library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2008, wilayah Indonesia
terdiri atas daratan seluas 1,904,569 km2 dan lautan 7,900,000 km
2
(http://indonesia.go.id/?page_id=479&lang=id, diakses 9 November 2017).
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri dari 17.499 pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke
(http://bphn.go.id/news/2015102805455371/ INDONESIA-MERUPAKAN-
NEGARA-KEPULAUAN-YANG-TERBESAR-DI-DUNIA, diakses 3
November 2017).
Dengan banyaknya pulau yang terpisah oleh lautan, tentunya
dibutuhkan sarana transportasi yang dapat menjangkau berbagai wilayah di
Indonesia. Masyarakat pada era modern saat ini di dalam aktivitasnya dituntut
untuk memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke
tempat lain dalam waktu singkat.
Demi mendukung terlaksananya kegiatan yang memerlukan mobilitas
dibutuhkan suatu transportasi yang tepat. Salah satunya adalah melalui
pengangkutan udara berupa pesawat. Cara kerja pesawat yang cepat membuat
kalangan profesional dan para pelaku bisnis yang memiliki mobilitas tinggi
memilih transportasi pesawat terbang sebagai sarana untuk bepergian ke luar
kota maupun ke luar negeri. Lalu lintas udara yang bebas hambatan
memungkinkan bagi transportasi udara untuk menjadi lebih cepat dari sarana
transportasi yang lain. Bidang transportasi ini sendiri ada hubungannya
dengan produktivitas, hal ini dikarenakan dampak dari kemajuan transportasi
tersebut berpengaruh terhadap peningkatan mobilitas manusia(Demy Amelia,
2015:1).
Transportasi adalah kegiatan mengangkut atau memindahkan muatan
(baik manusia maupun barang) dari suatu tempat ke tempat lain(Sakti Adji
Adisasmita, 2014:9). Berdasarkan definisi tersebut, maka transportasi udara
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2
merupakan kegiatan mengangkut maupun memindahkan muatan (baik
manusia maupun barang) dari suatu tempat ke tempat lain (dari satu bandara
ke bandara lain) melalui udara, misalnya pesawat. Pengangkut (atau
pengangkut udara, “air carrier”) adalah orang atau badan yang mengadakan
persetujuan untuk mengangkut penumpang, bagasi atau barang dengan
pesawat terbang (Ida Bagus Bayu Mahardika dkk, 2014:1).
Pentingnya transportasi udara tercermin pada semakin meningkatnya
kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang di dalam negeri,
dari dan keluar negeri, serta berperan sebagai pendorong dan penggerak bagi
pertumbuhan daerah dan pengembangan wilayah. Menyadari peran
transportasi udara tersebut, penyelenggaraan penerbangan harus ditata dalam
suatu kesatuan sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu
mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang dan dengan tingkat
kebutuhan, selamat, aman, efektif dan efisien(Ismi Beby Lestari, 2010:1).
Penerbangan sebagai subsektor transportasi dapat diandalkan karena
memiliki kecepatan tinggi dan mampu menjangkau wilayah-wilayah yang
tidak terjangkau oleh moda transportasi lainnya (transportasi darat maupun
laut). Penerbangan mampu melayani pengangkutan manusia dan barang ke
seluruh pulau yang tersebar, asalkan didukung oleh landasan pacu
(runway)(Sakti Adji Adisasmita, 2014:2).
Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk
tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi
penumpang maupun barang yang diangkut. Kontribusi transportasi udara
khususnya pesawat dalam membawa penumpang antara lain:(Sakti Adji
Adisasmita, 2014:10)
1. Transportasi udara melayani perjalanan penumpang untuk kegiatan-
kegiatan ekonomi dan bisnis, khususnya dalam perdagangan dan
industri;
2. Tersedianya pelayanan transportasi udara yang berkapasitas cukup dan
berfrekuensi tinggi akan menciptakan aksesibilitas yang tinggi pula;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3
3. Tersedianya pelayanan transportasi udara yang lancar akan
meningkatkan mobilitas penduduk; dan
4. Tersedianya pelayanan transportasi udara yang lancar dan menjangkau
ke seluruh wilayah akan mendukung terselenggaranya pelayanan
pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Pengangkutan udara dengan pesawat mulanya diatur dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 53). Namun undang-undang ini telah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku lagi. Sebagai penggantinya, pada tanggal 12 Januari 2009
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
melalui Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 1. Dalam pasal 1 angka 13
menyebutkan bahwa Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan
menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau
pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara
yang lain atau beberapa bandar udara(Abdulkadir Muhammad, 2013:10).
