Download - Appendiksitis
A. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi
Appendiks tumbuh dan terlihat pada usia delapan minggu dari perkembangan
embriologi manusia. Appendiks terlihat sebagai suatu tonjolan keluar dari bagian
terminal caecum. Selama perkembangan antenatal dan postnatal, kecepatan
pertumbuhan dari caecum menurun sehingga appendiks bergeser ke medial mendekati
valva ileocaecal. Basis dari appendiks tetap melekat pada caecum, sementara ujung
dari appendiks dapat ditemukan bervariasi pada retrocaecal, paracaecal, subcaecal,
pelvis, subileal, preileal, atau postileal (lihat gambar 1). Posisi-posisi anatomis dari
appendiks tersebutlah memiliki kepentingan klinis yang signifikan dalam appendisitis
akut (Brunicardi et al, 2009).
Gambar 1. Variasi posisi appendiks.
Appendiks memiliki ukuran bervariasi 1 – 25 cm, dengan rata-rata ukuran
sekitar 6 – 9 cm. Berbentuk seperti cacing, dengan lumen bagian proksimal sempit
dan melebar di bagian distal, karenanya appendiks disebut appendiks vermiformis.
Appendiks berada 2,5 cm di bawah valva ileocaecal dan dilihat melalui posteromedial
caecum. Appendiks adalah satu-satunya organ tubuh yang tidak memiliki posisi
anatomis yang konstan, karenanya bisa berada di variasi posisi yang telah disebut
sebelumnya. Bagian appendiks yang konstan adalah bagian basis dari appendiks, yaitu
pertemuan antara tiga taenia coli (Sanjay, 2007), yaitu taenia libra, taenia omentalis,
dan taenia mesocolica (Brunicardi et al, 2009). Arteri apendicular adalah arteri yang
menyuplai appendiks. Arteri ini cabang dari arteri ileocolica. Pembuluh vena dari
appendiks menuju vena ileocolica dan berakhir di vena mesenterica superior (Sanjay,
2007). Inervasi dari appendiks berupa saraf simpatis dan parasimpatis. Simpatis
berasal dari nervus spinalis thoracalis-10, sedangkan parasimpatis berasal dari cabang
nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis.
Karena persarafan ini, nyeri visceral pada appendisitis berawal dari umbilicus
(Sjamsuhidajat, 2005).
Secara histologis, appendiks memiliki empat lapisan, yaitu tunica mucosa,
tunica submucosa, tunica muscularis, dan tunica serosa. Tunica mucosa dilapisi oleh
sel epitel kolumner simpleks dan sel goblet, lamina propria jaringan ikat, dan selapis
tipis otot polos muscularis mucosa. Tunica submucosa berisi banyak limfoid yang
menembus hingga tunica mucosa. Tunica muscularis berisi otot polos sirkuler dan
longitudinal, yang akan berkumpul membentuk taenia coli. Tunica serosa berisi
selapis tipis sel epitel squamous sebagai peritoneum (Junqueira, 2005).
Jaringan limfoid pada appendiks muncul pertama kali dua minggu postnatal.
Jumlah jaringan limfoid meningkat hingga pubertas, dan jumlahnya menetap 10 tahun
setelahnya. Jumlahnya akan menurun sesuai usia. Usia di atas 60 tahun, sudah tidak
ada lagi jaringan limfoid yang tersisa di appendiks dan akan terjadi obliterasi pada
lumen appendiks (Brunicardi et al, 2009). Sejumlah kanal limfatik dari
mesoappendiks akan menuju nodul limfatikus dari ileocaecal (Sanjay, 2007).
2. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir sebanyak 1 – 2 ml per hari. Lendir ini
normalnya dialirkan ke dalam lumen appendiks dan berlanjut menuju caecum. Bila
ada hambatan pada aliran lendir ini, dapat berperan dalam patogenesis appendisitis.
Jaringan limfoid pada intestinal atau disebut gut associated lymphoid tissue (GALT),
menyekresikan immunoglobulin sekretoar yaitu IgA. Immunoglobulin ini efektif
sebagai pelindung infeksi.
A. Definisi
Appendisitis akut adalah suatu inflamasi akut yang terjadi pada appendiks
vermiformis. Appendisitis akut umumnya terjadi dikarenakan obstruksi pada lumen
appendiks. Obstruksi ini bisa disebabkan infeksi mikroorganisme bakteri, feses, maupun
hiperplasia limfoid. (Sjamsuhidajat, 2005).
