REFERAT
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepanitraan Klinik
Stase Interna Semarang
Disusun oleh :
SOFARA REZANTI
NIM : 0102096027
Pembimbing:
dr. Zulfachmi Wahab, Sp.PD.FINASIM
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
RSUD DR. ADHYATMA TUGUREJO
SEMARANG
2013
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Sofara Rezanti
NIM : 012096027
Fakultas : Kedokteran Umum
Tingkat : Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Bidangpendidikan : Ilmu Penyakit Dalam
Judul : Hipertensi Gestasional
Pembimbing : dr. Zulfachmi Wahab, SpPD-Finasim
Mengetahui :
Pembimbing
dr. ZulfachmiWahab, SpPD-Finasim
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Hipertensi merupakan problema yang paling sering terjadi pada
kehamilan. Kelainan hipertensi pada kehamilan beresiko terhadap kematian janin
dan ibu. Ada banyak kasus dimana wanita hamil dengan hipertensi mampu
menjaga kehamilan sampai dengan kelahiran dengan selamat. Wanita hamil yang
menderita hipertensi dimulai sebelum hamil, memiliki kemungkinan komplikasi
pada kehamilannya lebih besar dibandingkan dengan wanita hamil yang menderita
hipertensi ketika sudah hamil. Pada kasus yang lebih serius, ibu bisa menderita
preeclampsia atau keracunan pada kehamilan, yang akan sangat membahayakan
baik pada ibu maupun bagi janin. Selain itu hipertensi bisa menyebabkan
kerusakan pembuluh darah, stroke, dan gagal jantung di kemudian hari.
Deteksi dini terhadap hipertensi pada ibu hamil diperlukan agar tidak
menimbulkan gejala komplikasi yang lainya. Hipertensi pada kehamilan adalah
penyakit yang sudah umum dan merupakan salah satu dari tiga rangkaian penyakit
yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan
kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil.
II. EPIDEMIOLOGI
National Center for Health Statistics pada tahun 2001, hipertensi
gestasional telah diidentifikasi pada 150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Berg
dan kawan-kawan (2003) melaporkan bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian
yang berhubungan dengan kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 2001 - 2005
merupakan akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan. Preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan
proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah
minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika
timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan
ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.
Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan
proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah
minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida.
Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna, nulipara, dan golongan
sosial ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia remaja atau awal 20-an, tetapi
prevalensinya meningkat pada wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi
pada usia kehamilan dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada kehamilan mola
atau sindroma antifosfolipid. Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif stabil,
4-5 kasus /10.000 kelahiran hidup di negara maju. Di negara berkembang, insiden
bervariasi luas antara 6-100/ 10.000 kelahiran hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi
Istilah hipertensi gestasional digunakan sekarang ini untuk menjelaskan
setiap bentuk hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Istilah ini telah
dipilih untuk menekankan hubungan sebab dan akibat antara kehamilan dan
hipertensi – preeklamsi dan eklamsi. Batasan hipertensi adalah tekanan darah
sistolik dan diastolik lebih atau sama dengan 140 dan 90mmHg.
II. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan
Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu
hipertensi kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal sebagai pregnancy-
induced hypertension), dan pre-eklamsi. Menurut The International Society for
the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP) klasifikasi hipertensi pada
wanita hamil dibagi menjadi :
1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan,
atau pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri.
- Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)
- Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)
- Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)
2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal
kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)
- Hipertensi kronis (without proteinuria)
- Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)
- Hipertensi kronis dengn superimposed
- Pre-eklamsi (proteinuria)
3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria
4. Eklampsia
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan menurut Suharjono (2009) dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu :
1. Preeklamsia adalah hipertensi (140/90 mmHg) dan proteinuria (>300
mg/24 jam urin) yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu pada
perempuan yang sebelumnya normotensi.
2. Hipertensi kronik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih atau
sama dengan 140 mmHg dan atau dengan tekanan darah diastolik lebih
dari 90 mmHg yang telah ada sebelum kehamilan, pada saat kehamilan 20
minggu pasca partus.
3. Preeklamsi pada hipertensi kronis adalah hipertensi pada perempuan hamil
yang kemudian mengalami proteinuria, atau pada yang sebelumnya sudah
ada hipertensi dan proteinuria, adanya kenaikan mendadak tekanan darah
atau proteinuria, trombositopenia atau peningkatan enzim hati.
