17
BAB II
TASAWUF DAN PENDIDIKAN AKHLAK A. TASAWUF
1. Pengertian Tasawuf
Dalam memberikan pengertian tasawuf merupakan suatu pekerjaan
yang amat sulit, sedemikian besar dan luasnya sesuatu yang disebut
tasawuf itu, sehingga melakukan pekerjaan ini seperti gambaran orang
buta yang menerangkan gajah menurut bagian yang disentuhnya saja. Hal
yang mungkin bisa dilakukan hanya memberi petunjuk-petunjuk yang
menunjukkan pada istilah tersebut, meski tidak utuh.
Dalam ensiklopedi Islam diungkapkan pendapat para sufi sendiri
tentang pengertian tasawuf. Diantaranya oleh Zakaria al-Anshari (852-925
H) mengartikan tasawuf sebagai cara untuk mengajarkan mensucikan diri,
meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan rohani
untuk mencapai kehidupan abadi. Sedangkan menurut al-Junaidi al-
Baghdadi (w 289 H), tasawuf adalah proses membersihkan hati dari sifat-
sifat basyariyah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberi tempat
bagi sifat-sifat kerohanian berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan
sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberikan nasihat
kepada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah SWT dan
mengikuti syariat Rosulullah SAW.1 Jadi unsur utama tasawuf adalah
mensucikan diri dan tujuan akhirnya kebahagiaan dan keselamatan abadi.
Sebagai aspek mistik dalam ajaran-ajaran agama Islam, memang
tidak bisa diterjemahkan dengan ungkapan yang tepat dan utuh untuk
menggambarkan kebesaran tasawuf. Kata mistik berasal dari bahasa
Yunani “Myien” yang berarti menutup mata. Dalam kata mistik ini
terkandung sesuatu yang misterius, yang tidak bisa dicapai dengan cara-
cara biasa atau dengan usaha intelektual. Mistik biasanya disebut pula
1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Islam Baru van Houeve, 1994)
hlm. 74.
18
sebagai arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama atau
dalam arti yang lebih luas adalah kesadaran terhadap kenyataan tunggal
(yang disebut ke’arifan, cahaya, cinta atau nilai).2
Simuh dalam bukunya “Tasawuf dan Perkembangannya Dalam
Islam” memilih definisi tasawuf atau mistik yang ditulis oleh A.S. Hornby
dalam kamusnya A Leaner Dictionary Of Current English yang
mendefinisikan Mysticism sebagai berikut: “The teaching or belief that
knowledge of real truth and of good may be obtained through meditation
or spiritual insigh, independently of the mind and semses”.3
Mengenai tasawuf (Sufism), Carl W. Ernst dalam bukunya Words
of Ectasy in Sufis menjelaskan:
“ ……….. Historically, the term denotes a vast spiritual enterprise, carried out in many lands that differ widely in culture and language, but are unified by the spiritual authority of the Qur’anie revelation and the example of he prophet Muhammad. Essentially, however, Sufism is a path of mystical life, which begins with the soul’s conversion, or turning, towards god”.4
Dalam perspektif historis, istilah tasawuf menunjukkan suatu
perilaku spiritual dalam arti luas, yang dilakukan dibeberapa daerah yang membedakan ciri budaya dan bahasa, tetapi dipersatukan dengan otoritas spiritual dari wahyu al-Qur’an dan teladan dari nabi Muhammad SAW. Sedangkan esensinya, tasawuf adalah suatu jalan atau cara menuju kehidupan sufi (mystical life), yang dimulai dengan memasrahkan diri atau jiwanya pada Tuhan.
Ruang lingkup objek perjalanan mistik bersifat tersembunyi atau
hal-hal ghaib yaitu Tuhan yang transenden dan jauh dari terapan indrawi
dan rasio manusia. Intinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog antara roh manusia dengan Tuhan, karenanya seseorang harus
2 Annemarie Schimael, Dimensi Mistik Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986),
hlm 1-2. 3 Ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau Tuhan biasa
didapatkan melalui meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indra. Lihat Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), Hlm.12.
4 Carl W. Ernest, Words of Ectasy in Sufis, (New York: State University Press, 1985), Hlm. 1.
19
mengutarakan rasa Dzauq (ketenangan) dibandingkan rasio, karena ia
bersifat sangat pribadi dan eksistensial.5
Sementara itu oleh Murtdla Muthari dan Syaikh Muhammad
Husain Thabathaba’i, untuk istilah tasawuf dan sufi mereka menyebutnya
dengan istilah “irfan dan arif”. Menurut mereka istilah irfan dan arif
dilihat dari sudut pandang ilmiah, dimana irfan adalah salah satu ilmu
yang lahir dari Islam dan memberitahukan tentang hubungan dengan
Tuhan dan jalan mencapainya, sedangkan kaum arif adalah orang yang
mahir dan ahli dalam irfan.6
Dalam al-Qur’an telah banyak terdapat ayat-ayat yang memiliki
nuansa mistik yang kental. Bahkan sumber rujukan tasawuf selalu kembali
pada al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga amalan tasawuf tidak keluar dari
ruang lingkup sumber tersebut. Gambaran kedekatan antara sang hamba
dengan khaliq-Nya menjadi kerinduan yang tidak tergambarkan untuk
mendekati bahkan menyatu dengan-Nya. Firman Allah SWT:
وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوا .}186 {لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada-Ku tentang Aku maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku, maka mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran“. (QS. al-Baqarah 186).7
Dekatnya Allah dengan hamba-hamba-Nya ialah, Allah
mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Allah maha mendengar dan
melihat perkataan dan perbuatan mereka.8
5 Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Rajawali Pers,
2000), hlm.3. 6 Murtdla Muttahari dan Syaikh Muhammad Husain Thabathaba’i, Menapak Jalan
Spiritual, terjemahan MS, Nasrullah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm 19-21. 7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: CV. Toha Putra, 1990),
hlm. 45. 8 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, (Tafsir al-Maraghi), trj, Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
Toha Putra: 1993), Juz. II, Hlm. 298.
20
Oleh karena itu tasawuf atau sufisme memiliki tujuan memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari
seseorang benar-benar berada dihadirat Allah dan orang yang menjalani
mistis ini atau bertasawuf disebut kaum sufi, namun dalam perkembangan
pemikiran tentang aspek mistik Islam ini sehingga oleh para sufi maupun
pengamat mistisisme, memberikan pengertian tentang tasawuf berbeda-
beda. Pengertian ini berdasarkan pada asal kata tasawuf maupun
didasarkan pada ajaran dalam praktik tasawuf itu sendiri.
Berikut ini beberapa teori tentang asal kata tasawuf adalah:
a. Ahl-Shuffah, orang-orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah
ke Madinah dan karena mereka tidak memiliki harta dan dalam
keadaan miskin, mereka tinggal dimasjid nabi dan tidur dengan bantal
pelana (Shuffah).
b. Shaff yaitu barisan atau pertama. Sebagaimana shalat mereka disebut
sufi. Karena dalam shalat atau beribadah kepada Tuhan selalu berada
pada barisan pertama (al-Shaff al-Awwal).
c. Shafa berarti suci, seseorang sufi adalah orang disucikan dan telah
mensucikan dirinya melalui latihan berat dan lama.
d. Sophos dari bahasa Yunani yang berarti hikmat atau pengetahuan
sebagaimana orang-orang sufi berhubungan dengan hikmat.
e. Shuf berarti bulu domba (woll) karena kaum sufi mempunyai tradisi
atau kebiasaan berpakaian yang terbuat dari bulu domba sebagai
simbul dari kesederhanaan dan kemiskinan.9
Menurut Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, sebagaimana
dikutip oleh A.R. Ustman mengatakan bahwa tasawuf atau mistisisme
adalah falsafah hidup yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa
seseorang manusia, secara moral lewat latihan-latihan praktis yang
tertutup. Kadang untuk menyatakan fana dalam realitas yang tertinggi
serta pengetahuan-Nya secara intuitif, tidak secara rasional yang buahnya
9 Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, alih bahasa A.R.
Ustman, (Bandung: Mizan, 1985), hlm 21.
21
adalah kebahagiaan rohaniah.10 Sehingga hakikat realitasnya sulit
diungkapkan dengan kata-kata, sebab karakternya bercorak intuitif dan
subjektif.
Sementara itu tasawuf juga dapat diartikan kesadaran artinya
komunikasi dan dialog langsung antara seorang muslim dengan Tuhannya.
Tasawuf merupakan suatu proses latihan dengan kesungguhan (Riadlah-
Mujahadah) untuk membersihkan atau mempertinggi dan memperdalam
nilai-nilai kerohanian dalam rangka mendekatkan diri (Taqqarub) kepada
Allah, sehingga dengan cara itu konsentrasi seseorang hanya tertuju
kepada-Nya.11
Dengan demikian untuk mencapai tujuan tasawuf diperlukan
proses atau jalan, latihan dan praktik-praktik yang tercakup dalam doktrin
atau ajaran tasawuf yang disusun oleh para sufi. Dan pada tahapan inilah
kemudian terjadi perubahan pandangan tentang ajaran tasawuf. Namun ada
satu aspek tasawuf yang tidak menjadi pertentangan, yaitu moralitas-
moralitas yang berdasarkan Islam.
Tetapi pada dasarnya tasawuf adalah sebagai perwujudan dari
ihsan yang berarti beribadah kepada Allah seakan-akan melihatnya,
apabila tidak mampu demikian, maka harus disadari bahwa Allah melihat
diri kita, yang demikian adalah realitas penghayatan seseorang terhadap
agamanya. Setidaknya tasawuf dapat memberi dorongan yang terdalam
pada diri manusia, yaitu dorongan untuk mengaktualisasikan diri secara
menyeluruh sebagai makhluk yang hakiki adalah bersifat kerohanian dan
kekal.
Dapat diungkapkan secara sederhana, bahwa tasawuf adalah suatu
proses latihan dengan kesungguhan (Riyadhah Mujahadah) untuk
membersihkan, mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka
mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu, maka segala
konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya, sehingga dapat dikatakan
10 Ibid. 11 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21,
(Yogyakrta: Pustaka Pelajar 1999),, hlm. 18.
22
bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena tasawuf merupakan
proses pendidikan akhlak manusia (sebagaimana Islam diturunkan dalam
rangka membina akhlak manusia) diatas bumi ini agar tercapai
kebahagiaan dan kesempurnaan lahir dan batin, dunia dan akhirat.
