26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Perairan Stasiun Pengamatan
Berdasarkan pengamatan di lapangan kondisi perairan pada setiap stasiun
pengamatan dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Stasiun I terletak di koordinat 000 59’ 43.9” LU dan 104
0 38’ 40.7” BT
dimana pada wilayah ini cukup dekat pemukiman warga yang kurang padat
penduduk namun terdapat aktivitas penambangan pasir dan konstruksi
pembangunan dermaga. Stasiun ini memiliki substrat berjenis pasir lumpuran
yang mana disekitar wilayah tersebut terdapat dermaga dan tambak ikan yang
berjarak ± 200 meter dari stasiun ini. Topografi pada perairan ini merupakan
jenis perairan dangkal.
2. Stasiun II terletak di teluk dengan pemukiman nelayan yang padat penduduk
di koordinat 000 59’ 11.4” LU dan 104
0 38’ 8.2” BT. Stasiun ini memiliki
substrat jenis lumpur kehitaman yang juga merupakan daerah ekosistem
mangrove dan dekat dengan muara Sungai Kawal.
3. Stasiun III terletak cukup jauh dari stasiun I dan II dengan koordinat 010 01’
21.0” LU dan 1040 39’ 33.2” BT. Stasiun ini memiliki substrat jenis pasir
pecahan kerang dengan perairan yang cukup dalam dimana tempat ini dipakai
sebagai objek wisata.
4.2 Kondisi Lingkungan Perairan
4.2.1 Suhu dan Salinitas
Suhu air laut di perairan Bintan Timur pada bulan Mei 2013 menunjukkan
nilai yang beragam. Suhu lapisan permukaan bervariasi antara 30°C - 33°C.
Berdasarkan Peta Oseanografi Wilayah Perairan Indonesia (BRKP 2002)
temperatur air permukaan di perairan sekitar Bintan, pada Musim Barat
(Desember – Februari) berkisar 27 – 28 oC, Musim Peralihan dari Barat ke Timur
(Maret - Mei) 29 – 29,5 oC, Musim Timur (Juni - Agustus) 31 – 31,5
oC, Musim
Peralihan dari Timur ke Barat (September - November) 29 – 29,5 oC. Perbedaan
27
data lapangan yang didapat dengan data BRKP berbeda cukup jauh hal ini
dipengaruhi oleh lokasi pengambilan data di dekat pesisir.
Gambar 1. Peta Sebaran Suhu Permukaan di Perairan Bintan Timur
Pada gambar 6 terlihat penurunan suhu pada Stasiun I dan III dimana
penurunan suhu ini dipengaruhi oleh kedalaman perairan yang setiap sub
stasiunnya semakin dalam yaitu 2 meter, 5 meter, dan 8 meter. Kisaran perbedaan
suhu air laut di perairan Bintan Timur dalam penelitian bulan Mei pada Stasiun II
adalah sekitar 1°C, dimana terjadi peningkatan suhu pada kedalaman 5 meter.
Perbedaan suhu tersebut masih tergolong kecil karena kurang dari 2°C dan
termasuk dalam batas normal variasi nilai suhu air laut pada perairan laut dangkal.
Nilai suhu air maksimum dalam penelitian berkisar 33°C yang dijumpai
pada lapisan permukaan di stasiun I, dimana pengamatan dilakukan pada pagi hari
menjelang siang dalam kondisi air laut dari pasang menuju surut. Menurut Wyrtki
(1961), tingginya suhu permukaan laut di Indonesia disebabkan oleh posisi
geografis Indonesia yang terletak di wilayah ekuator yang merupakan daerah
penerima panas matahari yang banyak, dimana suhu tertinggi terjadi pada bulan
April-Mei. Sementara nilai rata-rata suhu air laut pada kedalaman 2 meter adalah
31.7oC, kedalaman 5 meter adalah 31.4
oC, dan kedalaman 8 meter adalah 30.9
oC
28
sedangkan nilai suhu minimum berkisar 30°C yang diperoleh di Stasiun III lebih
kecil dibandingkan stasiun lain, hal ini disebabkan karena pengambilan data
diambil pada saat pasang yang membuat suhu air laut di Stasiun ini menurun.
