appendiksitis

23
A. Anatomi dan Fisiologi 1. Anatomi Appendiks tumbuh dan terlihat pada usia delapan minggu dari perkembangan embriologi manusia. Appendiks terlihat sebagai suatu tonjolan keluar dari bagian terminal caecum. Selama perkembangan antenatal dan postnatal, kecepatan pertumbuhan dari caecum menurun sehingga appendiks bergeser ke medial mendekati valva ileocaecal. Basis dari appendiks tetap melekat pada caecum, sementara ujung dari appendiks dapat ditemukan bervariasi pada retrocaecal, paracaecal, subcaecal, pelvis, subileal, preileal, atau postileal (lihat gambar 1). Posisi-posisi anatomis dari appendiks tersebutlah memiliki kepentingan klinis yang signifikan dalam appendisitis akut (Brunicardi et al, 2009).

Upload: aldian-indirawaty

Post on 12-Jan-2016

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

app

TRANSCRIPT

Page 1: Appendiksitis

A. Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi

Appendiks tumbuh dan terlihat pada usia delapan minggu dari perkembangan

embriologi manusia. Appendiks terlihat sebagai suatu tonjolan keluar dari bagian

terminal caecum. Selama perkembangan antenatal dan postnatal, kecepatan

pertumbuhan dari caecum menurun sehingga appendiks bergeser ke medial mendekati

valva ileocaecal. Basis dari appendiks tetap melekat pada caecum, sementara ujung

dari appendiks dapat ditemukan bervariasi pada retrocaecal, paracaecal, subcaecal,

pelvis, subileal, preileal, atau postileal (lihat gambar 1). Posisi-posisi anatomis dari

appendiks tersebutlah memiliki kepentingan klinis yang signifikan dalam appendisitis

akut (Brunicardi et al, 2009).

Gambar 1. Variasi posisi appendiks.

Appendiks memiliki ukuran bervariasi 1 – 25 cm, dengan rata-rata ukuran

sekitar 6 – 9 cm. Berbentuk seperti cacing, dengan lumen bagian proksimal sempit

dan melebar di bagian distal, karenanya appendiks disebut appendiks vermiformis.

Appendiks berada 2,5 cm di bawah valva ileocaecal dan dilihat melalui posteromedial

caecum. Appendiks adalah satu-satunya organ tubuh yang tidak memiliki posisi

anatomis yang konstan, karenanya bisa berada di variasi posisi yang telah disebut

sebelumnya. Bagian appendiks yang konstan adalah bagian basis dari appendiks, yaitu

Page 2: Appendiksitis

pertemuan antara tiga taenia coli (Sanjay, 2007), yaitu taenia libra, taenia omentalis,

dan taenia mesocolica (Brunicardi et al, 2009). Arteri apendicular adalah arteri yang

menyuplai appendiks. Arteri ini cabang dari arteri ileocolica. Pembuluh vena dari

appendiks menuju vena ileocolica dan berakhir di vena mesenterica superior (Sanjay,

2007). Inervasi dari appendiks berupa saraf simpatis dan parasimpatis. Simpatis

berasal dari nervus spinalis thoracalis-10, sedangkan parasimpatis berasal dari cabang

nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis.

Karena persarafan ini, nyeri visceral pada appendisitis berawal dari umbilicus

(Sjamsuhidajat, 2005).

Secara histologis, appendiks memiliki empat lapisan, yaitu tunica mucosa,

tunica submucosa, tunica muscularis, dan tunica serosa. Tunica mucosa dilapisi oleh

sel epitel kolumner simpleks dan sel goblet, lamina propria jaringan ikat, dan selapis

tipis otot polos muscularis mucosa. Tunica submucosa berisi banyak limfoid yang

menembus hingga tunica mucosa. Tunica muscularis berisi otot polos sirkuler dan

longitudinal, yang akan berkumpul membentuk taenia coli. Tunica serosa berisi

selapis tipis sel epitel squamous sebagai peritoneum (Junqueira, 2005).

Jaringan limfoid pada appendiks muncul pertama kali dua minggu postnatal.

Jumlah jaringan limfoid meningkat hingga pubertas, dan jumlahnya menetap 10 tahun

setelahnya. Jumlahnya akan menurun sesuai usia. Usia di atas 60 tahun, sudah tidak

ada lagi jaringan limfoid yang tersisa di appendiks dan akan terjadi obliterasi pada

lumen appendiks (Brunicardi et al, 2009). Sejumlah kanal limfatik dari

mesoappendiks akan menuju nodul limfatikus dari ileocaecal (Sanjay, 2007).

