Download - Case PJR Hadi Dwi Ochi
Laporan Kasus
PENYAKIT JANTUNG REMATIK
Oleh:
Abdurrahman Hadi
Dwi Afriyani
Yossy Nara Intan Sari
Pembimbing:
Dr. Ria Nova, Sp.A(K)
BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Laporan Kasus
PENYAKIT JANTUNG REMATIK
Oleh:
Abdurrahman Hadi
Dwi Afriyani
Yossy Nara Intan Sari
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Palembang Periode 15 Juli 2013–22 September 2013
Palembang, Agustus 2013
Dr. Ria Nova, Sp.A(K)
2
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTIFIKASI
Nama : AD
Umur : 10 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Muara Bungo, Jambi
MRS : 22 Juli 2013
B. ANAMNESA
(Alloanamnesis dengan ibu penderita, 13 Agustus 2013)
Keluhan Utama : nyeri pada sendi
Keluhan Tambahan : batuk pilek
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak ± 2 minggu SMRS penderita demam (+) naik turun. Kemudian,
penderita mengeluh nyeri pada persendiaannya (+) yang berpindah-pindah
yang pertama kali dirasakan pada bahu kanan, lalu tangan kanan, dan
pergelangan kaki kiri. Bercak kemerahan pada kulit (-), riwayat sesak napas
(-), riwayat sakit tenggorokan (+), BAK dan BAB biasa. Penderita berobat ke
rumah sakit setempat dan sempat dirawat selama 2 hari, namun orang tua
penderita memilih untuk langsung membawa penderita berobat ke RSMH
karena penderita juga berencana untuk kontrol rutin post operasi ventricular
septal defect (VSD) ke dokter spesialis anak konsultan jantung.
Saat dilakukan pemeriksaan echocardiography, didapatkan gambaran
kelainan pada katup jantung penderita. Setelah dilakukan pemeriksaan
laboratorium, didapatkan hasil CRP (+), LED: 120 mm/jam, dan ASTO (+).
3
Penderita kemudian didiagnosis mengalami penyakit jantung rematik dan
MRS.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat terdiagnosis VSD pada usia 7 tahun dan operasi VSD pada
usia 8 tahun.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat sakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : cukup bulan
Partus : spontan (G2P1A0)
Ditolong oleh : bidan
Tanggal : 1 Agustus 2003
Berat badan lahir : 2900 gram
Panjang badan lahir : 49 cm
Keadaan saat lahir : Langsung menangis
Riwayat Makan
ASI : lahir – 2 tahun
Bubur susu : 6 bulan – 1 tahun
Nasi biasa : 1 tahun - sekarang
Riwayat Perkembangan
Berbalik : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 7 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 1 tahun
4
Berbicara : 1 tahun (beberapa suku kata)
Kesan : Perkembangan motorik dalam batas normal
Riwayat Imunisasi
BCG : 1 kali, usia 1 bulan (scar positif)
DPT : 3 kali
Polio : 4 kali
Hepatitis B : 4 kali
Campak : 1 kali
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Secara ekonomi,
keluarga penderita tergolong tingkat ekonomi menengah.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 13 Agustus 2013
Keadaan Umum
Kesadaran : E4M6V5 (compos mentis)
Nadi : 102 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 26 kali/menit
Suhu : 36,7 °c
Berat Badan : 23 kg
Tinggi Badan : 135 cm
Anemis : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Dispnea : tidak ada
Edema : tidak ada
Status Gizi: BB/U : 23/33 x 100% = 69,6% (moderate wasting)
5
PB/U : 135/138 x 100% = 97,8% (normal)
BB/PB : 23/30 x 100% = 76,61% (moderate malnutrition)
Kesan : gizi kurang
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : normosefali, simetris
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : cekung (-), pupil bulat isokor ø 2 mm, reflek cahaya +/+
normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra -/-
Hidung : sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
Telinga : sekret (-/-)
Mulut : mulut dan bibir kering (-), sianosis (-)
Tenggorokan : T1-T1 hiperemis (-)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (KGB) (-), peningkatan
jugular venous pressure (-)
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi subcostal (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronki (-/-), wheezing (+/+),
stridor (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat, voussure cardiac tidak terlihat
Palpasi : thrill tidak teraba, iktus teraba
Perkusi : Dalam batas normal
Auskultasi : HR: 102 kali/menit, irama reguler, BJ I-II normal,
murmur (+) sistolik grade III/VI linea parasternalis
sinistra, gallop (-).
6
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Lipat paha dan genitalia: pembesaran KGB (-)
Ekstremitas : Akral dingin (-), sianosis (-), edema pretibial (-), CRT < 2
detik
Status pubertas : M2P2
Pemeriksaan Neurologis
Fungsi motorik
Pemeriksaan Lengan
Kanan
Lengan
Kiri
Tungkai
Kanan
Tungkai
Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflek fisiologis Normal Normal Normal Normal
Reflek patologis - - - -
Fungsi sensorik : dalam batas normal
Fungsi nervi craniales : dalam batas normal
GRM : Kaku kuduk (-) , Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
20 Juli 2013
No Parameter Hasil Rujukan
1 Hb 9,4 g/dl 11,3-14,1 g/dl
2 Ht 28 % 37-41 %
7
3 Leukosit 6.200 / mm3 6.000-17.500 / mm3
4 Eritrosit 3.520.000 / mm3 5.330.000-5.470.000 / mm3
5 Trombosit 560.000 / µL 217.000 – 497.000 / µL
6 LED 120 mm/jam < 15 mm/jam
7 Diff count 0/4/0/54/35/7 0-1/1-6/2-6/50-70/25-40/2-
8 %
8 Natrium (Na) 143 mEq/L 135-155 mEq/L
9 Kalsium (Ca) 9,3 mg/dl 8,4 – 10,4 mg/dl
10 Kalium (K) 5,1 mg/dl 3,6 – 5,5 mg/dl
11 CRP 30 mg/L < 5 mg/L
12 ASTO positif negatif
13 Faktor Rheumatoid negatif negatif
2 Agustus 2013
No Parameter Hasil Rujukan
1 Hb 14,0 g/dl 11,3-14,1 g/dl
2 Ht 41 % 37-41 %
3 Leukosit 20.000 / mm3 6.000-17.500 / mm3
4 Eritrosit 5.200.000 / mm3 5.330.000-5.470.000 / mm3
5 Trombosit 498.000 / µL 217.000 – 497.000 / µL
6 LED 47 mm/jam < 15 mm/jam
7 Diff count 0/0/0/73/19/8 0-1/1-6/2-6/50-70/25-40/2-
8 %
11 Agustus 2013
No Parameter Hasil Rujukan
1 Hb 13,9 g/dl 11,3-14,1 g/dl
2 Ht 41 % 37-41 %
3 Leukosit 27.900 / mm3 6.000-17.500 / mm3
4 Eritrosit 5.150.000 / mm3 5.330.000-5.470.000 / mm3
8
5 Trombosit 290.000 / µL 217.000 – 497.000 / µL
6 LED 35 mm/jam < 15 mm/jam
7 Diff count 0/1/0/84/8/7 0-1/1-6/2-6/50-70/25-40/2-
8 %
b. Echocardiography
19 Juli 2013
AV-VA concordance
Dilatasi LA dan LV
Terdapat MR ringan, AR moderat, dan PR ringan
Tidak ada residual VSD
Fungsi sistolik ventrikel kiri normal
Arcus aorta di kiri normal
Kesimpulan: MR ringan + AR moderat + PR ringan
E. DIAGNOSIS BANDING
F. DIAGNOSIS KERJA
Penyakit jantung rematik
G. PENATALAKSANAAN
Prednisone 3-2-2-2
Captopril 2 x 12,5 mg
Furosemide 2 x 20 mg
Ambroxol syrup 3 x 5 ml (1 cth)
Diet nasi biasa 1700 kkal + 35 g protein
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
9
Follow Up
Tanggal Keterangan
23 Juli 2013 M2 : penyakit jantung rematik
S: Keluhan : nyeri sendi (+)
O: Keadaan Umum
Sensorium: E4M6V5 (compos mentis)
TD : 90/60 mmHg
N : 134 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,4 oC
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil
bulat isokor, ø 3 mm, reflek cahaya (+/+), nafas
cuping hidung (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorak : simetris, retraksi (-)
Cor : bunyi jantung I dan II normal, murmur (+) sistolik
grade III/VI ICS III-IV linea paraseternalis
sinistra, gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Abdomen : datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik,
P: Prednisone 3-2-2-2
Captopril 2 x 12,5 mg
Furosemide 2 x 20 mg
Ambroxol syrup 3 x 5 ml (1 cth)
Diet nasi biasa 1700 kkal + 35 g protein
Rencana pemberian benzathin penicilline 900.000 IU
intramuscular
10
3 Agustus
2013
M2 : penyakit jantung rematik
S: Keluhan : (-)
O: Keadaan Umum
Sensorium: E4M6V5 (compos mentis)
TD : 100/60 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,2 oC
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil
bulat isokor, ø 3 mm, reflek cahaya (+/+), nafas
cuping hidung (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorak : simetris, retraksi (-)
Cor : bunyi jantung I dan II normal, murmur (+) sistolik
grade III/VI ICS III-IV linea paraseternalis
sinistra, gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Abdomen : datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik,
P: Prednisone 3-2-2-2
Captopril 2 x 12,5 mg
Furosemide 2 x 20 mg
Ambroxol syrup 3 x 5 ml (1 cth)
Diet nasi biasa 1700 kkal + 35 g protein
Rencana pemberian benzathin penicilline 900.000 IU
intramuscular
12 Agustus
2013
M2 : penyakit jantung rematik
11
S: Keluhan : (-)
O: Keadaan Umum
Sensorium: E4M6V5 (compos mentis)
TD : 100/60 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,2 oC
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil
bulat isokor, ø 3 mm, reflek cahaya (+/+), nafas
cuping hidung (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorak : simetris, retraksi (-)
Cor : bunyi jantung I dan II normal, murmur (+) sistolik
grade III/VI ICS III-IV linea paraseternalis
sinistra, gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing
(+/+)
Abdomen : datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik,
P: Prednisone 3-2-2-2
Captopril 2 x 12,5 mg
Furosemide 2 x 20 mg
Ambroxol syrup 3 x 5 ml (1 cth)
Diet nasi biasa 1700 kkal + 35 g protein
Rencana pemberian benzathin penicilline 900.000 IU IM
Rencana konsul subdivisi respirologi
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jantung
2.1.1 Anatomi Jantung
Jantung terletak di rongga toraks sekitar garis tengah antara sternum di
sebelah anterior dan vertebra di sebelah posterior. Jantung memiliki pangkal lebar
di sebelah atas dan meruncing membentuk ujung yang disebut apeks di dasar.
