Download - Biokimiaku Saliva
Laporan Praktikum Biokimia
SALIVA
Disusun oleh : Kelompok 17
Rosita Handayani 1006659546
Sania 100665
Yunita Indah P. 100665
Moh Thoha Rohmini 09
DEPARTEMEN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2011
SALIVA
I. Tujuan Percobaan
a. Mengetahui zat-zat yang terkandung dalam saliva
b. Mengetahui kerja amylase dalam saliva pada beberapa keadaan
tertentu
c. Mengukur aktivitas enzim amilase dan pH optimal untuk saliva
II. Teori Dasar
Saliva disekresi oleh 3 pasang kelenjar yaitu parotis, submaxillaris, dan
sublingualis. Saliva terdiri dari kira-kira 99,5% air dan 0,5% benda-benda
padat. Dua pertiga dari benda padat tersebut terdiri dari bahan-bahan
organik terutama ptialin dan musin, serta ion-ion anorganik seperti SO42-,
PO43-, HCO3-, Cl-, Ca2+, Mg2+, Na+, K+.
Musin adalah air liur berfungsi sebagai pelincir dalam rongga mulut dan
mrmbasahi makanan waktu dikunyah dan memudahkan ditelan. Saliva
juga merupakan tempat sekresi beberapa obat tertentu seperti alkohol, dan
morfin. pH saliva biasanya sedikit asam , kira-kira 6,8.
Ptialin (enzim amylase) berfungsi memecah pati menjadi dekstrin-dekstrin
dan maltosa. Larutan pati bila diberi tetesan larutan iodium akan berwarna
biru. Amylase tidak aktif pada pH 4 atau lebih rendah. Bila hidrolisis
dengan asam maka sebagai hasil akhir yang terbentuk adalah glukosa.
Hidrolisis pati Reaksi dengan larutan Iodium
Pati
Amilodekstrin + maltosa
Eritrodekstrin + maltosa
Akrodekstrin + maltosa
Maltosa
Biru
Biru
Merah
Tidak berwarna
Tidak berwarna
Jika hidrolisis dilakukan dengan enzim amylase, maka sebagai hasil akhir
akan terbentuk glukosa.
2
III. Alat dan Bahan
Alat :
a. Tabung reksi g. Gelas ukur
b. Lampu spiritus h. Corong
c. Kaki tiga i. Pengukur waktu
d. Pipet tetes l. Alat
spektrofotometri
e. Labu ukur
f. Thermometer dan botol semprot
Bahan :
a. Saliva k. Larutan urea 10% &larutan
b. Pereaksi Biuret
Iodium
c. Pereaksi Millon l. Laruran FeSO4
d. Pereksi Molisch m.
Larutan pati 2% dan 1%
e. Pp n. Larutan Iodium
f. Lakmus o. Larutan HCl 0,4%
g. Indikator universal p.
Pereaksi Benedict
h. Aquadest q. Asam
laktat 0,1%
i. Larutan HCl (e) & CH3COOH r. Na bikarbonat 1%
j. Larutan BaCl2 s. Larutan stok Iodium 0,1 N
IV. Cara Kerja
1. Sifat dan susunan saliva
Kunyah sepotong permen karet untuk meransang pengeluaran saliva.
Kumpulkan kurang lebih 50 ml saliva tersebut dalam sebuah gelas
3
kimia. Saringlah sebagian saliva tersebut dan lakukan percobaan
berikut :
a) Saliva yang tidak disaring
1) Test pH dengan lakmus, fenolftalein dan indikator universal.
2) Test biuret, millon, molish.
b) Saliva yang disaring
1) Pada 2 ml saliva tambahkan 1 tetes asam asetat encer.
2) Pada 2 ml saliva ditambahkan HCL encer. Tambahkan tetes
demi tetes larutan BaCl2 1 %.
3) Pada 2 ml saliva tambahkan 1 ml larutan urea 10 %.
Tambahkan reagensia molybdat dan tambahkan larutan FeSO4.
2. Hidrolisis pati oleh saliva
Ke dalam tabung reaksi masukan 10 ml larutan pati 2 %, tambahkan
saliva yang sudah disaring sebanyak 2 ml ( saliva diencerkan 100x ).
