Download - Bab II Studi Karakteristik bahan makanan
-
BAB 2
STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA
Pendahuluan
Pengeringan merupakan proses pengeluaran air dari dalam bahan secara
termal untuk menghasilkan produk kering. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu
sebagai salah satu metode pengawetan produk bahan pertanian. Proses ini
dipengaruhi oleh kondisi eksternal yaitu suhu, kelembaban, kecepatan dan
tekanan udara pengering serta kondisi internal seperti kadar air, bentuk/geometri,
luas permukaan dan keadaan fisik bahan. Setiap kondisi yang berpengaruh di atas
dapat menjadi faktor pembatas laju pengeringan (Brooker et al. 1981).
Pengeringan merupakan metode pengawetan produk yang cukup kompleks
terutama disebabkan oleh adanya perubahan yang tidak diinginkan atas kualitas
produk keringnya (Madamba et al. 1996; Mujumdar & Menon 1995). Tujuan
dasar dalam pengeringan produk pertanian adalah pengurangan air dalam bahan
sampai ke tingkat tertentu, di mana mikroba pembusuk dan kerusakan akibat
reaksi kimia dapat diminimalisasi (Rizvi 2005), sehingga kualitas produk
keringnya dapat dipertahankan.
Salah satu produk pertanian yang memerlukan proses pengeringan adalah
tanaman obat temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Rosc.) dan temu lawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang termasuk ke dalam suku Zingiberaceae.
Bagian tanaman ini yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional atau
lebih dikenal dengan jamu adalah umbi akar (rhizome) berupa irisan yang
dikeringkan, disebut simplisia. Kadar air rimpang temu putih dan temu lawak
pada saat dipanen berkisar 80-90%, angka ini cukup tinggi sehingga komoditas ini
mudah rusak bila tidak segera diolah atau dikeringkan. Menurut Farmakope
Herbal Indonesia (Depkes 2008) dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional, standar kadar air
maksimum simplisia adalah 10%. Pada umumnya petani dan pedagang
pengumpul melakukan pengeringan dengan cara penjemuran yang rawan
kontaminasi. Selain itu tingkat suhu dan kelembaban penjemuran tidak cukup
memadai sehingga sulit untuk mencapai standar kadar air yang disyaratkan. Untuk
-
10
meningkatkan kualitas hasil pengeringan maka cara pengeringan dengan
penjemuran alami harus diganti dengan teknik pengeringan yang lebih modern.
Untuk itu informasi tentang karakteristik pengeringan dan sifat-sifat termofisik
setiap produk secara spesifik termasuk temu putih dan temu lawak harus
diketahui, hal ini diperlukan dalam membuat desain rancangan proses dan
peralatan pengeringannya.
Studi tentang perilaku pengeringan tanaman obat dan herbal telah menjadi
topik yang menarik bagi berbagai peneliti, antara lain jahe (Balladin et al. 1996),
paprika hijau dan bawang (Kiranoudis et al. 1992), bawang (Shaarma et al. 2005),
wortel (Doymaz 2004), teh hitam (Panchariya et al. 2002; Temple & Boxtel
1999), daun ketumbar (Ahmed et al. 2001), daun mint (Park et al. 2002), dan
rosehip (Erenturk et al. 2004).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh kondisi suhu,
kelembaban relatif dan laju udara pengeringan terhadap karakteristik pengeringan,
menentukan model matematis pengeringan serta mengkaji pengaruh kondisi
pengeringan terhadap konstanta pengeringan lapisan tipis temu putih dan temu
lawak.
Tinjauan Pustaka
Teori Pengeringan
Pengeringan adalah proses penguapan air dari bahan yang dikeringkan
dengan memberikan panas atau energi. Panas yang disuplai dapat melalui cara
konveksi, konduksi dan radiasi. Lebih dari 85% pengering industri merupakan
tipe konveksi dengan medium udara panas atau gas buang. Panas diberikan pada
lapisan batas bahan yang dikeringkan dan selanjutnya terdifusi kedalam bahan
secara konduktif. Air dalam bahan akan bergerak ke lapisan batas dan kemudian
menguap dan dibawa oleh udara pengeringan (Mujumdar & Menon 1995).
Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Laju penguapan air
bebas sebanding dengan perbedaan tekanan uap pada permukaan air terhadap
tekanan uap pengering (Henderson & Perry 1976). Bila konsentrasi air permukaan
cukup besar, maka akan terjadi laju penguapan yang konstan.
-
11
Air bebas adalah bagian air yang terdapat pada permukaan bahan, dapat
digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya serta dijadikan sebagai media
reaksi-reaksi kimia. Air bebas dapat dengan mudah diuapkan pada proses
pengeringan. Untuk menguapkan air bebas diperlukan energi yang lebih kecil
daripada menguapkan air terikat.
Air terikat dibagi menjadi dua, yaitu air yang terikat secara fisik dan air
yang terikat secara kimiawi. Air yang terikat secara fisik merupakan bagian air
yang terdapat dalam jaringan matriks bahan karena adanya ikatan-ikatan fisik.
Apabila kandungan ini diuapkan maka pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan
(browning), hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi.
Bila air permukaan telah habis, maka akan terjadi migrasi air dan uap dari
bagian dalam ke permukaan secara difusi (Hall 1957; Henderson & Perry 1976).
Difusi air atau uap air dalam bahan dapat terjadi melalui satu atau beberapa
mekanisme berikut (Jangam & Mujumdar 2010):
Difusi cair (liquid diffusion), jika suhu bahan berada di bawah suhu titik didih
(boiling point) cairan
Difusi uap air (vapor diffusion), jika air menguap di dalam bahan
Difusi Knudsen, jika pengeringan terjadi pada suhu dan tekanan yang sangat
rendah seperti pada proses pengeringan beku
Difusi permukaan (surface diffusion), mungkin terjadi walaupun belum
terbukti
Perbedaan tekanan hidrostatis (hydrostatic pressure differences), terjadi ketika
laju penguapan internal lebih besar daripada laju transfer uap air dari bahan ke
lingkungan
Kombinasi dari mekanisme di atas.
Struktur fisik bahan yang dikeringkan mengalami perubahan sepanjang
waktu pengeringan sehingga mekanisme penguapan juga dapat berubah.
Pengeringan merupakan operasi yang kompleks yang melibatkan fenomena
transfer panas dan massa secara simultan. Proses ini dapat menyebabkan
terjadinya perubahan fisik dan kimiawi bahan. Perubahan secara fisik meliputi
penyusutan, puffing, kristalisasi dan transisi gelas, sedangkan secara kimia
menyebabkan perubahan warna, tekstur, bau dan sifat-sifat bahan lainnya.
-
12
Pengeringan merupakan unit operasi dengan tingkat konsumsi energi tinggi dan
bersaing dengan proses destilasi sebagai the most energy-intensive unit operation
sehubungan dengan tingginya panas laten penguapan air dan ketidakefisienan
(inherent inefficiency) dari penggunaan udara panas sebagai media pengeringan
pada umumnya (Jangam & Mujumdar 2010).
Pada proses pengeringan terdapat dua jenis laju pengeringan, yaitu laju
pengeringan konstan (constant rate) dan laju pengeringan menurun (falling rate).
Grafik laju pengeringan ini dapat dilihat pada Gambar 2-1. Menurut Brooker et al.
(1981) laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan produk
dengan kadar air lebih besar dari 70% bb. dan merupakan fungsi dari suhu,
kelembaban udara, dan kecepatan udara pengering. Umumnya laju pengeringan
konstan merupakan periode yang singkat sehingga dapat diabaikan dalam proses
pengeringan (Henderson & Perry 1976).
