9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Hakekat Belajar
Belajar dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hal yang baru
sehingga terjadi perubahan setelah pelaksanaan. Perubahan yang dimaksud
yaitu perubahan dari tidak mengerti menjadi mengerti setelah kita
mempelajarinya. Dalam konteks ini belajar berarti harus terjadi perubahan
dan mengalami peningkatan dibandingkan kondisi awal. Perubahan yang
terjadi bisa bersifat keilmuan, tingkah laku, kepribadian dan lain
sebagainya. Belajar berarti suatu proses, untuk itu sebuah pembelajaran
membutuhkan upaya dan waktu untuk menjalaninya.
Banyak pakar yang telah mencoba untuk mendefinisikan arti kata
“belajar”. Hal tersebut menghasilkan banyak definisi belajar dalam
berbagai sudut pandang yang berbeda. Menurut Paul Eggen dan Don
Kauchak, belajar adalah perubahan struktur mental individu yang
memberikan untuk menunjukkan perubahan perilaku “learning is a change
in a person’s mental structure that provides the capacity to demonstrate
change in behaviour”, Khadijah (2006:41). Dale H. Schunk dalam
bukunya yang berjudul Learning Theories An Education Perspective
(2012:5) mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan perubahan yang
bertahan lama dalam prilaku, atau dalam kapasitas dalam berperilaku,
yang dihasilkan dari praktik atau bentuk-bentuk pengalaman lainya. Beliau
juga membagi pembejaran menjadi tiga kriteria, yaitu :
a. Pembelajaran melibatkan perubahan
Dalam belajar harus mengalami yang namanya perubahan.
Entah dari perilaku, kapasitas berperilaku dan pemikiran. Suatu orang
10
dikatakan sudah belajar jika ia melakukan suatu hal dengan cara dan bentuk yang
berbeda.
b. Pembelajaran bertahan lama seiring dengan waktu
Perubahan prilaku yang terjadi tidak terlapas dari adanya suatu
pembelajaran. Ini berarti perubahan perilaku yang bersifat sementara tidak
termasuk di dalamnya.
c. Pembelajaran terjadi melalui pengalaman
Seseorang dapat dikatakan belajar jika ada suatu perubahan ke arah yang
lebih baik. Salah satu cara untuk berubah adalah dari pengalaman. Biasanya
mereka belajar melalui praktik atau mengamati perilaku orang lain.
Arsyad Azhar (1995:1) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses
yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan belajar berasal dari kata ajar yang berarti
petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). Dari kata dasar ajar
kemudian berkembang menjadi belajar yang berarti berusaha memperoleh kepandaian
atau ilmu dan berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh
pengalaman.
Perubahan tingkah laku menjadi tolok ukur utama dalam kegiatan belajar. Hal
tersebut diperkuat oleh pernyataan Chaplin bahwa belajar memiliki dua definisi yaitu
acquisition of any relatively permanent change in behaviour as a result of a practice
and experience (perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai
akibat latihan dan pengalaman) dan process of aquiring responses as a result of
special practice (proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan
khusus), Syah(2004:64-65). Perlu diketahui bahwa tidak semua perubahan yang
terjadi dikatakan belajar. Perubahan yang terjadi harus bersifat keilmuan atau perilaku
positif yang bertahan lama. Seseorang yang minum minuman keras secara berlebihan
akan terjadi perubahan dalam bentuk perilaku dan struktur mental, namun perubahan
tersebut hanya bersifat sementara dan cenderung negatif maka tidak bisa dikatakan
sebuah usaha belajar.
Untuk memfokuskan arti belajar, Dalyono (2007:49-50) menjelaskan tujuan
belajar sebagai berikut:
11
a. Belajar bertujuan mengadakan perubahan dalam diri antara lain perubahan tingkah
laku.
b. Belajar bertujuan mengubah kebiasaan yang buruk menjadi baik.
c. Belajar bertujuan mengubah sikap dari negatif menjadi positif, tidak hormat
menjadi hormat, benci menjadi sayang dan sebagainya.
d. Dengan belajar dapat memiliki keterampilan.
e. Belajar bertujuan menambah pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu.
Berdasarkan berbagai teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses kompleks untuk
memperoleh respon berupa perubahan struktur mental, perilaku, pemikiran, disertai
dengan usaha untuk memperoleh kepandaian serta ilmu yang bersifat positif dan
bertahan lama yang terjadi melalui pengalaman, praktik ataupun mengamati orang
lain.
Dengan mengetahui makna kegiatan belajar yang dilihat dari segi kata kerja
selanjutnya yang perlu diketahui adalah hasil dari sebuah belajar tersebut yang berupa
produk. Dalam penelitian ini hasil yang dimaksud adalah hasil belajar dari interaksi
siswa dan guru. Untuk itu hasil yang dimaksud tentunya bersifat kependidikan
terutama output yang ditimbulkan siswa itu sendiri. Oemar Hamalik (2004:30)
berpendapat bahwa hasil belajar akan tampak pada beberapa aspek antara lain:
pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan
sosial, jasmani, etis atau budi pekerti, dan sikap. Seseorang yang telah melakukan
perbuatan belajar maka akan terlihat terjadinya perubahan dalam salah satu atau
beberapa aspek tingkah laku sebagai akibat dari hasil belajar.
Agar substansi hasil belajar terurai secara mendalam dan spesifik maka Bloom
dalam Purwanto (2007: 45) menggolongkan kedalam tiga ranah yang perlu
diperhatikan dalam setiap proses belajar mengajar. Tiga ranah tersebut adalah ranah
kognitif, efektif, dan psikomotor. Ranah kognitif mencakup hasil belajar yang
berhubungan dengan ingatan, pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Ranah efektif
mencakup hasil belajar yang berhubungan dengan sikap, nilai-nilai, perasaan, dan
minat. Ranah psikomotor mencakup hasil belajar yang berhubungan dengan
keterampilan fisik atau gerak.
12
Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah sebuah produk berupa perubahan positif dari segi pengetahuan, pengertian,
kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau
budi pekerti, dan sikap dan dapat dinilai berdasarkan proses perubahan kemampuan
intelektual (kognitif), kemampuan minat atau emosi (afektif) dan kemampuan motorik
halus dan kasar (psikomotor) pada peserta didik.
2.1.2. Pengertian Metode belajar
Metode sering diartikan dengan cara dalam melakukan berbagai hal. Namun
pengertian tersebut terlalu luas dan menghilangkan esensi dari metode itu sendiri.
Agar metode dapat diartikan secara tepat dan jelas, berikut beberapa pendapat dari
ahli. Menurut Purwadarminta (1976:7) metode adalah cara yang telah teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai sesuatu maksud. Diperkuat juga dengan pendapat
dari Djamarah (2006:46) bahwa metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Morris (1976) dalam Sudjana (2010:8)
berpendapat bahwa metode adalah “a manner of procedure; specially, a regular and
systematic way of accomplishing anything. Morris (1976) juga menegaskan “Method
emphasizes procedure according to a detailed, logically ordered plan”. Sedangkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan metode adalah cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Sudjana (2010:8) sendiri dalam bukunya Metode dan Teknik
Pembelajaran Partisipatif menyimpulkan bahwa metode mengandung unsur prosedur
yang disusun secara teratur dan logis serta dituangkan dalam suatu rencana kegiatan
untuk mencapai tujuan.
Dalam penelitian ini metode yang dimaksud berkaitan dengan pembelajaran di
sekolah. Oemar Hamalik (2009:26) menyatakan bahwa metode adalah Cara untuk
menyampaikan materi pembelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Dalam
kaitannya dengan pembelajaran di sekolah, Prastowo (2013: 69) menyatakan :
Metode pembelajaran adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan
pembelajaran. Metode pembelajaran adalah cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan pembelajaran, sehingga kompetensi dan tujuan
pembelajaran dapat tercapai. Selain itu, metode pembelajaran adalah cara yang
digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam
bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran
13
Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat diambil poin-poin metode yaitu
mencakup cara yang dilakukan, terencana, urut atau sistematik, bersistem,
memudahkan, berupa rencana kegiatan. Jadi dapat diartikan bahwa metode belajar
adalah suatu cara yang menekankan pada prosedur yang terencana, teratur dalam
sebuah sistem disusun secara terstruktur, logis dan sistematis yang dituangkan dalam
sebuah bentuk rencana kegiataan pembelajaran guna mempermudah mencapai tujuan
yang telah ditentukan dalam kurikulum.
2.1.3 Kurikulum
2.1.3.1 Pengertian Kurikulum
Kurikulum merupakan suatu perangkat dalam pembelajaran yang berguna
sebagai acuan suatu pembelajaran. Kurikulum berisi program pendidikan serta
muatan-muatan pelajaran. Kurikulum juga memiliki peran besar dalam suksesnya
pembelajaran, pasalnya kurikulum dibuat sesuai kondisi dan tuntutan zaman. Itu
artinya kurikulum bersifat fleksibel atau dapat di sesuaikan berdasarkan tuntutan.
Selain tuntutan zaman kondisi sumber daya manusia di Indonesia juga bepengaruh
terhadap kurikulum yang berlaku.
Nur Ahid (2013:3) berpendapat dalam jurnalnya bahwa kata kurikulum
berasal dari bahasa Latin (Yunani), yakni cucere yang berubah menjadi kata benda
curriculum. Kurikulum, jamaknya curicula, pertama kali dipakai dalam dunia atletik.
Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata pelajaran yang harus
disampaikan oleh guru dan dipelajarai oleh peserta didik, Widyastono (2015:1).
Berdasarkan pendapat dari Zais (1976) kurikulum sebagai a racecourse of subject
matters to be mastered, Nur Ahid (2006:18). Artinya kurikulum sebagai arena
kompetisi suatu materi pelajaran yang harus dikuaisai oleh siswa maupun guru. Guru
tentu harus menguasai arena tersebut karena guru yang harus mendorong siswa untuk
berkompetisi dalam arena yang berisi mata pelajaran. Dalam arti luas Nur Ahid
(2006:19) menyimpulkan kurikulum adalah semua pengalaman, kegiatan, dan
pengetahuan murid di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau guru.
Menurut Beauchamp (1975) dalam Widyastono (2015:1) “a curriculum is
written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for
14
the education of pupils during their enrollment in a given school”. Pendapat tersebut
mengisyaratkan bahwa kurikulum adalah sebuah dokumen tertulis yang berisi
berbagai bahan (dalam hal ini berarti materi pelajaran, data serta informasi yang
dibutuhkan dalam pembelajaran tersebut), yang pada dasarnya adalah sebuah rencana
untuk mendidik siswa selama masih terdaftar dalam instansi pendidikan tertentu.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 1 Poin 19 mendefinisikan bahwa
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah seperangkat dokumen
pembelajaran yang berisi rencana, tujuan, isi, bahan, informasi belajar serta cara yang
digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pembelajaran tesebut dengan tujuan
mendidik siswa agar siswa mencapai target tujuan yang telah ditetapkan.
2.1.3.2 Fungsi Kurikulum
Dalam melaksanakan pembelajaran, maka setiap pihak yang bersentuhan
langsung dengan kurikulum maka wajib mengetahui fungsi dari kurikulum tersendiri.
Sanjaya (2011) dalam Herry Widyastono (9:2015) berpendapat bahwa kurikulum
memiliki berbagai fungsi. Bagi guru, kepala sekolah, orang tua, dan peserta didik
sebagai berikut:
a. Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses
pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak berpedoman pada kurikulum tidak
akan berjalan secara sistematis dan efektif, sebab pembelajaran adalah proses yang
bertujuan sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan peserta didik
diarahkan untuk mencapai tujuan. Tanpa kurikulum, dapat dipastikan bahwa
pembelajaran tanpa arah dan tanpa tujuan.
b. Bagi kepala sekolah, kurikulum berfungsi untuk menyusun perencanaan dan
program sekolah. Penyusunan kalender sekolah, pengajuan sarana dan prasarana
sekolah kepada komite, penyusunan berbagai kegiatan sekolah, dan kegiatan-
kegiatan lainya didasarkan pada kurikulum yang digunakan.
c. Bagi peserta didik, kurikulum berfungsi sebagai pedoman belajar. Dengan
kurikulum, peserta didik dapat memahami kompetensi apa yang harus dicapai baik
itu keterampilan, pengetahuan, dan sikap.
15
d. Bagi orang tua peserta didik, kurikulum sebagai pedoman untuk memberikan
bantuan bagi penyelenggaraan bagi program sekolah dan membantu putra-
putrinya untuk belajar di rumah sesuai dengan program sekolah.
Lebih lengkap lagi berdasarkan penjelasan dari Nurgiantoro (1988 : 45-46)
menyebutkan ada 3 fungsi kurikulum yaitu:
a. Fungsi kurikulum bagi sekolah terdiri dari alat untuk mencapai tujuan pendidikan
yang diinginkan.
b. Kurikulum dapat mengontrol dan memelihara keseimbangan proses pendidikan.
c. Kurikulum dimaksud untuk menyiapkan kebutuhan masyarakat atau lapangan
kerja, sehingga kurikulum mencerminkan hal-hal yang menjadi kebutuhan
masyarakat.
2.1.3.3 Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang dibuat untuk menyempurnakan
kurikulum sebelumnya yaitu KTSP. Dengan diberlakukanya kurikulum 2013
merupakan salah satu langkah Indonesia dalam perbaikan di bidang pendidikan.
Dengan penyempurnaan dari segi kurkulum diharapkan agar pendidikan di Indonesia
mengalami kemajuan. Tujuan utama yang ingin dicapai pemerintah seperti yang
dijelaskan oleh Herry Widyastono (2105:120) adalah terkait dengan SDM di
Indonesia. Dengan Kurikulum 2013 diharapkan agar SDM di usia produktif yang
akan mencapai puncaknya pada kisaran tahun 2020-2035 dapat ditranformasikan
menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan.
Pengembangan Kurikulum 2013 diorientasikan agar terjadi peningkatan dan
keseimbangan antara kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan, Majid
(2014:10).
2.1.3.4 Karakteristik Kurikulum 2013
Kemendikbud (2013) dalam Herry Widyastono (2015:131) menjelaskan
beberapa karakteristik dari Kurikulum 2013 sebagai berikut :
a. Mengembangkan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama
dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik secara seimbang.
b. Memberikan pengalaman belajar terencana ketika peserta didik menerapkan apa
yang dipelajari di sekolah ke masyarakan dan memanfaatkan masyarakat sebagai
sumber belajar secara seimbang.
16
c. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkanya
dalam berbagai situasi di sekolah maupun di masyarakat.
d. Meberikan waktu yang cukup leluasa untuk mengembangakan berbagai sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
e. Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih
lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran.
f. Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements)
kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran
dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi
inti.
g. Kompetensi dasar didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat
(reinforced), dan memperkaya (enriched), antarmata pelajaran dan jenjang
pendidikan.
2.1.4 Pendekatan Saintifik (scientific approach)
Permendikbud nomor 54 tahun 2013 menerangkan bahwa lulusan SD
sederajat harus memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan. Di ranah keterampilan
lulusan SD sederajat dituntut memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif
dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan
kepadanya. Pembelajaran saintifik lebih berorientasi dan memenuhi kriteria kelulusan
yang ditetapkan di Permendikbud no 54 tahun 2013.
Dengan adanya rencana pemerintah untuk pemerataan kurikulum 2013 maka
pembelajaran dengan pendekatan saintifik sudah harus menjadi hal yang wajib
diketahui oleh guru. Pendekatan saintifik dan Kurikulum 2013 adalah dua hal yang
sejalan, artinya Kurikulum 2013 memiliki kesesuaian dalam hal metode pembelajaran
dan standar kelulusan dengan pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik.
2.1.4.1 Pengertian Pendekatan Saintifik
Pendekatan saintifik berkaitan erat dengan metode saintifik karena dalam
proses belajar mengajar yang menerapkan pembelajaran saintifik harus menaati
kaidah-kaidah atau langkah-langkah dalam metode saintifik. Metode scientific
pertama kali diperkenalkan melalui ilmu pendidikan Amerika pada akhir abad ke-19,
sebagai penekanan pada metode laboratorium formalistik yang mengarah pada fakta-
fakta ilmiah (Rohandi, 2005:25).
17
Sani (2014:50-51) berpendapat bahwa metode saintifik (ilmiah) pada
umumnya melibatkan pengamatan atau observasi yang dibutuhkan untuk perumusan
hipotesis atau mengumpulkan data. Metode ilmiah pada umumnya dilandasi dengan
pemaparan data yang diperoleh melalui pengamatan atau percobaan. Pengamatan dan
percobaan tidak harus dalam arti luas, namun dalam arti sederhana dapat dilakukan
dengan kegiatan pengumpulan informasi dari berbagai sumber.
De Vito (1989) dalam Majid dan Rochman (2014:3) berpendapat bahwa
model pembelajaran yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan pendekatan
saintifik adalah yang memungkinkan terbudayakanya kecakapan berpikir sains,
terkembangnya sense of inquiry, dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pembelajaran
saitifik tidak hanya terpaku pada satu materi saja namun juga dapat diintegrasikan
berbagai materi dalam satu pembelajaran. Dalam konteks pemeblajaran di Sekolah
Dasar, siswa tidak hanya mempelajari suatu materi pelajaran di kegiatan belajarnya
namun berbagai materi pelajaran diintegrasikan kedalam satu pembelajaran. Siswa
dapat mempelajari matematika sembari bermain bola atau belajar pengetahuan alam
menggunakan lagu. Argumen ini diperkuat oleh Beyer (1991) “model pembelajaran
berbasis peningkatan keterampilan proses sains adalah model pembelajaran yang
mengintegrasikan keterampilan proses sain kedalam system penyajian materi secara
terpadu, Majid dan Rochman (2014:4)
Chain and Evan (1990) dalam Majid dan Rochman (2014:4) berpendapat
model pembelajaran berbasis keterampilan proses sains berpotensi membangun
kompetensi dasar hidup siswa melalui pengembangan keterampilan proses sain, sikap
ilmiah, dan proses konstruksi secara bertahap. Mereka juga menambahkan bahwa
ketarmpilan proses sain pada dasarnya adalah kemampuan dasar untuk belajar (basic
learning tool) yaitu kemampuan yang berfungsi membentuk landasan pada setiap
individu dalam mengembangkan diri.
Sani (2014:70) mengutip dari modul diklat Kurikulum 2013 bahwa
pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta
didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendeketan ilmiah,
bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja tidak tergantung pada
informasi searah guru. Oleh karena itu, kondisi pembelajaran yang diharapapkan
18
tercipta diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari dari berbagai
sumber observasi, bukan diberitahu.
