8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit
Makanan merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar yang harus
dipenuhi sesuai dengan kebutuhannya. Secara umum makanan berfungsi sebagai
sumber energi, pertumbuhan dan perkembangan, pengganti sel-sel yang rusak,
mempercepat proses penyembuhan dan pengatur proses dalam tubuh. Dalam
keadaan sakit fungsi makanan sebagai salah satu bentuk terapi untuk kesembuhan
pasien, penunjang pengobatan dan tindakan medis (Moehyi, 1995).
Penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah serangkaian kegiatan
mulai dari perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan,
perencanaan anggaran belanja, pengadaan bahan makanan, penerimaan dan
penyimpanan sampai distribusi makanan pada pasien/konsumen dalam rangka
pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat.
Tujuan dari penyelenggaraan makanan ini untuk menyediakan makanan yang
bermutu, jumlah sesuai kebutuhan gizi pasien, sesuai dengan biaya dan dapat
diterima oleh pasien guna mencapai status gizi yang optimal. Sasaran
penyelenggaraan makanan di rumah sakit terutama pasien rawat inap. Penyediaan
makanan bagi orang sakit merupakan salah satu hal penting karena tujuan
pemberian makanan untuk mempertahankan dan meningkatkan status gizi,
mempertahankan daya tahan tubuh, serta sebagai bagian dari penyembuhan
penyakitnya (Hartono, 2006). Pelayanan makanan juga merupakan komponen
yang cukup besar dalam pembiayaan rumah sakit, sehingga perlu dikelola secara
9
baik agar bermanfaat secara berdaya guna dan berhasil guna. Adanya perubahan
orientasi nilai dan perkembangan pemikiran yang sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan suatu rumah sakit sebagai
industri pelayanan jasa dituntut dapat memberikan kepuasan pelanggan atau
pasiennya.
2.2 Standar Makanan Rumah Sakit
Standar makanan rumah sakit di Instalasi Gizi RSUP Sanglah Denpasar
tertuang dalam Peraturan Pemberian Makanan Rumah Sakit (PPMRS) tahun 2014
yang berisi tentang jumlah dan jenis bahan makanan yang diberikan kepada
pasien berdasarkan kelas perawatan, nilai gizi dan pembagian waktu makan
dalam sehari (Instalasi Gizi, 2014). PPMRS ini disusun dengan
mempertimbangkan faktor kebutuhan gizi, kebiasaan makan serta anggaran
makanan yang tersedia dan ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit yang menjadi
pedoman dalam penyelenggaraan makanan. Secara lebih terperinci isi peraturan
ini terdiri dari : 1) macam pasien yang layani terdiri dari pasien (VVIP, VIP,
kelas 1, 2 dan 3), dokter jaga, petugas yang berdinas ditempat beresiko, petugas
yang kena paparan panas, 2) siklus menu yang ditetapkan (10 hari), 3) pola
pemberian makan sehari terdiri dari 3 kali makan utama dan 2 kali pemberian
snack, 4) standar makanan rumah sakit untuk pasien berdiit khusus dan biasa, 5)
standar makanan enteral rumah sakit, 6) macam menu yang ditetapkan terdiri dari
menu standar dan menu pilihan, 7) penggunaan bahan makanan sesuai anggaran
bahan makanan yang tersedia, 8) tercantum analisis zat gizi dari standar makanan
biasa, dan untuk makanan khusus. Menu pilihan hanya berlaku pada pasien VVIP
10
dan VIP sedangkan pada kelas 1, 2 dan 3 berlaku menu standar dengan siklus
menu 10 hari.
