disusun oleh: georgius benardi darumukti nim: 146322010

244
i POSSIBLE-WORLD INDONESIA: INTERPRETASI ATAS JEPANG PADA PEMBACA FILM TELEVISI Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 28-Apr-2022

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

i

POSSIBLE-WORLD INDONESIA:

INTERPRETASI ATAS JEPANG PADA PEMBACA FILM TELEVISI

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Disusun oleh:

Georgius Benardi Darumukti

NIM: 146322010

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2017

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

IIALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

TESIS

P OS S IB LE.VO RLD IITTDONESIA :

INTERPRETASI ATAS JEPANG PADA PEMBACA rILM TELEYISI

Pembimbing I

Dr" St. Sunafdi

Pembimbing II Tanggal: 24luli2017

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

-wI.,:

HALAMAN PENGESAHAN

TESIS

P OS S I B LE.WORLD IITDONESIA :

INTERPRETASI ATAS Jf,PANG PADA PEMBACA rILM TELEVISI

Dipersiapkan dan ditulis oleh:

Georgius Benardi Darumukti

NIM: 1463220fi

P, itia,Fenguji

Ketua ,

Sekretaris

Anggota,l

3. Dr. G. Budi Subanar;'S:f.

ilt

24 Jlurli}Ol7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

=___El.

PERNYATAAIY KEASLIAIY KARYA

Deugan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama

Georgius Benardi Darumukti (NIM: 146322010), menyatakan bahwa tesis berjudul:

POSSIBLE.WCIRLD INDONESIA: INTERPRETASI ATAS JEPA}IG PADA

PEMBACA TELEVISI menrpakanhasil karya danpenelitian saya sendiri.

Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernatr diajukan untuk

memperoleh getar kesarjanaan di suatu perguruan ting$ lain. pemakaian,

pemiqiaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan

hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peratuan yang berlalaro sebagaimana

diacu secara ternrlis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 24 Juli 2017

Yang membuat pemyataan,

IV

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

I-

LEMBAR PERSETUJUA]\I

PUBLIKASI KARYA ILMIAH I]NTUK KEPENTINGAI{ AKADEMIS

Yang bettanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta

NAMA : GEORGIUS BENARDI DARUMUKTI

NIM :146322010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada

Perpustakaan Universitas Sanata Dhamra karya ilmiah yang berjudul:

Possible-w orld fn donesia :

Interpretasi atas fepang pada Pembaco Film Televisi

beserta perangkat yang dipertukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan

dalam bentuk media lain, mengelolanya di interret atau media lain unnrk kepentingan

akademis tanpa perlu merninta rjin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya

selama tetap mencanturnkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal:24 Juli 2017

Yang menyatakan,

Georgius Benardi Darumukti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

vi

POSSIBLE-WORLD INDONESIA:

INTERPRETASI ATAS JEPANG PADA PEMBACA FILM TELEVISI

Georgius Benardi Darumukti

ABSTRAK

Imaji Jepang di Indonesia selalu dinegosiasikan di antara posisinya sebagai

objek yang ditakuti, ditiru, dikagumi, dicintai, maupun diidamkan. Sejak masa

penjajahan, negosiasi ini selalu dimainkan melalui berbagai permainan tanda oleh

masyarakat Indonesia. Satu bagian yang penting pada semesta ini adalah kehadiran

media film Jepang di Indonesia, terutama yang masif dilakukan oleh televisi.

Penelitian untuk mengkaji pembentukan interpretasi atas Jepang ini dilakukan untuk

menstrukturkan negosiasi yang terjadi di dalam proses pembacaan film televisi

Jepang di Indonesia.

Dengan memakai konsep Possible-world oleh Umberto Eco sebagai

paradigma penelitian, maka penelitian ini bertujuan mencari fondasi Indonesia yang

selalu terbawa oleh para pecinta Jepang. Pada usaha penciptaan possible-world

Jepang melalui film-teks, penelitian ini berangkat dengan mendasarkan analisa pada

literatur historis perkembangan media film dan televisi Jepang sebagai bentuk

negosiasi mereka atas represi modernitas. Melalui metode wawancara terhadap lima

orang anggota aktif komunitas pecinta budaya populer Jepang di Yogyakarta,

penelusuran strategi penciptaan ini kemudian menunjukkan dua hal, yaitu adanya

kuasa pengetahuan atas Jepang yang beredar kuat di Indonesia, dan adanya konteks

Indonesia yang dipakai untuk mengontraskan Jepang. Pada penelusuran terakhir,

yaitu penelusuran stategi penamaan Jepang dalam bahasa narasumber, Indonesia yang

absen dalam bahasa mereka dianalisa dalam kerangka pembentukan final interpretant.

Dalam analisa ini terlihat bahwa Indonesia diposisikan secara inferior dengan Jepang

dalam dua bentuk, yaitu peminjaman ikon Jepang dan pelegitimasian utopia atas

hukum Jepang.

Melalui penelitian ini dapat disimpulkan Indonesia yang mungkin

memberangkatkan fenomena ini. Yang pertama adalah Indonesia sebagai negara yang

di dalamnya terjadi persebaran pengetahuan akan Jepang yang masif. Kedua,

Indonesia sebagai negara yang juga mengalami represi modernitas, sehingga Jepang

diangkat sebagai penanda baru.

Kata kunci: Film televisi Jepang, Budaya pop Jepang, Umberto Eco, interpretasi,

possible-world, final interpretant

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

vii

INDONESIAN POSSIBLE-WORLD:

INTERPRETATION OF JAPAN BY THE READER OF TELEVISION FILMS

Georgius Benardi Darumukti

ABSTRACT

The image of Japan in Indonesia is always negotiated among its positions as

a feared object, imitated, admired, loved, or desired object. By the time of

colonization, these negotiations have always been played through various meaning-

makings by Indonesians. The presence of Japanese film in Indonesian media culture

became one of important aspects that helps on building it, especially the massive ones

done by television. This research on the formation of interpretation of Japan tends to

structure the negotiations that occurred in the reading of Japanese television films in

Indonesia.

By using Umberto Eco‟s concept of Possible-world as research paradigm,

this research is aimed to find a form of Indonesia as a foundation which is always

carried by Japanese lovers. To study on the creation of Japanese possible-world

through text-film, this research departs with literatures analysis on the development

of Japanese film and television media as a form of their negotiations over the

repression of (Western) modernity. By interviewing five active members of Japan's

popular culture lovers community in Yogyakarta, the search for these creation then

shows two things, namely the power of knowledge about Japan that circulated

strongly in Indonesia, and the Indonesian context used to contrast Japan. In the final

analysis, the search for the meaning-making process on Japan‟s image by their

narration, the absence of Indonesia in their language was analyzed with the

formation of final interpretant. It is seen that Indonesia is positioned inferior with

Japan in two forms, namely the abduction of Japanese icon and the process of

legitimizing utopia over the Japanese law.

At the end of this research, two phenomena can be concluded in connection

with the presense of Japan in Indonesia. First, Indonesia is a country which

undergoes a massively spreading knowledge of Japan. Second, Indonesia as a

country that also experienced the repression of modernity selected Japan as a new

signifier.

Keywords: Japanese television films, Japan pop culture, Umberto Eco, interpretation,

possibe-world, final interpretant

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

viii

HALAMAN MOTTO

The visitors to the world anime

journeys across the boundaries of time and space,

through mysterious realms and epic histories,

through the lives of the characters who laugh and cry and dream,

through emotions and experiences too profound for words…

and then gently back to reality,

carrying priceless and encouraging echoes of the message of hope,

which promises:

“THE FUTURE WILL BE GLORIOUS,

if only we remember what is truly important and persevere no matter what…

It is hard to maintain something divine in this world;

it is easy to forget.

ANIME SERVES TO REMIND”

Eri Izawa, The Romantic, Passionate Japanese in Anime: A Look at the Hidden Japanese Soul

dalam Timothy J. Crag. JAPAN POP! Inside the World of Japanese Popular Culture

(New York: M.E.Sharpe. Inc., 2002)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

ix

KATA PENGANTAR

Pengerjaan tesis ini bagi saya bukanlah sekedar pengalaman akademisi semata,

namun juga menciptakan kedirian baru dalam dunia yang selama ini memfanakan

pandangan saya. Di sini lah saya mensyukuri pilihan saya untuk melanjutkan

pembelajaran di dunia yang baru. Di sini saya diarahkan untuk tidak hanya berakting

sebagai peneliti, tetapi juga menyelami segala pengalaman ke-Jepang-an yang tak

sadar selalu ada dalam diri. Bahkan, keberlanjutan penyelaman dunia semiotika justru

menyeret saya masuk ke palung terdalam dunia yang saya geluti selama ini.

Semua ini tidak bisa terlepas dari segala kehadiran dan bantuan. Terima kasih

sebesar-besarnya kepada teman-teman di dunia Jepang-jepangan, Sastra Jepang,

maupun segala komunitas yang mengorbit di sekitarnya – yang tak mungkin disebut

satu per satu – atas segala pengalaman dan penerimaan. Terima kasih juga kepada

keluarga saya sendiri yang selalu memberikan pengertian dan harapan. Terima kasih

kepada teman-teman IRB USD yang selalu tidak pernah berhenti membuat iri dengan

berbagai keanehan pengetahuannya. Terima kasih kepada Romo Banar yang selalu

berusaha mengenalkan saya pada wilayah-wilayah baru yang sebelumnya kabur, dan

juga Pak Nardi yang memancing saya untuk melakukan petualangan intelektual ini.

Kepada dosen-dosen yang lain, Romo Budi, Romo Bas, Mbak Katrin, Pak Pratik, Pak

Tri, dan Mbak Ita, terima kasih atas segala ilmu yang menyempurnakan ini semua.

Kepada orang-orang lain yang selalu ber-sliwer-an di kampus, Mbak Desi, Pak Mul,

Mbak Dita, teman perpus dan workstation, serta semua di KBI dan LB, terima kasih

atas kehangatan sapaan yang selalu mencerahkan. Tak lupa saya ucapkan terima

kasih yang teramat sangat kepada orang-orang yang (pernah) selalu menemani saya

dalam berpetualang dari satu tempat ke tempat yang lain, petualangan untuk

menghindari kebosanan yang sama setiap malam. Terakhir, dan yang paling penting,

terima kasih kepada Tuhan yang serba Maha, karena ke-selow-an-Nya yang selalu

memberikan berbagai pengalaman kekagetan, kesakitan, kebahagiaan, dan

membukakan seribu satu jalan menuju masa depan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

x

DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................................... i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ............................................................. ii

Halaman Pengesahan ............................................................................................ iii

Pernyataan Keaslian Karya ................................................................................... iv

Lembar Persetujuan Karya Ilmiah .......................................................................... v

Abstrak .................................................................................................................. vi

Abstract ................................................................................................................ vii

Halaman Motto.................................................................................................... viii

Kata Pengantar ...................................................................................................... ix

Daftar Isi ................................................................................................................ x

Daftar Figur ........................................................................................................ xiii

Daftar Gambar ................................................................................................... xiii

Daftar Tabel ...................................................................................................... xiii

Daftar Lampiran ................................................................................................ xiii

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Tema Penelitian .................................................................................... 14

1.3 Rumusan Masalah................................................................................. 14

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 15

1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................ 15

1.6 Tinjauan Pustaka................................................................................... 17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

xi

1.6.1 Jepang dan ke-Jepang-an (Japaneseness) yang Dinamis ......... 18

1.6.2 Anime, Manga, Dorama, dan Media yang Memanggil

Pembaca .................................................................................... 20

1.6.3 Kehidupan Komunitas Pecinta Budaya Jepang

di Indonesia............................................................................... 24

1.7 Kerangka Teoritis ................................................................................. 25

1.7.1 Menelusuri Jejak, Membentuk Dunia Baru .............................. 30

1.7.2 Possible World sebagai Strategi Penciptaan Aktualitas ........... 38

1.7.3 Penelusuran dengan Abduksi.................................................... 39

1.8 Metode Penelitian ................................................................................. 44

1.9 Sistematika Penulisan ........................................................................... 45

BAB II. USAHA PENCIPTAAN JEPANG DI INDONESIA ............................ 48

2.1 Orbit Jepang ........................................................................................... 50

2.1.1 Sejarah Film Jepang sebagai Budaya Populer Tandingan ........ 51

2.1.2 Era Televisi dan Reproduksi Ideologis ..................................... 60

2.1.3 Menyiarkan Budaya Populer, Menciptakan Jepang ................. 70

2.1.3.1. Menumpang Amerika .................................................. 73

2.1.3.2. “Membantu” Asia Tenggara ........................................ 76

2.2 Penyiaran ala Jepang: dari Dipaksakan hingga Didambakan .............. 79

2.2.1 Ingatan Terjajah dalam Hiburan ............................................... 80

2.2.2 Kembalinya Jepang ke Indonesia ............................................. 86

2.2.3 Membangun Mimpi dalam Rutinitas Televisi .......................... 71

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

xii

2.3 Kesimpulan: Real-World yang Tak (Akan) Sampai ............................. 98

BAB III. BERKENALAN DENGAN JEPANG BARU ................................... 100

3.1 Menjadi “Jepang” sedari Kecil ........................................................... 101

3.1.1 Berjabat Tangan dengan Jepang ............................................. 105

3.1.2 Kehangatan dalam Keaktifan di Dunia Jepang ....................... 108

3.1.3 Mengidentifikasi dan Terus Menanti ...................................... 112

3.2 (Pe)nilai Film Televisi Jepang ............................................................ 116

3.2.1 Not Impossible World: Teknologi, Kota, dan Sejarah ............ 117

3.2.2 Shinka: Pantang Menyerah, Disiplin, dan Kekerabatan ......... 124

3.3 Kesimpulan: Mereka(?) dan Kita-Indonesia ....................................... 134

BAB IV. MENCARI POSSIBLE-WORLD JEPANG,

MENEMUKAN INDONESIA ........................................................... 136

4.1 Gerbang Masuk pada Film: Mempercayai Jepang yang Mungkin ..... 138

4.2 Hidup sebagai Jepang ......................................................................... 159

4.2.1. Dunia Kepercayaan ................................................................... 176

4.2.2. Dunia Hasrat ............................................................................. 180

4.2.3. Dunia Kewajiban ...................................................................... 182

4.2.4. Tujuan dan Rencana yang Dijalankan Karakter ....................... 184

4.2.5. Mimpi dan Angan milik Karakter ............................................ 187

4.3 Orang Jepang yang Sedang Menyikapi Indonesia .............................. 190

BAB V. PENUTUP .......................................................................................... 216

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 225

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

xiii

Daftar Figur

Figur 1. Trikotomi Peircean ................................................................................. 31

Figur 2. Dynamic Object sebagai penghubung Isi dan Ekspresi .......................... 33

Figur 3. Perbandingan properti Dunia Digimon dan Dunia Jepang ................... 147

Daftar Gambar

Gambar 1. Stasiun Fuji TV dalam anime Digimon Adventure 1

dan dunia aktual ................................................................................. 144

Gambar 2. Kakuranger dan Ninninger dalam kostum ninja .............................. 165

Daftar Tabel

Tabel 1. Data Possible State of Affairs ............................................................... 139

Tabel 2. Data Possible Individual ...................................................................... 160

Tabel 3. Data Possible Course of Events ........................................................... 172

Tabel 4. Data Propositional Attitudes ................................................................ 194

Daftar Lampiran

Lampiran 1. Protokol Wawancara ...................................................................... 231

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada 2012, saya dikagetkan dengan adanya sebuah benda baru yang berdiri di

ujung jalan Malioboro1, tepat berada sebelum perempatan nol kilometer. Benda

tersebut adalah sebuah torii, yaitu gerbang masuk kuil Shinto atau Buddha yang

biasanya merupakan representasi dari kebudayaan Jepang atau China. Bentuk

gerbang seperti ini biasanya saya dapati di depan tempat-tempat ibadah agama

Buddha ataupun di depan daerah pecinan di berbagai tempat, bukan di ujung jalan

umum di pusat kota. Kehadiran torii di tempat yang tidak biasanya tersebut tentu saja

menjadi ketertarikan tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta, sehingga selama satu

bulan gerbang tersebut menjadi objek foto baru yang laris di tengah kepadatan jalan

Malioboro.

Kehadiran benda baru tersebut ternyata merupakan bagian dari rangkaian acara

Jogja Japan Week. Acara ini adalah rangkaian kegiatan yang diadakan setiap dua

1 Jalan Malioboro adalah salah satu jalan utama di Yogyakarta yang seringkali menjadi simbol pariwisata. Orang mengidentikkan Yogyakarta salah satunya melalui keberadaan jalan ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

2

tahun sekali untuk memperingati hubungan sister city2 antara kota Yogyakarta,

Indonesia, dan kota Kyoto, Jepang. Acara ini pertama kali diadakan secara besar-

besaran pada 2010 sebagai peringatan 25 tahun hubungan sister city kedua kota.

Keseluruhan rangkaian acara ini menampilkan berbagai kebudayaan dari Indonesia,

atau Yogyakarta khususnya, dengan berbagai kebudayaan Jepang. Dengan rangkaian

panjang semacam itu, tajuk pertukaran kebudayaan tentu adalah hal yang tepat.

Yang kemudian menggelitik saya lebih lanjut melalui adanya rangkaian acara

tersebut adalah adanya kegiatan street cosplay selama beberapa jam di jalanan

Malioboro. Cosplay merupakan singkatan dari Costume Play yang dalam budaya

Jepang digunakan untuk menggambarkan permainan kostum yang dilakukan untuk

meniru berbagai tokoh fiksi, baik tokoh dalam anime, manga, tokusatsu3, maupun

kreasi fiksi orisinil seseorang yang mengambil ide dari realitas masyarakat seperti

seragam sekolah (seifuku) Jepang. Dalam berbagai acara kebudayaan Jepang, cosplay

biasanya dihadirkan sebagai sebuah kompetisi yang melihat seberapa akurat peniruan

tokoh-tokoh fiksi dilakukan. Penilaian biasanya bisa berangkat dari akurat tidaknya

kostum yang dibuat dan dikenakan, ataupun bisa berangkat dari akurat tidaknya

kepribadian dan gaya tokoh fiksi tersebut dihadirkan oleh cosplayer.4 Selain dalam

2 http://www.pref.kyoto.jp/en/01-04-02.html, diakses pada 25 Mei 2015 3 Anime adalah istilah yang digunakan untuk menyebut film animasi atau kartun Jepang. Kata ini diambil dari pelafalan kata animation dalam bahasa Inggris. Manga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut komik Jepang. Tokusatsu (special-effect) adalah kata yang digunakan untuk menyebut film-film superhero Jepang yang menggunakan efek-efek visual. 4 Istilah yang digunakan untuk menyebut para pelaku cosplay. Pada perkembangannya, istilah ini tidak hanya digunakan untuk menunjuk orang-orang yang sedang melakukan cosplay¸tetapi juga biasa untuk menunjukkan kelompok atau komunitas yang memiliki kesamaan hobi cosplay.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

3

bentuk kompetisi, cosplay juga biasanya dihadirkan dalam bentuk cosplay cabaret,

yaitu bentuk penampilan drama diatas panggung yang dilakukan oleh beberapa orang

dengan menampilkan gambaran cerita tokoh fiksi yang mereka bawa melalui

penggunaan kostumnya.

Konsep street cosplay sendiri merupakan konsep yang sedikit berbeda dengan

konsep dua penampilan cosplay di atas. Ketika dua konsep diatas merujuk pada

penampilan cosplay yang dilakukan diatas panggung tertentu yang berjarak dengan

penontonnya, konsep street cosplay membawa para cosplayer hadir di tengah

penontonnya dan menghapus jarak yang ada antara penampil dan penonton. Kegiatan

dengan konsep seperti ini biasanya menuntut para cosplayer senantiasa membawa

dan menampilkan gaya dan kepribadian dari tokoh fiksi yang mereka tiru selama

waktu yang telah ditentukan (biasanya beberapa jam) dan berinteraksi langsung

dengan orang-orang yang mereka temui di arena (biasanya berupa jalan atau tempat

umum).5 Konsep ini meminta para cosplayer tidak lagi tampil di dalam suatu arena

kegiatan tertutup yang berisi orang-orang dengan pengetahuan akan budaya seperti

itu, tetapi sudah harus menampilkan diri mereka di tengah masyarakat umum yang

tidak semuanya memiliki pemahaman akan budaya tersebut.

Sama seperti kehadiran torii yang diterima di ujung “Malioboro”, hal yang

menarik untuk dilihat dari adanya kegiatan street cosplay tersebut adalah sisi

5 Konsep ini berangkat dari daerah Akihabara di Jepang, yang dikenal sebagai pusat dari komunitas-komunitas hobi di Jepang, termasuk salah satunya adalah komunitas cosplay. Di daerah ini, para cosplayer sudah tidak segan lagi untuk berkostum ataupun bersikap sebagai tokoh fiksi yang mereka representasikan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

4

pengalaman dan alasan para cosplayer tersebut menampilkan dirinya dan yang

kemudian diterima di tengah masyarakat di Malioboro. Entah demi kepentingan

kompetisi itu saja, atau menjadikannya sebagai ajang berekspresi dan pembuktian

personal dan komunitasnya, satu hal yang pasti adalah mereka tidak merasa segan

untuk berpenampilan “berbeda” di tengah masyarakat umum di Malioboro tersebut.

Kata “berbeda” disini bukan dalam arti mereka membedakan diri secara eksklusif

dengan masyarakat lainnya, tetapi lebih menekankan pada berbeda melalui

penghadiran sosok fiksi di tengah realitas sekitarnya.

Hal yang sama dengan fenomena di atas juga saya dapati ketika melihat

karnaval ulang tahun Yogyakarta dalam rangkaian kegiatan Jogja Java Carnival 2010.

Kegiatan karnaval ini berlangsung pada 16 Oktober 2010 di sepanjang jalan

Malioboro dengan diikuti oleh berbagai macam komunitas yang ada di Yogyakarta.

Saat itu, saya mendapati seorang teman yang ikut dalam karnaval dengan

mengenakan kostum tokoh sebuah anime. Dari banyaknya komunitas yang ikut,

karnaval ini memang hanya melibatkan satu komunitas pecinta budaya Jepang, yaitu

komunitas Atsuki J-Freak. Kehadiran satu komunitas pecinta budaya Jepang dalam

karnaval ini kemudian saya lihat sebagai bentuk penerimaan masyarakat Yogyakarta

terhadap komunitas semacam ini. Komunitas-komunitas pecinta budaya Jepang ini

tidak lagi merupakan komunitas yang secara eksklusif terpisah dengan komunitas lain

atau masyarakat pada umumnya di Yogyakarta. Hal ini menandakan, penghadiran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

5

sosok fiksi melalui kegiatan cosplay yang mereka sering lakukan tersebut pun telah

diterima menjadi satu sisi masyarakat.

Penerimaan masyarakat terhadap bentuk ekspresi kelompok pecinta budaya

Jepang ini pun mulai terlihat dengan banyaknya pembahasan mengenai kelompok-

kelompok ini melalui berbagai media, baik majalah maupun media sosial di internet.

Beberapa majalah berskala nasional yang memiliki rubrik khusus untuk

membahasnya adalah Anima, Ultima, Animonstar, dan J-Pop. Bahkan dalam majalah

Animonstar selalu ada rubrik yang membahas para cosplayer bertaraf nasional

maupun internasional. Cosplayer bertaraf nasional maupun internasional yang

dimaksud di sini adalah para cosplayer yang telah berhasil memenangkan berbagai

kompetisi cosplay tingkat nasional dan internasional. Salah satu kompetisi yang

diminati di Indonesia adalah CLAS:H (Cosplay Live Action Show: Hybrid)6, yaitu

sebuah kompetisi cosplay yang diadakan di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan,

dan Bandung. Melalui kerjasamanya dengan Tokyo Game Show, para pemenang dari

kompetisi ini akan diberangkatkan ke Jepang untuk mengikuti ajang cosplay

internasional dalam rangkaian Tokyo Game Show.

Mulai tahun 2015 ini, CLAS:H bekerjasama dengan WCS (World Cosplay

Summit) dalam memberikan fasilitas bagi para pemenangnya, seperti salah satunya

adalah keikutsertaan dalam acara WCS. Melalui acara-acara seperti ini, para

cosplayer tidak lagi menjadikan kegiatan mereka hanya sebagai ajang berekspresi

6 Lihat laman www.clashcosplay.com

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

6

semata. Mereka dapat menjadikan kegiatan mereka itu sebagai ajang pembuktian diri

untuk diakui di mata masyarakat melalui kemenangan di berbagai kompetisi, serta

melalui kesempatan untuk ikut serta di ajang internasionalnya. Bahkan beberapa

nama yang sudah menjuarai berbagai kompetisi internasional pun menjadi semacam

artis tersendiri yang diundang untuk jadi bintang tamu di ajang coslay berbagai

negara lainnya.

Fenomena-fenomena seperti ini biasanya dilandasi oleh dua faktor, yakni faktor

yang berangkat dari diri sendiri maupun faktor dari luar.7 Biasanya faktor internal

yang mendorong mereka berupa motif-motif individu untuk berekspresi, kebutuhan

akan tempat untuk keluar dari kesibukan sehari-hari, ataupun pemenuhan hobi dan

kesenangan pribadi. Faktor eksternal yang menarik orang-orang ini berupa pengaruh

budaya populer Jepang dan terutama peran-peran media massa dalam

menghadirkannya.

Media jelas merupakan faktor kuat pembentuk fenomena ini, dan salah satunya

adalah televisi. Media televisi berkembang pesat pada masa pemerintahan Soeharto,

dan pertama kali dihadirkan pada tahun 1962 dengan hanya satu kanal, yaitu TVRI

(Televisi Republik Indonesia). Pada pertengahan tahun 1970-an, Soeharto membuat

peraturan terkait penyebaran televisi, yaitu untuk mewajibkan adanya minimal satu

televisi di setiap desa. Kebijakan ini menjadi hal penting dalam penghadiran

pengaruh budaya populer Jepang, karena masyarakat Indonesia telah lebih mudah

7 Data-data ini merupakan hasil analisis beberapa penelitian yang masuk dalam tinjauan pustaka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

7

menggapai kehadiran televisi ketika serial Doraemon mulai ditayangkan secara rutin

pada tahun 1990.8

Selain media televisi, satu lagi yang berpengaruh pada perkembangan budaya

populer Jepang di Indonesia adalah perkembangan teknologi informasi. Setiap

penggemar budaya populer Jepang dapat dengan mudah mengakses internet untuk

mengunduh film-film Jepang atau bahkan menontonnya di waktu bersamaan dengan

penayangan film tersebut di televisi Jepang. Bahkan tidak jarang beberapa anggota

komunitas pecinta budaya Jepang memiliki koleksi data film Jepang yang sangat

lengkap dari hasil pengunduhannya ataupun bertukar koleksi dengan teman sesama

penggemar. Beberapa anggota komunitas tersebut bahkan seringkali menghabiskan

waktu setiap harinya berhadapan dengan komputer demi mengunduh segala macam

film Jepang dengan lebih cepat yang hanya berselang satu atau dua jam dari waktu

penayangannya di televisi Jepang. Tidak sedikit juga anggota komunitas yang tidak

hanya bersosialisasi dengan teman sesama penggemar lainnya, tetapi juga aktif dalam

forum-forum media sosial nasional maupun internasional. Kebiasaan-kebiasaan

seperti ini tidak lain merupakan pengaruh dari konsumsi mereka terhadap media-

media yang membawa budaya populer Jepang.

Jika dilihat dari adanya dua jenis faktor (penarik dan pendorong) bagi pecinta

budaya Jepang yang telah disebut di atas, maka dapat dianalogikan bahwa faktor

8 Saya S. Shiraishi. Doraemon Goed Abroad dlm Craig, Timothy (ed). Japan Pop! Inside the World of Japanese Populer Culture. 2000. New York: M.E.Sharpe Inc. Hlm 300

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

8

pendorong tidak bisa muncul ketika tidak ada faktor penariknya, begitu juga

sebaliknya. Hal yang menarik untuk dilihat di sini adalah penawaran yang dilakukan

oleh budaya populer Jepang yang menjadi faktor penarik bagi penerimanya di

Indonesia. Dengan ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari penawaran

di dalam media-media yang membawa budaya Jepang di dalamnya tersebut. Jika

dibandingkan dengan kehadiran internet yang baru mudah dijangkau di akhir tahun

1990-an, maka kehadiran media-media film Jepang di televisi memiliki kedekatan

yang lebih di tengah masyarakat. Hal ini ditambah dengan munculnya televisi-televisi

swasta pada periode 1990-an yang sejak awal berdirinya telah aktif menayangkan

film-film yang diimpor dari Jepang. Film-film Jepang yang dihadirkan televisi

menjadi pintu masuk pengaruh budaya Jepang dalam dinamika penggemar-

penggemar budaya populer Jepang ini.

Tiga jenis film yang sering mendapat tempat intim di tengah penggemar-

penggemar budaya populer Jepang di Indonesia adalah dorama9

, anime, dan

tokusatsu. Masing-masing jenis tersebut jelas akan memberikan penawaran yang

berbeda-beda. Ambil satu contoh yang telah sejak lama diterima di Indonesia, yaitu

Doraemon. Doraemon adalah anime yang memberikan narasi mengenai kehidupan

beberapa anak sekolah dasar di Jepang. Narasi anime ini berputar di sekitar tokoh

Nobita Nobi yang hidup bersama robot kucing dari masa depan bernama Doraemon.

Menurut Saya Shiraishi, anime ini menawarkan banyak hal yang membuatnya dapat

9 Dorama adalah istilah yang digunakan untuk menyebut film-film drama Jepang. Beberapa dorama yang ditayangkan di Indonesia adalah Oshin, Friends, Strawberry on Shortcake.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

9

disukai tidak hanya oleh anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Bagi anak-anak, narasi

yang berputar di sekitar Nobita dapat terlihat sebagai representasi dari kehidupan

anak-anak yang menontonnya. Nobita adalah anak kelas 5 sekolah dasar yang

menghadapi banyak permasalahan, baik dari orang tua, sekolah dan guru-gurunya,

dan juga dari teman-temannya. Doraemon datang sebagai jawaban bagi

permasalahan-permasalahan Nobita melalui alat-alat canggih dalam kantong ajaibnya.

Permasalahan yang dihadapi Nobita merupakan masalah-masalah umum yang juga

dihadapi oleh anak-anak sekolah dasar yang menontonnya, sehingga keseluruhan

narasi dalam anime ini dapat memberikan kesenangan tersendiri bagi anak-anak yang

menontonya. Bagi orang dewasa, kehadiran narasi Doraemon di tengah-tengah

mereka dapat memberikan harapan bagi perkembangan teknologi di dunia nyata.10

Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa anime Doraemon

memberikan penawaran yaitu kesenangan bagi anak-anak dan juga harapan bagi

orang dewasa. Ulasan yang dilakukan Saya Shiraishi tersebut menghadirkan unsur

intrinsik dalam anime Doraemon yang sekiranya dapat menarik penontonnya untuk

terus menikmati dan mengikutinya. Unsur intrinsik merupakan hal umum yang bisa

didapat dari pembacaan terhadap film-teks ketika menyandingkannya dengan

kehadiran pembacanya. Lain halnya jika yang ingin dicari adalah alasan pembaca

untuk menikmati dan mengikuti film-teks, karena alasan pembaca tersebut pasti

merupakan hal personal yang berangkat dari pengalaman hidup sang pembaca di

10 Ibid. Hlm 289-290

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

10

kesehariannya. Jika itu yang ingin dilihat, maka analisis semacam yang dilakukan

Saya Shiraishi pada anime Doraemon berada di wilayah yang lain.

Ada dua alasan kenapa saya menganggap analisis semacam itu kurang dapat

menjawab kegelisahan saya. Pertama, dari sisi pembacanya, penelitian yang ditujukan

untuk mencari alasan ketertarikan pembaca harus dilakukan melalui wawancara yang

mendalam terhadap subjek pembaca. Pembaca yang diwawancara harus diajak untuk

mengeluarkan alasan yang sangat personal dan subjektif, dan hal tersebut harus

dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari yang dialami subjek. Di tahap ini

analisis Doraemon diatas dirasa tidak menggunakan wawancara yang mendalam

untuk mengetahui alasan yang sangat personal dan subjektif dari pembacanya.

Dengan kata lain, ulasan mengenai alasan ketertarikan penonton semacam itu pun

masih terlalu umum, dan merupakan alasan yang mungkin dapat dikeluarkan oleh

orang-orang dari negara mana pun yang menikmati anime tersebut.

Alasan yang kedua adalah film-teks yang diangkat berupa anime yang hanya

diterjemahkan dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Film-teks yang diangkat ini

adalah film yang dibuat oleh orang Jepang, di Jepang, dan otomatis juga awalnya

ditujukan untuk orang Jepang, sehingga di dalamnya pasti terdapat hal-hal yang tidak

relevan dengan konteks kehidupan sehari-hari penonton di luar Jepang. Misalnya saja

bentuk kamar tidur Nobita yang menggunakan futon (tempat tidur gulung), atau

sistem sekolahannya yang mengenakan baju bebas. Hal-hal yang tidak relevan itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

11

terlihat kontras dengan kesimpulan analisis yang mengatakan bahwa kehidupan

Nobita dekat dengan kehidupan anak-anak yang menontonnya.

Supaya tidak hanya terjebak pada penelitian di wilayah ini, penelitian untuk

mengetahui penawaran dalam film televisi yang dapat menarik pembacanya harus

berangkat dari menyandingkan film Jepang tersebut dengan konteks hidup khas dari

subjek pembaca. Ketertarikan pembaca untuk terus menonton dan mengikutinya lebih

lanjut tidak dapat dilihat dari sisi film-teks (faktor eksternal) saja. Penelitian perlu

beranjak pada faktor internal yang menyebabkan pembaca merasa tertarik dan

kemudian mengikuti film tersebut, bahkan sampai melakukan cosplay dengan

kostum-kostum dari tayangan-tayangan film Jepang. Pengaruh dari film dari Jepang

tentu tidak akan diterima begitu saja, bahkan dirayakan melalui berbagai komunitas

dan kegiatan, jika tidak ada dorongan untuk menerima terlebih dahulu.

Seperti telah diulas sebelumnya, dorongan untuk menerima (faktor internal) ini

biasanya disimpulkan berupa motif-motif individu untuk berekspresi, kebutuhan akan

tempat untuk keluar dari kesibukan sehari-hari, ataupun pemenuhan hobi dan

kesenangan pribadi. Kekurangan dari kesimpulan semacam ini terdapat pada

penempatannya di konteks Indonesia yang khas. Penempatan di konteks Indonesia di

sini menjadi penting karena dorongan untuk menerima dan bahkan mereproduksi

melalui kegiatan atau komunitas tidak akan terjadi jika tidak berangkat dari konteks

di mana orang-orang ini hidup. Dalam artian, pertanyaan-pertanyaan yang masih bisa

digali dari kesimpulan semacam itu misalnya: kenapa orang-orang ini memilih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

12

berekspresi dengan cara seperti ini, dan bukan dengan cara yang lain? Kesibukan atau

keseharian seperti apa yang membuat orang-orang ini perlu keluar ke arah bentuk

kegiatan seperti ini? Atau, apa yang menyebabkan mereka hobi dan senang terhadap

budaya populer Jepang ini, dan bukan budaya populer yang lain? Kenapa bentuk

budaya populer ini menarik bagi orang-orang Indonesia ini?

Dari beberapa pertanyaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi

pertanyaan utama sekiranya berupa: apa yang dilihat para konsumen dari negaranya,

Indonesia, yang dapat menyebabkan kehadiran budaya populer Jepang begitu

dirayakan? Pertanyaan ini adalah jenis pertanyaan untuk mencari tahu kondisi

seorang penonton ketika menerima budaya populer Jepang tersebut. Kondisi yang

dicari tersebut tentu saja kondisi personal setiap penerimanya yang hidup dalam

keseharian di konteks Indonesia. Dengan kata lain, kondisi tersebut adalah konteks

Indonesia.

Keinginan saya untuk melakukan penelitian semacam ini juga berangkat dari

rasa penasaran yang timbul dari fenomena perubahan penerimaan Jepang di Indonesia.

Dulu imaji Jepang di benak orang Indonesia merupakan imaji yang cenderung negatif

yang ditimbulkan karena sejarah kolonialisme Jepang di Indonesia dan juga beberapa

peristiwa setelahnya seperti peristiwa Malari. Beberapa tahun terakhir, semenjak

perkembangan media televisi dan teknologi internet, imaji Jepang di benak orang

Indonesia sudah menjadi imaji negara maju yang bisa dijadikan acuan. Bahkan dalam

benak penggemar budaya populer Jepang di Indonesia, imaji Jepang diagung-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

13

agungkan dan dirayakan melalui bentuk-bentuk ekspresi mereka seperti cosplay dan

penerimaan dorama, anime, manga, tokusatsu secara intens dalam keseharian mereka.

Bentuk penerimaan dan perayaan budaya populer ini juga lebih lanjut telah diterima

di tengah masyarakat dan bahkan diakui oleh pemerintah melalui acara-acara bertajuk

kebudayaan Jepang.11

Tujuan ini dapat dicapai dengan wawancara mendalam yang berangkat dari

analisis film-teks yang pembaca anggap mengawali atau membangun kecintaan

mereka terhadap Jepang. Hal ini perlu dilakukan karena pembaca diandaikan sebagai

subjek yang aktif dalam melakukan pemaknaan yang khas pada film Jepang yang dia

hadapi. Dengan membandingkan unsur-unsur film-teks dengan variasi pemaknaan

yang dilakukan pembaca, maka kekhasan pembaca Indonesia dalam memaknai film-

teks bisa didapatkan. Perbedaan penerimaan yang dilakukan oleh pembacanya akan

menjadi data penting untuk melihat alasan mendalam penonton yang terkonteks di

Indonesia, dan lebih jauh juga berguna untuk menganalisis terbentuknya

pembandingan superior-inferior Jepang-Indonesia. Hal ini dapat diartikan bahwa

penelitian ini ditujukan untuk mencari tanda-tanda dari jawaban responden yang

mencerminkan kondisi atau konteks khas Indonesia yang mengawali mereka dalam

melakukan penerimaan.

11 Beberapa acara bertajuk kebudayaan Jepang yang berskala nasional antara lain: festival Ennichisai 2015, Jakarta Japan Matsuri, Popcon Asia 2015, atau Anime Festival Asia: Indonesia 2015 (AFA:ID 2015). Beberapa acara kebudayaan Jepang yang tahun ini diadakan di Yogyakarta antara lain: Okaeri Matsuri 2015 yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa D3 Jepang Universitas Gadjah Mada (Himadije UGM), Jogja-Japan Week 2015 yang diadakan oleh Dinas Pariwisata, ataupun Mangafest 2015 yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jepang Universitas Gadjah Mada (Himaje UGM).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

14

1.2 Tema Penelitian

Tema yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Pembentukan Interpretasi atas

Jepang di Indonesia dalam Konsumsi Budaya Populer Jepang” melalui kajian

terhadap proses pembacaan film-teks Jepang oleh pencinta budaya populer Jepang di

Yogyakarta.

1.3 Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, kegelisahan utama saya adalah mengenai

alasan mengapa interpretasi atas Jepang di Indonesia menimbulkan fenomena seperti

ini? Dengan kata lain, pertanyaan yang mendasarinya adalah: Indonesia seperti apa

yang memberangkatkan adanya kemungkinan terjadinya fenomena seperti ini? Untuk

menjadi panduan terurut dalam analisis dan pencarian konteks Indonesia pada

pembaca film televisi Jepang, saya merumuskan empat pertanyaan yang secara runtut

akan mengarahkan saya pada jawaban pertanyaan di atas:

1. Pengetahuan tentang Jepang apa saja yang beredar pada sejarah Indonesia

yang memungkinkan untuk dibawa pada kegiatan membaca film-teks oleh

pembaca film televisi Jepang?

2. Bagaimana film televisi Jepang yang dihadapi pembaca memungkinkan

adanya kebutuhan akan pengetahuan tertentu untuk dapat dibaca?

3. Bagaimana pembentukan interpretasi atas Jepang tercipta melalui peletakan

pengetahuan pembaca pada teks film?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

15

4. Bagaimana Indonesia disiratkan atau dibayangkan melalui narasi pembaca

setelah mengalami proses pembentukan interpretasi atas Jepang?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mencari konteks

Indonesia tertentu yang memberangkatkan kecintaan pembaca film televisi terhadap

Jepang, yaitu:

1. Menguraikan pengetahuan tentang Jepang yang tersebar di Indonesia yang

memungkinkan menjadi penyebab keintiman pembacaan film televisi Jepang.

2. Menelusuri tanda-tanda dalam film-teks yang memungkinkan adanya

kebutuhan pengetahuan di luar film-teks itu dalam pembacaannya.

3. Mencari interpretasi atas Jepang melalui kedekatan pembaca terhadap film

televisi Jepang.

4. Mencari konteks Indonesia yang senantiasa tersingkirkan dari permukaan

oleh pengetahuan-pengetahuan lain dalam membaca film televisi Jepang.

1.5 Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan arah baru dalam

penelitian efek media bagi penerimanya. Arah baru ini bermanfaat supaya penelitian

mengenai efek media dalam kaitannya dengan penerimanya tidak hanya berhenti

pada pembahasan medianya (intrinsik) saja, ataupun hanya sampai ke relasi politik-

ekonomi yang membuat film tersebut hadir. Penelitian juga harus mempertimbangkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

16

konteks lokal dan kesejarahan personal para penerimanya, sehingga bisa

mendapatkan hasil yang berbeda-beda sesuai dengan konteks lokal tempat penelitian

itu berada. Hanya dengan bentuk itu penelitian mengenai efek media dapat

bermanfaat kepada masyarakat di luar lingkaran akademisnya secara terperinci dan

khusus di suatu wilayah tertentu. Hal ini memberi kontribusi bagi penelitian efek

media selama ini yang memiliki kecenderungan terlalu umum dan kecenderungan

pembuatan kesimpulan yang serupa di mana pun penelitian itu dilakukan.

Di sisi lain, penelitian ini juga bermanfaat bagi perkembangan kajian Jepang di

Indonesia. Manfaat ini didapatkan karena penelitian yang dilakukan selama ini

berkisar di penelitian seputar budaya populer Jepang – baik secara intrinsik maupun

melihat komunitas yang menerimanya dan mereproduksinya. Ataupun penelitian

seputar pembandingan budaya Indonesia dengan budaya Jepang. Bahkan penelitian

secara mendalam suatu budaya Jepang. Penelitian untuk melihat Indonesia melalui

budaya Jepang yang diterima di Indonesia masih minim dilakukan.

Secara praksis, penelitian ini bermanfaat bagi komunitas pecinta budaya Jepang

karena keprihatinan terhadap kecintaan anggota-anggota komunitas ini seringkali

muncul tetapi tidak dapat dibahasakan. Ada dua keprihatinan yang paling sering

muncul, yaitu keprihatinan terhadap Indonesia, dan keprihatinan terhadap kecintaan

yang berlebihan terhadap Jepang. Saya berharap penelitian ini dapat memberi bahasa

baru bagi komunitas-komunitas ini secara spesifik dan seluruh pecinta budaya Jepang

secara umum dalam membahasakan apa yang menjadi keprihatinan mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

17

Di sisi lain, penelitian ini juga bermanfaat bagi masyarakat secara umum

supaya masyarakat dapat lebih kritis dalam menerima dan mengonsumsi pengaruh-

pengaruh budaya populer di tengah keseharian mereka. Di tengah perkembangan

dunia internet, masyarakat dibentuk untuk selalu melakukan kegiatan konsumsi

secara aktif. Dengan adanya penelitian ini, saya berharap konsumen budaya populer

dapat lebih kritis dalam mengkonsumsi budaya-budaya tersebut dalam berbagai

media yang semakin mudah didapatkan. Lebih kritis di sini dalam artian bahwa saya

berharap penelitian ini bermanfaat untuk melihat sejauh apa masyarakat pembaca

budaya populer tersebut menjadi dan merasakan diri mereka sendiri.

1.6 Tinjauan Pustaka

Karena minimnya penelitian yang bertemakan “Pembentukan Interpretasi atas

Jepang di Indonesia pada Konsumen Budaya Populer Jepang”, saya membagi

tinjauan pustaka ini menjadi tiga kategori yang sekiranya merupakan aspek-aspek

pembangun tema tersebut. Tiga kategori ini yaitu: (i) penelitian mengenai negara

Jepang sebagai sebuah konsep yang dinamis dan dapat diinterpretasikan secara

beragam, yang nantinya juga berhubungan dengan meluasnya pengaruh budaya

populer Jepang di berbagai negara yang sekiranya dapat membentuk interpretasi

bervariasi; (ii) penelitian mengenai budaya populer Jepang dari sudut pandang teks

budayanya sebagai duta di luar Jepang, yang nantinya juga berhubungan dengan

bagaimana teks-teks itu diterima dan ditempatkan di tengah komunitas di berbagai

tempat; (iii) penelitian mengenai efek budaya Jepang di Indonesia, dan Yogyakarta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

18

khususnya, yang dilakukan dengan sudut pandang pembentukan komunitas dan

ekspresi kecintaan masyarakat Indonesia terhadap Jepang.