Dengan demikian ini menjadi suatu indikasi bahwa suhu air laut merupakan
fungsi dari intensitas radiasi sinar matahari. Menurut Kinne (1971) menyatakan
bahwa suhu air yang berkisar antara 33-400C merupakan suhu kritis bagi
kehidupan makrozoobenthos dan dapat menyebabkan kematian. Selanjutnya
menurut Setiobudiandi (1997) suhu yang baik untuk kehidupan organisme atau
biota laut daerah tropis berkisar antara 25-320C. Hal ini menandakan bahwa suhu
perairan di Bintan Timur masih termasuk dalam batas toleransi yang baik untuk
kehidupan makrozoobenthos.
Salinitas permukaan air laut hasil pengukuran di perairan Bintan Timur
memperlihatkan kisaran 25 – 33 ppt. Berdasarkan Peta Oseanografi Wilayah
Perairan Indonesia (BRKP 2002) salinitas air permukaan di perairan sekitar
Bintan, pada Musim Barat (Desember – Februari) berkisar 32.5 – 32.8 ppt, Musim
Peralihan dari Barat ke Timur (Maret - Mei) 32 – 32.5 ppt, Musim Timur (Juni -
Agustus) 31 – 31.5 ppt, Musim Peralihan dari Timur ke Barat (September -
November) 32 – 32.5 ppt. Hasil menunjukkan perbedaan salinitas di perairan ini
cukup signifikan antara stasiun I, II, dan III. Distribusi nilai salinitas di suatu
perairan dipengaruhi oleh penguapan, jumlah air tawar yang masuk ke perairan
adalah berupa "run-off" atau aliran permukaan, pasang surut air laut, curah hujan
dan musim (Bowden 1980). Hal ini menjelaskan perbedaan salinitas dipengaruhi
oleh banyaknya aliran air tawar yang terdapat di setiap stasiun. Rata-rata salinitas
air laut pada setiap stasiun I adalah 32.6 ppt, stasiun II adalah 25.4 ppt, dan
stasiun III adalah 31.3 ppt. Untuk stasiun I dan III salinitas masih berada di batas
normal untuk variasi nilai salinitas air laut pada perairan laut dangkal. Sementara
untuk Stasiun II menunjukkan nilai salinitas minimum yaitu 25.4 ppt. Rendahnya
salinitas di stasiun ini disebabkan oleh lokasinya yang dekat dengan muara Sungai
Kawal dimana pada daerah ini juga banyak terdapat ekosistem mangrove dan
tidak lebih dari 500 meter dapat dijumpai pemukiman warga nelayan yang hidup
di rumah panggung. Ihlas (2001) menyatakan bahwa salinitas yang ditolerir oleh
29
makrozoobentos dalam hidup dan kehidupannya berkisar antara 30 – 35 ppt. Oleh
karena itu, pada Stasiun II hanya ditemukan sedikit makroozoobenthos
dibandingkan pada Stasiun I dan III, karena tidak sesuai dengan kriteria hidupnya.
Berdasarkan data informasi pasut, waktu pengukuran di stasiun ini menunjukkan
laut dalam kondisi menuju surut yang artinya ada aliran air tawar yang masuk ke
perairan ini. Sebaran salinitas permukaan lihat pada Gambar 7.
Gambar 2. Peta Sebaran Salinitas di Perairan Bintan Timur
Rendahnya salinitas di daerah ini diduga karena terjadinya percampuran
massa air laut dengan air tawar yang berasal dari daratan. Sumber massa air tawar
di sini diduga berasal dari daratan oleh aliran permukaan seperti aliran sungai
yakni Sungai Kawal. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Dudgeon (2006)
menyatakan bahwa distribusi dan kelimpahan benthos laut berhubungan dengan
salinitas, kandungan bahan organik dan fraksi liat serta lumpur dari sedimen.
Perairan muara sungai, salinitas merupakan faktor penentu yang membatasi
penyebaran makrozoobenthos yang hidup di air tawar, air payau dan air laut.
Perubahan kondisi perairan seperti suhu dan salinitas mempengaruhi kehidupan
populasi bentos dibawahnya, bentos senantiasa akan mengikuti arus yang
membawa suhu dan salinitas yang sesuai dengan kriteria hidupnya ke suatu
perairan dimana perairan tersebut juga banyak terkandung bahan organik.