Dari kondisi tersebut siswa diharapkan agar bisa merumuskan pembelajaran
berdasarkan informasi yang didapat dari observasi. Dari kegiatan observasi siswa
akan memiliki kemampuan analitik yaitu dapat mengambil keputusan dengan tepat
setelah mendapatkan informasi yang diobservasi.
Pendekatan scientific menjadikan pembelajaran lebih aktif dan tidak
membosankan, siswa dapat mengonstruksi pengetahuan dan keterampilannya melalui
fakta-fakta yang ditemukan dalam penyelidikan di lapangan guna pembelajaran.
Selain itu, dengan pembelajaran berbasis pendekatan scientific ini, siswa didorong
lebih mampu dalam mengobservasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan atau
mempresentasikan hal-hal yang dipelajari dari fenomena alam ataupun pengalaman
langsung (Kemendikbud, 2013: 203,212)
Sudarwan (2013) berpendapat dalam makalahnya pada Workshop Kurikulum
2013 menjelaskan bahwa pendekatan scientific bercirikan penonjolan dimensi
pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan dari suatu
kebenaran. Dengan demikian proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan
dipandu prinsip-prinsip, nilai-nilai, atau kriteria ilmiah. Sudarwan (2013) juga
menjabarkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi agar suatu pembelajaran dapat
dikatan pembelajaran ilmiah, yaitu
a. Substansi atau materi pembelajaran berbasis fakta atau fenomena yang dapat
dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira,
khayalan, legenda atau dongeng semata.
b. Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik
terbebas dari prasangka yang semerta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran
yang menyimpang dari alur pemikiran logis.
c. Mendorong dan menginspirasi peserta didik agar berpikir kritis, analitis dan tepat
dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan
substansi atau materi pembelajaran.
d. Mendorong dan menginspirasi peserta didik agar dapat berpikir hipotetik dalam
melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari substansi atau meteri
pembelajaran.
19
e. Berbasis pada konsep, teori dan fakta empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan.
f. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik
sistem penyajiannya.
Dengan berbagai penjelasan pakar diatas maka pembelajaran saintifik adalah
pembelajaran yang dilakukan dengan berpijak berdasarkan teori-teori maupun fakta-
fakta ilmiah yang disusun dengan merencanakan pembelajaran secara sederhana tetapi
menghasilakan penyajian belajar yang menarik dengan tujuan pembelajaran agar
siswa dituntut untuk berpikir berpikir kritis, analitis dan tepat dalam mengidentifikasi,
memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi
pembelajaran dengan menggunakan berbagai sumber belajar guna menunjang
pembelajaran yang aktif dan efektif
2.1.4.2 Konsep Pendekatan Saintifik
Di ranah pendidikan dasar guru tidak selalu menjadi sumber belajar yang
utama. Dalam pendekatan pembelajaran saintifik siswa dapat memperoleh sumber dan
informasi pengetahuan dari mana saja dan kapan saja. Aktivitas belajar mengajar
tidak harus dilaksanakan di dalam kelas dengan keterikatan guru dan mata pelajaran
sebagai sumber belajar. Siswa dapat melakukan aktivitas untuk memperoleh informasi
dari sumber apapun dengan bimbingan guru. Sani (2014:51) menggambarkan
komponen aktivitas pembelajaran saintifik sebagai berikut.
Perumusan
Hipotesis
Hasil/Data
Eksperimen dan
Observasi
Kesmpulan
Teori dan Model
Observasi
Gambar 1
Gambar diagram komponen aktivitas pembelajaran saintifik, Sani
(2014:51)
20
Gambar diagram di atas menggambarkan proses pembelajaran saintifik secara
garis besar berdasarkan argumen dari Sani. Berangkat dari teori dan model
pembelajaran dalam hal ini siswa dapat melakukan observasi dan eksperimen guna
mencari data dan informasi yang dibutuhkan. Setelah data diperoleh akan diproses
dan hasil dari penelitian akan muncul dalam bentuk kseimpulan. Data tidak harus
diubah dalam bentuk kesimpulan tetapi data juga dapat diobservasi kembali. Setelah
kedua tindakan tersebut dilakukan maka akan muncul sebuah hipotesis berdasarkan
kesimpulan tersebut. Hipotesis juga masih dapat diobservasi kembali dan terus
bersiklus sampai didapatkan hasil yang maksimal.
Dyer dkk berpendapat dalam Sani (2014:53) bahwa konsep pengolahan data
seperti yang tergambar diatas merupakan ciri pembelajaran saintifik, dan dapat
digunakan untuk membentuk keterampilan yang inovatif. Menurut Dyer dkk.
Keterampilan inovatif yang dimaksud adalah keterampilan untuk : 1) observasi,
2) bertanya, 3) melakukan percobaan, 4) asosiasi (menghubungkan dan menalar) dan
5) membangun jaringan(networking). Berdasarkan terori Dyer, kelima tahapan
pembelajaran saintifik tersebut tidak harus dilakukan secara kaku. Sani (2014:54)
menambahkan aktivitas belajar dapat disesuaikan dengan pengetahuan yang hendak
dipelajari. Pada suatu pembelajaran mungkin bisa dilakukan observasi terlebih
dahulu. Mungkin di pembelajaran yang lain melakukan menanya dahulu kemudian
disusul observasi. Aktivitas membangun jaringan (networking) juga dapat dilakukan
untuk menunjang aktivitas observasi.
Sani (2014:54) juga menambahkan bahwa komponen pembelajaran saintifik
dapat digambarkan sesuai kebutuhan. Komponen tersebut digambarkan dalam bentuk
piramida kebutuhan sebagai berikut.
Gambar 2
Komponen piramida kebutuhan pembelajaran saintifik
21
Majid dan Rochman (2014:3) berargumentasi bahwa pembelajaran saintifik
merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam
membangun pengetahuan melalui metode ilmiah.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan scientific
merupakan pendekatan dalam proses pembelajaran yang mengintegrasikan
keterampilan sains yaitu mencari tahu sendiri fakta-fakta dan pengetahuan yang
dikaitkan dengan materi pembelajaran. Pembelajaran saintifik merupakan
pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun
pengetahuan melalui metode ilmiah. Model pembelajaran yang diperlukan adalah
yang memungkinkan terbudayakannya kecakapan berpikir sains, terkembangkannya
sense of inquiry dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pendekatan scientific lebih
menekankan kepada peserta didik sebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara
aktif.
2.1.4.3 Unsur-Unsur Pendekatan Saintifik
Majid & Rochman (2014:72) mendefinisikan kelebihan pembelajaran berbasis
ilimiah atau scientific learning itu lebih efektif hasilnya dibandingkan pembelajaran
tradisional. Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional
retensi informasi dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit dan perolehan
pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan
ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar 90 persen setelah dua hari, dan perolehan
pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen.
Dalam materi pedoman implementasi Kurikulum 2013 yang dikeluarkan oleh
kemendikbud dijelaskan bahwa pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua
jenjang pendidikan dilaksanakan menggunakan pendekatan scientific. Majid &
Rochman (2014:73) berpendapat bahwa proses pembelajaran ilmiah harus menyentuh
tiga ranah yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran
berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi
ajar agar peserta didik tahu tentang “mengapa”. Ranah keterampilan menggamit
transformasi subtansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang “bagaimana”.
Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi peserta didik tahu tentang
22
“apa”. Majid & Rochman (2014) di halaman berikutnya juga menambahkan hasil
akhir dari proses pembelajaran menggunakan metode ilmiah adalah peningkatan dan
keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang lebih baik (soft skill)
dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak
(hard skill) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan,
dan pengetahuan.
Metode ilmiah merupakan teknik untuk merumuskan permasalahan dalam
bentuk pertanyaan kemudian menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan kegiatan
observasi atau melaksanakan percobaan. Majid & Rochman (2014:74) mejabarkan
tujuh langkah dalam pelaksanaan metode ilmiah yaitu: merumuskan pertanyaan,
merumuskan latar belakang penelitian, merumuskan latar belakang penelitian,
merumuskan hipotesis, menguji hipotesisi melalui percobaan, manganalisis hasil dan
merumuskan kesimpulan, dan melaporkan hasil. Setelah ketujuh langkah selesai,
observer juga dapat melakukan uji coba kesimpulan kembali apakah relevan atau
tidak. Langkah-langkah diatas mencakup aktivitas eksplorasi, elaborasi dan
konfirmasi yang bertujuan untuk meyakinkan bahwa ilmu pengetahuan yang telah
siswa ketahui teruji kebenaranya Majid & Rochman (2014:74). Mereka juga
menambahkan bahwa dalam penerapan Kurikulum 2013 , siswa menggali informasi
dengan diawali dengan mengamati dan bertanya, lalu siswa mendalami informasi
untuk menjawab pertanyaan. Model pembelajaran seperti ini sangat cocok jika
dilaksanakan menggunakan pendekatan ilmiah, karena ketujuh aspek dalam konsep
pendekatan ilmiah menurut Majid & Rochman sudah mencakup model pembelajaran
yang diharapkan dalam Kurikulum 2013.
