Download - 84119388-KAD
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ketoasidosis diabetikum adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila
tidak ditangani secara tepat. lnsiden kondisi ini bisa terus meningkat, dan tingkat mortalitas 1-2
persen telah dibuktikan sejak tahun 1970-an. Ketoasidosis diabetikum paling sering terjadi pada
pasien penderita diabetes tipe 1 (yang pada mulanya disebut insulin-dependent diabetes
mellitus), akan tetapi keterjadiannya pada pasien penderita diabetes tipe 2 (yang pada mulanya
disebut non-insulin dependent diabetes mellitus), terutama pasien kulit hitam yang gemuk adalah
tidak sejarang yang diduga.
Penanganan pasien penderita ketoasidosis diabetikum adalah dengan memperoleh riwayat
menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai upaya untuk
mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu. Pengobatan utama terhadap kondisi ini
adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan isotonic saline) dengan pergantian potassium serta
terapi insulin dosis rendah. Penggunaan bikarbonate tidak direkomendasikan pada kebanyakan
pasien. Cerebral edema, sebagai salah satu dari komplikasi ketoasidosis diabetikum yang paling
langsung, lebih umum terjadi pada anak anak dan anak remaja dibandingkan pada orang dewasa.
Follow-up paisen secara kontinu dengan menggunakan algoritma pengobatan dan flow sheets
dapat membantu meminimumkan akibat sebaliknya. Tindakantindakan preventif adalah
pendidikan pasien serta instruksi kepada pasien untuk
segera menghubungi dokter sejak dini selama terjadinya penyakit
1.2 Batasan Masalah
Clinical science session ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,
patogenesis, diagnosis dan terutama penatalaksanaan komprehensif ketoasidosis
diabetikum.
1
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi, epidemiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan ketoasidosis
diabetikum.
1.4 Metode Penulisan
Clinical science session ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk
dari berbagai literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Definisi
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut atau relatif.1 KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus
(DM) yang serius yang membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD
biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat menyebabkan syok.1
2. 2. Epidemiologi
Data komunitas di Amerika serikat, Rochester menunjukkan bahwa insidens KAD
sebesar 8 per 1000 pasien, sedangkan untuk kelompok usia di bawah 30 tahun sebesar 13,4 per
1000 pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di Indonesia tidak sebanyak di negara
barat, mengingat prevalensi DM tipe I yang rendah. Laporan insidens KAD di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit, terutama pada pasien DM tipe II.
2. 3. Etiologi-Patogenesis
Ada sekitar 20 % pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama
kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui sebelumnya, 80 % dikenali adanya faktor
pencetus. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah
infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan
atau mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20 % pasien KAD tidak didapatkan faktor
pencetus.1
3
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi gula hati meningkat dan utilisasi glukosa
oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat
bervariasi dan tidak menentukan derajat berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis
KAD dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu:1
• Akibat hiperglikemia
• Akibat ketosis
Walaupun sel tubuh tidak dapat menurunkan glukosa, sistem homeostasis tubuh terus
teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin,
mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat,
sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan.
Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda
keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB); dalam keadaan
normal 3HB meliputi 75-85 % dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu
4
penting. Meskupin sudah tersedia bahan bakar tersebut, sel-sel tubuh masih tetaplapar dan terus
menerus produksi glukosa.1
Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam sel, memberi signal
untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis lemak, menghambat
glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong oksidasi melalui siklus krebs dalam mitokondria
sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan ATP yang merupakan energi utama sel.1
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relatif.
Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia,
gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa dapat mengganggu sensitivitas insulin.1
Peranan utama insulin dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dapat dipahami
paling jelas dengan memeriksa berbagai akibat defisiensi insulin pada manusia. Manifestasi
utama penyakit diabetes melitus adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat (1) berkurangnya
jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel; 2). Berkurangnya penggunaan glukosa oleh pelbagai
jaringan, dan 3) peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati. Masing-masing
peristiwa ini akan dibicarakan lebih rinci dibawah ini.
