9
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Teori Sintaksis (Tougoron)
Sintaksis adalah ilmu bahasa yang mempelajari susunan kalimat dan bagiannya
atau bisa juga disebut ilmu tata kalimat. Menurut Kushartanti (2005, hal. 123),
sintaksis merupakan bagian dari subsistem tata bahasa atau gramatika. Sintaksis
menelaah struktur satuan bahasa yang lebih besar dari kata, mulai dari frasa hingga
kalimat.
2.1.1 Satuan Gramatika
Menurut Iwabuchi (2004, hal. 133), gramatika merupakan aturan–aturan
mengenai bagaimana menggunakan dan menyusun kata–kata menjadi kalimat.
Dalam gramatika bahasa Jepang kalimat disebut dengan bun. Bun tersebut disusun
oleh sejumlah bunsetsu dan bunsetsu disusun oleh sejumlah kata atau tango
(Sudjianto et al, 2004, hal. 137-138).
2.1.1.1 Tango
Tango atau kata adalah satuan gramatika terkecil yang membentuk kalimat dalam
bahasa Jepang. Tango dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni jiritsu-go dan fuzoku-go.
Jiritsu-go merupakan sebuah tango yang dapat berdiri sendiri, memiliki arti
tersendiri, dan dapat membentuk sebuah bunsetsu tanpa bantuan tango lainnya
10
(Dooshi, i-keiyooshi, na-keiyooshi, meishi, rentaishi, fukushi, setsuzokushi, dan
kandooshi merupakan bagian dari jiritsu-go). Sedangkan fuzoku-go merupakan
sebuah tango yang tidak dapat berdiri sendiri, tidak memiliki arti tersendiri, dan
tidak dapat terbentuk menjadi bunsetsu dengan sendirinya (termasuk joshi dan
joodoshi). Fuzoku-go memerlukan bantuan dari tango lainnya untuk menjadi sebuah
bunsetsu (Sudjianto et al, 2004,hal. 136-139).
Contoh tango dalam「 桜さくらの花はなが咲さいた」(Sudjianto et al, 2004,hal. 138) :
o Jiritsu-go : 桜, 花, 咲いた
o Fuzoku-go : の, が
2.1.1.2 Bunsetsu
Bunsetsu adalah satuan gramatika yang lebih besar dari tango yang membentuk
sebuah kalimat dalam bahasa Jepang. Bunsetsu terdiri atas tango–tango, seperti
jiritsu-go dan fuzoku-go yang dibantu oleh tango lainnya. Bunsetsu tersebut
merupakan satuan bahasa yang merupakan bagian–bagian dari kalimat (Sudjianto et
al, 2004,hal. 138-139).
Contoh bunsetsu dalam「 桜さくらの花はなが咲さいた」(Sudjianto et al, 2004,hal. 138) :
o 桜の / 花が / 咲いた
Bunsetsu dapat membuat suatu kalimat, namun kalimat tidak dibentuk
sembarangan, melainkan harus tersusun rapi berdasarkan aturan gramatika, dan
saling memiliki hubungan. Menurut Hirai Masao yang dikutip oleh Sudjianto dan
Dahidi, menyebutkan bahwa terdapat enam hubungan antara bunsetsu dengan
11
bunsetsu lainnya pada sebuah kalimat (Sudjianto et al, 2004,hal. 182). Hubungan
tersebut antara lain :
� Hubungan subjek – predikat (shugo – jutsugo no kankei)
Hubungan subjek – predikat digunakan saat bunsetsu yang merupakan subjek
menjadi jawaban dari pertanyaan “apa” dan bunsetsu lainnya berupa predikat
yang menjadi jawaban atas pertanyaan “melakukan apa” (Sudjianto et al,
2004,hal. 183).
Contoh shugo – jutsugo no kankei dalam kalimat「ベルが鳴な る」 (Sudjianto et al, 2004,hal. 183) :
- ベルが 鳴る。 S P
(Apa yang berbunyi : bel + Bel melakukan apa : berbunyi)
� Hubungan yang diterangkan dan menerangkan (shuushoku – hishuushoku no
kankei)
Hubungan yang diterangkan dan menerangkan digunakan saat butsetsu
pertama (shuushokugo) secara jelas menerangkan atau menentukan bunsetsu
selanjutnya (hishuushokugo) (Sudjianto et al, 2004,hal. 183).
Contoh shuushoku – hishuushoku no kankei dalam kalimat 「大おおきい月つきが見みえる」(Sudjianto et al, 2004,hal. 183) :
- 大きい → ←月が 見える。 Shuushokugo → ←hishuushokugo
12
� Hubungan setara (taitoo no jankei)
Hubungan setara digunakan jika di dalam kalimat tersebut terdapat bunsetsu–
bunsetsu yang memiliki tingkat kepentingan yang sama, dan dapat
dideretakan dengan setara (Sudjianto et al, 2004,hal. 184).