Gambar 2-1. Kurva pengeringan (Hall 1957)
Laju pengeringan menurun terjadi setelah akhir laju pengeringan konstan,
dimana kadar air bahan pada perubahan laju pengeringan ini disebut kadar air
kritis (critical moisture content) (Hall 1957; Henderson & Perry 1976). Laju
pengeringan menurun sering dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap laju
pengeringan menurun pertama dan tahap laju pengeringan menurun kedua. Tahap
AB
C
D
E
M
t
-
13
laju pengeringan menurun pertama terjadi pada saat berkurangnya permukaan
bahan yang basah karena kecepatan pergerakan air dari dalam lebih kecil
dibandingkan kecepatan penguapan di permukaan (Heldman & Singh 1981).
Sedangkan laju pengeringan menurun kedua terjadi pada saat bagian dalam bahan
menguap dan uap air berdifusi ke permukaan. Gambar laju pengeringan konstan
dan laju pengeringan menurun dapat dilihat pada Gambar 2-2, dimana:
A-B : periode pemanasan
B-C : laju pengeringan konstan
C : kadar air kritis
C-D : periode penurunan laju pengeringan pertama
D-E : periode penurunan laju pengeringan kedua
Gambar 2-2. Kurva karakteristik laju pengeringan (Hall 1957)
Kadar air kritis adalah kadar air terendah dimana laju air bebas dari dalam
bahan ke permukaan tidak terjadi lagi. Pada periode laju pengeringan menurun
terjadi penurunan tekanan uap dari permukaan produk di bawah tekanan uap
jenuh. Karena uap air secara terus menerus meninggalkan bahan, maka tekanan
uap dalam bahan semakin kecil, yang berarti perbedaan tekanan uap antara bahan
dengan udara disekitarnya semakin kecil. Kondisi tersebut akan menghasilkan
penurunan pada laju pengeringan produk, sehingga disebut dengan laju
pengeringan menurun.
E
D
C BA
LP
M
Laju pengeringanmenurun
Laju pengeringan tetap
Me
dM/dt
-
14
Besarnya laju pengeringan berbeda-beda pada setiap bahan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi laju pengeringan tersebut adalah:
1. Bentuk bahan, ukuran, volume dan luas permukaan.
2. Sifat termofisik bahan, seperti: panas laten, panas jenis spesifik, konduktifitas
termal dan emisivitas termal.
3. Komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal
4. Keadaan diluar bahan, seperti suhu, kelembaban udara
Pada Gambar 2-3 terlihat beberapa tipe kurva pengeringan yang umum
digunakan dalam menggambarkan proses pengeringan (Kemp et al. 2001).
Gambar 2-3. Kurva Pengeringan (Kemp et al. 2001)
Kadar Air Keseimbangan
Kadar air keseimbangan didefinisikan sebagai nilai kandungan air bahan
pada saat tekanan uap air di permukaan bahan seimbang dengan tekanan uap air
lingkungannya (Hall 1957). Konsep kadar air kesimbangan ini penting dalam
mempelajari proses pengeringan karena akan menentukan kadar air minimum
yang dapat dicapai pada kondisi pengeringan tertentu (Brooker et al. 1981).
Jika tekanan uap air di permukaan bahan lebih besar dari udara sekitar akan
terjadi pelepasan air dari bahan ke udara (proses desorspsi), sedangkan pada
keadaan sebaliknya terjadi penyerapan air oleh bahan (proses adsorpsi). Brooker
-
15
et al. (1981) menyebutkan bahwa dalam kondisi seimbang laju desorpsi sama
dengan adsorpsi. Kondisi keseimbangan ini spesifik untuk setiap jenis bahan pada
kelembaban nisbi dan suhu tertentu. Henderson menggambarkan hubungan antara
kadar air keseimbangan dengan kelembaban nisbi dan suhu adalah sebagai berikut
(Brooker et al. 1981):
1 - RH = exp (- c T Men) (2.1)
Kurva persamaan di atas ditampilkan dalam hubungan kadar air keseimbangan
terhadap kelembaban nisbi pada suhu tertentu. Persamaan Henderson banyak
dipakai termasuk dalam penelitian ini karena bentuknya sederhana walupun
demikian persamaan tersebut cukup representatif.
Model matematika pengeringan lapisan tipis
Henderson & Perry (1976) menyatakan bahwa pengeringan lapisan tipis
adalah pengeringan dimana semua bahan yang terdapat dalam lapisan menerima
secara langsung aliran udara dengan suhu dan kelembaban relatif yang konstan,
dimana kadar air dan suhu bahan seragam. Pengeringan rimpang temu putih
menggunakan metode lapisan tipis karena semua permukaan bahan menerima
langsung panas yang berasal dari udara pengering.
Untuk menduga perubahan kadar air bahan selama pengeringan lapisan
tipis, dikembangkan model matematika baik secara teoritis, semi teoritis dan
empiris. Luikov (1966) dalam Brooker et al. (1981) telah mengembangkan model
matematik dalam bentuk persamaan diferensial untuk menggambarkan proses
pengeringan dari produk hasil pertanian sebagai berikut:
= 2K1.1M +
2K1.2T + 2K1.3P
= 2K2.1M +
2K2.2T + 2K2.3P
= 2K3.1M +
2K3.2T + 2K3.3P (2.2)
Mekanisme perpindahan massa dalam bahan pertanian adalah kompleks.
Pengeringan bahan-bahan biologik pada umumnya mengikuti periode laju
pengeringan menurun. Pada periode ini perpindahan air atau uap air dikendalikan
secara difusi. Dengan menganggap bahwa resistensi perpindahan air tersebar
-
16
secara merata didalam bahan yang homogen, analogi hukum Newton untuk
pendinginan pada persamaan (2.3) dipakai untuk analisis pengeringan.
= (2.3)
Dalam persamaan ini diasumsikan bahwa sampel cukup tipis dan kecepatan udara
tinggi (minimum 0.3 m/s), suhu dan kelembaban udara yang melalui bahan dijaga
tetap konstan. Pengeringan lapisan tipis didasarkan pada pengeringan bahan yang
sepenuhnya terbuka terhadap hembusan udara yang menyebabkan semua bahan
dalam lapisan tersebut mengalami pengeringan secara seragam (ASABE 2006) .
Persamaan (2.3) dapat diintegralkan menjadi (Palipane & Driscoll 1994;
Pahlavanzadeh et al. 2001; Doymaz & Pala 2003):
= 0
= exp (2.4)
Konstanta pengeringan merupakan karakteristik bahan dalam
mempertahankan air yang terkandung didalamnya terhadap pengaruh udara panas.
Konstanta pengeringan dinyatakan sebagai persatuan waktu (1/menit atau 1/jam).
Makin tinggi nilai konstanta pengeringan makin cepat suatu bahan membebaskan
airnya. Konstanta pengeringan (k) dalam sistem pengeringan lapis tipis
tergantung pada kondisi bahan (kadar air, suhu dan geometri bahan) dan kondisi
pengeringan (suhu, kelembaban dan laju aliran udara pengering).
Model pengeringan lapisan tipis membedakan perilaku pengeringan bahan-
bahan biologik dalam tiga kategori, yaitu teoritis, semi-teoritis dan empiris. Model
semi-teoritis pada umumnya diperoleh dari penyederhanaan deret umum dari
solusi hukum Fick kedua atau modifikasi dari penyederhanaan model dan berlaku
(valid) pada selang suhu, kelembaban nisbi dan kecepatan udara dimana model
dibangun (Ozdemir & Derves 1999). Diantara model-model pengeringan lapisan
tipis (Tabel 2-1), model Lewis, Henderson-Pabis, two-term dan model Page
adalah yang paling sering digunakan (Akpinar et al. 2003; Madamba et al. 1996).
Model-model semi teoritis dan empiris ini pada umumnya dapat menjelaskan
proses pengeringan lapisan tipis secara memuaskan (Sarsavadia et al. 1999; Rizvi
2005).
