BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Manusia pada usia dewasa memiliki 32 gigi permanen yang terdiri atas
masing-masing 16 gigi pada maksila dan mandibula. Setiap rahangnya
memiliki 4 gigi insisivus, 2 gigi kaninus, 4 gigi premolar dan 6 gigi molar .
Masing-masing dari gigi tersebut erupsi secara wajar dan sangat jarang
menimbulkan masalah bagi kesehatan gigi dan mulut seseorang. Terkecuali
pada gigi molar yang terakhir bererupsi yaitu umur 17-21 tahun yang disebut
gigi molar ke tiga.
Erupsinya gigi molar ke tiga sering menimbulkan masalah dalam
kesehatan gigi dan mulut. Salah satu adalah terjadinya Impaksi yaitu Gigi
yang mengalami posisi erupsi tidak normal yang disebabkan kekurangan
tempat , obstruksi gigi tetangga, atau pertumbuhan posisi yang tidak normal 1.
Di Indonesia frekuensi yang paling sering terjadi impaksi adalah gigi molar ke
tiga mandibula. Pertumbuhan gigi molar tersebut dimulai pada usia 17-21
tahun, 9-24% kasus melaporkan bahwa pertumbuhan gigi tersebut mengalami
impaksi tetapi ada juga yang melaporkan bahwa 13-15% gigi tersebut tidak
mengalami pertumbuhan 1.
Keadaan Impaksi yang disebabkan gigi mandibula tersebut merupakan
salah satu etiologi terjadinya infeksi orofacial, yaitu terjadinya perikoronitis.
1
Perikoronitis adalah infeksi yang terjadi pada jaringan lunak disekitar
mahkota gigi yang mengalami impaksi sebagian, paling sering terjadi pada
gigi molar ke tiga mandibula, biasanya pada pasien muda 12 Gejala yang terjadi
saat perikoronitis adalah jaringan disekitar gigi mengalami pembengkakan,
merah serta sakit pada saat membuka mulut 8. Sedangkan menurut Akpata O
(2007) menjelaskan bahwa perikoronitis akut memiliki gejala sakit yang tajam
dan berdenyut, merah , bengkak dan bernanah pada gigi molar ke tiga yang
mengalami inflamasi 13. Perikoronitis merupakan periodontal abses rekuren
yang terjadi akibat sisa makanan, plak dan bakteri yang menginvasi pada
poket mahkota ketika gigi molar erupsi 4. Selain itu perikoronitis juga dapat
disebabkan karena operkulum pada gigi molar mandibula yang berkontak
dengan gigi molar maksila secara berulang, akibatnya terbentuk lesi pada
operkulum sehingga memudahkan bakteri dan plak masuk kedalam jaringan
periodontal yang akan mengakibatkan inflamasi. Keadaan perikoronitis dapat
membuat penderitanya merasa sangat terganggu karena keadaan yang akut
tersebut oleh karena itu perlu dilakukan perawatan pada gigi molar ke tiga
yang mengalami perikoronitis.
Kemal Yamahk dan Suleyman Bozkaya (2008) mengemukakan bahwa
terdapat korelasi antara terjadinya perikoronitis dan posisi kemiringan dari
gigi molar ke tiga mandibula 2. Adupun klasifikasi yang di tentukan oleh
George B tentang posisi kemiringan gigi molar ke tiga mandibula yang
mengalami impaksi yaitu berdasarkan sumbu axis dari molar ke tiga impaksi
2
dengan sumbu axis molar ke dua mandibula, yaitu vertikal, horizontal, mesio-
angular, dan disto angular.
Dari pembahasan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui prevalensi
terjadinya perikoronitis terhadap posisi impaksi mandibula yang
diklasifikasikan oleh George B. Penelitian ini dilakukan di RSGM Halimah
Dg.Sikati Makassar yang bertempat di Jalan Kandea dan di Kecamatan
Tamalanrea mengingat banyaknya pasien yang berkunjung dengan keluhan
mengalami gigi impaksi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Beradasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
- Bagaimana prevalensi insidensi perikoronitis terhadap posisi impaksi
molar ke tiga mandibula di RSGM Halimah Dg.Sikati Makassar ?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui prevalensi insidensi perikoronitis terhadap posisi
impaksi molar ke tiga mandibula pada pasien yang berkunjung di RSGM
Halimah Dg.Sikati Makassar
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya perikoronitis
terhadap insidensi Impaksi molar ke tiga Mandibula
3
1.4 MANFAAT
Agar dapat menjadi data sekunder untuk penelitian selanjutnya dan dapat
menjadi acuan serta referensi dalam upaya pencegahan dan pengobatan
terjadinya perikoronitis.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 IMPAKSI
Gigi molar ketiga merupakan gigi yang paling terakhir erupsi diantara gigi
permanen yang lain. Gigi ini erupsi setelah lebih dari lima tahun sejak gigi molar
kedua permanen erupsi dalam rongga mulut. Erupsi gigi molar ketiga
menandakan seseorang telah menjadi dewasa. Gigi ini erupsi pada keempat
kuadran rongga mulut, sehingga proses oklusi dapat lebih sempurna.
Tetapi pada kenyataannya pertumbuhan gigi molar ke tiga sering
menimbulkan masalah dan menimbulkan keadaan infeksi pada jaringan lunak
disekitarnya sehingga mengganggu kenyamanan mulut dan gigi geligi yang lain .
Banyak gigi molar ketiga yang tidak mengalami erupsi sempurna karena
mengalami gangguan erupsi. Gangguan tersebut adalah suatu keadaan dimana
gigi molar ketiga terhalang pertumbuhannya untuk mencapai kedudukan normal.
Hal tersebut merupakan gangguan umum yang terjadi di negara dengan standar
kehidupan yang tinggi. Namun Indonesia yang termasuk negara berkembang
tidak luput dari masalah gangguan erupsi gigi molar ketiga. Dibuktikan dengan
semakin besarnya angka kejadian impaksi sebagai akibat gangguan pertumbuhan
gigi molar ketiga 16. Menurut beberapa ahli, frekuensi impaksi gigi molar ketiga
maksila adalah yang terbanyak dibandingkan dengan molar ketiga mandibula.
