35
BAB III
SUMBER AJARAN ISLAM DAN METODE IJTIHAD
A. Tuntunan Islam
Umat Islam merupakan umat yang datang terakhir yang membawa kitab
suci dari langit. Umat Islam dinyatakan sebagai “umat yang terbaik yang pernah dikeluarkan bagi umat manusia” (QS. Ali Imran (3): 110). Ia menjadi umat yang terbaik karena Kehendak Allah (Iradatullah) yang
menjadikan umat ini memiliki pemimpin yang terbaik, Nabi Muhammad Saw, dan memiliki kitab suci yang dijamin keotentikannya oleh Allah Swt (QS. Al-Hijr (15): 9).
Al-Quran merupakan wahyu dari Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw sebagaimana pada QS. Al-An‟am (6): 19,
“Katakanlah (Muhammad), “siapakah yang lebih kuat kesaksiannya?” Katakanlah, “Allah, Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu kamu aku memberi peringatan
kepadamu dan kepada orang yang sampai (al-Quran kepadanya). Dapatkah kamu benar-benar bersaksi bahwa ada tuhan-tuhan lain
bersama Allah?” Katakanlah, “Aku tidak dapat bersaksi.” Katakanlah, “Sesungguhnya hanya Dialah Tuhan Yang Maha Esa dan aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).”
Al-Quran merupakan tuntunan ajaran Islam yang pertama dan utama. Apa yang disampaikan olehnya menunjukkan penting dan akan berlaku bagi kehidupan umat manusia. Apa yang disebutnya berarti urgen untuk
dipertimbangkan dan diikuti bagi kehidupan manusia,karena berhubungan dengan totalitas kehidupan manusia. Umat manusia, mau atau tidak, suka
atau tidak, sejatinya arah kehidupannya dipandu oleh nilai-nilai Al-Quran. Bagi mereka yang mau berarti dia beriman dengan ajaran Islam dan menerima ajaran Al-Quran.
Kandungan Al-Quran sangat luas, meliputi masa awal diciptakan alam, hukum-hukum yang berlaku kini untuk umat manusia, dan terutama
36
untuk kaum Muslimin. Ajaran al-Quran itu dinyatakan pada QS. Al-Baqarah (2): 2,
“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
QS. Al-Isra (17): 82,
“Dan Kami turunkan dari Al-Quran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-
Quran itu) hanya akan menambah kerugian.”
Ketika tuntunan Islam hendak dipahami, dikomunikasikan dan diamalkan dalam kehidupan umat manusia, maka diperlukan keterlibatan pemikiran
yang mendalam. Di sini pemikiran manusia terlibat dalam pemahaman terhadap Al-Quran. Medan kehidupan antara satu imam dengan imam
yang lain itu berbeda, sehingga melahirkan berbagai perbedaan di antara mereka. Kondisi ini jelas terlihat pada tradisi ijtihad yang dikembangkan para pakar hukum Islam terdahulu. Masalah ijtihad ini tidak hanya
berhenti di masa lalu, karena di zaman modern ini dibutuhkan pula ijtihad secara kolektif dari berbagai disiplin ilmu.
Sedangkan Al-Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran, yang bertujuan untuk menetapkan hukum yang terdapat di dalam Al-Quran. Ini tidak berarti bahwa hadits (sunnah)
menguatkan Al-Quran, namun menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam Al-Quran dan juga di dalam Hadits atau Sunnah
itu sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim.
Pada Syariat Islam yang terkandung di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah
secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang komprehensif dan berkesinambungan. Di dalam keduanya terdapat lafad yang umum dan khusus („am-khash), mutlak dan terikat (muthlaq-
muqayyad), yang menghapus dan yang terhapus (nasikh mansukh), dan yang jelas makna hukumnya dan yang samar-samar makna hukumnya
(muhkamat-mutasyabihat), yang masih memerlukan penjelasan. Nash Al-Quran dan sunah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (al-wahyu
qad intaha wa waqa‟i lâ tantahî). Karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang
tidak ditunjukan secara tegas oleh nash itu. Di sinilah urgensi Ijtihad untuk memberikan jawaban dari berbagai persoalan yang senantiasa membaharu itu.
37
B. Sumber Ajaran Islam
Yang dimaksud dengan sumber adalah segala sesuatu yang dijadikan
dasar pengembangan sebuah ajaran, gagasan, faham, atau manivesto-manivesto lainnya dalam spektrum kehidupan manusia. Jika terminologi
“Sumber” dikaitkan dengan Islam, maka memiliki pengertian sebagai segala sesuatu yang dijadikan dasar pengembangan ajaran Islam itu sendiri, baik itu menyangkut hubungan vertikal ataupun hubungan
horizontal.
Dasar-dasar atau sumber ajaran agama Islam berasal dari wahyu Allah yang berupa Al-Quran dan perilaku Nabi Muhammad sebagai aplikasi dan
contoh kongkrit pelaksanaan Al-Quran yang kemudian disebut dengan Hadits Nabi. Secara dogmatis sumber ajaran Agama Islam hanya ada dua
yaitu Al-Quran dan Hadits, selanjutnya untuk memudahkan pemahaman, keduanya dikenal dengan “sumber pokok”. Sedangkan yang lainnya merupakan pengembangan ajaran berdasarkan sumber pokok melalui
proses pemikiran dan penentuan hukum (ijtihad) – selanjutnya dikenal dengan hukum atau ajaran “Istimbat”.