-
17
Tabel 2-1. Model-model persaman matematis pengeringan lapisan tipis
(Ertekin & Yaldiz 2004; Ceylan et al. 2007)
No Model Persamaan
1 Lewis MR = exp(k t)
2 Henderson-Pabis MR = a exp(k t)
3 Page MR = exp(kt n )
4 Modified Page MR = exp(k t )n
5 Logarithmic MR = a exp(k t) + c
6 Two-term MR = a exp(k1 t) + b exp(- k2 t)
7 Wang and Singh MR = 1 + a t + b t2
Pengeringan Simplisia
Simplisia merupakan produk pertanian yang setelah melalui proses panen dan
pasca panen menjadi produk sediaan kefarmasian untuk dipakai atau diproses
lebih lanjut. Simplisia juga dibuat untuk pemenuhan stok dalam proses produksi.
Proses pembuatan simplisia mempengaruhi mutu simplisia yang mencakup
komposisi zat atau bahan aktif, kadar air akhir, kontaminasi dan keawetan. Secara
teknis kegiatan pasca panen diawali dengan proses pengangkutan hasil panen,
sortasi, pengupasan, pencucian, perajangan, pengeringan, pengepakan,
penyimpanan. Pasca panen sebagai mata rantai proses untuk memperoleh jaminan
mutu bagi simplisia, secara umum sangat dipengaruhi oleh (1) kandungan air
bahan, (2) suhu (pemanasan) selama proses pengeringan, (3) sinar ultra violet dan
(4) pH pada saat enzim di dalam jaringan bahan masih dalam kondisi aktif
(Pantastico et al. 1975).
Ketika tanaman dipanen, aktivitas metabolisme yang terjadi di dalam
tanaman berhenti, tetapi komponen-komponen kimia seperti enzim (hidrolase,
oksidase, polymerase) yang tertinggal pada jaringan bahan yang dipanen belum
berhenti. Enzim memiliki sifat tidak tahan terhadap pemanasan. Aktifitas enzim
dapat dihentikan dengan melakukan proses blansir (blanching) terlebih dahulu
sebelum pengeringan (Ertekin & Yaldiz 2004). Kerusakan fisik dapat terjadi
karena aktivitas air yang kurang terkontrol sehingga menimbulkan cemaran,
khususnya mikroba. Proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari atau
oven merupakan alternatif lain untuk menghentikan aktivitas enzim dan mencegah
timbulnya cemaran mikroba. Tetapi beberapa bahan mudah rusak jika dikeringkan
-
18
langsung dibawah paparan sinar matahari yang mengandung sinar ultra violet,
misalnya bahan yang mengandung minyak atsiri, pro-vitamin A dan zat
antioksidan. Demikian juga dengan suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan kandungan zat aktif dalam bahan berkurang bahkan hilang.
Pengaturan suhu selama proses pengeringan merupakan salah satu kunci
keberhasilan dalam menghasilkan simplisia yang baik, secara fisik maupun kimia.
Untuk memperoleh kualitas optimal, Farmakope Herbal Indonesia menyatakan
pengeringan sebaiknya dilakukan pada suhu tidak lebih dari 60o C (Depkes 2008).
Studi tentang perilaku pengeringan tanaman obat telah menjadi topik yang
menarik bagi berbagai peneliti, antara lain jahe (Balladin et al. 1996), paprika
hijau dan bawang (Kiranoudis et al. 1992), bawang (Shaarma et al. 2005), wortel
(Doymaz 2004), teh hitam (Panchariya et al. 2002; Temple & Boxtel 1999), daun
ketumbar (Ahmed 2001), daun mint (Park et al. 2002), dan rosehip (Erenturk et
al. 2004). Izadifar & Baik (2007) melakukan studi tentang pengeringan akar
tanaman obat Podophyllum peltatum. Studi yang komprehensif tentang
karakteristik pengeringan lapisan tipis rimpang tanaman obat temu putih dan temu
lawak belum dilakukan.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa
Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB Bogor pada bulan Maret 2009 hingga
Juni 2010.
Bahan dan Alat
Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rimpang temu putih dan
temu lawak yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balittro Bogor. Alat-alat yang
digunakan antara lain: pengering laboratorium terkendali-terakuisisi, timbangan
digital model AQT 200 (kapasitas 200 gram dan ketelitian 0.01 gram), oven Ikeda
Scientific SS204D, desikator, anemometer Kanomax A541 dan seperangkat
pengolah data.
-
19
Pengering Laboratorium
Alat pengering laboratorium didesain dan dibuat memenuhi standar untuk
percobaan lapisan pengeringan tipis dimana suhu dan kelembaban nisbi (RH)
dapat dijaga konstan (Lampiran 1). Pengontrolan kondisi pengeringan dilakukan
dengan kontrol PID dengan akurasi suhu 1oC dan RH 2% sesuai dengan
standar (ASABE 2006). Kondisi pengeringan yang dapat dilakukan berada pada
selang suhu 30-80 oC dan RH 20-90%. Sensor suhu dan RH menggunakan SHT15
keluaran Sensirion. Secara keseluruhan alat pengering dikontrol oleh
mikroprosesor AVR Atmel. Alat ini dilengkapi juga dengan sistim humidifier
2000 W, sistim pemanas 2000 W, kipas elektrik dan dehumidifier. Kecepatan
udara pengering yang melalui ruang pengering (drying chamber) yang berdimensi
35 cm 35 cm 35 cm dikontrol secara manual dan diukur dengan menggunakan
anemometer digital Kanomax dengan akurasi 0.1 m/s. Skema alat pengering
terlihat pada Gambar 2-4.
.
Gambar 2-4. Skema fungsional (kiri) alat pengering laboratorium (kanan)
Prosedur Percobaan
Bahan berupa rimpang temu putih dan temu lawak dibersihkan, dicuci dan
diiris melintang dengan menggunakan pisau. Sebelum dikeringkan, irisan temu
putih dan temu lawak direndam dahulu dalam air dengan suhu 95 oC (diblansir)
selama 5 menit (Ertekin & Yaldiz 2004). Sampel temu putih kemudian diletakkan
-
20
pada wadah sedemikian rupa dalam bentuk lapisan tipis. Tebal irisan sampel
sekitar 3-4 mm dan berat sampel setiap pengeringan berkisar 150 gram. Pada
setiap percobaan, alat pengering dihidupkan sekitar setengah sampai satu jam
sebelum percobaan dimulai untuk menstabilkan ruangan pengering sesuai dengan
kondisi percobaan yang diinginkan. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis
temu putih yang dilakukan adalah pada suhu 40, 50, 60 dan 70 oC dengan RH
20%, 40%, 60%, dan 80% serta laju aliran udara pengering v1 (0.8-0.9 m/s) dan
v2 (0.2-0.3 m/s) (Tabel 2.2) sedangkan untuk pengeringan temu lawak dilakukan
pada suhu 50, 60 dan 70 oC serta RH 20%, 30% dan 40% (Tabel 2.3).
Tabel 2-2. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu putih
Suhu RH
20% 40% 60% 80% *
40 oC
50 oC
60 oC
70 oC
Laju alira udara v1 (0.8-0.9 m/s) - v2 (0.2-0.3 m/s)
*) hanya v1
Tabel 2-3. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu lawak
Suhu RH
20% 30% 40%
50 oC
60 oC
70 oC
Laju aliran udara 0.8-0.9 m/s
Berat dan suhu bahan serta suhu dan kelembaban udara pengering dimonitor
secara kontinu dan direkam datanya setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan
berat sampel diukur langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan
GF-3000 A&D dengan kapasitas 03000 g dan akurasi 0.01 g. Percobaan
dihentikan setelah berat sampel konstan. Kadar air akhir percobaan ditentukan
dengan mengeringkan sampel selama 24 jam pada suhu 103 2 oC dengan
memakai oven (Kashaninejad et al. 2003).