30
4.2.2 Substrat
Faktor utama yang menentukan penyebaran makrozoobenthos adalah
substrat perairan yang berupa pasir, tanah liat dan debu juga kerikil dan bebatuan,
komposisi tersebut menentukan jenis dari makrozoobenthos. Berdasarkan hasil
sampling di dapat data pada Tabel 6 (Contoh hasil analisis besar butir terdapat
pada Lampiran 4).
Tabel 6. Jenis Substrat Pada Setiap Stasiun Berdasarkan Skala Wentworth
(Lampiran 5)
Stasiun Jenis Fraksi (%)
Kerikil Pasir Lumpur
I 5 70.62 19.66
II 4.89 68.87 23.77
III 9.4 74.82 15.36
(Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Sedimentografi Institut Teknologi
Bandung)
Dari hasil analisis besar butir, didapat bahwa presentase fraksi tertinggi di
setiap stasiun adalah pasir. Presentase fraksi pasir tertinggi terdapat di Stasiun III
yaitu sebesar 74.82 %, sedangkan terendah terdapat di Stasiun II yaitu sebesar
68.87 %. Jenis sedimen merupakan salah satu faktor yang menentukan
penyebaran jenis hewan bentos hidup. Hasil fraksi dan tekstur substrat berupa
pasir menunjukkan presentasi fraksi yang paling besar dibandingkan dengan
ukuran partikel sedimen lain. Nybakken (1992) menyatakan bahwa pasir memiliki
kapasitas penahan nutrien dan air yang tidak terlalu baik namun infiltrasi dan
aerasi yang baik. Banyaknya hewan benthos yang hidup di substrat pasir
menunjukkan bahwa substrat jenis ini cukup baik dalam berkolerasi terhadap
sirkulasi air yang mengatur kelembaban dan mengsuplai oksigen serta nutrien.
Pada tiga stasiun memiliki dominan substrat yang sama berupa substrat
berpasir, namun terdapat perbedaan pada saat penelitian di lapangan yang diamati
secara visual yaitu Stasiun I yang merupakan ekosistem lamun dengan kerapatan
jarang memiliki substrat pasir berlumpur, Stasiun II substrat dasarnya rata-rata
berupa lumpur, dimana disebabkan oleh sedimentasi yang terjadi oleh pengadukan
31
lokal, dan/atau hasil endapan TSS yang tertranspor dari lokasi lain, sedangkan
Stasiun III memiliki substrat pasir dengan banyaknya pecahan kerang dan kerikil.
Kebanyakan bentos mengubur diri dalam substrat berpasir karena hampir
seluruh materi organik diimpor banyak terdapat di dalam substrat pasir. Perairan
yang memiliki substrat berpasir tanpa adanya bebatuan ataupun ekosistem
terumbu karang tidak menyediakan tempat yang tetap untuk melekat bagi
organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel
substrat.
4.2.3 Kedalaman
Selama pengamatan didapatkan data rata-rata kedalaman di perairan
Bintan Timur berkisar antara 2 meter hingga 8 meter seperti yang telah
ditentukan. Kedalaman yang bervariasi diperoleh dari Stasiun II, dimana pada
stasiun ini memiliki sedimen berjenis lumpur sehingga cukup sulit menentukan
kedalaman menggunakan tali penduga. Nilai kedalaman pada setiap stasiun dapat
berbeda disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya perbedaan kontur dari
dasar perairan. Semakin dekat dengan laut, kedalaman semakin tinggi. Semakin
banyak masukan dari daratan yang mengalirkan air yang membawa partikel
sedimen berakibat terjadinya pendangkalan di suatu perairan.
Pada umumnya beberapa jenis makrozoobenthos dapat ditemukan pada
kedalaman yang berbeda (Odum 1993). Makrozoobenthos yang hidup di daerah
dangkal memiliki karakteristik habitat yang lebih besar, sehingga cenderung
beranekaragam jenisnya, karena penetrasi cahaya matahari mencapai dasar pada
perairan yang dangkal. Kedalaman suatu perairan merupakan salah satu faktor
yang membatasi kecerahan perairan. Menurut Setiobudiandi (1997) kedalaman
perairan akan mempengaruhi jumlah jenis, jumlah individu dan biomass
organisme makrozoobenthos, selain itu dapat juga mempengaruhi pola distribusi
atau penyebaran makrozoobenthos.
