repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 53371 › chapter...

15
16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Perdarahan saluran cerna bagian bawah memiliki gejala yang cukup bervariasi dari hematokezia sampai perdarahan yang masif dengan syok. Perdarahan saluran cerna bagian bawah akut didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari bagian bawah ligamentum treitz dan menyebabkan ketidakstabilan dari tanda vital dan terkadang ditandai dengan anemia dengan atau tanpa transfusi darah (Cagir, 2011). Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang memerlukan rawat inap kurang dari 1% dari semua data yang diterima oleh rumah sakit di Amerika Serikat. Dalam sebuah penelitian, tingkat kejadian perkiraan tahunan adalah 20,5% per 100.000 pasien. Namun bagi orang yang berusia dekade kesembilan, tingkat kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah meningkat lebih dari 200 kali lipat. Perdarahan saluran cerna bagian bawah lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, yang dikarenakan penyakit pembuluh darah dan divertikulosis lebih sering terjadi pada pria (Permanente, 2007 ). Perdarahan saluran cerna bagian bawah memiliki mortalitas sekitar 10-20% pada pasien lansia dan pasien dengan kondisi komorbiditas. Pada orang lansia dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah lebih sering terjadi apabila menderita penyakit divertikulosis dan penyakit vaskular lainnya. Dan perdarahan saluran cerna bagian bawah juga lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan perempuan (Cagir, 2011). Pemahaman tentang patogenesis, diagnosis, dan perawatan perdarahan saluran cerna bagian bawah telah mengalami kemajuan yang pesat. Pada pertengahan awal abad ke-20. Neoplasma pada usus besar diketahui merupakan penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada tahun 1950-an, hal tersebut diketahui bahwa perdarahan saluran cerna bagian bawah disebabkan oleh divertikulosis, tindakan Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 27-Feb-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah

Perdarahan saluran cerna bagian bawah memiliki gejala yang cukup bervariasi

dari hematokezia sampai perdarahan yang masif dengan syok. Perdarahan saluran

cerna bagian bawah akut didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari bagian

bawah ligamentum treitz dan menyebabkan ketidakstabilan dari tanda vital dan

terkadang ditandai dengan anemia dengan atau tanpa transfusi darah (Cagir, 2011).

Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang memerlukan rawat inap kurang

dari 1% dari semua data yang diterima oleh rumah sakit di Amerika Serikat. Dalam

sebuah penelitian, tingkat kejadian perkiraan tahunan adalah 20,5% per 100.000

pasien. Namun bagi orang yang berusia dekade kesembilan, tingkat kejadian

perdarahan saluran cerna bagian bawah meningkat lebih dari 200 kali lipat.

Perdarahan saluran cerna bagian bawah lebih sering terjadi pada pria dibandingkan

pada wanita, yang dikarenakan penyakit pembuluh darah dan divertikulosis lebih

sering terjadi pada pria (Permanente, 2007 ).

Perdarahan saluran cerna bagian bawah memiliki mortalitas sekitar 10-20% pada

pasien lansia dan pasien dengan kondisi komorbiditas. Pada orang lansia dengan

perdarahan saluran cerna bagian bawah lebih sering terjadi apabila menderita

penyakit divertikulosis dan penyakit vaskular lainnya. Dan perdarahan saluran cerna

bagian bawah juga lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan perempuan (Cagir,

2011).

Pemahaman tentang patogenesis, diagnosis, dan perawatan perdarahan saluran

cerna bagian bawah telah mengalami kemajuan yang pesat. Pada pertengahan awal

abad ke-20. Neoplasma pada usus besar diketahui merupakan penyebab perdarahan

saluran cerna bagian bawah. Pada tahun 1950-an, hal tersebut diketahui bahwa

perdarahan saluran cerna bagian bawah disebabkan oleh divertikulosis, tindakan

Universitas Sumatera Utara

17

pembedahan dengan cara reseksi bowel segmen menghasilkan hasil yang

mengecewakan. Pasien yang telah mengalami prosedur ini menderita peningkatan

resiko perdarahan ulang yang lebih banyak (Cagir, 2010).

Berikut adalah etiologi dari perdarahan saluran cerna bagian bawah :

2.1.1. Divertikulosis

Penyakit divertikular di sebelah kanan jarang ditemukan di dunia belahan barat.

