file · web viewkondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi...

80
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Gelandangan Gelandangan merupakan bagian dari fenomena dalam masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari realitas kehidupan masyarakat. Pengaturan tentang Fakir miskin dan anak-anak terlantar secara umum yaitu ada di dalam Pasal 34 (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menentukan bahwa: “ Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” Berdasarkan rumusan pasal tersebut negara lah yang berperan memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Sebagai pelaksana dari Pasal 34 (1) UUD 1945 tersebut selanjutnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin Dalam ketentuan Umum Undang- Undang ini yang dimaksud dengan Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. Fakir 1

Upload: letram

Post on 02-Feb-2018

229 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Gelandangan

Gelandangan merupakan bagian dari fenomena dalam masyarakat

yang tidak dapat dipisahkan dari realitas kehidupan masyarakat.

Pengaturan tentang Fakir miskin dan anak-anak terlantar secara umum

yaitu ada di dalam Pasal 34 (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD

1945) menentukan bahwa: “ Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar

dipelihara oleh negara” Berdasarkan rumusan pasal tersebut negara lah

yang berperan memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Sebagai pelaksana dari Pasal 34 (1) UUD 1945 tersebut

selanjutnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2011

tentang Penanganan Fakir Miskin Dalam ketentuan Umum Undang-

Undang ini yang dimaksud dengan Fakir miskin adalah orang yang

sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau

mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai

kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan

dirinya dan/atau keluarganya. Fakir miskin kurang mendapatkan

kesejahteraan sehingga perlu adanya perlindungan sosial.

Kesejahteraan sosial ini wujud dari adanya perlindungan sosial

seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (9) UU No.11 Tahun 2009 Tentang

kesejahteraan sosial menentukan bahwa: “Perlindungan Sosial adalah

semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko

dari guncangan dan kerentanan sosial”. Kewajiban memelihara dari

negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi gelandangan dan

pengemis.

Munculnya gelandangan di lingkungan perkotaan merupakan

gejala sosial budaya yang relatif menarik. Pada umumnnya gejala

tersebut dihubungkan dengan perkembangan lingkungan perkotaan.

1

Page 2: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

Kondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya

dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang

berbeda atau berseberangan dengan konstruksi kehidupan “resmi”.

Kedatangan kaum gelandangan ini disebabkan karena tekanan

pajak atau penyitaan tanah oleh negara didaerah asal kaum Fakir dan

terlantar tersebut. Kebiasaan para gelandangan mengembara, seperti

sebagian besar masyarakat tradisonal pada umumnya. Kebiasaan ini

pun muncul dengan adanya urbanisasi dari berbagai tempat menuju ke

kota besar sebagai tempat bagi orang-orang yang mengadu nasib

sebagai pendatang, walaupun tekanan-tekanan eksternal yang dialami

para gelandangan di kota Besar untuk sekedar bertahan hidup

sangatlah sulit serta keberadaan kaum gelandangan di daerah

perkotaan cukup banyak, namun pada kenyataannya jumlah

gelandangan juga tidak berkurang.

Kondisi hidup dijalanan yang relatif keras dan penuh dengan

tekanan-tekanan dari masyarakat luar cenderung mengarahkan mereka

untuk sekedar dapat memenuhi kebutuhan makannya saja. Dalam

keterbatasan “ruang hidup” sebagai gelandangan tersebut, mereka

berusaha untuk sekedar dapat bertahan hidup di daerah perkotaan

dengan berbagai macam cara.

Perjuangan hidup sehari-hari sehari-hari mereka mengandung

resiko yang cukup berat, tidak hanya karena tekanan ekonomi, tetapi

juga tekanan sosial-budaya dari masyarakat, kerasnya kehidupan

jalanan, dan tekanan dari aparat ataupun petugas ketertiban kota.

2. Anak Putus Sekolah

Pada masa seperti ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan

primer, dimana dalam memasuki era globaliasi seperti sekarang ini

pendidikan setinggi mungkin untuk mengejar teknologi yang semakin

canggih. Tetapi disisi lain, ada sebagian masyarakat tidak dapat

mengenyam pendidikan secara layak, baik dari tingkat dasar sampai

jenjang yang lebih tinggi. Selain itu juga ada sebagian masyarakat

2

Page 3: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

yang sudah dapat mengenyam pendidikan dasar namun pada akhirnya

putus sekolah juga.

Ada banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tidak dapat

mengenyam pendidikan atau yang putus sekolah seperti diantaranya

keterbatasan dana pendidikan karena kesulitan ekonomi, kurangnya

niat seorang individu untuk mengenyam pendidikan, kurangnya

fasilitas pendidikan di daerah terpencil atau daerah teertinggil dan

selain itu karena adanya faktor lingkungan (pergaulan). Seperti yang

dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 195 pada salah

satu butir yang tercantum di sana dijelaskan

bahwa adanya pencerdasan kehidupan bangsa, jadi bagaimana

sekarang sikap pemerintah dan masyarakat harus dapat menyikapi hal

tesebut, karena secara tidak langsung orang yang tidak mengenyam

pendidikan formal akan dekat dengan kebodohan dan kemiskinan.

Dampak kemiskinan itu terjadi karena daya nalar orang dan mental

orang yang tidak perpendidikan sangatlah berbeda dengan orang yang

berpendidikan. Jangankan untuk mencari atau melamar pekerjaan

untuk membaca dan menulis saja mereka kesulitan. Dan dari sisi

mental mereka yang tidak mengenyam pendidikan akan merasa malu

dan minder untuk berkompetisi dengan orang yang mengenyam

pendidikan. Pada akhirnya mereka akan tersisih karena keterbatasan

mereka tersebut. Jadi secara garis besar pendidikan itu sangat penting

untuk menunjang karir dan cita-cita di masa depan. Selain itu juga

dapat merubah pola atau karakter hidup didalam bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

Untuk menghadapi hal tersebut, pemerintah Indonesia mempunyai

program Wajib Belajar 9 tahun Program ini didasari konsep

“pendidikan dasar untuk semua” (universal basic education), yang

pada hakekatnya berarti penyediaan akses yang sama untuk semua

anak. Hal ini sesuai dengan kaedah-kaedah yang tercantum dalam

3

Page 4: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan

tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak (Prayitno, 2000).

Melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun

diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan

keterampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga negara sebagai

bekal untuk dapat hidup dengan layak di masyarakat dan dapat

melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi baik ke

lembaga pendidikan sekolah ataupun luar sekolah. anak putus sekolah

adalah murid yang tidak dapat menyelesaikan program belajarnya

sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak tamat menyelesaikan

program belajarnya. Dengan wajib belajar, mereka akan dapat

menjalani hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Di

samping itu, menurut May (1998) adalah merangsang aspirasi

pendidikan orangtua dan anak yang pada gilirannya diharapkan dapat

meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional. Untuk itu,

target penyelenggaraan W-9-T bukan semata-mata untuk mencapai

target angka partisipasi secara maksimal, namun perhatian yang sama

ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar yang

sekarang ini masih jauh dari standar nasional.

3. Anak Jalanan

Anak jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara

fisik dan psikis) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di

jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang

guna mempertahankan hidupnya yang terkadang mendapat tekanan

fisik atau mental dari lingkunganya. Umumnya mereka berasal dari

keluarga yang ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan

berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan

kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga

memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. Ketika

mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu

pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah

4

Page 5: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

berperan serta menjadikan anak-anak sebagai korban tak

berkesudahan. Menghapus stigmatisasi diatas menjadi sangat penting.

Sebenarnya anak-anak jalanan hanyalah korban dari konflik keluarga,

komunitas jalanan, dan korban kebijakan ekonomi permerintah yang

memberatkan rakyat. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak

jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk

mendorong pihak-pihak diluar anak jalanan agar menghentikan aksi-

aksi kekerasan terhadap anak jalanan.Sesuai konvensi hak anak-anak

yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rightsof the Child),

sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990,

menyatakan bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-

anak, maka mereka memerlukan perhatian dan perlindungan.

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan

sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan

merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam

kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak

jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat

dan negara.

Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum

begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka

adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya,

sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat,

beradab dan bermasa depan cerah. Begitu pula kiranya anak jalanan

yang memerlukan perhatian dan perlindungan terhadap hak-haknya

sebagai anak bangsa untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan

pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap warga

negaraberhak mendapat pengajaran. Melihat isi dari pasal 31 ayat 1

tersebut sangat bertolak belakang dengan yang dialami anak jalanan.