32
4.2.4 Arus
Kecepatan arus di perairan ini menunjukkan nilai kecepatan yang
bervariasi berkisar antara 0.01 - 0.026 m/s dengan nilai rata-rata 0.017 m/s.
Berdasarkan penelitian pemodelan pola arus laut permukaan di perairan Indonesia
menggunakan data satelit altimetri Jason-1 yang dilakukan oleh Widyastuti dkk
(2010) menyatakan bahwa selama kurun tahun 2002-2009, wilayah perairan
Indonesia yang rata-rata memiliki arus kuat yakni di Laut Maluku dan Selat
Karimata dengan kecepatan hingga >1200 cm/s. Dari hasil perhitungan selama
tahun 2002-2009 di dapatkan bahwa yang rata-rata memiliki arus lemah yakni di
Laut Jawa, perairan selatan Pulau Jawa dan Laut Sulawesi dengan kisaran
kecepatan arus laut yang kecil yakni sebesar 0–400 cm/s. Dari hasil perhitungan
didapatkan rata-rata kecepatan arus laut permukaan di perairan Indonesia tahun
2002-2009 berada pada kisaran 450-550 cm/s.
Gambar 3. Peta Kedalaman di Perairan Bintan Timur
33
Berdasarkan data pasang surut yang di plot dalam bentuk grafik (Gambar
9), kondisi arus permukaan perairan Bintan Timur lebih dibangkitkan oleh pasang
surut tipe Campuran Cenderung Semidiurnal yaitu saat air pasang/surut penuh dan
tidak penuh terjadinya dua kali dalam sehari (Pranowo dkk 2003). Jika
dibandingkan dengan pola arus yang terjadi di Bintan Timur, kecepatannya masih
tergolong sangat kecil. Kecilnya arus di perairan ini mungkin disebabkan oleh
jenis perairan yang dangkal dan dikelilingi oleh pulau-pulau kecil yang berada
disekitarnya. Terdapat 4 pulau kecil yang tersebar di sekitar Pulau Bintan Timur,
keberadaan pulau kecil ini mempengaruhi arus pada daerah tersebut. Arus kuat
yang masuk melalui Selat Singapura menjadi lemah saat masuk menuju tenggara
pulau Bintan Timur karena terhalang oleh pulau-pulau kecil di daerah tersebut.
Gambar 4. Grafik Pasang Surut (TMD) Berdasarkan Waktu Pengukuran Arus di
Perairan Bintan Timur
34
Secara keseluruhan arah arus di sekitar perairan Pulau Bintan Timur
cenderung beragam. Di stasiun I kecepatan arus bervariasi antara 0.01 - 0.026 m/s,
dimana stasiun terletak di Bintan Timur bagian Tenggara. Pada stasiun dua dan
tiga rata-rata memiliki kecepatan arus sebesar 0.01 - 0.023 m/s. Untuk arah arus
saat menjelang pasang cenderung menuju utara, sedangkan arah arus saat
menjelang surut cenderung menuju timur laut. Pola arah arus menunjukkan bahwa
arus di perairan ini dipengaruhi oleh arus pasang surut. Perairan di bagian Timur
Bintan pada Stasiun I merupakan perairan yang arusnya lebih kuat dibandingkan
stasiun II dan III. Selain memiliki arus yang kuat, Stasiun I juga ditemukan
banyak terdapat makrozoobenthos sebanyak 67 total individu dari 17 genus yang
ditemukan di tiga stasiun berbeda. Tingginya kecepatan di Stasiun ini disebabkan
oleh kuatnya angin yang bertiup dari arah laut ke darat dan sebaliknya pada saat
pengambilan data. Kecepatan arus berpengaruh terhadap distribusi biota yang
relatif menetap di perairan, yaitu bentos (Siegel 2003). Hal ini berdampak secara
tidak langsung pada makrozoobenthos karena semakin besar kecepatan arus maka
akan terjadi kekeruhan (Nybakken 1992). Selanjutnya Dudgeon (2006)
menyatakan bahwa kondisi air yang keruh kurang disukai oleh hewan bentik.
