19
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Massa Air4.1.1 Diagram TS
Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini
dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun yang tersebar sepanjang jalur
Arlindo (Gambar 6).
Gambar 1. Diagram TS
20
Pada Gambar 6 dapat dilihat diagram TS dari 6 titik stasiun yang tersebar
dari Laut Mindano sampai Selat Lombok. Setiap stasiun tersebut dibedakan
dengan warna. Berdasarkan digaram TS pada Gambar 6 terlihat bahwa nilai suhu,
salinitas dan dan densitasnya tidak terlalu berbeda jauh antar stasiun meskipun
jarak tiap stasiun cukup jauh. Hal ini membuktikan bahwa massa air yang berasal
dari Samudra Pasifik mengalir menuju Samudra Hindia melalui Selat Makassar
dan berakhir di Selat Lombok. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Wyrtki (1961)
yang menyatakan Arlindo merupakan pergerakan massa air yang berasal dari
Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia akibat adanya perbedaan tinggi
permukaan laut. Jika dilihat dari nilai salinitasnya, maka massa air yang dibawa
oleh Arlindo tersebut berasal dari Pasifik Utara dimana nilai salinitasnya tinggi
pada lapisan termoklinnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Gordon dan
Fine (1996) menyatakan bahwa massa air yang berasal dari Pasifik utara ditandai
dengan nilai salinitas maksimum pada lapisan termoklinnya. Dari diagram TS
dapat dilihat bahwa Arlindo melalui Selat Lombok.
4.1.2 Profil Melintang Suhu Selat Lombok
Profil melintang suhu merupakan profil suhu suatu perairan berdasarkan
kedalaman, bujur maupun lintang. Profil ini digunakan untuk mengetahui lapisan-
lapisan perairan. Tiap lapisan perairan tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda dimana suhu akan berkurang ditiap kedalaman. Gambar 7 merupakan
profil melintang suhu Selat Lombok berdasarkan 3 daerah pengamatan yang
dilakukan. Gambar 7 menunjukkan profil melintang suhu berdasarkan kedalaman
dan lintang dari 3 wilayah pengamatan di Selat Lombok. Pada Gambar 7 (a)
terlihat profil suhu dalam keadaan normal atau relatif stabil dimana tidak terlihat
adanya lekukan pada lapisan termoklin di kedalaman 100-180 m dengan suhu
17,5o-22,5oC yang menunjukkan kenaikan massa air. Pada Gambar 7 (b) sudah
terlihat sedikit lekukan dimana pada lapisan termoklin di kedalaman 100-180 m
dengan suhu 15o-22,5oC agak naik yang menyebabkan lapisan mix layer menjadi
kecil. Gambar tersebut menunjukkan pada daerah ini terjadi kenaikan massa
lemah. Hal tersebut dikarenakan adanya percampuran massa air yang relatif lemah
21
antara dua perairan yang berbeda. Untuk Gambar 7 (c) terlihat lekukan yang
sangat besar pada kedalaman 100-150 m dengan suhu 15o-22,5oC. Hal ini
menunjukkan kenaikan massa air yang yang kuat sehingga lapisan deep layer dan
termoklin terangkat keatas yang mengakibatkan lapisan mix layer menjadi sangat
kecil.
Gambar 2. Profil Melintang Suhu Selat Lombok(a) utara Pulau Bali (b) Selat Lombok (c) selatan Pulau Bali
b
a
c
22
Menurut Hendiarti et al. (2004), menjelaskan bahwa peningkatan klorofil-
a di selatan Jawa sampai Nusa Tengara karena adanya mekanisme upwelling yang
semakin intensif. Kenaikan massa air tersebut ditunjukkan dengan suhu perairan
menjadi lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ilahude et al. (1990) yang
menyatakan bahwa upwelling umumnya menurunkan suhu, menaikan nilai
salinitas, oksigen dan juga berbagai unsur hara atau nutrien di tempat terjadinya
upwelling. Daerah pada Gambar 7 (a) dan (b) suhu permukaannya lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah pada Gambar 7 (c). Jika dilihat dari suhu
permukaannya, Gambar 7 (a) dan (b) merupakan massa air dari Samudra Pasifik
yang dibawa oleh Arlindo, sedangkan Gambar 7 (c) merupakan massa air yang
berasal dari Samudra Hindia (Gambar 8). Hal tersebut menunjukkan bahwa massa
air dari Samudra Pasifik cenderung lebih hangat dibandingkan dengan massa air
yang berasal dari Samudra Hindia (Gambar 8).