2. Dasar dan Tujuan Tasawuf
a. Dasar Tasawuf
1. Al-Qur’an
Agama Islam sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci Al-
Qur’an senantiasa menganjurkan manusia untuk membersihkan diri
agar jauh dari dosa dan kesalahan, dengan melakukan amalan-amalan
yang digariskan Allah untuk hamba-Nya. Disamping itu banyak ayat-
ayat Al-Qur’an yang menganjurkan kepada manusia untuk bertawakal,
sabar serta taubat. Dan beribadat yang lain sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Rosulullah SAW sebagai seorang Insan Kamil.
Al-Qur’an yang kebenarnnya tidak diragukan lagi, menjadi
petunjuk bagi orang yang bertaqwa (al-Baqarah/2:2). Ia sebagai al-
Furqan (pembeda antara yang benar dan yang salah) (al-Furqan/25:1)
mempunyai fungsi sebagai kitab suci yang berisi ajaran dan pedoman
yang dapat dipakai untuk mengarungi kehidupan ini. Ia juga sebagi al-
Dzikru (peringatan) (al-Hijr/15:9) agar manusia hidup bahagia dunia
dan akhirat.
Tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana
yang terkandung dalam sumbernya al-Qur’an dan Hadist. Yakni
mendorong untuk hidup sufistik. Selain itu kedua sumber itu
mendorong agar umatnya berperilaku baik, tolong menolong,
beribadah, berpuasa dan sebagainya. Yang semua itu merupakan inti
tasawuf. Al-Qur’an mendeskripsikan sifat-sifat orang yang wara’ dan
taqwa dalam surat al-Ahzab ayat 35, yang artinya:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim laki-laki dan perempuan yang mukmin laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar (jujur), sabar,
23
khusu’ mau mengeluarkan sedekah, mau berpuasa, mau memelihara kehormatannya, yang banyak dzikir kepada Allah, maka Allah akan menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (al-Ahzab:35)”. 12
Kesan bahwa tasawuf lebih banyak dimotivasi oleh ayat-ayat
al-Qur’an maupun hadist Rosul SAW yang secara tekstual
merendahkan nilai dunia, dan sebaliknya banyak dijumpai ras agama
yang memberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan
terselamatkan dari siksa api neraka.
Dari beberapa ayat diatas, penulis dapat memberikan
penjelasan, bahwa ayat-ayat tersebut menganjurkan kepada hamba
Allah SWT agar dalam hidupnya senantiasa mencerminkan ajaran-
ajaran yang merupakan konsekuensi hidup bagi manusia. Manusia
dalam hidupnya wajib menyerahkan segala keputusan yang diberikan
oleh Allah SWT, atas apa yang dilakukannya dan bersabar atas segala
keputusan Allah. Selain itu mereka harus senantiasa bertaubat kepada
Allah atas kesalahan yang telah diperbuat.
Ayat-ayat tersebut diatas menjelaskan tentang beberapa ajaran
tasawuf seperti sabar, tawakal, bertaubat dan lainnya atau dengan kata
lain, bahwa didalam ayat tersebut tersirat makna pendidikan tasawuf
yang tentunya bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki
budi pekerti yang luhur.
2. Al-Sunnah
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an tentang ajaran
tasawuf, hadistpun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah.
Berikut ini terdapat teks hadist yang dapat dipahami dengan
pendidikan tasawuf. Pandangan mengenai cinta kepada Allah
12 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989),
hlm. 673.
24
berdasarkan kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara
manusia dengan Tuhannya.
Kesadaran dan komunikasi langsung dengan Tuhannya berakar
pada ajaran Islam, yakni al-Ihsan,13 sebagaimana yang disebutkan
dalam riwayat Muslim yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan
Jibril AS, mengenai sendi-sendi Islam:
رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم يوما بارز للناس عن اىب هريرة قال كانرجل فقال يارسول هللا مااالميان قال ان تؤمن باهللا ومالئكته وكتابه فأتاه
قال يارسول مااإلسالم أن تعبد اهللا . ولقائه ورسله وتؤمن بالبعث األخرفروضة وتصوم والتشرك به شيئا وتقيم الصالة املكتوبة وتؤدى الزكاة امل
قال يارسول هللا مااإلحسان قال أن تعبد اهللا كأن تراه فإنك ان . رمضان .14)رواه مسلم(. التراه فإنه يراك
Artinya: “Abu Hurairah berkata bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah SAW berada ditengah-tengah sahabat, datanglah seorang laki-laki, lalu bertanya: ‘wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan iman?’ Nabi menjawab: ‘Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, berjumpa dengan-Nya, rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada hari kebangkitan.’ Lalu dia bertanya lagi: ‘Apakah Islam itu?’ Nabi menjawab: ‘Hendaknya engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat yang difardukan, menunaikan zakat yang difardukan, dan berpuasa di bulan Ramadhan’ kemudian dia bertanya lagi: ‘apakah ihsan itu?’ Nabi menjawab: ‘Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu…”
Hadist diatas merupakan landasan dasar bagi para pengamal
ajaran tasawuf (orang sufi), sehingga dapatlah sekiranya menjadi
pendorong untuk meningkatkan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Selanjutnya banyak hadist fi’liyah yang menggambarkan
kesederhanaan Nabi Muhammad SAW, yang bisa ditafsirkan sebagai
13 Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 12. 14 Imam Muslim, Muslim Sakhih Muslim,jilid I Isa Babi al-Halabi, (Mesir,tt), hlm. 23.
25
kehidupan tasawufnya, menurut ‘Aisyah, Rosulullah SAW pernah tak
merasa kenyang dari makan roti selama empat bulan. Pada hadist yang
lain dia menceritakan bahwa beliau dan keluarganya tidak pernah
kenyang dipagi dan sore hari dari roti gandum selama tiga hari
berturut-turut sampai menghadap kehadirat Allah SWT.15 Nabi
Muhammad banyak memberi gambaran tentang kehidupan dunia.
Kehidupan dunia digambarkan bagai penjara bagi orang mukmin dan
surga bagi orang kafir. Karena kehidupan mereka selalu dibatasi dan
tidak boleh hidup semena-mena, dan sebaliknya bagaikan surga bagi
orang kafir yaitu tempat yang menyenangkan, bisa hidup seenaknya
tanpa ada batasan yang mengikatnya.
Perilaku demikian itu adalah untuk memberi contoh kepada
umat manusia untuk menunjukkan kekuatan hidup (kekuatan internal)
yang tidak tergantung kepada masalah-masalah materi dan kekuasaan.
Dan disatu sisi menunjukkan kemurahan Muhammad SAW dan untuk
menumbuhkan solidaritas sesama manusia.
Pokok-pokok atas dasar yang ditanamkan Nabi SAW ialah apa
yang dikemukakan oleh ‘Ali ra. Atas jawaban yang diberikan oleh
Nabi ketika dia menanyakan tentang sunnahnya. Sebagaimana yang
terdapat dalam sebuah hadist yang dikutip oleh Amin Syukur yang
artinya:
“Ma’rifat adalah modalku, akal adalah asal agamaku, cinta adalah pondasiku, rindu adalah kendaraanku, dzkir kepada Allah adalah kesukaanku, kepercayaan adalah perbendaharaanku, susah adalah temanku, ilmu adalah pedangku, kesabaran adalah selendangku, ridha adalah harta rampasanku, kefakiran adalah kebanggaanku, zuhud adalah pekerjaanku, keyakinan adalah kekuatanku, kejujuran adalah penolongku, ketaatan adalah kecukupanku, jihad adalah kepribadianku, dan ketenangan pada waktu menjalankan sholat”.16
Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang melambangkan
dengan kesederhanaan baik perabot rumah tangga, pakaian dan
15 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, op cit, hlm , hlm. 25-29. 16 Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, op cit, hlm. 23.
26
makanan. Beliau tidak memikirkan kemegahan dan kemewahan,
sementara beliau sangat mampu untuk berbuat sebaliknya. Mengingat
kekayaan dan finansial seluruh umat Islam berada dalam kekuasaanya,
dan sangat memungkinkan beliau mempergunakan sekehendaknya.
Namun beliau hidup sederhana, bagai kehidupan orang yang fakir dan
miskin.
Semboyan Nabi Muhammad SAW seperti yang dikutip oleh
Amin Syukur adalah “kami adalah kaum yang tidak makan kecuali
apabila lapar, dan apabila makan tidak kenyang”, adalah
menunjukkan kesederhanaan dan sikap tidak memperdulikan
keberadaan materinya.17 Kesederhanaan Nabi Muhammad SAW
menampilkan diri sebagai seorang yang sangat terbatas kehidupannya,
sering menderita lapar. Dan jika mempunyai harta selalu diinfakkan
kejalan Allah SWT.
b. Tujuan Tasawuf
Berdasarkan uraian diatas maka tidak ada alasan untuk ragu
menerima ajaran tasawuf atau menolaknya. Bahkan boleh dikatakan
bahwa tasawuf itulah sebenarnya inti ajaran Islam.18 Disini tasawuf
sepenuhnya adalah disiplin ilmu yang berdasarkan ajaran Islam
bertujuan untuk membentuk watak dan pribadi muslim menempuh
insan kamil, dengan cara mengharuskan mereka melaksanakan
sejumlah peraturan, tugas dan kewajiban serta keharusan lain. Dengan
demikian dapatlah sekiranya dikatakan bahwa proses pembentukan
insan kamil atau menjadi pribadi muslim yang menyadari sepenuhnya
kedudukan dirinya dihadapan Allah SWT adalah merupakan tujuan
utama dari tasawuf.
Selain itu ditarik dari beberapa uraian pengertian tasawuf
diatas, maka dapat dijelaskan bahwa tujuan tasawuf adalah berusaha
17 Ibid, hlm. 18. 18 H. Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Hlm.
189.
27
untuk melepaskan diri dari hawa nafsu dan keinginan yang dianggap
menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan berusaha untuk menyadari
kehadiran-Nya.
Harun Nasution mengatakan dalam Islam Rasional bahwa
tujuan seorang sufi adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan
Tuhan sampai ia dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya bahkan
bersatu dengan ruh Tuhan. Karena Tuhan adalah Maha Suci, Ia tidak
dapat didekati kecuali oleh diri yang suci. Melalui sholat puasa dan
ibadah-ibadah yang lain, seorang sufi melatih diri untuk menjadi
bersih. Maka langkah pertama yang dilakukan oleh calon seorang sufi
adalah membersihkan diri dari segala dosa dengan memperbanyak
bertaubat.19
Sehingga dengan demikian, pendidikan tasawuf bertujuan
memberikan pengajaran kepada kita untuk mati dalam diri kita dan
hidup abadi dalam kehidupan untuk-Nya, membentuk akhlak yang
mulia dengan memahami sepenuhnya atas kedudukan seorang hamba
dihadapan Tuhan agar hidup bahagia di dunia dan di akhirat atau
menuju kebahagiaan yang abadi. Selain itu pendidikan tasawuf
bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus dengan Tuhan.
Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran
bahwa manusia sedang berada dikehadirat Tuhan. Kesadaran tersebut
akan menuju kontak komunikasi dan dialog anatara Tuhan dengan
makhluk-Nya.
3. Pembagian Tasawuf
Secara keseluruhan tasawuf dikelompokkan menjadi tiga bagian
yaitu: akhlaki, amali dan falsafi. Tasawuf akhlaki ialah tasawuf yang
menitik beratkan pada pembinaan akhlak al-Karimah.20 Akhlak adalah
keadaan yang tertanam dalam jiwa yang menumbuhkan perbuatan,
19 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 59. 20 Amin Syukur dan Fatimah Usman, Insan Kamil, Paket Pelatihan Seni Menata Hati
(SMH) LEMBKOTA, (Semarang: CV. Bima Sejati, 2006), cet.II, hlm. 5.
28
dilakukan dengan mudah, tanpa dipikir dan direnungkan lebih dahulu.
Dengan demikian nampak adanya perbuatan itu didorong oleh jiwa ada
motivasi (niat) kuat dan tulus ikhlas, dilakukan dengan gampang, tanpa
dipikir dan direnungkan, sehingga perbuatan itu nampak otomatis.
Tasawuf akhlaki yang ajarannya membahas tentang kesempurnaan
dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada sikap mental dan
pendisiplinan tingkah laku guna mencapai kebahagiaan yang optimal,
manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan dirinya yang didalam
ilmu tasawuf dikenali dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat tercela)
tahalli (menghiasi diri dengan sifat terpuji) dan tajalli (terungkapnya Nur
Ghaib bagi hati yang bersih sehingga mampu menangkap cahaya
ketuhanan).21
Tasawuf amali yaitu tasawuf yang menitik beratkan kepada amalan
lahiriyah yang didorong oleh qolb (hati) dalam bentuk wirid, hizib dan
do’a. Selanjutnya tasawuf ini terkenal dengan sebutan tariqot (jalan
menuju Allah) yang selanjutnya menjelma menjadi organisasi ketasawufan
yang diikat dalam sebuah organisasi dan dilengkapi aturan-aturan yang
ketat dengan mengkaitkan diri kepada seorang guru (mursyid).22
Dalam perkembangan selanjutnya para pencari dan pengikut
semakin banyak dan terbentuklah komunitas yang sepaham dan dari
sinilah muncul pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan. Dalam
tariqat ini mempunyai aturan, prinsip dan sistem yang khusus yang
semuanya itu ditempuh untuk mencapai tujuan sedekat mungkin dengan
Tuhan.
Selanjutnya tasawuf falsafi, yakni tasawuf yang dipadukan dengan
filsafat. Dari cara memperoleh ilmu dengan menggunakan rasa, sedangkan
menguraikannya dengan menggunakan rasio. Ia tidak bisa dikatakan
21 Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Study Intelektualisme
Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 45. 22 Amin Syukur dan Fatimah Usman, Insan Kamil, op cit, hlm. 5.
29
tasawuf secara total dan tidak bisa pula disebut filsafat, tetapi perpaduan
antara keduanya yang selanjutnya disebut tasawuf falsafi. 23
Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaniyahnya para sufi
falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar yang
dikenal dengan Syathahat, yaitu suatu ungkapan yang sulit dipahami. Hal
ini sering mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar dan menimbulkan
perbedaan pendapat.
Ketiga macam tasawuf ini hanya sebatas dalam sistematika
keilmuan bukan tataran praktis. Semua proses bertasawuf akan melalui
tahapan takhalli dan tahalli secara simultan, sehingga tercapai tajalli,
tersikapnya tabir antara seorang hamba dengan Tuhan.
4. Istilah Ajaran dalam Tasawuf
a. Masa Nabi Muhammad SAW
Tasawuf merupakan mistik Islam atau dalam istilah orientalis
disebut sufisme, dan orang-orang yang mengamalkan kehidupan mistik
atau tasawuf disebut kaum sufi. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada
sejak nabi Muhammad SAW, meskipun saat itu, istilah tasawuf belum
dikenal. Praktik hidup yang dekat dengan praktik tasawuf pada masa
itu adalah Zuhud, dan dianggap sebagai cikal bakal gerakan tasawuf.24
Sikap Zuhud ini menjadi sikap yang wajar, sederhana, integrativ,
inklusif dan aktif dalam berbagai kehidupan didunia, sebagaimana
dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.25
Nabi Muhammad adalah sosok manusia yang patut dicontoh,
karena beliau dinyatakan sebagai manusia yang berakhlak mulia.
Dengan demikian seluruh perilakunya selalu menjadi pelajaran bagi
umatnya dulu, kini, dan yang akan datang, baik dalam bidang agama,
politik, ekonomi, sosial dan budaya.
23 Ibid. 24 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, op cit, hlm 29. 25 Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern,op cit, hlm. Vi.
30
Kesufian Nabi Muhammad merupakan pemberian (mukjizat)
dari Allah sehingga beliau adalah satu-satunya manusia sempurna
(insan kamil) dengan keistimewaan atas kemakshumannya sehingga
menjadi panutan seluruh alam.
Sebagai manusia biasa yang ingin meniru akhlak Rosulullah
SAW maka ajaran-ajaran yang ditempuh sebagaimana yang
dicontohkan oleh Rosulullah lewat akhlaknya atau yang harus
ditempuh sebagaimana dalam maqam untuk menuju seorang sufi.
b. Masa Khulafa’ al-Rasyidin
Pada Khulafaur rasyidin ra, sebutan atau istilah tasawuf tidak
pernah dikenal, istilah populer yang ada pada masa beliau ialah
sahabat sebagai panggilan kehormatan bagi pengikutnya. Mereka
adalah orang-orang yang terhindar dari sikap syirik dan pola
kehidupan jahiliyyah, selalu memandang dengan meresapi al-Qur’an.
Ketika nabi bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah, maka ada
istilah baru muncul, yaitu Muhajirin dan Anshor.26
Istilah baru muncul pada masa khulafa’ al- Rasyidin ketiga
yakni qurra’ untuk para pengkaji al-Qur’an, kaum Tawwabin yang
merasa dirinya banyak berdosa sehingga selalu bertaubat kepada Allah
terutama setelah peristiwa pembunuhan Ali dan Husein, qash-shash
yaitu pendongeng, Nussak atau ahli ibadah, rabbaniyah yaitu ahli
ketuhanan dan membangkitkan kembali ajaran Islam setelah terjadi
kekacauan dan kemerosotan akhlak, dan merekalah yang menjadi
benih tasawuf paling awal.27 Dengan ketinggian akhlak dan moral
yang mereka bangun seperti sikap zuhud, taqwa, wira’i, mahabbah,
sebenarnya semua orang pada masa nabi Muhammad SAW tersebut
telah menjadi “Sufi”, baik nabi dan sahabatnya yang berakhlak tinggi,
berbudi mulia, sanggup menderita lapar dan haus, dan jika mereka
26 Fatimah Irma, (Ed), Sejarah Ilmu Tasawuf, (Yogyakarta: Lembaga Study Filsafat Islam, 1992), hlm.76.
27 Ibid, hlm. 29.
31
mendapatkan kekayaan tidaklah lekat dihatinya sehingga tidak merasa
sedih dengan hartanya akan habis.28
Kehidupan dan ucapan para sahabat adalah sumber yang dapat
dipetik sebagai landasan kehidupan seorang sufi, yakni sikap
kehidupan yang sederhana dan penuh qanaah. Mereka adalah penerus
yang mengikuti jejak Rosulullah SAW.
c. Masa Pemerintahan Bani Umayyah (42 - 132 H / 11 - 750 M)
Pada masa ini lahirlah seorang zahid pertama dan termashur
dalam sejarah tasawuf. Hasan al-Basri dia lahir pada tahun 21 H/641
M di Madinah. Ayahnya bernama Yasar keturunan Persi beragama
Nashrani dan ibunya bernama Khairah. Hasan Basri dapat
menyaksikan peristiwa pemberontakan terhadap Usman bin affan dan
beberapa kajadian politis sesudahnya yang terjadi di Madinah. Yang
memporak-porandakan umat Islam tanpa diketahui secara pasti
motifnya, dia sekeluarga pindah ke Basrah.29
Beberapa pergolakan politik umat Islam pada masa awal itu
menjadi motif munculnya pemikiran dan gerakan zuhud. Pada mulanya
zuhud bermotifkan keagamaan semata kemudian kemasukan beberapa
unsur luar. Gerakan ini semakin intensif pada masa pemerintahan Bani
Umayyah.
Hasan al-Basri tampil dengan membawa ajaran khauf dan raja’
(mempertebal takut dan harap) kepada Tuhan. Dia selalu menangis
meratapi diri dan kaumnya. Kehidupannya dirundung kesusahan
sehingga badannya kurus, sakit dan merana dalam kehidupannya.
Selain itu tampil pula guru-guru yang lain, yang dinamakan qari’
mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian dikalangan kaum
muslimin.
28 Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Parjinas, 1996) hlm.5. 29 Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern,op cit, hlm. 65.
32
Pandangan Hasan al-Basri tentang dunia adalah rumah amal.
Barang siapa yang menggelutinya atas dasar senang dan cinta kepada-
Nya akan celaka dengannya dan Allah akan menghanyutkan baginya,
kemudian dunia menyerahkan kepada sesuatu yang tidak mampu
bersabar dan menanggung siksa.30
Perwujudan zuhud Hasan al-Basri ialah tidak mendekat kepada
para penguasa yang dzalim, terbukti ia keluar dari kantor Abu
Hubairah (Amir Irak). Beliau juga pernah berkirim surat kepada ‘Umar
ibn ‘Abd al-‘Aziz “Hati-hatilah terhadap dunia yang menipu dan
menggiurkan ini ia akan membunuh pemiliknya dengan angan-
angannya dan membunuh lawan bicaranya. Ia bagaikan pengantin
wanita yang menjadi perhatian semua pihak, semua pandangan tertuju
padanya. Padahal hakikatnya adalah pembunuh suaminya.
Berpalinglah dari pada dunia dan tinggalkanlah dia, karena didalamnya
sedikit yang menarik dan dapat dijadikan teman”.31
d. Masa Pemerintahan Bani Abasiyah (750 M)
Setelah Hasan al-Basri, pada akhir abad II Hijriyah muncul
seorang sufi wanita, Rabi’ah al-‘Adawiyah. Nama itu diberikan
ayahnya, Isma’il karena dia menempati urutan keempat dari anak-
anaknya. Ciri kezuhudannya adalah al-Mahabbah (cinta). Menurut
para sufi al-Mahabbah adalah suatu tingkatan tertinggi dalam tasawuf.