Arus yang sedang lebih disukai benthos karena dapat membawa asupan bahan
Gambar 5. Kecepatan Arus Permukaan Setiap Stasiun
35
organik sebagai makanan bentos dibandingkan arus kuat dan lemah yang
menyulitkan bentos dalam memperolah makanan. Kondisi ini dilihat pada hasil
pengukuran di bagian timur perairan Bintan, interval kecepatan arus di Stasiun I
dengan Stasiun II dan III adalah 0.003 m/s. Jika dibandingkan dengan arus di
perairan Selat Malaka pada pengamatan bulan September 2001, maka arus
temporal di sekitar Bintan Timur relatif lebih lemah. Menurut Nurhayati (2002)
menyatakan bahwa selat Malaka memiliki rata-rata kecepatan arus sekitar 42.7
cm/det yang masuk ke kepulauan Riau melalui Selat Singapura, sehingga arus
yang masuk di perairan ini tergolong kecil karena terhalang oleh pulau-pulau kecil
yang berada di sekitar Selat Singapura.
(i) (ii)
Gambar 6. Pola Arus Permukaan di Perairan Bintan Timur berdasarkan : (i) Arus
saat menjelang surut dan (ii) Arus saat menjelang pasang
Pola pergerakan air menjelang surut pada gambar diatas menunjukkan
secara dominan arus bergerak dari arah Utara menuju Selatan dan sebagian kecil
berbelok ke selatan menuju Teluk Kawal, lokasi stasiun II. Utara Pulau Bintan
berbatasan langsung dengan Selat Singapura yang membawa arus kuat ke perairan
ini sedangkan selatan Pulau Bintan berbatasan langsung dengan Selat Karimata.
Pola pergerakan air menjelang pasang, arus secara dominan bergerak dari arah
36
utara, timur, dan tenggara menuju barat. Pada saat menjelang surut terdapat angin
yang bertiup cukup kuat di perairan ini, namun pada saat menjelang pasang angin
cenderung lemah. Oleh sebab itu kecepatan arus menjelang surut lebih tinggi
dibandingkan arus menjelang pasang. Meskipun kecepatan arus menjelang pasang
lebih tinggi daripada kecepatan arus menjelang surut namun tidak terdapat
perbedaan yang cukup signifikan terhadap kecepatan arus menjelang surut
maupun menjelang pasang.
4.2.5 Komposisi Makrozoobenthos
4.2.5.1 Kelimpahan Makrozoobenthos
Berdasarkan hasil pengambilan sampel di perairan Bintan Timur tercatat
76 individu dengan 17 genus yang tersebar di tiga titik stasiun (Tabel 7 dan
Lampiran 3). Walaupun jenisnya cukup beragam namun jumlah ini tergolong
sedikit untuk kondisi perairan seperti Bintan Timur. Kisaran jumlah species yang
ditemukan pada setiap stasiun adalah 23 species. Kebanyakan ditemukan species
dari Kelas Bivalvia dan Gastropoda yang banyak terdapat di Stasiun I dan III.
Pada Stasiun I ditemukan 64 individu dari 11 genus yang didominansi oleh
gastropoda. Banyaknya jumlah individu yang ditemukan pada stasiun I
dikarenakan oleh substrat perairan yang merupakan substrat pasir berlumpur dan
merupakan ekosistem padang lamun sehingga persediaan makanan seperti
plankton dan tumbuhan banyak di jumpai di stasiun ini. Hal ini dinyatakan oleh
Fuller (1979) menyatakan bahwa mayoritas makrozoobenthos lebih suka hidup
pada sedimen lumpur hingga pasir. Selain memiliki substrat yang baik untuk
makrozoobenthos suhu pada stasiun I yaitu 30.80C dengan salinitas yang
mencapai 30 ppt baik untuk kehidupan makrozoobenthos. Pada Stasiun II hanya
ditemukan 4 individu dengan 4 genus berbeda yang merupakan kelas Gastropoda.
Sedikitnya jumlah individu yang ditemukan pada stasiun II dikarenakan oleh
substrat perairan yang merupakan substrat berlumpur dengan tingkat kekeruhan
yang tinggi. Hal ini dinyatakan oleh Ramli (1989) menyatakan substrat berupa
lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan karena itu organisme yang
hidup didalamnya harus dapat beradaptasi pada keadaan seperti ini. Oleh sebab
37
itu, bentos yang ditemukan di Stasiun II merupakan bentos yang mampu
beradaptasi dengan lingkungan perairan. Walaupun memiliki suhu yang
menunjang kehidupan benthos yaitu 31.70C namun memiliki salinitas terendah
yaitu 27.7 ppt yang menghambat pertumbuhan makrozoobenthos, sehingga
keruhnya perairan serta rendahnya salinitas akibat adanya masukan air tawar dari
Sungai Kawal merupakan penyebab sedikitnya benthos ditemukan di perairan ini.