2.1.4.4 Prinsip-Prinsip Pendekatan Saintifik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) prinsip merupakan
kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya. Untuk
melakukan pembelajaran dengan pendekatan saintifik, wajib untuk mengatuhui dasar
untuk bertindak dalam melakukan pembelajaran tersebut yang disebut prinsip
pendekatan saintifik. Terdapat beberapa prinsip dalam pendekatan saintifik. Hosnan
(2014:37) menjabarkan delapan prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan
pembelajaran menggunakan pendekatan saitifik. Kedelapan prinsip Hosnan adalah
sebagai berikut :
23
1. Pembelajaran berpusat pada siswa; 2) pembelajaran membentuk students
self-concept; 3) pembelajaran terhindar dari verbalisme; 4) pembelajaran
memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi
konsep, hukum, dan prinsip; 5) pembelajaran mendorong terjadinya
peningkatan kemampuan berpikir; 6) pembelajaran meningkatkan motivasi
belajar siswa dan motivasi mengajar guru; 7) memberikan kesempatan pada
siswa untuk melatih kemampuan dalam berkomunikasi; 8) adanya proses
validasi terhadap kosep, hukum, dan prinsip yang dikonstruksi siswa dalam
struktur kognitifnya.
Kedelapan prinsip Hosnan mengisyaratkan bahwa guru dalam menghadapi
Kurikulum 2013 harus mempersiapkan pembelajaran menggunakan pendekatan
saintifik. Pada poin pertama hosnan mendefinisikan bahwa pembelajaran berpusat
pada siswa, artinya segala bentuk usaha dan aktivitas pembelajaran siswa harus
berperan aktif. Selain itu guru hanya menjadi pihak kedua dalam pembelajaran yang
berarti guru hanya membantu siswa jika terdapat kesulitan, membenarkan kesalahan
siswa dan membimbing siswa. Siswalah yang menjadi pemeran utama dalam
pembelajaran. Pembelajaran tradisional guru lebih mendominasi pembelajaran
dibanding siswa. Pembelajaran yang terjadi hanya satu arah yaitu guru ke siswa. Hal
ini tidak sejalan dengan prinsip Hosnan.
Poin yang kedua tentang prinsip pendekatan saintifik Hosnan adalah students
self-concept. Artinya melalui pembelajaran tersebut siswa diharapakan mengenali
dirinya sendiri, kecenderungan prilakunya sendiri, dan karakteristiknya sendiri. Jadi
siswa akan menemukan gambaran dirinya melalui aktivitas-aktivitas yang dirancang
oleh guru. Setelah siswa mengetahui akan konsep dirinya sendiri, guru membimbing
siswa untuk membentuk konsep diri siswa agar menjadi lebih baik.
Prinsip selanjutnya adalah pembelajaran terhindar dari verbalisme. Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan arti kata verbalisme yaitu “ajaran
(pandangan) dalam dunia pendidikan (pengajaran) yang mendidik anak untuk banyak
menghafal”. Guru tidak boleh mendominasi pembelajaran dengan metode
ceramahnya atau mendorong siswa untuk menghafal materi pembelajaran secara
besar. Guru di tuntut untuk menyuguhkan serta menanamkan konsep suatu materi
kepada siswa agar siswa mengerti materi tersebut melalui caranya masing-masing.
Prinsip ke-empat yaitu pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa
untuk mengasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip. Asimilasi
seperti yang terdefinisikan di KBBI berbunyi “penyesuaian (peleburan) sifat asli yang
24
dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar” sedangkan akomodasi “sesuatu yang
disediakan untuk memenuhi kebutuhan”. Untuk itu siswa melalui pembelajaran
dengan pendekatan saintifik diharapkan bisa menyelaraskan gagasan, konsep, hukum
serta prinsip sesuai pandangan mereka sesuai pandangan materi yang diajarkan.
Mengakomodasi berarti siswa diharapkan bisa menyinkronkan gagasan, konsep,
hukum serta prinsip sesuai pengertian guru menggunakan sekema pembelajaran yang
telah distimulus siswa dengan konsep pemahaman masing-masing siswa.
Prinsip keenam yaitu pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan
motivasi mengajar guru, artinya tidak ada siswa yang malas belajar dan guru malas
dalam memberikan pengajaran yang ideal. Pembelajaran disusun dengan berbagai
aktivitas yang menstimulus semangat belajar siswa dan memberikan motivasi belajar
siswa.
Prinsip ketujuh yaitu memberikan kesempatan pada siswa untuk melatih
kemampuan dalam berkomunikasi. Seperti yang telah dijelaskan pada poin pertama
dan ketiga bahwa guru tidak boleh mendominasi jalanya kegiatan belajar. Dalam hal
ini juga bertujuan untuk melatih keaktifan siswa salah satunya dalam hal
berkomunikasi. Untuk itu guru harus berusaha memberikan pancingan siswa untuk
mengeluarkan gagasanya dan dapat bertukar gagasan dengan siswa lain.
Prinsip kedelapan yaitu adanya proses validasi terhadap kosep, hukum, dan
prinsip yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya. Dalam hal ini guru
bertindak sebagai ahli materi yang membenarkan pemahaman tentang kosep, hukum,
dan prinsip sesuai cara masing-masing siswa agar tidak terjadi miskonsepsi materi.
Tahap ini dalam KTSP disebut konfirmasi.
Dalam pelaksanaannya untuk mencapai kedelapan prinsip tersebut harus ada
interaksi yang ideal antara guru, siswa dan lingkungan belajar. Guru dalam
melaksanakan pembelajaran saintifik memiliki tugas yang sangat berat karena tidak
hanya dituntut untuk mewujudkan pembelajaran dengan baik tetapi juga harus
membentuk perilaku siswa di dalam proses pembelajaran. Hasil berupa penguasaan
materi bukanlah tujuan utama dalam pendekatan ini, tetapi hasil dinilai dari berbagai
segi yaitu koknitif, afektif, dan psikomotor. Lingkungan belajar juga memiliki andil
yang besar karena dengan ketersiadan sumber belajar yang memadai akan
mempermudah guru dalam mewujudkan pembelajaran dengan pendekatan saintifik.
25
2.1.4.5 Langkah-Langkah Pendekatan Saintifik
Pembelajaran Kurikulum 2013 menerapkan pendekatan ilmiah. Majid &
Rochman (2014:75) mendefinisikan bahwa Kurikulum 2013 menekankan pada
dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan
ilmiah. Dalam penerapnya, saat proses pembelajaran maka diperlukan langkah-
langkah agar tidak terjadi kesalah pahaman dan kegagalan pembelajarannya. Berikut
penjelasan dari berbagai pendapat tentang langkah-langkah pendekatan ilmiah atau
saintifik.
Menurut Majid & Rochman (2014:75) “Pendekatan ilmiah (scientific
approach) dalam pembelajaran semua mata pelajaran meliputi menggali informasi
melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi,
menyajikan data atau informasi dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian
menyimpulkan dan mencipta”. Sebagaimana yang dimaksud dalam pendapat tersebut
bahwa pembelajaran yang dilakukan harus meliputi beberapa aspek yaitu mengamati,
menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta dari semua
mata pelajaran. Berikut penjabaran dari delapan langkah pembelajaran saintifik
menurut Majid & Rochman.
a. Mengamati
Mengamati adalah kegiatan yang cukup mudah dalam pelaksanaanya.
Berkaitan dengan aktivitas belajar siswa, kegiatan mengamati adalah bentuk
pengumpulan berbagai informasi yang memiliki kaitan dengan materi yang diajarakan
oleh guru. Kegiatan mengamati ini juga sebagai bentuk latihan agar siswa
berkesempatan mengasah rasa ingin tahu mereka. Selain itu bagi beberapa anak yang
memiliki rasa ingin tahu tinggi, kegiatan ini menjadi kegiatan untuk memenuhi
kepuasan akan rasa ingin tahu mereka. Kegiatan ini juga memiliki kelemahan.
Menurut Majid & Rochman (2014:75) “tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka
pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya
dan tenaga yang relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna
serta tujuan pembelajaran”.
Kegiatan mengamati atau observasi merupakan kegiatan yang melibatkan
siswa secara langsung, untuk itu guru harus memahami bentuk keterlibatan siswa
dalam kegiatan ini. Majid & Rochman (2014:76) menjabarkan tiga jenis observasi,
26
yaitu: 1) observasi biasa (common observation); 2) observasi terkendali (controlled
observation); 3) observasi partisipatif (participant observation).
Kegiatan observasi akan efektif jika siswa melengkapi diri dengan alat-alat
pencatatan dan alat-alat lain yang menunjang, seperti: tape recorder yang digunakan
untuk merekam data informasi berupa audio, kamera yang digunakan untuk
menangkap data atau informasi dalam bentuk visual, film atau video yang dapat
digunakan menangkap informasi atau data berupa audio visual serta alat-alat lain
sesuai keperluan. Lebih lengkapnya alat atau instrument penunjang observasi dapat
berupa daftar cek (check list), skala rentan (rating scale), catatan berupa anecdot
(anecdotal record) serta instrument yang lain.
b. Menanya
Setelah siswa melakukan kegiatan observasi dan sudah memperoleh berbagai
data yang diperlukan, seringkali siswa memperoleh data dalam kondisi yang menurut
mereka tidak sepaham dengan pemahaman mereka. Dengan kondisi ini jika dibiarkan
maka hal yang terjadi adalah siswa akan mengalami miskonsepsi materi pelajaran dan
jika ketidak sepahaman mereka tidak terjawab akan berdampak pada motivasi belajar
mereka yang menurun. Di sinilah kegiatan menanya diperlukan. Guru harus bertindak
sebagai pihak yang bisa mengkonfirmasi ketidapahaman siswa.