Gambar 3. Grafik Perbandingan Suhu Perairan
Pada Gambar 8 terlihat bahwa suhu massa air di Samudra Hindia yang
diwakili oleh Selat Lombok cenderung lebih rendah dibandingkan dengan suhu di
Selat Makassar Laut Sulawesi, Laut Halmahera, Laut Mindano yang merupakan
perairan yang dipengaruhi oleh Samudra Pasifik. Hal ini menunjukkan massa air
23
yang dibawa Arlindo dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia merupakan massa
air yang hangat. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Wyrtki (1961) yang
menyatakan bahwa Arlindo membawa massa air yang lebih hangat ke Samudra
Hindia. Suhu di perairan Samudra Pasifik berkurang seiring perjalanan Arlindo ke
Samudra Pasifik. Perbedaan suhu antara kedua samudra tersebut tidak besar yaitu
sekitar 0,859oC.
4.2 Distribusi Spasial SPL dan Klorofil-a di Selat Lombok4.2.1 Visualisasi SPL dan Klorofil-a Musim Barat Awal Tahun 2008
Pada Gambar 9 menunjukkan sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a
pada musim barat awal yaitu bulan Januari-Februari tahun 2008. Suhu permukaan
laut dan klorofil-a dibedakan dengan warna dan kontur. Warna merupakan suhu
permukaan laut, sedangkan kontur merupakan klorofil-a. Berdasarkan hasil
visualisasi suhu permukaan laut pada bulan Januari 26,62o-30,15 oC dengan rata-
rata 28,44oC, bulan Februari 27,23o-28,42oC dengan rata-rata 27,97oC. Untuk
konsentrasi klorofil-a pada bulan Januari 0,101-0,978 mg m-3 dengan rata-rata
klorofil-a yaitu 0,315 mg m-3, bulan Februari 0,138-0,656 mg m-3 dengan rata-rata
klorofil-a yaitu 0,257 mg m-3 (Lampiran 1).
Hasil visualisasi menunjukkan pada musim barat awal suhu permukaan
laut cukup tinggi yaitu berkisar 26,62o-30,15oC. Hal ini disebabkan pada musim
barat matahari berada pada bumi bagian selatan sehingga daerah yang berada di
selatan mendapatkan pancaran sinar matahari yang lebih banyak secara terus
menerus sehingga mengakibatkan suhu permukaan laut pada musim ini sangat
tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nontji (1987) dimana pada saat
musim barat bumi bagian utara mengalami musim dingin, sedangkan pada bumi
bagian selatan musim panas.
Pada Gambar 9 (1a) dan (2a) terlihat pada saat suhu permukaan laut
rendah yaitu 26,8 o-27,4 oC, konsentrasi klorofil-a nya lebih tinggi yaitu 0,35-0,6
mg m-3 dibandingkan dengan klorofil-a pada suhu permukaan air yang lebih
tinggi. Hal ini disebabkan karena pada daerah dengan suhu rendah lebih banyak
24
terdapat banyak nutrien dibandingkan dengan suhu tinggi sehingga nilai
konsentrasinya tinggi akibat adanya kenaikan massa air.
Gambar 4. SPL dan Klorofil-a Selat Lombok Musim Barat Awal 2008
Berbanding terbalik dengan suhu permukaan laut pada daerah yang dekat
dengan daratan yang memiliki suhu permukaan laut yang tinggi yaitu 28o-28,8oC
akan tetapi konsentrasi klorofilnya juga tinggi yaitu 0,4-0,7 mg m-3 seperti pada
Gambar 9 (1b). Hal ini dapat disebabkan karena pada daerah ini terdapat nutrien
yang tinggi yang berasal dari sungai yang menyebabkan konsentrasi klorofil-a nya
menjadi tinggi. Meningkatnya nutrien terlarut bisa disebabkan oleh meningkatnya
intensitas upwelling yang membawa serta nutrien dari lapisan bawah, dan untuk
daerah pantai juga bisa karena meningkatnya curah hujan yang membawa
limpasan nutrien dari darat ke laut melalui muara sungai (Hendiarti et al. 2004).
Kedua hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nontji (1984) yang menyatakan
bahwa faktor suhu dan nutrien berpengaruh terhadap tingkat kesuburan suatu
perairan.
4.2.2 Visualisasi SPL dan Klorofil-a Musim Peralihan I Tahun 2008
Musim Peralihan I merupakan musim peralihan dari musim barat menuju
musim timur. Musim ini berlangsung hampir selama 3 bulan yaitu dari bulan
a 21
b
a
FEBJAN
25
Maret-Mei. Pada Gambar 10 menunjukkan sebaran suhu permukaan laut dan
klorofil-a pada bulan Maret-Mei tahun 2008. Suhu permukaan laut dan klorofil-a
dibedakan dengan warna dan kontur. Warna merupakan suhu permukaan laut,
sedangkan kontur merupakan klorofil-a.