-
21
Model Matematika
Besarnya laju pengeringan selama percobaan dihitung dengan persamaan
berikut:
= +
(2.5)
dimana Mt dan Mt+dt masing-masing adalah kadar air pada saat t dan kadar air
pada saat t + dt (kg uap air/kg bahan kering), t adalah waktu pengeringan (menit)
(Erenturk et al., 2004). Hubungan antara konstanta dari model matematik terbaik
dengan variabel pengeringan yaitu suhu dan kelembaban juga akan ditentukan.
Beberapa model akan dipakai untuk menjelaskan kesesuaian (fitted) model
terhadap data pengeringan yang didapatkan, yaitu model Lewis, Henderson-Pabis
dan Page (lihat Tabel 2.1).
Untuk menentukan model persamaan terbaik dipakai kriteria coefficient of
determination (COD atau R2) (Lee et al. 2004) sedangkan untuk menghitung
keragaman dalam kurva pengeringan digunakan standard error (SE) (Menges &
Ertekin 2006). Nilai R2
menunjukkan kemampuan model (the ability of the model)
dengan nilai tertingginya adalah 1. Nilai SE menunjukkan deviasi antara hasil
hitung terhadap data pengukuran, nilai yang diinginkan adalah mendekati nol.
Kedua kriteria tersebut digunakan untuk menentukan ketepatan model (the
goodness of the fit), semakin tinggi nilai R2 dan semakin kecil nilai standard error
(SE) maka model semakin tepat. Persamaan kriteria statistik tersebut adalah
sebagai berikut:
= , ,
2=1
(2.6)
2 = 1 , ,
2=1
, 2
=1
(2.7)
dimana MRexp,i adalah rasio kadar air percobaan ke-i, MRpre,i adalah rasio kadar air
hitung ke-i, N adalah jumlah pengamatan, n adalah jumlah konstanta dalam model
pengeringan dan adalah nilai rata-rata dari rasio kadar air percobaan.
Hubungan konstanta dan koefisien dari model yang terbaik dengan parameter
-
22
pengeringan, dalam hal ini suhu, ditentukan dengan menggunakan teknik regresi
(Menges & Ertekin 2006; Midili & Kucuk 2003a). Model pengeringan yang
dipilih adalah model dengan nilai R2 tertinggi serta SE terkecil, persamaan
tersebut merupakan model terbaik dalam mewakili data percobaan pengeringan
lapisan tipis temu putih dan temu lawak.
Penentuan Konstanta Pengeringan
Konstanta pengeringan pada persamaan (2.4) ditentukan dengan metode
regresi non-linier berdasarkan data percobaan pengeringan dengan bantuan
program CurveExpert versi 1.40. Program ini menggunakan metode Levenberg-
Marquardt (LM) untuk pemecahan regresi non-linear. Metode LM merupakan
kombinasi metode steepest-descent dengan metode ekspansi deret Taylor.
Penjelasan tentang metode regresi non linier ini terdapat pada Lampiran 8.
Kadar air keseimbangan (Me) temu putih ditentukan dari kadar air akhir
pengeringan (Kashaninejad et al. 2007). Nilai ini digunakan untuk menghitung
rasio kadar air (MR) berdasarkan persamaan berikut:
= 0
(2.8)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kinetika Pengeringan Temu Putih
Plot data pengeringan lapisan tipis temu putih terlihat pada Gambar 2-5
yang menunjukkan pengaruh kelembaban terhadap kadar air pada suhu tetap,
sedangkan Gambar 2-6 menunjukkan pengaruh suhu pengeringan pada RH tetap.
Gambar 2-7 dan 2-8 memperlihatkan waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk
mencapai keseimbangan pada berbagai suhu dan RH. Baik suhu dan RH
berpengaruh terhadap waktu pengeringan, semakin tinggi suhu dan semakin
rendah RH, maka waktu untuk mencapai keseimbangan semakin cepat. Dari
kurva pengeringan juga terlihat bahwa proses pengeringan berjalan cepat pada
saat awal pengeringan yang ditandai dengan menurunnya kurva secara tajam dan
kemudian semakin melambat di akhir pengeringan.
-
23
Gambar 2-9 menunjukkan pengaruh suhu terhadap laju pengeringan
menurut waktu pada RH tetap, sedangkan Gambar 2-10 menunjukkan pengaruh
RH pengeringan terhadap laju pengeringan menurut waktu pada suhu tetap.
Kurva laju pengeringan menurut waktu memperlihatkan bahwa pada saat awal
proses pengeringan, laju pengeringan tinggi dan semakin melambat pada akhir
pengeringan. Hal ini identik dengan umumnya kurva pengeringan yaitu akibat
masih tingginya kadar air bahan pada saat awal pengeringan.
Gambar 2-5. Kurva pengeringan temu putih pada suhu 40 oC (atas kiri), 50
oC
(atas kanan) dan 60 oC (bawah)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 120 240 360 480 600 720 840
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
40 C, 80%
40 C, 60%
40 C, 40%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
50 C, 60%
50 C, 40%
50 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
60 C, 60%
60 C, 40%
60 C, 20%
-
24
Gambar 2-6. Kurva pengeringan temu putih pada RH 20% (atas kiri),
40% (atas kanan) dan 60% (bawah)
Gambar 2-7. Pengaruh suhu terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar
air keseimbangan temu putih pada RH 40% & 60%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
60 C, 20%
50 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
60 C, 40%
50 C, 40%
40 C, 40%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
60 C, 60%
50 C, 60%
40 C, 60%
0
100
200
300
400
500
600
40% 60%
Tim
e (
min
)
Relative humidity
40 C
50 C
60 C
-
25
Gambar. 2-8. Pengaruh RH terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar
air keseimbangan temu putih pada suhu 50 & 60 oC
Gambar 2-9. Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut waktu pada RH
20% (atas kiri), 40% (atas kanan) dan 60% (bawah)
0
100
200
300
400
500
600
50 C 60 C
Tim
e (
min
)
Temperature
20%
40%
60%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/
mn
t)
Waktu (menit)
60 C, 20%
50 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/
mn
t)
Waktu (menit)
60 C, 40%
50 C, 40%
40 C, 40%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/m
nt)
Waktu (menit)
60 C, 60%
50 C, 60%
40 C, 60%
-
26
Gambar 2-10. Pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut waktu pada suhu 60
oC (atas kiri), 50
oC (atas kanan) dan 40
oC (bawah)
Gambar 2-11 adalah grafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap laju
pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada RH tetap, sedangkan Gambar 2-
12 pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada
suhu tetap. Sebagaimana kurva laju pengeringan menurut waktu, baik suhu
maupun RH mempunyai pengaruh terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar
air, semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH maka laju pengeringan semakin
tinggi. Pengaruh perbedaan RH terhadap laju pengeringan cenderung terlihat
lebih besar daripada perbedaan suhu.
Gambar 2-13 memperlihatkan pengaruh laju aliran udara pengeringan
terhadap waktu pengeringan dan laju pengeringan. Laju aliran udara pengering
yang tinggi v1 (0.8-0.9 m/s) cenderung membuat laju pengeringan yang tinggi
pula sehingga proses pengeringan lebih cepat dibandingkan dengan laju aliran v2
yang rendah (0.2-0.3 m/s) dan sebaliknya.
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/m
nt)
Waktu (menit)
60 C, 60%
60 C, 40%
60 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/m
in)
Waktu (menit)
50 C, 60%
50 C, 40%
50 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 120 240 360 480 600 720 840
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/
mn
t)
Waktu (menit)
40 C, 80%
40 C, 60%
40 C, 40%
-
27
Dari semua kurva laju pengeringan pada berbagai kondisi pengeringan tidak
terlihat adanya laju pengeringan tetap atau konstan sehingga dapat dikatakan
bahwa pengeringan temu putih berlangsung pada periode laju pengeringan
menurun (the falling rate period). Pada fase ini difusi merupakan mekanisme
pengontrol utama pergerakan air/uap air dalam bahan sebagaimana hal yang sama
dilaporkan oleh Lee et al. (2004) untuk irisan rimpang chicory dan Ahmed et al.