Konsep pengangkutan sebagai perjanjian (agreement) selalu didahului
oleh kesepakatan antara pihak pengangkut dengan pihak penumpang atau
pengirim. Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak
tertulis), tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan yang
membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi dan mengikat untuk
dilaksanakan.
Agar terjadi pengangkutan dengan pesawat udara niaga perlu diadakan
perjanjian pengangkutan udara niaga terlebih dahulu antara badan usaha
pengangkutan udara niaga dengan penumpang atau pemilik kargo. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dalam pasal 1 angka 29,
menyebutkan bahwa Perjanjian Pengangkutan Udara adalah perjanjian antara
pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut
penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran
atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.
Badan usaha pengangkutan udara niaga berkewajiban mengangkut
orang dan/atau cargo serta pos setelah disepakatinya perjanjian udara niaga.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4
Badan usaha tersebut wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap
pengguna jasa pengangkutan udara niaga sesuai dengan perjanjian
pengangkutan udara niaga yang disepakati(Abdulkadir Muhammad, 2013:20).
Kesepakatan dalam perjanjian pengangkutan udara pada dasarnya
berisi kewajiban dan hak pihak maskapai penerbangan selaku pengangkut
maupun penumpang atau pengirim. Kewajiban pengangkut adalah
mengangkut penumpang atau barang dari tempat pemberangkatan sampai
tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat. Sebagai imbalan,
pengangkut berhak memperoleh sejumlah uang jasa atau uang sewa yang
disebut biaya pengangkutan, sementara kewajiban penumpang atau pengirim
adalah membayarkan sejumlah uang sebagai biaya pengangkutan dan
memperoleh hak atas pengangkutan sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Dalam transportasi pesawat, dokumen pengangkutannya berupa tiket
penumpang. Tiket penumpang dan tiket bagasi merupakan tanda bukti telah
terjadinya perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya pengangkutan
(pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995). Tiket penumpang dan
tiket bagasi ini diterbitkan atas nama dan karena itu tidak boleh dialihkan atau
diserahkan kepada orang lain(Abdulkadir Muhammad, 2013:11).
Kebutuhan masyarakat akan sarana pengangkutan berpengaruh
terhadap pengembangan di bidang pengangkutan yang mendorong
perkembangan di bidang teknologi, sarana dan prasarana pengangkutan, ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang pengangkutan, serta hukum
pengangkutan. Sehingga tidak dapat dihindari pula timbulnya berbagai
permasalahan yang diakibatkan dengan adanya pengangkutan itu sendiri(Toto
Tohir Suriatmadja 2007:25).
Perkembangan jumlah perusahaan penerbangan di satu sisi
menguntungkan bagi para pengguna jasa transportasi udara karena memiliki
banyak pilihan. Perusahaan-perusahaan tersebut bersaing untuk menarik
penumpang sebanyak-banyaknya dengan menawarkan tarif yang relatif
rendah. Namun di sisi lain, dengan tarif yang rendah tersebut seringkali
menurunkan kualitas pelayanan (service) bahkan yang lebih mengkhawatirkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5
lagi adalah akan menyebabkan berkurangnya kualitas pemeliharaan
(maintenance) pesawat sehingga rawan terhadap keselamatan penerbangan
dan akan berdampak kurang baik bagi keamanan, kenyamanan dan
perlindungan konsumen(E. Saefullah Wirapradja, 2006:5).
Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah On-Time Performance
(OTP) yang berarti penerbangan tepat waktu. Pada tahun 2017, lima maskapai
berjadwal nasional Indonesia mencatatkan OTP secara rata-rata cukup baik di
tahun 2017 lalu yaitu di atas 85%. Bahkan salah satu di antaranya mencatatkan
OTP di atas 90%. Maskapai tersebut adalah NAM Air yang mencatatkan OTP
92,62% dengan jumlah penerbangan tepat waktu sebanyak 29.832
penerbangan. Sementara empat maskapai lain adalah Batik Air (88,66%),
Garuda Indonesia (88,53%), Sriwijaya Air (88,69%) dan Citilink (88,33%).
