bab ii pjr

56
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Demam rematik (rheumatic fever = RF) : suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat (Stollerman, 1972). Penyakit jantung rematik (rheumatic heart disease = RHD) : suatu keadaan dimana katup jantung mengalami kerusakan akibat demam rematik (American heart association, 2010). 2.2 Etiologi Infeksi Streptococcus beta-hemoliticus grup A. Streptococcus β-hemolyticus dikelompokkan menjadi beberapa kelompok serologis berdasarkan antigen polisakarida dinding sel. Kelompok serologis grup A (Streptococcus pyogenes) dapat dikelompokkan lagi menjadi 130 jenis M types, dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar infeksi pada manusia. Hanya faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus grup A yang dihubungkan dengan etiopatogenesis demam rematik dan penyakit jantung rematik. 2

Upload: fran-siska

Post on 30-Jun-2015

1.911 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PJR

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam rematik (rheumatic fever = RF) : suatu penyakit inflamasi sistemik non

supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan

ikat (Stollerman, 1972).

Penyakit jantung rematik (rheumatic heart disease = RHD) : suatu keadaan

dimana katup jantung mengalami kerusakan akibat demam rematik (American heart

association, 2010).

2.2 Etiologi

Infeksi Streptococcus beta-hemoliticus grup A.

Streptococcus β-hemolyticus dikelompokkan menjadi beberapa kelompok

serologis berdasarkan antigen polisakarida dinding sel. Kelompok serologis grup A

(Streptococcus pyogenes) dapat dikelompokkan lagi menjadi 130 jenis M types, dan

bertanggung jawab terhadap sebagian besar infeksi pada manusia. Hanya faringitis

yang disebabkan oleh Streptococcus grup A yang dihubungkan dengan

etiopatogenesis demam rematik dan penyakit jantung rematik.

Streptococcus grup A merupakan kuman utama penyebab faringitis, dengan

puncak insiden pada anak-anak usia -15 tahun

Morfologi dan identifikasi

Kuman berbentuk bulat atau bulat telur, kadang menyerupai batang, tersusun

berderet seperti rantai. Panjang rantai bervariasi dan sebagian besar ditentukan oleh

faktor lingkungan. Rantai akan lebih panjang pada media cair dibanding pada media

padat. Pada pertumbuhan tua atau kuman yang mati sifat gram positifnya akan hilang

dan menjadi gram negatif Streptococcus terdiri dari kokus yang berdiameter 0,5-1

μm. Dalam bentuk rantai yang khas, kokus agak memanjang pada arah sumbu rantai.

Streptococcus patogen jika ditanam dalam perbenihan cair atau padat yang cocok

2

Page 2: BAB II PJR

sering membentuk rantai panjang yang terdiri dari 8 buah kokus atau lebih.

Streptococcus yang menimbulkan infeksi pada manusia adalah gram positif, tetapi

varietas tertentu yang diasingkan dari tinja manusia dan jaringan binatang ada yang

gram negatif. Pada perbenihan yang baru kuman ini positif gram, bila perbenihan

telah berumur beberapa hari dapat berubah menjadi negatif gram. Tidak membentuk

spora, kecuali beberapa strain yang hidupnya saprofitik. Geraknya negatif. Strain

yang virulen membuat selubung yang mengandung hyaluronic acid dan M type

specific protein.

Gambar 2.1 Streptococcus

2.3 Epidemiologi dan Faktor Risiko

Insidensi demam rematik maupun penyakit jantung rematik telah menurun di

Amerika Serikat dan negara maju lainnya. Prevalensi penyakit jantung rematik di

Amerika Serikat kurang dari 0,05 per 1.000 populasi. Penurunan insidensi

dipengaruhi oleh penemuan penisilin atau perubahan virulensi dari kuman

Streptococcus.

Sebaliknya dengan negara-negara maju, insidensi demam rematik dan penyakit

jantung rematik belum menurun di negara berkembang. Perkiraan di seluruh dunia

sekitar 5-30 juta anak-anak dan dewasa muda mengalami penyakit jantung rematik

dan 90.000 pasien meninggal akibat penyakit ini setiap tahunnya.

Morbiditas dan mortalitas : penyakit jantung rematik merupakan penyebab utama

morbiditas dari demam rematik dan insufisiensi/stenosis mitral di Amerika Serikat

dan dunia. Beratnya gangguan katup dipengaruhi oleh jumlah serangan demam

3

Page 3: BAB II PJR

rematik, jangka waktu permulaan penyakit dan pemulaan terapi, dan jenis kelamin

(wanita lebih sering dari pria).

Jenis kelamin : pria sama dengan wanita namun prognosis lebih buruk pada wanita

daripada pria.

Usia : usia anak-anak, rata-rata usia 10 tahun, bisa juga terjadi pada orang dewasa

(20%).

(Thomas K Chin, 2006)

Faktor risiko

- Usia (5-15 tahun)

- Genetik (antigen HLA, kembar monozigot)

- Tingkat sosial ekonomi

- Lain-lain (geografis, iklim, status gizi)

2.4 Patogenesis

Hubungan antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dan perkembangan

penyakit jantung rematik telah dipastikan. PJR adalah respon imun yang tertunda

terhadap faringitis yang disebabkan Streptococcus grup A dan manifestasi klinis pada

individu ditentukan oleh kerentanan host, genetik, virulensi dari kuman, dan

lingkungan yang kondusif. Meskipun Streptococcus dari serogrup B, C, G dan F

dapat menyebabkan faringitis dan memicu respon imun host, mereka belum terkait

dengan etiologi demam rematik atau penyakit jantung rematik (PJR). Geografis

berpengaruh pada variasi prevalensi serogrup dari Streptococcus β-hemolitik. Di

negara tropis sampai 60-70% isolat dari tenggorokan anak-anak tanpa gejala

menunjukan serogrup C dan G. Sebaliknya, di daerah beriklim sedang, serogrup A

isolat dominan (50-60. Sekule non supuratif, seperti RF dan RHD, terlihat hanya

setelah Streptococcus grup A menginfeksi saluran pernapasan bagian atas. Meskipun

RF telah dinyatakan sebagai penyakit autoimun, mekanisme pathogenesis yang tepat

belum dapat dijelaskan. Bukti baru menunjukkan bahwa limfosit T memainkan peran

penting dalam patogenesis PJR. Sebuah postulat juga manyatakan bahwa

4

Page 4: BAB II PJR

Streptococcus grup A M types bersifat potensial reumatogenik. Serotipe tersebut

biasanya sangat bersimpai, dan berukuran besar, koloni berlendir yang kaya M-

protein. Karakteristik ini meningkatkan kemampuan bakteri untuk melekat ke

jaringan, serta untuk melawan fagositosis pada host manusia.

Streptococcus M-protein

M-protein adalah salah satu cara terbaik untuk menentukan virulensi bakteri. M-

protein terdapat pada permukaan sel kuman sebagai alpha–helical coiled coil dimer,

dan memiliki struktur yang homolog dengan miosin jantung dan molekul alpha-

helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin, dan laminin. Disimpulkan bahwa

homologi ini bertanggung jawab pada proses patologis PJR.

laminin adalah protein matriks ekstraselular yang disekresi oleh sel endotelial yang

melapisi katup jantung and merupakan struktur katup. Laminin juga merupakan target

untuk antibodi polireaktif yang mengenali protein M, miosin.

