasan : 44 x/menits
Suhu badan : 39,30C
Berat badan : 3600 gram
Panjang badan : 54 cm
Lingkar kepala : 36 cm
Lingkar dada : 30 cm
Pemeriksaan Khusus
Kepala
- Bentuk : Normocephali
- Rambut : Rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata
- Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil
isokor, RCL +/+, RCTL +/+
- Telinga : Normotia, membran timpani intak, serumen -/-
- Hidung : Bentuk normal, sekret -, nafas cuping hidung -/-
- Mulut : Faring hiperemis -, T1-T1, Trismus (+) ringan risus
sardonisus (-)
Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak
membesar
Thorax
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
- Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris
5
- Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Pulmo SN vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Cor BJ I & II normal, murmur -, gallop -
Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, distensi (+), Organomegali (-)
- Auskultasi : Bising usus 3x/menit
- Palpasi : Keras, nyeri tekan -, hepar dan lien tidak teraba
membesar, turgor kulit normal
- Perkusi : Shifting dullness -, nyeri ketok -
Kulit : Ikterik -, petechie -, mottled -
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis -, edema –, kaku +
Ballard Score & Physical Maturity
Ballard Score : 18
6
Jumlah score: 35 -> 38-39 minggu
Physical Maturity : 17
Kurva Lubchenco :
Berat badan : 3300 gr
Jumlah minggu : 39 minggu
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Darah rutin
LED 55 Mm 0-10
Leukosit 10.1 ribu/uL 5-10
Hemoglobin 15 g/dL 11-14,5
Hematokrit 41.5 % 37-47
7
SMK (Sesuai Untuk Masa Kehamilan)
Trombosit 313 ribu/uL 150-400
KIMIA KLINIK
GDS 63 mg/dL 60-110
Natrium 144 mmol/L 135-145
Kalium 5,0 mmol/L 3,5-5,0
Clorida 110 mmol/L 94-111
RESUME
Anamnesis
Pasien diantar oleh orang tuanya dengan keluhan badan kaku sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien saat itu dalam keadaan sadar, lalu badan pasien
tampak seperti kejang, pasien kaku dan mata tertutup selama kurang lebih 5 menit
kemudian pasien tertidur. Jumlah kejang pasien tidak terhitung oleh orang tuanya. Pasien
juga mengalami demam sejak 2 hari SMRS, naik turun, panas tidak diukur. Nafsu pasien
berkurang dinilai dari kekuatan meminum ASI. Tidak ada mual muntah. BAB dan BAK
pasien baik.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Abdomen : Palpasi teraba keras.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium darah
LED 55 Mm 0-10
Leukosit 10.1 ribu/uL 5-10
Hemoglobin 15 g/dL 11-14,5
Hematokrit 41.5 % 37-47
DIAGNOSIS KERJA
8
Tetanus
DIAGNOSIS BANDING
Kejang Demam
Status Epileptikus
PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
1. Tirah baring
2. Edukasi kepada orangtua tentang penyakit yang diderita
3. Rawat NICU
Medikamentosa
IVFD NS
Cinam 3x250mg
Amikacin 2x25mg
Anti Tetanus Serum 10.000 ui
Diazepam 75mg/24 jam
Paracetamol 3x40mg
Terapi suportif
· Bebaskan jalan nafas
· Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan
posisi pasien)
· Pemberian oksigen
· Perawatan dengan stimulasi minimal
· Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik,
asal tidak memperkuat kejang
· Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit
PROGNOSIS
9
Ad vitam : Dubia ad bonam
As fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
FOLLOW UP
TANGGAL 02/07/2014
S : GDS :80mg/dL
T : 37.50C
A : Nasal kanul, retraksi (-), Saturasi O2 98%
B : HR : 148x/menit, mottled - , cyanosis -
L : -
E : -
P : IVFD NS
Cinam 3x250mg
Amikacin 2x25mg
Anti Tetanus Serum 10.000 ui
Diazepam 75mg/24 jam
Paracetamol 3x40mg
TANGGAL 03/07/2014
S : GDS :76mg/dL
T : 36.80C
A : Nasal kanul, retraksi (-), Saturasi O2 100%
B : HR : 146x/menit, mottled - , cyanosis -
L : -
E : -
P : IVFD NS
Cinam 3x250mg
Amikacin 2x25mg
Anti Tetanus Serum 10.000 ui
Diazepam 75mg/24 jam
10
Paracetamol 3x40mg
TANGGAL 04/07/2014
S : GDS :86mg/dL
T : 36.50C
A : Nasal kanul, retraksi (-), Saturasi O2 99%
B : HR : 140x/menit, mottled - , cyanosis -
L : -
E : -
P : IVFD NS
Cinam 3x250mg
Amikacin 2x25mg
Anti Tetanus Serum 10.000 ui
Diazepam 75mg/24 jam