Angka OTP tersebut cukup tinggi dan memenuhi target minimum yang telah
dicanangkan bersama, namun bagi Garuda yang selama ini menjuarai OTP
posisinya tergeser dikarenakan ada gangguan schedulling crew yang sempat
berlarut larut namun sekarang sudah normal kembali.
No
. Maskapai
Jumlah
Penerbangan
Tepat Waktu
(OTP)
Keterlambatan
(delay) dan
Pembatalan
(cancel)
1 Nam Air 32.209 29.832 (92,62%) 2.377 (7,38%)
2 Sriwijaya
Air 67.673 60.017 (88,69%) 7.656 (11,31%)
3 Batik Air 84.900 75.270 (88,66%) 9.630 (11,34%)
4 Garuda
Indonesia 200.918 177.875 (88,53%) 23.043 (11,47%)
5 Citilink 84.808 74.912 (88,33%) 9.896 (11,67%)
6
Indonesia
AirAsia
Extra
7.747 5.998 (77,42%) 1.749 (22,58%)
7 Indonesia
AirAsia 7.378 5.603 (75,94%) 1.775 (24,06%)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6
8 Travel
Express 9.287 6.909 (74,40%) 2.378 (25,60%)
9 Susi Air 6.781 4.926 (72,65%) 1.855 (27,35%)
10 TransNusa 737 526 (71,37%) 211 (28,63%)
11 Lion
Mentari 196.932 140.459 (71,32%) 56.473 (28,68%)
12 Wings Air 108.278 70.888 (65,47%) 37.390 (34,53%)
13 Kalstar
Aviation 12.177 7.075 (58,10%) 5.102 (41,90%)
14 Trigana Air 8.784 3.732 (42,49%) 5.052 (57,51%)
Total 828.609 664.024 (80,14%) 164.585 (19,86%)
Tabel 1: Data evaluasi On-Time Performance maskapai penerbangan di
Indonesia periode Januari-Desember 2017
(Sumber: http://hubud.dephub.go.id/?id/news/detail/3411, di akses pada
tanggal 14 Mei 2018 pukul 20.10 WIB)
Direktorat Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan melaporkan jumlah penerbangan rute domestik maskapai
nasional pada periode Januari hingga Desember tahun 2017 lalu berjumlah
828.609 penerbangan, meningkat 8,5% dibanding tahun 2016 yang berjumlah
763.522 penerbangan. Sementara itu, tingkat ketepatan waktu operasional
(OTP) maskapai penerbangan pada tahun 2017 tersebut mencapai 80,14% atau
664.024 penerbangan tepat waktu dari total 828.609 penerbangan yang
dilakukan. Persentase tersebut turun sekitar 2,5% dibanding tahun 2016 lalu
di mana OTP tahun 2016 mencapai 82,67% atau 631.216 penerbangan dari
total 763.522 penerbangan. Dari laporan Direktorat Angkutan Udara Ditjen
Perhubungan Udara tersebut juga dicatat adanya keterlambatan penerbangan
(delay) tahun 2017 yang mencapai 159.153 penerbangan atau 19,21%, serta
pembatalan (cancel) penerbangan mencapai 5.432 penerbangan atau 0,66%
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7
dari total penerbangan domestik (http://hubud.dephub.go.id/?id/news/detail
/3411, di akses pada tanggal 14 Mei 2018 pukul 20.10 WIB).
Pesatnya perkembangan teknologi penerbangan sudah seharusnya
diimbangi dengan kecepatan pelayanan dan jaminan keselamatan dalam
industri penerbangan tanah air. Namun maskapai penerbangan di Indonesia
masih sering mengalami permasalahan terkait keterlambatan maupun
pembatalan penerbangan yang berakibat kerugian terhadap pengguna jasa
penerbangan(Ida Bagus Bayu Mahardika, 2014:1).