2. Fisiologi

Appendiks menghasilkan lendir sebanyak 1 – 2 ml per hari. Lendir ini

normalnya dialirkan ke dalam lumen appendiks dan berlanjut menuju caecum. Bila

ada hambatan pada aliran lendir ini, dapat berperan dalam patogenesis appendisitis.

Jaringan limfoid pada intestinal atau disebut gut associated lymphoid tissue (GALT),

menyekresikan immunoglobulin sekretoar yaitu IgA. Immunoglobulin ini efektif

sebagai pelindung infeksi.

A. Definisi

Appendisitis akut adalah suatu inflamasi akut yang terjadi pada appendiks

vermiformis. Appendisitis akut umumnya terjadi dikarenakan obstruksi pada lumen

Page 3: Appendiksitis

appendiks. Obstruksi ini bisa disebabkan infeksi mikroorganisme bakteri, feses, maupun

hiperplasia limfoid. (Sjamsuhidajat, 2005).

B. Epidemiologi

Appendisitis umumnya terjadi pada remaja, dengan 40% kasus appendisitis terjadi

pada pasien usia 10 – 29 tahun (Brunicardi et al, 2009). Insidensi appendisitis akut di

negara maju lebih tinggi dibandingkan negara berkembang, namun tiga sampai empat

dasawarsa terakhir terjadi penurunan insidensi disebabkan meningkatnya penggunaan

makanan berserat dalam menu sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2005). Appendisitis akut dapat

ditemukan pada semua usia, hanya saja untuk usia kurang dari 1 tahun jarang terjadi.

Insidensi pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali usia sekitar 20 – 30

tahun lebih tinggi pada lelaki (Sjamsuhidajat, 2005). Penanganan operatif untuk

appendisitis akut melalui apendektomi, adalah salah satu perkembangan medis terhebat

sepanjang 150 tahun terakhir. Apendektomi sebagai satu tindakan operatif emergensi

yang paling umum dilakukan di seluruh dunia dengan tingkat mortalitas dari tindakan

operatif ini hanya kurang dari 1% (Brunicardi et al, 2009).

C. Etiologi

Faktor etiologi dominan dari appendisitis akut adalah obstruksi pada lumen

appendiks. Berbagai hal dapat menyebabkan terjadinya obstruksi pada lumen, antara lain:

1. Fecaliths (Faex: feses, tinja; Lithos: batu), penyebab tersering dari obstruksi lumen

appendiks

2. Penyebab obstruksi appendiks lainnya yang jarang terjadi:

a. Hipertrofi jaringan limfoid

b. Sisa barium dari pemeriksaan radiologist

c. Tumor

d. Biji sayuran dan buah-buahan

e. Parasit di usus, seperti cacing Ascaris lumbricoides atau protozoa Entamoeba

hystolitica.

Kebiasaan makan makanan rendah serat dan terjadinya konstipasi, berpengaruh terhadap

terjadinya appendisitis (Brunicardi et al, 2009; Sjamsuhidajat, 2005). Frekuensi terjadinya

obstruksi pada lumen appendiks meningkat keparahannya seiring dengan proses

inflamasi. Fecaliths ditemukan sebagai penyebab 40% kasus appendisitis akut simpel,

Page 4: Appendiksitis

65% kasus appendisitis gangren tanpa ruptur, dan hampir 90% kasus appendisitis gangren

dengan ruptur (Brunicardi et al, 2009).

D. Patogenesis dan Patofisiologi

Obstruksi pada proksimal lumen appendiks akan menyebabkan obstruksi

lengkung-tertutup. Obstruksi lengkung-tertutup ini menyebabkan sekresi normal dari

mucosa appendiks terus terjadi sehingga terjadi distensi pada appendiks. Normalnya,

lumen appendiks hanya berkapasitas 0,1 mL. Sekresi yang terjadi walaupun hanya 0,5

mL cairan pada distal obstruksi, dapat meningkatkan tekanan intraluminal hingga 60 cm

H2O. Distensi appendiks ini akan menstimulus ujung saraf dari visceral aferen untuk

meregangkan serabutnya. Hal ini menghasilkan nyeri bersifat difus, samara-samar, dan

tumpul pada midabdomen atau bagian bawah dari epigastrium, Distensi juga menstimulus

peristaltis sehingga nyeri kram pada abdomen akan menutupi nyeri pada visceral di awal

terjadinya appendisitis (Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007).