Mereka hampir tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan

pengajaran. Ironisnya di tengah pendidikan bagi anak jalanan yang

terabaikan, DPR justru berencana mendirikan gedung baru yang

5

Page 6: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

megah dengan alasan “kinerja”. Sepertinya akan lebih bijak apabila

dana tersebut digunakan untuk mendirikan sekolah untuk anak jalanan,

memberikan honor bagi pengajar, dan penyediaan sarana belajar

mengajar untuk mereka. Akan tetapi dibalik hal tersebut kita

patut bangga karena kepedulian masyarakat Indonesia terhadap

pendidikan justru semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dari banyaknya

masyarakat yang mengabdikan diri sebagai pengajar di sanggar yang

telah didirikan.

Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki

keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan tersebut yang

merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang tuanya,

masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak

tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya

termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak

tersebut. Seperti misalnya pada keluarga miskin, keluarga yang

pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi

orang tua akan keberadaan anak, dan sebagainya. Pada anak jalanan,

kebutuhan dan hak-hak anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan

baik. Untuk itulah menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan

manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan upaya perlindungannya

agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara optimal.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak.

Respon ini telah menjadi komitmen dunia international dalam melihat

hak-hak anak. Ini terbukti dari lahirnya konvensi internasional hak-hak

anak. Indonesiapun sebagai bagian dunia telah meratifikasi konvensi

tersebut. Keseriusan Indonesia melihat persoalan hak anak juga telah

dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002

tentang perlindungan anak. Tanpa terkecuali, siapapun yang termasuk

dalam kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-haknya

sebagai anak.

6

Page 7: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

Pekerjaan sosial (social welfare) sekarang ini telah dianggap

sebagai suatu profesi. Suatu profesi tentunya mempunyai metoda

beserta teknik-teknik dalam melaksanakan profesinya demi mencapai

tujuan yang telah ditetapkan. Salah satu metoda dalam praktik profesi

pekerjaan sosial adalah Case Work. Case Work dikenal sebagai suatu

metoda utama dalam lingkup pekerjaan micro, yakni lingkup pekerjaan

sosial yang berhubungan dengan idividu dan keluarga; disamping

group work (lingkup mezzo; kelompok dan organisasi), dan Communty

Organization/Community Development; CO/CD (lingkup macro;

masyarakat).

Melalui laporan ini, akan diperoleh data awal terkait dengan

gelandangan, anak putus sekolah, dan anak jalanan. Data awal ini

terkait dengan permasalahan yang mereka hadapi dan bagaimana

dinamika kehidupannya.

B. Tujuan

1. Untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah Pekerjaan Sosial

dengan Individu dan Keluarga.

2. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai:

a. Gelandangan

1) Pengertian Gelandangan

2) Gambaran Umum Gelandangan

3) Faktor Penyebab Gelandangan

4) Penyimpangan Perilaku yang Ditimbulkan Gelandangan

5) Usaha untuk Menanggulangi Gelandangan

b. Anak Putus Sekolah

1) Pengertian anak putus sekolah

2) Hak Anak Akan Pendidikan

3) Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah

4) Akibat Anak Putus Sekolah

5) Penanggulangan Anak Putus Sekolah

7

Page 8: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

c. Anak Jalanan

1) Pengertian Anak Jalanan

2) Karakteristik Anak Jalanan

3) Ciri-Ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan

4) Faktor Timbulnya Anak Jalanan

8

Page 9: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. GELANDANGAN

1. Pengertian

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No. 8 Tahun 2012

didefinisikan bahwa gelandangan adalah orang-orang yang hidup

dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak

dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan

tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.

Kriteria :

a. tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP);

b. tanpa tempat tinggal yang pasti/tetap;

c. tanpa penghasilan yang tetap; dan

d. tanpa rencana hari depan anak-anaknya maupun dirinya.

2. Gambaran Umum Gelandangan

Menurut Muthalib dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005) diberikan

tiga gambaran umum gelandangan yaitu:

a. sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya,

b. orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai,

c. orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan

dan keterasingan.

3. Faktor Penyebab Gelandangan

Dari beberapa hasil pengamatan terhadap gelandangan, dapat

disebutkan bahwa penyebab munculnya gelandangan di kota kota

besar dibedakan kedalam faktor intern dan faktor ekstern.

a. Faktor Intern

Faktor intern meliputi hal-hal berikut ini seperti faktor malas, tidak

mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik, dan

adanya cacat psikis (jiwa).

9

Page 10: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

b. Faktor Ekstern

Faktor ekstern terdiri dari faktor ekonomi, geografi, sosial,

pendidikan, psikologis, kultural, lingkungan dan agama. Faktor

ekstern ini adalah faktor yang utama dan rentan untuk melahirkan

gelandangan, selanjutnya dapat dijelaskan dibawah ini:

1) Faktor ekonomi

Kurangnya lapangan pekerjaan, kemiskinan dan akibat

rendahnya pendapatan perkapita serta tidak tercukupinya

kebutuhan hidup

2) Faktor geografi

Daerah asal yang minus dan tandus sehingga tidak

memungkinkan pengolahan tanahnya

3) Faktor sosial

Arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya

partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial.

4) Faktor pendidikan

Relative rendahnya pendidikan menyebabkan kurangnya bekal

dan keterampilan untuk hidup layak, kurangnya pendidikan

informal ddalam keluarga dan masyarakat

5) Faktor psikologis

Adanya perpecahan atau keretakan dalam keluarga dan

keinginan melupakan pengalaman atau kejadian masa lampau

yang menyedihkan serta kurangnya gairah kerja

6) Faktor lingkungan

Pada gelandangan yang telah berkeluarga atau mempunyai

anak, secara tidak langsung sudah nampak adanya pembibitan

gelandangan

7) Faktor agama

Kurangnya dasar dasar ajaran agama sehingga meyebabkan

tipisnya iman, mebuat mereka tidak tahan mengahadapi cobaan

dan tidak mau berusaha untuk keluar dari cobaan itu.

10

Page 11: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

4. Penyimpangan Perilaku yang Ditimbulkan Gelandangan

Ada beberapa penyimpangan prilaku yang ditimbulkan oleh fenomena

gelandangan dibawah ini adalah ;

a. Melakukan perbuatan miras, misalnya alkoholisme dan narkoba

serta sering mabuk mabukan.

b. Melakukan tindakan kriminal, misalnya penodongan,

penjambretan, pencurian, pencopetan, pemalakan dan perkelahian.

c. Melakukan tindakan asusia, misalnya pemerkosaan, pencabukan

dan bahkan bagi yang wanita terjerumus menjadi WTS

d. Melakukan perbuatan mengemis dan pemulung

5. Usaha untuk Menanggulangi Gelandangan

Dalam PP No. 31/ 1980 terdapat usaha untuk menanggulangi

adanya Gelandangan. Adapun usaha yang perlu dilakukan adalah:

a. Usaha Preventif

Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi

penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian

bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai

pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan

pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:

1) pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-

keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit

penghidupannya;

2) meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan

pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu

ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;

3) pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para

gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah

ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah

dikembalikan ke tengah masyarakat.

11

Page 12: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

b. Usaha Represif

Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik

melalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan

pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di

dalam masyarakat.

c. Usaha Rehabilitasi

Usaha rehabilitasi adalah usaha-usaha yang terorganisir

meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan

pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik

ke daerah-daerah pemukiman baru melalu transmigrasi maupun ke

tengah- tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut,

sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis,

kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai

dengan martabat manusia sebagai Warga negara Republik

Indonesia.

Usaha penanggulangan di atas termasuk ke dalam strategi-

strategi yang dikemukakan oleh Midgley (1993) dalam ide

pembangunan sosial yang membagi ideology pembangunan sosial ke

dalam tiga jenis, yaitu :

a. Strategi Individualis

Berfokus kepada aktualisasi diri dan perbaikan diri sendiri.

b. Strategi Collectivist

Berfokus pada pendekatan perkembangan dalam organisasi dan

pendekatan institusional.

c. Strategi Populasi

Perencanaan berfokus kepada aktivitas skala kecil di dalam

masyarakat lokal.

12

Page 13: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

B. ANAK PUTUS SEKOLAH

1. Pengertian

Menurut Departemen Pendidikan di Amerika Serikat (MC Millen

Kaufman, dan Whitener, 1996) mendefinisikan bahwa anak putus

sekolah adalah murid yang tidak dapat menyelesaikan program

belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak tamat

menyelesaikan program belajarnya.

Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami

keterlantaran karena sikap dan perlakuan orang tua yang tidak

memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang

anak tanpa memperhatikan hak–hak anak untuk mendapatkan

pendidikan yang layak.

2. Hak Anak Akan Pendidikan

Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak.