Sewaktu jantung berkontraksi secara kuat, apeks membentur bagian dalam
dinding dada di sisi kiri. Kenyataan bahwa jantung terletak antara dua struktur
tulang, sternum dan vertebra digunakan sebagai bagian dari resusitasi jantung paru
pada tindakan penyelamatan (Price dan Wilson, 2006).
Gambar 1. Anatomi jantung
Jantung dibagi menjadi separuh kanan dan kiri, yaitu atria (atrium,
tunggal) menerima darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya ke
ventrikel yang memompa darah dari jantung ke seluruh tubuh. Pembuluh yang
13
mengembalikan darah dari jaringan ke atria adalah vena (V.kava), dan pembuluh
yang mengangkut dari menjauhi ventrikel menuju jaringan adalah arteri (Aorta
abdominalis). Kedua belah jantung dipisahkan oleh septum, otot kontinyu yang
mencegah pencampuran darah dari kedua sisi jantung (Price dan Wilson, 2006).
Adanya empat katup jantung memastikan darah mengalir satu arah. Empat
katup jantung terdiri dari katup atrioventrikuler (AV) kanan dan kiri. Katup AV
kanan disebut juga katup trikuspid karena terdiri dari tiga buah katup dan katup
AV kiri terdiri dari dua buah katup disebut juga katup bikuspid atau katup mitral.
Dua katup lainnya, katup aorta dan katup pulmonalis, keduanya dikenal dengan
katup semilunaris karena terdiri dari tiga daun katup yang masing-masing mirip
separuh bulan. Tepi-tepi daun katup AV diikat oleh tali fibrosa yang disebut korda
tendinae. Tali-tali ini melekat ke otot papilaris. Letak katup trikuspid letaknya
setinggi ICS IV parasternal kiri, katup bikuspid/ mitral letaknya setinggi ICS V
medioklavikularis kiri, katup aorta letaknya setinggi ICS II parasternal kanan dan
katup pulmonal letaknya ICS II parasternal kiri (Price dan Wilson, 2006).
2.1.2 Fisiologi jantung
Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik masuk ke atrium kanan melalui
vena-vena besar yang dikenal dengan vena kava. Darah yang masuk ke atrium
kanan kembali dari jaringan tubuh kaya karbondioksida. Darah tersebut mengalir
dari atrium kanan ke ventrikel kanan dan memompanya keluar melalui arteri
pulmonalis ke paru. Didalam paru CO2 O2 dan dikembalikan ke atrium kiri
melalui vena pulmonalis. Darah dari atrium kiri mengalir ke dalam ventrikel kiri
dan memompa ke semua sistem tubuh kecuali paru. Arteri besar yang membawa
darah menjauhi ventrikel kiri adalah aorta abdominalis (Price dan Wilson, 2006).
Sirkulasi paru adalah sistem yang memiliki tekanan dan resistensi yang
rendah, sedangkan sirkulasi sistemik adalah sistem dengan tekanan dan resistensi
yang tinggi. Walaupun sisi kiri dan kanan jantung memompa darah dalam jumlah
yang sama, sisi kiri melakukan kerja yang lebih besar karena harus memompa
dalam resistensi yang tinggi. Dengan demikian otot jantung sebelah kiri jauh lebih
tebal daripada otot jantung sebelah kanan (Price dan Wilson, 2006).
14
Gambar 2. Sirkulasi darah
Katup jantung membuka dan menutup secara pasif karena adanya
perbedaan tekanan. Katup-katup ini terbuka ketika tiap-tiap tekanan ventrikel
kanan dan kiri melebihi tekanan di aorta dan arteri pulmonalis, selama ventrikel
berkontraksi dan mengosongkan isisnya. Katup tertutup apabila ventrikel
melemas dan tekanan ventrikel turun dibawah tekanan aorta dan arteri pulmonalis.
Ketika ventrikel berkontraksi, otot papilaris juga berkontraksi, menarik ke bawah
korda tendinae. Tarikan ini menimbulkan ketegangan didaun katup AV yang
tertutup, sehingga daun katup dapat tertahan dalam posisinya dan tetap menutup
rapat walau pun terdapat gradien yang besar ke arah belakang (Price dan Wilson,
2006).
2.1.3 Histologi Jantung
Dinding jantung terutama terdiri dari serat-serat otot jantung yang tersusun
secara spiral dan saling berhubungan melalui diskus interkalatus. Dinding jantung
terdiri dari tiga lapisan (Price dan Wilson, 2006):
15
Endokardium: lapisan tipis endotelium suatu jaringan epitel yang melapisi
bagian dalam. Permukaannya diliputi endotel yang bersinambungan
dengan endotel pembuluh darah yang masuk dan keluar jantung. Dibawah
endotel terdapat lapisan tipis yang mengandung serat kolagen halus yang
membentuk lapisan subendotel. Lebih kedalam terdapat lapisan yang lebih
kuat mengandung banyak serat elastin dan serat otot polos. Lapisan yang
menyatu dengan miokardium disebut lapisan subendokardial yang terdiri
atas jaringan ikat longgar. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh
darah, saraf dan sistem hantar jantung.
Endokardium membentuk katup atrioventrikuler yang merupakan jaringan
ikat fibrosa yang menyatu dengan anulus fibrosus. Endokardiumnya lebih
tebal pada permukaan yang menghadap atrium daripada ventrikel dan
lebih banyak mengandung serat elastin. Katup dihubungkan dengan
muskulus papilaris ventrikel oleh benang fibrosa disebut korda tendinea.
Miokardium: lapisan tengah yang terdiri dari otot jantung, membentuk
sebagian besar dinding jantung
Epikardium: suatu membran tipis dibagian luar yang membungkus jantung
berupa suatu membran serosa.
2.2 Penyakit Jantung Rematik
2.2.1 Definisi
Menurut WHO tahun 2001, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat
jantung akibat karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), PJR adalah penyakit
jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR),
yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Definisi lain juga
mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang
dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A
pada saluran nafas bagian atas (Underwood J.C.E, 2000).
Dari sebuah jurnal mengatakan bahwa DR dan atau PJR eksaserbasi akut
adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi streptococcus beta
hemolyticus grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang
16
dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea,
nodul subkutan dan eritema marginatum (Meador R.J. et al, 2009).
2.2.2 Epidemiologi PJR
Angka kesakitan Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) di
Amerika Serikat pada tahun 1996, dilaporkan hamper mencapai 60 juta penderita,
dimana 1,8 juta di antaranya menderita PJR. (Ulfah A., 2000) Statistik rumah
sakit di Negara berkembang pada tahun 1992 menunjukkan sekitar 10%-35% dari
penderita penyakit jantung yang masuk ke rumah sakit adalah penderita DR dan
PJR (Afif A., 2008)
Insidens PJR tertinggi dilaporkan terjadi pada suku Samoan di Kepulauan
Hawaii sebesar 206 penderita per 100.000 penduduk pada periode tahun 1980-
1984. (Boestan I.N., 2007) Prevalens PJR di Ethiopia (Addis Ababa) tahun 1999
adalah 6,4 per 100.000 penduduk pada kelompok usia 5-15 tahun (Asdie A.H.,
2000) Dari klasifikasi PJR, yakni stenosis mitral, ditemukan perempuan lebih
sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan 7:1 (Chandrasoma P,
2006).
DR Akut dan PJR diduga hasil dari respon autoimun, namun patogenesis
yang pasti masih belum jelas. Walaupun PJR adalah penyebab utama kematian
100 tahun yang lalu pada orang berusia 5-20 tahun di Amerika Serikat, insiden
penyakit ini telah menurun di negara maju, dan tingkat kematian telah menurun
menjadi hanya di atas 0% sejak tahun 1960-an. Di seluruh dunia, PJR masih
merupakan masalah kesehatan yang utama. PJR Kronis diperkirakan terjadi pada
5-30 juta anak-anak dan orang dewasa muda; 90.000 orang meninggal karena
penyakit ini setiap tahun. Angka kematian dari penyakit ini masih 1%-10%.