1.6.1 Jepang dan Ke-Jepang-an (Japaneseness) yang Dinamis

Ada dua penelitian mengenai Jepang dan pembangunan ke-Jepang-an

(Nihonjinron12

) yang sesuai untuk diangkat. Yang pertama adalah penelitian Koichi

Iwabuchi yang berjudul Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese

Transnationalism (2002). Penelitian kedua adalah penelitian Marylin Ivy dalam buku

Discourse of the Vanishing: Modernity, Phantasm, Japan (1995).

Iwabuchi banyak menggunakan paradigma poskolonialisme dengan

menghadirkan pembandingan Occident-Orient dan menghadirkan konsep Self-

Orientalism sebagai strategi Jepang dalam membangun ke-Jepang-annya. Ke-Jepang-

an harus di-imajinasi-kan13

oleh Liyan (dengan L besar) dan juga oleh masyarakatnya,

walaupun secara berbeda. Konsep Self-Orientalism ini disebut sebagai cara Jepang

dalam membangun negaranya sendiri, bukan sebagai Occident yang menilai negara

lain, atau sekedar Orient yang dinilai oleh negara lain. Jepang menggunakan

pembayangan yang dilakukan oleh negara lain untuk membentuk negaranya

kemudian menggabungkan (dan terkadang memaksakan) dalam pembayangan

masyarakatnya.

12 Menurut Iwabuchi, Nihonjinron adalah genre sastra/tulisan non-fiksi yang berisi teori-teori mengenai “Japaneseness” yang biasanya dibangun dari oposisi biner antara Jepang dengan Barat (terutama Amerika). 13 Iwabuchi banyak menggunakan konsep Imagined Communities karya Ben Anderson.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

19

Di sisi lain, Ivy lebih banyak menggunakan paradigma psikoanalisa, terutama

kaitannya dengan pembentukan fantasi sebagai cara Jepang membangun ke-Jepang-

annya. Salah satu program pemerintah yang banyak dikritik adalah Kokusaika14

(internasionalisasi), yang menandakan bahwa segala yang berada di dalam Jepang

harus ditransformasikan dengan teratur sesuai keinginan untuk meng-internasional-

kannya (Ivy, 1995: 5). Ivy melihat bahwa program ini, terutama juga masa reproduksi

elektris, menjadi pengaruh penting untuk masuk dan melihat bagaimana aspek-aspek

– seperti cerita rakyat, tradisi dan festival, sampai ke upacara-upacara adat – di

masyarakat Jepang selalu berdinamika di sekitar isu tersebut.

Yang menjadi kesamaan bagi kedua penelitian ini adalah adanya strategi yang

diterapkan Jepang dalam membangun ke-Jepang-annya, baik sewaktu berhadapan

dengan Barat maupun berhadapan dengan rangka waktu paska-perang dan paska-

modern dan segala fenomena globalnya. Keduanya sama-sama menekankan bahwa

strategi semacam ini bukanlah strategi yang secara penuh sadar direncanakan, diatur,

dan dijalankan sebelumnya, tetapi sebagai strategi yang muncul ketika Jepang sudah

diletakkan berhadapan dengan liyannya. Identitas ke-Jepang-an yang dibangun oleh

Jepang merupakan representasi pertemuannya dengan liyannya, dan ini selalu

merupakan hal yang temporer sehingga selalu akan digiatkan terus menerus.

14 Kata ini menjadi penting karena ini yang biasa menjadi sasaran kritik dari peneliti/akademisi seperti Iwabuchi dan Ivy.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

20

Dalam hubungannya dengan penelitian ini, data-data dalam penelitian-

penelitian tersebut dapat memberi posisi yang lebih jelas bagi imaji Jepang yang

didapatkan melalui media film televisi. Hal ini berarti bahwa Jepang yang

disampaikan melalui media televisi adalah Jepang yang juga di-fantasi-kan oleh

masyarakat Jepang sendiri. Sehingga, imajinasi yang dilakukan oleh pecinta budaya

Jepang di Indonesia tidak pernah berupa Jepang secara nyata dan benar, karena

“Jepang” itu sendiri masih terus dikonstruk di negaranya.

1.6.2 Anime, Manga, Dorama, dan Media yang Memanggil Pembaca

Penelitian yang membahas mengenai perkembangan dan pengaruh budaya

popular Jepang sudah banyak dilakukan di berbagai tempat. Beberapa penelitian yang

sekiranya dapat membantu pendekatan peneliti dalam melihat pengaruh budaya

popular Jepang dalam konteks hubungan antar negara, antara lain: Japan Pop! Inside

the World of Japanese Popular Culture (2000) yang dieditori oleh Timothy J. Craig;

Feeling Asian Modernities: Transnational Consumption of Japanese TV Drama

(2004) yang dieditori oleh Koichi Iwabuchi; Hip-Hop Japan: Rap and the Paths of

Cultural Globalization (2006) oleh Ian Condry; In Godzilla‟s Footsteps: Japanese

Pop Cultural Icons on the Global Stage (2006) yang dieditori oleh William M.

Tsutsui dan Michiko Ito; JAPANamerica: How Japanese Pop Culture Has Invaded

U.S (2006) oleh Roland Kelts; Popular Culture, Globalization, and Japan (2006)

yang dieditori oleh Matthew Allen dan Rumi Sakamoto; Japanese Visual Culture:

Exploration in the World of Manga and Anime (2008) yang dieditori oleh Mark W.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

21

MacWiliiams; dan Boys‟ Love Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and Cross-

Cultural Fandom of the Genre (2008) yang dieditori oleh Antonia Levi, Mark

McHarry, dan Dru Pagliassotti. Selain penelitian yang sudah berbentuk buku tersebut,

ada beberapa penelitian lain yang dipublikasikan dalam bentuk esai lepas, antara lain:

POP POWER: Pop Diplomacy for Global Society oleh Luiz Antonio Vidal Perez;

Soft Sell, Hard Cash: Marketing J-Cult in Asia oleh Brian Moeran dari Department of

Intercultural Communication and Management di Copenhagen Business School.

Secara garis besar, penelitian-penelitian ini memiliki kesamaan dalam tujuan,

namun berbeda sudut pandang penelitiannya. Penjelasan yang cukup rapi

disampaikan oleh Iwabuchi dalam Feeling Asian Modernities: Transnational

Consumption of Japanese TV Drama (2005). Dalam buku yang dieditori oleh Koichi

Iwabuchi ini terdapat dua poin yang dijadikan alasan atas kebutuhan adanya

penelitian ini. Pertama, Koichi Iwabuchi melihat bahwa kajian terhadap tayangan

drama di televisi mendapat porsi kurang dibanding dengan kajian budaya populer

yang lain, seperti musik dan film populer. Padahal, appropriasi yang dipaksakan di

berbagai negara tidak hanya terjadi pada bidang musik dan film populer saja, tetapi

juga bidang-bidang yang lain, seperti drama.

Kedua, ia mendapati bahwa kajian terhadap globalisasi budaya (Studies of

Cultural Globalization) pun mulai bias di berbagai tempat, terutama ketika selama ini

porsi terhadap kajian globalisasi budaya terlalu besar dalam melihat barat sebagai

yang global. Dengan adanya dua alasan itu, ia memulai buku ini dengan beberapa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

22

pertanyaan: Apa sifat alami dari kekuatan kultural Jepang dan pengaruhnya di

beberapa tempat, dan juga kenapa secara sejarah selalu dideterminasi secara lebih?

Bagaimana persamaan atau perbedaan kekuatan dan pengaruhnya ini dibanding

dengan “Amerikanisasi” ataupun negara Asia yang kuat juga pengaruh kulturalnya?

Jenis imaji apa, dan juga perasaan kedekatan ataupun keberjarakan seperti apa yang

didapat melalui resepsi drama televisi Jepang? Apakah drama Jepang membangkitkan

semacam imajinasi transnasional dan refleksi diri terhadap kultur dan lingkungan

seseorang?15

Pertanyaan-pertanyaan ini sangat relevan dengan penelitian yang akan

saya lakukan, sehingga secara garis saya memposisikan penelitian ini di tengah

semesta pertanyaan yang juga dilontarkan Koichi Iwabuchi.

Ia merumuskan beberapa hal: pertama, operasi kekuasaan kultur global (global

cultural power) hanya dapat berhasil melalui praktek-praktek lokal (glocalize)

melalui reproduksi kultural atau appropriasi pada tingkat lokal. Praktek seperti ini

memang melemahkan kekuatan kultur yang transnasionalis itu, namun sekaligus

menyebabkannya solid dan kuat di tingkat lokal secara khas. Kedua, salah satu

strategi pemasaran global yang dilakukan Jepang adalah dengan menumpang

kekuatan media Barat (Amerika) untuk mempromosikan, mendistribusikan, maupun

melokalisasikan Jepang di berbagai tempat. Ketiga, Jepang tidak akan berhasil

melakukan strategi ini tanpa adanya kerjasama dan penerimaan yang besar dari media

lokal (media Asia di pasar Asia.) Ketiga rumusan yang dihasilkan Koichi Iwabuchi

15 Iwabuchi, Koichi, ed. 2004. Feeling Asian Modernities: Transnational Consumption of Japanese TV Dramas. Hong Kong: Hong Kong University Press. Hlm. 5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

23

ini lebih menekankan pandangan dari atas ke bawah (top-down) dari sebuah struktur

penyebaran media transnasional, dan terlihat mengesampingkan dinamika yang

terjadi di arus bawah pada pembaca di setiap area nasional tertentu.

Penelitian-penelitian tersebut dapat digunakan dalam penelitian ini untuk

melihat cara pendekatan yang dilakukan berbagai peneliti dalam melihat pengaruh

budaya populer dari sudut pandang negara non-Jepang yang terkena pengaruh budaya

populer Jepang. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan kebanyakan menggunakan

kaca mata budaya populer dalam hubungannya dengan globalisasi dan budaya

transnasional. Penelitian-penelitian ini menjadi penting karena data-data yang

ditampilkan didalamnya dapat membantu untuk menganalisis film-teks yang akan

diangkat dalam penelitian saya. Dalam arti, keluasan wacana yang ditampilkan dalam

penelitian-penelitian ini dapat menjadi data yang penting untuk menjawab rumusan

masalah penelitian ini.

Di sisi lain, seperti yang sudah dikatakan dalam latar belakang di atas, buku-

buku semacam ini cukup kurang dalam membantu peneliti untuk melihat lebih jauh

ke dalam konteks Indonesia yang spesifik. Bahkan beberapa essai di dalam buku-

buku tersebut, seperti essai oleh Saya Shiraishi dalam buku Japan Pop! Inside the

World of Japanese Popular Culture16

dan Yamila Abraham dalam buku Boys‟ Love

Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and Cross Cultural Fandom of the Genre17

,

16 Essai Saya Shiraishi berjudul Doraemon Goes Abroad 17 Essai Yamila Abraham berjudul Boys’ Love Thrives in Conservative Indonesia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

24

yang secara spesifik berlandaskan penelitian di Indonesia dirasa tetap kurang

memadai. Kekurangan tersebut dikarenakan essai tersebut menampilkan hasil yang

masih terlalu umum, dan bukan hasil dari sebuah pendekatan wawancara mendalam

di suatu tempat terkhusus. Oleh karena itu, peneliti merasa penting untuk

menghadirkan beberapa penelitian lain di Indonesia yang menggunakan metode

wawancara terhadap penerima budaya popular Jepang.

1.6.3 Kehidupan Komunitas Pecinta Budaya Jepang di Indonesia

Kehidupan komunitas pecinta budaya Jepang – dan bagaimana mereka

menanggapi budaya Jepang di tengah kehidupan mereka – telah cukup banyak

dilakukan di Indonesia, terutama oleh mahasiswa perguruan tinggi yang memiliki

program studi strata 1 Jepang di dalamnya. Beberapa penelitian para mahasiswa

Indonesia, Yogyakarta secara spesifik, yang menggunakan pendekatan wawancara

terhadap konsumen budaya popular Jepang antara lain: Penerimaan J-Pop di

Kalangan Anak Muda Jogjakarta (2008) oleh Eka Rahayu Kartini; Faktor-faktor

yang Melatarbelakangi Kemunculan Komunitas Pencinta Budaya Populer Jepang di

Yogyakarta (2009) oleh Prima Nur Cahyaningrum; Makna Aktualisasi Diri Para

Cosplayer di Yogyakarta (2011) oleh Nugrah Nur Saraswati; Kehidupan Otaku di

Yogyakarta sebagai Penggemar Produk Budaya Populer Jepang (2011) oleh Firman

Kurniawan; Fenomena Kemunculan Band-band Lokal Bernuansa Jepang di

Yogyakarta (2011) oleh Sri Wulaningsih; Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang:

Studi Kasus Tiga Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang di Yogyakarta (2012) oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

25

Galih Harilaning Perdana; Perkembangan Toko Mainan Anime dan Tokusatsu Jepang

di Yogyakarta (2013) oleh Heru Widiatmoko; dan Japan Adult Video (Studi Kasus 4

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Penggemar JAV) (2013) oleh Muhammad

Naufal Ridha.

Penelitian-penelitian tersebut memiliki kesimpulan yang tidak jauh berbeda,

yaitu adanya faktor internal dan faktor eksternal seperti yang telah dijelaskan di

bagian latar belakang di atas. Penelitian-penelitian ini dirasa masih belum cukup

dalam menganalisis alasan sebenarnya para penggemar Indonesia ini dalam

mereproduksi budaya popular Jepang karena belum melakukan wawancara yang lebih

mendalam. Hasil dalam penelitian-penelitian ini masih bisa dilanjutkan untuk melihat

pengaruh konteks Indonesia secara spesifik yang dapat menyebabkan budaya popular

ini begitu dinikmati dan dirayakan di tengah kehidupan masyarakat terkhusus

Indonesia. Oleh karena itu, data-data hasil wawancara yang sudah diolah dalam

penelitian-penelitian ini bisa menjadi data penting untuk ditindaklanjuti.

1.7 Kerangka Teoritis

Teori utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori

pembentukan interpretasi dalam analisis teks-wicara18

atau Possible World oleh

Umberto Eco dalam bukunya yang berjudul The Role of The Reader: Exploration in

the Semiotics of Texts (1979) dan The Limits of Interpretation (1991). Dalam buku

18 Istilah teks-wicara ini tidak hanya merujuk pada bahasa atau wicara yang dikeluarkan oleh pembicara, tetapi juga merujuk kepada keluasan semesta teks-wicara berupa teks verbal, teks tertulis seperti karya sastra dan iklan, ataupun media visual seperti film dan komik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

26

The Limits of Interpretation (1991) Eco melihat bahwa interpretasi terhadap sebuah

teks-wicara bukanlah tanpa batas, tetapi justru memiliki batasan-batasan tertentu yang

tercipta dari hubungan antara intensi pembicara (intentio auctoris), teks-wicara itu

sendiri (intentio operis), dan juga intensi pembaca (intentio lectoris). Ketika sebuah

teks-wicara sudah diungkapkan oleh pembicaranya – dan juga intensi pembicaranya

sudah terungkap – maka teks-wicara tersebut melayang-melayang di dunia yang

dipenuhi oleh berbagai interpretasi dalam membacanya (Eco, 1991: 2). Teks-wicara

tersebut telah terlepas dari pembicara awalnya, dan juga terutama dari intensi

pembicaranya yang berada pada suatu konteks tertentu. Dengan pandangan seperti ini,

anggapan bahwa sebuah teks-wicara dianggap memiliki satu keutuhan makna orisinil

yang sudah final adalah hal yang utopis.

Ketika sebuah teks-wicara dapat memicu terciptanya keberagaman interpretasi,

maka keberagaman interpretasi tersebut merupakan hal yang berada di antara teks-

wicara dan penerimanya. Dengan kata lain, penerima teks-wicara tersebut merupakan

pihak yang sangat menentukan hadirnya keberagaman interpretasi. Umberto Eco

mengenalkan keberagaman interpretasi tersebut melalui istilah Possible World. Istilah

ini dihadirkan Eco karena Possible World tersebut hanya dapat tercipta ketika

berhadapan dengan Real World di mana penerima teks-wicara itu berada. Jadi, Eco

menganggap bahwa ada dua dunia yang hadir pada kegiatan penerimaan teks-wicara,

yaitu Possible World dan Real World.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

27

Untuk membicarakan dua dunia ini, Eco mengajak untuk melihat keduanya

terlebih dahulu sebagai dunia yang dikonstruk secara kultural. Real World adalah

dunia logika, dunia tempat dua tambah dua sama dengan empat. Dunia ini merupakan

dunia yang diterima secara benar dan salah dari hal-hal semacam ensiklopedia dunia,

majalah-majalah, cerita-cerita sejarah, dan dari berbagai fakta-data yang diterima

setiap orang. Dengan ini, tidak salah jika Eco menyebutnya sebagai dunia yang

dikonstruk secara kultural, karena pengetahuan tentang Real World ini merupakan

pengetahuan yang dibentuk oleh berbagai pengaruh yang ada di setiap orang. Hal ini

menyebabkan Real World tersebut dianggap bukanlah dunia yang satu utuh, karena

pengaruh yang hadir di setiap orang pun bisa berbeda-beda.

Dunia yang kedua adalah Possible World. Eco beberapa kali menyebutnya juga

dengan dunia fiksi.19

Dunia ini adalah dunia yang tercipta ketika orang berhadapan

dengan sebuah teks-wicara. Ketika seseorang berhadapan dengan sebuah teks-wicara,

maka seseorang tersebut akan memiliki keberagaman interpretasi. Eco (1979)

menyatakan bahwa possible-world adalah hasil dari konstruk kultural tertentu.20

Hal

ini yang menyebabkan teks tidak pernah lagi sama ketika diserap oleh pembaca yang

berbeda-beda.21

Akan tetapi, hal ini tidak bermaksud menempatkan Eco pada sisi

yang sama seperti Derrida – dengan dekonstruksinya yang mengadvokasi

ketakstabilan makna pada teks di suatu konstruk kultural tertentu. Dengan membawa

19 Umberto Eco, The Limits of Interpretation (Bloomington: Indiana University Press, 1991), hal. 66 20 Umberto Eco, The Role of The Reader: Exploration in the Semiotics of Text (Bloomington: Indiana University Press, 1979), hal. 221 21 Lihat konsep Small worlds dalam Eco (1991), op.cit. hal. 67

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

28

konsep unlimited semiosis yang dikenalkan Pierce, Eco justru ingin mengatakan

bahwa interpretasi bukanlah tanpa batas (limitless), namun justru memiliki

batasannya yang diatur juga oleh teks. Di sini ia menekankan pentingnya intentio

operis sebagai dasar negosiasi pada wilayah intentio lectoris.22

Sebuah teks yang

mendeskripsikan keadaan atau jalannya suatu peristiwa adalah bentukan strategi

linguistik tertentu yang digunakan sebagai pemantik interpretasi dalam Model

Reader.23

Penggunaan istilah Pembaca (reader) dalam penelitian ini dimaksudkan untuk

memberi arti lebih pada penonton atau penikmat film televisi Jepang yang dihadirkan

di televisi Indonesia. Arti lebih di sini dalam artian bahwa penonton atau penikmat

bukanlah subjek pasif yang hanya begitu saja menikmati pertemuannya, tetapi

menganggap bahwa penonton adalah pembaca tanda-tanda yang disajikan di dalam

teks film. Dengan melihat penonton sebagai pembaca berarti saya menganggap

bahwa pembaca secara aktif melakukan pemaknaan pada tanda-tanda yang ia baca di

dalam teks film. Hal ini juga dibahasakan oleh Eco:

“…to privilege the initiative of the reader does not necessarily mean to

guarantee the infinity of readings. If one privileges the initiative of the reader,

one must also consider the possibility of an active reader who decides to read a

text univocally…” (Eco, 1991: 51)

22 Stephan Collini (.ed), Interpretation and Overinterpretation: Umberto Eco with Richard Rorty, Jonathan Culler, Christine Brooke-Rose (Cambridge: Cambridge University Press, 1992). Hal. 7 - 10 23 Strategi linguistik tersebut dapat berupa (i) kode linguistik tertentu, (ii) gaya bahasa atau penulisan tertentu, atau (iii) rujukan-rujukan khusus tertentu. Lihat Eco (1991), op.cit. hal. 66

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

29

Dalam buku The Role of the Reader (1979), Eco menjelaskan bahwa sebuah

teks-wicara hanya bisa dipahami sesuai dengan bagaimana teks-wicara dibentuk bila

kode-kode yang dibangun dalam teks-wicara tersebut juga dimiliki oleh pembaca.

Dalam pengertian ini, Eco mengatakan bahwa sang pengarang bisa membayangkan

adanya pembaca yang mampu untuk menginterpretasikan ekspresi-ekspresi sesuai

dengan cara sang pengarang menginterpretasikan ekspresi-ekspresi yang ia bangun.

Hanya pembaca yang dimungkinkan (possible reader) yang mampu menciptakan

Possible World dari pertemuannya dengan teks-wicara. Possible Reader ini yang

diistilahkan oleh Eco dengan konsep Model Reader.24

Possible World tidak bisa semena-mena tercipta begitu saja oleh sang penerima

tanpa terpengaruh teks-wicaranya. Possible World tersebut adalah dunia yang

dibangun diatas objek teks-wicara, dan hanya akan muncul ketika penerima sudah

berhadapan dengan sesuatu yang ada di dalam teks-wicara. Sesuatu yang di dalam

teks mengontrol dorongan yang tak terkontrol milik penerima. Sehingga, sesuatu

yang mungkin didapatkan di dalam teks-wicara tersebut pun akan berbeda-beda

tergantung identitas (konteks) penerimanya, dan dorongan penerimanya.25

Untuk memahami lebih dalam teori Possible World, dan juga penerapannya

dalam penelitian ini, ada beberapa konsep yang harus ditempatkan secara analitis dan

terurut. Konsep pertama berangkat dari trikotomi tanda oleh Peirce yang membawa

24 Pembaca yang menjadi syarat dalam pembacaan teks secara khusus, sehingga teks memiliki kemungkinan untuk bisa dibaca sesuai harapan sang pencipta teks ataupun teks itu sendiri. Lihat Eco (1979), op.cit. hal. 7 25 Eco (1991), op.cit. hal. 59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

30

konsep final interpretant dan habit. Konsep kedua adalah Possible World oleh Eco

sendiri, terutama strategi pembentukannya yang terstruktur. Konsep ketiga adalah

konsep abduksi oleh Eco yang akan melatarbelakangi struktur penulisan penelitian ini.

1.7.1 Menelusuri Jejak, Membentuk Dunia Baru

Berbeda dengan Roland Barthes yang menggunakan pemahaman semiotika

Ferdinand de Saussure dalam membagi sistem tanda (sign) menjadi dua aspek

penanda (signifier) dan petanda (signified), Umberto Eco membawa pemahaman

Charles Sanders Peirce atas trikotomi sistem semiotika: tanda (sign, representamen),

object, dan interpretant. Representamen selalu merupakan sesuatu yang bersifat

indrawi yang berfungsi sebagai tanda dari suatu objek. Representamen ini yang

membangkitkan interpretant di benak interpreternya. Interpretant tidak dapat

didefenisikan sebagai sekedar interpretasi atas suatu representamen. Menurut Eco,

interpretant lebih baik diartikan sebagai sebuah representasi dari objek lain yang

dapat mengacu pada objek yang sama.

“…interpretant as another representation which is referred to the same „object‟.

In other words, in order to establish what the interpretant of a sign is, it is

necessary to name it by means of another sign which in turn has another

interpretant to be named by another sign and so on…” (Eco, 1976: 68-69)

Seperti terlihat pada figur. 1, hubungan trikotomi ini menjadi segitiga yang

saling terhubung.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

31

Figur 1. Trikotomi Peircean

Saling keterhubungan ketiga aspek ini yang juga berarti bahwa kemungkinan

untuk pertukaran posisi bisa terjadi. Peirce mengistilahkan pertukaran posisi yang

mungkin tersebut dengan istilah proses Unlimited Semiosis. Representamen

berangkat dari adanya sebuah objek, dan digunakan untuk menandai sebuah objek

dan kemudian didefinisikan melalui adanya interpretant. Representamen ini hadir

pada semesta bahasa, dan didefinisikan menggunakan bahasa yang mengacu pada

objek-objek yang lain. Mengacunya interpretant pada objek-objek lain pada semesta

bahasa yang akhirnya memunculkan representamen yang baru dan otomatis juga

kemudian menghadirkan interpretant lain, dan selalu begitu.

“…a sign is “anything which determines something else (its interpretant) to

refer to an object to which itself refers (its object) in the same way, this

interpretant becoming in turn a sign, and so on ad infinitum…. If the series of

successive interpretants comes to an end, the sign is thereby rendered imperfect,

at least…” (Peirce via Eco, 1991: 35-36)

Konsep ini juga didukung Derrida pada bukunya On Grammatology (1976)

yang mengatakan bahwa:

“…the representamen functions only by giving rise to an interpretant that itself

becomes a sign and so on to infinity…” (Derrida via Eco, 1991: 35)

Menurut Eco, konsep Unlimited Semiosis ini sesuai dengan konsep yang

dilahirkan Derrida kemudian, yaitu Indefinite Deferral, seperti terlihat pada kutipan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

32

di atas. Melalui konsep ini, Derrida menyatakan bahwa setelah sebuah teks

dilepaskan dari intensi subjektif di belakangnya, pembaca teks tidak lagi memiliki

kewajiban atau kemungkinan untuk menaati intensi yang sudah hilang itu. Teks

tersebut tidak lagi memiliki makna satu yang utuh. Penanda tidak pernah hadir

bersama petanda yang satu karena selalu mengalami penundaan, dan itu disebabkan

karena penanda selalu berelasi dengan penanda yang lain.26

Proses semiosis Peirce yang diangkat Eco ini tidak terbatas, dan selalu

digiatkan berputar antara beragam interpretant, yang menjelaskan sesuatu melalui

sesuatu itu sendiri dalam bahasa. Sebuah pohon didefinisikan melalui kata tumbuhan,

dan tumbuhan itu merujuk pada interpretant yang lain, dan terus berlangsung seperti

itu. Namun, hanya ada dua hal yang membuat bahasa ini harus berkonfrontasi (dan

memungkinkan adanya pembatasan) dengan hal diluar bahasa. Pertama adalah index

atau penunjuk. Ketika seorang mengatakan pohon dengan mengarahkan jarinya pada

sebatang pohon di hadapannya, maka proses semiosis terkonfrontasi. Index, menurut

Eco, adalah perujukan pada sesuatu di dunia ekstralinguistik atau ekstrasemiosis.

Kedua adalah adanya Objek Dinamis (Dynamic Object) yang diartikan sebagai

realitas yang sedemikian mungkin diatur untuk menentukan tanda pada

representamen. Kita memproduksi representamen karena kita dipaksa oleh sesuatu

yang diluar lingkaran semiosis (Eco, 1991: 38). Seperti terlihat pada Figur. 2, ketika

setiap Isi (atau Immediate object) dari sebuah ekspresi (atau representamen)

26 Ibid. hal. 33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

33

diinterpretasikan dengan ekspresi lain yang memiliki isi-nya sendiri, maka Unlimited

semiosis pun terjadi. Sesuatu yang membatasi, atau memaksa, hadirnya sebuah

representamen tertentu adalah Objek Dinamis. Yang hadir secara nyata dalam pikiran

kita atau dalam lingkaran semiosis hanyalah Immediate Object yang diinterpretasikan

oleh tanda-tanda yang lain. Objek Dinamis tidak berwujud (dan tidak pernah

berwujud) dan hanya bisa diketahui jejaknya melalui keberadaan Immediate object.

Akan tetapi, kehadiran representament dan juga kehadiran Immediate object (baik di

pikiran atau lainnya) menandakan bahwa Objek Dinamis sudah pernah ada. Pada

Figur. 2 di bawah, Objek Dinamis dapat ditempatkan sebagai garis hitam yang selalu

menghubungkan isi-ekspresi.

Figur. 2 Dynamic Object sebagai pengubung Isi dan Ekspresi

Yang dimaksudkan oleh Peirce melalui istilah objek pada trikotomi tanda

bukanlah objek yang konkret (benda fisik). Objek bukanlah sebuah benda atau bentuk

duniawi, namun berupa aturan, hukum, petunjuk – nampak sebagai deskripsi yang

berisi pengalaman apa pun yang mungkin. Di sini Peirce membagi konsep objek ini

menjadi dua, yaitu immediate object dan dynamic object. Dynamic object dapat

diartikan sebagai objek (realitas) yang menentukan hubungan antara tanda dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

34

representasinya (representament), sedangkan Immediate object adalah objek

sebagaimana tanda itu merepresentasikannya, dan keberadaannya bergantung pada

representasi di dalam tanda.27

Kita memproduksi representasi (representamen) karena

dipaksa oleh sesuatu yang berada di luar lingkaran semiosis. Dynamic object bukan

sesuatu yang berwujud benda dari dunia fisik, namun berupa pikiran (thought), emosi

(emotion), perasaan (feeling), atau kepercayaan (belief).28

Namun, bagaimana sebuah

tanda dapat mengekspresikan Dynamic Object yang ada di Outer World? Jawabannya

dibicarakan oleh Peirce di akhir definisinya yang terkenal pada kata lithium:

“the peculiarity of this definition – or rather the precept that is more

serviceable than a definition – is that it tells you what the word lithium

denotes by prescribing what you are to do in order to gain a perceptual

acquaintance with the object of the word”29

Makna dari sebuah simbol terletak pada aksi-aksi yang bertujuan untuk

menghadirkan efek tertentu. Dengan begitu, usaha untuk memahami sebuah tanda

adalah usaha untuk mempelajari apa yang harus dilakukan demi memproduksi situasi

konkret yang membuat seseorang dapat memiliki pengalaman perseptual atas objek

yang ditunjuk tanda tersebut.30

Pengalaman perseptual pada pertemuan terhadap “hal”

baru selalu diawali dengan kejutan, yang kemudian masuk pada usaha

menerjemahkan “hal” yang ditemui tersebut ke dalam feeling-sign.31

Interpretasi

27 Ibid. hal. 181 28 Eco (1991). op.cit. hal. 38 29 Eco (1979), op.cit. hal. 191 30 Ibid. hal. 192 31 A feeling of surprise, a feeling of strange, an uncanny feeling, or a feeling of shock even, sometimes a feeling of absolute awe. Lihat Valentine Daniel, The Limits of Clture, dalam Dirks, B.Nicholas, In Near

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

35

pertama atas persepsi disebut emotional interpretant. Tahap berikutnya dari proses

interpretasi meliputi dualitas yang terjadi antara usaha penyuntikkan oleh “outer-

world” dan resistensi yang dilakukan oleh “inner-world”, antara aksi dan reaksi,

antara masa lalu – persepsi yang diharapkan – dan masa kini – persepsi aktual yang

membuat frustasi. Dualitas antara usaha masuk dan resistensi ini adalah bentuk dari

energetic interpretant, yaitu efek dari usaha masuknya tanda pada interpreting

agents.32

Energetic interpretant ini tidak membawa tanda, namun hanya berupa efek.

Eco menjelaskan kedua jenis interpretant ini dengan memberi contoh melalui musik.

Emotional interpretant adalah reaksi normal kita atas memukaunya sebuah musik,

dan emotional interpretant ini bisa menciptakan adanya usaha mental ataupun fisik.33

Usaha mental atau fisik semacam ini merupakan energetic interpretant. Energetic

interpretant ini tidak perlu diinterpretasikan, namun justru menghasilkan (melalui

repetisi di kemudian waktu) perubahan habit. Dengan berkali-kali memproduksi

energetic interpretant, dan berulang kali mengimpor konsep/pemaknaan tanda,

sebuah tanda sedikit demi sedikit membentuk habit. Peirce menjelaskan habit ini

dengan mengatakan bahwa habit berupa “a tendency … to behave in similar way

under similar circumstances in the future” dan final interpretant dari sebuah tanda

adalah habit ini.34

Dengan kata lain, setelah berkali-kali terpapar oleh tanda, dan

berulang kali berusaha menginterpretasikannya dengan berbagai cara, cara kita

Ruins, Cultural Theory at the End of the Century (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1998), hal. 86 32 Ibid. 33 Elicit a sort of muscular or mental effort. Lihat Eco (1979), op.cit. hal. 194 34 Ibid. hal. 192

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

36

bersikap di dunia ini pun berubah – baik permanen maupun sementara. Sikap yang

baru ini adalah final interpretant. Eco (1991) menjelaskan habit ini dengan

menekankan pentingnya komunitas sebagai pemberi garansi atas kebenaran dalam

penjelasan Habit. Habit sebagai kecenderungan dalam menyikapi dunia

membutuhkan pengakuan yang transenden supaya penyikapan yang menandakan

adanya Hukum ini dimungkinkan. Kata transenden ini hadir untuk menyatakan

bahwa komunitas dan hukum yang mengatur bukanlah sesuatu yang hadir secara fisik

– hukum dalam arti ini bukanlah hukum yang terucap ataupun hukum yang diatur

secara jelas tertulis. Justru komunitas ini yang keberadaannya membawa hukum,

sebagai sebuah peng-amin-an yang intersubjektif. Pemikiran atau pemahaman yang

membentuk realitas selalu berada dalam lingkaran suatu komunitas yang saling

mengetahui (community of knowers), dan komunitas ini selalu terstruktur dan

didisiplinkan oleh prinsip-prinsip supra-individual.35

Ketiga tahapan ini (emotional –

energetic – final) menunjukkan tahapan immediacy – directness – familiarity pada

proses kognisi sebuah tanda, yaitu urutan dari perasaan (feeling) menjadi kebiasaan

(familiarity).36

Dengan kata lain, negosiasi berulang kali atas aspek-aspek “stranger”

dari inner-world dan beberapa komponen dari outer-world membentuk tanda yang

akhirnya taken-for-granted oleh seseorang dalam sebuah komunitas.

Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana pengalaman meresepsi “hal”

sukses dalam menjadi tanda melalui apropriasi aspek outer-world dalam inner-world.

35 Eco (1991), op.cit. hal. 39-40 36 Valentine Daniel, The Limits of Clture, dalam Dirks (1998), op.cit. hal. 88

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

37

Namun tidak semua pengalaman resepsi mengalami kesuksesan seperti itu. Ada juga

pengalaman resepsi yang berhenti begitu saja pada emotional interpretant. Ada yang

berhasil menerjemahkannya sampai energetic interpretant, namun tetap

menganggapnya sebagai sesuatu “yang asing”, sebuah peristiwa yang tidak bisa

diinterpretasikan, sebuah aksi yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang tidak bisa

dibahasakan. Pada tahap ini, dengan menganggap tanda dan tahapannya adalah

sesuatu yang selalu berevolusi, maka “yang asing” tersebut baru bisa diterjemahkan

menjadi tanda apabila mendapat aspek dari outer-world yang lebih bisa

mengakomodasi pengalaman tersebut. Baru di titik ini, energetic interpretant bisa

menjadi sebuah tanda pada inner-world – dengan menyisakan ikon dari Liyan pada

immediate object.37

Di sini terlihat bahwa outer-world (konteks/habit) berperan

penting dalam menentukan penamaan terhadap objek.

“…Text are the human way to reduce the world to a manageable format, open

to an intersubjective interpretive discourse. Which means that, when symbols

are inserted into a text, there is, perhaps, no way to decide which interpretation

is the “good” one, but is still possible to decide, on the basis of the context,

which one is due, not to an effort of understanding “that” text, but rather to a

hallucinatory response on the part of the addresse…” (Eco, 1991: 21)

Jejak-jejak Peirce, dan juga Derrida, yang memberangkatkan Possible World

Eco ini menjadi penting untuk membangun konsep-konsep yang tepat dalam

melakukan penelitian terhadap pembaca film televisi Jepang di Indonesia ini. Hal ini

dibutuhkan karena Objek Dinamis di pembaca Indonesia, dan Yogyakarta khususnya,

jelas sama beragamnya dengan di Jepang, di mana film-film ini pertama

37 Ibid. hal. 88-89

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

38

diberangkatkan. Untuk melihat ini secara lebih jelas, penelitian ini perlu berangkat

dari penentuan karakter pembaca yang memiliki Objek Dinamis terkhusus pada suatu

komunitas di Indonesia, dan juga komunitas yang meletakkan Habit-nya pada

pembaca.

1.7.2 Possible World sebagai Strategi Penciptaan Aktualitas

Eco membagi proses pembentukan possible-world secara sistematis dalam

empat aspek.38

Pertama (1), possible-world adalah possible state of affair (keadaan

yang mungkin) yang diekspresikan melalui proposisi baik faktual (p) maupun

kontrafaktualnya (-p). Pada bagian ini, keadaan-keadaan yang terdeskripsikan

(tertangkap) dalam dunia di dalam film-teks berusaha dilihat kemungkinan-

kemungkinannya ketika dihadapkan dengan pembaca.

Kedua (2), possible-world mengisahkan kelompok possible individuals yang

membawa propertinya masing-masing. Ketiga (3), properti-properti yang dibawa

individu tersebut terkadang berupa aksi-aksi yang memiliki hukumnya (dunianya)

sendiri, maka possible-world juga merupakan possible course of events (kejadian-

kejadian yang mungkin terjadi). Kedua aspek ini akan dibahas secara bersamaan

dalam satu bagian karena rangkaian kejadian yang terlihat aktual tersebut dijahit oleh

jejaring peristiwa virtual yang hanya terjadi pada pembayangan karakter (individu) –

atau pembayangan dari pembaca. Rangkaian ini bisa disebut juga sebagai system of

38 Eco (1979), op.cit. hal. 219

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

39

possible-worlds. Narasi teks tidak hanya memproyeksikan dunia, tetapi berupa

semesta yang terbangun dari struktur semantik.39

Ryan, dalam artikelnya di tahun

2006, menjelaskan bahwa semesta ini bisa digambarkan dalam dua bagian: pertama,

di tengah dari semesta tekstual tersebut terdapat dunia yang diciptakan se-aktual

mungkin, yang ditentukan oleh pernyataan dari narator (selama naratornya bisa

dipercayai oleh pembaca) – dan dalam kasus ini adalah Jepang; kedua, wilayah-

wilayah (dunia) privat dari individu-individu mengorbit pada keberadaan dunia aktual

tersebut, sehingga bisa diibaratkan sebagai sistem tata surya yang di dalamnya berisi:

(1) Dunia kepercayaan (The world of beliefs); (2) Dunia hasrat (The world of desires);

(3) Dunia kewajiban (The world of obligations); (4) Tujuan dan rencana-rencana yang

dijalankan oleh karakter (The aims and active plans of the characters); dan, (5)

Mimpi dan angan/keinginan milik karakter-karakter (The dreams and whims of the

character).

Aspek yang terakhir (4), karena jalannya peristiwa-peristiwa di dalam film-

teks bukanlah peristiwa yang aktual, maka peristiwa tersebut harus bergantung pada

propositional attitudes (kecenderungan dalam menyikapi) milik seseorang. Dengan

kata lain, possible-world adalah dunia yang diimajinasikan, dipercaya, diharapkan,

dan lain-lain.

1.7.3 Penelusuran dengan Abduksi

39 http://www.univ-paris-diderot.fr/clam/seminaires/RyanEN.htm (diakses pada tanggal 31 Januari 2016)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

40

Pembentukan interpretasi bagi Model Reader diatur oleh pengetahuan yang ia

miliki, baik itu pengetahuan eksternal teks maupun pengetahuan yang didapat dari

semesta teks-teks yang sebelumnya. Jika ini ditempatkan pada paradigma semiosis

Peirce yang sudah dijelaskan di atas, maka interpretasi (dan berarti termasuk

penandaan atau representamen) dibentuk oleh Habit, atau sesuatu yang sudah diamini

oleh komunitas. Dengan kata lain, Objek Dinamis berada di antara pengetahuan

ensiklopedis dan juga Immediate Object yang terlihat pada interpretasi. Objek

Dinamis, yang tadinya disebut transenden ini, menandai sebuah proses pengolahan

pengetahuan ensiklopedis untuk ditempatkan pada teks, pada representamen, dan

menghasilkan interpretasi. Di sini terjadi negosiasi pada sisi pembaca. Dengan kata

lain, intensi dari sebuah teks bisa dilihat melalui hasil yang keluar pada proses

mengira-ira yang dilakukan di sisi pembaca. Proses ini yang oleh Eco disebut dengan

Abduksi, yaitu proses memperkirakan atau memprediksi Hukum (Law) yang dapat

menjelaskan adanya sebuah Hasil (Result). “Kode rahasia” dari sebuah teks adalah

hukum tersebut.40

Untuk menempatkan konsep Abduksi Eco pada penelitian ini, saya berangkat

dari pembentukan konsep Abduksi oleh Peirce. Peirce mengenalkan konsep Abduksi

untuk melengkapi dua konsep yang sudah lebih dikenal sebelumnya, yaitu Induksi

dan Deduksi. Analogi Deduksi dipakai ketika seseorang berhadapan dengan suatu

Kasus (Case) di dalam Hukum yang sudah diakui kebenarannya. Analogi ini

40 Eco (1991), op.cit. hal. 58-59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

41

digunakan untuk mencari Hasil yang jelas dari penghubungan antara Kasus dengan

Hukumnya. Di sisi lain, metode induksi biasa digunakan ketika seseorang mendapati

Hasil yang terus sama dari beberapa kali percobaan Kasus, sehingga seseorang

tersebut dapat menyimpulkan bahwa Kasus tersebut memiliki Hukum yang satu dan

nyata benar. Namun, Peirce melihat bahwa tidak tetapnya jumlah percobaan yang

harus dilakukan dalam metode Induksi untuk bisa mencapai suatu kesimpulan Hukum

menjadi dasar dari adanya bentuk analogi yang lain. Di sini lah analogi Abduksi

dihadirkan oleh Peirce, yaitu analogi yang menyaratkan adanya proses

memperkirakan adanya hubungan antara Hasil dengan suatu Hukum tertentu. Analogi

ini menyaratkan bahwa subjek yang berhadapan dengan suatu Kasus akan

menteorisasikan suatu Hukum tertentu dan mempercayai terlebih dahulu bahwa

Kasus dari Hukum tersebut dapat menyebabkan terjadinya Hasil yang ada di hadapan

matanya. Peirce melihat bahwa analogi ini sebenarnya yang mendasari penalaran

dalam percobaan-percobaan ilmiah yang menggunakan metode induksi, yaitu untuk

mempertaruhkan bahwa Hukum yang sudah diperkirakan oleh subjek adalah benar.

Dengan kata lain, Abduksi adalah bentuk penalaran dalam memperkirakan adanya

sebuah Hukum dari suatu Hasil yang pada awalnya terlihat aneh, sehingga Hasil

tersebut tidak lagi terlihat aneh.

Metode ini sering terlihat pada logika-logika yang dibawa oleh para detektif,

yaitu dengan memperkirakan bahwa suatu Hukum adalah nyata dan benar untuk

menjelaskan adanya suatu Kasus, sehingga tugas para detektif ini adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

42

membuktikan adanya Kasus yang membuat Hukum ini sah menjadi penyebab dari

Hasil yang terpampang. Yang paling kuat terlihat pada analogi Abduksi ini adalah

proses memperkirakan dan mempertaruhkan bahwa Hukum tersebut ada sehingga

pencarian Kasus dari suatu Hasil mulai bisa dikerjakan. Metode memperkirakan atau

memprediksi dengan menculik Hukum dari wilayah tertentu dan mempercayai bahwa

Hukum tersebut benar untuk terjadinya suatu Hasil ini juga biasa dilakukan tokoh

dalam cerita-cerita detektif seperti yang dilakukan Conan Doyle.41

“…but we cannot forget that in English “abduction” also means kidnapping. If

I have strange Result in a field of phenomena not yet studied, I cannot look for

a Rule in that field (if there were and if I did not know it, the phenomenon

would not be strange). I must go and “abduct,” or “borrow,” a Rule from

elsewhere…” (Eco, 1991: 158)

Eco membagi Abduksi ini menjadi tiga tingkatan. Pada tingkat pertama, Hasil

yang dihadapi adalah Hasil yang aneh dan tidak bisa dijelaskan. Namun Hukumnya

sudah ada, baik di arena lain atau bahkan di arena yang sama dengan Hasilnya.

Seseorang hanya perlu untuk mendapatkannya dan membuktikannya sebagai suatu

yang paling mungkin. Pada tingkat kedua, Hukumnya sulit untuk diidentifikasikan.

