dna repair trjmah

27
DNA Repair DNA merupakan sasaran untuk berbagai kerusakan: baik eksternal agent maupun spontaneous endogenous processes. Given agent process dapat menimbulkan: radikal bebas, single & double strand breaks, merusak residu deoxyribose, menginduksi base alterations: mis. Metilasi, perubahan basa karena proses kimia tertentu. Kerusakan DNA dapat terjadi karena: metabolismes seluler, eksposur dengan sinar UV, radiasi ion, eksposur dengan bahan kimia, kesalahan replikasi. Perbaikan dengan: aktivasi cekpoin pada siklus sel, aktivasi program transkripsi, DNA repair (direct reversal, base excision repair, nucleotide excision repair, mismatch repair, double strand break repair, homolog recombination), apoptosis. Kerusakan DNA diklasifikasikan dalam beberapa cara, yi: • Modifikasi basa: - Perubahan kimia - Ikatan kovalen antara basa yang berdekatan - Kehilangan basa • Intrastrand cross-linking, mencegah replikasi dan transkripsi DNA • Kerusakan DNA tipe tiga - Kerusakan strand DNA, yang paling hebat yaitu kerusakan double- strand DNA (DSBs) --> DNA-nya putus. Pada deaminasi C. C mengalami deaminase sehingga menjadi U. Maka pada saat DNA replikasi G diganti A. Setelah replikasi terjadi mutasi (seharusnya G diganti U). Pasangannya mengalami deaminasi sehingga pasangannya diganti. Atau dengan merubah U menjadi C sementara G tetap. -->Poin mutation: perubahan 1 basa. Depurinasi A. Kehilangan A: mutasinya dengan memotong (kehilangan 1 basa) atau mengganti pasangan yang hilang. Abnormalitas dari DNA repair bisa menyebabkan cancer dan penuaan. Beberapa cara untuk repair

Upload: richky-nurhakim

Post on 04-Aug-2015

123 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

DNA Repair

DNA merupakan sasaran untuk berbagai kerusakan: baik eksternal agent maupun spontaneous endogenous processes.Given agent process dapat menimbulkan: radikal bebas, single & double strand breaks, merusak residu deoxyribose, menginduksi base alterations: mis. Metilasi, perubahan basa karena proses kimia tertentu.

Kerusakan DNA dapat terjadi karena: metabolismes seluler, eksposur dengan sinar UV, radiasi ion, eksposur dengan bahan kimia, kesalahan replikasi.Perbaikan dengan: aktivasi cekpoin pada siklus sel, aktivasi program transkripsi, DNA repair (direct reversal, base excision repair, nucleotide excision repair, mismatch repair, double strand break repair, homolog recombination), apoptosis.

Kerusakan DNA diklasifikasikan dalam beberapa cara, yi:• Modifikasi basa:- Perubahan kimia- Ikatan kovalen antara basa yang berdekatan- Kehilangan basa• Intrastrand cross-linking, mencegah replikasi dan transkripsi DNA• Kerusakan DNA tipe tiga- Kerusakan strand DNA, yang paling hebat yaitu kerusakan double-strand DNA (DSBs) --> DNA-nya putus.

Pada deaminasi C. C mengalami deaminase sehingga menjadi U. Maka pada saat DNA replikasi G diganti A. Setelah replikasi terjadi mutasi (seharusnya G diganti U). Pasangannya mengalami deaminasi sehingga pasangannya diganti. Atau dengan merubah U menjadi C sementara G tetap. -->Poin mutation: perubahan 1 basa.Depurinasi A. Kehilangan A: mutasinya dengan memotong (kehilangan 1 basa) atau mengganti pasangan yang hilang.

Abnormalitas dari DNA repair bisa menyebabkan cancer dan penuaan.

Beberapa cara untuk repair- Single step reactions, direct reversal (langsung diganti) dengan single enzyme seperti photolyase atau O-6-methyl-DNA-alkyltransferase.- Single and multi-step base excision repair mechanisms. (glikosilasis)- Multi-step reaction

DNA repair dikelompokkan menjadi 3 cara:- Damage reversal: langsung digantikan- Damage removal: dihilangkan- Damage tolerance: mentoleransi kesalahan

Damage reversal- Cara mudah untuk memperbaiki DNA

- Enzim yang mereparasi tidak perlu memotong DNA tetapi hanya menggantikan saja (pada proof reading). - Photorectivation merupakan contoh damage reversal .

Kalau terjadi kesalahan, missal DNA polymerase melakukan kesalahan sehingga timbul misincorporated nucleotide sehingga kalau tidak sesuai (mis. Harusnya G dipasang A) maka akan timbul tonjolan, sehingga proof reading akan mundur karena memiliki exonuclease activity, membetulkan kesalahan dan selanjutnya maju lagi.

Damage removalLebih kompleks karena melibatkan replacing (penggantian) dengan dipotong-potong. Ada tiga tipe damage removal, yaitu:• Base excision repair, hanya 1 basa yang rusak dan digantikan dengan yang lain.• Mismatch repair, penggantian basa yang tidak sesuai yang dilakukan dengan enzim.• Nucleotide excision repair, memotong pada salah satu segmen DNA yang mengalami kerusakan.

Base Excision repairUracil (U) dipotong (Glycosylase) --> dikeluarkan (phosphodiesterase) --> diganti (DNA polymerase) dengan C --> ditempelkan (ligase)

Nucleotide Excision repairKesalahannya pyrimidine dimer (kesalahan 2 basa tetangga), maka yang dilakukan dengan memotong pada satu tempat tertentu dan dilepas oleh DNA helicase, selanjutnya DNA polymerase dan DNA ligase bekerja untuk memperbaikinya.