Bentos yang ditemukan di Stasiun III tidak berbeda jauh dengan Stasiun II yaitu
sebanyak 8 individu dengan 5 genus. Walaupun memiliki suhu yang menunjang
kehidupan makrozoobenthos yaitu 32.30C namun pada stasiun ini memiliki
substrat jenis pasir pecahan kerang dengan salinitas 29 ppt yang kurang disukai
makrozoobenthos. Seperti yang dilansirkan oleh Hidayah (2003) bahwa substrat
pasir memiliki rongga udara, sehingga pasokan oksigen dari kolom perairan
menjadi lancar dan ketersediaan oksigen cukup tinggi. Substrat jenis ini sulit
untuk mengakumulasi masukan bahan organik.
Baik gastropoda maupun bivalvia merupakan kelas yang paling banyak
ditemui di perairan ini, ada juga ditemukan beberapa cacing jenis Haplotaxis sp di
Stasiun III. Cacing ini hidup di perairan bersubstrat jenis pasir pecahan kerang.
Untuk jenis Rhinoclavis sp dan Vanikoro sp dari kelas Gastropoda, merupakan
jenis yang banyak ditemukan di perairan ini khususnya di Stasiun I yang
merupakan ekosistem padang lamun (Gambar 12). Identifikasi makrozoobenthos
yang ditemukan dapat dilihat di Tabel 7.
(i) (ii) (iii)
Gambar 12. Makrozoobenthos yang banyak ditemukan jenis : (1) Rhinoclavis
sp dari kelas gastropoda, (ii) Vanikoro sp dari kelas gadtropoda, dan (iii)
Haplotaxis sp dari kelas oligochaeta
38
Tabel 7. Identifikasi Makrozoobenthos (Lampiran 3)
No. Jenis Sub Stasiun
1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3
1 Murex sp 1
2 Cerithidea sp 1
3 Polinices sp 1 1
4 Trachycardium sp 1
5 Anodontia sp 1
6 Exotica sp 1
7 Gafrarium sp 1 1
8 Scapharca sp 1
9 Rhinoclavis sp 11
10 Cerithium sp 9
11 Codakia sp 1
12 Semele sp 4 1 1
13 Dosinia sp 1
14 Nerita sp 4
15 Pictoneritina sp 8
16 Vanikoro sp 23
17 Haplotaxis sp 3
Total 64 4 5 3
Stasiun I dan III merupakan daerah padang lamun yang banyak dijumpai
organisme benthos hal ini karena lamun digunakan sebagai perlindungan dan
persembunyian dari predator dan kecepatan arus yang tinggi juga merupakan
sumber bahan makanan sehingga kelimpahan makrozoobenthos di perairan ini
berkisar 3377.78 ind/m2 dari total 76 individu yang ditemukan.
4.2.5.2 Kelimpahan Relatif Makrozoobenthos
Distribusi, keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobenthos berbeda-
beda tergantung faktor-faktor lingkungan yang ada (Winarno dkk 2000).
Kelimpahan spesies bentos sangat bervariasi berdasarkan kondisi perairan pada
saat itu. Pada Gambar 13 merupakan hasil pengolahan kelimpahan
makrozoobenthos di perairan Bintan Timur.
39
Gambar 73. Kelimpahan Makrozoobenthos Setiap Stasiun
Pada stasiun I jumlah dari individu makrozoobentos ditemukan 64
individu dengan kelimpahan 2844,44 individu/m2. Jumlah ini tergolong banyak
jika dibandingkan dengan kelimpahan yang ditemukan pada Stasiun II sebesar
177,78 individu/m2
dan Stasiun III sebesar 355,56 individu/m2. Stasiun I yang
terletak di tenggara Bintan timur memiliki substrat pasir berlumpur dan ditumbuhi
lamun memiliki kelimpahan makrozoobenthos terbesar dibandingkan stasiun II
dan III dengan genus terbanyak Vanikoro sp dari kelas gastropoda sebanyak 23
individu. Dilihat dari karakeristik stasiun I dan III merupakan habitat yang cocok
untuk benthos jenis gastropoda.