Tempatkan tabung pada penangas air suhu 37 ˚. Tiap 2 menit ambil 5
tetes dan test dengan larutan iodium. Catat kapan warna biru menjadi
hilang, teruskan pemanasan pemanasan dalam penangas air, catat
kapan reaksi Benedict menjadi positif.
3. Pengaruh pH terhadap kerja amylase saliva
Isilah 4 tabung reaksi masing-masing dengan :
a. 2 ml HCl 0,4 % ( pH = 1 )
b. 2 ml asam laktat 0,1 % ( pH =5)
c. 2 ml air suling ( pH = 7 )
d. 2 ml natrium bikarbonat 1% ( pH = 9 )
Ke dalam setiap tabung reaksi tambahkan 2 ml larutan pati 1 % dan
saliva yang tidak disaring sebanyak 2 ml (saliva yang digunakan
diencerkan 100x ). Aduk baik-baik dan panaskan dalam penangas air
37˚ C selama 30 menit. Bagilah isi tabung menjadi 2 bagian yang
4
sama, pada bagian pertama ditambahkan larutan iodium dan pada
bagian kedua lakukan test Benedict.
4. Pengaruh suhu terhadap kerja amylase saliva
Ambilah 5 tabung reaksi, masing-masing diisi dengan 2 ml larutan pati
1 % dan saliva yang tidak disaring sebanyak 2 ml ( saliva diencerkan
100 x ). Tabung pertama diinkubasi dalam es, tabung kedua diinkubasi
pada suhu kamar, tabung ketiga diinkubasi pada suhu 37˚C, tabung
keempat diinkubasi pada suhu 60˚C dan tabung kelima diinkubasi pada
suhu 100˚C. inkubasi dilakukan selama 30 menit. Setelah diinkubasi
lakukan test iodium dan test benedict.
5. Pengukuran aktivitas amylase saliva
Prinsip :
Larutan pati sebagai substrat direaksikan dengan amylase selama 7,5
menit. Kemudian ditambahkan iodium untuk mengikat pati yang
belum terhidrolisis dan diukur secara spektrometris, dibandingkan
dengan control.
Pereaksi dan bahan :
1. Larutan substrat yang stabil pada pH 7,0
a. larutan 13,3 g dinatriumfosfat anhydrous dan 4,3 g asam
benzoate dalam 250 ml air, kemudian panaskan sampai
mendidih.
b. 0,2 g pati dilarutkan dalam 5 ml air dingin, tuangkan ke dalam
larutan a yang mendidih, biarkan mendidih selama 1 menit.
Dinginkan pada suhu kamar dan encerkan sampai volume 500
ml. larutan ini harus selalu dibuat segar.
2. Larutan “ stok “ iodium 0,1 N
Larutan 3,567 g kalium iodat ( KIO3 ) dan 45 g kalium iodium
dalam gelas kimia dengan 800 ml air. Tambahkan 9 ml HCl pekat
(12M ) perlahan-lahan, encerkan dengan aquadest sampai 1000ml.
5
3. Larutan iodium 0,01 N
25 g kalium fluoride dilarutkan dengan 350ml air dalam labu takar
500 ml ( stabil selama 1-2 bulan, bila disimpan dalam botol coklat
dalam lemari es )
Metode :
1. Pipet 5 ml subtract pati ke dalam labu takar 50 ml untuk uji dan
control ( 2 labu uji dalam duplo, 1 labu kontrol ).
2. Masukan labu uji ke dalam penangas air dengan suhu 37˚C,
selama 5 menit ( labu control tidak perlu diinkubasi )
3. Pipet 0,1 ml amylase liur yang telah diencerkan 10 kali ke dalam
labu uji, campur dan biarkan selama 7,5 menit. Pada labu uji
control tidak ditambah liur.
4. Angkat labu uji dari panangas air, segera tambahkan 5 ml
larutan iodium 0,01 N ke dalam 3 labu di atas. Encerkan
dengan air sampai volume 50 ml. campur dengan baik.
5. Segera baca serapannya pada panjang gelombang 660 nm.
Perhitungan :
Aktivitas amylase =
ODcontrol−ODujiODcontrol
×800×pengenceran
Aktivitas amylase = unit amylase / 100 ml.