Contoh taitoo no jankei dalam kalimat 「橋はしや岸きしがめちゃめちゃになった」(Sudjianto et al, 2004,hal. 184) :
- 橋や→ ←岸 がめちゃめちゃになった。
� Hubungan tambahan (fuzoku no kankei)
Hubungan tambahan digunakan ketika bunsetsu pertama menyatakan makna
utama dan bunsetsu selanjutnya berafiliasi dengan bunsetsu lain sehingga
memberikan makna tambahan (Sudjianto et al, 2004,hal. 185).
Contoh fuzoku no kankei dalam kalimat「雨あめが降ふっている」(Sudjianto et
al, 2004,hal. 185) :
- 雨が 降って→ ←いる。 bunsetsu 1 bunsetsu 2 + bunsetsu lain
� Hubungan konjungtif (setsuzoku no kankei)
Hubungan konjungtif digunakan saat makna suatu bunsetsu menjadi sebab,
syarat, atau alasan yang kemudian dihubungkan dengan bunsetsu selanjutnya (Sudjianto et al, 2004,hal. 185).
13
Contoh setsuzoku no kankei dalam kalimat「朝遅あさおそく来きてみたけれどまだ誰だれもいなかった」(Sudjianto et al, 2004,hal. 185) :
- 朝遅く来てみた けれど まだ誰もいなかった。 Setsuzoku
� Hubungan bebas (dokuritsu no kankei)
Hubungan bebas digunakan jika suatu bunsetsu tidak berhubungan secara
langsung denga bunsetsu lainnya. Biasanya dipakai untuk menyatakan
panggilan, perasaan, jawaban, atau saran (Sudjianto et al, 2004,hal. 185).
Contoh dokuritsu no kankei dalam kalimat「おやおや、これは大変たいへん」(Sudjianto et al, 2004,hal. 186) :
- おやおや、これは大変。 dokuritsugo
2.1.1.3 Bun
Bun atau kalimat adalah satuan gramatika yang lebih besar dari bunsetsu dalam
bahasa Jepang. Bagian dasar bun merupakan gabungan dari beberapa bunsetsu. Bun
merupakan bagian yang memiliki serangkaian makna dalam suatu wacana yang
dibatasi oleh tanda titik (Sudjianto et al, 2004,hal. 139).
Kalimat dapat dibagi dalam beberapa jenis. Menurut struktur gramatikanya,
kalimat dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yakni : kalimat tunggal dan kalimat
majemuk. Kalimat majemuk itu sendiri dapat dibagi menjadi kalimat majemuk setara,
kalimat majemuk tidak setara dan kalimat majemuk campuran (Widyaningsih, 2010).
14
• Kalimat tunggal (Tanbun)
Kalimat tunggal merupakan kalimat sederhana yang memiliki pola kalimat
dasar yang terdiri atas satu subjek dan satu predikat. Namun kalimat tersebut
dapat memperoleh perluasan dengan ditambahkan unsur keterangan di
dalamnya (Widyaningsih, 2010).
Contoh (Sutedi, 2011,hal. 68) :
- 田中たなかさんは先生せんせいです。
• Kalimat majemuk (Fukubun)
Kalimat majemuk tercipta jika terdapat dua kalimat tunggal atau lebih. Dalam
kalimat majemuk tersebut terdapat :
- Klausa utama atau induk kalimat (Shusetsu)
Contoh (Sutedi, 2011,hal. 68) : - 風邪か ぜをひいて、会社かいしゃを休やすんだ。
- Klaus tambahan atau anak kalimat (Juusetsu)
Contoh (Sutedi, 2011,hal. 68) :
- 風邪か ぜをひいて、会社かいしゃを休やすんだ。 - Klausa pelengkap atau menerangkan subjek atau objek (Seibunsetsu)
Contoh (Sutedi, 2011,hal. 68):
- 昨日きのう、 私わたしは、山田やまださんが元気そうにテニスをしていたのをみた。
15
2.1.2 Susunan Gramatika
Jika dilihat dari kalimat atau bun di atas, setiap kalimat memiliki unsur–unsur
gramatika. Untuk menyusun sebuah kalimat dalam sebuah bahasa, diperlukan subjek,
predikat, dan objek. Dalam gramatika bahasa Jepang urutan susunan dasar kalimat
tersebut adalah subjek, objek, dan predikat. Hal tersebut disampaikan oleh Tsujimura
(2006,hal. 122) bahwa:
“We also assume the basic word order in Japanese is SOV. We may, however, say that since Japanese allows the OSV order, a verb and its object need not be a constituent.”
Terjemahan:
“kami juga menganggap bahwa urutan kata dasar dalam bahasa Jepang adalah SOV. Kita mungkin, bagaimanapun, mengatakan sejak Jepang memungkinkan urutan OSV, kata kerja dan obyeknya tidak perlu menjadi konstituen.”
Teori di atas juga didukung oleh Yassir (2004,hal. 173) yang mengatakan bahwa
kaidah struktur frasa dalam bahasa Jepang memiliki urutan SOV atau subjek, objek,
dan predikat.
2.1.2.1 Subjek (Shugo)
Subjek merupakan unsur yang menentukan kejelasan sebuah makna dalam
kalimat. Subjek tersebut dapat berupa sebuah kata maupun sebuah frasa (Widjono,
2007,hal. 148). Fungsi dari subjek adalah :
- Pembentuk kalimat dasar, luas, tunggal, dan majemuk.