Sebuah sumber daya yang komprehensif mengenai diagnosis dan pengobatan
disediakan oleh WHO (Thomas K Chin, 2008).
Dilaporkan di beberapa tempat di Amerika Serikat pada pertengahan dan
akhir tahun 1980-an telah terjadi peningkatan insidens DR, demikian juga pada
populasi aborigin di Australia dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit
ini. Tidak semua penderita infeksi saluran nafas yang disebabkan infeksi
17
Streptokokus Beta Hemolitik grup A menderita DR. Sekitar 3% dari penderita
infeksi saluran nafas atas terhadap Streptokokus Beta Hemolitik grup A di barak
militer pada masa epidemi yang menderita DR dan hanya 0,4% didapati pada anak
yang tidak diobati setelah epidemi infeksi Streptokokus Beta Hemolitik grup A
pada populasi masyarakat sipil (Chakko S. et al, 2001).
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1
November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per
100.000 penduduk di negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara
berkembang dan di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000.
Diperkirakan sekitar 2000-332.000 yang meninggal diseluruh dunia karena
penyakit tersebut. Angka disabilitas pertahun (The disability-adjusted life years
(DALYs)1 lost) akibat PJR diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 di negara maju
hingga 173,4 per 100.000 di negara berkembang yang secara ekonomis sangat
merugikan. Data insidens DR yang dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada
beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat pada
anak sekolah. Insidens per tahunnya cenderung menurun dinegara maju, tetapi di
negara berkembang tercatat berkisar antara 1 di Amerika Tengah 150 per 100.000
di China. Sayangnya dalam laporan WHO yang diterbitkan tahun 2004 data
mengenai DR dan PJR Indonesia tidak dinyatakan (Afif. A, 2008 & WHO, 2004).
Pada tahun 2001 di Asia Tenggara, angka kematian akibat PJR sebesar 7,6 per
100.000 penduduk. Di Utara India pada tahun 1992-1993, prevalens PJR sebesar
1,9-4,8 per 1.000 anak sekolah (dengan umur 5-15 tahun). Sedangkan Nepal
(1997) dan Sri Lanka (1998) masing-masing sebesar 1,2 per 1.000 anak sekolah
dan 6 per 1.000 anak sekolah (WHO, 2001).
2.2.4 Etiologi
Infeksi Streptococcus beta-hemoliticus grup A
Streptococcus β-hemolyticus dikelompokkan menjadi beberapa kelompok
serologis berdasarkan antigen polisakarida dinding sel. Kelompok serologis grup
A (Streptococcus pyogenes) dapat dikelompokkan lagi menjadi 130 jenis M types,
dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar infeksi pada manusia. Hanya
18
faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus grup A yang dihubungkan dengan
etiopatogenesis demam rematik dan penyakit jantung rematik. Streptococcus grup
A merupakan kuman utama penyebab faringitis, dengan puncak insiden pada
anak-anak usia -15 tahun
Morfologi dan identifikasi
Kuman berbentuk bulat atau bulat telur, kadang menyerupai batang,
tersusun berderet seperti rantai. Panjang rantai bervariasi dan sebagian besar
ditentukan oleh faktor lingkungan. Rantai akan lebih panjang pada media cair
dibanding pada media padat. Pada pertumbuhan tua atau kuman yang mati sifat
gram positifnya akan hilang dan menjadi gram negatif Streptococcus terdiri dari
kokus yang berdiameter 0,5-1 μm. Dalam bentuk rantai yang khas, kokus agak
memanjang pada arah sumbu rantai. Streptococcus patogen jika ditanam dalam
perbenihan cair atau padat yang cocok sering membentuk rantai panjang yang
terdiri dari 8 buah kokus atau lebih. Streptococcus yang menimbulkan infeksi
pada manusia adalah gram positif, tetapi varietas tertentu yang diasingkan dari
tinja manusia dan jaringan binatang ada yang gram negatif. Pada perbenihan yang
baru kuman ini positif gram, bila perbenihan telah berumur beberapa hari dapat
berubah menjadi negatif gram. Tidak membentuk spora, kecuali beberapa strain
yang hidupnya saprofitik. Geraknya negatif. Strain yang virulen membuat
selubung yang mengandung hyaluronic acid dan M type specific protein.
Gambar 3. Streptococcus
Infeksi Streptococcus Beta Hemoliticus grup A. Infeksi bakteri ini
biasanya menyebabkan Faringitis dan sebagian kecil infeksi pada kulit
19
(pioderma). Tidak semua Streptococcus Grup A dapat menyebabkan Demam
rematik, serotype seperti M type 4,2,12. 1
Streptococcus beta hemolyticus dikenali oleh karena morfologi koloninya dan
kemampuannya untuk menimbulkan hemolisis. Sel ini terdiri dari sitoplasma yang
dikelilingi oleh tiga lapisan membran, yang disusun terutama dari lipoprotein.
Diluar membran sitoplasma adalah dinding sel, terdiri dari tiga komponen:
1. Komponen bagian dalam adalah peptigoglikan yang memberi kekakuan
dinding sel.
2. Polisakarid dinding sel atau KH spesifik grup. KH ini terbukti memiliki
determinan antigenik bersama dengan glikoprotein pada katup jantung
manusia.
3. Komponen ketiga terdiri dari mosaik protein yang dilabel sebagai protein
M yakni antigen spesifik tipe dari streptococcus grup A. adanya protein M
ini menghambat fagositosis.
Streptocoocus menghasilkan sejumlah enzim ekstraseluler, termasuk dua
hemolisisn atau streptolisin S yang stabil pada oksigen, serta streptolisin O yang
labil terhadap oksigen.
Bagan 1. Patogenesis dan Patofisiologi Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik
20
SBHA
Streptolisin
Enzim ektraseluler
Hemolisin
Enzim eritogenik
Hemolisis eritem
- S : Stabil thd oksigen, tidak imunogenik
- O : Labil terhadap oksigen ASTO
-
Faktor yang berperan:
1. Sifat organisme2. Tempat infeksi3. Predisposisi genetik
Polisakarida bakteri menimbulkan artritis dan reaksi nodular
Terjadi reaksi imun yang abnormal oleh tubuh terhadap antigen
Streptococcus Beta Hemoliticus Grup A. Strept, tidak bermigrasi dari faring ke
jantung atau sendi-sendi. Tidak ada penyebaran kuman diseluruh tubuh. Terdapat
immunological cross reaction antara membran sel streptococcus dan sarcolemma
miokard. Diperkirakan terdapat suatu kemiripan antara antigen bakteri dengan sel
jantung pada manusia (antigenic mimicry). Pada penyelidikan ditemukan dua hal:
1. Adanya persamaan antara kabohidrat dari streptococcus grup A dengan
glikoprotein dari katup jantung.
2. Terdapat persamaan molekuler yaitu: streptococcal M.Protein dengan
sarcolema sel miokard pada manusia.
Dua teori dasar lainnya untuk menjelaskan terjadinya ARF dan jaringan parut di
target organ terdiri dari:
1. Efek toksik yang dihasilkan oleh ektrasellular toksin dari Strep. Grup A di
target organ seperti myocardium, valves, synovium, and brain.
2. Respon imunitas yang abnormal untuk komponen strep. Grup A.
Molecular mimicry dimana respon imun gagal membedakan epitop (gen)
dari strep. Grup A dengan jaringan tertentu dari penderita (jaringan ikat).
Gambar 3. Mekanisme pembentukan lesi akibat Streptococcus beta hemolyticus pada berbagai bagian tubuh manusia
21
Gambar 4. Faktor etiologi penyakit jantung rematik
2.2.5 Patogenesis
Hubungan antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dan
perkembangan penyakit jantung rematik telah dipastikan. PJR adalah respon imun
yang tertunda terhadap faringitis yang disebabkan Streptococcus grup A dan
manifestasi klinis pada individu ditentukan oleh kerentanan host, genetik,
virulensi dari kuman, dan lingkungan yang kondusif. Meskipun Streptococcus
dari serogrup B, C, G dan F dapat menyebabkan faringitis dan memicu respon
imun host, mereka belum terkait dengan etiologi demam rematik atau penyakit
jantung rematik (PJR). Geografis berpengaruh pada variasi prevalensi serogrup
dari Streptococcus β-hemolitik. Di negara tropis sampai 60-70% isolat dari
tenggorokan anak-anak tanpa gejala menunjukan serogrup C dan G. Sebaliknya,
di daerah beriklim sedang, serogrup A isolat dominan (50-60. Sekule non
supuratif, seperti RF dan RHD, terlihat hanya setelah Streptococcus grup A
menginfeksi saluran pernapasan bagian atas. Meskipun RF telah dinyatakan
sebagai penyakit autoimun, mekanisme pathogenesis yang tepat belum dapat
22
dijelaskan. Bukti baru menunjukkan bahwa limfosit T memainkan peran penting
dalam patogenesis PJR. Sebuah postulat juga manyatakan bahwa Streptococcus
grup A M types bersifat potensial reumatogenik. Serotipe tersebut biasanya sangat
bersimpai, dan berukuran besar, koloni berlendir yang kaya M-protein.