Unit amylase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang
menghidrolisis 10 mg pati selama 30 menit.
V. Data Pengamatan
1. Sifat dan susunan saliva
a.) Saliva yang tidak disaring
1) Test pH dengan lakmus, fenolftalein dan indikator universal.
6
Gambar hasil test pH pada saliva yang tidak disaring
Test pH Pengamatan
Lakmus merah Biru
Fenolftalein Tidak berwarna
Indikator universal pH 8
2) Test biuret, millon, Mollish.
Gambar hasil Test Biuret, Millon, dan Mollish pada saliva yang tidak
disaring
Test Pengamatan Kesimpulan
Biuret Warna biru (+)
Millon Tidak terbentuk endapan merah (-)
Molish Cincin ungu (+)
7
b.) Saliva yang disaring
Gambar test pada saliva yang disaring, urutan dari kanan ke kiri
Zat Pengamatan
2 ml saliva + 1 tetes asam asetat encer Terbentuk endapan, keruh
2 ml saliva + HCL encer (sampai asam) +
tetes demi tetes BaCl2 1%
Keruh
2 ml saliva + 1 ml larutan urea 10% +
reagen molybdat + larutan FeSO4
Terdapat endapan hijau
kebiruan
2. Hidrolisis pati oleh saliva
8
10 ml pati 2% + 2 ml saliva yang telah disaring (diencerkan 10 kali),
lalu dipanaskan.
Waktu Test Iodium Test Benedict
5’ Ungu Tidak ada endapan
10’ Coklat gelap Tidak ada endapan, kuning
15’ Coklat Ada endapan warna oranye
3. Pengaruh pH terhadap kerja amylase saliva
Gambar hasil test dengan Iodium(kiri) dan test dengan Benedict(kanan)
Zat Test Iodium Test Benedict
2 ml HCl 0,4 % (pH = 1) Biru gelap Tidak ada endapan,
warna biru
2 ml asam laktat 0,1 % (pH
=5)
Biru Tidak ada endapan,
namun warna menjadi
agak hijau
2 ml air suling (pH = 7) Kuning Ada endapan warna
merah bata
2 ml natrium bikarbonat 1%
(pH = 9)
Kuning Ada endapan warna
oranye
9
4. Pengaruh suhu terhadap kerja amylase saliva
Pengamatan :
Gambar Test Iodium pada suhu 0oC – suhu kamar – 37oC – 60oC – 100oC
10
Larutan Uji Suhu Test Iodium Test benedict
Dalam 5
tabung reaksi:
2 ml saliva
yang tidak
disaring
(diencerkan
1:10) + 2 ml
larutan pati 1%
Es 0º CPutih dengan
ungu sedikit
Hijau dengan sangat
sedikit endapan
kuning
Suhu kamar Putih Merah bata
37º C Putih Merah bata
60º C Putih
Hijau dengan sangat
sedikit endapan
kuning
100º C Ungu Biru
Gambar Test Benedict pada suhu 0oC – suhu kamar – 37oC – 60oC – 100oC
Pembahasan :
Kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh enzim akan naik pada batas
temperatur tertentu. Kecepatan reaksi yang meningkat dengan kenaikan
suhu ini disebabkan oleh peningkatan energi kinetik pada molekul-
molekul yang bereaksi.
Suhu mempunyai pengaruh terhadap aktivitas saliva sehingga dapat
mengubah isi atau kandungan saliva. Dalam batas-batas tertentu kecepatan
reaksi yang dikatalisis enzim naik. Perbandingan yang tepat di mana
kecepatan berubah untuk setiap kenaikan temperatur 10˚C adalah koefisien
temperatur (Q10=2). Kecepatan banyaknya reaksi biologik naik 2 kali lipat
pada kenaikan temperatur 10˚C.
Dalam percobaan diamati pengaruh suhu terhadap kerja enzim
amilase saliva, saliva yang tidak disaring dan sudah diencerkan
diperlakukan dalam lima keadaan suhu yang berbeda kemudian setelah
diinkubasi selama 30 menit, praktikan melakukan uji iodium dan uji
benedict.