Perkembangan metode penentuan hukum sebagaimana disebutkan di atas, tidak menyebabkan kurangnya kesempurnaan Al-Quran dan Al-Hadits, tetapi justru menunjukkan kelebihan dan fleksibiltas ajaran Islam.
Secara umum yang menyebabkan munculnya tradisi Ijtihad dalam hukum Islam adalah:
1. Masyarakat Islam berkembang dengan pesat baik secara politik, sosial maupun ekonomi yang membawa berbagai permasalahan hukum baru.
2. Ketika Nabi masih Hidup, permasalahan hukum tersebut dapat dikonsultasikan dan dapat diputuskan oleh Nabi. Seteleh Nabi meninggal, hukum suatu masalah diputuskan berdasarkan proses
Ijtihad dengan dasar Al-Quran al-Hadits.
3. Hukum-hukum Al-Quran dan Al-Hadits sebagian besar bersifat global
dan bahkan hanya Isyarat atau simbolitas saja (Kontekstual).
4. Untuk mengantisipasi perkembangan dunia dengan meletakkan qaidah-qaidah fiqhiyah.
Landasan normatif sumber ajaran Islam sebagai dasar berijtihad dalam Islam, berdasarkan hadits yang menerangkan dialog Rasulullah Saw
dengan Muadz bin Jabal, ketika diutus menjadi gubernur di Yaman sebagai berikut:
38
Ketika Muadz bin Jabal akan bertugas menjadi Gubernur Yaman, Rasulullah saw berdialog dengan Muadz bin Jabal:
Rasullullah : “Bagaimana engkau akan memutuskan perkara yang
dihadapkan kepada engkau? “
Muadz : “Hamba akan memutuskan perkara dengan Kitabullah (Al-
Qur‟an)!”
Rasulullah : “Jika dalam Kitabullah engkau tidak mendapatkan jawaban?”
Muadz : “Jika begitu hamba akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah!”
Rasulullah : “Jika dalam Sunnah Rasulullah engkau tidak mendapatkan jawaban, bagaimana?”
Muadz : “Jika dalam Sunnah Rasulullah hamba tidak menemukan jawabannya, maka hamba akan memutuskan dengan pertimbangan akal
fikiran tanpa putus asa! “
Rasulullah Saw (menepuk-nepuk dada Muadz): “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah berkenan memberi petunjuk utusan Rasulnya
menyenangkan Rasulullah.” (HR. Tirmidzi & Abu Dawud).
Dari peristiwa tersebut diambil kesimpulan tentang nilai dan sumber
ajaran Islam, yaitu : Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Ijtihad. Ini menunjukkan,
ا أراد أن يبعث م ل اليمن.لم عاذا ا
ذا عرض ل قضاء...؟» قال «.كيف تقض ا
قال أقض بكتاب الله.
د ف كتاب الله...؟ » قال ن لم ت «.فا
ول الله نة رس . قال فبس
ن لم » قال ول الله فا نة رس د ف س «.ولا ف كتاب الله...؟ ,ت
د رأي ولا أ ل و. قال أجت
ول الله »صدره و قال ,فضب رس ول الله الحمد لله ال ول رس ى وفق رس
ول الله «لما ي رض رس
39
bahwa penggunaan tiga sumber ajaran Islam itu hendaknya diprioritaskan yang pertama, kemudian yang kedua dan selanjutnya yang ketiga.
Konsekuensinya adalah apabila bertentangan satu dengan lainnya, maka yang dipilih Al-Quran, kemudian yang kedua, Al-Hadits. Sekalipun ketiga-
tiganya adalah sumber nilai, akan tetapi antara satu dengan yang lainnya mempunyai tingkatan kualitas dan bobot yang berbeda dengan pengaruh hukum yang berbeda pula.
1. Al-Quran dan Al-Sunnah Sebagai Sumber dan Norma Ajaran Islam yang Pertama dan Kedua
a. Definisi Al-Quran
Secara etimologi kata Al-Quran berasal dari kata qara‟a, yaqra‟u, qirâ-atan, atau qurânan yang berarti mengumpulkan (jam‟u) dan
menghimpun (dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah Saw., dengan menggunakan
bahasa Arab, disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul, dan agar
dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
Al-Quran merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama dan
utama bagi semua dalil dan hukum syari‟at, merupakan undang-undang dasar, sumber dari segala sumber dan dasar dari semua
dasar. Pernyataan ini merupakan kesepakatan seluruh Umat Islam (Sulaiman Abdullah, 2004:10)
Al-Quran adalah Kalamullah (firman Allah), bukan ciptaan
manusia, bukan karangan Muhammad Saw. ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Quran tetap menjadi mukjizat, sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam
sepanjang masa, dan sebagai sumber segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia (Zainuddin Ali, 2010:
24). Inilah keutamaan Al-Quran dibandingkan dengan kitab-kitab suci agama lain. Bila kitab suci agama lain berlaku bagi satu dua nabi dari masa pembawa risalah wahyu itu, maka kitab suci Al-
Quran senantiasa berlaku sepanjang zaman. Istilah anak muda sekarang: „Al-Quran tidak mati gaya.‟ Ia dibaca oleh umatnya
dalam bahasa aslinya dan orang yang membacanya, senantiasa diberkahi dengan berbagai kebajikan bagi kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Umat Islam merindukan kepada kandungan
yang terdapat didalamnya. Umat Islam yang tidak membaca Al-Quran, maka rumahnya akan gelap, karena tiada cahaya Ilahi.
40
Sebaliknya, Muslim yang membaca Al-Quran, akan diberkahi dengan diterangi rumah-rumahnya, dengan keberkahan dari
cahaya Ilahi. Meski tidak memahami artinya, cahaya Al-Quran menerangi kehidupan pembacanya, apalagi yang memahami dan
mengamalkan arti dan kandungan maknanya.
Bila mukjizat Nabi-nabi terdahulu itu kebanyakan dalam bentuk peristiwa alamiah, maka kemukjizatan Rasulullah Saw. itu ada
yang bersifat alamiah, namun yang paling besar dan monumental adalah mukjizat Al-Quran. Karena kandungan Al-Quran akan senantiasa dibaca dan diteliti kebenarannya pada realitas empirik
dan ilmiah. Maksudnya, kandungan Al-Quran akan senantiasa membuka tabir keajaiban pada diri manusia dan alam raya.
Semakin ilmu pengetahuan maju, maka semakin dapat ia dibuktikan secara ilmiah oleh temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Kondisi seperti ini sebagaimana dalam QS.
Fushshilah (41): 53, “Kami akan tunjukkan ayat-ayat Kami di alam raya dan di dalam diri mereka sampai jelaslah bagi mereka bahwa
itu adalah kebenaran.” Ayat tersebut mengantarkan pemahaman kita kepada sesuatu yang sangat mendalam, bahwa kita harus menjadikan ayat-ayat Allah sebagai pemandu ilmu pengetahuan
dan teknologi. Karena tanpa dipandu oleh wahyu, maka ilmu pengetahuan akan bias pemanfaatannya bagi kehidupan umat
manusia.
Secara umum, pada kehidupan ini ada hukum-hukum yang berasal dari Allah Swt. melalui berbagai fakultas (kemampuan) yang ada.
Al-Bajuri (2013: 7-10) mengklasifikasi ada 3 (tiga) hukum didalam kehidupan ini, yaitu: 1) Hukum Syara‟, 2) Hukum Akal, dan 3) Hukum Adat. Hukum Syara‟ adalah hukum Allah yang terbagi
kepada wajib, haram, sunat, makruh, dan mubah; Hukum akal merupakan hukum yang berdasarkan hasil pemikiran manusia,
terbagi tiga macam, yaitu: wajib, mustahil dan jaiz; sedangkan Hukum Adat ialah hukum yang berdasarkan kebiasaan karena sering terjadi, sehingga akhirnya dijadikan hukum menurut adat.
Al-Quran merupakan kitab yang terbuka bagi umat manusia. Siapa saja dapat membaca dan mengkajinya. Semakin dalam ia dibaca,
semakin nikmat rasanya, karena ada daya ruhiyah yang terikat kepadanya; semakin dalam mengkajinya, semakin kuat pengaruhnya kepada pemahaman dan kesadaran pelakunya. Al-
Quran mengandung hukum-hukum yang berasal dari Allah Swt. Proses penemuan kebenaran hukum Qurani dan hukum akli akan bermuara pada titik yang satu, karena yang menurunkan Al-Quran
41
dan menciptakan akal adalah sama, Allah Swt. Namun, karena sudah seringkali diselimuti oleh hawa nafsu, sehingga ada kabut
yang menghalanginya.
Hukum yang terdapat dalam Al-Quran, sejatinya berlaku bagi
semua manusia, namun dalam proses berikutnya ada yang beriman dan ada pula yang menolaknya. Yang menolak itu menjadi kufur, sedangkan yang menerima itu menjadi mukmin
(muslim). Bagi yang mukmin ia mengikuti dengan cermat dan hati-hati maka akan mendapatkan kebaikan yang sempurna. Sedangkan bagi yang hanya beriman dan tidak melaksanakan
secara sepenuhnya, maka ia diganjar dengan amal perbuatannya. Ditegaskan dalam Al-Quran, bahwa Kitab Al-Quran diwariskan
kepada kaum Mukminin (QS. Fathir (35): 32). Namun dalam penerimaannya ada manusia yang zalim, ada yang pertengahan dan ada pula yang cepat dalam berbuat kebaikan. Ini merupakan
kualitas umat Islam dari sisi amal perbuatannya.