Meningkatnya jumlah bakteri yang mengisi lumen appendiks akan menyebabkan

sekresi mukosa terjadi terus menerus dan distensi appendiks semakin meningkat. Distensi

pada ada tahap ini, refleks mual dan muntah mulai terjadi dan nyeri difus terasa semakin

parah. Tekanan pada organ pun meningkat sehingga tekanan vena juga melebihi batasnya.

Kapiler dan venula menjadi teroklusi (tertutup), namun aliran dari arteriol tetap terjadi,

sehingga terjadi halangan dan kongesti vaskular (Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007).

Seluruh proses sejak dimulainya obstruksi dan sekresi mukosa hingga melibatkan

dinding appendiks, terjadi dalam waktu 24 – 48 jam pertama (Sjamsuhidajat, 2005).

Proses inflamasi mulai terjadi pada tunica serosa appendiks hingga peritoneum parietal

pada appendiks. Hal ini lah yang menyebabkan karakteristik nyeri pada kuadran kanan

bawah dan juga nyeri alih (rebound) dari kuadran kanan bawah (Brunicardi et al, 2009;

Sanjay, 2007).

Tunica mucosa dari gastrointestinal, termasuk appendiks, rentan terhadap

kerusakan aliran darah sehingga integritas dari pembuluh darah appendiks telah terganggu

sejak awal proses obstruksi. Hal inilah yang menyebabkan invasi bakteri terjadi. Distensi

appendiks yang berlebih akan mengganggu aliran balik vena dan aliran masuk arteriol,

menyebabkan daerah dengan suplai darah paling sedikit menjadi menderita. Infark mulai

terjadi pada daerah tersebut, yaitu perbatasan dengan antimessenterika. Dengan terjadinya

distensi appendiks, suplai vaskular terganggu, dan infark yang terjadi secara bertahap,

Page 5: Appendiksitis

menyebabkan perforasi terjadi dan biasanya dimulai dari salah satu daerah infark pada

perbatasan antimesenterika. Perforasi pun terjadi jauh dari ujung obstruksi dikarenakan

efek diameter dari tekanan intraluminal (Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007).

Gangguan pada appendisitis akut berasal dari seringnya cavum peritoneal

terinfeksi, dimulai dari fokus infeksi pertama, baik tersebar infeksinya melalui perforasi,

maupun pindahnya bakteri melalui dinding apendikular. Omentum mayus berperan

terhadap menahan penyebaran invasi peritoneal, sementara peristaltis yang berlebih justru

membantu penyebaran invasi (Sanjay, 2007). Beberapa episode appendisitis akut justru

mereda secara spontan. Banyak pasien saat apendektomi ditemukan appendisitis akut

justru memiliki gejala appendisitis berupa nyeri di kuadran kanan bawah yang lebih

ringan (Brunicardi et al, 2009).

Hasil pemeriksaan patologi anatomi appendiks dari pasien tersebut justru

menunjukkan penebalan dan luka pada appendiks, yang berarti inflamasi akut yang telah

lama dan menyembuh (Brunicardi et al, 2009). Luka pada appendiks yang lama atau

disebut jaringan parut, dapat menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.

Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang pada kuadran kanan bawah.

Appendiks pun dapat meradang kembali dan dinyatakan sebagai eksasebarsi akut

(Sjamsuhidajat, 2005). Sementara itu, perforasi adalah tahap lanjutan dari appendisitis

akut, meskipun bukti epidemiologis terbaru menunjukkan bahwa appendisitis perforata

dan nonperforata adalah dua penyakit yang berbeda (Brunicardi et al, 2009).

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis appendisitis akut sering nampak dengan gejala khas yang

didasari oleh inflamasi mendadak pada appendiks (Sjamsuhidajat, 2007). Berikut adalah

gejala-gejala dan tanda-tanda dari appendisitis akut:

1. Gejala-gejala

a. Nyeri abdominal

Nyeri abdomen adalah salah satu gejala klasik dari appendisitis akut. Nyeri

berawal dari epigastrium bagian bawah atau sekitar umbilical. Nyeri bersifat difus

atau samar, dengan tingkat keparahan yang mengganggu pasien, dan nyeri bersifat

menetap. Terkadang muncul nyeri kram secara kambuh-kambuhan. Dalam waktu

1 – 12 jam, rata-rata 4 – 6 jam, nyeri kemudian berpusat di kuadran kanan bawah

abdomen. Namun, ada juga nyeri abdomen yang sejak awal dimulai dari kuadran

Page 6: Appendiksitis

kanan bawah abdomen dan menetap seterusnya di area tersebut (Brunicardi et al,

2009; Sjamsuhidajat, 2005).