- Memperjelas makna
- Pokok pikiran
16
- Mempertegas makna
- Memperjelas pikiran ungkapan
- Pembentuk kesatuan pikiran
Subjek terdiri atas kata benda, nama orang, kata ganti orang, kata tunjuk dan
sebagainya (Arif et all, 2009,hal. 47). Subjek dapat mengalami pelesapan. Pelesapan
subjek tersebut disebut juga denga elipsis. Elipsis bertujuan untuk memperoleh
kepraktisan dalam berbahasa dan digunakan dengan pengandaian bahwa pembaca
atau pendengar sudah mengetahui sesuatu meskipun sesuatu itu tidak disebutkan
secara lisan (Arifin dan Junaiyah, 2001 ,hal. 37 – 38).
Contoh (Dewi, 2011,hal. 46) :
- デウィさんは きのう パンを 食たべました。 S
2.1.2.2 Predikat (Jutsugo)
Predikat dapat berupa nama orang, kata benda, kata sifat, nama profesi, dan
sebagainya (Arif et all, 2009,hal. 47). Sama seperti subjek, predikat dapat berupa
kata dan frasa. Predikat tersebut digunakan sebagai (Widjono, 2007,hal. 148) :
- Pembentuk kalimat dasar, luas, tunggal, dan majemuk.
- Memperjelas pikiran dan gagasan untuk menentukan kejelasan makna
kalimat.
- Mempertegas makna
- Pembentuk satuan pikiran
- Sebutan.
17
Contoh (Dewi, 2011,hal. 46) :
- デウィさんは きのう パンを 食たべました。 P
2.1.2.3 Objek (Taishougo)
Objek digunakan untuk (Widjono, 2007,hal. 149) :
- Membentuk kalimat dasar
- Memperjelas makna pada kalimat
- Membentuk kesatuan atau kelengkapan kalimat
Contoh (Dewi, 2011,hal. 46) :
- デウィさんは きのう パンを 食たべました。 O
2.1.2.4 Keterangan (Joukyougo)
Keterangan merupakan unsur kalimat yang memberikan informasi lebih lanjut
tetang suatu yang dinyatakan dalam kalimat. Kata keterangan berfungsi menjelaskan
dan untuk melengkapi informasi pesan dalam kalimat. Kata keterangan memliki
beberapa jenis, yakni kata keterangan tempat, kata keterangan waktu, kata
keterangan alat, kata keterangan cara, kata keterangan modalitas, kata keterangan
aspek, kata keterangan tujuan, kata keterangan sebab, dan kata keterangan tujuan
(Widjono, 2007,hal. 150).
Contoh (Dewi, 2011,hal. 46) :
- デウィさんは きのう パンを 食たべました。 K
18
2.2 Teori Semantik (Imiron)
Semantik merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang makna dalam
sebuah bahasa. Semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema (kata benda) yang
berarti tanda atau lambang. dan seamino (kata kerja) yang berarti menandai atau
melambangkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu Semantik adalah ilmu yang
mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya.
Sematik merupakan pelafalan lain dari "Ia semantique" yang diukir oleh M. Breal
dari Perancis. Ia mengungkapkan bahwa semantik merupakan satu cabang studi pada
linguistik general dan analisis tentang makna-makna linguistik (Parera, 1991,hal. 14).
Semantik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari arti kata atau makna kata.
Selain mempelajari arti kata atau makna kata, semantik juga memberikan hubungan
terhadap konsep dan tanda bahasa yang mewakilinya. Semantik merupakan bidang
linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa. Selain itu semantik juga mengkaji
makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang
melambangkannya (Kushartanti, 2005,hal. 114).
Teori semantik merupakan bagian dari teori linguistik yang cukup luas. Semantik
tersebut tidak hanya mencakup studi mengenai makna, di dalamnya terdapat studi
mengenai tentang sintaks dan fonetik. Semantik berkaitan dengan makna non-
kalimat, seperti frase dalam kalimat, atau dengan seluruh kalimat. Heasley (2004,hal.
1 – 11) mengungkapkan bahwa :
“Chemical theory deals with chemical facts, such as the fact that iron rusts in water. Semantic theory deals with semantic facts, facts about meaning.”
Terjemahan :
“Teori kimia berhubungan dengan fakta – fakta kimia, seperti fakta bahwa besi akan berkarat di dalam air. Teori semantik pun berhubungan dengan fakta-fakta semantik, fakta tentang makna.”
19
Dalam ungkapan Heasley di atas, menyatakan bahwa teori semantik berhubungan
dengan makna kata. Hal tersebut mempertegas bahwa semantik tersebut
berhubungan dengan makna dalam suatu bahasa.
Peranan dari kata dan frase dalam semantik pun penting. mengungkapkan, kata
dan frase dapat masuk ke dalam berbagai hubungan semantik antara yang satu
dengan yang lain. Hubungan ini membantu mengidentifikasi aspek-aspek makna
yang relevan dengan menggunakan analisis linguistik. Sama halnya dengan kalimat,
kalimat memiliki makna–makna yang dapat dianalisis dalam hal hubungannya
dengan makna yang lain (O’Grady et all, 2001,hal. 246 – 248).