Streptococcus superantigen

Superantigen adalah glikoprotein yang disintesis oleh bakteri dan virus yang dapat

menjembatani kompleks molekul histokompatibiliti mayor kelas II dan rantai b

nonpolimorfik V pada reseptor sel T, menstimulasi pengikatan antigen, sehingga

terjadi pelepasan sitokin atau limfosit T teraktivasi menjadi sel sititoksik. Pada kasus

PJR, proses terjadi terutama pada aktivitas superantigen-like dari fragmen protein M

(PeP M5).

Aktivasi superantigen tidak terbatas pada sel T saja. Toksin eritrogenik

Streptococcus juga berperan sebagai superantigen terhadap sel B, menyebabkan

produksi antibodi autoreaktif. Aktivitas dari GRAB (alpha-2 macroglobulin-binding

protein) yang dihasilkan oleh Streptococcus pyogenes, streptococcal fibronectin-

binding protein 1 (sfb1), yang memediasi perlekatan dan invasi kuman ke sel epitel

manusia, streptococcal C5a peptidase (SCPA), yang mengaktivasi komplemen C5a

dan membantu perlekatan kuman pada jaringan, semuanya itu berperan dalam

patogenesis PJR.

5

Page 5: BAB II PJR

Peran host dalam perkembangan demam rematik dan penyakit jantung reumatik

Penelitian Pedigree menyatakan bahwa respon kekebalan dikendalikan secara

genetik, dengan responsivitas tinggi terhadap antigen dinding sel Streptococcus yang

diwariskan melalui gen resesif tunggal, dan respon yang rendah melalui

gen dominan tunggal. Data lebih lanjut menunjukkan bahwa gen pengendali

respon level rendah terhadap antigen Streptococcus terkait erat dengan antigen

leukosit manusia kelas II, HLA.

Interaksi host dan patogen

Infeksi oleh Streptococcus dimulai dengan pengikatan permukaan bakteri dengan

reseptor spesifik pada sel inang, dan kemudian melibatkan kolonisasi dan invasi.

Pengikatan permukaan bakteri reseptor peristiwa permukaan sel host merupakan yang

paling penting dalam kolonisasi, dan peristiwa ini diperantarai oleh fibronektin dan

oleh protein pengikat fibronektin kuman. asam lipoteichoic dan protein M juga

memainkan peran penting dalam perlekatan bakteri. Respon host terhadap infeksi

Streptococcus meliputi produksi antibodi tipe spesifik, opsonisasi dan fagositosis.

Peranan faktor lingkungan dalam RF dan RH

Keadaan lingkungan seperti kondisi ekonomi sosial yang buruk, kepadatan

penduduk dan akses ke perawatan kesehatan sangat menentukan perkembangan dan

komplikasi RF.

Penularan penyakit sangat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kontak antar

individu. Variasi musiman kejadian RF (insiden tinggi yaitu pada awal musim gugur,

akhir musim dingin dan awal musim semi) sangat menyerupai variasi infeksi

Streptococcus. Variasi ini sangat signifikan di daerah beriklim sedang, tetapi tidak

signifikan dalam tropis (WHO, 2001).

6

Page 6: BAB II PJR

Gambar 2.2 Proses Infeksi oleh S.Pyogenes

(http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/404/basics/pathophysiology)

2.5 Gejala Klinik dan Dasar Diagnosis demam Rematik

Diagnosis penyakit jantung rematik dapat ditegakkan setelah diagnosis demam

rematik ditegakkan. Kriteria untuk menegakkan diagnosis demam rematik adalah

Kriteria Jones. Kriteria Jones dikatakan positif jika didapatkan minimal 2 gejala

mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor.

Gejala mayor :

Carditis

Polyarthritis

Chorea

Nodul subkutan

Erythema marginatum

7

Page 7: BAB II PJR

Gejala minor :

Demam

Arthralgia

Riwayat pernah menderita demam rematik / penyakit jantung rematik

Terdapat peningkatan protein fase akut

PR interval memanjang pada EKG

C-reaktif protein positif

Lekositosis

Peningkatan titer streptococcal antibody

Kriteria untuk menegakkan diagnosis tersebut tidak absolut, sebab diagnosis dari

demam rematik dapat ditegakkan pada pasien dengan gejala chorea saja dan diperoleh

group A streptococcal pada pemeriksaan.

Setelah diagnosis demam rematik ditegakkan, jika didapatkan gejala gagal jantung

seperti sesak napas, intoleransi terhadap latihan, takikardia merupakan indikasi telah

terjadinya carditis dan penyakit jantung rematik.

Pada pemeriksaan fisik pasien dengan demam rematik didapatkan gejala yang

berhubungan dengan jantung (cardiac symptoms) dan gejala yang tidak berhubungan

dengan jantung (noncardiac symptoms). Pada beberapa pasien, manifestasi klinik dari

jantung baru tampak pada keadaan penyakit jantung rematik kronis.

2.5.1 Manifestasi demam rematik yang berhubungan dengan jantung

Pancarditis adalah komplikasi kedua tersering pada demam rematik (50%) dan

merupakan komplikasi yang serius. Pasien mengeluh dyspnea, rasa tidak nyaman

pada dada dari ringan hingga sedang, pleuritic chest pain, edema, batuk, atau

orthopnea. Pada pemeriksaan fisik, carditis dapat dideteksi dengan terdengarnya

murmur yang sebelumnya tidak ada dan takikardia yang tidak berhubungan dengan

demam. Murmur baru atau berubahnya bunyi murmur berhubungan dengan

terjadinya rheumatic valvulitis.

Gejala yang berasal dari jantung meliputi gejala gagal jantung dan pericarditis.

8

Page 8: BAB II PJR

1. Murmur baru atau berubahnya bunyi murmur

Terdengarnya murmur pada demam rematik akut berhubungan dengan insufisiensi

katup. Murmur yang dapat terdengar pada demam rematik akut adalah :

a. Apical pansystolic murmur, dengan karakteristik bernada tinggi, blowing-

quality murmur yang disebabkan oleh regurgitasi mitral. Bunyi murmur ini tidak

dipengaruhi oleh respirasi atau posisi pasien. Intensitas murmur biasanya 2/6 atau

lebih besar.

b. Apical diastolic murmur, juga dikenal dengan Carey-Coombs murmur.

Mekanisme dari murmur ini adalah terjadinya mitral stenosis, yang disebabkan

karena volume yang sangat besar saat pengisian ventrikel dikarenakan aliran

regurgitasi dari katup mitral. Murmur ini dapat terdengar lebih jelas dengan

menggunakan sisi bel dari stetoskop dan pada saat pasien dengan posisi miring ke kiri

dan pasien menahan napas saat ekspirasi.

c. Basal diastolic murmur, adalah murmur awal diastolic dari regurgitasi aorta,

dengan karakteristik murmur bernada tinggi, decrescendo, terdengar lebih jelas pada

bagian kanan atas dan midsternal pada ekspirasi dalam.