Hukumnya ada di arena lain, dan seseorang perlu untuk bertaruh bahwa hukum ini

bisa ditarik dan ditempatkan pada fenomena di arena ini. Proses mempertaruhakan

menjadi poin penting pada tingkat ini. Pada tahap ketiga, Hukumnya tidak ada, dan

orang tersebut perlu untuk menciptakannya. Abduksi pada tahap kedua dan ketiga ini

lah yang paling sering terjadi pada fenomena pembentukan interpretasi atas suatu

41 Ibid. hal. 158

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

43

teks-wicara. Ketika melakukan Abduksi, mereka (pembaca) harus bertaruh bahwa

solusi yang ia temukan (Possible World dari hipotesa yang imajinatif) berkorelasi

dengan dunia nyata.42

Dalam artian, solusi (Hukum) yang mereka ciptakan harus

berangkat dari pengetahuan yang diamini kebenarannya (Real World).

Konsep Abduksi ini penting ditempatkan dalam penelitian ini, karena ada tiga

hal yang bisa dilihat melalui kacamatanya. Pertama, Abduksi digunakan untuk

melihat proses pembacaan yang dilakukan oleh para pembaca film televisi Jepang di

Indonesia. Kacamata ini digunakan untuk melihat kesemena-menaan yang dilakukan

pembaca film televisi Jepang di Indonesia dalam menyimpulkan Jepang hanya

melalui paparan media di Indonesia. Pembaca melakukan Abduksi dengan

mempertaruhkan bahwa Jepang yang mereka percayai melalui paparan tersebut

adalah Jepang yang nyata. Di titik ini lah penelitian ini berangkat, karena possible-

world tidak mungkin tercipta tanpa adanya real-world yang sudah begitu saja diamini.

Kedua, Abduksi bisa ditempatkan sebagai arah pada metode penelitian dan

sistematika penulisan dengan mencari terlebih dahulu literatur-literatur historis

mengenai Jepang, Indonesia, dan medianya. Hasil penelusuran ini menjadi usaha

untuk memperkirakan dan mempertaruhkan bahwa ada Hukum yang nantinya akan

menyebabkan Hasil pada fenomena yang diteliti. Hasil penelusuran ini kemudian

dikaitkan pada Hasil nilai-nilai atas Jepang melalui pembacaan film televisi yang

sudah diciptakan oleh pembaca. Dengan demikian, keseluruhan penelitian ini bisa

42 Ibid. hal. 160

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

44

dikatakan menggunakan dasar analogi Abduksi karena membagi struktur penulisan

dengan Hukum di Bab II, Hasil pada Bab III, dan membuktikan bahwa Hukum

tersebut berkorelasi dengan Kasus pada bab analisis dengan metode pembentukan

interpretasi possible-world dan final interpretant.

Ketiga, konsep ini membantu dalam mencari proses pengolahan pengetahuan

yang dimiliki oleh Model Reader sehingga bisa mereka gunakan dalam

menginterpretasikan film-teks. Peminjaman pengetahuan untuk mengisi teks ini yang

nantinya menampilkan kecenderungan (Objek Dinamis) pemilihan pengetahuan

tertentu dalam berhadapan dengan film televisi Jepang. Lebih jauh, peminjaman

pengetahuan ini yang diharapkan membawa saya untuk menemukan pembentukan

interpretasi atas Jepang oleh pembaca film televisi Jepang di indonesia.

1.8 Metode Penelitian

Penelitian ini menerapkan metode Abduksi yang diangkat Eco, sehingga secara

runtut metodenya akan terdiri dari:

1. Metode penelusuran literatur untuk menemukan hukum-hukum yang

mungkin berlaku bagi terjadinya fenomena tersebut.

2. Metode wawancara etnografis pada lima orang anggota komunitas yang

berbeda-beda di Yogya, dan dipilih berdasarkan keaktifan dan perannya di

tengah dunia Jepang-jepangan di Yogyakarta. Wawancara ini dilakukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

45

terutama untuk mencari bentuk penilaian atas film-teks tertentu dan

pembentukannya dalam kesejarahan pembaca.

3. Metode penelusuran literatur atas film-teks Jepang yang diungkap para

narasumber dan menguatkannya dengan analisis terhadap film-teks tersebut.

4. Analisis terhadap bahasa yang diungkap narasumber dan

menyandingkannya dengan hukum, kesejarahan, nilai, dan konteks

Indonesia tertentu. Analisis ini dilakukan untuk menemukan semesta

pengetahuan dan proses pembentukan dunia Jepang baru yang

mempengaruhi bagaimana pembaca melihat realitas.

1.9 Sistematika Penulisan

Dengan menggunakan metode Abduksi yang dibawa oleh Eco (1991), maka

tesis ini akan terdiri dari lima bab. Bab Pertama akan ditempatkan sebagai penjelasan

awal atas hasil (result) sebagai sebuah fenomena. Bab ini berisi Latar Belakang

Masalah, Tema Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Tinjauan Pustaka, Kerangka Teoritis, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua akan ditempatkan sebagai pencarian akan Hukum (Law) yang

mungkin berlaku sebagai dasar dari terjadinya kasus yang diangkat. Bab ini akan

dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah penelusuran perkembangan media Jepang

sejak awal terbentuknya media televisi dan relasi kuasa yang terjadi dalam arena

modernitas. Kedua, penelusuran akan bergerak pada narasi sejarah Indonesia sejak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

46

terinstitusikannya media sebagai sarana propaganda pada masa pendudukan Jepang.

Pada bagian ini juga, kemunculan media televisi dan posisinya di tengah masyarakat

akan menjadi pembahasan utama.

Bab Ketiga akan kembali melihat pada wilayah hasil (result) secara mendalam

dengan menarasikan data yang didapat dari proses wawancara. Bab ini akan dibagi

menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi kesejarahan pembaca film-teks Jepang

yang diwakili 5 orang anggota komunitas Jepang-jepangan di Yogyakarta. Keintiman

mereka dalam membaca teks-film tersebut juga akan dibahas pada bagian pertama ini.

Bagian kedua berisi bentuk-bentuk menilai film-teks, sekaligus juga nilai-nilai Jepang

yang terberi, yang diungkap oleh pembaca.

Bab keempat adalah bab analisis. Bab ini akan dibagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama berisi analisa terhadap aspek possible state of affairs. Bagian kedua

berisi analisa terhadap aspek possible individual dan possible course of events. Kedua

bagian ini akan memberikan kesimpulan atas strategi pembentukan interpretasi atas

Jepang yang biasa dilakukan oleh pembaca yang diwakili narasumber. Bagian ketiga

berisi analisa terhadap kecenderungan dalam menyikapi yang muncul pada narasi

narasumber. Di bagian ini, konteks Indonesia yang berhasil atau tidak berhasil

dibahasakan oleh pembaca akan dianalisa untuk mendapatkan kecenderungan umum.

Bab Kelima merupakan kesimpulan dari penelitian ini. Bab kesimpulan ini

berisi jawaban dari empat rumusan permasalahan yang diangkat, dan menarik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

47

jawaban dari keempatnya untuk menjawab pertanyaan utama penelitian ini. Pada

dasarnya, kesimpulan ini akan berangkat dari jawaban rumusan masalah yang utama,

karena pencarian semua data atau analisis sebelumnya digunakan untuk mencari

jawaban dari topik permasalahan tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

48

BAB II

USAHA PENCIPTAAN JEPANG DI INDONESIA

Sebelum masuk pada penjelasan mengenai bentuk strategi pembaca dalam

meresepsi film-teks Jepang di Yogyakarta, terlebih dahulu harus dijelaskan posisi

film-teks tersebut sebagai film televisi Jepang dalam wacana global. Hal ini

diperlukan karena penelitian ini justru berusaha untuk mencari Jepang yang khas

ciptaan dari masyarakat Indonesia. Film televisi yang mereka tonton memantik

adanya penciptaan “Jepang baru” di benak pembaca. Mereka mengimajinasikan

Jepang sesuai dengan yang mereka bisa. Mereka membangun imaji yang mereka

jadikan representasi dari Jepang yang jauh di sana. Pembangunan intepretasi tersebut

terwujud melalui beberapa jenis usaha: impor model-model kognisi yang

terinternalisasi di benak mereka, mekanisme pemberian referen secara otomatis,

pengalaman dunia nyata, dan pengetahuan budaya, yang termasuk pengetahuan dari

teks-teks lain.43

Jenis-jenis usaha tersebut yang akan menjadi landasan berpikir dalam bagian

ini. Pada bagian pertama, pembahasan mengenai posisi media televisi Jepang

43 Marie-Laure Ryan, Narrative as Virtual Reality: Immersion and Interactivity in Literature and Electronic Media (Baltimore: The John Hopkins University Press, 2001), hal. 91

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

49

dilakukan untuk menemukan apakah impor model kognisi sesuai dengan harapan dari

sang pencipta merupakan sesuatu yang mungkin terjadi di Indonesia – sesuai harapan

sang pencipta (intentio auctoris), atau sejauh apakah itu bergeser. Bagian ini

menjelaskan bagaimana penciptaan media televisi dilakukan, dilemparkannya media

tersebut beserta nilai-nilainya ke seluruh dunia, hingga usaha ekspornya ke Asia

Tenggara, terutama Indonesia, dengan menumpang jalur lain. Proses yang terus

menerus ini menggambarkan bagaimana Jepang berusaha membentuk mekanisme

pemberian referen secara otomatis oleh pembaca yang diharapkan. Pemaksaan ini

sendiri bermasalah bagi masyarakat Jepang, karena teks yang dilemparkan dianggap

tidak merepresentasikan Jepang itu sendiri – seperti yang terlihat pada analisa

beberapa penelitian di tinjauan pustaka.

Bagian kedua akan berisi pembahasan mengenai pembentukan model-model

kognisi (pengetahuan) yang beredar di Indonesia. Pelacakan pembentukan model-

model ini dimulai dari masa kolonialisme, yang menandakan banyaknya impor media

Jepang ke Indonesia untuk propaganda pembangunan imaji mereka. Pelacakan

pembentukan model-model ini dilanjutkan hingga era televisi, terutama saat pembaca

kemudian mulai disodori – tanpa bisa memilih – film-teks Jepang secara rutin melalui

layar kaca.

Kedua bagian ini juga yang kemudian mencerminkan adanya usaha

penyebaran pengalaman dunia nyata, pengalaman budaya, termasuk juga

pengetahuan dari teks-teks lain dalam tiap prosesnya. Tanpa adanya penyebaran itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

50

sebuah wacana tak bisa terbentuk. Sebuah pembentukan “Jepang baru” tak akan

terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk menampilkan kekayaan jaringan

yang membentuk mekanisme pemberian referen secara otomatis dan internalisasi

model kognisi terlebih dahulu sebelum membahas pengalaman dan penyebaran

pengetahuan yang lebih subjektif.

2.1 Orbit Jepang

Pada 1954, hanya 0,3% rumah di Jepang yang memiliki televisi. Pada 1973

angka tersebut melonjak tinggi, lebih dari 88% rumah memiliki setidaknya satu buat

televisi.44

Ini menunjukkan bahwa hanya dalam dua dekade sejak pertama kali

diluncurkan (1953), hampir seluruh penduduk Jepang telah memaknai kehadirannya

di tengah keseharian mereka. Hanya dalam waktu sebentar saja, televisi sudah berada

dalam posisi penting di tengah usaha rekonstruksi sosial dan politik paska perang

dunia, dan tentu saja konstruksi budaya populernya.

Hal ini tidak lepas dari peran kunci televisi untuk mempropagandakan nilai-

nilai, memberikan gambaran keteraturan dan kesatuan masyarakat, serta standarisasi

pada masa paska-perang. Pada masa itu, situasi masyarakat Jepang sedang dilanda

ketidak-teraturan. Lingkungan sosial masyarakat dipenuhi ketakutan dan

keterpecahan. Tiga hal yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah: kekaisaran

(imperialisme) Jepang yang kehilangan kuasanya, kebingungan dengan diterapkannya

44 Shunsuke Tsurumi, A Cultural History of Postwar Japan: 1945-1980 (New York: KPI, 1987), 63 .via Chun, Jayson Makoto. “A Nation of a Hundred Million Idiots”? A Social History of Japanese Television, 1953-1973 (New York: Routledge, 2007), hal.4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

51

banyak budaya baru pada saat Jepang dijajah sekutu (hingga April 1952 – setahun

sebelum hadirnya televisi), dan perkembangan konsumsi budaya massa.45

Dalam hal

ini, televisi berperan penting untuk menyatukan negara kembali dan mempromosikan

ulang adanya konsensus atas kebudayaan.

Peran televisi seperti ini yang menjadi permasalahan bagi beberapa peneliti

Jepang. Ketika membicarakan televisi – ataupun konsumsi budaya massa seperti film

di Jepang, pembicaraan harus masuk pada pengaruh besar Barat sebagai cermin bagi

Jepang. Pengonstruksian identitas nasional Jepang hanya bisa terjadi ketika Jepang

sudah berhadapan dengan Barat sebagai Liyan budayanya. Para peneliti melihat ini

sebagai ambivalensi dari konstruk budaya nasional Jepang. Ambivalensi ini

mengandaikan adanya pertanyaan besar: apakah ada budaya nasional Jepang ketika

budaya nasional tersebut terbentuk hanya melalui negosiasi simbolis dengan

kapitalisme yang didominasi oleh Barat?46

Hal ini juga yang perlu ditanyakan ketika

melihat persebaran budaya populer Jepang ke negara-negara lain, terutama Asia

Timur dan Asia Tenggara yang menjadi pasar terbesarnya.

2.1.1 Sejarah Film Jepang sebagai Budaya Populer Tandingan

Paska restorasi Meiji 1868, Jepang mulai menjalankan program modernisasi

dengan mengimplementasikan sistem-sistem baru di pemerintahan, pertahanan, dan

pendidikan. Terutama di bidang pendidikan, beberapa ranah akademis baru seperti

45 Ibid. hal. 35-51 46 Koichi Iwabuchi, Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese Transnationalism (Durnham: Duke University Press. 2002), hal. 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

52

pengetahuan alam, kedokteran, hukum, maupun seni mulai dikenalkan di dalam

bidang pendidikan formal.47

Kebijakan modernisasi di berbagai bidang ini disponsori

oleh negara melalui slogan “Eastern Ethics, Western Science”,48

yang bermaksud

untuk mempelajari sebanyak-banyaknya pengetahuan Barat namun tetap

mempertahankan etika ke-Timur-an di dalamnya. Ini menandakan banyaknya usaha

penerapan pengetahuan Barat yang telah mereka pelajari selama pengiriman orang-

orang Jepang ke Barat – pada masa Sakoku (penutupan negara) dari 1639 sampai

1854 Jepang mengirimkan banyak orang untuk mempelajari budaya Barat.49

Bidang film sendiri diawali pada masa-masa ini melalui hadirnya prototipe

Kinetoscope50

pada 1896. Teknologi ini hadir tepat pada saat Jepang sedang

mentransformasikan basis ekonomi dan sosialnya menjadi sebuah kekuatan

internasional baru. Pada masa ini, media film menjadi senjata nyata dan juga metafor

bagi kemajuan dan keberhasilan masyarakat Jepang.51

Hal ini seperti terlihat pada

besarnya ketertarikan publik Jepang dalam menyikapi penyiaran perang Rusia-Jepang

47 Walter Edwards, “Japanese Archaeology and Cultural Properties Management: Prewar Ideology and Postwar Legacy,” dalam Robertson, Jennifer (ed,) A Companion to the Anthropology of Japan (Oxford: Blackwell Publishing Ltd, 2005) hal. 36 48 Slogan (touyou no doutoku seiyou no gakugei) ini pertama kali dikenalkan oleh Sakuma Shouzan (1811-1864), seorang pejabat pemerintahan Tokugawa yang mempelajari persenjataan Belanda dan Barat. Kekalahan China pada perang opium di Inggris (1842) menjadi alasan utama baginya untuk menyarankan perlunya pembelajaran terhadap teknologi Barat. Slogan ini juga yang nantinya akan terus dikembangkan hingga periode Showa (1926-1989) melalui slogan “wakon yousai” (Japanese spirit, Western technologies) sejak pra-perang dunia 49 Isolde Standish, A New History of Japanese Cinema: A Century of Narrative Film (New York: Continuum, 2006), hal. 17 50 Kamera Kinetograph dan kotak Kinetoscope pertama didemonstrasikan dan dipatenkan di Amerika pada 1891. 51 Ibid, hal. 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

53

di 1904. Karena penerimaan masif seperti itu, hanya dalam 13 tahun sejak perusahaan

film pertama Jepang – Asakusa Denkikan di Tokyo – didirikan, Jepang memiliki

lebih dari 300 rumah film yang tersebar di berbagai daerah.

Film populer, sebagai produk komersil, kemudian diproduksi dalam sistem

studio yang menekankan efisiensi demi mendapatkan profit sebanyak-banyaknya.

Sebagai hasilnya, terjadi perdebatan antara pihak yang mengamini praktek ekonomis

dengan pihak yang meluhurkan tradisi seni. Perdebatan ini yang kemudian bisa

dilihat dari tiga fase perkembangan industri film yang terjadi sejak perkenalan

pertama kegiatan produksi film (1903) hingga akhir masa pendudukan Amerika 1952.

Fase pertama dilihat dari perubahan sistem benshi (narator dalam film bisu)

dengan hadirnya star-system. Pada masa awal produksi film ini, studio Nikkatsu

(1912) mulai mendominasi munculnya sistem kebintangan untuk menggantikan tren

narator dalam film bisu. Fase ini mengawali tren bintang drama (jidaigeki – periode

drama) di pertengahan 1920-an. Fase kedua bisa dilacak dari akhir 1910-an melalui

munculnya pendekatan intelektual dalam pembuatan film (pure film movement –

jun‟eiga undou.) Fase ini dimanifestasikan oleh studio Shouchiku (1920) melalui

sistem terpusatnya film pada sutradara (director-centered system.) Di bawah sistem

ini, kekuatan sutradara mengalahkan pemain bintang sebagai kunci dari film. Yang

terakhir, fase ketiga menunjukkan rasionalisasi ekonomi industri film Jepang untuk

menyejajarkan sistem mereka pada sistem Barat dan juga masifnya adopsi sistem

Hollywood. Hal ini ditunjukkan oleh Souchiku Kinema Company dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

54

bereksperimen dan mengadaptasi teknik dan teknologi sinematik Barat pada pasar

domestik Jepang. Pada kisaran tahun 1930, studio ini berhasil menciptakan gaya

pembuatan film yang oleh masyarakat dilihat sebagai sebuah konsep modernisme –

kemudian disejajarkan dengan „Americanism‟ – untuk memenuhi permintaan

masyarakat yang berkembang pesat saat itu. Proyek ini bisa dilihat dari pendirian

sekolah aktor, dan juga pengiriman jurnalis ke Hollywood untuk mempelajari teknik

pembuatan film. Bahkan, studio ini kemudian juga akhirnya mendapatkan aktor

Hollywood berkebangsaan Jepang yang besar di Hawaii, Henri Kotani, untuk

menempati posisi sentral dalam berbagai produksi film. Henri Kotani juga yang

akhirnya mengajarkan teknik-teknik dan teknologi Hollywood pada banyak. pekerja

studio Souchiku. Hal ini berlanjut hingga studio Shouchiku dipimpin oleh dua orang

terpelajar yang tertarik dengan sastra Amerika, yaitu Kido Shirou dan Ushihara

Kyouhiko, dan juga pembentukan kelompok belajar film asing yang melibatkan Ozu

Yasujirou. Ketiga fase ini menggambarkan bagaimana awal film sebagai teknologi

modern menjadi medium sosial yang penting bagi wacana modernisme di Jepang. (lih.

Standish, 2006: 34-79.)

Pentingnya film sebagai medium penyampaian wacana – terutama modernitas

– pada masyarakat Jepang membuat pemerintah perlu untuk melakukan kontrol dan

propaganda dengan berbagai cara. Cara pertama adalah produksi “kyouiku eiga”

(education film) pada periode 1920-an, yang kemudian diperkuat dengan regulasi

kementrian dalam negeri pada 1925. Cara kedua adalah dengan memperkuat sensor

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

55

pemerintah, yang terwujud dengan pembuatan Film Law pada 1939.52

Kedua cara ini

menegaskan bagaimana pemerintah Jepang menganggap film sebagai alat penting

bagi pembentukan bangsa. Dua cara ini yang kemudian juga diterapkan lebih jauh

untuk mendukung perhatian pemerintahan terhadap pembentukan imaji internasional

Jepang. Intensi pemerintah ini termanifestasikan melalui dua jalan, yaitu (1)

keinginan untuk mempromosikan film Jepang ke luar negeri sebagai proyek

interkultural pembangunan pemahaman bersama, dan (2) memastikan standar

penyensoran film Jepang sesuai dengan „negara maju‟ lain.

Peraturan yang dibuat oleh pemerintah Jepang ini kemudian ditambah juga

dengan peraturan dari pendudukan Amerika. Ketika pasukan sekutu datang untuk

menduduki Jepang pada 27 Agustus 1945, Jendral MacArthur membentuk

Information Dissemination Section untuk mengontrol media Jepang. Pada 22

September, departemen ini dinamai dengan Civil Information and Education Section

(CIE), dan bertugas untuk menjaga kebebasan beragama, kebebasan beropini atau

berbicara di depan umum, dan kebebasan pers dengan cara menyebarkan prinsip-

prinsip demokrasi melalui berbagai media. Dengan kata lain, CIE mendukung

pengembangan prinsip-prinsip yang sesuai dengan demokrasi Amerika.53

Tantangan

bagi peraturan dan penyensoran yang dilakukan oleh CIE – terutama berkaitan

dengan demokratisasi Jepang – ada pada perbedaan konsep kepatuhan/kesetiaan

52 Ibid, hal. 136 - 144 53 Untuk daftar 10 ‘desirable subject’ yang dikeluarkan CIE dan juga 13 tema film yang dilarang, bisa dilihat dalam Standish (2006), hal 155 - 157

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

56

(loyalty) dan pembalasan dendam (revenge) yang berangkat dari Neo-konfusianisme,

dan konsep aturan hukum yang berangkat dari prinsip dasar baik dan buruk a la Barat.

Perdebatan semacam ini terutama terlihat dari kritik CIE terhadap pementasan

Kabuki yang dinilai terlalu menonjolkan loyalitas dan pembalasan dendam dalam

cerita-ceritanya.

Dengan munculnya peraturan-peraturan film, baik dari pemerintah awalnya

maupun dari pendudukan Amerika, sebuah film hanya bisa dinilai sebagai film

nasional melalui kelekatannya terhadap dunia politik-ekonomi Jepang untuk

membentuk masyarakatnya. Film bukan lagi masalah seni seperti yang masih

dinyatakan pada fase kedua di atas. Film nasional Jepang yang dapat dirasakan

setelahnya merupakan turunan dari sistem film pada fase ketiga, yaitu produksi yang

sudah melibatkan pencerminan terhadap tradisi/sistem Barat. Ditambah dengan segala

peraturan dan penyensoran yang muncul setelahnya, film Jepang semakin tak bisa

melepaskan jati dirinya dari pengaruh Barat.

…In films of the post-defeat decade, the underlying ethos was the desire for a

renewal of society based on the promises of „democracy‟ offered by the

occupation reforms... (Standish, 2006: 175)

Konstruk film untuk masyarakat sesuai dengan sistem politik-ekonomi

pemerintah Jepang yang seperti ini juga yang akan turut mengawali tradisi budaya

tontonan massa dalam televisi.54

Pembentukannya yang tak pernah benar-benar

54 Pada 1 Januari 1946, paska kekalahan Jepang, Kaisar Hirohito menyiarkan Deklarasi Kemanusiaan (Ningen Sengen) yang juga menekankan penggabungan antara monarki dan demokrasi – seperti juga pada Charter Oath 1968 yang ia kutip – yang telah dibicarakan sejak Restorasi. Poin-poin deklarasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

57

mandiri tersebut yang tentu saja masih akan menyiratkan pengaruh simbolik Barat.

Konstruk masyarakat melalui budaya populer semacam ini yang selalu akan menjadi

arena pertarungan antara „yang dianggap Jepang‟ dengan „yang dianggap Amerika‟

seperti yang diungkap pada kritik terhadap Amerikanisme dalam sejarah film di atas.

Era modern Jepang selalu didefinisikan di antara wacana spiritualisme Jepang dan

materialsme Barat.55

Hal ini berkaitan dengan pembangunan narasi film yang berkembang

setelahnya setelahnya. Paska kekalahan Jepang di perang dunia kedua, juga

pendudukan Amerika hingga 1952, dan juga Perang Korea serta politik Perang

Dingin, keberadaan pengaruh Amerika yang kuat di Jepang membuat masyarakat

tidak merasa cocok dengan fantasi happy-ending yang ditawarkan „American Dream‟

dalam konstruk film-film nasional mereka. Dibanding hanya sekedar menawarkan

film dengan penokohan yang „goal-oriented‟ dan „action driven‟, Ozu Yasujiro

menawarkan film dengan bingkai narasi yang penuh berisi introspeksi dan motivasi

psikologis sang tokoh.56

Gaya film seperti ini yang ternyata sangat berpengaruh pada narasi film

sebagai budaya populer Jepang, seperti anime dan tokusatsu. Film-film yang populer

dalam genre ini biasanya mengutamakan penggambaran tokoh utama dalam

introspeksi dan motivasi psikologisnya dibanding dengan peranan tokoh dalam cerita.

Kaisar Hirohito ini dapat dilihat dalam Henshall, Kenneth G., A History of Japan: From Stone Age to Superpower. (New York: Palgrave McMillan, Edisi Kedua 2004) hal. 145-148 55 Ibid, hal. 171 56 Ibid, hal.205

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

58

Hal ini bisa dilihat dari bagaimana tokoh utama supersentai ataupun kamen rider

yang biasanya digambarkan bukan sebagai orang yang pintar atau memiliki kekuatan

lebih, tetapi lebih kepada orang yang memiliki semangat dan membawa nilai-nilai

tertentu dalam perjuangannya. Hal ini menyiratkan pembentukan ke-Jepang-an

(Japaneseness.) Popularitas budaya pop Jepang bukan dari bentuknya semata, tetapi

dari pencarian jati diri dan gerakan psikologis sang tokoh utama.57

Bentuk atau form

hanyalah simbol saja, yang ditangkap adalah pencerminan psikologis tokoh.

Pembentukan gaya narasi film Jepang seperti ini tidak bisa terlepas sebagai

tandingan dari gaya narasi American Dream. Hal ini dilihat oleh Standish (2006)

melalui film epic The Human Condition (Ningen no Jouken) yang dirilis pada 1959-

1961 dan diangkat dari novel enam bagian karya Gomikawa Junpei. Standish

mengatakan bahwa:

“…The very concept of a Rambo-like „goal-oriented hero‟ who takes on a

problem and is victorious is alien to the reality of the worldview depicted in

The Human Condition. To borrow Foucault‟s term, the „technologies‟ of

power at work on the individual are so great that not even the exceptional

strenght, both physical and moral, of Kaji can withstand them. All the

individual can do is acknowledge his complicity as an unwilling vehicle of

these mechanisms and make restitution in death…” (Standish, 2006: 215)

Kekuatan yang terlepas dari kekuatan fisik atau moral seperti yang diungkap

Standish di atas dijelaskan oleh Tadao Sato (1976) dengan memberikan penekanan

57 Contoh yang lebih jelas bisa dilihat juga dari sistem idol-grup Jepang yang menawarkan pengamatan mendetil terhadap perkembangan karir dan kehidupan keseharian – dan tentu saja termasuk di dalamnya perkembangan psikologis – sang idola sehingga penggemar tertarik untuk terus mengikuti dan mendukung. Ini merupakan konsep idola yang diusung AKB48, yaitu idola yang bisa ditemui setiap hari. Keintiman seperti ini juga yang membedakan sistem idola di Jepang dengan star-system di Hollywood. (Iwabuchi (2002), op.cit. hal 100)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

59

pada iji58

sebagai konsep untuk memahami popularitas – dan sebagai motivasi

penciptaan – dari tokoh-tokoh dalam budaya populer Jepang. Ia mendefinisikan

kebanggaan – juga yang dilakukan oleh Ikegami (1995) – dalam konsep kehormatan

(meiyo/honour). Dalam konteks psikososial Jepang paska-perang, Sato berargumen:

„Human beings are living creature who have an impulse to prove their righteousness‟

(Standish, 2006: 284). Impulsi yang ia maksud di sini berkaitan dengan konsep

„hubris‟ (ijippari – obstinacy). Hubris ini yang dianggap Sato sebagai kekuatan

pendorong bagi rantai perkembangan budaya populer Jepang. Ia menjelaskan hubris

seperti yang terlihat di bawah ini:

“…A young child at the time he first distinguishes between good and bad

becomes confused, when by mistake or caprice, he is unfairly corrected by an

adult or an older child. At such a time, the child learns obstinacy and hubris.

Why hubris? As the child cannot explain the situation logically, he has two

possible reactions, the expression of hubris or doing exactly what he is told

and thereby losing his sense of his own subjectivity. Put another way, it is at

this juncture that the ego is awakened…” (Sato, 1986: 50)

Melihat sejarah keberangkatan film Jepang sebelum masuk ke era reproduksi

masal dalam televisi, ada beberapa poin yang bisa diambil sebagai kecenderungan

film-film Jepang yang ternyata masih bertahan hingga saat ini. Pertama, nilai loyalitas

dan pembalasan dendam yang dijadikan tandingan dengan prinsip baik-buruk oleh

Amerika melahirkan ciri khas tertentu – dan ini identik dengan semangat samurai

(bushido) yang sering diungkap oleh pembaca film Jepang. Kedua, pertarungan

antara dua prinsip (Jepang-Amerika) tersebut kemudian melahirkan ciri khas

penokohan dalam sebagian besar film-film Jepang, yaitu ijippari. Secara singkat,

58 kebanggaan, atau pride, disposition, spirit, willpower, obstinacy, backbone, appetite

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

60

Standish (2006) menyimpulkan analisisnya terhadap sejarah film Jepang dengan

mengungkap:

“…the form of cinema, a Western technological invention, and the content,

often derived from ancient storytelling traditions, formed a dialectic out of

which some sort of accommodation was reached between the foreign and the

familiar…” (Standish, 2006: 339)

Poin-poin pada bagian ini penting untuk diangkat karena ciri ini yang akan

didapat dalam pembacaan terhadap interpretasi pembaca film televisi Jepang ketika

membandingkannya dengan film-film di luar Jepang. Pembacaan melalui poin-poin

ini juga yang membuat analisis terhadap resepsi pembaca tidak bisa terlepas dari

kekuatan simbolis Barat bagi Jepang, terutama ketika melihat perkembangan

reproduksi ideologi dalam penyampaian film di media televisi.

2.1.2 Era Televisi dan Reproduksi Ideologi

Kehadiran televisi pada 1953 tidak bisa terlepas dari berakarnya budaya

media yang telah ada sebelumnya: radio. Sejak pertama diluncurkan pada 22 Maret

1925 oleh Tokyo Broadcast Station (JOAK), radio sukses menjadi perlengkapan

rumah tangga yang wajib ada bersanding dengan sarana informasi dan hiburan lain

seperti koran, majalah, dan film. Penerimaan masif masyarakat terhadap sistem

penyiaran radio yang terpusat di beberapa stasiun siaran – hanya bisa menerima

siaran dengan pasif tanpa bisa mengatur kontennya – menjadi fondasi bagi hadirnya

sistem penyiaran televisi hampir 30 tahun kemudian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

61

Hal yang sama seperti pada sejarah film di atas pun terjadi pada sistem

penyiaran radio: monopoli pemerintah. Karena masifnya penerimaan masyarakat, dan

juga anggapan bahwa masyarakat hanya bisa secara pasif menerima begitu saja apa

pun yang disiarkan oleh radio, pemerintah menyatukan tiga stasiun radio yang

berpengaruh menjadi satu korporasi publik yang dikontrol oleh pemerintah dengan

nama Nippon Housou Kyoukai (NHK). Stasiun NHK ini yang menjadi basis dari

jaringan penyiaran radio nasional. Stasiun NHK ini juga yang kemudian menerbitkan

televisi untuk pertama kali.

Penyatuan yang dilakukan pemerintah ini dilakukan dengan anggapan bahwa

tujuan utama dari siaran radio adalah menyebarkan budaya secara nasional yang

sudah disetujui oleh negara. Gubernur Goto Shinpei menjelaskan alasan ini dalam

pidatonya pada upacara peresmian Tokyo Broadcasting Station pada 1925. Empat

poin utama yang ia sampaikan adalah adanya kesempatan untuk kesetaraan kultural,

adanya reformasi hidup di dalam rumah, adanya sosialisasi pendidikan, dan adanya

percepatan pembangunan ekonomi.59

Pemahaman seperti ini menunjukkan bahwa radio memiliki potensi sebagai

alat yang efektif dalam menyatukan bangsa dan menyebarkan budaya standar ke

seluruh Jepang. Radio berpotensi untuk mengonstruk kehidupan di dalam rumah dan

berkontribusi dalam homogenisasi lingkungan masyarakat Jepang yang beragam.

Salah satu bentuk penyatuan perbedaan-perbedaan dalam bangsa melalui radio adalah

59 Chun (2007), op.cit. hal 22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

62

dikenalkan siaran radio Calisthenics60

pada 1928. Dengan mengajak jutaan

masyarakat Jepang untuk berolahraga bersama-sama secara rutin, radio dapat

memberikan rasa nasionalis karena kebersamaannya, dan juga pembiasaan budaya

siaran melalui rutinitasnya.61

Bentuk propaganda melalui rutinitas penyiaran radio seperti ini menjadi

agenda pemerintah dalam menyebarkan budaya modern ke seluruh Jepang. Di sini

ke-ambivalen-an pemerintah pada budaya massa mulai dikritik. Ambivalen itu bisa

terlihat dari anggapan budaya modern oleh pemerintah pada masa itu yang berupa

budaya yang cenderung mengarah pada Barat, seperti musik klasik Barat ataupun

penggunaan bahasa Inggris dalam beragam siaran. Dengan pengontrolan konten

siarannya, budaya radio tidak bisa menjadi ruang budaya alternatif dari masyarakat.

Bentuk budaya modern yang diajukan oleh pemerintah tak bisa keluar dari tiga aspek:

Barat, mendidik, dan berisi informasi.

Agenda propaganda pemerintah untuk menciptakan Jepang yang homogen ini

merupakan fondasi bagi kelahiran televisi di tahun 1953. Apalagi, televisi hadir tepat

di saat pemerintah Jepang merasa bahwa Jepang perlu mulai dari awal lagi dalam

pembangunan bangsanya setelah kekalahan PD II dan juga pendudukan Amerika.

Pemerintah Jepang merasa perlu untuk kembali melihat pada bentuk bangsa Jepang

pra-perang dan juga belajar mengenai televisi lebih banyak dari Barat yang sukses

60 adalah bentuk olahraga ritmis (semacam senam) yang tidak memerlukan bantuan alat apa pun, dan biasanya dilakukan beramai-ramai di tempat umum. 61 Sampai pada musim panas 1933, lebih dari 40 juta orang (mendekati 60% total populasi Jepang) berpartisipasi dalam budaya Calisthenic ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

63

menggunakan sistem siaran terpusat sebagai pembentuk bangsanya62

– terutama

Jerman yang telah memulai budaya televisinya sejak tahun 1935, Inggris sejak 1936,

dan Amerika sejak 1941.63

Dengan kata lain, menyingkap budaya televisi Jepang

sama saja dengan mengungkap usaha pembentukan bangsa Jepang.64

Keterpusatan budaya massa sebagai sarana hiburan yang dikontrol pemerintah

seperti ini bertahan hingga pada pertengahan 1960-an ketika televisi berhasil

menggantikan film (sinema) sebagai bentuk hiburan utama. Studio-studio film yang

sudah banyak berdiri di seluruh Jepang mulai mengalami penurunan produksi dan

satu-per-satu pun terpaksa tutup. Beberapa yang bertahan pun memutuskan untuk

menjadi tandingan dari budaya televisi yang sudah terkontrol pemerintah. Saat itu,

para pembuat film mulai melihat adanya kebebasan untuk tidak lagi membuat film

62 Sejak pertengahan 1930an, beberapa peneliti di bawah NHK dikirimkan ke negara-negara Barat seperti Jerman, Inggris, dan Amerika untuk mempelajari perkembangan televisi. Motivasi penelitian ini besar karena munculnya keputusan pengadaan Olimpiade 1940 di Tokyo, dan NHK ingin bisa menyiarkannya ke seluruh Jepang. Namun, penelitian ini sempat tersendat karena militerisasi Jepang pada perang China (1937), digagalkannya Olimpiade, hingga keterlibatan pada perang dunia II. Beberapa orang yang tetap melanjutkan penelitiannya sempat melakukan percobaan siaran pada 1939 (oleh peneliti terkenal Takayanagi), dan pada tahun 1940 membuat percobaan drama televisi untuk pertama kalinya (berjudul Yugemae, berdurasi 12 menit.) Pada tahun 1951, barulah NHK melakukan penelitian mendetil tentang pengaruh televisi Amerika bagi masyarakatnya. Penelitian ini dilakukan oleh Kamimura Shin’ichi, dan berhasil menyimpulkan poin-poin pembelajaran televisi untuk berbagai bidang dalam laporannya. Isi laporan dapat dilihat dalam Chun (2007) hal. 47-51 63 Menurut Takayanagi, pentingnya televisi membuat negara-negara ini menghabiskan lebih dari 300 juta yen. Inggris dan Amerika mengusahakan formasi industri baru yang bisa mengalahkan radio, terutama karena televisi dapat meningkatkan kesejahteraan dan memberikan kebahagiaan. Lain halnya dengan Jerman, mereka menggunakan televisi sebagai alat propaganda untuk membangkitkan semangat masyarakat. Negara-negara ini berusaha menyempurnakan teknologi sistem televisi sehingga mereka bisa meningkatkan kebanggaan nasional mereka di tengah dunia. Juga, mereka mengharapkan televisi dapat menjadi industri yeng sentral dalam pengembangan pengetahuan, sains, dan dunia komunikasi (Kenjirou Takayanagi, “Naigai Terebijyon no Shinkyou (Great Progress in Domestic and Foreign Television)” Housou, Januari 1939, 21.) Lihat Chun (2007) hal. 31 64 Ibid. hal 7-10.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

64

yang berideologi nasional, atau film bergenre mukokuseki (nationless). Film-film

yang termasuk dalam genre mukokuseki ini biasanya adalah film yang menceritakan

kisah seseorang bernegosiasi dengan lanskap asing walaupun berada dalam Jepang –

tidak lagi berideologi menyamakan Jepang, sehingga bisa menggambarkan dengan

cara yang hanya memiliki sedikit kesamaan dari realitas Jepang.65

Para kritikus film

melihat bahwa bentuk-bentuk film seperti ini baru bisa hadir pada periode 1960-an

juga karena Jepang sedang mengalami regenerasi ekonomi – 1955-1973 hingga

puncaknya pada 1980-1990 dengan meletusnya ekonomi gelembung. Di sisi lain, film

dengan narasi seperti ini menggawali narasi film dengan wacana turistis, di mana

Jepang digambarkan sebagai objek konsumsi yang abstrak dan eksotis.

Film yang awalnya diidentikkan dengan genre mukokuseki ini sebenarnya

bukanlah film yang benar-benar nationless karena kemudian pada pertengahan 1970-

an mulai muncul slogan “Discover Japan”. Slogan ini merupakan bentuk kampanye

Japan National Railway untuk mengajak orang-orang melakukan perjalanan wisata ke

tempat-tempat yang eksotis di Jepang. Melalui slogan ini, Jepang mulai ditampilkan

sebagai komoditas dan meminta masyarakatnya untuk mengonsumsi perjalanan

wisata. Film-film yang bergenre mukokuseki pun dimanfaatkan dalam

65 Aaron Gerow, “Nation, Citizenship, and Cinema,” dalam Jennifer (2005), hal. 411. Contoh yang diberikan Gerow di sini adalah film berjudul Daisougen no Wataridori (The Rambler Rides Again, 1960) yang mengisahkan perjalalan seorang pria dalam menyelamatkan orang-orang Ainu dari kekejaman gangster. Walaupun lanskap yang digambarkan adalah Hokkaido, narasi diciptakan seperti kisah cowboy dan Indian ala Amerika.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

65

mempromosikan ke-eksotis-an Jepang karena seringkali menampilkan imaji/lanskap

yang sudah sulit ditemui dalam realitas homogen ciptaan pemerintah.

Ivy (1995) melihat proyek ini bukanlah usaha mempromosikan ke-eksotis-an

yang terdapat di daerah-daerah tertentu di Jepang. Ivy justru melihat bahwa slogan ini

menyiratkan usaha pembentukan keeksotisan yang sebelumnya tidak ada –

pembentukan imajinasi akan adanya nostalgia berdasarkan hal yang baru diciptakan.

Nostalgia bukan lagi mengenai masa lalu empiris, namun merupakan bentuk

apropriasi „masa lalu‟ melalui konotasi yang diperindah. Oleh karena itu, sarana

komunikasi massa seperti televisi atau film ini menggambarkan adanya nostalgia

terbayang (imagined nostalgia) di mana orang-orang terdorong untuk memediasikan

dunia yang sebenarnya tak pernah hilang, dan diperindah dengan peminjaman

kacamata non-Jepang (borrowed nostalgia.)66

Dalam penelitiannya, Ivy melihat

bagaimana bentuk-bentuk ke-eksotis-an seperti geisha, samurai, kabuki, festival dan

ritual-ritual, bahkan mitos-mitos diformulasikan untuk menjadi objek fetish bagi

masyarakat Jepang sehingga bisa dijadikan komoditas turisme.67

Anggapan Ivy semacam ini semakin terlihat ketika lebih dari sepuluh tahun

kemudian (1984) Japan National Railway merubah slogan kampanyenya menjadi

Ekizochikku Japan (Exotic Japan). Berbeda dengan Discover Japan yang dituliskan

66 Appadurai (1996, 77) dalam Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 174 67 Ivy juga menekankan pada bahasa yang digunakan (discover Japan) yang menggambarkan bahwa subjek yang diminta untuk menemukan Jepang bukanlah orang Jepang, atau bukan orang dari dalam Jepang. Bahkan Ivy menyebut bahwa proyek Discover Japan ini memiliki maksud yang sama dengan Discover Myself: “Discovery is really one’s own self… the self of travel, the discovery of myself, travelling through myself…Discovery Myself (jisukabaa maiserufu)” (Ivy (1995), op.cit, hal. 29-48)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

66

dalam tulisan latin, slogan baru ini dituliskan dalam huruf khusus dalam bahasa

Jepang. Ivy melihat bahwa Ekizochikku Japan yang dituliskan dalam huruf katakana68

menggambarkan Jepang yang sudah diproyeksikan sebagai negara asing – sesuatu

yang datang dari luar. Walaupun penggunaan Japan ini justru menandakan yang

bukan Jepang, penulisan slogan dalam huruf katakana ini tetap menandakan Jepang.

Sehingga, Ivy berargumen bahwa “„Ekizochikku Japan‟ establishes Japan as

elsewhere, as other: the non-Japanese seen through Japanese eyes.”69

Bentuk ideologi melalui slogan-slogan seperti ini memiliki banyak rupa di

berbagai bidang, dan terus berubah sejak 1960-an. Namun, Ivy mengatakan bahwa

motivasi dasar dari pembentukan slogan-slogan seperti itu masih tetap tidak banyak

mengalami perubahan. Nostalgia akan sesuatu yang “Jepang” selalu menjadi

pendorong bagi berbagai bidang.70

Nostalgia seperti ini juga yang mendorong

munculnya genre film mukokuseki di atas, di mana orang-orang film mulai merasa

mendapat kebebasan untuk bisa memasarkan sesuatu yang tak lagi didikte oleh

pemerintah. Dengan kata lain, ideologi dominan di Jepang tetap bergantung pada

politik nostalgia yang sejalan dengan kebijakan-kebijakan kapitalis – dan oleh karena

itu tak bisa terlepas dari pengaruh kapital Barat.

68 Katakana adalah huruf Jepang yang digunakan khusus untuk menuliskan kata-kata serapan bahasa asing – seperti banana (pisang), basu (bis), hoteru (hotel) – maupun nama-nama asing seperti nama orang atau nama perusahaan. Dalam bahasa Jepang sendiri, kata ‘Jepang’ adalah Nihon. Penggunaan kata Japan dalam Ekizochikku Japan berarti menempatkan Jepang sesuai dengan yang disebut di mata internasional: Japan. 69 Ibid, hal. 50 70 Ibid, hal. 65

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

67

Perkembangan ideologi-ideologi seperti ini juga yang akan mengikuti

terjadinya Japan Boom mulai tahun 1980-an di Barat dan Asia – yang kemudian

terulang kembali pada tahun 1990-an. Generasi muda di Jepang menerapkan ideologi

nostalgia dengan cara yang berbeda dari nostalgia generasi lama yang merasakan

Jepang pra-perang. Generasi muda di Jepang ini mengembangkan genre mukokuseki

lebih jauh melalui pembacaan terhadap popularitas wacana Nihonjinron

(Japaneseness – ke-Jepang-an) pada awal 1980.71

Wacana Nihonjinron yang

dikembangkan sejak paska-perang – sejalan dengan munculnya slogan-slogan ke-

eksotis-an Jepang di atas – adalah usaha mendeskripsikan keunikan budaya Jepang.

