BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Kemitraan
Pada dasarnya konsep kemitraan (partnership) adalah jenis entitas bisnis di
mana mitra (pemilik) saling berbagi keuntungan atau kerugian bisnis. Kemitraan
sering digunakan diperusahaan untuk tujuan perpajakan, sebagai struktur kemitraan
umumnya tidak dikenakan pajak atas laba sebelum didistribusikan kepada para mitra
(yaitu tidak ada pajak dividen dikenakan).. Namun, tergantung pada struktur
kemitraan dan yurisdiksi di mana ia beroperasi, pemilik kemitraan mungkin terkena
kewajiban pribadi yang lebih besar daripada mereka yang akan memegang saham
dari suatu perusahaan.
Pada sistem hukum perdata, kemitraan biasa diikat dengan kontrak (perjanjian)
antara individu-individu yang dengan semangat kerjasama setuju untuk melaksanakan
suatu usaha, berkontribusi dalam menggabungkan modal, pengetahuan atau kegiatan
dan berbagi keuntungan. Mitra mungkin memiliki perjanjian kemitraan , atau
deklarasi kemitraan dan di beberapa wilayah hukum seperti perjanjian mungkin
terdaftar dan tersedia untuk inspeksi publik. Di banyak negara, kemitraan juga
dianggap sebagai hukum badan , meskipun sistem hukum yang berbeda membuat
kesimpulan yang berbeda tentang hal ini.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk dasar kemitraan adalah kemitraan umum , di mana semua mitra
mengelola bisnis dan secara pribadi bertanggung jawab atas hutangnya. Bentuk lain
yang telah dikembangkan di sebagian besar negara adalah kemitraan terbatas (LP), di
mana mitra terbatas untuk mengelola bisnis dan dengan imbalan terbatas. Mitra
Umum mungkin memiliki kewajiban bersama atau beberapa kewajiban bersama dan
tergantung pada keadaan, tanggung jawab mitra terbatas pada investasi mereka dalam
kemitraan tersebut. Mitra “diam” (silent partner) adalah mitra yang tetap berbagi
dalam keuntungan dan kerugian pada usaha, tetapi tidak terlibat dalam mengelola
usaha atau keterlibatan mereka dalam usaha tidak diketahui umum. Mitra ini
biasanya hanya menyediakan modal.
Kemitraan Usaha Peternakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan
Usaha Pertanian, adalah suatu usaha pembibitan dan atau budidaya peternakan dalam
bentuk perusahaan peternakan atau peternakan rakyat, yang diselenggarakan secara
teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk
tujuan komersial atau sebagai usaha sampingan untuk menghasilkan ternak
bibit/ternak potong, telur, susu serta menggemukkan suatu jenis ternak termasuk
mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkan.
Universitas Sumatera Utara
Kemitraan usaha pertanian berdasarkan azas persamaan kedudukan, kesela
peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwuji
kemitraan yaitu hubungan yang :
a) saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku
dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan;
b) saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra
sama-sama memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis, sehingga
akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing
usahanya;
c) saling menguntungkan, yaitu baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra
memperoleh peningkatan pendapatan, dan kesinambungan usaha;
Kemitraan usaha pertanian dapat dilaksanakan dengan pola:
1) Inti-plasma
Pola inti-plasma sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a merupakan
hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang
didalamnya perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra sebagai
plasma.
Universitas Sumatera Utara
2) Sub kontak
Pola sub kontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan
mitra, yang didalamnya kelompok mitra memproduksi komponen yang
diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.
3) Dagang umum
Pola dagang umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c merupakan
hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang
didalamnya perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra atau
kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra.
4) Keagenan
Pola keagenan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d merupakan
hubungan kemitraan, yang didalamnya kelompok mitra diberi hak khusus untuk
memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra.
5) Bentuk-bentuk lain, missal Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)
Pola KOA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e merupakan
hubungan kemitraan, yang didalamnya kelompok mitra menyediakan lahan,
sarana dan tenaga, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal
Universitas Sumatera Utara
dan/atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi
pertanian.