Gambar 5. SPL dan Klorofil-a Selat Lombok Musim Peralihan I 2008
Berdasarkan hasil visualisasi suhu permukaan laut pada bulan Maret
berkisar 26,77o-28,88oC dengan rata-rata SPL 28,23oC, bulan April 27,23o-
30,30oC dengan rata-rata 29,28oC, bulan Mei 25,20o-29,92 oC dengan rata-rata
b
a
c
a b
b
ca
MAR
APR MEI
1
2 3
26
28,68oC. Untuk konsentrasi klorofil-a pada bulan Maret yaitu berkisar 0,101-
0,518 mg m-3 dengan rata-rata klorofil-a yaitu 0,202 mg m-3, bulan April 0,102-
0,622 mg m-3 dengan rata-rata klorofil-a yaitu 0,241 mg m-3, bulan Mei 0,073-
0,732 mg m-3 dengan rata-rata klorofil-a yaitu 0,217 mg m-3 (Lampiran 1).
Hasil visualisasi menunjukkan pada musim peralihan I suhu permukaan
laut masih cukup tinggi yaitu 26,77o-30,30oC akan tetapi suhunya sudah mulai
menurun akibat peralihan musim dari musim barat ke musim timur dimana
matahari sedang berpindah ke arah bumi bagian utara. Pada Gambar 10 (1a), (2a),
(3a), dan (3b) suhu permukaan lautnya sangat rendah dibandingkan dengan daerah
sekitarnya yaitu 26,2o-27,2oC. Hal ini disebabkan adanya kenaikan massa air yang
berasal dari dasar perairan yang membawa suhu yang lebih rendah serta nutrien
yang lebih tinggi. Nutrien tersebut menyebabkan daerah dengan suhu permukaan
laut yang rendah memiliki konsentrasi klorofil-a yang lebih tinggi yang dapat
terlihat pada kontur klorofil-a di daerah tersebut (Ilahude et al. 1990).
Hal tersebut bertolak belakang dengan konsentrasi klorofil-a yang berada
di dekat daratan dengan suhu permukaan laut yang cukup tinggi yaitu 28o-30oC
akan tetapi konsentrasi klorofilnya juga tinggi yaitu 0,3-0,44 mg m-3 seperti pada
Gambar 10 (1b) dan (2b). Hal tersebut diduga karena melimpahnya kandungan
nutrien pada daerah pesisir yang berasal dari sungai (Hendiarti et al. 2004). Untuk
Gambar 10 (2c) dan (3c) terlihat adanya percampuran massa air yang memiliki
suhu yang lebih tinggi yaitu 29o-30oC dengan suhu yang lebih rendah yaitu 28o-
28,8oC. Hal ini mengindikasikan adanya pertemuan dua massa air yang berasal
dari samudra yang berbeda yang dibawa oleh Arlindo yang terlihat pada Gambar
10 (2c) dan (3c). Hal ini sesuai dengan pernyataan Gordon dan Fine (1996) yang
menyatakan Arlindo membawa massa air dari Samudra Pasifik keluar menuju
Samudra Hindia melalui jalur kepulauan Indonesia yang mengakibatkan
percampuran massa air.
4.2.3 Visualisasi SPL dan Klorofil-a Musim Timur Tahun 2008
Pada Gambar 11 menunjukkan sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a
pada bulan Juni-Agustus tahun 2008. Suhu permukaan laut dan klorofil-a
27
dibedakan dengan warna dan kontur. Warna merupakan suhu permukaan laut,
sedangkan kontur merupakan klorofil-a. Berdasarkan hasil visualisasi suhu
permukaan laut pada bulan Juni berkisar 25,20o-29,33oC dengan rata-rata SPL
28oC, bulan Juli 24,67o-28,42oC dengan rata-rata 27,59 oC, bulan Agustus 24,30o-
28,27oC dengan rata-rata 27,27oC.