Hak ini wajib dipenuhi dengan kerjasama paling tidak dari orang tua,

siswa, lembaga pendidikan dan pemerintah. Pendidikan akan mampu

terealisasi jika semua komponene yaitu orang tua, lembaga

masyarakat, pendidikan dan pemerintah bersedia menunjang jalannya

pendidikan.

Hak kewajiban anak tertuang dalam UU Perlindungan anak :

“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi (4). Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai

identitas diri dan status kewarganegaraan (5).Setiap anak berhak

untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, danberekspresi sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbinganorang tua

(6). Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,

dibesarkan,dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (7 ayat 1).Setiap

anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan

sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (8).

13

Page 14: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

Setiap anak berhak memperolehpendidikan dan pengajaran

dalam rangka pengembangan.

Pendidikan itu tanggung jawab semua masyarakat, bukan

hanyatanggung jawab sekolah. Konsekuensinya semua warga negara

memiliki kewajiban moral untuk menyelamatkan pendidikan.

Sehingga ketika ada anggota masyarakat yang tidak bisa sekolah hanya

karena tidak punya uang, maka masyarakat yang kaya atau tergolong

sejahtera memiliki kewajiban moral untuk menjadi orang tua asuh bagi

kelangsungan sekolah anak yang putussekolah pada tahun ini

mencapai puluhan juta anak di seluruh Indonesia.Pendidikan itu

dimulai dari keluarga. Paradigma ini penting untuk dimiliki oleh

seluruh orang tua untuk membentuk karakter manusia masa depan

bangsa ini.Keluarga adalah lingkungan yang paling pertama dan utama

dirasakan olehseorang anak, bahkan sejak masih dalam kandungan.

Karena itu pendidikan dikeluarga yang mencerahkan dan mampu

membentuk karakter anak yang solehdan kreatif adalah modal penting

bagi kesuksesan anak di masa-masaselanjutnya.

3. Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah

a. Faktor Ekonomi

Faktor yang menyebabkan anak putus sekolah yaitu faktor

ekonomi yakni mencapai 36%. Faktor ekonomi yang dimaksudkan

adalah ketidakmampuan keluarga si anak untuk membiayai segala

proses yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan atau

sekolah dalam satu jenjang tertentu. Walaupun Pemerintah telah

mencanangkan wajib belajar 9 tahun, namun belum berimplikasi

secara maksimal terhadap penurunan jumlah anak yang tidak dan

putus sekolah. Selain itu, program pendidikan gratis yang telah

dilaksanakan belum tersosialisasi hingga kelevel bawah.

Konsep gratis belum jelas sasaran pembiayaannya oleh

sekolah sehingga masih dianggap sebagai beban bagi keluarga

yang kurang mampu. Sebab, selain biaya yang dikeluarkan selama

14

Page 15: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

sekolah anak harus mengeluarkan biaya untuk pakaian sekolah,

uang daftar, buku dan alat tulis lainnya, serta biaya transportasi

atau akomodasi bagi siswa yang jauh dari sekolah. Hal-hal tersebut

masih dianggap sebagai beban oleh orang tua sehingga membuat

mereka enggan untuk menyekolahkan anaknya. Selain itu, mata

pencaharian orang tua anak tidak dan putus sekolah sebagian besar

petani, sebagian kecil nelayan, buruh, serta terdapat orang tua

anak yang tidak memiliki pekerjaan (tetap). Perlu dikemukakan

bahwa terdapat sejumlah anak yang tidak dan putus sekolah

disebabkan oleh ketiadaan orang tua atau meninggal dunia. Jadi,

anak tersebut putus sekolah karena tidak adanya orang tua atau

pihak yang mau membiayai sekolah si anak. Jumlah anak yang

tidak dan putus sekolah karena orang tuanya meninggal dunia.

b. Rendahnya Atau Kurangnya Minat Anak Untuk Bersekolah

Faktor kedua yang menyebabkan anak tidak dan putus

sekolah adalah rendahnya atau kurangnya minat anak untuk

bersekolah, Rendahnya minat anak dapat disebabkan oleh

perhatian orang tua yang kurang, jarak antara tempat tinggal anak

dengan sekolah yang jauh, fasilitas belajar yang kurang, dan

pengaruh lingkungan sekitarnya. Minat yang kurang dapat

disebabkan oleh pengaruh lingkungan misalnya tingkat pendidikan

masyarakat rendah yang diikuti oleh rendahnya kesadaran tentang

pentingnya pendidikan. Ada pula anak putus sekolah karena malas

untuk pergi sekolah karena merasa minder, tidak dapat

bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya, sering dicemoohkan

karena tidak mampu membayar kewajiban biaya sekolah

dipengaruhi oleh berbagai faktor .Ketidak mampuan ekonomi

keluarga dalam menopang biaya pendidikan yang berdampak

terhadap masalah psikologi anak sehingga anak tidak bisa

bersosialisasi dengan baik dalam pergaulan dengan teman

sekolahnya selain itu adalah peranan lingkungan.

15

Page 16: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

c. Kurangnya Perhatian Orang Tua

Rendahnya perhatian orang tua terhadap anak dapat

disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga atau rendahnya

pendapatan orang tua si anak sehingga perhatian orang tua lebih

banyak tercurah pada upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Persentase anak yang tidak dan putus sekolah karena rendahnya

kurangnya perhatian orang tua. Dalam keluarga miskin cenderung

timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan pembiayaan hidup

anak, sehingga mengganggu kegiatan belajar dan kesulitan

mengikuti pelajaran. Banyak sekali anak yang putus sekolah ini

diakibatkan karena keadan dirumahnya, biasanya dialami pada

masa SMP dan SMA, karena pada masa itu anak sedang mencari

jati dirinya sendiri, sehingga sangat sulit untuk dinasehati orang

tunya. Itu berakibat hubungan sang orang tua dengan anak menjadi

tidak harmonis lagi.

d. Ketiadaan Prasarana Sekolah

Faktor prasarana yang dimaksudkan adalah terkait dengan

ketidaktersediaan prasarana pendidikan berupa gedung sekolah

atau alat transportasi dari tempat tinggal siswa dengan sekolah.

Persentase anak yang putus sekolah yang disebabkan karena faktor

ketiadaan prasarana sekolah. Masalah ini sering terjadi di sekolah-

sekolah yang berada di pedesaan, maupun di wilayah pedalaman

seperti di hutan. Alat transportasi yang kurang serta jarak antara

rumah dengan sekolah yang cukup jauh. Faktor kelima yang

menyebabkan anak putus sekolah adalah fasilitas belajar yang

kurang memadai. Fasilitas belajar yang dimaksudkan adalah

fasilitas belajar yang tersedia di sekolah, misalnya perangkat (alat,

bahan, dan media) pembelajaran yang kurang memadai, buku

pelajaran kurang memadai, dan sebagainya. Kebutuhan dan

fasilitas belajar yang dibutuhkan siswa tidak dapat dipenuhi siswa

dapat menyebabkan turunnya minat anak yang pada akhirnya

16

Page 17: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

menyebabkan putus sekolah. Faktor keenam, adalah budaya.

Faktor budaya yang dimaksudkan di sini adalah terkait dengan

kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Yaitu, rendahnya kesadaran

orang tua atau masyarakat akan pentingnya pendidikan. Perilaku

masyarakat pedesaan dalam menyekolahkan anaknya lebih banyak

dipengaruhi faktor lingkungan. Mereka beranggapan tanpa

bersekolah pun anak-anak mereka dapat hidup layak seperti anak

lainnya yang bersekolah. Oleh karena di desa jumlah anak yang

tidak bersekolah lebih banyak dan mereka dapat hidup layak maka

kondisi seperti itu dijadikan landasan dalam menentukan masa

depan anaknya. Kendala budaya yang dimaksudkan adalah

pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan tidak

penting. Pandangan banyak anak banyak rejeki membuat

masyarakat di pedesaan lebih banyak mengarahkan anaknya yang

masih usia sekolah diarahkan untuk membantu orang tua dalam

mencari nafkah.

e. Faktor Lainnya Adalah Kecacatan

IQ yang rendah, rendah diri, dan umur yang melampaui

usia sekolah. Persentase anak yang putus sekolah yang disebabkan

karena faktor ini sangat sedikit, yaitu kurang dari 1%. Begitu juga

untuk kategori anak tidak sekolah sama sekali, faktor penyebabnya

adalah karena ekonomi di samping faktor sarana, minat yang

kurang, perhatian orang tua yang rendah, dan fasilitas yang kurang.

Sebagian kecil anak yang tidak sekolah sama sekali disebabkan

karena cacat fisik.