Pada tabung I yang diinkubasi dalam es, reaksi dengan iodium
memberikan hasil positif yaitu berwarna putih dengan sedikit warna ungu
dan test benedict memberi hasil larutan berwarna hijau dengan sedikit
endapan kuning. Hal ini terjadi karena pada suhu yang rendah amilase
tidak aktif.
Pada tabung II dan III di mana diperlakukan berturut-turut inkubasi
pada suhu kamar dan pada suhu 37˚C, test iodium menunjukan hasil yang
negatif yaitu larutan berwarna putih dan terbentuknya larutan merah bata
pada test benedict yang menunjukan hasil yang positif. Hasil ini
menunjukkan aktivitas enzim amilase menghidrolisis pati secara
sempurna.
Pati maltosa
amilase
11
Pada suhu 60˚C, test Iodium memberikan hasil terbentuknya warna
putih dan test benedict memberikan hasil berupa larutan hijau dengan
sedikit endapan kuning. Sedangkan pada tabung yang diinkubasi pada
suhu 100˚C terjadi denaturasi enzim sehingga larutan iodium memberikan
warna ungu dan test benedict memberikan hasil larutan biru. Pati tidak
terhidrolisis sehingga tidak ada endapan merah Cu2O hasil pati yang
terhidrolisis dengan Cu2+.
Endapan merah yang terbentuk menunjukkan besarnya aktivitas
amilase saliva pada suhu tersebut. Dari hasil percobaan tampak bahwa
endapan merah banyak terbentuk pada suhu 37oC. Berarti enzim akan
bekerja optimum pada suhu 37oC.
5. Pengukuran Kadar Amilase Saliva
Pengamatan :
Setelah dibaca serapannya pada panjang gelombang 660 nm, maka
dapat dihitung kadar amilase saliva, perhitungannya yaitu :
Aktivitas amilase = OD kontrol- OD uji x 800 x 10
OD kontrol
Unit amilase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang
menghidrolisis 10 mg pati selama 30 menit.
Aktivitas amilase = 0,429 - 0,074 x 800 x 10 = 6620,04662
0,429
12
Gambar 8. Labu kontrol dan labu yang diberikan saliva kemudian di letakkan
dalam suhu 370C
Pembahasan :
Enzim memiliki kadar tertentu apabila diukur dengan mengukur
panjang serapannya. Pada penetapan enzim yang diukur bukanlah
kadarnya melainkan dengan cara mengukur aktivitasnya. Caranya dengan
mengukur kecepatan reaksi yang dikatalis oleh enzim. Dasar
pengukurannya yaitu:
1. Banyaknya produk yang dihasilkan per satuan waktu
2. Banyaknya substrat yang terpakai per satuan waktu
VI. Pembahasan
1. Sifat dan susunan saliva
a. Saliva yang tidak disaring
Secara teoritis pH saliva sedikit asam yaitu 6,8 namun pada
percobaan dengan indikator universal yang didapatkan adalah pH
8, dengan lakmus merah menjadi biru (basa) dan dengan pp tidak
berwarna, sehingga saliva praktikan bersifat basa. Saliva yang
tidak disaring dilakukan uji Biuret, Millon, dan Molisch.
13
Test Biuret memberikan hasil warna ungu. Tes Biuret yang positif
ini menunjukkan adanya protein dalam saliva. Senyawa protein ini
adalah enzim amylase yang terdapat dalam saliva.
Pada test Millon tidak terbentuk endapan berwarna merah (hasil
negatif) menunjukkan bahwa dalam saliva tidak mengandung asam
amino derivat monofenol seperti tirosin. Pada test Molish, didapat
hasil positif, ditunjukkan dengan terbentuknya cincin ungu dalam
larutan diantara lapisan atas yang keruh dan lapisan bawah yang
jernih. Cincin ungu terbentuk dari pembentukan furfural atau
turunannya (hidroksimetilfurfural) yang disebabkan oleh adanya
daya dehidrasi asam sulfat pekat terhadap karbohidrat. Lalu dengan
α-naftol, furfural akan berkondensasi membentuk senyawa
berwarna ungu. Hasil ini menunjukkan bahwa pada saliva
terkandung senyawa karbohidrat. Diduga karbohidrat tersebut
adalah bagian dari struktur musin yang merupakan molekul besar
yang tersusun dari 50-86% karbohidrat.