2.2 Sisitem Agribisnis dan Kemitraan Sapi Potong
Pada periode 2005−2008, Departemen Pertanian melaksanakan tiga program
utama pembangunan pertanian, yaitu: 1) peningkatan ketahanan pangan, 2)
pengembangan agribisnis, dan 3) peningkatan kesejahteraan petani. Program
pengembangan agribisnis diarahkan untuk memfasilitasi kegiatan yang berorientasi
agribisnis dan memperluas kegiatan ekonomi produktif petani, serta meningkatkan
efisiensi dan daya saing. Upaya peningkatan daya saing usaha ternak sapi potong
rakyat secara teknis dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas sehingga
produknya dapat dijual pada tingkat harga yang cukup murah tanpa mengurangi
keuntungan peternak (Kuswaryan et al. 2003). Perluasan kegiatan ekonomi yang
berpeluang untuk dilaksanakan adalah mendorong kegiatan usaha tani terpadu yang
mencakup beberapa komoditas, seperti integrasi tanaman ternak atau tanaman-ternak-
ikan. Konsep agribisnis memandang suatu usaha pertanian termasuk peternakan
secara menyeluruh (holistik), mulai dari subsistem penyediaan sarana produksi,
produksi, pengolahan hingga pemasaran.
Menurut Syafa’at et al. (2003), konsep agribisnis atau strategi pembangunan
sistem agribisnis mempunyai ciri antara lain: 1) berbasis pada pendayagunaan
keragaman sumber daya yang ada di masing-masing daerah (domestic resource
Universitas Sumatera Utara
based), 2) akomodatif terhadap kualitas sumber daya manusia yang beragam dan
tidak terlalu mengandalkan impor dan pinjaman luar negeri yang besar, 3)
berorientasi ekspor selain memanfaatkan pasar domestik, dan 4) bersifat multifungsi,
yaitu mampu memberikan dampak ganda yang besar dan luas. Pembangunan
pertanian dan peternakan berdasarkan konsep agribisnis perlu memperhatikan dua hal
penting; pertama, berupaya memperkuat subsistem dalam satu sistem yang
terintegrasi secara vertikal dalam satu kesatuan manajemen, dan kedua menciptakan
perusahaan-perusahaan agribisnis yang efisien pada setiap subsistem. Jika hal ini
dapat terwujud maka daya saing produk peternakan (daging, susu, dan telur) akan
meningkat, terutama dalam menghadapi pasar global.
Agribisnis sapi potong diartikan sebagai suatu kegiatan usaha yang menangani
berbagai aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang
utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan, dan penyaluran sarana produksi,
kegiatan budi daya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua pemangku
kepentingan (stakeholders), dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang
seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani peternak dan perusahaan
swasta). Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan
pembangunan sektor pertanian secara simultan dengan pembangunan sector industri
dan jasa yang terkait dalam suatu kluster industri sapi potong. Kegiatan tersebut
mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis
budi daya, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang. Menurut Siregar
Universitas Sumatera Utara
dan Ilham (2003), agar pengembangan sistem usaha agribisnis tersebut dapat
mengakomodasi tujuan untuk meningkatkan daya saing produk dan sekaligus
melibatkan peternak skala menengah ke bawah, ada tiga alternatif kegiatan yang
dapat dilakukan, yaitu: 1) integrasi vertikal yang dikelola secara profesional oleh
suatu perusahaan swasta, 2) integrasi vertikal yang dilakukan peternak secara
bersama-sama yang tergabung dalam wadah koperasi atau organisasi lainnya, dan 3)
kombinasi keduanya atau dikenal dengan sistem usaha kemitraan.
Kemitraan dimaksudkan sebagai upaya pengembangan usaha yang dilandasi
kerja sama antara perusahaan dan peternakan rakyat, dan pada dasarnya merupakan
kerja sama vertikal (vertical partnership). Kerja sama tersebut mengandung
pengertian bahwa kedua belah pihak harus memperoleh keuntungan dan manfaat.