Gambar 6. SPL dan Klorofil-a Selat Lombok Musim Timur 2008
Berdasarkan hasil visualisasi suhu permukaan laut pada bulan Juni
berkisar 25,20o-29,33oC dengan rata-rata SPL 28oC, bulan Juli 24,67o-28,42oC
a b
c
cb
a
cb
a
d
JUN
JUL AGS
1
2 3
28
dengan rata-rata 27,59 oC, bulan Agustus 24,30o-28,27oC dengan rata-rata
27,27oC. Untuk konsentrasi klorofil-a pada bulan Juni yaitu berkisar 0,158-0,837
mg m-3 dengan rata-rata klorofil-a yaitu 0,248 mg m-3, bulan Juli 0,158-0,709 mg
m-3 dengan rata-rata klorofil-a yaitu 0,267 mg m-3, bulan Agustus 0,149-0,990 mg
m-3 dengan rata-rata klorofil-a yaitu 0,243 mg m-3 (Lampiran 1). Hasil visualisasi
menunjukkan pada musim timur suhu permukaan lautnya cenderung rendah
dibanding dengan musim-musim sebelumnya yaitu 24,30o-29,33oC. Hal ini
disebabkan karena pada musim ini matahari sedang berada di bumi bagian utara
dimana intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut tidak sebesar
dibandingkan dengan musim sebelumnya sehingga suhu permukaan lautnya
cenderung lebih rendah (Wyrtki 1961). Pada Gambar 11 (1a) dan (2a) suhu
permukaan laut terlihat keluar melalui celah Selat Lombok antara Pulau Nusa
Penida di sebelah barat daya dan Pulau Lombok di sebelah timur yang gambarkan
dengan warna hijau pada peta. Hal tersebut disebabkan karena pada musim ini
transpor Arlindo paling tinggi dibandingkan dengan musim-musim lain. Hal ini
diperkuat melalui penelitian Gordon dan Susanto (2003), dimana laju transport
Arlindo tertinggi di Selat Makassar ditemukan pada saat Muson Tenggara, yaitu
selama bulan Juni-Agustus.
Untuk Gambar 11 (2d) dan (3c) terlihat percampuran massa air dimana
terdapat suhu permukaan yang berbeda dengan daerah sekitarnya terutama terlihat
jelas pada Gambar 11 (3c). Hal tersebut diduga karena arus yang berasal dari
Arlindo dengan arus yang berasal dari Samudra Hindia sama kuat sehingga terjadi
percampuran. Kemudian untuk Gambar 11 (1b), (1c), (2b), (2c), (3a) dan (3b)
terlihat suhu permukaan laut yang sangat rendah yaitu 24,30o-26,2oC jika
dibandingkan daerah sekitar dan tingginya konsentrasi klorofil-a di daerah
tersebut yaitu 0,3-0,78 mg m-3. Sebelumnya hal tersebut sudah mulai terlihat pada
musim peralihan I yaitu pada bulan April dan Mei akan tetapi daerah cakupannya
masih belum luas jika dibandingkan dengan musim timur pada bulan Juni-
Agustus. Menurut Hendiarti et al. (2004) terjadi upwelling disekitar selatan Jawa
sampai Nusa Tenggara sehingga mengakibatkan suhu rendah dan konsentrasi
klorofil yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya upwelling disekitar
29
selatan Bali dan juga Nusa Tenggara Barat yang terlihat pada peta. Selanjutnya
pada Gambar 11 (3b) suhu permukaanya yang rendah yaitu 24,30o-26,2oC sudah
mulai menutupi suhu permukaan laut yang lebih tinggi sehingga tidak lagi terlihat
massa air yang keluar melalui celah seperti pada dua bulan sebelumnya.
4.2.4 Visualisasi SPL dan Klorofil-a Musim Peralihan II tahun 2008
Musim Peralihan II merupakan musim peralihan dari musim timur menuju
musim barat. Musim ini berlangsung hampir selama 3 bulan yaitu dari bulan
September-November. Pada Gambar 12 menunjukkan sebaran suhu permukaan
laut dan klorofil-a pada bulan September-November tahun 2008. Suhu permukaan
laut dan klorofil-a dibedakan dengan warna dan kontur. Warna merupakan suhu
permukaan laut, sedangkan kontur merupakan klorofil-a. Berdasarkan hasil
visualisasi suhu permukaan laut pada bulan September berkisar 25,12o-29,4oC
dengan rata-rata SPL 28,21oC, bulan Oktober 25,88o-30,08oC dengan rata-rata
28,83oC, bulan November 26,77o-31,05oC dengan rata-rata 29,59oC. Untuk
konsentrasi klorofil-a pada bulan September yaitu berkisar 0,147-0,765 mg m-3
dengan rata-rata klorofil-a yaitu 0,242 mg m-3, bulan Oktober 0,131-0,946 mg m-3
dengan rata-rata klorofil-a yaitu 0,232 mg m-3, bulan November 0,096-0,936 mg
m-3 dengan rata-rata klorofil-a yaitu 0,204 mg m-3 (Lampiran 1).