B. Epidemiologi
Appendisitis umumnya terjadi pada remaja, dengan 40% kasus appendisitis terjadi
pada pasien usia 10 – 29 tahun (Brunicardi et al, 2009). Insidensi appendisitis akut di
negara maju lebih tinggi dibandingkan negara berkembang, namun tiga sampai empat
dasawarsa terakhir terjadi penurunan insidensi disebabkan meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2005). Appendisitis akut dapat
ditemukan pada semua usia, hanya saja untuk usia kurang dari 1 tahun jarang terjadi.
Insidensi pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali usia sekitar 20 – 30
tahun lebih tinggi pada lelaki (Sjamsuhidajat, 2005). Penanganan operatif untuk
appendisitis akut melalui apendektomi, adalah salah satu perkembangan medis terhebat
sepanjang 150 tahun terakhir. Apendektomi sebagai satu tindakan operatif emergensi
yang paling umum dilakukan di seluruh dunia dengan tingkat mortalitas dari tindakan
operatif ini hanya kurang dari 1% (Brunicardi et al, 2009).
C. Etiologi
Faktor etiologi dominan dari appendisitis akut adalah obstruksi pada lumen
appendiks. Berbagai hal dapat menyebabkan terjadinya obstruksi pada lumen, antara lain:
1. Fecaliths (Faex: feses, tinja; Lithos: batu), penyebab tersering dari obstruksi lumen
appendiks
2. Penyebab obstruksi appendiks lainnya yang jarang terjadi:
a. Hipertrofi jaringan limfoid
b. Sisa barium dari pemeriksaan radiologist
c. Tumor
d. Biji sayuran dan buah-buahan
e. Parasit di usus, seperti cacing Ascaris lumbricoides atau protozoa Entamoeba
hystolitica.
Kebiasaan makan makanan rendah serat dan terjadinya konstipasi, berpengaruh terhadap
terjadinya appendisitis (Brunicardi et al, 2009; Sjamsuhidajat, 2005). Frekuensi terjadinya
obstruksi pada lumen appendiks meningkat keparahannya seiring dengan proses
inflamasi. Fecaliths ditemukan sebagai penyebab 40% kasus appendisitis akut simpel,
65% kasus appendisitis gangren tanpa ruptur, dan hampir 90% kasus appendisitis gangren
dengan ruptur (Brunicardi et al, 2009).
D. Patogenesis dan Patofisiologi
Obstruksi pada proksimal lumen appendiks akan menyebabkan obstruksi
lengkung-tertutup. Obstruksi lengkung-tertutup ini menyebabkan sekresi normal dari
mucosa appendiks terus terjadi sehingga terjadi distensi pada appendiks. Normalnya,
lumen appendiks hanya berkapasitas 0,1 mL. Sekresi yang terjadi walaupun hanya 0,5
mL cairan pada distal obstruksi, dapat meningkatkan tekanan intraluminal hingga 60 cm
H2O. Distensi appendiks ini akan menstimulus ujung saraf dari visceral aferen untuk
meregangkan serabutnya. Hal ini menghasilkan nyeri bersifat difus, samara-samar, dan
tumpul pada midabdomen atau bagian bawah dari epigastrium, Distensi juga menstimulus
peristaltis sehingga nyeri kram pada abdomen akan menutupi nyeri pada visceral di awal
terjadinya appendisitis (Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007).
Meningkatnya jumlah bakteri yang mengisi lumen appendiks akan menyebabkan
sekresi mukosa terjadi terus menerus dan distensi appendiks semakin meningkat. Distensi
pada ada tahap ini, refleks mual dan muntah mulai terjadi dan nyeri difus terasa semakin
parah. Tekanan pada organ pun meningkat sehingga tekanan vena juga melebihi batasnya.
Kapiler dan venula menjadi teroklusi (tertutup), namun aliran dari arteriol tetap terjadi,
sehingga terjadi halangan dan kongesti vaskular (Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007).
Seluruh proses sejak dimulainya obstruksi dan sekresi mukosa hingga melibatkan
dinding appendiks, terjadi dalam waktu 24 – 48 jam pertama (Sjamsuhidajat, 2005).