4. Hipertensi gestasional atau sesaat, dapat terjadi pada saat kehamilan 20
minggu tetapi tanpa proteinuria. Pada perkembangannya dapat terjadi
proteinuria sehingga dianggap sebagai preeklamsi. Kemudian dapat juga
keadaan ini berlanjut sebagai hipertensi kronik.
III. Etiologi
Menurut Menurut Angsar (2008) teori – teorinya sebagai berikut:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari cabang
– cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan
menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis
menembus endometrium menjadi arteri basalis memberi cabang arteri spiralis.
Pada kehamilan terjadi invasi trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi
dan vasodilatasi arteri spiralis, yang akan memberikan dampak penurunan tekanan
darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero
plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini
dinamakan remodelling arteri spiralis. Pada pre eklamsia terjadi kegagalan
remodelling menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku dan keras sehingga arteri
spiralis tidak mengalami distensi dan vasodilatasi, sehingga aliran darah utero
plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal bebas, dan Disfungsi Endotel
a.Iskemia Plasenta dan pembentukan Radikal Bebas
Karena kegagalan Remodelling arteri spiralis akan berakibat plasenta mengalami
iskemia, yang akan merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu radikal
hidroksil (-OH) yang dianggap sebagai toksin. Radiakl hidroksil akan merusak
membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Periksida lemak juga akan merusak nukleus dan protein sel
endotel
b.Disfungsi Endotel
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel keadaan ini disebut disfungsi
endotel, yang akan menyebabkan terjadinya :
a. Gangguan metabolisme prostalglandin, yaitu menurunnya
produksi prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator kuat.
b. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) yaitu suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam Keadaan normal kadar prostasiklin lebih banyak
dari pada tromboksan. Sedangkan pada pre eklamsia kadar tromboksan lebih
banyak dari pada prostasiklin, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
darah.
c. Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis) .
d. Peningkatan permeabilitas kapiler.
e. Peningkatan produksi bahan – bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO
menurun sedangkan endotelin meningkat.
f. Peningkatan faktor koagulasi
3. Teori intoleransi imunologik ibu dan janin
Pada perempuan normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang
bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein G
(HLA-G) yang dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer
(NK) ibu. HLA-G juga akan mempermudah invasis sel trofoblas kedalam jaringan
desidua ibu. Pada plasenta ibu yang mengalami pre eklamsia terjadi ekspresi
penurunan HLA-G yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke
dalam desidua.
4. Teori Adaptasi kardiovaskular
Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan vasopresor.
Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan vasopresor atau
dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon
vasokonstriksi. Refrakter ini terjadi akibat adanya sintesis prostalglandin oleh sel
endotel. Pada pre eklamsia terjadi kehilangan kemampuan refrakter terhadap
bahan vasopresor sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap
bahan vasopresor sehingga pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi dan
mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan.
5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa ibu yang mengalami
pre eklamsia, 26% anak perempuannya akan mengalami pre eklamsia pula,
sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami pre eklamsia.
6. Teori Defisiensi Gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa defisiensi gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa
konsumsi minyak ikan dapat mengurangi resiko pre eklamsia. Minyak ikan
banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi
tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.
7. Teori Stimulasi Inflamasi
Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda dengan proses
apoptosis pada pre eklamsia, dimana pada pre eklamsia terjadi peningkatan stres
oksidatif sehingga produksi debris trofoblas dan nekrorik trofoblas juga
meningkat. Keadaan ini mengakibatkan respon inflamasi yang besar juga. Respon
inflamasi akan mengaktifasi sel endotel dan sel makrofag/granulosit yang lebih
besar pula, sehingga terjadi reaksi inflamasi menimbulkan gejala – gejala pre
eklamsia pada ibu.
IV. Patofisiologi
Walaupun etiologinya belum jelas, banyak para ahli sepakat bahwa
vasopasme merupakan proses awal dari terjadinya penyakit ini. Gambaran
patologis pada fungsi beberapa organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan
oleh vasospasme dan iskemia, telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia
dan eklampsia berat.
Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke
dalam lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal
bebas. Semua ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang
kemudian akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar
vasokonstriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan
vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel
juga menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran
endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada
fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas
efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara
simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap
perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme,
serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena
penurunan perfusi uteroplasenta.
a. Kardiovaskular
Gangguan berat pada fungsi kardiovaskular sering ditemukan pada kasus-kasus
preeklampsia atau eklampsia. Gangguan tersebut pada dasarnya berhubungan
dengan peningkatan afterload yang diakibatkan oleh hipertensi dan aktivasi
endotelial berupa ekstravasasi cairan ke ruang ekstraselular terutama di paru-paru.
b. Hemodinamik
Dibandingkan dengan ibu hamil normal, penderita preeklampsia atau eklampsia
memiliki peningkatan curah jantung yang signifikan pada fase preklinik, namun
tidak ada perbedaan pada tahanan perifer total. Sedangkan pada stadium klinik,
pada kasus preeklampsia atau eklampsia terjadi penurunan tingkat curah jantung
dan peningkatan tahanan perifer total yang signifikan dibandingkan dengan kasus
normal.
c. Volume darah
Hemokonsentrasi adalah pertanda penting bagi terjadinya preeklampsia dan
eklampsia yang berat. Pada seorang wanita dengan usia rata-rata, biasanya terjadi
peningkatan volume darah dari ± 3500 mL saat tidak hamil menjadi ± 5000 mL
beberapa minggu terakhir kehamilan. Dalam kasus eklampsia, peningkatan
volume ± 1500 mL tidak ditemukan. Keadaan ini kemungkinan berhubungan
dengan vasokonstriksi luas yang diperburuk oleh peningkatan permeabilitas
vaskular.
d. Hematologi
Abnormalitas hematologi terjadi pada beberapa kasus hipertensi dalam kehamilan.
Diantara abnormalitas tersebut bisa timbul trombositopenia, yang pada suatu
waktu bisa menjadi sangat berat sehingga dapat menyebabkan kematian.
Penyebab terjadinya trombositopenia kemungkinan adalah peningkatan produksi
trombosit yang diiringi oleh peningkatan aktivasi dan pemggunaan platelet. Kadar
trombopoeitin, suatu sitokin yang merangsang proliferasi platelet, ditemukan
meningkat pada kasus preeklampsia dengan trombositopenia. Namun, aggregasi
platelet pada kasus preeklampsia lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan
normal. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh “kelelahan” platelet akibat aktivasi
in vivo. Selain itu, juga ditemukan penurunan dari faktor-faktor pembekuan
plasma dan kerusakan eritrosit sehingga berbentuk bizzare dan mudah mengalami
hemolisis akibat vasospasme berat. Gambaran klinis preeklampsia dengan
trombositopenia ini akan semakin buruk bila juga ditemukan gejala peningkatan
enzim hepar. Gangguan ini dikenal dengan HELLP syndrome, yang terdiri dari
hemolysis (H), elevated liver enzymes (EL), dan low platelet (LP).
e. Endokrin Dan Metabolisme
Kadar renin, angiotensin, dan aldosteron plasma meningkat pada kehamilan
normal. Pada kasus hipertensi dalam kehamilan terjadi penurunan dari kadar ini
dibandingkan dengan kehamilan normal.
f. Renal
Pada preeklampsia, terjadi penurunan aliran darah ginjal sehingga terjadi
penurunan laju filtrasi glomerolus dibandingkan dengan kehamilan normal. Pada
ginjal juga terjadi perubahan anatomis berupa pembesaran glomerolus sebesar
20%.
g. Otak
Secara patologi anatomi, preeklampsia maupun eklampsia, manifestasi sistem
saraf pusat yang terjadi disebabkan oleh lesi pada otak berupa edema, hiperemia,
dan perdarahan. Keadaan yang selalu ditemukan pada kasus preeklampsia maupun
eklampsia dengan manifestasi neurologis adalah perubahan fibrinoid pada dinding
pembuluh darah otak.
h. Perfusi Uteroplasenta
Gangguan perfusi uteroplasenta akibat vasospasme hampir dapat dipastikan
merupakan penyebab tingginya angka mortalitas dan morbiditas pada kasus
preeklampsia.
V. Gejala dan Diagnosis
a. Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah
mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama
kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi gestasional disebut juga
transient hypertension jika preeklampsia tidak berkembang dan tekanan darah
telah kembali normal pada 12 minggu postpartum. Proteinuria adalah suatu tanda
dari penyakit hipertensi yang memburuk, terutama preeklampsia. Proteinuria yang
nyata dan terus-menerus meningkatkan risiko ibu dan janin.