2. Gagal jantung kongestif

Gagal jantung dapat terjadi sekunder karena insufisiensi katup yang berat atau

myocarditis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda gagal jantung seperti

takipnoe, orthopnea, peningkatan JVP, ronchi basah karena edema paru, gallop,

edema pada ekstremitas.

3. Pericarditis

Terdengarnya pericardial friction rub menandakan terdapatnya pericarditis.

Meningkatnya bunyi dull pada perkusi jantung, ictus cordis yang tidak terlihat, dan

terdengarnya bunyi jantung yang lebih teredam dapat menunjukkan terdapatnya

pericarditis. Pada keadaan darurat, jika terdapat efusi pericardial dilakukan

pericardiocentesis.

2.5.2 Manifestasi demam rematik yang tidak berhubungan dengan jantung

9

Page 9: BAB II PJR

Gejala noncardiac termasuk polyarthritis, chorea, erythema marginatum, dan

nodul subkutan, selain itu nyeri abdomen, arthralgia, epistaksis, demam juga dapat

didapatkan.

1. Polyarthritis

Gejala yang sering dan gejala awal yang didapatkan pada demam rematik akut (pada

70-75% pasien). Karakteristik dari arthritis adalah biasanya dimulai dari sendi-sendi

besar di ekstremitas bagian bawah (lutut dan pergelangan kaki), yang kemudian

menjalar ke sendi-sendi besar lainnya di ekstremitas atas (siku dan pergelangan

tangan). Terdapat nyeri pada sendi yang terkena, bengkak, hangat, kemerahan pada

kulit karena proses inflamasi dan didapatkan keterbatasan gerak pada sendi yang

terkena. Arthritis ini mencapai nyeri maksimal pada 12-24 jam, yang menetap selama

2-6 hari (sangat jarang nyeri bertahan lebih dari 3 minggu), nyeri akan berkurang

dengan pemberian aspirin.

2. Sydenham chorea terjadi pada 10-30% pasien dengan demam rematik.

Keluhan pasien adalah kesulitan dalam menulis, gerakan-gerakan wajah, tangan dan

kaki tanpa tujuan, kelemahan yang menyeluruh, dan emosional yang labil. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan hyperextended joints, hipotonia, fasikulasi lidah, dan

gerakan tidak bertujuan. Gejala ini akan mengalami resolusi dalam 1-2 minggu dan

akan sembuh sempurna dalam 2-3 bulan.

3. Erythema marginatum, ditemukan pada kira-kira 5% pasien demam rematik,

berlangsung berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal. Lesi

eritematous dengan warna pucat pada bagian tengah dan disekelilingnya, dengan tepi

yang bergelombang.

10

Page 10: BAB II PJR

Gambar 2.3 Erythema marginatum

(Binotto, 2002)

4. Subcutaneous nodules terjadi pada 0-8% pasien dengan demam rematik. Jika

terdapat nodul, maka nodul didapatkan pada daerah siku, lutut, pergelangan kaki dan

pergelangan tangan, prosesus spinosus dari vertebra. Nodul ini teraba keras, ukuran

1-2 cm, tidak melekat pada jaringan sekitarnya, dan tidak ada nyeri tekan. Nodul

subkutan terjadi beberapa minggu dan mengalami resolusi dalam satu bulan. Nodul

ini sangat berhubungan dengan rematik carditis, jika pada pasien tidak didapatkan

gejala carditis, maka terdapatnya nodul subkutan harus dipikirkan kemungkinan lain.

Gambar 2.4 Subcutaneous nodules

(Binotto, 2002)

2.5.3 Manifestasi Penyakit jantung rematik

Kelainan katup, tromboembolisme, dan atrial aritmia adalah gejala yang sering

didapatkan.

11

Page 11: BAB II PJR

1. Stenosis mitral terjadi pada 25% pasien dengan penyakit jantung rematik,

mitral regurgitasi juga dapat terjadi pada penyakit jantung rematik.

2. Stenosis aorta pada penyakit jantung rematik berhubungan dengan aorta

insufisiensi. Pada saat auskultasi, dapat hanya terdengar bunyi S2 saja, karena katup

aorta menjadi tidak dapat bergerak sehingga tidak memproduksi suara saat katup

menutup. Murmur sistolik dan murmur diastolic karena stenosis katup aorta dan

insufisiensi katup dapat terdengar lebih jelas pada basis jantung.

3. Aorta regurgitasi

4. Fibrosis (penebalan dan kalsifikasi katup) dapat terjadi yang disebabkan

karena pelebaran dari atrium kiri dan terdapatnya thrombus pada ruangan jantung

tersebut. Pada auskultasi, S1 terdengar meningkat tetapi akan meredup jika penebalan

katup semakin parah. P2 akan meningkat, dan didapatkan splitting dari S2 dan

bunyinya terdengar menurun jika terjadi pulmonary hypertension.

5. Thromboembolism terjadi sebagai akibat komplikasi dari mitral stenosis.

Terjadi karena atrium kiri berdilatasi, cardiac output menurun, dan pasien dengan

atrial fibrilasi. Kejadian thromboembolism dapat menurun dengan pemberian

antikoagulan.

6. Aritmia atrial berhubungan dengan pelebaran dari atrium kiri (karena kelainan

katup mitral).

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Kultur tenggorok

Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur Streptococcus Grup A

negatif pada fase akut. Bila positif belum pasti membantu dalam menegakkan

diagnosis sebab kemungkinan akibat kekambuhan kuman Streptococcus Grup A atau

infeksi Streptococcus dengan strain yang lain.

12

Page 12: BAB II PJR

2. Rapid antigen test

Pemeriksaan antigen dari Streptococcal Grup A. Pemeriksaan ini memiliki angka

spesifitas lebih besar dari 95%, tetapi sensitivitas hanya 60-90%, sehingga

pemeriksaan kultur tenggorok sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosis.

3. Antistreptococcal antibodi

Antibodi Streptococcus lebih dapat menjelaskan adanya infeksi oleh kuman

tersebut, dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti-DNA se B. Terbentuknya

antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila

besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak. Pemeriksaan

titer ASTO memiliki sensitivitas 80-85%.

Titer pada DNA-se 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd pada anak-anak

dikatakan positif. Pemeriksaan anti DNAse B lebih sensitive (90%).

Antobodi ini dapat dideteksi pada minggu kedua sampai ketiga setelah fase akut

demam rematik atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman Streptococcus Grup A di

tenggorokan.

4. Protein fase akut

Pada fase akut dapat ditemukan lekositosis, LED yang meningkat, C reactive

protein positif; yang selalu positif pada saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat

antirematik.

5. Pemeriksaan Imaging

a. Pada foto rontgen thorax dapat ditemukan adanya cardiomegali dan edema

paru yang merupakan gejala gagal jantung.

b. Doppler-echocardiogram

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi kelainan katup dan ada tidaknya disfungsi

ventrikel. Pada keadaan carditis ringan, mitral regurgitasi dapat ditemukan saat fase

akut, yang kemudian akan mengalami resolusi dalam beberpa minggu sampai bulan.

Pasien dengan carditis sedang sampai berat mengalami mitral dan atau aorta

regurgitasi yang menetap.