4. Akibat Anak Putus Sekolah

a. Meningkatnya Pengangguran

Akibat putus sekolah dalam kehidupan sosial ialah semakin

banyaknya jumlah kaum pengangguran dan mereka merupakan

tenaga kerja yang tidak terlatih. Sedangkan masalah pengangguran

ini di negara kita merupakan masalah yang sudah sedemikian

17

Page 18: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

hebatnya, hingga merupakan suatu hal yang harus ditangani lebih

serius.

b. Mengganggu Keamanan

Anak-anak yang putus sekolah dapat pula mengganggu

keamanan. Karena tidak ada kegiatan yang menentu, sehingga

kadang-kadang dapat menimbulkan kelompok-kelompok pemuda

liar. Anak-anak nakal dengan kegiatannya yang bersifat negatif,

seperti mencuri, memakai narkoba, mabuk mabukan, menipu,

menodong, dan sebagainya. Produktifitas anak putus sekolah

dalam pembangunan tidak seluruhnya dapat mereka kembangkan,

padahal semua anak Indonesia memiliki potensi untuk maju.

Akibat yang disebabkan anak putus sekolah sangat banyak,

diantaranya adalah kenakalan anak, tawuran, kebut-kebutan di

jalan raya, minum–minuman dan perkelahian, akibat lainnya juga

adalah perasaan minder dan rendah diri, banyak orang yang

menganggur. Itu dikarenakan banyak sekali anak yang tidak

mempunyai ijasah, maupun tidak adanya pembekalan skiil bagi

mereka yang putus sekolah. Hanya dengan generasi penerus yang

terdidik dan cerdas serta bermoral, maka hari depan bangsa bisa

dibayangkan titik terangnya. Namun pendidikan di Indonesia

semakin lama semakin mahal. Program pendidikan gratis yang

diterapkan pemerintah pun masih dianggap belum efektif dalam

meningkatkan pendidikan di Indonesia. Sehingga wajar bila

banyak anak-anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah akibat

masalah dana. Sebanyak 8 juta siswa SD sampai SLTP di seluruh

Indonesia terancam putus sekolah. Jumlah tersebut setara 20% -

40% siswa SD-SMP saat ini, yaitu sekitar 40 juta siswa.

5. Penanggulangan Anak Putus Sekolah

Persoalan putus sekolah merupakan tantangan bagi pekerja sosial.

Data dari susenas menyebutkan ratusan ribu pelajar terancam putus

sekolah, mereka berasal dari keluarga miskin. Anak usia sekolah dari

18

Page 19: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

keluarga miskin inilah yang potensial keluar dari bangku sekolah

sebelum mengantongi ijazah. Solusi untuk menolong anak putus

sekolah yang tidak mampu yang baik adalah:

a. Kejar Paket

Diikutkan program Kelompok Belajar Paket A bagi mereka

yang tidak tamat SD dan B untuk yang belum tamat SMP.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) juga menyediakan

pendidikan alternatif untuk mereka yang kurang beruntung

tersebut. Namanya, pendidikan kesetaraan. Pendidikan kesetaraan

itu ditujukan untuk menunjang penuntasan wajar dikdas sembilan

tahun serta memperluas akses pendidikan menengah yang

menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian

profesional. Pendidikan kesetaraan menjadi salah satu program

pada jalur pendidikan nonformal yang mengadakan pendidikan

umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA melalui program

Paket A, Paket B, dan Paket C. Di lapangan, program tersebut

sering mengombinasikan pendidikan aksara dan pembekalan

keterampilan. Untuk Paket A, pesertanya dibekali keterampilan

dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Paket B

bertujuan memberikan bekal keterampilan untuk memenuhi

tuntutan dunia kerja. Adapun keterampilan untuk berwiraswasta

diberikan untuk peserta program Paket C. Pendidikan kesetaraan

itu bisa diselenggarakan oleh semua satuan pendidikan nonformal.

Misalnya, lembaga pelatihan, kursus, pusat kegiatan belajar

masyarakat (PKBM), majelis taklim, dan lain-lain.

Dalam dua tahun terakhir, pendidikan kesetaraan naik daun.

Itu seiring kebijakan Depdiknas yang memberikan kesempatan

kepada siswa SD hingga SMA sederajat yang tidak lulus ujian

nasional (unas) untuk mengikuti UNPK yang diadakan dua kali

dalam setahun. Dengan mengikuti UNPK Paket A, B, dan C,

mereka dapat memiliki ijazah setara sekolah formal SD/MI,

19

Page 20: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

SMP/MTs, dan SMA/MA yang bisa digunakan untuk mendaftar di

sekolah formal dan perguruan tinggi serta mencari pekerjaan.

Pendidikan kesetaraan pun tak lagi dianggap kelas dua.Status

lulusan pendidikan kesetaraan memang telah dijamin sama dengan

lulusan pendidikan formal.

Disebutkan bahwa setiap orang yang lulus ujian kesetaraan

Paket A, Paket B, atau Paket C memiliki hak eligibilitas yang sama

dan setara dengan pemegang ijazah SD/MI, SMP/MTs dan

SMA/MA untuk dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang

lebih tinggi. Garansi dari Mendiknas itu terbukti manjur. Cukup

banyak lulusan pendidikan kesetaraan Paket C yang mulus

melanjutkan studinya ke perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Bahkan, di Surabaya, ada seorang lulusan Paket C yang diterima

bekerja dan memegang jabatan penting sekelas manajer

operasional di sebuah minimarket.Bisa dibayangkan seperti apa

nasib mereka yang tak mampu mengakses pendidikan formal jika

tidak ada pendidikan kesetaraan. Mereka akan terpuruk selamanya

dalam kebodohan dan keterbelakangan. Pendidikan kesetaraan

telah menjadi lentera dalam kegelapan bagi mereka. Jadi, putus

sekolah bukan kiamat bagi mereka yang putus sekolah

C. ANAK JALANAN

1. Pengertian

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No. 8 Tahun 2012

didefinisikan bahwa anak jalanan adalah anak yang rentan bekerja di

jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau anak yang bekerja dan

hidup di jalanan yang menghasilkan sebagian besar waktunya untuk

melakukan kegiatan hidup sehari-hari.

Kriteria :

a. menghabiskan sebagian besar waktunya dijalanan maupun

ditempat tempat umum; atau

20

Page 21: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

b. mencari nafkah dan/atau berkeliaran di jalanan maupun ditempat-

tempat umum.

Menurut Shalahuddin (2000) anak jalanan adalah seseorang yang

berumur dibawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh

waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna

mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya.

Jadi, anak jalanan adalah seseorang yang berusia dibawah 18 tahun

yang hidup sebagian besar dihabiskan di jalanan tanpa ada pemantauan

dan hidup secara mandiri. Kehidupan anak jalanan bagi sebagian anak

jalanan mempunyai dampak yang positif misalnya anak menjadi tahan

kerja keras karena sudah terbiasa kena panas dan hujan, anak jalanan

bisa belajar bekerja sendiri, bertanggung jawab dan membantu

ekonomi orangtuanya.

Kategori anak jalanan berdasarkan hubungannya dengan keluarga

menurut (Tata Sudrajat dalam Shalahuddin 2004) dibagi 3 kelompok:

a. Children on the street

Adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan

yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua

kelompok anak dalam kategori ini, yaitu:

1) anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya dan senantiasa

pulang setiap hari, dan

2) anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di

jalanan namun masih mepertahankan hubungan dengan

keluarga dengan cara pulang baik secara berkala ataupun

dengan jadwal yang tidak rutin.

b. Children of the street

Adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar

waktunya di jalanan yang tidak memiliki atau memutuskan

hubungan dengan orang tua /keluarganya lagi.

21

Page 22: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

c. Children in the street atau children from the families of the street

Adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan

yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan.