Karena mahabbah yang sejati itu tidak mengenal pamrih. Hal ini telah
dibuktikan Rabi’ah sendiri bahwa pengabdiannya kepada Tuhan bukan
karena takut neraka dan ingin surga-Nya. Akan tetapi semata-mata
cinta kepada-Nya. Bahkan dia pernah “menantang” Tuhan, jika
sekiranya ibadahnya karena takut neraka-Nya maka dia minta dibakar
didalamnya, dan sebaliknya apabila karena menginginkan surga-Nya
30 Ibid, hlm. 66-67. 31 Ibid.
33
maka dia minta dijauhkan padanya.32 Tanpa rasa takut Rabi’ah
menggunakan kalimat cinta didalam ke’asyikan bersama Ilahi, selaras
dengan apa yang diajarkan al-Qur’an.33
Betapa cintanya kepada Tuhan, dia terseret kedalam
“fatalisme” yaitu ketika dia sakit tidak mau mendoa dan didoakan
karena semuanya ini adalah kehendak kekasihnya Tuhan. Cintanya
yang membara itu membawa dan menjadikan dia membujang selama-
lamanya. Alasannya dirinya adalah milik Tuhan, barang siapa yang
menginginkan dirinya harus meminta izin kepada-Nya.
Rabi’ah menganggap dunia sebagai hijab (tabir penyakit)
antara dirinya dengan Tuhan. Dia mencintai-Nya dan mejauhi dunia
semata-mata karena ingin tersikapnya hijab itu, sehingga bisa
mencapai ma’rifat kepada-Nya. Dengan mengingat (dzikir kepada
Tuhan dan melupakan apa saja selain dia yang menjadi hijab itu).
Maka Rabi’ah bisa mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf, yaitu
mahabbah dan ma’rifat kepada-Nya.
Tokoh lain yang muncul sosok zahid pada masa ini adalah
Ibrahim ibn Adham (777 M) yang mempunyai ciri khusus dalam
kezahidannya. Dia adalah seorang pemimpin (amir) anak raja yang lari
dari istana kemudian bertaubat dan uzlah serta hidup menyendiri dan
mencari makan dari karya tangannya sendiri.
e. Al-Ghozali
Al-Ghozali, seorang sufi yang lahir di Tus (khurashan) hidup
pada tahun (450-505 H/1058-1111 M). Sejak kecil sudah nampak
kecemerlangan dalam berfikir berkat kemampuan otak yang diasuh
oleh ulama’ kenamaan diantaranya Abu al-Ma’ali al-Juwaini (Imam al-
Haramain). Selama hidupnya dia menimba dan mendalami berbagai
ilmu keIslaman, namun ilmu-ilmu itu tidak memberikan ketenangan
32 Ibid, hlm 70-71. 33 Louis Massignon dan Mustafa Abdurraziq, Islam dan Tasawuf, (Yogyakarta: Fajar
Pustaka baru, 2001), hlm.116.
34
jiwanya, kegelisahan jiwanya malah bertambah sehingga dia tertimpa
krisis psikis yang kronis, sebagaimana diuraikan dalam karyanya al-
Munqiz min al-Dzalal.34
Dalam sejarah hidupnya, kehausan terhadap segala
pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan
mencari hakikat kebenaran segala sesuatu. Pengalaman intelektual dan
spiritualnya berpindah-pindah dari ilmu kalam ke falsafah kemudian
ke bathiniyah dan akhirnya mendorong ke tasawuf.
Al-Ghazali adalah seorang pemikir yang produktif dalam
berkarya serta luas wawasannya. Dia menyusun banyak buku dan
risalah yang meliputi berbagai bidang seperti fiqh, ushul fiqh, ilmu
kalam, akhlak, logika, filsafat dan tasawuf.35
Al-Ghazali menyelami berbagai paham dan aliran yang ada
kemudian secara subjektif dia mencari solusi bagi krisis batin yang
diderita kemudian ia memilih jalan tasawuf.
Dalam karangan ini al-Ghazali telah berhasil membuat
rumusan-rumusan praktis yang menggambarkan tahapan perjalanan
dan perjuangan sufi, rumusan itu dinamakan sebagai ilmu mu’amalah
yang didefinisikan sebagai ilmu yang menuntut untuk diketahui dan
diamalkan, baik dalam kerangka hubungan vertikal maupun horizontal.
Selanjutnya dia mengatakan bahwa dimensi tasawuf adalah sebagai
ilmu mu’amalah karya Ihya ‘Ulum al-Din.36
Pada masa al-Ghazali ini, tasawuf cenderung mengadakan
pembaharuan yakni periode yang ditandai pemantapan dan
pengembalian tasawuf kelandasannya al-Qur’an dan al-Hadist. Karena
sebelumnya pada abad kelima ini tasawuf ditandai dengan kompetisi
dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni.
Kemenangan tasawuf sunni dipelopori oleh aliran teologi Ahl Sunnah
34 Ibid, hlm. 79. 35 Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar
tentang Tasawuf, alih bahasa Ahmad Rofi’ ‘Ustmani (Bandung: Pustaka, 1997) cet II, hlm. 153. 36 Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, op cit, hlm. 153-154.
35
wa al-Jama’ah oleh Abu Hasan al-Asy’ary yang mengkritik terhadap
teori Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj yang tertuang dalam
syatahiyatnya yang nampak bertentangan dengan kaidah dan akidah
Islam dan selanjutnya benih tasawuf ini tumbuh dan berkembang
dikalangan umat Islam sebagai sebuah gerakan yang massif.
5. Pokok-pokok Ajaran Tasawuf
Dimensi rohani dalam kehidupan manusia sangat berpengaruh
dalam proses pembentukan Akhlak al-Karimah seorang muslim.
Kesalehan amaliahnya dinilai oleh Allah dari substansi suci dibalik nilai
ubudiyah seseorang.
Para sufi umumnya menyimbolkan pengembaraan spiritual mereka
sebagai suatu perjalanan. Mereka melangkah maju dari satu tingkat ke
tingkat di atasnya. Tingkatan kejiwaan ini yang lazim biasanya disebut
“maqamat” atau stations atau at ages.37 Sedangkan tujuan akhirnya
adalah mencapai pengahayatan fana’ fillah, yaitu kesadaran leburnya diri
mereka dalam samudra Ilahi.38
Untuk berada dekat dengan Tuhan, seorang sufi harus menempuh
jalan jenjang yang berisi stasion-stasion yang disebut maqamat. 39 Maqam
37Dalam buku dan literatur sufi tidak selamanya memberikan angka-angka yang sama
tentang stasion-stasion tersebut. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi, merinci stasion-stasion yang harus dilalui oleh para sufi adalah sebagai berikut: taubat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, taqwa, tawakkal, kerelaan, cinta, dan ma’rifat. Sementara al-Ghozali dalam Ihya’ Ulum al-Din merincinya menjadi: taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, cinta, ma’rifat, dan ridho. Sedangkan al-Qusyairi dalam Risalahnya merincinya menjadi: taubat, wara’i, zuhud, tawakal, sabar dan ridha. Diatas stasion-stasion tersebut ada lagi: cinta, ma’rifat fana’, baqa’ dan persatuan (ittihad). Sementara itu, persatuan dapat mengambil bentuk al-hullul atau wahdat al-Wujud. Di samping ada istilah maqam di atas juga masih ada istilah pula ahwal. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, Op.Cit, hlm. 49.
38Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press,1996), hlm. 40.
39 Maqom adalah bentuk jamaknya Maqomat berarti tempat atau kedudukan (station). Dalam sufi terminology: The Mistical Language of Islam, maqom diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual, karena sebuah maqom diperoleh melalui daya upaya (mujahadah) dan ketulusan dalam menempuh perjalanan spiritual. Namun sesungguhnya perolehan tersebut tidak lepas dari karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Lihat Amatullah Amstrong Khasanah Istilah Sufi: Kunci Memahami Dunia Tasawuf. Trj. MS. Nasrullah dan Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 175.
36
adalah sejenis adab yang didapatkan seorang hamba dalam rangka
meningkat rohaninya, yang harus dicapai dengan ikhtiar dan bekerja
keras.40 Tujuh maqam secara berurutan, maqam-maqam itu sebenarnya
sudah sering disebut dalam kitab-kitab lainnya yaitu: taubat, wara’, zuhud,
faqr, sabar, tawakal, dan maqam ridho.
Di samping maqam, untuk mendekatkan diri kepada Allah,
seorang sufi juga mengenal istilah hal (Ahwal) adalah jamak dari hal yang
berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara terminologi ahwal
berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk dalam hati
seseorang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah.
Sebagaimana tujuan kesufian adalah ingin mendapatkan
penghayatan ma’rifat kepada Allah. Ma’rifat di sini bukan tangkapan rasio
atau tangkapan indra akan tetapi pengalaman atau penghayatan kejiwaan.41
Yakni penghayatan yang dialami sewaktu dalam keadaan fana’. Dalam
ajaran tasawuf, ma’rifat merupakan salah satu dari bermacam ahwal yang
mereka alami.
Fana’ dan ma’arifat adalah Hal al-A’dham atau puncak
penghayatan shufiyah. Maka dalam menempuh perjalanan ruhani ini para
sufi mengalami perubahan perasaan dan pengalaman kejiwaan.
Pengalaman dan perasaan kejiwaan yang berubah dan dialami secara tiba-
tiba, tanpa ikhtiar inilah mereka namakan ahwal. Ahwal ini terjadi diluar
Pada sisi lain dunia tasawuf juga ada istilah hal atau jamaknya ahwal yang berarti
keadaan atau situasi kejiwaan (state). Hal merupakan keadaan atau karakter spiritual yang diberikan oleh Tuhan ketika seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqom tertentu. Hal masuk dalam hati seseorang merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang yang tanpa usaha atau perjalanan tertentu, karena ia datang dan pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja. Maka pada dasarnya maqom adalah upaya (makasib), sedangkan hal adalah karunia (mawahib). Terlepas dari semua pengertian dan karakteristik tersebut, banyak kalangan yang menyatakan bahwa jika dipahami lebih mendalam, pada intinya hal tidak lebih merupakan kajian dari manifestasi tercapainya maqom sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan penuh kepasrahan kepada Allah. Sebab meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia (mawahib), namun seseorang yang ingin memperolehnya harus tetap melalui upaya dengan memperbanyak ibadah. Bahkan lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ahwal dan maqomat adalah satu kesatuan. Adapun perbedaan yang ada hanya ada dalam wilayah teoritis semata.
40Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya… ,Op.Cit, hlm. 74. 41Ibid.,hlm. 73.
37
usaha, maka mereka pandang sebagai hibah atau anugerah dari Allah.42
Jadi hal berbeda dengan maqam, karena maqam harus diusahakan.
Ahwal adalah penghayatan yang datang dalam hati (dialami dalam
jiwa) tanpa kesengajaan dari mereka dan tanpa diusahakan. Ahwal adalah
anugerah dari Allah, sedangkan maqamat merupakan jerih payah dari
hamba. Ahwal itu berubah-ubah sedangkan maqamat bersifat tetap.43
Kedatangan anugerah (penghayatan ahwal) setimpal dengan persiapan dan
kecemerlangan batin, setimpal pula dengan kadar kebersihan hatinya.
Jika dipahami hal atau ahwal pada dasarnya tidak lebih merupakan
bagian dari manifestasi tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha
spiritual yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan
dengan penuh kepasrahan kepada Allah. Jadi makin bersih hatinya, makin
cemerlang tingkat penghayatan mereka.
Dalam struktur ahwal diantaranya adalah: Muraqabah (kedekatan),
Mahabbah (cinta), Khauf (takut), Raja’ (harapan), Uns (suka cita),
Tuma’ninah (keteguhan/keteguhan hati), Musyahadah (kesaksian), Yaqin
(kepercayaan yang kuat), dan Ma’rifat (penghayatan).
Uraian di atas menunjukkan bahwa secara teoritis para ahli
tasawuf sepakat dengan konsep ahwal dan maqamat. Namun, dataran
interpretatif, para ahli tasawuf memiliki uraian tersendiri berdasarkan
pengalaman-pengalaman masing-masing. Karena pada dasarnya
pencapaian maqamat dan ahwal adalah merupakan pengalaman spiritual
yang bersifat pribadi, sehingga yang mengetahui secara pasti adalah sufi
yang mengalaminya secara langsung.
B. PENDIDIKAN AKHLAK
1. Pengertian Pendidikan Akhlak
Sebelum lebih jauh membahas tentang pendidikan akhlak akan
dikemukakan terlebih dahulu tentang pengertian pendidikan itu sendiri.
42Ibid.,hlm. 74. 43Ibid.
38
Secara etimologi pendidikan atau paedagogi berasal dari bahasa Yunani
terdiri dari kata “pain” artinya anak dan “again” yang dimaknai
membimbing. Jadi paedagogi yaitu bimbingan yang diberikan kepada
anak.44
Secara etimologi, ada beberapa pandangan pengertian yang
dikemukakan para ahli misalnya oleh Jhon Dewey seperti yang dikutip
oleh M. Arifin, menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu proses
membentuk kemampuan dasar yang fundamental baik menyangkut daya
fikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju kearah
tabi’at manusia dan manusia biasa.45
Menurut Ngalim Purwanto dalam bukunya ilmu pendidikan
(teoritis dan praktis) pendidikan adalah pimpinan yang diberikan dengan
sengaja yang diberikan kepada anak-anak dalam pertumbuhannya (jasmani
dan rohani) agar berguna bagi dirinya dan masyarakat.46 Hal senada yang
diungkapkan oleh Ahmad D Marimba bahwasannya pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.47
Sedangkan menurut Mustafa al-Ghulayini dalam kitab Idzatun
Nasy’in menuturkan :
التربية هي غرس االخالق الفاضلة يف نفوس الناشئني وسقيها مباء اإلرشاد والنصيحة حىت تصبح ملكة من ملكات النفس مث تكون مثرا الفضيلة اخلري
.48وحب العمل لنفع الوطىن “Pendidikan ialah penanaman akhlak yang mulia terhadap anak-anak dengan berbagai petunjuk dan nasehat sehingga tertanamlah karakteristik
44Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hlm. 69 45M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. 4, hlm. 1. 46Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992), hlm 11. 47 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: al-Maarif, 1989), hlm. 19. 48 Mutafa Al-Ghulayini, Idzatun Nasy’in, (Bandung: Maktabah Raja Murah, 1913), hlm.
189.
39
yang baik, kemudian buahnya yang berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air”.
Mengenai pendidikan Khursyid Ahmad berpendapat:
“Education is a mental, physical, and moral training and is
objective is to produce highly cultured man and women fit to discharge
their duties as good human being and as worthy citizens of a state”.49
Menurutnya, pendidikan adalah latihan mental, fisik dan moral
yang bertujuan untuk menghasilkan manusia yang berbudaya tinggi untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka sebagai makhluk hidup yang baik dan
sebagai warga negara yang berguna.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah usaha
yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk memberikan bimbingan
baik jasmani atau rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan
moral dan fisik sehingga menghasilkan perubahan kearah positif yang
nantinya diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah
laku, berfikir dan budi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia
yang berakhlak mulia.
Setelah dijelaskan tentang pengertian pendidikan, selanjutnya akan
menguraikan sekilas tentang akhlak. Secara etimologi akhlak dapat
diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabi’at.50
Kata akhlak berasal dari bahasa arab “khuluq” yang jamaknya
Akhlaq. Artinya tingkah laku, perangai, tabiat, watak, moral, etika dan
budi pekerti. Kata akhlak ini lebih luas artinya dari pada moral atau etika
yang dipakai dalam bahasa Indonesia. Sebab akhlak meliputi segi-segi
kejiwaan dari tingkah laku lahiriyah dan batiniyah seseorang.51
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan pengertian
akhlak:
49 Khursyid Ahmad, Principles Of Islamic Education, (Lahore: Islamic Publication
Limited, 1990), Hlm.2. 50 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994), hlm. 15. 51 A. Zainuddin, Muhammad Jamhari, Al-Islam 2, Muamulah dan Akhlaq, (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), cet. I, hlm. 73.
40
فا خللق عبارة عن هيئة ىف النفس راسخة عنها تصدر األ فعال بسهولة ويسر ن كانت اهليئة حبيث تصدر عنها األفعال إفكر وروية فمن غري حاجة اىل
52 .اجلميلة عقال وسرعا مسيت تلك اهلدف خلقا حسنا
“Khuluq (perangai) ialah suatu sifat yang tetap pada jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak membutuhkan pikiran dan pertimbangan, maka apabila tingkah laku itu sekira nampak aktivitas-aktivitas yang baik, baik secara akal maupun syara’, maka tingkah lau tersebut disebut sebagai akhlak yang baik. ”.
Sejalan dengan al-Ghazali, Abudin Nata mengartikan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dengan tanpa
pemikiran, namun perbuatan tersebut telah mendarah daging dan melekat
pada jiwa sehingga saat melakukan perbuatan tidak dengan memerlukan
pertimbangan dan pemikiran.53
Keadaan ini dapat dimanfaatkan melalui kebiasaan dan pelatihan
yang permulaannya adalah pikiran dan kognisi, kemudian terus
berlangsung sehingga menjadi sifat-sifat akhlak.54
Maksud dari akhlak adalah suatu sikap atau kehendak manusia
disertai dengan niat yang tentram dalam jiwanya berdasarkan al-Qur’an
dan al-Hadist yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan atau
kebiasaan yang jelek maka disebut akhlak yang tercela.
Dalam menentukan baik buruknya akhlak, Islam telah meletakkan
dasar-dasar sebagai suatu pendidikan nilai, dimana ia tidak mendasarkan
konsep al-ma’ruf (yang baik) dan al-mungkar (yang jelek) semata-mata
pada rasio, nafsu, intuisi dan pengalamannya muncul lewat panca indra
yang selalu mengalami perubahan, tetapi Islam telah memberikan sumber
yang tetap, yang menentukan tingkah laku moralnya yang dinamis dan
universal, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dasar tersebut menyangkut
kehidupan perorangan, keluarga, tetangga sampai pada komunitas
52 Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz 3, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ulumiyah, tt) hlm 58. 53 Abudin Nata, Akhlaq Tasawuf, (Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.5. 54 Muhammad Ustman Najati, Jiwa dalam Pandangan para Philosopy Muslim,
(Bandung: Putaka Hidayah, 2002), hlm 90.
41
bangsa.55 Karena meskipun penilaian akhlak hanya pada tindakan dan
amal perbuatan manusia, namun tindakan dan perilaku seseorang pada
dasarnya muncul atas dorongan batiniyah yang sering juga didorong oleh
tekanan-tekanan lingkungan.56
Dari pengertian pendidikan dan akhlak diatas, maka dapat
dipahami bahwa pendidikan akhlak adalah sebuah proses transformasi dan
internalisasi nilai-nilai (ajaran) agama Islam yang dijadikan sebagai
pedoman dasar dalam bertindak atau tingkah laku yang harus dimiliki atau
dibiasakan oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari.
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak
a. Dasar Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dari isi pendidikan
Islam. Posisi ini dapat terlihat dari kedudukan al-Qur’an sebagai
referensi paling penting tentang akhlak bagi kaum muslimin baik
individu, keluarga maupun masyarakat. Akhlak merupakan buah Islam
yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan serta membuat hidup
dan kehidupan menjadi baik. Akhlak yang merupakan alat sebagai
kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat, tanpa akhlak
manusia tidak akan berbeda dari kumpulan binatang. Untuk itu,
pendidikan akhlak mempunyai dasar-dasar yang jelas dan dapat
dijadikan sebagai pedoman.
Pendidikan akhlak merupakan sarana terpenting untuk
membentuk kepribadian manusia dalam kehidupan. Pendewaan-
pendewaan terhadap harta, pangkat, kemasyhuran, kekuasaan dan
keduniaan lainnya menyebabkan manusia jatuh dan terjebak dalam
jurang kehancurannya yang tercermin dari buruknya akhlak pada
umumnya.
55 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta, LKiS bekerja sama dengan Pustaka
Pelajar, 1994) hlm. 180-181. 56 Ibid, hlm. 177.
42
Dalam pelaksanaan pendidikan akhlak di Indonesia mempunyai
dasar yang dapat ditinjau dari beberapa aspek berikut:
1. Dasar Yuridis atau Hukum
Dasar pendidikan ini berupa dasar yang bersifat operasional
yaitu dasar yang secara langsung mengatur tentang pelaksanaan
pendidikan termasuk pendidikan akhlak adalah Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3.
Dinyatakan bahwa:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.57
Dari kutipan diatas jelas bahwa, pendidikan akhlak sudah
masuk dalam tujuan pendidikan nasional.
2. Dasar Religius atau Agama
Dasar hukum akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadist yang
merupakan dasar pokok ajaran Islam. Al-Qur’an mengajarkan
umatnya untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan yang buruk,
ukuran baik dan buruk ini ditentukan oleh al-Qur’an, sedangkan
Al-Qur’an adalah firman Allah yang kebenarannya mutlak untuk
diyakini.58
Allah berfirman dalam surat al-Ma’idah ayat 15-16:
بنيم ابكتو ورالله ن ناءكم مج قد. هانورض عبن اتم دي به اللههي السالم ويخرجهم من الظلمات إلى النور بإذنه ويهديهم إلى سبل
.)16- 15: املائده( صراط مستقيم
57 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI, No. 22 tahun. 2003, (Bandung:
Citra Umbara, 2003), hlm. 7 58 A. Zainuddin, Muhammad Jamhari, op cit, hlm 74
43
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan al-Kitab (Al-Qur’an) yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah memimpin orang yang mengikuti kehadiran-Nya kejalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan izin-Nya, dan menunjuki mereka kejalan yang lurus”. (QS. al-Ma’idah).59
Sesungguhnya orang yang menganut pada apa yang
diridhai Allah dengan cara beriman pada al-Qur’an, akan mendapat
petunjuk dari-Nya kepada jalan yang menyelamatkannya di dunia
dan akhirat. Al-Qur’an menunjuikkan jalan yang mengantarkan
kepada tujuan dan cinta agama yang sebenarnya.60
Sebagai pedoman kedua sesudah al-Qur’an adalah al-Hadist
Rosulullah SAW (sunnah rosul). Sunnah adalah ucapan, perbuatan,
dan penetapan nabi Muhammad SAW. Hadist nabi yang dipandang
sebagai lampiran penjelasan dari al-Qur’an terutama dalam
masalah-masalah yang dalam al-Qur’an tersirat pokok-pokoknya
saja. Oleh karena itu nabi yang merupakan cermin akhlak yang
harus diteladani dan harus diikuti. Sabda Rosulullah SAW:
حدثنا عبد الوارث عن أىب : قال, بن فروخ وأبو الربيع حدثنا شيبانأحسن الناس ) ص(كان رسول هللا : التياح عن أنس بن مالك قال
61 .)رواه مسلم. (خلقا
“Bercerita kepada kami Syaiban bin Farruh dan Abu Rabbi berkata keduanya, bercerita kepada kami Abdul Warist dari Abi Tayyah dari Anas bin Malik ra berkata: Sesungguhnya akhlak Rosulullah adalah sebaik-baik akhlak manusia”. (HR. Muslim).
Setelah dipahami bahwa al-Qur’an dan Sunnah Rosul
adalah pedoman hidup yang menjadi azas bagi setiap muslim,
maka menjadi teranglah, karena keduanya merupakan sumber
59 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op cit, hlm. 161 60 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, (Tafsir al-Maraghi), trj, Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
Toha Putra: 1987), cet. I, Hlm. 143. 61 Imam Muslim, Shahih Muslim Juz 4, (Beirut, Dar Ihya al Tarashil al Araby, tt) hlm.
1805.
44
moral dalam Islam. Firman Allah dan Sunnah nabi adalah ajaran
yang paling mulia dari segala ajaran manapun dari hasil renungan
dan ciptaan manusia, sehingga telah menjadi suatu keyakinan
(aqidah) Islam, bahwa akal dan naluri manusia harus tunduk dan
mengikuti petunjuk dan pengarahan dari al-Qur’an dan Hadist
nabi. Dari kedua pedoman itulah manusia dapat mengetahui
kriteria mana perbuatan yang baik dan yang buruk, yang halal dan
yang haram sehingga manusia mempunyai akhlak yang mulia
(akhlaqul karimah).
b. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan adalah suasana ideal yang ingin diwujudkan dalam
tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate
aims of education) yaitu pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik
yang memiliki fitrah, roh disamping badan, kemauan yang bebas dan
akal.62 Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada
hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang
terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan.63
Tujuan pendidikan akhlak tidak jauh dari pendidikan Islam itu
sendiri, karena pendidikan budi pekerti (akhlak) adalah jiwa dari
pendidikan Islam.64 Hal senada diungkapkan oleh Muhammad al-
Thoumy al-Syaibany, bahwa: Ia (pendidikan Islam) memberikan
perhatian besar pada nilai-nilai rohaniah dan akhlak serta berusaha
menundukkan semua nilai-nilai yang lain kepadanya (rohaniah).
Dengan itu, agama dan akhlak menjadi bingkai umum bagi masyarakat
62 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986), hlm. 67. 63 M. Arifin, Filsafat …Op Cit hlm. 119. 64 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media,
1992) hlm. 75.
45
Islam. Sedangkan tujuan pendidikan akhlak merupakan tujuan pertama
dan tertinggi bagi pendidikan Islam.65
Menurut Muhammad Yunus, tujuan pendidikan akhlak adalah
membentuk putra-putri yang berakhlak mulia, berbudi luhur, bercita-
cita tinggi, berkemauan keras, beradab sopan santun, baik tingkah
lakunya, manis tutur bahasanya dan jujur dalam segala perbuatannya
serta suci murni hatinya.66
Menurut Imam Ghazali tujuan pendidikan yang dirumuskan
meliputi:67
1) Aspek keilmuan yang mengutarakan manusia agar senang berfikir,
menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
serta menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
2) Aspek kerohanian yang mengantarkan manusia agar berakhlak
mulia, berbudi pekerti luhur dan berpribadi yang kuat.
3) Aspek ketuhanan yang mengantarkan manusia beragama agar
dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dari berbagai pendapat diatas dapat dipahami bahwa tujuan
pendidikan akhlak untuk mencapai suatu keyakinan yang didasari atas
tingkah laku yang terpuji dan mulia sesuai dengan ajaran Islam agar
terwujud hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhannya dan
manusia dengan sesama makhluk.
Semua itu pada dasarnya akan bermuara pada hidup didunia
dan akhirat melalui tingkah laku yang baik dalam menghadapi
problema kehidupan, serta menjalin hubungan yang harmonis dengan
Tuhan (hablum minallah) dan sesama manusia (hablum minannas)
serta makhluk lain.
65 Omar Muhammad al-Thounny al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1997) hlm. 405. 66 Muhammad Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Huda Karya
Agung, 1990), hlm. 22. 67 Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hlm 48-49.
46
3. Metode Pendidikan Akhlak
Metode adalah suatu cara, jalan atau langkah yang digunakan atau
tempuh untuk menyampaikan pendidikan yang berkaitan dengan hal-hal
yang bersifat normatif kepada anak didiknya. Berkaitan dengan metode
pendidikan, ada beberapa cara atau metode yang bisa ditempuh,
diantaranya adalah:
a. Metode Nasehat atau Keteladanan (Uswatun Hasanah)
Nasehat yang dimaksud adalah suatu peringatan untuk
menghindari perbuatan yang dilarang oleh Allah, serta diperintahkan
untuk mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dilakukan dengan cara
yang dapat menyentuh hati orang yang dinasihati. Namun metode ini
tidak bermanfaat jika tidak dibarengi dengan teladan yang baik dari
pemberi atau penyampai nasehat.
Pendidikan keteladanan berarti pendidikan dengan memberikan
watak, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir dan sebagainya.
Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa dalam pendidikan
dengan keteladanan merupakan metode yang paling berhasil guna. Hal
ini karena dalam belajar orang pada umumnya lebih mudah
menangkap yang konkrit ketimbang yang abstrak.68 Secara naluri
manusia cenderung melakukan imitasi terhadap pola tingkah laku
orang-orang disekitarnya.
Keteladanan ini merupakan salah satu media yang besar
pengaruhnya kepada jiwa peserta didik, karena secara langsung ia
dapat mendengar dan melihatnya yang secara tidak sadar hal itu telah
diinternalisasikan dalam dirinya.
Dalam metode peneladanan ini ada dua macam cara yaitu:
sengaja dan tidak sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja adalah
keteladanan dalam keilmuwan, kepemimpinan, sifat keikhlasan.
68 Heri Noer Ali. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. 2 hlm.
178.
47
Sedangkan keteladanan yang disengaja adalah memberikan contoh
membaca yang baik dan melakukan sholat yang benar.69
b. Metode Pembiasaan
Pembiasaan merupakan proses pemahaman kebiasaan. Yang
dimaksud kebiasaan (Habit) ialah cara-cara yang bertindak yang
Persistent Uniform, hampir-hampir otomatis (hampir-hampir tidak
disadari oleh perilakunya).70 Perbuatan kebiasaan ini menurut
Whetherington melalui dua cara: Pertama dengan cara pengulangan
dan Kedua dengan disengaja dan direncanakan.71 Membentuk adab
kebiasaan segala perbuatan baik atau buruk menjadi suatu kebiasaan
karena faktor “kesukaran hati kepada suatu pekerjaan dan menerima
kesukaran itu dengan melahirkan suatu perbuatan dan dengan diulang-
ulang secukupnya”.72
Disamping itu pembiasaan juga harus memproyeksikan
terbentuknya mental dan akhlak yang lemah lembut untuk mencapai
nilai-nilai akhlak. Pendidikan lewat pembiasaan tidak hanya
mempunyai permasalahan yang sesederhana itu. Menurut konsep
pendidikan yang ideal, pembiasaan yang diiringi oleh pengetahuan
yang cukup adalah kesalahan yang sangat fatal.73
Adapun tujuan pembiasaan ini adalah menanamkan kecakapan-
kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu, agar cara-cara yang
tepat dapat dikuasai oleh si terdidik. Harus diingat, bahwa penentuan
kepribadian tidak hanya berhenti sampai disini, kalau berhenti sampai
disini mendidik manusia sama saja dengan mengajar binatang untuk
main disirkus. Bagi pendidikan manusia pembiasaan itu, mempunyai
aplikasi yang lebih mendalam dari pada sekedar penanaman cara-cara
69 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, Remaja Rosda
Karya, 1991), hlm. 143. 70 Ibid, hlm. 104. 71 Jalaludin, Psikologi Agama,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) cet.2 hlm. 206. 72 Ahmad Anin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 21. 73 Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral: Aspek Pendidikan yang Terlupakan, (Yogyakarta:
Talenta, 2003) Cet 1 hlm. 29.
48
berbuat dan mengucapkan (melafadzkan). Pembiasaan ini harus
merupakan persiapan untuk pendidikan selanjutnya. Dan pendidikan
tidak usah berpegang teguh pada garis pembagian yang kaku. Dimana
mungkin, berilah penjelasan-penjelasan sekedar makna gerakan-
gerakan, perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan itu dengan
memperhatikan taraf pematangan si terdidik.74
c. Metode Kisah atau Cerita
Salah satu metode yang digunakan al-Qur’an untuk
mengarahkan manusia kearah yang dikehendakinya adalah
menggunakan “Kisah”, setiap kisah menunjang materi yang disajikan,
baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun kisah simbolik.75
Cerita merupakan salah satu sarana yang dipergunakan al-
Qur’an untuk membangkitkan dorongan dalam belajar. Ini dikarenakan
melalui kisah atau cerita membangkitkan rasa ingin tahu dan
memusatkan perhatian para pendengarnya untuk mengikuti berbagai
peristiwa yang dituturkan didalamnya. Melalui cerita-cerita didalam al-
Qur’an berusaha menanamkan tujuan keagamaan yang berkenaan
dengan aqidah, suri tauladan atau hukum yang hendak diajarkan
kepada manusia.
Diantara keindahan artistik yang mewarnai kisah-kisah itu
begitu mudah menanamkan tujuan-tujuan keagamaan dalam jiwa dan
begitu dalam berpengaruhnya atas jiwa manusia.76
Mengenai metode kisah ini telah disebutkan dalam al-Qur’an
dalam Surat Yusuf ayat 111, yaitu:
)111:يوسف( ولي األلباب أل لقد كان في قصصهم عبرة
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran dengan orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Yusuf: 111).77
74 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat … op cit, hlm.11. 75 Muhammad Quraisy Syihab, membumukan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 1993), hlm.
175. 76 Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Pustaka, 2000), Cet.3, hlm.190. 77 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op cit hlm. 366.
49
Qashsha al-khabara berarti menyampaikan berita dalam
bentuk yang sebenarnya. Kata ini diambil dari perkataan qashsha al-
atsara wa iqtashshahu yang berarti menuturkan cerita secara lengkap
dan benar-benar mengetahuinya.78 Dalam hal ini kisah yang
ditampilkan mengandung nilai-nilai edukatif dan memuat unsur
keteladanan, sehingga mampu menggugah dan mendorong seseorang
untuk meyakini dan mencontoh pelaksanaannya.
4. Materi Pendidikan Akhlak
Menurut Quraisy Syihab dalam agama Islam, etika (moral) dan
akhlak tidak dapat disamakan karena secara umum etika hanya dibatasi
pada sopan santun antar sesama manusia serta hanya berkaitan tingkah
laku lahiriyah, sedangkan akhlak mempunyai makna yang lebih luas
disamping tingkah laku lahiriyah juga mencakup sikap bathin maupun
fikiran.79
Namun apabila moral (etika) dipahami sebagai budi pekerti yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya serta dengan
makhluk lain yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah maka disamakan
dengan akhlak diniyah. Akhlak diniyah (agama) mencakup berbagai
aspek, dinilai dari akhlak terhadap Allah hingga kepada sesama
makhluk.80 Karena sesungguhnya manusia mempunyai kewajiban-
kewajiban. Kewajiban manusia didunia ini adalah untuk beribadah kepada
Allah SWT, manusia harus berakhlak dengan baik terhadap lingkungan
sekitarnya, dan disamping itu juga mempunyai kewajiban yang lain yaitu
kewajiban kepada diri sendiri dan kepada sesama manusia.81
78 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, (Tafsir al-Maraghi), trj, Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
CV.Toha Putra: 1993), Hlm. 95. 79 Muhammad Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas berbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2000) hlm. 261. 80 Ibid. 81 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan… op cit, hlm. 174.
50
Berdasarkan sifatnya, akhlak dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Akhlak Mahmudah (akhlak terpuji) atau akhlak karimah (akhlak yang
mulia). Yang termasuk akhlak terpuji adalah ridha kepada Allah, cinta
dan iman kepada-Nya, beriman kepada malaikat, rosul, kitab, hari
kiamat, taqdir, taat beribadah, selalu menepati janji, melaksakan
amanah, berlaku sopan, dan segala perbuatan yang baik menurut
ukuran atau pandangan Islam.
b. Akhlak Madzmumah (akhlak tercela) atau akhlak sayyiah (akhlak yang
jelek). Adapun yang termasuk akhlak madzmumah adalah kufur,
syirik, fasik, riya’, takabur, iri, dendam dan sebagainya.
Berdasarkan objeknya akhlak dibedakan menjadi dua:82
a. Akhlak Kepada al-Khalik.
Manusia sebagai makhluk Allah yang telah diberikan berbagai
rahmat dan nikmat sudah barang tentu harus berbuat sesuatu sebagai
imbalan dan rasa terimakasih terhadap-Nya.
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau
perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
Tuhan (kholiq). Abuddin Nata83 memberikan empat alasan, maka
manusia perlu berakhlak kepada Allah. Pertama, karena Allahlah yang
telah menciptakan manusia dengan demikian sebagai yang diciptakan
sudah sepantasnya berterimakasih pada yang menciptakannya. Kedua,
karena Allahlah yang memberikan perlengkapan panca indra yang
berupa pendengaran, penglihatan, akal fikiran dan hati sanubari
disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.
Ketiga, karena Allah yang menyediakan berbagai bahan dan sarana
yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia seperti bahan
makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang
ternak dan sebagainya. Keempat, Allahlah yang telah memuliakan
82 A. Zainudin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2, Muamalah dan Akhlak, (Bandung:
CV Pustaka Pelajar, 1999), Hlm.78. 83 Abuddin Nata, Ahklak Tasawuf, op cit, cet 4, hlm. 147-148.
51
manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan
lautan.
Walaupun demikian Allah telah memberikan kenikmatan
kepada manusia sebagaimana disebutkan diatas bukanlah menjadi
alasan Allah perlu dihormati. Bagi Allah dihormati atau tidak, tidak
akan mengurangi kemuliaan-Nya. Akan tetapi sebagai manusia sudah
sewajarnya menunjukkan sifat dan sikap akhlak yang baik kepada
Allah.
Quraisy Syihab mengatakan bahwa titik tolak akhlak kepada
Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain
Allah, dan memiliki sifat-sifat terpuji, demikian agung sifat itu,
jangankan manusia, malaikatpun tidak akan mampu menjangkau
hakikatnya84.
Sebagaimana yang tersirat dalam al-Qur’an surat An-Naml ayat
93 secara tegas dijelaskan bahwa:
ريكميلله س دمقل الحرفءآوعاته فتا يمافل عبغ كبا رما وهون .)93: النمل( تعملون
“Dan katakanlah segala puji bagi Allah Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahui. Dan Tuhan tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Naml: 93). 85
Banyak cara dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah,
diantaranya adalah:
1) Taqwa
Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 102:
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته وال تموتن إال وأنتم مسلمون .)102: رانال عم(
84 Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur’an, op cit, hlm. 262. 85 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op cit, hlm. 605.
52
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali Imran: 102).86
Dalam tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa wajib untuk
bertakwa dengan sebenar-benarnya yang dapat dilakukan dengan
cara melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan
larangan Allah sampai mati.87
2) Syukur
Syukur artinya merasa senang dan berterima kasih karena
memperoleh nikmat dari-Nya, kemudian menambah semangat
untuk beribadah kepada-Nya. Hatinya bertambah iman dan
semakin banyak berdzikir kepada Allah.88
Secara global syukur adalah menggunakan nikmat yang
diberikan kepadanya secara proporsional. Siapa yang meletakkan
nikmat sesuai dengan situasi dan kondisinya, maka ia tergolong
orang yang bijaksana. Baik secara ilmiah maupun alamiyah,
meletakkan sesuatu secara porsinya adalah hikmah itu sendiri.89
Dengan demikian syukur adalah qanaah yang berarti memuji Allah
dan berterimakasih kepada-Nya lantaran nikmat yang begitu
banyak dan merasa cukup atas segala pemberian-Nya.
3) Sabar
Sabar dalam kenyataannya ada empat yaitu: pertama sabar
dalam menahan diri dari segala perbuatan jahat dan dari menuruti
dorongan hawa nafsu yang angkara murka, menghindarkan diri
dari segala perbuatan yang mungkin dapat menjerumuskan diri
kedalam jurang kehinaan dan merugikan nama baik. Kedua sabar
dalam menjalankan suatu kewajiban, yaitu jangan sampai merasa
86 Ibid, hlm. 92. 87 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, (Tafsir al-Maraghi), trj, Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
Toha Putra: 1993), jilid.4, Hlm. 26. 88 Hamzah Yaqub, Etika Islam, (Bandung, CV. Diponegoro, 1995) cet.3 hlm. 11 89 Abu Hamid al-Ghozali, Raudhah: Taman Jiwa Kaum Sufi, terjemahan M. Luqman
Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 139
53
berat atau bosan dalam menjalankan ibadah, karena suatu ibadah
itu membutuhkan suatu kesabaran. Ketiga sabar dalam membela
kebenaran, melindungi kemaslahatan, menjaga nama baik bagi
dirinya sendiri, keluarga dan bangsa. Keempat sabar dalam
kehidupan dunia, yaitu sabar terhadap tipu daya dunia tidak terpaut
dalam kenikmatan hidup didunia dan tidak menjadikan kehidupan
dunia sebagai tujuan tetapi hanya sebagai alat untuk
mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal di akhirat
nanti.90
Dengan demikian sabar adalah tegaknya dorongan agama
berhadapan dengan hawa nafsu, maksudnya adalah sesuatu
kekuatan, daya positif yang mendorong jiwa untuk menunaikan
kewajiban. Disamping sebagai sesuatu kekuatan yang menghalangi
seseorang untuk melakukan kejahatan.
4) Tawakal
Tawakal yaitu menyerahkan segala perkara dan usaha
kepada Allah yang maha kuat dan maha kuasa, sedangkan kita
lemah dan tidak berdaya. Maksudnya merupakan suatu sikap
mental yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada
Allah.91 Maksudnya adalah seorang yang tawakal akan merasakan
ketenangan dan ketentraman. Ia senantiasa merasa mantap dan
optimis dalam bertindak sehari-hari. Disamping itu juga ia akan
merasakan kerelaan yang penuh atas segala yang diterimanya dan
selanjutnya ia akan senantiasa memiliki harapan atas segala yang
dikehendaki dan dicita-citakannya.
5) Ikhlas
Beribadah dan beramal dengan hati tulus karena Allah,
bukan karena yang lain. Tidak boleh beribadah karena apa dan
siapapun juga selain Allah. Sebagaimana firmannya:
90 Disarikan dari Ibnu Athoillah as-Sukandari, Pembersihan Jiwa, trj. Abu Jihaddudin al-Hanif, (Surabaya: Putra Pelajar, 2001) hlm. 89-97.
91 Disarikan dari Hasyim Muhammad, op cit, hlm. 45-46.
54
. )5: البينة ( ليعبدوا الله مخلصني له الدينالوما أمروا إ
“Manusia tidak diperintah ibadah melainkan kepada Allah dengan tulus dan ikhlas kebaktian semata-mata karenanya dalam menjalankan agama dengan lurus”.92
Ayat ini memerintahkan untuk melakukan hal-hal yang
dapat mengantarkan kepada kebahagiaan didunia ataupun
kebahagiaan jika kembali kehadapan Allah, misalnya beramal
dengan ikhlas karena Allah dan membersihkan diri dari
menyekutukan Allah.93 Dapat dikatakan bahwa ikhlas merupakan
pondasi dasar manusia dalam berbuat sesuatu. Ikhlas berarti
melakukan sesuatu amal hanya dikarenakan Allah semata, tanpa
ada unsur lain yang mengikutinya.
6) Ridha
Ridha adalah buah dari tawakal, maksudnya yakni
menerima tawakal dengan kerelaan hati. Jadi ridha berarti
menerima ketentuan Allah, dimana hatinya tetap senang menerima
apapun ketentuan dari Allah atas dirinya, sehingga bisa
disimpulkan bahwa ridha merupakan kondisi kejiwaan atau sikap
mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala
karunia yang diberikan atas cobaan yang ditujukan kepadanya
dengan senantiasa merasa senang dalam situasi apapun. Sikap
mental semacam ini adalah merupakan maqom tertinggi yang
dicapai oleh seorang sufi.94
b. Akhlak kepada makhluk, yang terbagi menjadi:
1) Akhlak Terhadap Rosul
Nabi Muhammad dinyatakan sebagai manusia yang lain,
dinyatakan pula bahwa beliau adalah rosul yang memperoleh
92 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op cit, hlm. 1084. 93 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, (Tafsir al-Maraghi), trj, Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
Toha Putra: 1993), cet. II, Hlm. 374. 94 Disarikan dari Hasyim Muhammad, op cit
55
wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh
penghormatan memperbaiki manusia lain.95
Adapun akhlak kepada rosul diantaranya adalah:
a) Mencintai Rosulullah secara tulus dengan mengikuti
sunnahnya, dengan cara menjalankan apa yang disuruh dan
tidak melaksanakan sesuatu yang dilarangnya.
b) Menjadikan rosulullah sebagai idola, suri tauladan dalam hidup
dan kehidupan.96 Sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Ahzab ayat 21:
)21: اال احزب( أسوة حسنةلقد كان لكم في رسول الله “Dalam diri Rosulullah itu kamu banyak menemukan suri tauladan yang baik”. (QS. al-Ahzab:21).97
c) Mengucapkan sholawat dan salam kepadanya.
d) Nabi Muhammad telah meninggal namun selaku umatnya kita
wajib untuk mengucapkan salam sebagai tanda doa dan
penghormatan beliau junjungan kita atas suri tauladan yang
dicontohkan kepada kita sebagai bekal hidup didunia dan
diakhirat.
2) Akhlak Terhadap Diri Sendiri
Akhlakul karimah terhadap diri sendiri, maksudnya baik
terhadap dirinya sehingga tidak mencelakakan atau
menjerumuskan dirinya kedalam keburukan lebih-lebih
berpengaruh terhadap orang lain. Akhlak ini meliputi: jujur,
disiplin, pemaaf, hidup sederhana dan sebagainya.98
Diantara cara untuk berakhlak kepada diri sendiri yaitu:
a) Memelihara kesucian diri baik jasmani maupun rohani.
95 Quraisy Syihab, Op Cit, hlm. 167. 96 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarrta: Raja Grafindo Persada,
2000), hlm.357. 97 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op cit, hlm. 670. 98 A. Zainuddin dan M. Jamhari, op cit, hlm. 95.
56
b) Memelihara kepribadian diri.
c) Berlaku tenang (tidak terburu-buru) ketenangan dalam sikap
termasuk rangkaian dalam rangkaian akhlakul karimah.
d) Menambah pengetahuan yang merupakan kewajiban sebagai
manusia. Menuntut ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk
memperbaiki kehidupan didunia ini dan untuk bermoral
sebagai persiapan kealam baqa’.
e) Membina disiplin peribadi.
Dalam hal ini akhlak terhadap diri sendiri adalah
memelihara jasmani dengan memenuhi kebutuhan sandang,
pangan dan papan, memelihara rohani dengan memenuhi
keperluan berupa pengetahuan, kebebasan dan sebagainya
sesuai dengan tuntutan fitrahnya hingga menjadi manusia yang
sesungguhnya.99
Memelihara diri bukan berarti memanjakan, tetapi
justru memanfatkan segala potensi yang ada sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, sehingga menjadi manusia yang
bermanfaat bagi dirinya, orang lain (masyarakat) dan alam
sekitar.
3) Akhlak Terhadap sesama Manusia
Banyak akhlak terpuji yang harus diterapkan oleh manusia
dalam kaitannya dengan sesama manusia. Apalgi manusia hidup
ditengah-tengah masyarakat, yang segala sesuatunya saling
bergantung sama lainnya. Peranan akhlak dalam kehidupan
bermasyarakat ini sangat penting.
Akhlak karimah yang harus diterapkan, antara lain:
a) Saling menghormati
b) Saling menolong
c) Menepati janji
d) Berkata sopan
99 Asmaran, Pengantar Study Akhlak, (Jakarta: Rajawali, 1992), hlm. 162.
57
e) Berlaku adil.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Ma’idah
ayat 2:
ر والتقوى وال تعاونوا على اإلثم وتعاونوا على الب
)2:املائدة( والعدوان
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”. (QS: al-Ma’idah:2)100
Dalam sebuah hadist nabi diterangkan, “hak orang Islam
atas orang Islam lainnya ada 6 yakni apa bila engkau berjumpa
dengannya berilah salam; apabila ia mengundangmu, maka
penuhilah; apabila ia meminta nasihat kepadamu, maka berilah dia
nasihat; apabila ia bersin, lalu memuji Allah, maka doakanlah ia;
apabila ia sakit maka tengoklah dia; dan apabila ia meninggal
dunia, maka iriongkanlah dia”. (H.R. Muslim).
4) Akhlak Terhadap Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan adalah sesuatu yang
ada disekitar manusia baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun
benda-benda yang tidak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang
dianjurkan al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi
manusia sebagai kholifah.101 Kekhalifahan mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan serta bimbingan agar setiap makhluk
mencapai tujuan penciptaannya.102
Manusia sebagai khalifah, pengganti dan pengelola alam.
Mereka diturunkan kebumi ini adalah untuk membawa rahmat dan
cinta kasih kepada alam seisinya. Oleh karena itu manusia
100 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op cit, hlm. 157. 101 Quraish Syihab, Wawasan al-Qur’an, Op Cit, hlm. 269. 102 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2002).
58
mempunyai tugas dan kewajiban terhadap alam sekitar yakni
melestarikan dan memelihara dengan baik.103
Dengan demikian sekalipun alam ini diciptakan untuk
kepentingan manusia agar dapat diambil manfaatnya, mereka tetap
berkewajiban untuk memelihara dan melestarikan disamping harus
merenungkan yang menciptakannya untuk meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan kepada-Nya.
Pendidikan akhlak dalam Islam pada dasarnya adalah lebih
komplek dan menyeluruh yang menyangkut segala dimensi akhlak
manusia, baik akhlak terhadap sang pencipta, terhadap rosulnya,
terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan alam semesta.
103 Asmaran, op cit, hlm. 179
59
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, alih bahasa A.r Ustman, Bandung: Mizan 1985.
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad
21, Yogyakrta: Pustaka Pelajar 1999. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Annemarie Schimael, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1986. Abu Hamid al-Ghozali, Raudhah: Taman Jiwa Kaum Sufi, terjemahan M.
Luqman Hakim, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Asmaran, Pengantar Study Akhlak, Jakarta: Rajawali, 1992. Azyumardi Azra, “Neo-Sufisme dan Masa Depannya, dalam Jalaludin Rachmat,
dkk, Rekontruksi dan Renungan Religius, Jakarta: paramadina, 1996. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2002. Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Al-Ghozali, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad, Ihya’ Ulumuddin, juz 3,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ulumiyah, tt). Abudin Nata, Akhlaq Tasawuf, Raja Grafindo Persada, 1997. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: al-Maarif, 1989. A. Zainuddin, Muhammad Jamhari, Al-Islam 2, Muamulah dan Akhlaq, Bandung:
Pustaka Setia, 1999, cet. I. Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media,
1992. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung, Remaja Rosda
Karya, 1991. Ahmad Anin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
60
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, (Tafsir al-Maraghi), trj, Bahrun Abu Bakar,
Semarang: Toha Putra: 1993, cet. II. Carl W. Ernest, Words of Ectasy in Sufis, New York: State University Press, 1985. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1994. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Islam Baru van Houeve,
1994. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Semarang: CV. Toha Putra,
1989. Fatimah Irma, (Ed), Sejarah Ilmu Tasawuf, Yogyakarta: Lembaga Study Filsafat
Islam, 1992. Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Pustaka, 1994. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi, Filsafat
dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986. Heri Noer Ali. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, cet.2. Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Parjinas, 1996. Hamzah Yaqub, Etika Islam, Bandung, CV. Diponegoro, 1995 cet.3. Imam Muslim, Shahih Muslim Juz 4, Beirut, Dar Ihya al Tarashil al Araby, tt. Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 cet.2. Khursyid Ahmad, Principles Of Islamic Education, Lahore: Islamic Publication
Limited: 1990. Louis Massignon dan Mustafa Abdurraziq, Islam dan Tasawuf, Yogyakarta: Fajar
Pustaka baru, 2001. Mutdla Muttahari dan Syaikh Muhammad Husain Thabathaba’i, Menapat Jalan
Spiritual, terjamah MS, Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, cet. 4. Mutafa Al-Ghulayini, Idzatun Nasy’in, Bandung: Maktabah Raja Murah, 1913.
61
Muhammad Ustman Najati, Jiwa dalam Pandangan para Philosopy Muslim, Bandung: Putaka Hidayah, 2002.
Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral: Aspek Pendidikan yang Terlupakan,
Yogyakarta: Talenta, 2003. Muhammad Quraisy Syihab, membumukan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1993. Muhammad Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas
berbagai Persoalan Umat, Bandung Mizan, 2000. Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarrta: Raja Grafindo Persada,
2000. Muhammad Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: Huda
Karya Agung, 1990. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992. Omar Muhammad al-Thounny al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1997. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Rajaali
Pers, 2000. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press,
1996. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LKiS bekerja sama dengan
Pustaka Pelajar, 1994. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI, No. 22 tahun. 2003,
Bandung: Citra Umbara, 2003. Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Bandung: Pustaka, 2000 Cet.3. Zainudin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2, Muamalah dan Akhlak, Bandung:
CV Pustaka Pelajar, 1999. Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghozali, Jakarta: Bumi Aksara,
1991.