13

Page 13: BAB II PJR

Pada penyakit jantung rematik kronik, pemeriksaan ini digunakan untuk melihat

progresivitas dari stenosis katup, dan dapat juga untuk menentukan kapan dilakukan

intervensi pembedahan. Didapatkan gambaran katup yang menebal, fusi dari

commisurae dan chordae tendineae. Peningkatan echodensitas dari katup mitral dapat

menunjukkan adanya kalsifikasi.

6. Kateterisasi jantung

Pada penyakit jantung rematik akut, pemeriksaan ini tidak diindikasikan. Pada

kasus kronik, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi katup mitral dan

aorta dan untuk melakukan balloon pada mitral stenosis.

7. EKG

Pada panyakit jantung rematik akut, sinus takikardia dapat diperoleh.

Gambar 2.5 Sinus Takikardia

(www.cardionetics.com)

AV block derajat I dapat diperoleh pada beberapa pasien, didapatkan gambaran

PR interval memanjang. AV block derajat I tidak spesifik sehingga tidak digunakan

untuk mendiagnosis penyakit jantung rematik. Jika didapatkan AV block tidak

berhubungan dengan adanya penyakit jantung rematik yang kronis.

14

Page 14: BAB II PJR

Gambar 2.6 AV Block derajat I

(www.medicalnotes.com)

AV block derajat II dan III juga dapat didapatkan pada penyakit jantung rematik,

block ini biasanya mengalami resolusi saat proses rematik berhenti.

Gambar 2.7 AV Block derajat II Type I

(www.medicalnotes.com)

15

Page 15: BAB II PJR

Gambar 2.8 AV Block derajat II Type II

(www.medicalnotes.com)

Gambar 2.9 AV Block derajat III

(www.medicalnotes.com)

Pasien dengan penyakit jantung rematik juga dapat terjadi atrial flutter atau atrial

fibrilasi yang disebabkan kelainan katup mitral yang kronis dan dilatasi atrium.

16

Page 16: BAB II PJR

Gambar 2.10 Atrial Flutter

(http://library.med.utah.edu)

Gambar 2.11 Atrial Fibrilasi

(http://library.med.utah.edu)

8. Pemeriksaan histologi

Aschoff bodies (focus eosinofil yang dikelilingi oleh limfosit, sel plasma, dan

makrofag) dapat ditemukan di pericardium, myocardium, dan endocardium.

17

Page 17: BAB II PJR

Gambar 2.12Aschoff bodies

(Binotto, 2002)

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan demam rematik akut ataupun yang reaktifasi adalah sebagai

berikut: (Parillo, 2010; Meador 2009; Ganesja harimurti, 1996):

1. Tirah baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi jantung.

2. Eradikasi terhadap Streptococcus dengan pemberian antibiotik dengan drug of

choice (DOC) adalah antibiotik golongan penisilin.

3. Untuk peradangan dan rasa nyeri yang terjadi dapat diberikan salisilat, obat

anti inflamasi nonsteroid (OAINS) ataupun kortikosteroid.

Tirah baring

Tirah baring harus dilakukan pada pasien dengan demam rematik terutama pasien

dengan karditis. Demikian halnya pada pasien yang mengalami arthritis, karena bila

sendi yang mengalami inflamasi dipergunakan untuk melakukan aktivitas berat akan

menyebabkan kerusakan sendi permanen (Meador, 2009).

Terapi farmakologis

Terapi farmakologis meliputi pemberian antibiotik, obat anti inflamasi ( baik

golongan OAINS ataupun kortikosteroid), obat-obatan neuroleptik, dan obat-obatan

inotropik.

Antibiotik

Penicillin G benzathine

Merupakan drug of choice untuk demam rematik.

Dosis dewasa: 2.4 juta U IM satu kali pemberian

Anak-anak: Bayi dan anak dengan berat badan kurang dari 27 kg: 600,000 U

IM satu kali pemberian. Anak dengan berat badan lebih dari 27 kg: 1.2 juta U IM satu

kali pemberian. Kombinasi 900,000 U benzathine penicillin dan 300,000 U procaine

penicillin dapat digunakan pada anak yang lebih kecil (Parillo, 2010; Meador 2009).

Penicillin G procaine

18

Page 18: BAB II PJR

Dosis dewasa 2.4 juta U IM satu kali pemberian

Bayi dan anak dengan berat badan <27 kg: 600.000 U IM - 1,2 juta Unit IM

(Parillo, 2010; Meador 2009).

Amoxicillin

Amoxicillin merupakan obat alternatif untuk terapi demam rematik.

Dosis dewasa: 500 mg PO setiap 6 jam selama 10 hari

Anak <12 tahun: 25-50 mg/kg/hari PO dibagi 3 ata 4 kali per hari, tidak

melebihi 3 g/hari. Anak >12 tahun: sama seperti orang dewasa (Parillo, 2010;

Meador 2009).

Erythromycin

Merupakan DOC untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.

Dosis dewasa: 1 g/hari PO dibagi 4 dosis selama 10 hari

Anak-anak: 30-50 mg/kg/hari PO dibagi 4 dosis selama 10 hari (Parillo, 2010;

Meador 2009).

Azithromycin

Azithromycin dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Dosis

azithromycin:

Dewasa: 500 mg pada hari pertama diikuti 250 mg/hari untuk 4 hari

berikutnya.

Anak-anak: 10 mg/kg pada hari pertama diikuti 5 mg/kg/hari untuk 4 hari

berikutnya (Parillo, 2010; Meador 2009).

Obat-obat anti inflamasi

Obat anti inflamasi diberikan untuk mengobati inflamasi dan menghilangakan rasa

nyeri dengan derajat ringan hingga sedang. Bila terjadi karditis yang disertai dengan

kardiomegali ataupun gagal jantung kongestif maka inflamasi harus diatasi dengan

kortikosteroid (prednison).

Aspirin

Dosis dewasa: 6-8 g/hari PO selama 2 bulan atau sampai ESR (Erithrocyte

Sedimentation Rate) kembali normal

19

Page 19: BAB II PJR

Anak-anak: 80-100 mg/kg/hari selama 2 bulan atau sampai ESR kembali

normal

OAINS (Naproxen)

Dosis dewasa: 250-500 mg PO 2 kali per hari; dapat ditingkatkan hingga 1.5

g/hari

Anak-anak <2 tahun: tidak diberikan

>2 tahun: 2.5 mg/kg/dosis PO; tidak melebihi 10 mg/kg/hari (Parillo, 2010;

Meador 2009).

Kortikosteroid (Prednison)

Prednison diberikan pada pasien dengan karditis yang disertai dengan

kardiomegali ataupun gagal jantung kongestif. Tujuan pemberian prednison adalah

menghilangkan ataupun mengurangi inflamasi miokardium. Dosis prednison:

Dewasa: 60-80 mg/hari PO

Anak-anak: 2 mg/kg/hari PO (Parillo, 2010; Meador 2009).

Dosis di tapering off 5 mg setiap 2-3 hari setelah 2-3 minggu pemberian

(Poestika Sastroamidjojo, 1998), atau 25% setiap minggu setelah pemakaian selama

2-3 minggu (Meador, 2009).

Neuroleptic agents (Haloperidol)

Neuroleptic agents diberikan untuk mengatasi korea yang terjadi. Haloperidol

merupakan dopamine receptor blocker yang dapat digunakan untuk mengatasi

gerakan spasmodik iregular dari otot wajah. Pemberian obat ini tidak selalu harus

diberikan karena korea dapat sembuh dengan istirahat dan tidur tanpa pengobatan.

Dosis pemberian haloperidol:

Dewasa: 0.5-2 mg PO 2 atau 3 kali per hari

Anak-anak: <3 tahun: tidak diberikan

3-12 tahun: 0.25-0.5 mg/hari 2 atau 3 kali per hari.

>12 tahun: sama seperti dosis dewasa (Parillo, 2010; Meador 2009).

20

Page 20: BAB II PJR

Inotropic agents (Digoxin)

Digoxin dapat diberikan untuk mengatasi kelemahan jantung yang terjadi tetapi

efek terapetiknya masih rendah untuk penyakit jantung rematik. Kelemahan jantung

yang terjadi umumnya dapat diatasi dengan istirahat ataupun pemberian diuretik dan

vasodilator (D. Manurung, 1998; Meador, 2009). Dosis pemberian digoxin:

Dewasa: 0.125-0.375 mg PO 4 kali pemberian

Anak-anak<2 tahun: tidak

2-5 tahun: 30-40 mcg/kg PO

5-10 tahun: 20-35 mcg/kg PO

>10 tahun: 10-15 mcg/kg PO (Parillo, 2010; Meador 2009).

Tabel 2.1 Tatalaksana Demam Rematik Akut (Ganesja Harimurti, 1996)

Gejala klinis Tirah baring

(minggu)

Mobilisasi bertahap

(minggu)

Obat anti

inlamasi

Karditis (-)

Arthritis (+)

2 2 Aspirin

Karditis (+)

Kardiomegali -)

4 4 Aspirin

Karditis (+)

Kardiomegali (+)

6 6 Prednison

Karditis (+)

Gagal jantung (-)

>6 >12 Prednison

2.7 Pencegahan

21

Page 21: BAB II PJR

Pencegahan demam rematik meliputi pencegahan primer (primary prevention)

untuk mencegah terjadinya serangan awal demam rematik dan pencegahan sekunder

(secondary prevention) nuntuk mencegah terjadinya serangan ulang demam rematik.

Primary prevention: eradikasi Streptococcus dari pharynx dengan

menggunakan benzathine peniciline single dose IM.

Secondary prevention: AHA menyarankan pemberian 1,2 juta unit benzathine

peniciline setiap 4 minggu, atau setiap 3 minggu untuk pasien berisiko tinggi (pasien

dengan penyakit jantung atau berisiko mengalami infeksi ulangan).

Pemberian profilaksis secara oral dapat berupa penisilin V, namun efek

terapinya tidak sebaik benzathine penisilin.

AHA merekomendasikan pengobatan profilaksis selama minimal 10 tahun.

Penghentian pemberian obat profilaksis bila penderita berusia di sekitar dekade ke 3

dan melewati 5 tahun terakhir tanpa serangan demam rematik akut.Namun pada

penderita dengan risiko kontak tinggi dengan Sterptococcus maka pemberian

antibiotik dapat dipertimbangkan untuk seumur hidup ( Meador, 2009; Abdulah

Siregar, 2008 ).

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi berupa:

Mitral stenosis

Mitral regurgitasi

Stenosis aorta dan regurgitasi aorta

Congestive heart failure (CHF)

Rekurensi paling sering terjadi pada tahun 1-5 setelah serangan akut sembuh

(Parillo, 2010; Meador 2009).

2.10 Prognosis

22

Page 22: BAB II PJR

Demam rematik akut akan sembuh dalam waktu sekitar 3 bulan setelah

serangan akut. Hanya minoritas pasien mengalami penyembuhan yang lebih lama.

Karditis akan sembuh sempurna pada 65-75% pasien. Karditis tidak akan

menimbulkan sekuele pada pasien yang awalnya tidak memiliki kelainan jantung

(Parillo, 2010; Meador 2009).

2. 9 Kelainan Katup pada Penyakit Jantung Rematik

Kelainan katup yang terjadi pada penyakit jantung rematik meliputi: mitral

stenosis, mitral regurgitasi, aorta stenosis, dan aorta regurgitasi.

2.9.1 Mitral Stenosis

Gambaran klinis stenosis mitral ditentukan oleh tekanan atrium kiri, curah jantung

dan resistensi vaskular paru. Peningkatan tekanan atrium kiri dan penurunan

compliance paru menyebabkan sesak napas, awalnya sesak hanya terjadi bila denyut

jantung meningkat, tetapi jika derajat keparahan lesi meningkat pasien menjadi

ortopnoe. Sebelum onset dispnoe paroksismal, batuk nocturnal mungkin merupakan

satu-satunya gejala peningkatan tekanan atrium kiri. Tekanan arteri pulmonalis

meningkat paralel dengan peningkatan tekanan atrium kiri, pada pasien dengan

stenosis mitral berat peningkatan tekanan arteri pulmonalis tidak proporsional disebut

sebagai hipertensi paru reaktif.

Gejala stenosis mitral (Gray H, 2005) :

Rasa lelah

Sesak napas

Ortopnoe

Dispnoe nocturnal

Palpitasi (fibrilasi atrium)

Pemeriksaan fisik

23

Page 23: BAB II PJR

Pada pemeriksaan fisik stenosis mitral didapatkan bunyi S1 yang mengeras.

Tegangan mendadak pada katup mitral karena apparatus subvalvar daun katup mitral

dan penghentian mendadak pergerakan ke bawah katup mitral menyebabkan opening

snap nada tinggi pada awal diastole. Murmur rumbling diastolic nada rendah sering

terlokalisasi di apeks atau aksila; durasinya pendek bila lesi katup ringan. Durasi

murmur berkaitan dengan keparahan lesi. Gambaran fisik lain termasuk tanda edema

paru (ronchi paru basal), retensi cairan, kongesti hepar, dan regurgitasi tricuspid.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada pasien stenosis mitral dapat dinilai secara

noninvasive namun kadang diperlukan kateterisasi jantung. Gambaran stenosis mitral

pada EKG tidak spesifik. Pada stenosis mitral murni, ukuran jantung pada foto thorax

normal, kecuali terjadi hipertensi paru yang lama sehingga terjadi dilatasi pada ruang

sisi kanan jantung. Pada mitral stenosis dan irama sinus, gelombang P dapat

menunjukkan adanya pembesaran dari atrium kiri. Gelombang P ini dapat menjadi

tinggi pada lead II, tegak pada V1 pada saat hipertensi pulmonal atau tricuspid

stenosis terjadi sebagai komplikasinya dan atrium kanan membesar. Kompleks QRS

normal, pada kasus hipertensi pulmonal, dapat terjadi deviasi ke kanan dan hipertofi

ventrikel kanan dapat terjadi (Fauci, 2008).

Ekokardiografi dikombinasikan dengan pemeriksaan Doppler merupakan

pemeriksaan yang paling berguna. Ekokardiografi dapat dengan baik menentukan

apakah prosedur konservatif (valvotomi atau perbaikan katup dapat dilakukan).

Pemeriksaan dengan kateterisasi jantung terbatas pada pasien tertentu, misalnya

untuk menggambarkan anatomi koroner dan tidak sebagai keharusan sebelum

pembedahan katup mitral (Gray H, 2005).

24

Page 24: BAB II PJR

Gambar 2.13 Stenosis Mitral Gambar 2.14 Stenosis Mitral

(Binotto, 2002)

(Keterangan gambar 2.14 stenosis mitral : menunjukkan penebalan dari katup,

commisura yang saling melekat dengan kalsifikasi dan deposisi thrombus, penyatuan

dan pemendekan dari chordate tendinae)

Pada pasien yang bergejala, restriksi dari natrium dilakukan, juga diberikan

diuretik oral. Pemberian digitalis sebenarnya tidak ada keuntungan pada pasien

dengan mitral stenosis, tetapi pemberian obat ini dapat menurunkan ventricular rate

pada pasien dengan atrial fibrilasi. Pemberian beta blocker dan CCB

nondihydropyridine (verapamil atau diltiazem) dilakukan, dilakukan pemberian

warfarin pada pasien dengan atrial fibrilasi dan riwayat tromboembolisme (Fauci,

2008). Pasien dengan stenosis mitral bermakna, terutama jika terdapat pembesaran

atrium kiri yang terlihat dengan ekokardiografi membutuhkan antikoagulasi dengan

warfarin, sebab pada pasien dengan fibrilasi atrium karena penyakit jantung rematik

terdapat peningkatan risiko stroke akibat tromboemboli sistemik sebesar 15-20 kali

(Gray H, 2005).

25

Page 25: BAB II PJR

Tabel 2.2 Terapi pada kelainan katup jantung (Fauci, 2008)

Mitral valve repair

Perbaikan katup ini biasanya dilakukan pada defek kongenital katup, perbaikan katup

mitral ini dapat dilakukan dengan cara :

a. Commissurotomy, dilakukan pada keadaan katup mitral sangat menyempit,

dimana pembedahan dilakukan dengan memotong bagian commisurae yang

mengalami perlengketan.

b. Valvuloplasty, dilakukan dengan cara meletakkan cincin disekeliling katup

mitral agar katup mitral dapat menutup dengan sempurna.

c. Reshaping, pembedahan dilakukan dengan memotong sebagian katup mitral

yang rusak kemudian melekatkan bagian katup mitral yang masih sehat.

Mitral Valvotomy

Jika tidak ada kontraindikasi lain, pasien dengan NYHA Class II-IV yang memiliki

mitral stenosis (orifice pada katup mitral < 1.0 cm2/m2 body surface area atau <1.5

cm2 pada dewasa) dapat dilakukan mitral valvotomy. Mitral valvotomy dapat

dilakukan dengan 2 cara, yaitu PMBV dan valvotomy pembedahan. Pada metode

PMBV (percutaneous mitral balloon valvotomy), kateter dimasukkan ke atrium kiri

setelah transseptal puncture, lalu balon dimasukkan hingga ke katup, kemudian

dikembangkan pada orifice katup. Metode ini memiliki angka morbiditas dan

mortalitas lebih rendah dibanding pembedahan. Angka bertahan hidup pada pasien

muda (<45 tahun) sangat baik (80-90%) selama 3-7 tahun (Fauci, 2008).

26

Page 26: BAB II PJR

Gambar 2.15 Inoue balloon technique for mitral balloon valvotomy

(Fauci, 2008)

a. Setelah transseptal puncture, balon kateter dimasukkan menyebrangi

interatrial septum, kemudian menyebrang katup mitral menuju ventrikel kiri.

b. Balon dikembangkan bertahap pada orifice katup mitral (Fauci, 2008).

Pada pasien dengan keadaan PMBV tidak mungkin dilakukan atau tidak berhasil,

atau pada pasien dengan restenosis, maka valvotomy dengan cardiopulmonary bypass

diperlukan. Dilakukan pembukaan pada commisurae yang melekat, subvalvular fusi

dari papillary muscle dan chordae tendineae dilepaskan, juga dilakukan pengangkatan

pada deposit kalsium untuk meningkatkan kembali fungsi katup. Angka mortalitas

pembedahan ini mencapai 2%. Kesuksesan dari valvotomy didefinisikan jika terjadi

pelebaran katup mitral dua kali dari awal, perbaikan hemodinamik, berkurangnya

gejala.

Pada pasien dengan sistemik embolisasi atau hipertensi pulmonal yang berat,

pasien yang asimtomatik, atau stenosis derajat ringan (area katup mitral >1.5cm2) ,

valvotomy tidak disarankan.

Mitral valve replacement (MVR)

MVR ini diperlukan pada pasien dengan orifice katup ≤ 1 cm2, pasien dengan

NYHA Class III. Angka ketahanan hidup untuk 10 tahun adalah 70%. Penggantian

katup mitral dengan prosthesis ini diperlukan pada pasien dengan mitral stenosis dan

biasanya telah terjadi juga mitral regurgitasi, atau pada pasien dengan katup mitral

yang telah rusak diakibatkan karena transkateter sebelumnya atau operasi

sebelumnya. Angka mortalitas MVR berhubungan dengan usia, fungsi ventrikel kiri,

27

Page 27: BAB II PJR

ada tidaknya CAD. Prognosis menjadi lebih buruk pada pasien usia tua, cardiac

output menurun pada perioperatif, hipertensi pulmonal, disfungsi ventrikel kanan

(Fauci, 2008). Mortalitas dini penggantian katup mitral sebesar 6-8% dengan

mortalitas lanjut berkaitan dengan katup sebesar 3-5% per tahun, angka ini tidak

berhubungan dengan jenis katup. Komplikasi tromboemboli dengan katup mekanik

terjadi dengan laju 3-5% per pasien per tahun follow up (Gray H, 2005).

Gambar 2.16 Penggantian katup mitral mekanik

(Fauci, 2008)

28

Page 28: BAB II PJR

Bagan 2.1 Terapi stenosis mitral

(Fauci, 2008)

Keterangan :

PMBV : percutaneous mitral balloon valvotomy

MVA : mitral valve area

MVG : mean mitral valve pressure gradient

PASP : pulmonary artery systolic pressure

PAWP : pulmonary artery wedge pressure

29

Page 29: BAB II PJR

2.9.2 Mitral Regurgitasi

Gejala klinik mitral regurgitasi

Pasien dengan mitral regurgitasi kronik derajat ringan-sedang biasanya

asimtomatik, hal ini dikarenakan adanya overload darah di ventrikel kiri ditoleransi

dengan baik.

Fatigue, dyspnoe d’effort, orthopnea, dan palpitasi merupakan gejala yang

sering ditemukan pada pasien dengan mitral regurgitasi kronik yang berat. Palpitasi

dapat merupakan gejala awal dari atrial fibrilasi.

Pemeriksaan Fisik

Tekanan arteri biasanya normal.

Pada apex jantung dapat dirasakan adanya systolic thrill.

Iktus kordis mengalami lateralisasi.

Auskultasi

S1 secara general tidak terdengar, lembut, ataupun tertutup suara murmur

holosystolic.