2. Karakteristik Anak Jalanan

a. Usia anak jalanan

Usia anak jalanan berperan dalam pembentukan perilaku

seseorang, karena usia berpengaruh dalam penerapan pola asuh

terhadap anak jalanan.

b. Jenis Kelamin Anak jalanan

Jenis kelamin anak jalanan mempengaruhi dalam berperilaku dan

didalam keluarga akan berbeda dalam menerapkan pola asuh. Anak

jalanan laki-laki lebih banyak dari pada anak jalanan perempuan.

c. Pendidikan Anak Jalanan

Kemampuan belajar yang dimiliki manusia merupakan bekal yang

sangat pokok. Sudah barang tentu tingkat pendidikan dapat

menghasilkan suatu perubahan dalam sikap tingkah laku yang

dapat di pandang bercorak negatif. Sebagaian besar pendidikan

anak jalanan masih rendah (SD sampai SMP), bahkan ada yang

putus. Anak jalanan setiap hari sibuk mencari nafkah atau berada

dijalanan sehingga tidak ada kesempatan untuk mendapatkan

pengetahuan tentang kesehatan system reproduksi yang benar.

d. Pekerjaan Anak Jalanan

Pekerjaan anak jalanan beraneka ragam, dimana kegiatan anak

jalanan laki-laki dan perempuan tidak berbeda yaitu mengamen,

menjual Koran atau asongan, membersihkan kaca mobil,

memulung, mencopet, memeras, mencuri, menemani orang berjudi

dan menawarkan jasa seksual. Anak jalanan tidak mengandalkan

satu jenis pekerjaan atau kegiatan tertentu saja untuk mendapatkan

uang atau makanan dalam rangka mempertahankan kelangsungan

hidupnya atau melindungi diri dari berbagai ancaman . Seiring

dengan aktivitas anak jalanan ini, maka mereka mempunyai

22

Page 23: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

mobilitas yang tinggi. Sedangkan lama kerja anak jalanan

bervariasi, dimana anak jalanan bekerja 6-8 jam per hari, 9-12 jam

sampai 13 jam (Bagong, 2000).

e. Hubungan dengan Orang Tua

Pada anak jalanan yang tidak berhubungan dengan orang tuanya

sebanyak 16%, anak jalanan yang berhubungan tidak teratur

dengan orang tuanya sebanyak 41%, anak jalanan yang

berhubungan teratur dengan orang tuanya sebanyak 43% (DepKes,

2000).

3. Ciri-Ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan

Menurut Muis (2010) ciri-ciri fisik dan psikis anak jalanan

diantaranya yaitu sebagai berikut:

a. Ciri Fisik:

1) Warna kulit kusam

2) Rambut kemerah-merahan

3) Kebanyakan berbadan kurus

4) Pakaian tidak teruruS

b. Ciri Psikis:

1) Mobilitas tinggi

2) Acuh tak acuh

3) Penuh curiga

4) Sangat sensitive

5) Berwatak keras

6) Kreatif

7) Semangat hidup tinggi

8) Berani menanggung resiko

9) Mandiri

4. Faktor Timbulnya Anak Jalanan

Beragam faktor yang paling dominan menjadi penyebab

munculnya anak jalanan adalah faktor kondisi social ekonomi di

23

Page 24: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

samping karena adanya faktor broken home serta berbagai faktor

lainnya.

Hasil penelitian Hening Budiyawati, dkk. (dalam Odi Shalahudin,

2000 :11) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak

pergi ke jalanan berdasarkan alasan dan penuturan mereka adalah

karena :

a. Kekerasan dalam keluarga.

b. Dorongan keluarga.

c. Ingin bebas.

d. Ingin memiliki uang sendiri, dan

e. Pengaruh teman.

24

Page 25: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

BAB III

PEMBAHASAN

A. GELANDANGAN

1. Hasil Observasi

Observasi dilakukan pada hari Sabtu, 23 Mei 2015. Pertama-tama

saya bersama teman saya melakukan observasi di sekitar Alun-alun

Kota Bandung, kemudian kami juga menyusuri di sepanjang jalan

kepatihan. Kemudian kami melihat ada seorang bapak yang sudah

lanjut usia sedang duduk di pinggir jalan di dekat Yogya Kepatihan.

Kami mengamati kegiatan yang dilakukan oleh bapak tersebut selama

kurang lebih 15 menit. Selama waktu pengamatan tersebut, kami

melihat bahwa bapak tersebut adalah seorang pengemis. Beliau duduk

di emperan jalan dan di depannya terdapat kaleng bekas mie instan

untuk penandah uang. Selama 15 menit mengamati, kami melihat

banyak orang yang lalu lalang di depan bapak tersbut dan beberapa

orang memberikan sejumlah uang ke dalam kaleng. Jika ada uang

kertas dengan nominal yang cukup besar langsung dimasukkan ke

dalam saku bajunya. Lokasi tempat bapak tersebut panas sekali

terutama saat siang hari, sehingga hal itu membuat bapak tersebut

nampak dikasihani. Penampilan bapak tersebut juga terlihat lusuh dan

kurang terawat. Selain itu, beliau juga nampak bermasalah dengan

penglihatannya yang sebelah kanan. Mata sebelah kanan bapak

tersebut nampak selalu tertutup.

Berdasarkan pengamatan yang telah kami lakukan, kami

berinisiatif untuk mewawancarai bapak tersebut. Terutama untuk

mengetahui apakah bapak tersebut adalah seorang gelandangan, agar

sesuai dengan substansi yang kami butuhkan untuk memenuhi tugas

yang kami dapatkan.

25

Page 26: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

2. Catatan Proses

Komentar

SupervisorIsi Wawancara

Ikhtisar Tingkat

Perasaan

(Gut Level

Feeling)

Peksos (P) : “Selamat siang pak,

Assalmualaikum.

punten mengganggu

bapak sebentar,

boleh nggak pak?”

Klien (K) :“ Waalaikumsalam, iya

neng.” (langsung

menyodorkan

tangannya untuk

bersalaman dengan

pekerja sosial)

Permulaan yang

cukup

mendebarkan

karena pekerja

sosial takut salah

berbicara atau

kurang sopan.

P : “Pak, perkenalkan saya Dhea

dan ini teman saya Okeu.

Kita mahasiswa kesejahteraan

sosial pak, boleh ngobrol-

ngobrol sebentar sama

bapak?”

K : “Iya boleh.” (menganggukkan

kepala sambil bersalaman

dengan peksos)

Pekerja sosial

merasa masih

gugup namun

juga merasa

senang karena

klien bersedia

untuk

diwawancara.,

P : “Kalau boleh tau nama bapak

siapa?”

K : “Endnag.”

Pekerja sosial

merasa kesulitan

memulai

percakapan P : “Bapak umurnya berapa?”

26

Page 27: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

K: “72.” (Membuat gestur jari

membentuk angka 72) karena jawaban

klien yang P : “Bapak lahir bulan apa?”

K :“Ngg.. Lupa neng.” (wajah

nampak bingung dan

nampak sedang mengingat-

ingat bulan lahirnya)

Pekerja sosial

agak bingung

karena klien tidak

ingat bulan

kelahirannya.

P : “Oh gitu pak, iya pak nggak

apa-apa pak.”

K : (menganggukkan kepala)

Pekerja sosial

agak bingung

memilih kata dan

agak kesulitan

menghadapi

klien, karena

klien nampak

tidak terlalu

banyak bicara.

P : “Bapak aslinya dari mana?”

K:“Kebon Manggu.” (sambil

menunjuk arah)

P : “Bapak lagi apa di sini, panas

pak dekat sini.”

K:“Iya nggak apa-apa.”

(tersenyum)

Peksos merasa iba

Dan sedikit

kesulitan

mendengar suara

klien karena

pengucapan

kurang jelas.

P : “Bapak rumahnya dimana?”

K: “Di sini aja neng.”

P : “Bapak rumahnya dekat sini?”

K :“Nggak ada rumah.” (sambil

menggelengkan kepala)

P : “Keluarga bapak dimana?”

K : “Nggak di sini, anak bapak ada

di Cicalengka.”

Peksos agak

kesulitan untuk

bertanya lebih

lanjut, karena

pengucapan klien

P : “Oh, jauh ya pak, anaknya ada

berapa pak?”

27

Page 28: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

K : “Ada tiga, sudah menikah.”

(membuat gestur angka tiga

menggunakan jari)yang terbata-bata

dan suara klien

yang kurang P : “Perempuan semua pak?”

K:“Iya, kerja disana.” (sambil

tersenyum)

P : “Istri bapak dimana?”

K: “Disana.” (menunjuk ke arah

jalan Dalem Kaum)

P : “Istri bapak kerja juga?”

K : “Iya.” (menganggukkan

kepala)

Peksos merasa

segan untuk

menanyakan

pekerjaan istri

bapak tersebut,

karena khawatir

kurang sopan.

P: “Maaf pak, kalau boleh tau,

bapak kenapa kerja begini

pak?”

K : “Sudah tua, nggak ada

tenaga.” (wajah nampak

memelas)

Peksos merasa

empati dengan

kondisi yang

dialami klien.P : “Oh begitu pak. Bapak dari

jam berapa di sini?”

K : “Dari pagi sampai sore di

sini.”

P : “Bapak tiap hari ke sini atau

28

Page 29: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

pindah-pindah pak?”

K : “Dulu bapak di alun-alun, tapi

sekarang pindah ke sini.”

P : “Oh begitu pak, udah nggak

boleh lagi ya pak kalau di

alun-alun.”