Karakteristik ini meningkatkan kemampuan bakteri untuk melekat ke jaringan,
serta untuk melawan fagositosis pada host manusia.
Streptococcus M-protein
M-protein adalah salah satu cara terbaik untuk menentukan virulensi
bakteri. M-protein terdapat pada permukaan sel kuman sebagai alpha–helical
coiled coil dimer, dan memiliki struktur yang homolog dengan miosin jantung dan
molekul alpha-helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin, dan laminin.
Disimpulkan bahwa homologi ini bertanggung jawab pada proses patologis PJR.
laminin adalah protein matriks ekstraselular yang disekresi oleh sel endotelial
yang melapisi katup jantung and merupakan struktur katup. Laminin juga
merupakan target untuk antibodi polireaktif yang mengenali protein M, miosin.
Streptococcus superantigen
Superantigen adalah glikoprotein yang disintesis oleh bakteri dan virus
yang dapat menjembatani kompleks molekul histokompatibiliti mayor kelas II dan
rantai b nonpolimorfik V pada reseptor sel T, menstimulasi pengikatan antigen,
sehingga terjadi pelepasan sitokin atau limfosit T teraktivasi menjadi sel
sititoksik. Pada kasus PJR, proses terjadi terutama pada aktivitas superantigen-like
dari fragmen protein M (PeP M5).
Aktivasi superantigen tidak terbatas pada sel T saja. Toksin eritrogenik
Streptococcus juga berperan sebagai superantigen terhadap sel B, menyebabkan
produksi antibodi autoreaktif. Aktivitas dari GRAB (alpha-2 macroglobulin-
binding protein) yang dihasilkan oleh Streptococcus pyogenes, streptococcal
fibronectin-binding protein 1 (sfb1), yang memediasi perlekatan dan invasi kuman
ke sel epitel manusia, streptococcal C5a peptidase (SCPA), yang mengaktivasi
komplemen C5a dan membantu perlekatan kuman pada jaringan, semuanya itu
berperan dalam patogenesis PJR. Peran host dalam perkembangan demam rematik
dan penyakit jantung reumatik.
23
Penelitian Pedigree menyatakan bahwa respon kekebalan dikendalikan
secara genetik, dengan responsivitas tinggi terhadap antigen dinding sel
Streptococcus yang diwariskan melalui gen resesif tunggal, dan respon yang
rendah melalui gen dominan tunggal. Data lebih lanjut menunjukkan bahwa gen
pengendali respon level rendah terhadap antigen Streptococcus terkait erat dengan
antigen leukosit manusia kelas II, HLA.
Interaksi host dan patogen
Infeksi oleh Streptococcus dimulai dengan pengikatan permukaan bakteri
dengan reseptor spesifik pada sel inang, dan kemudian melibatkan kolonisasi dan
invasi. Pengikatan permukaan bakteri reseptor peristiwa permukaan sel host
merupakan yang paling penting dalam kolonisasi, dan peristiwa ini diperantarai
oleh fibronektin dan oleh protein pengikat fibronektin kuman. asam lipoteichoic
dan protein M juga memainkan peran penting dalam perlekatan bakteri. Respon
host terhadap infeksi Streptococcus meliputi produksi antibodi tipe spesifik,
opsonisasi dan fagositosis.
Peranan faktor lingkungan dalam RF dan RH
Keadaan lingkungan seperti kondisi ekonomi sosial yang buruk, kepadatan
penduduk dan akses ke perawatan kesehatan sangat menentukan perkembangan
dan komplikasi RF.
Penularan penyakit sangat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kontak
antar individu. Variasi musiman kejadian RF (insiden tinggi yaitu pada awal
musim gugur, akhir musim dingin dan awal musim semi) sangat menyerupai
variasi infeksi Streptococcus. Variasi ini sangat signifikan di daerah beriklim
sedang, tetapi tidak signifikan dalam tropis (WHO, 2001).
24
Gambar 5. Proses Infeksi oleh S.Pyogenes
Perjalanan Penyakit
Masa laten infeksi Streptococcus dengan munculnya DR akut cukup
singkat bila ada artritis dan eritema marginatum. Dan akan lebih lama jika gejala
klinisnya disertai korea, sedangkan karditis dan nodul subkutan diantaranya.
Lamanya DR akut jarang melebihi 3 bulan. Tetapi bila ada karditis yang berat
biasanya klinis DR akut akan berlangsung 6 bulan atau lebih. (Taranta, 1964.
Majeed, 1992: gejala karditis akan ditemukan pada tiga bulan pertama dari 93 %
pasien DR akut.( McIntosh dkk,1935. Rosentha, 1968)
Perjalanan alamiah D.R. :
• Fase infeksi : S.B.H group A pd nasopharynx
• Fase laten : ( 1 – 3 minggu sesudah infeksi )
demam menurun manifestasi klinis lain menurun , biakan SBH (-).
• Fase rematik akut :
Manifestasi klinis bervariasi :
– Carditis ringan
– Carditis berat dng gagal jantung 2 – 3 bulan.
25
– Polyarthritis migrans
• Fase akhir :
Fase tenang atau inaktif (semua tanda-tanda aktif menurun)
Kelainan katup yang terjadi pada penyakit jantung rematik meliputi: mitral
stenosis, mitral regurgitasi, aorta stenosis, dan aorta regurgitasi.
2.2.6 Patologi
Demam rematik, termasuk Penyakit jantung rematik ditandai oleh radang
eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat, terutama mengenai jantung, sendi dan
jaringan subkutan. Bila terjadi karditis seluruh lapisan jantung akan dikenai.
Perikarditis paling sering terjadi dan perikarditis fibrinosa kadang-kadang
didapati. Peradangan perikard biasanya menyembuh setelah beberapa saat tanpa
sekuele klinis yang bermakna, dan jarang terjadi tamponade. Pada keadaan fatal,
keterlibatan miokard menyebabkan pembesaran semua ruang jantung. Pada
miokardium mula-mula didapati fragmentasi serabut kolagen, infiltrasi limfosit,
dan degenerasi fibrinoid dan diikuti didapatinya nodul aschoff di miokard yang
merupakan patognomonik DR.
Gambar 6. Aschoff bodies
Nodul aschoff terdiri dari area nekrosis sentral yang dikelilingi limfosit,
sel plasma, sel mononukleus yang besar dan sel giant multinukleus. Beberapa sel
mempunyai inti yang memanjang dengan area yang jernih dalam membrane inti
yang disebut Anitschkow myocytes. Nodul Aschoff bisa didapati pada spesimen
biopsi endomiokard penderita DR Keterlibatan endokard menyebabkan valvulitis
rematik kronis. Fibrin kecil, vegetasi verrukous, berdiameter 1-2 mm bisa dilihat
26
pada permukaan atrium pada tempat koaptasi katup dan korda tendinea. Meskipun
vegetasi tidak didapati, bisa didapati peradangan dan edema dari daun katup.
Penebalan fibrotic pada dinding posterior atrium kiri bisa didapati dan dipercaya
akibat efek jet regurgitasi mitral yang mengenai dinding atrium kiri. Proses
penyembuhan valvulitis memulai pembentukan granulasi dan fibrosis daun katup
dan fusi korda tendinea yang mengakibatkan stenosis atau insuffisiensi katup.
Katup mitral paling sering dikenai diikuti katup aorta. Katup trikuspid dan
pulmonal biasanya jarang dikenai (Chakko, 2001)
2.2.7 Manifestasi Penyakit jantung rematik
Kelainan katup, tromboembolisme, dan atrial aritmia adalah gejala yang sering
didapatkan.
1. Stenosis mitral terjadi pada 25% pasien dengan penyakit jantung rematik,
mitral regurgitasi juga dapat terjadi pada penyakit jantung rematik.
Gambar 7. Stenosis Mitral
Terlihat penebalan katup, commisura yang saling melekat dengan
kalsifikasi dan deposisi thrombus, penyatuan dan pemendekan dari chorda
tendinae
2. Stenosis aorta pada penyakit jantung rematik berhubungan dengan aorta
insufisiensi. Pada saat auskultasi, dapat hanya terdengar bunyi S2 saja,
karena katup aorta menjadi tidak dapat bergerak sehingga tidak
27
memproduksi suara saat katup menutup. Murmur sistolik dan murmur
diastolic karena stenosis katup aorta dan insufisiensi katup dapat terdengar
lebih jelas pada basis jantung.
3. Aorta regurgitasi
Pada anamnesis dikeluhkan kelelahan, sesak napas, ortpnoe, sesak malam
hari, keterbatasan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Tekanan nadi yang lebar
Denyut apeks aktif, hiperdinamik, sering bergeser ke lateral
Khas : murmur awal diastolik, dimulai segera sesudah A2 terdengar
pada batas sternal kiri dan basis. Derajat keparahan lebih
digambarkan oleh panjang murmur daripada keras murmur.
Murmur mid-diastolik (murmur austin-flint) regurgitasi aorta berat
Gambar 8. Regurgitasi katup
4. Fibrosis (penebalan dan kalsifikasi katup) dapat terjadi yang disebabkan
karena pelebaran dari atrium kiri dan terdapatnya thrombus pada ruangan
jantung tersebut. Pada auskultasi, S1 terdengar meningkat tetapi akan
meredup jika penebalan katup semakin parah. P2 akan meningkat, dan
didapatkan splitting dari S2 dan bunyinya terdengar menurun jika terjadi
pulmonary hypertension.