Kenyataannya di Indonesia berbeda, impaksi gigi molar ketiga mandibula ternyata
frekuensinya lebih banyak daripada gigi molar ketiga maksila 16.
5
2.1.1 Pengertian, Etiologi, dan dampak
Pada kamus Dorland disebutkan bahwa impaksi adalah gigi yang
terpendam didalam tulang alveolus dimana erupsinya terhambat atau posisinya
terkunci dalam tulang. Dijelaskan lebih lengkap oleh Biswari et al (2010) bahwa
impaksi adalah gigi yang mengalami posisi erupsi tidak normal yang disebabkan
kekurangan tempat (dental arch) ,obstruksi gigi tetangga, atau pertumbuhan posisi
yang tidak normal 1.
Sebanyak 40% gigi molar ke tiga erupsi dengan keadaan impaksi sebagian
maupun impaksi seluruhnya. Paling banyak ditemukan kasus gigi impaksi pada
gigi molar ke tiga mandibula 2
Faktor mayoritas yang mempengaruhi terjadinya impaksi adalah
kekurangan jarak mesiodistal, pertumbuhan tulang yang terbatas, gigi-geligi yang
erupsi ke arah distal, pertumbuhan kondilus yang mengarah vertikal, ukuran
mahkota dan perkembangan molar ke tiga yang lambat2 , jaringan sekitar gigi
yang terlalu padat, persistensi gigi sulung, tanggalnya gigi sulung terlalu dini, dan
faktor genetik, tulang rahang yang sempit 16.
Archer menyebutkan adanya reduksi ukuran tulang rahang ini disebabkan
karena perkembangan peradaban manusia, antara lain bahan makanan manusia
yang semakin lunak, sehingga kurang atau tidak merangsang pertumbuhan tulang
rahang. Berkurangnya rangsangan mastikasi pada tulang rahang dapat menjadi
6
salah satu faktor yang berpengaruh atas kurangnya ruang untuk tempat erupsi gigi
molar ketiga mandibula 15.
Impaksi dapat menyebabkan berbagai kondisi patologis yang
mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut, diantaranya adalah karies, resorbsi akar,
kista prosesus, periodontitis, infeksi periapikal, tumor odontogenik, dan
perikoronitis2.
2.1.2 Klasifikasi impaksi 6
George B Winter, G.J. Pell & Gregory menklasifikasikan impaksi molar
ke tiga mandibula sebagai berikut :
a. Berdasarkan dalamnya molar ketiga mandibula impaksi di dalam
rahang :
Posisi A : Bagian tertinggi dari molar ketiga bawah impaksi sama
dengan oklusal plane gigi molar kedua mandibula .
Posisi B : Bagian tertinggi dari molar ketiga bawah impaksi terletak di
bawah molar kedua bawah, dan diatas cervical line molar kedua
mandibula
Posisi C : Molar ketiga bawah impaksi terletak dibawah garis servikal
gigi molar kedua mandibula.
7
Gambar II.1. Posisi impaksi berdasarkan dalamnya molar ke tiga didalam rahang. Sumber: Fragiskos D. Oral Surgery. Data Primer, 2007
c. Berdasarkan sumbu panjang/axis molar ketiga bawah impaksi
dengan sumbu panjang molar kedua mandibula :
Posisi Mesioangular : Condong/miring ke mesial
Posisi Distoangular : Condong/miring ke distal
Posisi Vertikal : Gigi impaksi normal/tegak/vertikal
Posisi Horizontal: Gigi impaksi datar/tertidur/horisontal
Posisi Buccoangular : Condong/miring ke bukal
Posisi Linguoangular : Condong/miring ke lingual
Posisi Inverted : Gigi impaksi terbalik
Posisi Unusual: Horisontal dan terletak jauh kedistal dari tempat
semestinya .Disamping juga dapat terjadi : Buccal version, Lingual
version, Torso version.
8
Gambar II.2. Posisi impaksi berdasarkan sumbu aksis molar ketiga mandibula. Sumber : Fragiskos D. Oral Surgery. Data Sekunder, 2007
2.2 PERIKORONITIS
Odontogenik Infeksi berbahaya yang paling sering terjadi adalah abses
periapikal (25%) perikoronitis (11%) dan periodontal abses (7%).
World Health Organization menyetujui bahwa biofilm merupakan agen
penyebab terjadinya infeksi odontogenik dan menjelaskan bahwa biofilm adalah
proliferasi bakteri dan ekosistem dari enzim. Pada saat bayi lahir, proses
kolonisasi dimulai dan menghasilkan pertumbuhan komunitas yang dominan
dalam mulut, yaitu bakteri Streptococcus Salivarius . ketika umur 6 tahun (pada
saat gigi permanen pertama yang tumbuh) Mayoritas terdapat dalam mulut adalah
Streptococcus Sanguins dan Streptococcus Mutans 4.
9
2.2.1 Pengertian
Perikoronitis adalah kondisi rasa sakit yang melemahkan biasanya terjadi
pada usia muda. Perikoronitis akut menggambarkan sakit yang tajam, merah,
bernanah yang berada pada daerah molar ketiga, yang akan menyebabkan
keterbatasan membuka mulut, rasa tidak nyaman selama menelan, demam,
pernafasan terganggu13 . Kondisi yang biasa terjadi adalah inflamasi pada jaringan
lunak yang sangat dekat dengan mahkota gigi, paling sering terjadi pada molar ke
tiga mandibula2 .Perikoronitis merupakan penyakit periodontal yang biasa terjadi
pada usia remaja dan dewasa. Pada tahun 1921 Bloch pertamakali
mengemukakan istilah perikoronitis melalui literatur kedokteran gigi 3.
