3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Kelapa Sawit
Awal mulanya, di Indonesia, kelapa sawit sekedar berperan sebagai tanaman hias
langka di Kebun Raya Bogor, dan sebagai tanaman penghias jalanan atau
pekarangan. Itu terjadi mulai tahun 1848 hingga beberapa puluh tahun
sesudahnya.
Ketika itu, tahun 1848, Pemerintah Kolonial Belanda mendatangkan empat
batang bibit kelapa sawit dari Mauritius dan Amsterdam (masing- masing
mengirimkan dua batang) yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor.
Selanjutnya hasil anakannya dipindahkan ke Deli, Sumatera Utara. Di tempat ini,
selama beberapa puluh tahun, kelapa sawit yang telah berkembangbiak hanya
berperan sebagai tanaman hias di sepanjang jalan di Deli sehingga potensi yang
sesungguhnya belum kelihatan.
Di luar benua Afrika, kelapa sawit mulai diperhitungkan sebagai tanaman
komoditas (penghasil produk dagangan) sejak Revolusi industri bergaung keras di
Eropa. Saat itu, di Eropa mulai bermunculan industri atau pabrik (antara lain
industri sabun dan margarin) yang membutuhkan bahan mentah/ baku untuk
operasionalnya. Minyak sawit, dan minyak inti sawit yang muncul kemudian,
adalah dua produk yang antara lain dibutuhkan untuk bahan mentah atau baku
tersebut. Maka, jadilah minyak (dan minyak inti kelapa sawit) dibutuhkan oleh
pasar Eropa. Produsen tunggal minyak sawit yang memasok pasar Eropa adalah
Universitas Sumatera Utara
4
Afrika Barat yang waktu itu sebagian tanahnya masih dijajah oleh Inggris (Tim
Penulis PS, 1992).
2.2 Varietas Kelapa Sawit
Jenis tanaman kelapa sawit terdiri dari berbagai varietas dan dapat dibedakan
berdasarkan morfologinya. Berikut ini beberapa jenis varietas yang banyak
digunakan oleh para petani dan perusahaaan kelapa sawit di Indonesia.
1. Varietas berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah
Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah, beberapa varietas kelapa
sawit diantaranya Dura, Pisifera, Tenera, Marco carya, dan Diwikka-wakka.
2. Varietas berdasarkan warna kulit buah
Berdasarkan warna kulit buah, beberapa verietas kelapa sawit diantaranya
varietas Nigrescens, Virescens, dan Albescens.
3. Varietas unggul
Varietas unggul dihasilkan dengan melakukan persilangan antara Dura dan
Pisifera sehingga memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih baik dibandingkan
dengan varietas lain.
Tabel 1.1. Varietas Kelapa Sawit Berdasarkan Ketebalan Tempurung dan
Daging Buah
Varietas Deskripsi
Dura Tempurung tebal (2-8 mm)
Tidak terdapat lingkaran serabut pada bagian luar
tempurung
Daging buah relatif tipis, yaitu 35-50%
Kernel (daging biji) besar dengan kandungan minyak
Universitas Sumatera Utara
5
rendah
Dalam persilangan, dipakai sebagai pohon induk
betina
Pisifera
Ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak
ada
Daging buah tebal, lebih tebal dari daging buah dura
Daging biji sangat tipis
Tidak dapat diperbanyak tanpa menyilangkan dengan
jenis lain dan dipakai sebagai pohon induk jantan
Tenera Hasil dari persilangan Dura dan pisifera
Tempurung tipis (0,5-4 mm)
Terdapat lingkaran serabut disekeliling tempurung
Daging buah sangat tebal (60-96% dari buah)
Tandan buah lebih banyak, tetapi ukurannya relatif
lebih kecil
Macro
carya
Tempurung tebal sekitar (5 mm)
Daging buah sangat tipis
Tabel 1.1.2. Varietas Berdasarkan Warna Kulit Buah
Varietas
Warna buah
muda
Warna buah masak
Nigrescens
Ungu
kehitam-
hitaman
Jingga kehitam-
hitaman
Virescens
Hijau
Jingga kemerahan,
tetapi ujung buah
tetap hijau
Universitas Sumatera Utara
6
Abesces
Keputih-
putihan
Kekuning- kuningan
dan ujungnya ungu
kehitaman
(Fauzi. 2000)
2.3 Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit
Limbah yang dihasilkan oleh tanaman kelapa sawit dapat memberikan manfaat
yang besar bagi kehidupan, diantaranya sebagai pupuk organik dan sebagai arang
aktif.