Makanan biasa adalah makanan yang diberikan kepada pasien yang tidak
memerlukan diet khusus berhubungan dengan penyakitnya. Susunan makanannya
sama dengan makanan orang sehat/makanan sehari-hari yang beraneka ragam,
bervariasi dengan bentuk, tekstur dan aroma yang normal, hanya tidak
diperbolehkan makanan yang merangsang atau yang menimbulkan gangguan
pencernaan. Standar ini mengacu pada pola menu seimbang dan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi orang dewasa sehat. Tujuan diet
makanan biasa adalah memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi untuk
mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh. Standar porsi yang berlaku
untuk makanan biasa dan khusus mengacu pada Buku Penuntun Diet tahun 2010
tetapi untuk standar porsi makanan biasa standar rumah sakit disesuaikan dengan
kondisi dan kemampuan rumah sakit. Nilai gizi makanan biasa pada Buku
Penuntun Diet tahun 2010 adalah energi 2146 kalori, protein 76 gram, lemak 59
gram dan karbohidrat 331 gram. Pemberian makanan pada orang sakit, pada
prinsipnya harus memenuhi kebutuhan zat gizi yang disesuaikan dengan penyakit
yang dideritanya. Hal ini berkaitan dengan perubahan fisiologis dan metabolisme
dalam tubuh orang sakit. Dengan demikian pada kondisi khusus, pengaturan diet
dan penyusunan menu dipersiapkan sesuai dengan jenis penyakit dan gejala untuk
menunjang kesembuhan pasien ( Kemenkes RI, 2013). Pembagian bahan makanan
sehari untuk makanan biasa di Instalasi Gizi RSUP Sanglah Denpasar dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
11
Tabel 1
Standar porsi makanan biasa menurut Instalasi Gizi dan Penuntun Diet
Waktu
makan
Bahan Makanan Instalasi Gizi Penuntun Diet
Pagi Nasi 150 gram 150 gram
Lauk hewani ( telur/penukar) 50 gram 50 gram
Sayuran 50 gram 50 gram
Minyak 5 gram 5 gram
Snack pagi Kue 1 biji -
Siang Nasi 150 gram 250 gram
Lauk hewani (daging/penukar) 50 gram 50 gram
Lauk nabati (tempe/penukar) 50 gram 50 gram
Sayuran 75 gram 75 gram
Minyak 10 gram 10 gram
Buah/penukar 100 gram 100 gram
Snack sore Bubur kacang hijau (25 gram) 1 gelas 1 gelas
Sore Nasi 150 gram 200 gram
Lauk hewani (daging/penukar) 50 gram 50 gram
Lauk nabati ( tahu/penukar) 50 gram 50 gram
Sayuran 75 gram 75 gram
Minyak 10 gram 10 gram
Sumber: Peraturan Pemberian Makan Rumah Sakit (PPMRS) tahun 2014
Penuntun Diet tahun 2010
2.3 Asupan Makanan Pasien
Asupan makanan pada pasien harus disesuaikan dengan kebutuhan gizi
dalam keadaan sakit. Kebutuhan zat gizi dalam keadaan sakit tergantung jenis dan
berat penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhi dalam keadaan sehat seperti
umur, gender (jenis kelamin), aktivitas fisik, serta kondisi khusus, yaitu ibu hamil
dan menyusui (Almatsier, 2010). Pasien rawat inap membutuhkan asupan makan
12
yang adekuat agar kebutuhan dan kecukupan gizi terpenuhi dan terhindar dari
malnutrisi.
Dalam penyelenggaraan makanan di rumah sakit ada perbedaan pengertian
istilah kebutuhan gizi dan kecukupan gizi. Kebutuhan gizi (nutrient requirements)
adalah banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh seseorang agar hidup
sehat. Kecukupan gizi (recommended dietary allowences) adalah jumlah masing-
masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang atau rata-rata kelomok agar
hampir semua orang (97,5% populasi) hidup sehat (Kemenkes RI, 2014). Jika
dalam tubuh terjadi ketidakcukupan gizi, maka dapat menyebabkan terjadinya
malnutrisi. Patogenesis penyakit gizi kurang (malnutrisi) melalui 5 tahapan, yaitu:
pertama ketidakcukupan zat gizi. Jika ketidakcukupan zat gizi ini berlangsung
lama, maka persediaan/cadangan jaringan akan digunakan untuk memenuhi
ketidakcukupan itu. Kedua, apabila ini berlangsung lama, maka akan terjadi
kemerosotan jaringan, yang ditandai dengan penurunan berat badan. Ketiga,
terjadi perubahan biokimia yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan
laboratorium. Keempat, terjadi perubahan fungsi yang ditandai dengan tanda yang
khas. Kelima, terjadi perubahan anatomi yang dapat dilihat dari munculnya tanda
yang klasik (Supariasa, 2002). Di rumah sakit, banyak pasien yang mengalami
ketidakcukupan zat gizi sebagai akibat dari rendahnya asupan zat gizi pasien.