Keterlambatan penerbangan disebutkan dalam Pasal 1 angka 30
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang
menjelaskan definisi keterlambatan yaitu terjadinya perbedaan waktu antara
waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi
waktu keberangkatan atau kedatangan. Kenyataannya, transportasi udara tidak
selamanya mendatangkan berbagai keuntungan bagi masyarakat terutama
yang sangat penting adalah waktu. Tranportasi udara memang dapat dengan
cepat menghubungkan satu tujuan ke tujuan lainnya, namun diluar itu sering
kali transportasi udara ini menimbulkan kerugian bagi penumpang, dimana
maskapai terkadang tidak memenuhi apa yang sudah menjadi
kewajibannya(Shinta Nuraini, 2016:44).
Ketepatan waktu penerbangan saat keberangkatan maupun kedatangan
merupakan salah satu aspek penting sebagai salah satu bentuk pelayanan yang
diberikan maskapai penerbangan terhadap penumpang selain keselamatan dan
kenyaman. Hal ini menjadi masalah serius karena merupakan tanggung jawab
maskapai penerbangan untuk melaksanakan kewajibannya sebaik
mungkin(Ida Bagus Bayu Mahardika, 2014:2).
Dalam keterlambatan maupun pembatalan penerbangan, kerugian
adalah risiko yang harus diterima oleh pengguna jasa angkutan sebagai
konsekuensi dari peristiwa tersebut. Penyedia jasa angkutan udara
berkewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna jasanya.
Karena secara hukum pengguna jasa angkutan dilindungi, maka sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dalam Pasal 141
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8
sampai 149 mengenai Tanggung Jawab Pengangkut terhadap Penumpang
dan/atau Pengirim Kargo diteruskan dengan Peraturan Menteri Perhubungan
yang mengatur ketentuan tentang besaran ganti kerugian yang ditanggung
pihak pengangkut apabila kesalahan atau kelalaian terhadap pengguna jasa
angkutan disebabkan oleh kesalahan dari pihak pengangkut(Demy Amelia,
2014:46).
Dalam hal wanprestasi keterlambatan pesawat, pihak maskapai
penerbangan selaku pengangkut wajib memenuhi ganti rugi kepada
penumpang. Ganti rugi ini disebut dengan kompensasi. Istilah kompensasi
sebenarnya dikenal dalam hukum perjanjian sebagai salah satu cara hapusnya
perikatan. Kompensasi atau perjumpaan utang disebutkan dalam pasal 1425
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa jika dua orang saling berutang
satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan
mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, dengan cara dan
dalam hal-hal yang akan disebutkan sesudah ini.
Dalam kompensasi yang dikenal dalam hukum perjanjian terjadi
penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan
utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur. Kompensasi terjadi
apabila kedua pihak yang mengadakan perjanjian masing-masing merupakan
debitur bagi para pihak satu sama lain.
Namun, lain halnya dengan kompensasi dalam keterlambatan pesawat.
Kompensasi dalam keterlambatan pesawat merupakan bentuk ganti rugi yang
diterima oleh penumpang dalam keterlambatan jadwal penerbangan. Bentuk
kompensasi ini bermacam-macam, sesuai dengan estimasi lama waktu
penundaan jadwal penerbangan.
Terselenggaranya suatu pengangkutan, baik pengangkutan darat, laut,
maupun udara tidak lepas dari berbagai kendala. Contohnya, dalam kegiatan
penerbangan umumnya kendala yang dihadapi adalah berupa kerusakan atau
kehilangan bagasi, dan keterlambatan jadwal penerbangan. Jika penumpang
selaku konsumen merasakan kuantitas atau kualitas barang atau jasa yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9
dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang telah dikeluarkan, maka
konsumen berhak mendapatkan kompensasi ganti rugi yang sesuai.
Penumpang pesawat udara berhak mendapat perlindungan hukum atas
kerugian yang disebabkan keterlambatan, karena tanggung jawab pengangkut
telah diatur secara khusus, maka tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh
penumpang mengacu kepada ketentuan hukum penerbangan nasional dan
konvensi internasional tentang penerbangan yang telah diratifikasi. Namun,
aturan hukum tersebut belum memberikan perlindungan hukum yang
maksimal dan komprehensif terhadap hak-hak penumpang(Cindy Chandra
dkk, 2016:6).
Sebenarnya, terjadinya keterlambatan keberangkatan pesawat
merugikan kedua belah pihak baik pihak pengangkut maupun pihak
penumpang. Penumpang mengalami kerugian waktu, sementara pihak
maskapai penerbangan mendapatkan citra yang buruk di mata masyarakat.