Proses inflamasi mulai terjadi pada tunica serosa appendiks hingga peritoneum parietal
pada appendiks. Hal ini lah yang menyebabkan karakteristik nyeri pada kuadran kanan
bawah dan juga nyeri alih (rebound) dari kuadran kanan bawah (Brunicardi et al, 2009;
Sanjay, 2007).
Tunica mucosa dari gastrointestinal, termasuk appendiks, rentan terhadap
kerusakan aliran darah sehingga integritas dari pembuluh darah appendiks telah terganggu
sejak awal proses obstruksi. Hal inilah yang menyebabkan invasi bakteri terjadi. Distensi
appendiks yang berlebih akan mengganggu aliran balik vena dan aliran masuk arteriol,
menyebabkan daerah dengan suplai darah paling sedikit menjadi menderita. Infark mulai
terjadi pada daerah tersebut, yaitu perbatasan dengan antimessenterika. Dengan terjadinya
distensi appendiks, suplai vaskular terganggu, dan infark yang terjadi secara bertahap,
menyebabkan perforasi terjadi dan biasanya dimulai dari salah satu daerah infark pada
perbatasan antimesenterika. Perforasi pun terjadi jauh dari ujung obstruksi dikarenakan
efek diameter dari tekanan intraluminal (Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007).
Gangguan pada appendisitis akut berasal dari seringnya cavum peritoneal
terinfeksi, dimulai dari fokus infeksi pertama, baik tersebar infeksinya melalui perforasi,
maupun pindahnya bakteri melalui dinding apendikular. Omentum mayus berperan
terhadap menahan penyebaran invasi peritoneal, sementara peristaltis yang berlebih justru
membantu penyebaran invasi (Sanjay, 2007). Beberapa episode appendisitis akut justru
mereda secara spontan. Banyak pasien saat apendektomi ditemukan appendisitis akut
justru memiliki gejala appendisitis berupa nyeri di kuadran kanan bawah yang lebih
ringan (Brunicardi et al, 2009).
Hasil pemeriksaan patologi anatomi appendiks dari pasien tersebut justru
menunjukkan penebalan dan luka pada appendiks, yang berarti inflamasi akut yang telah
lama dan menyembuh (Brunicardi et al, 2009). Luka pada appendiks yang lama atau
disebut jaringan parut, dapat menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang pada kuadran kanan bawah.
Appendiks pun dapat meradang kembali dan dinyatakan sebagai eksasebarsi akut
(Sjamsuhidajat, 2005). Sementara itu, perforasi adalah tahap lanjutan dari appendisitis
akut, meskipun bukti epidemiologis terbaru menunjukkan bahwa appendisitis perforata
dan nonperforata adalah dua penyakit yang berbeda (Brunicardi et al, 2009).
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis appendisitis akut sering nampak dengan gejala khas yang
didasari oleh inflamasi mendadak pada appendiks (Sjamsuhidajat, 2007). Berikut adalah
gejala-gejala dan tanda-tanda dari appendisitis akut:
1. Gejala-gejala
a. Nyeri abdominal
Nyeri abdomen adalah salah satu gejala klasik dari appendisitis akut. Nyeri
berawal dari epigastrium bagian bawah atau sekitar umbilical. Nyeri bersifat difus
atau samar, dengan tingkat keparahan yang mengganggu pasien, dan nyeri bersifat
menetap. Terkadang muncul nyeri kram secara kambuh-kambuhan. Dalam waktu
1 – 12 jam, rata-rata 4 – 6 jam, nyeri kemudian berpusat di kuadran kanan bawah
abdomen. Namun, ada juga nyeri abdomen yang sejak awal dimulai dari kuadran
kanan bawah abdomen dan menetap seterusnya di area tersebut (Brunicardi et al,
2009; Sjamsuhidajat, 2005).
Lokasi pusat nyeri abdomen bervariasi bergantung dari posisi appendiks.
