Download - 96438813-askep-rinitis-alergika
BAB1
KONSEP DASAR MEDIS RHINITIS ALERGIKA
A. Anatomi Fisiologi
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Dorsum nasi
c. Puncak hidung
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis
pars allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi.
1
Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
a. Superior : os frontal, os nasal, os maksila
b. Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus
bagian inferior menjadi fleksibel.
Hidung bagian atas mendapatkan suplai perdarahan dari :
a. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
b. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,
cabang dari A. Karotis interna)
c. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Cabang persarafan yang mempersarafi daerah ini adalah :
a. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
b. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
2. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas – batas kavum nasi :
a. Posterior : berhubungan dengan nasofaring
b. Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan
sebagian os vomer
c. Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian
ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
d. Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan
subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini
disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela. Lateral : dibentuk
oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka nasalis inferior,
palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan
di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
2
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan
meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan
cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa
yang berjalan bersama – sama arteri.
Persarafan :
a. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
b. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor
menjadi N. Sfenopalatinus.
3. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel
goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat –
obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk
3
oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah
mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
4
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.
B. Definisi
1. Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi
alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman. (Dorland,2002 )
2. Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar
dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta
meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen yang serupa (Von Pirquet, 1986)
3. Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin,
keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO, Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma, 2001).
5
C. Klasifikasi
Rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan
spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis
karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah,
gatal disertai lakrimasi).
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu terdapat
konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan umur dan
biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa muda. Berat ringannya gejala
penyakit bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada banyaknya alergen di
udara. Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus-menerus, tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah
alergen inhalan. Alergen inhalan utama adalah dalam rumah (indoor) dan alergen di
6
luar rumah (outdoor). Alergen inhalan dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup
tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa.
Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan fases tungau D.
Pteronyssinus, D. Farinae dan Blomia tropicalis, kecoa, dan bulu binatang peliharaan
(anjing, kucing, burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.
Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai
dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).
D. Epidemiologi
Rinitis tersebar di seluruh dunia, baik bersifat endemis maupun muncul sebagai KLB.
Di daerah beriklim sedang, insidensi penyakit ini meningkat di musim gugur, musim
dingin, dan musim semi. Di daerah tropis, insidensi penyakit tinggi pada musim hujan.
Sebagian besar orang, kecuali mereka yang tinggal di daerah dengan jumlah penduduk
sedikit dan terisolasi, bisa terserang satu hingga 6 kali setiap tahunnya. Insidensi
penyakit tinggi pada anak-anak di bawah 5 tahun dan akan menurun secara bertahap
sesuai dengan bertambahnya umur.
7
Rinitis merupakan salah satu penyakit paling umum yang terdapat di amerika Serikat,
mempengaruhi lebih dari 50 juta orang. Keadaan ini sering berhubungan dengan
kelainan pernapasan lainnya, seperti asma. Rhinitis memberikan pengaruh yang
signifikan pada kualitas hidup. Pada beberapa kasus, dapat menyebabkan kondisi lainnya
seperti masalah pada sinus, masalah pada telinga, gangguan tidur, dan gangguan untuk
belajar. Pada pasien dengan asma, rinitis yg tidak terkontrol dapat memperburuk kondisi
asmanya.
E. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering
adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak
sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab
rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu
tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta
sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang
bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap
rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca
(Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
8
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
F. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction
atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
(fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam
9
Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan
alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan
IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit
atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara
lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
10
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif
atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein
(EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang
tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada
saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan
dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke
dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
11
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi
klinis kerusakan jaringan yang banyak DIJUMPAI di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis
alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008)
G. Tanda dan gejala
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,
yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik,
bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi
juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada
tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian
hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan.
Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata
termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata
(allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis
media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk
faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal
termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA
Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit
kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal
drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu
makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
12
H. Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
2. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET).
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui
(Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang
dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan (Irawati, 2002)
I. Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis Medikamentosa
13
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain
a. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
b. Tidak menimbulkan takifilaksis.
c. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun
demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
d. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan
adanya efek samping sistemik.
Tabel 3. : Jenis obat dan efek terapetik.
Jenis obat Bersin Rinorea Buntu Gatal hidung Keluhan mata
Antihistamin H1
Oral
Intranasal
Intraokuler
++
++
0
++
++
0
+
+
0
+++
++
0
++
0
+++
Kortikosteroid
intranasal
+++ +++ +++ ++ ++
Kromolin
Intranasal
Intraokuler
+
0
+
9
+
0
+
0
0
++
Dekongestan
Intranasal
Oral
0
0
0
0
+++
+
0
0
0
0
14
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Antilekotrien 9 + ++ 0 ++
Jenis obat yang sering digunakan :
a. Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4
kali/hari
b. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
c. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
d. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.
e. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan 2
kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
f. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15
mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4
kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
g. Kortikosteroid intranasal. Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang
lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi
eosinofilik.
h. Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-
semprotan/dosis, 1 kali/hari.
i. Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun :
1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
j. Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-
2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah
dan keamanannya lebih baik.
k. Leukotrien antagonis
l. Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
3. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
15
4. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang
gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan
(Mulyarjo, 2006).