Siapapun yang menjadikan Al-Quran sebagai basis penelitian dan
pencarian akan hakikat kehidupannya, maka dia akan memiliki kegunaan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan yang luas ini. Di alam raya manusia perlu mentafakkuri berbagai sisi kehidupan
bagi mekarnya makna dari aktivitas manusia. Aktivitas manusia bisa sama, namun maknanya bisa berbeda bagi subjek-sumber
yang berbeda itu. Kebenaran itu bersumber dari Allah, baik yang ada pada alam raya maupun di dalam diri manusia. Kita berpandangan, bahwa manusia bergerak dengan segenap
pertimbangannya, yang pada ujungnya, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya. Baik di dalam kehidupan ini ia beriman atau tidak. Ketidakberimanan manusia adalah sebuah
pilihan, meski itu sebagai pilihan yang menyimpang. Pilihan itu bisa terjadi, karena manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk
menjalani kehidupan itu.
b. Definisi Al-Sunnah
Al-Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir ketetapan atau
persetujuan (diamnya) Rasulullah Saw terhadap sesuatu hal atau perbuatan seorang sahabat yang diketahuinya. Sunnah
merupakan sumber syari‟at Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Quran, karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
42
“(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. Al-Najm (53): 3-4)
Makna ayat di atas, bahwasanya apa yang disampaikan Rasulullah
Saw (Al-Quran dan Al-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah Swt, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah Swt:
“(Katakanlah Muhammad) ...aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-An‟am (6): 50).
Ayat ini bermakna, bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan suatu
tindakan, kecuali berdasarkan wahyu dari Allah Swt dan agar manusia mengikuti apa yang disampaikannya.
Al-Quran telah menegaskan bahwa selain dari Al-Quran, Rasulullah Saw juga menerima sejenis wahyu yang lain, yaitu Al-Hikmah yang pengertiannya sama dengan Al-Sunnah, baik perkataan, perbuatan
ataupun ketetapan (diamnya). Pengertian Al-Hikmah yang bermakna Al-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran (3):
164, QS. Al-Jumu‟ah (62): 3, dan QS. Al-Ahzab (33): 34. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan Al-Sunnah sebagai sumber hukum (syariat) Islam
bersifat pasti (qath‟i) kebenarannya, sebagaimana Al-Quran itu sendiri. (Sulaiman Abdullah, 2004: 20)
Al-Sunnah adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, Al-Sunnah mempunyai peranan penting setelah Al-Quran. Sebagai kitab suci dan pedoman hidup
umat Islam, Al-Quran diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. (Musthafa Al-Siba‟i, 1991)
c. Kedudukan Al-Quran dan Al-Sunnah dalam Islam
Al-Quran merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum
yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Quran merupakan kalamullah, yang diturunkannya dengan jalan qath‟i dan tidak dapat diragukan lagi
sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan, bahwa Al-Quran itu berasal dari Allah dan ia
merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu faktor yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Quran adalah karena
43
faktor bahasanya, bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi‟ir orang Arab atau siapa pun. Allah Swt berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran ini. Pasti
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.” (QS. Al-Isra (17): 88)
“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran, dan ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang benar.” (QS. Al-Baqarah (2): 23)
Pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah Saw, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh Nabi pada awalnya berkata:
“Sesungguhnya di dalam Al-Quran itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula keindahannya, apabila di bawah menyuburkan dan
apabila di atas menghasilkan buah. Dan manusia tidak akan mungkin mampu berucap seperti Al-Quran.”
Selain dari bahasanya, isi Al-Quran sekaligus menjadi hujjah atas
kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman, juga tentang akan menangnya
pasukan Romawi atas Persia dan sebagainya. Selain isi Al-Quran menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, juga terdapat kisah tentang sebagian Iptek,
misalnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh bantuan angin, dan sebagainya. Yang pada akhirnya terbukti kebenarannya.
Semua itu menunjukkan bahwa Al-Quran memang bukan datang dari manusia melainkan dari Allah Swt; Sang Pencipta dan
Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan, bahkan keharusan untuk menjadikan Al-Quran sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia. (Quraisy Shihab, 2004).
Mengenai fungsi Al-Sunnah menurut Abuddin Natta (1998) terhadap Al-Quran, dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Menguraikan Keglobalan Al-Quran.
Mujmal (keglobalan) adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya, Dalalah (penunjukannya) yaitu dalil yang belum
44
jelas maksud dan perinciannya. Misalnya perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Quran hanya
menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci
menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka‟at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain.
Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan:
“Sesungguhnya di dalam Al-Quran terdapat ungkapan yang
seandainya tidak ada penjelasan lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini, rujukan kita hanya kepada
Sunnah Nabi Saw. Adapun ijma‟ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu, secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.”
2) Pengkhususan Keumuman Al-Quran.
Umum („Âm) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu
makna yang pantas dengan satu ucapan saja. Misalnya, Al-Muslimun (orang-orang Islam), Al-rijâlu (orang-orang laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Quran itu terdapat banyak lafadz
yang bermakna umum, kemudian Sunnah mengkhususkan kata yang terdapat dalam Al-Quran tersebut. Misalnya firman
Allah Swt:
“Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan.” (QS.