(2001) dalam studi pengeringan daun ketumbar (corriander leaves).
.
Gambar 2-11. Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut MR pada RH
20% (atas kiri), 40% (atas kanan) dan 60% (bawah)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/
mn
t)
Moisture Ratio
60 C, 20%
50 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Laju
Pe
nge
rin
gan
(g/m
nt)
Moisture Ratio
60 C, 40%
50 C, 40%
40 C, 40%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/m
nt)
Moisture Ratio
60 C, 60%
50 C, 60%
40 C, 60%
-
28
Gambar 2-12. Pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut MR pada suhu 60
oC (atas kiri), 50
oC (atas kanan) dan 40
oC (bawah)
Gambar 2-13. Pengaruh laju aliran udara pengeringan (v1 dan v2) terhadap waktu
pengeringan (kiri) dan laju pengeringan (kanan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/m
nt)
Moisture Ratio
60 C, 60%
60 C, 40%
60 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/m
nt)
Moisture Ratio
50 C, 60%
50 C, 40%
50 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Laju
pe
nge
rin
gan
(g/
mn
t)
Moisture Ratio
40 C, 80%
40 C, 60%
40 C, 40%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 120 240 360 480 600
MR
Waktu (menit)
suhu 50, RH 40%, v1
suhu 50, RH 40%, v2
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0 120 240 360 480 600
Laju
Pe
nge
rin
gan
(%
bk/
me
nit
)
KA (%bk)
suhu 50, RH 40%, v1
suhu 50, RH 40%, v2
-
29
Kadar Air Keseimbangan Temu Putih
Kadar air keseimbangan adalah tingkat keseimbangan dinamis kadar air
bahan dengan lingkungan, dimana laju perpindahan uap air dari dan ke permukaan
bahan sama besar. Nilai kadar air keseimbangan ditentukan dari kadar air akhir
percobaan pada berbagai kondisi pengeringan, yaitu pada saat berat sampel sudah
tidak lagi mengalami perubahan. Nilai kadar air keseimbangan pada berbagai nilai
RH pada suhu yang sama akan membentuk satu garis yang dikenal sebagai kurva
sorpsi isotermis (Gambar 2-14).
Kelembaban nisbi pada suhu dan kadar air keseimbangan tertentu disebut
dengan kelembaban nisbi keseimbangan (ERH) (Brooker et al. 1981). Pada Tabel
2-4 dicantumkan nilai kadar air keseimbangan temu putih pada berbagai suhu dan
kelembaban nisbi udara pengeringan. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa
semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar air keseimbangan semakin rendah
dan sebaliknya. Berlawanan dengan suhu, semakin tinggi kelembaban nisbi (RH)
udara pengering maka kadar air keseimbangan akan semakin tinggi pula dan
sebaliknya. Dengan kata lain untuk mendapatkan kadar air keseimbangan yang
rendah diperlukan suhu udara pengeringan yang tinggi dan RH udara pengeringan
yang rendah.
Gambar 2-14. Kurva sorpsi isotermis kadar air keseimbangan temu putih
0
5
10
15
20
25
30
35
0 20 40 60 80 100
Kad
ar a
ir (
% b
k.)
Kelembaban nisbi (%)
40 C
50 C
60 C
70 C
-
30
Tabel 2-4. Kadar air keseimbangan (% bb.) temu putih
Suhu 40 oC 50
oC 60
oC 70
oC
RH 40% 60% 80% 20% 40% 60% 20% 40% 60% 20% 40%
v1 (0.8-0.9 m/s) 12.1 14.7 25.8 6.4 10.7 12.8 5.2 7.7 8.5 4.2 7.6
v2 (0.2-0.3 m/s) 17.6 25.9 - 8.4 14.2 20.7 7.1 9.6 15.2 5.6 9.0
Model Henderson pada persamaan (2.1) ditentukan dengan menggunakan
regresi non-linier berdasarkan data percobaan pada Tabel 2-4. Nilai konstanta c
dan n persamaan tersebut masing-masing adalah 0.0173 dan 1.0423 dengan
koefisien korelasi (R2) dan standard error (SE) masing-masing sebesar 0.85 dan
3.5, sehingga model persamaan Henderson untuk kadar air keseimbangan temu
putih dapat dituliskan sebagai berikut:
1 - RH = exp (- 0.0173 T Me1.0423
) (2.9)
Pada Tabel 2-5 dapat dilihat nilai kadar air keseimbangan hasil perhitungan
pada berbagai kondisi suhu dan RH pengeringan berdasarkan model Henderson
dan model terbaik (best-fit) dengan menggunakan program CurveExpert 1.40.
Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih
Model pengeringan lapisan tipis temu putih yang digunakan adalah model
Lewis, Henderson-Pabis dan Page sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2-1.
Model-model ini dipakai karena masing-masing dapat mewakli model teoritis,
semi teoritis dan empiris. Dalam pemodelan, semua data kadar air percobaan
digunakan dalam bentuk kadar air basis kering. Data kadar air pada berbagai
kondisi pengeringan dikonversi menjadi nilai rasio kadar air (MR) dan dipaskan
(fitted) dengan model sehingga didapatkan kurva nilai MR dugaan model
(predicted MR) terhadap waktu pengeringan. model-model tersebut kemudian
dibandingkan secara statistik dengan menggunakan kriteria koefisien korelasi dan
standard error.
Hasil pemodelan pengeringan lapisan tipis temu putih berdasarkan model
Lewis, Henderson-Pabis dan Page dapat dilihat pada Gambar 2-15, 2-16 dan 2-17.
Dari gambar-gambar tersebut terlihat bahwa model Page adalah model persamaan
yang paling baik dalam mewakili data percobaan pengeringan temu putih.
-
31
Tabel 2-5. Kadar air keseimbangan perhitungan dan pengukuran temu putih
Suhu
(oC)
RH (%)
KA Keseimbangan (Me)
Pengukuran Henderson Best fit
(% bk.) (% bb.) (% bk.) (% bb.) (% bk.) (% bb.)
40
20 - - 4.7 4.5 12.8 11.4
30 - - 7.4 6.9 13.1 11.6
40 13.8 12.1 10.4 9.4 13.8 12.1
50 - - 13.9 12.2 15.0 13.0
60 17.2 14.7 18.2 15.4 17.2 14.7
70 - - 23.7 19.1 22.0 18.0
80 34.8 25.8 31.3 23.8 34.8 25.8
50
20 6.8 6.4 4.6 4.4 6.8 6.4
30 - - 7.1 6.7 9.2 8.4
40 12.0 10.7 10.1 9.2 12.0 10.7
50 - - 13.5 11.9 14.4 12.6
60 14.7 12.8 17.7 15.0 14.7 12.8
60
20 5.5 5.2 4.4 4.2 5.5 5.2
30 - - 6.9 6.5 6.9 6.5
40 8.3 7.7 9.8 8.9 8.3 7.7
50 - - 13.1 11.6 9.2 8.4
60 9.3 8.5 17.2 14.6 9.3 8.5
70
20 4.4 4.2 4.3 4.1 4.4 4.2
30 - - 6.7 6.3 6.8 6.4
40 8.2 7.6 9.5 8.7 8.2 7.6
Hal ini juga didukung secara statistik dimana model Page memiliki rata-rata
koefisien determinasi yang paling tinggi serta standard error yang paling rendah
(Tabel 2-6). Model Page adalah model dengan nilai rata-rata R2 yang paling
tinggi dan standard error paling rendah yaitu 0.9990 dan 0.0079 dibandingkan
dengan 0.9924 dan 0.0226 untuk model Henderson-Pabis serta 0.9879 dan 0.0281
untuk model Lewis, sehingga model Page adalah persamaan yang paling mewakili
karakteristik pengeringan temu putih. Model Page memiliki nilai R2 dan SE
masing-masing pada kisaran 0.9965-0.9999 dan 0.0023-0.0181, model
Henderson-Pabis kisaran nilainya masing-masing 0.9793-0.9987 dan 0.0112-
0.0440 sedangkan Model Lewis kisaran nilainya adalah masing-masing 0.9682-
0.9968 dan 0.0143-0.0545. Pada model Lewis dan Page curve fitting terbaik
terjadi pada suhu dan RH pengeringan 60 oC dan 20%, sedangkan model
Henderson-Pabis pada suhu 70 oC dan RH 20%.