K : “Iya neng. Jadi sekarang di

sini terus.”

P : “Jadi sekarang di sini terus

pak. Sampai sore gitu pak?

Kalau malam bapak

gimana?”

K : “Iya.” (menganggukkan kepala

dan tersenyum saja)

Pekerja sosial

agak segan untuk

menggali lebih

lanjut mengenai

klien, karena

klien hanya

menjawab dengan

sepatah kata, dan

nampak tidak

mau terlalu

menjelaskan

kondisinya.

P : “Bapak kalau tidur dimana?”

K : “Disini aja.” (tersenyum lagi)

P : “Disini aman nggak pak kalau

malam?”

K : “Aman.” (menganggukkan

kepala)

P : “Suka ada penertiban kita

nggak pak?”

K : “Iya ada.”

P : “ Pernah nggak pak kena sama

Satpol?”

K : “Pernah, tapi balik lagi.”

P : “Oh gitu pak. Makasih ya pak,

maaf sudah mengganggu

bapak.” (menyodorkan

tangan untuk berjabat tangan)

Peksos tidak ingin

terlalu lama

menyita waktu

klien, sehingga

29

Page 30: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

K :“Iya nggak apa-apa.”

(menganggukkan kepala,

sambil tersenyum, dan

membalas jabat tangan).

peksos

memutuskan

untuk mengakhiri

wawancara.

P : “Iya pak, kita pamit dulu ya

pak. Bapak jangan deket sini

pak, duduk ke tempat yang

agak teduh pak. Panas dekat

sini pak.”

K: “Iya. Iya.” (menganggukkan

kepala)

Peksos merasa

empati dan

memberikan

semangat kepada

klien.

3. Asesmen Biopsikososial

a. Aspek Biologik

1) Identitas Klien

a) Nama : Bapak “E”

b) Jenis Kelamin : Laki-laki

c) Usia : 72 Th

d) Suku : Sunda

e) Asal Daerah : Kebon Manggu, Bandun

f) Pekerjaan : Mengemis

g) Tempat tinggal : Tidak punya (tinggal di sekitar jalan

Kepatihan)

h) Status Perkawinan : Menikah

2) Penampilan fisik

a) Penampilan fisik : terlihat tua namun pantas untuk

usianya, tidak rapi, tidak bersih,

mata sebelah kanan selalu tertutup

b) Aktivitas motorik : gerakan tubuh lambat dan bergetar.

c) Cara bicara : gagap, kecil, lambat, ragu-ragu.

d) Postur : Kaku

30

Page 31: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

b. Aspek Psikologik

1) Sikap : Kooperatif, jujur, tenang

2) Afeksi : senang, rindu

3) Kognitif : membingungkan, memori kurang baik, konsentrasi

terganggung, linglung

c. Aspek sosial

Pekerjaan bapak “E” adalah sebagai pengemis. Sudah

menikah dan memiliki tiga anak perempuan yang tinggal terpisah.

Pernah ditangkap Satpol PP namun kembali lagi ke lokasi yang

sama dan bekerja seperti awal. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari

berasal dari mengemis.

4. Genogram

5. Dokumentasi

31

Bapak “E” Istri

Anak 1

Anak 3

Anak 2

Page 32: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

Dokumentasi pada saat

melakukan wawancara

dengan Bapak “E”.

B. Anak Putus Sekolah

1. Hasil Observasi

Observasi yang saya lakukan yaitu pada hari Sabtu, 23 Mei 2015

sekitar pukul 10.50 WIB. Observasi yang saya lakukan di sekitar

wilayah Pasar Baru Kota Bandung. Saya mengamati aktivitas di sekitar

Pasar Baru kemudian saya melihat ada beberapa anak kecil yang

sedang berjualan ceumpal katel, yaitu sejenis lap untuk mengangkat

alat-alat masak yang panas. Kemudian saya berfokus untuk

memperhatikan seorang anak laki-laki yang sedang berjualan ceumpal

katel dan menawarkan ke beberapa pengunjung di sekitar Pasar Baru.

Saya memperhatikan aktivitas anak tersebut selama kurang lebih 15

menit. Dilihat secara fisik, anak tersebut bertubuh kecil, kurus,

berambut hitam yang bagian depannya nampak panjang dan berkulit

kecoklatan. Pakaian anak tersebut juga nampak kotor dan sedikit

lusuh. Selama saya memperhatikan aktivitas anak tersebut, beberapa

kali ia menawarkan dagangannya ke beberapa pengunjung, namun

32

Page 33: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

hampir semua menolak membeli dagangan anak tersebut. Beberapa

kali anak tersebut terlihat berbicara dan bercanda dengan seorang anak

laki-laki lainnya yang juga menjual barang yang sama.

Setelah mengamati, saya berpindah posisi duduk agak dekat ke

anak tersebut. Kemudian anak tersebut menghampiri saya dan

menawarkan ceumpal katel. Setelah itu, saya berinisiatif untuk

mewawancarai anak tersebut. Untuk mengetahui lebih mendalam

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan anak tersebut dan apakah

anak tersebut dapat sesuai dengan kriteria tugas yang saya peroleh.

2. Catatan Proses

Komentar

Superviso

r

Isi Wawancara Ikhtisar Tingkat

Perasaan (Gut

Level Feeling)

Peksos (P) : “Ini apa dek?”

Klien (K) : “Ini ceumpal katel teh,

beli tiga 10 ribu aja

teh.”

Perasaan saya

biasa saja, namun

agak bingung

memulai

pembicaraan.

P : “Buat apa memangnya ini dek?”

K : “Ini buat di dapur teh, buat

angkat- angkat alat masak

yang panas.”

P : “Oh begitu dek, di tempat teteh

nggak ada yang kayak gini

dek. Emang ini dapetnya dari

mana?”

K : “Dari Cicalengka teh.”

Peksos sedikit

bingung karena

tidak terlalu tau

daerah yang di

sebutkan klien

P : “Oh.. Cicalengka, gimana bisa

dapet ini dek?”

K : “Ada yang bikin disana teh,

33

Page 34: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

jadi dijualin.”

P : “Berarti adek yang jualin ke

sini, ngambilnya dari

Cicalengka gitu ya.”

K : “Iya teh, kan saya dari

Cicalengka. Kalau mau

ambil aja teh ini empat, 10

ribu aja nggak apa-apa

teh.” (melepas ikatan

ceumpal katel)

Agak bingung

untuk memulai

percakapan lebih

lanjut.

P : “Eh, nanti dulu dek.”

K : “Nggak apa-apa teh, empat jadi

10 ribu.”

Agak khawatir

mengganggu klien

berjualan

P : “Emang udah laku berapa dek,

udah banyak yang kejual?”

K : “Belum teh, tadi baru laku 2

aja.”

P : “oh iya, Nama adek siapa?”

K : “Tegar teh.”

P : “Oh Tegar, Ini teteh Dhea,

Tegar mah nama yang kayak

artis itu yah.”

K:(tersenyum sambil mengangguk)

Pekerja sosial

mencoba

mencairkan

suasana, namun

kurang mendapat

tanggapan dari

klien.

P : Adek udah biasa jualan di sini?”

K : ( wajah bingung) “Iya teh.”

34

Page 35: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

P : “Setiap hari ke sini?”

K : “Iya teh.” (menganggukkan

kepala)

P : “Nggak ke sekolah?”

K : (wajah sedikit muram) “Nggak

teh.”

Agak sedikit

khawatir

membuat klien

merasa tidak

nyaman

P : “Oh gitu dek, adek ke sini nya

dari jam berapa?”

K : “Pagi jam 8 an teh sampai jam

4 palingan pulangnya.”

P : “Sekarang umurnya berapa

dek?”

K : “14 tahun teh.”

Pekerja sosial

agak kaget karena

awalnya mengira

klien berusia 11

atau 12 tahun

karena badan

klien yang kecil.

P : “Oh, kelahiran 2001 yah dek

berarti.

K : “Iya teh.”

Pekerja sosial

berpikir agak

lama, karena

menghitung tahun

kelahiran klien.

P : “Bulan apa emang lahirnya?”

K : “Januari teh, tanggal 1.”

P : “ Oh.. pas tahun baru dong

lahirnya.”

K : “Iya teh” (tersenyum)

Pekerja sosial

kembali mencoba

mencairkan

35

Page 36: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

suasana

P : “Adek jualan ini sejak kapan?”

K : “Belum lama kok teh, baru

beberapa bulan.”

P : “Oh, pas nggak sekolah lagi ya

adek jualan di sini?”

K : “Iya teh.” (menganggukkan

kepala)

P : “Adek kalo boleh tau, kenapa

nggak ke sekolah lagi?”