2.2.1 Objek Kajian Semantik
Semantik merupakan bagian terpenting dari bahasa karena komunikasi dibangun
untuk menyampaikan sebuah ide atau pikiran yang mewakilkan suatu makna. Makna
tersebut terdapat pada kata, frasa, maupun kalimat (Sutedi, 2011,hal. 127).
• Makna Kata (Go no Koko no Imi)
Setiap kata pasti memiliki makna. Kata tersebut digunakan untuk
berkomunikasi dengan orang lain agar maksud yang ingin tersampaikan
tersebut dapat dimengerti oleh orang lain. Namun terkadang satu kata
mengandung berbagai macam makna.
• Relasi Makna (Go to Go no Imi Kankei)
Satu kata dalam bahasa Jepang, jika dibandingkan dalam bahasa Indonesia
dapat menjadi beberapa kata yang berbeda. Oleh karena itu, relasi makna
diperlukan untuk menyusun kelompok kata berdasarkan kategori tertentu.
20
Contoh (Sutedi, 2011,hal. 128) :
o 言葉ことばをはっするのグルップ
Bahasa Jepang Bahasa Indonesia 話はなす Berbicara 言いう Berkata しゃべる Ngomong
• Makna Frasa (Ku no Imi)
Setiap makna dapat dimengerti jika dilihat dari setiap kata dan strukturnya.
Namun dalam klausa, hal tersebut belum dapat dilakukan karena terkadang
dalam klausa makna tersebut merupakan makna idomatikal bukan makna
leksikal.
Contoh (Sutedi, 2011,hal. 129) :
o 足あしを洗あらう。 → Makna leksikal : mencuci kaki. → Makna idomatik : berhenti berbuat jahat.
• Makna Kalimat (Bun no Imi)
Suatu kalimat disusun oleh serangkaian kata dengan strukturnya. Oleh karena
itu makna kalimat pun di tentukan pula oleh makna kata yang menyusunnya.
21
Contoh (Sutedi, 2011,hal. 130) :
o 私わたしは山田やまださんに時計とけいをあげる。 → Saya memberikan jam kepada yamada san.
2.2.2 Jenis Makna
Dalam sebuah bahasa, terdapat makna. Makna tersebut terbagi menjadi dua,
yakni makna denotatif dan makna konotatif. Persamaan antara kedua makna tersebut
terletak pada intonasi atau rujukannya (Parera, 2004,hal. 97).
• Makna Denotatif (Meijiteki Imi atau Gainen)
Makna denotatif merupakan makna sebenarnya atau makna yang berkaitan
dengan hasil pengamatan menurut indera manusia, yakni penglihatan,
penciuman, pendengaran, perasaan, serta pengalaman (Widjono, 2007,hal.
105 – 106).
Contoh (Sutedi, 2011,hal. 132):
o 子供こども → Anak
• Makna Konotatif (Anjiteki Imi atau Naihou)
Makna konotatif merupakan makna kiasan atau makna yang sesuai dengan
hidup atau norma pada masyarakat tertentu dan dapat berubah dari waktu ke
waktu (Widjono, 2007,hal. 105 – 106).
22
Contoh (Sutedi, 2011,hal. 132):
o 子供こども → tidak mau diatur → kurang pertimbangan
2.2.3 Teori Medan Makna
Medan makna merupakan sekumpulan kata – kata yang maknanya saling
berhubungan atau berkaitan. Medan makna tersebut digunakan untuk mempermudah
seseorang untuk memahami makna suatu kata. Setiap medan makna akan tercocokan
dengan medam makna yang lain sehingga dapat membentuk suatu keutuhan bahasa
yang tidak saling tumpang tindih (Parera, 2004, hal. 139).
Menurut Chaer (1994, hal. 315), medan makna merupakan bagian dari sistem
semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari suatu bidang kebudayaan atau
realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan dengan seperangkat unsur
leksikal yang maknanya saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain.
Pernyataan Chaer tersebut, didukung juga oleh Kridalaksana. Ia mengungkapkan
bahwa medan makna adalah bagian dari kehidupan atau realitas dalam alam semesta
tertentu dan direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling
berhubungan (1993, hal. 105).
23
2.3 Konsep Ganbaru
Ada dua konsep utama dari orientasi prestasi yang dapat diamati hampir di
seluruh bagian dari negara Jepang yakni gaman dan ganbaru. Dari kedua kata
tersebut, konsep yang paling penting merupakan ganbaru. Konsep ganbaru tersebut
merupakan suatu pondasi dari karakter dan semangat masyarakat Jepang. Ganbaru
yang berarti “bertahan, tidak menyerah, dan teguh berdiri”, adalah kata yang sering
diucapkan oleh orang Jepang. Orang Jepang selalu berkata ganbarimasu yang berarti
“saya akan bertahan atau saya tidak akan menyerah”, ganbarimashou yang berarti
“mari bertahan atau jangan pernah menyerah”, dan ganbatte yang berarti
“bertahanlah atau jangan menyerah” (de Mente, 2004, hal. 12).