Paracetamol 3x40mg
TANGGAL 05/07/2014
S : GDS :84mg/dL
T : 36.60C
A : Nasal kanul, retraksi (-), Saturasi O2 100%
B : HR : 140x/menit, mottled - , cyanosis -
L : -
E : -
P : IVFD NS
Cinam 3x250mg
Amikacin 2x25mg
Anti Tetanus Serum 10.000 ui
Diazepam 75mg/24 jam
Paracetamol 3x40mg
BAB I
11
PENDAHULUAN
Tetanus neonatorum merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan terjadinya penyakit tetanus pada neonatus (bayi berusia 3-28 hari).1,2
Tetanus neonatorum merupakan suatu penyakit yang berbahaya dan memilki tingkat
morbiditas yang tinggi. Data WHO tahun 2005 menunjukan Tetanus neonatorum
merupakan penyebab dari 14 % kematian neonatus di dunia.3
Clostridium tetani merupakan bakteri yang menyebabkan terjadinya penyakit
tetanus, di mana pada bayi baru lahir infeksi terutama terjadi melalui luka saat
pemotongan tali pusat atau akibat proses partus yang kurang steril. Proses partus dan
penanganan tali pusat yang kurang steril memungkinkan adanya infeksi bakteri sehingga
membahayakan baik bagi si bayi maupun ibu melahirkan.1,3,4 Hal inilah yang
menyebabkan 90% kasus tetanus neonatorum terjadi di negara negara yang kurang dan
masih berkembang, di mana standar kesehatan masih sangat rendah dan fasilitas
kesehatan yang layak tidak tersedia atau terbatas.1,3,4
Terapi pada tetanus neonatorum meliputi pemberian antitoksin tetanus, pelemas
otot dan pemberian makanan intravena.4 Selain itu juga dapat diberikan anti microbial,
debridement luka dan penanganan jalan napas pasien.4
Pencegahan penyakit ini sebenarnya sangat mudah dan menjadi fokus utama
WHO, yaitu dengan pemberian vaksin pada ibu sebelum atau selama masa kehamilan;
proses partus serta penanganan paska melahirkan yang steril. WHO telah mencanangkan
program eliminasi tetanus maternal dan tetanus neonatorum sejak tahun 1989. Program
ini telah berhasil dilaksanakan oleh negara-negara maju dan sebagian negara berkembang
sehingga tetanus neonatorum sangat jarang ditemukan di negara-negara tersebut.4
Keterbatasan ekonomi di negara-negara kurang berkembang menyebabkan
tingginya jumlah kasus tetanus neonatorum. Fasilitas kesehatan yang terbatas dan
rendahnya pengetahuan masyarakat akan masalah ini tetap menjadikan tetanus
neonatrum sebuah problematika kesehatan pada neonatal.1,4
12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanos yang berarti kencang atau
tegang.1 Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik paralisis
yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus
berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tetanus generalisasi
(umum), tetanus local dan tetanus sefalik. Bentuk tetanus yang paling sering terjadi
adalah tetanus generalisasi dan juga merupakan bentuk tetanus yang paling berbahaya.1,3,4
Neonatal (berasal dari neos yang berarti baru dan natus yang berarti lahir)2
merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan masa sejak
bayi lahir hingga usia 28 hari kehidupan.1,2
Tetanus neonatorum merupakan suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi
pada masa neonatal.3,4
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi neorutoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan
bakteri Clostridium tetani pada masa neonatal. Umumnya infeksi terjadi akibat proses
partus dan penanganan tali pusat yang kurang steril.1,3 Penyakit ini khususnya terjadi
pada bayi dengan ibu yang belum mendapatkan imunisasi tetanus sebelumnya1,3
Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier berhasil mengisolasi bakteri Clostridium
tetani yang hidup bebas dan pada tahun 1889 Kitasato Shibasaburo berhasil mengisolasi
bakteri ini dari manusia. Vaksin tetanus (Tetanus toxoid) pertama kali pada tahun 1924
oleh P Descombey.1
EPIDEMIOLOGI
Tetanus merupakan suatu masalah kesehatan di berbagai belahan dunia dengan
taraf ekonomi rendah. Jumlah kasus tetanus neonatorum dapat dikatakan berbanding
terbalik dengan kondisi sosial ekonomi suatu negara. Semakin baik taraf sosial ekonomi
suatu begara semakin sedikit pula jumlah kasus tetanus neonatorum di negara tersebut,
demikian juga sebaliknya.
