Download - Analisis Kasus Responsi
BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien seorang G4P3A0, umur kehamilan 28 minggu, usia 37 tahun, merupakan
rujukan dari RS Sarila Husada Sragen pada tanggal 29 April 2015 dengan keterangan PPI,
riwayat APH e.c. plasenta letak rendah pada multigravida hamil preterm dengan tumor
parietal dan leukosistosis (AL 31,700). Pasien mengaku sedang merasa hamil 7 bulan,
gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air kawah sudah
dirasakan rembes-rembes keluar sejak 2 hari SMRS, lendir darah (-). Pasien menyangkal
adanya demam (-), pusing (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-).
Didapatkan riwayat demam 2 hari SMRS dengan batuk, riwayat kejang (-), riwayat hipertensi
(-), riwayat diabetes melitus (-), riwayat penyakit jantung (-), riwayat alergi (-), riwayat asma
(-). Pasien merupakan pasien poliklinik saraf RSDM dengan tumor parietal, kontrol satu kali,
CT Scan (+) dua tahun yang lalu.
Adanya data bahwa pasien mengalami rembes-rembes dari jalan lahirnya sejak 2 hari
SMRS memungkinkan pasien mengalami ketuban pecah dini. Tetapi kemungkinan ketuban
pecah dini pada pasien harus dikonfirmasi dari pemeriksaan fisik berupa inspekulo dan
pemeriksaan penunjang berupa nitrazine test atau lainnya. Riwayat obstetri pasien dimana
saat ini sedang hamil keempat dengan usia kehamilan 28 minggu dan ditambah pasien merasa
hamil 7 bulan menunjukkan bahwa pasien merupakan seorang multigravida hamil preterm.
Belum adanya kenceng-kenceng teratur dan lendir darah pada pasien memungkinkan bahwa
kehamilan pasien belum memasuki persalinan. Kondisi belum dalam persalinan pada pasien
ini nantinya harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik dari abdomen dan ginekologi serta
pemeriksaan penunjang yang mendukung seperti USG dan CTG. Riwayat demam sejakan 2
hari SMRS memerlukan perhatian khusus yang mengarah kepada tanda-tanda infeksi. Data
diagnosis tumor regio parietal dari poliklinik saraf RSDM dan riwayat perdarahan dari jalan
lahir sebelumnya karena adanya kondisi plasenta previa totalis juga sangat berpengaruh
diagnosis, manejemen, dan prognosis persalinan pasien tersebut.
Pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum pasien baik dengan kesadaran kompos
mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88 kali/menit, frekuensi nafas 18 kali/menit, dan
suhu tubuh 38,2°C per aksila. Pada pemeriksaan mata dan thoraks dari pasien tidak
ditemukan adanya kelainan. Sedangkan pada pemeriksaan abdomen didapatkan perut yang
supel, tidak nyeri tekan, teraba janin tunggal, intrauterin, memanjang, presentasi kepala,
punggung kanan, tidak didapatkan his, didapatkan denyut jantung janin sebanyak 12-11-11.
Saat dilakukan pemeriksaan dalam inspekulo didapatkan vulva/uretra tenang, dinding vagina
dalam batas normal, portio tampak livide, OUE tertutup, air ketuban tampak keluar dari OUE
jernih dan tidak berbau, tidak didapatkan darah, tidak didapatkan discharge. Adapun
pemeriksaan vagina touche tidak dilakukan karena ada konta indikasi pada pasien tersebut.
Kondisi umum dan vital pada pasien tersebut tidak didapatkan kelainan, terkecuali suhu
tubuh pasien yang mengindikasikan febris. Kondisi febris pada pasien tersebut memerlukan
observasi dan manejemen pemeberian antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada
kehamilan pasien, ditambah adanya faktor resiko berupa kemungkinan ketuban pecah dini.