Konsep ganbaru itu sendiri sudah ada sejak jaman Edo. Menurut kesimpulan
Akiko, pada jaman Edo, ganbaru memiliki makna (2006, hal. 137) : ①見張る。見逃さないように、気をつけてみる。目を凝らしてみる。 ②目をつける。ねらう。 ③座を占める。一つの所にじっとして動かない。 ④声を出してガンバル。
Terjemahan :
1. Mengawasi secara saksama agar tidak kabur. 2. Membidik. 3. Berhenti di suatu tempat tanpa bergerak. 4. Berusaha dengan bersuara.
Dari jaman Edo, makna ganbaru tersebut terus berkembang dan perubahan. Pada
jaman Meiji, ganbaru memiliki makna (Akiko, 2006, hal. 139): ①見張る、監視する。 ②頑固に座を占める。 ③自分の主張るを譲らない。頑として、我を張る。
24
Terjemahan :
1. Menjaga atau mengawal. 2. Menempati ego atau hati yang keras. 3. Memaksa atau tidak menyerah akan keinginan sendiri.
Lalu dari jaman Meiji, makna ganbaru tersebut berkembang lagi. Pada jaman
Taisei sampai berakhirnya perang, ganbaru makna (Akiko, 2006, hal. 140 – 142) : ①見張る、監視する。 ②頑固に座を占める。 ③自分の主張るを譲らない。頑として、我を張る。 ④どんなことにも屈せず最後まで続ける。
Terjemahan :
1. Menjaga atau mengawal. 2. Menempati ego atau hati yang keras. 3. Memaksa atau tidak menyerah akan keinginan sendiri. 4. Tidak menyerah hingga akhir.
Selanjutnya, makna dari ganbaru itu berkembang hingga sekarang. Setelah
berakhirnya hingga saat ini, ganbaru memiliki makna (Akiko, 2006, hal. 148 -154): ①見張る、監視する。 ②頑固に座を占める。 ③自分の主張るを譲らない。頑として、我を張る。 ④どんなことにも屈せず最後まで続ける。 ⑤苦しさに負けず努力する、一所懸命やる。 ⑥挨拶的なガンバル。
Terjemahan :
1. Menjaga atau mengawal. 2. Menempati ego atau hati yang keras. 3. Memaksa atau tidak menyerah akan keinginan sendiri. 4. Tidak menyerah hingga akhir. 5. Berusaha keras tanpa dikalahkan dengan kesulitan. 6. Ganbaru sebagai kata sapaan.
25
Makna dari ganbaru sekarang itu didukung oleh pernyataan Haghirian (2011),
bahwa ganbaru merupakan bekerja keras dan tidak menyerah sampai tujuan tercapai
dianggap sebagai karakteristik tertinggi di Jepang.
“Ganbaru is an active process, meaning that one has to try as hard as possible to reach a certain goal. People following ganbaru try to achieve a goal or fulfill a difficult task even if it might be very painful. In Japanese society it is considered a weakness to give up a plan or to look for an easier option.”
Terjemahan :
“Ganbaru adalah sebuah proses yang aktif, dengan pengertian bahwa kita harus berusaha dengan sekeras apapun agar mencapai tujuan tertentu. Orang– orang mengikuti ganbaru untuk mencoba meraih tujuan atau menyelesaikan masalah atau tugas, walaupun prosesnya cukup berat. Dalam masyarakat Jepang, menyerah pada suatu rencana atau mencari jalan penyelesaian yang lebih mudah dianggap sebagai kelemahan.
Oleh karena itu, Ganbaru adalah melakukan sesuatu yang terbaik atau tidak akan
pernah menyerah. Namun terkadang makna ganbaru lebih dalam dari pada itu. Hal
tersebut juga dapat berarti menyelesaikan tugas atau masalah dan tidak akan berhenti
hingga tujuannya tersebut tercapai. Kaoru mengungkapkan bahwa :
“「頑 張れ」は、最後まであきらめうな、手を抜くな、と励まして、思いやる言葉である。「頑張れ」 ということばにはいい意味にまま生き残っておらいたい (2001, hal. 133).”
Terjemahan :
“[ Ganbare] adalah berusaha hingga akhir tanpa menyerah, tidak lepas tangan, bersemangat dan bersimpati. [Ganbare] memiliki makna yang bagus, yakni bertahan hidup (2001, hal. 133).”
Berusaha keras, tanpa menyerah hingga akhir merupakan bagian dari ganbaru
tersebut juga disetujui oleh Shoji dan Hirotase (2001, hal. 234) yang mengatakan
bahwa:
“Ganbaru is used when someone does his best or makes an effort to get the best result, without being defeated by hardship or difficulties.”
26
Terjemahan:
“Ganbaru digunakan ketika seseorang berusaha atau bekerja atau membuat suatu usaha untuk memperoleh hasil yang baik, tanpa dikalahkan oleh kesulitan, dan kesukaran.”
Pernyataan Shoji dan Hirotase di atas juga didukung oleh Albach. Albach
mengungkapkan bahwa :
“Ganbaru means to commit oneself fully to a task and to bring that task to an end (1994, hal. 388).”