28
5. Thromboembolism terjadi sebagai akibat komplikasi dari mitral stenosis.
Terjadi karena atrium kiri berdilatasi, cardiac output menurun, dan pasien
dengan atrial fibrilasi. Kejadian thromboembolism dapat menurun dengan
pemberian antikoagulan.
6. Aritmia atrial berhubungan dengan pelebaran dari atrium kiri (karena
kelainan katup mitral).
2.3 Demam Rematik (DR)
2.3.1 Definisi DR
Menurut WHO, definisi DR adalah sindrom klinis sebagai salah satu
akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A, yang ditandai oleh
satu atau lebih manisfestasi mayor (karditis, poliartritis, korea, nodul subkutan,
dan eritema marginatum) dan mempunyai ciri khas untuk kambuh kembali (Afif,
A dkk.)
Pendapat lain memberikan definisi DR atau PJR sebagai suatu sindroma
klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A pada
tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih
gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan
eritema marginatum (Meador R.J. et al, 2009).
2.3.2 Faktor Risiko
DR sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya faktor genetik,
umur, dan jenis kelamin.
Faktor genetik mempunyai hubungan dengan kejadian DR yaitu dengan
terdapatnya beberapa orang dalam satu keluarga yang menderita penyakit ini,
serta fakta bahawa DR lebih sering mengenai saudara kembar monozigotik oleh
reaksi dizigotik. (Afif A dkk., 1988) Selain itu, PJR termasuk ke dalam penyakit
yang dihasilkan oleh Streptococcus beta hemolitycus grup A. (Tobing , T.C.L,
1998) Konsep genetika ini diperkuat oleh penemuan yang mempergunakan
29
teknologi yang canggih, yaitu bahawa penderita DR ditemukan antigen HLA
(Human Leucocyte Antygen) tertentu (Afif A. dkk., 1988).
Umur merupakan faktor predisposisi terpenting tentang timbulnya DR.
Penyakit ini sering mengenai anak berumur antara 5-15 tahun dengan puncak
sekitar umur 8 tahun. Distribusi ini sesuai dengan insidens infeksi streptokokkus
pada anak usia sekolah. Prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 100.000
penduduk usia 5-15 tahun. (Suprihati, dkk, 2006) DR lebih sering didapatkan pada
anak perempuan daripada laki-laki. Begitu juga dengan kelainan katup sebagai
gejala sisa PJR juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin (Afif A, dkk., 2008).
Faktor ekstrinsik, antara lain disebabkan :
Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk
Tingkat sosial ekonomi merupakan faktor penting dalam terjadinya DR.
Golongan masyarakat masyarakat dengan tingkat pendidikan dan
pendapatan yang rendah dengan manifestasinya, seperti ketidaktahuan,
perumahan dan lingkungan yang buruk, tempat tinggal yang berdesakan,
dan pelayanan kesehatan yang kurang baik, merupakan golongan yang
paling rawan. Pengalaman di negara-negara yang sudah maju
menunjukkan bahwa angka kejadian DR akan menurun seiring dengan
perbaikan tingkat sosial ekonomi masyarakat negara tersebut. (Brooks,
G.F, dkk, 2001) Menurut penelitian Mbeza, masyarakat yang hidup
dengan tingkat sosial ekonomi rendah memiliki risiko 2,68 kali menderita
DR (RR=2,68). (Mbeza, B.L, 2007)
Iklim dan Geografi
Penyakit DR ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi
daerah tropis juga mempunyai insidens yang tinggi. Di daerah yang
letaknya tingi mempunyai insidens DR lebih tinggi daripada di dataran
rendah. Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens
infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens DR juga
meningkat. (Sudoyo, A, 2006) Pada musin hujan kemungkinan terjadinya
PJR 3,24 kali (RR=3,24). (Mbeza, B.L, 2007)
30
2.3.3 Etiologi DR
Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman
Streptokokus Beta Hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman
ini pada kulit mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut.
Kuman Streptokokus Beta Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya
yang didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada
infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan
etiopatogenesis DR dan PJR. Hubungan kuman Streptococcus beta hemolitycus
grup A sebagai penyebab DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme
penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis,
imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai
hubungan dengan infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A, terutama
serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 (Afif. A, 2008).
Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menolak adanya riwayat infeksi
saluran nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus
tenggorokan terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A sering negatif pada
saat serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler
streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut
DR sangat berhubungan dengan besarnya respon antibodi. Diperkirakan banyak
anak yang mengalami episode faringitis setiap tahunnya dan 15%-20%
disebabkan oleh Streptokokus grup A dan 80% lainnya disebabkan infeksi virus.
Insidens infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan
bervariasi di antara berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens
tertinggi didapati pada anak usia 5 -15 tahun. Beberapa faktor predisposisi lain
yang berperan pada penyakit ini adalah keadaan sosio ekonomi yang rendah,
penduduk yang padat, golongan etnik tertentu, faktor genetik, golongan HLA
tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca lembab dan perubahan suhu
yang mendadak (Park M.K., 1996).
2.3.4 Patogenesis
31
Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokkus Beta Hemolitik grup A
dengan terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon
autoimun terhadap infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada
tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul
ditentukan oleh kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan lingkungan
yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui,
tetapi peran antigen histokompatibilitas mayor, antigen jaringan spesifik potensial
dan antibodi yang berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti
sebagai faktor risiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini.
Beberapa penelitian berpendapat bahawa DR yang mengakibatkan PJR
terjadi akibat sesitisasi dari antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A di
faring. Streptococcus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, berdiameter
0,5-1 mikron dan mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai
selama pertumbuhannya. Streptococcus beta hemolitycus grup A ini terdiri dari
dua jenis, yaitu hemolitik dan non hemolitik. Yang menginfeksi manusia pada
umumnya jenis hemolitik.
Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptolisin O
(ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua jenis tes
yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup
A.
DR merupakan manifestasi yang timbul akibat kepekaan tubuh yang
berlebihan (hipersentivitas) terhadap beberapa produk yang dihasilkan oleh
Streptococcus beta hemolitycus grup A. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang
adanya reaksi silang antibody terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A
dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen
Streptococcus beta hemolitycus grup A. Hal inilah yang menyebabkan reaksi
autoimun.
Dalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan antigen tubuh
sendiri dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self
antigen, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi
autoimun. Reaksi autoimun adalah reaksi sistem imun terhadap antigen sel
32
jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang
dibentuk disebut autoantibodi.
Reaksi autoantigen dan autoantibodi yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala
klinis disebut fenomena autoimun. Oleh karena itu pada umumnya para ahli
sependapat bahwa DR termasuk dalam penyakit autoimun.
2.3.5 Manifestasi Klinis
DR Akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, di antaranya artritis,
korea, nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Berbagai manifestasi ini
cenderung terjadi bersama-sama dan dapat dipandang sebagai sindrom, yaitu
manifestasi ini terjadi pada pasien yang sama, pada saat yang sama atau dalam
urutan yang berdekatan.
Manifestasi klinis ini dapat dibagi menjadi manifestasi mayor dan
manifestasi minor, yaitu :
Manifestasi Klinis Mayor
Manifestasi mayor terdiri dari artritis, karditis, korea, eritema marginatum,
dan nodul subkutan. Artritis adalah gejala mayor yang sering ditemukan pada DR
Akut. Munculnya tiba-tiba dengan nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti
dengan reaksi radang.
Biasanya mengenai sendi-sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, siku,
dan pergelangan tangan. Sendi yang terkena menunjukkan gejala-gejala radang
seperti bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi
sendi. Kelainan pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa pengobatan dalam
beberapa hari sampai 1 minggu dan seluruh gejala sendi biasanya hilang dalam
waktu 5 minggu, tanpa gejala sisa apapun.
Karditis merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokarditis,
miokarditis, dan perikardium. Dapat salah satu saja, seperti endokarditis,
miokarditis, dan perikarditis. Endokarditis dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan pada daun katup yang menyebabkan terdengarnya bising
yang berubah-ubah. Ini menandakan bahwa kelainan yang ditimbulkan pada katup
33
belum menetap. Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan tanda-
tanda gagal jantung. Sedangkan perikarditis adalah nyeri pada perikardial. Bila
mengenai ketiga lapisan sekaligus disebut pankarditis.
Karditis ditemukan sekitar 50% pasien DR Akut. Gejala dini karditis
adalah rasa lelah, pucat, tidak berghairah, dan anak tampak sakit meskipun belum
ada gejala-gejala spesifik. Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada
DR Akut, dan dapat menyebabkan kematian selama stadium akut penyakit.
Diagnosis klinis karditis yang pasti dapat dilakukan jika satu atau lebih tanda
berikut ini dapat ditemukan, seperti adanya perubahan sifat bunyi jantung organik,
ukuran jantung yang bertambah besar, terdapat tanda perikarditis, dan adanya
tanda gagal jantung kongestif.