Kelimpahan yang banyak ditemukan pada stasiun I dikarenakan memiliki
ketersediaan makanan yang lebih banyak dibandingkan dengan stasiun yang lain.
Perpaduan substrat pasir dan lumpur lebih disukai bentos karena substrat tersebut
dijadikan sebagai tempat melekat, berlindung dan mencari makan di banding
dengan stasiun lain, serta merupakan wilayah ekosistem terumbu karang yang
menjadi tempat hidup, berkembang biak, dan mencari makan bagi biota laut
(Nybakken 1992).
Stasiun I;
2844,44;
84%
Stasiun II;
177,78; 5%
Stasiun III;
355,56;
11%
Kelimpahan Makrozoobenthos (ind/m)
40
Gambar 84. Kelimpahan Makrozoobenthos Setiap Kedalaman
Pada kedalaman 2 meter kelimpahan makrozoobenthos mencapai 400
individu/m2. Hal ini dimungkinkan disebabkan oleh dekatnya lokasi pengambilan
sampling dengan daerah ekosistem padang lamun yang merupakan habitat asli
Bivalvia dan Gastropoda. Pada habitat alami yang jauh dari campur tangan
manusia, biasanya ditemukan lebih dari 100 individu bentos setiap sekitar 10 m2
(Setiobudiandi 1997). Kelimpahan makrozoobenthos terbanyak berada pada
kedalaman 8 meter sebesar 2977,78 individu/m2, karena makrozoobenthos
umunya ditemui di kedalaman lebih dari 7 meter dengan penetrasi cahaya yang
kurang, suhu dan salinitas yang optimal serta asupan nutrien yang didapat lebih
banyak ditemukan di kedalaman lebih dari 7 meter. Hal ini berbanding terbalik
dengan makrozoobenthos yang tidak ditemukan sama sekali pada kedalaman 5
meter yang dimungkinkan disebabkan oleh kandungan kimia seperti nitrat dan
nitrit yang berada pada substrat maupun kondisi kimia perairan seperti DO dan
BOD yang tidak mendukung berkembangnya makrozoobenthos di kedalaman ini.
4.3 Hubungan Arus dengan Kelimpahan Makrozoobenthos
Berdasarkan pengamatan arus yang terdapat di Bintan Timur dapat
dikatakan lemah dengan kecepatan arus yang bervariasi yaitu 0.01 - 0.026 m/s,
sedangkan untuk kelimpahan makrozoobentos itu sendiri ditemukan cukup
banyak namun dengan interval individu pada setiap stasiun cukup jauh. Selama
pengamatan pada setiap stasiun, kondisi fisika kimiawi sebagai parameter
2 meter;
400; 12% 5 meter; 0;
0%
8 meter;
2977,78;
88%
Kelimpahan Makrozoobenthos (ind/m)
2 meter
5 meter
8 meter
41
pendukung seperti suhu, dan salinitas menjadi faktor yang mempengaruhi arus
dan keberadaan makrozoobentos serta mempengaruhi substrat dasar perairan
tempat hidup makrozoobentos secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan
arus dan kelimpahan makrozoobenthos berdasarkan pengamatan lapangan dapat
dilihat di Gambar 15.
Gambar 15. Hubungan Arus dengan Kelimpahan Makrozoobentos
Arus di perairan Bintan Timur cukup bervariasi walau tergolong lemah
berkisar antara 0.01 – 0.026 m/s begitu pula dengan sedimen yang tersebar merata
dengan cakupan yang cukup luas. Arus di perairan Bintan Timur cukup
mempengaruhi distribusi populasi biota benthos. Hasil menunjukkan
makrozoobenthos banyak terdapat di perairan bersubstrat pasir berlumpur pada
stasiun I dengan arus yang cukup kuat sedangkan perairan bersubstart lumpur
pada stasiun II sangat sedikit ditemukan benthos yang juga memiliki arus lemah.
Sementara perairan bersubstrat pasir pecahan kerang pada stasiun III kurang
banyak ditemukan benthos karena arus di perairan ini dapat dikategorikan sedang.