Pada mismatch proofreading karena kesalahan pada kedua strand sehingga harus dipotong-potong.

Damage tolerance dilakukan bila kesalahan tidak dapat diperbaiki sehingga kesalahan terpaksa ditoleransi dan yang terpotong adalah kedua strand. Ada 2 cara:- Homolongous recombination (HR), menggunakan sister kromatid untuk memperbaiki kerusakan. Pada cara ini tidak akan terjadi delesi.- Non homologous end joining (NHEJ), bila putusnya tidak sama makan akan diratakan dulu dengan eksonukleuse, kemudian ada enzim tertentu yang bekerja dan akan menggabungkan. Tetapi akan terjadi delesi.

Lebih lanjut tentang: Dna repair / perbaikan DNA 

Replikasi DNA adalah proses penggandaan rantai ganda DNA. Pada sel, replikasi DNA terjadi sebelum pembelahan sel. Prokariota terus-menerus melakukan replikasi DNA. Pada eukariota, waktu terjadinya replikasi DNA sangatlah diatur, yaitu pada fase S siklus sel, sebelum mitosis atau meiosis I. Penggandaan tersebut memanfaatkan enzim DNA polimerase yang membantu pembentukan ikatan antara nukleotida-nukleotida penyusun polimer DNA. Proses replikasi DNA dapat pula dilakukan in vitro dalam proses yang disebut reaksi berantai polimerase (PCR).

Daftar isi

 [sembunyikan]

1 Garpu replikasi

o 1.1 Pembentukan leading strand

o 1.2 Pembentukan lagging strand

o 1.3 Dinamika pada garpu replikasi

2 Replikasi di prokariota dan eukariota

o 2.1 Replikasi DNA prokariota

o 2.2 Replikasi DNA eukariota

3 Pengaturan replikasi

4 Rujukan

5 Lihat pula

[sunting]Garpu replikasi

Garpu replikasi atau cabang replikasi ( replication fork ) ialah struktur yang terbentuk ketika DNA bereplikasi. Garpu replikasi ini dibentuk akibat enzim helikaseyang memutus ikatan-ikatan hidrogen yang menyatukan kedua untaian DNA, membuat terbukanya untaian ganda tersebut menjadi dua cabang yang masing-masing terdiri dari sebuah untaian tunggal DNA.

Masing-masing cabang tersebut menjadi "cetakan" untuk pembentukan dua untaian DNA baru berdasarkan urutan nukleotida komplementernya. DNA polimerase membentuk untaian DNA baru dengan memperpanjang oligonukleotida yang dibentuk oleh enzim primasedan disebut primer.

DNA polimerase membentuk untaian DNA baru dengan menambahkan nukleotida—dalam hal ini, deoksiribonukleotida—ke ujung 3'-hidroksil bebas nukleotida rantai DNA yang sedang tumbuh. Dengan kata lain, rantai DNA baru disintesis dari arah 5'→3', sedangkan DNA polimerase bergerak pada DNA "induk" dengan arah 3'→5'. Namun demikian, salah satu untaian DNA induk pada garpu replikasi berorientasi 3'→5', sementara untaian lainnya berorientasi 5'→3', dan helikase bergerak membuka untaian rangkap DNA dengan arah 5'→3'. Oleh karena itu, replikasi harus berlangsung pada kedua arah berlawanan tersebut.

Replikasi DNA. Mula-mula, heliks ganda DNA (merah) dibuka menjadi dua untai tunggal oleh

enzim helikase (9) dengan bantuan topoisomerase (11) yang mengurangi tegangan untai DNA.

Untaian DNA tunggal dilekati oleh protein-protein pengikat untaian tunggal (10) untuk

mencegahnya membentuk heliks ganda kembali. Primase (6) membentuk oligonukleotida RNA

yang disebut primer (5) dan molekul DNA polimerase (3 & 8) melekat pada seuntai tunggal DNA

dan bergerak sepanjang untai tersebut memperpanjang primer, membentuk untaian tunggal

DNA baru yang disebutleading strand (2) dan lagging strand (1). DNA polimerase yang

membentuk lagging strand harus mensintesis segmen-segmen polinukleotida diskontinu (disebut

fragmen Okazaki (7)). Enzim DNA ligase (4) kemudian menyambungkan potongan-

potongan lagging strand tersebut.

[sunting]Pembentukan leading strand

Pada replikasi DNA, untaian pengawal (leading strand) ialah untaian DNA yang disintesis dengan arah 5'→3' secara berkesinambungan. Pada untaian ini, DNA polimerase mampu membentuk DNA menggunakan ujung 3'-OH bebas dari sebuah primer RNA dan sintesis DNA berlangsung secara berkesinambungan, searah dengan arah pergerakan garpu replikasi.[sunting]Pembentukan lagging strand

Lagging strand ialah untaian DNA yang terletak pada sisi yang berseberangan dengan leading strand pada garpu replikasi. Untaian ini disintesis dalam segmen-segmen yang disebut fragmen Okazaki. Pada untaian ini, primase membentuk primer RNA. DNA polimerase dengan demikian dapat menggunakan gugus OH 3' bebas pada primer RNA tersebut untuk mensintesis DNA dengan arah 5'→3'. Fragmen primer RNA tersebut lalu disingkirkan (misalnya dengan RNase H dan DNA Polimerase I) dan deoksiribonukleotida baru ditambahkan untuk mengisi celah yang tadinya ditempati oleh RNA. DNA ligase lalu menyambungkan fragmen-fragmen Okazaki tersebut sehingga sintesis lagging strand menjadi lengkap.[sunting]Dinamika pada garpu replikasi

Bukti-bukti yang ditemukan belakangan ini menunjukkan bahwa enzim dan protein yang terlibat dalam replikasi DNA tetap berada pada garpu replikasi sementara DNA membentuk gelung untuk mempertahankan pembentukan DNA ke dua arah. Hal

ini merupakan akibat dari interaksi antara DNA polimerase, sliding clamp, dan clamp loader.

Sliding clamp pada semua jenis makhluk hidup memiliki struktur serupa dan mampu berinteraksi dengan berbagai DNA polimerase prosesif maupun non-prosesif yang ditemukan di sel. Selain itu, sliding clamp berfungsi sebagai suatu faktor prosesivitas. Ujung-C sliding clampmembentuk gelungan yang mampu berinteraksi dengan protein-protein lain yang terlibat dalam replikasi DNA (seperti DNA polimerase danclamp loader). Bagian dalam sliding clamp memungkinkan DNA bergerak melaluinya. Sliding clamp tidak membentuk interaksi spesifik dengan DNA. Terdapat lubang 35A besar di tengah clamp ini. Lubang tersebut berukuran sesuai untuk dilalui DNA dan air menempati tempat sisanya sehingga clamp dapat bergeser pada sepanjang DNA. Begitu polimerase mencapai ujung templat atau mendeteksi DNA berutas ganda (lihat di bawah), sliding clamp mengalami perubahan konformasi yang melepaskan DNA polimerase.

Clamp loader merupakan protein bersubunit banyak yang mampu menempel pada sliding clamp dan DNA polimerase. Dengan hidrolisis ATP, clamp loader terlepas dari sliding clamp sehingga DNA polimerase menempel pada sliding clamp. Sliding clamp hanya dapat berikatan pada polimerase selama terjadinya sintesis utas tunggal DNA. Jika DNA rantai tunggal sudah habis, polimerase mampu berikatan dengan subunit pada clamp loader dan bergerak ke posisi baru pada lagging strand. Pada leading

strand, DNA polimerase III bergabung dengan clamp loader dan berikatan dengan sliding clamp.

[sunting]Replikasi di prokariota dan eukariota

[sunting]Replikasi DNA prokariota

Replikasi DNA kromosom prokariota, khususnya bakteri, sangat berkaitan dengan siklus pertumbuhannya. Daerah ori pada E. coli, misalnya, berisi empat buah tempat pengikatan protein inisiator DnaA, yang masing-masing panjangnya 9 pb. Sintesis protein DnaA ini sejalan dengan laju pertumbuhan bakteri sehingga inisiasi replikasi juga sejalan dengan laju pertumbuhan bakteri. Pada laju pertumbuhan sel yang sangat tinggi; DNA kromosom prokariota dapat mengalami reinisiasi replikasi pada dua ori yang baru terbentuk sebelum putaran replikasi yang pertama berakhir. Akibatnya, sel-sel hasil pembelahan akan menerima kromosom yang sebagian telah bereplikasi.

Protein DnaA membentuk struktur kompleks yang terdiri atas 30 hingga 40 buah molekul, yang masing-masing akan terikat pada molekul ATP. Daerah ori akan mengelilingi kompleks DnaA-ATP tersebut. Proses ini memerlukan kondisi superkoiling negatif DNA (pilinan kedua untai DNA berbalik arah sehingga terbuka). Superkoiling negatif akan menyebabkan pembukaan tiga sekuens repetitif sepanjang 13 pb yang kaya dengan AT sehingga memungkinkan terjadinya pengikatan protein DnaB, yang merupakan enzim helikase, yaitu enzim yang akan menggunakan energi ATP hasil hidrolisis untuk bergerak di sepanjang kedua untai DNA dan memisahkannya.

Untai DNA tunggal hasil pemisahan oleh helikase selanjutnya diselubungi oleh protein pengikat untai tunggal atau single-stranded binding protein (Ssb) untuk melindungi DNA untai tunggal dari kerusakan fisik dan mencegah renaturasi. Enzim DNA primase kemudian akan menempel pada DNA dan menyintesis RNA primer yang pendek untuk memulai atau menginisiasi sintesis pada untai pengarah. Agar replikasi dapat terus berjalan menjauhi ori, diperlukan enzim helikase selain DnaB. Hal ini karena pembukaan heliks akan diikuti oleh pembentukan putaran baru berupa superkoiling positif. Superkoiling negatif yang terjadi secara alami ternyata tidak cukup untuk mengimbanginya sehingga diperlukan enzim lain, yaitu topoisomerase tipe II yang disebut dengan DNA girase. Enzim DNA girase ini merupakan target serangan antibiotik sehingga pemberian antibiotik dapat mencegah berlanjutnya replikasi DNA bakteri.

Seperti telah dijelaskan di atas, replikasi DNA terjadi baik pada untai pengarah maupun pada untai tertinggal. Pada untai tertinggal suatu kompleks yang disebut primosom akan menyintesis sejumlah RNA primer dengan interval 1.000 hingga 2.000 basa. Primosom terdiri atas helikase DnaB dan DNA primase.

Primer baik pada untai pengarah maupun pada untai tertinggal akan mengalami elongasi dengan bantuan holoenzim DNA polimerase III. Kompleks multisubunit ini merupakan dimer, separuh akan bekerja pada untai pengarah dan separuh lainnya bekerja pada untai

tertinggal. Dengan demikian, sintesis pada kedua untai akan berjalan dengan kecepatan yang sama.

Masing-masing bagian dimer pada kedua untai tersebut terdiri atas subunit a, yang mempunyai fungsi polimerase sesungguhnya, dan subunit e, yang mempunyai fungsi penyuntingan berupaeksonuklease 3’– 5’. Selain itu, terdapat subunit b yang menempelkan polimerase pada DNA.

Begitu primer pada untai tertinggal dielongasi oleh DNA polimerase III, mereka akan segera dibuang dan celah yang ditimbulkan oleh hilangnya primer tersebut diisi oleh DNA polimerase I, yang mempunyai aktivitas polimerase 5’ – 3’, eksonuklease 5’ – 3’, dan eksonuklease penyuntingan 3’ – 5’. Eksonuklease 5’ - 3’ membuang primer, sedangkan polimerase akan mengisi celah yang ditimbulkan. Akhirnya, fragmen-fragmen Okazaki akan dipersatukan oleh enzim DNA ligase. Secara in vivo, dimer holoenzim DNA polimerase III dan primosom diyakini membentuk kompleks berukuran besar yang disebut dengan replisom. Dengan adanya replisom sintesis DNA akan berlangsung dengan kecepatan 900 pb tiap detik.

Kedua garpu replikasi akan bertemu kira-kira pada posisi 180 °C dari ori. Di sekitar daerah ini terdapat sejumlah terminator yang akan menghentikan gerakan garpu replikasi. Terminator tersebut antara lain berupa produk gen tus, suatu inhibitor bagi helikase DnaB. Ketika replikasi selesai, kedua lingkaran hasil replikasi masih menyatu. Pemisahan dilakukan oleh enzim topoisomerase IV. Masing-masing lingkaran

hasil replikasi kemudian disegregasikan ke dalam kedua sel hasil pembelahan.[sunting]Replikasi DNA eukariota

Pada eukariota, replikasi DNA hanya terjadi pada fase S di dalam interfase. Untuk memasuki fase S diperlukan regulasi oleh sistem protein kompleks yang disebut siklin dan kinase tergantung siklin atau cyclin-dependent protein kinases (CDKs), yang berturut-turut akan diaktivasi oleh sinyal pertumbuhan yang mencapai permukaan sel. Beberapa CDKs akan melakukan fosforilasi dan mengaktifkan protein-protein yang diperlukan untuk inisiasi pada masing-masing ori.

Berhubung dengan kompleksitas struktur kromatin, garpu replikasi pada eukariota bergerak hanya dengan kecepatan 50 pb tiap detik. Sebelum melakukan penyalinan, DNA harus dilepaskan darinukleosom pada garpu replikasi sehingga gerakan garpu replikasi akan diperlambat menjadi sekitar 50 pb tiap detik. Dengan kecepatan seperti ini diperlukan waktu sekitar 30 hari untuk menyalin molekul DNA kromosom pada kebanyakan mamalia.

Sederetan sekuens tandem yang terdiri atas 20 hingga 50 replikon mengalami inisiasi secara serempak pada waktu tertentu selama fase S. Deretan yang mengalami inisasi paling awal adalaheukromatin, sedangkan deretan yang agak lambat adalah heterokromatin. Daerah sentromer dan telomer dari DNA bereplikasi paling lambat. Pola semacam ini mencerminkan aksesibilitas struktur kromatin yang berbeda-beda terhadap faktor inisiasi.

Seperti halnya pada prokariota, satu atau beberapa DNA helikase dan Ssb yang disebut dengan protein replikasi A atau replication protein A (RP-A) diperlukan untuk memisahkan kedua untai DNA. Selanjutnya, tiga DNA polimerase yang berbeda terlibat dalam elongasi. Untai pengarah dan masing-masing fragmen untai tertinggal diinisiasi oleh RNA primer dengan bantuan aktivitas primase yang merupakan bagian integral enzim DNA polimerase a. Enzim ini akan meneruskan elongasi replikasi tetapi kemudian segera digantikan oleh DNA polimerase d pada untai pengarah dan DNA polimerase e pada untai tertinggal. Baik DNA polimerase d maupun e mempunyai fungsi penyuntingan. Kemampuan DNA polimerase d untuk menyintesis DNA yang panjang disebabkan oleh adanya antigenperbanyakan nuklear sel atau proliferating cell nuclear antigen (PCNA), yang fungsinya setara dengan subunit b holoenzim DNA polimerase III pada E. coli. Selain terjadi penggandaan DNA, kandunganhiston di dalam sel juga mengalami penggandaan selama fase S.

Mesin replikasi yang terdiri atas semua enzim dan DNA yang berkaitan dengan garpu replikasi akan diimobilisasi di dalam matriks nuklear. Mesin-mesin tersebut dapat divisualisasikan menggunakan mikroskop dengan melabeli DNA yang sedang bereplikasi. Pelabelan dilakukan menggunakan analog timidin, yaitu bromodeoksiuridin (BUdR), dan visualisasi DNA yang dilabeli tersebut dilakukan dengan imunofloresensi menggunakan antibodi yang mengenali BUdR.

Ujung kromosom linier tidak dapat direplikasi sepenuhnya karena tidak ada DNA yang dapat menggantikan RNA primer yang dibuang dari ujung 5’ untai tertinggal. Dengan demikian, informasi genetik dapat hilang dari DNA. Untuk mengatasi hal ini, ujung kromosom eukariota (telomer) mengandung beratus-ratus sekuens repetitif sederhana yang tidak berisi informasi genetik dengan ujung 3’ melampaui ujung 5’. Enzim telomerase mengandung molekul RNA pendek, yang sebagian sekuensnya komplementer dengan sekuens repetitif tersebut. RNA ini akan bertindak sebagai cetakan (templat) bagi penambahan sekuens repetitif pada ujung 3’.

Hal yang menarik adalah bahwa aktivitas telomerase mengalami penekanan di dalam sel-sel somatis pada organisme multiseluler, yang lambat laun akan menyebabkan pemendekan kromosom pada tiap generasi sel. Ketika pemendekan mencapai DNA yang membawa informasi genetik, sel-sel akan menjadi layu dan mati. Fenomena ini diduga sangat penting di dalam proses penuaan sel. Selain itu, kemampuan penggandaan yang tidak terkendali pada kebanyakan sel kanker juga berkaitan dengan reaktivasi enzim telomerase.

[sunting]Pengaturan replikasi

Bagian ini membutuhkanpengembangan.

[sunting]Rujukan

1. ̂  (en)Geoffrey M. Cooper (2000). The Cell - A Molecular Approach (edisi ke-2).

Sunderland (MA): Sinauer Associates. hlm. Heredity, Genes, and DNA. ISBN 0-

87893-106-6. Diakses pada 13 Agustus 2010.

2. ̂  (en)Geoffrey M. Cooper (2000). The Cell - A Molecular Approach (edisi ke-2).

Sunderland (MA): Sinauer Associates. hlm. Figure 3.8. Semiconservative

replication of DNA. ISBN 0-87893-106-6. Diakses pada 13 Agustus 2010.[sunting]

TEKNOLOGI GENETIKA

Ilmu genetika yang mendasari perbaikan

genetik varietas tergolong ilmu yang muda dibandingkan dengan disiplin ilmu

yang lain. Namun, penerapan teknologi genetika pada tanaman telah mengakibatkan

terjadinya revolusi budi daya pertanian di

seluruh dunia. Revolusi hijau yang terjadi

pada tahun 1970-an dalam produksi serealia

dimotori oleh penggunaan varietas unggul

sebagai aplikasi teknologi genetika. Perbaikan yang diperoleh tidak saja dalam hal

daya hasil, tetapi juga peningkatan stabilitas produksi oleh adanya gen-gen ketahanan hama-penyakit, peningkatan adap-tasi pada lingkungan berkendala, kesesuaian umur panen terhadap sistem usaha

tani, dan peningkatan respons terhadap

pupuk dan pengairan. Dengan adanya

perbaikan sifat genetik tersebut, usaha tani

tanaman pangan telah berubah dari usaha

subsisten menjadi usaha komersial.

Penerapan teknologi genetika memiliki

keuntungan dan kelebihan khusus karena

tidak memerlukan modal besar, bahan bakunya tersedia di alam, teknologinya mudah dikuasai, serta tidak menimbulkan limbah yang mencemari lingkungan. Indonesia sebagai negara agraris, seyogianya

memanfaatkan teknologi genetika tersebut

untuk mendukung pembangunan pertanian dalam arti yang seluas-luasnya. Pada

waktu kini diperlukan peningkatan kesadaran akan pentingnya peningkatan penelitian genetika, baik sebagai ilmu dasar

maupun sebagai teknologi terapan untuk

memanfaatkan kekayaan sumber daya genetik Indonesia.

Teknologi genetika dalam bahasan ini

diartikan sebagai semua teknik yang berkaitan dengan usaha perbaikan konstruksi

genetik tanaman guna meningkatkan kemampuan varietas tanaman dalam hal

produktivitas, ketahanan terhadap hamapenyakit, stabilitas, kualitas maupun adaptabilitas tanaman. Berbagai teknik genetika telah dikembangkan dalam kurun

waktu 75 tahun terakhir, yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 10 teknik, yaitu: (1) aklimatisasi dan adaptasi gen;

(2) rekombinasi dan fiksasi gen melalui

hibridisasi; (3) alterasi gen dengan mutasi;

(4) alterasi kromosom; (5) ploidisasi; (6)

alterasi genom; (7) introgresi plasma nutfah

asing; (8) substitusi sitoplasma; (9) rekayasa genetik; dan (10) kombinasi jaringan

somatik. Penerapan masing-masing teknik

genetika tersebut dalam program perbaikan

varietas barulah merupakan tahap pertama,

yang perlu diikuti oleh tahapan seleksi dan

uji daya hasil, adaptasi, stabilitas sifat, mutu hasil, preferensi konsumen, serta uji

sifat-sifat lain. Dengan demikian, secara

keseluruhan proses perakitan varietas unggul memerlukan waktu yang relatif lama.

Bahasan dan uraian masing-masing teknik

genetika tersedia pada buku-buku teks, antara lain yang ditulis oleh Fehr (1987a) dan

Simmonds (1979). Pemilihan berbagai

alternatif teknik genetika tersebut untuk

perbaikan varietas tanaman ditentukan

oleh sifat biologi tanaman, cara penyerbukan, cara perbanyakan benih, bentuk

varietas, serta peralatan dan tenaga ahli

yang tersedia.

Adaptasi dan aklimatisasi genotipe,

teknik rekombinasi dan fiksasi gen, serta

teknik alterasi gen telah banyak diterapkan

dalam perbaikan genetik tanaman pangan,

termasuk kedelai. Berbagai prosedur seleksi dan bentuk varietas yang berkaitan

dengan teknik tersebut dapat dipilih sesuai

dengan spesies tanamannya. Sebagian besar varietas unggul yang ada pada saat ini

dikembangkan dengan teknik-teknik tersebut.

Teknik alterasi kromosom dimanfaatkan untuk mendapatkan sifat tahan penyakit karat pada terigu, dengan cara menyisipkan sepotong kecil kromosom terigu liar

(Aegilops sp.) pada kromosom terigu budi

daya (Sears 1956; Riley et al. 1968). Dengan

menggunakan translokasi kromosom yang

mengandung gen mandul jantan Msms,

Patherson (1978) menyarankan alternatif

pembentukan galur betina mandul jantan

pada pembuatan hibrida jagung dengan

teknik sitogenetik. Teknik ini pun berpeluang untuk diterapkan pada pembentukan galur betina (mandul jantan) pada

hibrida padi.

Ploidisasi bermanfaat dalam persilangan antarspesies guna memperoleh turunanyang fertil. Persilangan Triticum sp. (4x)

dengan Secale sp. (2x) menghasilkan

keturunan genotipe (3x) yang steril, tetapi

setelah kromosomnya digandakan menjadi heksaploid yang fertil menghasilkan

spesies baru Triticale (6x) yang stabil.

Ramage (1965) mengusulkan teknik

modifikasi genom untuk membentuk hibrida pada tanaman menyerbuk sendiri, dengan cara memasukkan gen mandul jantan

Ms pada genom Trisomik (2x+1A). Penambahan satu kromosom yang mengandung gen Ms mengakibatkan polen steril

sehingga galur berfungsi sebagai betina.

Introgresi 1-3% gen dari plasma nutfah

liar ke dalam genom varietas unggul dilaporkan dapat meningkatkan potensi hasil

kedelai (Schoener and Fehr 1979; Sumarno 1988). Substitusi sitoplasma varietas

unggul oleh sitoplasma varietas liar juga

sering dimanfaatkan untuk memperoleh

ketahanan terhadap penyakit atau sifat

jantan mandul yang dapat dimanfaatkan

pada pembuatan hibrida.

TERAPI GEN UNTUK PENYAKIT OSTEOPOROSIS

Bioteknologi adalah pemanfaatan prinsip-prinsip ilmiah dengan menggunakan mahluk hidup untuk menghasilkan produk atau jasa guna kepentingan manusia. Setelah orang mengetahui bahwa sifat-sifat mahluk hidup dikendalikan gen, maka bekembanglah teknologi untuk memanipulasi gen (rekayasa genetika) untuk mendapatkan sifat yang diinginkan manusia. Di dalam rekayasa genetika, orang dapat memotong dan menyambung gen untuk mendapatkan sifat baru yang di inginkan. Dalam memotong dan menyambung gen, enzim pemotong (enzim restriksi endonuklease) dan enzim penyambung ( ligase ) memiliki  peranan yang penting.

Memanipulasi sifat genetik ini dilakukan dengan menambah atau mengurangi DNA. Menggabungkan dua DNA dari dua sumber yang berbeda dikenal sebagai rekombinasi DNA. DNA sebagai hasil rekombinasi sebagai DNA rekombinan. Selanjutnya DNA inilah yang akan mengatur sifat-sifat mahluk hidup tersebut secara turun -temurun. Dengan demikian mengubah sifat mahluk hidup dapat lakukan dengan merubah DNA yang dikandungnya.

Melalui rekombinasi DNA, orang dapat menyambung-nyambung gen sehingga diperoleh individu baru yang diinginkan, gen-gen tersebut misalnya gen penambat nitrogen, gen penangkal penyakit, gen penghasil protein, dan gen penghasil hormon. Di bidang kedokteran telah berhasil di produksi antibodi monoklonal, terapi genetika, pembuatan antibiotik baru dan vaksin jenis baru.

Terapi gen merupakan upaya untuk memperbaiki atau mengontrol ekpresi gen yang merugikan bagi mahluk hidup. Terapi gen memerlukan pengenalan spesifik tentang gen yang memiliki fungsi dalam sel, yang bertujuan untuk pencegahan atau pengobatan. Terapi gen dapat dilakukan pada sel secara in-vitro, kemudian sel yg diterapi di masukan ke pasien secara in-vivo.

Terapi gen digunakan untuk beberapa tujuan: (1) Penggantian gen yang menyebabkan  penyakit menurun (genetik), (2) Memodifikasi respon kekebalan, (3) Imunisasi untuk melawan penyakit yang cepat menyebar.

Di dalam perancangan strategi terapi gen   materi  utama yang perlu diselidiki dan dioptimasi adalah: (1) Perlakuan yang  sesuai  dengan karakteristik biologi  dari  jaringan dan sel, (2) Vektor gen (viral atau non-viral), (3) Rute administrasi paling efektif dan aman, serta ketahanan dari ekspresi transgen.

Sebelum terapi gen dicobakan untuk penyakit tertentu pada manusia, studi praklinis diharapkan dilakukan dalam suatu model  percobaan yang sesuai untuk meyakinkan kelayakan, efisiensi dan keselamatan.

Untuk penggunaannya pada setiap penyakit, perbandingan  resiko dengan keuntungan harus ditentukan. Ijin dari instansi terkait, misalnyaInstitutional Review Board (IRB) dan informasi yang jelas juga sangat penting. Walaupun terapi gen sangat menjanjikan untuk digunakan pada berbagai penyakit manusia, namun masih terlalu awal untuk meramalkan tingkat keberhasilan penggunaannya  pada penyakit manusia.

Salah satu penyakit yang dapat disembuhkan melalui terapi gen adalah osteoporosis. Osteoporosis merupakan suatu penyakit pengeroposan sel-sel tulang, yang mengakibatkan kerapuhan tulang. Osteoporosis lebih umum terjadi pada wanita yang sudah tua dibandingkan dengan pria yang sudah tua. Hal ini disebabkan kekurangan  hormon estrogen pada masa menopause yang menyebabkan peningkatan kerusakan tulang. Pada masa menopause  pembentukan sel-sel tulang lebih sedikit sehingga tulang akan semakin keropos atau rusak. Karena itulah kasus penyakit osteoporosis lebih sering terjadi pada wanita. Kekurangan estrogen mengakibatkan sel-sel tulang semakin cepat terserap darah, sehingga menyebabkan tulang menjadi keropos. Tingkat osteoporosis semakin meningkat seiring dengan dimulainya masa menopause. Selain karena menopause, jenis makanan yang dikonsumsi, aktivitas fisik, dan faktor genetik juga mempengaruhi osteoporosis.

Tingkat kepadatan dari sel –sel tulang dipengaruhi faktor genetik. Seiring dengan perkembangan teknologi, diharapkan pengetahuan tentang informasi genetik semakin berkembang dan didapatkan algoritma gen untuk lebih mengetahui cara terapi gen pada penyakit osteoporosis. Melalui informasi genetik atau DNA, dapat diketahui gen – gen yang diduga membawa penyakit osteoporosis sehingga resiko terjadinya osteoporosis dapat diperkecil. Dua pendekatan klinis utama yang sekarang ini  digunakan untuk mengidentifikasi gen membawa penyakit osteoporosis: (1) Pemeriksaan genom keluarga secara lengkap dengan menggunakan analisis kekerabatan; (2) Studi analis gen pembawa osteoporosis di dalam suatu populasi.

Banyak penderita osteoporosis yang menggunakan obat – obatan untuk mengurangi sel – sel tulang yang rusak. Namun obat ini tidak terlalu efektif dan memberikan reaksi yang berbeda pada tiap-tiap orang. Pada pengobatan osteoporosis, dapat digunakan terapi gen yang akan memperbaiki sel tulang yang rusak dan melalui terapi gen yang tepat sasaran, tidak akan menimbulkan efek samping.

Salah satu agen terapi gen adalah agen osteogenic , dimana agen osteogenic ini mengkode protein osteogenic. Sel – sel tulang memiliki kemampuan untuk beregenerasi, hal inilah yang membuat agen osteogenic sangat potensial dalam terapi gen osteoporosis. Penelitian pada manusia dan studi praklinis menunjukkan bahwa terapi gen dengan menggunakan agen osteogenic dapat digunakan untuk mengobati osteoporosis. Sel dari sistem urogenital dapat menstimulasi pembentukan tulang. Agen osteogenic dimasukkan ke dalam sel bersama dengan gen faktor tumbuh, kemudian sel tersebut disuntik  ke sumsum tulang atau pada tulang yang mengalami osteoporosis, sehingga menstimulasi pembentukan tulang pada daerah itu. Karena beberapa faktor tumbuh berpengaruh pada proses proliferasi dan diferensiasi dari osteoblast pada proses

pembentukan tulang, maka diperlukan beberapa gen yang dapat mengkode faktor – faktor tumbuh tersebut agar terapi gen ini mendapatkan hasil yang optimum.

Dalam upaya terapi osteoporosis ini, agen osteogenik, yaitu fluorida bersama gen faktor tumbuh (insulin-like growth factor 1) dimasukkan ke dalam sel. Gen faktor tumbuh ini menstimulasi fosforilasi  tirosin yang kemudian merangsang pembentukan sel tulang, pembentukan sel tulang ini biasanya dihambat oleh phospotyrosyl protein phosphatase. Namun dengan adanya agen osteogenik, proses penghambatan sel tulang baru oleh phospotyrosyl protein phosphatase akan dihambat oleh fluoride. Sehingga proses pembentukan sel tulang baru dapat berjalan dengan baik.

Untuk melakukan terapi gen yang dapat memperbaharui keseluruhan tulang yang mengalami  osteoporosis dibutuhkan  pengembangan pengetahuan akan gen. Hal ini berhubungan erat dengan faktor tumbuh agar terapi gen ini tidak menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Antibodi monoklonal telah dikembangkan secara rinci untuk mengidentifikasi preosteoblasts dan membedakan osteoblasts, dan antibodi monoklonal tambahan digunakan untuk membedakan tahap-tahap diferensiasi osteoblast.  

Agar dalam proses terapi gen dapat berhasil, dibutuhkan penentuan gen yang spesifik bagi suatu tempat, seperti pinggul, yang merupakan salah satu lokasi rentan terhadap penyakit osteoporosis. Aspek lain dari terapi gen yang perlu dikembangkan adalah vektor yang dapat membantu tercapainya proses terapi gen untuk mencapai hasil yang diinginkan.

TINJAUAN ETIS

Pandangan Antroposentris

Pada intinya, tujuan dari rekayasa genetika adalah mereka – reka bagaimana gen itu didapat secara “sempurna” sesuai yang diinginkan oleh perekanya (manusia). Langkah ini diambil sebagai jalan yang dianggap salah satu langkah yang tepat oleh manusia. Begitu ragam keganjilan (kelainan) gen yang ditemui dan tidak diingini oleh manusia. Oleh sebab itu, dengan akal budinya manusia mengambil langkah untuk mencoba mengatasi kelainan gen itu dengan memodifikasinya. Suatu keadaan keganjilan gen itu tidak akan berubah sendiri menjadi “sempurna“ seperti yang diingini manusia apabila tidak direka – reka oleh manusia.

Kemungkinan lain ialah bahwa manusia menemui suatu penyakit yang dianggap berbahaya dan menurun, maka untuk “mengalahkan“ penyakit itu yaitu dengan cara memodifikasi gen, sehingga langkah mereka-reka gen ini dianggap langkah yang tepat dan menguntungkan. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa manusia merekayasa gen ini juga disebabkan oleh keingintahuannya tentang fenomena-fenomena gen manusia yang selama ini dianggap sebagai penerus/pembawa sifat-sifat dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, dengan studi merekayasa gen nantinya akan diperoleh tujuan yang diingini manusia. Misalnya gen dengan fenotipe kulit keriput, berpenyakit (segala sifat yang tidak diingini manusia) dan gen pembawa sifat genotip: penyakit menurun seperti hemofili, epilepsi dan hepatitis B. Gen – gen pembawa sifat seperti yang disebutkan dalam contoh tersebut dihilangkan dan diganti dengan gen–gen pembawa sifat yang diinginkan seperti: pintar dan ganteng.

Terkhusus pada kasus dalam makalah ini, yakni mengenai bagaimana mengatasi pengeroposan tulang (osteoporosis) akibat penurunan hormon estrogen. Seperti kita ketahui bahwa pada wanita yang sudah menopause, hormon ini mengalami penurunan yang sangat signifikan. Apalagi bila tidak diimbangi dengan kegiatan – kegiatan fisik dan olahraga. Dengan terapi gen ini, akan diusahakan permasalahan pengeroposan tulang akan dapat teratasi. Dari uraian makalah ini bila ditinjau dari tujuan terhadap manusia, maka langkah terapi gen adalah baik. Dalam langkah rekayasa gen ( terapi gen ) ini tidak bermaksud hendak “melawan“ kodrati yang telah ada namun hanya bagaimana manusia mengembangkan, memanfaatkan akal budinya untuk berusaha semaksimal mungkin

dalam mengatasi salah satu permasalahan hidupnya (tulang keropos). Namun sebagai manusia yang berakal budi, tidak menutup kemungkinan bahwa penemuan terapi gen ini akan ditolak secara universal. Sehingga kesadaran akan terapi gen ini sejak awal harus disadari mengingat dalam menilai segala sesuatu mengenai baik dan buruk  harus juga mempertimbangkan norma yang ada di masyarakat universal, yaitu : norma agama, norma sosial.

 

Pandangan Biosentris

Terapi gen untuk mengatasi osteoporosis, gen donor diambil dari gen mamalia (tikus), dengan kata lain terapi ini melibatkan organisme lain. Dipihak manusia sudah jelas menguntungkan, tetapi dipihak tikus belum tentu menguntungkan. Bila pengambilan gen dari tikus tidak menimbulkan kematian, mungkin terapi gen ini dapat diterima, akan tetapi bila menimbulkan kematian bagi tikus maka jika ditinjau secara bioetis tidaklah baik terapi gen ini. Apalagi jika sebelum penggunaan terapi gen ini pada manusia, terlebih dahulu dilakukan percobaan penggunaan pada tikus dan menimbulkan kematian tikus tersebut sehingga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan permasalahan ekologis dalam hal rantai makanan. Apalagi percobaan ini tidak dilakukan sekali tetapi berulangkali. Secara bioetis, tikus juga memiliki hak hidup.

Sebagai seorang biolog yang mengacu pada etika biologi, tidak dibenarkan menilai segala sesuatu dari satu sudut tujuan tetapi perlu adanya pertimbangan – pertimbangan dari sudut atau aspek yang lain. Kita juga perlu menyadari bahwa tanggapan - tanggapan terhadap penemuan – penemuan ilmiah tidak menutup kemungkinan menimbulkan penilaian – penilaian setuju atau tidak, artinya bersifat subjektif. Kebenaran akan selalu menjadi sesuatu yang dipikirkan bagi yang memikirkannya. Sehingga suatu pembenaran tentang kebenaran ilmiah akan  bersifat tidak tetap artinya kebenaran ilmiah sekarang akan berkemungkinan berbalik diwaktu yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Baylink, D. J. 2000. Current and Future Management of Osteoporosis. The Fortnightly Club Meeting # 1628. California, 20 January 2000 : 4:00 P.M.http://www.redlandsfortnightly.org/baylink00.htm

Fanti P., Monier M.C., Geng Z., Schmidt J., Morris P.E., Cohen D., Malluche H.H.1998. The phytoestrogen genistein reduces bone loss in short-term ovariectomized rats.Osteoporos Int. 1998;8(3):274-81.

http://www.journals.elsevierhealth.com/

periodicals/nmd/article/PIIS0960896697000515/fulltext

Nakajima, D., Kim, C. S., Tae, W. O., Chu, Y. Y., Naka, T., Igawa, S., Ohta, F. 2001. Suppressive effects of genistein dosage and resistance exercise on bone loss in ovariectomized rats. Journal of physiological anthropology and applied human science.http://www.jstage.jst.go.jp/article/jpa/20/5/285/_pdf

Pinheiro, A. L., Limeira, F. A., Gerbi, M. E. M., Ramalho, L. M. P., Marzola, C., Ponzi, E. A. C. 2003. Effect of low level laser therapy on the repair of bone defects grafted with inorganic bovine bone .Braz. Dent. J. vol.14 no.3 Ribeirão Preto 2003http://www.scielo.br/img/revistas/bdj/v14n3

Sajeda, M., White, P.,  Nair, S., Reddi,K.,  Heron, K., Henderson, B., Zaliani, A., Fossati, G.,  Mascagni, P., Hunt, F., Roberts, M., and Coates, A. 1997. Mycobacterium tuberculosis Chaperonin 10 Stimulates Bone Resorption: A Potential Contributory Factor in Pott's Disease. J. Exp. Med.Volume 186, Number 8, October 20, 1997 1241-1246.http://www.jem.org/cgi/