Tetanus neonatorum saat ini merupakan suatu penyakit yang dapat dikatakan
langka di banyak negara maju dan berkembang, di mana proses partus yang steril dan
13
pemberian vaksin tetanus secara umum telah disosialisasikan dan dilaksanakan sebagai
suatu prosedur kesehatan wajib. Amerika Serikat memilki insiden tetanus neonatorum
yang sangat rendah yaitu 0,01/1000 kelahiran sejak tahun 1967.5
Tetanus neonatorum terjadi sama banyaknya baik pada laki-laki maupun wanita
(1:1), usia ibu yang paling sering mengalami tetanus maternal adalah antara usia 20-30
tahun (berbanding lurus dengan usia melahirkan terbanyak). 90 % kasus tetanus
neonatorum dan tetanus maternal terjadi pada partus yang dilakukan di luar fasilitas
kesehatan (di rumah, dukun, dsb).6
Tetanus neonatorum memilki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana > 50%
kasus tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data UNICEF, setiap 9
menit, seorang bayi meninggal akibat penyakit ini.6 WHO menyatakan bahwa tetanus
neonatorum merupakan poenyebab dari 14 % kematian neonatus di seluruh dunia.7
Tetanus neonatorum dan tetanus maternal merupakan suatu kesatuan dan dengan
dieliminasinya tetanus neonatorum, maka tetanus pada ibu melahirkan secara tidak
langsung juga dieliminasi.5,6 Pada tahun 1989, WHO mencanangkan suatu program
dengan target pada tahun 1995, penyakit tetanus pada maternal-neonatus dapat
dieliminasi dan pada tahun 2005 penyakit ini bukan lagi sebuah masalah kesehatan
masyarakat dunia.8 Eliminasi dianggap tercapai jika jumlah kasus tetanus neonatorum <1
kasus / 1000 kelahiran.6,8 Program ini meliputi program vaksin toxoid tetanus dan
penyediaan fasilitas kesehatan yang memenuhi standard dan sosialisasi tentang penyakit
ini di seluruh dunia.6,8
Penurunan drastis kematian neonatus akibat tetanus berhasil dicapai sejak
diberlakukannya program WHO tersebut, di mana pada tahun 1980, menurut data WHO
dilaporkan 800.000 neonatus meninggal akibat tetanus, dan kemudian pada tahun 2002
menurun menjadi 180.000 neonatus yang meninggal akibat penyakit ini.9 Kasus tetanus
neonatorum berkurang drastis setiap tahunnya dan pada tahun 2009, jumlah kematian
neonatus akibat tetanus adalah 61.000.9,10
Hingga saat ini, Maternal-Neonatal Tetanus (MNT) masih belum berhasil
dieliminasi secara menyeluruh, di mana pada tahun 2009, penyakit ini masih merupakan
suatu masalah kesehatan 57 negara di dunia, terutama di Asia dan Afrika, termasuk di
antaranya adalah Indonesia.6,9 Sekitar 1 juta kasus tetanus dilaporkan dari seluruh dunia
14
pada tahun 2010, dan lebih dari 50 % kematian akibat penyakit ini terjadi pada
neonatus.1
Gambar 1. Perkiraan WHO tentang Eliminasi Tetanus Neonatorum Dunia
Indonesia walaupun belum berhasil mengeliminasi tetanus neonatorum ini, juga
telah berhasil menekan secara drastis jumlah kasus penyakit ini. Pada tahun 1980, jumlah
kematian akibat tetanus neonatorum di Indonesia adalah 71.000 (8 % dari total kematian
akibat tetanus neonatorum di seluruh dunia pada saat itu).10 Pada tahun 2010, WHO
menyatakan bahwa daerah Jawa dan Bali (59 % dari populasi Indonesia) telah berhasil
bebas dari tetanus neonatorum.11 Survey pada daerah-daerah lainnya masih dalam proses,
dan diharapkan pada tahun 2015, Indonesia secara keseluruhan sudah bebas dari penyakit
ini.12 Selain itu, menurut survey jumlah daerah yang terlindungi dengan vaksin tetanus
toxoid, Indonesia telah berhasil meningkatkan jumlah perlindungan vaksin dari 79 %
pada tahun 1990 menjadi 89 % pada tahun 2010.10
MIKROBIOLOGI
Clostridium tetani merupakan suatu bakteri bersifat obligat anaerob, gram positif,
yang berasal dari genus Clostridium. Bakteri ini sering ditemukan pada tanah dan
15
sebagai parasit di traktus intestinal mamalia. Bakteri ini memiliki 2 fase hidup, yang
pertama adalah dalam bentuk vegetative dan kemudian memproduksi endospora.11
C. tetani dalam bentuk vegetatif berbentuk batang, rentan terhadap oksigen dan
sangat sensitif terhadap panas.
Gambar 2 Bentuk vegetative C tetani
Bakteri ini kemudian akan menghasilkan endospora yang kemudian memberikan
karakteristik khas dari bakteri ini. Setelah menghasilkan endospora, C. tetani dapat
berbentuk seperti stik drum dan dapat bertahan terhadap panas, bahkan terhadap
antiseptik.11 Clostridium tetani dalam bentuk spora dapat bertahan hingga suhu 121oC
selama 0-15 menit. Spora ini juga dapat bertahan terhadap berbagai antiseptik. (cth:
phenol). Bentuk spora ini lah yang umumnya bersifat infektif. 11,12 Pada pewarnaan gram,
Clostridium tetani memberikan gambaran seperti raket tenis.11
16
Gambar 3. C. tetani pada pewarnaan Gram.
Clostridium tetani menghasilkan 2 jenis eksotoksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin merupakan suatu eksotoksin yang bersifat sitolisin,
sedangkan tetanospasmin merupakan suatu neurotoksin dengan tingkat toksisitas teringgi
ke dua terhadap manusia, dengan batas lethal toksin 2,5 x 10-6 mg/kg berat badan.12
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya tetanus neonatorum berhubungan
dengan rendahnya sterilisasi dan kebersihan dari proses partus, penanganan pasca
persalina yang tidak adekuat dan kurangnya pengetahuan dan sosialisasi vaksin tetanus
toxoid di berbagai negara miskin dan kurang berkembang.13
Faktor-faktor resiko tersebut mencakup faktor medis dan faktor non medis.