Wacana ini berusaha menjelaskan aspek-aspek khas dari kehidupan masyarakat

Jepang dan budaya Jepang dalam bingkai esensialis. Dalam wacana ini, budaya

tradisional Jepang digambarkan bukan lagi secara fisik semata, tetapi sebagai budaya

yang bernilai khusus dan unik dari Jepang, serta menyiratkan usaha penggambaran

Jepang yang homogen.72

Secara tidak langsung, wacana ini sedikit demi sedikit

menghapus heterogenitas Jepang yang ada di sudut-sudut bangsanya, dan memulai

pembangunan budaya Jepang yang memiliki nilai universal.73

71 Yumiko Iida, Rethinking Identity in Modern Japan: Nationalism as Aesthetic (London: Routledge, 2002), hal.166-168. Pembahasan mengenai Nihonjinron terutama bisa dilihat pada bab 5 – Back to Identity: ‘Postmodern’, Nihonjinron, and the Desire of the Other (hal. 164-208) 72 Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 6-7 73 Homogenisasi ini juga yang banyak menuai kritikan karena menggambarkan usaha penafian terhadap budaya-budaya heterogen yang ada di Jepang, seperti budaya orang-orang Okinawa, orang-orang keturunan Korea, orang-orang keturunan kasta Burakumin (kasta rendah pada masa sebelum Meiji), dan lingkaran-lingkaran lain yang dianggap “bukan-Jepang”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

68

Di sini terlihat bagaimana peran genre mukokuseki (1960-an), slogan-slogan

seperti Discover Japan (1970-an) dan Ekuzochikku Japan (1984), serta wacana

Nihonjinron (1960-1980) yang digunakan untuk membangun sebuah bangsa yang

bisa diimajinasikan bersama-sama – komunitas terbayang – menciptakan ke-

universal-an produk budaya Jepang. Berbagai reproduksi ideologi ini hadir dalam

reproduksi media film di dalam televisi. Peran ideologi ini yang kemudian

bernegosiasi dengan perkembangan film paska perang yang juga mengembangkan ke-

Jepang-annya, yaitu narasi yang berputar pada perkembangan psikologis tokoh dan

juga konsep ijippari (1960-1970) seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Justru karena mukokuseki ini yang menyiratkan ke-universal-an produk

budaya Jepang, produk budaya ini bisa diterima dengan masif di negara-negara lain.

Iwabuchi (2002) menyebut produk seperti ini dengan produk cultural odorless – tidak

memiliki aroma budaya – sehingga justru bisa diterima di berbagai budaya lain.

Produk budaya seperti anime justru diterima ketika tidak ada lagi tanda-tanda Jepang

secara fisik di dalamnya.74

Produk budaya ini diterima ketika tidak lagi menampilkan

Jepang secara fisik, tetapi masih tetap bisa dinamai sebagai “Jepang” karena

negosiasi di dalamnya.

Perkembangan televisi – dan terutama kontennya – tidak pernah bisa terlepas

dari segala proses reproduksi ideologis yang terjadi di sekitarnya tersebut. Melalui

proses reproduksi ideologis yang terjadi terus menerus ini, media televisi Jepang

74 ibid. hal. 33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

69

menampilkan kekuatan mediasi terhadap segala pengaruh yang masuk dari Barat.

Perkembangan konten televisi menjadi kacamata untuk melihat perkembangan

masyarakat Jepang sesuai dengan reproduksi ideologis yang terjadi secara kronologis

tersebut. Mediasi yang dilakukan televisi ini juga terbukti dari bagaimana budaya

media televisi diterima dengan sangat besar di Jepang. Pada 1965, masyarakat Jepang

menghabiskan waktu paling banyak di depan televisi dibandingkan dengan makan,

melakukan hobinya, ataupun berinteraksi dengan orang lain. Hanya tidur dan bekerja

lah kegiatan yang menghabiskan waktu lebih banyak dibanding menonton televisi.

Hasil survey yang sama pun terlihat kembali 30 tahun kemudian (1995).75

Perkembangan televisi dan reproduksi ideologis yang berdasarkan

pencerminan terhadap Barat – baik kritik, acuan, maupun anti-Barat – menunjukkan

besarnya kekuatan simbolis Amerika yang berakar dan diterima di Jepang. Jepang

mengambil budaya media Amerika, dan menginovasikan ulang budaya tersebut untuk

memberikan pemahaman akan aktivitas santai (leisure) dan pengkonsumsian di

wilayah privat (domestik) kehidupan masing-masing orang di Jepang. Komoditi

seperti radio, mobil, alat-alat elektronik, atau barang-barang budaya populer, menjadi

elemen simbolis dari Amerikanisme di Jepang (e.g. Gordon, 1993; Ivy, 1995;

Iwabuchi, 2002; Chun, 2007) Usaha seperti ini sejalan dengan analisis Perdana

Menteri Yoshida Shigeru terhadap isi perjanjian Amerika – Jepang pada tahun 1951:

75 Chun (2007), op.cit, hal.4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

70

“Just as the United States was once colony of Great Britain but is now the

stronger of the two, if Japan becomes a colony of the United States it will

eventually become the stronger.”76

Perkataan yang diungkap oleh PM Yoshida Shigeru tersebut menunjukkan

usaha Jepang yang harus menumpang pada Amerika untuk membangun negaranya.

Jepang juga harus memanfaatkan jaringan dan budaya yang sudah dibangun oleh

Amerika Serikat untuk masuk ke berbagai negara. Jepang membangun basis identitas

mereka – yang terlepas dari Amerika – ketika sudah menempati posisi di negara-

negara tersebut. Melalui alur seperti inilah proyek pembangunan imaji “Jepang” di

hadapan negara-negara lain (terutama Asia) dapat diciptakan.

2.1.3 Menyiarkan Budaya Populer, Menciptakan Jepang

“…Hello Kitty is Western, so she will sell in Japan. She is Japanese, so she

will sell in the West…” (McGray, 2002: 50)

Kutipan ini terdapat dalam artikel berjudul Japan‟s Gross National Cool oleh

Douglas McGray (2002). Ia mengenalkan istilah Gross National Cool (GNC) yang

merupakan permainan kata dari Gross National Product (GNP) Jepang yang menurun

paska meletusnya ekonomi gelembung. Ia berargumen bahwa Jepang sudah memiliki

tradisi untuk menggabungkan berbagai elemen dari berbagai budaya negara lain

menjadi satu keutuhan yang hampir koheren.77

Dari contoh pemahaman terhadap

Hello Kitty di atas – dan juga berlaku bagi semua budaya populer Jepang yang

76 Brian Reading, Japan: The Coming Collapse (New York: Harpercollins, 1992) hal.1 via Iriye, Akira dan Wampler, Robert A (ed). Partnership: The United States and Japan 1951-2001. (Tokyo: Kodansha International .Ltd, 2001), hal. 240 77 Douglas McGray, Japan’s Gross National Cool, dalam Foreign Policy (Mei/Juni 2002), hal. 44-54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

71

diekspor ke luar negeri – budaya populer Jepang dapat dicintai karena produk-

produknya tidak menampilkan suatu tradisi kultural autentik tertentu. Pemahaman

akan Japanese Cool yang dimiliki oleh produk budaya populer Jepang seperti ini pun

juga diamini oleh media-media arus utama di berbagai negara lain.78

Konsep Cool Japan ini diakui oleh pemerintah Jepang pada 2005 dalam

konferensi pers Kementrian Luar Negeri. Barulah pada 2010, secara resmi

Kementrian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) mengadopsi konsep ini dan

membentuk proyek-proyek untuk memajukan industri kreatif dibawah bendera Cool

Japan. Kementrian ini mengalokasikan banyak dana untuk kegiatan-kegiatan Cool

Japan, termasuk mendanai kegiatan di delapan negara pada tahun 2011.79

Sampai

pada tahun 2013, METI menginisiasi pembentukan Cool Japan Fund, Inc. untuk

mengurusi proyek-proyek promosi budaya populer Jepang di luar negeri. Bahkan,

METI berencana mendirikan kanal televisi kabel berjudul Japan Channel yang secara

khusus akan disiarkan di Asia Tenggara.80

Pendirian kanal televisi ini juga belajar

dari program NHK yang sejak 2009 telah menciptakan program televisi Cool Japan:

78 Contohnya adalah adanya artikel berjudul “Cool Japan: le Japon superpuissance de la pop” dalam Le Monde (18 Desember 2003), dan “Japan’s Empire of Cool” dalam Washington Post (27 Desember 2003) 79 Japan Times (15 Mei 2012), diakses dalam http://www.japantimes.co.jp/news/2012/05/15/reference/exporting-culture-via-cool-japan/#.V2p5hBKvhsV 80 Japan Times (9 Januari 2014), diakses dalam http://www.japantimes.co.jp/culture/2014/01/09/general/will-cool-japan-finally-heat-up-in-2014/#.V2p5khKvhsV

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

72

Kakkoi Nippon yang berisi pengalaman orang – diwakili oleh orang asing dan orang

Jepang – dalam mengungkap budaya-budaya Jepang.81

Departemen Penelitian Ekonomi Japan External Trade Organization

(JETRO) melabeli fenomena Cool Japan ini dengan “Gelombang Ketiga Japonisme”.

Gelombang pertama adalah ketika bentuk lukisan Ukiyo-e dan pakaian Kimono

muncul dalam pameran di Paris akhir 1867. Gelombang kedua terjadi pada 1950-an

hingga 1960-an, mengawali popularitas produk budaya Jepang seperti film-film Akira

Kurosawa. Namun gelombang ketiga yang terjadi sejak tahun 1990-an ini berbeda

karena efeknya yang sangat luas di berbagai negara.82

Hal ini dianalisis oleh JETRO

melalui meningkatnya ekonomi negara Asia lain yang menjadi pesaing Amerika

sebagai tujuan ekspor terbesar. Negara-negara Asia seperti China, Hong Kong,

Taiwan, dan juga empat negara ASEAN (The ASEAN Four) – yaitu Indonesia,

Malaysia, Filipina, dan Thailand – mendominasi angka ekspor Jepang. Hal ini terjadi

karena investasi langsung – terutama di bidang industri – yang selama ini telah

dilakukan Jepang di negara-negara tersebut membuat mereka dengan mudahnya

mengekspor berbagai produk.83

81 Acara ini banyak menghadirkan orang asing yang berbicara dalam bahasa Jepang dan menikmati budaya-budaya Jepang. Judul “Kakkoi Nippon” pun mengalami permasalahan ketika dikritik dengan cara Ivy (1995). Di satu sisi, Kakkoi merupakan bahasa Jepang dari cool dan ditulis dalam huruf hiragana seperti biasanya. Di sisi lain, nama Jepang menggunakan kata Nippon yang merupakan bentuk lama (era Meiji) dari Nihon, dan justru dituliskan dengan huruf katakana yang biasa digunakan untuk bahasa asing. 82 JETRO, “Cool” Japan’s Economy Warms Up (Maret 2005), hal. 7-8 83 Ibid, hal. 13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

73

Pada poin ini, dapat disimpulkan terlebih dahulu dua jalan yang penting bagi

Jepang dalam menyebarkan budaya populer mereka. Jalan pertama adalah

pemanfaatan Jepang terhadap kekuatan simbolik Amerika. Hal ini terjadi melalui

penempatan budaya Amerika dalam budaya Jepang, dan juga sebaliknya. Jalan kedua

adalah dukungan ekonomi Jepang terhadap negara-negara di Asia, terutama Asia

Timur dan Asia Tenggara.

2.1.3.1 Menumpang Amerika

Aspek pertama terlihat dari bagaimana Jepang berusaha menumpang Amerika.

Setelah Jepang diakui sebagai negara yang berhasil meningkatkan ekonomi dan

teknologinya dengan pesat (economic miracle yang terjadi pada 1970-1980), Amerika

banyak melakukan pembelajaran terhadap Jepang. Hal ini terlihat dari mulai

munculnya banyak institusi pendidikan yang membuka bidang studi spesifik terhadap

Jepang. Di sisi lain, orang-orang Jepang juga banyak berpindah ke Amerika untuk

melanjutkan studi maupun bekerja. Pertukaran semacam ini merupakan aspek penting

bagi pembangunan imaji Jepang di Amerika.84

Pembukaan jalan oleh Amerika ini sejalan dengan prinsip internasionalisasi

(kokusaika) yang dijalankan oleh Jepang. Jepang tidak menyia-nyiakan kesempatan

84 Untuk grafik dan prosentasi pertukaran di bidang pendidikan ini bisa dilihat dalam Watanabe Yasushi, dan David L. McConnel (ed.) Soft Power Superpowers: Cultural and National Assets of Japan and the United States, (New York: M.E.Sharpe, 2008), hal 75-96. Untuk tabel grafik jumlah pembelajar bahasa Jepang di luar negeri dapat dilihat pada halaman 148.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

74

ekonomi yang diberikan oleh Amerika tersebut.85

Mereka menggunakan

internasionalisasi sebagai senjata untuk menyebarkan Jepang ke dunia – terutama

keinginan mereka untuk menjelaskan mengapa Jepang berbeda (dan lebih baik)

dibanding negara lain.86

Usaha Jepang untuk menyebarkan pengaruhnya juga diwujudkan melalui

keinginan Jepang untuk tidak hanya menguasai pasar perangkat keras tetapi juga

perangkat lunak produk budaya populer di dunia. Hal ini terlihat dari dua pembelian

besar perusahaan Jepang di Amerika. Sony membeli Columbia Picture pada 1989 dan

Matsushita membeli MCA (Universal) pada 1990. Beberapa perusahaan Jepang lain

juga melakukan jalan yang sama dengan melakukan investasi besar pada perusahaan

Amerika, seperti Sumitomo kepada CTI, dan Itochu kepada Time Warner.87

Strategi

untuk membangun korporasi media global seperti ini dibicarakan oleh Morley dan

Robin (1995) dengan tiga sistem: (1) menciptakan produk-produk budaya, (2)

mendistribusikan produk-produk, dan (3) menguasai perangkat keras untuk

menyebarkan produk-produk itu.88

Dari pembagian strategi ini jelas terlihat bahwa

Jepang telah lebih dahulu diakui dalam penguasaan perangkat keras. Pembelian dan

investasi terhadap perusahaan-perusahaan besar Amerika menjadi tahapan untuk

menguasai pendistribusian produk-produk budaya mereka. Dengan dua tahapan yang

85 Henshall (2004), op.cit. hal. 156 86 Ibid. hal.171 87 Iwabuchi (2002), op.cit. hal 29-37 88 David Morley dan Kevin Robins, Spaces of Identities: Global Media, Electronic Landscapes, and Cultural Boundaries. (London: Routledge, 1995) hal. 13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

75

bisa dijalankan terlebih dahulu, peningkatan popularitas produk budaya populer

Jepang pun bisa tercipta.

Peningkatan ini bisa dilihat dari bagaimana sebelumnya Jepang sukses

meningkatkan popularitas produk budaya populer Jepang seperti permainan komputer

di Amerika. Permainan-permainan seperti Super Mario Bros, Sonic, maupun

Pokemon mendapat popularitasnya karena Jepang telah menguasai penjualan

perangkat keras dalam permainan komputer – Nintendo, Sega, dan Sony. Hal yang

sama pun terjadi pada produk budaya berbentuk anime. Penguasaan perusahaan-

perusahaan Jepang terhadap korporasi media Amerika membuat anime seperti

Pokemon mendapat pengakuan global. Bahkan kemudian film-film layar lebar

Pokemon pun diciptakan dengan penambahan pengisi suara ataupun soundtrack dari

penyanyi Amerika yang sudah populer, sehingga penikmat Pokemon dari berbagai

negara bisa menikmati produk budaya Amerika melalui produk Jepang, dan juga

sebaliknya – menikmati produk budaya Jepang melalui Amerika. Di sini terlihat

bagaimana negosiasi antara Jepang dengan Amerika terjadi. Bahkan beberapa

produser film Hollywood seperti Matrix dan Kill Bill mengatakan bahwa mereka

banyak dipengaruhi oleh konten anime ataupun manga dalam kegiatan produksinya.89

Popularitas budaya populer Jepang di Amerika ini bukan berarti hegemoni

kultural Amerika telah kalah dengan Jepang. Penguasaan Jepang pada korporasi

89 Untuk daftar produk budaya populer Jepang yang masuk dan popular di Amerika ataupun negara-negara lain, serta tabel perbandingannya dengan produk budaya populer Barat dapat dilihat pada tulisan Sugiura Tsutomu, Japan’s Creative Industries: Culture as a Source of Soft Power in the Industrial Sector, dalam Yasushi (2005), op.cit. 128-187

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

76

media global dari Amerika justru secara tidak langsung meluaskan pengaruh kultural

Amerika. Dengan bantuan kemampuan pengembangan teknologi perangkat keras

yang ditawarkan Jepang, korporasi media Amerika bisa lebih mudah menebar

kekuatannya. Walaupun popularitas program televisi Amerika mengalami penurunan,

kekuatan kultural Amerika masih bisa terlihat jelas dari pengakuan bentuk budaya

media global yang memiliki asal dari Amerika.90

2.1.3.2 “Membantu” Asia Tenggara

Pada 1977, dalam perjalanannya ke Manila, Perdana Menteri Fukuda

mengeluarkan arah baru kebijakan Jepang untuk daerah Asia Tenggara. Arah baru ini

dikenal dengan istilah “Fukuda Doctrine”, yang isinya seperti terlihat pada kutipan

berikut:

…Fukuda doctrine, this encompassed three pillars: (1) contribution to the

peace and prosperity of Southeast Asia by rejecting the role of military

power; (2) consolidation of relationship of mutual confidence and trust based

on „heart-to-heart‟ understanding; and (3) Japan as an equal partner of

ASEAN and its member countries while aiming at fostering a relationship

based on mutual understanding with the nation of Indochina… (Sudou Sueo,

“Japan-ASEAN Relations: New Direction in Japanese Foreign Policy,” Asian

Survey, Vol. 28, No. 5 (May 1988), pp. 511-12)

Setelah adanya Fukuda Doctrine ini, ASEAN menjadi arah utama bagi

kebijakan-kebijakan Jepang di Asia Pasifik. Melalui berbagai forum yang terkoneksi

dengan Jepang, Jepang mempromosikan proyek mereka untuk membangun industri-

industri yang berbasis regional Asia Tenggara dan menawarkan bantuan dalam hal

90 Morley (1995), op.cit. hal. 223-24

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

77

teknis di dunia industri. Dalam komunikasi ini Jepang juga berusaha menegosiasikan

kebijakan yang menguntungkan mereka dalam bidang ekspor-impor. Usaha-usaha ini

berbuah hasil yang memuaskan, karena negara-negara ASEAN mulai menerima

dengan baik ekspansi komersial Jepang, dan akhirnya memandang Jepang sebagai

model mereka dalam mengembangkan ekonomi negara masing-masing.91

Usaha-

usaha ini menciptakan imaji Jepang sebagai “negara maju yang harus ditiru” seperti

yang sering terlihat pada wacana pembangunan sejak orde baru di Indonesia.92

Pembangunan arah kebijakan Jepang pada negara-negara Asia Pasifik seperti

ini berangkat dari pembelajaran terhadap gerakan ekonomi multilateral yang

berlangsung sejak 193093

, Perang Dunia ke II, hingga terbentuknya European

Economic Community pada 1957. Mereka melihat bahwa sejarah di 1930 membentuk

sikap Amerika dalam pengembangan institusi-institusi paska-perang untuk

membangun kerjasama multilateral dan global.94

Hingga 1990-an, Jepang telah

berhasil mengejar kesuksesan Amerika dalam melakukan investasi langsung ke Asia

Timur dan Asia Tenggara – berbagi dengan Amerika. Jepang menjadi investor utama

91 Sudou Sueo, Japan-Asian Relations, (Asian Survey, Vol. 28, No. 5, May 1988) pp. 512-22 via Iriye (2001), op.cit. hal. 24 92 Lihat satu contohnya pada Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1983) 93 Jatuhnya ekonomi dunia (Depresi Ekonomi) yang dimulai sejak insiden Selasa Kelam (jatuhnya pasar saham) di New York pada Oktober 1929 dan kemudian kelebihan industry (over-industry) pada tahun 1930. 94 Bagian introduksi dalam Jeffrey A. Frankel, dan Miles Kahler (ed.), Regionalism and Rivalry: Japan and the United States in Pacific Asia. (Chicago: The University of Chicago Press, 1993), hal.1-18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

78

di Thailand, Indonesia,95

dan Korea Selatan, serta menjadi investor nomor dua di

Malaysia, Filipina, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura.96

Kedekatan Jepang terhadap negara-negara di Asia Tenggara seperti ini tentu

berpengaruh pada ekspor produk mereka. Jepang melakukan ekspor produk budaya

populer mereka dengan menyesuaikan pada kedekatan Jepang – pengetahuan

mengenai pasar di Asia Tenggara. Kekhususan ini yang menyebabkan ekspor produk

budaya populer Jepang yang meliputi dorama, pop idols, karakter dalam pernak-

pernik seperti HelloKitty, ataupun majalah fashion justru jarang sekali ditemui di

Barat tetapi mudah ditemui di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Bahkan

beberapa judul anime dan manga hanya khusus diekspor ke Asia. Seperti diungkap

pada Japanese Ministry 1997, perlakuan khusus ini semakin terlihat pada 1995 ketika

Pasar Asia Timur dan Asia Tenggara menerima 47% dari total ekspor program

televisi Jepang. Hal ini menggambarkan bagaimana produk kultural Jepang

membawa ketertarikan simbolis bagi negara Asia yang lain dalam konteks

perkembangan non-Western indigenized modernities.97

Ketertarikan ini berkaitan

dengan kedekatan budaya yang dirasakan oleh negara-negara Asia terhadap Jepang

ketika dihadapkan dengan modernitas Barat. Dengan kata lain, penerimaan terhadap

produk kultural Jepang di Asia Timur dan Tenggara hanya bisa terjadi ketika negara-

95 Total investasi Jepang ke negara-negara Asia di tahun 1951-1990 mencapai USD 47.5 Juta. Porsi terbesar adalah investasi ke Indonesia (USD 11.5 Juta). Lihat deskripsi dalam Curtis Andressen, A Short History of Japan: From Samurai to Sony, (Chiang Mai: Silkworm Books, 2002), hal 172-173 96 Untuk tabel investasi Jepang ke negara-negara ini dapat dilihat dalam tulisan Richard F. Doner, “Japanese Foreign Investment and the Creation of a Pacific Asian Region” dalam Frankel (1993), hal. 161-165 97 Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

79

negara ini sudah berhadapan dengan simbol modernitas yang dibawa oleh Barat.

Tanpa adanya kekuatan simbolis dari Barat, penerimaan pun tidak bisa begitu saja

membentuk adanya rasa kedekatan budaya.

Dengan pemahaman seperti ini, maka Amerika (Barat) telah memasuki

tingkatan baru yang disebut oleh Baudrillard dengan istilah Hysteresis, yaitu sebuah

proses ketika sesuatu berkembang secara berkelanjutan, dan secara tak sadar efeknya

terus berkelanjutan walaupun penyebabnya sudah tidak lagi disadari (hilang).

Walaupun kekuatan hegemoni Amerika sudah meredup, Baudrillard berargumen

bahwa redupnya kekuatan tersebut menandakan kekuatan Amerika telah mengalami

perubahan sifat dasar.98

“…It [America] has become the orbit of an imaginary power to which

everyone now refers. From the point of view of competition, hegemony, and

„imperialism,‟ it has certainly lost ground, but from the exponential point of

view, it has gained some…“ (Baudrillard via Iwabuchi, 2002: 41)

2.2 Penyiaran ala Jepang: dari Dipaksakan hingga Didambakan

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, Jepang menjadikan Asia Timur dan

Asia Tenggara sebagai pasar terbesar bagi persebaran budaya mereka. Pembangunan

imaji Jepang seperti ini dimulai sejak masa kolonialisme melalui penerjemahan

berbagai teks budaya Jepang seperti sastra dan film. Pembangunan rutinitas pun juga

sudah dijalankan melalui siaran radio. Namun, pembangunan imaji melalui

penyebaran media seperti itu tidak akan pernah bisa terjadi sesuai dengan yang

98 Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

80

diharapkan Jepang. Ien Ang (1996) mengatakan bahwa pembaca yang komprehensif

sesuai dengan harapan sang pencipta teks tidak pernah ada. Pembaca selalu

merupakan audiens yang aktif – baik sebagai subjek, maupun objek yang terkena

interpelasi dari teks tersebut. Pembaca dibayangkan selalu bisa merangkai makna

sendiri dari pertemuannya dengan teks, dan itu dibangun dari semesta wacana yang

tidak hanya berasal dari teks.99

Karena itu, penting untuk membandingkan dua proses

pembentukan imaji Jepang yang menghasilkan imaji bertolak belakang di dua

generasi. Pertama, penerjemahan media dan rutinitas penyampaiannya pada masa

kolonialisme. Kedua, rutinitas penayangan program-program Jepang pada penyiaran

televisi sejak masa Orde Baru yang menjadikan Jepang sebagai objek damba bagi

para penggemarnya. Di antara kedua periode tersebut, perlu juga dijelaskan

kembalinya Jepang ke Indonesia paska-penjajahan dan perannya pada pembangunan

ekonomi Indonesia.

2.2.1 Ingatan Terjajah dalam Hiburan

Penjajahan Jepang di Indonesia menyisakan ingatan negatif di masyarakat.

Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan dalam membandingkan penjajahan

Belanda dan Jepang dengan menyebut bahwa penjajahan Jepang yang tiga setengah

tahun lebih kejam dibandingkan yang 350 tahun. Selain dari kekejaman secara fisik

yang benar-benar dialami, kekejaman tersebut juga kadang diingat dari banyak dan

99 Ien Ang, Living Room Wars: Rethinking Media Audiences for a Postmodern World (London: Routledge, 1996), hal. 23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

81

ketatnya pengaturan Jepang di masyarakat. Ketatnya pengaturan itu misalnya terlihat

dari bagaimana pemerintah Jepang memaksa masyarakat Indonesia untuk ikut

melakukan senam pagi – pukul 08.45 setiap harinya – sesuai dengan siaran radio

arahan tentara Jepang.100

Keterlibatan berbagai media tentu tidak bisa dilepaskan

sebagai aparatus propaganda Jepang.

Propaganda merupakan kewajiban pokok yang harus ada pada sistem

penjajahan Jepang demi menjalankan niatnya untuk “menyita hati rakyat” (minsbin

ba‟aku) dan “mengindoktrinasi dan menjinakkan mereka” (senbu kousaku). Oleh

karena itu mereka membentuk Sendenbu (Departemen Propaganda) di dalam badan

pemerintahan militer (Gunseikanbu) pada Agustus 1942.101

Di dalamnya terdapat

lima seksi, yaitu seksi administrasi, sastra, musik, seni rupa, dan seni pertunjukkan

(teater, tari, film). Masing-masing seksi dipimpin oleh orang Indonesia, dan berisi

orang-orang Indonesia yang spesialis di bidang-bidang tersebut, serta staf instruktur

dari Jepang untuk melatih mereka. Departemen ini juga memobilisasi para pemimpin

politik setempat, pemuka agama, penyanyi, musisi, aktor, dalang, penari, sampai

badut untuk melancarkan agenda propaganda mereka.102

Kriteria dari orang-orang

yang direkrut dilihat dari popularitas, pendidikan, dan penghormatan masyarakat

100 Jadwal siaran radio Jepang setiap harinya dapat dilihat dalam Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2015), hal. 284. Sistem penyiaran seperti ini sama dengan budaya Calisthenic radio di Jepang yang sudah dijelaskan sebelumnya. 101 Ibid, hal. 247-49. Daftar organisasi propaganda yang berada di bawah Sendenbu dapat dilihat pada halaman 148, termasuk adanya organisasi Nihon Eigasha atau Nichi’ei (Perusahaan Film Jepang) dan Eiga Haikyuusha atau Eihai (Perusahaan Pendistribusian Film). 102 Di Yogyakarta sendiri, orang-orang yang dilibatkan misalnya Bekel Tembong (badut), Kadaria (pemain ketoprak), Bagio (badut dan pemain ketoprak), dan Mangun Ndoro (dalang).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

82

umum. Karena mereka juga harus mampu menjangkau masyarakat desa yang

kebanyakan tak berpendidikan dan buta huruf, media yang mereka anggap paling

efektif dalam membantu propaganda ini adalah film, seni panggung, kamishibai

(gambar kertas) dan musik. Jepang menganggap bahwa media tulis mungkin

berdampak bagi masyarakat kota yang terdidik, tetapi tidak ada gunanya bagi

masyarakat desa.103

Dalam hal ini, film memiliki dampak paling besar, baik secara kuantitas

maupun isi. Pesan yang ingin disampaikan melalui film disesuaikan dengan kebijakan

langsung dari pemerintah Tokyo. Studio yang menangani produksi dan penyebaran

film pun dipilih dari studio yang sudah mapan di Tokyo dengan strategi pembukaan

cabang baru di Jawa. Salah satu studio yang dipilih adalah Nichi‟ei. Selain

memproduksi film, pembangunan studio besar Jepang di Jawa ini juga digunakan

untuk mengontrol impor film asing yang masuk ke Indonesia. Pemerintah Jepang

melarang film dari negeri “musuh” untuk masuk, sebaliknya mereka menerapkan

kebijakan impor 52 film Jepang setiap tahun, juga rencana untuk mengimpor 32 film

China dan 6 film dari negara sekutu lain.

Film-film Jepang yang diimpor pun dipilih dengan ketat, dan terutama hanya

“film kebijakan nasional” Jepang yang boleh masuk. “Film kebijakan nasional” yang

dimaksud ini pada intinya adalah film-film yang menggambarkan penolakan terhadap

103 Laporan sukarelawan propaganda di Cirebon yang ditampilkan dalam Jawa Shinbun (Koran Jawa) pada 5 November 1944. Lihat Kurasawa (2015), hal. 256-257

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

83

budaya Barat dan pengunggulan budaya dan nilai-nilai yang khas Jepang. Di sini

peran Nichi‟ei menjadi penting karena perkembangan media film di Jepang juga

sedang mengalami kontrol ketat oleh pemerintah Jepang pada waktu yang sama.

Kurasawa (2015) membagi film-film yang dipertunjukkan di Jawa tersebut menjadi

enam kategori:

1. Film yang menekankan persahabatan antara bangsa Jepang dan bangsa-

bangsa Asia serta peran pengajaran Jepang.

2. Film yang mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian terhadap

bangsa.

3. Film yang melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan militer

Jepang.

4. Film yang menekankan kejahatan bangsa Barat.

5. Film yang menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang, seperti

pengorbanan diri, kasih sayang ibu, penghormatan terhadap orang-orang

tua, persahabatan yang tulus, sikap kewanitaan, kerajinan, dan kesetiaan.

6. Film yang menekankan pentingnya produksi dan kampanye perang

lainnya.104

Penyebaran film-film ini dilakukan oleh Jawa Eihai dengan cara

menyebarkan ke bioskop setempat, bioskop-bioskop yang sudah disita, memutar film

104 Ibid, hal. 259. “Film kebijakan nasional” seperti ini sejalan dengan perkembangan studio film di Jepang dan ideologinya yang sudah sempat dibahas di sub-bab sebelumnya. Namun, film-film yang diproduksi di Indonesia justru mendapat penekanan lebih mendalam pada nilai-nilai tersebut dibandingkan film-film yang dibawa langsung dari Jepang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

84

di lapangan terbuka, serta mengadakan bioskop keliling. Hingga Desember 1943,

mereka telah mendirikan pangkalan operasional bioskop keliling di Jakarta,

Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang. Mobilisasi masyarakat untuk

menonton pemutaran film di lapangan, maupun bioskop keliling dilakukan oleh

pejabat desa. Bagi penduduk desa, film menawarkan salah satu kesempatan yang

jarang untuk hiburan, pada saat kehidupan sulit dan penuh penderitaan. Kalau ada

pengumuman mengenai bioskop keliling, masyarakat rela berjalan jauh menuju

tempat yang ditetapkan. Pemutaran film di daerah pedesaan jarang mengalami

kesulitan menarik pengunjung. Kurasawa (2015) menyatakan bahwa para informan

dalam penelitiannya pernah melihat film sekurangnya sekali selama masa

pendudukan Jepang, dan biasanya ini merupakan pengalaman pertama mereka

menonton film.105

Mudahnya media film sebagai aparatus propaganda – karena dalam film

permasalahan bahasa tidak terlihat membuat Pemerintah Jepang meningkatkan

bentuk media ini. Terlepas dari penerimaan masyarakat yang masif – terutama di

pedesaan – terhadap film propaganda, masyarakat Indonesia pada intinya melihat

media ini sebagai bentuk hiburan baru, tanpa mengetahui bahwa mereka akan

“diindoktrinasi.” Justru tujuan indoktrinasi melalui pengontrolan tema-tema film

tidak begitu dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Dengan mengevaluasi

agenda propaganda Jepang seperti ini, Kurasawa melihat bahwa tampaknya ada

105 Ibid, hal. 266

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

85

rencana indoktrinasi politik berjangka panjang serta sasaran propaganda jangka

pendek.106

Kecurigaan Kurasawa akan adanya rencana jangka panjang itu tampaknya

terbukti dalam perkembangan media film di Indonesia paska pendudukan Jepang.

Andjar Asmara, seorang sutradara film pada masa itu, melihat bahwa euforia film

yang dilihatnya pada masa pendudukan Jepang itu mendorongnya untuk berharap

bahwa film bisa memainkan peranan sebagai “alat pendidik rakyat yang sangat

penting” di kemudian hari. Arti masa pendudukan Jepang bagi hari depan perfilman

di Indonesia pun dinilai cukup penting oleh Usmar Ismail, seperti terlihat berikut:

“…Hawa baru jang sebenarnja, baik mengenai isi maupun mengenai proses

pembikinan film, datang pada waktu pendudukan Djepang. Barulah pada

masa Djepang orang sadar akan fungsi film sebagai komunikasi sosial. Satu

hal lagi jang patut ditjatat ialah terdjaganja bahasa, hingga dalam hal ini

kentara apa jang dikemukakan lebih dahulu, bahwa film mulai tumbuh dan

mendekatkan diri kepada kesadaran perasaan kebangsaan…” (Usmar Ismail:

“Sari Soal dalam Film-film Indonesia,” Star News, Th. III, No. 5, 25

September 1954, hal. 30)107

Di sini terlihat bagaimana imaji negatif penjajahan Jepang berkelindan dengan

imaji positif dari hal-hal yang bisa menjadi pembelajaran masyarakat Indonesia –

seperti pengaruh film. Ada perbedaan ingatan yang tercipta dari dua imaji yang saling

berkelindan tersebut. Yang perlu dicermati adalah bagaimana ingatan tersebut

termanifestasikan oleh waktu. Ingatan negatif dialami oleh orang-orang yang

mengalami secara langsung – generasi tua. Di sisi lain, generasi muda pada masa

106 Ibid, hal. 291 107 Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia (Jakarta: Grafiti Pers, 1982), hal. 34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

86

pendudukan Jepang adalah kelompok masyarakat yang memiliki kesempatan lebih

luas untuk tersentuh propaganda Jepang melalui bentuk-bentuk hiburannya.108

Generasi inilah yang bertahan cukup lama hingga Jepang kembali ke Indonesia dan

memulai proyek pembangunan imajinya yang lebih positif – semakin mengikis

ingatan akan imaji negatif.

2.2.2 Kembalinya Jepang ke Indonesia

Kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke-II menyebabkan Jepang mengalami

banyak kerugian dan melepaskan pengaruh fisiknya terhadap negara-negara bekas

jajahannya. Baru pada 1951, ketika Jepang dan Sekutu, bersama negara-negara lain

(total berjumlah 48 negara) menandatangani San Francisco Treaty, Jepang bisa

memulai kegiatan internasionalisasinya.109

Sebagian besar isi dari perjanjian ini

terutama adalah misi rekonsiliasi – memberikan pampasan perang110

– Jepang

terhadap negara-negara jajahannya, dan pembangunan kerjasama dengan negara-

negara sekutu. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, dalam hal pembangunan

kerjasama dengan sekutu tersebut Jepang memilih untuk banyak “menumpang” pada

Amerika.

108 Kurasawa (2015), op.cit, hal. 298. Dasar dari argument Kurasawa ini adalah seringnya media film, drama, kamishabai dipertunjukkan di sekolah, rapat-rapat local seinendan, Barisan Pelopor, dan Keibodan, yang kebanyakan anggotanya terdiri dari golongan muda. 109 Penandatanganan dilakukan pada 8 September 1951. Isi dari perjanjian tersebut dapat diakses pada https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%20136/volume-136-I-1832-English.pdf 110 Di Indonesia sendiri, Jepang membutuhkan waktu hampir 6 tahun untuk menghitung pampasan perang ini, sehingga Jepang baru membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia pada Januari 1958.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

87

Sampai pada awal 1970, kepemimpinan Amerika di bidang militer, politik,

dan ekonomi sangat mendominasi. Diikuti dengan “keajaiban ekonomi” yang terjadi

di Jepang, Amerika mempertahankan dominasinya tersebut dengan membangun

segitiga kooperasi ekonomi dan politik bersama Eropa Barat dan Jepang.111

Segitiga

ekonomi yang tercipta paska bebasnya pendudukan Jepang dari Amerika bertahan

hingga ideologi komunis di ASEAN membuat mereka harus menentukan sikap.

Amerika yang memutuskan bersikap keras dalam menolak komunis

memposisikan negaranya sebagai pendukung penghancuran ideologi komunis di

ASEAN – yang membuatnya berseteru dengan China dan meledaknya perang

Vietnam. Di sisi lain, Jepang mengambil posisi yang lebih netral. Jepang tidak begitu

menyukai pembentukan ASPAC (Asian and Pacific Council) pada tahun 1966

sebagai kelompok negara yang anti-komunis dan mendukung intervensi militer

Amerika di Vietnam (Grup ini bubar pada 1975). Jepang lebih mendukung

pembentukan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) pada 1967 oleh

Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand yang bertujuan membangun

otonomi kolektif terhadap konfrontasi Perang Dingin.

Karena tujuannya yang berbeda, pendekatan yang dilakukan Jepang ke

negara-negara ASEAN dianggap lebih tidak ideologis dibanding dengan tujuan

Amerika. Jepang melihat bahwa agenda investasi di Asia Tenggara merupakan

111 Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Japan and Indonesia in a Changing Environment (Jakarta: CSIS, 1981), hal. 33-34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

88

manifestasi keinginan mereka untuk berbagi pengalaman dalam memodernkan

Jepang. Hal ini seperti diungkap oleh Perdana Menteri Ikeda Hayato,

“…Our cooperation and assistance to these countries [in Southeast Asia],

rather than being guided by the Cold War motive of checking the inroad of

communism, are animated by our desire to fellow Asians to share with them

the experience we gained in the process of modernizing our nation…”112

Di Indonesia, Jepang justru berutang pada terjadinya gerakan 30 September

PKI (Partai Komunis Indonesia). Indonesia yang sebelumnya sangat enggan

menerima investasi modal asing demi memperjuangkan kemandirian ekonomi

nasional, mulai membuka jalan bagi masuknya bantuan modal dan bantuan ekonomi

dari Barat, terutama Jepang. Kurasawa, di bukunya yang berjudul Peristiwa 1965:

Persepsi dan Sikap Jepang (2015), menyatakan bahwa Jepang dapat menikmati

kemakmurannya karena berdiri di atas korban satu juta orang tak bersalah yang tewas

akibat pembunuhan massal. Ekspansi ke Asia Tenggara dan posisi Indonesia sebagai

pasar terbesar investasi modal dan ekspor Jepang ini yang akhirnya membuat Jepang

menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia.113

Sejak dibukanya politik pintu terbuka Indonesia melalui Peraturan Penanaman

Modal Asing (1967), investasi Jepang membanjiri industri-industri di Indonesia.

Jepang menjadi penanam modal paling besar terutama di bidang industri pengolahan.

Dominasi Jepang di sektor ini terutama disebabkan oleh ketergantungan pengusaha-

pengusaha Indonesia terhadap pembiayaan pabrik, mesin, peralatan dan suplai, serta

112 Dennis T. Yasutomo, Japan and the Asian Development Bank (New York: Praeger, 1983), p.27 via Iriye (2001), op.cit, hal. 20 113 Aiko Kurasawa, Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015), hal. viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

89

tenaga teknis dan staf manajerial dari negara-negara yang lebih berpengalaman.114

Investasi Jepang merambah semua sektor industri selain pertambangan yang

didominasi Amerika. Di sektor manufaktur, Jepang menjadi investor terbesar. Tidak

heran jika akhirnya merek barang dari Jepang lebih mudah ditemui dibanding

Amerika maupun Eropa, karena Jepang menguasai sektor manufaktur. Alasannya

adalah bahan mentah dan tenaga buruh yang murah.115

Hal lain yang menyebabkan Indonesia menjadi target investasi potensial bagi

Jepang adalah adanya kemungkinan untuk memasarkan hasil olahan industri-industri

tersebut di pasar domestik – Indonesia. Potensi ini yang sulit didapatkan di Singapura

atau Malaysia karena jumlah penduduk yang tidak sebanyak Indonesia – sehingga

potensi pasar pun lebih kecil di sektor domestik, dan lebih memberatkan pada potensi

ekspor.116

Namun, justru karena potensi Indonesia untuk memasarkan hasil olahan

industri di pasar domestik saja, perdagangan yang terjadi antara Indonesia dan Jepang

terwujud secara asimetris. Tingkat ketergantungan Indonesia kepada Jepang dalam

bidang perdagangan jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat ketergantungan

Jepang terhadap Indonesia. Jumlah ekspor impor yang tidak berimbang menjadi

alasan dari tidak berimbangnya neraca perdagangan ini. Hal ini berbeda dengan

114 Mayling Oey, “Organisasi Perusahaan Jepang: Suatu Analisa Sosiologis” dalam Prisma,Vol. 5, Mei 1983 (Jakarta: LP3ES), hal. 44 115 Widiarsi Agustina, et. al., Massa Misterius Malari, Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru (Jakarta: Tempo Publishing, 2014), hal.13 116 Jun Onozawa, “Kebijaksanaan Merebut Teknologi” dalam Prisma (1983), op.cit, hal. 56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

90

Singapura atau Malaysia yang melakukan kebijakan ekspor pada hasil olahan

industrinya.117

Tidak imbangnya neraca perdagangan antara Indonesia-Jepang menjadi alasan

munculnya berbagai demonstrasi terhadap Jepang di tahun 1970-1974.

Momentumnya adalah kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada 14-17

Januari 1974. Unjuk rasa mahasiswa itu memprotes semakin besarnya aliran modal

asing, yang dianggap memeras ekonomi Indonesia dan membunuh pengusaha lokal.

Puncaknya adalah ketika sekelompok orang mulai membakar dan menjarah toko-toko.

Mereka merusak pabrik Coca-cola dan showroom mobil Toyota. Peristiwa ini

kemudian dikenal sebagai Peristiwa Malari – akronim dari Malapetaka 15 Januari.118

Tempo (2014) melacak bahwa ada pihak pemerintah yang menunggangi

gerakan mahasiswa dan memobilisasi kerusuhan tersebut – terutama keterlibatan Ali

Moertopo dan Soemitro sebagai orang dekat Soeharto. Malari, yang merupakan rusuh

politik pertama di era Orde Baru, dijadikan Soeharto sebagai kesempatan untuk

mengukuhkan kekuasaannya hingga 24 tahun kemudian. Ia meringkus semua yang

dianggap berseberangan dengannya. Pers mulai diberangus dan diawasi ketat, dan

117 Untuk tabel jumlah ekspor-impor Jepang-Indonesia dapat dilihat pada Pande Radja Silalahi, “Penataan Kembali Hubungan EKonomi Indonesia-Jepang: Suatu Tuntutan dan Kebutuhan” dalam Prisma (1983), hal. 5-7 118 Agustina (2014), op.cit. hal. 4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

91

kegiatan politik menjadi barang haram di kampus-kampus. Kekuasaan Soeharto

dikukuhkan atas nama stabilitas nasional.119

Sejak saat itu, bercokolnya pengaruh kuat Jepang di Indonesia sebagai sebuah

permasalahan tidak lagi diangkat ke permukaan. Pemerintah Orde Baru

melanggengkan besarnya investasi Jepang kemudian. Produk Jepang mulai diterima

kembali di masyarakat. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap peran Jepang

dalam perkembangan ekonomi meningkat pesat. Berdasarkan poling yang dilakukan

beberapa koran Jepang, 88% responden menyatakan setuju atas kontribusi Jepang

pada pertumbuhan ekonomi. 74,5% dari responden bahkan menyatakan bahwa

kekejaman yang pernah dilakukan militer Jepang di Indonesia tidak menjadi

rintangan bagi terciptanya hubungan baik dengan Indonesia. Sehingga, 85% dari

responden pun menyatakan bahwa Jepang telah menjadi negara yang bisa diandalkan

di Asia.120

Penerimaan terhadap imaji Jepang semakin kuat pada masa ini. Satu hal

yang tidak bisa dilepaskan dari penerimaan kembali adalah peran media yang

dikontrol dengan ketat oleh pemerintah. Salah satunya adalah televisi.