A. Jenis Limbah Kelapa Sawit
Limbah kelapa sawit adalah sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak termasuk
dalam produk utama atau merupakan hasil ikutan dari proses pengolahan kelapa
sawit. Berdasarkan tempat pembentukannya, limbah kelapa sawit dapat
digolongkan menjadi dua jenis, yaitu limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah
industri kelapa sawit.
1. Limbah Perkebunan Kelapa sawit
Limbah perkebunan kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan dari sisa tanaman
yang tertinggal pada saat pembukaan areal perkebunan, peremajaan dan panen
kelapa sawit. Jenis limbah ini antara lain kayu, pelepah dan gulma.
2. Limbah industri kelapa sawit
Limbah industri kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada saat proses
pengolahan kelapa sawit. Limbah jenis ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu
limbah padat, limbah cair dan limbah gas.
a. Limbah padat
Universitas Sumatera Utara
7
Salah satu jenis limbah padat industri kelapa sawit adalah tandan kosong kelapa
sawit (TKKS). Tempurung kelapa sawit termasuk juga limbah padat hasil
pengolahan kelapa sawit. Limbah padat mempunyai ciri khas pada komposisinya.
Komponen terbesar dalam limbah padat tersebut adalah selulosa, disamping
komponen lain meskipun lebih kecil seperti abu, hemiselulosa dan lignin.
Tabel 2.1. Komposisi Kimiawi TKKS
Komposisi Kadar (%)
Abu 15
Selulosa 40
Lignin 21
Hemiselulosa 24
(Fauzi. 2000)
b. Limbah cair
Limbah cair juga dihasilkan pada proses pengolahan kelapa sawit. Limbah kelapa
sawit memiliki kadar bahan organik yang tinggi. Tingginya kadar tersebut
menimbulkan beban pencemaran yang besar, karena diperlukan degradasi bahan
organik yang lebih besar pula.
c. Limbah gas
Selain limbah padat dan cair, industri pengolahan kelapa sawit juga menghasilkan
limbah bahan gas. Limbah bahan gas ini antara lain gas cerobong dan uap air
buangan pabrik kelapa sawit.
2.4 Tempurung Kelapa Sawit
Universitas Sumatera Utara
8
Tempurung kelapa sawit merupakan salah satu limbah padat yang dihasilkan.
Selama ini tempurung kelapa sawit belum banyak dimanfaatkan. Tempurung
merupakan lapisan keras yang terdiri dari lignin, selulosa, metoksil dan berbagai
mineral. Kandungan bahan- bahan tersebut beragam sesuai dengan jenis
kelapanya. Struktur keras disebabkan oleh silika (SiO2) yang cukup tinggi
kadarnya pada tempurung. Pengolahan limbah tempurung kelapa sawit sebagai
bahan baku biobriket sangat sederhana. Caranya dengan melalui pemadatan
melalui pembriketan, pengeringan dan pengarangan (Hambali, E. 2007 ).
Arang merupakan bahan padat berpori dan umumnya diperoleh dari hasil
pembakaan kayu atau bahan yang mengandung unsur karbon. Arang aktif
merupakan karbon aktif yang telah mengalami proses aktivasi untuk memperbesar
luas permukaan sehingga daya serapnya menjadi lebih besar. Arang aktif mampu
menyerap gas, cairan, dan zat terlarut lainnya (Wijana, S. 2005).
2.5 Karbon aktif
Karbon aktif tidak dapat digunakan untuk segala tujuan. Sebagai penghilang
warna, karbon aktif yang mempunyai luas permukaaan yang sangat
besar,demikian pula volume porinya, jauh lebih efisien daripada arang kayu, dan
ada 40 kali lebih efisien dibandingkan dengan jelaga tulang.
Luas permukaan spesifiknya berkisar antara 300 sampai 2500 m2/g.
Kuantitas bahan yang diserap oleh karbon aktif yang sangat besar, dan uap seperti
uap bensin,benzena dan karbon tetraklorida yang diserapnya kadang- kadang
mencapai seperempat berat bahkan sama dengan berat adsorbennya. Bahan- bahan
Universitas Sumatera Utara
9
yang diadsorpsi itu dapat dipullihkan dan digunakan kembali. Adsorbsi
merupakan suatu fenomena fisika, yang sangat bergantung pada luas permukaan
dan volume pori. Struktur pori itu menyebabkan ukuran molekul yang dapat
diadsorbsi itu terbatas, sedangkan bila ukuran partikelnya tidak menjadi masalah
kuantitas bahan yang diserap dibatasi oleh luas permukaan adsorben. Penggunaan
karbon aktif terutama adalah untuk pemurnian larutan, misalnya pembersihan
larutan gula tebu, gula bit dan gula jagung dan untuk menghilangkan rasa dan bau
air minum, minyak nabati dan gemuk hewani, minuman alkohol, bahan kimia dan
bahan obat- obatan.