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :
a. TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
b. Tidak ada proteinuria.
c. TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
d. Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
e. Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri
epigastrium atau trombositopenia.
b. Preeklamsi
Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam,
atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara
persisten. Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, tingkat proteinuria
dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada kasus
yang berat. Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi
adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang
abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan
kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara terus-menerus
gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan
kepastian tersebut.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat
nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul Glissoni.
Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang
tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri
kehamilan.Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk,
dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta
hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti
adanya hemolisis yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia,
hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang
berat. Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi
jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang
nyata.
Preeklamsi dibagi menjadi 2 yaitu ringan dan berat :
1. Preeklamspsia Ringan
Definisi : Sindroma spesifik kehamilan dengan penurunan perfusi pada organ-
organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel.
Kriteria diagnostik :
a. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sampai ≤ 160/110 mmHg. Kenaikan
desakan sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan desakan diastolic ≥ 15 mmHg
pada kehamilan > 20 minggu tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik
preeklampsia tetapi perlu observasi yang cermat
b. Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam jumlah urine atau dipstick ≥ 1+
c. Edema local pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik
kecuali edema anasarka.
2. Preeklampsia berat ialah preeclampsia dengan salah satu atau lebih gejala dan
tanda di bawah ini :
a. Desakan darah : pasien dalam keadaan istahat desakan sistolik > 160
mmHg dan desakan diastolik > 90 mmHg
b. Proteinuria ≥ 5 gr selama 24 jam atau dipstick 4+
c. Oliguria: produksi urine < 400-500 cc/ 24 jam
d. Kreatinin serum > 1,2 mg% disertai oliguri (< 400 ml/24 jam)
e. Trombosit < 100.000/mm3.
f. Edema paru dan cyanosis
g. Nyeri epigastrium dan nyeri kuadaran atas kanan abdomen: disebabkan
teregangnya kapsula glisone. Nyeri dapat sebagai gejala awal rupture
hepar
h. Gangguan otak dan visus: perubahan kesadaran, nyeri kepala, scotomata,
dan pandangan kabur.
i. Gangguan fungsi hepar: peningkatan alanine atau aspartate amino
transferase
j. Hemolisis mikroangiopatikSindroma HELLP
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas, semakin
banyak ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat
dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang
dengan cepat menjadi berat. Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam
mendiagnosis preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu
absolut tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan
.
c. Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara
general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada wanita
eklamsi, terutama nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah
postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum
dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan
bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum
d. Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
- Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada
sebelum kehamilan 20 minggu.
- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit
<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu.
e. Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila
ada penyakit trofoblastik.
- Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak
mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus,
hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada
beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum usia kehamilan
20 minggu mungkin merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi. Sebagian dari
banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan dialami selama kehamilan dicatat
pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial merupakan penyebab dari penyakit vaskular
pada > 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum
lainnya. Pada beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari
penyakit parenkim ginjal yang mendasari.
Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7 :
Klasifikasi Tekanan Darah Pada Orang Dewasa
Kategori TekananDarah
Sistolik
TekananDarah Diastolik
Normal 120 mmHg - 130
mmHg
85 mmHg - 95 mmHg
Untuk para lansia tekanan
diastolik 140 mmHg masih
dianggap normal.
Normal tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg
Stadium1
(Hipertensi ringan)
140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium2
(Hipertensi sedang)
160-179 mmHg 100-109 mmHg
Stadium3
(Hipertensi berat)
180-209 mmHg 110-119 mmHg
Klasifikasi Tekanan Darah TDS ( mmhg ) TDD ( mmhg )
Normal < 120 <80
Prahipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100
Stadium4
(Hipertensi maligna)
210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih
VI. Penatalaksanaan
Sejumlah strategi penatalaksaan wanita dengan eklamsi meliputi beberapa
aspek yaitu mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang dan
mengontrol tekanan darah, mencegah kejang berulang. Bila terjadi kejang,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan nafas tetap
terbuka dan mencegah aspirasi. Ibu berbaring miring ke kiri dan penahan lidah
diletakkan didalam mulutnya.