Frekuensi penyakit ini dilaporkan kira-kira sebanyak 1-2% dari sampel di Eropa dan

Amerika, tetapi di Asia dijumpai sebanyak 43-50%. Kontroversi pun muncul

sebenarnya dari manakah asal mula divertikel tersebut. Divertikula di sebelah kanan

terjadi lebih sering pada pasien yang lebih muda. Kebanyakan divertikula kolon

didapat dari lingkungan. Kelainan ini ditandai dengan hernisiasi dari mukosa dan

mukosa muskularis ke dinding usus. Biasanya akan tampak suatu lapisan submukosa

yang tipis yang mendesak bagian yang terlemah dari muskulus propia dan berakhir di

usus bagian subserosa. Titik yang lemah ini merupakan tempat masuknya pembuluh

nutrisi dari mukosa usus. Divertikula secara umum dihubungkan dengan peningkatan

tekanan intraluminal. Patologi dapat dilihat dari penebalan muskularis propia dengan

mukosa kolon yang normal atau yang telah mengalami inflamasi. Divertikula sekal

memiliki sedikit sekali muskular yang mengalami hipertropi. Suatu penelitian

terakhir menunjukkan bahwa ada suatu aktivitas dari matriks metaloproteinase yang

berperan penting dalam perubahan ratio dari kolagen tipe 1 dan 2 dalam kasus-kasus

divertikulitis dan juga kanker yang dapat memproduksi metaloproteinase yang

memicu terjadinya pengrusakan matriks ekstraselular, yang mana hal ini berperan

dalam perkembangan dari penyakit divertikular (Radhi, 2011).

Kebanyakan pasien dengan divertikula di sebelah kanan memiliki gejala

asymptomatik. Namun demikian, pasien bisa juga mengeluhkan adanya tanda-tanda

komplikasi dari divertikulosis. Sebagai contoh adanya perdarahan, divertikulitis,

peridivertikular abses, dan perforasi dengan formasi fistula. Pasien dengan divertikula

sekal pada umumnya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda. Mereka akan

Universitas Sumatera Utara

18

mengeluhkan adanya rasa nyeri pada kuadran kanan bawah dan sering didiagnosis

sebagai apendiksitis. Lebih dari 70% pasien dengan divertikulitis sekal dioperasi

dengan diagnosis apendiksitis akut. Diagnosis preoperatif bisa difasilitasi dengan

menggunakan USG dan CT (Radhi, 2011).

2.1.2. Crohn’s disease

Pada pemeriksaan endoskopis, sebuah lesi yang tampak kecil dan dangkal

dengan tanpa vili yang disebut ulkus aphtoid. Secara patologis, lesi tersebut adalah

erosi atau ulkus yang kecil yang dibentuk oleh folikel limfoid dan epitelium. Ini

merupakan pertanda awal dari penyakit crohn. Dan biasanya lesi juga terlihat merah

disekelilingnya. Jika dilihat dari jarak yang dekat akan tampak seperti vili yang

membesar. Para penulis juga berspekulasi bahwa warna merah perifer tersebut dan

pembesaran vili adalah merupakan akibat dari vasodilatasi dan pembengkakan yang

berasal dari proses inflamasi. Lesi tampak di lipatan keckring dengan karakteristik

lesi yang depresi dan kecil (Sunada, 2009).

Lesi bentuk lain adalah ulkus longitudinal, yang mana lesi tersebut

dikarakteristikan dengan inflamasi yang kecil di mukosa dan cenderung berbaris

secara longitudinal. Bentuk dari ulkus ini bervariasi dari yang bulat hingga berbentuk

irregular (Sunada, 2009).

Bentuk cobblestone terjadi akibat dari perubahan inflamasi dan edema di

mukosa sebelah kiri dengan ulkus yang tidak beraturan. Bentuk cobblestone ini

terlihat sering di kolon tetapi jarang di usus halus kecuali dekat ileum terminalis

(Sunada, 2009).

2.1.3. Kolitis Ulseratif

Pada pemeriksaan endoskopi untuk kasus yang seperti kolitis ulseratif

biasanya terfokus pada usus kuadran kanan bawah dan juga berdasarkan atas

penjelasan pasien sebelumnya. Biasanya pasien dengan penyakit Crohn juga

mengalami kelainan di lambung dan usus halus maka perlu endoskopi untuk

Universitas Sumatera Utara

19

pencernaan bagian atas temuan endoskopi dan radiologis, yang memusatkan

perhatian kita pada kuadran kanan bawah dan didukung juga oleh penjelasan gejala

pasien. Pada pemeriksaan upper endoscopy akan menemukan duodenitis, jika

kerongkongan dan lambung tidak normal. Sering kali, pasien yang menderita

penyakit Crohn atau kolitis ulseratif akan memiliki peningkatan resiko lesi di perut,

meskipun temuan ini tidak spesifik. Sekitar 60% dari remaja dengan penyakit Crohn

akan memiliki penyakit ileokolon. radang horisontal lebih khas dari tuberkulosis bila

dibandingkan dengan penyakit crohn (Danese, 2011).