2.5.1 Pembuatan Karbon Aktif
Berbagai bahan berkarbon, seperti kokas migas (petroleum), serbuk gergaji, lignit
batu bara, gambut, kayu, arang batok dan biji buah- buahan dapat digunakan
untuk membuat karbon aktif. Sifat- sifat bahan jadinya tidak hanya bergantung
pada bahan baku yang digunakan, tetapi juga pada cara aktivasi. Karbon aktif
untuk penghilangan warna biasanya digunakan dalam bentuk serbuk. Jadi, bahan
baku untuk jenis ini haruslah tanpa struktur atau mempunyai struktur yang lemah.
Untuk menghasilkan jenis ini, dapat digunakan serbuk gergaji atau lignit.
Karbon adsorben uap digunakan dalam bentuk granul keras dan biasanya
dibuat dari batok kelapa, biji buah atau batu bara dan arang kayu yang dibuat
brikat (bata). Sifat fisika yang paling penting ialah luas permukaan.
Aktivasi adalah suatu perubahan fisika dimana permukaan karbon itu
menjadi jauh lebih banyak karena hidrokarbonnya disingkirkan. Ada beberapa
Universitas Sumatera Utara
10
metode yang dapat digunakan dalam melakukan aktivasi. Cara yang paling umum
digunakan adalah perlakuan bahan berkarbon dengan gas pengoksidasi seperti
udara, uap atau karbon dioksidasi dan karbonisasi bahan baku dengan bahan kimia
seperti seng klorida atau asam fosfat. Metode aktivasi kimia masih banyak
digunakan di Eropa dan negara- negara lain. Amoco telah mengembangkan
karbon aktif berbentuk serbuk (karbon superaktif) yang mempunyai luas
permukaan 200 sampai 400 kali lebih besar dari jenis yang biasa.
Aktivasi dengan oksidasi gas dengan menggunakan bahan yang telah
dikarbonisasi pada suhu yang cukup tinggi, sehingga hampir semua penyusunnya
yang dapat menguap sudah keluar, tetapi suhu itu tidak cukup tinggi untuk
menyebabkan gas yang keluar terdekomposisi. Bahan hasil karbonisasi itu
mengalami aksi gas oksidasi, biasanya uap atau karbon dioksida, didalam tanur
atau retor pada suhu 800 sampai 9800 C. Kondisi operasi dikendalikan sedemikian
rupa sehingga hampir semua hidrokarbon yang terserap dan sebagian karbon
dapat dikeluarkan, akibatnya luas permukaan menjadi lebih besar
(Austin,G.1984).
2.5.2 Adsorpsi
Adsorpsi adalah kemampuan menempel suatu zat pada permukaan, sedangkan
kemampuan suatu zat untuk melepaskan diri dari permukaan disebut dengan
desorpsi. Bagian yang menempel biasa disebut sorbat, sedangkan bagian tempat
menempel atau terikat disebut dengan adsorben. Adsorpsi dipengaruhi oleh
permukaan suatu zat dan juga luas areanya. Suatu adsorben mungkin memiliki
Universitas Sumatera Utara
11
luas permukaan yang sangat besar untuk bereaksi, contohnya karbon aktif yang
mempunyai luas permukaan 200 m2/g sehingga karbon aktif dapat menyerap zat
sorbat dalam jumlah yang besar. Apabila nilai kelarutan suatu zat dalam cairan
kecil, maka semakin besar potensi untuk dapat terikat atau menempel. Sorpsi
dapat berkurang dengan adanya pemanasan, sehingga pengukur sorpsi harus
dilakukan pada temperatur konstan.
Mekanisme sorpsi dapat berupa pertukaran ion (untuk yang terionisasi), dan
ikatan hidrofobik ( untuk zat organik yang tidak larut). Sorpsi oleh biota dan
sedimen dapat terjadi sebagai berikut :
Bagi zat organik yang tidak larut sorpsi terjadi secara lengkap dalam beberapa
jam, reversibel secara cepat.
Semakin halus partikel, semakin cepat adsorpsi, karena luas permukaan
menjadi luas
Bila tidak terjadi pertukaran ion, maka zat yang tidak larut paling cepat
diadsorpsi, begitu pula bagi kation.
Kation organik akan lebih cepat diadsorpsi ( Soemirat, J. 2005) .