Pasien yang memiliki asupan makan yang rendah akan meninggalkan sisa
makanan dalam piringnya. Semakin rendah asupan makan, maka sisa makanan
semakin tinggi
13
2.4 Penilaian Mutu Pelayanan Makanan
Penilaian mutu pelayanan makanan dapat dilakukan melalui evaluasi
secara menyeluruh kegiatan penyelenggaraan makanan mulai dari perencanaan
menu sampai dengan produk makanan yang dihasilkan sampai kepada pasien.
Standar mutu makanan terdiri dari dua aspek utama yaitu aspek penampilan
makanan dan rasa makanan. Penampilan makanan terdiri dari warna makanan,
bentuk makanan, besar porsi dan cara menyajikan makanan. Rasa makanan
dipengaruhi oleh suhu dari setiap jenis hidangan yang disajikan, bumbu yang
digunakan, aroma masakan, keempukan atau kerenyahan serta tingkat
kematangan. Dalam penyajian makanan, penampilan dan rasa makanan harus
diperhatikan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kesan yang menarik bagi
pasien untuk dapat menghabiskan makanan yang disajikan (Moehyi, 1995).
Penilaian mutu makanan dapat dilakukan dengan mencatat jumlah sisa makanan
yang tidak dikonsumsi (Depkes RI, 2007).
Menurut Kepmenkes no. 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit, indikator sisa makanan yang tidak termakan
oleh pasien sebesar ≤20%. Sisa makanan yang kurang atau sama dengan 20%
menjadi indikator keberhasilan pelayanan gizi di setiap rumah sakit di Indonesia
(Kemenkes RI, 2012).
Penilaian/evaluasi sisa makanan secara umum didefinisikan sebagai suatu
proses menilai jumlah/kuantitas dari porsi makanan yang sudah disediakan oleh
penyelenggara makanan yang tidak dihabiskan. Ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk menilai sisa makanan yaitu metode penimbangan dan metode
14
taksiran visual. Penelitian yang dilakukan mengenai penggunaan skala comstock
6 poin untuk menaksir secara visual sisa makanan pada program pemberian
makan siang pada anak sekolah, pertama kali dikembangkan oleh Comstock tahun
1981, menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara taksiran visual skala
Comstock dan penimbangan (r = 0,93). Demikian juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Murwani (2001), di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta memperoleh
hasil antara taksiran sisa makanan dengan hasil penimbangan menunjukkan
adanya korelasi yang sangat kuat dan positif, dengan rata-rata 0,93 (dengan
rentang 0,91-0,95) sehingga taksiran visual dapat digunakan untuk menentukan
sisa makanan menggantikan metode penimbangan. Susyani (2005), dalam
penelitiannya mengenai akurasi petugas dalam penentuan sisa makanan pasien
rawat inap menggunakan metode taksiran visual skala Comstock 6 poin,
memperoleh kesimpulan penentuan sisa makanan dengan metode taksiran visual
Comstock dapat dilakukan oleh siapa saja baik oleh petugas perawat ataupun
petugas pramusaji.
2.5 Sisa Makanan dan Faktor yang Mempengaruhinya
Semua pasien rawat inap di rumah sakit menerima makanan sesuai dengan
kebutuhan ataupun kecukupan. Tetapi sebagian besar pasien (59%) meninggalkan
sisa sebanyak 471±372 kalori, 21±17 gram protein per pasien perhari, sehingga
asupan pasien menjadi kurang. Hal ini bukan didominasi oleh penyakit saja
tetapi ada faktor risiko lain sepertai jenis kelamin, resep diet yang dimodifikasi,
lama rawat dan makan malam yang tidak memadai, sehingga instalasi gizi harus
meningkatkan pelayanan makanan di rumah sakit (Dupertuis, 2003).