2.1.4. Angiodisplasia

Pelebaran pembuluh darah mukosa dan submukosa yang berkelok-kelok

paling sering ditemukan di sekum atau kolon kanan biasanya setelah usia 60–an.

pembuluh darah ini mudah ruptur dan mengeluarkan darah ke lumen. Kelainan ini

merupakan penyebab perdarahan sebanyak 20% pada saluran cerna bagian bawah.

Dan angiodisplasia merupakan kelainan diperkirakan terbentuk selama bertahun-

tahun akibat faktor mekanis yang bekerja pada dinding kolon. Karena lapisan otot,

vena penetrans mengalami oklusi saat kontraksi peristaltik tetapi arteri berdinding

tebal tetap paten (Cotran, 2004).

2.1.5. Hemoroid

Hemoroid adalah dilatasi pembuluh darah vena pleksus submukosa anus dan

perianus. Dilatasi pembuluh ini sering terjadi setelah usia 50 tahun yang berkaitan

dengan peningkatan tekanan vena didalam pleksus hemorroidhalis. Varises vena

hemorroidalis superior dan media yang muncul diatas garis anorektum dan ditutupi

oleh mukosa rektum disebut hemoroid interna. Varises yang muncul dibawah garis

anorektum mencerminkan pelebaran pleksus hemoroidalis inferior dan ditutupi

mukosa anus disebut hemoroid eksterna. Keduanya merupakan pembuluh darah vena

yang melebar, berdinding tipis dan mudah berdarah kadang-kadang menutupi

perdarahan dari lesi proksimal yang lebih serius (Cotran, 2004).

Universitas Sumatera Utara

20

2.1.6. Diare

Kebanyakan kasus dari diare adalah akut, sembuh tanpa diobati dan

disebabkan oleh infeksi atau obat-obatan. Diare kronis (berlangsung hingga 6 minggu

atau lebih) lebih sering disebabkan oleh primary inflammatory atau gangguan

absorpsi. Secara umum, diare jenis ini perlu penilaian langsung untuk menegakkan

diagnosis. Pasien yang menderita diare kronis atau diare akut yang tidak dapat

dijelaskan penyebabnya pada umumnya menjalani pemeriksaan endoskopi apabila

tidak ditemukan mikroorganisme pada feses. Pemilihan endoskopi tergantung gejala

klinis yang ditemukan (Topazian, 2004).

Pasien dengan gejala dan temuan pada kolon seperti diare berdarah, tenemus,

demam, atau leukosit di feses pada umumnya akan menjalani pemeriksaan

sigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk melihat ada atau tidaknya kolitis.

Sigmoidoskopi biasanya sudah cukup untuk menegakkan diagnosis pada kebanyakan

pasien seperti itu. Dilain pihak, pasien dengan gejala atau temuan seperti kelainan

dari usus halus seperti feses yang berair banyak, berat badan menurun, malabsorpsi

besi, kalsium, atau lemak dapat menjalankan pemeriksaan upper endoscopy dengan

biopsi duodeni (Topazian, 2004).

Kebanyakan pasien dengan diare kronis tidak merasa segar ataupun bugar.

Jika ada riwayat konstipasi dan diare yang berkepanjangan yang terjadi pada dewasa

muda, tanpa di sertai darah di feses ataupun anemia diagnosis irritable bowel

síndrome dapat ditegakkan. Steatorrea dan nyeri pada abdomen bagian atas mungkin

saja disebabkan penyakit pada pankreas daripada saluran cerna. Pasien yang memiliki

diare kronis yang sulit dikategorikan sering dianjurkan pemeriksaan kolonoskopi

untuk memeriksa usus secara keseluruhan (dan ileum terminal) untuk menemukan

tanda-tanda inflamasi ataupun neoplastik (Topazian, 2004).

2.1.8. Adenoma

Adenoma adalah polip neoplastik yang berkisar dari tumor kecil yang sering

bertangkai hingga lesi besar. Prevalensi adenoma kolon adalah 20%-30% sebelum

Universitas Sumatera Utara

21

usia 40 tahun, dan meningkat menjadi 40% hingga 50% setelah usia 60 tahun. Polip

adenomatosa memiliki tiga subtipe yaitu : Adenoma tubular, adenoma vilosa,

adenoma tubulovilosa (Cotran, 2004).