Terjemahan:
“Ganbaru berarti untuk melibatkan diri sepenuhnya untuk sebuah tugas dan membawa tugas yang hingga akhir (1994, hal. 388).”
Ketika seseorang melibatkan diri sepenuhnya dan berusaha dengan pantang
menyerah, maka segala sesuatu yang dikerjakan olehnya akan menghasilkan hal yang
baik dan dapat dikerjakannya hingga selesai.
Berhenti atas suatu masalah atau tugas yang sedang dilakukan, akan membuat
penyelesaian dan keberhasilan tugas atau masalah tersebut menjadi tidak mungkin.
Keberhasilan tidak dapat diraih hanya dengan ketekunan, namun juga usaha pantang
menyerah.
“The key to success, Japanese believe, is perseverance. Perseverance is not enough to ensure success; it simply maximizes the probability of success by reducing the probability of failure as the result of giving up prematurely (1994).”
Terjemahan :
“Masyarakat Jepang percaya, bahwa kunci untuk sukses adalah dengan ketekunan. Namun ketekunan itu sendiri tidak dapat menjamin kesuksesan; untuk memaksimalkan kemungkinan keberhasilan adalah dengan mengurangi kemungkinan kegagalan akibat menyerah sebelum waktunya (1994).”
27
Oleh karena itu, untuk mengurangi kemungkinan kegagalan tersebut dibutuhkan
ganbaru. dimana sesorang dapat melibatkan diri sepenuhnya dan berusaha
semaksimal mungkin. Karena secara harfiah, Ganbaru adalah "untuk melakukan
sesuatu dengan keuletan (Soler, 1999)."
Oleh karena keuletan serta kerja keras, Amanuma menyebut ganbaru sebagai
kata kunci dari budaya negara Jepang. Menurut Allison (1994, hal. 119 – 120), yang
telah mengutip ungkapan oleh Amanuma mengenai ganbaru. Amanuma telah
menulis mengenai ganbaru sebagai konsep dari Jepang.
“The Japanese concept of ganbaru translated as tenacity, persistence, and hard work, which in its imperative form, ganbatte (“hang in there”; don’t give up). He proposes that the notion of leisure or relaxation carries a negative connotation in Japan. Japanese are a people who also ganbaru (work hard) at their leisure. This unconscious sentiment of working hard even at leisure is perhaps something that penetrates through all Japanese people.”
Terjemahan :
“Ganbaru diterjemahkan sebagai keuletan, kegigihan, dan kerja keras, Ganbaru yang bentuk imperatifnya adalah ganbatte ("bertahan di sana"; "jangan menyerah”). Ia berpendapat bahwa waktu luang dan relaksasi dapat membawa dampak konotasi yang negatif di Jepang. Oleh karena itu, masyarakat Jepang adalah masyarakat yang selalu ganbaru walaupun berada dalam waktu luang mereka. Masyarakat yang secara tidak sadar selalu melakukan ganbaru walaupun berada dalam waktu luang mereka dapat dilihat pada masyarakat Jepang.”
Selain sebagai budaya dari masyarakat Jepang, Ganbaru juga menjadi ekspresi
yang menggambarkan karakteristik yang unik dari masyarakat Jepang. Masyarakat
Jepang akan merasa tidak enak apabila mereka tidak melakukan sesuatu untuk
mengisi waktu luang mereka.
Seorang manusia memerlukan semangat untuk melakukan sesuatu, dan semangat
tersebut membantu mereka untuk mendapatkan motivasi. Menurut Frühstück (1998,
hal. 104), mengungkapkan bahwa semangat juga merupakan bagian dari ganbaru.
28
“The spirit is honed through repetitive, imitative practice, hyperconditioning, and a tight managerial control that channels that fighting spirit into collective ends. It is the spirit of ganbaru, which is not, as it is usually glossed, doing one’s best, but doing more than one’s best. ganbaru or gattsu is an ethos of overachievement and superhuman effort.”
Terjemahan :
“Suatu semangat yang diasah secara terus menerus, dengan kondisi dan kontrol yang ketat maka dapat menciptakan semangat untuk berjuang. Semangat berjuang itulah yang disebut dengan ganbaru, yang sering digunakan untuk melakukan yang terbaik, dan melakukan lebih dari yang terbaik. Ganbaru atau gattsu, adalah sebuah etos pencapaian yang lebih dan usaha dari manusia super.”
Dilihat dari pendapat Frühstück, ganbaru merupakan sebuah semangat berjuang
yang digunakan oleh seseorang untuk melakukan sesuatu yang terbaik dari yang
terbaik. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan hasil akhir yang baik dan
mengurangi kegagalan.