Berikut beberapa contoh nyeri:
1) Nyeri pada kuadran kiri bawah abdomen : appendisitis dengan organ
appendiks berukuran panjang dan inflamasi terjadi pada ujung dari appendiks
2) Nyeri punggung (flank) : appendisitis dengan posisi appendiks
retrocaecal
3) Nyeri suprapubis : appendisitis dengan posisi appendiks pelvical
4) Nyeri testicularis : appendisitis dengan posisi appendiks retroileal
(Brunicardi et al, 2009)
b. Anoreksia
Anoreksia, atau menurunnya nafsu makan, umumnya menjadi gejala
penyerta dari appendisitis akut. Anoreksia ini berhubungan pula dengan gejala
muntah pada appendisitis akut (Brunicardi et al, 2009).
c. Obstipasi
Gangguan pada defekasi umumnya terjadi sebelum atau mengawali dari
gejala nyeri abdomen pada appendisitis akut. Gangguan ini berupa diare, dan hal
ini dirasa pasien mengurangi nyeri pada abdomen pasien (Brunicardi et al, 2009).
d. Muntah
Muntah terjadi pada 70% pasien dengan appendisitis akut, meskipun
muntahnya hanya terjadi satu atau dua kali. Muntah terjadi dikarenakan stimulus
berupa stimulus neural dan terjadinya ileus (Brunicardi et al, 2009).
2. Tanda-tanda
Hasil temuan fisik ditentukan berdasarkan posisi anatomis dari appendiks
yang terinflamasi, serta telah ruptur atau tidaknya organ tersebut. Perubahan tanda
vital terjadi sangat minimal pada appendisitis tanpa komplikasi. Peningkatan suhu
hanya sekitar < 1 ˚ C dan nadi tetap normal atau sedikit meningkat. Perubahan tanda
vital yang besar biasanya menunjukkan adanya komplikasi yang telah terjadi, atau
diagnosis lain bisa dipertimbangkan (Brunicardi et al, 2009). Perforasi pun mungkin
terjadi bila perubahan suhu tubuh menjadi lebih tinggi (Sjamsuhidajat, 2005). Pasien
dengan appendisitis biasanya memilih untuk berbaring dengan posisi telentang
(supine), paha kanan cenderung ditarik ke atas dikarenakan posisi lain justru
meningkatkan rasa nyeri. Bila disuruh untuk bergerak, pasien akan melakukannya
dengan perlahan dan hati-hati (Brunicardi et al, 2009).
Pemeriksaan abdomen pada appendisitis, tidak terdapat kelainan pada inspeksi
abdomen. Bila terlihat perut kembung, menunjukkan telah terjadi perforasi. Bila perut
kanan lebih menonjol dan bisa terlihat adanya massa menunjukkan telah terjadi abses
periapendikuler (Sjamsuhidajat, 2005). Tanda fisik khas dari appendisitis terdapat
pada kuadran kanan bawah abdomen, menunjukkan appendisitis terinflamasi pada
posisi anterior. Nyeri tekan abdomen maksimum pada titik McBurney, serta terdapat
nyeri rebound (tekan-lepas) langsung. Nyeri terasa maksimal pada kuadran kanan
bawah abdomen menunjukkan adanya iritasi pada peritoneal lokal atau setempat.
Tanda Rovsing menunjukkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen ketika
kuadran kiri bawah abdomen dipalpasi. Hal ini juga menunjukkan adanya iritasi pada
peritoneal setempat (Brunicardi et al, 2009; Sjamsuhidajat, 2005). Terdapat pula
hiperestesi kutaneus di area yang diinervasi nervus spinalis sebelah kanan setingkat
T10, T11, dan T12, hal ini sering menyertai appendisitis akut. Pasien dengan
appendisitis akut yang jelas akkan menunjukkan tanda positif pertama berupa
hiperestesia ini. Hiperestesia dapat ditunjukkan dengan tusukan pelan jarum atau
dengan mencubit daerah tersebut (Brunicardi et al, 2009).
Resistensi muskular pada dinding abdomen berhubungan dengan tingkat
keparahan dari proses inflamasi appendiks. Awal proses inflamasi, terdapat resistensi
abdomen berupa tahanan volunter dari abdomen. Bila telah muncul iritasi peritoneal,
spasme otot akan meningkat dan tahanan bersifat involunter. Hal ini dikarenakan
terdapat kontraksi pada otot langsung di bawah peritoneal parietal yang terinflamasi
(Brunicardi et al, 2009).