Katup aorta dapat menutup secara prematur yang menyebabkan splitting yang

lebar pada S2.

S3 nada rendah terdengar sekitar 0.12-0.17 detik setelah suara katup aorta

menutup.

Dapat ditemukan adanya middiastolic murmur.

Murmur holosistolik sedikitnya pada derajat III/VI adalah karakteristik utama

pada auskutasi mitral regurgitasi kronik yang berat. biasanya paling terdengar pada

bagian axilla yang menjalar ke arah axilla

Penatalaksanaan

Medikamentosa

Warfarin dapat diberikan bila terdapat atrial fibrilasi dengan target INR 2-3.

Kardioversi dapat dilakukan dengan defibrilator ataupun obat-obatan anti aritmia.

Bila terdapat tanda-tanda kegagalan jantung dapat digunakan diuretik, β-blockers,

ACE inhibitors ataupun digitalis.

30

Page 30: BAB II PJR

Terapi pembedahan

Pembedahan pada pasien dengan regurgitasi katup mitral kronik yang berat

dapat dibedakan antara rekontruksi perbaikan (repair) katup dan penggantian

(replacement) katup. Rekonstruksi katup menggunakan teknik valvuloplasti untuk

memperbaiki katup yang bermasalah dengan menginsersikan cincin annuloplasty,

rekontruksi katup memberikan efek samping jangka panjang seperti tromboemboli

dan perdarahan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penggantian katup.

Indikasi dilakukannya pembedahan katup mitral adalah adanya NYHA kelas

III dan IV, atrial fibrilasi yang sering berulang, hipertensi pulmonal (tekanan arteri

pulmonaris 50 mmHg saat istirahat atau 60 mmHg saat beraktivitas). Juga pada

pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang progresif dangan LVEF kurang dari 60%

dan atau end-systolic cavity dimension pada echocardiography meningkat sekitar

40mm. Umumnya valvuloplasty pada pasien berusia kurang dari 75 tahun tanpa

penyakit penyerta berhasil baik, dengan angka kematian saat operasi kurang dari 1%

(Fauci, 2008).

Gambar 2.17 Mitral Regurgitation

(www.heart-valve-surgery.com)

31

Page 31: BAB II PJR

Bagan 2.2 Terapi regurgitasi mitral

(Fauci, 2008)

Keterangan:

MV : mitral valve HT : hypertension

MVR : mitral valve replacement LV : left ventricular

EF : ejection fraction ESD : end-systolic dimension

32

Page 32: BAB II PJR

2.9.3 Stenosis aorta

Gejala klinis pada stenosis aorta biasanya asimtomatik, gejala baru muncul bila

ukuran orifisium sudah mengecil secara signifikan yaitu < 1 cm2.

Anamnesis

Riwayat kelelahan dan sesak napas yang progresif menyebabkan keterbatasan

aktivitas

Trias gejala klasik : nyeri dada, sinkop eksersional, sesak napas

Pada stadium lanjut timbul sianosis perifer, cachexia, kelemahan

Tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri : ortopnu, sesak napas nokturnal

paroksismal, edema pulmonal

Pemeriksaan fisik

Tekanan denyut kecil dengan peningkatan perlahan akibat ejeksi yang

memanjang dinilai dengan palpasi A.karotis atau A.brakialis.

Intensitas bunyi jantung kedua aorta menurunakibat rigiditas katup aorta (A2)

Bunyi jantung ke empat (S4) akibat peningkatan tekanan atrium kiri

Murmur ejeksi dimulai sesudah bunyi jantung satu (S1) dan berakhir sebelum

bunyi jantung kedua (S2). Baik intensitas maupun panjang murmur tidak terkait

dengan keparahan lesi katup.

Thrill sistolik dapat teraba di basis, incisura suprasternal dan A.karotis

Pemeriksaan Penunjang

EKG

Bila terdapat stenosis aorta berat terdapat hipertrofi ventrikrl kiri. Terdapat depresi

segmen ST dan gelombang T inversi di sadapan 1 dan aVL dan sadapan prekordial

kiri.

Ekokardiogram

Kunci penemuannya adalah hipertrofi ventrikel kiri, dan pada pasien dengan

kalsifikasi katup multipel, tebal, ekoik dibandingkan katup. Stenosis aorta berat dapat

diperkirakan dengan doppler dengan aliran transaorta dengan luas orifisium < 1 cm2.

33

Page 33: BAB II PJR

Stenosis sedang ditentukan dengan luas orifisium 1-1,5 cm2, dan stenosis ringan luas

orifosium 1,5-2 cm2. Dilatasi ventrikel kiri dan penurunan sistolik mencerminkan

penurunan fungsi ventrikel kiri.

Foto rontgen toraks

Akibat stenosis aorta terjadi hipertrofi konsentrik tanpa dilatasi, sehingga

radiologi menunjukan gambaran dalam batas normal. Akibat adanya stenosis aorta

jangka panjang terjadi dilatasi post stenosis pada aorta ascenden. Kalsifikasi katup

aorta tidak dapat diidentifikasi dengan foto polos dan biasanya diidentifikasi dengan

fluoroskopi. Kalsifikasi hanya dapat dilihat dengan posisi lateral atau obliq

Kateterisasi

Kateterisasi jarang dilakukan tetapi sangat berguna bila ada ketidakcocokan antara

penemuan klinis dan ekokardiografi.

Indikasi :

1. Pasien dengan penyakit multivalvular, untuk menentukan deformitas katup

untuk perencanaan operasi definitif

2. Pasien muda dan asimtomatik dengan stenosis aorta kongenital non kalsifikasi

untuk menentukan derajat obstruksi aliran dari ventrikel kiri, dimana operasi

diindikasikan bila terdapat stenosis berat, walaupun tidak ada gejala.

3. Pasien yang dicurigai ada obstruksi bukan pada katup aorta tapi pada regio

sub atau supravalvular.

Angiografi koroner diindikasikan untuk mendeteksi atau menyingkirkan CAD

pada pasien > 45 tahun dengan stenosis berat yang dipertimbangkan untuk dilakukan

operasi.

Terapi medikamentosa

Pada pasien dengan stenosis berat, harus dilakukan pembatasan aktivitas berat,

pencegahan dehidrasi dan hipovolemia untuk mencegah penurunan cardiac output

(CO). Terapi farmakologis yang digunakan sama seperti untuk pengobatan hipertensi

atau CAD, yaitu beta bloker, ACE inhibitor, aman untuk pasien asimtomatis dengan

34

Page 34: BAB II PJR

fungsi ventrikel kiri yang masih baik. Nitrogliserin membantu meredakan angina

pektoris.

Terapi pembedahan

Pasien asimtomatis dengan stenosis dan obstruksi berat harus dimonitor

perkembangan gejalanya dengan elektrokardiogram serial untuk memonitor fungsi

ventrikel kiri. Operasi diindikasikan pada :

pasien dengan stenosis berat (< 1 cm2) yang simtomatis, yang mengalami

disfungsi ventrikel kiri (ejeksi fraksi , 50%)

aneurisma atau dilatasi aorta walaupun asimtomatis

pasien dengan gagal jantung, angina, dan sinkop eksersional dengan stenosis

yang signifikan (Fauci, 2008).