Turney (1979) dalam Majid & Rochman (2014) mengidentifikasikan 12 fungsi
pertanyaan dalam proses pembelajaran.
1.) Membangkitkan minat dan rasa keingintahuan tentang suatu topik.
2.) Memusatkan perhatian pada masalah tertentu.
3.) Menggalakan penerapan belajar aktif.
4.) Merangsang siswa mengajukan pertanyaan sendiri.
5.) Menstrukturkan tugas-tugas hingga kegiatan belajar dapat berlangsung
secara maksimal.
6.) Mendiagnosis kesulitan belajar siswa.
7.) Mengkomunikasikan dan merealisasikan bahwa semua siswa harus terlibat
secara aktif dalam pembelajaran.
8.) Menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mendemonstrasikan
pemahaman tentang informasi yang diberikan.
27
9.) Melibatkan siswa dalam memanfaatkan kesimpulan yang dapat
mendorong mengembangkan proses berpikir.
10.) Mengembangkan kebiasaan menanggapi pertanyaan teman atau
pertanyaan guru.
11.) Memberikan kesempatan untuk belajar diskusi.
12.) Menyatakan perasaan dan pikiran murni kepada siswa.
Kegiatan menanya juga memberikan wadah siswa untuk saling bertukar
gagasan berupa informasi antar siswa maupun siswa dengan guru. Kegiatan ini akan
mengakibatkan suasan kelas yang dinamis dan alur informasi berjalan ke berbagai
arah.
c. Menalar
Dalam Kurikulum 2013 istilah menalar selaras dengan associating; bukan
mengacu pada reasoning, artinya dalam kegiatan ini siswa tidak hanya berpikir
menyambungkan gagasan mereka dalam angan-angan saja tetapi juga siswa harus
memberikan relasi antara gagasan yang ada dalam pikiran mereka dengan informasi
secara fakta yang mereka temukan. Pengalaman-pengalaman yang telah mereka
dapatkan sebelumnya dikombinasikan dengan pengalaman baru yang mungkin asing
bagi mereka..
Majid & Rochman (2014:87) menjelaskan bahwa teori asosiasi ini sangat
efektif menjadi landasan menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada siswa
berkenaan dengan nilai-nilai intrinsik dari pembelajaran partisiipatif. Majid &
Rochman (2014:87) membagi dua bentuk teknik penalaran yaitu menalar secara
induktif dan deduktif. Menalar secara induktif adalah proses penarikan kesimpulan
dari kasusu-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi
simpulan yang bersifat umum. Sedangkan menalar secara deduktif adalah menerapkan
hal-hal yang bersifat umum terlebih dahulu untuk kemudian digabungkan kedalam
bagian-bagianya yang khusus.
d. Mengolah
Dalam kegiatan mengolah data atau informasi, siswa lebih dianjurkan untuk
bekerja sacara kolaboratif. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan kebenaran dari
suatu informasi. Dikatakan maksimal karena saat terjadi pengolahan secara kelompok
maka akan terjadi pertukaran gagasan dan perbedaan pemahaman dari satu siswa
28
dengan siswa lain. Hal ini memicu mengerucutnya gagasan dan pengolahan data akan
menghasilkan hasil yang mendekati sempurna jika disbanding dengan pengolahan
secara individu. Dalam kegiatan ini guru bertindak sebagai fasilitator dan manager di
dalam kegiatan belajar siswa. Guru harus bisa mengontrol jalanya kegiatan mengolah
data setiap kelompok agar berjalan tanpa pemasalahan. Pada intinya pengolahan data
tidak selalu guru yang memproses data sehingga siswa hanya menerima dari guru.
e. Mencoba
Kegiatan ini biasa disebut dengan eksperimen. Menurut Majid & Rochman
(2014:90) bahwa untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau autentik, siswa
harus mencoba melakukan percobaan, khususnya pada materi yang sesuai karena
tidak setiap materi dapat dilaksanakan percobaan. Kegiatan mencoba atau eksperimen
ini dapat mencakup tiga ranah belajar, yaitu sikap keterampilan dan pengetahuan.
Aktivitas pembelajaran yang nyata dan dapat diterapkan adalah sebagai berikut : 1)
menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan
kurikulum; 2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan
harus disediakan; 3) mempelajari teori-teori yang relevan dan hasil eksperimen
sebelumnya; 4) melakukan dan mengamati percobaan; 5) mencatat fenomena yang
terjadi, menganalisis, dan menyajikan data; 6) menarik simpulan atas hasil percobaan;
7) membuat laporan dan menkomunikasikan hasil percobaan. Majid & Rochman juga
menjelaskan tujuh contoh aktivitas nyata yang dapat dilakukan oleh guru dalam
kegiatan mencoba, yaitu: 1) guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yang
akan dilakukan oleh siswa; 2) guru bersama siswa mempersiap perlengkapan yang
diperlukan; 3) perlu memperhitungkan tempat dan waktu; 4) guru menyediakan kertas
kerja untuk pengarajan kegiatan murid; 5) guru membicarakn masalah yang akan
dijadikan eksperimen; 6) membagi kertas kerja kepada murid; 7) murit melaksanakan
eksperimen dengan bimbingan guru; 8) guru mengumpulkan hasil kerja murid dan
mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara klasikal. Dapat dilihat
bahwa peran siswa sangat dominan untuk itu guru harus jeli dalam menganalisa
tindakan siswa agar tidak terjadi kesalahan yang fatal. Tidak menutup kemungkinan
bahwa siswa akan melakukan kesalahan karena pada dasarnya dalam kegiatan
mencoba kali ini, siswa dituntut unuk belajar dari pengalam yang mereka dapatkan.
Peran guru sangat penting untuk membentengi siswa dalam mencoba untuk tidak
membuat terlalu banyak kesalahan dan keluar dari kegiatan.
29
f. Menyimpulkan
Aktivitas menyimpulkan dapat dikerjakan secara berkelompok. Kegiatan ini
siswa harus memiliki hasil berupa produk dalam bentuk simpulan dari pembelajaran.
Aktivitas ini pada intinya menjawab pertanyaan pokok dari tujuan kegiatan/proses
pembelajaran. Kegiatan menyimpulkan dapat menjadi ajang saling tukar pendapat
karena pastinya pemikiran setiap siswa berbeda..
g. Menyajikan
Kegiatan ini adalah berupa hasil tugas yang dikerjakan bersama-sama secara
kelompok dapat disajikan dalam bentuk laporan tertulis dan dapat dijadikan satu
bahan untuk portofolio kelompok dan/atau individu yang sebelumnya dikonsultasikan
terlebih dahulu kepada guru. Perlu adanya penyelarasan dari guru berdasarkan sumber
agar tidak terjadi perdebatan antar pendapat siswa yang berkepanjangan
h. Mengkomunikasikan
Pada kegiatan akhir siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan hasil
pekerjaan yang telah disusun, baik secara individu maupun secara kelompok.
Kegiatan mengomunikasikan dapat dilakukan dalam bentuk pajangan berupa madding
atau lisan dalam bentuk presentasi. Selain itu berbagai media dapat berperan sebagai
perantara untuk kegiatan mengomunikasikan ini.
Dapat disimpulkan dalam kegiatan pembelajaran siswa dituntut aktif untuk
melakukan observasi melalui kegiatan mengamati. Pastinya terdapat berbagai hal
yang tidak dapat diterima begitu saja oleh karena itu siswa perlu melakukan kegiatan
menanya kepada berbagai sumber khususnya guru. Setelah mendapatkan gambaran
materi yang lengkap siswa juga perlu mengolah materi tersebut sehingga bisa
mendaptkan informasi dan materi yang sistematis dan mudah dipahami bagi mereka.
Pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik juga harus melakukan kegiatan
percobaan setelah siswa memiliki informasi yang cukup. Hal ini penting karena untuk
merealisasikan materi yang telah mereka dapat untuk diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu kegiatan mencoba juga bertujuan untuk mendapatkan
pengalaman baru sehingga aspek afektif dan psikomotorik siswa terlatih. Kegiatan
mencoba diakhiri dengan pengambilan simpulan yang di asosiasikan dengan berbagai
pendapat siswa lain sehingga akan mendaptkan hasil yang lebih maksimal. Peran guru
30
juga penting dalam pembuatan simpulan karena untuk mencegah kegagalan
pemahaman yang diperoleh siswa. Pada akhirnya siswa akan mengkomunikasikan
agar kegiatan pembelajaran mereka dapat diakui dan diapresiasi oleh berbagai pihak
yang bersangkutan.
2.1.4.6 Metode Belajar Pendekatan Saintifik
Pembelajaran berdasarkan pendekatan saintifik dapat dilakukan dengan
berbagai metode. Penggunaan metodenya juga harus sesuai berdasarkan langkah-
langkah serta prinsip yang telah dijelaskan di atas. Untuk itu dibutuhkan metode
belajar guna menerapkan pendekatan saintik dalam proses belajar mengajar. Namun
tidak semua metode pembelajaran bisa diterapkan dalam pembelajaran saintifik.