Frekuensi klinis paling sering dialami pada penderita perikoronitis secara
berurut adalah rasa sakit, terjadi pembengkakan, trismus, adanya eksudat, bengkak
disertai pus, celulitis, dan demam 5.
Dalam buku Manual of Minor Oral Surgery for the General Dentist
dijelaskan bahwa Perikoronitis adalah infeksi yang terjadi pada jaringan lunak
yang mengelilingi mahkota gigi impaksi sebagian. Infeksi ini disebabkan karena
flora normal dari rongga mulut dan adanya bakteri yang berlebihan pada jaringan
lunak perikoronal 11. Perikoronitis merupakan abses periodontal rekuren yang
terbentuk karena invasi bakteri pada koronal pouch pada saat erupsi gigi molar 4 .
2.2.2 Etiologi
Status kehidupan sosial, jenis kelamin dan ukuran rahang bukan
merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya perikoronitis. Sebaliknya ketiga
10
hal tersebut mempengaruhi status kesehatan mulut dari masing-masing individu.
Meskipun berbagai usia dapat menderita akut perikoronitis , tetapi infeksi ini lebih
sering terjadi pada usia antara 16-25 tahun13. Secara klinis, retromolar pad pada
gigi molar yang mengalami impaksi berkontak dengan gigi antagonisnya ketika
mengunyah sehingga menyebabkan trauma dan membentuk poket yang dalam ,
merupakan jalan masuknya plak dan bakteri sehingga akan menyebabkan infeksi
yaitu perikoronitis 13.Mikroorganisme patogen pada infeksi perikoronitis itu
sendiri yaitu Prevotella Intermedia, Fusobacterium Nucleatum, Streptococcus
Oralis 4.
Perikoronitis disebabkan karena gigi molar ke tiga maksila erupsi lebih
awal daripada molar ke tiga mandibula, sehingga molar ketiga maksila menggingit
daerah gingiva yang akan ditempati molar ke tiga mandibula pada saat beroklusi,
sehingga menyebabkan trauma yang akan menjadi jalan masuknya sisa makan dan
bakteri, akibatnya akan terjadi inflamasi 8.
Dampak dari jenis kelamin juga berpengaruh terhadap terjadinya perikoronitis.
Bataineh melaporkan dari 2.151 pasien yang mengalami perikoronitis, 56.7%
adalah wanita dan 43.3% laki-laki. Hal yang sama juga telah diteliti oleh Kemal
Yamahk et al, dari 102 pasien, 61% pasien wanita mengalami perikoronitis
sedangkan laki-laki hanya 39% 2. Hal yang sama dilaporkan oleh Ayanbadejo
(2007) bahwa penderita perikoronitis juga lebih banyak wanita (68%) daripada
pria (32%) 3. Juga dari hasil penelitian yang dilakukan oleh jaime Alberto Vargas
et,al (2009) yang dilakukan di kota Medellin, Kolombia bahwa pasien yang
mendominasi pwerikoronitis adalah wanita 12.
11
Faktor predisposisi terjadinya perikoronitis lainnya adalah siklus
menstruasi yang tidak teratur, virulensi bakteri, defisiensi anemia, stress, keadaan
fisik yang lemah, gangguan pernafasan, oral hygine yang buruk, dan trauma yang
terjadi karena cups gigi antagonis yang mengalami perikoronitis. Kay
mengemukakan bahwa perikoronitis yang dialami oleh wanita terjadi pada saat
pre-menstruasi dan post-menstruasi. Selain itu walina yang hamil mengalami
perikoronitis pada tri semester kedua. Lebih lanjut, lingkungan disekitar juga
berpengaruh terhadap terjadinya perikoronitis, termasuk stre dan emosi. Stress
menyebabkan penurunan saliva sehingga menyebabkan penurunan lubrikasi dari
saliva dan meningkatkan akumulasi plak 3.
Telah dijelaskan bahwa infeksi perikoronitis disebabkan karena flora
normal dari rongga mulut dan adanya bakteri yang berlebihan pada jaringan lunak
perikoronal. Keduanya menyebabkan ketidakseimbangan antara pertahanan host
dan pertumbuhan bakteri. Bila tidak dirawat, infeksi akan menyebar pada kepala
dan leher. Trauma yang berulang diakibatkan karena berkontaknya gigi
antagonisyaitu gigi molar maksila pada operkulum gigi molar ke tiga mandibula
ketika beroklusi pada saat mengunyah. Penyebab lain yang sering terjadi karena
masuknya sisa makanan dibawah operkulum . Hal ini menyebabkan tersedianya
tempat untuk mikroorganisme Streptococcus sp dan bakteri anaerobik lainnya
bertumbuh 11.
12
2.3 HUBUNGAN ANTARA TERJADINYA PERIKORONITIS DAN POSISI
MOLAR KE TIGA MANDIBULA
Salah satu penyakit potensial yang terjadi pada gigi molar ketiga adalah
perikoronitis 7 . Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa terdapat hubungan
insidensi terjadinya perikoronitis terhadap posisi molar ke tiga mandibula.
Kebanyanyakan studi kasus mengemukakan bahwa dampak dari kemiringan
posisi molar ketiga mandibula dapat menyebabkan perikoronitis 2.
Sebelumnya telah dilaporkan bahwa terdapat hubungan antara
perikoronitis dan posisi kemiringan gigi molar ke tiga mandibula. Leone et al
menggambarkan bahwa resiko tertinggi terjadinya perikoronitis adalah posisi
impaksi sebagian vertikal yang berkontak dengan gigi molar ke dua atau diatas
oklusal plan 2.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Akpata O (2007) Dari 108 kasus
perikoronitis yang terjadi di Dental Centre Kaduna, Nigeria, 62 kasus (57,4%)
mengalami impaksi vertikal, 28 kasus (25.9 %) distoangular, 16 kasus (14.8%)
mesioangular dan 2 kasus (1.9%) impaksi horizontal. Impaksi dengan posisi
vertikal yang mengarah distal merupakan resiko yang tertinggi faktor penyebab
terjadinya perikoronitis. Gigi yang rentan terjadi perikoronitis adalah gigi molar
ke tiga mandibula yang erupsi penuh secara vertikal yang berkontak dengan gigi
antagonisnya. Juga terdapat hubungan antara tinggi dan kedalaman poket 13.