Variasi posisi anatomis dari appendiks yang terinflamasi akan mengarahkan
perbedaan tanda klinis berupa:
a. Appendiks retrocaecal: tanda nyeri di anterior abdomen jarang terjadi, nyeri lebih
ditunjukkan pada daerah pinggang (flank).
b. Appendiks pelvica: tanda di daerah abdomen hampir tidak ada, tanda ditunjukkan
pada pemeriksaan rectum (rectal tussae). Saat pemeriksaan rectal tussae, jari
ditekan pada peritoneum dari cavum Douglas dan nyeri akan terasa di daerah
suprapubis serta di daerah rectum. Tanda lain dari iritasi muscular ditunjukkan
melalui pemeriksaan tanda Psoas dan tanda Obturator.
(Brunicardi et al, 2009; Sjamsuhidajat, 2005)
Tabel 1. Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik pada appendisitis akut
Manifestasi klinisGejala Nyeri
AnoreksiaMual-muntahKonstipasi / diareDemam
Tanda Nyeri kuadran kanan bawahTahanan muscular di kuadaran kanan bawahLidah kecoklatanNapas bauSuhu meningkat
Pemeriksaan fisik
Tanda McBurneyTanda RovsingTanda reboundTanda psoasTanda obturatorHiperestesia
F. Penegakkan diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada appendisitis akut yang dilakukan dengan
cermat, dapat memenuhi kemungkinan diagnosis sekitar 80 %. Hal ini dikarenakan
diagnosis appendisitis akut lebih dominan berupa manifestasi klinis (Humes, 2006).
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan skoring untuk
memudahkan diagnosis berupa Alvarado Score. Alvarado score adalah skoring yang telah
dibuat hampir dua dekade lalu untuk memprediksi appendisitis akut. Berdasarkan studi
metaanalisis oleh Ohle 2011, Alvarado score secara akurat dapat memprediksi
appendisitis akut dan juga mengeliminasi kemungkinan diagnosis lain. Namun, Alvarado
score masih jarang digunakan dalam praktik klinis dan skoring ini bukan sebagai penegak
diagnosis pasti tanpa tindakan operasi dan pemeriksaan penunjang lainnya (Ohle, 2011).
Meskipun anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan dengan cermat, masih ada
kemungkinan diagnosis appendisitis akut salah sekitar 15 – 20 % kasus. Kemungkinan
kesalahan ini lebih sering terjadi pada perempuan disbanding laki-laki, dikarenakan
perempuan muda sering timbul gangguan yang mirip appendisitis akut. Gangguan
tersebut berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang pelvis, atau
penyaki ginekolog lain. Observasi pada penderita dengan appendisitis akut dilakukan di
rumah sakit dengan pemantauan setiap 1 – 2 jam untuk menurunkan angka kesalahan
diagnosis (Sjamsuhidajat, 2005).
Gambar 3. Alvarado Score (Ohle, 2011)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada appendisitis akut, antara lain:
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan berupa pemeriksaan darah lengkap. Hasil
pemeriksaan berupa peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) menjadi 10000 –
18000 sel/mm3. Leukositosis ini terjadi pada kasus appendisitis akut tanpa
komplikasi. Leukositosis dengan jumlah tersebut diikuti pula dengan peningkatan sel
polimorfonuklear. Bila hasil pemeriksaan leukosit > 18000 sel/mm3, kemungkinan
appendiks telah terjadi komplikasi, yaitu perforasi dengan atau tanpa abses
(Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007). Selain pemeriksaan laboratorium darah,
dilakukan pula pemeriksaan urin (urinalisis). Hasil urinalisis umumnya normal,
namun dapat pula muncul hematuri mikroskopis (pyuria) sebagai petunjuk adanya
inflamasi appendiks yang memang terletak dekat dengan ureter kanan/vesica urinaria
(Sanjay, 2007).
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada appendisitis di antaranya foto polos thoraks,
abdomen, dan pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen. Pemeriksaan foto polos
hanya sebagai pemeriksaan umum pada pasien dengan nyeri akut abdomen, namun
bukan sebagai penegak diagnosis appendisitis akut. Hasil pemeriksaan foto polos
kurang signifikan untuk appendisitis akut, dan hanya sebagai pengeliminasi
diferensial diagnosis lain dari appendisitis akut. Foto polos thoraks hanya untuk
menghilangkan diferensial diagnosis nyeri akut abdomen sebagai nyeri alih dari lobus
inferior pulmo dekstra akibat proses pneumonia, sementara foto polos abdomen
kurang signifikan untuk appendisitis akut karena kadang hanya ditemukan pola gas
usus yang abnormal. Ditemukannya fecalith pada foto polos abdomen termasuk hal
jarang, namun bila ditemukan dapat menjadi hal pendukung untuk diagnosis
appendisitis akut (Brunicardi et al, 2009).