Seperti penjelasan sebelumnya bahwa pendekatan saintifik memiliki enam langkah
yang harus dicapai. Beberapa metode belajar tidak bisa mencakup keenam aspek
tersebut. Untuk itu sebagai guru wajib mengetahui beberapa metode belajar yang
dapat digunakan dalam pembelajaran saintik. Menurut Sani (2014:76) “metode yang
sesuai dengan pendekatan pembelajaran saintifik antara lain: pendekatan berbasis
inkuiri, pembelajaran penemuan (discovery learning), pembelajaran berbasis masalah
(problem based learning), pembelajaran berbasis proyek (project based learning) dan
metode lain yang relevan.
a. Pembelajaran Berbasisi Inkuiri (Inquiry Based Learning)
Inkuiri adalah proses menjawab pertanyaan dan menyelesaikan masalah
berdasarkan fakta dan pengamatan. Pembelajaran berbasis inkuiri (IBL) adalah
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam merumuskan pertanyaan yang
mengarakhakan untuk melakukan investigasi dalam membangun pengetahuan dan
makna baru. Pembelajaran dengan pendekatan IBL selalu mengusahakan agar
siswa selalu aktif secara mental maupun fisik. Materi yang disajikan guru bukan
begitu saja diberitahukan dan diterima oleh siswa, tetapi siswa diusahakan
sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh berbagai pengalaman dalam
rangka menemukan sendiri konsep-konsep yang direncanakan oleh guru.
b. Pembelajaran Berbasis Penemuan (Discovery Based Learning)
Pembelajaran berbasis discovery pada dasarnya hampir sama dengan
pembelajaran inkuiri. Discovery adalah menemukan konsep melalui serangkaian
data atau informasi yang diperoleh melalui serangkaian pengmatan atau
31
percobaan. Jadi belajar dengan menemukan (discovery) adalah bagian dari inkuiri.
Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang
diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru,
sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus
mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-
temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.
c. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Problem based learning (PBL) merupakan pembelajaran yang
penyampaiannya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan,
mengajuka pertanyaan-pertanyaan, memfasilitasi penyidikan, dan membuka
dialog. Pembelajaran ini menuntut siswa untuk selalu melakukan penyelidikan dan
menyelesaikan permasalahan dan guru hanya sebagai fasilitor. Model
pembelajaran PBL dapat diartikan sebagai sebuah model pembelajaran yang
didalamnya melibatkan siswa untuk memecahkan masalah dengan melalui
tahapan metode ilmiah sehingga siswa diharapkan dapat mempelajari
peemasalahan yang berkaitan dengan masalah tersebut sekaligus siswa memiliki
kemampuan untuk memecahkan masalah, Kamdi (2007:77).
d. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Pembelajaran berbasis proyek dapat merupakan pendekatan, strategi atau
metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, bersifat antar disiplin ilmu, dan
berjangka waktu panajang. Pembelajaran berbasis proyek dapat didefinisikan sebagai
pembelajaran dengan aktivitas jangka panjang yang melibatkan siswa dalam
merancang, membuat, dan menampilakan produk untuk mengatasi permasalahan
dunia nyata. Dengan kata lain bahwa pembelajaran berbasis proyek adalah sebuah
model pembelajaran yang menggunakan proyek (kegiatan) sebagai inti pembelajaran.
Dalam kegiatan ini, siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, dan sintesis
informasi untuk memperoleh berbagai hasil belajar (pengetahuan, keterampilan, dan
sikap).
32
2.1.5 Metode Belajar Discovery Learning
2.1.5.1 Pengertian Discovery Learning
Discovery berasal dari kata discover dalam bahasa Indonesia dapat diartikan
menemukan. Menurut Oxford Dictionary kata discover didefiniskan sebagai berikut”
Find unexpectedly or during a search”, jika diartikan dalam bahasa Indonesia
discover yaitu menemukan hal tak terduga selama dalam pencarian tersebut. Menurut
(Illahi, 2012:29) mengatakan bahwa pengertian discovery dapat ditinjau melalui kata
dasarnya yaitu discover yang berarti menemukan, sedangkan discovery adalah
penemuan. Menurut Oemar Hamalik (1994:90-91) menyatakan bahwa discovery
adalah proses pembelajaran yang menitikberatkan pada mental intelektual para anak
didik dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi, sehingga menemukan
suatu konsep atau generalisasi yang dapat diterapkan di lapangan.
Masarudin Siregar, 1985 menyatakan bahwa discovery by learning adalah
proses pembelajaran untuk menemukan sesuatu yang baru dalam kegiatan belajar
mengajar, Illahi (2012:30). Sedangkan Mulyasa (2005:110) menyatakan bahwa
Discovery Strategy merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pengalaman
langsung di lapangan, tanpa harus bergantung pada teori-teori pembelajaran yang ada
pada buku pedoman pembelajaran. Mulyasa mengindikasikan bahwa pembelajaran
discovery tidak hanya terpaku pada teori-teori dari buku, melainkan mengutamakan
pengalaman sebagai tujuan utama yang nantinya diakumulasi serta dirangkai kedalam
beberapa bentuk konsep pengetahuan.
Tokoh penemu pembelajaran berbasis penemuan (Discovery Learning) adalah
Bruner. Bruner dalam Illahi (2102:43) meyakini bahwa strategi pembelajaran dinilai
sangat efektif dan efisien dalam mendayagunakan skill para anak didik dalam
memahami arti pendidikan yang sebenarnya. Ia juga menegaskan bahwa hal
terpenting dalam proses pembelajaran adalah kemampuan untuk menangkap
persoalan dengan mempertimbangkan yang matang, sehingga hasil yang akan dicapai
dapat memberikan motivasi bagi peningkatan belajar anak didik, Illahi (2012:43).
Illahi (2012:34) berpandangan bahwa Discovery Strategy merupakan salah
satu metode yang memungkinkan para anak didik terlibat langsung dalam kegiatan
belajar mengajar, segingga mampu menggunakan proses mentalnya untuk
33
menemukan suatu konsep atau teori yang sedang dipelajari. Dengan kata lain,
landasan pemikiran yang mendasari pendekatan belajar mengajar ini bisa lebih mudah
dihafal dan diingat, serta dapat ditransformasikan dalam menghadapi kompleksitas
kehidupan yang sangat pelik. Illahi (2012:46) berpendapat bahwa penerapan
Discovery Strategy mempunyai implikasi yang sangat besar guna meningkatkan
keterampilan hidup anak didik dalam menghadapi persaingan yang semakin
kompetitif.
Berdasarkan berbagai pendapat pakar diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Discovery Learning adalah salah satu metode belajar dimana menuntut siswa
agar menemukan informasi atau nilai-nilai baru yang terkandung di dalam proses
pembelajaran tersebut sehingga informasi dan nilai-nilai tersebut diakumulasi dan
dirangkai berdasarkan pengalaman menjadi konsep pengetahuan.
2.1.5.2 Kelebihan dan Kelemahan Discovery Learning
Semua metode belajar pasti memiliki kelebihan dan kelemahanya masing-
masing. Tidak ada satu metode belajar yang cocok digunakan dalam berbagai situasi
belajar. Untuk itu guru harus jeli dalam memilih metode yang cocok untuk digunakan
dalam menjalankan proses belajar mengajar. Salah satu dampak jika guru menerapkan
metode belajar yang kurang tepat adalah tidak tercapainya tujuan belajar tersebut, dan
jika hal tersebut terjadi maka pembelajaran dapat dikatakan gagal. Metode Discovery
Learning sendiri juga memiliki kelebihan dan kelemahan dan berikut penjelasanya.
Illahi (2012:70) menjelaskan lima kelebihan Discovery Learning sebagai
berikut:
a. Dalam penyampaian bahan Discovery Strategy, digunakan kegiatan dan
pengalaman langsung. Kegiatan dan pengalaman tersebut akan lebih menarik
perhatian anak didikdan memungkinkan pembentukan konsep-konsep abstrak
yang mempunyai makna.
b. Discovery Strategy lebih realistis dan mempunyai makna. Sebab, para anak
didik dapat bekerja langsung dengan contoh-contoh nyata. Mereka langsung
menerapkan berbagai bahan uji coba yang diberikan guru, sehingga mereka
dapat bekerja sesuai dengan kemampuan intelektual yang dimiliki.
34
c. Discovery Strategy merupakan suatu model pemecahan masalah. Para anak
didik langsung menerapkan prinsip dan langkah awal dalam pemecahan
masalah.
d. Dengan sejumlah transfer secara langsung, maka kegiatan Discovery Strategy
akan lebih mudah diserap oleh anak didik dalam memahami kondisi tertentu
yang berkenaan dengan aktivitas pembelajaran.
e. Discovery Strategy banyak memberikan kesempatan bagi para anak didik
untuk terlibat langsung dalam kegiatan belajar. Kegiatan demikian akan
banyak memberikan motivasi belajar, karena disesuaikan dengan kebutuhan
dan minat mereka sendiri.
Nana Syaodih (2005:184) mengatakan bahwa Discovery Strategy menitik
beratkan pada kemampuan mental dan fisik para anak didik yang akan memperkuat
semangat dan konsentrasi mereka dalam melakukan kegiatan discovery. Selain itu
Illahi (2012:69) menambahkan bahwa keistimewaan Discovery Strategy bagi para
anak didik tidak sekedar keterampilan dalam mengkaji suatu persoalan, melainkan
juga kemampuan dalam mengkaji informasi dan fakta konkret mengenai suatu hal
yang dianggap penting. Ridwan Abdullah Sani (2014:98) menjelaskan bahwa
kegiatan discovery melalui kegiatan eksperimen dapat menambah pengetahuan dan
keterampilan peserta didik secara simultan. Dengan demikian metode discovery
memiliki banyak manfaat bagi perkembangan siswa jika dilakukan dengan tepat
terhadap subyek yang juga mampu.