15
Peranan makanan rumah sakit sebagai suatu terapi belum optimal. Hal ini
karena masih banyak kejadian malnutrisi rumah sakit dan dampak malnutrisi
mempengaruhi kesembuhan dan Length of Stay (LOS) dan makanan rumah sakit
sering dianggap sebagai penyebabnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
RSUP Sanglah Denpasar, menemukan rata-rata asupan zat gizi pasien dibawah
kebutuhan dan secara umum terjadi penurunan berat badan pasien selama
perawatan (Weta dan Partiwi, 2009). Adanya sisa makanan pasien di rumah sakit
mengakibatkan asupan gizi pasien tidak adekuat. Pasien dengan asupan gizi yang
tidak adekuat mempunyai resiko 2,4 kali untuk terjadi malnutrisi rumah sakit
(Kusumayanti, 2004).
Berdasarkan beberapa teori dan dari hasil penelitian terdahulu banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya sisa makanan pasien di rumah sakit, yang
meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu yang berasal dari
pasien sendiri meliputi faktor psikis, kebiasaan makan, aktivitas fisik, umur, jenis
kelamin, kelas perawatan, lama perawatan, faktor pengobatan dan jenis penyakit.
Faktor eksternal terdiri dari faktor yang berasal dari makanan dan lingkungan.
Faktor dari makanan yang mempengaruhi terjadinya sisa makanan adalah cita rasa
dan variasi menu, sedangkan faktor dari lingkungan adalah konsumsi makanan
dari luar rumah sakit, alat makan, jadwal makan atau waktu makan dan sikap
petugas ruangan.
1. Faktor keadaan psikis
Keadaan psikis adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan kejiwaan.
Biasanya, perawatan di rumah sakit menyebabkan orang sakit harus menjalani
16
kehidupan yang berbeda dengan apa yang dialami sehari–hari di rumah. Apa yang
dimakan, dimana orang tersebut makan, bagaimana makanan disajikan, dengan
siapa orang tersebut makan, sangat berbeda dengan yang telah menjadi kebiasan
hidupnya. Hal ini ditambah dengan hadirnya orang-orang yang masih asing
baginya yang mengelilinginya setiap waktu, seperti dokter, perawat, atau petugas
paramedis lainnya. Kesemuanya itu dapat membuat orang sakit mengalami
tekanan psikologis, merasa sedih, merasa takut karena menderita suatu penyakit,
ketidakbebasan gerak karena menderita suatu penyakit tertentu, sering
menimbulkan rasa putus asa sehingga pasien kehilangan nafsu makan sehingga
dapat mengurangi asupan makan (Moehyi, 1995).
2. Kebiasaan makan
Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan
dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama
makan, frekuensi makan seseorang, pola makan, kepercayaan tentang makanan
(pantangan), distribusi makanan di antara angota keluarga, penerimaan terhadap
makanan (timbulnya suka atau tidak suka) dan cara pemilihan bahan makanan
yang hendak dimakan. Kebiasaan makan adalah ekspresi setiap individu dalam
memilih makanan yang akan membentuk pola perilaku makan. Oleh karena itu,
ekspresi setiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang
lain (Khomsan, 2004). Dengan pola makan yang baik dan jenis hidangan yang
beraneka ragam dapat menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat
pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang, sehingga status gizi
seseorang akan lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan
17
dari penyakit. Susunan menu atau susunan hidangan masyarakat Indonesia
meliputi bahan makanan pokok, lauk pauk (hewani dan nabati), sayur, dan buah.
Susunan makanan mengacu pada Pola Menu Seimbang dan Angka Kecukupan
Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi orang dewasa sehat (Sediaoetama, 2000).