An-Nisa (4): 11)
Menurut ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan waris dari ayahnya. Jadi setiap anak
adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya. Sabda Rasulullah saw:
“Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” (HR. Imam Bukhari)
“Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.” (HR. Tirmidzi
dan Ibnu Majah)
Menurut hadits di atas, Nabi tidak meninggalkan waris bagi
anak-anaknya, serta melarang seorang anak yang membunuh ayahnya mendapat waris dari ayahnya.
45
3) Taqyid (Pensyaratan) terhadap ayat Al-Quran yang Mutlak.
Mutlak ialah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih
umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Quran banyak dijumpai ayat-ayat
yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” (QS. Al-Maidah
(5): 38)
Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun kecil). Kemudian Sunnah memberikan persyaratan
nilai barang curian itu, sebanyak seperempat dinar emas ke atas. Sabda Rasulullah Saw:
“Potonglah dalam pencurian, seharga seperempat dinar dan janganlah dipotong yang kurang dari itu.” (HR. Ahmad)
Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi
pencuri (QS. Al-Maidah (5): 38), yaitu pada pergelangan tangan dan bukan dari tempat lainnya, sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah Saw.
4) Pelengkap Keterangan Sebagian dari Hukum-Hukum.
Peranan Sunnah yang lain adalah untuk memperkuat dan
menetapkan apa yang telah tercantum dalam Al-Quran, di samping melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang
asalnya dari Al-Quran. Al-Quran menegaskan tentang pengharaman memperisteri dua orang saudara sekaligus.
“(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan)
dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. Al-Nisa (4): 23)
Di dalam Al-Quran, tidak disebutkan tentang haramnya
seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita saudara ibu, atau anak perempuan dari saudara laki-laki istri
(keponakan). Sunnah menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi:
Tidak boleh seseorang memadu wanita dengan „ammah
(saudara bapaknya), atau dengan saudara ibu (khala) atau anak perempuan dari saudara perempuannya (keponakan) dan
tidak boleh memadu dengan anak perempuan saudara laki-
46
lakinya, sebab kalau itu kalian lakukan, akan memutuskan tali persaudaraan. (HR. An-Nasa‟i dan Ibnu Majah).
5) Sunnah Menetapkan Hukum-hukum baru, yang tidak terdapat dalam Al-Quran.
Sunnah juga berfungsi menetapkan hukum-hukum yang baru, yang tidak ditemukan dalam Al-Quran dan bukan merupakan penjabaran dari nash yang sudah ada dalam Al-Quran, akan
tetapi merupakan aturan-aturan baru yang hanya terdapat dalam Sunnah. Misalnya, diharamkannya „keledai jinak‟ untuk dimakan, setiap binatang yang bertaring, dan setiap burung
yang bercakar.
Begitu pula, tentang keharaman memungut pajak (bea cukai),
penarikan hak milik atas tanah pertanian yang selama tiga tahun berturut-turut tidak dikelola, maka diambil oleh negara, tidak bolehnya individu memiliki kepentingan umum seperti air,
rumput, api, minyak bumi, tambang emas, perak, besi, sungai, laut, tempat penggembalaan ternak dan lain-lain.
Demikian, antara lain ketentuan tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah Saw. Maka sikap seorang Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
“Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya, supaya Dia memberikan
ketentuan hukum diantara mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami mendengar dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.” (QS. Al-Nûr (24):
51)
Penggunaan nash Al-Sunnah untuk masalah aqidah, haruslah nash yang bersifat qath‟i, karena tidak boleh adanya keraguan
sedikitpun dalam masalah aqidah. Sedangkan untuk masalah hukum Syariah, masih dapat digunakan nash Al-Sunnah yang
mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini, karena dalam masalah Syariah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan
sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i‟tiqadiyah).
47
2. Ijtihad Sebagai Sumber dan Norma Ajaran Islam yang Ketiga
a. Definisi Ijtihad
Kata ijtihad menurut bahasa berasal dari kata, „ijtahada, yajtahidu dan ijtihâdan”, yang berarti “daya upaya” atau “usaha keras”.
Dengan demikian ijtihad berarti “berusaha keras untuk mencapai atau memeroleh sesuatu”. Dalam istilah fikih, ijtihad berarti “berusaha keras untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-
dalil agama yang bersumber dari Al-Quran dan hadis” (Badzl al-wus‟i fi nail hukm syar‟i bi dalil syar‟i min al-kitab wa al-sunnah). Ijtihad dalam istilah fikih inilah yang banyak dikenal dan
digunakan di berbagai penjuru dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Secara umum dan luas, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama. Misalnya, Ibn Taimiyah yang menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-lain,
berkata: ”Sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan, sebagaimana mujtahid-
mujtahid lain. Dan pada hakikatnya mereka (kaum sufi di Bashrah) dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kufah yang
juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata negara, dan lain-lain.
b. Dasar-Dasar Ijtihad
Al-Quran menjadi dasar ijtihad sebagaimana tertuang pada:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan Kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat.” (QS. Al-Nisa (4):105)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Rûm (30):21)
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antaranya hadis „Amr bin Al-„Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim,
dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,
kemudian dia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala” (Muslim, II, t.t.: 62).