5
Patofisilogi defisiensi insulin
Poluria, polidipsia dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalorinya memadai, merupakan
gejala utama defisiensi insulin. Bagaimana hal ini dijelaskan? Kadar glukosa plasma jarang
melampaui 120 mg/dL pada manusia normal, kendati kadar yang jauh lebih tinggi selalu
dijumpai pada pasien defisiensi kerja insulin. Setelah kadar terentu glukosa plasma dicapai (pada
manusia umumnya > 180 mg/dl) taraf maksimal reabosrbsi glukosa pada tubulus renalis akan
dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam urine (glikosuria). Volume urine meningkat
akibat terjadinya diuersis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat yang
bersarnaan (poliuria), kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi (hiperosmolaritas),
bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia) sebagai mekanisme
kommpensasi. Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4,1 kkal bagi setiap
gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), kehilangan ini kalau ditambah lagi dengan deplesi
jaringan otot and adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat kendati
terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan-kalori yang normal atau meningkat.
Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan keadaan ini sebagian
terjadi akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam otot (asam amino berfungsi
sebagai substrat glukoneogenik). Jadi orang yang kekurangan insulin berada dalam
keseimbangan nitrogen yang negatif. Kerja antilipolisi insulin hilang seperti halnya efek
lipogenk yang dimiliknya, dengan demikian, kadar asam lemak plasma akan meninggi. Kalau
kemampuan hati untuk mengakosidasi asam lemak terlampaui, maka senyawa asam β-
hidroksibutirat dan asam asetoasetat akan bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat
mengimbangi pengumpulan asam organik ini dengan meningkatan pengeluaran CO2 lewat
sistem respirasi, namun bila keadaan ini tidak dikendalikan dengan pemberian insulin, maka
akan terjadi asidosis metabolik dan pasien akan meninggal dalam keadaan koma diabetik.
6
Peranan Glukagon
Di antara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling berperan dalam
patogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan menghambat pembentukan
malonyl CoA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat caarnitine acyl transferases (CPT 1 dan 2)
yang bekerja pada transfer asam lemakbebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian
peningkatan glukagon akan meransang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis.1
Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak teregulaasi dengaan baik. Bila kadar
insulin rendah, maka kadar glukagon darah sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi
kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati.1
Hormon kontraregulator insulin lain
Kadar epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon pertumbuhan (GH)
pada awal terapi KAD kadarnya kadang-kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan
pemberian insulin.1
Keadaan stress sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi yang pada akhirnya aklan
menstimulasi pembentukan benda-benda keton, glukoneogenesis serta potensial sebagai pencetus
KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan terjadi stress yang berkepanjangan.1
2.4. Manifestasi Klinis
Sekitar 80 % pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya
sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan
segera mengatasinya.1
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pernafasan cepat
dan dalam (kussmaul), berbagaia derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa nafas tidak
terlalu mudah tercium.1
7
Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuria dan
polidipsia sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin,
demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada
KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan
gastro-paresis-dilatasi lambung.1
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi
sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol).1
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Infeksi yang paling sering
ditemukan ialah infeksi saluran kemih, dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah
infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu
dipikirkan kemungkinan kolestitis, iskemia usus, apendisitis, divertikulitis, atau perforasi usus.
Bila ternyata pasien tidak menunjukkan respon yang baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu
dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirektal).1
2. 5. Diagnosis
Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun hiperglikemia
hiperosmolar nonketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis dapat dipakai kriteria
diagnosis KAD. Walaupun demikian penilaian kasus per kasus selalu diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.1
Langkah pertama yang harus diambil pada paasien dengan KAD terdiri dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan nafas,
status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus
dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.1
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dilakukan setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan
8
pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah
glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat
menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi kadar HCO3-, anion gap, pH darah
dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan laktat serta 3HB.1
Kriteria diagnosis KAD:1
a. kadar glukosa > 250 mg%
b. pH < 7,35
c.HCO3- rendah
d.Anion gap yang tinggi
e. Keton serum positif
2.6. Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:1
a. Penggantian cairan dan garam yang hilang
b. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin.
c. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD
d. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta
penyesuaian pengobatan.