Pemeriksaan radiologi selain poto polos, dapat dilakukan pemeriksaan foto
dengan kontras barium enema. Bila hasil foto kontras appendiks terisi barium, berarti
diagnosis appendisitis dieliminasi, namun bila appendiks tidak terisi barium,
appendisitis masih dapat dipertahankan meskipun belum tegak. Namun, pemeriksaan
radiologi ini perlu pemeriksaan leukosit dengan label radioaktif, serta pemeriksaan ini
jarang dilakukan di Indonesia (Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007).
Pemeriksaan radiologi berupa ultrasonografi (USG) abdomen adalah
pemeriksaan penunjang appendisitis akut yang direkomendasikan, karena cara ini
akurat untuk pemeriksaan appendisitis akut, tidak mahal, dapat dilakukan secara
cepat, aman untuk ibu hamil, dan tidak membutuhkan media kontras (Brunicardi et al,
2009). Namun, USG ini perlu pemeriksaan yang cermat dari operator USG yang ahli
(Humes, 2006). Hasil identifikasi USG abdomen pada appendiks adalah:
a. Appendiks normal: tidak terlihat ujungnya, memiliki lengkung usus nonperistaltis
yang berasal dari caecum, struktur tubular dengan diameter ≤ 5 mm, dan dengan
penekanan kuat saat USG, dapat terlihat appendiks berada di bagian
anteroposterior.
b. Appendisitis: ukuran diameter ≥ 6 mm di anteroposterior, terdapat appendicolith,
penebalan dinding appendiks, dan adanya cairan periapendisial. Selain itu,
terdapat juga dilatasi lumen appendiks bagian sentral yang dikelilingi lapisan
mukosa echogenic dan dinding luar edematosa.
(Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007)
Pemeriksaan topografi komputasi (computed topography—CT scan) dapat
dilakukan pada appendisitis akut dengan cara CT scan helical. Appendiks yang
terinflamasi akan terlihat dilatasi (> 5 cm) dengan dinding yang menebal. Dapat
ditemukan pula bukti adanya inflamasi seperti “lemak kotor”, mesoappendiks yang
menebal, dan adanya phlegmon. Fecolith dapat ditemukan namun bukan hal utama
sebagai penegak diagnosis appendisitis akut. Hal abnormal utama pada pemeriksaan
CT scan untuk appendisitis akut adalah adanya tanda kepala panah akibat penebalan
caecum menuju orificium dari appendiks yang terinflamasi (Brunicardi et al, 2009)
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk appendisitis akut sejatinya adalah diagnosis akut
abdomen, karena manifestasi klinis untuk suatu diagnosis penyakit, namun lebih spesifik
untuk gangguan fisiologis dari abdomen. Diagnosis banding untuk appendisitis akut
berdasarkan empat faktor utama, yaitu lokasi anatomis dari appendiks yang terinflamasi,
tahapan proses, usia pasien, dan jenis kelamin pasien.
1. Adenitis mesenterika akut
Penyakit ini mirip dengan appendisitis akut pada anak. Bedanya, ada infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA) yang terjadi, atau baru sembuh dari ISPA tersebut.
Beda lainnya, nyeri abdomen biasanya difus dan tidak setajam pada appendisitis akut.
Tahanan volunter pada abdomen biasanya ada, namun kaku pada abdomen jarang ada.
Limfadenopati general dapat ditemukan, dengan hasil laboratorium limfositosis
relatif. Perlu observasi beberapa jam untuk mendiagnosis penyakit ini, karena
penyakit ini termasuk penyakit self-limited disease (Brunicardi et al, 2009)
2. Penyakit inflamatori pelvis
Penyakit ini biasanya terjadi secara bilateral, namun bila hanya terjadi pada
tuba ovarium kanan, akan terlihat seperti appendisitis akut. Mual dan muntah hanya
terjadi pada 50% pasien, nyeri dan nyeri tekan biasanya minimal. Namun, gerakan
pada serviks akan menghasilkan nyeri hebat. Terdapat cairan vagina purulen dengan
hasil pemeriksaan apusan berupa diplokokus intraseluler. Perbandingan terjadinya
appendisitis akut dengan inflamatori pelvis adalah rendah pada wanita di masa
menstruasi, dan tinggi pada fase luteal (Brunicardi et al, 2009; Sjamsuhidajat, 2005).