Hasil visualisasi menunjukkan suhu permukaan pada musim peralihan II
mulai meningkat kembali dari bulan ke bulan. Hal ini disebabkan karena pada
musim ini matari mulai menuju bumi bagian selatan kembali yang artinya suhu
permukaan lautnya berangsur-angsur mendapatkan sinar matahari yang lebih
besar dibanding pada musim timur sehingga suhunya lebih tinggi yaitu 25,12o-
30,08oC. Pada Gambar 12 (1a) dan (1b) terlihat profil sebaran suhu permukaan
lautnya hampir sama seperti pada musim timur. Hal tersebut karena awal musim
peralihan II masih cukup besar pengaruh dari musim timur dimana terdapat suhu
permukaan yang rendah di selatan Pulau Nusa Penida dan selatan Pulau Lombok.
Pada Gambar 12 (1c) masih terdapat celah keluaran massa air diantara dua
pulau tersebut. Untuk Gambar 12 (2a) dan (3a) menunjukkan percampuran massa
air yang memiliki suhu permukaan laut yang berbeda dimana arus yang berasal
30
dari Arlindo dengan arus yang berasal dari Samudra Hinda sama kuatnya
membawa kedua massa air tersebut. Pada Gambar 12 (2b) massa air dengan suhu
permukaan laut yang sangat rendah yaitu 26o-27oC, luasannya semakin mengecil
jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Hal ini disebabkan pergerakan
massa air itu sendiri dan juga akibat adanya percampuran massa air. Selanjutnya
untuk konsentrasi klorofil-a pada musim ini cenderung menurun dibandingkan
dengan musim lainnya karena pengaruh dari meningkatnya suhu permukaan laut.
Gambar 7. SPL dan Klorofil-a Selat Lombok Musim Peralihan II 2008
b a
a
c
a
b
SEP
OKT NOV
1
2 3
31
4.2.5 Visualisasi SPL dan Klorofil-a Musim Barat Akhir tahun 2008
Pada Gambar 13 menunjukkan sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a
pada musim barat akhir yaitu bulan Desember tahun 2008. Suhu permukaan laut
dan klorofil-a dibedakan dengan warna dan kontur. Warna merupakan suhu
permukaan laut, sedangkan kontur merupakan klorofil-a. Berdasarkan hasil
visualisasi suhu permukaan laut pada bulan Desember berkisar 28o-31,12oC
dengan rata-rata SPL 29,75oC. Untuk konsentrasi klorofil-a pada bulan Desember
yaitu berkisar 0,056-0,675 mg m-3 dengan rata-rata klorofil-a yaitu 0,220 mg m-3
(Lampiran 1).
Gambar 8. SPL dan Klorofil-a Selat Lombok Musim Barat Akhir 2008
Hasil visualisasi menunjukkan pada musim barat akhir suhu permukaan
laut sangat tinggi yaitu berkisar 28o-30,15oC. Hal ini disebabkan pada musim
barat bumi bagian selatan sedang mengalami musim panas. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Nontji (1987) dimana pada saat musim barat bumi bagian utara
mengalami musim dingin, sedangkan pada bumi bagian selatan musim panas.
Pada Gambar 13 (1a) terlihat terjadinya percampuran antara dua massa air. Massa
air dengan suhu permukaan laut lebih tinggi yaitu 29,6o-31,12oC yang berada di
utara merupakan massa air dari Samudra Pasifik yang dibawa oleh Arlindo,
sedangkan massa air dengan suhu permukaan laut yang lebih rendah yaitu 28o-
29,2oC berasal dari Samudra Hindia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Fieux
b
a
DES 1
32
et al. (1996) yang menyatakan bahwa Arlindo membawa massa air yang hangat
yang berasal dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia dimana pertemuannya
terjadi di keluaran Arlindo. Suhu permukaan laut pada daerah yang dekat dengan
daratan yang memiliki suhu permukaan laut yang tinggi yaitu 28o-30oC akan
tetapi konsentrasi klorofilnya juga tinggi yaitu 0,4-0,5 mg m-3 seperti pada
Gambar 13 (1b). Hal ini dapat disebabkan karena pada daerah ini terdapat nutrien
yang tinggi yang berasal dari sungai yang menyebabkan konsentrasi klorofil-a nya
menjadi tinggi.
4.3 Arus Permukaan Laut Selat Lombok4.3.1 Profil Arus Permukaan Musim Barat Awal Tahun 2008
Pada Gambar 14 berikut merupakan hasil pengolahan distribusi spasial
arus permukaan laut pada musim barat Selat Lombok pada musim barat awal
tahun 2008 yang diperoleh dari data citra satelit NOAA.