Hal yang sama dikemukakan oleh Leone et al yang menggambarkan
bahwa gigi yang beresiko mengalami perikoronitis adalah gigi mmolar ke tiga
13
mandibula yang mengalami erupsi penuh, posisi vertikal, berkontak dengan molar
ke dua disebelahnya yang berada diatas atau sejajar dengan oklusan plane, dan
sebagian dari gigi tersebut ditutupi oleh jaringan lunak dan jaringan keras 2.
Beliau juga menjelaskan bahwa posisi kemiringan gigi merupakan dampak dari
pertumbuhan perikoronitis yang 51% adalah inklinasi vertikal. Oleh karenanya
ditemukan studi saat ini bahwa arah kemiringan vertikal adalah faktor penting
adanya perikoronitis. Harverson dan anderson juga melaporkan bahwa terdapat
hubungan antara perikoronitis dan ketinggian erupsi gigi impaksi dengan oklusal
plane. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Leone et al bahwa perikoronitis
sering terjadi pada kasus gigi impaksi yang erupsi diatas garis oklusal plane 2.
Selain posisi kemiringan gigi molar ke tiga mandibula,Alanbadejo et al
(2007) juga meneliti prevalensi terjadinya perikoronitis dalam rongga mulut.
Hasilnya adalah dari 373 pasien perikoronitis sebanyak 169 pasien (45.3%)
mengalami perikoronitis pada gigi molar ke tiga mandibula sebelah kiri, 138
pasien(37%) pada molar ke tiga mandibula kanan, dan 66 pasien (17.7%) yang
mengalami di kedua gigi molar ketiga tersebut 3 .
2.4 PENCEGAHAN DAN PERAWATAN PERIKORONITIS
Pencegahan terhadap terjadinya patologi yang akan menyebabkan infeksi
yang salah satunya perikoronitis, sebaiknya dilakukan pencabutan gigi impaksi
pada waktu masih muda yaitu pasien dibawah usia 25-26 tahun 6 .Telah dijelaskan
sebelumnya bahwa salah satu etiologi dari perikoronitis adalah sistem pertahanan
14
tubuh yang kurang. Oleh karena nya menjaga kesehatan tubuh merupakan salah
satu cara untuk mencegah terjadinya perikoronitis.
Apabila perikoronitis telah terjadi, maka perawatannya adalah
menghilangkan plak disekitar gigi kemudian flap gingiva (operkulum)
dibersihkan 8 .Operkulektomi juga merupakan alternatif perawatan pada
perikoronitis. Operkulektomi adalah pembedahan dengan cara mengangkat
jaringan operkulum yang terinfeksi disekitar gigi yang impaksi 10. Pembedahan
tersebut merupakan perawatan secara lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan
drainase 6. Namun perawatan perikoronitis seperti operkulektomi biasanya tidak
berhasil 9.
Perawatan sistemik dapat juga dilakukan pada penderita perikoronitis
bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya baekterimia dengan cara
pemberian antibiotik yang dapat melemahkan mikroorganisme yang berperan
terjadinya infeksi tersebut6. Mikroorganisme patogen pada infeksi perikoronitis itu
sendiri yaitu Prevotella Intermedia, Fusobacterium Nucleatum, Streptococcus
Oralis. Ketiga mikroorganisme patogen tersebut sensitiv dilemahkan oleh
antibiotik Amoxicillin/Clavunalic Acid dan Clindamycin. Untuk Amoxicillin/
Clavunalic acid diberikan dosis 875/125 mg diminum tiga kali sehari dan bagi
penderita alergi terhadap golongan penicilin dapat diberikan alternatif antibiotik
Clindamycin 600mg diberikan tiga kali sehari 4.
Pencegahan yang paling baik adalah ekstraksi gigi molar ketiga
mandibula. Henry (2007) melaporkan bahwa indikasi dari pencabutan impaksi
15
molar ketiga mandibula adalah dengan pemberian antibiotik sebelum dilakukan
pencabutan. Tindakan yang dilakukan demikian akan menghilangkan penyebab
terjadinya kasus infeksi oromaksilofasial 16. Indikasi untuk pencabutan gigi molar
ketiga telah banyak didiskusikan di dunia kedokteran gigi. Menurut laporan Osaki
et al (1995) infeksi oromaksilofasial yang terjadi pada pasien berusia lanjut
disebabkan karena adanya gigi molar ketiga yang tetap dipertahankan. Oleh
karena itu dianjurkan untuk melakukan pencabutan gigi molar ketiga di usia
muda sebagai bentuk pencegahan agar tidak terjadinya lesi pada jaringan sekitar
ketika pasien telah menginjak usia lanjut kelak. 9.
16
BAB 3
17
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 DESAIN PENELITIAN
a. Ruang lingkup penelitian : Klinis
b. Waktu Penelitian : Transversal (cross-sectional)
c. Substansi : Dasar
d. Hubungan Antar Variabel /analisis : Deskriptif
e. Adanya Manipulasi/perlakuan : Observasional
Jenis studi observational : Prospektif
4.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di bagian Ortodonsi Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Pendidikan Hj. Halimah Dg. Sikati Jl. Kandea dan Tamalanrea pada bulan
Februari –Mei 2012
4.3 DEFINISI OPERASIONAL
Impaksi : Gigi yang mengalami posisi erupsi tidak normal yang
disebabkan kekurangan tempat (dental arch) obstruksi gigi tetangga, atau
pertumbuhan posisi yang tidak normal 9. Terdapat klasifikasi Impaksi menurut
George B. Winter, G.J. Pell & G. Gregory. Pada penelitian ini, hanya dua
klasifikasi yang termasuk dalam definisi operasional, yaitu berdasarkan sumbu
18
axis dari molar ke tiga impaksi dengan sumbu axis molar ke dua mandibula dan
Berdasarkan dalamnya molar ke tiga mandibula terhadap oklusal plane gigi molar
ke dua mandibula 6.