K : “ Nggak ada duit teh.” (wajah

sedih)

Pekerja sosial

merasa iba.

P : “Oh, gitu dek. Oh iya, kalo gitu

nanti untung jualannya mau

dipake buat apa dek?”

K: “Buat sediri teh.”

P : “Oh gitu, dibolehin ya jualan

sama ibu?”

K : “Dibolehin teh.”

P : “Ke sini adek bolak balik ya,

dari Cicalengka?”

K : “Iya teh.”

P : “Ke sini pake apa?”

K : “Kereta api teh.”

P : “Oh gitu, kalau dirumah ada

siapa aja? Punya adik

nggak.”

K : “Nggak teh, punya kakak

empat.”

Pekerja sosial

mencoba mencari

lebih tau

mengenai klien

36

Page 37: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

P : “Oh, kakaknya kerja semua

juga?”

K : “Iya teh.”

P : “Kakaknya laki-laki apa

perempuan?”

K : “Perempuan tiga, satu laki-

laki.”

P : “Yang paling tua kakak yang

laki-laki apa yang

perempuan?

K : “Yang kakak laki-laki.”

P : “Oh gitu.. Bapak sama ibu ada

juga di rumah apa kerja?”

K : “Ada kerja.”

Pekerja sosial

agak kesulitan

mencari informasi

mengenai klien,

karena klien

menjawab sepatah

kata saja.

P : “Oh begitu, kamu udah nggak

sekolah sejak kapan?”

K : “Pas kelas 2 teh.”

P : “2 SMP maksudnya?”

K : “Iya teh.”

P : “Berarti masih baru ya dek,

sekarang kan umurnya baru

14.”

K : “Iya teh.”

Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak

yang nampaknya juga penjual di

sekitar Pasar Baru menimpali

Pekerja sosial

agak kaget atas

37

Page 38: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

Bapak Penjual (BP): “Kasian neng,

anak yatim

dia.”

P : “Iya pak?”

kehadiran bapak

tersebut, selain itu

juga kaget dengan

informasi yang

disampaikan

bapak tersebut.

BP : “Iya neng, bapaknya baru

meninggal palingan satu

tahunan.”

P : “ Oh iya pak. Gitu ya pak.”

(tersenyum)

BP :(mengangguk kemudian

langsung pergi)

P : “Bener ya dek kata bapak tadi?”

K : (mengangguk) “hmm” (wajah

nampak sangat sedih)

Pekerja sosial

agak khawatir

membuat klien

tersinggung dan

sedih

P : “Oh begitu dek, hmm, maaf ya

tadi teteh nggak tau.”

K : “Iya teh.” (wajah masih

nampak sedih)

P : “Tadi ini harganya berapa?

Boleh teteh beli 2 aja?”

K : “Iya teh nggak apa-apa. Dua,

lima ribu.”

Pekerja sosial

mencoba untuk

mengalihkan

pembicaraan,

karena klien

nampak tidak

nyaman dengan

topik tersebut.

P : “Oh iya, makasih ya dek.”

K : “Iya teh.” (memberikan

ceumpal ketel)

P : “Iya, ini dek. Semoga laku ya

38

Page 39: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

jualannya dek.”

K : “Iya teh, makasih. Permisi.”

(mengangguk kemudian

pergi untuk berjualan

kembali)

3. Aspek Biopsikososial

Saya melakukan wawancara kurang lebih selama 25 menit.

Kendala yang saya alami selama melakukan wawancara dengan anak

tersebut adalah anak tersebut berbicara sedikit-sedikit, anak tersebut

nampak agak tertutup sehingga saya agak kesulitan untuk menggali

informasi mengenai anak tersebut. Namun, wawancara dapat berjalan

dengan baik. saya melakukan wawancara mendekati waktu siang,

sehingga itu merupakan jam anak tersebut untuk beristirahat dan tidak

terlalu menggangu waktu anak tersebut berjualan. Setelah melakukan

wawancara kami memperoleh hasil sebagai berikut.

a. Aspek Biologik

1) Identitas Klien

a) Nama : “T”

b) Jenis Kelamin : Laki-laki

c) Tempat, tanggal lahir : Cicalengka, 1 Januari 2001

(14 th)

d) Status Marital : Belum menikah

e) Suku : Sunda

f) Asal : Cicalengka

g) Pekerjaan : Menjual ceumpal katel

h) Tempat tinggal : Cicalengka

i) Pendidikan : Lulus SD (berhenti ketika

kelas 2 SMP)

2) Penampilan Fisik

a) Penampilan fisik : tidak rapi, terlihat lebih muda karena

39

Page 40: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

badannya yang kecil

b) Aktivitas motorik : normal

c) Cara berjalan : Normal

d) Postur : Kecil, kurus

e) Cara berbicara : Ragu-ragu, lambat

b. Aspek Psikologis

1) Sikap : Pemalu, pendiam, kurang jujur, tegang

2) Afeksi : sedih, tertekan, muram

3) Kognitif : konsentrasi terganggu, kurang responsif,

c. Aspek Sosial

“T” merupakan anak yatim, Bapaknya meninggal ketika ia

kelas 1 SMP. Seluruh anggota keluarga bekerja termasuk dirinya.

“T” bekerja sebagai penjual ceumpal katel bersama teman satu

daerahnya, ia berteman dengan sesama pedagang di sekitar Pasar

Baru terutama yang seumuran dengannya. Saat ini “T” sudah tidak

bersekolah, ia behenti ketika kelas 2 SMP disebabkan kesulitan

perekonomian dan “T” bekerja untuk menambah penghasilan

keluarga dan dipergunakan untuk dirinya sendiri. “T” merupakan

anak terakhir dan memiliki 4 orang kakak.

4. Genogram

40

IBUBAPAK

Page 41: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

5. Dokumentasi

Dokumentasi pada saat

melakukan wawancara

dengan “ T”.

C. Anak Jalanan

1. Hasil Observasi

Observasi yang saya lakukan yaitu pada hari Sabtu, 23 Mei 2015.

Observasi yang saya lakukan di sekitar wilayah Pasar Baru Kota

Bandung. Saya mengamati aktivitas di sekitar Pasar Baru kemudian

saya melihat ada seorang anak yang nampaknya sudah memasuki usia

remaja sedang mengamen di dekat pinggir jalan. Anak tesebut

41

KAKAK 4

KAKAK 3

KAKAK 2

KLIEN (“T”)KAKAK 1

Page 42: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

mengamen ke pengunjung di sekitar Pasar Baru, pengunjung yang

didatanginya terutama pengunjung yang sedang memilih barang-

barang dagangan di sekitar pinggir jalan. Anak tersebut mengamen

hanya dengan bertepuk tangan dan menyanyikan lagu-lagu, ia tidak

menggunakan alat musik tertentu. Beberapa pengunjung terlihat

memberikan sejumlah uang kepada anak tersebut, namun juga ada

yang menolak memberikan uang. anak tersebut juga sesekali berjalan

cukup jauh namun masih tetap di sekitar Pasar Baru. Anak tersebut

berkulit kecoklatan, rambut lurus agak panjang, dan pakaiannya cukup

rapi,

Setelah mengamati, anak tersebut duduk dekat tangga di Pasar

Baru saat itu sekitar pukul 12.20 WIB saya mendatangani anak

tersebut. Kemudian mencoba untuk mewawancarai anak tersebut.

Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan

dengan anak tersebut dan apakah anak tersebut dapat sesuai dengan

kriteria tugas yang saya peroleh.

2. Catatan Proses

Komentar

Superviso

r

Isi Wawancara Ikhtisar Tingkat

Perasaan (Gut

Level Feeling)

Pekerja sosial (P): “Siang dek,

boleh

duduk

dekat sini

nggak?”

Klien (K) : “Oh iya teh, nggak apa-

apa.” (tersenyum

sambil

menganggukkan

kepala)

Agak ragu-ragu

dan deg-degan

P : “Lagi apa di sini dek?” Saya mencoba

42

Page 43: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

K : “Nggak lagi ngapa-ngapain

teh.” (Menggelengka kepala)

memulai small

talk

P : “Oh gitu, di sini sendiri aja?”

K : “Iya teh.”

P : “Nggak takut gitu sendiri ke

sini?”

K : “Nggak teh biasa aja.”

P : “Udah biasa main ke sini?”

K : “Iya teh.”

P : “Oh iya, nama adek siapa?”

K : “Doni teh.”

P : “Oh Doni, ini teh Dhea.”

(mengajak berjabat tangan)

K : (menganggukkan kepala sambil

tersenyum kemudian

membalas jabat tangan)

P : “Oh iya, masih sekolah dek?”