Berdasarkan hasil penelitian Priyanto (2009), perbedaan pola makan di
rumah dan pada saat di rumah sakit akan mempengaruhi daya terima pasien
terhadap makanan. Bila pola makan pasien tidak sesuai dengan makanan yang
disajikan rumah sakit akan mempengaruhi habis tidaknya makanan yang
disajikan.
3. Aktivitas fisik
Aktifitas fisik berpengaruh terhadap kebutuhan gizi bagi pasien. Aktifitas
fisik pada orang normal berbeda tiap individu ada yang pekerjaan ringan, sedang
ataupun berat. Tidak hanya pada orang normal, pada orang sakit, aktivitas fisik
juga memiliki peranan dalam menetapkan kebutuhan energi. Dalam perhitungan
kebutuhan zat gizi, nilai faktor aktivitas pada orang sakit dibedakan menjadi dua
yaitu istirahat di tempat tidur dan tidak terikat di tempat tidur (Almatsier, 2010).
Pada pasien terjadi penurunan aktivitas fisik selama dirawat.
4. Umur
Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan, semakin tua
umur manusia maka kebutuhan energi dan zat gizi semakin sedikit. Bagi orang
yang dalam periode pertumbuhan yang cepat yaitu, pada masa bayi dan masa
remaja memiliki peningkatan kebutuhan zat gizi. Pada usia dewasa zat gizi
diperlukan untuk melakukan pekerjaan, penggantian jaringan tubuh yang rusak,
18
meliputi perombakan dan pembentukan sel. Pada usia tua (lanjut usia) kebutuhan
energi dan zat gizi hanya digunakan untuk pemeliharan. Pada usia 65 tahun
kebutuhan energi berkurang mencapai 30% dari usia remaja dan dewasa
(Kemenkes RI, 2014).
Nida (2011), dalam penelitiannya menyimpulkan ada hubungan antara
umur dengan sisa makanan pasien untuk semua jenis makanan, dimana pasien
dengan umur >35 tahun lebih banyak sisa makanannya dibandingkan pasien
dengan umur <35 tahun. Hal ini kemungkinan karena pasien dengan umur >35
tahun aktivitas fisiologisnya menurun. Dengan menurunnya aktivitas maka
kebutuhan kalori dan protein juga lebih sedikit
5. Jenis kelamin
Jenis kelamin kemungkinan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya sisa
makanan. Hal ini disebabkan perbedaan kebutuhan energi antara perempuan dan
laki-laki yaitu kalori basal perempuan lebih rendah sekitar 5-10% dari kebutuhan
kalori basal laki-laki. Perbedaan ini terlihat pada susunan tubuh dan aktivitas laki-
laki lebih banyak menggunakan kerja otot daripada perempuan. Menurut hasil
penelitian Djamaluddin (2005), pasien perempuan mengkonsumsi nasi lebih
sedikit daripada pasien laki-laki. Sisa nasi lebih sedikit pada laki-laki diduga
karena AKG pada laki-laki lebih besar daripada perempuan, sehingga laki-laki
memang mampu menghabiskan makanannya dibanding perempuan
6. Lama perawatan
Faktor lain yang mempengaruhi sisa makanan adalah lama perawatan.
Terdapat perbedaan sisa makanan menurut lama perawatan (Djamaludin, 2005).
19
Hal ini karena pasien dengan masa perawatan yang lama cenderung hafal menu
makanan, jenis masakan, rasa dan sebagainya sehingga jika dalam pengolahan
kurang bervariasi akan menimbulkan rasa bosan, akibatnya nafsu makan
berkurang dan makanan yang disajikan tidak dihabiskan (Moehyi, 1995).
7. Kelas perawatan
Terdapat perbedaan sisa makanan menurut kelas perawatan dimana pasien
kelas 2 menyisakan banyak lauk nabati dan sayur dari pasien kelas 1 dan 3
(Djamaludin, 2005). Kelas perawatan menunjukkan status sosial ekonomi pasien.
Hal ini berhubungan dengan kebiasaan, kesukaan, pola makan, atau kepercayaan
pasien (Dewi et al., 2013).