3. Kehamilan ektopik
Rupturnya kehamilan ektopik pada tuba ovarium kanan atau ovarium bagian
kanan akan menghasilkan gejala mirip appendisitis. Bedanya, pada kehamilan ektopik
terdapat riwayat menstruasi yang abnormal. Gejala awal adalah adanya nyeri pada
kuadran kanan bawah atau nyeri pelvical. Adanya massa pada pelvis dan
meningkatnya kadar hormon chorionic gonadotropin (HCG) sebagai penegak
diagnosis dari kehamilan ektopik. Peningkatan leukosit (mencapai 14000 sel/mm3)
bisa terjadi disertai penurunan kadar hematokrit akibat perdarahan ruptur ektopik di
intraabdomen. Pemeriksaan vaginal tussae dapat dilakukan, dan ditemukan nyeri
adneksal serta penonjolan cavum Douglas (Brunicardi et al, 2008; Sjamsuhidajat,
2005).
4. Kista ovarium terpuntir
Kista ovarium serousa adalah penyakit yang asimptomatis, namun ketika sisi
kanan kista ruptur atau terpuntir, manifestasi klinis akan serupa dengan appendisitis.
Terdapat nyeri di kuadran kanan bawah abdomen, dengan nyeri tekan lepas, demam,
serta leukositosis. Bila massa dapat terpalpasi melaui vaginal tussae atau rectal tussae,
penegakkan diagnosis mudah dilakukan. Namun bila massa tidak dapat terpalpasi,
USG transvaginal dan CT scan dapat dilakukan (Brunicardi et al, 2008;
Sjamsuhidajat, 2005).
5. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sering terjadi dan bisa dibedakan dengan appendisitis secara
muntah. Pembedanya adalah terdapat diare profuse, disertai mual dan muntah.
Hiperperistaltis pada abdomen menghasilkan feses yang berair. Abdomen akan
kembali relaksasi di antara kram perut dan tidak terdapat nyeri yang terlokalisasi
(Brunicardi et al, 2008; Sjamsuhidajat, 2005).
H. Penatalaksanaan
Diagnosis appendisitis akut telah tegak dan jelas, penatalaksaan yang tepat adalah
hal utama yang dilakukan berikutnya. Penatalaksanaan awal untuk semua pasien dengan
appendisitis akut adalah antibiotik perioperatif dan dilanjutkan tindakan operasi
apendektomi. Beberapa mengatakan antibiotik tidak perlu diberikan bila appendisitis akut
tanpa komplikasi. Namun, antibiotic diberikan untuk menurunkan insidensi infeksi dari
luka postoperatif dan pencegahan pembentukan abses intraabdominal (Humes, 2006;
Sjamsuhidajat, 2005).
Studi retrospetif oleh Abou-Nukta 2006 menunjukkan tidak ada perbedaan
komplikasi antara operasi apendektomi yang dilakukan segera (< 12 jam setelah jelas
tanda dan gejala) atau nanti (12 – 24 jam). Meskipun begitu, setelah diagnosis tegak,
harus segera dilaksanakan apendektomi tanpa penundaan yang tidak perlu (Abou-Nukta
et al, 2006). Prosedur apendektomi dapat dilakukan apendektomi terbuka (open
appendicectomy) atau apendektomi laparoskopi. Apendektomi terbuka adalah
apendektomi konvensional yang dilakukan melalui insisi pada titik McBurney (oblik)
atau Rocky-Davis (transversal), atau insisi secara kosmetik berupa insisi Lanz (Brunicardi
et al, 2009; Humes, 2006). Insisi dibuat dari bagian tengah menuju titik nyeri maksimal
atau massa yang terpalpasi. Beberapa teknik dapat dilakukan untuk mengetahui lokasi
appendiks. Karena caecum dapat langsung terlihat setelah insisi, maka taenia dapat
ditelusuri secara konvergen untuk menuju basis dari appendiks. Ujung dari appendiks
dapat dilihat dengan cara menggeser lateral ke medial dari caecum. Setelah appendiks
terlihat, appendiks dimobilisasi dengan membelah mesoappendiks dan arteri apendikular
diligasi secara aman (Brunicardi et al, 2009).