b. Saliva yang disaring
Pada penambahan asam asetat, terbentuk larutan yang keruh. Hal
ini menunjukkan adanya musin dalam saliva. Musin dapat
diendapkan oleh asam asetat. Jadi, yang membentuk presipitat
amorf ini adalah musin. Musin merupakan glikoprotein dengan 2
karakteristik utama :
1. Kandungan oligosakarida terikat oksigen yang tinggi
(kandungan karbohidrat dalam musin umumnya melebihi 50%.
2. Adanya rangkaian asam amino berulang pada pusat tulang
punggung polipeptidanya, dimana melekat rantai glikan-O
dalam bentuk kluster. Rangkaian ini banyak mengandung serin,
threonin, dan prolin. Meskipun terdapat dominasi O-glikan,
musin sering mengandung sejumlah rantai N-glikan. Mukus
memperlihatkan viskositas yang tinggi dan sering membentuk
gel. Kualitas ini menggambarkan kandungan musinnya.
14
Kandungan O-glikan yang tinggi memberikan struktur yang
dapat mulur pada musin.
Pada pengujian dengan penambahan HCl encer dan BaCl2 tetes
demi tetes, terlihat bahwa larutan menjadi keruh dan terdapat
endapan. Adanya endapan ini menunjukkan bahwa diidalam saliva
terdapat ion SO42-. Endapan tersebut terbentuk akibat adanya reaksi
antara SO42- dengan BaCl2 membentuk BaSO4 yang sukar larut.
Reaksi yang terjadi adalah :
SO42- + BaCl2 BaSO4 (endapan putih) + 2Cl-
Jadi, endapan yang terbentuk adalah endapan BaSO4 yang
berwarna putih.
Pada pengujian dengan larutan urea 10% dan reagen molybdat dan
FeSO4 terbentuk endapan hijau. Hal ini membuktikan bahwa di
dalam saliva terkandung ion PO42- ; yang bereaksi dengan urea,
molybdat, dan FeSO4. Reaksi yang terjadi adalah :
HPO4- + 3NH4
+ + 12MoO42- + 23H+ (NH4)3[P(Mo3O10)4] +
12H2O
Jadi, yang memberikan hasil positif adalah senyawa fosfat yang
membentuk endapan hijau.
2. Hidrolisis pati oleh saliva
Di dalam saliva terdapat enzim yang dapat menghidrolisis amilum
menjadi maltosa, enzim tersebut adalah amylase dan ptyalin. Pada
percobaan ini, saliva diencerkan 10 kali lalu direaksikan dengan
larutan pati pada suhu 37ºC. Mula-mula untuk 5 menit ke-1, larutan
yang diambil memberi hasil positif dengan uji Iodium terbentuk warna
biru gelap pada plat tetes. Pada 5 menit berikutnya larutan memberikan
warna cokelat ungu pada test iodium. Pada 5 menit ketiga setelah
larutan ditetesi Iodium memberikan warna coklat. Hal ini berarti
15
larutan Iod tidak bereaksi lagi karena amilum sudah diubah menjadi
maltosa.
Untuk membuktikan adanya maltosa dilakukan uji Benedict. Dengan
Benedict, maltosa hasil penguraian pati memberikan endapan Cu2O
pada 5 menit ketiga. Hal ini terjadi karena maltosa sebagai produk
akhir dari hidrolisis pati merupakan senyawa gula yang akan
mereduksi senyawa tembaga alkalis yang ada di dalamnya (larutan
Benedict), sehingga terbentuklah endapan Cu2O tersebut.
Reaksi : Glukosa + Cu2+ → as. Glukonat + Cu2O ↓ (endapan merah
bata)
Reaksi hidrolisis pati dengan amylase :
Pati → Amilodekstrin (biru) → eritrodekstrin (merah-coklat) →
Achodekstrin (tidak berwarna) → maltosa
Enzim amylase ditemukan pada tumbuhan dan jaringan hewan yang
menghodrolisis amilum dan glikogen menjadi maltosa ptyalin
ditemukan di saliva dan amylase berada di cairan pankreas cebagai
contohnya.