A. Mengontrol Kejang
Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4
menit, obat anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obat-obat
terpilih untuk mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat
(MgSO4). Pada wanita yang telah mendapat pengobatan MgSO4 profilaksis,
kadar magnesium plasma harus dipertahankan dengan pemberian infus MgSO4
1-2 gram secara cepat. Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan
profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6 gram MgSO4 secara cepat,
diulang setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan untuk diberikan pada
ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja MgSO4 dalam
mereduksi kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme kerja
MgSO4 adalah memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah
otak juga memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan
radikal bebas, mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik
dan atau memiliki efek antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-
metil-D–aspartat (yang merupakan fokus epileptogenik).
Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan
kejang eklampsia. Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat
dimana efek anti konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek
diazepam ini akan mengontrol kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit.
Akan tetapi saat ini banyak peneliti menganjurkan untuk tidak menggunakan
benzodiazepin karena sangat berpotensi untuk menyebabkan depresi pada
janin. Secara klinis, efek ini menjadi bermakna ketika dosis total
benzodiazepin pada ibu > 30 mg.
B. Penatalaksanaan hipertensi
Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian pada
eklampsia. Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara
langsung dengan derajat peningkatan tekanan darah sistolik dan sedikit
berhubungan dengan tekanan darah diastolik. Terapi emergensi pada keadaan
terjadinya peningkatan tekanan darah tersebut masih belum jelas. Sebagian
besar peneliti menganjurkan untuk menggunakan anti hipertensi yang poten
untuk mengatasi tekanan darah diastolik pada kadar 105-110 mmHg dan
tekanan darah sistolik > 160 mmHg, walaupun hal ini belum diuji secara
prospektif. Pada wanita yang telah mengalami hipertensi kronik, pembuluh
darah otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah sistolik yang lebih tinggi
tanpa terjadinya kerusakan pada pembuluh darahnya, sedangkan pada orang
dewasa dengan tekanan darah yang normal atau rendah mungkin akan
menguntungkan jika terapi dimulai pada kadar tekanan darah yang lebih
rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat dan persisten (>160/110
mmHg) harus diatasi untuk mencegah perdarahan serebrovaskular.
Penatalaksanaannya termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV, diikuti dengan
pemberian 5-10 mg bolus sesuai kebutuhan dalam waktu 20 menit) atau
labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap 10-20 menit dengan dosis ganda,
namun tidak lebih dari 80 mg pada dosis tunggal, dengan dosis kumulatif total
300 mg). Pada keadaan yang tidak menunjukkan perbaikan dengan segera
setelah mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau mereka yang
memiliki kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut.
Penatalaksanaan farmakologi krisis hipertensi akut
Protokol penatalaksanaan krisis hipertensi dalam kehamilan
Protokol Penatalaksanaan non emergensi dari hipertensi berat dalam
kehamilan
C. Pencegahan kejang berulang
Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang walaupun
telah ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa wanita
dengan eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk mencegah kejang
dan komplikasi dari berulangnya aktivitas kejang tersebut, seperti: asidosis,
pnemonitis aspirasi, edema pulmonal, neurologik dan kegagalan respirasi.
Namun, pemilihan jenis obat untuk keadaan ini masih kontroversial. Ahli
obstetrik telah lama menggunakan MgSO4 sebagai obat pilihan untuk
mencegah berulangnya eklampsia, sementara ahli neurologi memilih anti
konvulsan tradisional yang digunakan pada wanita yang tidak hamil seperti
fenitoin atau diazepam. Permasalahan ini telah disepakati oleh sejumlah
penelitian klinis terakhir dengan hasil seperti dibawah ini:
• The Eclampsia Trial Collaborative Group melakukan penelitian
prospektif terhadap 905 wanita eklampsia yang secara random dipilih
untuk mendapat Magnesium atau Diazepam dan 775 wanita eklampsia
yang dipilh secara random menerima Magnesium atau Fenitoin.
Pengukuran keluaran primer adalah kejang rekuren dan kematian
maternal. Wanita dengan terapi Magnesium mendapatkan separuh
angka kejang rekuren dibandingkan dengan diazepam (13% dan 28%).
Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kematian maternal atau
perinatal atau angka komplikasi diantara kedua kelompok. Wanita
yang diberi magnesium memiliki sepertiga angka kejang rekuren
dibandingakan dengan fenitoin (6% dan 17%). Dalam rangkaian
penelitian ini wanita yang menerima magnesium <8% yang menerima
perawatan intensif, <8% mendapat bantuan ventilator dan <5%
menjadi pneumonia, dibandingkan dengan wanita yang diberikan
fenitoin. Tidak ada perbedaan signifikan pada angka kematian
maternal dan perinatal.
• Chocrane melaporkan bahwa MgSO4 lebih hemat dan lebih baik
daripada litik koktail (terdiri dari prometazin hidroklorid, klorpromazin
dan meperidin hidroklorid) untuk mencegah pengulangan kejang pada
wanita eklampsia.
Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah, cara
pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung) dan lebih sedikit
efek sedasi dari pada diazepam dan fenitoin. Magnesium juga tampak secara
selektif meningkatkan aliran darah serebral dan konsumsi oksigen pada wanita
dengan preeklampsia. Hal ini tidak pada fenitoin. Dosis pemeliharaan MgSO4
adalah 2-3 gram/jam diberikan sebagai infus IV yang kontinyu. Fase
pemeliharaan hanya jika reflek patella ada (kehilangan reflek tendon yang dalam
adalah manifestasi pertama gejala hipermagnesemia), respirasi >12X/menit, urine
output > 100 ml/ 4jam. Pemantauan kadar serum magnesium tidak diperlukan jika
status klinis wanita tersebut dimonitor secara ketat untuk membuktikan toksisitas
potensial magnesium. Juga tidak tampak suatu konsentrasi ambang yang jelas
untuk meyakinkan pencegahan kejang, meskipun telah direkomendasikan sekitar
4,8-8,4 mg/dL. Dosis harus disesuaikan menurut respon klinis pasien
D. Evaluasi pada persalinan
Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa memandang usia
kehamilan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan anak. Tetapi ini tidak perlu
menghalangi dilakukannya induksi persalinan. Setelah dilakukan stabilisasi
terhadap ibu, terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sebelum
menentukan cara yang paling sesuai untuk persalinan. Diantaranya usia
kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan posisi janin. Secara umum, kurang dari
sepertiga wanita dengan preeklampsia berat / eklampsia berada pada kehamilan
preterm (< 32 minggu kehamilan) dengan serviks yang belum matang untuk dapat
melahirkan pervaginam. Pada keadaan ini, obat-obat untuk mematangkan serviks
dapat digunakan guna meningkatkan nilai Bishop, namun induksi yang terlalu
lama harus dihindari. Bradikardi pada janin yang berlangsung sedikitnya 3 sampai
5 menit merupakan keadaan yang sering dijumpai selama dan segera setelah
kejang eklampsia, dan hal ini tidak memerlukan tindakan seksio sesar emergensi.
Tindakan stabilisasi ibu dapat membantu janin dalam uterus pulih kembali dari
efek hipoksia ibu, hiperkarbia dan hiperstimulasi uterus. Akibat kejang pada ibu
sering berhubungan dengan takikardi janin kompensata bahkan dengan deselerasi
denyut
Obat-obatan hipertensi selama kehamilan
BAB III
KESIMPULAN
Hipertensi dalam kehamilan Menurut The International Society for
the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP) dan Suharjono (2009)
dibagi menjadi 4 tipe, yaitu : preeklamsia-eklamsia, hipertensi kronik,
preeklamsi pada hipertensi kronis, hipertensi gestasional atau sesaat.
Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi
adalah invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi
imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin, maladaptasi maternal
pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal,
faktor nutrisi, dan pengaruh genetik.
Strategi penatalaksaan wanita dengan hipertensi dalam kehamilan
memiliki prinsip yaitu mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang
dan mengontrol tekanan darah, mencegah kejang berulang serta evaluasi
pada persalinan.
Daftar Pustaka
Guyton, A.N., Hall, J. E., 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
Sembilan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Pangemanan, W. 2002. Komplikasi akut pada Preeklamsia dalam
http://digilib.unsri.ac.id/download/KOMPLIKASI%20AKUT
%20PADA%20PREEKLAMPSIA.pdf dikuti tanggal 27 juni
2013
Prawirodihardjo, S . 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
Suharjono, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed V, Penerbit FK UI,
Jakarta hal 614-615