2.3.1 Konsep Ganbaru dalam Masyarakat Jepang
Dalam masyarakat Jepang sekarang ini, kata “ganbaru” sering digunakan dalam
kehidupan sehari–hari. Kata ganbaru itu sendiri mencerminkan sikap kerja keras dan
keuletan dari masyarakat Jepang itu sendiri. Ganbaru tersebut disebabkan oleh letak
geografis negara Jepang dimana negara Jepang mudah untuk terkena banjir, gempa
bumi, angin typhoon, dan tsunami. Selain itu ada ganbaru disebabkan oleh kelas
sosial yang tumbuh pada masyarakat Jepang sejak jaman Meiji, masyarakat Jepang
terbagi menjadi beberapa kelompok sosial. Untuk tidak jatuh ke dalam kelas sosial
yang terendah maka masyarakat Jepang berusaha dengan gigih, selain itu masyarakat
yang berada di kelas bawah pun berjuang untuk meningkatkan tingkat sosial mereka
(Davies dan Ikeno, 2002, hal. 87).
29
Davies dan Ikemo juga mengungkapkan bahwa masyarakat Jepang sangat
bergantung dengan ganbaru dan cenderung menggunakannya.
“The Japanese make up their minds to begin something, they tend to think “ganbaru” in the initial stages of the project (2002, hal. 84).”
Terjemahan :
“Orang Jepang mengambil keputusan untuk memulai sesuatu, mereka cenderung berpikir "ganbaru" pada tahap awal suatu proyek (2002, hal. 84).”
Hal tersebut membuktikan bahwa penggunaan ganbaru dalam masyarakat Jepang
sangat sering, karena sebelum mereka melakukan sesuatu, mereka lebih dahulu
berpikir “ganbaru” untuk berjuang dan melakukan sesuatu.
Mereka pun menggunakan kata ganbaru pada akhir surat untuk menyatakan
ekspresi mereka kepada si penerima surat tersebut agar bisa memberikan suatu
dorongan untuk terus bekerja keras sampai tujuan mereka tercapai. Hal tesebut sama
seperti yang digunakan oleh para murid di Jepang ketika mereka berusaha belajar
dengan keras demi kelulusan dari sekolah yang sedang mereka tempuh (Davies dan
Ikeno, 2002, hal. 84).
Dalam perguruan tinggi di Jepang pun, ganbaru tetap digunakan oleh para
mahasiswa dan para dosen.
“Even college students are visibly reinforced by a teacher’s admonition to “ganbatte” (keep trying). Students will invariably smile wryly and reply “gambarimasu” (I will keep at it) (Brown, 2004 ,hal. 21).”
Terjemahan :
“Bahkan para mahasiswa dan mahasiswi pun diperkuat oleh nasihat seorang guru atau dosen untuk "ganbatte" (terus berusaha). Mereka selalu membalasnya dengan tersenyum kecut dan membalas ganbarimasu atau (saya akan terus melakukannya) (Brown, 2004, hal. 21).”
30
Para olahragawan juga menggunakan kata ganbaru untuk berusaha melatih diri
mereka dengan keras demi memenangkan suatu perlombaan. Semuanya melakukan
apa yang menurut mereka terbaik dan berusaha untuk berjuang sperti apa yang ada
dalam paham ganbaru (Davies dan Ikeno, 2002, hal. 84).
Selain digunakan oleh olahragawan dan para guru kepada muridnya, para orang
tua di Jepang pun tidak ada yang tidak mengatakan kata “ganbare” kepada anak
mereka khususnya pada saat mejelang ujian. Hal tersebut membuat ganbaru berguna
sebagai kata sapaan di Jepang saat ini.
“The phrase has turned into a word for people to greet other (aisastu) (Amano, 1999, hal. 224).”
Terjemahan :
“Frase tersebut telah berubah menjadi kata yang digunakan untuk menyapa orang lain (salam) (Amano, 1999, hal. 224).”
Walaupun ganbaru telah menjadi kata sapaan, terkadang makna dari paham
ganbaru tersebut menjadi sangat ekstrim. Masyarakat Jepang ingin melakukan yang
lebih terbaik dari yang terbaik. Hal tersebut menyebabkan pengaruh yang negatif
yang berujung dengan kematian. Fenomena tersebut diungkapkan Amano sebagai
fenomena workaholic atau dunia kerja keras (Amano, 1999, hal. 224).
2.4 Teori Motivasi
Manusia adalah mahluk yang hidupnya terlibat dengan alam sekitarnya untuk
bertahan hidup. Oleh karena itu, manusia memiliki hasrat atau keinginan yang kuat
untuk tetap hidup. Berdasarkan hasrat atau keinginan itu tersebut yang mendorong
manusia berbuat sesuatu untuk mencapai tujuannya.
31
Tujuan tersebut disebut dengan motif. Motif adalah suatu alasan atau dorongan
yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu, melakukan tindakan, atau bersikap
tertentu. Sobur (2003, hal. 267) mengatakan bahwa motif merupakan implus atau
dorongan yang memberi energi pada tindakan manusia sepanjang tindakan perilaku
tersebut berjalan kearah pemuasan kebutuhan.
Motif itu sendiri adalah dasar daripada motivasi. Motif adalah dasar penggerak
dari motivasi. Di Jepang sendiri, motivasi merupakan kerja keras dan pantang
menyerah sampai mencapai sebuah tujuan tertentu.