2.5.3 Metode untuk menetapkan luas permukaan
Luas permukaan suatu sampel serbuk dapat dihitung dari hasil distribusi ukuran
partikel yang diperoleh dengan menggunakan salah satu metode yang telah
dibicarakan diatas. Ada dua metode yang biasanya digunakan untuk menghitung
luas permukaan secara langsung. Metode pertama, didasarkan atas jumlah gas
atau solut dari cairan yang diadsorpsi pada sampel serbuk untuk membentuk
Universitas Sumatera Utara
12
“monolayer” merupakan fungsi langsung dari luas permukaan serbuk . Metode
kedua berdasarkan pada kenyataan bahwa kecepatan gas atau cairan merembes
melewati suatu “bed” serbuk yang ada hubungannya dengan luas permukaan
serbuk yang bersangkutan (Moechtar. 1990) .
2.6 Titrasi iodimetri
Titrasi iodimetri dapat digolongkan dalam titrasi oksidimetri karena larutan iod
merupakan pengoksidasi lemah yang bereaksi dengan zat pereduksi kuat. Larutan
iod 0,05 M tidak stabil dan perlu dibakukan terhadap larutan thiosulfat pada setiap
kali melakukan titrasi. Titrasi harus dilakukan dalam larutan netral atau asam
lemah (Satiadarma, K. 1995) .
Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi
(iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri). Relatif
beberapa zat merupakan pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk dititrasi secara
langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan iodimetrik adalah sedikit. Akan
tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi sempurna dengan ion
iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Suatu kelebihan ion iodida
ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan dengan pembebasan
iodium, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat (Day,R. 1981) .
2.7 Standarisasi Larutan Tiosulfat
Larutan standar yang dipergunakan dalam kebanyakan proses iodometrik adalah
natrium tiosulfat. Garam ini biasanya tersedia sebagai pentahidrat Na2S2O3. 5H2O.
Larutan tidak boleh distandarisasikan dengan penimbangan secara langsung,
Universitas Sumatera Utara
13
tetapi harus distandarisasikan terhadap standar primer. Larutan natrium tiosulfat
tidak stabil dalam waktu yang lama.
Sejumlah zat padat digunakan sebagai standar primer untuk larutan tiosulfat.
Iodium murni merupakan standar yang paling nyata, tetapi jarang digunakan
karena kesukaran dalam penanganan dan penimbangan. Lebih sering digunakan
pereaksi oksidasi yang kuat yang membebaskan iodium dari iodida, suatu proses
iodometrik.
Kalium dikromat. Senyawa ini dapat diperoleh dalam derajat kemurnian
yang tinggi, tidak higroskopik, dan padatan dan larutannya adalah sangat stabil.
Reaksi dengan iodida dilaksanakan dalam asam 0,2 sampai 0,4 M dan
berlangsung secara lengkap dalam 5 sampai 10 menit :
Cr2O72-
+6I-+14 H
+ → 2Cr
3+ +3 I2 + 7H2O
Berat ekuivalen kalium dikromat adalah seperenam bobot molekularnya,
atau 49,03 g/ ek. Pada konsentrasi berasam yang lebih besar dari 0,4 M, oksidasi
oleh udara dari kalium iodida menjadi nyata (Day,R. 1981).
2.8 Deteksi Titik- Akhir
Suatu larutan dari iod dalam larutan air iodida, berwarna kuning sampai coklat
kuat. Satu tetes larutan iod 0,1 N menimbulkan warna kuning pucat yang terlihat
pada 100 cm3
air, sehingga dalam larutan- larutan yang tanpa iod akan tak
berwarna, iod dapat berfungsi sebagai indikatornya sendiri. Uji ini dibuat jauh
lebih peka dengan menggunakan larutan kanji (larutan dari pati) sebagai indikator.
Kanji bereaksi dengan iod, dengan adanya iodida, membentuk suatu kompleks
yang berwarna biru kuat, reaksi warna ini adalah sedemikian sehingga warna biru
Universitas Sumatera Utara
14
akan terlihat bila konsentrasi iod adalah 2 x 10-5
M dan konsentrasi iodida lebih
besar dari pada 4 x 10-4
M pada 200C. Kepekaan warna berkurang dengan
menaiknya temperatur lautan, begitulah pada 500C ia adalah kira- kira sepuluh
kali kurang peka ketimbang pada 250C. Kepekaan berkurang pada penambahan
pelarut- pelarut, seperti etanol : tak diperoleh warna dalam larutan yang
mengandung etanol 50 persen atau lebih. Kanji tidak dapat digunakan dalam
medium yang sangat asam karena akan terjadi hidrolisis dari kanji itu.