Korea merupakan gangguan sistim saraf pusat yang ditandai oleh gerakan
tiba-tiba, tanpa tujuan, dan tidak teratur, seringkali disertai kelemahan otot dan
emosi yang tidak stabil. Gerakan tanpa disedari akan ditemukan pada wajah dan
anggota-anggota gerak tubuh. Gerakan ini akan menghilang pada saat tidur. Korea
biasanya muncul setelah periode laten yang panjang, yaitu 2-6 bulan setelah
infeksi Streptokokkus dan pada waktu seluruh manifestasi DR lainnya mereda.
Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi klinis yang memilih jenis kelamin,
yakni dua kali lebih sering pada anak perempuan dibandingkan pada laki-laki.
Eritema marginatum merupakan manifestasi DR pada kulit, berupa
bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya
berbatas tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tidak nyeri, dan tidak gatal.
Tempatnya dapat berpindah-pindah, di kulit dada dan bagian dalam lengan atas
atau paha, tetapi tidak pernah terdapat di kulit muka. Eritema marginatum ini
ditemukan kira-kira 5% dari penderita DR dan merupakan manifestasi klinis yang
paling sukar didiagnosis.
Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor DR yang terletak dibawah
kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran antara 3-10mm. Kulit
diatasnya dapat bergerak bebas. Biasanya terdapat di bagian ekstensor persendian
terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki. Nodul ini timbul selama
6-10 minggu setelah serangan DR Akut.
34
Manifestasi Klinis Minor
Manifestasi klinis minor merupakan manifestasi yang kurang spesifik
tetapi diperlukan untuk memperkuat diagnosis DR. Manifestasi klinis minor ini
meliputi demam, atralgia, nyeri perut, dan epistaksis.
Demam hampir selalu ada pada poliartritis rematik. Suhunya jarang
melebihi 39°C dan biasanya kembali normal dalam waktu 2 atau 3 minggu, walau
tanpa pengobatan. Atralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi,
seperti nyeri, merah, hangat, yang terjadi selama beberapa hari atau minggu. Rasa
sakit akan bertambah bila penderita melakukan latihan fisik. Gejala lain adalah
nyeri perut dan epistaksis, nyeri perut membuat penderita kelihatan pucat dan
epistaksis berulang merupakan tanda subklinis dari DR.
Para ahli lain ada menyatakan manifestasi klinis yang serupa yaitu
umumnya dimulai dengan demam remiten yang tidak melebihi 39°C atau arthritis
yang timbul setelah 2-3 minggu setelah infeksi. Demam dapat berlangsung
berkali-kali dengan tanda umum berupa malaise, astenia, dan penurunan berat
badan. Sakit persendian dapat berupa atralgia, yaitu nyeri persendian dengan
tanda-tanda panas, merah, bengkak atau nyeri tekan, dan keterbatasan gerak.
Artritis pada DR dapat mengenai beberapa sendi secara bergantian. Manifestasi
lain berupa pankarditis (endokarditis, miokarditis, dan perikarditis), nodul
subkutan, eritema marginatum, korea, dan nyeri abdomen (Mansjoer A. dkk.,
2000).
2.3.6 Diagnosis
Sebuah diagnosis PJR dibuat setelah konfirmasi adanya DR. Menurut
kriteria Jones (direvisi tahun 1992) menyediakan pedoman untuk diagnosis
demam rematik (AHA, 1992). Kriteria Jones menuntut keberadaan 2 mayor atau 1
mayor dan 2 kriteria minor untuk diagnosis demam rematik.
o Kriteria diagnostik mayor termasuk karditis, poliarthritis, khorea, nodul
subkutan dan eritema marginatum.
35
o Kriteria diagnostik minor termasuk demam, arthralgia, panjang interval
PR pada EKG, peningkatan reaktan fase akut (peningkatan tingkat
sedimentasi eritrosit [ESR]), kehadiran protein C-reaktif, dan
leukositosis.
2.3.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan demam rematik akut ataupun yang reaktifasi
adalah sebagai berikut: (Parillo, 2010; Meador 2009; Ganesja harimurti,
1996):
1. Tirah baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi
jantung.
2. Eradikasi terhadap Streptococcus dengan pemberian antibiotik dengan
drug of choice (DOC) adalah antibiotik golongan penisilin.
3. Untuk peradangan dan rasa nyeri yang terjadi dapat diberikan salisilat,
obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) ataupun kortikosteroid.
Tirah baring
Tirah baring harus dilakukan pada pasien dengan demam rematik
terutama pasien dengan karditis. Demikian halnya pada pasien yang
mengalami arthritis, karena bila sendi yang mengalami inflamasi
dipergunakan untuk melakukan aktivitas berat akan menyebabkan
kerusakan sendi permanen (Meador, 2009).
Terapi farmakologis
Terapi farmakologis meliputi pemberian antibiotik, obat anti inflamasi
(baik golongan OAINS ataupun kortikosteroid), obat-obatan neuroleptik,
dan obat-obatan inotropik.
Antibiotik
Penicillin G benzathine
Merupakan drug of choice untuk demam rematik.
Dosis dewasa: 2.4 juta U IM satu kali pemberian
36
Anak-anak: Bayi dan anak dengan berat badan kurang dari 27 kg:
600,000 U IM satu kali pemberian. Anak dengan berat badan lebih dari
27 kg: 1.2 juta U IM satu kali pemberian. Kombinasi 900,000 U
benzathine penicillin dan 300,000 U procaine penicillin dapat
digunakan pada anak yang lebih kecil (Parillo, 2010; Meador 2009).
Penicillin G procaine
Dosis dewasa 2.4 juta U IM satu kali pemberian
Bayi dan anak dengan berat badan <27 kg: 600.000 U IM - 1,2 juta Unit
IM (Parillo, 2010; Meador 2009).
Amoxicillin
Amoxicillin merupakan obat alternatif untuk terapi demam rematik.
Dosis dewasa: 500 mg PO setiap 6 jam selama 10 hari
Anak <12 tahun: 25-50 mg/kg/hari PO dibagi 3 ata 4 kali per hari,
tidak melebihi 3 g/hari. Anak >12 tahun: sama seperti orang dewasa
(Parillo, 2010; Meador 2009).
Erythromycin
Merupakan DOC untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.
Dosis dewasa: 1 g/hari PO dibagi 4 dosis selama 10 hari
Anak-anak: 30-50 mg/kg/hari PO dibagi 4 dosis selama 10 hari (Parillo,
2010; Meador 2009).
Azithromycin
Azithromycin dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin.
Dosis azithromycin:
Dewasa: 500 mg pada hari pertama diikuti 250 mg/hari untuk 4 hari
berikutnya.
Anak-anak: 10 mg/kg pada hari pertama diikuti 5 mg/kg/hari untuk 4
hari berikutnya (Parillo, 2010; Meador 2009).
Obat-obat anti inflamasi
Obat anti inflamasi diberikan untuk mengobati inflamasi dan
menghilangakan rasa nyeri dengan derajat ringan hingga sedang. Bila
37
terjadi karditis yang disertai dengan kardiomegali ataupun gagal jantung
kongestif maka inflamasi harus diatasi dengan kortikosteroid (prednison).
Aspirin
Dosis dewasa: 6-8 g/hari PO selama 2 bulan atau sampai ESR
(Erithrocyte Sedimentation Rate) kembali normal
Anak-anak: 80-100 mg/kg/hari selama 2 bulan atau sampai ESR
kembali normal
OAINS (Naproxen)
Dosis dewasa: 250-500 mg PO 2 kali per hari; dapat ditingkatkan
hingga 1.5 g/hari
Anak-anak <2 tahun: tidak diberikan
>2 tahun: 2.5 mg/kg/dosis PO; tidak melebihi 10 mg/kg/hari (Parillo,
2010; Meador 2009).
Kortikosteroid (Prednison)
Prednison diberikan pada pasien dengan karditis yang disertai dengan
kardiomegali ataupun gagal jantung kongestif. Tujuan pemberian
prednison adalah menghilangkan ataupun mengurangi inflamasi
miokardium. Dosis prednison:
Dewasa: 60-80 mg/hari PO
Anak-anak: 2 mg/kg/hari PO (Parillo, 2010; Meador 2009).
Dosis di tapering off 5 mg setiap 2-3 hari setelah 2-3 minggu pemberian
(Poestika Sastroamidjojo, 1998), atau 25% setiap minggu setelah
pemakaian selama 2-3 minggu (Meador, 2009).
Neuroleptic agents (Haloperidol)
Neuroleptic agents diberikan untuk mengatasi korea yang terjadi.
Haloperidol merupakan dopamine receptor blocker yang dapat digunakan
untuk mengatasi gerakan spasmodik iregular dari otot wajah. Pemberian
obat ini tidak selalu harus diberikan karena korea dapat sembuh dengan
istirahat dan tidur tanpa pengobatan. Dosis pemberian haloperidol:
Dewasa: 0.5-2 mg PO 2 atau 3 kali per hari
Anak-anak: <3 tahun: tidak diberikan
38
3-12 tahun: 0.25-0.5 mg/hari 2 atau 3 kali per hari.
>12 tahun: sama seperti dosis dewasa (Parillo, 2010; Meador 2009).
Inotropic agents ( Digoxin)
Digoxin dapat diberikan untuk mengatasi kelemahan jantung yang terjadi
tetapi efek terapetiknya masih rendah untuk penyakit jantung rematik.