Perikoronitis : inflamasi akut maupun kronis yang terjadi pada jaringan lunak
pada gigi molar ketiga mandibula yang mengalami impaksi. Tanda klinis : terjadi
pembengkakan yang menutupi sebagian mahkota gigi molar ketiga mandibula 11
rasa sakit, trismus, adanya eksudat, bengkak disertai pus, celulitis, dan demam 5.
Molar ke tiga Mandibula : Gigi Molar ke tiga Mandibula yang berada diregio
kanan dan regio kiri.
4.4 SKALA PENGUKURAN
Klasifikasi Impaksi : Nominal
Perikoronitis : Ordinal
4.5 JENIS ALAT UKUR DAN PENGUKURAN
Jenis Alat Ukur : Perangkat Keras
Alat dan Bahan : diagnostik set, betadine, air dan gelas, masker,
handskun, busur derajat, dan hasil foto ronsen periapikal
Jenis Pengukuran : Kualitatif
Penelitian dengan cara pengamatan langsung pada sampel untuk
menentukan apakah sampel termasuk kriteria inklusi atau ekslusi.
Jika termasuk pada kriteria inklusi, dilakukan pengamatan pada hasil foto
ronsen periapikal untuk penentuan klasifikasi impaksi molar ke tiga
mandibula.
19
4.6 POPULASI
Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang dirawat oleh mahasiswa
kepanitraan Bagian Bedah Mulut RSGMP Kandea.
4.7 SAMPEL
Pemilihan sampel dengan cara non-probablity sampling yaitu consecutive
sampling. Dimana sampel adalah pasien yang dirawat oleh mahasiswa
kepanitraan Bagian Bedah Mulut RSGMP Kandea pada waktu penelitian yang
telah ditentukan dan memenuhi kriteria Inklusi.
Kriteria Inklusi : - Pasien menderita Perikoronitis pada gigi molar ke tiga
mandibula yang impaksi.
- Laki-laki dan perempuan
- Berusia 17-30 tahun.
Kriteria ekslusi : - Pasien yang mengalami impaksi molar ke tiga
mandibula dan tidak mengalami Perikoronitis.
- Pasien yang menolak untuk dijadikan sampel penelitian.
4.8 PROSEDUR PENELITIAN
- Penelitian dilakukan selama 3 bulan.
- Sampel merupakan pasien yang berkunjung ke RSGM Halimah Dg.
Sikati di Tamalanrea dan Jl. Kandea. Keluhan berupa gigi Molar ke
tiga Mandibula mengalami impaksi dan terjadi perikoronitis pada
jaringan gigi tersebut.
- Pemeriksaan jaringan yang mengalami perikoronitis dengan
menggunakan diagnostik set berupa mouth mirror, periodontal probe,
20
dan eksploler No.3 serta dilakukan anamnesis keluhan yang dialami
pasien.
- Penentuan Klasifikasi Impaksi dengan mengambil ronsen foto secara
periapikal
- Kriteria impaksi yang menjadi faktor kemungkinan terjadinya
perikoronitis : persentasi oklusal yang ditutupi operkulum, sudut
angulasi dari molar ke tiga mandibula, lebar mesio distal molar ke tiga,
kedalaman poket.
- Sudut Kemiringan gigi molar ketiga berdasarkan methode Venta et al
(2007) :
1. Vertikal : ± 100
2. Mesioangular : +(11 – 70)0
3. Distoangular : -(11-70)0
4. Horizontal : Lebih dari 700
21
BAB V
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian mengenai prevalensi terjadinya perikoronitis
terhadap posisi impaksi molar ke tiga mandibula di RSGM Halimah Dg. Sikati
Makassar pada bulan Februari sampai dengan Mei 2012. Pengambilan data
dilakukan pada pasien yang berkunjung ke RSGM dengan keluhan mengalami
perikoronitis akut dan juga memiliki riwayat penyakit perikoronitis. Ditemukan
hasil penelitian dengan data sebagai berikut :
Grafik V.1 Penderita perikoronitis berdasarkan jenis kelamin
Perempuan Laki-laki0
5
10
15
20
25
Penderita perikoronitis berdasarkan Jenis Kelamin
Grafik V.1 Jumlah pasien yang mengalami perikoronitis berdasarkan jenis kelamin, Sumber : Bustamin F. Prefalensi perikoronitis terhadap posisi impaksi molar ke tiga mandibula. Data Primer, 2012
22
Berdasarkan Grafik V.1, diperoleh data pasien yang datang dengan
keluhan perikoronitis akut maupun kronis sebanyak tigapuluh orang. Sebanyak
duapuluh satu orang perempuan dan sebanyak sembilan orang laki-laki.
Grafik V.2 Penderita perikoronitis berdasarkan posisi molar ke tiga
mandibula terhadap sumbu aksis gigi
VertikalMesioangular
HorizontalDistoangular
02468
1012141618
Penderita perikoronitis berdasarkan posisi molar ke tiga mandibula terhadap sumbu aksis gigi
Grafik V.2 Penderita perikoronitis berdasarkan posisi molar ke tiga mandibula terhadap sumbu aksis gigi. Sumber : Bustamin F. Prevalensi perikoronitis terhadap posisi impaksi molar ke tiga mandibula. Data primer. 2012
Berdasarkan grafik V.2 diperoleh data bahwa sebanyak tujuh belas orang yang
mengalami perikoronitis memiliki posisi molar ke tiga mandibula terhadap
sumbu aksis gigi adalah secara vertikal. Pada posisi posisi mesioangular
terdapat tujuh orang yang mengalami perikoronitis , sedangkan pada posisi
horizontal terdapat lima orang ,dan sisanya yaitu sebanyak satu orang
mengalami impaksi molar ke tiga mandibula dengan posisi distoangular.