Adenoma tubular berukuran kecil dengan ukuran 0,3 cm dan ada juga yang

berukuran 2,5 cm sebagian besar memiliki tangkai ramping dengan panjang 1 sama 2

cm dan kepala mirip buah frambus. Secara histologis tangkai terbungkus oleh mukosa

kolon normal tetapi kepala terdiri dari epital neoplastik yang membentuk kelenjar

yang bercabang dilapisi oleh sel jangkung , hiperkromatik sedikit acak dan mungkin

mengeluarkan musin (Cotran, 2004).

Adenoma vilosa adalah polip epitel yang lebih besar dan lebih merugikan.

Polip ini cenderung timbul pada usia lanjut. Terutama di rektum dan rektosigmoid.

Lesi pada umumnya terdapat dimana saja. Lesinya berupa massa yang tidak

bertangkai bergaris tengah hingga 10 cm dan seperti beledu atau kembang kol yang

menonjol 1 sampai 3 cm diatas mukosa normal (Cotran, 2004).

Adenoma tubulovilosa memperlihatkan campuran daerah tubular dan vilosa.

Adenoma ini merupakan bentuk intermediet antara lesi tubulkat dan vilosa dalam hal

frekuensi memiliki tangkai atau tidak bertangkai. Ukuran, derajat displasia dan risiko

mengandung karsinoma intramukosa atau invasif (Cotran, 2004).

2.1.9. Karsinoma kolorektal

Pada dasarnya karsinoma kolorektal dibagi menjadi 2 bagian, yakni polip

kolon dan kanker kolon. Polip adalah tonjolan diatas permukaan mukosa. Polip kolon

dapat dibagi dalam 3 tipe yakni neoplasma epitelium, non-neoplasma dan submukosa.

Secara epidemiologis kanker kolorektal didunia menempati urutan ke-4, dengan

jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 19,4

dan 15,9 per 100.000 Di AS. Pada umumnya rata-rata pasien kanker kolorektal

adalah berusia 67 tahun dan lebih dari 50% kematian terjadi pada mereka yang

berumur 55 tahun. Di Indonesia seperti yang terdapat pada laporan registrasi kanker

nasional yang dikeluarkan oleh Direktorat Pelayanan Medik Departemen Kesehatan

Universitas Sumatera Utara

22

bekerja sama dengan Perhimpunan Patologi Anatomi Indonesia, didapati angka yang

berbeda. Hal yang menarik disini adalah umur yang lebih muda cenderung lebih

banyak dibandingkan dengan laporan dari negara Eropa dan AS. Untuk usia dibawah

40 tahun data dari Bagian Patologi Anatomi FKUI didapati angka 35,26% (Abdullah,

2009).

Sekitar 25% karsinoma kolorektal terletak di sekum atau kolon asendens

dengan proporsi setara direktum dan sigmoid distal. Sebanyak 25% lainnya terletak

dikolon asendens dan sigmoid proksimal dan sisanya tersebar dikolon bagian lainnya.

Dan walaupun karsinoma kolorektal awalnya hanya karsinoma in situ tetapi dapat

memiliki morfologi yang berbeda-beda. Tumor di kolon proksimal cenderung tumbuh

sebagai massa polipoid eksofitik yang meluas disepanjang salah satu dinding sekum

dan kolon asendens, akan tetapi jarang menyebabkan obstruksi. Bila terletak di distal

karsinoma cenderung berbentuk lesi anular melingkar yang menimbulkan apa yang

disebut sebagai napkin-ring usus (Cotran, 2004).

2.2. Definisi kolonoskopi

Kolonoskopi adalah prosedur yang dilakukan oleh seorang pemeriksa

(biasanya seorang gastroenterologis) untuk mengevaluasi bagian dalam kolon (usus

besar). Ujung kolonoskop dimasukkan ke dalam anus dan melalui usus besar dan

berakhir di sekum (Marks, 2010).

Kolonoskopi juga dapat melakukan biopsi pada lesi yang mencurigakan.

Pemeriksaan kolon yang lengkap dapat mencapai >95% pasien. Rasa tidak nyaman

yang timbul sangat bergantung pada operator. Untuk mengatasi kendala tersebut

diperlukan obat penenang intravena akan sangat membantu meskipun ada resiko

perforasi dan perdarahan, akan tetapi kejadian seperti ini sekitar <0,5%. Kolonoskopi

dengan enema barium bertujuan untuk mendeteksi lesi kecil seperti adenoma.

Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik untuk memperkirakan ada polip kolon.

Kolonoskopi mempunyai sensitivitas 95% dan spesifitas 99% paling tinggi

Universitas Sumatera Utara

23

dibandingkan dengan modalitas yang lain dalam mendeteksi polip adematosa.

Disamping itu, dapat melakukan biopsi dan tindakan polipektomi untuk mengangkat

polip. Akan tetapi kolonoskopi tidak dapat membedakan jenis-jenis polip secara

histologi, oleh karena itu biopsi dan polipektomi penting untuk menegakkan

diagnosis secara histologi (Abdullah, 2009).

2.3. Anatomi Kolon

Pencernaan bagian bawah merupakan bagian dari usus transversum dan hal ini

masih banyak diperdebatkan. Sekum terletak pada kuadran kanan bawah dan bagian

paling proksimal dan terluas dari saluran pencernaan bagian bawah. Jika dilakukan

pembedahan, sekum biasanya terletak di bagian bawah dan lebih rendah daripada

ileocecal. Lapisan lemak yang dikenal sebagai lapisan omentum yang melekat pada

usus besar. Saluran pencernaan bagian bawah disuplai oleh arteri mesenterika

superior ke bagian kolik kanan dan cabang kolik menengah. Dan arteri mesenterika

inferior menyuplai darah ke bagian kolik kiri, sigmoid, dan dubur (hemoroid). Arteri

iliaka internal memperdarahi bagian tengah dubur cabang dubur dan inferior. Cabang

terminal dari arteri memasuki dinding usus besar disebut vasa rekta (Kapoor, 2011).

2.4. Pemeriksaan Endoskopi

2.4.1. Bagian-bagian instrument.

Semua endoskopi dapat dibagi dalam 3 bagian: insertion tube, yaitu

bagian kolonoskopi yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien yang melalui

anus, instrument control head, suatu bagian kolonoskopi yang berguna untuk

endoskopis agar kolonoskopi dapat bermanuver/ digerakkan dan memiliki

suatu akses air atau udara apabila diperlukan. Dan yang terakhir adalah

universal cord and plug, yang menghubungkan unit instrument dengan unit

suplai (Messmann, 2006).

1. Insertion tube adalah suatu bagian kolonoskopi yang dilengkapi video

terdiri dari serat optik, wayar digital, udara dan air. Kanal instrument dan

Universitas Sumatera Utara

24

kabel bowden untuk mempermudah pergerakan kolonoskopi itu sendiri.

Diujung dari kolonoskopi terdapat lensa dan video yang berfungsi untuk

mengambil gambar yang nanti ditampilkan di layar monitor agar

endoskopis mengetahui bagian usus mana yang memiliki lesi. Dan pada

bagian 15 cm yang terakhir dari bagian insertion tube dirancang lebih

fleksibel sehingga dapat diatur ke 4 arah yang berbeda untuk manuver dari

kolonoskopi itu sendiri. Derajat fleksi dari kolonoskopi adalah 180° untuk

ke atas dan ke bawah dan 160° untuk ke kiri dan kanan (Messmann,

2006).

2. Instrument control head. Memiliki fungsi penting untuk manuver dan

mengontrol ujung dari kolonoskopi itu sendiri seperti membantu dalam

hal pengisapan, pembersihan, insuflasi udara yang semuanya dikontrol di

bagian ini. Didalam kanal instrument kita mendapati adanya silinder udara

dan air tetapi sebelumnya kanal air dan udara bersatu di kanal suctions.

Diameter di dalam kanal instrumen antara 2,8 mm dan 3,7 mm yang

mempermudah masuknya aksesoris endoskopi seperti forsep biopsi atau

senar polipektomi. Tombol-tombol yang terdapat di bagian ini digunakan

untuk mengambil gambar, merekam video dan mencetak gambar yang

tertangkap oleh video tersebut dan mengatur intensitas pencahayaan

(Messmann, 2006).

3. Universal cord. Bagian ini menghubungkan endoskopi dengan sumber

pencahayaan, suplai air, pompa isap, dan prosesor video. Prosesor video

menampilkan gambar ke layar monitor (Messmann, 2006).

2.5. Jenis-jenis Endoskopi

1. Sigmodoskopi Fleksibel

Sigmodoskopi fleksibel memiliki persamaan dengan kolonoskopi

tetapi gambaran yang diberikan hanya terbatas sampai rektum saja dengan

Universitas Sumatera Utara

25

porsio kolon sebelah kiri yang mana panjang yang dapat dicapai dari alat

tersebut biasanya 60 cm dari anal verge. Prosedur ini menyebabkan kram

abdomen. Tetapi hal ini tidak terjadi bila diberikan sedasi. Sigmodoskopi

fleksibel digunakan untuk skrining gejala asimptomatik. Perangkat ini juga

digunakan untuk menilai diare dan hematokezia (Topazian, 2004).

2. Kolonoskopi virtual

Kolonoskopi virtual dikenal juga sebagai computed tomography (CT).

Selain itu, dapat digunakan juga spiral CT Scanning ke computer untuk

mendapatkan resolusi yang tinggi multidimensi dari seluruh penampilan kolon

sehingga gambaran yang didapat lebih jelas. Pada kolonoskopi konvensional,

persiapan untuk membersihkan bowel sebelum pemeriksaan harus dilakukan.

Sedangkan pada CT scan rectal tube dimasukan dan kolon diisi dengan udara.

Glukagon diinjeksikan yang berguna untuk merelaksasi otot-otot polos di usus

(Stein, 2012).

Virtual kolonoskopi lebih aman karena kurang invasif dibandingkan

kolonoskopi konvensional dan memiliki keakuratan yang lebih tinggi dalam

menentukan ukuran, bentuk dan lokasi lesi. Pemeriksaan dengan virtual

kolonoskopi juga disarankan untuk menentukan staging dari karsinoma

kolorektal ( Stein, 2012).

3. High-definition colonoscopy

Perangkat ini memungkinkan untuk mendeteksi polip kolorektal lebih

teliti dibandingkan kolonoskopi konvensional. Pada studi retrospektif,

Buchner et al membandingkan High-definition colonoscopy (n=1204) dengan

kolonoskopi standard dengan pencahayaan putih (n=1226) untuk mendeteksi

adenoma. Investigator menemukan angka ketelitian untuk mendeteksi

adenoma dan angka ketelitian untuk mendeteksi polip lebih tinggi pada pasien

yang menjalani pemeriksaan High-definition colonoscopy. Dan mereka

Universitas Sumatera Utara

26

menyimpulkan bahwa angka untuk adenoma yang terlewati akan berkurang

sehingga mengurangi resiko terjadi kanker kolorektal (Stein, 2012).

Pada prospektif, studi acak membandingkan kolonoskopi dengan high-

definition, kolonoskopi dengan sudut lebar (n=193) dibandingkan dengan

kolonoskopi standard (n=197) dalam mendeteksi polip. Tribonias et al

menunjukkan perbedaan yang signifikan 2 metode dari kedua prosedur

tersebut. Rata-rata dapat polip hiperplastik yang kecil (<5 mm, P= .003) tetapi

tidak ditemukan perbedaan antara kedua teknik dalam mendeteksi lesi dengan

ukuran besar (10 mm atau lebih besar), medium (antara 5 mm dan 10 mm)

dan polip yang kecil (<5mm). Tribonians et al juga menemukan tidak

perbedaan yang signifikan antara high-definition, kolonoskopi dengan sudut

lebar dan kolonoskopi standard untuk mendeteksi ukuran adenoma dan polip

hiperplastik baik ukuran yang kecil, medium, dan besar ( Stein, 2012).

2.6. Indikasi kolonoskopi

a. Skrining kanker kolorektal pada umur yang beresiko.

b.Menilai dan mengangkat polip.

c. Membantu manajemen penyakit inflamasi bowel.

d.Menentukan tempat perdarahan.

e. Melakukan dekompresi usus (Cagir, 2011).

2.7. Fungsi Kolonoskopi (lower endoscopy)

1. Pemeriksaan penunjang apabila terjadi anemia disertai dengan darah di feses baik yang tersamar atau yang tampak.

Anemia defisiensi besi mungkin ada hubungannya dengan jeleknya

absorpsi besi (seperti pada celiac sprue) atau lebih sering karena

diakibatkan oleh perdarahan kronik. Perdarahan usus diduga kuat pada

pria dan wanita yang postmenopausal apabila diduga adanya anemia

Universitas Sumatera Utara

27

defisiensi besi, kolonoskopi diindikasikan seperti pasien-pasien tersebut

walaupun tidak darah yang tersamar didalam feses. Sekitar 30% diduga

adanya polip dikolon, 10% akibat kanker kolorektal dan selebihnya

mungkin dikarenakan adanya lesi pada vaskular kolon. Endoskopi saluran

cerna atas juga direkomendasikan apabila tidak dijumpai perdarahan

disaluran cerna bagian bawah. Jika lesi tidak ditemukan, biopsi duodenal

harus dilakukan untuk menyingkirkan sprue. Penilaian usus halus juga

harus sesuai jika EGD dan kolonoskopi tidak dapat menunjukkan adanya

lesi (Topazian, 2004).

Tes untuk darah tersamar di feses yang mendeteksi hemoglobin dan

heme merupakan tes yang sensitif untuk memperkirakan ada atau tidaknya

darah pada feses. Walaupun terkadang tes itu dapat juga mendeteksi

perdarahan pada saluran cerna bagian atas. Pasien dengan darah tersamar

harus menjalani pemeriksaan kolonoskopi untuk menyingkirkan adannya

neoplasia. Usus halus mungkin merupakan penyebab perdarahan intestinal

khususnya jika kolonoskopi dan upper endoscopy tidak dapat menegakkan

diagnosis. Kegunaan dari penilaian usus halus dari gejala klinis dan yang

paling penting pada pasien yang memiliki perdarahan yang menyebabkan

anemia kronik. Padahal dengan radiografi usus halus dapat ditemukan

dalam batas normal pada 50 % pasien yang mengalami perdarahan

tersebut. Temuan yang paling sering adalah telangiaktasis (Topazian,

2004).

2. Untuk skrining kanker kolorektal

Kebanyakan kanker kolorektal berkembang dari adenoma kolon yang

ada sebelumnya dan kanker kolrektal bisa dicegah dengan pendeteksian

dini dan pengangkatan polip kolon yang adematosa. Deteksi dini pada

polip, kanker yang asimptomatik bisa dilakukan dengan pengujian

spesimen feses untuk menemukan darah tersamar disertai dengan

Universitas Sumatera Utara

28

pengujian kolon secara langsung. Sejak tes untuk darah tersamar tidak

sensitif lagi, yang dikarenakan tes ini hanya dapat mendeteksi seperempat

kanker kolorektal dan polip yang berukuran besar (Topazian, 2004).

Pemilihan skrining untuk pasien asimptomatik tergantung pada

kemauan dan riwayat keluarganya. Adanya riwayat pernah menderita

inflamatory bowel disease atau polip kolorektal. Rekomendasi untuk

pemeriksaan ini apabila adanya riwayat keluarga yang mengidap polip

adematosa sekitar dua atau lebih anggota keluarga. Sindrom kanker

tertentu atau ditemukan adanya darah tersamar di feses. Seorang individu

tanpa faktor ini pada umumnya juga dipertimbangkan juga skrining

sigmodoskopi pada usia 50 tahun dan dianjurkan setiap 5 tahun . Akan

tetapi, ada perdebatan apakah pasien yang memiliki hanya satu keluarga

yang menderita kanker kolorektal apakah perlu dilakukan skrining

(Topazian, 2004).

Sigmoidoskopi fleksibel adalah skrining yang efektif memiliki 2 alasan :

1. Kebanyakan kanker kolorektal pada umumnya terjadi di daerah

rektum dan kolon sebelah kiri.

2. Kebanyakan juga kanker kolorektal pada sisi kanan terjadi dengan

adanya adenoma disebelah kiri juga (Topazian, 2004).

Pendeteksian akan adenoma selama pemeriksaan sigmodoskopi pada

umumnya membutuhkan pemeriksaan kolonoskopi secara menyeluruh dan

mendeteksi adanya kanker pada sisi kanan kolon. Pada beberapa dekade

belakangan ini, ada perubahan secara gradual yang terjadi pada distribusi

kanker kolon dengan proporsi rektal lebih sedikit. Oleh karena alasan ini

penilaian kolon secara keseluruhan dianjurkan. Barium enema telah

dianjurkan juga tetapi masih dibutuhkan pemeriksaan sigmoidoskopi

fleksibel. Dewasa ini, telah ditemukan adanya teknik baru yaitu virtual

Universitas Sumatera Utara

29

kolonoskopi yang cukup menjanjikan untuk mendeteksi lesi secara akurat

(Topazian, 2004).

3. Hematokezia minor.

Jika terdapat darah merah segar di atas feses biasanya berasal dari

anal, rektum atau sigmoid distal. Pasien bahkan memiliki kemungkinan

lainnya sehingga sigmoidokopi fleksibel harus dilakukan untuk

menyingkirkan polip yang berukuran besar atau kanker di kolon bagian

distal. Pasien yang mengaku bahwa adanya darah hanya pada tisu toilet

dan tidak terdapat pada feses atau di toilet mungkin terjadi perdarahan

pada anal kanal. Pemeriksaan DRE (Digital Rectal Examinations) dan

diinspeksi secara seksama atau dengan bantuan alat seperti anoskopi

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis pada kebanyakan kasus

(Topazian, 2004).

2.8. Teknik

Scope kolonoskopi terus masuk ke dalam kolon dan digerakan secara manuver

disepanjang luminal dan dinding usus besar yang divisualisasikan ke layar monitor.

Kolonoskopi mempunyai kanal sehingga memungkinkan untuk dimasukan berbagai

macam instrumen seperti instrumen biopsi yang bertujuan untuk mengangkat polip

atau menghentikan pendarahan. Udara, air dan pengisapan bisa diaplikasikan untuk

membantu pemeriksaan agar gambar yang dihasilkan lebih jelas (Stein, 2012).

Pemeriksaan lengkap biasanya harus mencapai sekum. Dan untuk beberapa

kasus harus sampai ileum terminal. Penandaan juga dibutuhkan untuk menentukan

apabila pemeriksaan telah mencapai orifisium apendiks atau valvula ileosekal. Akan

tetapi, terkadang hal ini tidak selalu dapat dikerjakan karena adanya penyakit atau

keadaan tertentu sehingga endoskopis sangat sulit mencapai valvula ileosekal atau

orifisium apendiks. Contohnya divertikulitis, operasi pelvis sebelumnya, stenosis

post-prosedur, ulseratif kolitis. Untuk beberapa kasus juga dibutuhkan kontras ganda

Universitas Sumatera Utara

30

seperti barium enema untuk melengkapi pemeriksaan. Walaupun prosedur kurang

sensitif daripada kolonoskopi dalam mendeteksi polip dan tumor ( Stein, 2012).

2.9. Persiapan Pemeriksaan Kolonoskopi.

Persiapan yang baik memiliki penting untuk keberhasilan pemeriksaan

kolonoskopi. Namun, persiapan usus tetap menjadi penghalang utama, yang mana

semuanya tergantung pada kepatuhan pasien dengan pedoman skrining karsinoma

kolorektal. Peningkatan pendidikan dan kepatuhan pasien terhadap penggunaan

rejimen pencahar usus dapat meningkatkan kemungkinan prosedur kolonoskopi aman

dan lengkap. Sebuah komponen penting adalah hidrasi yang cukup. Terlepas dari

persiapan diberikan, bahwa ada peristiwa buruk yang terkait dengan pencahar usus

sering dikaitkan dengan dehidrasi. Penyedia layanan kesehatan perlu melihat

pasiennya dari segi pendidikan pasien maupun dengan pencahar yang akan digunakan

pasien nantinya bahwa pentingnya hidrasi yang cukup sebelum, selama dan setelah

persiapan usus dan kolonoskopi. Langkah-langkah ini dapat mengurangi risiko

deplesi volume intravaskular yang berhubungan dengan komplikasi selama persiapan

usus dan memberikan persiapan yang lebih aman, lebih efektif untuk kolonoskopi

(Lichtenstein, 2007).

Pasien harus disarankan juga untuk melakukan pengosongan isi usus besar karena

hal ini merupakan syarat yang harus dipenuhi agar pemeriksaan kolonoskopi ini

berhasil. Jika usus sangat penuh dari sisa makanan maka dapat menganggu

pemeriksaan. Mungkin saja polip dan lesi tidak dapat terdeteksi. Pemeriksaan

kolonoskopi yang berlama-lama dapat menyebabkan risiko komplikasi yang lebih

tinggi. Dan semua proses ini akan di ulang atau di jadwalkan kembali di lain waktu.

Itulah konsekuensi yang dihadapi apabila pasien tidak tahu/ patuh terhadap apa yang

dimaksud dengan pengosongan usus besar ini. Pasien diwajibkan untuk berpuasa

makan padat sehari sebelum pemeriksaan kolonoskopi. Dan pada malam sebelum

prosedur tersebut, pasien harus diwajibkan untuk meminum obat atau zat yang dapat

memicu pembersihan usus dan instruksi yang baik (Harvard, 2008).

Universitas Sumatera Utara