2.2.3 Membangun Mimpi dalam Rutinitas Televisi

Sejak kehadiran televisi di Indonesia pada 1962, penyiarannya tidak pernah

bebas dari tangan pemerintah. Televisi adalah proyek pemerintah yang “penuh

119 Ibid, hal. 112 120 Hasil survei ini disampaikan oleh beberapa koran, yaitu Asahi Shinbun (Agustus 1995), Yomiuri Shinbun (Mei 1995 dan September 1996), serta Nihon Keizai Shinbun (April 1997). Lihat Sueo Sudo, The International Relations of Japan and South East Asia: Forging a New Regionalism (London: Routledge, 2002) hal. 54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

92

muatan” karena hubungannya yang erat dengan pemerintah dan koneksi bisnis elite

keluarga istana.121

Menurut Kitley (2001), televisi di Indonesia bisa dipahami sebagai

bagian “proyek kebudayaan nasional” Indonesia, yaitu serangkaian kegiatan yang

diarahkan dan disponsori negara yang dirancang untuk secara simbolik memberi

legitimasi bagi identitas kebudayaan nasional Indonesia.122

Siaran televisi pertama Indonesia pada Agustus 1962 adalah siaran perayaan

peringatan Hari Kemerdekaan ke-17, dan liputan 12 hari Asian Games. Penggerak

utama dalam pengaturan-pengaturan awal televisi adalah Menteri Penerangan Maladi.

Pada 1959, lobi Maladi tentang televisi kepada pemerintah tepat waktu untuk

memulai persiapan penayangan Asian Games 1962 – belajar dari kesuksesan Jepang

dalam menggunakan media televisi pada 1958. Tim awal yang dibentuk Maladi untuk

menciptakan televisi sebagai bagian dari proyek Asian Games ini kemudian

diberangkatkan ke Jepang untuk mengikuti tiga bulan pelatihan intensif dengan NHK.

Anggota awal tim yang diberangkatkan ke Jepang ini juga beberapa merupakan

121 Philip Kitley, Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca, terj. (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001), hal. 10 122 Seperti dikutip oleh Philip Kitley (2001), menurut pasal 32 UUD 1945, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

93

orang-orang yang sudah pernah bekerja di bawah Sendenbu pada masa pendudukan

Jepang.123

Penciptaan televisi di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan

Jepang (terutama NHK) dalam membantu kelancarannya. Selain orang-orang

Indonesia yang memang sudah pernah bekerja di Sendenbu, NHK juga mengirimkan

sekelompok teknisi dan reporter untuk mendampingi tim Indonesia selama Asian

Games. Mereka ini juga yang bertugas mengambil gambar dan mengirimkannya ke

Jepang untuk siaran NHK. Asian Games menjadi proyek pertama siaran televisi

Indonesia, sekaligus siaran internasional pertama – disiarkan di Jepang, Thailand, dan

Filipina. Pada waktu itu baru Jepang (1953), Filipina (1953), dan Thailand (1954)

yang memiliki televisi, sehingga penyiaran Asian Games ini juga menyediakan bagi

Indonesia pentas internasional untuk menampilkan diri pada bangsa-bangsa

sekitarnya sebagai bangsa yang modern, berkembang dengan cepat, dan canggih

dalam perkara teknologi.124

Stasiun televisi pertama Indonesia adalah TVRI (Televisi Republik Indonesia).

TVRI ini juga yang sampai pada 1980-1990 berkuasa mengeluarkan ijin

penyelenggaraan siaran televisi swasta untuk pertama kalinya (Rajawali Citra

Televisi (RCTI) – 1987, dan Surya Citra Televisi (SCTV) – 1990. Sejalan dengan

peningkatan resepsi televisi di masyarakat Indonesia, terutama akibat peraturan

123 Ibid, hal. 28. 124 Ibid, hal. 35. Daftar sembilan stasiun siaran televisi di daerah-daerah Indonesia dan juga jumlah jam siarannya dapat dilihat pada halaman 40-43. Yogyakarta sendiri mulai mendapatkan siaran televisi pada 17 Agustus 1965 dengan jam siaran yang setara dengan siaran di Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

94

Soeharto untuk mewajibkan adanya televisi di setiap desa pada tahun pertengahan

1970an,125

konten hiburan menjadi salah satu siaran yang paling ditunggu oleh

masyarakat. Menurut Direktorat Televisi pada 1972, konten kebudayaan/hiburan di

TVRI menempati prosentase 40% dari total penyiaran mereka. Pentingnya konten

hiburan itu yang membuat sepertiga lebih dari mata acara adalah film dan hampir

semua film adalah impor serta menggunakan dialog dalam bahasa Asing.126

Berkat

hadirnya film-film impor ini – yang sebagian besar merupakan impor dari Amerika

dan Inggris – serta dimulainya budaya iklan di televisi, budaya konsumerisme

internasional pun mulai mempengaruhi banyak sisi masyarakat.127

Kitley (2001) membagi pengaruh perkembangan televisi Indonesia menjadi

dua fase, yaitu periode yang dimulai dengan pendirian televisi pertama dan berakhir

dengan kemunculan penyelenggara siaran swasta pertama. Fase berikutnya adalah

fase masifnya siaran televisi swasta. Perbedaan dua fase ini dilihat dari kuatnya

kontrol pemerintah pada siaran televisi – kuat di TVRI, dan lemah di televisi

swasta.128

Seperti yang ia bahas dalam penelitiannya, wacana-wacana yang berkisar

pada siaran televisi di periode yang kuat kontrol pemerintahnya adalah wacana (1)

pemirsa sebagai bangsa, yang menampilkan kekuasaan terpusat negara; (2) Pemirsa

sebagai keluarga, yang menampilkan usaha pembangunan gaya hidup baru; dan (3)

125 Saya S. Shiraishi. Doraemon Goed Abroad dlm Craig (2000), op.cit. Hlm 300, ini terutama disebabkan peluncuran Satelit Palapa pada tahun 1976 yang membuat siaran televisi mulai dapat dijangkau ke seluruh Indonesia. 126 Kitley (2001), op.cit. hal. 43 127 Sampai akhirnya peraturan pelarang Iklan pun dibuat untuk mengontrol TVRI, dan ini membuat TVRI mengalami masalah finansial, terutama minimnya sponsor. 128 Ibid, hal, 79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

95

Pemirsa Kekanak-kanakan, yang menampilkan usaha penciptaan pengaturan sebagai

“Bapak”. Selain wacana dari pemerintah, para akademisi dan jurnalis juga

menampilkan televisi sebagai wacana yang menciptakan Pemirsa sebagai Warga

Masyarakat.129

Munculnya televisi swasta untuk pertama kalinya dimotori oleh RCTI pada

1987 – secara resmi pada 1989.130

Kehadirannya merubah paradigma televisi, dan

membuat TVRI sebagai televisi pemerintah menjadi kalah pamor. Televisi swasta

adalah perusahaan komersial yang harus menghasilkan laba, sehingga RCTI

membayangkan pemirsanya sebagai sesuatu yang harus direbut dari TVRI supaya

pemasang iklan siap menggunakan saluran mereka. Untuk merebut pemirsa, RCTI

bereksperimen dengan membeli acara-acara dari Amerika, dan ternyata eksperimen

ini berhasil dan membuat acara-acara tersebut memiliki rating yang tinggi. Secara

umum, RCTI menyusun pemirsanya secara nasional, dan bahkan internasional,

sehingga porsi siaran berkonten internasional menduduki porsi tinggi. Di sini lah

televisi mulai menyampaikan gagasan pemirsa sebagai Warga Negara Dunia.

Agendanya untuk mengejar keuntungan semakin terpenuhi ketika biaya impor

konten televisi ternyata lebih murah dibanding biaya produksi acara lokal. TVRI yang

memiliki peraturan minimal 80% siarannya adalah produksi sendiri mengalami

kekalahan telak terhadap televisi swasta. Bahkan televisi swasta kemudian membujuk

129 Untuk deskripsi lebih jelasnya, lihat Kitley (2001), hal . 84-101 130 Ade Armando, Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016), hal. 152-53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

96

TVRI untuk mengikuti cara yang sama dalam mempertahankan pemirsanya dari

bujukan nilai-nilai yang sangat konsumtif dan global.131

Masuknya siaran televisi pada fase kedua seperti ini menghancurkan

monopoli pemerintah terhadap siaran televisi. Hal ini juga diikuti dengan munculnya

teknologi video (mulai 1980an) yang bisa disewa dengan harga murah dan teknologi

televisi satelit transnasional (karena peluncuran satelit Palapa 1976) yang bisa

ditangkap oleh orang-orang yang mampu membeli teknologi parabola. Perkembangan

semacam ini menyeret pemerintah Indonesia untuk menghadapi fakta bahwa bangsa

Indonesia tidak bisa menutup diri dari proses, tekanan, dan pengaruh budaya luar.

Kuatnya pengaruh teknologi-teknologi baru ini membuat pemerintah mengambil

keputusan untuk memperkenalkan televisi swasta. Ini kemudian yang menggantikan

monopoli televisi oleh pemerintah: monopoli televisi oleh pihak swasta yang

bernegosiasi dengan pemerintah. Departemen Penerangan – yang berada di bawah

Menteri Penerangan Harmoko – pada tahun 1992-1993 akhirnya mengambil

keputusan untuk membuka kran pelayanan televisi dan perlunya mengartikulasikan

pengaruh asing. Keputusan itu dimaksudkan untuk memerangi infiltrasi hasil-hasil

budaya internasional yang sangat tidak diinginkan, tidak diminta, tetapi tidak bisa

dibendung.132

131 Kitley (2001), op.cit, hal. 108 132 Ibid, hal. 238-48

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

97

Fase kedua ini menyiratkan tidak terbendungnya pengaruh dari tayangan-

tayangan televisi impor. Penonton meresepsi tayangan televisi sesuai dengan caranya

masing-masing, dan tidak dapat lagi diawasi oleh pemerintah. Walaupun

pengaruhnya tidak selalu negatif – seperti yang dinyatakan Saya Shiraishi dalam

analisisnya terhadap resepsi kartun Doraemon di Indonesia133

– kesatuan

pembentukan jati diri nasional untuk membangun komunitas terbayang tak lagi

berfungsi dengan maksimal.

Menurut beberapa narasumber yang saya temui, pembangun kecintaan

terhadap budaya populer Jepang di Indonesia dimulai dari kecintaan mereka terhadap

tayangan televisi impor Jepang yang disiarkan oleh stasiun televisi swasta.

Pembangunan kecintaan itu yang akan terus dibangun ketika para pembaca film

televisi impor Jepang telah masuk pada fase ketiga perkembangan teknologi

penyiaran: era internet. Argumen saya akan adanya fase ketiga ini terutama berkaitan

masifnya pembangunan kecintaan pecinta budaya populer Jepang melalui rutinitas

dalam menikmati konten di media internet. Di fase ketiga ini, orang bisa menonton

kembali siaran anime Dragon Ball yang dahulu disiarkan di Indosiar, dan bahkan

mengikuti seri tersebut hingga kemunculan seri terbarunya pada 2015. Sampai di sini,

saya menyimpulkan bahwa pengaruh impor film televisi Jepang di Indonesia menjadi

fondasi bagi terbentuknya hobi mencintai budaya populer Jepang dan juga bentuk-

133 Lihat Saya S. Shiraishi. Doraemon Goed Abroad dlm Craig (2000), op.cit. Hlm 300

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

98

bentuk pengekspresian hobi-hobi tersebut di fase ketiga yang terjadi sampai sekarang

ini.

2.3 Kesimpulan: Real-World yang Tak (Akan) Sampai

Pembahasan terhadap usaha impor model kognisi dan juga pembentukan

mekanisme pemberian referen secara otomatis di atas menampilkan kekayaan

jaringan kuasa yang saling berkelindan dalam proses menciptakan Jepang di

Indonesia. Usaha ini mencerminkan pembentukan Real-World yang diharapkan dapat

berkonfrontasi dengan subjek pembaca film di Indonesia untuk membentuk Possible-

World yang diharapkan.

Perlu diingat terlebih dahulu bahwa pembentukan Possible-World hanya bisa

terjadi melalui konfrontasinya dengan Real-world yang beredar di sekitar subjek

pembaca teks-film. Dengan ini kita tidak boleh menafikan pengalaman subjektif dari

pembaca film-teks di Indonesia yang turut membangun Real-world yang independen

atas jaringan kuasa tersebut. Pembaca film-teks hanya akan melakukan abduksi dari

semesta pengetahuan yang bisa dan pernah terpapar padanya. Semesta pengetahuan

yang tak pernah sampai – seperti kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang, atau

sejarah bentuk-nilai film Jepang seperti yang dijelaskan di atas – pada pembaca film-

teks tak akan berpengaruh banyak pada cara ia menginterpretasikan pertemuannya

dengan film.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

99

Dapat disimpulkan bahwa jaringan kuasa dan proses historis seperti yang

dijelaskan di atas tidak pernah bisa sepenuhnya menjadi Real-world dari pembaca

film teks Jepang di Indonesia. Apa yang terjadi di struktur atas dan historis dari

proses penciptaan Jepang di Indonesia tak akan dapat secara penuh memaksakan

kuasanya untuk membentuk Possible-World para pembaca film-teks di lapisan

masyarakat.

Real-world menjadi penting pada penelitian ini karena potensinya untuk bisa

sejalan dengan interpretasi para pembaca film-teks. Setelah bertemu beberapa

narasumber, hal seperti nilai-nilai dalam film yang mereka interpretasikan – secara

tanpa paksaan – memiliki kemiripan dengan nilai-nilai film Jepang, walaupun mereka

tak pernah membaca literatur mengenai sejarah film Jepang seperti yang disampaikan

di atas. Oleh karena itu, yang menarik untuk dilihat pada bab berikutnya adalah

pengalaman nyata dan penyebaran pengetahuan budaya dan teks-teks yang terjadi di

masyarakat Indonesia – dalam hal ini khususnya Yogyakarta – yang dapat memantik

terbentuknya interpretasi yang nyaris sejalan tersebut. Dengan kata lain, pertanyaan

yang akan dijawab berikutnya adalah: Model Reader macam apa yang terbentuk

melalui konfrontasinya terhadap Real-world yang khas Indonesia? Dan mengapa

mereka bisa independen dari Real-world yang dipaksakan Jepang, atau dengan kata

lain, Possible World apa yang tercipta di Indonesia?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

100

BAB III

BERKENALAN DENGAN JEPANG BARU

Pertemuan pembaca dengan film televisi Jepang tidak semata-mata membuat

semua pembacanya menilai film tersebut dengan cara yang sama. Hal ini bergantung

kepada seberapa jauh para pembaca tersebut menempatkan aktivitas menonton film

pada rutinitas keseharian mereka – yaitu pembentukan pengetahuan (ensiklopedi)

yang ia bawa. Pembaca yang tidak mengalami kepenuhan dalam menonton rangkaian

film televisi Jepang tersebut tentu akan mengeluarkan penilaian yang berbeda dengan

pembaca yang memenuhi keseharian dengan menempatkan aktivitas menonton ini

sebagai sentralnya.

Berangkat dari argumen ini, pembahasan atas data yang diungkap narasumber

pada bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan berisi pemaparan

atas kesejarahan pembaca film di Yogyakarta dan proses bagaimana para pembaca ini

bisa menempatkan kegiatan membaca film-teks Jepang ini dalam posisi sentral di

tengah kehidupannya. Pada bagian ini, cara mereka dalam menanggapi kehadiran

teknologi baru ini sebagai sesuatu yang khas pun akan terlihat. Bagian kedua akan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

101

memaparkan nilai-nilai yang terbentuk dari pertemuan pembaca dengan film-teks dan

pengetahuan yang terbentuk di dalamnya.

3.1 Menjadi “Jepang” Sedari Kecil

Data dalam penelitian ini didapatkan melalui wawancara terhadap lima orang

penggiat Jepang-jepangan di Yogyakarta, yaitu Kira, Geyol, Koh Oyon, Xakha, dan

John Switch.134

Kira135

, yang merupakan mantan ketua komunitas Atsuki J-Freak136

,

adalah alumni S1 Program Studi Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada

(UGM). Lahir dan besar di Yogyakarta, pemuda kelahiran 1990 ini sempat mengikuti

berbagai pelatihan guiding oleh Dinas Pariwisata, sehingga ia sering mendampingi

orang Jepang yang berkunjung ke Yogyakarta. Darah sebagai pemandu wisata yang

ia miliki ternyata menurun dari ayahnya yang sudah menjadi pemandu wisata

berbahasa Jepang sejak ia belum lahir. Ia menceritakan bagaimana tamu-tamu

ayahnya merupakan orang-orang Jepang yang berkunjung ke Indonesia khusus untuk

menemui Gesang di Solo – karena popularitas Gesang yang cukup besar di Jepang.

Karena itu, perkenalan pertamanya dengan Jepang – dan juga pada Gesang – adalah

134 Kelimanya bukan nama asli, melainkan nama pena mereka yang lebih dikenal di dalam lingkaran-lingkaran Jepang-jepangan. Kira dan John Switch merupakan nama yang dipilih sendiri berdasarakan kesukaan terhadap karakter yang pernah mereka tonton, dan nama ini hanya digunakan di dalam lingkaran Jepang-jepangan. Ketika ada orang yang mengenali mereka berdua dengan nama tersebut, dapat dipastikan bahwa orang itu merupakan orang yang pernah berkecimpung di dunia Jepang-jepangan. Di sisi lain, Geyol, Koh Oyon, dan Xakha merupakan nama yang juga dipakai ketiganya di luar lingkaran-lingkaran ini. Mereka bertiga memilih tidak menciptakan nama pena tersendiri di dalam dinamika Jepang-jepangan. 135 Wawancara dilakukan pada tanggal 6 dan 31 Agustus 2016 136 Mengenai komunitas ini bisa dilihat dalam http://atsuki-jfreak.blogspot.co.id/ atau https://www.facebook.com/Atsuki-J-freak-Community-180324222019464/

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

102

melalui pertemuan terhadap tamu-tamu Jepang sewaktu ia masih digendong. Sewaktu

kecil ia juga sering mendapat mainan-mainan dari tamu-tamu tersebut – satu yang ia

ingat adalah beberapa mainan Ultraman yang sekarang sudah “entah kemana”.

Sekarang ia mendirikan warung makanan Jepang bernama Peko-peko di Lippo Plaza

Yogyakarta, dan disibukkan dengan kegiatannya mengisi stand-stand makanan di

berbagai acara Jepang-jepangan.

Narasumber kedua adalah Geyol137

, yang sewaktu berumur lima hingga

sepuluh tahun mengenyam pendidikan sekolah dasar di Jepang bersama orang tuanya.

Mantan anggota Yogyakarta Tokusatsu Fans Club (YTFC) dan Jogja-Tokusastsu (J-

Toku) Special Effect Studio ini merupakan alumni program Diploma 3 Bahasa Jepang

UGM yang kemudian melanjutkan studinya pada program ekstensi Sastra Jepang dan

sempat mendapat kesempatan pertukaran pelajar selama 1 tahun di daerah Hiroshima.

Pemuda asal Lampung ini sudah datang ke Yogyakarta sejak SMA, namun baru

mulai mengenal komunitas Jepang-jepangan saat kuliah. Dengan memiliki

kemampuan bahasa Jepang N1138

, ia beberapa kali bekerja sebagai interpreter orang

Jepang, baik di Yogyakarta maupun Jakarta. Karena kemampuannya ini juga, ia

mendapat posisi penting ketika bergabung ke komunitas Jepang-jepangan, karena

komunitas ini membutuhkan translasi atas film-film Jepang yang mereka tonton.

Kemampuan bahasa Jepang menjadi kemewahan yang ia miliki yang kemudian

137 Wawancara dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2016 138 Level tertinggi pada tes kemampuan bahasa Jepang (JLPT – Japanese Language Proficiency Test)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

103

mempengaruhi posisinya di komunitas. Saat ini, ia membuka warung okonomiyaki

bernama Kote-kote dan disibukkan dengan kegiatannya sebagai interpreter.

Yang ketiga, Koh Oyon139

, ia adalah pemilik Pengok rental VCD di daerah

Langensari. Rental ini menjadi rujukan pertama sejak 2003-2004 bagi para pecinta

Jepang-jepangan dalam mendapatkan film-film dengan koleksi paling lengkap di

Yogyakarta dan informasi mengenai film-film terbaru secara cepat – tentu saja

sebelum menjamurnya warung internet yang menyediakan film-film dalam bentuk

data, dan ini juga yang menurut Koh Oyon menyebabkan omzet usahanya menurun

drastis dan harus tutup pada 2014. Pemuda kelahiran 1976 ini besar di Magelang dan

berpindah ke Yogyakarta untuk berkuliah di jurusan Arsitektur Universitas Atma

Jaya pada 1994. Setelah sukses dengan Pengok rental VCD, ia kemudian membuka

usaha Otaku Hobby Shop, yang mengimpor mainan hobi Jepang sesuai pesanan dan

menjadi tempat paling lengkap untuk membeli mainan seperti Gundam yang

digunakan oleh komunitas Gunpla140

– usaha ini juga tutup ketika maraknya toko

berbasis online yang khusus menjual barang-barang dari Jepang seperti

titipjepang.com. Sekarang ia disibukkan dengan membuka warung ramen Otaku

Ramen.

139 Wawancara dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2016 140 Komunitas Gunpla atau Gundam Play merupakan komunitas pecinta miniatur robot dari anime Gundam. Seri awalnya yang dulu sempat ditayangkan di Indosiar adalah Gundam Wing yang menceritan 5 pilot mobile suit (robot raksasa yang dikendalikan manusia) untuk melindungi galaksi yang sudah terpecah-pecah ke beberapa aliansi. Permainan Gunpla, atau membangun miniatur mainan Gundam, ini dikompetisikan di berbagai negara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

104

Berikutnya adalah Xakha.141

Ia adalah mahasiswa angkatan 2013 S1 program

studi Sastra Jepang UGM yang besar di Yogyakarta. Xakha aktif di berbagai acara

Jepang-jepangan di Yogyakarta, terutama sebagai panitia dan pemberi jaringan bagi

acara tersebut untuk mendatangkan tamu dari Jepang melalui teman-temannya di

Jakarta. Ia menjadi salah satu penggagas utama acara Jogja Ora Ngidol142

selama dua

tahun berturut-turut dan rutin menjadi panitia bagi acara CLAS:H143

region

Yogyakarta. Ia juga yang mendatangkan pengisi utama acara Mangafest144

yaitu para

penyiar Japanese Station145

dari Jakarta. Ia bergabung dengan berbagai komunitas

Jepang-jepangan di Yogyakarta, baik secara resmi maupun tidak. Sekarang ia

disibukkan dengan bekerja di kantor titipjepang.com dan berusaha menyelesaikan

studi tingkat akhirnya di UGM.

Yang terakhir adalah John Switch146

yang lahir di Jakarta pada 1990 namun

besar di Yogyakarta. Sebagai anak dari seorang seniman ibukota, bakat seninya ia

gunakan untuk menciptakan kostum dan pernak-pernik cosplay dan membawa dia

141 Wawancara dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2016 142 acara dengan tajuk utama Idol Group dengan menampilkan berbagai idol group Indonesia dan Yogyakarta yang menampilkan lagu-lagu idol group Jepang 143 Cosplay Live Action Show: Hybrid (CLAS:H) adalah kompetisi cosplay tahunan secara nasional yang dimulai sejak tahun 2011. Tahun ini acara ini akan diadakan di Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan berakhir di Jakarta sebagai finalnya. Kompetisi ini bekerja sama langsung dengan Indonesia Cosplay Grand Prix (ICGP) dan World Cosplay Summit (WCS) sehingga setiap tahunnya akan memberangkatkan pemenang CLAS:H sebagai peserta WCS di Jepang. Perwakilan dari Indonesia berhasil menjadi juara umum di WCS 2016. 144 Acara festival komik – lebih ke Manga yang menegaskan komik-komik dengan pengaruh dari Jepang 145 Stasiun Radio yang secara penuh menayangkan konten Jepang dan rutin merilis berita online mengenai Jepang. Para penyiar ini sudah jadi semacam artis tersendiri yang seringkali diundang untuk mengisi acara Jepang-jepangan di berbagai kota di Indonesia, dan terkadang juga melakukan siaran secara langsung di acara-acara tersebut. 146 Wawancara dilakukan pada tanggal 18 November 2016

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

105

masuk ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kostum yang ia ciptakan berhasil

dibawakan oleh cosplayer Yogya untuk memenangkan CLAS:H 2014, sehingga ia

memutuskan untuk turun ber-cosplay di CLAS:H pada 2015 dan memenangkannya.

Keberangkatannya ke Jepang untuk mewakili Indonesia di WCS membuat ia

memiliki jaringan luas pada berbagai cosplayer di berbagai belahan dunia, dan

membuatnya mampu mengundang cosplayer-cosplayer tersebut sebagai tamu di

acara-acara di Indonesia. Kedekatannya dengan berbagai cosplayer luar negeri juga

membantunya dalam menyelesaikan tugas akhirnya di ISI dengan menciptakan helm

besi prajurit Jepang pada masa perang saudara. Sekarang ia masih terus berkarya dan

mencipta bersama timnya yang bernama Eternal Creativity dengan menjual kostum

dan perlengkapan cosplay. Ia juga disibukkan dengan kegiatannya sebagai juri

cosplay dan pengisi di berbagai workshop.

Data yang didapat dari wawancara terhadap lima narasumber tersebut akan

disampaikan dalam bagian pertama bab III ini dengan membaginya menjadi tiga

bagian. Bagian pertama berisi perkenalan awal dengan sesuatu yang mereka namai

dengan “Jepang” sedari kecil. Bagian kedua menarasikan bagaimana “Jepang” ini

semakin dikuatkan dengan kegiatan mereka dalam kegiatan-kegiatan di waktu luang

hingga dewasa. Bagian ketiga akan masuk kepada bentuk film-teks macam apa yang

mereka minati sebagai pembawa objek “Jepang” ini.

3.1.1. Berjabat Tangan dengan Jepang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

106

Ketika narasumber ditanya mengenai film televisi Jepang yang paling

berkesan, mereka semua menyebutkan kembali judul tayangan televisi yang mereka

nikmati sewaktu mereka kecil. Beberapa menyebutkan Satria Baja Hitam dan judul

film tokusatsu lainnya seperti Jetman, yang lain menyebutkan anime seperti Digimon,

dan beberapa kemudian juga menyebutkan beberapa judul dorama seperti Love

Generation. Menariknya, judul-judul yang disebut ini adalah judul-judul yang

termasuk dalam film-film Jepang yang pertama kali masuk ke televisi Indonesia. Kira

ingat dengan jelas jam tayang serial satria baja hitam yang ia tonton sewaktu kelas 1

SD, yaitu pukul setengah empat sore di RCTI. Ia juga ingat dengan rutinitasnya setiap

hari minggu pagi, yaitu menonton Indosiar sejak pukul 6 pagi dengan sailormoon-

nya.147

Ketika ditanya mengapa anime ia sebut sebagai jenis produk budaya populer

Jepang yang paling berpengaruh, John Switch mengatakan:

“aku akuin, yang pertama kali muncul di Indonesia tu anime […] anak-anak

tu males baca, pasti lebih suka nonton. Sekarang kalau hari minggu apa yang

ditunggu? Anime kan..”148

Ia bahkan menambahkan dengan bercerita seberapa jengkelnya ia ketika

terkadang Indosiar menayangkan Gelar Tinju Indonesia di hari Minggu dan

memotong jadwal siaran digimon yang sudah ia tunggu-tunggu. Kira juga merasakan

hal yang sama ketika televisi di rumahnya belum mampu mendapat siaran stasiun

TV7 sehingga belum mampu menikmati beberapa anime yang disiarkan di sore hari.

147 Wawancara dengan Kira 148 Wawancara dengan John Switch

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

107

“Hikaru no Go saya gak ngikuti, itu TV7, tapi tempat saya karena gak ada

TV7 makanya saya gak bisa nonton. Sedih. TV7 tu mulai saya SMP kalau gak

salah.”149

Namun, Koh Oyon yang berusia paling tua di antara narasumber yang lain

justru menyatakan bahwa awal kesukaan dia justru bukan pada anime yang disiarkan

oleh televisi swasta. Ia sudah mulai menikmati produk budaya populer Jepang sejak

Oshin disiarkan di TVRI – dan seperti yang sudah dibicarakan di bab sebelumnya,

film ini mengawali impor produk budaya populer Jepang dalam bentuk serial televisi

bahkan sebelum berdirinya televisi swasta. Ia bahkan masih mengingat soundtrack

dari salah satu judul film yang dulu ia nikmati.

“Pertama kali Oshin TVRI, habis itu ada 101 proposal, just the way we are,

terus ada love generation […] ya love generation itu pokoknya [lalu ia

menyanyikan soundtrack-nya]”150

Terlepas dari seberapa mudahnya orang-orang ini kemudian untuk mengakses

produk budaya populer tersebut kemudian, baik melalui rental beta-video, rental

komik, rental VCD, atau bahkan maraknya internet, yang menarik di sini adalah

kembalinya nostalgia masa kecil mereka yang dipenuhi oleh tayangan-tayangan ini.

Mereka justru tidak menyebutkan judul-judul yang kemudian mereka ketahui dari

media-media lainnya tersebut. Hal ini menandakan bahwa (yang dulunya) anak-anak

ini mengakui adanya kesamaaan pembayangan, yaitu kesamaan hal yang dinikmati

dan dihadapi dalam televisi. Geyol yang mengalami masa kecil di Jepang pun

ternyata memiliki alasan yang tidak jauh berbeda dengan yang lain. Ia mengatakan

149 Wawancara dengan Kira 150 Wawancara dengan Koh Oyon

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

108

bahwa hobinya dalam menikmati tayangan-tayangan televisi Jepang seperti ini juga

merupakan sebuah nostalgia.151

Kesamaan bentuk nostalgia yang keluar dari kemajemukan narasumber ini

menandakan bahwa mereka sama-sama memiliki masa lalu yang sama, nostalgia

yang sama, atau bahkan pembentukan yang sama. Walaupun mereka lahir di daerah

yang berbeda-beda atau merupakan perwakilan dari generasi yang berbeda, mereka

mewarisi keberhadapan dengan media yang sama. Dengan kata lain, tayangan televisi

Jepang sempat menduduki jam tayang utama bagi penonton (yang dulunya) anak-

anak ini, yaitu sore hari, dan pagi hari di akhir minggu. Kegiatan waktu luang anak-

anak diisi penuh dengan produk budaya populer Jepang, dan bukan yang lain. Salah

seorang narasumber pun dengan berani menegaskan jawabannya ketika ditanya

alasannya kenapa dulu memilih menonton Jepang, yaitu:

“Adanya itu kok dulu. Hahaha. Kan gak ada yang lain”152

3.1.2. Kehangatan dalam Keaktifan di Dunia Jepang

Pengaruh kehadiran bentuk teknologi baru ini tidak berhenti sampai di situ –

tidak hanya mengisi waktu luang di depan televisi. Kehadiran tayangan film Jepang

dalam televisi yang permanen itu juga memberikan kesadaran baru bagi anak-anak ini

di kegiatan keseharian lainnya. Beberapa narasumber mengatakan bahwa di luar

aktivitas menonton televisi yang mereka lakukan, mereka juga mengisi waktu-waktu

151 Wawancara dengan Geyol 152 Wawancara dengan Xakha

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

109

santai mereka dengan kegiatan yang berkaitan erat dengan kegiatan menontonnya.

Bentuk pengisian ini berkaitan dengan jenis fasilitas atau kegiatan macam apa yang

mampu mereka akses.153

Kira menghabiskan waktu SMP-nya dengan rutin meminjam

komik sepulang sekolah, namun tetap harus sudah berada di depan televisi ketika

anime dimulai sore harinya. Kegiatan meminjam komik ini diawali dari rasa

penasaran untuk mengikuti lebih jauh anime di televisi, dan kemudian menjurus

dengan meminjam banyak komik-komik yang ia sukai.

Ketika ia menjejak SMA, ketika rental VCD film Jepang sudah mulai muncul,

ia rutin meminjam, meng-copy, dan menonton berulang kali film yang ia suka.154

Koh

Oyon menyatakan bahwa ia mulai melakukan kegiatan meminjam film-film televisi

Jepang sejak masa beredarnya video-beta, hingga dilanjutkan pada masa LaserDisc,

lalu VCD, dan hingga era internet sekarang. Ia pun rutin mengoleksi komik-komik

sejak Gramedia mulai mengeluarkan terjemahan komik-komik asing, terutama Jepang

dan China.155

Lain pula dengan Xakha yang bisa mengakses mainan-mainan yang diangkat

dari anime yang ia tonton. Ia mengaku mengoleksi jenis-jenis digivice dari seri anime

153 Tidak bisa dipungkiri, kemampuan ini menunjukkan juga kelas dari para penikmat produk budaya popular Jepang ini. Semakin tinggi kelasnya, semakin jauh juga fasilitas yang bisa mereka gapai. Namun, pembahasan tidak akan masuk ke dalam pengkategorian kelas dengan harapan penelitian ini dapat menjangkau secara umum kesamaan yang tercipta – tidak sengaja diciptakan – oleh keadaan sang pembaca produk budaya popular ini. 154 Wawancara dengan Kira. Ia hanya meminjam komik-komik jenis shonen (komik action yang ditujukan untuk pembaca pria) karena di televisi ia juga selalu mengikuti anime dan tokusatsu semacam itu, seperti naruto dan seri kamen rider. Saat SMA pun ia rutin meminjam dan meng-copy anime naruto untuk menjadikannya koleksi yang bisa ia tonton berkali-kali. 155 Wawancara dengan Koh Oyon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

110

digimon berapa pun harganya, dan ia rutin dalam memainkannya.156

Permainan

memelihara monster imut ini memaksa pemainnya untuk rutin mengecek, merawat,

memberi makan, menggunakan alat kecil tersebut. Ia berfantasi – keluar dari

realitasnya – untuk merasa memiliki digimon di dunia nyata yang mengikuti

kemanapun sang pemilik pergi persis seperti di dalam anime-nya. Imajinasi

menyeruak masuk ke dalam lingkungan sosial melalui keaktifan para pemainnya

dalam memerhatikan denting suara dari permainan ini, bahkan di ruang-ruang

kelas.157

Geyol yang tidak memiliki kemampuan akses yang sama memilih untuk

bergabung dengan komunitas yang berisikan orang-orang yang memiliki koleksi

mainan tokusatsu – seperti alat perubah dan senjata – yang lengkap, sehingga ia bisa

turut melakukan permainan sesuai dengan film yang ia tonton. Hasrat untuk bisa

menikmati lebih keberhadapannya dengan seri supersentai yang ia sukai menjelma

dalam tubuh: tubuh yang memiliki kemampuan rahasia yang kemudian diarahkan

pada mainan-mainan yang mereka konsumsi dan kenakan. Seakan-akan mereka

156 Wawancara dengan Xakha. 157 Allison (2002) – dengan mengutip Appadurai (1996) – melihat bahwa garis batas antara realitas dan imajinasi berubah sangat cepat dengan kehadiran permainan ini. Ia menyatakan bagaimana tidak hanya yang virtual menyeruak ke dalam realita sosial, tetapi juga yang sosial menjadi realita yang virtual. LIhat Anne Allison, Millenial Monster: Japanese Toys and Global Imagination (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 2006) Hal. 179

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

111

berharap bahwa dengan menyatunya tubuh dan mainan tersebut, begitu pula mereka

mendapatkan kemampuan super tersebut.158

Hal ini juga yang terjadi dengan John Switch. Ia mengatakan bahwa berkat

hobinya menikmati tayangan Jepang dan permainan komputernya, ia suka

membayangkan segala benda di hadapannya seakan benda di dunia virtual yang

memiliki kategori dan kemampuannya masing-masing. Dengan alasan tersebut, ia

masuk ke dunia cosplay. Ia ingin lebih jauh membayangkan hidup di dunia nyata

yang selayaknya virtual.159

Paparan ini menunjukkan bahwa pengisian waktu luang para narasumber ini

tidak hanya berhenti pada kegiatan menonton televisi. Seberapa besar kemampuan

mereka dalam mengakses produk-produk lainnya pun menentukan seberapa besar

mereka kemudian terbentuk menjadi pecinta budaya populer Jepang.

“temen-temen yang cenderung suka tokusatsu tu orang-orang yang punya.

Karena orang tuanya bisa menyewakan video-beta, punya beta player.

Karena itulah mereka kuat untuk beli mainan. Emang background

keluarganya kebanyakan orang kaya, orang punya, orang mampu lah…”160

Dengan kata lain, pertemuan dengan televisi tidak bisa begitu saja lengkap

hanya dengan disodorkannya jenis-jenis tayangan film televisi Jepang oleh sistem

stasiun televisi – dianggap sebagai pembaca pasif. Pertemuan dengan tayangan film

televisi Jepang juga kuat ditentukan oleh pemenuhan yang mereka lakukan di

158 Wawancara dengan Geyol. Allison (2006) juga melihat bahwa fenomena mimesis ini membentuk kesadaran baru dalam realitas anak-anak tersebut. (Ibid. Hal. 111 – 12) 159 Wawancara dengan John Switch 160 Wawancara dengan Geyol

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

112

pengisian waktu santai mereka. Mereka membangun ensiklopedi bukan hanya dengan

pengetahuan yang disodorkan oleh televisi, namun juga besar dipengaruhi oleh

kemampuan dan usaha mereka dalam melengkapinya atas bantuan dunia sekitarnya –

berlebihnya akses mereka terhadap dunia Jepang di waktu luang mereka. Bahkan

beberapa narasumber dengan jelas menyatakan bahwa mereka sangat bersyukur bisa

masuk dan berkenalan dengan teman-teman lain yang memiliki minat dan hobi sama

dengan mereka. Kira, misalnya, bisa sangat bahagia ketika sewaktu SMA dikenalkan

dengan teman yang juga menyukai Jepang. Mereka berdua kemudian membangun

komunitasnya sendiri di SMA tersebut. Geyol pun mengalami perasaan yang sama

ketika akhirnya menemukan komunitas YTFC di Yogyakarta. Dunia Jepang semacam

ini memberikan kehangatan bagi anak-anak muda ini untuk bisa terus aktif dan

melengkapi-memuaskan imajinasinya.

3.1.3. Mengidentifikasi dan Terus Menanti

Identifikasi mereka terhadap dunia Jepang yang mereka imajinasikan tentu

saja akan berbeda-beda tergantung pemilihan subjektif mereka terhadap objek Jepang

yang mereka paling sukai. Kira memilih seri tokusatsu terutama kamen rider

walaupun ia juga tetap rutin menonton anime dan membaca komik-komik Jepang.

Geyol memilih seri super sentai dalam genre tokusatsu, dan juga anime-anime yang

bertemakan kehidupan nyata seperti kehidupan sekolah dan olahraga. Xakha ketika

ditanya mengenai produk yang ia favoritkan, ia lebih memilih anime – walaupun

beberapa waktu sebelumnya dia intens bergabung dengan komunitas penggemar idol

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

113

group dan juga sempat bergabung dengan komunitas penggemar tokusatsu. Koh

Oyon tetap memilih menyukai dorama, walaupun ia juga rutin menonton anime dan

tokusatsu selama ia membuka usaha rental film. John Switch lebih menyukai dorama

atau anime yang berlatarkan sejarah walaupun ia banyak menceritakan kedekatannya

dengan digimon maupun dunia permainan komputer Jepang.

Yang menjadi pertanyaan di sini kemudian: dorongan apa yang begitu kuat

sehingga memaksa audiens untuk meminta dipuaskan terus menerus setiap harinya

dan setiap minggunya? Dorongan apa yang dapat membuat mereka bisa begitu

kecewa ketika jadwalnya terganggu oleh tayangan lain seperti siaran pertandingan

tinju, sepak bola, atau badminton bahkan ketika timnasnya yang bertanding?

Xakha yang memilih digimon sebagai anime favoritnya mengatakan bahwa

perubahan digimon-digimon-nya yang ia tunggu terus sampai penasaran.

“iya, upgrade terus […] baru terus kemampuannya, yang bikin orang tertarik

untuk ngikutin, besok ada apa lagi ya. Kayak penasaran gitu […] paling kena

spoiler sedikit. Katakanlah di satu seri, orangnya ada tujuh, yang ini sudah

berubah, yang ini besok berubah jadi apa ya”161

Kira yang menyukai seri kamen rider lebih menyukai cerita dan cara berubah tokoh-

tokohnya. Ia lebih memilih kamen rider dibandingkan dengan seri ultraman atau garo

karena ia menilai bahwa cerita ultraman semakin lama semakin aneh, dan cerita garo

terlalu complicated karena konsumsi dewasa. Ia bahkan tidak begitu suka seri-seri

terbaru dari kamen rider yang menampilkan terlalu banyak kamen rider di dalamnya

161 Wawancara dengan Xakha

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

114

dan berubah-ubah sehingga membingungkan dan membosankan. Ia tetap bertahan

dengan cerita lama kamen rider karena ceritanya yang menyenangkan dan tidak

membosankan dengan hanya satu tokohnya saja. Ia bahkan sempat menangis ketika

menyaksikan akhirnya satria baja hitam bisa berubah menjadi kamen rider black RX.

Ia terharu dengan mengikuti secara intens perkembangan seorang tokoh – tidak

terlalu banyak.

“Bingung saya itu. Jujur saya nonton kamen rider bingung ya itu. Semenjak

Ryuki itu ada 13 kamen rider, bingung. Berdebat sama adik saya waktu itu.

Tokohnya ini yang ini, ini yang ini. Salah semua. Hahaha…” 162

Koh Oyon yang menyukai dorama pun juga menyebutkan hal yang tidak jauh

berbeda, yaitu perubahan pada tokoh utamanya. Ia mengatakan bahwa:

“Itu apik. Aku seneng yang gitu-gitu. Ada dia yang bener-bener dari yang

bajingan jadi apik. Aku lebih seneng itu.”163

John Switch pun mengamininya dengan mengatakan:

“Logis kan dia bisa gitu kenapa. Ya dia latihan dari dulu. Dia emang punya

bakat dari pertama, terus akhirnya dikembang-kembangin ikut kompetisi dan

sebagainya, logis kan dia bisa ke luar negeri. Bukan karena tiba-tiba aku mau

gini, terus gitu thok, cring, tiba-tiba bisa.”164

Argumen-argumen ini membahasakan adanya dorongan kuat audiens untuk

terus dipuaskan dikarenakan adanya rasa penasaran untuk terus mengamati perubahan

yang terjadi pada tokoh utama. Kamen rider mendapat kekuatan baru dan berubah,

monster di digimon berevolusi sesuai dengan perkembangan diri sang pemilik, tokoh

162 Wawancara dengan Kira 163 Wawancara dengan Koh Oyon 164 Wawancara dengan John Switch

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

115

di dorama berusaha kerus melewati berbagai tantangan sehingga bisa mencapai goal-

nya. Mereka tidak ingin perubahan yang mereka nantikan terganggu oleh hadirnya

tayangan lain yang semena-mena menggantikan film kesayangan mereka.

Kesemuanya menanti perubahan yang akan terjadi di hari-hari berikutnya, atau

minggu-minggu berikutnya.165

Rasa penasaran untuk selalu mengikuti perubahan – bahkan kadang mencari

spoiler – menimbulkan yang disebut oleh Sonia Livingstone (2002) dengan

kecemasan. Menurut Livingstone, para penggemar budaya populer ini disebut dengan

istilah “generasi digital”. Salah satu ciri dari generasi ini adalah adanya kecemasan,

yaitu kecemasan untuk tidak bisa mengikuti cepatnya perkembangan arus informasi.