Gambar 9. Arus Permukaan Laut Selat Lombok Musim Barat Awal 2008
Gambar 14 menunjukkan arah pergerakan dan kecepatan arus di Selat
Lombok selama musim barat yaitu bulan Januari-Februari. Berdasarkan hasil
visualiasasi arus permukaan pada bulan Januari 0,139-0,444 ms-1 dan bulan
Februari 0,025-0,344 ms-1. Arus terkuat berada pada bulan Januari, sedangkan
untuk arus terlemah berada pada bulan Februari. Pada Gambar 14 terlihat bahwa
JAN FEB
33
pada musim barat terlihat variasi arah pergerakan arus ditiap bulannya akan tetapi
rata-rata pergerakan arusnya mengarah ke timur dan menguat disekitar Selatan.
Hal mengindikasikan bahwa arus permukaan pada musim ini dipengaruhi oleh
Arus Pantai Jawa (APJ), dimana arus tersebut mengalir sepanjang Pantai Jawa
sampai ke Lombok sehingga arus inilah yang lebih terlihat dibandingkan dengan
Arlindo di permukaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sprintall et al.
(2003) bahwa arus Arlindo pada lapisan termoklin di Selat Lombok mengarah ke
Selatan dengan kecepatan arus yang bervariasi.
4.3.2 Profil Arus Permukaan Musim Peralihan I Tahun 2008
Pada Gambar 15 menunjukkan arah pergerakan dan kecepatan arus di
Selat Lombok selama musim peralihan I yaitu pada bulan Maret-Mei.
Gambar 10. Arus Permukaan Laut Selat Lombok Musim Peralihan I 2008
MAR
APR MEI
34
Berdasarkan hasil visualiasasi arus permukaan pada bulan Maret
kecepatan arus yaitu 0,064-0,260 ms-1, bulan April 0,203-0,388 ms-1, dan bulan
Mei 0,330-0,812 ms-1. Arus terkuat berada pada bulan Mei, sedangkan untuk arus
terkuat berada pada bulan Maret. Pada Gambar 15 terlihat bahwa pada musim
peralihan I terlihat variasi arah pergerakan arus ditiap bulannya akan tetapi rata-
rata pergerakan arusnya mengarah ke timur dan menguat di sekitar utara. Hal
tersebut dikarenakan pada arus permukaan mendapat pengaruh dari Arus Monsun
Indonesia (Armondo) dimana arus tersebut mengalir dari Laut Cina Selatan masuk
ke Selat Karimata kemudian melalui Pantai Utara Jawa sampai Laut Flores dan
Laut Banda. Hal tersebut Sesuai dengan pernyataan Ilahude (1996) yang
menyatakan bahwa Armondo mengalir dari Laut Cina masuk ke Jawa melalui
Laut Natuna dan Selat Karimata yang kemudian menuju Laut Flores dan Laut
Banda. Arlindo dipermukaan tidak terlihat dengan jelas karena pengaruhnya arus
dipermukaan lebih didominasi oleh Arus Muson. Arus Arlindo lebih terlihat
mengarah ke selatan pada lapisan termoklin menurut penelitian Sprintall et al.
(2003).
4.3.3 Profil Arus Permukaan Musim Timur Tahun 2008
Pada Gambar 16 menunjukkan arah pergerakan dan kecepatan arus di
Selat Lombok selama musim timur. Berdasarkan hasil visualiasasi arus
permukaan pada bulan Juni kecepatan arus yaitu 0,496-0,946 ms-1, bulan Juli
0,540-1,181 ms-1, dan bulan Agustus 0,435-0,883 ms-1. Arus pada musim ini
sangat kuat dimana arus terkuat berada pada bulan Juli, sedangkan untuk arus
terlemah berada pada bulan Agustus. Pada Gambar 16 terlihat bahwa pada musim
timur tidak terlihat variasi pergerakan arah arusnya. Pada musim ini pergerakan
arus cenderung menuju tenggara. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh dari arus
sakal khatulistiwa dimana arus tersebut mengalirkan arus menuju tenggara. Untuk
Arlindo pada peta tidak terlihat, hal ini disebabkan Arlindo berada pada lapisan
termoklin sehingga arus permukaan yang dipengaruhi oleh angin tidak
menunjukkan arah dari Arlindo itu sendiri.