K : Masih teh”

Saya mencoba

menggali

informasi lebih

dalam dab

berusaha untuk

bersikap lebih

halus.

P : “Oh, kelas berapa?”

K : “Kelas 3 SMP teh.”

P : “Udah ujian berarti ya?”

K : “Iya teh.” (menganggukkan

kepala)

P : “Mau lanjutin sekolah ke SMA

nggak?”

K : “Iya teh.”

P : “Oh gitu. Kalo sekarang kelas 3

SMP berarti umurnya udah 15

tahun ya?”

K : “Iya teh.” (menganggukkan

43

Page 44: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

kepala)

P : “Kelahiran tahun 2000 ya

berarti. Bulan apa dek?”

K : “ 3 Maret teh.”

P : “Oh.. adek lagi sibuk nggak?”

K : “Nggak kok teh, nggak apa-

apa.”

Saya agak

khawatir

mengganggu

aktifitas klien

P : “Teteh boleh nanya-nanya

sedikit nggak?”

K :“ Nanya apa teh?” (mengerutkan

kening)

P : “Tentang adek, gimana sehari-

hari adek gitu.”

K : “Oh iya teh, nggak apa-apa.”

P : “Oh iya, tadi teteh liat adek

kayak lagi ngamen gitu ya.”

K : “Oh iya teh.” (menganggukkan

kepala, namun wajah nampak

kurang senang)

Saya merasa agak

kurang enak,

canggung, dan

segan

P : “Setiap hari ya ngemen kayak

gitu? “

K : “Iya teh.”

P : “Terus sekolahnya gimana?”

K : “Sekarangkan lagi libur teh.”

P :”Oh iya, buat apa uangnya?”

K : “Buat nambah uang sekolah

teh.”

Saya merasa agak

kasihan dengan

klien

P : “Oh gitu, bapak sama ibu ada di

rumah? Kerja juga?”

44

Page 45: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

K : “Iya teh.” (menganggukkan

kepala)

P : “Kalo kerja di sini dibolehin?”

K : “Boleh teh.”

P : “Punya kakak atau adik nggak?”

K : “Punya teh, ada 2 kakak

cewek.”

P : “Oh kakaknya sekolah juga?”

K : “Udah nggak teh, kerja

semuanya.”

P : “Oh gitu. (jeda) kalau lagi

sekolah, ngamen juga

nggak?”

K : “Iya teh, tapi palingan sorean

gitu teh.”

Saya agak

bingung untuk

melanjutkan

percakapan

P : “Kalo sore bukannya udah tutup

Pasar Baru?”

K : “Kalo udah sore pindah teh, ke

sekitar angkot ngamennya.

Deket sana.” (Menunjukkan

arah ke terminal)

P : “Oh gitu, kalo lagi libur gini ke

sini dari pagi dek?”

K : “Iya teh sampai sore, terus

pindah ke sanaan yang agak

ramai.”

P : “Oh gitu, sehari bisa dapat

berapa dek?”

K : “70 lebih bisa dapet teh. Nggak

tentu juga.”

P : “Oh gitu, lumayan ya dek. Buat

45

Page 46: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

ditabung buat sekolah ya

uangnya.”

K : “Iya teh.”

P: “Kalo balik kemana pulangnya?”

K : “Pulang ke rumah teh.”

Saya mencoba

bertanya lebih

lanjut

P : “Oh, dimana?”

K : “ Sekitar Astana Anyar teh.”

P : “Oh, sama keluarga di sana?”

K : “Iya teh.” (menganggukkan

kepala)

P : “Berarti adek asli dari Bandung

ya?”

K : “Iya teh.”

P : “Oh gitu, makasih ya dek udah

mau ditanya-tanya sama teteh,

adek udah mau ke sana lagi

ya.”

K : “Iya teh, udah siang juga.”

P : “Oh gitu, makasih ya. Sukses

buat sekolahnya.”

K : “Iya teh, makasih.”

(Menganggukkan

kepala)

3. Aspek Biopsikososial

a. Aspek Biologik

1) Identitas Klien

a) Nama : “D”

b) Jenis Kelamin : Laki-laki

46

Page 47: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

c) Tempat, tanggal lahir : 3 Maret 2000 (15 th)

d) Status Marital : Belum menikah

e) Suku : Sunda

f) Asal : Bandung

g) Pekerjaan : Pengamen

h) Tempat tinggal : Astana Anyar

i) Pendidikan : SMP (akan melanjutkan

SMA)

2) Penampilan Fisik

a) Penampilan fisik : agak rapi, usia nampak lebih tua

daripada tampilan

b) Aktivitas motorik : normal

c) Cara berjalan : Normal

d) Postur : Normal, tubuh kecil kurus

e) Cara berbicara : Ragu-ragu, lambat, kooperatif

b. Aspek Psikologis

1) Sikap :, pendiam, jujur, tegang

2) Afeksi : senang, biasa saja

3) Kognitif : responsif

c. Aspek Sosial

“D” merupakan seorang pengamen dan anak jalanan. Namun

ia berada di jalanan pada saat tidak bersekolah atau setelah pulang

sekolah. Ia biasa mengamen sehari jika tidak sekolah, namun jika

sekolah ia meluangkan waktu setelah pulang jam sekolah. Ia

menjadi pengamen sebagai penambah biaya sekolah. Temannya

berasal dari sesama anak-anak yang juga memiliki kegiatan

ekonomi di sekitar Pasar Baru. Setiap hari “D” akan pulang ke

rumah setelah beraktivitas di jalan sekitar Pasar Baru. Anggota

47

Page 48: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

keluarga masih lengkap, ia memiliki 2 orang kakak perempuan

yang sudah bekerja juga.

4. Genogram

5. Dokumentasi

Dokumentasi pada saat

melakukan wawancara

dengan “D”

48

Bapak

“D”

Ibu

Kakak 2

Kakak 1

Page 49: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Munculnya gelandangan di lingkungan perkotaan merupakan gejala sosial

budaya yang relatif menarik. Pada umumnnya gejala tersebut dihubungkan

dengan perkembangan lingkungan perkotaan. Sebagai manusia yang tengah

tumbuh-kembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah

kebutuhan tersebut yang merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang

tuanya, masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak

49

Page 50: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk

keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak tersebut.

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, karena pendidikan saat ini

telah menjadi suatu kebutuhan primer. Selain permasalahan dengan

pendidikannya, anak juga seringkali menjadi korban pekerja anak, anak-anak

sering berada di jalanan dan melaksanakan kegiatan ekonomi untuk

memenuhi dan membantu kebutuhan perekonomian keluarganya. Sehingga

perlindungan dan pemenuhan kebutuhan anak kurang tercapai.

Permasalahan gelandangan, anak putus sekolah, dan anak jalanan

merupakan permasalahan yang sering terjadi. Faktor utama yang menjadi

penyebabnya adalah faktor perekonomian. Asesmen yang dilakukan atas

ketiga permasalahan tersebut melihat bahwa faktor ekonomi menjadi

penyebeb utama munculnya permasalahn tersebut. Kondisi ekonomi keluarga

yang kurang mampu menyebabkan anak-anak harus berhenti sekolah bahkan

ikut ke jalanan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya.

B. SARAN

Permasalahan gelandangan, anak putus sekolah, dan anak jalanan

merupakan permasalahan yang sangat penting untuk ditangani. Penanganan

masalah tersebut tidak hanya dari pemerintah saja namun, kerjasama antar

masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA

Benradit. 2013. Anak Jalanan. Dari : https://benradit.wordpress.com/ diakses

tanggal 30 Mei

Id.m.wikipedia.org/wiki/anak_jalanan diakses pada tanggal 30 Mei 2015

Lestari, Eny. 2013. Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah. Dari:

http://eonyhuh.blogspot.com/, diakses pada 28 Mei 2015.

Ramsen, Kurniawan. 2013. Analisis Masalah Gelandangan. Dari:

http://kurniawan-ramsen.blogspot.com/2013/06/analisis-masalah-

gelandangan.html, diakses pada 27 Mei 2015.

50

Page 51: file · Web viewKondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang berbeda atau berseberangan dengan

Simanjuntak, Tianna. 2011. Makalah ISBD Perilaku Sosial Anak Jalanan. dari:

http://tiana-simanjuntak.blogspot.com/2011/08/makalah-isbd-perilaku-

sosial-anak.html, diakses pada tanggal 27 Mei 2015.

Tho, Kuroi. 2013. Makalah Ilmu Sosial dan Budaya Gelandangan Sebagai

Masalah Sosial Budaya. dari:

http://kuroitho.blogspot.com/2013/11/makalah-ilmu-sosial-dan-

budaya_16.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2015.

51