Dengan kata lain, generasi digital ini berisi orang-orang yang bersaing untuk “tidak

kalah tahu” dibanding orang-orang di sekitarnya. Mereka menempatkan media di

posisi vital dalam pengkonstruksian identitas diri, pembangunan kelompok sosial,

dan pemberian makna alternatif bagi budaya-budaya yang sudah ada.166

Dengan ini jelas bahwa hadirnya teknologi baru ini menempati posisi yang

vital. Teknologi ini menyeruak masuk ke dalam rutinitas keseharian para

penikmatnya dan memaksanya sebisa mungkin untuk mengerahkan tenaga dan

165 Bisa jadi ini juga alasan mengapa nama besar seperti doraemon tidak muncul sama sekali dari narasumber. Kehidupan nobita yang terus berulang tanpa perubahan untuk mencapai goalnya tidak menjadi ketertarikan yang memancing rasa penasaran untuk terus mengikuti dan mengembangkan ensiklopedi pembacanya. Permasalahan berkaitan dengan pembandingan nilai film Jepang tidak akan dibahas dalam penelitian ini karena memerlukan kerja terkhusus untuk membandingkan beberapa genre film televisi Jepang dan tradisi studionya. 166 Sonia Livingstone, Young People and New Media: Childhood and the Changing Media Environment, (London: Sage Publication, 2002), hlm. 2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

116

kemampuan (akses) untuk bisa selalu melengkapi yang diminta oleh sang teks itu

sendiri. Pada titik ini, dengan menganggap teknologi baru ini sebagai sebuah teks

yang menuntut pembaca aktif dalam membacanya, penelusuran perlu masuk pada

nilai-nilai yang dibaca pada relasi pembaca dengan film teksnya masing-masing.

3.2 (Pe)Nilai Film Televisi Jepang

Nilai-nilai dari film televisi Jepang tidak akan bisa ditentukan begitu saja

hanya dengan membaca filmnya. Nilai-nilai tersebut harus dibaca dari pertemuan

dengan film televisi Jepang yang disiarkan di Indonesia, dan pembaca Indonesia

dengan beragam kepenuhan pengetahuannya. Eco (1979) melihat bahwa pembaca

yang telah membaca sebuah teks dalam serial akan membawa pengetahuan yang

mereka dapatkan itu dalam membaca teks-teks berikutnya.167

Dalam artian, pembaca

film digimon yang runtut menonton dari awal, dan juga memainkan digivice juga di

rutinitas keseharian, akan menjadi model reader film televisi digimon. Begitu juga

pula yang terjadi ketika model reader anime digimon melanjutkan pembacaannya

dengan rutin mengikuti jenis film televisi Jepang yang lain.

Berdasarkan hal tersebut, pada bagian ini pembahasan akan masuk pada

bentuk-bentuk kegiatan menilai yang dilakukan oleh pembaca film televisi Jepang.

Pembahasan akan terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah pembahasan

mengenai kegiatan menilai film televisi Jepang yang membentuk adanya imaji

167 Eco (1979), op.cit, hal. 7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

117

tentang sebuah negara bernama Jepang. Pembahasan akan hal tersebut akan menjadi

landasan penting dalam melihat peng-amin-an identitas ke-Jepang-an pada bagian

kedua, karena imaji negara Jepang yang di-amin-i tersebut memancing pembaca

dalam menyimpulkan nilai ke-Jepang-an tertentu. Proses peng-amin-an seperti itu

yang menggambarkan adanya penarikan nilai-nilai “yang dianggap” Jepang dari

pertemuan pembaca dengan film televisi Jepang di Indonesia.

3.2.1 Not Impossible World : Teknologi, Kota, dan Sejarah

Proses peng-amin-an terhadap nilai-nilai yang didapat oleh pembaca dari

pertemuannya dengan film-teks tidak begitu saja bisa terjadi tanpa adanya

pengetahuan yang mendukung pembacaan tersebut. Seperti yang sudah dibahas

sebelumya, model reader film televisi Jepang bergantung kepada seberapa intens

pengetahuan mereka dibangun dalam keseharian di luar kegiatan menonton mereka.

Pembaca menilai film-teks atas persetujuan pengetahuan yang mereka bawa.

Pembaca tidak bisa begitu saja menilai bagian-bagian film yang tidak tersetujui.

Nilai-nilai yang mereka gambarkan atas pertemuan mereka dengan film-teks juga

secara tidak langsung menunjukkan pengetahuan apa saja yang mereka dapat dari

sekitar mereka.

Dalam hal ini, analisis Saya Shiraishi terhadap anime Doraemon di negara-

negara Asia, terutama Indonesia, dapat dibenarkan. Saya Shiraishi menyatakan bahwa

salah satu alasan mengapa Doraemon bisa disukai adalah kuatnya pemberian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

118

optimisme terhadap (kemajuan) teknologi.168

Doraemon disiarkan secara masif

seturut dengan masifnya persebaran teknologi televisi di Indonesia dan munculnya

stasiun televisi swasta untuk pertama kalinya. Masifnya penyiaran Doraemon –

berarti juga masifnya persebaran nilai optimisme terhadap teknologi – tepat sasaran

karena masyarakat juga sudah akrab dengan nama Jepang dan kemajuan teknologi

negara tersebut sejak dekade sebelumnya, yaitu sejak Jepang menguasai industri

manufaktur di Indonesia. Sejak periode 70an awal, Jepang telah menguasai industri

manufaktur di Indonesia – sehingga nama-nama produk Jepang telah akrab di tengah

keseharian masyarakat Indonesia – dan justru bukan nama Amerika karena yang

dikuasai Amerika adalah pertambangan.169

Masyarakat Indonesia sudah biasa melihat

televisi, kendaraan bermotor, perkakas dapur, peralatan mandi, dan lain-lain yang

ditempeli merk berbahasa Jepang. Pengetahuan semacam ini terbawa dalam

pembacaan film-teks Doraemon beberapa tahun setelahnya – baik secara langsung,

maupun melalui transfer pengetahuan dari orang tua (pengasuh) kepada anak.

Transfer semacam ini terlihat pada contoh berikut:

“Ya dikasih tahu. Ya itu kan tiap awal sama endingnya kan pasti ada tulisan-

tulisan Jepang. Bapak baca, terus nerjemahin ke aku…”170

Transfer pengetahuan semacam ini menjadi penting karena pembaca Doraemon

adalah sebagian besar anak-anak yang belum bisa secara langsung mendapatkan

akses terhadap pengetahuan tersebut. Pemberian pengetahuan tersebut, dan juga

168 Saya Shiraishi, Doraemon Goes Abroad, dlm Craig (2002), op.cit., hal. 293 169 Widiarsi Agustina, et. al., (2014), op.cit., hal.13 170 Wawancara dengan Kira

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

119

pembacaan terhadap film-teks Doraemon dari Jepang, menciptakan garis penghubung

antara optimisme kemajuan teknologi dengan negara Jepang. Secara definitif,

pembaca membentuk sebuah kalimat: Jepang adalah negara dengan teknologi maju.

Dari situ, strata Jepang sebagai negara yang dilihat, dengan Indonesia sebagai negara

yang memandangnya pun tercipta.

“Canggih. Itu alatnya Jepang semua soalnya.[…] ya paling teknologi sih. Itu

perbedaan [dengan Indonesia] yang paling kenceng banget”171

Namun, justru nama Doraemon tidak pernah keluar dalam wawancara ketika

narasumber ditanya mengenai film-teks yang mereka favoritkan. Mereka mengenal

anime itu, dan masih menghafal jam tayangnya setiap hari Minggu. Itu menandakan

bahwa mereka juga menontonnya, namun kesadaran akan nilai dari Doraemon sudah

masuk ke bawah sadar mereka dan menjadi pengetahuan umum bagi mereka. Mereka

sudah beranjak dari anime tersebut, yaitu beranjak dari kegiatan mengevaluasi film-

teks berdasarkan dunia yang direferensikannya. Mereka membawa hasil evaluasi –

pengetahuan – yang didapat sebelumnya untuk tidak sekedar mengevaluasi anime-

anime berikutnya, tetapi berusaha untuk masuk berimersi di dalam dunia film-teks

yang mereka hadapi.172

Masuknya narasumber ke dalam dunia film-teks yang mereka hadapi terlihat

dari cara mereka menceritakan film-teks yang mereka favoritkan. Geyol mengatakan

bahwa ia menyukai film-film yang riil, seperti lifestyle-anime, dibandingkan dengan

171 Wawancara dengan Kira 172 Marie-Laure Ryan (2001), op.cit., hal. 101-04

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

120

anime yang fiksi. Ia tidak begitu suka yang fiktif, sehingga ketika memilih anime pun

ia akan memilih anime yang bertemakan dunia nyata, seperti sekolah atau olahraga.

Karena di kesehariannya ia juga sempat tergabung dengan Yogyakarta Tokusatsu

Fans Club, maka ketika memilih tokusatsu pun ia lebih memilih genre super-sentai

yang masih menunjukkan kerja sama tim layaknya dunia nyata.173

Koh Oyon

mengatakan bahwa ia menyukai dorama karena lebih ada wujudnya. Dalam artian, ia

lebih bisa berimersi dengan tokoh utama di dorama dibanding dengan di anime atau

fiksi. John Switch pun menyukai film-teks Jepang, baik itu dorama maupun anime,

yang menggambarkan kehidupan nyata karena ia bisa membayangkan berada dalam

film-teks tersebut. Ia sampai bisa membayangkan berada di tengah-tengah ibu-ibu

yang sedang menggosip di dalam film-teks tersebut.

“terus misalkan, ibu-ibu gosip ya misalkan, woh ternyata ada yang sempet

nyeletuk, wah jam buang sampah tu jam segini. Pas tak lihat, emang jam

buang sampah jam segini? Pas ngecek di kebudayaan kota-kota Jepang,

ternyata memang ada jam buang sampah di Jepang tu jam segini.”174

Mereka tidak hanya membayangkan berada di tengah-tengah dunia yang

sedang mereka hadapi, tetapi juga terus menambah pengetahuan dari luarnya ketika

menemukan sesuatu yang masih kosong ketika mereka hadapi.

“misalkan sempet lihat, ternyata orang lebih suka, kalau di anime terlihat,

wah ternyata mereka lebih suka jalan daripada naik sepeda, kenapa ya”175

173 Anne Allison menyebutnya sebagai keunggulan dari seri supersentai yang kemudian populer setelah dibuat ulang oleh Amerika dengan Mighty Morphin Power Ranger – yang juga popular di televisi Indonesia. Lihat Allison (2006) op.cit., Hal. 95 174 Wawancara dengan John Switch 175 Wawancara dengan John Switch

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 134: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

121

Karena mendapati hal tersebut, ia mencari tahu di berbagai literatur dan media

hingga ia menemukan (atau menyimpulkan) fakta bahwa bentuk kota di Jepang itu

kecil dan saling berdekatan. Ia membedakan dengan keadaan di Indonesia yang

jalannya besar-besar dan jauh, sehingga wajar banyak orang menggunakan kendaraan

pribadi dibanding angkutan umum. Dengan penambahan pengetahuan secara mandiri

tersebut, imersi yang mereka inginkan akan tercipta jauh lebih dalam.

Yang paling jelas, imersi mereka semakin terlihat ketika mereka menceritakan

film-teks yang mereka tonton dengan membandingkannya pada film Korea maupun

Indonesia yang jam tayangnya seringkali bersaing di televisi Indonesia. Mereka

menyatakan bahwa drama Korea yang “ngono-ngono wae”, ataupun sinetron

Indonesia “yang lebay,” berbeda dengan film Jepang yang logis.

“Masih logis. Namanya drama ya tetap aja gak pernah ada yang logis. Tapi,

kesannya tu masih bisa dijangkau dengan otak ya […] logis, bukan karena

tiba-tiba mau gini terus cuman gitu , ting! Tiba-tiba bisa. Itu gak logis.”176

Dari kutipan ini terlihat bahwa mereka melihat latar tempat – seperti kota,

desa, atau sekolah – dalam film-teks tidak hanya salah satu aspek yang membuat

mereka bisa merasakan kesan berada di tengah dunia film-teks tersebut. Se-fiksi apa

pun film-teks Jepang yang mereka hadapi, mereka menggeneralisir dengan

menilainya sebagai sesuatu yang aktual – yang logis, atau paling tidak lebih logis

dibanding cara film-teks Indonesia menyampaikan situasi keseharian di Indonesia.

176 Wawancara dengan John Switch

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 135: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

122

Kelogisan yang mereka kemukakan bahkan beranjak pada jenis-jenis film-

teks Jepang yang banyak menarasikan sejarah, ataupun film-teks yang memasukkan

latar sejarah baik dalam latar tempat, waktu, maupun penokohannya. Salah satu

narasumber tidak menyatakan bahwa anime semacam Jigoku Sensei Nube, yang

menggambarkan seorang guru sekolah yang memiliki tangan setan dan mampu

mengendalikan kemampuan setan, atau anime Tobe-Isami, yang menggambarkan

perjalanan masa lalu sang tokoh utama kembali ke era shinsengumi, sebagai film-teks

yang tidak logis. Ia tetap bisa menilai kedua anime tersebut dari sisi lain, dan

menghindari menyebutnya sebagai tidak logis. Ia berargumen bahwa ia belajar

banyak sejarah Jepang dari kedua anime tersebut, baik sejarah hantu-hantu dan

legenda Jepang maupun sejarah kelompok shinsengumi. Ia berargumen:

“Di Jepang sendiri kan, samurai, dan semuanya yang berhubungan dengan

masa lalu paling dihormati kan […] kegiatan-kegiatan bersejarah yang

menngangkat sejarah-sejarah dan perayaan sejarah, kesannya bagi mereka,

itu hal yang menarik. Bukan menarik lagi, itu hal-hal luar biasa. Itu aset

negara bagi mereka […] buat keuntungan mereka. Tapi di sini jarang. Malah

dipermasalahkan terus…177

Pada argumen ini terlihat bagaimana ia menerima pertemuannya dengan film-

teks Jepang sebagai sesuatu yang seharusnya terjadi, dan hal tersebut tidak terjadi di

Indonesia. Ia kemudian bahkan menegaskan bahwa jenis film yang sekarang sedang

tren di Jepang adalah Taiga-dorama, yaitu film drama yang bertemakan sejarah –

menarasikan ulang sejarah. Ia tidak memandang realita yang ia dapatkan dari film-

teks itu tidak logis, tetapi justru mengkontraskannya dengan membawa

177 Wawancara dengan John Switch

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 136: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

123

pengetahuannya atas Indonesia untuk menilai film-teks tersebut – sekaligus menilai

Jepang. Ia melakukan kegiatan menilai, dan sekaligus melakukan kegiatan imersi

pada pembacaan film-teks tersebut.178

Geyol pun menyatakan hal yang serupa ketika menilai perkembangan

tokusatsu hingga sekarang. Ia menilai bahwa film-film tokusatsu yang muncul hingga

sekarang semakin tidak membawakan konsep budaya khas Jepang, seperti ninja

ataupun samurai yang otentik. Ia berargumen bahwa pembawaan nilai ninja atau

samurai harus budaya Jepang, tidak bisa dijadikan banal dengan memasukkan unsur-

unsur modern. Ia menilai bahwa seorang ninja harus berambut hitam, secara fisik

sesuai dengan gambaran orang Jepang, dan benar-benar memiliki kemampuan yang

sepadan dengan seorang ninja – bukan sekedar akting.179

Kira pun juga sejalan

dengan argumen tersebut, yaitu mengenai film kamen rider Gaim yang masih

“Jepang banget” desainnya karena membawakan unsur samurai. Hal ini menjadi

alasannya untuk tetap mengikuti seri kamen rider. Kedua narasumber ini juga

melakukan kegiatan menilai berdasarkan pengetahuan yang sudah terbentuk selama

ini dari pertemuannya dengan film-teks Jepang, atau bahkan sebaliknya –

melanjutkan imersinya pada film-teks Jepang berdasarkan nilai yang mereka

simpulkan.

178 Ia bahkan menambahi pengalamannya berkunjung ke Jepang dan minum air dari sumur yang dulu menjadi tempat istirahat Oda Nobunaga. Ia menyatakan bahwa ia bisa merasakan kesan sebagai Oda Nobunaga ketika akhirnya berhasil mewujudkan kegiatan tersebut. 179 Wawancara dengan Geyol

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 137: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

124

Berdasar argumen-argumen yang telah dinyatakan di atas, para narasumber ini

membutuhkan peng-amin-an terhadap dunia yang disajikan di hadapan mereka.

Dengan kata lain, mereka merubah yang fiksi menjadi dunia nyata atas bantuan

semesta pengetahuan yang mereka terima atau mereka cari secara mandiri, baik itu

teknologi, kota, maupun sejarahnya. Nilai-nilai yang mereka terima dari pembacaan

film-teks ini yang nantinya akan melancarkan proses imersi mereka ke dalam teks

tersebut. Mereka tidak hanya memandang film-teks dari luar, tetapi juga menyeruak

masuk – merasai menjadi tokoh di dalamnya.

3.2.2 Shinka180

: Pantang Menyerah, Disiplin, dan Kekerabatan

Ketika membicarakan bagaimana film televisi Jepang dapat menjadi arena

imersi bagi pembacanya, pembahasan harus berangkat dari periode paska-perang di

Jepang, di mana budaya visual Jepang mulai dipandang di luar Jepang. MacWilliams

(2002) melihat bahwa kemampuan budaya visual Jepang yang semacam ini berangkat

sejak meledaknya karya Osamu Tezuka pada 1963 di dunia internasional. Ia menilai

bahwa Tezuka hebat dalam menyiasati “otherness”, yaitu keberjarakan dari dunia

nyata dan kehidupan para pembacanya. Tezuka mampu untuk meletakkan simbol-

simbol, karakter, kejadian-kejadian, dan detil-detil yang sesuai dengan jamannya

180 Shinka dapat diartikan evolusi, atau perubahan, atau proses perubahan (progress). Digimon meneriakkan istilah ini untuk menandai proses perkembangan dan perubahan digimon ke spesies yang lebih kuat. Yang ingin ditekankan di sini adalah adanya unsur proses dalam perubahan tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 138: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

125

menjadi latar cerita yang mendasar tanpa menjadikannya anakronisme yang seakan

tidak pada tempatnya.181

Siasat film-teks tersebut dalam menyikapi “otherness” semacam ini membuat

pembaca tidak lagi merasa kesulitan dalam berimersi dalam film-teks. Pembaca dapat

lebih mudah mengamini fiksi yang disampaikan di dalam film-teks menjadi suatu

yang aktual. William M. Tsutsui (2006) dalam analisisnya mengenai film Godzilla

dan Rikidouzan mengatakan bahwa siasat ini berkaitan dengan strategi fake-

nationalism dan menghilangkan ke-Jepang-an:

Nationality of Rikidouzan or Godzilla was consumed in part because it was

fictional […] culture that could enjoy the fake as the fake […] both that the

enjoyment of Rikidouzan was based on a cognizance of his constructed

performance, and that his status as epitomizing ideal Japaneseness was thus

only possible through the fictionality of his nationality.182

Susan J. Napier (2005) mengatakan bahwa bagi sebagian besar konsumsen

anime di Jepang, kebudayaan yang mereka hadapi sudah bukanlah kebudayaan

Jepang yang otentis.183

Iwabuchi (2002) melihatnya dengan menggunakan istilah

mukokuseki (nationless), yang di Jepang memili dua pemahaman, yaitu; menandakan

adanya pencampuran elemen-elemen dari berbagai kebudayaan, dan menyiratkan

adanya erosi terhadap karakter kebudayaan tertentu.184

181 Mark Wheeler MacWilliams, Japanese Comics and Religion: Osamu Tezuka’s Story of the Buddha, dalam Craig (2002), op.cit., hal. 119 – 21. 182 William M. Tsutsui dan Michiko Ito. (2006) op.cit. hal 78-9 183 Susan J. Napier, Anime From Akira to Howl’s Moving Castle: Experiencing Contemporary Japanese Animation (New York: Palgrave Macmillan, 2005) Hal. 22 184 Iwabuchi (2002) op.cit. Hal. 71

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 139: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

126

Berdasarkan hal-hal ini, pengambilan nilai-nilai oleh pembaca Indonesia dan

memaknainya sebagai sesuatu yang Jepang memiliki unsur kesemena-menaan.

Dinamika mereka dalam membaca pun menjadi ambigu, karena mereka menciptakan

Jepang mereka sendiri. Mereka mengamini latar yang “Jepang”, lalu masuk ke dalam

kehidupan yang “Jepang”, dan seturut perjalanan film yang dihadapi, mereka

mengambil nilai-nilai dan mengakuinya sebagai Jepang.

Salah seorang narasumber mengatakan mengenai nilai pantang menyerah

yang dimiliki tokoh kamen rider yang ia sukai. Kotaro Minami dalam Kamen Rider

Black bisa dihajar habis-habisan, hingga mati, namun ia bangkit kembali karena

usahanya belum selesai. Bahkan, karena usahanya yang belum selesai, melalui tetesan

air mata orang-orang di sekitarnya, ia mendapat kemampuan baru dari matahari dan

berubah menjadi Kamen Rider Black RX. Dengan tangisan anak matahari, ia

melanjutkan perjuangannya. Proses berjuang keras seperti ini yang dihargai sebagai

aspek yang akan merubah kehidupan. Narasumber ini menilai bahwa orang Jepang

mementingkan proses dibandingkan hasil akhir. Nilai yang narasumber dapatkan dari

film kamen rider ini ia gunakan untuk memaknai keberhasilannya dalam berangkat ke

Jepang sesuai dengan mimpinya: “Usaha keras tidak akan mengkhianati.”

Narasumber yang menyukai digimon menyatakan bahwa adegan yang paling

ia suka dari 50 episode digimon adventure 1 adalah perubahan terakhir wargreymon

dan metalgarurumon . Perubahan ini bisa terjadi ketika dua pemilik digimon tersebut,

yaitu Taichi dan Yamato, berusaha keras untuk melindungi bumi bersama anak-anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 140: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

127

terpilih dari seluruh bumi. Usaha pantang menyerah yang meruka berdua lakukan

menampilkan bagaimana mereka tidak peduli dengan kondisi badan yang sudah

hampir mati. Perubahan kedewasaan dua anak SD ini memancing angewomon untuk

menembakkan panah cahaya ke tubuh mereka berdua, yang akhirnya digimon yang

mereka miliki bisa melakukan mega-evolution.

Narasumber yang menyukai dorama menyatakan bahwa ia menyukai

bagaimana perubahan yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Pada Great Teacher

Onizuka, ia melihat bagaimana seorang guru bisa merubah murid-muridnya yang

nakal-nakal menjadi murid-murid yang mau berusaha keras demi kehidupannya. Di

dorama berjudul Yasuko to Kenji, ia menyukai bagaimana mantan ketua geng motor

yang notabene bajingan dan hidup dengan kebebesan, berusaha keras untuk menjadi

seorang komikus. Usaha yang dilakukan sang tokoh utama menampilkan bagaimana

sang tokoh berusaha untuk berdisiplin dengan masyarakat, dengan ritme kerja tinggi

dan jam yang teratur. Walaupun sang tokoh akhirnya tidak menjadi komikus, tetapi

justru membuat warung di pinggir jalan, narasumber menilai bahwa usaha keras

untuk berubah dari bajingan menjadi baik itu merupakan nilai utama yang ia lihat.

Lagi-lagi di sini terlihat bagaimana bukanlah hasil yang penting, namun prosesnya.

Narasumber yang lain mencontohkan nilai-nilai yang ia dapat dengan dorama

berjenis olahraga. Ia mengatakan bahwa dorama Jepang berbeda dengan drama di

Indonesia maupun Korea. Dorama Jepang selalu menampilkan usaha keras sang

tokoh untuk mencapai mimpinya, dan bukan mimpinya itu sendiri yang menjadi poin

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 141: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

128

utama. Pada titik inilah ia menyebut dorama Jepang sangat logis. Seperti pada

dorama Long Vacation, ia melihat bahwa sang tokoh utama berusaha keras untuk

latihan, mengikuti berbagai macam kompetisi, mengembangkan kemampuannya,

sehingga akhirnya dia bisa ke luar negeri.

Dari semua argumen narasumber ini, terlihat adanya proses perubahan

kehidupan (kepribadian) yang ditandai dengan adanya evolusi. Beberapa narasumber

mengatakan bahwa hal ini yang melatarbelakangi pola pikir masyarakat Jepang sejak

anak-anak untuk berdisiplin dalam menjalani ritme kehidupan di tengah masyarakat.

“Kalau pingin hidup ya kayak gitu,” kata salah seorang narasumber. Narasumber

yang lain juga mengatakan:

“pola pikir masyarakat Jepang itu adalah mereka setia, dengan pekerjaan.

Dan maksudnya dengan loyalnya. Loyalitasnya itu, pola pikir bushido

kasarannya. Pola pikir samurai”

Hal-hal ini menunjukkan nilai kedisiplinan yang diperlukan oleh orang Jepang

untuk diterima dalam berbagai aspek masyarakat, baik sekolah, keluarga, lingkungan

pertemanan, pekerjaan, maupun bidang olahraga. Film-teks yang mereka hadapi

selalu menggambarkan usaha keras sang tokoh dalam menjadi manusia yang lebih

baik, apa pun tujuan akhir yang dibawanya. Perubahan kepribadian yang

digambarkan sang tokoh menjadi lebih dewasa – dalam artian lebih disiplin – dalam

mencapai impiannya tersebut menjadi alasan mengapa narasumber-narasumber ini

merasa film Jepang lebih cocok dalam format serial panjang. “Kalau Jepang

cenderung berat banget kalau di movie,” kata salah seorang narasumber. Proses

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 142: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

129

berubah dalam mendisiplinkan diri dan pola pikir tersebut yang menuntut film-teks

Jepang harus menyampaikan narasinya secara pelan-pelan dalam setiap episodnya.

Eri Izawa (2002) mengatakan hal serupa melalui penelitiannya mengenai

nilai-nilai ke-Jepang-an dalam film-teks Jepang. Ia mengatakan bahwa:

The essence of the anime world, however, lies in the characters that inhabit it

[…] the mental and emotional plight of the individual character in anime is

almost never forgotten. In fact, it is often central, and the characters‟

emotions […] tendency to highlight the individual struggle is […] even stories

about “normal” people are turned into high drama […] these thoughts,

actions, the very expressions on the characters‟ faces – joy, sorrow,

humiliation, triumph – are magnified […] 185

Bahkan beberapa karakter dalam film-teks Jepang yang diberkahi kemampuan

super seringkali digambarkan sebagai “lone wolf” karena justru terbebani dengan

kemampuan supernya. Beban kemampuan paling berat adalah immortality,

kemampuan yang di dunia nyata sering kali diidamkan. Tokoh di dalam film-teks ini

justru biasanya melihatnya sebagai sebuah kutukan. Tokoh-tokoh berkemampuan ini

biasanya bertarung menggunakan kemampuannya justru untuk mencari nilai dari

hidupnya yang berbeda.

Eri Izawa menyimpulkan bahwa pelajaran hidup yang dibaca melalui film-

teks Jepang itu berkaitan dengan perjuangan (struggle), yang meski tidak

menyenangkan, tapi itu perlu. Kenyataan itu kejam, kemenangan selalu datang

dengan penalti, dan para pahlawan ini berkutat dan jatuh pada kekelaman, kehancuran,

185 Eri Izawa, The Romantic, Passionate Japanese in Anime: A Look at the Hidden Japanese Soul, dalam Craig (2002), op.cit., hal. 145 - 47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 143: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

130

kemarahan, dan lain-lain. Kadang mereka mati. Tetapi mereka tetap bertarung.

Kadang mereka justru harus mengalahkan dirinya sendiri sebelum bisa melihat dunia.

It is this dynamic, passionate, continuing struggle of the individual characters

that gives these stories life, and not only keeps the audience intrigued but

gives them encouragement in their own everyday trials. “Never give up” it

tells them, “no matter what happens!”186

Nilai berikutnya yang didapatkan dari pembacaan terhadap film-teks Jepang

adalah nilai yang berkaitan dengan garis hubungan individualitas dan kerja sama.

Salah seorang narasumber mengatakan bahwa ia menyukai film tokusatsu seri super-

sentai karena kerja tim yang dilakukan dengan banyak jenis orang. Biasanya dalam

film supersentai, sebuah tim selalu memiliki tokoh yang kuat, tokoh yang pintar dan

logis, tokoh yang membawa nilai modern. Namun, yang selalu menjadi tokoh utama,

sekaligus pemimpin, di tim tersebut adalah ranger merah yang tidak pintar, tidak kuat,

dan hidup biasa-biasa saja – tidak membawa nilai modern seperti fashion dan

shopping-holic. Nilai lebih yang dibawa tokoh ini – dan menjadi alasan bagi

posisinya sebagai kapten – adalah keinginannya untuk berbuat sesuatu demi sesama

dan selalu memikirkan kepentingan orang lain. Ia selalu digambarkan sebagai sosok

yang paling cepat mengorbankan dirinya demi menyelamatkan orang lain.

Eri Izawa (2002) menyatakan bahwa bahkan ketika tokoh di dalam film-teks

Jepang sibuk dengan perjuangan dirinya sendiri, dengan kemampuannya sendiri,

mereka seringkali akhirnya menemukan kenyataan bahwa ternyata kemampuannya

akan maksimal ketika ia berjuang untuk orang lain, dan dari situ biasanya sang tokoh

186 Ibid, hal. 150

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 144: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

131

mempelajari nilai hidup dan kemampuannya. Puncaknya, jelas adalah munculnya

sekilas gambaran kebijaksanaan atau pencerahan pada sang pahlawan – dan juga

terlihat oleh para pembaca. Ada bagian kecil dari cerita yang selalu menggambarkan

adanya kebahagiaan yang mengalahkan kesakitan, cinta yang melampaui kematian,

dan nilai-nilai lain yang penting untuk diperjuangkan.

Hal ini juga terlihat dari kesaksian narasumber lain yang menyukai digimon,

terutama ketika perubahan kedewasaan Taichi dan Yamato sanggup merubah

digimonnya menuju mega-evolution. Dua tokoh ini – dan hanya dua tokoh ini yang

mendapat kemampuan tersebut – mengalami perubahan kepribadian karena usaha

kerasnya dalam melindungi bumi dan anak-anak terpilih yang lain. Perubahan ini

mempengaruhi digimonnya karena mereka berdua menjadi lebih percaya dengan

digimonnya dibanding sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang

terjadi di antara kedua pihak tersebut – baik manusia maupun digimon – hanya bisa

terjadi dengan adanya keterikatan dari keduanya. Bahkan, mereka pun akhirnya

meraih kemampuan tersebut karena mendapat kepercayaan dari angewomon yang

menembakkan panah cahaya ke arah mereka.

Dalam dorama-dorama yang dijelaskan oleh narasumber yang lain pun

terlihat jelas bagaimana usaha keras sang tokoh utama berdasarkan pada

hubungannya dengan orang lain. Dalam Yasuko to Kenji, Kenji yang seorang anggota

geng motor ketika ingin menjadi komikus perlu untuk berusaha keras demi adiknya

yang masih SMA. Dalam Great Teacher Onizuka pun, tokoh Onizuka seringkali

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 145: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

132

mengatasi kenakalan murid-muridnya dengan menanamkan nilai-nilai kerja sama di

antara murid-murid tersebut.

Dari adanya nilai-nilai ini terlihat bagaimana film-teks Jepang menampilkan

usaha keras seorang individu untuk berdisiplin menggapai sesuatu secara individu,

namun juga tidak pernah bisa terlepas dari keberadaannya di tengah yang lain.

Individualitas yang seringkali ditampilkan sangat kuat oleh tokoh-tokohnya

berdampingan dengan nilai kekerabatan yang tetap berusaha terus diajarkan. Nilai

seperti ini juga yang diungkap oleh Hiroshi Yamanaka dalam MacWilliam (2008),

ketika menganalisis film Spirited Away karya Hayao Miyazaki.187

Tokoh di dalam

anime ini bisa mendapatkan kediriannya juga karena perhatian dan kebaikan yang

ditunjukkan oleh individu di sekitarnya, termasuk orang tuanya. Yamanaka

menyimpulkan bahwa alasan di balik kesuksesan tokoh utama dalam menemukan

identitasnya adalah “invisible affectionate support network.” Dalam artian,

kesuksesan tokoh utama dalam film-film Hayao Miyazaki demi menggapai tujuan

akhirnya berujung pada afirmasi bahwa mereka adalah bagian dari keluarga ataupun

komunitasnya. Dalam dunia Hayao Miyazaki, tokoh utama tidak pernah kehilangan

ikatan sosialnya dalam menggapai independensi tujuannya. Tokoh-tokoh ini justru

membangun ikatan baru, persahabatan baru, keluarga baru untuk bisa bertahan dalam

perjuangannya.

187 Hayao Miyazaki, dengan Studio Ghibli yang ia dirikan, merupakan nama besar dalam dunia animasi Jepang, yang pada medio 1990-an hingga 2000-an awal disebut “Fenomena Miyazaki.” Film-filmnya banyak diakui di dunia internasional, bahkan karyanya yang berjudul Spirited Away ini merupakan anime pertama yang memenangkan Academy Award di tahun 2001.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 146: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

133

“Individuality in Spirited Away is established through the help of an

interpersonal network of friends, rather than through the lonely struggle

represented in the modern Western mythic type.”188

Hayao Miyazaki, juga Osamu Tezuka, merupakan nama-nama besar yang

pengaruhnya di dunia narasi media visual Jepang tidak bisa dinafikan. Nilai

individualitas yang berbalut erat dengan kekerabatan menjadi poin penting yang

banyak disampaikan oleh berbagai film televisi, baik anime, tokusatsu, maupun

dorama. Pembaruan hidup, seperti perubahan maupun evolusi, dalam dunia film

televisi Jepang selalu berkaitan dengan apa yang menjadi dasar dari diri masing-

masing, seperti ikatan. Proses perubahan yang disukai oleh narasumber-narasumber

ini selalu berujung dengan penemuan kembali apa yang menjadi dasar dari diri

masing-masing, seperti Taichi dan Yamato yang akhirnya bisa membuat digimonnya

berevolusi karena mereka menyadari pentingnya berjuang untuk demi bumi dan

berjuang bersama sesama anak-anak terpilih dari seluruh dunia. Hayao Miyazaki

bahkan dengan tegas mengatakan:

“No! I‟m fed up with exposing the differences between people. That‟s what

human nature is all about. Rather, it seems more important to think about

how we can live together. With the twentieth century coming to an end, and

various problems pilling up before us, don‟t you think there is no use dwelling

on such things?”189

Seperti yang sudah dikatakan oleh para narasumber, mereka dengan setia

menanti siaran anime maupun dorama di televisi sewaktu mereka kecil, hingga

akhirnya mengikuti terus sampai sekarang karena didasari adanya rasa penasaran

188 Hiroshi Yamanaka, The Utopian “Power to Live”: The Significance of the Miyazaki Phenomenon, dalam MacWilliam (2008), op.cit, 245 - 49 189 Ibid, hal. 248

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 147: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

134

terhadap proses perubahan yang terjadi pada tokoh-tokoh di dalam film-teks tersebut.

Mereka berimersi terhadap film-teks di hadapannya dan merasakan menjadi tokoh

yang menjalani proses tersebut. Tangisan anak matahari yang dialami kamen rider

black pun ikut menjelma menjadi tangisan pembaca filmnya. Yang perlu diingat,

sebagai film serial, imersi semacam ini hanya bisa terjadi pada pembaca yang secara

runtut membaca dan melengkapi pengetahuannya mengenai dunia yang ia hadapi. Ini

menjadi syarat yang tidak semua pembaca akan bisa memenuhinya – mereka dituntut

aktif. Hanya setelah mereka bisa mengaktualisasikan dunia virtual di hadapannya,

mereka bisa masuk menjadi ke dalam realitas virtual.

The visitors to the world anime journeys across the boundaries of time and

space, through mysterious realms and epic histories, through the lives of the

characters who laugh and cry and dream, through emotions and experiences

too profound for words… and then gently back to reality, carrying priceless

and encouraging echoes of the message of hope, which promises: “The future

will be glorious, if only we remember what is truly important and persevere

no matter what.[…] It is hard to maintain something divine in this world; it is

easy to forget. Anime serves to remind”190

3.3 Kesimpulan: Mereka(?) dan Kita-Indonesia

Dari paparan yang telah disampaikan sepanjang bab ini, ada dua hal yang

dapat dilihat. Pertama, perbedaan kepenuhan pengetahuan yang dibawa oleh pembaca

mempengaruhi pertemuan mereka dalam film-teks. Teknologi baru yang masuk ke

Indonesia ini didukung dengan pengetahuan atas negara bernama Jepang yang telah

terbentuk mulai masa kembalinya Jepang ke Indonesia – bukan masa penjajahan.

190 Eri Izawa, The Romantic, Passionate Japanese in Anime: A Look at the Hidden Japanese Soul, dalam Craig (2002), op.cit., hal. 151 - 52)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 148: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

135

Ingatan mengenai penjajahan justru menjadi pengetahuan yang dilupakan dalam

pembacaan ini. Wacana Jepang sebagai negara maju yang membantu perkembangan

ekonomi Indonesia diperkuat dengan hadirnya narasi-narasi melalui film-teks, dan

justru meredupkan narasi mengenai penjajahan. Keberlebihan akses dalam

melengkapi pengetahuan untuk membaca film-teks juga menjadi alasan mengapa

semua orang yang menonton anime di televisi tidak begitu saja menjadi anak Jepang-

jepangan.

Kedua, narasi mengenai nilai-nilai yang dianggap “Jepang” oleh para

pembaca kemudian semakin memperkuat wacana yang terbentuk sebelumya. Dengan

nilai-nilai positif yang mereka ambil – yang tentu seringkali mereka kontraskan

dengan konteks Indonesia – dan didukung dengan latar yang memudahkan mereka

berimersi, pembaca film-teks Jepang menyimpulkan imaji negara Jepang hanya

dengan pertemuannya dengan film-teks. Penggabungan keduanya menciptakan

imajinasi masa depan yang mungkin tercipta bagi mereka. Jepang bukanlah

impossible-world, oleh karena itu Indonesia pun bisa menggapainya dengan

menanamkan nilai-nilai yang sama. Jepang bukanlah negara maju yang

diimajinasikan oleh para pembaca ini, tetapi masa depan Indonesia lah yang menjadi

imajinasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 149: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

136

BAB IV

MENCARI POSSIBLE-WORLD JEPANG, MENEMUKAN INDONESIA

Pada bab II telah dibahas sejarah perkembangan film di Jepang melalui ranah

ideologis dan keterpengaruhannya dengan kapasitas modernitas (Barat), sehingga kita

bisa mulai melihat film Jepang sebagai sebuah bahasa kosong yang maknanya akan

selalu digiatkan melalui berbagai usaha. Bab tersebut juga telah menunjukkan usaha

dalam memetakan semesta wacana akan Jepang yang selama ini beredar di Indonesia.

Kedua aspek ini menunjukkan bagaimana intentio auctoris berusaha dibahasakan

dalam pembentukan media film dan mempengaruhi adanya intentio operis oleh

media-media yang masuk ke Indonesia – terutama film serial – serta menunjukkan

jalan masuk bagi pembentukan pengetahuan pembaca akan Jepang di Indonesia. Bab

III kemudian menunjukkan intentio lectoris pembaca Indonesia dan kesejarahan

mereka dalam memaknai dunia film yang mereka hadapi sejak kecil. Semua aspek

yang sudah dibahas sebelumnya ini menjadi wilayah-wilayah yang akan diletakkan

secara simultan dalam peta analisis bab IV ini. Negosiasi dari intentio operis dan

intentio lectoris yang ada dalam proses pembacaan serial televisi Jepang tersebut

yang akan membentuk pembacaan film serial Jepang khas Indonesia. Dengan kata

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 150: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

137

lain, possible-world tercipta dari negosiasi antara ensiklopedia pengetahuan (semesta

wacana akan Jepang) yang dibawa oleh pembaca dengan teks yang dihadapinya.

Oleh karena itu, secara terstruktur bab ini akan menggunakan sistematika 4

aspek pencarian possible-world oleh Eco (1979: 219) yang dibagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama akan berisi pembahasan pada aspek possible state of affairs. Bagian

kedua akan berisi pembahasan pada aspek possible individual dan possible course of

events, termasuk di dalamnya pembahasan mengenai lima dunia, yaitu: (1) Dunia

kepercayaan; (2) Dunia hasrat; (3) Dunia kewajiban; (4) Tujuan dan rencana-rencana

yang dijalankan oleh karakter; dan, (5) Mimpi dan angan/keinginan milik karakter-

karakter. Bagian ketiga akan berisi pembahasan mengenai aspek terakhir yaitu

propositional attitudes. Di bagian terakhir ini, kecenderungan dalam menyikapi

Jepang yang dilakukan oleh pembaca akan dilihat untuk mencari konteks Indonesia

yang khas yang nampak dalam bahasa mereka. Dengan menyandingkannya pada

konteks ensiklopedi pembaca, dan menyimpulkan penelusuran pada dua bagian

sebelumnya, pembentukan nilai atas “Jepang” yang nantinya dipercaya oleh pembaca

akan ditelusuri secara kontekstual.

Keempat aspek yang digariskan Eco ini adalah langkah sistematis dalam

mendefinisikan possible-world, untuk melacak kemungkinan adanya akses antara

dunia-dunia (actual – possible), dan juga untuk melacak adanya transworld identity –

identitas yang terletak di batas ambang antara yang actual dan possible melalui

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 151: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

138

pertemuannya pada teks.191

Meminjam definisi yang digunakan Ryan (2005),

identitas yang ambang tersebut merupakan nasib interpreter teks yang tidak hanya

harus memahami apa yang terjadi dalam teks, tetapi juga konteks, lingkungan, dan

keseluruhan properti storyworld192

seperti yang diungkap Eco melalui 4 aspek di atas.

4.1. Gerbang Masuk pada Film: Mempercayai Jepang yang Mungkin

Konsep storyworld menganggap pembaca harus terbawa untuk berimersi pada

teks, dan menunjukkan kemampuan teks (intentio operis) untuk memindahkan

pembaca ke tempat dan waktu yang harus dihidupi pembaca jika mereka ingin

memahami teks secara komprehensif. Pembaca tidak hanya mengonstruk sekuen

kejadian dan segala kehidupan di dalam teks, melainkan justru harus tinggal secara

imajinatif di dalam teks tersebut sehingga bisa merasakan, memuja, menggelisahkan,

menampik, bahkan menertawakan dan menangisi segala kejadian di dalamnya.193

Untuk bisa sampai ke titik tersebut, pembaca harus mampu untuk tidak hanya

mengonstruk kejadian-kejadian di dalamnya, tetapi juga harus bisa mengonstruk

keseluruhan konteks dan lingkungan dalam teks sesuai dengan ensiklopedinya. Tabel

berikut menunjukkan narasi dari narasumber yang menyiratkan proses usaha mereka

untuk bisa membayangkan berada di tengah-tengah state of affairs dalam film-teks:

191 Eco (1979), op.cit. hal 219 192 Mentally and emotionally projected environments in which interpreters are called upon to live out complex blends of cognitive and imaginative response. Lihat bagian Storyworld dalam David Herman, Manfred Jahn dan Marie-laure Ryan, Routledge Encyclopedia of Narrative Theory (New York: Routledge, 2005) 193 Herman (2005), ibid. bagian Storyworld

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 152: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

139

Kira K1

Ya paling teknologi sih. Itu yang perbedaan paling kenceng

banget… Teknologi sama ritme kehidupannya. Maksudnya ritme

kehidupannya di sini dalam artian,, “ya kalau jam segini ya harus

gini, jam segini harus gini.” Ga bisa dilawan tu lho.. maksudnya

dia ya ritmenya udah kayak gini. A ya A, B ya B.. Ya itu sih. Kalau

di ritme. Waktu sih. Ya ktinggalan kereta ya karena kereta

berikutnya ada lagi. 15 menit apa 5 menit Ya ada y ada lagi.

Beneran ada. Beneran dateng. Ya itu sih…

Geyol G1

Kalau saya tu nostalgia […] ini ya, live style anime… Kalau

sekarang,, bukan love-story, bukan action,,, ya action kadang-

kadang saya nonton ya. Yang saya kira asyik lah. Yang masih ada

jiwa apa ya, api membaranya, misalnya yang keren, yang super-

heroik gitu kan ya,, tapi selain itu saya lebih suka nonton yang

kayak olahraga, kayak istilahnya tu sekolah Jepang, lucu-lucuan,

segala macem itu fresh buat saya. Kalau yang fiktif-fiktif malah

justru saya suka enggak nonton…

Koh

Oyon

O1 Dorama soale kalau Jepang itu,, lebih... Apa ya… Nek kaya

dikaya-kayakke tenan, tapi nek enggak kaya, ya bener.

O2

Nek sekarang, sing nonton itu sing kui,, sing hideaki takizawa sing

anyar… Yang jadi manager e perusahaan,, apa namanya,,,

perusahaan berlian tiffany.. Jadi ceritanya, nyritakke perusahaan

tiffany. Jadi kalau di Jepang itu terkenal bikin kalung, bikin… asli

ada. kan sponsor tu dia. Nyritakke manajer tiffany.