35
Gambar 11. Arus Permukaan Laut Selat Lombok Musim Timur 2008
4.3.4 Profil Arus Permukaan Musim Peralihan II Tahun 2008
Pada Gambar 17 menunjukkan arah pergerakan dan kecepatan arus di
Selat Lombok selama musim peralihan II. Berdasarkan hasil visualiasasi arus
permukaan pada bulan September kecepatan arus yaitu 0,325-0,734 ms-1, bulan
Oktober 0,263-0,670 ms-1, dan bulan November 0,113-0,323 ms-1. Arus terkuat
berada pada bulan September, sedangkan untuk arus terlemah berada pada bulan
November. Pada Gambar 17 terlihat bahwa pada musim timur tidak terlihat
variasi pergerakan arah arusnya. Pada musim ini pergerakan arus menuju tenggara
JUN
JUL AGS
36
dan menguat disekitar selatan. Hal ini diduga mendapat pengaruh dari APJ dan
arus sakal khatulistiwa sehingga arah arus yang mengarah ke tenggara di bagian
selatan sangat kuat.
Gambar 12. Arus Permukaan Laut Selat Lombok Musim Peralihan II 2008
4.3.5 Profil Arus Permukaan Musim Barat Akhir Tahun 2008
Pada Gambar 18 berikut merupakan hasil pengolahan distribusi spasial
arus permukaan laut pada musim barat Selat Lombok pada musim barat akhir
tahun 2008 yang diperoleh dari data citra satelit NOAA. Gambar 18 menunjukkan
arah pergerakan dan kecepatan arus di Selat Lombok selama musim barat yaitu
bulan Desember. Berdasarkan hasil visualiasasi arus permukaan pada
SEP
OKT NOV
37
Berdasarkan hasil visualiasasi arus permukaan pada bulan Desember kecepatan
arus yaitu 0,1048-0,2237 ms-1. Pada Gambar 18 terlihat bahwa pada musim barat
terlihat pergerakan arah arus mengarah ke timur dan menguat disekitar Selatan.
Hal mengindikasikan bahwa arus permukaan pada musim ini dipengaruhi oleh
Arus Pantai Jawa (APJ), dimana arus tersebut mengalir sepanjang Pantai Jawa
sampai ke Lombok sehingga arus inilah yang lebih terlihat dibandingkan dengan
Arlindo di permukaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sprintall et al.
(2003) bahwa arus Arlindo pada lapisan termoklin di Selat Lombok mengarah ke
Selatan dengan kecepatan arus yang bervariasi.
Gambar 13. Arus Permukaan Laut Selat Lombok Musim Barat Akhir 2008
4.4 Distribusi dan Daerah Migrasi Ikan Cakalang
Indonesia merupakan salah satu tempat penyebaran dan daerah migrasi
dari ikan cakalang. Pada Gambar 19 menunjukkan distribusi dan pola migrasi ikan
cakalang di Indonesia. Warna merah merupakan daerah distribusi ikan cakalang
yang sudah pasti, warna putih merupakan daerah yang belum pasti terdapat ikan
cakalang, dan untuk arah menunjukkan pola migrasi ikan cakalang. Berdasarkan
peta tersebut Selat Lombok merupakan daerah penyebaran sekaligus daerah
migrasi ikan cakalang di Indonesia dimana pola migrasi ikan cakalang tersebut
hampir mengikuti pola migrasi tuna dunia dan arus Arlindo. Hal tersebut sesuai
DES
38
dengan pernyataan Uktolseja et al. (1989) yang menyatakan bahwa penyebaran
cakalang di perairan Indonesia meliputi Samudra Hindia (Sepanjang pantai utara
dan timur Aceh, perairan Barat Sumatra, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara),
Perairan Indonesia bagian Timur (Laut Sulawesi, Maluku, Arafuru, Banda, Flores
dan Selat Makassar) dan Samudra Pasifik (perairan Utara Irian Jaya).
Gambar 14. Distribusi dan Pola Migrasi Ikan Cakalang di Indonesiaa) Lokasi Penelitian (Sumber : FAO (modifikasi))
4.5 Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Hasil Tangkapan Ikan
Daerah tempat hidup ikan cakalang yang optimal tidak lepas dari suhu
disuatu perairan sehingga untuk mengatahui habitat, sebaran, serta pola migrasi
yang sesuai dengan diperlukan hubungan antara suhu dengan hasil tangkapan ikan
ini. Pada grafik (Gambar 20) dapat terlihat suhu rata-rata maksimum Selat
Lombok berada pada bulan Januari dengan SPL 29,75oC, untuk SPL terendah
berada pada bulan Agustus yaitu 27,28oC. Dilihat dari data hasil penangkapan
menunjukkan bahwa ikan calakang lebih banyak berada pada sekitar bulan
September-November dimana hasil tangkapan pada bulan tersebut sangat banyak.
