dk pemicu 1

15
DK PEMICU 1 By. Agus Darmanto MAJOR HISTOCOMPABILITY COMPLEX (MHC) Definisi MHC kompleks adalah sekelompok gen pada kromosom tunggal (kromosom 6) yang dikode antigen MHC. Besar serta kecil antigen, histokompatibilitas (juga disebut antigen transplantasi) menengahi penolakan cangkokan antara dua genetik individu yang berbeda. imunologi Self dan non self dikendalikan oleh MHC class I dan II Gen MHC, yang merupakan lokus yang paling polimorfik dikenal pada vertebrata. Gen MHC mengkodekan permukaan sel protein (kelas I dan II MHC molecules) yang menunjukkan antigen peptida ke sel T. 1,2 Klasifikasi Molekul pada MHC pada manusia dapat di bagi menjadi 3 golongan yaitu: 1 1. MHC class 1 2. MHC class 2 3. MHC class 3 a. Molekul MHC-1 Molekul MHC 1 terdiri dari dua poli peptida, rantai berat polimorfik dan rantai ringan nonpolimorfik yang disebut b2

Upload: sugard-darmanto

Post on 14-Nov-2015

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

free

TRANSCRIPT

DK PEMICU 1By. Agus Darmanto

MAJOR HISTOCOMPABILITY COMPLEX (MHC)DefinisiMHC kompleks adalah sekelompok gen pada kromosom tunggal (kromosom 6) yang dikode antigen MHC. Besar serta kecil antigen, histokompatibilitas (juga disebut antigen transplantasi) menengahi penolakan cangkokan antara dua genetik individu yang berbeda. imunologi Self dan non self dikendalikan oleh MHC class I dan II Gen MHC, yang merupakan lokus yang paling polimorfik dikenal pada vertebrata. Gen MHC mengkodekan permukaan sel protein (kelas I dan II MHC molecules) yang menunjukkan antigen peptida ke sel T.1,2Klasifikasi Molekul pada MHC pada manusia dapat di bagi menjadi 3 golongan yaitu:11. MHC class 12. MHC class 23. MHC class 3a. Molekul MHC-1Molekul MHC 1 terdiri dari dua poli peptida, rantai berat polimorfik dan rantai ringan nonpolimorfik yang disebut b2 mikroglobulin. Kelas I molekul mempresentasikan peptida kecil kepada citotoxic T limphoocytes (CTLs), secara efektif memperkenalkan sel kepada sistem kekebalan tubuh. Peptida ini biasanya self peptida, jika sel menjadi terinfeksi virus atau jenis parasit intraseluler (Gambar 2a), maka sel yang terinfeksi menyajikan peptida asing dari menyerang yang parasit. CTLs menyelidiki permukaan sel, mencari bukti infeksi. Setiap CTL adalah unik, Reseptor sel-T (TCR) sangat spesifik pada permukaannya yang mengikat Kompleks MHC-antigen. CTLs juga memiliki molekul adhesi CD8 pada permukaannya yang menstabilkan interaksi antara sel-sel T dan sel menyajikan dengan mengikat kelas I MHC molekul. Jika dianggap sebagai benda asing, CTLs menjadi aktif, dan sekali diaktifkan, sel T akan berproliferasi dan semua klon mencari dan menghilangkan sel yang terinfeksi yang menyajikan peptida asing. MHC 1 diekspresikan pada hampir semua sel bernukleus.1,2,3,4b. Molekul MHC-2Kelas II molekul diekspresikan pada antigen presenting cel ( APC ), seperti makrofag. mereka berfungsi untuk menyajikan peptida untuk pembantu sel T . sel T helper memainkan beberapa peran penting, termasuk mengaktifkan makrofag dan limfosit B. Makrofag mencari dan menelan virus ekstraseluler , bakteri dan fragmen dari penjajah parasit lainnya. Mereka mencerna mangsanya dan menggunakan kelas II molekul untuk menyajikan sampel peptida untuk sel T helper. Sel T Helper memiliki molekul CD4 pada permukaan mereka untuk menstabilkan interaksi mereka selama presentasi. Jika peptida diakui sebagai asing , maka sel T helper diaktifkan untuk mencari dan mengaktifkan makrofag lain . Kelas II molekul juga diekspresikan pada sel B ( Gambar 2c ) . Ketika imunoglobulin pada permukaan mengikat sel B terhadap antigen asing, sel B mengalami proliferasi dan dia klon sel plasma yang mensekresi antibodi menjadi . itu antibodi mengikat dan tag penyerbu asing sehingga sistem kekebalan tubuh secara efisien dapat menghilangkannya. Namun, sebelum sel B dapat menjadi aktif , harus menyajikan antigen untuk pembantu sel T untuk memastikan bahwa antigen tersebut asing. MHC 2 diekpresikan hanya terbatas pada sel B, makrofag dan sel dendritik.1,2,3,4c. Molekul MHC-3pembentukan komponen beberapa sitokin dan molekul lain ditentukan oleh molekul MHC-3. Sejumlah protein yang ekspresinya ditentukan molekul MHC-3 antara lain adalah komponen komplemen (C2,C4), faktor B properdin, TNF dan Limfotoksin, beberapa jenis enzim dan molekul pembawa yang diperlukan dalam proses antigen. 1,2,3

ALERGI OBATAlergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksihipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaianobat.Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat ( adverse drugreaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi,intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obatadalah efek obatberhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efeksamping obat adalahefek obat selainkhasiat utama yang timbul karena sifatfarmakologiobat atau interaksi dengan obatlain. Idiosinkrasi adalah reaksi obatyang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapatdengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidakdiketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifatfarmakologi, timbul karena proses nonimunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat ataumetabolitnya melalui reaksi imunologi. 4,5Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera, ekstrak organ) dan bersifatimunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendahyang bersifat imunogenik tanpa bergabung dengan karier. Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan kompleks obat danprotein yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalendengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selamadiproses di makrofag dan dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifatimunogeniknya stabil.4,5Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukanantibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode latenmenjadi lebih singkat karena antigentersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori (reaksi anamnestik). Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4tipe menurut Gell dan Coombs.1,4 Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu asam mefenamat, lfenotiazin, fenergen, dilantin, dn tridion. Namun demikian yang palinf sering dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasanya tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi. 4Alegenitas obat bergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak dapat langsung merangsan sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk bersifat sebagai alergen, di sebut sebagai hapten. Sedangkan obat dengan berat molekul besar akan langsung merangsang sistem imun tubuh.4

PENISILIN DAN BETALAKTAMAlergi terhadap b-laktam obat umumnya dilaporkan, terutama alergi penisilin. Reaksi obat yang disebabkan oleh beta-laktam yang paling umum adalah makulopapular atau morbilliform dan urtikaria. Namun, reaksi anafilaktik parah dapat terjadi dan memang terjadi pada kesempatan langka. Semua penisilin mengandung cincin beta-laktam dan cincin tiazolidin. Penisilin secara intrinsik reaktif karena cincin beta- laktam. Karena ketidakstabilannya, cincin beta laktam mudah membuka memungkinkan gugus karbonil amida untuk membentuk hubungan dengan kelompok amino dari residu lisin pada protein. 5Manifestasi KlinisGambaran lesi erupsi obat yang seringkali ditemukan adalah jenis eksantema morbiliformis (sekitar 95%) yang umumnya tidak menimbulkan kematian atau kesakitan yang bermakna. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penting bagi dokter untuk dapat mengenali reaksi simpang obat yang berat seperti SHO, SSJ, serta NET. Terdapat beberapa parameter klinis serta laboratorium yang mengarahkan kecurigaan kita terhadap reaksi simpang obat yang berat.Berbagai parameter tesebut terdapat dalam tabel. 4, 5,6Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan sampai berat . Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering, dapat berupa pruritus, urtikaria, purpura, dermatitis kontak, eritema multiform, eritema nodosum, erupsi obat fikstum, reaksi fotosensitivitas, atau reaksi yang lebih berat dermatitis eksfoliatif dan erupsi vesikobulosa seperti pada sindrom Stevens-Johnson. Gejala klinis yang memerlukan pertolongan adekuat segera adalah reaksi anafilaksis karena dapat terjadi renjatan. Gejala klinis dapat berupa hipotensi, spasme bronkus, edema laring, angioedema, atau urtikaria generalisata.4,5,6

Gejala Klinis Alergi ObatAnafilaksisedema laring, hipotensi, bronkospasme

Erupsi kuliturtikaria/angioedema, pruritus, ruam makulopapular morbiliform, erupsi obat fikstum, dermatitis kontak, vaskulitis, eritema nodusum, eritema multiform, sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif, reaksi fotosensitivitas

Kelaianan hematologikanemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia

Kelainan pulmonalpneumonitis interstisialis/alveolar, edema paru, fibrosis paru

Kelainan hepaticreaksi kolestasis, destruksi hepatoseluler

Kelainan renalnefritis interstisialis, glomerulonefritis, sindrom nefrotik

Penyakit serum

Demam obat

Vaskulitis sistemik

Limfadenopati

Demam dapat merupakan gejala tunggal alergi obat, atau bersama gejala klinis lain, yang timbul beberapa jam setelah pemberian obat (tetapi biasanya pada hari ke 7-10), dan menghilang dalam waktu 48 jam setelah penghentian obat atau sampai beberapa hari kemudian. Diduga demam terjadi akibat pelepasan mediator sitokin. Beberapa jenis obat diduga dapat bersifat pirogen langsung, misalnya amfoterisin B, simetidin, dekstran besi, kalsium, dan dimerkaprol.4,5,6PEMERIKSAANUji Laboratorium :a. Uji invivoUji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul: insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.4,5,6Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.4,5,6b. Uji in vitroUji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin,uji sensitisasi jaringan (basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coombs, uji komplemen dan lain-lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.4,5,6

PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul. a. Penghentian obatKalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan, dapat terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan dengan cara desensitisasi.4,5,6b. PengobatanManifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.4,5,6Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.4,5,6Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan.4,5,6

EVALUASI DAN PENCEGAHAN Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting untuk selalu dilakukan walaupun harus dinilai dengan kritis untuk menghindari tindakan berlebihan. Misalnya ruam kulit setelah pemberian ampisilin pada seorang anak belum tentu karena alergi obat. Bila dokter telah mengetahui atau sangat curiga bahwa pasiennya alergi terhadap obat tertentu maka hendaknya ia membuatkan surat keterangan tentang hal tersebut yang akan sangat berguna untuk upaya pencegahan pada semua keadaan.4Semakin sering seseorang memakai obat maka akan semakin besar pula kemungkinan untuk timbulnya alergi obat. Jadi pemakaian obat hendaknya dengan indikasi kuat dan bila mungkin hindari obat yang dikenal sering memberikan sensitisasi pada kondisi tertentu (misalnya aspirin pada asma bronkial).4Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan menghilangkan bahan yang potensial dapat menjadi penyebab alergi, atau bahan yang dapat menyebabkan reaksi silang imunogenik. Contohnya adalah pembuatan vaksin bebas protein hewani, atau antibodi dari darah manusia.4

PROGNOSIS PASIENPrognosis pasien ini bagus karena reaksi yang timbul tidak bersifat akut jadi masih dapat untuk di tangani namun prognosis kekambuhannya kurang baik karena akan timbul reaksi alergi lagi jika dierikan obat yang sama. 4Daftar Pustaka1. Baratawidjaja, Karnen Garna; Iris Rengganis, 2010, IMUNOLOGI DASAR, penerbit FKUI, Jakarta2. Penn, Dustin J,2002, Major Histocompatibility Complex (MHC), University of Utah, Salt Lake City, Utah, USA 3. Rao, Shridar, 2006, Major Histocompatibility Complex (MHC), JJMMC, Davbgere 4. Sudoyo, Aru W, et al , 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, penerbit FKUI, Jakarta 5. Javadi, Mohammadreza, et al, 2013, Penicillin Allergy and Cross-reactivity with other Beta-lactams, Journal of Pharmacology Care, Tehran Iran6. Borges, Mario Snchez, 2013, Hypersensitivity reactions to non beta-lactam antimicrobial agents, a statement of the WAO special committee on drug allergy, World Allergy Organization Journal, Venezuela.