23
Grafik V.3 Penderita perikoronitis berdasarkan posisi molar ke tiga
mandibula terhadap garis oklusal molar ke dua mandibula
Posisi APosisi B
Posisi C
05
10152025
Penderita perikoronitis berdasarkan posisi molar ke tiga mandibula terhadap garis oklusal molar ke dua
mandibula
Grafik V.3 Penderita perikoronitis berdasarkan posisi molar ke tiga mandibula terhadap garis oklusal molar ke dua mandibula. Sumber : Bustamin F. Prevalensi perikoronitis terhadap posisi impaksi molar ke tiga mandibula. Data primer. 2012
Pada grafik V.3 terlihat sebanyak duapuluh lima orang mengalami
perikoronitis dengan posisi impaksi molar ketiga adalah posisi A, yaitu
bagian tertinggi dari molar ketiga mandibula impaksi sama tinggi dengan
garis oklusal gigi molar ke dua mandibula. Sebanyak lima orang
mengalami perikoronitis dengan posisi B, yaitu bagian tertinggi dari molar
ke tiga mandibula terletak di bawah garis oklusal tetapi diatas garis
servikal molar kedua mandibula di sebelahnya, sedangkan untuk posisi C,
dimana molar ke tiga mandibula yang mengalami impaksi terletak
dibawah garis servikal molar ke dua mandibula disebelahnya, tidak
terdapat penderita yang mengalami perikoronitis.
24
Tabel V.1 Hubungan penderita perikoronitis berdasarkan posisi
molar ke tiga mandibula terhadap sumbu aksis gigi dengan
berdasarkan posisi molar ke tiga mandibula terhadap garis oklusal
molar ke dua mandibula
Berdasarkan sumbu
axis Molar
ke 3 mandi-
Berdasarkan bula
Dalamnya molar
Ke tiga mandibula
Mesio-
angular
Disto-
angular
Horizontal Vertikal Total
Posisi A 10 %( 3 orang )
3.3 %( 1 orang )
16.7 %( 5 orang )
53.4 %( 16 orang )
83.4 %( 25 orang )
Posisi B 13.3 %(4 orang )
- - 3.3 %( 1 orang)
16.6 %( 5 orang )
Posisi C - - - - -
Total 23.3 %( 7 orang )
3.3 %( 1 orang )
16.7 %( 5 orang)
56.7 %( 17 orang)
100 %( 30 orang )
Tabel V.1 Hubungan penderita perikoronitis berdasarkan posisi molar ke tiga mandibula terhadap sumbu aksis gigi dengan berdasarkan posisi molar ke tiga mandibula terhadap garis oklusal molar ke dua mandibula. Sumber : Bustamin F. Prevalensi perikoronitis terhadap posisi impaksi molar ke tiga mandibula. Data primer. 2012
Pada Tabel V.1 menjelaskan bahwa prevalensi tertinggi terjadinya perikoronitis
adalah pada posisi A dengan gigi molar ketiga mengarah vertikal, yaitu sebanyak
enam belas orang atau 53,4 %, kemudian sebanyak lima orang atau 16,7 %
25
mengalami impaksi dengan posisi A arah horizontal. Sebanyak 4 orang atau 13,3
% mengalami posisi B dengan arah mesioangular. Sebanyak 1 orang atau 10 %
mengalami perikoronitis dengan posisi A mengarah ke mesioangular. Dan
masing-masing terdapat satu orang penderita perikoronitis dengan impaksi posisi
A distoangular dan posisi B vertikal. Tidak terdapat pasien yang mengalami
perokoronitis pada posisi C, baik mesioangular, distoangular, vertikal, ataupun
horizontal. Juga pada posisi B distoangular dan horizontal yang tidak
menunjukkan terdapatnya pasien penderita perikoronitis.
26
BAB VI
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bulan Februari sampai dengan
bulan Mei 2012 pada pasien yang berkunjung di RSGM Halimah Dg.Sikati
bagian bedah mulut dengan keluhan perikoronitis pada molar ketiga mandibula
berjumlah sebanyak duapuluh tujuh orang .Dari hasil penelitian, ditemukan
bahwa terdapat hubungan antara posisi impaksi molar ke tiga mandibula dengan
terjadinya perikoronitis.
Adapun hasil penelitian adalah lebih seringnya terjadi perikoronitis pada pasien
dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak duapuluh satu orang
dibandingkan dengan laki-laki hanya sebanyak sembilan orang (Grafik V.1). Hal
tersebut juga diungkapkan pada penelitian yang dilakukan oleh Kemal Yamahk et
al yaitu sebanyak 61 % perempuan mengalami perikoronitis dibandingkan laki-
laki pada penelitian yang dilakukannya 2. Ayanbedjo juga melakukan penelitian
pada tahun 2007 dengan sampel adalah warga Nigeria, hasil yang dilaporkan
adalah sebanyak 68 % perikoronitis dialami oleh perempuan dan hanya 32 % laki-
laki yang mengalami perikoronitis. Dijelaskan lebih lanjut bahwa jenis kelamin
berpengaruh pada terjadinya impaksi. Perempuan memiliki lebar lengkung rahang
27
yang kurang dari pada laki-laki, dengan demikian akan menjadi masalah ketika
gigi molar bungsu atau gigi molar ketiga mengalami erupsi yang akan jaringan
lunak diatasnya bisa mengalami inflamasi atau lebih dikenal dengan perikoronitis.
Selain jenis kelamin, usia juga menjadi salah satu faktor terjadinya
inflamasi perikoronitis. Sebanyak tigapuluh orang yang sampel yang memiliki
riwayat inflamasi atau sedang mengalami tersebut memiliki rentan usia antara
19-23 tahun. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh Ayanbejo, P.O yaitu
pada usia 19-23 terdapat sebanyak 45.6 % dari 373 pasien mengalami
perikoronitis dimana pada rentan usia tersebut merupakan periode pada saat gigi
molar ke tiga mandibula mengalami puncak erupsinya 3.