J. Komplikasi
1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media yang sering residif dan
terutama kita temukan pada pasien anak-anak.
3. Sinusitis kronik
4. Otitis media dan sinusitis kronik bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi
melainkan adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase
K. Pencegahan
Beberapa langkah/tips berikut ini dapat membantu anda bahkan jika anda tidak tahu
jenis pollen apa yang membuat anda alergi. Jika anda tahu tipe pollen apa yang membuat
anda alergi itu lebih bagus lagi.
1. Tetaplah berada di dalam ruangan/rumah pada waktu pollen sangat banyak di udara.
Umumnya pollen sedikit di udara hanya beberapa saat setelah matahari terbit. Mereka
kemudian jumlahnya makin banyak dan paling banyak pada tengah hari dan
sepanjang siang. Jumlahnya kemudian berkurang menjelang matahari terbenam.
2. Tutuplah jendela dan pintu, baik pada siang maupun malam hari. Gunakan AC untuk
membantu mengurangi jumlah pollen yang masuk ke dalam rumah anda. Jangan
gunakan kipas dengan buangan keluar (exhaust fan) karena dapat membawa lebih
banyak pollen masuk ke dalam rumah anda.
3. Potonglah rumput di halaman rumah sesering mungkin.
4. Cegah membawa pulang pollen masuk ke rumah setelah anda bepergian:
5. Segeralah mandi dan ganti baju dan celana yang anda pakai di luar.
6. Keringkan pakaian anda dengan mesin pengering, jangan jemur di luar.
7. Berliburlah ke tempat lain pada saat musim pollen sedang berlangsung di tempat anda
ke tempat di mana tanaman yang membuat anda alergi tidak tumbuh.
8. Jangan keluar rumah pada saat hujan atau hari berangin.
16
9. Hindari aktivitas yang membat anda terpapar dengan mold, seperti berkebun
(terutama saat bekerja dengan kompos), memotong rumput.
10. Buanglah jauh-jauh dari rumah anda daun-daun yang berguguran, potongan rumput,
dan kompos.
11. Di daerah yang berudara lembab mold di dalam rumah dapat mencetuskan serangan
asthma, rhinitis alergika dan dermatitis alergika. Beberapa langkah berikut dapat
membantu:
12. Bersihkan kamar mandi, bathtubs, shower stalls, shower curtains, dan karet-karet
jendela paling sedikit sebulan sekali dengan disinfektan atau cairan pemutih. Gunakan
pemutih dengan hati-hati, karena dapat membuat hidung anda teriritasi. Jika hidung
anda teriritasi, gejala alergi anda dapat memburuk.
13. Rumah harus ada aliran udara yang baik dan kering.
14. Gunakan exhaust fan di kamar mandi dan dapur.
15. Jangan gunakan karpet.
16. Oleh karena orang dewasa menghabiskan 1/3 waktu mereka dan anak-anak
menghabiskan ½ dari waktu mereka di kamar tidur, maka penting agar tidak ada
alergen di kamar tidur. Jangan gunakan kasur, bantal dan guling yang diisi dengan
kapuk.
17
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas pasien : Pekerjaan dan lokasi tempat tinggal perlu dikaji secara mendalam
untuk menganalisa kemungkinan alergi karena faktor alergi
2. Keluhan utama : Bersin-bersin, hidung tersumbat/gatal, rhinorrhea, nyeri kepala,
demam, nyeri di persendian dan otot
3. Riwayat kesehatan sekarang : Kaji faktor pencetus
4. Pemeriksaan fisik : Sekret mukoid pada hidung, kemerahan pada daerah hidung luar,
B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas, berhubungan dengan obsktruksi/hipersekresi
sekret
2. Nyeri akut (pusing) berhubungan dengan proses inflamasi
3. Deprivasi tidur berhubungan dengan bersin berlebihan sekunder reaksi alergi
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar sumber informasi
C. Intervensi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas, berhubungan dengan obsktruksi/hipersekresi
sekret
NOC:
a. Respiratory status : Ventilation
b. Respiratory status : Airway patency
c. Aspiration Control
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien
menunjukkan keefektifan jalan nafas dibuktikan dengan kriteria hasil :
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
18
c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang penyebab.