Penggantian katup aorta diindikasikan pada :

perempuan usia reproduksi / manula (>70 tahun) dimana penggunaan

antikoagulan tidak diinginkan.

Valvuloplasti aorta balon :

pasien simtomatik dengan kondisi mengancam nyawa lain seperti karsinoma.

35

Page 35: BAB II PJR

Bagan 2.3 Terapi stenosis aorta

(Fauci, 2008)

Keterangan:

AVA : aortic valve area BP : blood pressure

CABG : coronary artery bypass graft LV : left ventricle

Vmax : maximal velocity across aortic valve by Doppler echocardiography

2.9.4 Regurgitasi aorta

Gejala Klinis

Pada anamnesis dikeluhkan kelelahan, sesak napas, ortpnoe, sesak malam hari,

keterbatasan aktivitas.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

Tekanan nadi yang lebar

Denyut apeks aktif, hiperdinamik, sering bergeser ke lateral

Khas : murmur awal diastolik, dimulai segera sesudah A2 terdengar pada

batas sternal kiri dan basis. Derajat keparahan lebih digambarkan oleh panjang

murmur daripada keras murmur.

Murmur mid-diastolik (murmur austin-flint) regurgitasi aorta berat

Pemeriksaan penunjang

EKG

Pada regurgitasi aorta akut : normal

Pada regurgutasi aorta kronis : gambaran hipertrofi ventrikel kiri, yaitu depresi

segmen ST dan gelombang T terbalik di sadapan I, aVL, V5 dan V6. Left axis

deviation, pelebaran kompleks QRS, biasanya berhubungan dengan fibrosis,

berhubungan dengan prognosis yang buruk.

Foto rontgen toraks : dilatasi ventrikel kiri

Potongan frontal : apeks terdorong ke bawah dan ke kiri

LLDdan lateral : ventrikel kiri terdorong ke belakang dan menempel ke vertebra.

Ekokardiografi

36

Page 36: BAB II PJR

Pergerakan dinding jantung bisa normal sampai terjadi penurunan kontraktilitas

miokardium. Getaran kuspid mitral anterior yang cepat dan berfrekuensi tinggi

diakibatkan oleh benturan aliran darah balik. Ekokardiogram juga dapat menentukan

penebalan dan kegagalan penutupan katup. Ekokardiografi doppler sangat sensitif

untuk deteksi regurgitasi aorta, termasuk membantu menentukan derajat keparahan.

Pada regurgutasi aorta berat, terjadi aliran balik saat diatol di aorta thoracica

descendent bagian proksimal.

Cardiac Catheterization and Angiography

Bila diperlukan kateterisasi jantung kiri dan jantung kanan dengan aortografi

kontras dapat menyediakan konfirmasi akurat dari regurgitasi dan fungsi ventrikel

kiri. Angiografi koroner dilakukan secara rutin pada pasien yang memiliki

kecenderungan untuk pembedahan.

Penatalaksanaan

Pasien asimtomatik dengan regurgutasi aorta ringan : diperiksa ulang setiap 6 atau

12 bulan dengan ekokardiografi serial.

Pembesaran ventrikel kiri dengan atau tanpa penurunan fungsi ventrikel perlu

pembedahan. Pengobatan pada regurgitasi aorta akut dapat dilakukan dengan

pemberian diuretic intravena dan vasodilator (seperti sodium nitropruside), tetapi

stabilisasi dengan pengobatan seperti ini hanya sebentar saja, pembedahan

diindikasikan. Tekanan darah perlu dijaga (target tekanan darah <140 mmHg) pada

pasien dengan kronik regurgitasi aorta, pemberian vasodilator merupakan pilihan

pertama sebagai antihipertensi. Menjaga tekanan darah tetap normal termasuk sulit,

sebab pada pasien biasanya terjadi peningkatan dari stroke volume.

Terapi pembedahan

Untuk memutuskan kapan dilakukan pembedahan pada pasien dengan aorta

regurgitasi, perlu diingat 2 hal, yaitu : pasien dengan kronik AR biasanya tidak

menunjukkan gejala sampai didapatkan disfungsi miokardial dan pada pasien dengan

kelainan yang lama (lebih dari 1 tahun dari onset gejala atau disfungsi ventrikel kiri)

37

Page 37: BAB II PJR

dilakukannya pembedahan tidak akan mengembalikan fungsi dari ventrikel kiri ke

normal.

Pembedahan pada keadaan aorta regurgitasi dilakukan pada pasien dengan aorta

regurgitasi berat, LVEF <50%, LV end systolic >55mm atau end-systolic volume >55

mL/m2. Pasien dengan aorta regurgitasi berat tetapi tanpa indikasi operasi harus

dilakukan follow up secara klinis dan echocardiographic setiap 3-12 bulan.

Penggantian katup aorta mekanik secara umum diperlukan pada aorta regurgitasi

akibat rematik. Pada keadaan kelainan katup, tindakan risiko dari tindakan operasi ini

tergantung pada staging penyakitnya dan fungsi miokardium saat dilakukan operasi.

Dari keseluruhan operasi, angka kematian saa AVR sekitar 3%. Pasien dengan

pembesaran jantung dan disfungsi ventrikel kiri angka kematiannya mencapai 10%,

sedangkan angka kematian lambat terjadi sekitar 5% per tahun akibat kegagalan

ventrikel kiri walaupun operasi telah sukses dilakukan. Karena prognosis yang buruk,

maka pemilihan terapi pembedahan sebenarnya hanya merupakan lifesaving (Fauci,

2008).

38

Page 38: BAB II PJR

Bagan 2.4 Terapi aorta regurgitasi

(Fauci, 2008)

Keterangan:

RVG : radionuclide ventriculography

MRI : magnetic resonance imaging

AVR : aortic valve replacement DD : end-diastolic dimension;

EF : ejection fraction SD : end-systolic dimension

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Siregar. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik.

http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2008/ppgb_2008_afif_siregar.pdf

Aru Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus, Marcellus, Siti Setiati. 2006. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia

Binotto MA, Guilherme L, Tanaka .2002. Rheumatic Fever.

.http://www.sahha.gov.mt/pages.aspx?page=511

Chin, Thomas K. 2006. Emedicine : Rheumatic Heart Disease.

http://faculty.ksu.edu.sa/Jarallah/Pediatric%20Cardiology/Rheumatic%20heart

%20diseases.pdf

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al. 2008. Valvular Heart

Disease in Harrison’s Internal Medicine. 17th edition.

39

Page 39: BAB II PJR

Ganesja Harimurti. 1996. Demam Rematik. Buku Ajar Kardiologi. Balai penerbit

FKUI: Jakarta

Gray H, Dawkins K, Morgan J, Simpson I.2005. Penyakit Katup Jantung dalam

Lecture Notes Kardiologi. Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga

Meador R., 2009., Acute Rheumatic Fever., Texas Health Science center; San

Antoniohttp://emedicine.medscape.com/article/333103

Parillo S., 2010., Rheumatic Fever; Philadelphia http://emedicine.medscape.

com/article/808945

Poestika Sastroamidjojo., Sarodja RM., 1998. Demam Rematik Akut. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI: Jakarta

40