Lokasi pusat nyeri abdomen bervariasi bergantung dari posisi appendiks.

Berikut beberapa contoh nyeri:

1) Nyeri pada kuadran kiri bawah abdomen : appendisitis dengan organ

appendiks berukuran panjang dan inflamasi terjadi pada ujung dari appendiks

2) Nyeri punggung (flank) : appendisitis dengan posisi appendiks

retrocaecal

3) Nyeri suprapubis : appendisitis dengan posisi appendiks pelvical

4) Nyeri testicularis : appendisitis dengan posisi appendiks retroileal

(Brunicardi et al, 2009)

b. Anoreksia

Anoreksia, atau menurunnya nafsu makan, umumnya menjadi gejala

penyerta dari appendisitis akut. Anoreksia ini berhubungan pula dengan gejala

muntah pada appendisitis akut (Brunicardi et al, 2009).

c. Obstipasi

Gangguan pada defekasi umumnya terjadi sebelum atau mengawali dari

gejala nyeri abdomen pada appendisitis akut. Gangguan ini berupa diare, dan hal

ini dirasa pasien mengurangi nyeri pada abdomen pasien (Brunicardi et al, 2009).

d. Muntah

Muntah terjadi pada 70% pasien dengan appendisitis akut, meskipun

muntahnya hanya terjadi satu atau dua kali. Muntah terjadi dikarenakan stimulus

berupa stimulus neural dan terjadinya ileus (Brunicardi et al, 2009).

2. Tanda-tanda

Hasil temuan fisik ditentukan berdasarkan posisi anatomis dari appendiks

yang terinflamasi, serta telah ruptur atau tidaknya organ tersebut. Perubahan tanda

vital terjadi sangat minimal pada appendisitis tanpa komplikasi. Peningkatan suhu

hanya sekitar < 1 ˚ C dan nadi tetap normal atau sedikit meningkat. Perubahan tanda

vital yang besar biasanya menunjukkan adanya komplikasi yang telah terjadi, atau

diagnosis lain bisa dipertimbangkan (Brunicardi et al, 2009). Perforasi pun mungkin

terjadi bila perubahan suhu tubuh menjadi lebih tinggi (Sjamsuhidajat, 2005). Pasien

dengan appendisitis biasanya memilih untuk berbaring dengan posisi telentang

(supine), paha kanan cenderung ditarik ke atas dikarenakan posisi lain justru

Page 7: Appendiksitis

meningkatkan rasa nyeri. Bila disuruh untuk bergerak, pasien akan melakukannya

dengan perlahan dan hati-hati (Brunicardi et al, 2009).

Pemeriksaan abdomen pada appendisitis, tidak terdapat kelainan pada inspeksi

abdomen. Bila terlihat perut kembung, menunjukkan telah terjadi perforasi. Bila perut

kanan lebih menonjol dan bisa terlihat adanya massa menunjukkan telah terjadi abses

periapendikuler (Sjamsuhidajat, 2005). Tanda fisik khas dari appendisitis terdapat

pada kuadran kanan bawah abdomen, menunjukkan appendisitis terinflamasi pada

posisi anterior. Nyeri tekan abdomen maksimum pada titik McBurney, serta terdapat

nyeri rebound (tekan-lepas) langsung. Nyeri terasa maksimal pada kuadran kanan

bawah abdomen menunjukkan adanya iritasi pada peritoneal lokal atau setempat.

Tanda Rovsing menunjukkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen ketika

kuadran kiri bawah abdomen dipalpasi. Hal ini juga menunjukkan adanya iritasi pada

peritoneal setempat (Brunicardi et al, 2009; Sjamsuhidajat, 2005). Terdapat pula

hiperestesi kutaneus di area yang diinervasi nervus spinalis sebelah kanan setingkat

T10, T11, dan T12, hal ini sering menyertai appendisitis akut. Pasien dengan

appendisitis akut yang jelas akkan menunjukkan tanda positif pertama berupa

hiperestesia ini. Hiperestesia dapat ditunjukkan dengan tusukan pelan jarum atau

dengan mencubit daerah tersebut (Brunicardi et al, 2009).