Perawatan umum
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6 hal yang harus diberikan; 5 di
antaranya ialah:
a. Cairan
b. Insulin
c. Garam
d. Kalium
9
e. Glukosa
Sedangkan yang terakhir tetapi sangat menentukan adalah asuhan keperawatan. Di sini
diperlukan kecermatan dalam evaluasi sampai keadaan KAD teratasi dan stabil.1
Cairan
Untuk mengatasi dehidrsi digunkaan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan
hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka pada jam pertama
diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter. Ada dua keuntungan rehidrasi pada KAD:
memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila kadar
glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5 %
atau 10 %).1
Insulin
a. Insulin infus intravena dosis rendah berkelanjutan
Insulin regular intravena memiliki waktu paruh 4–5 menit, sementara pemberian insulin
secara intramuskular atau subkutan memiliki waktu paruh sekitar 2–4 jam. Insulin infus
intravena dosis rendah Berkelanjutan (continuous infusion of low dose insulin) merupakan
standar baku pemberian insulin di sebagian besar pusat pelayanan medis. Panduan terapi insulin
pada KAD dan SHH dapat dilihat pada tabel.
10
Protokol ini dimulai dengan tahap persiapan yaitu dengan memberikan infus D5%
100cc/jam. Setelah itu, bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50 unit insulin reguler (RI)
dalam spuit berukuran 50 cc, kemudian encerkan dengan larutan NaCl 0,9 % hingga mencapai
50 cc (1 cc NaCl = 1 unit RI). Bila diperlukan 1,5 unit insulin/jam, petugas tinggal mengatur
kecepatan tetesan 1,5 cc/jam. Dapat pula diberikan 125 RI dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%,
yang berarti setiap 2 cc NaCl = 1 unit RI.2
Bila tidak tersedia syringe pump, dapat digunakan botol infus 500 cc larutan NaCl 0,9%.
Masukkan 12 unit RI (dapat juga 6 unit atau angka lain, sebab nantinya akan diperhitungkan
dalam tetesan) ke dalam botol infus 500 cc larutan NaCl 0.9%. Bila dibutuhkan 1 unit
insulin/jam, maka dalam botol infus yang berisi 12 unit RI, diatur kecepatan tetesan 12
jam/botol, sehingga 12 unit RI akan habis dalam 12 jam. Bila dibutuhkan 2 unit perjam,
kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6 jam/botol, karena 12 unit RI akan habis dalam 6 jam,
demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai permintaan. Sebagai patokan tetesan, 1 cc cairan infus
= 20 tetesan makro = 60 tetesan mikro.2
Pemberian insulin infus intravena dosis rendah 4–8 unit/jam menghasilkan kadar insulin
sekitar 100 uU/ml dan dapat menekan glukoneogenesis dan lipolisis sebanyak 100%.2
11
Cara pemberian infus insulin dosis rendah berkelanjutan dikaitkan dengan komplikasi metabolik
seperti hipoglikemia, hipokalemia, hipofosfatemia, hipomagnesema, hiperlaktatemia, dan
disequilibrium osmotik yang lebih jarang dibandingkan dengan cara terapi insulin dengan dosis
besar secara berkala atau Bila dibutuhkan 2 unit perjam, kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6
jam/botol, karena 12 unit RI akan habis dalam 6 jam, demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai
permintaan. Sebagai patokan tetesan, 1 cc cairan infus = 20 tetesan makro = 60 tetesan mikro.2
Pemberian insulin infus intravena dosis rendah 4–8 unit/jam menghasilkan kadar insulin
sekitar 100 uU/ml dan dapat menekan glukoneogenesis dan lipolisis sebanyak 100%.2
Cara pemberian infus insulin dosis rendah berkelanjutan dikaitkan dengan komplikasi
metabolik seperti hipoglikemia, hipokalemia, hipofosfatemia, hipomagnesema, hiperlaktatemia,
dan disequilibrium osmotik yang lebih jarang dibandingkan dengan cara terapi insulin dengan
dosis besar secara berkala atau intermiten.2
b. Insulin intramuskular
Penurunan kadar glukosa darah yang dicapai dengan pemberian insulin secara
intramuskular lebih lambat dibandingkan dengan cara pemberian infus intravena berkelanjutan.