Terkadang, terjadinya keterlambatan pesawat bisa jadi karena hal-hal tak
terduga dan tidak diperhitungkan sebelumnya. Sehingga keterlambatan
penerbangan tidak selalu terjadi karena kelalaian pihak maskapai
penerbangan. Namun, melalui penulisan hukum ini, penulis bermaksud
menjelaskan mengenai kompensasi sebagai ganti rugi yang diberikan oleh
pihak maskapai penerbangan apabila terjadi keterlambatan jadwal
penerbangan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis
merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana tanggung jawab pihak maskapai penerbangan dalam kegiatan
pengangkutan udara di Indonesia?
2. Apa kompensasi sebagai bentuk ganti rugi yang diberikan oleh pihak
maskapai kepada penumpang dalam keterlambatan jadwal penerbangan
komersial?
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah suatu hasil yang penulis harapkan dapat
diperoleh setelah penelitian dilaksanakan. Tujuan penelitian terbagi menjadi
tujuan objektif dan tujuan subjektif. Tujuan objektif adalah tujuan penelitian
yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat maupun pandangan pribadi
penulis. Sementara tujuan subjektif adalah tujuan penelitian berupa opini
menurut pandangan(perasaan) penulis sendiri.
1. Tujuan Objektif
a. Mengetahui bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan selaku
pihak pengangkut dalam kegiatan angkutan udara komersial di
Indonesia
b. Mengetahui wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian
pengangkutan udara antara pihak maskapai penerbangan dengan
penumpang dalam perjanjian pengangkutan.
c. Mengetahui kompensasi keterlambatan pesawat sebagai bentuk
ganti rugi yang dipenuhi oleh pihak maskapai penerbangan
terhadap penumpang.
2. Tujuan Subjektif
a. Memperkaya dan menambah ilmu pengetahuan penulis mengenai
Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara, khususnya
dalam Hukum Perikatan, Hukum Pengangkutan, dan Hukum
Perlindungan Konsumen.
b. Memperoleh bahan primer maupun sekunder demi memenuhi
persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat
diambil dari penelitian tersebut. Peneliti berharap penelitian ini bermanfaat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11
bagi pembaca pada umumnya dan peneliti pada khususnya. Adapun manfaat
yang diharapkan peneliti dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
ilmu hukum dan hukum perdata khususnya.
b. Memperkaya literatur, referensi, dan bahan-bahan informasi ilmiah,
khususnya mengenai tanggung jawab maskapai penerbangan dan
kompensasi dalam wanprestasi keterlambatan pesawat oleh pihak
maskapai penerbangan terhadap penumpang.
c. Sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenisnya pada tahap
selanjutnya
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang akan diteliti
b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh selama di bangku
kuliah.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi(Peter Mahmud, 2011:35). Penelitian hukum dilakukan
untuk menghasilkan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi(Peter Mahmud Marzuki,
2013:35). Fungsi penelitian adalah untuk mendapatkan kebenaran. Kebenaran
dalam yaitu kebenaran secara epistemologis, yang artinya kebenaran harus
dilihat dari segi epistemologi, yang dalam Bahasa Indonesia berarti teori atau
diskursis mengenai pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat, sumber-
sumber juga ruang lingkup pengetahuan(Peter Mahmud Marzuki, 2015:20).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12
Dalam penulisan ini, metode-metode yang penulis gunakan antara lain:
1. Jenis Penelitian
Penulis melaksanakan penelitian hukum normatif. Peter Mahmud
Marzuki (2014:55) menyatakan bahwa suatu penelitian yang berkaitan
dengan hukum adalah selalu normatif. Penelitian hukum yang bersifat
normatif ditujukan untuk mengkaji kualitas dari norma hukum itu sendiri
dan dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan maupun data-
data yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier(Peter Mahmud Marzuki, 2011:87).