48
c. Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara
istinbath (konklusi mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq (penerapan hukum).
Rukun Ijtihad:
1) Al-waqi‟, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan nash.
2) Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3) Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali
(takhlifi).
4) Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fikih
(Nadiyah Syafari al-Umari, t.t.: 199-200).
Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali syarat-syarat mujtahid ada dua :
1) Mengetahui syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya, sehingga dapat mendahulukan yang
seharusnya didahulukan dan mengakhiri sesuatu yang seharusnya diakhiri.
2) Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak
keadilannya.
Menurut Fakhr Al-Din Muhammad bin Umar bin Al-Husain al-Razi
(1988: 496-497), syarat-syarat mujtahid adalah:
1) Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2) Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya.
3) Mengetahui keadaan mukhathab (orang yang diajak bicara/ komunikan) yang merupakan sebab pertama terjadinya
perintah atau larangan.
4) Mengetahui keadaan lafadz, apakah memiliki qarinah
(keterkaitan) atau tidak.
Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H: 90-91), syarat-syarat mujtahid ada tiga:
1) Memahami tujuan-tujuan syara‟ (maqashid al-syari‟ah), yaitu dlaruriyyat yang mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din),
49
pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs), pemeliharaan akal (hifzh al-aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan pemeliharaan
harta (hifzh al-mal); hajiyyat, dan tahsiniyyat.
2) Mampu melakukan penetapan hukum.
3) Memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
Berbeda dengan syarat-syarat dahulu, Muhammad bin „Ali bin
Muhammad al-Syaukani menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut:
1) Mengetahui Al-Quran dan Al-Sunnah yang bertalian dengan
masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum di dalam Al-Quran sekitar 500 ayat.
2) Mengetahui ijma sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma ulama.
3) Mengetahui bahasa Arab karena Al-Quran dan Al-Sunnah
disusun dalam bahasa Arab.
4) Mengetahui ilmu Ushul Fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu
terpenting bagi mujtahid karena membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
Dengan demikian, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid itu cukup banyak. Maka menurut Muhaimin dkk, sesuai dengan syarat-syarat yang dimilikinya, mujtahid itu terbagi
menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan itu adalah mujtahid muthlaq dan mujtahid mazhab. Mujtahid Muthlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari
sumbernya. Di samping itu, ia pun mampu menerapkan dasar-dasar pokok sebagai landasan ijtihad. Mujtahid mutlaq terbagai menjadi dua tingkatan. Pertama, mujtahid muthlaq mustaqil, yaitu
mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun sendiri. Ia tidak taklid kepada mujtahid
lainnya, dan bahkan metode dan dasar-dasar yang ia susun menjadi mazhab tersendiri. Yang termasuk mazhab ini, umpamanya, empat tokoh mazhab fiqh terkenal seperti Imam
Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi‟I, dan Imam Hambali.
Kedua, mujtahid muthlaq muntasib, yaitu mujtahid yang telah
mencapai derajat muthlaq mustaqil, tetapi ia tidak menyusun metode sendiri. Mujtahid kelompok ini tidak taklid kepada imamnya tanpa dalil dan keterangan, ia menggunakan keterangan
50
imamnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contohnya, Al-Mujani dari mazhab Syafi‟i dan Al-
Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi.
Mujtahid Fi Al-Mazhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan
hukum-hukum agama yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh mazhabnya, dengan cara menggunakan metode yang telah disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu Ja‟far Al-Thahtawi
dalam mazhab Hanafi, kelompok mujtahid ini terbagi dua :
1) Mujtahid takhrij,
2) Mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa
d. Fungsi dan Peranan Ijtihad
Meski Al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap,
tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-Quran maupun Al-Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern,
sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan ajaran
Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu, maka
persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran atau Al-Hadits.
Sekiranya sudah ada, maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran atau Al-Hadits. Namun, jika persoalan tersebut merupakan perkara
yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Al-Hadits, pada saat itulah, maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah
mereka yang mengerti dan paham Al-Quran dan Al-Hadits. (Jalaludin Rakhmat, 1992)
C. Metode Ijtihad
Sulaiman Abdullah dalam “Sumber Hukum Islam” (2004) mengemukakan ada beberapa metode Ijtihad, diantaranya:
1. Ijma‟
Ijma‟ menurut bahasa, mengandung dua pengertian, yaitu:
a. Ittifaq (kesepakatan), seperti dikatakan: ”Suatu kaum ialah berijma‟ tentang sesuatu”, maksudnya apabila mereka menyepakatinya;
51
b. „Azam (cita-cita, hasrat) dan tasmim.
Ijma‟ menurut Syara‟ (dalam pandangan jumhur) adalah kesepakatan
seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan masa setelah wafat Nabi Saw tentang suatu hukum syara‟ yang amali.