Amylase dibagi menjadi α dan β amylase. α amylase bereaksi dengan
amilosa dan amilopectin dan menghasilkan dekstrin yang berantai
pendek lalu dihidrolisis menjadi. Β amylase juga bereaksi dengan
amilosa menghasilkan maltosa juga dengan amilopktin tetapi hanya
50% yang diubah menjadi maltosa dan sisanya 50% dalam bentuk
dekstrin.
Jadi, zat yang terbentuk dari hasil hidrolisa pati adalah maltosa.
3. Pengaruh pH terhadap kerja amylase saliva
Seperti yang sudah diketahui bahwa aktivitas enzim tergantung pada
konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Begitu juga enzim amylase,
16
enzim ini mempunyai pH optimum yaitu sekitar 6,1- 6,8. Apabila
kondisi pH tidak sesuai, maka enzim amylase tidak akan bekerja secara
optimum.
Pada percobaan yang dilakukan oleh praktikan, tabung pertama berisi
pati 1% dan saliva pada kondisi asam pH 1 (karena penambahan HCl
0,4%) menunjukkan bahwa enzim amylse tidak dapat bekerja pada pH
asam. Hal ini dibuktikan dengan test Iodium yang berwarna biru gelap
yang menandakan bahwa amilum tidak terhidrolisis oleh saliva dan
dipertegas dengan test Benedict yaitu tidak adanya endapan. Pada
tabung kedua, saliva dan pati ditambahkan dengan asam laktat
sehingga didapatkan larutan yang bersifat agak asam (pH 5) kemudian
dilakukan test Iodium menunjukkan hasil yang positif (larutan
berwarna biru gelap) dan test Benedict yang negatif (tidak timbul
endapan). Selanjutnya saliva dan pati dikondisikan dalam pH netral
(pH 7). Pada pH netral ini enzim amylase dapat bekerja dengan baik
karena berada dalam pH optimum. Percobaan berikutnya saliva dan
pati berada dalam kondisi basa (pH 9) dan pada kondisi ini enzim
amylase tetap dapat bekerja dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan
test Iodium yang negatif dan test Benedict yang positif. Kedua test
tersebut menandakan bahwa enzim amylase dalam saliva bekerja
menghidrolisis pati menjadi maltosa.
Kerja enzim amylase dalam saliva dipengaruhi oleh pH, karena :
Terjadi denaturasi enzim pada nilai pH yang sangat tinggi ataupun
rendah.
Pada pH rendah atau tinggi, enzim maupun substrat dapat
mengalami perubahan muatan listrik akibat perubahan aktifitas
enzim. Misalnya, suatu reaksi enzim dapat berjalan bila enzim
bermuatan negatif dan substrat bermuatan positif. Reaksi :
Enz- + SH+ EnzSH
17
Pada pH rendah, enzim mengalami protonasi dan kehilangan muatan
negatifnya. Reaksi :
Enz- + H+ EnzH
Sedangkan pada pH tinggi, substat mengalami ionisasi dan
kehilangan muatan positifnya. Reaksi :
SH+ S + H+
Karena itu, pada pH yang tinggi atau rendah, konsentrasi efektif SH+
dan Enz- akan berkurang, sehingga kecepatan reaksi pun berkurang.
4. Pengaruh suhu terhadap kerja amylase saliva
Kerja enzim sangat dipenggaruhi oleh suhu. Pada batas-batas
temperatur tertentu, kecepatan reaksi yang dikatalisis enzim akan
mengalami kenaikan. Tetapi jika suhu terlalu tinggi ataupun terlalu
rendah, enzim dapat berhenti bekerja. Pada suhu tinggi, enzim akan
mengalami denaturasi sehingga tidak aktif lagi. Sedangkan pada suhu
rendah, aktivitas enzim akan berlangsung sangat lambat.
Percobaan yang dilakukan praktikan untuk mengetahui pengaruh suhu
pada enzim amylase tidak berhasil karena kesalahan dalam melakukan
prosedur percobaan. Pada suhu 0oC dan 60oC, didapatkan bahwa enzim
amylase masih bekerja menghidrolisis amilum menjadi maltosa,
ditandai dengan test Iodium negatif dan test Benedict positif.