Kelemahan jantung yang terjadi umumnya dapat diatasi dengan istirahat
ataupun pemberian diuretik dan vasodilator (D. Manurung, 1998; Meador,
2009). Dosis pemberian digoxin:
Dewasa: 0.125-0.375 mg PO 4 kali pemberian
Anak-anak<2 tahun: tidak
2-5 tahun: 30-40 mcg/kg PO
5-10 tahun: 20-35 mcg/kg PO
>10 tahun: 10-15 mcg/kg PO (Parillo, 2010; Meador 2009).
Tabel 1. Tatalaksana Demam Rematik Akut (Ganesja Harimurti, 1996)
Gejala klinis Tirah baring
(minggu)
Mobilisasi
bertahap (minggu)
Obat anti
inlamasi
Karditis (-)
Arthritis (+)
2 2 Aspirin
Karditis (+)
Kardiomegali -)
4 4 Aspirin
Karditis (+)
Kardiomegali (+)
6 6 Prednison
Karditis (+)
Gagal jantung (-)
>6 >12 Prednison
2.3.8 Pencegahan
2.3.8.1 Pencegahan Primordial
Tahap pencegahan ini bertujuan memelihara kesehatan setiap orang yang
sehat supaya tetap sehat dan terhindar dari segala macam penyakit termasuk
39
penyakit jantung. Untuk mengembangkan tubuh maupun jiwa serta memelihara
kesehatan dan kekuatan, maka diperlukan bimbingan dan latihan supaya dapat
mempergunakan tubuh dan jiwa dengan baik untuk melangsungkan hidupnya
sehari-hari. Cara tersebut adalah dengan menganut suatu cara hidup sehat yang
mencakup memakan makanan dan minuman yang menyehatkan, gerak badan
sesuai dengan pekerjaan sehari-hari dan berolahraga, usaha menghindari dan
mencegah terjadinya depresi, dan memelihara lingkungan hidup yang sehat.
2.3.8.2 Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini ditujun kepada penderita DR. Terjadinya DR
seringkali disertai pula dengan adanya PJR Akut sekaligus. Maka usaha
pencegahan primer terhadap PJR Akut sebaiknya dimulai terutama pada pasien
anak-anak yang menderita penyakit radang oleh streptococcus beta hemolyticus
grup A pada pemeriksaan THT (telinga,hidung dan tenggorokan), di antaranya
dengan melakukan pemeriksaan radang pada anak-anak yang menderita radang
THT, yang biasanya menyebabkan batuk, pilek, dan sering juga disertai panas
badan.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui kuman apa yang meyebabkan radang
pada THT tersebut. Selain itu, dapat juga diberikan obat anti infeksi, termasuk
golongan sulfa untuk mencegah berlanjutnya radang dan untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya DR. Pengobatan antistreptokokkus dan anti rematik perlu
dilanjutkan sebagai usaha pencegahan primer terhadap terjadinya PJR Akut.
2.3.8.3 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ini dilakukan untuk mencegah menetapnya infeksi
streptococcus beta hemolyticus grup A pada bekas pasien DR. Pencegahan
tersebut dilakukan dengan cara, diantaranya :
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pemusnahan kuman Streptococcus harus segera dilakukan setelah
diagnosis ditegakkan, yakni dengan pemberian penisilin dengan dosis
1,2 juta unit selama 10 hari. Pada penderita yang alergi pada penisilin,
40
dapat diganti dengan eritromisin dengan dosis maksimum 250 mg yang
diberikan selama 10 hari.
Hal ini harus tetap dilakukan meskipun biakan usap tenggorokan
negatif, kerana kuman masih ada dalam jumlah sedikit di dalam
jaringan faring dan tonsil.
2. Obat anti radang
Pengobatan anti radang cukup efektif dalam menekan manifestasi
radang akut demam rematik, seperti salasilat dan steroid. Kedua obat
tersebut sangat efektif untuk mengurangi gejala demam, kelainan sendi
serta fase reaksi akut. Lebih khusus lagi, salisilat digunakan untuk DR
tanpa karditis dan steroid digunakan untuk memperbaiki keadaan umum
anak, nafsu makan cepat bertambah dan laju endapan darah cepat
menurun. Dosis dan lamanya pengobatan disesuaikan dengan beratnya
penyakit.
3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada
sebagian besar kasus diberikan makanan dengan kalori dan protein yang
cukup. Selain itu diberikan juga makanan mudah cerna dan tidak
menimbulkan gas, dan serat untuk menghindari konstipasi. Bila
kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan
tambahan berupa vitamin atau suplemen gizi.
4. Tirah baring
Semua pasien DR Akut harus tirah baring di rumah sakit. Pasien harus
diperiksa tiap hari untuk pengobatan bila terdapat gagal jantung.
Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak awal serangan,
sehingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.
2.3.8.4 Pencegahan Tersier
41
Pencegahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, di mana
penderita akan mengalami kelainan jantung pada PJR, seperti stenosis mitral,
insufisiensi mitral, stenosis aorta, dan insufisiensi aorta
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi berupa:
Mitral stenosis
Mitral regurgitasi
Stenosis aorta dan regurgitasi aorta
Congestive heart failure (CHF)
Rekurensi paling sering terjadi pada tahun 1-5 setelah serangan akut
sembuh (Parillo, 2010; Meador 2009).
2.10 Prognosis
Demam rematik akut akan sembuh dalam waktu sekitar 3 bulan setelah
serangan akut. Hanya minoritas pasien mengalami penyembuhan yang
lebih lama.
Karditis akan sembuh sempurna pada 65-75% pasien. Karditis tidak
akan menimbulkan sekuele pada pasien yang awalnya tidak memiliki
kelainan jantung (Parillo, 2010; Meador 2009).
42
BAB III
ANALISIS KASUS
Anak perempuan datang dengan keluhan utama nyeri sendi. Pada
anamnesis didapatkan nyeri tersebut berpindah-pindah yang pertama kali
dirasakan pada bahu kanan, lalu tangan kanan, dan pergelangan kaki kiri. Keluhan
ini telah dirasakan penderita selama 2 minggu. Penderita juga mengeluh demam
naik turun yang disertai dengan batuk dan pilek.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan kesadaran compos mentis, nadi
102 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, pernapasan 26 kali/menit, suhu
36,7 °c, berat badan 23 kg dan tinggi badan 135 cm.
Pada pemeriksaan fisik khusus didapatkan NCH (-), konjungtiva anemis
(-), sklera ikterik (-), sianosis pada bibir (-), pembesaran KGB leher (-),
peningkatan JVP (-). Thorak simetris, retraksi (-), auskultasi: vesikuler (+)
normal, ictus cordis terlihat, voussure cardiac tidak terlihat thrill tidak teraba,
iktus teraba, HR: 102 kali/menit, irama reguler, BJ I-II normal, murmur (+)
sistolik grade III/VI linea parasternalis sinistra, gallop (-). Abdomen datar, lemas,
hepar-lien tidak teraba, bising usus (+) normal. Pada ekstremitas akral dingin (-),
sianosis (-), edema pretibial (-), CRT < 2 detik. Status pubertas M2P2.
Pemeriksaan neurologis dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang yaitu
Lab darah rutin, darah kimia, CRP, LED, ASTO dan faktor Rheumatoid
didapatkan:
No Parameter Hasil Rujukan
1 Hb 9,4 g/dl 11,3-14,1 g/dl
2 Ht 28 % 37-41 %
3 Leukosit 6.200 / mm3 6.000-17.500 / mm3
4 Eritrosit 3.520.000 / mm3 5.330.000-5.470.000 / mm3
5 Trombosit 560.000 / µL 217.000 – 497.000 / µL
43
6 LED 120 mm/jam < 15 mm/jam
7 Diff count 0/4/0/54/35/7 0-1/1-6/2-6/50-70/25-40/2-
8 %
8 Natrium (Na) 143 mEq/L 135-155 mEq/L
9 Kalsium (Ca) 9,3 mg/dl 8,4 – 10,4 mg/dl
10 Kalium (K) 5,1 mg/dl 3,6 – 5,5 mg/dl
11 CRP 30 mg/L < 5 mg/L
12 ASTO positif negatif
13 Faktor Rheumatoid negatif negatif
Echocardiografi :
Dilatasi LA dan LV, terdapat MR ringan, AR moderat, dan PR ringan.
Kesimpulan: MR ringan + AR moderat + PR ringan.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut maka pasien ini didiagnosis penyakit
jantung rematik dengan diagnosis banding penyakit jantung rematik dan
rhematoid artritis juvenile. Diagnosis penyakit jantung rematik ditegakkan apabila
terdapat bukti adanya demam rematik dan gejala karditis. Diagnosis demam
rematik ditegakkan berdasarkan kriteria WHO tahun 2003 (berdasarkan revisi
kriteria Jones).