Faktor medis meliputi kurangnya standard perawatan prenatal (kurangnya perawatan
antenatal pada ibu hamil, kurangnya edukasi ibu hamil tentang pentingnya vaksinasi
tetanus toxoid), perawatan perinatal (kurang tersedianya fasilitas persalinan dan tenaga
medis sehingga banyak persalina dilakukan di rumah dan penggunaan alat-alat yang
tidak steril, termasuk dalam penanganan tali pusat) dan perawatan neonatal (neonatus
lahir dalam keadaan tidak steril, tingginya prematuritas, dsb).18 Faktor non medis sering
kali berhubungan dengan adat istiadat setempat (contoh: Beberapa suku di Pakistan
sering kali mengoleskan kotoran sapi pada lokasi pemotongan tali pusat).19
PATOFISIOLOGI
17
Dalam kondisi normal, sistem muskuloskeletal akan bereaksi sesuai dengan
sinyal (aktif potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan inhibitorik). Sel-
sel neuron akan bereaksi terhadap suatu sinyal dengan menghasilkan neurotransmitter
dan dikeluarkan menggunakan suatu protein membrane (synaptobrevin) menuju saraf
motorik. Neurotransmiter tersebut kemudian menyampaikan sinyal tersebut dan saraf
motorik akan merangsang serat otot untuk bereaksi.17,20,21
Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan
neurotransmiter (cth: Asetilkolin) untuk menyampaikan sinyal eksitatorik ke motor
neuron yang merangsang otot untuk berkontraksi, sementara itu neuron inhibitorik juga
akan menghasilkan neurotransmitter (cth: GABA) untuk membatasi dan memodulasi
kontraksi yang terjadi, di mana pada saat satu bagian otot berkontraksi, pada saat
bersamaan terdapat otot lain yang relaksasi (antagonis refleks).20 Infeksi Clostridium
tetani menyebabkan neuron inhibitorik gagal mengeluarkan neurotransmitter inhibitori,
sehingga kontraksi yang terjadi tidak diimbangi dengan inhibisi otot yang lain.
Akibatnya baik otot agonis maupun antagonis mengalami kontraksi dan tidak terkontrol
sehingga terjadi spasme otot yang menjadi gambaaran khas pada tetanus.19,20
Clostridium tetani menghasilkan endospora yang membutuhkan kondisi
anaerobik untuk dapat berkembang.18 Jaringan yang nekrosis atau mengalami infeksi
merupakan lokasi yang sangat mendukung bagi tumbuhnya bakteri ini.18 Bakteri ini
biasanya masuk ke situs luka dan setelah melalui proses germinasi (berkisar antara 3-21
hari), bakteri ini akan menghasilkan 2 jenis exotoxin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani bersifat sitolisin, dan
mengawali infeksi bakteri ini dengan merusak jaringan-jaringan yang belum nekrosis dan
mengoptimalkan suasana anaerob yang terbentuk pada situs luka.17 Tetanospasmin
sebagai neurotoksin kemudian menjadi agen penyebab munculnya berbagai gejala klinis
pada tetanus.17
Tetanospasmin merupakan suatu neurotoksin yang berbentuk rantai polipeptida
ganda. Rantai polipeptida ini terdiri atas sebuah rantai polipeptida berat(100000 Da) dan
1 rantai polipeptida ringan(50.000 Da). Ke dua rantai tersebut dihubungkan oleh suatu
jembatan disulfida.3,17 Rantai polipeptida ringan (mengandung zinc metalloprotease) akan
berikatan dengan neuromuscular junction sedangkan rantai polipeptida berat
(mengandung suatu amino terminus yang berfungsi untuk memberi sinyal kepada sel)
18
menyebabkan tetanospasmin dapat masuk ke dalam akson3,18 Tetanospasmin kemudian
masuk ke dalam sel hingga mencapai sistem saraf pusat secara intra-aksonal. Setelah
mencapai daerah intrasel, tetanospasmin dapat berdifusi keluar dari sel dan berikatan
dengan reseptor interneuron inhibitorik (pada medulla spinalis). Tetanospasmin akan
diendositosis ke dalam sel intraneuron inhibitorik ini.18,21
Gambar 4. susunan tetanospasmin
Di dalam sel, ikatan disulfida antara rantai polipeptida ringan dan berat akan
rusak akibat suasana asam, rantai polipeptida ringan kemudian akan masuk ke sitoplasma
sel intraneuron. Kandungan zinc metalloprotease yang terdapat pada rantai ringan ini
kemudian akan merusak synaptobrevin (protein membrane) yang dibutuhkan dalam
proses transportasi neurotransmitter dari sel interneuron menuju saraf motorik. Hal ini
menyebabkan pelepasan neurotransmitter inhibitori (terutama Gamma Amino Butric
Acid/GABA) tidak dapat dilakukan. Dihambatnya transport GABA ini menyebabkan
refleks antagonis otot skeletal menjadi hilang, akibatnya terjadi kontraksi otot tidak
terkontrol dan spasme dari otot-otot skeletal.3,18,20,21 Tetanospasmin selain merusak refleks antagonis pada sistem musculoskeletal, pada tahap lanjut, juga mengganggu refleks antagonis sistem
saraf simpatik, sehingga pada kondisi tersebut, pelepasan katekolamin storm atau disebhiper-adrenergik.14,22
Masa inkubasi pada bayi lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar antara 3-10
hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau awal minggu ke dua