Resistensi muskular pada dinding abdomen berhubungan dengan tingkat

keparahan dari proses inflamasi appendiks. Awal proses inflamasi, terdapat resistensi

abdomen berupa tahanan volunter dari abdomen. Bila telah muncul iritasi peritoneal,

spasme otot akan meningkat dan tahanan bersifat involunter. Hal ini dikarenakan

terdapat kontraksi pada otot langsung di bawah peritoneal parietal yang terinflamasi

(Brunicardi et al, 2009).

Variasi posisi anatomis dari appendiks yang terinflamasi akan mengarahkan

perbedaan tanda klinis berupa:

a. Appendiks retrocaecal: tanda nyeri di anterior abdomen jarang terjadi, nyeri lebih

ditunjukkan pada daerah pinggang (flank).

b. Appendiks pelvica: tanda di daerah abdomen hampir tidak ada, tanda ditunjukkan

pada pemeriksaan rectum (rectal tussae). Saat pemeriksaan rectal tussae, jari

ditekan pada peritoneum dari cavum Douglas dan nyeri akan terasa di daerah

suprapubis serta di daerah rectum. Tanda lain dari iritasi muscular ditunjukkan

melalui pemeriksaan tanda Psoas dan tanda Obturator.

(Brunicardi et al, 2009; Sjamsuhidajat, 2005)

Page 8: Appendiksitis

Tabel 1. Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik pada appendisitis akut

Manifestasi klinisGejala Nyeri

AnoreksiaMual-muntahKonstipasi / diareDemam

Tanda Nyeri kuadran kanan bawahTahanan muscular di kuadaran kanan bawahLidah kecoklatanNapas bauSuhu meningkat

Pemeriksaan fisik

Tanda McBurneyTanda RovsingTanda reboundTanda psoasTanda obturatorHiperestesia

F. Penegakkan diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada appendisitis akut yang dilakukan dengan

cermat, dapat memenuhi kemungkinan diagnosis sekitar 80 %. Hal ini dikarenakan

diagnosis appendisitis akut lebih dominan berupa manifestasi klinis (Humes, 2006).

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan skoring untuk

memudahkan diagnosis berupa Alvarado Score. Alvarado score adalah skoring yang telah

dibuat hampir dua dekade lalu untuk memprediksi appendisitis akut. Berdasarkan studi

metaanalisis oleh Ohle 2011, Alvarado score secara akurat dapat memprediksi

appendisitis akut dan juga mengeliminasi kemungkinan diagnosis lain. Namun, Alvarado

score masih jarang digunakan dalam praktik klinis dan skoring ini bukan sebagai penegak

diagnosis pasti tanpa tindakan operasi dan pemeriksaan penunjang lainnya (Ohle, 2011).

Meskipun anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan dengan cermat, masih ada

kemungkinan diagnosis appendisitis akut salah sekitar 15 – 20 % kasus. Kemungkinan

kesalahan ini lebih sering terjadi pada perempuan disbanding laki-laki, dikarenakan

perempuan muda sering timbul gangguan yang mirip appendisitis akut. Gangguan

tersebut berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang pelvis, atau

penyaki ginekolog lain. Observasi pada penderita dengan appendisitis akut dilakukan di

rumah sakit dengan pemantauan setiap 1 – 2 jam untuk menurunkan angka kesalahan

diagnosis (Sjamsuhidajat, 2005).

Page 9: Appendiksitis

Gambar 3. Alvarado Score (Ohle, 2011)

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada appendisitis akut, antara lain:

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan berupa pemeriksaan darah lengkap. Hasil

pemeriksaan berupa peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) menjadi 10000 –

18000 sel/mm3. Leukositosis ini terjadi pada kasus appendisitis akut tanpa

komplikasi. Leukositosis dengan jumlah tersebut diikuti pula dengan peningkatan sel

polimorfonuklear. Bila hasil pemeriksaan leukosit > 18000 sel/mm3, kemungkinan

appendiks telah terjadi komplikasi, yaitu perforasi dengan atau tanpa abses

(Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007). Selain pemeriksaan laboratorium darah,

dilakukan pula pemeriksaan urin (urinalisis). Hasil urinalisis umumnya normal,

namun dapat pula muncul hematuri mikroskopis (pyuria) sebagai petunjuk adanya

Page 10: Appendiksitis

inflamasi appendiks yang memang terletak dekat dengan ureter kanan/vesica urinaria

(Sanjay, 2007).

2. Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada appendisitis di antaranya foto polos thoraks,

abdomen, dan pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen. Pemeriksaan foto polos

hanya sebagai pemeriksaan umum pada pasien dengan nyeri akut abdomen, namun

bukan sebagai penegak diagnosis appendisitis akut. Hasil pemeriksaan foto polos

kurang signifikan untuk appendisitis akut, dan hanya sebagai pengeliminasi

diferensial diagnosis lain dari appendisitis akut. Foto polos thoraks hanya untuk

menghilangkan diferensial diagnosis nyeri akut abdomen sebagai nyeri alih dari lobus

inferior pulmo dekstra akibat proses pneumonia, sementara foto polos abdomen

kurang signifikan untuk appendisitis akut karena kadang hanya ditemukan pola gas

usus yang abnormal. Ditemukannya fecalith pada foto polos abdomen termasuk hal

jarang, namun bila ditemukan dapat menjadi hal pendukung untuk diagnosis

appendisitis akut (Brunicardi et al, 2009).

Pemeriksaan radiologi selain poto polos, dapat dilakukan pemeriksaan foto

dengan kontras barium enema. Bila hasil foto kontras appendiks terisi barium, berarti

diagnosis appendisitis dieliminasi, namun bila appendiks tidak terisi barium,

appendisitis masih dapat dipertahankan meskipun belum tegak. Namun, pemeriksaan

radiologi ini perlu pemeriksaan leukosit dengan label radioaktif, serta pemeriksaan ini

jarang dilakukan di Indonesia (Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007).

Pemeriksaan radiologi berupa ultrasonografi (USG) abdomen adalah

pemeriksaan penunjang appendisitis akut yang direkomendasikan, karena cara ini

akurat untuk pemeriksaan appendisitis akut, tidak mahal, dapat dilakukan secara

cepat, aman untuk ibu hamil, dan tidak membutuhkan media kontras (Brunicardi et al,

2009). Namun, USG ini perlu pemeriksaan yang cermat dari operator USG yang ahli

(Humes, 2006). Hasil identifikasi USG abdomen pada appendiks adalah:

a. Appendiks normal: tidak terlihat ujungnya, memiliki lengkung usus nonperistaltis

yang berasal dari caecum, struktur tubular dengan diameter ≤ 5 mm, dan dengan

penekanan kuat saat USG, dapat terlihat appendiks berada di bagian

anteroposterior.

b. Appendisitis: ukuran diameter ≥ 6 mm di anteroposterior, terdapat appendicolith,

penebalan dinding appendiks, dan adanya cairan periapendisial. Selain itu,

Page 11: Appendiksitis

terdapat juga dilatasi lumen appendiks bagian sentral yang dikelilingi lapisan

mukosa echogenic dan dinding luar edematosa.

(Brunicardi et al, 2009; Sanjay, 2007)

Pemeriksaan topografi komputasi (computed topography—CT scan) dapat

dilakukan pada appendisitis akut dengan cara CT scan helical. Appendiks yang

terinflamasi akan terlihat dilatasi (> 5 cm) dengan dinding yang menebal. Dapat

ditemukan pula bukti adanya inflamasi seperti “lemak kotor”, mesoappendiks yang

menebal, dan adanya phlegmon. Fecolith dapat ditemukan namun bukan hal utama

sebagai penegak diagnosis appendisitis akut. Hal abnormal utama pada pemeriksaan

CT scan untuk appendisitis akut adalah adanya tanda kepala panah akibat penebalan

caecum menuju orificium dari appendiks yang terinflamasi (Brunicardi et al, 2009)

G. Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk appendisitis akut sejatinya adalah diagnosis akut

abdomen, karena manifestasi klinis untuk suatu diagnosis penyakit, namun lebih spesifik

untuk gangguan fisiologis dari abdomen. Diagnosis banding untuk appendisitis akut

berdasarkan empat faktor utama, yaitu lokasi anatomis dari appendiks yang terinflamasi,

tahapan proses, usia pasien, dan jenis kelamin pasien.

1. Adenitis mesenterika akut

Penyakit ini mirip dengan appendisitis akut pada anak. Bedanya, ada infeksi

saluran pernafasan atas (ISPA) yang terjadi, atau baru sembuh dari ISPA tersebut.

Beda lainnya, nyeri abdomen biasanya difus dan tidak setajam pada appendisitis akut.

Tahanan volunter pada abdomen biasanya ada, namun kaku pada abdomen jarang ada.