8. Faktor pengobatan dan jenis penyakit
Sisa makanan juga disebabkan oleh faktor lain yang berkaitan dengan
jenis penyakit pasien seperti penggunaan obat-obatan. Interaksi antara obat dan
makanan dapat menurunkan nafsu makan, mengganggu pengecapan dan
mengganggu saluran pencernaan. Menurut Moore (1997) dalam Suharyati (2006),
obat-obatan dapat mempengaruhi makanan yang masuk atau diabsorpsi,
metabolisme dan sekresi dari zat gizi. Beberapa efek khusus obat-obatan dapat
menurunkan nafsu makan. Berdasarkan hasil penelitian Djamaludin (2005),
terlihat bahwa ada perbedaan sisa makanan pada beberapa jenis penyakit seperti
penyakit kanker, ginjal, postpartum, saraf, dan bedah. Pada pasien dengan
penyakit ginjal, postpartum, dan saraf memiliki sisa makanan sedikit. Pada
penyakit kanker dan bedah terjadi sisa makanan yang banyak karena pada
umumnya pasien dengan penyakit ini mempunyai tingkat stress yang tinggi yang
20
disebabkan oleh penyakitnya sendiri maupun pengobatan yang dialaminya
sehingga nafsu makan menurun.
9. Cita rasa makanan
Cita rasa makanan yang kurang baik mengakibatkan persepsi pasien
terhadap makanan yang disajikan kurang baik pula. Persepsi pasien yang kurang
baik terhadap makaan yang disajikan maka dapat menyebabkan makanan yang
disajikan tidak habis dikonsumsi sehingga menimbulkan sisa. Pasien yang menilai
rasa makanan tidak enak akan memberikan sisa makanan yang lebih banyak,
sedangkan pasien yang menilai makanan enak akan memberikan sisa makanan
yang lebih sedikit (Aula, 2011; Dian, 2012, Kumboyono, 2012).
Cita rasa makanan dapat dinilai dari aspek penampilan makanan dan rasa
makanan (Moehyi, 1992). Faktor yang menentukan penampilan makanan waktu
disajikan adalah :
a. Warna makanan memegang peran utama dalam penampilan makanan oleh
karena bila warnanya tidak menarik akan mengurangi selera orang yang
memakannya..
b. Bentuk makanan yang disajikan membuat makanan menjadi lebih
menarik biasanya disajikan dalam bentuk–bentuk tertentu. Bentuk
makanan yang menarik akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap
makanan yang disajikan
c. Porsi makanan adalah banyaknya makanan yang disajikan dan kebutuhan
setiap individu berbeda sesuai dengan kebiasaan makannya. Potongan
makanan yang terlalu kecil atau besar akan merugikan penampilan
21
makanan. Pentingnya porsi makanan bukan saja berkenaan dengan waktu
disajikan tetapi juga berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan
pemakaian bahan.
d. Penyajian makanan merupakan faktor terakhir dari proses
penyelenggaraan menu makanan. Meskipun makanan diolah dengan cita
rasa yang tinggi tetapi bila dalam penyajiaannya tidak dilakukan dengan
baik, maka nilai makanan tersebut tidak akan berarti, karena makanan
yang ditampilkan waktu disajikan akan merangsang indera penglihatan
sehingga menimbulkan selera yang berkaitan dengan cita rasa (Moehyi,
1992). Penyajian makanan memberikan arti khusus bagi penampilan
makanan. Penyajian dirancang untung menyediakan makanan yang
berkualitas tinggi dan dapat memuaskan pasien, aman serta harga yang
layak. Penggunaan dan pemilihan alat makan yang tepat dalam
penyusunan makanan akan mempengaruhi penampilan makanan yang
disajikan dan terbatasnya perlengkapan alat merupakan faktor penghambat
bagi pasien untuk menghabiskan makanannya (Nuryati, 2008).