pasca persalinan sehingga sering kali disebut sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of
19
the seventh day). Hal ini membantu membedakan tetanus neonatorum dengan penyakit
lain pada neonatus, di mana pada penyakit lain akan muncul gejala pada 2 hari pertama
kehidupan.1
GEJALA KLINIS
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat ketika
bayi malas minum dan menangis yang terus menerus.7 Bayi kemudian akan kesulitan
hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu. Hal
tersebut menjadi tanda khas onset penyakit ini. Kekakuan rahang (trismus) mulai terjadi,
dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan akhirnya berhenti. Mulai terjadi
kekakuan pada wajah (bibir tertarik kearah lateral, dan alis tertarik ke atas) yang disebut
risus sardonicus. Kaku kuduk, disfagia dan kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul
dalam beberapa jam berikutnya.7,18
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu oleh
rangsangan-rangsangan sensoris (suara atau sentuhan).1,7,18 Kemudian kejang akan
terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus. Spasme dan kejang berulang atau
terus menerus yang terjadi akan mempengaruhi sistem saraf simpatik sehingga terjadi
vasokonstriksi pada saluran napas dan akan terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal
ini merupakan penyebab kematian terbesar pada kasus tetanus neonatorum.7,19,23
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi
pada siku dan tertarik ke arah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan
mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung tertarik
menyerupai busur panah (opisthotonos).24
Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya gejala berikutnya pada
kasus tetanus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan penting
dalam menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode onset ini, semakin
buruk prognosisnya.6 Periode onset pada neonatus lebih pendek dibandingkan dengan
pada anak atau dewasa (lebih ke arah beberapa jam daripada beberapa hari seperti pada
dewasa), hal ini mungkin disebabkan jarak akson yang lebih pendek sehingga infeksi
lebih cepat mencapai CNS.6
20
Gambar 5. Opisthotonos dan Risus Sardonicus
KLASIFIKASI TETANUS
Tetanus berdasarkan tingkat keparahannya diklasifikasikan oleh Ablett menjadi
4 stadium.
Tabel 1. Klasifikasi tetanus oleh Ablett berdasarkan tingkat keparahannya 18
Stadium Gejala Klinis
1. Ringan Trismus ringan, spastic tanpa spasme, tanpa disertai disfagia
2. Sedang Trismus sedang, spasme mulai muncul, disfagia ringan, mulai ada gangguan
respiratori, Jumlah napas > 30 x/menit
3. Berat Trismus berat, spastic dan spasme seluruh tubuh, disfagia berat, jumlah
napas >140x/menit, mulai muncul apneu dan sistem simpatis mulai tergang
ditandai takikardi >120x/menit
4. Sangat berat Stadium 3 ditambah dengan gangguan sistem saraf simpatis berat termasuk
sistem kardiovaskuler
PEMERIKSAAN PENUNJANG
21
Untuk mendiagnosa tetanus neonatorum adalah dengan melihat gambaran dan
gejala klinis yang ada. Pemeriksaan kultur jarang dilakukan karena ditemukan tidaknya
bakteri Clostridium tetani bukan merupakan suatu tanda karakterisitik pada infeksi
bakteri ini. Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan untuk mendeteksi dini
penyakit ini. Hasil positif ditunjukan ketika spatula disentuhkan ke orofaring lalu terjadi
spasme pada otot maseter dan bayi menggigit spatula lidah.25
KOMPLIKASI
1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan/atau otot pernapasan menyebabkan
gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pada kasus
tetanus neonatorum.
2. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot berlebihan
yang terus menerus. Terutama pada neonatus, di mana pembentukan dan
kepadatan tulang masih belum sempurna
3. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saaraf otonom yang dapat
menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat menyebabkan
henti jantung (cardiac arrest). Merupakan penyebab kematian neonatus yang
sudah distabilkan jalan napasnya.
4. Sepsis akibat infeksi nosokomial (cth: Bronkopneumonia)
5. Pneumonia Aspirasi (sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun
minuman yang diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung)
KOMPLIKASI JANGKA PANJANG
22
Pada sebuah penelitian, ditemukan deficit neurologis pada sebagian penderita
tetanus neonatorum yang selamat. Gejala yang muncul dapat berupa cerebral palsy,
gangguan perkembangan intelektual maupun gangguan perilaku.26 Gejala tersebut
didapatkan pada anak-anak berusia 7-12 tahun. Hal ini diperkirakan terjadi akibat anoxia
yang terjadi semasa kejang yang terjadi. 26 Namun demikian presentasi terjadinya