Kecepatan arus yang berbeda di setiap stasiun mempengaruhi jumlah individu
makrozoobenthos. Seperti yang telah dilansirkan Siegel (2003) bahwa kecepatan
y = 202370x - 5700
R² = 0,509
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
0,0000 0,0050 0,0100 0,0150 0,0200 0,0250 0,0300 0,0350 0,0400
Mak
rozo
ob
enth
os
(in
d/m
2)
Arus (m/s)
Hubungan Arus terhadap Kelimpahan
Makrozoobenthos
Arus terhadap kelimpahan makrozoobenthos
Linear (Arus terhadap kelimpahan makrozoobenthos)
Pearson : 0.715
42
arus berpengaruh terhadap distribusi biota yang relatif menetap di perairan, yaitu
benthos.
Berdasarkan analisis korelasi Pearson didapat bahwa pengaruh arus
terhadap kelimpahan makrozoobenthos adalah sebesar 0.715 yang masuk dalam
kategori positif atau korelasi linear positif yang artinya perubahan salah satu nilai
variabel diikuti perubahan nilai variabel yang lainnya secara teratur dengan arah
yang sama (Lampiran 7). Jika nilai variabel x mengalami kenaikan, maka variabel
y akan ikut naik, begitu juga sebaliknya. Apabila nilai koefisien korelasi
mendekati +1 (positif satu) berarti pasangan data variabel x dan y memiliki
korelasi linier positif yang kuat. Dari persamaan y diperoleh bahwa variabel x
memiliki nilai konstanta sebesar 202370 dan konstanta bebas sebesar 5700.
Begitu juga dengan nilai regresi yang menunjukkan hubungan makrozoobenthos
dengan arus sebesar 0.509.
Arus yang tidak begitu kuat berfungsi membawa makanan benthos berupa
unsur hara yang banyak terdapat di sedimen dasar laut. Hal ini mengakibatkan
pertukaran massa air yang berpengaruh terhadap keberadaan unsur hara di suatu
perairan, arus akan membawa unsur hara ini sehingga kelimpahan hewan benthos
akan berkurang seiring dengan bertambahnya kecepatan arus (Nybakken 1988).
Kecepatan arus yang terlalu tinggi mengakibatkan sebagian organisme
makrozoobenthos tertentu saja yang dapat hidup pada kondisi seperti ini. Oleh
karena itu, biasanya pada daerah yang memiliki kecepatan arus yang tinggi jumlah
jenis makrozoobenthos yang hidup didalamnya sedikit. Sebaliknya pada daerah
berarus lemah jumlah jenis makrozoobenthos lebih banyak (Siegel 2003).
4.4 Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Perairan
Genus yang ditemukan sangat beragam dari seluruh stasiun tetapi jumlah
individu yang didapat tidak terlalu banyak. Penyebaran makrozoobenthos
memiliki keterkaitan dengan kondisi perairan dimana organisme ini ditemukan
karena peranannya sebagai penyeimbang ekosistem perairan dan sebagai
bioindikator (Setiawan 2008). Kondisi perairan Pulau Bintan Timur dipengaruhi
oleh perubahan lingkungan salah satunya seperti pembukaan lahan baru untuk
43
dermaga dan objek wisata sehingga terjadi sedimentasi. Perubahan tersebut secara
tidak langsung akan mengganggu ekosistem yang ada di sekitarnya seperti
makrozoobenthos. Makrozoobenthos baik digunakan sebagai indikator biologis
suatu perairan karena hewan ini mempunyai habitat yang tetap.
Perairan yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup
makrozoobenthos yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar kimia
maupun fisik (Odum 1993). Tercemarnya suatu perairan ditandai dengan
berlimpahnya benthos jenis polichaeta dan oligochaeta sebab jenis ini tidak peka
terhadap tekanan lingkungan. Pada stasiun III ditemukan cacing Haplotaxic sp
dari kelas oligochaeta, namun jumlah yang ditemukan masih sedikit sehingga
tidak dapat dikategorikan sebagai perairan tercemar. Populasi suatu jenis baik dari
jenis polichaeta maupun oligochaeta pada suatu perairan dapat dikategorikan
tercemar jika kelimpahannya melebihi dari 10 jenis species pada suatu perairan
(Rani dan Arifin 2006). Sedikitnya industri serta letaknya yang jauh dari lokasi
penelitian yaitu di selatan Bintan tidak mempengaruhi kelimpahan
makrozoobenthos di perairan ini.