-
32
Gambar 2-15. Kurva MR percobaan dan perhitungan dari model Lewis
Gambar 2-16. Kurva MR percobaan dan perhitungan dari model Henderson-Pabis
Gambar 2-17. Kurva MR percobaan dan perhitungan dari model Page
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
50 C, 60%
50 C, 40%
50 C, 20%
Model Lewis
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
60 C, 60%
60 C, 40%
60 C, 20%
Model Lewis
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
50 C, 60%
50 C, 40%
50 C, 20%
Model H&P
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
60 C, 60%
60 C, 40%
60 C, 20%
Model H&P
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
50 C, 60%
50 C, 40%
50 C, 20%
Model Page
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360 420
MR
(M
ois
ture
Rat
io)
Waktu (menit)
60 C, 60%
60 C, 40%
60 C, 20%
Model Page
-
33
Tabel 2-6. Evaluasi statistik model pengeringan simplisia temu putih
Suhu
(oC)
RH
(%)
Model Lewis Model H&P Model Page
R2 SE R
2 SE R
2 SE
40
40 0.9962 0.0144 0.9973 0.0121 0.9978 0.0110
60 0.9865 0.0324 0.9910 0.0265 0.9988 0.0099
80 0.9682 0.0545 0.9793 0.0440 0.9965 0.0181
50
20 0.9960 0.0146 0.9975 0.0116 0.9989 0.0075
40 0.9865 0.0301 0.9914 0.0242 0.9994 0.0070
60 0.9834 0.0365 0.9895 0.0292 0.9989 0.0095
60
20 0.9968 0.0143 0.9981 0.0112 0.9999 0.0023
40 0.9852 0.0334 0.9905 0.0270 0.9994 0.0070
60 0.9811 0.0388 0.9889 0.0299 0.9993 0.0074
70 20 0.9959 0.0155 0.9987 0.0126 0.9999 0.0026
40 0.9911 0.0250 0.9945 0.0198 0.9997 0.0047
Rata-rata 0.9879 0.0281 0.9924 0.0226 0.9990 0.0079
Nilai konstanta untuk model Lewis, Henderson-Pabis dan Page pada
berbagai kondisi pengeringan dapat dilihat pada Tabel 2-7. Persamaan Lewis dan
Henderson-Pabis mempunyai nilai konstanta k yang hampir sama, hal ini
dibedakan oleh pendekatan pada suku pertama dari pemecahan analitis persamaan
umum difusi (8/2) dimana model Lewis mengansumsikan suku tersebut sama
dengan satu (unity) (Zogzas & Maroulis 1996), sedangkan model Henderson-
Pabis mengganti dengan konstanta a yang nilainya juga mendekati satu. Adanya
konstanta a membuat model Henderson-Pabis lebih baik daripada model Lewis.
Tabel 2-7. Nilai konstanta model pengeringan simplisia temu putih
Suhu
(oC)
RH
(%)
Model
Lewis
Model
Henderson-Pabis Model Page
k k a k n
40
40 0.0140 0.0145 1.0413 0.0093 1.0925
60 0.0085 0.0091 1.0776 0.0025 1.2486
80 0.0037 0.0041 1.1176 0.0005 1.3599
50
20 0.0241 0.0252 1.0473 0.0143 1.1344
40 0.0183 0.0197 1.0858 0.0053 1.2917
60 0.0095 0.0103 1.0909 0.0023 1.2902
60
20 0.0320 0.0332 1.0411 0.0198 1.1320
40 0.0201 0.0217 1.0864 0.0058 1.3018
60 0.0118 0.0129 1.1060 0.0025 1.3345
70 20 0.0339 0.0353 1.0612 0.0188 1.2015
40 0.0225 0.0239 1.0920 0.0088 1.2905
-
34
Konstanta Pengeringan Temu Putih
Secara empiris nilai konstanta pengeringan (k) dalam satuan 1/menit
didapatkan dengan menggunakan persamaan (2.4) atau dikenal juga dengan model
Henderson-Pabis (Babalis dan Belessiotis, 2004; Lee et al., 2004), nilainya tertera
pada Tabel 2.6. Besaran konstanta k dan a masing-masing bervariasi dari 0.0041-
0.0353 1/menit, dan 1.0411-1.1176. Konstanta pengeringan (k) merupakan
koefisien yang berkaitan dengan nilai difusivitas bahan sehingga nilai konstanta
pengeringan juga merupakan fungsi dari suhu udara pengeringan. Semakin tinggi
suhu udara pengeringan maka semakin tinggi nilai konstanta pengeringan. Plot
nilai konstanta pengeringan terhadap suhu ditampilkan pada Gambar 2-18.
Gambar 2-18. Kurva pengaruh suhu pengeringan terhadap konstanta
pengeringan
Untuk menyatakan hubungan antara konstanta pengeringan dan suhu
pengeringan digunakan persamaan berikut:
= exp( ) (2.10)
dimana a dan b merupakan konstanta persamaan dan T adalah suhu pengeringan.
Gambar 2-18 memperlihatkan bahwa konstanta pengeringan meningkat secara
eksponensial terhadap suhu pada setiap level RH udara pengeringan. Nilai
konstanta a dan b diperoleh dengan regresi non-linier dan hasilnya tertera pada
Tabel 2-8 bersama nilai koefisien determinasi dan standard error. Nilai R2
bervariasi antara 0.87-0.98 dan tertinggi pada tingkat RH 60%. Pada Tabel 2-9
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
30 40 50 60 70 80
Ko
nst
anta
k (
1/m
en
it)
Suhu (oC)
RH 20%
RH 40%
RH 60%
k Hitung
-
35
dapat dilihat konstanta pengeringan hasil perhitungan dengan menggunakan
persamaan (2.10) dan konstanta pengeringan percobaan.
Tabel 2-8. Nilai konstanta a dan b persamaan (2.15)
RH a b R2 SE
20% 0.0120 0.0158 0.87 0.0027
40% 0.0088 0.0147 0.91 0.0014
60% 0.0043 0.0180 0.98 0.0004
Tabel 2-9. Nilai k (1/menit) percobaan dan hasil perhitungan
Suhu RH 20% RH 40% RH 60%
k k hitung k k hitung k k hitung
40 oC - 0.0226 0.0145 0.0158 0.0091 0.0088
50 oC 0.0252 0.0264 0.0197 0.0184 0.0103 0.0106
60 oC 0.0332 0.0310 0.0217 0.0213 0.0129 0.0127
70 oC 0.0353 0.0363 0.0239 0.0246 - 0.0152
Kinetika Pengeringan Temu lawak
Plot data pengeringan lapisan tipis temu lawak terlihat pada Gambar 2-19
yang menunjukkan pengaruh kelembaban terhadap kadar air pada suhu tetap,
sedangkan Gambar 2-20 menunjukkan pengaruh suhu pengeringan pada RH tetap.
Gambar 2-21 dan 2-22 memperlihatkan waktu pengeringan yang dibutuhkan
untuk mencapai keseimbangan pada berbagai suhu dan RH. Baik suhu dan RH
berpengaruh terhadap waktu pengeringan, semakin tinggi suhu dan semakin
rendah RH, maka waktu untuk mencapai keseimbangan semakin cepat. Dari
kurva pengeringan juga terlihat bahwa proses pengeringan temu lawak berjalan
cepat pada saat awal pengeringan yang ditandai dengan menurunnya kurva secara
tajam dan kemudian semakin melambat diakhir pengeringan.
Gambar 2-23 menunjukkan pengaruh suhu terhadap laju pengeringan
menurut waktu pada RH tetap. Kurva laju pengeringan menurut waktu
memperlihatkan bahwa pada saat awal proses pengeringan, laju pengeringan
tinggi dan semakin melambat pada akhir pengeringan. Hal ini identik dengan
kurva pengeringan temu putih, disebabkan masih tingginya kadar air bahan pada
saat awal pengeringan.
-
36
Gambar 2-19. Kurva pengeringan temu lawak pada suhu 50 oC (atas kiri), 60
oC
(atas kanan) dan 70 oC (bawah)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
50 C, 40%
50 C, 30%
50 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
60 C, 40%
60 C, 30%
60 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
70 C, 40%
70 C, 30%
70 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
50 C, 20%
60 C, 20%
70 C, 20%
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
50 C, 30%
60 C, 30%
70 C, 30%
-
37
Gambar 2-20. Kurva pengeringan temu lawak pada RH 20% (atas kiri), 30%
(atas kanan) dan 40% (bawah)
Gambar. 2-21. Pengaruh suhu terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar
air keseimbangan temu lawak
Gambar. 2-22. Pengaruh RH terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar
air keseimbangan temu lawak
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
50 C, 40%
60 C, 40%
70 C, 40%
0
100
200
300
400
500
50 C 60 C 70 C
Wak
tu (
me
nit
)
Suhu
20%
30%
40%
0
100
200
300
400
500
20% 30% 40%
Wak
tu (
me
nit
)
RH
50 C
60 C
70 C
-
38
Gambar 2-23. Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan temu lawak menurut
waktu pada RH 20% (atas kiri), 30% (atas kanan) dan 40% (bawah)
Grafik pada Gambar 2-24 memperlihatkan pengaruh suhu terhadap laju
pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada RH tetap, sedangkan Gambar 2-
25 pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada
suhu tetap. Sebagaimana kurva laju pengeringan menurut waktu, baik suhu
maupun RH mempunyai pengaruh terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar
air, semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH maka laju pengeringan semakin
tinggi. Pengaruh perbedaan RH terhadap laju pengeringan cenderung terlihat
lebih nyata daripada perbedaan suhu sedangkan pengaruh perbedaan suhu
terhadap laju pengeringan terlihat bahwa suhu 50 dan 60 oC tidak terlalu berbeda.
Dari semua kurva laju pengeringan pada berbagai kondisi pengeringan tidak
terlihat adanya laju pengeringan tetap atau konstan sehingga dapat dikatakan
bahwa pengeringan temu lawak berlangsung pada periode laju pengeringan
menurun (the falling rate period). Pada fase ini difusi merupakan mekanisme
0.000
0.004
0.008
0.012
0.016
0.020
0.024
0 60 120 180 240 300 360
Laju
pe
nge
rin
gan
(
MR
/me
nit
)
Waktu (menit)
50 C, 20%
60 C, 20%
70 C, 20%
0.000
0.004
0.008
0.012
0.016
0.020
0.024
0 60 120 180 240 300 360
Laju
pe
nge
rin
gan
(
MR
/me
nit
)
Waktu (menit)
50 C, 30%60 C, 30%70 C, 30%
0.000
0.004
0.008
0.012
0.016
0.020
0.024
0 60 120 180 240 300 360 420
Laju
pe
nge
rin
gan
(
MR
/me
nit
)
Waktu (menit)
50 C,40%
60 C, 40%
70 C, 40%
-
39
pengontrol utama pergerakan air dalam bahan, hal yang sama terjadi pada
pengeringan temu putih.
.
Gambar 2-24. Pengaruh RH terhadap laju pengeringan temu lawak menurut MR
pada suhu 50 oC (atas), 60
oC (tengah) dan 70
oC (bawah)
0.000
0.002
0.004
0.006
0.008
0.010
0.012
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Dry
ing
Rat
e (
M
R/m
in)
Moisture Ratio
50 C, 20%
50 C, 30%
50 C, 40%
0.000
0.002
0.004
0.006
0.008
0.010
0.012
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Dry
ing
rate
(
MR
/min
)
Moisture Ratio
60 C, 20%
60 C, 30%
60 C, 40%
0.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Dry
ing
Rat
e (
M
R/m
in)
Moisture Ratio
70 C, 20%
70 C, 30%
70 C, 40%
-
40
Gambar 2-25. Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan temu lawak menurut MR pada RH 20% (atas), 30% (tengah) dan 40% (bawah)
0.000
0.004
0.008
0.012
0.016
0.020
0.024
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Laju
pe
nge
rin
gan
(
MR
/me
nit
)
Moisture Ratio
50 C, 20%
60 C, 20%
70 C, 20%
0.000
0.004
0.008
0.012
0.016
0.020
0.024
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Laju
pe
nge
rin
gan
(
MR
/me
nit
)
Moisture Ratio
50 C, 30%
60 C, 30%
70 C, 30%
0.000
0.004
0.008
0.012
0.016
0.020
0.024
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Laju
pe
nge
rin
gan
(
MR
/me
nit
)
Moisture Ratio
50 C,40%
60 C, 40%
70 C, 40%
-
41
Kadar Air Keseimbangan Temu Lawak
Pada Tabel 2-10 tercantum nilai kadar air keseimbangan temu lawak pada
berbagai suhu dan kelembaban nisbi udara pengeringan. Dari tabel tersebut dapat
diketahui bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar air keseimbangan
semakin rendah dan sebaliknya. Berlawanan dengan suhu, semakin tinggi
kelembaban nisbi (RH) udara pengering maka kadar air keseimbangan akan
semakin tinggi pula dan sebaliknya. Dengan kata lain untuk mendapatkan kadar
air keseimbangan yang rendah diperlukan suhu udara pengeringan yang tinggi dan
RH udara pengeringan yang rendah. Berdasarkan tabel tersebut juga dapat
diketahui bahwa kadar air standar 10% (bb.) dapat dicapai pada semua kondisi
percobaan pengeringan kecuali pada kondisi suhu 50 oC dan RH 40%.
Tabel 2-10. Kadar air keseimbangan (% bb.) temu lawak
Kondisi
pengeringan 20% 30% 40%
70 oC 7.0 7.7 7.9
60 oC 7.8 8.2 9.0
50 oC 8.1 9.0 10.3
Model Henderson pada persamaan (2.1) ditentukan dengan menggunakan
regresi non-linier berdasarkan data percobaan pada Tabel 2-10 pada setiap suhu.
Nilai konstanta c dan n persamaan tersebut untuk setiap level suhu pengeringan
dapat dilihat pada Tabel 2-11.
Tabel 2-11. Nilai konstanta c dan n persamaan Henderson untuk temu lawak
Suhu c n R2 SE
70 oC 2699.6 5.8960 0.890 0.25
60 oC 264.77 5.1865 0.962 0.20
50 oC 3.039 3.4695 0.953 0.37
Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Lawak
Model pengeringan lapisan tipis temu lawak yang digunakan adalah model
Lewis, Henderson-Pabis dan Page sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2-1.
Model-model ini dipakai karena masing-masing dapat mewakli model teoritis,
semi teoritis dan empiris. Dalam pemodelan, semua data kadar air percobaan
-
42
digunakan dalam bentuk kadar air basis kering. Data kadar air pada berbagai
kondisi pengeringan dikonversi menjadi nilai rasio kadar air (MR) dan dipaskan
(fitted) dengan model sehingga mendapatkan kurva nilai MR dugaan model
(predicted MR) terhadap waktu pengeringan. Model-model tersebut kemudian
dibandingkan secara statistik dengan menggunakan kriteria koefisien korelasi dan
standard error.
Hasil pemodelan pengeringan lapisan tipis temu lawak berdasarkan model
Lewis, Henderson-Pabis dan Page dapat dilihat pada Gambar 2-26, 2-27 dan 2-28.
Dari gambar-gambar tersebut terlihat bahwa model Page adalah model persamaan
yang paling mewakili data percobaan pengeringan lapisan tipis temu lawak. Hal
ini juga didukung secara statistik dimana model Page memiliki rata-rata koefisien
determinasi yang paling tinggi serta standard error yang paling rendah (Tabel 2-
12). Model Page adalah model dengan nilai rata-rata R2 yang paling tinggi dan
standard error paling rendah yaitu 0.9988 dan 0.0085 dibandingkan dengan
0.9958 dan 0.0172 untuk model Henderson-Pabis serta 0.9932 dan 0.0217 untuk
model Lewis, sehingga model Page adalah persamaan yang paling mewakili
karakteristik pengeringan temu lawak. Model Page memiliki nilai R2 dan SE
masing-masing pada kisaran 0.9982-0.9996 dan 0.0056-0.0144, model
Henderson-Pabis kisaran nilainya 0.9935-0.9988 dan 0.0093-0.0233 sedangkan
Model Lewis kisaran nilainya adalah 0.9891-0.9980 dan 0.0116-0.0299. Pada
model Lewis dan Henderson-Pabis curve fitting terbaik terjadi pada suhu dan RH
pengeringan 70 oC dan 30%, sedangkan model Page pada suhu 60
oC dan RH
30%.
Nilai-nilai konstanta dari persamaan model Lewis, Henderson-Pabis dan
Page pada berbagai kondisi pengeringan dapat dilihat pada Tabel 2-13.
-
43
Gambar 2-26. Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari model Lewis
Gambar 2-27. Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari model
Henderson-Pabis
Gambar 2-28. Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari model Page
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
50 C, 40%
50 C, 30%
50 C, 20%
Model Lewis
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
60 C, 40%
60 C, 30%
60 C, 20%
Model Lewis
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
50 C, 40%
50 C, 30%
50 C, 20%
Model H-P
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
60 C, 40%
60 C, 30%
60 C, 20%
Model H-P
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
50 C, 40%
50 C, 30%
50 C, 20%
Model Page
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 60 120 180 240 300 360
Mo
istu
re R
atio
Waktu (menit)
60 C, 40%
60 C, 30%
60 C, 20%
Model Page
-
44
Tabel 2-12. Evaluasi statistik model pengeringan simplisia temu lawak
Suhu
(oC)
RH
(%)
Model Lewis Model H&P Model Page
R2 SE R
2 SE R
2 SE
50
20 0.9919 0.0236 0.9951 0.0185 0.9984 0.0104
30 0.9951 0.0172 0.9965 0.0148 0.9966 0.0144
40 0.9949 0.0187 0.9968 0.0149 0.9982 0.0113
60
20 0.9912 0.0269 0.9948 0.0208 0.9995 0.0062
30 0.9902 0.0272 0.9940 0.0213 0.9996 0.0056
40 0.9913 0.0255 0.9951 0.0193 0.9996 0.0057
70
20 0.9972 0.0144 0.9979 0.0128 0.9987 0.0101
30 0.9980 0.0116 0.9988 0.0093 0.9993 0.0068
40 0.9891 0.0299 0.9935 0.0233 0.9996 0.0060
Rata-rata 0.9932 0.0217 0.9958 0.0172 0.9988 0.0085
Tabel 2-13. Nilai konstanta model pengeringan simplisia temu lawak
Suhu
(oC)
RH
(%)
Model
Lewis
Model
Henderson-Pabis Model Page
k k a k n
50
20 0.0156 0.0165 1.0656 0.0068 1.1918
30 0.0127 0.0132 1.0420 0.0087 1.0846
40 0.0108 0.0113 1.0484 0.0061 1.1216
60
20 0.0164 0.0174 1.0650 0.0070 1.1983
30 0.0156 0.0166 1.0718 0.0058 1.2263
40 0.0126 0.0134 1.0704 0.0049 1.2049
70
20 0.0283 0.0292 1.0279 0.0204 1.0884
30 0.0223 0.0230 1.0299 0.0165 1.0764
40 0.0154 0.0164 1.0730 0.0057 1.2273
Konstanta Pengeringan Temu Lawak
Secara empiris nilai konstanta pengeringan (k) temu lawak dalam satuan
1/menit didapatkan dengan menggunakan persamaan (2.4). Besaran konstanta k
dan a masing-masing bervariasi dari 0.0113-0.0292 1/menit, dan 1.0279-1.0718.
Konstanta pengeringan merupakan koefisien yang berkaitan dengan nilai
difusivitas bahan sehingga nilai konstanta pengeringan juga merupakan fungsi
dari suhu udara pengeringan. Semakin tinggi suhu udara pengeringan maka
semakin tinggi nilai konstanta pengeringan. Plot antara nilai k rata-rata temu
lawak terhadap suhu pengeringan ditampilkan pada Gambar 2-29. Berdasarkan
-
45
gambar tersebut terlihat bahwa konstanta pengeringan meningkat secara
eksponensial terhadap suhu pada setiap level RH udara pengeringan.
Gambar 2-29. Pengaruh suhu pengeringan terhadap konstanta pengeringan
Simplisia temu lawak
Untuk menyatakan hubungan antara konstanta pengeringan dan suhu
pengeringan digunakan persamaan (2.10). Nilai konstanta a dan b diperoleh
dengan regresi non-linier dan hasilnya tertera pada Tabel 2-14 bersama-sama nilai
koefisien determinasi dan standard error. Nilai R2 bervariasi antara 0.859-0.998
dan tertinggi pada tingkat RH 40%. Pada Tabel 2-15 dicantumkan nilai konstanta
hasil perhitungan berdasarkan Tabel 2-14.
Tabel 2-14. Konstanta persamaan hubungan k dan suhu pengeringan temu lawak
RH a b R2 SE
20% 0.0028 0.0323 0.859 0.0038
30% 0.0031 0.0285 0.991 0.0007
40% 0.0044 0.0188 0.998 0.0002
Tabel 2-15. Nilai k (1/menit) temu lawak percobaan dan hasil perhitungan
Suhu RH 20% RH 30% RH 40%
k k hitung k k hitung k k hitung
50 oC 0.0165 0.0143 0.0132 0.0129 0.0113 0.0112
60 oC 0.0174 0.0197 0.0166 0.0171 0.0134 0.0135
70 oC 0.0292 0.0272 0.0230 0.0228 0.0164 0.0163
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
40 50 60 70 80
Ko
nst
anta
k (
1/m
en
it)
Suhu (oC)
RH 20%
RH 30%
RH 40%
k hitung
-
46
Kesimpulan
1. Pengeringan temu putih dan temu lawak berlangsung pada laju periode
menurun dimana difusi merupakan mekanisme pengontrol pergerakan air di
dalam bahan.
2. Pada suhu pengeringan 40 oC kadar air akhir temu putih tidak dapat mencapai
standar 10% (bb.). Untuk dapat mencapai kadar air tersebut temu putih dan
temu lawak harus dikeringkan pada suhu 50 o
C dengan RH dibawah 30% atau
pada suhu 60 oC dan 70
oC.
3. Model Page adalah model yang paling sesuai untuk mewakili karakteristik
pengeringan temu putih dan temu lawak dengan nilai rata-rata koefisien
determinasi (R2) dan standard error (SE) masing-masing sebesar 0.9990 dan
0.0079 untuk temu putih serta 0.9988 dan 0.0085 untuk temu lawak.
4. Konstanta pengeringan temu putih dan temu lawak bervariasi menurut suhu
pengeringan pada selang 0.0041 dan 0.0353 menit-1
serta 0.0113 dan 0.0292
menit-1
. Semakin tinggi suhu pengeringan maka nilai konstanta pengeringan
temu putih dan temu lawak semakin tinggi pula.