d. Saturasi O2 dalam batas normal
e. Foto thorak dalam batas normal
NIC
a. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
b. Berikan O2 bila diperlukan
c. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
d. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
e. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
f. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
g. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
h. Kolaborasi : Berikan bronkodilator :
i. Monitor status hemodinamik
j. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
k. Monitor respirasi dan status O2
l. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret
2. Nyeri akut (pusing) berhubungan dengan proses inflamasi
NOC :
a. Pain Level,
b. pain control,
c. comfort level
Tujuan : Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama 2x24 jam pasien tidak
mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e. Tanda vital dalam rentang normal
f. Tidak mengalami gangguan tidur
NIC :
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
19
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
d. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
e. Kurangi faktor presipitasi nyeri
f. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
g. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
h. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
i. Tingkatkan istirahat
j. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
k. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
3. Deprivasi tidur berhubungan dengan bersin berlebihan sekunder reaksi alergi
NOC:
a. Anxiety Control
b. Comfort Level
c. Pain Level
d. Rest : Extent and Pattern
e. Sleep : Extent ang Pattern
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam gangguan pola
tidur pasien teratasi dengan kriteria hasil:
a. Jumlah jam tidur dalam batas normal
b. Pola tidur,kualitas dalam batas normal
c. Perasaan fresh sesudah tidur/istirahat
d. Mampu mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur
NIC :
a. Sleep Enhancement
b. Determinasi efek-efek medikasi terhadap pola tidur
c. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
d. Fasilitasi untuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur (membaca)
e. Ciptakan lingkungan yang nyaman
20
f. Kolaborasi pemberian obat tidur
4. Defisit pengetahuan berhububgan dengan kurang terpapar sumber informasi
NOC:
a. Kowlwdge : disease process
b. Kowledge : health Behavior
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pasien
menunjukkan pengetahuan tentang proses penyakit dengan kriteria hasil:
a. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis
dan program pengobatan
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat/tim kesehatan lainnya
NIC :
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga
b. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan
anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
c. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang
tepat
d. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
e. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat
f. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
g. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang
tepat
h. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
i. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan
cara yang tepat atau diindikasikan
j. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
21
Jurnal terkait
Acupuncture in patients with allergic rhinitis: a pragmatic randomized trial.Brinkhaus B, Witt CM, Jena S, Liecker B, Wegscheider K, Willich SN.SourceInstitute of Social Medicine, Epidemiology, and Health Economics, Charité University Medical Center, Berlin, Germany. [email protected]: Acupuncture is widely used in patients with allergic rhinitis, but the available evidence of its effectiveness is insufficient.OBJECTIVE: To evaluate the effectiveness of acupuncture in addition to routine care in patients with allergic rhinitis compared with treatment with routine care alone.METHODS: In a randomized controlled trial, patients with allergic rhinitis were randomly allocated to receive up to 15 acupuncture sessions during a period of 3 months or to a control group receiving no acupuncture. Patients who did not consent to random assignment received acupuncture treatment. All patients were allowed to receive usual medical care. The Rhinitis Quality of Life Questionnaire (RQLQ) and general health-related quality of life (36-Item Short-Form Health Survey) were evaluated at baseline and after 3 and 6 months.RESULTS: Of 5,237 patients (mean [SD] age, 40 [12] years; 62% women), 487 were randomly assigned to acupuncture and 494 to control, and 4,256 were included in the nonrandomized acupuncture group. At 3 months, the RQLQ improved by a mean (SE) of 1.48 (0.06) in the acupuncture group and by 0.50 (0.06) in the control group (3-month scores, 1.44 [0.06] and 2.42 [0.06], respectively; difference in improvement, 0.98 [0.08]; P < .001). Similarly, quality-of-life improvements were more pronounced in the acupuncture vs the control group (P < .001). Six-month improvements in both acupuncture groups were lower than they had been at 3 months.CONCLUSIONS: The results of this trial suggest that treating patients with allergic rhinitis in routine care with additional acupuncture leads to clinically relevant and persistent benefits. In addition, it seems that physician characteristics play a minor role in the effectiveness of acupuncture treatment, although this idea needs further investigation.PMID:
19055209[PubMed - indexed for MEDLINE]
22
Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akip AAP, Munazir Z, Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. Edisi ke-2. Jakarta: IkatanDokter Anak Indonesia, 2007;373-7.2.
B o s s a r t P H e n o c h - S c h ö n l e i n P u r p u r a . e M e d i c i n e , 2 0 0 5 . D i a k s e s d a r i www.emdecine.com/emerg/topic845.htm. Diakses tanggal 28 Mei 2012.Scheinfeld NS. H e n o c h - S c h ö n l e i n P u r p u r a . e M e d i c i n e , 2 0 0 8 . D i a k s e s d a r i www.emedicine.medscape.com/article/984105-overview. Diakses tanggal 28 Mei 2012.
D’Alessandro DM. I s I t Rea l l y Henoch -Schön l e in Pu rpu ra . Ped i a t r i c Educa t i on , 2009. Diakses darihttp://www.pediatriceducation.org/2009/02/Diakses tanggal 28 Mei 2012
Kra f t DM, McKee D , Sco t t C . Henoch-Schönlein Purpura: A Review. AmericanF a m i l y P h y s i c i a n , 1 9 9 8 . D i a k s e s d a r i http://www.aafp.org/afp/980800ap/kraft.html Diakses tanggal 28 Juni 2012
23