Menurut Saptana et al. (2006), kemitraan adalah suatu jalinan kerja sama berbagai
pelaku agribisnis, mulai dari kegiatan praproduksi, produksi hingga pemasaran.
Kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan kedudukan, saling membutuhkan, dan
saling menguntungkan serta adanya persetujuan di antara pihak yang bermitra untuk
saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat.
Sebagai contoh adalah kemitraan ayam broiler. Pada kemitraan tersebut,
perusahaan bertindak sebagai inti dan peternak sebagai plasma. Dalam proses
produksi, peternak hanya menyediakan tenaga kerja dan kandang, sedangkan pihak
perusahaan menyediakan bibit, pakan, obat-obatan, pelayanan teknik berproduksi dan
kesehatan hewan (Hartono 2000). Sedikitnya ada lima manfaat pembangunan
Universitas Sumatera Utara
pertanian yang berkelanjutan melalui pendekatan sistem usaha agribisnis dan
kemitraan, yaitu: 1) mengoptimalkan alokasi sumber daya pada satu titik waktu dan
lintas generasi, 2) meningkatkan efisiensi dan produktivitas produk
pertanian/peternakan karena adanya keterpaduan produk berdasarkan tarikan
permintaan (demand driven), 3) meningkatkan efisiensi masing-masing subsistem
agribisnis dan harmonisasi keterkaitan antar subsistem melalui keterpaduan antar
pelaku, 4) terbangunnya kemitraan usaha agribisnis yang saling memperkuat dan
menguntungkan, dan 5) adanya kesinambungan usaha yang menjamin stabilitas dan
kontinuitas pendapatan seluruh pelaku agribisnis (Saptana dan Ashari 2007).
Penerapan konsep kemitraan antara peternak sebagai mitra dan pihak
perusahaan perlu dilakukan sebagai upaya khusus agar usaha ternak sapi potong, baik
sebagai usaha pokok maupun pendukung dapat berjalan seimbang. Upaya khusus
tersebut meliputi antara lain pembinaan finansial dan teknik serta aspek manajemen.
Pembinaan manajemen yang baik, terarah, dan konsisten terhadap peternak sapi
potong sebagai mitra akan meningkatkan kinerja usaha, yang akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, melalui kemitraan, baik yang dilakukan
secara pasif maupun aktif akan menumbuhkan jalinan kerja sama dan membentuk
hubungan bisnis yang sehat.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Peluang Pengembangan Sapi Potong
Memelihara sapi potong sangat menguntungkan, karena tidak hanya
menghasilkan daging dan susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai
tenaga kerja. Sebagai tenaga kerja sapi dapat digunakan menarik gerobak, kotoran
sapi juga mempunyai nilai ekonomis, karena termasuk pupuk organic yang
dibutuhkan oleh semua jenis tumbuhan. Kotoran sapi dapat menjadi sumber hara
yang dapat memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih gembur dan subur.
Semua organ tubuh sapi dapat dimanfaat kan antara lain:
1) Kulit, sebagai bahan industri tas, sepatu, ikat pinggang, topi, jaket.
2) Tulang, dapat diolah menjadi bahan bahan perekat/lem, tepung tulang dan
barang kerajinan
3) Tanduk, digunakan sebagai bahan kerajinan seperti: sisir, hiasan dinding dan
masih banyak manfaat sapi bagi kepentingan manusia.
Hasil penelitian Rahmanto (2004) yaitu bahwa usaha sapi kereman yang sudah
bersifat komersial mampu memberikan keuntungan bersih sebesar Rp. 760.850/ekor
untuk penggemukan sapi bakalan PO dan Rp. 1.003.080/ekor untuk penggemukan
sapi bakalan limousine selama 12 bulan. Keuntungan atas biaya tunai yang diperoleh
untuk masing-masing jenis sapi tersebut yaitu Rp. 1.540.000 dan Rp. 3.430.000
dengan asumsi pada harga sapi potong cukup tinggi. Penurunan tingkat harga sapi
Universitas Sumatera Utara
potong pada saat survei mengakibatkan keuntungan bersih yang diperoleh peternak
hanya mencapai sekitar Rp. 166.400 per ekor selama pemeliharaan 4 bulan.
Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber
daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan
guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Saragih dalam Mersyah (2005), ada
beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu:
1) budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan
tenaga kerja yang berkualitas tinggi,
2) memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes,
3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan
yang tinggi, dan
4) dapat membuka lapangan pekerjaan. Daging sapi merupakan salah satu sumber
protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, dan sampai saat ini
Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga sebagian masih harus
diimpor. Kondisi tersebut mengisyaratkan suatu peluang untuk pengembangan
usaha budi daya ternak, terutama sapi potong.
Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama adalah
pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan usaha
pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah pengembangan sapi tidak
terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola ketiga adalah pengembangan
usaha penggemukan (fattening) sebagai usaha padat modal dan berskala besar,
Universitas Sumatera Utara
meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi siap
potong.
Dalam upaya pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan,
yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Pengembangan sapi potong secara
ekstensifikasi menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh
pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit, penyuluhan dan
pembinaan usaha, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan, dan
pemasaran. Menurut Isbandi (2004), penyuluhan dan pembinaan terhadap petani-
peternak dilakukan untuk mengubah cara beternak dari pola tradisional menjadi usaha
ternak komersial dengan menerapkan cara-cara zooteknik yang baik.
Zooteknik tersebut termasuk sapta usaha beternak sapi potong, yang meliputi
penggunaan bibit unggul, perkandangan yang sehat, penyediaan dan pemberian pakan
yang cukup nutrien, pengendalian terhadap penyakit, pengelolaan reproduksi,
pengelolaan pascapanen, dan pemasaran hasil yang baik. Indonesia memiliki peluang
dan potensi yang besar dalam pengembangan sapi potong. Salah satu pendukungnya
adalah peternak telah sejak lama memelihara sapi potong dan mengenal dengan baik
teknik beternak secara sederhana serta ciri masing-masing jenis sapi yang ada di
suatu lokasi.
Agar pengembangan sapi potong berkelanjutan, Winarso et al. (2005)
mengemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1) perlunya perlindungan dari
pemerintah daerah terhadap wilayah-wilayah kantong ternak, terutama dukungan
Universitas Sumatera Utara
kebijakan tentang tata ruang ternak serta pengawasan terhadap alih fungsi lahan
pertanian yang berfungsi sebagai penyangga budi daya ternak, 2) pengembangan
teknologi pakan terutama pada wilayah padat ternak, antara lain dengan
memanfaatkan limbah industri dan perkebunan dan 3) untuk menjaga sumber plasma
nutfah sapi potong, perlu adanya kebijakan impor bibit atau sapi bakalan agar tidak
terjadi pengurasan terhadap ternak lokal dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi
daging dalam negeri. Menurut Bahri et al.(2004), paling tidak ada tiga pemicu
timbulnya pengurasan populasi sapi lokal sebagai dampak dari tingginya permintaan
daging sapi terutama pada periode 1997−1998, serta tingginya impor daging dan
jerohan serta sapi bakalan, yaitu: 1) produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi
peningkatan permintaan, 2) permintaan meningkat, sedangkan produksi dalam negeri
menurun, dan 3) permintaan tetap sedangkan produksi dalam negeri menurun.
Hidajati dalam Syamsu et al. (2003) menyatakan, pengurasan sumber daya
ternak akan berakibat pada penurunan kualitas ternak yang ada di masyarakat, karena
ternak yang berkualitas baik tidak tersisakan untuk perbibitan. Kuswaryan et al.