Pada pemeriksaan mata yang menilai konjungtiva dan sklera serta pemeriksaan thoraks yang
menilai pulmo dan cor tidak didapatkan kelainan. Dari inspeksi abdomen pasien tampak
besar perut sesuai dengan usia kehamilan, yakni kira-kira 3 jari di atas pusat. Saat dilakukan
palpasi abdomen didapatkan hasil yang mendukung bahwa pasien belum dalam persalinan,
yakni tidak didapatkan his. Hasil lain dari palpasi abdomen menunjukkan gambaran kondisi
janin seperti tersebut di atas. Perkusi abdomen tidak dilakukan pada pasien tersebut.
Auskultasi abdomen ditujukan untuk menilai kondisi denyut jantung janin yang menunjukkan
hasil normal. Selanjutnya dari pemeriksaan ginekologi hanyak dilakukan pemeriksaan
inspekulo tanpa pemeriksaan vagina touche. Hal ini dikarenakan usia kehamilan pasien yang
masih preterm ditambah adanya kecurigaan ketuban pecah dini dan belum adanya tanda-
tanda persalinan pada pasien tersebut. Hasil dari inspekulo mendukung bahwa pasien sedang
hamil, tetapi adanya keluar cairan berwarna jernih dan tidak berbau dari OUE semakin
mendukung diagnosis ketuban pecah dini. Belum adanya pembukaan OUE dan lendir darah
yang keluar dari OUE juga mendukung diagnosis kehamilan yang belum dalam persalinan.
Pemeriksaan penunjang tanggal 29 April 2015 berupa laboratorium darah lengkap,
USG, CTG, dan nitrazine test. Hasil pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan Hb 9,5
g/dL, AL: 35,6 .103/u, AT: 132 .103/uL, GDS: 194 mg/dL. Hasil pemeriksaan USG tampak
janin tunggal, intrauterin, memanjang, preskep, puka, DJJ (+), dengan fetal biometri: BPD=
6,29, FL= 4,3, AC= 22,9, EFW= 1048 gram, plasenta insersi di korpus posterior meluas ke
SBR, air ketuban kesan cukup AFI= 6,45, tidak tampak kelainan kongenital mayor, kesan
janin dalam keadaan baik dengan plasenta letak rendah di belakang. Hasil pemeriksaan CTG
didapatkan hasil NST reaktif. Hasil pemeriksaan nitrazine test didaptkan hasil positif.
Hasil laboratorium darah yang menjadi perhatian utama adalah AL: 35,6 .103/u, di
mana hasil ini mendukung kondisi febris pasien yang sebelumnya sudah terlihat dari riwayat
anamnesis dan pengukuran suhu tubuh per aksila. Oleh sebab itu, penggunaan antibiotik
kombinasi diindikasikan pada pasien tersebut. Hasil USG sesuai dengan hasil pemeriksaan
abdomen. Tetapi adanya diagnosis rujukan tentang plasenta previa totalis tidak sesuai dengan
hasil USG tersebut, di mana insersi plasenta hanya meluas ke segmen bawah rahim tanpa
menutupi sebagian atau pun seluruh dari OUI dengan kata lain plasenta letak rendah di
belakang. Kondisi ketuban dan janin baik. Hasil CTG dengan NST reaktif mendukung
kondisi janin yang masih baik. NST reaktif ini berarti terdapat sedikitnya 2 kali gerakan janin
dalam 20 menit disertai akselerasi 10-15 dpm, frekuensi dasar denyut jantung janin di luar
gerakan janin 120-160, dan variabilitas denyut jantung janin 6-25 dpm, serta tanpa
bradikardia, deselerasi > 40 dpm dari baseline, atau denyut jantung janin mencapai 90 dpm
selama > 60 detik. Untuk penegakkan diagnosis ketuban pecah dini, pada pasien tersebut
dilakukan nitrazine test dengan kertas lakmus dengan hasil positif yang artinya cairan yang
keluar dari OUE adalah air ketuban. Nitrazine test positif apabila kertas lakmus merah
berubah menjadi biru dan kertas lakmus biru tetap biru.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tersebut,
diagnosis dari pasien adalah ketuban pecah dini 2 hari pada multigravida hamil preterm
belum dalam persalinan dengan tumor regio parietal. Kondisi lain dari pasien yang menjadi
perhatian adalah AL dan kondisi plasenta letak rendah dari pasien.
Pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan pada pasien tersebut disebut ketuban
pecah dini pada kehamilan prematur karena usia kehamilan baru menginjak 28 minggu.
Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang terjadi dalam
kolagen matriks ekstra seluler amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Membran janin
dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti tanda-tanda infeksi yang dialami oleh pasien
(demam sejak 2 hari SMRS) sehingga memunculkan mediator inflamasi seperti
prostaglandin, sitokinin, dan protein hormin yang mengakibtkan rapuhnya bagian selaput
ketuban tersebut. Faktor lain yang memungkinkan selaput ketuban rapuh dan akhirnya pecah
pada pasien ini adalah kurangnya asupan gizi, terutama unsur asam askorbik sebagai
komponen kolagen yang berfungsi memperkuat selaput ketuban. Kondisi ketuban yang sudah
pecah ini meningkatkan insidensi komplikasi. Komplikasi pertama berupa infeksi maternal
maupun neonatal sehingga segera perlu diberikan injeksi antibiotik sebagai profilaksis.
Komplikasi kedua berupa persalinan prematur sehingga memerlukan observasi tanda-tanda
persalinan. Adapun pada usia kehamilan pasien tersebut yang 28 minggu, 50% persalinan
terjadi dalam 24 jam. Oleh sebab itu, pasien memerlukan perlakuan tirah baring total untuk
mempertahankan kehamilannya jika dalam kondisi belum dalam persalinan. Komplikasi
ketiga berupa hipoksia dan asfiksia karena kondisi oligohidramnion yang menekan tali pusat
sehingga dapat terjadi gawat janin. Hasil USG pasien tersebut menyingkirkan kondisi
oligohidramnion sehingga pilihan mempertahankan kehamilan semakin kuat. Komplikasi lain
berupa sindrom deformitas janin akibat kompresi terhadap janin (ketuban yang
kurang/oligohidramnion) yang berakhir dengan pertumbuhan janin terhambat. Kondisi janin
saat dilihat dari USG tidak menunjukkan adanya tanda-tanda pertumbuhan janin yang
terhambat.
Kondisi plasenta previa, lebih tepatnya plasenta letak rendah, dimungkinkan terjadi
pada pasien tersebut karena paritas tinggi pada pasien (G4P3A0) dan usia pasien yang lebih
dari 30 tahun. Adanya riwayat APH sebelumnya sangat mendukung plasenta letak rendah
pada pasien. Fenomena pembentukan secara progresif dan bertahap dari segmen bawah rahim
akan mengakibatkan perdarahan pada tempat insersi plasenta akibat laserasi yang timbul.
Perdarahan yang terjadi sangat khas, yakni: peradarahan berulang tanpa suatu sebab lain
selain laserasi akibat perkembangan segemen bawah rahim yang kemudian berhenti karena
proses pembekuan darah disekitar tempat laserasi, perdarahan berwarna merah segera, tanpa
disertai rasa nyeri, dan biasa terjadi pada trimester kedua ke atas. Plasenta yang berinsersi
pada segemen bawah rahim ini meningkatkan faktor resiko terjadinya plasenta
akreta/inkreta/perkreta akibattipisnya dinding segemen bawah rahim sehingga mudah diinvasi
oleh pertumbuhan villi dari trofoblas. Oleh sebab itu dikhawatirkan dapat terjadi perdarahan
pasca persalinan akibat plasenta yang sukar melepas dengan sempurna (retensi plasenta) atau
segmen bawah rahim tidak dapat berkontraksi dengan baik.
Manejemen pasien tersebut untuk sekarang adalah mempertahankan kehamilan hingga
se-aterm mungkin dikarenakan beberapa hal, yakni: tidak didapatkan tanda-tanda gawat
janin, usia kehamilan preterm, dan tidak didapatkan tanda-tanda persalinan. Pemberian
glukokortikoid, dalam hal ini deksametason atau betametason, dapat dipertimbangkan
sebagai anti inflamasi dan membantu pematangan paru janin. Observasi kondisi umum,
tanda-tanda vital, his, denyut jantung janin, tanda-tanda infeksi, dan tanda-tanda persalinan
sangat diperlukan untuk prognosis lebih baik.