Untuk hasil tangkapan maksimum berada pada bulan Oktober yaitu sebesar
165.642 kg (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan ikan cakalang dapat ditangkap
a
Skipjack Migration
Study Location
39
sepanjang tahun, akan tetapi banyaknya hasil tangkapan berbeda tiap musimnya.
Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Nikijuluw (1986), yang menyatakan
bahwa penangkapan cakalang dan tuna di perairan Indonesia dapat dilakukan
sepanjang tahun dan hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke musim dan
bervariasi menurut lokasi penangkapan.
Gambar 15. Grafik Hubungan SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Cakalang
Pada Gambar 20 bulan Januari-Desember terlihat variasi antara kedua
parameter sehingga tidak menunjukkan kesamaan antara suhu permukaan laut
dengan hasil tangkapan ikan cakalang. Akan tetapi, terlihat pada grafik (Gambar
20), untuk suhu permukaan laut yang hangat hasil tangkapan ikan cakalang
meningkat sehingga diperkirakan ikan cakalang optimal hidup pada suhu perairan
yang cukup hangat yaitu berkisar 27o-29oC.
Dilihat dari hasil visualisasi SPL di Selat Lombok secara horizontal pada
setiap bulannya suhu rata-ratanya berkisar 27o-29oC (Gambar 20). Untuk sebaran
suhu secara vertikal di Selat Lombok, pada lapisan mix layer dengan kedalaman
0-100 m suhunya yaitu berkisar 26o-30oC dan pada lapisan termoklin dengan
kedalaman 100-200 m suhunya antara 15o-25oC (Gambar 7). Maka jika dilihat
40
profil suhu di Selat Lombok baik secara horizontal dan spasial, ikan cakalang
sangat cocok hidup dan dapat ditangkap di Selat Lombok dengan kedalaman 0-
200 m dan pada setiap bulannya menggunakan metode penangkapan yang berbeda
juga. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Jones dan Silas (1962) menyatakan
bahwa ikan cakalang hidup antara suhu 16o-30oC dimana suhu optimumnya yaitu
28oC. Selanjutnya jika dilihat dari peta distribusi dan pola migrasi ikan cakalang
di Indonesia (Gambar 19), Selat Lombok merupakan daerah distribusi,
penyebaran dan juga migrasi ikan cakalang dari Samudra Hindia sehingga daerah
ini sesuai sebagai daerah penangkapan ikan cakalang.
4.6 Hubungan Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan Ikan
Daerah penangkapan ikan cakalang biasanya berada di daerah pertemuan
antara arus hangat dan arus dingin sehingga terjadi percampuran massa air
mengakibatkan daerah tersebut cukup subur untuk ikan cakalang hidup dan
mencari makan. Untuk melihat tingkat kesuburan suatu perairan yaitu dengan
melihat konsentrasi klorofil-a disuatu wilayah.
Gambar 16. Grafik Hubungan SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Cakalang
41
Pada grafik (Gambar 21) dapat terlihat konsentrai klorofil-a maksimum
Selat Lombok berada pada bulan Januari dengan rata-rata konsentrasi 0,315 mg
m-3, untuk rata-rata konsentrasi klorofil-a terendah berada pada bulan Maret yaitu
0,202 mg m-3. Untuk hasil tangkapan maksium berada pada bulan Oktober yaitu
sebesar 165.642 kg (Lampiran 2). Untuk lebih jelas dalam menganalisis hubungan
klorofil-a dengan hasil tangkapan ikan cakalang dapat dilihat melalui grafik
hubungan. Gambar 21 merupakan grafik hubungan klorofil-a terhadap hasil
tangkapan ikan cakalang selama setahun dari bulan Januari-Desember tahun 2008
di Selat Lombok.
Pada Gambar 21 bulan Januari-Desember terlihat variasi antara kedua parameter
sehingga tidak menunjukkan kesamaan antara klorofil-a dengan hasil tangkapan
ikan cakalang. Akan tetapi terlihat pada grafik adanya kenaikan hasil tangkapan
berbanding lurus terhadap kenaikan konsentrasi klorofil-a pada bulan Mei-Juli.
Hal ini dapat diidentifikasikan bahwa klorofil-a berpengaruh terhadap hasil
tangkapan ikan cakalang di Selat Lombok dimana rata-rata konsentrasi klorofil-a
yang optimum yaitu berkisar 0,21-0,26 mg m-3. Variasi ini diduga pada saat
tersebut ikan cakalang sedang bemigrasi ataupun pada saat itu nelayan sedang
tidak melaut.