Limfadenopati general dapat ditemukan, dengan hasil laboratorium limfositosis

relatif. Perlu observasi beberapa jam untuk mendiagnosis penyakit ini, karena

penyakit ini termasuk penyakit self-limited disease (Brunicardi et al, 2009)

2. Penyakit inflamatori pelvis

Penyakit ini biasanya terjadi secara bilateral, namun bila hanya terjadi pada

tuba ovarium kanan, akan terlihat seperti appendisitis akut. Mual dan muntah hanya

terjadi pada 50% pasien, nyeri dan nyeri tekan biasanya minimal. Namun, gerakan

pada serviks akan menghasilkan nyeri hebat. Terdapat cairan vagina purulen dengan

hasil pemeriksaan apusan berupa diplokokus intraseluler. Perbandingan terjadinya

appendisitis akut dengan inflamatori pelvis adalah rendah pada wanita di masa

menstruasi, dan tinggi pada fase luteal (Brunicardi et al, 2009; Sjamsuhidajat, 2005).

Page 12: Appendiksitis

3. Kehamilan ektopik

Rupturnya kehamilan ektopik pada tuba ovarium kanan atau ovarium bagian

kanan akan menghasilkan gejala mirip appendisitis. Bedanya, pada kehamilan ektopik

terdapat riwayat menstruasi yang abnormal. Gejala awal adalah adanya nyeri pada

kuadran kanan bawah atau nyeri pelvical. Adanya massa pada pelvis dan

meningkatnya kadar hormon chorionic gonadotropin (HCG) sebagai penegak

diagnosis dari kehamilan ektopik. Peningkatan leukosit (mencapai 14000 sel/mm3)

bisa terjadi disertai penurunan kadar hematokrit akibat perdarahan ruptur ektopik di

intraabdomen. Pemeriksaan vaginal tussae dapat dilakukan, dan ditemukan nyeri

adneksal serta penonjolan cavum Douglas (Brunicardi et al, 2008; Sjamsuhidajat,

2005).

4. Kista ovarium terpuntir

Kista ovarium serousa adalah penyakit yang asimptomatis, namun ketika sisi

kanan kista ruptur atau terpuntir, manifestasi klinis akan serupa dengan appendisitis.

Terdapat nyeri di kuadran kanan bawah abdomen, dengan nyeri tekan lepas, demam,

serta leukositosis. Bila massa dapat terpalpasi melaui vaginal tussae atau rectal tussae,

penegakkan diagnosis mudah dilakukan. Namun bila massa tidak dapat terpalpasi,

USG transvaginal dan CT scan dapat dilakukan (Brunicardi et al, 2008;

Sjamsuhidajat, 2005).

5. Gastroenteritis akut

Penyakit ini sering terjadi dan bisa dibedakan dengan appendisitis secara

muntah. Pembedanya adalah terdapat diare profuse, disertai mual dan muntah.

Hiperperistaltis pada abdomen menghasilkan feses yang berair. Abdomen akan

kembali relaksasi di antara kram perut dan tidak terdapat nyeri yang terlokalisasi

(Brunicardi et al, 2008; Sjamsuhidajat, 2005).

H. Penatalaksanaan

Diagnosis appendisitis akut telah tegak dan jelas, penatalaksaan yang tepat adalah

hal utama yang dilakukan berikutnya. Penatalaksanaan awal untuk semua pasien dengan

appendisitis akut adalah antibiotik perioperatif dan dilanjutkan tindakan operasi

apendektomi. Beberapa mengatakan antibiotik tidak perlu diberikan bila appendisitis akut

tanpa komplikasi. Namun, antibiotic diberikan untuk menurunkan insidensi infeksi dari

luka postoperatif dan pencegahan pembentukan abses intraabdominal (Humes, 2006;

Sjamsuhidajat, 2005).

Page 13: Appendiksitis

Studi retrospetif oleh Abou-Nukta 2006 menunjukkan tidak ada perbedaan

komplikasi antara operasi apendektomi yang dilakukan segera (< 12 jam setelah jelas

tanda dan gejala) atau nanti (12 – 24 jam). Meskipun begitu, setelah diagnosis tegak,

harus segera dilaksanakan apendektomi tanpa penundaan yang tidak perlu (Abou-Nukta

et al, 2006). Prosedur apendektomi dapat dilakukan apendektomi terbuka (open

appendicectomy) atau apendektomi laparoskopi. Apendektomi terbuka adalah

apendektomi konvensional yang dilakukan melalui insisi pada titik McBurney (oblik)

atau Rocky-Davis (transversal), atau insisi secara kosmetik berupa insisi Lanz (Brunicardi

et al, 2009; Humes, 2006). Insisi dibuat dari bagian tengah menuju titik nyeri maksimal

atau massa yang terpalpasi. Beberapa teknik dapat dilakukan untuk mengetahui lokasi

appendiks. Karena caecum dapat langsung terlihat setelah insisi, maka taenia dapat

ditelusuri secara konvergen untuk menuju basis dari appendiks. Ujung dari appendiks

dapat dilihat dengan cara menggeser lateral ke medial dari caecum. Setelah appendiks

terlihat, appendiks dimobilisasi dengan membelah mesoappendiks dan arteri apendikular

diligasi secara aman (Brunicardi et al, 2009).