sequalae pada penyakit ini belum dapat dipastikan.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan tetanus lainnya,
yaitu meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot, dsb) selama tubuh berusaha
metabolisme neurotoxin, mencegah bertambahnya toxin yang mencapai CNS dan
berusaha membunuh kuman yang masih dalam bentuk vegetatif untuk mencegah
produksi tetanospasmin yang berkelanjutan.24 Perawatan di NICU mutlak diperlukan.7
Eliminasi kuman dalam bentuk vegetatif dilakukan dengan membersihkan situs
luka; debridement merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk
membersihkan luka, diharpakan dengan tindakan tersebut, suasana anaerobik yang
dibutuhkan kuman untuk germinasi dapat dihilangkan.18 Pemberian antibiotik diperlukan
untuk membunuh kuman bukan untuk netralisasi toksin. Penicillin G (100.000 U/kg/24
jam IV dibagi menjadi 4-6 kali pemberian selama 10-14 hari) merupakan salah satu
antibiotik pilihan,3 namun studi terbaru menemukan bahwa penicillin merupakan suatu
antagonis GABA sehingga dapat meningkatkan efek dari tetanospasmin, oleh karenanya
saat ini antibiotik pilihan adalah Metronidazole IV (30 mg/kg/hari, dengan dosis
maksimal 4 g/hari selama 10-14 hari).7
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan pemberian Tetanus
Immunoglobulin (TIG) 3000-6000 unit dosis tunggal intramuskular.7 Pada suatu
penelitian ditemukan bahwa dosis sebesar 500 unit memiliki efektifitas yang sama
dengan pemberian dosis yang lebih besar, namun hingga saat ini pemberian dosis TIG
3000-6000 unit (IM) masih menjadi rekomendasi resmi WHO.7,24 Jika sediaan TIG tidak
tersedia, pemberian anti-tetanus serum (ATS) dapat menjadi pilihan alternatif. ATS dapat
diberikan dengan dosis 10.000 unit dan pemberiannya dibagi menjadi 2 dosis ( ½ IM, ½
IV).3,7 Di negara-negara miskin dan berkembang, TIG masih sulit didapatkan karena
harganya yang mahal, sedangkan ATS karena harganya yang lebih murah lebih banyak
23
digunakan. Penggunaan ATS harus didahului dengan uji desensitisasi terhadap antigen
serum yang terkandung di dalamnya karena sering menimbulkan reaksi alergi pada
penderita.7,24 Pemberian TIG ataupun ATS harus dilakukan secepatnya (maksimal 24 jam
setelah didiagnosis), karena toksin tidak dapat lagi dinetralisir oleh TIG atau ATS
apabila sudah mencapai medula spinalis.3,18
Terapi Suportif
Terapi suportif mutlak diperlukan dan memegang peranan penting dalam
menentukan tingkat mortalitas yang terjadi.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah penanganan jalan napas. Penggunaan
ventilator merupakan pilihan utama. Selain itu pemberian muscle-relaxant atau sedative
dengan tujuan mengurangi spasme otot sekaligus melebarkan jalan napas. Obat yang
terbukti cukup efektif adalah benzodiazepine (cth: diazepam, midazolam).7,27 Diazepam
memiliki efek pelemas otot, anti anxietas dan sedasi. Hal itu menyebabkan diazepam
efektif digunakan dalam penanganan tetanus neonatorum.27 Pemberian diazepam
bervariasi untuk tiap individu, 0,1-0,8 mg/kg/hari PO dibagi dalam 3-4 dosis untuk
spasme ringan, dan 0,1-0,3 mg/kg IV dalam 4-8 jam untuk spasme sedang-berat.
Diazepam kemudian dititrasi untuk maintenance dose dengan dosis yang bervariasi dan
belum memiliki suatu standard resmi. Pada suatu laporan kasus, maintenance dose
diberikan 0,08 mg/kg IV setiap 4 jam dan midazolam 0,1 mg/kg/jam.27
Pemberian cairan harus diberikan untuk menggantikan cairan dan elektrolit.
Pemberian makanan secara oral dilarang, karena dapat menyebabkan aspirasi, oleh
karena itu, nutrisi diberikan secara parenteral atau via nasogastric tube (NGT). Pada
kasus neonatus dengan jalan napas yang tidak berhasil distabilkan atau intubasi yang
melebihi 10 hari, trakeostomi dapat dilakukan.25
Pencegahan/Profilaksis
1. Proses persalinan yang steril yang didukung tenaga medis dan peralatan
medis yang mendukung
2. Pendidikan dan pengarahan tentang pentingnya persalinan yang steril dan
sosialisasi vaksinasi tetanus pada ibu hamil khususnya yang belum mendapat
vaksinasi atau dengan riwayat vaksinasi yang belum jelas.
24
3. Imunisasi pada ibu hamil merupakan fokus primer dalam pencegahan tetanus
neonatorum
VAKSINASI TETANUS
Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak
sebagai antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan protein
spesifik. Pemberian vaksin tetanus toksoid dilakukan untuk profilaksis jika riwayat
vaksin tidak diketahui atau kurang dari 3 kali imunisasi TT.1
Imunisasi tetanus pada wanita masa subur (12 atau 15 tahun sampai 45 tahun)
atau sedang mengandung merupakan cara pencegahan tetanus neonatorum yang paling
mudah dan efektif.7 Melalui imunisasi tetanus lengkap, proteksi terhadap infeksi tetanus
mencapai lebih dari 90%.