Seharusnya pada suhu 0oC enzim amylase mengalami perlambatan
aktivitas dan pada suhu 60oC enzim amylase mengalami denaturasi
sehingga pada kedua suhu percobaan tersebut enzim amylase tidak
dapat menghidrolisis amilum.
Percobaan pada suhu 100oC juga kurang tepat karena pada test
Benedict didapatkan hasil positif yang menunjukkan adanya amilum
yang terhidrolisis menjadi maltosa. Kesalahan pada pelaksanaan
prosedur ini terjadi karena praktikan menambahkan saliva terlebih
dahulu pada larutan amilum 1% dan selanjutnya terlalu lama
18
mengkondisikan larutan uji pada temperatur percobaan sehingga enzim
amylase telah bekerja terlebih dahulu menghirolisis amilum.
Pada suhu tubuh (37 oC) dan pada suhu kamar, enzim amylase pada
saliva dapat bekerja dengan baik. Hasil percobaan pada kedua
temperatur tersebut sesuai dengan hasil yang seharusnya dicapai, yaitu
test Iodium negatif dan test Benedict positif.
5. Pengukuran aktivitas amylase saliva
Amylase saliva diukur secara tidak langsung yaitu dengan mengukur
serapannya sebagai akibat aktifitas amylase saliva. Substrat jika
direaksikan dengan Iodium akan membentuk kompleks biru ungu,
dimana adanya amylase saliva menyebabkan terbentuknya intensitas
warna yang berbeda sehingga serapannya dapat dibaca pada panjang
gelombang tertentu dan hasil serapannya dibandingkan terhadap
control sehingga diperoleh aktifitas amlase yaitu unit amylase/100 ml.
Pengukuran densitas optical harus segera dilakukan untuk mencegah
reaksi lebih lanjut.
Serapan Pada Panjang Gelombang 600nm :
Kontrol : 0,271 Ǻ
Uji 1 : 0,071 Ǻ
Uji 2 : 0,127 Ǻ
Perhitungan :
Aktivitas amylase =
ODcontrol−ODujiODcontrol
×800×pengenceran
Aktivitas amylase = unit amylase / 100 ml.
Uji 1:
19
Aktivitas amylase =
0 ,271−0 ,0710 ,271
×800×30
= 17712,17712 unit amylase/100 ml
Uji 2 :
Aktivitas amylase =
0 ,271−0 ,1270 ,271
×800×30
= 12752,76753 unit amylase/100 ml
Aktivitas amylase rata-rata =
17712 ,17712+12752 , 767532
= 15232,47233 unit amylase/100 ml
Pada hasil percobaan, didapatkan hasil yang berbeda antara uji 1 dan
uji 2. Seharusnya, aktivitas amylase pada kedua uji tersebut adalah
sama. Perbedaan hasil tersebut disebabkan karena enzim amylase pada
kedua uji tidak bekerja pada saat yang bersamaan, diakibatkan oleh
penambahan saliva ke dalam labu uji yang tidak dilakukan pada waktu
yang sama.
VII. Kesimpulan
1. Di dalam saliva terdapat zat organik dan anorganik.
2. Saliva mengandung protein dan karbohidrat, namun tidak mengandung
asam amino derivat monofenol seperti tirosin.
3. Aktivitas saliva dipengaruhi oleh pH dan suhu.
4. Enzim amylase yang dapat menghidrolisis pati menjadi maltosa, tidak
aktif pada kondisi asam dan dapat bekerja pada kondisi basa (pH 7-9).
Sedangkan suhu optimum agar enzim amylase dapat bekerja adalah
suhu kamar dan suhu tubuh.
5. Aktivitas enzim amylase saliva adalah sebesar unit amylase / 100 ml.
VIII. Daftar Pustaka
20
________, Penuntun Praktikum Biokimia, Laboratorium Biokimia,
Jurusan Farmasi, FMIPA UI, Depok, 1999.
Fessenden dan Fessenden, Kimia Organic, Edisi ketiga, Penerjemah
Pudjaatmaka Erlangga, Jakarta, 1992, 349.
21