Selain pemeriksaan secara klinis, penelitian juga dilakukan dengan cara
menganamnesa populasi yang termasuk didalamnya, yaitu seluruh pasien dengan
keluhan impaksi molar ketiga mandibula. Didapatkan sampel inklusi adalah
mereka yang mengalami perikoronitis akut dan juga memiliki riwayat
perikoronitis yang berulang. Demikian terjadi karena perikoronitis merupakan
bentuk spesifik dari penyakit periodontal abses yang rekuren diakibatkan adanya
bakteri yang menginvasi coronal pouch atau tempat tumbuhnya mahkota selama
erupsinya gigi molar ketiga4. Pada pasien yang mengalami perikoronitis kronis
yang berulang, mereka tidak melakukan perawatan ketika perikoronitis tersebut
menjadi akut, hanya membiarkan keadaan tersebut sampai tidak terjadi keluhan
dengan sendirinya. Kebanyakan pasien mengaku bahwa keadaan akut terjadi
rentan waktu paling lama yaitu kurang lebih enam bulan yang lalu terhitung
waktu penelitian dimulai ( Februari – Mei 2012 ).
28
Penelitian yang dilakukan pada sampel sebanyak tigapuluh orang termasuk
laki-laki dan perempuan yang diambil secara non-probability sampling ini juga
menunjukkan bahwa pada pasien yang mengalami perikoronitis paling banyak
memiliki posisi impaksi molar ke tiga mandibula mengarah vertikal dengan
derajat kemiringan antara 0-50 terhadap sumbu aksis gigi yaitu sebanyak
tujuhbelas orang dan paling sedikit adalah pada posisi distoangular dengan derajat
kemiringan -150 hanya terdapat satu orang penderita (Grafik V.2). Hal yang sama
diungkapkan oleh Akpata O pada jurnalnya yang berjudul “Acute perikoronitis
and the position of the mandibular third in Nigerians” pada tahun 2007 dan hasil
penelitiannya menunjukkan laporan yang sama, yaitu sebanyak 57,4 % atau
sebanyak 62 kasus mengalami impaksi vertikal pada penderita perikoronitis di
Nigeria dari keseluruhan jumlah sampel yang ditelitinya 13.
Harverson dan Anderson mengemukakan terdapat hubungan antara
perikoronitis dan ketinggian erupsi gigi impaksi dengan oklusal plane 2. Pada
penelitian yang dilakukan pada tigapuluh orang yang mengalami perikoronitis
akut atau pun kronis ditemukan paling banyak terjadi perikoronitis pada impaksi
dengan posisi A, yaitu bagian tertinggi dari molar ketiga mandibula impaksi sama
tinggi dengan garis oklusal gigi molar ke dua mandibula sebanyak duapuluh lima
orang dan tidak terdapat penderita perikoronitis dengan posisi C, dimana molar ke
tiga mandibula yang mengalami impaksi terletak dibawah garis servikal molar ke
dua mandibula disebelahnya (Grafik V.3). Sehingga jika dihubungkan antara
posisi impaksi berdasarkan sumbu aksis gigi dengan berdasarkan dalamnya erupsi
pada gigi molar ketiga mandibula baik pada regio kanan maupun kiri, maka
29
prevalensi yang paling banyak terjadi secara berurutan adalah pada impaksi
dengan posisi A yang mengarah mengarah vertikal sebanyak 53,4 % , Kemudian
pada impaksi dengan posisi A mengarah horizontal sebanyak 16,7 %, posisi B
mengarah mesioangular sebanyak 13,3 %, impaksi posisi A mengarah
mesioangular dengan 10 %, selanjutnya terdapat prevalensi yang sama antara
posisi A mengarah distoangular dan posisi B mengarah vertikal yaitu 3,3 %
(Tabel V.1) .
Penjelasan dari hasil tersebut adalah disebabkan karena saling
berkontaknya gigi molar ke tiga mandibula dan molar ke tiga maksila yang terus
menerus ketika melakukan aktifitas seperti mengunyah. Kita ketahui bahwa pada
saat gigi tunbuh secara vertikal, maka terjadi kontak dengan baik dan tepat antar
cups dengan gigi antagonisnya, dalam hal ini gigi molar ketiga mandibula dan
molar ke tiga maksila yang mengalami kontak dengan sempurna ketika keduanya
tumbuh secara vertikal. Jika gigi molar ke tiga mandibula mengalami impaksi,
maka sebagian atau seluruh mahkotanya akan ditutupi oleh operkulum. Ketika
terjadi kontak antara gigi molar ketiga mandibula yang impaksi dengan gigi molar
ke tiga mandibula yang tumbuh sempurna, maka akan terjadi gigitan pada
operkulum yang menutupi gigi impaksi tersebut, jika keadaan ini berlangsung
terus menerus, maka akan terjadi iritasi, akibatnya banyaknya infasi bakteri
seperti Streptococcus Oralis dan sisa makanan yang masuk pada inflamasi
tersebut dan akan menyebabkan perikoronitis 5,8.
Tidak ditemukan adanya inflamasi perikoronitis pada impaksi dengan
posisi C, baik mengarah ke vertikal, horizontal, mesioangular ataupun
30
distoangular (Tabel V.1). Disebabkan karena tidak terdapatnya titik kontak antara
mahkota gigi molar ke tiga maksila dan molar ke tiga mandibula karena makhota
gigi molar ketiga mandibula berada dibawah garis oklusal gigi disebelahnya
sehingga tidak terjadi titik kontak atau saling gigit antar mahkota gigi
antagonisnya.