Oleh karena itu, menurut jumhur Ulama Ijma‟ hanya terwujud, apabila dipenuhi persyaratan/unsur-unsurnya sebagai berikut:
a. Bersepakatnya para mujtahid.
b. Bahwa semua para mujtahid tersebut bersepakat, tak seorangpun yang berpendapat lain. Kalau satu orang saja yang berpendapat lain, maka ijma‟ tidak tersimpul.
c. Bahwa kesepakatan para mujtahid yang ada, ketika masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan dan dibahas, tidak mesti
disepakati pula oleh mujtahid generasi berikutnya.
d. Bahwa kesepakatan mujtahid, terjadi setelah Nabi Saw wafat.
e. Bahwa kesepakatan mujtahid, harus masing-masing mujtahid
memulai pernyataan pendapatnya dengan jelas pada satu waktu
f. Bahwa kesepakatan mujtahid, dalam berpendapat yang bulat dan
sempurna dalam pleno lengkap.
2. Qiyas (Analogi)
Qiyas merupakan metode pertama yang dipegang para mujtahid
untuk mengishtibatkan hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan paling jelas.
Pengertiannya menurut bahasa adalah mempersamakan, seperti dikatakan si fulan tidak diqiyaskan dengan si fulan.
Menurut istilah Ulama Ushul, qiyas adalah mempersamakan satu
peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash.
Beberapa contoh qiyas :
a. Jual beli saham (indent) dibolehkan karena dikecualikan dengan
hadits Nabi Saw: “Rasulullah melarang menjual barang yang tidak hadir dan memberikan dispensasi pada jual beli indent.”
Diqiyaskan dengannya jual beli barang yang sudah ada dan
barang yang akan ada dari buah batang kayu, karena samanya
52
hajat kepada keduanya dan berlakunya kebiasaan orang melakukan tanpa menimbulkan sengketa.
b. Menjual sesuatu barang yang dalam proses pembelian orang lain, dilarang dengan hadits : “Tidak halal bagi seseorang melamar
wanita yang sudah dilamar saudaranya dan menjual barang yang sudah dijual kepada saudaranya.” (Sulaiman Abdullah, 2004: 82-87)
3. Istihsan
Istihsan merupakan metode ijtihad bil ra‟yi (dengan rasio) orang kedua. Menurut pengertian bahasa arab, Istihsan adalah
„menjadikan sesuatu itu baik‟ atau „mengikuti sesuatu yang baik secara hissi (lahir) dan ma‟nawi. Sedangkan menurut pengertian
ishtibat, terjadi perbedaan rumusan sejalan dengan perbedaan aspek pandangan dan orientasi terhadap setiap aspeknya, diantaranya:
a. Definisi menurut golongan (mazhab) Hanafiyah:
Al-Bazdawi mendefinisikan:
“Berpindah dari suatu hasil qiyas kepada qiyas yang lebih kuat, mentakhsiskan qiyas dengan dalil yang lebih kuat daripadanya”
An-Nasaf mendefinisikan:
“Berpindah dari suatu hasil qiyas kepada qiyas yang lebih kuat, atau suatu dalil yang bertentangan dengan qiyas jaly (nyata).”
b. Definisi menurut golongan Malikiyah:
Ibnu Arab mendefinisikan:
“Mendahulukan ditinggalkannya tuntutan dalil, menurut jalan
pengecualian (istisna) dan keringanan karena bertentangannya di dalam sebagian yang dituntutnya.”
Ibnu Rusyd mendefinisikan:
“Menyisihkan qiyas yang membawa kepada hukum yang berlebih-lebihan, berpindah kepada wadah yang menuntut
dikecualikannya qiyas”.
c. Definisi menurut golongan Hanabilah:
Ath-Thufy mendefinisikan:
53
“Definisi istihsan yang terbaik ialah memindahkan ketentuan hukum suatu masalah dari bandingannya, karena dalil syara‟
yang khash.”
Istihsan menurut Ulama Ushul ialah berpindah dari suatu
ketentuan hukum yang menjadi konsekuensi dari suatu dalil syara‟ terhadap suatu peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum lain terhadapnya, karena adanya dalil syara‟ yang juga menuntut
perpindahan tersebut, yang disebut dengan sanad istihsan (Sulaiman Abdullah, 2004: 127-131).
d. Istishlah
Istishlah menurut bahasa mencari maslahat, baik dalam artian konkrit, seperti dikatakan „istashlaha badanahu‟ (dia mencari
mashlahat badannya), maupun abstrak seperti dikatakan „istashlaha khuluqahu” (dia mencari mashlahat akhlaknya).