“All group members in a Japanese group are expected to form a strong, harmonious unit, to perform according to the rules, and to stick to processes. The overall well-being of the group is the most important goal, and all team members are dedicated to this. Next to performing tasks in the best possible way, achievement orientation plays another major role in Japanese society and management (Haghirian, 2011)”
Terjemahan :
“Semua anggota kelompok dalam kelompok Jepang diharapkan untuk membentuk sebuah unit yang kuat dan harmonis, untuk melakukan sesuai dengan aturan, dan tetap berpegang pada proses. Keseluruhan kesejahteraan kelompok adalah tujuan yang paling penting, dan semua anggota tim berdedikasi untuk ini. Selanjutnya melakukan tugas dalam cara terbaik, orientasi prestasi memainkan peran utama yang lain dalam masyarakat Jepang dan manajemen (Haghirian, 2011).”
Orang akan termotivasi jika ia percaya, bahwa perilaku tertentu akan
menghasilkan hasil tertentu, hasil tersebut mempunyai nilai positif baginya dan hasil
tersebut dapat dicapai dengan usaha yang dilakukan oleh seseorang. Namun,
motivasi itu pun tidak dapat berjalan jika tidak memiliki motivator. Dilihat dari unsur
instrinsik yakni perasaan kita, maupun unsur ekstrinsik yakni orang lain. Apabila
memiliki motivator, maka motivasi yang dimiliki seseorang akan semakin kuat.
32
“All true motivation is self-motivation to action. Acquiring the skills of self motivation to action and making it a habit is not easy, but it is doable. Every one of us has the potential inside. Sometimes it takes master motivation to unlock the potential in us (Batten dan Hansen, 1995, hal. xiv).”
Terjemahan :
“Semua motivasi yang benar adalah motivasi diri untuk bertindak. Memperoleh keterampilan motivasi diri untuk bertindak dan membuat kebiasaan tidak mudah, tetapi bisa dilakukan. Setiap diri dari kita memiliki bagian dalam potensial. Terkadang dibutuhkan master motivasi untuk membuka potensi (Batten dan Hansen, 1995, hal. xiv).”
Selain motivator, sebuah tujuan atau motif yang kuat dan jelas juga dapat
memperjelas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai (O'Neil dan Drillings, 1994,hal.
4).Karena sebuah motivator dan motif atau tujuan merupakan dasar dari motivasi itu
sendiri. Jika kedua dasar motivasi disatukan dan berjalan selaras, maka akan
menghasilkan kekuatan motivasi yang kuat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2.5 Konsep Akirameruna
Seperti yang dikatakan oleh Kaoru (2001, hal. 133) pada teori ganbaru di atas,
akirameruna merupakan bagian daripada konsep ganbaru yang tumbuh di tengah
masyarakat Jepang. Karakter kegigihan masyarakat Jepang dalam mengejar sesuatu,
pastinya terpengaruhi oleh konsep dari akirameruna tersebut (de Mente, 2004, hal.
22).
De Mente mengatakan bahwa :
”Every japanese was programmed to the point that once they had set out to do something, they could not turn back or give up. Akiramenai or I can’t give up became a bywords, and not being able to give up became a part of the fate of the Japanese (2004, hal. 22).”
33
Terjemahan :
“Setiap masyarakat Jepang telah terprogram kedalam titik dimana jika mereka telah menentukan apa yang ingin mereka lakukan, mereka tidak akan mundur dan menyerah. Akiramenai atau pantang menyerah telah menjadi sebuah kiasan dan tidak mampu untuk menyerah menjadi takdir dari masyarakat Jepang (2004, hal. 22).”
Oleh karena itu, Akirameruna dipakai oleh masyarakat Jepang pada saat mereka
telah menentukan apa tujuan mereka, dan berusaha untuk mencapainya tanpa putus
asa.
2.6 Konsep Isshokenmei
Dari seluruh budaya dalam masyarakat Jepang, salah satunya adalah isshokenmei.
Isshokenmei merupakan bagian dari ganbaru yang suatu budaya dari masyarakat
Jepang yang sudah ada dari jaman samurai. Pengertian isshokenmei pada jaman itu
adalah “putting one’s life on the line” yang artinya “membahayakan nyawa sendiri”
(de Mente, 2004, hal. 109).
Pada saat ini, isshokenmei memiliki makna yang berbeda di mata masyarakat
Jepang.
“ Isshokenmei is still one of the most commonly heard expressions in Japan. People who make a commitment to do something, or who are asked to do something, routinely emphasize their commitment by using the term in the sense of “I will do my best” or “I’m doing my best” : isshokenmei ganbarimasu! (De Mente, 2004, 110)”
Terjemahan :
“ Isshokenmei merupakan salah satu ekspresi yang sering digunakan di Jepang. Seseorang yang berkomitmen akan melakukan sesuatu atau diminta melakukan sesuatu, akan dengan rutin menekankan komitmen mereka dengan mengunakan istilah yang memiliki pengertian “saya akan melakukan yang terbaik” atau “saya sedang melakukan yang terbaik” : isshokenmei ganbarimasu! (De Mente, 2004, 110)”
34
Isshokenmei merupakan sebuah usaha yang menggambarkan usaha keras dalam
melakukan sesuatu.