31
BAB VII
PENUTUP
VII.1 SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSGMP Halimah
Dg.Sikati Makassar pada bulan Februari sampai dengan Mei 2012 maka dapat
disimpulkan :
1. Pada bulan Februari sampai dengan Mei 2012 terdapat tigapuluh orang
yang mengalami perikoronitis akut maupun kronis. Sebanyak duapuluh
satu orang perempuan dan sembilan orang laki-laki. Perempuan lebih
banyak menderita perikoronitis disebabkan karena faktor hormon dan
perbandingan lebar lengkung rahang dari mahkota gigi molar ke tiga
mandibula.
2. Perikoronitis lebih banyak terjadi pada kasus impaksi berdasarkan sumbu
aksis molar ketiga mandibula secara berturut-turut adalah pada posisi
vertikal yaitu sebanyak tujuhbelas orang ,kemudian mesioangular
sebanyak tujuh orang, horizontal sebanyak lima orang, dan terakhir adalah
pada posisi distoangular hanya sebanyak satu orang. Sedangkan
berdasarkan dalamnya molar ketiga mandibula impaksi dalam rahang,
ditemukan paling banyak terjadi secara berturut-turut adalah pada posisi A
sebanyak duapuluh lima orang, kemudian dilanjut pada posisi B sebanyak
lima orang dan tidak ditemukan penderita perikoronitis pada posisi C.
32
3. Jika dihubungkan antara posisi impaksi berdasarkan sumbu aksis dan
dalamnya erupsi molar ke tiga mandibula maka ditemukan prevalensi
paling banyak terjadinya perikoronitis adalah pada impaksi vertikal
dengan posisi A dengan 53,4 %, terbanyak kedua pada impaksi horizontal
dengan posisi A sebanyak 16,7 %, ketiga adalah mesioangular dengan
posisi B sebanyak 13,3 %, ke empat ditemukan sebanyak 10 % pada
impaksi mesioangular dengan posisi A. Dan untuk prevalensi ke lima
ditemukan dengan dua keadaan posisi impaksi, yaitu dengan impaksi
vertikal posisi B dan impaksi distoangular posisi A dengan prevalensi 3.3
% dari duapuluh tujuh sampel inklusi.
4. Terdapat beberapa faktor etiologi terjadinya perikoronitis, yaitu : Jenis
kelamin, trauma yang disebabkan gigi antagonis ketika beroklusi, usia,
mikroorganisme patogen, plak dan sisa makanan yang menginvasi pada
poket perikoronitis, tingkat stres dan emosional, sistem pertahanan tubuh,
dan lain sebagainya.
5. Perikoronitis akan bersifat rekuren jika tidak segera dirawat. Perawatan
dapat berupa operkulektomi, pemberian antibiotik, pembersihan plak pada
operkulum, dan juga odontektomi.
VII. 2 SARAN
33
1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi
perikoronitis terhadap posisi impaksi molar ke tiga mandibula.
2. Keterbatasan peralatan juga biaya yang digunakan relatif mahal dalam
menjalankan penelitian. Oleh karena itu diperlukan alat yang lengkap
dengan biaya yang relatif terjangkau untuk menunjang keberhasilan dari
penelitian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
34
1. Biswari G, Gupta P, Das D. Wisdom teeth- a major problem in young generation, study on the basis of types and associated complication. Journal of College of Medical Sciences-Nepal;2010: p 24
2. Yamahk K, Bozkaya S. The predictivity of sandibular third molar position as a risk indicator for pericoronitis. Clin Oral Invest;2000 : p 9-10;13
3. Ayanbadejo P.O, Umesi K. A retrospective Study of some-demograhic factors associated with pericoronitis in nigeriasn. West African Journal of Medicine;2007: p 303-4
4. Lopez-Piriz R, Aguilar L, Gimenez M.J. Management of odontogenic infection of pulpal and periodontal orign. Med Oral Patol Oral Cir Bucal: 2007. P E155-6, E158
5. Salinas M.B, Riu N.C, Aytes L.B, escoda CG. Antibiotic suspectibility of the bacteria causing odontogenic infections. Med Oral Patol Oral ;2006: p E72
6. Purwanto drg, Basoeseno drg. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta : EGC; 1996. Hal: 60-3:203
7. Breeze J, Gibbons AJ. Are Soldiers at increased risk of third molar symptoms when on operational tour in iraq ? . JR Army Med Corps;2007 : P : 103
8. Green J.P dr. Pericoronitis. Peterson dental supply article;2007
9. Yadav M, Meghana SM, Deshmukh A, godge P. The wisdom behind third molar extraction. International Journal of Oral & Maxillofacial Pathology; 2011: P 11
35
10. ADA Coding, Council on Dental Benefit Program. Available from http://www.ada.org/member/pubs/journal.html ( diakses 27 Desember 2011)
11. Koerner K. Manual of Minor Oral Surgery for the General Dentist. USA : Blackwell Munksgaard ;2006:P: 50
12. Villegas J, Mayoral J.M. Prevalence of related pericoronitis with the position of mandibular third molar in private consultation during year 2008. Revista Nacional de Odontologia;2009: P 27
13. Akpata O. acute pericoronitis and the position of the mandibular third molar in nigerians. Journal of Biomedical Science;2007: P 1-2:4
14. Olasoji HO, Odusanya SA. Comparative study of third molar impaction in rural and urban areas of South-Western Nigeria. Odontostomal Trop;2000: P 25-8
15. Archer W. Oral and maxillofacial surgery. 5th ed. Philadelphia:W.B Saunders Company; 1975
16. Henry C.B. Wisdom teeth and their complication. Lancet, 1935; P 313-6
17. Hendra Chanda M, Nurul Zahbia Z. Pengaruh bentuk gigi geligi terhadap terjadinya impaksi gigi molar ke tiga rahang bawah. Jurnal Kedokteran Gigi Dentofasial;2007: P65-6
18. Fragiskoss D. Oral Surgery. Greece : Springer ; 2007. P 122
36
LAMPIRAN
37
Surat izin penelitian
38
39