(2003) mengemukakan, usaha untuk menanggulangi pengurasan sapi bibit terbentur
pada masalah kepemilikan ternak yang hanya berkisar antara 1−3 ekor sapi
dewasa/KK dengan kemampuan memelihara 2−4 unit ternak. Kebijakan impor sapi
dan daging sapi dapat menghambat laju pengurasan sapi di dalam negeri, selain
menciptakan peluang usaha yang menguntungkan bagi importir sapi potong.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, upaya pengembangan sapi potong perlu memperhatikan beberapa hal,
antara lain: 1) daging sapi harus dapat dikonsumsi oleh masyarakat dengan harga
yang terjangkau, 2) peternakan sapi potong di dalam negeri (peternakan rakyat)
secara finansial harus menguntungkan sehingga dapat memperbaiki kehidupan
peternak sekaligus merangsang peningkatan produksi yang berkesinambungan, dan 3)
usaha ternak sapi potong harus memberikan kontribusi yang positif terhadap
perekonomian nasional (Kuswaryan et al.2004).
Persepsi peternak terhadap sistem usaha agribisnis sapi potong dengan pola
kemitraan sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan makin berkembangnya usaha
ternak sapi potong melalui pola kemitraan yang dilakukan oleh beberapa peternak
atau pengusaha peternakan berskala besar karena pola tersebut secara ekonomis
memberikan keuntungan yang layak kepada pihak yang bermitra. Hal ini sesuai
dengan pendapat Roessali et al. (2005), bahwa usaha tani atau usaha ternak sapi
potong rakyat umumnya berskala kecil bahkan subsistem. Bila beberapa usaha kecil
ini berhimpun menjadi satu usaha berskala yang lebih besar dan dikelola secara
komersial dalam suatu sistem agribisnis maka usaha tersebut secara ekonomi akan
lebih layak dan menguntungkan.
Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola
kemitraan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan
masyarakat peternak khususnya, dan perekonomian nasional umumnya (Kuswaryan
et al. 2004). Hal ini ditunjukkan oleh manfaat ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan
Universitas Sumatera Utara
ini yang bernilai positif, yang berarti bahwa pengembangan peternakan sapi potong
dalam negeri mampu menghasilkan surplus ekonomi.
2.4. Peranan Petani/Peternak Pada Usaha Peternakan
Dalam akselerasi pembangunan pertanian, pengetahuan petani/peternak
mempunyai arti penting, karena pengetahuan petani/peternak dapat mempertinggi
kemampuannya untuk mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. Jika
pengetahuan petani/peternak tinggi dan petani/peternak bersikap positip terhadap
suatu teknologi baru dibidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan
menjadi lebih sempurna, yang pada akhirnya akan memberikan hasil secara lebih
memuaskan baik secara kuantitas maupun kualitas
Pembangunan peternakan (sebagai bagian dari pertanian) pada hakekatnya
berusaha mentransformasikan sistem peternakan tradisional menjadi sistem
peternakan modern yang maju. Untuk mentrans-formasikan sistem peternakan
tersebut , maka setiap strategi pembangunan sekurang-kurangnya mencakup dua
dimensi prima yaitu dimensi teknis-ekonomi dan dimensi sosio-kultural. Dimensi
teknis-ekonomi menyangkut proses peningkatan pengetahuan dan keterampilan
berusaha para peternak, sementara dimensii sosio-kultural berintikan proses
pentransformasian sikap mental, nilai-nilai, dan pola interpretasi peternak ke arah
yang makin dinamis. Kedua dimensi tersebut saling terkait dan memiliki logika
tersendiri sehubungan dengan elemenelemen yang mendukungnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hayami & Kikuchi (1981) dalam proses transformasi di Asia,
khususnya di Asia Tenggara, mendapat kesimpulan bahwa perubahan-perubahan
pada dimensi sosio-kultural masyarakat petani berlangsung lebih lambat dibanding
perubahan dalam dimensi teknis-ekonomi masyarakat. Hal ini mengindikasikan
bahwa perubahan dimensi sosio-kultural masyarakat petani/peternak merupakan
proses yang rumit dan mendasar. Kesalahan sedikit saja dalam penanganannya dapat
membawa malapetaka yang amat besar bagi kelangsungan kehidupan petani-
peternak. Berjangkitnya “penyakit’ involusi bisa jadi merupakan salah satu contoh
klasik tentang itu. Dengan kata lain, proses transformasi peternakan dapat
diwujudkan bila terjadi perubahan dan perkembangan yang serasi antara dimensi
teknis-ekonomi dan dimensi sosio-kultural masyarakat peternak. Proses inovasi
teknologi baru akan terjadi bila dalam batas-batas tertentu telah timbul minat dan
kesadaran dari sebagian atau seluruh anggota masyarakat terhadap manfaat suatu
teknologi. Oleh sebab itu strategi pembangunan peternakan yang berhasil selain
diarahkan untuk memperluas cakupan penyempurnaan teknologi intensifikasi, juga
yang memberi perhatian sama besar terhadap usaha untuk mengembangkan
kemampuan, sikap mental, dan responsitas petani-peternak, sehingga semakin banyak
pula petani-peternak yang dapat dilibatkan dan menjalani proses perubahan.
Selain dari kemampuan individu petani/peternak syarat pelancar pembangunan
pertanian adalah adanya kegiatan kerja sama Kelompok Tani. Kelompok dapat
diartikan sebagai himpunan yang terdiri dari dua atau lebih individu dengan ciri-ciri
Universitas Sumatera Utara
memiliki : (a) ikatan yang nyata; (b) interaksi dan interelasi sesame anggotanya ; (c)
struktur dan pembagian tugas yang jelas; (d) kaidah-kaidah atau norma tertentu yang
disepakati bersama; dan (d) keinginan dan tujuan yang sama. Bagi peternak,
kelompok merupakan jaringan komunikasi yang mampu menggerakkan mereka untuk
melakukan adopsi teknologi baru. Melalui wadah ini petani-peternak dibimbing dan
diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan perekonomian dinamis (Herman
Soewardi, 1985).
Beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani adalah : (a) semakin
eratnya interaksi dalam kelompok dan semakin terbinanya kepemimpinan kelompok;
(b) semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kerja sama antar petani;
(c) semakin cepatnya proses perembesan (difusi) penerapan inovasi; (d) semakin
naiknya kemampuan rata-rata pengembalian hutang (pinjaman petani); (e) semakin
meningkatnya orientasi pasar, baik yang berkaitan dengan masukan (input) maupun
produk yang dihasilkan; dan (f) semakin dapat membantu efisiensi pembagian air
irigasi serta pengawasannya oleh petani sendiri. Di lain pihak, Sajogyo (1978)
memberikan tiga alasan utama dibentuknya kelompok tani yang mencakup : (a) untuk
memanfaatkan secara lebih baik (optimal) semua sumber daya yang tersedia; (b)
dikembangkan oleh pemerintah sebagai alat pembangunan; dan (c) adanya alasan
ideologis yang “mewajibkan “ para petani untuk terikat oleh suatu amanat suci yang
harus mereka amalkan melalui kelompok taninya. Di dalam kelompok, petani-
peternak dapat memperoleh informasi terutama informasi teknologi. Hal ini sesuai
Universitas Sumatera Utara
pendapat Dudung Abdul Adjid (dalam Satpel Bimas, 1980), bahwa di dalam
kelompok tani terdapat proses transformasi, yaitu mengolah informasi baru dari PPL
menjadi informasi praktis, spesifik, sesuai kondisi masyarakat setempat. Selanjutnya
dinyatakan bahwa PPL sebagai penyuluh marupakan “ujung tombak” proses adopsi
inovasi, mengolah dan menyampaikan informasi teknologi baru melalui
pengembangan dan pembinaan kegiatan kelompok tani.
Selanjutnya menurut Soekartawi (1988) karakteristik peternak dapat dilihat dari
umur, tingkat pendidikan, jumlah pemilikan ternak, pengalaman beternak, hubungan
dengan individu lain, dan hubungan dengan lembaga terkait. Umur berhubungan
dengan kemampuan seseorang dalam menerima sesuatu yang baru. Usia muda adalah
saat dimana hidup penuh dinamis, kritis dan selalu ingin tahu hal-hal baru..
Seseorang yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi
inovasi, begitu pula sebaliknya seseorang yang berpendidikan rendah, maka agak
sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Inkeles (1984), bahwa hampir semua penelitian yang menyangkut
modernisasi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan merupakan factor utama.
Artinya, tingkat kemodernan seseorang akan meningkat dengan bertambahnya
pendidikan.
Jumlah pemilikan ternak mempengaruhi persepsi seseorang terhadap inovasi.
Peternak yang mempunyai jumlah ternak relatif banyak dan pendapatan relatif tinggi,
relatif berpandangan maju dan mempunyai wawasan luas. Artinya, mereka tidak
Universitas Sumatera Utara
terlalu skeptis terhadap perubahan baru yang berada di sekitarnya, dan bahkan
biasanya selalu berpandangan positif terhadap adanya perubahan (Soekartawi,1988).
Pengalaman beternak juga mempengaruhi persepsi mereka terhadap inovasi.
Peternak yang berpengalaman akan lebih mudah diberi pengertian, artinya lebih cepat
dalam menerima introduksi baru yang yang diberikan. Hubungan dengan individu
lain, dan lembaga terkait, akan memberikan persepsi yang lebih baik terhadap
inovasi, karena berkunjung atau berkonsultasi dengan sesama peternak, penyuluh,
atau lembaga terkait akan menambah wawasan dan tingkat pengetahuannya.
Wawasan dan tingkat pengetahuan yang diperoleh peternak menjadi pendorong
baginya untuk mempersepsikan inovasi dengan lebih baik (Soekartawi, 1988).
Berdasarkan ciri-ciri sosial ekonomi, karakteristik pengadopsi cepat ditandai oleh
tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Pengadopsi cepat
mempunyai tingkat mobilitas sosial yang besar. Kekayaan dan keinovatifan muncul
berjalan seiring, karena keuntungan yang besar diperoleh orang yang mempersepsi-
kan inovasi dengan sangat baik dan mengadopsi pertama (golongan innovator).
2.5. Teori Kesejahteraan
Sejak tahun 1970 pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Sejak tahun
tersebut muncul pandangan baru yaitu tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan
ekonomi tidak lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya,
melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan
Universitas Sumatera Utara
ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks
perekonomian yang terus berkembang (Todaro 2004: 21). Sesuai dengan tujuan
pembangunan tersebut pembangunan suatu negara boleh dikatakan tidak berhasil
apabila tidak dapat mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan pendapatan
serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya. Untuk mengukur
keberhasilan pembangunan tidak cukup hanya menggunakan tolok ukur ekonomi saja
melainkan juga harus didukung oleh indikator-indikator sosial (non ekonomi), antara
lain seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas
pelayanan kesehatan, kecukupan akan kebutuhan perumahan .
Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi
ditunjukkan oleh 3 nilai pokok, yaitu : 1. Berkembangnya kemampuan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), 2. Meningkatnya rasa harga diri
(self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan 3. Meningkatnya kemampuan
masyarakat untuk memilih (freedom from servitude).
Sementara itu Swasono (2004 a.: 13) dalam bukunya berjudul Kebersamaan
dan Asas Kekeluargaan mengatakan Pembangunan ekonomi berdasarkan Demokrasi
Ekonomi adalah pembangunan yang partisipatori dan sekaligus emansipatori. Ia
mengatakan bahwa pembangunan ekonomi bukan saja berarti kenaikan pendapatan,
tetapi juga kenaikan pemilikan (entitlement). Pembangunan ekonomi bukan hanya
koelie yang naik upah / gajinya, tetapi adalah meningkat / meluasnya pemartabatan,
peningkatan nilai tambah ekonomi dan sekaligus nilai tambah sosial-kultural, sang
Universitas Sumatera Utara
koelie menjadi mitra usaha dalam sistem triple co, yaitu co-owwnership (ikut
memiliki), codetermination (ikut menggariskan wisdom) dan co-responsibility (ikut
bertanggungjawab)
Tujuan setiap pembangunan pada dasarnya adalah untuk mensejahterakan
masyarakat. Konsep kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur dari jumlah
pendapatan atau materi yang diterima saja, tetapi juga peranan yang dapat diambil
dalam kehidupan sosial, dan peranan ikut serta dalam mengambil keputusan dan
mengembangkan ide-ide. Sebagaimana yang diungkapkan Amartya Sen (2001),
bahwa konsep kemiskinan bukan karena kurangnya kebutuhan materi, tetapi karena
kurangnya kesempatan (akses) atau kemampuan untuk mengambil bagian dalam
kehidupan social. Hal ini sering dikaitkan dengan partisipasi dan pemberdayaan.
Sen, (2002: 8) mengatakan bahwa welfare economics merupakan suatu proses
rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan.
Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan
(levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs fulfillment), kualitas
hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human development). Selanjutnya
Sen, A. (1992: 39-45) lebih memilih capability approach didalam menentukan
standard hidup. Sen mengatakan: the freedom or ability to achieve desirable
“functionings” is more importance than actual outcomes.
Persoalan mengenai capaian pembangunan manusia telah menjadi perhatian
para penyelenggara pemerintahan. Berbagai ukuran pembangunan manusia dibuat,
Universitas Sumatera Utara
namun tidak semuanya dapat digunakan sebagai ukuran standar yang dapat
dibandingkan antar wilayah atau antar Negara. Oleh karena itu Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan suatu ukuran standar pembangunan manusia yaitu
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)
Indeks Pembangunan Manusia didasarkan atas empat indicator yaitu angka
harapan hidup, angka melek hidup, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan daya beli.
Indikator angka harapan hidup menggambarkan dimensi umur panjang yang
mewakili bidang kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mengukur
capaian pembangunan bidang pendidikan dan kemampuan daya beli yang dilihat dari
besarnya rata-rata pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan
(Sumodiningrat, G. 2009 : 80)
Disamping IPM, paradigma pembangunan yang saat ini harus diperhitungkan
adalah keberlanjutan dari pembangunan tersebut. Perspektif pembangunan
berkelanjutan menjadi penting dimana kecenderungan sumberdaya yang semakin
terbatas dan semakin tereksploitasi. Dengan demikian pembangunan tidak saja
dipahami sebagai pembangunan ekonomi, tetapi sebagai alat untuk mencapai
kepuasan intelektual, emosional, moral dan spiritual.
Secara harfiah, pembangunan berkelanjutan mengacu pada upaya
memelihara/mempertahankan kegiatan membangun secara terus menerus.
Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi serta memiliki dimensi social dan
politik. Pembangunan dapat dikatakan sebagi vector dari tujuan social suatu
Universitas Sumatera Utara
masyarakat, dimana tujuan tersebut merupakan atribut yang ingin di capai dan
dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut. Atribut tersebut mencakup kenaikan
pendapatan per kapita, perbaikan gizi dan kesehatan, pendidikan, akses kepada
sumberdaya, distribusi pendapatan yang merata dan sebagainya. Sehingga konsep
berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana karakter vector
pembangunan tadi tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce et al., 1992).
Selanjutnya Clark, 1989 menyatakan bahwa berkelanjutan berarti keseimbangan yang
dinamis yang memiliki dua arti yaitu : pertama, keseimbangan sistem yang
mengalami perubahan, dimana parameter perubahan dalam keseimbangan tersebut
bersifat konstan; yang kedua, keseimbangan suatu sistem yang setiap parameternya
mengalami perubahan, sehingga setiap perubahan misalnya dalam populasi dakan
memicu restorasi nilai populasi awal.
Universitas Sumatera Utara