Wanita tanpa adanya riwayat imunisasi tetanus harus diberikan dua dosis tetanus
toxoid (TT) atau difteri tetanus toxoid (Td) atau DPT (difteri pertusis tetanus) dengan
jarak antar dosis minimal 4 minggu. Dosis ke 3 diberikan 6-12 bulan kemudian, dosis ke
4 satu tahun sesudah pemberian dosis ke 3, dan dosis ke 5, 1 tahun setelah pemberian
dosis ke 4.8
Pada wanita yang sudah pernah diimunisasi 1 kali baik dengan TT, Td, atau DPT,
dapat diberikan booster setiap 10 tahun.8
Pada wanita hamil dengan riwayat imunisasi yang jelas, harus diberikan vaksin
pertama secepatnya dan disusuli oleh dosis ke 2 maksimal 3 minggu sebelum
melahirkan.8
Wanita yang sudah mendapat 2 dosis vaksin pada kehamilan sebelumnya harus
diberikan dosis ke 3 pada kehamilan berikutnya. Dosis ke 3 ini dapat memberikan
perlindungan hingga 5 tahun.8
Tabel 2 Rekomendasi jadwal imunisasi tetanus toxoid (TT) dan tetanus dan difteri toxoid (Td) untuk wanita pada masa subur yang belum divaksinasi
Dosis Jadwal Pemberian
TT1 atau Td1 Pada kontak pertama atau sedini mungkin saat kehamilan
25
TT2 atau Td2 Paling sedikit 4 minggu setelah dosis pertama
TT3 atau Td3 6-12 bulan setelah dosis kedua atau pada kehamilan berikutnya
TT4 atau Td4 1-5 tahun setelah dosis ketiga atau saat kehamilan berikutnya
TT5 atau Td5 1-10 tahun setelah dosis keempat atau saat kehamilan berikutnya
Tabel 3 Efikasi vaksin tetanus toxoid berdasarkan dosis
Dosis Interval minimum antar dosis
Percent protected Durasi proteksi
TT1 - - -
TT2 4 minggu 80% 3 tahun
TT3 6 bulan 95% 5 tahun
TT4 1 tahun 99% 10 tahun
TT5 1 tahun 99% Mungkin seumur hidup
PERAWATAN PERSALINAN DAN PASCA PERSALINAN
Perawatan persalinan dan pasca persalinan yang bersih dan steril secara
signifikan dapat menurunkan jumlah infeksi perinatal, termasuk di dalamnya tetanus
neonatorum. Persalinan yang bersih didefinisikan sebagai suatu persalinan yang dibantu
oleh tenaga medis di dalam suatu institusi medis atau dilakukan di rumah dengan
bantuan bidan dengan prosedur persalinan yang higienis (memastikan kebersihan tangan,
tali pusat, perineum, dan semua substans yang digunakan).7
DIAGNOSIS BANDING
Tetanus neonatorum memilki ciri khas, namun demikian, beberapa kelainan lainnya
dapat menyebabkan kejang pada neonatus dan harus dapat dibedakan dari tetanus
neonatorum.8 Secara umum penyebab kejang pada neonatus dapat dibagi menjadi 3
kategori:
1. Kongenital (anomaly cerebral)
2. Perinatal (komplikasi persalinan, trauma perinatal, anoxia, perdarahan
intracranial)
26
3. Postnatal (infeksi dan gangguan metabolisme)
Kerusakan otak oleh karena gangguan kongenital atau perinatal dapat menyebabkan
spasticity, gerakan tubuh yang jerky, dan kejang. Cerebral contusion, umumnya
berhubungan dengan trauma pada saat persalinan atau kesulitan obstetrik lainnya, dan
terjadi pada bayi cukup bulan. Sindrom kerusakan otak sering menyebabkan laxness of
mouth and tongue; refleks hisap hilang, dan bayi tidak dapat menelan sejak lahir. Tidak
ada kondisi yang menyebabkan trismus seperti tetanus.
Infeksi terpenting saat neonatus adalah meningitis, umumnya berhubungan
dengan septicemia. Meningitis neonatorum dapat disebabkan oleh Streptococcus grup B,
Escherichia coli, Lysteria monocytogenes, atau Klebsiella-Enterobacter-Serratia. Dua
infeksi pertama mencakup 70% penyebab infeksi sistemik oleh bakteri pada neonatus.
Bayi dengan meningitis datang dengan letargi, kejang, episode apneu, sulit minum,
hipotermi atau hipertermi, dan, kadang, respiratory distress pada minggu pertama.
Gejala yang sering ditemukan adalah ubun-ubun besar yang tegang.
Infeksi streptococcus grup B dapat mengenai bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR). Onset gejala dapat awal, dalam 48 jam pertama kehidupan, atau telat,
antara 10 hari sampai 4 bulan. Apneu merupakan gejala pertama yang sering ditemukan
dan pneumonia dengan gagal napas dapat terjadi.
Trismus tidak terdapat pada penyakit-penyakit di atas, dan sifat kejang berbeda
dengan yang disebabkan oleh tetanus. Kejang pada kondisi di atas umumnya terjadi
dengan gerakan yang lebih lambat dalam waktu yang lebih singkat dan umumnya hanya
mengenai satu bagian tubuh. Pada tetanus neonatorum, tidak ditemukan ubun-ubun
tegang.
Gangguan metabolik meliputi hipoglikemi – terutama pada bayi BBLR atau bayi
dari ibu dengan diabetes – dan hipokalsemi. Insidens hipokalsemi pada neonatus tinggi
pada hari pertama, kedua, atau ketiga kehidupan, dan akhir minggu pertama.
Hypocalcemic tetany pada bayi baru lahir dapat menimbulkan kejang dan laringospasme.
Kejang berbeda dengan yang disebabkan oleh tetanus, dan umumnya disertai tremor dan
muscle twitching, sedangkan hipokalsemi tidak menimbulkan trismus atau rigiditas
seluruh tubuh yang dilihat pada tetanus. Bayi dengan hypocalcemic tetany kelihatan
normal di antara episode kejang.