Kriteria Diagnostik Kriteria
1. Demam rematik serangan pertama
2. Demam rematik serangan rekuren
tanpa PJR
3. Demam rematik serangan rekuren
1. Dua mayor atau satu mayor dan dua
minor ditambah dengan bukti
infeksi SGA sebelumnya
2. Dua mayor atau satu mayor dan dua
44
dengan PJR
4. Korea Sydenham
5. PJR (Stenosis mitral murni atau
kombinasi dengan insufisiensi
mitral dan atau gangguan katub
aorta)
minor ditambah dengan bukti
infeksi SGA sebelumnya
3. Dua minor ditambah dengan bukti
infeksi SGA sebelumnya
4. Tidak diperlukan kriteria mayor
lainnya atau bukti infeksi SGA
5. Tidak diperlukan kriteria lainnya
untuk mendiagnosis PJR
Manifestasi Mayor Manifestasi Minor
Karditis
Poliartritis migran
Korea
Eritema Marginatum
Nodulus subkutan
Klinis :
Atralgia
Demam
Laboratorium
Peningkatan reaktan fase akut
yaitu :LED dan atau CRP
yang meningkat
Interval PR yang memanjang
Pada pasien ini dengan keluhan utama nyeri sendi yang berpindah (poliartritis
migran) yang disertai demam dan juga terdapat riwayat batuk pilek (riwayat ISPA
oleh SGA) serta pada pemeriksaan fisik diperkuat adanya murmur (+) sistolik
grade III/VI linea parasternalis sinistra mengarah pada diagnosis PJR. Untuk
membuktikan adanya infeksi akut oleh SGA dilakukan pemeriksaan ASTO dan
pemeriksaan darah rutin, LED, CRP. Pada pemeriksaan ASTO (+) serta CRP (+)
dan LED yang meningkat dapat membuktikan adanya infeksi oleh SGA. Untuk
menegakkan infeksi SGA menyebabkan karditis selain adanya bising sistolik
dengan dilakukan pemeriksaan echocardiografi dan didapatkan adanya dilatasi LV
dan LA? serta adanya insufisiensi pada katub mitral, aorta dan pulmonal. Adapun
kriteria karditis adalah bunyi jantung melemah, adanya bising sistolik, mid
diastolik di apeks atau bisisng diastolik di basal jantung, perubahan bising,
45
takikardi atau gallop, kardiomegali, perikarditis, gagal jantung kongestif tanpa
sebab lain.
Pembagian Karditis menurut Decourt
Karditis ringan Karditis sedang Karditis berat
Tahihardi, murmur ringan
pada area mitral, jantung
yang normal, EKG
normal.
Tanda-tanda karditis
ringan, bising jantung
yang lebih jelas pada area
mitral dan aorta, aritmia,
kardiomegali, hipertropi
atrium kiri dan ventrikel
kiri.
Ditandai dengan gejala
sebelumnya ditambah
gagal jantung kongestif
Berdasarkan hal tersebut terbukti adanya demem rematik aktif dan
penyebab lain kelainan pada katub jantung dapat disingkirkan dianggap PJR.
Untuk menyingkirkan diagnosis banding artritis rhematoid juvenil dilakukan
pemeriksaan rheuma factor dan didapatkan hasil negatif.
Pada pasien ini dilakukan terapi prednison sebagai anti inflamasi dengan
dosis berdasarkan dan diberikan diuretik serta beta blocker sebagai??penundaan
pemberian penisilin untuk eradikasi SGA karena??serta pemberian ambroxol
untuk mengurangi keluhan batuk??
46
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Siregar. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik.
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2008/ppgb_2008_afif_siregar.pdf
Aru Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus, Marcellus, Siti Setiati. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Binotto MA, Guilherme L, Tanaka .2002. Rheumatic Fever.
.http://www.sahha.gov.mt/pages.aspx?page=511
Chin, Thomas K. 2006. Emedicine : Rheumatic Heart Disease.
http://faculty.ksu.edu.sa/Jarallah/Pediatric%20Cardiology/Rheumatic
%20heart%20diseases.pdf
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al. 2008. Valvular Heart
Disease in Harrison’s Internal Medicine. 17th edition.
Ganesja Harimurti. 1996. Demam Rematik. Buku Ajar Kardiologi. Balai penerbit
FKUI: Jakarta
Gray H, Dawkins K, Morgan J, Simpson I.2005. Penyakit Katup Jantung dalam
Lecture Notes Kardiologi. Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga
Meador R., 2009., Acute Rheumatic Fever., Texas Health Science center; San
Antoniohttp://emedicine.medscape.com/article/333103
Parillo S., 2010., Rheumatic Fever; Philadelphia http://emedicine.medscape.
com/article/808945
Poestika Sastroamidjojo., Sarodja RM., 1998. Demam Rematik Akut. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI: Jakarta
Afif, A. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan
Indonesia. Medan : FK USU. http://www.usu.ac.id [Diakses tanggal 2 April
2010]
Alwi, I., 2008. Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular VII. Jakarta : 22-34
Bustan. M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT. Rineka
Cipta
47
Carapetis JR. 2007. Rheumatic heart disease in developing countries. New England
Journal of Medicine 2007; 357:439-441. http://content.nejm.org/mcgi/content
/full/357/5/439 [Diakses tanggal 18 April 2010]
Chakko S, Bisno A.L., 2001. Acute Rheumatic Fever. In : Fuster V, Alexander RW,
O’ Rourke et al. Hurst The Heart; vol. II; 10th ed. Mc Graw-Hill: New York;
1657-65. Available from : http://www.emedicine.com [Accessed 21 April 2010]
Chandrasoma, P. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta : EGC.
Chin, T.K., 2008. Rheumatic Heart Disease. Associate Professor of Pediatrics, Chief
of Pediatric Cardiology and Medical Director of the Pediatric Heart Institute,
University of Tennessee College of Medicine; Director of Cardiology and
Endowed Chair for Excellence in Cardiology, St Jude Children's Research
Center. http://www.emedicine.com [Diakses tanggal 10 April 2010]
Chin, T.K., 2006. Rheumatic Heart Disease. Associate Professor in Pediatrics,
University of Tennessee College of Medicines; Chief Department of Pediatric
Cardiology, LeBonheur Children’s Hospital, St. Jude Children’s Research
Hospital. http://www.emedicine.com [Diakses tanggal 21 Maret 2010]
Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of American
Heart Association. Guidelines for Diagnosis of Rheumatic Fever: Jones criteria,
1992 Update : JAMA 1992; 268: 2069-2073
Corry S M., I Wahidiyat, Sudigdo S., 2000. Diagnosis Fisis pada Anak. Edisi 2.
Jakarta : PT Sagung Seto, 2003, 91
DepKes RI. 2005. Profil Kesehatan Indonesia 2004. Jakarta : Dit PPTM.
http://www.depkes.go.id [Diakses tanggal 16 April 2010]
DepKes RI. 2007. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah.Jakarta : Dit PPTM dan Ditjen PP&PL. http://www.depkes.go.id
[Diakses tanggal 16 April 2010]
Hasan, R, dkk. 2005. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Infomedika
Leman S., 1990. Perjalanan Penyakit Demam Reumatik dan Penyakit Jantung
Reumatik di Lab./UPF Penyakit Dalam FK-Unand/RSUP dr.M.Djamil Padang.
Analisis ‘’survival’’. Naskah Lengkap KOPAPDI VIII. Yogjakarta: 153-160
48
Majeed H.A, Batnager S, Yousof A.M et.al., 1992. Acute Rheumatic Fever and the
Evaluation of Rheumatic Heart Disease : A Prospective 12 years Follow-up
Study, J.Cln.Epidemiol: 106:545
Mbeza, B.L., 2007. Survey of Rheumatic Heart Disease in School Children of
Kinshasa Town.International Journal of Cardiology,Volume 63, Issue 3, Pages
287-294. Diakses dari : http://linkinghub.elsevier.com [Diakses tanggal 29
Maret 2010]
Meador R.J, Russel IJ, Davidson A, et al. 2009. Acute Rheumatic Fever.
http://www.emedicine.com [Diakses tanggal 21 April 2010]
Park, M.K., 1996. Acute Rheumatic Fever. In: Pediatric Cardiology for Practitioners.
3rd ed. St. Louis: Mosby, 302-309
Robertson KA, Volmink JA, Mayosi BM., 2005 Antibiotics for the primary
prevention of acute rheumatic fever: a meta-analysis. BMC Cardiovasc Disord.
Updated on May 31 2005;5(1):11
Sastroasmoro, S, dkk. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 290-296
Soetedjo, dkk., 1997. Survei Prevalensi Penyakit Jantung Pada Suatu Masyarakat
Pedesaan di Kabupaten Semarang. Cermin Dunia Kedokteran No.50. Bagian
Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
http://www.kalbe.co.id [Diakses tanggal 16 April 2010]
Sudoyo, A. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 4. Jakarta : Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 4. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI
Suprihati, dkk. 2006. Faktor Streptococcus Hemolyticus Beta Group-A pada
Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Atas Di RSUP Dr. Karyadi Semarang. FK
UNDIP. http://www.litang.depkes.go.id [Diakses tanggal 16 April 2010]
World Health Organization (WHO). Rheumatic fever and rheumatic heart disease.
Report of a consultation to review and develop future activities Geneva, 29
November-1 December 1999. Available from : http://www.who.int [Accessed
10 April 2010]
World Health Organization (WHO). Rheumatic fever and rheumatic heart disease
WHO Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation
49
Geneva, 29 October-1 November 2001. Available from : http://www.who.int
[Accessed 10 April 2010]
Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill: New York,
2001;p. 1657-65
50