Xakha X1

bagian, apa namanya, waktu,,, pertama kali berubah wargreymon

sama metalgarurumon. Yang waktu, Taichi sama Yamatonya

ditembak panah sama angewomon…Itu… waktu di bumi… lawan

aguremon, eh, bukan…

John

Switch J1

Kalau dari kecil sih aku cuman ngliat kalau Jepang lebih ke

keadaan kotanya sih. Sama dari keadaan visual kotanya di Jepang

sekarang kayak gimana, kan yang dulu tu kayak gimana. Kan

sempet juga kan ngikutin dari anime-anime yang kadang-kadang

muncul cuman jam sore kan ya, di TV7 apa ya. Kan aku sering

ngikutin anime-anime yang di TV7 kan bukan anime-anime yang

mainstream gitu itungannya… Kayak jigoku-sensei nube gitu-gitu

tu ada, terus tobe-isami, tentang shinsengumi tapi yang lebih

modern lah. Itu tu dua anime yang aku sukain. Aku tu lebih, yang

dilihat dari menggambarkan Jepang tu dari, satu, kotanya, terus

kehidupannya, tak akuin sebenernya, sama sejarahnya di anime.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 153: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

140

J2

Yang paling gampang sih, sekolah. Sekolah kan gini. Kalau dulu

kan aku mikir wah bangun pagi berangkat sekolah. Tapi aku lebih

ngelihat gini. Wah sekolah di sana, ternyata, kalau di SD

misalnya, bajunya bebas ya. Itu paling simpelnya lho. Kok bajunya

bebas ya… Terus misalkan, ibu-ibu gosip ya misalkan, who

ternyata ada yang sempet nyeletuk, wah jam buang sampah tu jam

segini. Pas tak lihat, emang jam buang sampah jam segini? Pas

ngecek di kebudayaan kota-kota Jepang, ternyata memang ada

jam buang sampah di Jepang tu jam segini… Terus kalau misalkan

tu sempet lihat, ternyata orang tu lebih suka, kalau di anime kan

lihat, wah ternyata mereka lebih suka jalan daripada naik sepeda,

kenapa ya. Wah ternyata emang di sana tu bentuk kotanya tu kecil.

Terus naik kereta api, pas aku lihat itu wah ternyata mereka anu,

ternyata letak kotanya sama letak ini dan sebagainya tu ternyata

gak begitu jauh kayak di sini, kalau di sini kan jalannya gedhe-

gedhe semua. Kalau di sana tu jalannya kecil-kecil semua. Kecil

dan bisa dijangkau jalan kaki semua...

J3

Dan habis itu, setelah itu muncul dorama. Nah begitu ada dorama,

woooo kayak gini ta Jepang...Dulu paling seneng ngikutin tu

Beach Boys. Terus La-La-La-LoveSong. Nah itu kotanya kan yang

aku bilang. Kalau Beach Boys tu aku sukanya satu, suasana

pantainya tu bagus banget. Ceritanya juga. Itu juga artis

kesukaanku juga ada di situ sih. Ryoko Hirosue. Sama yang ngisi

OST nya kan Takashi Sorimachi. Nah itu, favoritku.

J4

Sama kayak sejarah,,, kenapa sih di Jepang tu kayak gini, misal

tata kota, dan sebagainya. Misalnya gini, yang gampang, kenapa

sih kalau di Jepang tu banyak vending machine. Satu, jepang itu

aman. Ga mungkin ada penjarahan. Kalau pun ada penjarahan

paling cuman 0,1persen.

J5

Dua, pola hidup orang Jepang itu adalah mereka butuh instan.

Karena mereka tu kerja, cepet, fokus mereka adalah kerja. Selain

kerja, mereka gak akan mikir. Mereka gak mau mikir “wah aku

masak apa hari ini,” udah, jegleg, masuk, ambil. Itu sederhananya

kayak gitu tu. Udah, dua alasan sederhana itu udah cukup

menjawab semuanya. Iya. Mereka tu butuh yang instan. Mereka

butuh instan, mereka butuh cepet, mereka butuh akurat. Nah

karena mereka butuh akurat, pemerintah pingin, perusahaan dari

mereka tu kalau bisa “kamu bisa gak akurat?” nah itulah, itu

akhirnya mereka bikin,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 154: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

141

J6

satu hal lagi, pola pikir masyarakat Jepang itu adalah mereka

setia, dengan pekerjaan. Dan maksudnya dengan loyalnya.

Loyalitasnya tu, jadi kesannya tu, pola pikir bushido kasarannya.

Pola pikir samurai, semangat samurai tu, menurun ke mereka.

Jadi mereka itu, kenapa orang itu bisa loyal sekali sama

atasannya. Sampe ada yang bilang, kalau atasan bilang “bumi itu,

bumi itu kotak,” kamu harus menjaga bumi itu kotak, walaupun

kamu ditodong pistol sekalipun. Iya.. masih turun sampe sekarang.

Itu juga makanya banyak orang mati karena pekerjaan.

Tabel 1. Data Possible state of affairs

Penarasian “Jepang” yang dibahasakan oleh kelima narasumber di atas

menunjukkan adanya proses pembayangan yang beragam, dan justru tidak

menghasilkan satu keutuhan dunia “Jepang”. Hal ini terutama disebabkan oleh

pemilihan film-teks yang berbeda-beda ketika mereka berusaha menarasikan Jepang

dan filmnya. Walaupun kemungkinan masing-masing dari mereka juga menikmati

film-film yang disebutkan oleh narasumber lainnya194

, pemilihan atas satu-dua jenis

film yang mereka favoritkan menentukan arah penarasian yang mereka lakukan. Kira

yang lebih memilih seri Kamen Rider (kamen rider black – 1993) sebagai film-teks

yang ia favoritkan tentu akan menarasikan Jepang yang berbeda dengan Geyol yang

lebih memilih anime sekolah atau olahraga macam SlamDunk (2000). Hal tersebut

juga diperjelas melalui Geyol yang jelas-jelas menyatakan lebih menyukai seri Super

Sentai dibanding seri Kamen Rider. Bahkan, perbedaan itu akan semakin terasa ketika

film-teks yang mereka bicarakan tidak hanya di satu genre anime saja, namun juga

194 Terutama karena sebagian besar film-teks yang disebutkan oleh para narasumber adalah film yang juga disiarkan di televisi Indonesia, seperti Kamen Rider Black (Satria Baja Hitam), Jetman dari seri super sentai, SlamDunk, Digimon, Oshin,ataupun Tokyo Love Story.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 155: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

142

menyentuh baik dorama maupun tokusatsu. Di sini peran teks sebagai penentu

batasan interpretasi atas Jepang terlihat dengan jelas.

Peran teks tersebut terlihat akan terlihat dari bagaimana para narasumber

menarasikan film-teks yang mereka sukai masing-masing, yaitu dengan melihat pada

narrative semantics di dalamnya.195

Narrative semantics ini bergantung pada adanya

bentuk atau aturan khusus sebuah struktur naratif – tentu sebagai sebuah bahasa yang

kemudian diciptakan supaya bisa dimengerti di pihak model reader – yang dapat

memantik interpretasi pembaca untuk mengasosiasikannya dengan suatu dunia

tertentu. Dalam hal ini, bentuk naratif teks ditempatkan sebagai satuan sinyal

linguistik yang menghubungkan pembaca dengan sudut pandang pembicara (intentio

auctoris) dan menghasilkan pembentukan storyworld tertentu. Dalam dunia linguistik,

sinyal semacam ini dikenal dengan istilah deixis (misal: disini - disana, sekarang -

kemarin, aku - kamu.)196

Dari tabel.1 di atas terlihat bahwa deixis yang selalu

digunakan untuk menarik pembaca masuk adalah penggambaran Jepang, baik secara

riil – non-animasi (dalam dorama dan tokusatsu) maupun animasi (dalam anime).

Perbedaan bentuk antara film riil dan animasi tidak dijadikan permasalahan

bagi para narasumber untuk menentukan aktualitas film-film tersebut. Justru mereka

menyatakan bagaimana yang riil pun hadir dalam pemaknaan mereka terhadap bentuk

film animasi. Geyol mengungkapkan bahwa ia lebih menyukai live-style anime atau

195 Herman (2005), ibid, bagian Narrative Semantics 196 Ibid. narrative semantics. Ketiganya merupakan tiga bentuk deixis, yaitu spatial, temporal, dan personal deixis. Ketiga jenis deixis ini juga menentukan tiga jenis imersi pembaca pada film-teks, yaitu Spatial, Temporal, dan Emotional immersion. Lihat Ryan (2001), op.cit, hal. 122 - 41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 156: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

143

live-action (G1), yaitu film yang menggambarkan kehidupan yang sedekat mungkin

dengan realitasnya. Baik itu animasi maupun non-animasi, ia tetap mengutamakan

kedekatan penggambaran sesuai realitas dunia Jepang yang ia ketahui. Dari kalimat

yang ia ungkap terlihat bahwa ia hanya merasa asyik apabila ia berhadapan dengan

film-teks yang ia pahami realitasnya seperti apa.(G1) Dengan menyebut istilah fiktif

untuk menerangkan film yang tidak ia tonton, ia mulai melakukan diferensiasi

terhadap film-teks Jepang dengan membaginya antara yang fiksi dan non-fiksi –

walaupun hakikat dari film-film yang ia nikmati adalah film fiksi.197

Contoh dari

film-teks yang ia anggap sebagai film non-fiksi adalah film Jepang yang berlatar

olahraga dan sekolah. Di sini ia melakukan diferensiasi bukan berdasarkan film riil

dan animasi, tetapi dari seberapa mudah ia bisa menerima deixis yang dilayangkan

oleh narator, yaitu penggambaran lingkungan (konteks).

Hal yang sama juga terlihat dari bagaimana Xakha menjelaskan bagian film

Digimon Adventure 1 (1999 – 2000) yang ia sukai. Ia justru paling mengenang

adegan pertarungan yang terjadi di bumi (X1), sedangkan sebagian besar latar

Digimon justru berada di dunia digital. Latar bumi di dalam anime Digimon

Adventure 1 hadir pada episode 28 hingga episode 39 (11 episode dari total 54

episode), dengan narasi yang menceritakan bahwa anak-anak terpilih harus kembali

ke bumi untuk menyelamatkan dunia nyata yang mulai membaur dengan dunia digital.

197 Terlihat dari judul-judul film yang ia ungkap dalam wawancara sebagai film yang mengena di ingatannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 157: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

144

Gambar 1. Stasiun Fuji TV dalam anime Digimon Adventure 1 dan dunia aktual198

Latar yang dipilih untuk arena pertarungan ini adalah Jepang199

, dan yang

dijadikan latar untuk pertarungan utama antara anak-anak terpilih dan

VenomVandemon adalah daerah Odaiba, Tokyo, dengan ikon terkenalnya berupa

stasiun Fuji TV. Bahkan bagian lingkaran dari stasiun tersebut menjadi ikon yang

kemudian dihancurkan oleh Vandemon dan berusaha diselamatkan oleh anak-anak

terpilih.

Sekuen yang dipilih Xakha ini pun menunjukkan bagaimana pertarungan

dunia Digimon tidak hanya terjadi antara anak-anak terpilih dengan digimon jahat,

namun juga menunjukkan keterlibatan aspek dunia nyata secara lebih banyak. Aspek

yang dimasukkan dalam sekuen ini misalnya adalah keluarga dari anak-anak terpilih

198 https://twitter.com/yuyucow/status/499230707001356289 (diakses pada 1 Maret 2017) 199 Berbeda dengan seri Digimon Adventure 2 yang juga di dalamnya terdapat narasi pertarungan di bumi, namun latar yang dipilih tidak hanya Jepang, tetapi juga New York, China, Brasil, dan beberapa tempat yang memiliki simbol-simbol yang sudah mendunia (Patung Liberty, Tembok China, Piramida Mesir, dan lain-lain)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 158: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

145

dan properti yang dilekatkan pada keberadaan mereka seperti status pekerjaan,

kendaraan, pola pikir orang tua dan kakak.200

Kesemuanya hadir pada akhirnya

berfungsi untuk memanggil (deixis) pembaca lebih jauh masuk ke dalam dunia anime

ini.

Contoh lain bagaimana situasi dalam film-teks bisa dianggap mungkin oleh

pembaca terlihat pada narasi Koh Oyon – dalam hal ini dorama (O1-O2). Ia

menyukai dorama Jepang dengan menilai bahwa dorama Jepang itu seperti nyata,

sekaligus juga bisa terlihat tidak nyata apabila dilihat sebagai sebuah film (O1). Ia

menanyatakan bahwa dorama Jepang yang ia tonton menyerupai kenyataan Jepang

dengan mencontohkan pada dorama berjudul For the Romantic / Love Catharsis

(Seisei-suru Hodo, Aishiteru) (2016). Dorama tersebut bercerita mengenai manajer

perusahaan perhiasaan Tiffany (O2). Ia menamai dorama tersebut sebagai sesuatu

yang nyata karena mengetahui bahwa dorama ini disponsori juga oleh perusahaan

Tiffany yang memang terkenal di Jepang.201

Dalam hal ini, ia mengakui bahwa

dorama ini di satu sisi adalah nyata (kedekatannya dengan Jepang nyata yang ia

ketahui) sekaligus di sisi lain juga fiksi. Peran deixis untuk menamai Jepang menjadi

sangat kuat dengan strategi peminjaman simbol ke dalam film-teks untuk memancing

pembaca supaya menamainya “Jepang” – dalam hal ini adalah nama perusahaan.

200 Aspek Possible Individu dan property-propertinya akan dibahas lebih lanjut di sub-bab kedua. 201 Ini juga dibantu dengan adanya iklan perusahaan Tiffany di setiap awal episode.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 159: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

146

Untuk mencari bagaimana dunia nyata Jepang (WO) dapat diakses dengan

masuk ke dalam dunia film-teks (WN), ambil contoh dari bagaimana Xakha

menceritakan sekuen di dalam anime Digimon Adventure 1 (Wd) – lihat figur.1 di

bawah. Di dalam sekuen tersebut, Taichi (C1) dan Yamato (C2) menjadi karakter

utama yang akhirnya mampu untuk merubah digimonnya menjadi level ultimate

sehingga bisa menghadapi VenomVandemon di arena pertarungan Fuji TV di Odaiba

(OF). Perubahan tersebut hanya bisa terjadi ketika sebuah ramalan terpenuhi, yaitu:

the angels will let fly the arrow of hope and light at the loved ones of those whom

they are to protect, and a miracle will happen.202

Ramalan ini terpenuhi dengan

meminta digimon berbentuk malaikat (DA) milik kedua adik (K) Taichi dan Yamato

untuk menembakkan panah harapan dan panah cahaya ke arah Taichi dan Yamato.

Kedua adik (Hikari dan Takeru) dari Taichi dan Yamato adalah sosok yang

dilindungi oleh digimon malaikat, sehingga orang yang dicintai mereka adalah kakak-

kakak mereka.

Pada Figur.1 di bawah, terlihat bahwa di dunia anime Digimon terdapat tiga

karakter (C1-C3, yaitu Taichi, Yamato, dan Koushiro – sebagai karakter yang juga

terlibat kuat di dalam sekuen ini – yang ketiganya adalah tiga anak terpilih pemilik

digimon). Mereka bertiga sama-sama memiliki properti pria (M – male), bisa

mengakses area Odaiba dan Fuji TV (OF), dan sama-sama memiliki digimon (D).

Walaupun Koishiro juga memiliki digimon dan memiliki kerabat yang ia cintai (K),

202 Anime Digimon Adventure 1 episode 38

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 160: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

147

namun kerabatnya bukanlah pemilik digimon (DA) sehingga ia tidak memiliki

properti digimon yang melindungi kerabatnya (DPK). Bagi Taichi (C1) dan Yamato

(C2), properti digimon yang melindungi adiknya (DPK) dan properti adik yang

mencintai kakaknya (KLC) menjadi S-necessary properties203

dalam fabula ini

(ditunjukkan dengan tanda kurung braket).

Figur 1. Perbandingan properti Dunia digimon dan Dunia Jepang

Pertanyaan mengenai akses dunia nyata Jepang (WO) melalui pembentukan

dunia digimon (WD) bisa dijawab dengan melihat tabel properti pembangunan sekuen

tertentu dari fabula dunia digimon tersebut. Dengan mengandaikan bahwa di dunia

nyata terdapat dua manusia pria (M) dan wanita (F), dan mereka dapat mengakses

area Fuji TV di Odaiba (OF), maka pengandaian akses antar dunia ini menjadi

mungkin. Dari tabel pembentukan dunia Jepang (WO) di atas, properti kepemilikan

digimon dihilangkan, sehingga di dunia Jepang nyata, dua manusia pria dan wanita

ini hanya tinggal memiliki properti kekerabatan (K) dan kerabat yang mencintai

mereka (KLC). Namun, kedua properti ini sudah tidak lagi menjadi S-necessary

203 Properti yang tidak bisa tidak ada dalam pembangunan fabula. LIhat Eco (1979), op.cit., hal. 240-241

WO M OF D K DA DPK KLC

M (+) (+) 0 (+) 0 0 (+)

F (-) (+) 0 (+) 0 0 (+)

WD M OF D K DA DPK KLC

C1 (+) (+) (+) (+) (+) [+] [+]

C2 (+) (+) (+) (+) (+) [+] [+]

C3 (+) (+) (+) (+) (-) (-) [+]

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 161: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

148

property, karena tidak lagi melihatnya dalam kerangka kepentingan plot. Oleh karena

itu, properti Fuji TV Odaiba menjadi aksen penting dari keberadaan akses antar dua

dunia ini, karena melalui tempat itulah jembatan antara kedua dunia ini bisa dibangun.

Pertemuan antara dunia film-teks digimon dan dunia nyata bisa terjadi ketika

pembaca mengakses Odaiba. Pengetahuan yang diperlukan untuk benar-benar merasa

masuk ke dalam anime tersebut dapat dilihat dari pengetahuan akan Odaiba – Tokyo

– Jepang.204

Hal yang sama juga dialami oleh Geyol yang lebih menyukai anime dengan

tema sekolah dan olahraga, karena pengetahuan yang ia bawa sudah lebih lengkap

untuk bisa digunakan dalam membaca anime sejenis itu – mengingat ia pernah

merasakan sekolah di Jepang dan Indonesia dan dapat membandingkan keduanya.205

Sama juga dengan Koh Oyon yang menganggap dunia dorama Jepang itu nyata

ketika memasukkan pengetahuan akan perusahaan Tiffany dan strategi perusahaan

sponsor tersebut dalam membentuk dorama ini. Eco (1991) menjelaskan hal semacam

ini dengan menggunakan istilah topoi/topos, yaitu bahwa pembaca untuk dapat

menikmati allusion (pernyataan yang merujuk pada sesuatu tanpa harus menyebutnya

secara langsung) harus mengetahui topoi yang orisinil. Topoi tersebut adalah sesuatu

yang terekam oleh pembaca, dan membangun kekayaan imajinasi kolektif milik

204 Odaiba sekarang menjadi atraksi wisata unggulan di daerah sekitar Tokyo. Bahkan sekarang di sana sudah berdiri patung replica Gundam dari seri anime Gundam dengan ukuran nyata, dan juga museum anime dan manga One Piece. 205 Bahkan ia mengatakan secara jelas dalam wawancara bahwa kegiatannya menonton film Jepang adalah sebuah nostalgia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 162: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

149

pembaca tersebut, hingga waktunya topoi tersebut akan dipanggil ke permukaan. Eco

menegaskan bahwa topoi ini berkaitan dengan adanya teks yang dikutip dari teks-teks

yang lain, dan pengetahuan akan teks-teks yang lain tersebut – taken for granted –

merupakan hal yang harus dimiliki untuk bisa menikmati teks yang baru.206

Di sini para pembaca harus membawa banyak pengetahuan dalam

ensiklopedinya, yaitu pengetahuan mengenai keberadaan film-film yang lain

(intertextual knowledge), dan juga mengetahui latar belakang dari film-teks yang

mereka hadapi (seperti produser, sutradara, studio film, sampai ke negara pembuatnya

yang memiliki kebiasaan tertentu dalam pembuatan film – lihat sejarah film pada

masa ideologi Discover Japan dan Cool Japan yang sudah dibahas di bab 2.1.2 dan

2.1.3). Mereka harus tidak hanya memiliki pengetahuan tentang film-teks tersebut,

tetapi juga pengetahuan mengenai dunia, kondisi yang terjadi di luar teks. Di sini

kesulitan penelusuran pengetahuan pembaca di era internet masif menjadi mungkin,

karena pembaca bisa dengan mudah mencari pengetahuan tentang apa pun untuk

membantu mereka membaca – termasuk mencari tahu gedung berbentuk lingkaran di

dalam anime Digimon yang ternyata juga ada di dunia Jepang nyata.

Kesemua strategi penghadiran deixis untuk menarik pengetahuan pembaca

keluar ke permukaan ingatannya dan mengajak pembaca untuk bisa masuk ke dalam

dunia film-teks ini menjadi aksen penting untuk bisa membuat pembaca berimersi

dengan dunia di dalam film-teks. Ryan (2001) mengembangkan konsep deixis

206 Eco (1991), op.cit, hal. 88 - 9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 163: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

150

tersebut untuk menyebut tiga jenis imersi, yaitu imersi spasial, temporal, dan

emotional. Dalam pembentukan possible state of affair ini jelas strategi yang

digunakan adalah penciptaan usaha imersi spasial, dimana pembaca membangun

relasi intim dengan latar dan juga menciptakan perasaan hadir di scene suatu

peristiwa dalam film-teks. Mereka menciptakan mental model of space207

yang

mengisyaratkan bahwa mereka masuk ke dalam peta suatu dunia fiksi dan membuat

gambaran imajinasi atas perubahan-perubahan lanskap seturut sekuen tertentu dari

karakter dalam film-teks. Pengalaman imersif ini bergantung pada intensitas

pengetahuan yang dipakai dalam mendeskripsikan suatu penggambaran tertentu di

dalam imajinasi mereka.

Usaha untuk memancing pembentukan mental model of space ini sangat kuat

dibantu dengan penggunaan nama tempat – seperti Odaiba, atau perusahaan Tiffany.

Menurut skala imersivitasnya, Ryan (2001) membagi tiga jenis perangkat

pengonstruksian tempat (spasial) sebagai strategi yang sering dilakukan dalam teks.

Pertama, penggunaan nama tempat yang sudah pernah dikunjungi atau nama tempat

yang memiliki ikatan kuat dengan pembaca dan memanggil memori akan suatu

deskripsi tertentu di ingatan pembaca. Dua, penggunaan nama dari tempat-tempat

terkenal yang nyata terdapat di suatu wilayah dan pernah kita dengar atau kita

impikan walaupun belum pernah dikunjungi. Ketiga, penggunaan detil-detil dalam

207 Ryan (2001) membedakan antara sense of place dan mental model of space. Dalam konsep Sense of place, pembaca menyerap atmosfer dari tempat yang mereka hadapi, sedangkan mental model of space lebih mengisyaratkan proses menggambarkan perubahan lanskap dalam imajinasi pembaca. Lihat Ryan (2001), op.cit., hal. 123 - 24

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 164: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

151

mendeskripsikan suatu wilayah, yang oleh Roland Barthes disebut dengan the Reality

Effect, yaitu: penyebutan detil konkret yang bertujuan untuk menghidupkan atmosfer

sebuah tempat yang kemudian menyentak masuk ke dalam ingatan pembaca.

Perangkat ini justru biasanya terlepas dari ikatan simbolik di dalam teks dan juga

terlepas dari kepentingannya atas plot. Dengan kata lain, perangkat ini justru sesuatu

yang trivial dan muncul secara sembarang di dalam teks, tetapi berfungsi untuk

mengatakan bahwa “ini adalah dunia nyata.”208

Dalam tiga pembagian ini, argumen dari Geyol (G1) menunjukkan jenis yang

pertama, karena dia memiliki ingatan yang kuat di masa kecilnya dengan kehidupan

sekolah di Jepang, sehingga ia menyebutkan live-style anime atau film tentang

sekolah atau olahraga sebagai film ia sukai. Jenis yang kedua tampak dari argumen

Koh Oyon (O2) dan Xakha (X1) dengan menunjukkan bahwa film-teks Jepang juga

merupakan dunia nyata dengan memasukkan pengetahuan tertentu. Kedua jenis

strategi ini menampakkan bagaimana ingatan pembaca dan pengetahuan yang (harus)

dibawa oleh pembaca terpanggil oleh teks untuk akhirnya membentuk dunia imajinasi

di pembaca.

Yang ketiga, jenis perangkat Reality Effect justru tampak jelas dari argumen-

argumen yang dikeluarkan oleh Kira dan John Switch. Mereka menarasikan hal-hal

yang trivial di dalam film-teks, dan justru bukan hal yang mempengaruhi plot utama

film-teks, namun tetap menganggapnya sebagai aspek yang membangun dunia nyata

208 Ibid. hal. 130

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 165: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

152

Jepang. Kira menyebutkan mengenai efek teknologi yang maju sehingga

mempengaruhi ritem kehidupan orang Jepang (K1). John Switch menceritakan

mengenai keadaan kota dan kehidupannya (J1), yang termasuk di dalamnya adalah

situasi sekolah yang berbaju bebas, kegiatan dari ibu-ibu yang membicarakan

peraturan membuang sampah, serta kebiasaan orang Jepang berjalan kaki (J2).

Semuanya ini merupakan narasi yang dihasilkan dari pertemuan Kira dan John

Switch dengan film-teks – yang sebagian sudah dibahas juga di bab 3.2.1: Teknologi,

Kota, dan Sejarah. Dengan menyebutkan aspek-aspek tersebut – yang bukan

merupakan strategi penamaan secara jelas seperti pada jenis pertama dan kedua –

proses negosiasi antara penggambaran hal trivial di dalam film-teks dan paparan

pengetahuan yang terbawa oleh pembaca menjadi kompleks. Pembaca melakukan

proses menemukan “Jepang” dengan memberi nama baru pada state of affairs yang

tampak di dalam film-teks dan mencari segala kemungkinan (possible)209

untuk

disebut Jepang. Dalam hal ini, kesadaran bahwa dirinya berada di dalam suatu state of

affairs tersebut mandiri (independen) dari dunia tekstual yang seakan-akan nyata di

hadapannya.210

Ketika Kira mengatakan, “…ketinggalan kereta ya kereta berikutnya ada lagi.

15 menit apa 5 menit. Ya ada ya ada lagi. Beneran ada, beneran dateng…”, (K1) di

dalam kalimat tersebut terlihat bagaimana ia mencampur-adukkan dunia tekstual yang

209 Untuk menginterpretasikan sebuah tanda (sign) berarti untuk meramal – secara ideal – segala kemungkinan konteks yang ke dalamnya bisa dimasukkan tanda tersebut. Lihat Eco (1991), op.cit. hal. 213 210 Ryan (2001), op.cit. hal. 130

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 166: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

153

seakan-akan nyata dengan pengetahuan yang ia bawa. Pemberian waktu 15 menit

atau 5 menit bukanlah informasi yang didapat secara jelas di dalam film-teks. Ia

hanya mendapatkan informasi bahwa ketika tokoh di dalam film-teks terlambat

menaiki kereta, kereta berikutnya datang tidak lama setelah. Ia menegaskan, “…ya

ada lagi. Beneran ada, beneran dateng…” dari fakta tersebut, namun menambahkan

penghitungan waktu 15 atau 5 menit melalui pengetahuan yang ia bawa selama ini.

Fungsi dari informasi yang ia tambahkan ini adalah untuk menyangatkan kata

“beneran” yang ia ungkap – yang menandakan bahwa ada pengalaman kaget atas

sesuatu fenomena yang baru (bahwa ada yang tidak beneran – di sini terlihat posisi

pembicara menempatkan dirinya dari suatu lingkungan tertentu)

Pencampur-adukkan pengetahuan dengan film-teks terlihat lebih jelas dalam

ucapan John Switch, yang mengatakan, “… emang jam buang sampah jam segini?

Pas ngecek di kebudayaan kota-kota Jepang ternyata memang ada jam buang

sampah di Jepang tu jam segini…” (J2). Secara jelas John Switch menyatakan bahwa

ia mengakses informasi mengenai kebudayaan kota-kota di Jepang untuk memenuhi

rasa keingintahuannya terhadap informasi yang sebenarnya hadir secara acak dan

tidak memiliki keterikatan dengan plot utama – sehingga pemenuhannya pun

sebenarnya bukanlah hal yang wajib.

Beberapa bahasa yang diungkap oleh John Switch pun menunjukkan hal yang

sama. Dalam ucapan “wah ternyata mereka lebih suka jalan dibanding naik sepeda,

kenapa ya? […] wah ternyata emang di sana tu bentuk kotanya kecil […] ternyata

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 167: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

154

letak kotanya sama letak ini dan sebagainya tu ternyata gak begitu jauh kayak di sini,

kalau di sini kan jalannya gedhe-gedhe semua. Kalau di sana tu jalannya kecil-kecil

semua. Kecil dan bisa dijangkau jalan kaki semua.”(J2) Dari bahasa yang diungkap

ini bisa didapat beberapa hal yang melatarbelakangi pemilihan pembaca – atau dalam

istilah Eco adalah proses abduksi presuposisi,211

yaitu:

1. Menyimpulkan secara niscaya bahwa “mereka” lebih suka berjalan kaki

daripada naik sepeda di dalam film-teks, sehingga pertanyaan “kenapa ya”

muncul dari membandingkan dengan keadaan yang dialami secara

personal oleh John Switch. Dalam artian, John Switch hidup di lingkungan

dimana “kita” (untuk menegasikan “mereka”) lebih tidak suka jalan kaki,

sehingga pertanyaan “kenapa ya” menjadi relevan.

2. Kata “ternyata” yang hadir di depan kalimat “di sana bentuk kota kecil”

menandakan bahwa John Switch mendapatkan informasi mengenai bentuk

kota yang kecil “di sana” setelah pertemuannya dengan film-teks.

Informasi tersebut bukan informasi yang didapat dari film-teks.

3. Kata “di sana” berarti menempatkan diri sebagai yang “di sini”, sehingga

kalimat “gak begitu jauh kayak di sini” menjadi relevan. Hal ini

disangatkan dalam kalimat “Kalau di sini kan jalannya gedhe-gedhe

211 Proses abductive presuppositions menegaskan bahwa teks hadir sebagai empty form to which can be attributed various possible sense. Lihat Umberto Eco, A Theory of Semiotics (London: Indiana University Press, 1976), hal. 139

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 168: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

155

semua” sehingga memperlihat proses pembandingan dua area spasial yang

berbeda.

4. Pada kalimat “kecil dan bisa dijangkau jalan kaki semua” menunjukkan

adanya proses generalisasi secara tak disadari. Dengan menggunakan kata

“semua” berarti John Switch juga ingin menyatakan bahwa semua orang

“di sana” suka jalan kaki. Di sini terlihat bahwa John Switch mulai tidak

hanya membandingkan dua area spasial, namun juga membandingkan dua

tradisi, antara yang “di sini” dan “di sana,” antara yang suka jalan kaki

dan yang tidak.

Contoh lain dari data yang didapat ada pada ungkapan John Switch: “kenapa

sih kalau di Jepang tu banyak vending machine?”(J4). Ia menerangkan alasannya

yaitu “…Jepang itu aman, gak mungkin ada penjarahan, kalau pun ada penjarahan

paling cuma 0,1 persen…”(J4) dan “mereka butuh instan […] mereka gak mau mikir

“wah aku masak apa hari ini,” udah, jegleg, masuk ambil” (J5). Dari ungkapan-

ungkapan ini dapat ditarik beberapa hal, yaitu:

1. Pertanyaan yang dilontarkan John Switch lagi-lagi menandakan konteks

pengetahuannya, yaitu tempat yang tidak banyak terdapat vending

machine.

2. Dengan menyangatkan bahwa Jepang itu aman melalui kata “gak mungkin”

dan ”0,1 persen”, ia berusaha untuk menafikan pencarian data keamanan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 169: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

156

Jepang dan menyimpulkan sebuah prosentase.212

Ia berusaha

menampilkan bahwa Jepang – secara keseluruhan – adalah daerah yang

aman dengan membandingkan pada konteks adanya daerah lain yang tidak

aman – di sini terdapat kemungkinan ia membandingkan dengan konteks

dimana ia hidup.

3. Ia menyimpulkan adanya pola kehidupan di Jepang yang serba ingin

instan dengan mengaitkannya pada kehadiran banyaknya vending machine

dari film-teks yang ia hadapi. Di sini terlihat bagaimana ia bukan hanya

mencampur-adukkan dunia film-teks dengan dunia nyata, tetapi lebih jauh

berusaha kemudian menggunakannya untuk menamai Jepang di dunia

nyata.

Dari beberapa aspek yang berhasil didapatkan dari narasi kelima narasumber

di atas, terdapat dua aspek penting yang menunjukkan proses mereka dalam

mempercaya state of affairs di dalam film-teks menjadi mungkin. Pertama, abduksi

yang mereka lakukan menunjukkan proses pentingnya topoi yang disusupkan oleh

pembaca pada film-teks untuk bisa membangun konteks dan lingkungan yang

mungkin tercipta secara utuh. Dari dua jenis strategi penciptaan imersi spasial

pertama dan kedua, didapatkan bahwa Geyol menanggapi realitas di dalam film-teks

sesuai dengan ingatannya (nostalgia), dan Xakha maupun Koh Oyon mengakui

212 Untuk rerata tingkat kriminalitas – termasuk penjarahan – bisa dilihat pada http://www.nationmaster.com/country-info/compare/Japan/United-States/Crime atau https://knoema.com/atlas/Japan/topics/Crime-Statistics (diakses pada 7 April 2017)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 170: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

157

realitas tersebut melalui pencarian pengetahuan akan nama Odaiba dan Tiffany.

Ketiganya menunjukkan proses pencurian topoi yang digunakan untuk memberi

makna pada nama-nama yang hadir di dalam film-teks, baik berdasarkan pengalaman

personal, maupun dari interpretant yang bisa diakses berdasar nama riil (Odaiba dan

Tiffany). Sekolah dan olahraga tidak akan dinamai dengan Jepang apabila tidak

menyangkutkan pengalaman personal. Begitu juga Odaiba maupun Tiffany tidak

akan disebut sebagai simbol dari nama Jepang apabila tidak disusupi pengetahuan

tentangnya.

Kedua, selain mencuri topoi atas Jepang yang terpapar kepada mereka di

dalam konteks Indonesia, mereka melakukan proses menamai Jepang juga dengan

secara intens membandingkan Jepang dengan konteks dimana mereka hidup. Di sini

terlihat pembangunan dunia melalui adanya dunia yang kontrafaktual dari dunia

dalam teks. Mereka menciptakan yang “Jepang” melalui strategi pengontrasan

terhadap konteks lokal kehidupan mereka di Indonesia. Kata “beneran” yang diucap

Kira menunjukkan pengetahuan akan dunia yang ia tinggali, dimana rasa tidak

percaya bisa muncul menyertai kata “15 menit apa 5 menit” atas ketepatan waktu

yang selalu terjadi di Jepang. Narasi John Switch pun demikian, bahwa pertanyaan

“kenapa” bisa hadir menyertai ketidakpercayaan bahwa orang Jepang lebih menyukai

jalan kaki. Kata “ternyata” menggambarkan kebutuhan John Switch akan informasi

yang harus ia dapatkan untuk menamai kenyataan Jepang yang ia lihat di dalam film-

teks – kenyataan dalam film-teks menjadi kenyataan di dunia aktual. Bahkan John

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 171: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

158

Switch secara jelas menyatakan “di sini jalannya gedhe-gedhe semua” yang secara

tidak langsung membuatnya berpikir bahwa orang yang hidup di sini tidak menyukai

jalan kaki. Konteks khas kota Yogya dan Jakarta tempat ia pernah tinggali hadir di

sini, dimana kedua kota ini menyiratkan kesulitannya dalam berjalan kaki di tengah

banyaknya orang yang menggunakan kendaraan. Simpulan tentang alasan banyaknya

vending machine di Jepang pun menjadi satu hal yang semakin memperlihatkan

konteks di mana ia tinggal, yaitu di tempat yang tidak aman sehingga tidak terdapat

vending machine seperti di Jepang. Antara yang aman dan tidak aman menjadi alasan

baginya untuk menamai Jepang lebih jauh.

Dua teknik ini – menyusupkan pengetahuan akan Jepang dan mengontraskan

terhadap Indonesia – menjadi proses yang terlihat untuk mencipta state of affairs

dalam film-teks menjadi possible state of affairs Jepang. Detil-detil yang sebenarnya

acak tersebut – karena tidak mempengaruhi fabula – menyampaikan kesadaran akan

latar film-teks dan memfasilitasi terjadinya imersi spasial. Proses yang sebenarnya

tidak bisa begitu saja digunakan untuk menamai Jepang menjadi proses masuknya

mereka ke dunia Jepang yang mungkin. Result dari pola abduksi yang sudah

disampaikan di bab 3.2 terlihat jejaknya melalui proses penamaan ini.

Namun, menamai mungkinnya state of affairs saja tidak cukup untuk

mencapai Result dimana para narasumber bisa akhirnya melakukan kritik atas

lingkungan mereka dari sudut pandang luar – berposisi di dalam teks, di luar dunia

aktualnya. Keberjarakan dari kritik tersebut menandakan bahwa mereka tidak lagi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 172: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

159

semata-mata hidup di dunia aktual, tetapi sudah menjelma menjadi karakter yang

berposisi di dalam fabula film-teks. Kehadiran topoi dibalik narasi yang mereka

ungkap menunjukkan jalan yang membawa mereka masuk ke dalam film-teks dan

memudahkan mereka menjelma menjadi karakter yang hidup di dalamnya. Topoi

menjadi semacam shibboleth213

yang menunjukkan konteks tertentu dimana mereka

hidup, walaupun setelahnya mereka tak lagi hanya hidup di satu dunia, tetapi juga

hidup di dalam dunia Jepang yang mereka percayai.

4.2. Hidup sebagai Jepang

Seperti yang diungkap Ryan (2006) di atas, semesta system of possible-world

terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah dunia yang dibuat se-aktual mungkin.

Dunia ini merupakan dunia bentukan dari possible state of affairs – seperti yang telah

dibahas di sub-bab 4.1 – yang aktualitasnya justru diciptakan oleh usaha pembaca.

Yang kedua adalah konstelasi wilayah (dunia) privat individu yang mengorbit pada

keberadaan dunia aktual tersebut. Kedua bagian ini terbangun serupa sistem tata

surya. Ketika pembaca sudah mencipta possible state of affairs, maka yang perlu

dicari berikutnya adalah bagaimana pembaca menamai karakter dan aksinya di dalam

film-teks sehingga bisa membentuk sistem tata surya possible-world yang lengkap.

Berikut narasi dari narasumber yang menunjukkan proses menamai individu dalam

film-teks:

213 Eco (1991), op.cit, hal. 88 – 89. Shibboleth adalah kata atau cara berbicara atau bersikap yang menunjukkan bahwa seseorang adalah anggota suatu kelompok tertentu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 173: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

160

Kira

K2

Ya walaupun kalah tapi tetep dicoba terus sampai dia bisa. Soalnya

kalau, menurut saya, di Jepang tu yang dihargai tu mungkin proses

ya. Prosesnya orang itu ya. Lebih mengutamakan proses daripada

hasil. Soalnya kalau jepang, kalau prosesnya sudah susah gitu,

hasilnya enggak gitu ya udah, diulang dari proses lagi. Enggak

hasilnya itu nanti diapain tu enggak. Prosesnya yang diulangi,

bukan hasilnya…

K3

Kalau gaim memang aku ikuti karena Jepang banget tu lho.

Walaupun desainnya buah-buahan, tapi kan dia kan desainnya

desain samurai…

K4

Ya kalau kotaro minami kan ya pantang menyerah itu. Walaupun

dihajar habis-habisan, dia tetap pantang menyerah. Dia selalu

bangkit dari masalah. Dengan cara dia sendiri...

Geyol

G2

temen-temen saya itu adalah konsumsinya konsumsi superhero

Jepang. Mereka mendapatkan sebuah jiwa kepahlawanan itu dari

film-film tokusatsu Jepang….

G3

Yang masih ada jiwa apa ya, api membaranya, misalnya yang

keren, yang super-heroik gitu kan ya,, tapi selain itu saya lebih

suka nonton yang kayak olahraga, kayak istilahnya tu sekolah

Jepang, lucu-lucuan, segala macem itu fresh buat saya. Kalau yang

fiktif-fiktif malah justru saya suka enggak nonton…

G4

Kok berantemnya pun ga ada gregetnya gtu lho istilahnya… Tapi

kalau jaman saya, seperti kamen rider ichigo, superone, segala

macem, sampai aktornya sendiri itu turun. Bisa berantem, ya kan.

Seperti itu. Dan juga ada kringetnya, lari-lari. Terus juga dari segi

bahasanya tu kan lebih kecowokan, pahlawan banget gitu kan,

pembela kebenaran lah istilahnya. Tapi kalau yang sekarang-

sekarang tu sangat gitu-gitu aja, yaudah gitu-gitu aja, seperti

yaudah, punya musuh, tapi punya musuh di lingkup yang sama. Ga

ada istilahnya tu melindungi dunia. Mereka bilang melindungi

dunia tapi kok, gitu-gitu aja….

G5

Kalau dulu lebih konsepnya lebih ke,, apa ya… eee.. seperti tenaga

dalam. Seperti budaya-budaya Jepang seperti ninja,

seperti…Kakuranger… itu pun… sebenernya kemarin keluar serial

baru, namanya Ninninger. Tapi ninninger, bagi saya itu bukan

ninja, gitu. Karena ya seorang ninja itu harus budaya Jepang, ya

kan. Harus yang istilahnya itu, ya kalau saya pikir sih rambutnya

hitaam, ya kan, selalu, istilahnya tu ninja tu kan bersembunyi. Tapi

konsep yang sekarang tu ninninger, bisa dikatakan bahwa ninja

yang tidak bersembunyi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 174: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

161

G6

Bagi saya itu, wah kok seperti ini. Menjual sekali. Karena bajunya

mentereng, robot-robotnya mentereng, banyak jenis robotnya.

Bukan storynya yang, apa ya,, alur ceritanya yang dijual, tapi

adalah.. apa yang bisa dijual. Aktornya ganteng-ganteng, padahal

dulu ga ganteng-ganteng gitu lho. Bener-bener yang keliatan

seperti ninja yang dipilih, yang matanya sipit, yang kira-kira

badannya lincah gitu kan. Yang tenaga dalam pun, aktornya harus

bisa kungfu. Bener-bener latihan kungfu… Tapi kalau sekarang sih

aktor ya kan. Kok jagoan maksudnya lempeng kayak gini, waktu

berubah kok jadi keren banget transformnya. Itu yang ga masuk

akal. Itu yang membuat saya tidak tertarik lagi…

G7

Saya lebih suka, karena kalau dari sifat saya sendiri lebih suka

bekerja tim kan. Jadi ada leader, ada wakil leader, ada istilahnya

tu, apa ya, eee bagian penyemangatnya, ada bagian yang sedih-

sedihnya, yang tabah segala macem. Lebih berwarna filmnya itu.

Kalau kamen rider, ya satu orang itu yang ditonjolkan. Yang

lainnya cuman, istilahnya tu, ya pelengkap lah. Istilahnya kan

rider-rider lainnya pelengkap. kalau supersentai kan satu tim….

G8

Supersentai saya yang paling berkesan tu Jetman. Jetman tu tahun

90 berapa itu. 94 atau 93… 92. Iya saya langsung nonton di

Jepang. Itu, justru malah untuk dewasa, bukan untuk anak-anak.

Karena ada percintaan setiga, cinta segitiga, yang warna..apa..

hitam malah ngerokok, sering main club, clubbing, tapi dia punya

jiwa kepahlawanan walaupun omongannya kasar. Jadi

memperlihatkan bahwa jangan menilai orang dari sisi luarnya, tapi

dalamnya. Justru malah mengajarkan hal-hal seperti itu…

Misalkan kayak si putih seneng sama si merah, si hitem seneng

sama si putih, si hitemnya itu benci sama si merah, tetapi sebagai

tim bagus. Dan tetap mengalah. Dan pada akhirnya si hitam mati…

Dan helmnya sampe pecah-pecah, sampai efek-efek darahnya ada.

Koh

Oyon

O3

Ya asik wae. Padahal itu cinta-cintaan lho kui. Iya.. tapi ya asik

aja. Dalam artian, yo lakone full gitu. Beda sama hideaki takizawa

yang dulu. Hideaki takizawa yang dulu kan ketoke ya cuman cinta-

cintaan tapi masih kayak anak muda. Nah sekarang sudah enggak.

Beda. Memang sudah tua ta…

O4 Ada pelajarannya, gampangane gitu lah… daripada sing cuman

cinta-cintaan thok.. ya gitu-gitu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 175: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

162

O5

Ada… ini.. jadi guru ki ngene ngene ngene ki lho. Iki lho critane.

Suka duka guru tu seperti ini. Terus nanti kan mesti ada komunitas

kayak gini.. Nah, gitu.. Pokoknya yang ada wujudnya, apa ya…

yang aku seneng, kalau jadi guru… Terus yang itu, yang… yang

mangaka bekas geng motor itu…Iya. Itu. Itu kan juga bagus itu..