Metode Discovery Learning pasti juga memiliki kelemahan. Menurut Illahi
(2012:72) menjelaskan empat kelemahan dari metode Discovery Learning yaitu:
a. Berkenaan dengan waktu. Belajar mengajar menggunakan Discovery Strategy
membutuhkan waktu yang lama dibandingkan dengan metode langsung. Hal
ini disebabkan untuk dapat memahami strategi ini, dibutuhkan tahapan-
tahapan yang panjang dan kemampuan memanfaatkan waktu yang sebaik-
baiknya.
b. Bagi anak didik yang berusia muda, kemampuan berfikir rasional masih
terbatas, sering mereka menggunakan empirisnya yang sangat subyektif untuk
memperkuat pelaksanaan prakonsepnya.
35
c. Kesukaran dalam menggunakan faktor subyektifitas ini dapat menimbulkan
kesukaran dalam memahamisuatu persoalan yang berkenaan dengan
pengajaran Discovery Strategy.
d. Faktor kebudayaan dan kebiasaan. Belajar Discovery Strategy menuntut
kemandirian, kepercayaan dirinya sediri, dan kebiasaan bertindak sebagai
subyek. Tuntutan terhadap pembelajaran Discovery Strategy, sesungguhnya
membutuhkan kebiasaan yang sesuai dengan kondisi anak didik.
Berdasarkan penjelasan tersebut mengidikasikan bahwa metode Discovery
Learning tidak selamanya cocok diterapkan dalam pembelajaran. Ada saatnya
pembelajaran ini menjadi sebuah permasalahan dalam sebuah pembelajaran jika guru
tidak pandai dalam melihat situasi yang mereka hadapi. Dengan penjelasan tentang
kelebihan dan kelemahan pembelajaran discovery tersebut, guru diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan kemudian memutuskan metode yang tepat dalam
pembelajaran.
Menurut Sapriati (2009:28) ada dua macam atau jenis pembelajaran
penemuan, yaitu pembelajaran penemuan murni (free discovery) dan pembelajaran
penemuan terarah atau penemuan terbimbing (guided discovery). Pembelajaran
penemuan murni (free discovery) merupakan pembelajaran penemuan tanpa adanya
petunjuk atau arahan. Sedangkan pembelajaran penemuan terarah/terbimbing (guided
discovery) merupakan pembelajaran yang membutuhkan peran guru sebagai fasilitator
dalam proses pembelajarannya. Diputuskan dalam penelitian ini akan digunakan
metode Guided Discovery Learning mengingat yang menjadi subyek penelitian
adalah siswa sekoah dasar.
2.1.5.3 Metode Belajar Penemuan Terbimbing (Guided Discovery Learning)
Pembelajaran Discovery Learning memang memiliki kelebihan jika dijalankan
sesuai prosedur dan situasi murid sebagai pelaku pembelajar mendukung. Akan tetapi
jika dikaitkan dengan konteks anak Sekolah Dasar sebagai pelaku pembelajar akan
mengalami berbagai permasalahan seperti penjelasan dari kelemahan metode ini.
Untuk itu terdapat metode pembelajaran discovery yang cocok digunakan terhadap
anak didik SD, yaitu metode belajar penemuan terbimbing Guided Discovery
Learning. Sani (2014:97) berpendapat bahwa discovery sering diterapkan percobaan
sains di laboratorium yang masih membutuhkan bantuan guru, yang disebut Guided
36
Discovery Learning. Sani (2014:97) juga menambahkan dalam opininya bahwa
discovery terbimbing merupakan metode yang digunakan untuk membangun konsep
dibawah pengawasan guru. Sedangkan Hamalik (2005: 188) mengungkapkan bahwa
guided discovery melibatkan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan guru.
Siswa melakukan discovery, sedangkan guru membimbing mereka kearah yang
benar/tepat. Hanafiah dan Cucu Suhana (2010:77) mengungkapkan bahwa guided
discovery yaitu pelaksanaan penemuan dilakukan atas petunjuk dari guru.
Pelaksanaan pembelajaran discovery diterapkan terhadap anak sekolah dasar tidak
akan berjalan dengan baik, alsannya siswa Sekolah Dasar belum mampu untuk
berfikir mendalam terhadap suatu materi. Oleh karena itu menjadi sangat penting
bimbingan dari seorang guru. Berdasarkan pada pendapat para ahli di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa metode Guided Discovery Learning merupakan metode
pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif untuk mencoba menemukan sendiri
informasi maupun pengetahuan yang diharapkan dengan bimbingan dan petunjuk
yang diberikan guru.
Menurut Westwood (2008) dalam Sani (2014:98) untuk meningkatkan
efektivitas pembelajaran penemuan terbimbing (Guided Discovery Learning) maka
dibutuhkan hal-hal sebagai berikut :
a. Proses belajar dibuat secara terstruktur dan hati-hati.
b. Siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan awal untuk belajar.
c. Guru memberikan dukungan yang dibutuhkan siswa untuk melakukan
penyelidikan.
Selain itu pembelajaran Guided Discovery Learning pasti memiliki kelemahan
dan kelebihannya. Suryosubroto (2009: 185) menyebutkan beberapa kelebihan
metode Guided Discovery Learning sebagai berikut :
a. Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan
penguasaan keterampilan dan proses kognitif siswa.
b. Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin
merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh; dalam arti pendalaman dari
pengertian; retensi, dan transfer.
37
c. Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan
jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang
kegagalan.
d. Metode ini memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan
kemampuannya sendiri.
e. Metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga ia
lebih merasa terlibat dan termotivasi sendiri untuk belajar.
f. Metode ini dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya
kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan.
g. Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan kepada mereka
dan guru berpartisipasi sebagai sesama dalam mengecek ide.
h. Membantu perkembangan siswa menuju skeptisisme yang sehat untuk
menemukan kebenaran akhir dan mutlak.
Guided Discovery Learning juga disebut metode penemuan terbimbing.
Marzano dalam Markaban (2006:16) menyatakan bahwa metode penemuan
terbimbing salah satunya memiliki kelebihan yaitu mendukung kemampuan problem
solving siswa dan materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang
tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses
menemukannya. Sedangkan Herman (2001:145) memaparkan tentang kekuatan
metode penemuan terbimbing di antaranya yaitu siswa benar-benar dapat memahami
suatu konsep atau rumus, sebab siswa mengalami sendiri proses untuk mendapatkan
konsep atau rumus itu. Metode ini membatasi guru untuk menambah materi baru, bila
ternyata siswa belum memahami materi yang sedang dipelajari.
Metode Guided Discovery Learning pastinya juga memiliki kelemahan seperti
yang disebutkan oleh Suryosubroto (2009:186):
a. Dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini.
b. Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar.
c. Harapan yang ditumpahkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan
siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisional.
d. Mengajar dengan penemuan mungkin akan dipandang sebagai terlalu
mementingkan memperoleh pengertian dan kurang memperhatikan diperolehnya
sikap dan keterampilan.
38
e. Dalam beberapa ilmu (misalnya IPA) fasilitas yang dibutuhkan untuk mencoba
ide-ide mungkin tidak ada.
f. Strategi ini mungkin tidak akan memberi kesempatan untuk berfikir kreatif, kalau
pengertian-pengertian yang akan ditemukan telah diseleksi terlebih dahulu oleh
guru, demikian pula proses-proses di bawah pembinaannya tidak semua
pemecahan masalah menjamin penemuan yang penuh arti.
Dengan demikian guru dapat mempertimbangkan dalam memilih metode
belajar yang tepat untuk diterapkan. Tidak semua metode belajar dapat digunakan
karena tetap saja memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, untuk itu
guru harus jeli dalam membaca kondisi kelasnya agar dapat menerapkan metode yang
tepat dan mendapat hasil yang efektif.
2.1.5.4 Langkah-langkah Guided Discovery Learning
Untuk menerapkan pembelajaran Guided Discovery, maka diperlukan sebuah
langkah-langkah (Syntax) agar dalam melakukan pembelajaran memiliki dasar sesuai
teori tang dikembangkan. Menurut Suryosubroto (2009: 184-185) mengemukakan
langkah-langkah metode penemuan sebagai berikut:
1. Identifikasi kebutuhan siswa.
2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi
yang akan dipelajari.
3. Seleksi bahan, dan problema/tugas-tugas.
4. Membantu memperjelas
a. tugas/problema yang akan dipelajari.
b. peranan masing-masing siswa.
5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan.
6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-
tugas siswa.
7. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan.
8. Membantu siswa dengan informasi/data, jika diperlukan oleh siswa.
9. Memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan
dan mengidentifikasi proses.
10. Merangsang terjadinya interaksi antarsiswa dengan siswa.
11. Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan.
39
12. Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil
penemuannya.