Bila appendiks tidak dapat ditemukan, caecum dan mesenter harus diinspeksi

pertama kali. Intestinum tenue (usus halus) diinspeksi selanjutnya dengan metode

retrograde, yaitu dimulai dari valva ileocaecal dan meluas. Pada wanita, organ pelvis

harus diperhatikan. Perluasan insisi ke medial (metode Fowler-Weir), dengan dibelahnya

pembungkus musculus rectus bagian anterior dan posterior, dapat dilakukan bila ada

indikasi untuk melihat bagian bawah abdomen. Bila ditemukan kelainan di bagian atas

abdomen, insisi kuadran kanan bawah ditutup dan insisi midline bagian atas dibuat

(Brunicardi et al, 2009).

Selain apendektomi terbuka, dapat dilakukan apendektomi laparoskopi.

Apendektomi laparoskopi sebagai pilihan disbanding apendektomi terbuka dikarenakan

mengurangi risiko infeksi dari luka operasi, mengurangi nyeri postoperasi dan lama

waktu rawat inap, serta waktu untuk kembali beraktivitas lebih cepat. Namun, teknik

apendektomi ini lebih menuntut dan membutuhkan peralatan spesialis, serta

membutuhkan keahlian operasi dari operator (Humes, 2006).

Penyembuhan secara spontan dapat terjadi pada appendisitis akut tahap awal, dan

terapi dengan antibiotik saja dapat dilakukan bila tidak ada fasilitas apendektomi. Namun,

tingkat terjadinya kekambuhan dari appendisitis dapat terjadi 14 – 35 %. Berdasarkan

tingginya kemungkinan kekambuhan appendisitis akut bila diterapi denan antibiotik saja,

ditambah dengan rendahnya angka kesakitan dan kematian dari operasi apendektomi,

Page 14: Appendiksitis

maka intervensi operatif apendektomi menjadi pilihan utama dari penatalaksanaan

appendisitis akut (Humes, 2006).

I. Komplikasi

Komplikasi dari appendisitis akut adalah perforasi, baik perforasi bebas, maupun

perforasi appendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga serupa massa yang

terdiri atas kumpulan appendiks, caecum, dan lekuk usus halus (Sjamsuhidajat, 2005).

Terjadinya perforasi dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Secara signifikan

peningkatan tersebut terjadi pada usia lanjut dan anak-anak, dan biasanya dikarenakan

lambatnya penegakkan diagnosis (Humes, 2006).

Komplikasi lain terjadi sebagai efek postoperasi apendektomi, antara lain:

1. Infeksi luka operasi

Terjadinya infeksi dari luka postoperatif ditentukan dari ada tidaknya

kontaminasi luka saat operasi. Tingkat infeksi bervariasi antara < 5% pada

appendisitis akut simpel hingga mencapai 20% pada appendisitis dengan perforasi dan

gangren. Antibiotik perioperatif diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi pada

luka operasi (Humes, 2006).

2. Abses intraabdomen

Abses intraabdominal atau abses pelvis dapat terbentuk pada masa postoperasi

bila terjadi kontaminasi hebat di cavum peritoneal. Pasien akan mengalami pireksia

yang naik turun dan diagnosis abses ini dapat dikonfirmasi dengan USG atau CT

scan. Antibiotik perioperatif dapat diberikan untuk mengurangi insidensi terjadinya

abses ini (Humes, 2006).

3. Fistula fekalis. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian caecum akibat abses

atau konstriksi dari jahitan (Brunicardi et al, 2009).

4. Obstruksi usus. Obstruksi usus terjadi akibat abses dan terbentuknya perlengketan

usus (Brunicardi et al, 2009).

J. Prognosis

Mortalitas terjadi 0,1 % pada appendisitis akut yang tidak pecah dan 15% jika

pecah. Kematian berasal dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi. Prognosis membaik

dengan diagnosis dini dan terapi yang optimal (Brunicardi et al, 2009).

Page 15: Appendiksitis