Rasa makanan lebih banyak melibatkan penginderaan cecapan (lidah),
penginderaan cecapan dapat dibagi menjadi cecapan utama yaitu asin, manis asam
dan pahit (Winarno,1997). Mengkombinasikan berbagai rasa sangat diperlukan
dalam mencipatakan keunikan sebuah menu. Menurut Moehyi, (1992) Rasa
makanan adalah rasa yang ditimbulkan dari makanan yang disajikan dan
merupukan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan
22
makanan itu sendiri. Komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan
yaitu :
a. Aroma makanan adalah aroma yang disebarkan oleh makanan yang
mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera
penciuman sehingga mampu membangkitkan selera. Aroma yang
dikeluarkan oleh makanan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak
makanan yang berbeda akan memberikan aroma yang berbeda pula
(Moehyi, 1992 )
b. Bumbu masakan adalah bahan yang ditambahkan dengan maksud untuk
mendapatkan rasa makanan yang enak dan rasa yang tepat setiap kali
pemasakan
c. Suhu makanan waktu disajkan memegang peranan dalam penentuan cita
rasa makanan. Namun makanan yang terlalu panas atau terlalu dingan
sangat mempengaruhi sensitifitas saraf pengecap terhadap rasa makanan
sehingga dapat menguranggi selera untuk memakannya.
d. Tingkat kematangan sesuai dengan jenis makanan yang disajikan, tidak
terlalu matang atau terlalu mentah sehingga mempengaruhi keempukan,
kerenyahan dan tekstur dari makanan tersebut.
10. Variasi menu
Variasi menu adalah variasi dalam menggunakan bahan makanan, bumbu,
cara pengolahan, resep masakan, dan variasi makanan dalam suatu hidangan.
Bervariasi adalah tidak boleh terjadi pengulangan hidangan yang sama dalam satu
siklus menu atau tidak boleh terjadi metode pemasakan yang sama dalam satu kali
23
makan. Menu yang bervariasi dapat merangsang selera makan sehingga makanan
yang disajikan akan dapat dihabiskan pasien (Depkes RI, 2007).
11. Jadwal makan atau waktu makan
Waktu makan adalah waktu dimana orang lazim makan setiap sehari.
Manusia secara alamiah akan merasa lapar setelah 3-4 jam makan, sehingga
setelah waktu tersebut sudah harus mendapat makanan, baik dalam bentuk
makanan ringan atau berat. Makanan di rumah sakit harus tepat waktu, tepat diet,
dan tepat jumlah. Waktu pembagian makanan yang tepat dengan jam makan
pasien serta jarak waktu makan yang sesuai, turut berpengaruh terhadap timbulnya
sisa makanan. Hal ini berkaitan dengan ketepatan petugas dalam menyajikan
makanan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan Makanan yang terlambat
datang dapat menurunkan selera makan pasien, sehingga dapat menimbulkan sisa
makanan yang banyak (Puspita dan Rahayu, 2011).
12. Makanan luar rumah sakit
Makanan yang dimakan oleh pasien yang berasal dari luar rumah sakit
berpengaruh terhadap terjadinya sisa makanan (Aula, 2011). Pasien yang
mendapatkan makanan dari luar rumah sakit menyisakan lebih banyak makanan
dari pada pasien yang tidak mendapatkan makanan dari luar rumah sakit
(Kumboyono, 2012). Jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh pasien dari luar
rumah sakit adalah berupa buah dan snack seperti biskuit, kue, dan aneka cemilan
lainnya. Rasa lapar yang tidak segera diatasi pada pasien yang sedang dalam
perawatan, timbulnya rasa bosan karena mengkonsumsi makanan yang kurang
24
bervariasi menyebabkan pasien mencari tambahan makanan dari luar rumah sakit ,
sehingga makanan yang disajikan kepada pasien tidak dihabiskan (Aula, 2011).
13. Sikap petugas
Sikap petugas ini juga mempengaruhi faktor psikologis pada pasien.
Intervensi keperawatan, intervensi gizi, termasuk di dalamnya adalah sikap
petugas dalam menyajikan makanan, sangat diperlukan untuk meningkatkan
nutrisi yang optimal bagi pasien rawat inap. Oleh karena itu, sikap petugas
ruangan dalam menyajikan makanan berperan dalam terjadinya sisa makanan.