27
PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari inokulasi
spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya gejala hingga
spasme tetanik yang pertama.28 Statistik terbaru menunjukkan tingkat mortalitas pada
tetanus ringan-sedang mencapai 6%. Sedangkan tetanus berat memiliki tingkat mortalitas
60%. 7
Suatu sistem penilaian untuk menilai prognosis dari tetanus dibuat oleh sebuah
tim dari Senegal. Semakin tinggi nilai yang didapat, semakin buruk prognosisnya.28
Tabel 4. Sistem skor untuk menentukan prognosis Tetanus
Nomor Faktor Prognosis 1 point 0 point
1 Masa Inkubasi < 7 hari >7 hari
2 Masa Onset < 2 hari >2hari
3 Situs masuk kuman (port of entry) Umbilikus, uterus,
luka bakar, fraktur
terbuka, injeksi
intramuskular
Situs lain atau tidak
diketahui
4 Spasme yang muncul mendadak,
dan bertambah buruk (paroxysm)
ya Tidak
5 Suhu (diukur melalui rectal) >38,4o C ≤38,4o C
6 Nadi : pada dewasa :
pada neonatus :
> 120x/menit
> 150x/ menit
<120x/menit
<150x/menit
REFERENSI
1. Hinfey BP. eMedicine: Infectious Disease,Tetanus. Last updated January 28,
2011. Diambil dari eMedicine website:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.
2. Mosby's Medical Dictionary, 8th edition. © 2009, Elsevier.
28
3. Arnon Stephen. Tetanus (Clostridium tetani). In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. 17thed. p 951-953. Philadelphia PA:
W.B. Saunders; 2004
4. Neonatal Tetanus Elimination: Field Guide.1st Edition., Washington PAHO.1993
5. Grossman Mosses. Tetanus. In: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD.
Rudolph’s Pediatrics.20th ed. p 612-614. Stamford, Connecticut: Appleton and
Lange; 1996
6. Bardenheier B, Prevots DR, Khetsuriani N, Wharton M. Tetanus surveillance --
United States, 1995-1997. In: CDC surveillance summaries (July). MMWR
1998;47(no. SS-2):1-13.
7. Neonatal Tetanus Elimination: Field Guide.2nd Edition., Washington PAHO.2005
8. Maternal and Neonatal Tetanus. Diambil dari website UNICEF:
http://www.unicefusa.org/work/health/tetanus/
9. Maternal and Neonatal Tetanus Elimination by 2005, WHO/V&B/02.09
10. Tetanus in Immunization surveillance, assessment and monitoring.2010.Diambil
dari website WHO:
http://www.who.int/immunization_monitoring/disease/tetanus/en/index.html
11. Indonesia: WHO and UNICEF estimates of immunization coverage, 1997-2009.
WHO immunization monitoring 2010.
12. Regional Jawa Bali mencapai eliminasi tetanus maternal dan neonatal.2010.
diambil dari: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1281-
regional-jawa-bali-mencapai-eliminasi-tetanus-neonatal-dan-maternal-.html
13. Ryan KJ.Clostridium tetani. In: Sherris Medical Microbiology, 4th ed. Ray CG
(editors).McGraw Hill.2004
14. Tetanus. In Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases (The
Pink Book), 9th ed. p 273-275. Public Health Foundation.2006
15. MH Roper, JH Vandelaar, FL Gasse. Maternal and Neonatal Tetanus. Lancet.
2008 Feb 2;371(9610):385-6.
16. Tetanus in Immunization, vaccines and biologicals.2008.Diambil dari website
WHO: http://www.who.int/immunization/topics/tetanus/en/index.html
29
17. Tetanus in Immunization surveillance, assessment and monitoring.2010.Diambil
dari website WHO:
http://www.who.int/immunization_monitoring/disease/tetanus/en/index.html
18. Handel MJ, Protheroe RT, Cook MT. Tetanus: a review of the literature.2001. Br
J Anaesth ; 87: 477–87
19. Ilic M, et al. Neonatal tetanus: a report of a case.2010. Turk J Pediatr; 52: 404-
408
20. Suleman O. Mortality from tetanus neonatorum in Punjab (Pakistan).1982. Pak
Pediatr J, 6(2-3):15-83
21. Animaton of Tetanospasmin mechanism.W. W. Norton & Company:
Microbiology Animations
22. Todar K. Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. In: Todar’s
online textbook of bacteriology.2011
23. Haddad El Boutros, Hanrahan Jill, Assi Maha. Tetanus: the Forgotten Disease. A
case report.2007. KUMC; p: 9-14.
24. Wassilak SGF, Roper MH, Kretsinger K, Orenstein WA. Tetanus Toxoid. In:
Plotkin S, Orenstein W, Offit P. Vaccines 5th ed. p 806-809. Elsevier
Saunders.2006
25. Eldich RF, et al. Management and treatment of Tetanus.2003. J Long Term Eff
Med; 13(3), 139-154
26. Teknetzi P, Manios S, Katsouyanopoulos V. Neonatal tetanus-long term residual
handicaps.Arch Dis Child 58:68-69, 1983
27. Khoo BH, Less EL, Lam KL. Neonatal tetanus treated with high dose diazepam.
Arch Dis Child 1978;53:737–739.
28. Wassilak SGF, Roper MH, Kretsinger K, Orenstein WA. Tetanus Toxoid. In:
Plotkin S, Orenstein W, Offit P. Vaccines 5th ed. p 820-823. Elsevier
Saunders.2006
30