Bahan-bahan hukum tersebut dikaji hubungannya dengan isu-isu
mengenai tanggung jawab pengangkut dalam perjanjian angkutan udara
dan kompensasi yang diberikan oleh pihak pengangkut tersebut apabila
terjadi wanprestasi perjanjian angkutan udara berupa keterlambatan
penerbangan.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian berkaitan dengan sifat ilmu (dalam hal ini ilmu
hukum). Sebagaimana telah diketahui bahwa ilmu hukum bersifat
preskriptif. Oleh karena itu, penelitian hukum tidak dimulai dengan
hipotesis(Peter Mahmud Marzuki, 2011:59). Sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,
validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
hukum(Peter Mahmud Marzuki, 2015:22). Selain itu, penelitian preskriptif
bersifat terapan artinya ilmu hukum hanya dapat diterapkan oleh ahlinya
sehingga yang dapat menyelesaikan masalah hukum adalah ahli hukum
melalui kaidah-kaidahnya. Penerapan ilmu hukum harus berdasarkan teori
yang melandasi dan tidak boleh menyimpangi teori(Peter Mahmud
Marzuki, 2013:67).
3. Pendekatan Penelitian
Peter Mahmud Marzuki (2013:133) menyebutkan dalam penelitian
hukum dikenal beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),
dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan undang-
undang (statue approach). Dimana penulis menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang penulis
angkat dalam penulisan skripsi ini.
4. Sumber Penelitian
Sumber dan bahan hukum (law material) yang penulis gunakan
dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga) golongan, antara lain:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim(Peter
Mahmud Marzuki, 2015:181). Bahan hukum primer yang penulis
gunakan dalam penelitian ini antara lain:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 53);
4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 1);
5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan
Udara;
7) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara;
8) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14
9) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 49 tahun 2012 tenang
Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara
Niaga Berjadwal Dalam Negeri;
10) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 Tahun 2015 tentang
Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management)
pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia;
11) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 40 Tahun 2016 tentang
Perubahan Ketujuh atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara; dan
12) Perjanjian pengangkutan udara antara pihak maskapai penerbangan
dengan penumpang.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu hasil karya ilmiah dan penelitian-penelitian yang relevan atau
terkait dengan penelitian ini termasuk diantaranya skripsi, tesis,
disertasi dan jurnal-jurnal hukum serta kamus-kamus hukum dan buku-
buku yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas dalam
penulisan hukum ini(Peter Mahmud Marzuki,2014:196). Bahan hukum
sekunder yang penulis gunakan antara lain:
1) buku ilmu hukum;
2) jurnal hukum;
3) artikel;
4) bahan-bahan dari internet, media cetak, atau elektronik; dan
5) sumber-sumber lainnya.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan
identifikasi peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan
sistematisasi bahan hukum sesuai permasalahan penelitian. Oleh karena
itu, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara
membaca,menelaah, mencatat membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15
ada kaitannya dengan kompensasi dan wanprestasi keterelambatan jadwal
penerbangan.
Studi kepustakaan (studi dokumen) adalah suatu alat pengumpulan
bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan
mempergunakan content analysis(Peter Mahmud Marzuki, 2015:214).
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang penulis gunakan adalah pola
pikir deduktif. Logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara
deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian
menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus.
Teknik deduktif yang digunakan adalah dengan metode silogisme,
dimana terdapat dua premis untuk membangun analisis terhadap isu
hukum, yaitu premis mayor yang merupakan aturan hukum yang berlaku
dan premis minor yang merupakan fakta hukum yang ada maupun kondisi
sebenarnya dalam melaksanakan suatu aturan hukum. Kemudian
berdasarkan kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan(Peter
Mahmud Marzuki, 2014:89).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Penulis menjabarkan gambaran menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, dimana tiap-tiap bab terdiri
dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman
mengenai seluruh isi penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan
hukum (skripsi) ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
2. Tujuan Subjektif
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Objektif
2. Manfaat Subjektif
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan Hukum
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan kerangka teori dan kerangka
pemikiran.
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
2. Tinjauan Umum tentang Wanprestasi
3. Tinjauan Umum tentang Ganti Rugi
4. Tinjauan Umum tentang Pengangkutan Udara
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran berisi alur berfikir penulis.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi mengenai uraian dan sajian pembahasan
dari hasil penelitian berdasarkan rumusan masalah yaitu,
hal-hal apa saja yang menjadi kompensasi dalam
wanprestasi keterlambatan pesawat oleh pihak maskapai
penerbangan terhadap penumpang.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang
berisi beberapa simpulan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari
kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA