13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola
1. Pengertian Motivasi Berprestasi
Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu
usaha pada tiap individu dalam mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
menjalankan semua kegiatan yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya
untuk mencapai target-target tertentu yang harus dicapainya. Robbins & Judge
(2007) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai dorongan individu dalam
melakukan sesuatu secara maksimal dengan menggunakan seluruh
kemampuannya untuk unggul dari individu yang lainnya hingga individu tersebut
mencapai kesuksesan. Mangkunegara (2011) mengartikan motivasi berprestasi
sebagai suatu dorongan dalam ciri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan
suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan
predikat terpuji. Sedangkan Munandar (2014) motivasi berprestasi adalah
dorongan yang kuat untuk berhasil, dimana individu hanya berfokus untuk
mengejar prestasi dari pada imbalan terhadap keberhasilan, individu juga akan
lebih bersemangat untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dan selalu
menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.
Selain itu, Woolfolk (1995) mengatakan bahwa motivasi berprestasi adalah
keinginan untuk meraik kesuksesan dan keunggulan dengan menggunakan daya
kemampuan yang dimiliki secara maksimal. Mylsidayu (2015) mendefinisikan
14
bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu dorongan yang terjadi dalam diri
individu untuk senantiasa meningkatkan kualitas tertentu dengan sebaik-baiknya
atau lebih dari biasa dilakukan. Siagian (2004), motivasi berprestasi adalah orang
yang berusaha berbuat sesuatu lebih baik dibandingkan dengan orang-orang lain
dengan cara memperlihatkan keunggulannya. Menurut As’ad (2004) motivasi
berprestasi merupakan kebutuhan untuk mencapai sukses yang diukur berdasarkan
standar kesempurnaan dalam diri seseorang. Kebutuhan ini, berhubungan dengan
pekerjaan dan mengarah ke tingkah laku pada usaha untuk mencapai prestasi.
Berdasarkan uraian beberapa penjelasan diatas tentang definisi motivasi
berprestasi. Maka peneliti menyimpulkan bahwa motivasi berprestasi ialah usaha
tiap individu dengan menggunakan seluruh kemampuannya untuk mencapai
tujuan karena tujuan yang akan dicapai merupakan tanggung jawabnya.
2. Aspek-aspek Motivasi Berprestasi
Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009) orang yang memiliki motivasi
berprestasi yang tinggi ditandai dengan hal-hal berikut:
a. Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya
Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan menjadikan
setiap tidakan yang diambil merupakan tanggung jawab pribadi. Jika gagal, ia
tidak akan menyalahkan orang lain atas kegagalan tersebut, tetapi hal itu dinilai
dan dirasakannya sebagai tanggung jawabnya. Individu yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi akan berusaha untuk menyelesaikan setiap tugas yang dilakukan
dan tidak akan meninggalkan tugas itu sebelum berhasil menyelesaikannya.
15
Individu akan merasa berhasil apabila telah menyelesaikan tugas dan gagal bila ia
tidak dapat menyelesaikannya.
b. Mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya
Individu yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan
menggunakan umpan balik dalam perbuatannya. Hal ini ia lakukan untuk
mengetahui apakah tindakannya selama ini memiliki manfaat yang dapat berguna
bagi individu lainnya atau tidak. Dengan menggunakan evaluasi tersebut ia dapat
meningkatkan efektivitas tingkah lakunya untuk mencapai suatu prestasi. Pada
individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi ini, pemberian umpan balik atas
hasil kerja yang telah dilakukan sangatlah disukai. Umpan balik yang diberikan
ini selanjutnya akan diperhatikan dan dilaksanakan untuk perbaikan hasil kerja
yang akan datang.
c. Adanya kecenderungan untuk memilih resiko yang moderat atau sedang
dalam melakukan tugasnya.
Seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan
melaksanakan suatu tugas yang ada tantangannya, tetapi yang dapat dicapai secara
nyata. Ia tidak menyukai tugas yang terlalu mudah ataupun yang terlalu sukar,
tetapi tugas yang disesuaikan dengan kemampuannya. Individu dengan motivasi
berprestasi tinggi mempertimbangkan resiko yang akan dihadapinya sebelum
memulai suatu pekerjaan. Ia akan memilih tugas dengan derajat kesukaran sedang,
yang menantang kemampuannya untuk mengerjakan namun masih
memungkinkannya untuk berhasil menyelesaikannya dengan baik.
16
d. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif
Seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi, tidak terikat
pada suatu yang bersifat statis tetapi cenderung bertindak secara aktif mencari
jalan keluar bagi masalah yang dihadapinya. Individu dengan motivasi berprestasi
tinggi cenderung bertindak kreatif, dengan mencari cara baru untk menyelesaikan
tugas seefisien dan seefektif mungkin. Ia tidak menyukai pekerjaan rutin dengan
pekerjaan yang sama. Bila dihadapkan pada tugas yang bersifat rutin, ia akan
berusaha mencari cara lain untuk menghindari rutinitas tersebut namun tetap dapat
menyelesaikan tugasnya itu.
Selain itu menurut Menurut Robbins & Judge (2007) orang yang
mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi ditandai dengan:
a. Menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang
Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan berusaha mencoba
setiap tugas yang menantang tetapi mampu untuk diselesaikan, sedangkan orang
yang tidak memiliki motivasi berprestasi tinggi akan enggan melakukannya.
Orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi menyukai tugas-tugas yang
menantang serta berani mengambil resiko yang diperhitungkan untuk mencapai
suatu sasaran yang telah ditentukan. Oleh karena itu mereka yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas dengan taraf kesulitan sedang dan
dianggap realistis dengan kemampuannya untuk melakukan tuntutan pekerjaan.
b. Bertanggung jawab secara pribadi atas kinerjanya
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memilih untuk
bertanggung jawab secara pribadi terhadap kinerjanya. Mereka akan memperoleh
17
kepuasan setelah melakukan sesuatu yang lebih baik dengan tanggung jawabnya.
Mereka juga mempunyai kecenderungan untuk menyelesaikan pekerjaan sampai
tuntas dan selalu ingat akan tugas-tugasnya yang belum selesai.
c. Menerima umpan balik
Umpan balik merupakan aspek penting dalam proses motivasi karena dapat
memberikan informasi apakah seseorang hasil kerjanya telah berhasil mencapai
seperti apa yang diharapkan. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi
menganggap umpan balik sebagai hadiah karena mereka ingin mengetahui
seberapa baik mereka mengerjakan tugas tersebut serta dapat dengan mudah
menentukan apakah dirinya berkembang atau tidak ketika bekerja.
Mangkunegara (2011) berpendapat bahwa individu yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi ditandai dengan:
a. Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi, individu yang memiliki
motivasi berprestasi yang tinggi selalu bertanggung jawab atas keberhasilan
atau tidaknya tindakan yang diambil dalam sesuatu hal.
b. Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta
berjuang untuk merealisasikannya, individu selalu memiliki kemampuan
dalam hal penyusunan tugas dan segala sesuatunya akan dikerjakan dan
diselesaikan sesuai apa yang dijanjikannya, hal ini terkait dengan efektivitas
individu terhadap pekerjaannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi
akan memiliki efektivitas pada program yang telah disusunya hingga dapat
diselesaikan secara singkat dan tetap menghasilkan hasil yang memuaskan.
18
c. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil
risiko yang dihadapinya, individu selalu mengambil risiko yang dapat
menjadikan dirinya berpeluang untuk lebih berprestasi. Hal tersebut yang
terjadi jika individu memiliki motivasi berprestasi yang tinggi.
d. Melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang
memuaskan, individu selalu berusaha menyelesaikan tugas yang sudah dipilih
dengan hasil yang memuaskan karena individu yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi akan mengerahkan segala kemampuannya untuk
berprestasi.
e. Mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang
tertentu, individu selalu ingin menjadi yang lebih baik sehingga memiliki
keinginan untuk menguasai segala hal yang masih dapat mencakup
kemampuan yang di miliki diri individu tersebut.
Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek diatas menurut beberapa ahli, maka
dapat disimpulkan aspek-aspek tentang motivasi berprestasi yaitu menurut
McClelland (dalam Sutrisno, 2009) adalah memiliki tanggung jawab yang besar,
mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya, adanya kecenderungan
untuk memilih resiko yang moderat dalam melakukan tugasnya, berusaha
melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif. Sedangkan aspek-
aspek motivasi berprestasi menurut Robbins & Judge (2007) yaitu menyukai tugas
yang memiliki taraf kesulitan sedang, bertanggung jawab secara pribadi atas
kinerjanya, dan menerima umpan balik. Selain, kedua tokoh tersebut
Mangkunegara (2011) memberikan aspek-aspek individu yang memiliki motivasi
19
berprestasi yang tinggi yaitu memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi,
memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta
berjuang untuk merealisasikannya, memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapinya, melakukan pekerjaan
yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan, dan
mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu.