Pati dapat dipisahkan menjadi dua komponen utama, amilosa dan
amilopektin, yang terdapat dalam proposi berbeda- beda dalam berbagai tumbuh-
tumbuhan. Amilosa suatu senyawaan berantai- lurus dan terdapat berlimpah
dalam pati kentang, memberi warna biru dengan iod dan rantainya mengambil
bentuk spiral. Amilopektin, yang mempunyai struktur rantai- bercabang,
membentuk suatu produk berwarna ungu- merah mungkin dengan adsorpsi.
Keunggulan kanji yang utama adalah bahwa harganya murah. Ia memiliki
keburukan- keburukan sebagai berikut : (i) bersifat dapat larut dalam air ingin, (ii)
ketidakstabilan suspensinya dalam air, (iii) dengan iod memberi suatu kompleks
yang dapat larut dalam air, sehingga kanji tidak boleh ditambahkan terlalu dini
dalam titrasi. (Karena itu, dalam titrasi iod larutan kanji hendaknya tak
ditambahkan sampai tepat sebelum titik- akhir, ketika mana warna mulai
memudar) dan (iv) kadang- kadang terdapat titik- akhir yang „hanyut‟, yang
menyolok bila larutan encer. Kebanyakan dari kekurangan- kekurangan kanji
sebagai indikator tak tedapat pada natrium pati glikolat. Zat ini merupakan bubuk
putih, tak higroskopik, mudah larut dalam air panas dengan memberi larutan yang
berpendal- opal sangat lemah, yang stabil selama berbulan- bulan, ia tak
Universitas Sumatera Utara
15
membentuk kompleks yang tak dapat larut dalam air dengan iod, maka indikator
ini boleh ditambahkan pada setiap tahap reaksi. Titrasi dilakukan dalam botol 250
cm3
yang bersumbat kaca atau labu dengan sumbat yang diasah dengan tepat.
Setelah menambahkan larutan kalium iodida 5- 10 cm3
karbon tetraklorida kepada
campuran reaksi, titrasi dengan natrium tiosulfat dimulai. Mula- mula, adanya iod
dalam larutan air akan nampak, dan dengan mengolak cairan secara lembut akan
menyebabkan pencampuran yang memadai. Menjelang akhir titrasi, botol atau
labu disumbat dan dikocok setelah setiap penambahan larutan natium tiosulfat,
tittik- akhir dicapai bila karbon tetraklorida tepat mulai menjadi tak berwarna.
Hasil yang sama memuaskan dapat diperoleh dengan kloroform (Basset, J. 1994)
2.9 Analisa Parameter
2.9.1 Kadar Air
Air harus dikurangi dengan cara pengeringan. Air dapat membentuk emulsi atau
berkabut jika terdapat detergen. Keberadaan air akan memicu pertumbuhan
mikrobiologi pada antara bahan bakar dan air. Kandungan air yang tinggi
mengakibatkan adanya reaksi hidrolisis , sebagian air akan diubah menjadi asam
lemak bebas dan mengganggu blok filter bahan bakar.
2.9.2. Kadar Abu
Kandungan abu menunjukkan kandungan pengotor inorganik dan logam sabun
yang dapat larut di dalam bahan bakar. Pengotor inorganik ini dapat berupa
padatan abrasif dan residu katalis. Senyawa ini teroksidasi selama proses
Universitas Sumatera Utara
16
pembakaran sehingga membentuk abu dan dapat mengendap di injektor, pompa
bahan bakar,aus cincin dan juga mesin.
2.9.3. Nilai Iodium
Nilai yodium adalah indeks dari jumlah ikatan rangkap dalam lemak. Secara
terminalogi bilangan iodin secara langsung mengukur derajat ketidakjenuhan dari
lemak atau minyak. Bilangan iodin (IV) adalah banyaknya gram iodin yang akan
direaksikan dengan 100 gram lemak atau minyak pada kondisi spesifik
(Lowson,H. 1985) .
Angka iodium menunjukkan jumlah asam lemak tidak jenuh yang
dinyatakan dengan berapa gram iodium yang akan bereaksi dengan 100 gram
biodiesel. Angka yodium minyak nabati atau hewan hampir sama dengan metil
esternya. Angka ini ditentukan dengan cara menghitung jumlah I2 yang akan
bereaksi jika ditambahkan ikatan C=C sehingga angka iodium berhubungan
dengan ketidakjenuhan ( Budiman,A. 2014) .
Universitas Sumatera Utara