Selain itu Bruner (dalam Winatapura, 2008:3.19) menjelaskan bahwa tahap-
tahap penerapan belajar penemuan, yaitu; (1) stimulus (pemberian
perangsang/stimuli), (2) problem statement (mengidentifikasi masalah), (3) data
collection (pengumpulan data), (4) data processing (pengolahan data), (5) verifikasi,
dan (6) generalisasi. Sedangkan menurut seorang dari The Power of Our Words and
Learning Through Academic Choice (Paula Denton; 2004; Guided Discovery in
Action; https://www.responsiveclassroom.org/guided-discovery-in-action/; diakses
tanggal 20 November 2017) menjelaskan 5 langkah pembelajaran menggunakan
Guided Discovery yaitu:
1. Introducing and Naming
Tahap ini mengajak siswa untuk lebih tertarik pada pembelajaran yang
akan dilakukan. Biasanya guru memberikan sebuah misteri tentang permasalahan
yang akan dibahas sehingga rasa ingin tahu siswa semakin meningkat.
2. Generating and Modeling Students’ Ideas
Dalam tahap ini guru mengajak siswa untuk berpikir cara belajar dan
menggunakan materi yang akan dipelajarai. Siswa dilibatkan dalam
brainstorming terhadap materi yang akan dipelajari. Guru memiliki tugas sebagai
pengumpul gagasan yang dipikirkan setiap siswa terhadap materi ini, karena
setiap siswa pastinya memiliki interprestasi yang berbeda-beda dalam memahami
materi yang belum mereka kenal.
3. Exploration and Experimentation
Setelah siswa membuat daftar gagasan sehingga siswa setiap siswa
memiliki model gagasan yang berbeda-beda tetapi tidak keluar dari pokok
bahasan. Disinilah tugas guru untuk membatasai berbagai gagasan yang siswa
munculkan. Siswa akan cenderung mengeksplorasi gagasan yang mereka miliki
dengan dengan bertanya dan mencari dari berbagai seumber. Mereka cenderung
mulai mencoba berdasarkan gagasan mereka sendiri. Dengan dorongan dari guru
mereka akan bereksperimen memunculkan ide-ide baru. Meskipun guru
menetapkan beberapa batasan dari gagasan tersebut, siswa masih dapat membuat
pilihan tentang bagaimana mereka mengeksplorasi gagasan tersebut.
40
4. Sharing Exploratory Work
Dalam tahap ini siswa dibebasakan mengeksplorasi dari berbagai sumber
yang ada. Tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam melakukan explorasi.
Biasanya siswa akan bertanya tentang hal yang belum mereka pahami. Setelah
siswa mendapatkan jawaban tentang apa yang mereka cari, mereka cenderung
akan membandingkan dengan jawaban teman lain. Disinilah tahap Sharing
Exploratory Work berjalan, dimana setiap siswa saling bertukan informasi tetang
apa yang mereka dapat dalam explorasi mereka.
5. Cleanup and Care of Materials
Dalam tahap akhir ini guru mengajak siswa untuk berfikir tentang berbagai
variasi jenis informasi dari sekian siswa di kelas. Tahap ini disebut clean up
berarti membersihkan miskonsepsi tentang informasi yang mereka dapat. Guru
bertindak layaknya hakim karena harus memilah informasi yang didapat siswa
secara bijak dan harus menjelaskan secara logis kepada siswa.
Dalam bukunya, Sani (2013:221) mengungkapkan bahwa langkah-langkah
pembelajaran metode penemuan terbimbing adalah sebagai berikut.
a. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran.
b. Guru membagi petunjuk praktikum eksperimen.
c. Peserta didik melaksanakan eksperimen di bawah pengawasan guru.
d. Guru menunjukkan gejala yang diamati.
e. Peserta didik menyimpulkan hasil eksperimen.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah
Guided Discovery Learning, yaitu: 1) pengenalan terhadap materi ajar (introducing),
2) pemberian stimulus kepada siswa (stimulating), 3) exsplorasi dan pengumpulan
materi ajar (exploring and collecting the data), 4) pengolahan informasi berbantuan
guru (data processing), 5) konfirmasi dan verifikasi (confirming and data
verivication).
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Susiana (2015) dengan judul “Pengaruh
Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Metode Discovery Learning Terhadap Hasil
Belajar IPA Pada Berbagai Tingkat Kemampuan Belajar Siswa Kelas 5 SD”. Susiana
Menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPA sebelum treatment dan
41
setelah treatment. Hal tersebut dibuktikan dengan uji beda Paired Sample T Test.
Hasil uji Paired Sample T Test mendapatkan signifikansi lebih kecil dari 0,05 yakni
0,001 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Dapat disimpulkan dari penelitian tersebut
bahwa metode discovery learning terbuktu berpengaruh terhadap siswa kelas 5 SD
pada mata pelajaran IPA.
Penelitian yang dilakukan oleh Fahmi (2016) dengan judul “Upaya
Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Pendekatan Discovery Learning Siswa Kelas
5 SDN Bringin Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan Semester 2 Tahun Pelajaran
2015/2016”. Dari penelitian ini di dapat simpulan bahwa penerapan metode Disvery
Learning terhada kelas 5 mata pelajaran IPA di SDN Bringin berhasil. Hal tersebut
ditunjukan dengan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil
belajar IPA yang diupayakan melalui pendekatan discovery learning siswa kelas 5
SDN Bringin Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan semester 2 tahun pelajaran
2015/2016. Hal ini ditunjukkan oleh perbandingan hasil belajar IPA berdasarkan
ketuntasan, siklus I : siklus II, yakni 71,67% : 84,58% . Perbedaan hasil belajar IPA
berdasarkan skor terendah siklus I:siklus II , yakni 50:55, perbedaan hasil belajar IPA
berdasarkan skor tertinggi siklus I: siklus II, yakni 95:100, perbedaan hasil belajar
IPA berdasarkan skor rata-rata siklus I: siklus II, yakni 71,67:84,58. Selain itu
penelitian ini dikatakan berhasil karena juga ditunjukkan oleh 86,67 % dari seluruh
siswa tuntas > 80 % yang telah ditetapkan dalam indikator kinerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2016) dengan judul “Keefektifan
Model Pembelajaran Discovery Learning terhadap Minat Belajar dan Hasil Belajar
IPA pada Siswa Kelas IV SDN Candirejo 02 Kabupaten Semarang Semester II Tahun
Pelajaran2015/2016” memberikan kesimpulan bahwa penelitian yang dilakukan
efektif. Kurniawati berkesimpulan dalam penelitiannya “Dengan demikian dapat
disimpulkan Model Discovery Learning lebih efektif meningkatkan minat siswa
dibandingkan dengan Model Konvensional. Saran dalam penelitian ini adalah bagi
guru kelas bisa menerapkan model pembelajaran discovery learning dengan baik.
Bagi siswa, dapat menumbuhkan semangat kerja sama antar siswa, meningkatkan
motivasi dan daya tarik siswa terhadap pembelajaran terutama pelajaran IPA”.
Kesimpulan tersebut dibuktikan dengan teknik analisis data menggunakan
independent Sample T-Test dengan bantuan SPSS v.16.0 for windos 8.0, hasil analisis
42
menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,009 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran dengan Model Discovery Learning pada mata pelajaran IPA
lebih efektif dibandingkan dengan Model Konvensional. Nilai rata-rata postest kelas
eksperimen dengan Model Discovery Learning sebesar 78,68 dan nilai rata-rata kelas
kontrol dengan Model Pembelajaran Konvensional sebesar 70,56, sedangkan hasil
penilaian angket minat menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,63 > 0,05.
2.3 Kerangka Pikir
Permasalahan yang dialami SD Negeri 2 Tuksongo adalah rendahnya hasil
belajar peserta didik. Kurangnya referensi guru tentang metode belajar yang berkaitan
dengan Kurikulum 2013. Hal ini berakibat pada menurunya minat dan motivasi
belajar peserta didik.
Hasil belajar didapat dari proses belajar mengajar. Tidak semua proses belajar
mengajar yang dilakukan guru degan siswa berhasil. Dalam proses belajar mengajar
yang terjadi antara interaksi guru dan peserta didik terdapat beberapa hal yang
menentukan tinggi rendahnya hasil belajar. Metode pembelajaran merupakan hal yang
sangat menentukan tinggi atau rendahnya hasil belajar, karena tujuan belajar serta
materi pelajaran akan tersalurkan dari sumber belajar menuju peserta didik melalui
perantara metode belajar. Untuk itu pemilihan metode belajar sangat penting guna
meningkatkan hasil belajar peserta didik. Selain itu pemilihan metode belajar yang
tepat juga dapat mempengaruhi motivasi dan minat belajar dari peserta didik.
Metode Guided Discovery Learning merupakan metode belajar yang dapat
menarik motivasi dan minat siswa serta mengajak siswa berpikir serta bertindak
secara nyata dan konkrit. Selain itu metode Guided Discovery Learning juga melatih
siswa untuk membentuk pemikiran abstrak. Siswa juga dihadapkan dengan berbagai
sumber belajar dan diharapkan agar siswa memiliki pendapat dalam bentuk materi
pelajaran dari berbagai sudut pandang.
Penggunaan metode belajar Guided Discovery Learning diaharapkan
meningkatkan minat serta motivasi peserta didik yang akan berdampak pada tingginya
penyerapan materi dan terlatihnya skill berpikir dan bertindak peserta didik sehingga
dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik SD Negeri 2 Tuksongo.
43
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir yang telah diuraikan di atas maka
dapat dirumuskan sebuah hipotesis penelitian bahwa penerapan metode Guided
Discovery Learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas 4 SD Negeri 2
Tuksongo dalam tema belajar 3.