Terapi insulin intramuskular dosis rendah (5 unit) yang diberikan secara berkala (setiap 1–2jam)
sesudah pemberian insulin dosis awal (loading dose) sebesar 20 m juga merupakan cara terapi
insulin pada pasien KAD. Cara tersebut terutama dijalankan di pusat pelayanan medis yang sulit
memantau pemberian insulin infus intravena berkelanjutan. Pemberian insulin intramuskular
tersebut dikaitkan dengan kadar insulin serum sekitar 60–90 μU/dL.2
12
Panduan cara pemberian insulin pada pasien KAD dan SHH
c. Insulin subkutan
Terapi insulin subkutan juga dapat digunakan pada pasien KAD. Namun, untuk
mencapai kadar insulin puncak dibutuhkan waktu yang lebih lama. Cara itu dikaitkan dengan
penurunan kadar glukosa darah awal yang lebih lambat serta timbulnya efek hipoglikemia lambat
(late hypoglycemia) yang lebih sering dibandingkan dengan terapi menggunakan insulin
intramuskular.2
13
Cara Pemberian Terapi Insulin Subkutan2
Pada mayoritas pasien, terapi insulin diberikan secara simultan dengan cairan intravena.
Apabila pasien dalam keadaan syok atau kadar kalium awal kurang dari 3,3 mEq/L, resusitasi
dengan cairan intravena atau suplemen kalium harus diberikan lebih dahulu sebelum infus
insulin dimulai. Insulin infus intravena 5-7 U/jam seharusnya mampu menurunkan kadar glukosa
darah sebesar 50–75 mg/dL/jam serta dapat menghambat lipolisis, menghentikan ketogenesis,
dan menekan proses glukoneogenesis di hati.2
Kecepatan infus insulin harus selalu disesuaikan. Bila faktor-faktor lain penyebab
penurunan kadar glukosa darah sudah dapat disingkirkan dan penurunan kadar glukosa darah
kurang dari 50 mg/dL/jam, maka kecepatan infus insulin perlu ditingkatkan. Penyebab lain dari
tidak tercapainya penurunan kadar glukosa darah, antara lain rehidrasi yang kurang adekuat dan
asidosis yang memburuk.2
Bila kadar glukosa darah sudah turun < 250 mg/dL, dosis insulin infus harus dikurangi menjadi
0,05-0,1 U/kgBB/jam sampai pasien mampu minum atau makan. Pada tahap ini, insulin subkutan
14
dapat mulai diberikan, sementara infus insulin harus dilanjutkan paling sedikit 1–2 jam setelah
insulin subkutan kerja pendek diberikan. Pasien KAD dan SHH ringan dapat diterapi dengan
insulin subkutan atau intramuskular. Hasil terapi dengan insulin infus intravena, subkutan, dan
intravena intermiten pada pasien KAD dan SHH ringan tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna dalam hal kecepatan penurunan kadar glukosa dan keton pada 2 jam pertama.2
KaliumPada awalnya KAD biasanya kadar ion K serum meningkat hiperkalemia yang fatal
sangat jarang dan bila terjdi harus segera diataasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada
elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat
segera mengatasi keadaan hiperkalemi tersebut.
Yang perlu menjadi perhatian adalah hipokalemiayang dapat fatal selaama pengobatan
KAD. Ion kalium terutama terdapat di intraselular. Pada keadaan KAD, ion K bergerak ke luar
sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urine. Total defisit K yang terjadi selama KAD
diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kg BB. Selama terapi KAD, ion K kembali mempertahankan
kadar K serum dalam batas normal., perlu pemberian kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal
serta tidak ditemukannya gelombang T yang lancip dan tinggi pada elektrokardiogram,
pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat.
Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun. Selanjutnya
dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/jam. Bila
kadar glukosa mencapai < 200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung glukosa. Perlu
dditekankan di sini bahwa tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar glukosa tetapi
untuk menekan ketogenesis. Bikarbonat
Terapi bikarbonat pafda KAD menjadi topik perdebatn selama beberapa tahun.
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alasan keberatan
pemberian bikarbonat adalah:
a.Menurunkan pH intraselular akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat.
15
b. Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan
c. Hipertonis dan kelebihan natrium
d. Meningkatkan insidens hipokalemia
e. Gangguan fungsi serebral
f. Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton
Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun demikian komplikasi
asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.
Pengobatan Umum
Di samping hal tersebut di atas pengobatan umum yang tak kalah penting.
Pengobatan umum KAD, terdiri atas:1
1.Antibiotika yang adekuat
2.Oksigen bila PO2 < 80 mmHg 3. Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (>380 mOsm/l)
Pemantauan
Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD mengingat
penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlansung. Untuk itu perlu dilaksanakan
pemeriksaan:1
1. kadar glukosa darah tiap jam dengan glukometer
2. elektrolit tiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaa.
3.Analisis gas darah, bila pH <7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1, selanjutnya
setiap hari sampai Keadaan stabil
4. Vital Sign tiap jam
5. Keadaan hidrasi, balance cairan
6. Waspada terhadap kemungkinan DIC
Agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar evaluasi
16
penatalaksanaan ketoasidosis yang baku.1
2. 7. Komplikasi
Komplikasi KAD dapat berupa edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut
dan komplikasi iatrogenik. Komplikasi iatrogenik tersebut ialah hipoglikemia, hiperkloremia,
hipokalemia, edema otak, dan hipokalsemia.1
2. 8. Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan
kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada sistem
pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada
saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk pilek, diare, demam, luka).1
Upaya pencegahan merupakan hal penting pada penatalaksanaan DM secara
komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik
dan akut, melalui edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik.1
Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia, program edukasi
memerlukan penekanan pada cara-cara mengatasi sakit akut.
17
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3. 1. Kesimpulan
1. Ketoasidosis diabetik (disingkat KAD) merupakan komplikasi metabolik akut paling serius
pada pasien diabetes melitus. Manifestasi utamanya adalah kekurangan insulin dan hiperglikemia
yang berat. KAD terjadi bila kekurangan insulin yang berat tidak saja menimbulkan
hiperglikemia dan dehidrasi yang berat tapi juga
mengakibatkan produksi keton meningkat serta asidosis.
2. Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia (≥ 250
mg/dL), ketosis darah atau urin, dan asidemia (pH < 7.3).
3. Terapi bertujuan mengoreksi kelainan patofisiologis yang mendasari, yaitu gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, kadar glukosa darah, gangguan asam basa, serta mengobati
faktor pencetus.
4. Prinsip terapi KAD terdiri dari pemberian cairan, terapi insulin,
koreksi kalium, dan bikarbonat.
5. Komplikasi KAD dapat berupa edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan
komplikasi iatrogenik. Komplikasi iatrogenik tersebut ialah hipoglikemia, hiperkloremia,
hipokalemia, edema otak, dan hipokalsemia.
3. 2. Saran
Ketoasidosis diabetikum sering terjadi akbat adanya faktor infeksi dan penghentian obat insulin
atau OHO. Perlunya upaya pencegahan merupakan hal terpenting untuk mencegah timbulnya
kasus KAD. Program edukasi perlu menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut,
meliputi informasi mengenai pemberian insulin kerja cepat, target kadar glukosa darah pada saat
sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair yang mengandung
18
karbohidrat garam yang mudah dicerna. Yang paling penting ialah agar tidak menghentikan
pemberian insulin atau OHO dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasehat
tenaga kesehatan yang profesional.
Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalmi masa-masa
sakit, dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah dan keton urine sendiri. Di sinilah
pentingnya edukaror diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama padaa
keadaan sulit.
19