Menurut istilah ilmu ushul adalah menetapkan hukum suatu
peristiwa hukum yang tidak disebutkan nash, dan ijma‟, berlandaskan pada pemeliharaan mashlahat mursalah, yaitu
mashlahat yang tak ada dalil dari syara‟ yang menunjukkan diakuinya atau ditolaknya. Sebagian ulama Ushul menamakannya dengan istishlah (Hanabilah) dan sebagian lagi menyebutkannya
“berbuat atas dasar maslahat mursalah (Malikiyah). (Sulaiman Abdullah, 2004: 141)
e. Saddudz Dzariah
Secara lughawi dzari‟ah adalah wasilah (sarana). Sedangkan menurut istilah ulama ushul ialah sesuatu yang menjadi jalan bagi
yang diharamkan atau yang dihalalkan, maka ditetapkan hukum sarana itu menurut yang ditujunya. Dzari‟ah ini merupakan salah satu dasar yang disebutkan oleh kitab-kitab Malikiyah dan
Hanabilah. Sedangkan kitab-kitab mazhab lain tidak menyebutkannya dengan judul ini, akan tetapi apa yang dicakup
oleh pengertian dzari‟ah, ditetapkan pula fiqih Hanafi dan Syafi‟i dengan perbedaan dan persamaan dalam beberapa bagiannya. (Sulaeman Abdillah, 2004: 164)
f. Istishab
Istishab ialah menjadikan lestari keadaan sesuatu yang sudah
ditetapkan pada masa lalu sebelum ada dalil yang mengubahnya. Jadi, apabila sudah ditetapkan suatu perkara pada sesuatu waktu, maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu, sebelum ada dalil
54
baru yang mengubahnya, sebaliknya apabila sesuatu perkara telah ditolak pada sesuatu waktu, maka penolakan tersebut tetap
berlaku sampai akhir masa, sebelum terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan) perkara itu (Sulaeman Abdillah, 2004: 158).
g. „Urf
„Urf ialah apa yang sudah terkenal di kalangan umat manusia dan selalu diikuti, baik „urf perkataan maupun „urf perbuatan. „Urf dan
adat dalam pandangan ahli syari‟ah adalah dua kata yang sinonim (taroddud) berarti sama.
Tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan
kebiasaan masyarakat setempat, selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam Al-Quran dan Hadis.
(Sulaeman Abdillah, 2004: 77 )
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah bahwa Al-Quran merupakan kalamullah (firman Allah), bukan ciptaan manusia, bukan
karangan Muhammad saw ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Quran tetap menjadi mukjizat, sekaligus sebagai bukti keabadian dan
keabsahan risalah Islam sepanjang masa, dan sebagai sumber segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia. Al-Quran senantiasa akan terpelihara isi dan keasliannya. Kandungan maknanya
akan senantiasa didalami oleh orang-orang Islam. Sedangkan bagi non-Muslim yang mengkaji alam semesta, temuannya akan sama dengan apa
yang sudah diisyaratkan oleh Al-Quran. Dua pelaku pencari kebenaran Muslim dan Kafir. Muslim lebih (banyak) meneliti Al-Quran, sedangkan yang Non-Muslim lebih banyak mengkaji Al-Kaun (alam raya), namun
hasilnya akan mencapai kemiripan, untuk tidak menyatakan kesamaan. Oleh karena itu, umat Islam harus bekerjasama antara mereka yang mengkaji alam dengan kajian Al-Quran. Kita perlu menjadikan Al-Quran
memandu ilmu; wahyu memandu akal.
Al-Sunnah adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Sebagai
sumber agama dan ajaran Islam, Al-Sunnah mempunyai peranan penting setelah Al-Quran. Kedudukan Al-Sunnah dikukuhkan oleh Al-Quran juga, karenanya kita perlu menilai kebenaran yang terkandung didalam hadits.
Bukan berarti kita ragu terhadap posisi hadits, namun kita hanya melihat samapai sejauh mana ketsiqahan. Bila hadits itu tsiqah (benar dan kuat),
maka kandungannya akan sejalan dengan isi Al-Quran. Namun bila dia tidak tsiqah, bisa jadi ia menyimpang (jauh) dari Al-Quran. Bila ada kebedaan pada makna hadits, maka kita perlu cari jalan keluarnya, yaitu
hadits harus didekatkan kepada makna Al-Quran. Wahyu menjadi payung bagi Al-Hadits. Al-Quran merupakan kitab suci dan pedoman hidup umat
55
Islam, diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan.
Meski Al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-
Quran maupun Al-Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan
turunan dalam melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat
tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji, apakah perkara itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-
Quran atau Al-Hadits. Sekiranya sudah ada, maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran atau Al-Hadits itu. Namun, jika persoalan tersebut merupakan
perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Al-Hadits, pada saat itulah, maka umat Islam memerlukan ketetapan
Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al-Quran dan Al-Hadits.
56
Soal:
1. Kemukakan pengertian Kalamullah? Dan apa fungsinya?
2. Apa pengertian dari Al-Sunnah?
3. Apa peranan Al-Sunnah dari Al-Quran?
4. Mungkinkah terjadi kontradiksi antara Al-Sunnah dan Al-Quran? Mengapa?
5. Apa pengertian Ijtihad? Kemukakan ruang lingkup Ijtihad!
6. Mengapa Ijtihad perlu bagi kaum Muslimin?
7. Kemukakan beberapa hukum didalam kehidupan!
8. Mengapa Kaum Muslimin harus mengamalkan kandungan Al-Quran?
9. Apa akibat dari beragama yang tidak disertai dengan petunjuk Al-Quran?
10. Jelaskan pengertian „urf, istihsan, dan saddudz ul-dzari‟ah (saddu al-
dzara‟i)!