Penjelasan dari aspek-aspek diatas, maka peneliti memilih aspek menurut
McClelland yaitu memiliki tanggung jawab yang besar, mempergunakan feed
back (umpan balik) dalam perbuatannya, adanya kecenderungan untuk memilih
resiko yang moderat dalam melakukan tugasnya, berusaha melakukan sesuatu
dengan cara baru (inovatif) dan kreatif. Peneliti memilih aspek tersebut karena
lebih komprehensif dan aspek-aspek tersebut mengarahkan kepada individu untuk
memiliki sikap yang tidak mudah menyerah dalam mencapai kesuksesan dengan
menentukan standar prestasi dari dirinya sendiri.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi
McClelland (1987) mengatakan bahwa motivasi berprestasi dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik
meliputi :
a. Kemungkinan untuk sukses,
Situasi dimana individu akan mengejar kesuksesan secara maksimal untuk
mendapatkan kepuasan dari melakukan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya
20
sendiri. Ketika situasi tersebut memungkinkan untuk sukses pada individu
tersebut, maka individu akan semakin termotivasi untuk berprestasi.
b. Ketakutan akan kegagalan,
Mengacu pada perasaan individu tentang ketakutan akan sebuah kegagalan
sehingga akan membuat individu untuk semakin termotivasi mencari upaya agar
dapat mengatasi kegagalan dan meningkatkan motivasinya untuk berprestasi.
c. Value,
Value merupakan nilai ketika individu akan mencapai tujuan dan tujuan
tersebut benar-benar bernilai baginya, maka akan semakin termotivasi untuk
berprestasi dalam hal ini individu akan cenderung melihat uang sebagai value
yang dijadikan tujuan bagi individu untuk termotivasi berprestasi.
d. Self-efficacy,
Mengarah pada keyakinan individu pada dirinya sendiri untuk mampu
mencapai keberhasilan. Semakin tinggi tingkat keyakinan seseorang maka
individu akan semakin termotivasi untuk berprestasi.
e. Usia,
Usia dapat menjadikan seorang individu memiliki perkembangan ego,
kematangan emosi dan kematangan berfikir sehingga seorang individu dapat
menggunakan kematangan usianya untuk termotivasi agar dapat berprestasi.
f. Pengalaman,
Pengalaman mampu menjadikan seorang individu mengingat kemampuan
yang dimiliki pada masa lalu, memiliki keberagamaan akan sesuatu yang
21
diperoleh dari pengalamannya, dan dijadikan sebagai acuan untuk membantunya
lebih termotivasi untuk berprestasi.
g. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempengaruhi individu dalam memperoleh prestasi. Pria lebih
memiliki motivasi berprestasi dibandingkan wanita didasari pada jenis kegiatan
atau pekerjaan yang dilakukan, pria lebih memiliki pekerjaan yang lebih beragam
dibanding wanita.
Sementara faktor eksternal meliputi:
a. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi motivasi orang-orang yang berada di sekitarnya.
Motivasi individu akan menurun jika kondisi lingkungannya tidak mendukung
individu yang berada di dalamnya. Dalam organisasi ataupun perusahaan, seorang
pegawai dapat memiliki motivasi berprestasi apabila dalam lingkungan organisasi
atau perusahaan tersebut terjadi interaksi antar pegawai. Interaksi tersebut dapat
berlangsung pada seorang pegawai dengan pegawai yang lainnya dan juga dengan
atasan. Motivasi berprestasi individu meningkat dipengaruhi oleh anggota yang
berada dalam lingkungan perusahaan tersebut.
b. Sosial
Faktor sosial yaitu faktor yang menjelaskan tentang pengaruh dari orang-
orang disekitar individu. Pengaruh motivasi individu dipengaruhi oleh orang-
orang di sekitarnya/kelompok. Motivasi individu akan menurun jika satu atau dua
anggota kelompok tidak memiliki kemampuan kerja kelompok yang baik. Seperti
dalam suatu kelompok jika individu satu dengan yang lainnya tidak memiliki
22
hubungan yang baik maka akan menurunkan motivasi individu yang berada
dikelompok tersebut.
c. Hubungan individual
Hubungan individual menjelaskan faktor-faktor dari dalam diri individu yang
mempengaruhi motivasi seseorang. Faktor-faktor tersebut antara lain mencakup
kemampuan, talenta, keahlian, dan pengetahuan. Kemampuan tersebut yang
menjadi bekal bagi individu untuk memiliki hubungan antar individu satu dengan
individu lainnya. Ketika individu memiliki intensitas hubungan maka individu
tersebut memiliki objek dan termotivasi untuk mengembangkan kemampuannya
agar lebih baik dari individu lainnya.
Selain itu menurut Mangkunegara (2011), faktor-faktor motivasi berprestasi
dibagi menjadi dua faktor diantaranya:
a. Tingkat kecerdasan (IQ)
Orang yang mempunyai motivasi prestasinya tinggi bila memiliki kecerdasan
yang memadai. Hal ini karena IQ merupakan kemampuan potensi, apabila
terpenuhi maka individu akan mengerahkan segala kemampuannya dan
kemampuannya dapat tersalurkan dengan baik untuk mencapai tujuannya secara
maksimal.
b. Kepribadian
Kepribadian yang dewasa akan mampu mencapai prestasi yang maksimal.
Hal ini dikarenakan kepribadian merupakan kemampuan seseorang untuk
mengintegrasikan fungsi psiko-fisiknya yang sangat menentukan dirinya dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
23
Berdasarkan uraian tentang faktor-faktor diatas menurut beberapa ahli,
maka dapat disimpulkan faktor-faktor tentang motivasi berprestasi yaitu menurut
McClelland (1987). Ada dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik
meliputi kemungkinan untuk sukses, ketakutan akan kegagalan, value, self-
efficacy, usia, pengalaman dan jenis kelamin. Sementara, faktor ekstrinsik
meliputi lingkungan sekolah, sosial dan hubungan individual. Selain itu faktor
faktor motivasi berprestasi juga dijelaskan oleh Mangkunegara (2011) yaitu
dibagi menjadi dua faktor diantaranya tingkat kecerdasan (IQ) dan kepribadian.
Penjelasan dari faktor-faktor diatas, maka yang dipilih oleh peneliti adalah
faktor menurut McClelland. Ada dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
intrinsik meliputi kemungkinan untuk sukses, ketakutan akan kegagalan, value,
self-efficacy, usia, pengalaman dan jenis kelamin. Sementara, faktor ekstrinsik
meliputi lingkungan sekolah, sosial dan hubungan individual. Peneliti memilih
faktor sosial. Faktor sosial yang dimaksud yaitu persepsi terhadap kohesivitas
kelompok karena faktor sosial mempunyai pengaruh pada motivasi individu yang
berada di dalam suatu kelompok. kohesivitas kelompok diukur melalui persepsi
anggota terhadap tingkat kohesivitas kelompoknya.
B. Persepsi terhadap kohesivitas kelompok
1. Pengertian Persepsi terhadap Kohesivitas kelompok
Robbins (1996) mendefinisikan persepsi adalah sebuah proses di mana
individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka melalui
panca indera untuk memberikan arti bagi lingkungan mereka. Menurut Walgito
24
(2003) persepsi yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu
melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak
berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses
selanjutnya merupakan proses persepsi. Sehingga persepsi dapat didefinisikan
dengan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang
diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti
dan merupakan aktivitas yang menyeluruh dari dalam diri individu. Baron &
Bryne (2003), mengatakan bahwa persepsi merupakan proses yang digunakan
oleh individu untuk mencoba mengetahui dan memahami perilaku orang lain.
Sunaryo (2004) menjelaskan bahwa agar individu dapat menyadari dan
mengadakan persepsi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu (a) adanya
objek yang harus dipersepsi, (b) adanya perhatian yang merupakan langkah
pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi, (c) adanya alat
indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus dan (d) saraf sensoris sebagai
alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk
mengadakan respon. Berbagai uraian tentang persepsi diatas maka dapat
disimpulkan bahwa persepsi adalah penilaian yang dilakukan individu
berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera dengan menafsirkan
informasi tersebut hingga menghasilkan arti bagi lingkungan mereka. Adapun
syarat yang harus dipenuhi agar individu dapat menyadari dan mengadakan
persepsi salah satunya adanya objek yang harus dipersepsi dan objek yang akan
dipersepsi adalah individu dalam kelompok antara lain kohesivitas kelompok.
25
Carron, Bray, & Eys (2002) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai
proses dinamis yang terlihat melalui kecenderungan kelekatan dan kebersatuan
kelompok dalam pemenuhan tujuan atau keputusan anggota kelompok. Robbins
dan Judge (2008) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai tingkat
ketertarikan antar anggota kelompok, sehingga dapat bertahan di dalamnya
dengan menjadi seperti orang-orang di dalam kelompok tersebut. Kesamaan
dengan orang-orang di dalam satu kelompok tersebut akan menjadikan anggota
satu lebih kompak dengan anggota lain dalam kehidupan berkelompok. Menurut
Levi (2001) mendefinisikan cohesiveness yaitu peningkatan komitmen, interaksi
dan ketertarikan pada diri individu untuk bergabung di dalam suatu kelompok.
Walgito (2003) kohesivitas kelompok merupakan interaksi antara anggota
kelompok yang dapat saling mempengaruhi, saling menyukai dan melekat satu
sama lain hoingga menyelesaikan tugas yang merupakan tujuan dari kelompok
tersebut.
Beberapa uraian diatas yang menjelaskan tentang kohesivitas kelompok
maka dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok merupakan daya tarik
emosional sesama anggota kelompok dimana adanya rasa kelekatan dan
kebersatuan kelompok secara bersama-sama saling mendukung untuk tetap
bertahan dalam kelompok demi pencapaian tujuan. Berdasarkan penjelasan diatas
maka penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terhadap kohesivitas kelompok
diukur melalui persepsi anggota terhadap tingkat kohesivitas kelompoknya.
Persepsi terhadap kohesivitas kelompok merupakan penilaian yang dilakukan
individu berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera terhadap
26
anggota kelompok yang menunjukkan sejauh mana kelompoknya memiliki
kecenderungan untuk terus bersama, bersatu dan mempertahankan kesatuan
untuk mencapai tujuan.
2. Aspek-aspek Persepsi terhadap Kohesivitas Kelompok
Carron, Bray, & Eys (2002) mengemukakan bahwa ada empat aspek
kohesivitas kelompok, yaitu:
a. Ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the
grouptask) adalah individu tertarik terhadap tujuan kelompok dan kinerja
kelompok terutama pada suatu tugas untuk kepentingan kelompok. Tugas
tersebut memiliki kepentingan pada tujuan terhadap kelompok. Ketika dalam
kelompok, anggota kelompok tersebut memiliki kenyamanan untuk mencapai
tujuan dan keberhasilan kelompok.
b. Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to
the group-social) adalah individu tertarik terhadap kelompok yang diikutinya.
Ketika dalam kelompok memiliki agenda rutin untuk kumpul bersama, maka
anggota tersebut memiliki rasa nyaman untuk hadir dalam agenda tersebut.
c. Kesatuan kelompok dalam tugas (group integration-task) adalah keseluruhan
anggota kelompok memiliki keinginan untuk mencapai tujuan secara
bersama-sama. Anggota kelompok sama-sama memiliki keinginan bahwa
kegiatan-kegiatan dan tugas yang di kerjakan demi mencapai tujuan
kelompok.
d. Kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social) adalah
keseluruhan anggota kelompok memiliki kedekatan dan ikatan satu sama lain.
27
Kelompok sebagai sarana interaksi bagi seluruh anggota kelompok yang
dapat menumbuhkan kenyamanan dan lebih dari tempat mencapai tujuan
kelompok tersebut.
Menurut Levi (2001) aspek-aspek kohesivitas kelompok diantaranya:
a. Komitmen terhadap kelompok
Kohesivitas kelompok yang tinggi memiliki anggota yang berkomitmen
tinggi terhadap kelompoknya. Selalu berada di dalam kelompoknya dalam kondisi
dan situasi apapun.
b. Menyukai tugas yang dilakukan kelompok
Individu yang memiliki kohesivitas tinggi akan menyukai tugas-tugas yang
ada di dalam kelompoknya. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan hingga
tercapainya tujuan dari kelompok tersebut.
c. Menikmati proses kerja sama di dalam kelompok
Kelompok yang memiliki kohesivitas yang tinggi, di dalamnya memiliki
individu yang keinginan lebih besar untuk bekerja sama agar tercapainya tujuan
dari kelompok.
d. Memiliki keterlibatan pribadi di dalam kelompok
Individu memiliki kelompok tersebut sehingga individu merasa kelompoknya
merupakan salah satu bagian dari keluarga, tim atau komunitasnya.
Aspek lain yang juga mempengaruhi kohesivitas kelompok dikemukakan
oleh Walgito (2003), adalah:
a. Individu mempunyai komitmen untuk bergabung dengan kelompok, dalam
kelompok yang kohesivitasnya tinggi, setiap anggota kelompok tersebut
28
memiliki komitmen yang tinggi untuk mempertahankan kelompoknya dalam
keadaan kelompok tersebut sedang baik ataupun dalam keadaan dilanda
masalah.
b. Individu tertarik dengan kelompok, kelompok yang kohesivitasnya tinggi
memiliki individu yang memiliki ketertarikan terhadap kelompoknya
sehingga individu tersebut memilih untuk masuk di dalam kelompok.
c. Kesamaan tujuan untuk menyelesaikan tugas, jumlah anggota berkorelasi
positif dengan pelaksanaan tugas. Yakni, makin banyak anggota makin besar
jumlah pekerjaan yang diselesaikan. Sehingga semakin banyak tugas yang
ada maka pemenuhan untuk timbulnya kohesivitas yang tinggi akan terbuka
lebar.
d. Adanya interaksi yang positif di dalam kelompok, kesempatan untuk
melakukan interaksi sosial dengan orang lain harus dapat saling toleran,
menghormati dan menyayangi orang lain serta bersikap santun. Tujuannya
agar interaksi sosial yang dilakukan dapat menciptakan suasana yang tertib,
teratur, dan dinamis di dalam kehidupan bermasyarakat sehingga
menimbulkan kondisi kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi.
Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek diatas menurut beberapa ahli, maka
dapat disimpulkan aspek-aspek tentang persepsi terhadap kohesivitas kelompok
yaitu menurut Carron, Bray, & Eys (2002) adalah ketertarikan individu pada tugas
kelompok (individual attractions to the grouptask), ketertarikan individu pada
kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social), kesatuan
kelompok dalam tugas (group intregation-task), dan kesatuan kelompok secara
29
sosial (group intregation-social). Sedangkan aspek-aspek persepsi terhadap
kohesivitas kelompok menurut Levi (2001) yaitu komitmen terhadap kelompok,
menyukai tugas yang dilakukan kelompok, menikmati proses kerja sama di dalam
kelompok, memiliki keterlibatan pribadi di dalam kelompok. Aspek lain yang
juga mempengaruhi kohesivitas kelompok dikemukakan oleh Walgito (2003)
diantaranya individu mempunyai komitmen untuk bergabung dengan kelompok,
individu tertarik dengan kelompok, kesamaan tujuan untuk menyelesaikan tugas,
dan adanya interaksi yang positif di dalam kelompok.
Berdasarkan aspek-aspek kohesivitas kelompok diatas maka peneliti
memilih aspek menurut Carron, Bray, & Eys (2002) yaitu ketertarikan individu
pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask), ketertarikan
individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social),
kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), dan kesatuan kelompok
secara sosial (group intregation-social). Beberapa penelitian sebelumnya juga
menggunakan aspek kohesivitas kelompok menurut Carron, dkk (2002) seperti
penelitian (Saidah, 2016).
C. Hubungan antara Persepsi terhadap Kohesivitas Kelompok dengan
Motivasi Berprestasi pada Atlet Sepak Bola
Robbins (1996) mendefinisikan persepsi adalah sebuah proses di mana
individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka melalui
panca indera guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Sedangkan
kohesivitas kelompok menurut Carron, Bray, dan Eys (2002) adalah proses
30
dinamis yang terlihat melalui kecenderungan kelekatan dan kebersatuan kelompok
dalam pemenuhan tujuan atau keputusan anggota kelompok. Robbins dan Judge
(2008) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai tingkat ketertarikan antar
anggota kelompok, sehingga dapat bertahan di dalamnya dengan menjadi seperti
orang-orang di dalam kelompok tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat
dikatakan bahwa persepsi terhadap kohesivitas kelompok adalah penilaian yang
dilakukan individu berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera
terhadap anggota kelompok yang menunjukkan sejauh mana kelompoknya
memiliki kecenderungan untuk terus bersama, bersatu dan mempertahankan
kesatuan untuk mencapai tujuan.
Kohesivitas kelompok sangat berpengaruh terhadap motivasi berprestasi.
Hal ini di perjelas oleh (Sakdiah dan Astuti, 2015) bahwa kohesivitas kelompok
memiliki pengaruh positif dengan motivasi berprestasi pada atlet. Kohesivitas
kelompok ditunjukkan di saat atlet sedang peformance dan dampak dari adanya
hal tersebut motivasi berprestasi atlet meningkat. Lebih lanjut dijelaskan oleh
Suryabrata (dalam Sakdiah dan Astuti, 2015) atlet sepak bola dianjurkan untuk
memiliki interaksi sesama atlet sepak bola lainnya. Berdasarkan interaksi tersebut
timbul suatu persepsi. Persepsi akan timbul apabila ada objek yang dipersepsi
(Sunaryo, 2004). Objek persepsi adalah antara individu sebagai atlet sepak bola
dengan kelompok atau tim yang dibelanya. Persepsi yang positif pada individu
terhadap kohesivitas kelompok membuat antar atlet sepak bola merasakan
kesatuan anggota dalam tim untuk tetap terikat, menyatu atau tetap tinggal dalam
tim dan mencegahnya meninggalkan tim (Walgito, dalam Sakdiah dan Astuti,
31
2015). Sebaliknya, bila atlet sepak bola memiliki persepsi negatif terhadap
kohesivitas kelompoknya maka yang terjadi adalah atlet sepak bola tersebut
merasa tidak nyaman di dalam kelompoknya, dan ingin meninggalkan
kelompoknya untuk mencari kelompok yang baru. Carron, Bray, dan Eys (2002)
menjelaskan kohesivitas kelompok terbagi menjadi empat aspek yaitu ketertarikan
individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask),
ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the
group-social), kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), dan
kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social).
Motivasi berprestasi menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), yaitu
usaha pada tiap individu dalam mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
menjalankan semua kegiatan yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya
untuk mencapai target-target tertentu yang harus dicapainya. Sedangkan menurut
Robbins & Judge (2007), motivasi berprestasi sebagai dorongan individu dalam
melakukan sesuatu secara maksimal dengan menggunakan seluruh
kemampuannya untuk unggul dari individu yang lainnya hingga individu tersebut
mencapai kesuksesan. Lebih lanjut McClelland (1987), membagi aspek-aspek
motivasi berprestasi menjadi empat yaitu mengambil tanggung jawab pribadi atas
perbuatannya, mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya,
kecenderungan untuk memilih resiko yang moderat atau sedang dalam melakukan
tugasnya, berusaha melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif.
Ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the
grouptask), merupakan daya tarik individu terhadap tujuan kelompok dan kinerja
32
kelompok terutama pada suatu tugas untuk kepentingan kelompok (Carron, Bray,
dan Eys, 2002). Ketertarikan individu pada tugas kelompok juga dapat diartikan
individu tertarik terhadap tujuan kelompok dan kinerja kelompok terutama pada
suatu tugas untuk kepentingan kelompok (Safitri dan Arninda, 2012). Pada atlet
sepak bola, apabila ketertarikan individu pada tugas kelompok dapat di
persepsikan positif maka setiap individu di dalam anggota kelompok akan
memandang bahwa, segala sesuatu hal yang dikerjakan di dalam kelompok akan
berdampak kepada pemenuhan tujuan dari kelompok tersebut. Dampak kepada
atlet sepak bola adalah kohesivitas di dalam kelompok tersebut dapat meningkat
hingga berpengaruh kepada peningkatan motivasi berprestasi setiap atlet sepak
bola (Sakdiah dan Astuti, 2015). Sebaliknya, apabila ketertarikan individu pada
tugas kelompok di persepsikan negatif maka yang terjadi adalah setiap atlet tidak
akan peduli terhadap pemenuhan tujuan dari kelompok, atlet akan mementingkan
dirinya sendiri dan tujuan dari tim sukar untuk tercapai (Muniroh, 2013).
Dampaknya dapat meluas ke atlet-atlet lainnya dan dapat menyebabkan
penurunan motivasi berprestasi.
Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to
the group-social), merupakan individu yang tertarik terhadap kelompok yang
diikutinya. (Carron, Bray, dan Eys, 2002). Selain itu, ketertarikan individu pada
kelompok secara sosial adalah dorongan kekuatan atau keinginan individu untuk
tetap berada dikelompoknya berdasar kepada penerimaan dirinya secara baik di
dalam kelompoknya (Muniroh, 2013). Pada atlet sepak bola, ketertarikan individu
pada kelompok secara sosial apabila dapat di persepsikan secara positif maka atlet
33
sepak bola akan cenderung aktif dalam berinteraksi dengan sesama anggota
kelompoknya seperti pada saat evaluasi yang diadakan pelatih dengan bertanya
maupun memberikan pendapat mengenai pola permainan kelompok dan
kemampuan individu dalam kelompok (Sakdiah dan Astuti, 2015). Dampaknya
terjadi peningkatan kohesivitas kelompok diikuti dengan meningkatnya motivasi
berprestasi dikarenakan interaksi antar individu terjalin dengan baik hingga
mengarah ke peformance saat bertanding, tidak terjadi miss komunikasi antar atlet
sepak bola ketika pertandingan dan menimbulkan rasa percaya diri antar sesama
atlet sepak bola sehingga dapat meraih hasil pertandingan yang baik (Sakdiah dan
Astuti, 2015). Sebaliknya, apabila ketertarikan individu pada kelompok secara
sosial di persepsikan negatif maka yang terjadi adalah setiap atlet pasif, jarang
berinteraksi, atlet akan menjadi individualis yang sebagaimana mestinya atlet
sepak bola bekerja bersama tim (Kurniawati, 2016). Dampaknya dapat meluas ke
atlet-atlet lainnya dan dapat menyebabkan kondusifitas di dalam tim bermasalah
dan mengarah ke penurunan motivasi berprestasi.
Kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), adalah
keseluruhan anggota kelompok memiliki keinginan untuk mencapai tujuan secara
bersama-sama. (Carron, Bray, dan Eys, 2002). Penjelasan lain tentang kesatuan
kelompok dalam tugas adalah individu memiliki keinginan yang lebih besar untuk
bekerja sama dalam pemenuhan tujuan kelompok (Muniroh, 2013). Ketika
kesatuan kelompok dalam tugas dapat di persepsikan secara positif maka akan
berdampak kepada berjalannya kerja sama secara baik di dalam kelompok. Hal ini
jika dikaitkan dengan atlet sepak bola, maka dapat meningkatkan hasil dari
34
pemenuhan tujuan kelompok. Atlet sepak bola yang notabene merupakan atlet
cabang olahraga beregu dan mengandalkan kolektivitas serta kerja sama tim akan
membutuhkan anggota-anggotanya memiliki kemauan untuk menyelesaikan
pertandingan dengan hasil yang baik (Sakdiah dan Astuti, 2015). Dampaknya
akan meningkatkan kohesivitas secara kerja sama tim dan beriringan dengan
meningkatnya motivasi berprestasi dengan memiliki kemauan untuk
menyelesaikan pertandingan dengan hasil yang baik. Sebaliknya, apabila kesatuan
kelompok dalam tugas di persepsikan negatif dampaknya kondisi dalam tim
mengalami penurunan motivasi berprestasi karena tidak ada atlet yang peduli
terhadap tujuan kelompok, seharusnya dalam olahraga seperti sepak bola
dibutuhkan kerja sama tim yang baik. Apabila tidak ada kerja sama tim yang baik
maka timbul permasalahan tidak terpenuhinya tujuan dari tim (Kurniawati, 2016).
Kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social), keseluruhan
anggota kelompok memiliki kedekatan dan ikatan satu sama lain (Carron, Bray,
dan Eys, 2002). Lebih lanjut dijelaskan kesatuan kelompok secara sosial adalah
individu memiliki keterkaitan terhadap kelompoknya (Kurniawati, 2016). Apabila
dikaitkan dengan atlet sepak bola, perasaan saling memiliki, kedekatan antar atlet
sepak bola, dan tumbuh rasa kebersamaan antar atlet sepak bola demi
kelompoknya sangat dibutuhkan. Atlet akan saling bercerita mengenai
pengalaman kompetisi maupun mengenai kehidupan mereka diluar kompetisi dan
latihan, menumbuhkan juga rasa percaya terhadap rekan satu tim sehingga
membuat atlet fokus pada permainan untuk mencapai tujuan bersama. Kelompok
atlet yang mempersepsikan kesatuan kelompok secara sosial dengan baik
35
cenderung akan melakukan kerjasama secara terorganisir. Maka hasil yang di
dapat beriringan dengan tujuan kelompoknya (Sakdiah dan Astuti, 2015). Atas
dasar itu jika aspek ini dapat di persepsikan secara positif maka meningkatkan
kohesivitas kelompok serta beriringan dengan meningkatnya motivasi berprestasi.
Sebaliknya, apabila kesatuan kelompok secara sosial di persepsikan negatif yang
terjadi kepedulian terhadap tim menurun karena setiap atlet tidak merasa memiliki
atau tidak merasa bangga dalam membela timnya (Sakdiah dan Astuti, 2015).
Dampaknya, muncul kesenjangan dan mengakibatkan tidak adanya komunikasi
yang terjalin dengan baik antar sesama atlet di dalam tim.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sakdiah dan Astuti (2015) terhadap
149 atlet cabang olahraga sepakbola diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan
positif signifikan antara kohesivitas kelompok dengan motivasi berprestasi pada
atlet cabang olahraga beregu. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian yang
dilakukan Safitri dan Arninda (2012) terhadap 80 pegawai kelurahan di
Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Penelitian tersebut menunjukkan hasil
bahwa hubungan positif yang signifikan antara kohesivitas kelompok dengan
motivasi kerja.
Berdasarkan pemaparan aspek-aspek persepsi terhadap kohesivitas
kelompok diatas dan pengaruhnya dengan motivasi berprestasi. Maka peneliti
menyimpulkan bahwa persepsi terhadap kohesivitas kelompok mempunyai
hubungan positif dengan motivasi berprestasi. Ketika persepsi terhadap
kohesivitas kelompok meningkat maka diiringi dengan meningkatnya motivasi
berprestasi pada atlet sepak bola. Begitupun sebaliknya, ketika persepsi terhadap
36
kohesivitas kelompok menurun maka diiringi dengan menurunnya motivasi
berprestasi pada atlet sepak bola.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka diajukan hipotesis penelitian yaitu terdapat
hubungan yang positif antara persepsi terhadap kohesivitas kelompok dengan
motivasi berprestasi pada atlet sepak bola. Semakin positif persepsi terhadap
kohesivitas kelompok maka semakin tinggi juga motivasi berprestasi pada atlet
sepak bola, sebaliknya semakin negatif persepsi terhadap kohesivitas kelompok
maka semakin rendah juga motivasi berprestasi pada atlet sepak bola.