Bila appendiks tidak dapat ditemukan, caecum dan mesenter harus diinspeksi
pertama kali. Intestinum tenue (usus halus) diinspeksi selanjutnya dengan metode
retrograde, yaitu dimulai dari valva ileocaecal dan meluas. Pada wanita, organ pelvis
harus diperhatikan. Perluasan insisi ke medial (metode Fowler-Weir), dengan dibelahnya
pembungkus musculus rectus bagian anterior dan posterior, dapat dilakukan bila ada
indikasi untuk melihat bagian bawah abdomen. Bila ditemukan kelainan di bagian atas
abdomen, insisi kuadran kanan bawah ditutup dan insisi midline bagian atas dibuat
(Brunicardi et al, 2009).
Selain apendektomi terbuka, dapat dilakukan apendektomi laparoskopi.
Apendektomi laparoskopi sebagai pilihan disbanding apendektomi terbuka dikarenakan
mengurangi risiko infeksi dari luka operasi, mengurangi nyeri postoperasi dan lama
waktu rawat inap, serta waktu untuk kembali beraktivitas lebih cepat. Namun, teknik
apendektomi ini lebih menuntut dan membutuhkan peralatan spesialis, serta
membutuhkan keahlian operasi dari operator (Humes, 2006).
Penyembuhan secara spontan dapat terjadi pada appendisitis akut tahap awal, dan
terapi dengan antibiotik saja dapat dilakukan bila tidak ada fasilitas apendektomi. Namun,
tingkat terjadinya kekambuhan dari appendisitis dapat terjadi 14 – 35 %. Berdasarkan
tingginya kemungkinan kekambuhan appendisitis akut bila diterapi denan antibiotik saja,
ditambah dengan rendahnya angka kesakitan dan kematian dari operasi apendektomi,
maka intervensi operatif apendektomi menjadi pilihan utama dari penatalaksanaan
appendisitis akut (Humes, 2006).
I. Komplikasi
Komplikasi dari appendisitis akut adalah perforasi, baik perforasi bebas, maupun
perforasi appendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga serupa massa yang
terdiri atas kumpulan appendiks, caecum, dan lekuk usus halus (Sjamsuhidajat, 2005).
Terjadinya perforasi dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Secara signifikan
peningkatan tersebut terjadi pada usia lanjut dan anak-anak, dan biasanya dikarenakan
lambatnya penegakkan diagnosis (Humes, 2006).
Komplikasi lain terjadi sebagai efek postoperasi apendektomi, antara lain:
1. Infeksi luka operasi
Terjadinya infeksi dari luka postoperatif ditentukan dari ada tidaknya
kontaminasi luka saat operasi. Tingkat infeksi bervariasi antara < 5% pada
appendisitis akut simpel hingga mencapai 20% pada appendisitis dengan perforasi dan
gangren. Antibiotik perioperatif diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi pada
luka operasi (Humes, 2006).
2. Abses intraabdomen
Abses intraabdominal atau abses pelvis dapat terbentuk pada masa postoperasi
bila terjadi kontaminasi hebat di cavum peritoneal. Pasien akan mengalami pireksia
yang naik turun dan diagnosis abses ini dapat dikonfirmasi dengan USG atau CT
scan. Antibiotik perioperatif dapat diberikan untuk mengurangi insidensi terjadinya
abses ini (Humes, 2006).
3. Fistula fekalis. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian caecum akibat abses
atau konstriksi dari jahitan (Brunicardi et al, 2009).
4. Obstruksi usus. Obstruksi usus terjadi akibat abses dan terbentuknya perlengketan
usus (Brunicardi et al, 2009).
J. Prognosis
Mortalitas terjadi 0,1 % pada appendisitis akut yang tidak pecah dan 15% jika
pecah. Kematian berasal dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi. Prognosis membaik
dengan diagnosis dini dan terapi yang optimal (Brunicardi et al, 2009).