Berdasarkan hasil survey menyebutkan bahwa faktor utama kepuasan pasien
terletak pada pramusaji. Pramusaji diharapkan dapat berkomunikasi, baik dalam
bersikap, baik dalam berekspresi, wajah, dan senyum. Hal ini penting karena akan
mempengaruhi pasien untuk menikmati makanan dan akhirnya dapat
menimbulkan rasa puas (Nuryati, 2008). Hal ini juga penting untuk meningkatkan
asupan makan pasien agar pasien mau menghabiskan makanannya.
2.6 Biaya Makan Pasien
Dalam melakukan kegiatan penyelenggaraan makanan pasien di rumah
sakit, biaya merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dan
menentukan. Biaya harus diperhitungkan setepat mungkin, sehingga secara
ekonomi dapat dipertanggungjawabkan dan dikendalikan seefisien dan seefektif
mungkin (Kemenkes RI, 2013). Biaya pelayanan gizi rumah sakit adalah biaya
yang telah atau akan dikeluarkan dalam rangka melaksanakan kegiatan pelayanan
gizi rumah sakit, dan salah satunya meliputi biaya untuk kegiatan
penyelenggaraan makanan pasien. Biaya makan adalah biaya bahan-bahan yang
25
dipakai untuk menghasilkan makanan yang diperlukan. Biaya ini merupakan
variabel langsung, karena mempunyai hubungan langsung terhadap pelayanan
makanan yang diselenggarakan. Biaya makan per orang per hari merupakan biaya
yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan makanan. Biaya ini diperoleh
berdasarkan total biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan makanan dibagi
dengan jumlah output setiap jenis pelayanan. Data yang dibutuhkan untuk
menghitung biaya makan per orang per hari adalah jumlah output dari
penyelenggaraan makanan, yaitu porsi makan atau jumlah konsumen yang
dilayani.
Konsep perhitungan biaya makanan di rumah sakit terdiri dari 3 komponen
utama yaitu biaya bahan baku atau bahan dasar, biaya tenaga kerja dan biaya
overhead (Kemenkes RI, 2013). Biaya bahan baku atau bahan dasar adalah biaya
yang pasti akan dikeluarkan secara langsung dan digunakan dalam rangka
menghasilkan produk dan dalam hal ini biaya bakunya adalah bahan makanan.
Biaya tenaga kerja adalah biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja yang terlibat
dalam proses kegiatan, baik tenaga kerja langsung maupun tenaga kerja tidak
langsung. Biaya overhead adalah biaya yang dikeluarkan untuk menunjang
operasional produk yang dihasilkan. Pada penyelenggaraan makan, biaya
overhead yang dimaksud antara lain biaya bahan bakar, alat masak, alat makan,
alat rumah tangga, telepon, listrik dan biaya pemeliharaan.
Analisis biaya makan adalah suatu proses pengumpulan dan
pengelompokan data keuangan unit penyelenggaraan makanan untuk memperoleh
dan menghitung biaya produk makanan selama periode tertentu, baik biaya total
26
(total cost) maupun biaya satuan/unit cost. Analisis biaya makan memberikan
informasi tentang biaya, proses sekaligus produk makanan yang dihasilkan.
Informasi ini berguna dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian keuangan
penyelenggaraan makanan dan penetapan tarif makan atau rawat inap. Hasil
analisis dapat pula digunakan untuk memperbaiki tindakan manajemen di masa
yang akan datang sehingga diharapkan dapat mengurangi atau mengoptimalkan
biaya dengan perbaikan tindakan tersebut (Akmal, 2005).
Perhitungan biaya makanan pasien di RSUP Sanglah Denpasar sesuai
dengan Pedoman Pengorganisasian Unit Kerja Instalasi Gizi tahun 2014, hanya
berdasarkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan makanan
tanpa memperhitungkan biaya tenaga kerja dan biaya overhead lainnya. Hal ini
karena untuk biaya makan pasien belum menggunakan unit cost tetapi masuk ke
dalam biaya akomodasi rawat inap di rumah sakit.