Nha… itu apik.. aku seneng yang gitu-gitu.. Ada yang dia bener-

bener dari yang bajingan jadi apik. Aku lebih seneng itu…

Xakha

X2

berkesan gitu lho, maksude yo nek dibandingke sama bagian yang

lain. Ya soalnya kan cuman dua orang itu yang dapet kekuatan

itu... Ya makanya kan anime jaman dulu tu enaknya kita gak mikir

fanservice. Emang kita juga menikmati jalan ceritanya dan

nganunya itu. Kayak emang digimon tu udah ada nilai,, nilai jual

tersendiri gitu lho. Di luar fanservicenya, jadi dari cerita, dari

karakter, atau dari apanya gitu lho. Ya kalau ditanya, dari aku dari

karakter sama ceritanya. Karakternya keren-keren gitu lho.

Maksudnya, buat menarik untuk anak-anak jaman dulu gitu lho,

untuk ditonton. Lha alasannya ditonton ulang tu ya masih worth it

gitu… Ya karakternya keren-keren gitu. Bentukan karakternya…

X3

Iya. Terus digimon-digimonnya kan keren-keren… Walaupun

sampai terakhirnya x-cross kan malah kayak lebih ke anak-anak

lagi kan. Emang,, ya emang itu untuk, pasarnya, pasarnya untuk

anak-anak lagi. Untuk mendongkrak mainan ta. Kan Bandai.

X4

Kesamaannya sih. Kalau dari digimon, sama-sama berubah. Iya,

kamen ridernya juga berubah. Iya, upgrade. Upgrade terus… Ya

kokehan mungkin di situ ya, nilai nganunya, yang bikin orang

tertarik untuk ngikutin, besok ada apa lagi ya. Kayak penasaran

gitu… Katakanlah di satu seri, orangnya ada tujuh, woh yang ini

udah berubah, woh yang ini besok berubah jadi apa ya… Kan

istilahnya kayak itu, digimon pertama, yang bisa berubah cuma

wargreymon sama metalgarurumon, lha trus sekarang bisa ada

semua. Semua bisa berubah. Sekarang garudamon jadi

phoenixmon… Di sini angewomon berubah. Terus

megakabuterimon itu berubah jadi herculeskabuterimon. Jadi

emas. Zudomon itu juga berubah. ini berubah semua nanti…

John

Switch J7

Di Jepang misalnya kayak La-La-La-LoveSong. Itungannya, dia

bisa sampai ke luar negeri, dia bisa dapet ini. Endingnya kan dia ke

luar negeri. Kan itu kan, logis kan, dia bisa gitu ya kenapa. Ya dia

latian dari dulu, dia emang punya bakat dari pertama, terus

akhirnya dikembang-kembangin ikut kompetisi dan sebagainya.

Logis kan dia bisa ke luar negeri… Bukan karena tiba-tiba aku mau

gini, terus cuman gitu tok, ting, tiba-tiba bisa. Itu ga logis kan.

Tabel 2. Data Possible Individual

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 176: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

163

Dari tabel data possible individual di atas terlihat bagaimana kelima

narasumber menarasikan pertemuannya dengan film-teks melalui properti-properti

yang dibawa oleh karakter di dalamnya. Melalui strategi pemberian properti semacam

itu, individual di dalam film-teks yang pada hakikatnya adalah fiksi dimungkinkan

untuk dipercaya sebagai individu yang juga hidup di dunia nyata – atau pembaca

masuk ke dalam dunia film-teks dan menganggapnya sebagai dunia nyata dengan

individu-individu yang juga nyata. Saling tumpang tindihnya identitas individu yang

ada di dunia film-teks dan dianggap ada di dunia nyata ini menyiratkan adanya

strategi pembentukan transworld identity sebagai strategi yang dilakukan oleh

pembaca. Eco (1979) menyebutkan bahwa strategi pembentukan transworld identity

ini menggambarkan usaha pembaca untuk dapat meletakkan bermacam profil di

dalam objek yang mereka hadapi. Usaha membangun profil ini adalah usaha untuk

mencipta suatu topik secara tekstual.214

Dengan melihat data pada tabel.2 melalui peletakan properti-properti untuk

menamai individu, maka data tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua jenis usaha

peletakan properti. Pertama, individu yang menjadi mungkin dengan

menempatkannya pada konteks Jepang tertentu, seperti fisik, konsep budaya, atau

pola individu yang oleh pembaca dimitoskan sebagai yang “Jepang”. Pada bagian ini,

usaha pembaca dalam meletakkan topoi akan kembali terlihat. Kedua, individu yang

menjadi mungkin ketika pembaca melihat fungsinya dalam fabula untuk menamai

214 Eco (1979), op.cit. hal. 230

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 177: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

164

film-teks itu sebagai sesuatu yang Jepang. Justru pada jenis yang kedua ini mulai

terlihat usaha pembaca dalam menjelma menjadi karakter di dalam film-teks –

sehingga pembaca tidak lagi mengkritik dari luar teks, namun menjadi subjek yang

dikritik di dalam film-teks.

Dalam memaknai tokoh di dalam film-teks, Kira menyatakan bahwa ia

mengikuti seri kamen rider hingga Kamen Rider Gaim karena masih adanya unsur

Jepang yang selalu ia cari dalam memilih film. Ia berargumen bahwa Gaim masih

“Jepang banget” walaupun desain dari kostumnya berangkat dari unsur buah-buahan.

Ia menamai Gaim sebagai sesuatu yang sangat Jepang ketika melihat bahwa desain

yang tampak adalah desain samurai (K2). Dengan ini ia secara tegas menyatakan

bahwa individu Gaim mungkin untuk dinamai sebagai Jepang karena membawa

properti samurai sebagai pembangunnya.

Lain halnya dengan Geyol, ia mengalami keragu-raguan dalam menilai film-

teks yang ia nikmati. Ketika Geyol mengatakan bahwa dulu konsep dari seri super

sentai yang ia nikmati lebih ke “tenaga dalam” (G5), terlihat keragu-raguan dalam

menamai istilah tersebut hingga ia kemudian merekatkannya dengan konsep “budaya-

budaya Jepang seperti ninja” untuk menyatakannya sebagai film yang bisa dianggap

“Jepang”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 178: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

165

Gambar 2. Kakuranger (kiri) dan Ninninger (kanan) dalam kostum ninja215

Namun pernyataan tersebut kembali ia negasikan dengan menampilkan

penjelasan bahwa di seri super sentai sudah dua kali konsep Ninja diangkat, yaitu

Kakuranger (1994-1995) dan Ninninger (2015-2016), namun mengontraskan

keduanya. Ia mengatakan bahwa ninninger bukanlah ninja, tidak seperti

pendahulunya, karena ninja haruslah “budaya Jepang” sedangkan ia menganggap

ninninger tidak lagi membawa properti “budaya Jepang.”

Ia menjelaskan ninja yang membawa properti “budaya Jepang” tersebut

melalui dua hal, yaitu ninja yang memiliki rambut berwarna hitam (seperti terlihat

dalam gambar.2 di atas, dalam ninninger tidak semua individu berambut hitam), dan

ninja yang bersembunyi – sedangkan dalam ninninger justru para karakternya

menegaskan bahwa mereka ninja yang tidak bersembunyi.216

Di sini Geyol mulai

215 https://www.pinterest.com/Tjhill96/kakuranger/ dan https://dryedmangoez.com/tag/shuriken-sentai-ninninger/page/2/ (diakses pada 9 April 2017) 216 Dalam ninninger, karakter utamanya (ranger merah) seringkali mengucapkan “Shinobi dakedo, shinobanai” sebagai slogan tim mereka. Kata shinobi berangkat dari kata kerja shinobu yang artinya bersembunyi, sehingga ketika dirubah menjadi kata benda shinobi kata tersebut memiliki makna leksikal yaitu tersembunyi atau tidak terlihat. Dalam perkembangannya, kata shinobi dilekatkan dengan dunia ninja sehingga kata ini kemudian memiliki makna gramatikal yaitu untuk menamai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 179: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

166

melakukan diferensiasi untuk membentuk pengelompokan berbasis “budaya Jepang”

yang ia namai sendiri, berlawanan dengan intentio auctoris dari film-teks yang

tampak ingin membawa konsep ninja secara baru. Hal ini bisa dilihat sebagai sebuah

bentuk kritik dari pembaca yang memperlihatkan ragam topoi yang dibawanya.

Geyol kemudian melanjutkan kritiknya dengan membandingkan lebih jauh

properti yang dibawa oleh kedua seri supersentai tersebut. Ia menilai bahwa ganteng

atau tidaknya aktor juga menunjukkan sejauh apa film-teks yang dihadapi bisa ia

terima (G6). Dengan membawa topoi “budaya Jepang”, ia juga meletakkan properti

mata sipit dan badan yang lincah sebagai syarat untuk bisa menerima konsep ninja

yang dibawa oleh kedua film-teks – dan meletakkannya di dalam kerangka “budaya

Jepang.” Seorang aktor untuk bisa memerankan ninja bagi Geyol haruslah aktor yang

memiliki tenaga dalam dan memiliki kemampuan kungfu secara nyata, tidak seperti

aktor-aktor dalam ninninger yang ia nilai dengan “lempeng” namun bisa “keren”

ketika berubah (G6.) Selain itu, ia mengajukan syarat bahwa untuk bisa diakui secara

nyata, tokoh-tokoh dalam film-teks ini harus bisa “berantem,” berkeringat ketika

“lari-lari,” aktornya benar-benar “turun” sendiri di dalam bertarung (G4), bahkan

sampai terlihat adanya efek darah dari pertarungan tersebut (G8.) Semua properti

yang ia nyatakan berangkat dari usahanya mengritik film-teks yang lebih baru, dan

hal ini menunjukkan seberapa kuat imaji nostalgia dalam pembangunan kritiknya.

sosok ninja itu sendiri – untuk menegaskan sifat ninja yang selalu tidak terlihat seperti dalam mitos-mitosnya. Kata shinobanai sendiri adalah perubahan bentuk negatif dari kata kerja shinobi. Sehingga kalimat tersebut bisa juga diartikan sebagai “tersembunyi (ninja) namun tidak bersembunyi.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 180: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

167

Sama halnya dengan Geyol, Xakha juga menunjukkan imaji nostalgia dalam

narasinya. Ini berawal dari kata-katanya yang mengatakan alasannya sewaktu kecil

mengikuti anime Digimon Adventure 1 (1999-2000), yaitu dari cerita dan karakternya

dengan berkata, “karakternya keren-keren gitu lho, maksudnya buat menarik untuk

anak-anak jaman dulu gitu lho [...] bentukan karakternya.”(X4) Karena menariknya

bentuk karakter dalam anime tersebut, ia mengatakan bahwa anime yang menurutnya

ditujukan untuk anak-anak tersebut masih menarik untuk “ditonton ulang itu ya

masih worth it gitu.”(X4) Di sini terlihat bagaimana imaji nostalgia sangat kuat

mempengaruhi usaha Xakha mempertahankan topoi dalam pengulangan kegiatan

menonton anime Digimon bahkan sampai ia dewasa.

Dengan mengatakan “digimonnya kan keren-keren... walaupun sampai

terakhirnya Xros kan malah kayak lebih ke anak-anak lagi kan,” ia menampakkan

kebingungan dalam merakit lini waktu kata-katanya. Sebelumnya ia mengakui bahwa

digimon yang ia nikmati berulang kali (digimon adventure 1) memiliki karakter yang

keren dan pandangan keren tersebut bertahan hingga ia menontonnya untuk kesekian

kalinya sewaktu sudah mahasiswa. Digimon yang keren untuk anak-anak akan tetap

keren hingga ia mahasiswa – dengan kata lain, hakikatnya adalah untuk menarik

Xakha yang “anak-anak.”

Namun, dengan memasukkan kata “walaupun,” ia sekarang justru

menyayangkan bagaimana karakter pada digimon XrosWars (2010) kembali ke

tujuannya untuk menarik anak-anak. Ketika imaji nostalgia begitu kuat, properti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 181: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

168

“kembalinya tujuan untuk anak-anak” seharusnya menjadi kesamaan yang bisa

membuat dua anime digimon ini setara di mata Xakha.

Hal ini menandakan bahwa argumennya tentang digimon adventure 1 yang

“worth it” untuk ditonton berulang kali karena karakternya menarik untuk anak-anak

menjadi gugur dihadapan argumen berikutnya. Nostalgia tetap menjadi alasan paling

kuat yang belum terjelaskan ketika melihatnya dari argumen ini saja. Argumen Xakha

yang menyiratkan nostalgia harus dilihat dengan menghapus imbuhan berupa alasan

“karakternya menarik untuk anak-anak,” sehingga yang terlihat dengan jelas

hanyalah pada kalimat “anime jaman dulu tu enaknya kita gak mikir fanservice,

emang kita juga menikmati jalan ceritanya... [...] kayak memang digimon tu udah ada

nilai jual tersendiri.”(X2) Dari kalimat ini terlihat bagaimana sewaktu kecil ia

menikmati digimon ala kadarnya tanpa dibubuhi perasaan adanya fanservice atau

kepentingan pasar dan Bandai sebagai perusahaan mainan. Dengan kata lain,

argumen Xakha yang awalnya memperlihatkan pentingnya fisik, atau konsep budaya

dari karakter, harus dimasukkan pada kategori kedua dari usaha peletakan properti,

yaitu pentingnya posisi individu-individu di tengah fabula.

Kategori kedua dari usaha pengakuan possible individu terlihat melalui

penilaian karakter dalam film-teks dengan mengutamakan fungsinya di dalam fabula.

Seperti Xakha yang menekankan pentingnya kenikmatan mengikuti karakter seturut

jalan cerita (X2), narasumber lain juga mengungkap proses mereka menamai karakter

dengan berargumen bahwa karakter-karakter dalam film-teks “ya walaupun kalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 182: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

169

tapi tetep dicoba terus sampai bisa,” dan pantang menyerah (K2, K4) jiwa

kepahlawanan dan “jiwa api membara,” (G2, G3) tokoh yang memberikan pelajaran

dan kedewasaan (O3 – O5), maupun perubahan karakter (X4, J7). Kesemuanya

memberikan simpulan bagaimana karakter dalam film-teks berusaha dinamai melalui

pengalaman pertemuan yang personal – yang kemudian sebagian mereka gunakan

untuk menciptakan Jepang.

Dalam narasinya, Kira mengatakan bahwa karakter yang ia dapati dalam

film-teks membawa properti sifat yang pantang menyerah (K2). Ia menegaskan

bahwa tokoh Kotaro Minami dalam seri kamen rider Black bisa “dihajar habis-

habisan, dia tetap pantang menyerah. Dia selalu bangkit dari masalah, dengan cara

dia sendiri.” (K4) Simpulan ini terutama disangatkan ketika akhirnya ia menceritakan

bagaimana ia menangis terharu ketika melihat Kotaro Minami sebagai kamen rider

Black kalah, mati, namun dibangkitkan kembali melalui tangisan anak matahari dan

menjadi kamen rider Black RX – lihat bab 3. Ia melakukan proses penamaan karakter

dalam film-teks Jepang melalui pengalaman pertemuannya tersebut. Namun,

usahanya tidak berhenti di situ, karena kemudian ia membawa simpulan proses

penamaan itu juga untuk menamai Jepang, seperti tampak pada argumen, “walaupun

kalah tapi tetap dicoba terus sampai dia bisa, soalnya kalau menurut saya, di Jepang

tu yang dihargai tu mungkin proses ya, prosesnya orang itu ya, lebih mengutamakan

proses daripada hasil.”(K2) Di sini tampak bahwa Kira menyimpulkan bahwa

Kotaro Minami dan kamen rider Black – Black RX adalah Jepang karena lebih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 183: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

170

mengutamakan proses daripada hasil – walaupun hasilnya sang kamen rider pun

berhasil menang. Hal menghargai usaha dari karakter di dalam film-teks pun tampak

dari argumen Geyol yang menyatakan bahwa teman-temannya mendapatkan jiwa

kepahlawanan dari film-film tokusatsu Jepang (G2) melalui adanya “jiwa api

membara [...] yang super-heroik,” yang merupakan properti “kecowokan, pahlawan

banget gitu lah, pembela kebenaran istilahnya.”

Properti lain untuk menamai individu seturut fabula pun nampak melalui

argumen Geyol berikutnya yang mengutamakan bahwa karakter dalam film-teks

Jepang yang ia sukai adalah yang mementingkan kerja sama tim (G7). Hal ini sesuai

dengan pernyataan bahwa karakter film-teks Jepang menganggap pentingnya

kehadiran orang lain untuk bisa mendapatkan perubahan yang berarti (lihat

pembahasan di bab 3.2.2.) Hal ini didukung juga dengan kisah Xakha yang penasaran

atas film-teks Jepang yang “bikin orang tertarik untuk ngikutin, kayak penasaran gitu

[...] yang ini udah berubah, yang ini besok berubah jadi apa ya [...] semua bisa

berubah.”(X4) Pengaruh kebersamaan (tim) karakter dalam film-teks mempengaruhi

mereka kemudian untuk menamai karakter dalam film-teks Jepang menjadi mungkin,

karena kedekatannya dengan dunia pembaca yang menyukai tim dan penasaran akan

perkembangan tidak hanya tokoh utamanya.

Properti ketiga yang terlihat pada argumen-argumen narasumber adalah

adanya proses perubahan yang membuat mereka tertarik untuk terus mengikuti – dan

berimersi dalam film-teks. Xakha di atas menyebutkan bahwa “sama-sama berubah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 184: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

171

[...] kamen rider juga berubah [...] upgrade terus”(X4) menjadi hal penting baginya.

Koh Oyon sepakat dengan hal tersebut dengan mengatakan bahwa karakter Hideaki

Takizawa yang sudah tidak sekedar “cinta-cintaan” (O3) memberikan pelajaran

baginya (O4). Ia menceritakan bagaimana dalam Great Teacher Onizuka ia

mendapatkan pelajaran mengenai suka-duka guru dan cara menjadi guru, serta

bagaimana dalam Yasuko to Kenji ia mendapatkan pelajaran mengenai “dia yang

bener-bener dari yang bajingan jadi apik.”(O4)

Tiga properti tersebut – kepahlawanan dalam proses, kebersamaan tim, dan

perubahan – menjadi properti yang berbeda dibandingkan properti yang didapatkan

pembaca melalui usaha mistifikasi. Properti ini baru nampak ketika pembaca

melakukan usaha menilai karakter melalui fungsinya di tengah fabula film-teks.

Ketiganya bukanlah hal yang semena-mena berangkat dari peletakan topoi para

pembaca, namun justru tercipta dari imersi pembaca pada karakter di dalam film-teks.

Proses ini justru menandai adanya negosiasi topoi untuk membangun atau

memperkaya ensiklopedia pembaca melalui keikutsertaan sebagai karakter yang

menjalani peristiwa-peristiwa di dalam film-teks.

Keikutsertaan pembaca dalam menjalani hidup karakter di dalam fabula

menandakan usaha pembaca untuk juga mengangkat course of events di dalam film-

teks menjadi aktual. Dengan kata lain, proses penamaan possible individu sebagai

Jepang juga harus dilihat melalui possible course of events. Berikut adalah tabel yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 185: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

172

menampilkan usaha pembaca untuk mengakui course of events dalam film-teks

sebagai sesuatu yang mungkin untuk kemudian menamai individu:

Kira

K5

Yang dulu kan serius. Kayak kamen rider Black itu kan ceritanya

enggak, ga ada komedi-komedinya sama sekali. Ga ada ya… Ya..

Lebih nyari ketertarikan cerita yang agak-agak berat kalau kamen

rider tu, kalau aku pribadi… Yang serius, yang agak serius, yang

tidak kebanyakan komedi atau banyolannya. Ya semacam Decade,

Faiz, terus kamen rider Kiva. Ya itu kan memang buat anak kecil,

tetapi kan di situ kan agak kompleks…Ya soalnya itu membuat kita

jadi pingin nonton, pingin nunggu episod selanjutnya. Itu yang

membuat aku pingin nonton episod selanjutnya, ceritanya itu…

K6

Mungkin anu sih. Mungkin.. Bisa diaplikasikan ke kehidupan. Yo

ada pesan morale.Misale.. mungkin kamen rider Faiz. Kan kamen

rider Faiz kan itu ternyata malah melawan sahabatnya sendiri.

Lawan orphon. Itu kan sempet sahabatan kentel. Faiz sama yang

satunya. Yang jadi Orga. Orphon yang mati, artis yang kemarin

meninggal. Sopo yo jenenge yo… Yo maksudnya kan ada pesan

moralnya lah. Ya semua kan tidak selamanya bisa jadi teman.

Suatu saat bisa jadi musuh. Nah karakter itu gimana caranya

supaya bisa gitu…. Karakter itu gimana cara menyelesaikan

masalahnya… perseteruan dengan sahabat.Nah kalau di Dekade

kan semua mengalahkan kamen rider. Tapi kan dibalik itu ada

tujuannya tertentu… Kalau dekade itu kan tujuannya untuk

mengembalikan dunia yang hancur, dunia kamen rider yang

hancur. Dia kan mengalahkan semua kamen rider tu supaya stabil.

Supaya stabil dunia… Tapi dia kan ngambil cara itu tu menurut

orang kan itu mesti ya pie-pie. Ya bisa kita ambil kesimpulkan dari

situ tu ada selain opsi A tu ada opsi F, dan G, dan H yang bisa

diambil untuk menyelesaikan sebuah masalah.. Jadi, bukan terus

kamu harus melawan monster, trus ada yang jahat tu enggak.

Kadang kamu harus melawan kamen rider kamen rider kabeh,

membunuh semua kamen rider baru bisa mencapai tujuan…

K7

kalau di kamen rider tu pasti ada di situ, salah satu episod tu

berhubungan dengan hewan peliharaan. Pasti ada itu kayaknya,

jadi yang berhubungan dengan hewan peliharaan. Jadi di situ ada

masalahe misalnya melindungi hewan peliharaan. Nah itu kan di

kehidupan nyata jadi penyayang binatang sih. Jadi sampai

sekarang aku kalau lihat kucing atau apa gitu, jadi ada rasa kalau

bisa aku pelihara ya aku pelihara…

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 186: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

173

K8

Black sama Black Rx ya itu pantang menyerah bro. Dihajar

gorgom sampai sak entek-enteke, sak dia mati terus berevolusi jadi

Black RX tu dia tetep ga menyerah lah. Evolusine black jadi black

Rx itu lho… yang membuat aku nangis. Anak matahari…Soalnya

kan tokoh utama ga mungkin kalah, tapi di sini kalah. Tokoh

utama kalah, dihajar habis-habisan, tapi ternyata terus jadi Black

Rx,,, Pokoknya pas dia tidur terus kena air mata, netes ke

sabuknya, trus pas itu kan ada matahari, trus dia disinari

matahari. Jreeng…

K9

Mungkin beda ya, orang yang pertama misale kamu cuman

melihat kamen rider satu episod saja, sama kalau ngelihat dari

episod satu sampai episod selesai. Beda. Beda ya kalau di

argumenkan. Ya kalau kamu ngira kamen rider cuman untuk anak-

anak jika kamu cuman nonton satu episod. Coba kamu lihat kamen

rider itu dari episod satu sampai selesai, kamu enggak, enggak,

pasti kamu bilang “itu ya emang buat anak-anak, tapi buat

dewasa juga bisa pasti…”

Geyol G9

Itu, justru malah untuk dewasa, bukan untuk anak-anak. Karena

ada percintaan setiga, cinta segitiga, yang warna..apa.. hitam

malah ngerokok, sering main club, clubbing, tapi dia punya jiwa

kepahlawanan walaupun omongannya kasar. Jadi memperlihatkan

bahwa jangan menilai orang dari sisi luarnya, tapi dalamnya.

Justru malah mengajarkan hal-hal seperti itu… Misalkan kayak si

putih seneng sama si merah, si hitem seneng sama si putih, si

hitemnya itu benci sama si merah, tetapi sebagai tim bagus. Dan

tetap mengalah. Dan pada akhirnya si hitam mati… Dan helmnya

sampe pecah-pecah, sampai efek-efek darahnya ada.

Koh

Oyon

O6

Ya.. Kalau Jepang cenderung berat banget kalau aku bilang sih,

kalau di movie… tapi biasane produser e sing nggawe kenthir-

kenthir ta.. Imajinasinya terlalu tinggi. Hehehe.. dadi kacau…

Baru…

O7

Nek sekarang, sing nonton itu sing kui,, sing hideaki takizawa sing

anyar… Yang jadi manager e perusahaan,, apa namanya,,,

perusahaan berlian tiffany.. Jadi ceritanya, nyritakke perusahaan

tiffany. Jadi kalau di Jepang itu terkenal bikin kalung, bikin… asli

ada. kan sponsor tu dia. Nyritakke manajer tiffany..

O8

Ya itu, kayak GTO, sama sing itu,, aku yang paling seneng yang

itu sih…Yang ada,,, apa ya,,, adaa…Ada pelajarannya,

gampangane gitu lah… daripada sing cuman cinta-cintaan thok..

ya gitu-gitu.Ada… ini.. jadi guru ki ngene ngene ngene ki lho. Iki

lho critane. Suka duka guru tu seperti ini. Terus nanti kan mesti

ada komunitas kayak gini.. Nah, gitu.. Pokoknya yang ada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 187: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

174

wujudnya, apa ya… yang aku seneng, kalau jadi guru… Terus

yang itu, yang… yang mangaka bekas geng motor itu…Iya. Itu. Itu

kan juga bagus itu.. Nha… itu apik.. aku seneng yang gitu-gitu..

Ada yang dia bener-bener dari yang bajingan jadi apik. Aku lebih

seneng itu… terutama dia mainnya gimana..

Xakha

X5 Dan itu pun, haikyu tu ga lebay. Ga ada jurus-jurusnya, jurus apa

gitu,

X6

Kalau dulu kan, maksudnya kita waktu kecil nonton kan, ga peduli

ceritanya dipanjang-panjangin, yang penting ada terus, kita bisa

nonton terus gitu lho… Pas kalau menurutku, ga dipanjang-

panjangin.

John

Switch

J8

Apa ya… satu, asik aja punya peliharaan gitu, lucu… Nah dulu

waktu aku nonton, ini monster apa, ini pokemon pa? kan ada

beberapa monster yang bentuknya mirip. Terus begitu aku tonton,

oh ternyata beda juga ceritanya, Terus aku ngikut-ngikutin, oh

ternyata asyik. Boleh juga ni. Gitu… Itu kayak, kayak lebih

menghayal, wah punya hewan peliharaan kayaknya lucu gitu.

J9

Kan kalau misalkan jigoku-sensei nube kan lebih ke sejarah hantu-

hantunya. Kan mereka menceritakan kalau hantu ini awalnya dari

mana, kenapa bisa jadi kayak gini. Kalau tobe-isami kan lebih ke

sejarah shinsengumi, tapi diangkat ke saat modern. Jadi ternyata

tokohnya tu keturunan shinsengumi, nemu senjata, ke masa lalu,

ini kita harus ngelawan karasu tengu. Terus karasu tengu

membuat komunitas terus berencana membuat negara baru. Dia

berusaha meluluhlantakkan Jepang. Kayak gitu. Tobe isami. Ya

anime lawak-lawakan juga sih. Banyak sih dulu anime-anime

kayak gitu...

J10

Gak terlalu lebay sebenernya sih. Kalau Indonesia kan lebay…

Menye-menye gitu kan walaupun sebenernya masih logis ya.

Masih logis. Namanya drama ya tetep aja gak pernah ada yang

logis. Tapi, kesannya tu masih bisa dijangkau dengan otaknya ya

kasarannya kalau misalnya ditonton… Di Jepang misalnya kayak

La-La-La-LoveSong. Itungannya, dia bisa sampai ke luar negeri,

dia bisa dapet ini. Endingnya kan dia ke luar negeri. Kan itu kan,

logis kan, dia bisa gitu ya kenapa. Ya dia latian dari dulu, dia

emang punya bakat dari pertama, terus akhirnya dikembang-

kembangin ikut kompetisi dan sebagainya. Logis kan dia bisa ke

luar negeri… Bukan karena tiba-tiba aku mau gini, terus cuman

gitu tok, ting, tiba-tiba bisa. Itu ga logis kan.

Tabel 3. Data Possible Course of Events

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 188: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

175

Pada tabel.3 tersebut terlihat bagaimana proses pembaca dalam mempercayai

course of events dalam film-teks sebagai sesuatu yang aktual sehingga membantu

mereka dalam menamai individu-individu di dalamnya. Hal ini menandakan

terjadinya jenis imersi yang kedua, yaitu bentuk imersi temporal. Ryan (2001)

menjelaskan bahwa imersi temporal bisa terlihat melalui adanya hasrat pembaca

terhadap pengetahuan yang menunggu mereka di akhir lini waktu narasi – Ryan

menyebutkan konsep ini dekat dengan bentuk suspense dalam film. Dengan kata lain,

imersi temporal adalah keterlibatan pembaca dalam proses perjalanan strutur naratif

dimana di setiap titiknya pembaca harus mengantisipasi adanya kemungkinan

percabangan, memilih satu sesuai prinsip aktualitas yang ia bawa, dan secara tidak

langsung mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang tidak terpilih

sebagai sesuatu yang selamanya virtual. Bagi pembaca, berjalannya waktu di dalam

struktur naratif bukanlah sebuah akumulasi lini waktu yang terstruktur, namun

merupakan proses penyibakan (disclosure.)217

Dalam narasi yang kuat mengangkat aspek suspense, ada beberapa hal yang

bisa dilihat. Pertama, ketegangan dalam narasi berkaitan erat pada ketertarikan

pembaca terhadap takdir karakter di dalam film-teks di setiap akhir konflik. Kedua,

teks dan peristiwa yang terkonstruksi secara virtual menandakan adanya proses

terstruktur yang sedang berjalan, adanya hasrat dari karakter dan tujuan akhir yang

mendorong karakter, serta segala rencana-rencana yang dibangunnya. Ketiga, adanya

217 Ryan (2001), op.cit. hal. 140

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 189: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

176

proses semakin mengerucutnya segala kemungkinan seturut jalannya struktur narasi.

Kemampuan pembaca untuk menjalani narasi dari dalam film-teks terfasilitasi

utamanya oleh perangkat-perangkat naratif yang mengikat rantai kemungkinan bagi

pembaca untuk dapat meramal apa yang akan terjadi selanjutnya – juga untuk dapat

membangun possible-world. Yang possible ditentukan oleh pengaturan hukum-

hukum yang membentuk perangkat naratif.218

Dengan kata lain, imersi temporal

bergantung kuat pada keberadaan lima dunia yang sudah disebutkan sebelumnya di

atas, yaitu: dunia kepercayaan, dunia hasrat, dunia kewajiban, tujuan dan rencana-

rencana yang dijalankan, serta mimpi dan angan/keinginan para karakter yang

menjadi titik fokus pembaca.

1. Dunia Kepercayaan

Dunia ini merefleksikan keseluruhan sistem secara utuh – termasuk wilayah

individu-individu lain – dan mencakupi kelompok-kelompok representasi yang

berperan sebagai dunia aktual bagi dunia privat sang karakter. Dengan melihat

semesta dunia kepercayaan ini sebagai sistem yang berperan sebagai dunia aktual

bagi dunia privat sang karakter, analisa pada bagian possible state of affairs dan

possible individual mendapat posisinya bagi karakter di dalam film-teks itu sendiri.

Dalam proses pembentukan possible state of affairs, konsep reality effect hadir

sebagai strategi yang akhirnya mempengaruhi keputusan pembaca untuk menamai

Jepang yang aktual – walaupun seringkali hadir didasari pandangan kontrafaktual atas

218 Ibid. Hal. 141

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 190: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

177

kehidupan personalnya. Pada proses pembentukan possible individual, pembaca

menilai individu di dalam film-teks dengan melekatkan properti kepahlawanan,

kebersamaan, dan perubahan. Kedua proses pembentukan ini bisa menjadi jalan

masuk untuk melihat bentukan sistem semesta secara keseluruhan yang

mempengaruhi berdirinya film-teks.

Seperti yang sudah dibahas pada bab 2.1 ketika membicarakan sejarah film

Jepang, kontribusi Yasujiro Ozu dalam menawarkan cara untuk terlepas dari

kepengaruhan film gaya Amerika yang “goal-oriented” dan “action driven” menjadi

tonggak penting bagi perkembangan narasi film di bawah payung budaya populer

Jepang, seperti anime, dorama, dan tokusatsu. Pada masa itu, film-film Jepang mulai

dibentuk untuk mengutamakan bingkai narasi yang penuh berisi introspeksi dan

motivasi psikologis tokoh di dalamnya, baik itu iji (kebanggaan), meiyou

(kehormatan), atau ijippari (keras kepala berdasarkan kebanggaan dan

kehormatan).219

Penggambaran perkembangan psikologis sang tokoh tersebut

dianggap lebih penting dibanding peran tokoh tersebut dalam cerita dan

penyelesaiannya.220

Bahkan, penyelesaian cerita oleh sang tokoh pun seringkali

bergantung besar pada perkembangan psikologisnya dalam mencapai titik tertentu.

Pada bab 3.2.2 dijelaskan bahwa titik tertentu tersebut seringkali berupa penerimaan

tokoh terhadap keberadaan tokoh yang lain, dan sang tokoh bisa berubah menjadi

219 Standish (2006), op.cit. hal. 215 220 Ibid. hal. 205

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 191: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

178

lebih mampu menyelesaikan masalah ketika ia lebih mementingkan orang lain

dibanding dirinya sendiri.221

Kira menamai tokoh Kamen rider yang bisa kalah namun tetap berkeras hati

berusaha untuk bisa menang tersebut dengan istilah pantang menyerah (K8), bahkan

tokoh tersebut terkadang harus mengalahkan sahabatnya, mengalahkan seluruh

pahlawan-pahlawan dan dinilai jahat (K6), bahkan harus mati terlebih dahulu (K8)

untuk dapat mencapai tujuannya. Geyol menyebutkan tokoh sejenis itu dalam super

sentai dengan mengatakan “bahwa jangan menilai orang dari sisi luarnya, tapi

dalamnya,” (G9) yaitu bahwa walaupun di luar mereka menampakkan kebiasaan

yang tidak baik – seperti merokok, clubbing – tapi dia punya “jiwa

kepahlawanan”(G9). Koh Oyon pun menceritakan hal yang sama dengan menilai

tokoh Kenji dalam film Yasuko to Kenji yang menggambarkan “dari bajingan jadi

apik” (O8) dengan melepas status preman dalam geng motornya. Xakha pun

menggambarkan bahwa hanya dua tokoh dalam anime Digimon adventure 1 yang

mampu berubah karena sudah melalui pertengkaran yang akhirnya membuat mereka

dipercaya oleh adiknya (X2-X4). Dengan menceritakan dorama Long Vacation, John

Switch pun menyatakan hal yang sama dengan menilai bahwa sang tokoh

menampilkan usaha yang sangat keras untuk akhirnya bisa sampai ke luar negeri

(J10). Bahkan ia juga menceritakan bagaimana anime dengan latar sejarah tetap

mengajarkan kekerasan hati untuk melindungi murid-muridnya (anime Nube) dan

221 Eri Izawa dalam Craig (2002), op.cit. hal. 145-47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 192: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

179

melindungi negara (anime Tobe Isami). Kesemua penggambaran ini menampilkan

bagaimana kekerasan hati tokoh di dalam film-teks yang ditemui oleh para pembaca

menjadi sebuah sistem yang dipercaya dan taken for granted bagi film-film Jepang.

Yang tidak boleh dilepaskan dari konsep kekerasan hati yang dimiliki oleh

individu-individu di dalam film-teks adalah kehadiran orang-orang di sekitarnya yang

menjadi aspek penting bagi kekuatan kekerasan hati sang tokoh. Dalam anime

Digimon Adventure 1, Taichi dan Yamato akhirnya bisa dipanah oleh kedua digimon

dan menyebabkan digimonnya berevolusi justru ketika kedua anak SD ini berusaha

mati-matian dalam melindungi bumi dan keluarganya. Dalam seri kamen rider,

kamen rider black mati melindungi bumi dan teman-temannya, kamen rider Faiz

harus membunuh sahabatnya sendiri, kamen rider Dekade justru harus mengalahkan

seluruh kamen rider yang ada di semesta untuk bisa membuat stabil dunia. Dalam seri

super sentai, kelima tokoh yang selalu digambarkan berbeda-beda selalu akhirnya

bisa menyatukan kekuatan, saling percaya, dan tidak mau kalah bahkan hingga

hampir mati ketika mereka harus melindungi sesamanya, keluarganya, atau kawan-

kawan satu timnya. Dalam kakuranger, negara dan seluruh masyarakatnya menjadi

alasan mereka bertarung, sedangkan dalam ninninger, keluarga dan kakek ranger

merah menjadi alasan mereka untuk berubah menjadi super sentai. Dalam anime

jigoku-sensei Nube, sang guru bernama Nube harus berulang kali mati-matian dalam

melindungi murid-muridnya dari pengaruh setan, sedangkan di dalam anime Tobe-

isami, sang tokoh harus melindungi Jepang dengan ia kembali ke masa lalu. Dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 193: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

180

dorama Great Teacher Onizuka, sang guru yang awalnya berandalan akhirnya

merubah sistem pendidikan di suatu sekolah yang berisi anak-anak nakal karena di

setiap episodenya ia selalu berhasil menyelamatkan murid-muridnya dari masalah dan

merubah kenakalan mereka. Guru ini justru mendapat kekuatan dari kepercayaan

murid-muridnya. Lain halnya dengan dorama Yasuko to Kenji yang menggambarkan

“dari bajingan jadi apik”, karena dalam dorama ini sang kakak (Kenji) harus melepas

segala kegiatan jalanannya dan mencari kerja sebagai pengarang komik atau bahkan

penjual angkringan untuk bisa menghidupi adiknya (Yasuko) yang masih sekolah. Ia

bahkan juga merubah teman-teman satu kelompok geng motornya untuk mengikuti

jalannya. Dalam dorama Long Vacation, sang tokoh akhirnya merasa mampu

berusaha keras dan mampu menggapai mimpinya justru setelah kehadiran teman

kamarnya yang sebenarnya selalu memberi masalah dan mengganggunya, namun

selalu menemani tokoh utama dalam segala kompetisi.

2. Dunia Hasrat

Setelah melihat dunia Kepercayaan di mana hal tersebut mendasari

pembentukan dunia yang lain yang beredar mengitari dunia “aktual” dalam film-teks,

dunia hasrat adalah dunia yang mencerminkan axiological system, yaitu sistem yang

mendasari terjadinya pembagian mana yang baik, buruk, atau tidak berbeda (good,

bad, indifferent). Dunia hasrat ini terlihat melalui perjalanan karakter dan akan mulai

dinamai seturut pembaca menarasikan pertemuannya dengan film-teks dan imersinya

menjadi individu di dalam film-teks.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 194: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

181

Kira memperlihatkan bahwa di dalam film-teks, tokoh tidak harus melawan

monster sebagai pihak yang jahat. Kamen rider Faiz melawan sahabatnya, dan

Kamen rider Dekade mengalahkan segala kamen rider yang ada untuk bisa

menstabilkan dunia (K6). Keduanya menunjukkan bahwa pembagian baik dan buruk

tidak semena-mena dikotak-kotakkan menurut manusia dan monster. Dalam film-teks,

pembagian baik dan buruk harus dilihat kembali pada psikologi masing-masing

individu, sehingga terkadang di awal film semua terlihat membingungkan ketika

pembaca bertujuan untuk langsung mengotak-ngotakkan individu sesuai baik dan

buruknya. Geyol menegaskan hal tersebut dengan melihat bagaimana ranger hitam

yang menampilkan banyak hal buruk namun ternyata mampu mengutamakan tim

(G7) dan justru mati demi melindungi teman-temannya (G9) – dan Geyol melihatnya

sebagai sesuatu yang baik. Koh Oyon melihat bagaimana guru yang berandalan justru

mendapat kepercayaan dari kepala sekolah, dan ternyata justru dengan dunia

berandalannya ia mampu mengajarkan banyak kebaikan pada murid-muridnya yang

nakal (O8) serta justru menjadi contoh bagi kementerian pendidikan yang dikirim

untuk mengawasi. Koh Oyon juga melihat bahwa tokoh yang sebelumnya “bajingan”

bisa berubah menjadi kakak yang sangat bertanggung jawab demi kehidupan adiknya

(O8). Peletakan karakter dalam sisi yang baik pun bahkan terlihat melalui hal trivial

seperti perlakuan karakter pada hewan peliharaan. Kira dan John Switch

menunjukkan hal tersebut melalui pemaknaan adanya sekuen di setiap seri kamen

rider dimana sang tokoh menyelamatkan binatang peliharaan (K7) sehingga membuat

Kira menyayangi binatang atau melalui anime Digimon yang membuat pembaca

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 195: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

182

merasa punya ikatan dengan hewan peliharaannya sama seperti anak terpilih dan

digimonnya (J8) dalam film-teks.

Dari berbagai argumen ini bisa dilihat bahwa pembagian baik-buruk dalam

dunia film-teks Jepang tidaklah semata-mata untuk membangun kotak-kotak dari

awal dimana yang baik akan selalu menang dan monster selalu yang jahat. Seringkali

yang buruk justru menjadi tokoh utama dan perjalanan peristiwa-peristiwa di dalam

film-teks merubahnya menjadi baik. Di sini terlihat bagaimana justru dari basis

perkembangan psikologi sang tokoh, course of events dalam film-teks menjadi

mungkin. Mereka menganggap bahwa aktualitas dari yang possible tersebut terlihat

melalui tidak jelasnya pembagian baik-buruk, bahwa di dunia ini “tidak selamanya

menjadi teman” (K6). Mereka menjadi percaya bahwa di dunia ini justru tidak semua

bisa dikotak-kotakkan dengan baik-buruk, karena “jangan menilai dari sisi luarnya

saja”(G9) – dengan kata lain, penilaian harus dilihat dari perkembangan sisi

dalamnya (psikologisnya) juga.

Yang utama bagi dunia hasrat ini berarti adalah keinginan psikologis sang

tokoh untuk berbuat baik. Baik dan buruk pada awalnya digambarkan tidak berbeda.

Perbedaan baru didapatkan ketika dalam perjalanannya sang tokoh akhirnya

mendapatkan penyelesaian dan penyelesaian tersebut dihasilkan dari pilihan yang

harus dinamai dengan “baik” oleh pembaca.

3. Dunia Kewajiban

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 196: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

183

Konsep ijippari dan pembangunan dunia hasrat mempengaruhi juga

pembentukan dunia kewajiban dalam film-teks. Dunia ini mencerminkan kuatnya

deontic system, yang menggambarkan mana yang diperbolehkan, dilarang, ataupun

diwajibkan. Pada bagian possible state of affairs sudah terlihat melalui berbagai

penamaan bahwa “Jepang” yang dinamai oleh pembaca merupakan Jepang yang

berisi dengan tradisi dan peraturan seperti ketepatan waktu, kebiasaan jalan kaki, jam

buang sampah, keamaan, dan lain-lain. Kesemuanya menggambarkan bagaimana

individu sebagai “Jepang” dinamai berdasarkan ketaatannya terhadap peraturan.

Geyol melihat hal tersebut dengan berargumen bahwa “jangan menilai

luarnya, merokok atau apa,”(G9) tetapi yang penting justru dilihat dari porsinya

melakukan kewajiban yang menghasilkan nilai kepahlawanan. Jelas nilai kewajiban

ini pun dibentuk oleh Geyol dengan melihat kepentingan individu pada konsep tim

dalam seri super sentai. John Switch pun menyatakan hal tersebut ketika

membicarakan anime Tobe Isami. Tokoh di dalam film-teks tersebut kembali ke masa

lalu dan harus berhadapan dengan tokoh jahat yang berusaha menguasai Jepang. John

Switch melihat bahwa walaupun sang tokoh datang dari masa depan, menyelamatkan

negara adalah hal yang wajib dilakukan oleh warga negara.

Koh Oyon menyampaikan contoh yang menarik ketika membicarakan

mengenai dorama Great Teacher Onizuka. Ia melihat bahwa sosok berandalan yang

diangkat menjadi guru tersebut merupakan sosok yang tidak cocok menjadi guru –

karena membawa properti-properti berandalannya. Di sini ia memasukkan tokoh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 197: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

184

Onizuka sang guru berada di sisi buruk dari dunia hasrat, dan juga terpancing untuk

mengarahkan sang guru pada sisi yang dilarang dari dunia kewajiban. Namun,

melalui jalannya narasi yang menggambarkan bagaimana sosok guru yang “pada

umumnya” justru tidak berhasil menangani permasalah murid-murid, Koh Oyon

mulai melihat bahwa hal-hal di dalam properti berandalan bisa menjadi salah satu

jalan untuk menjadi sosok guru yang dipercaya oleh murid-muridnya. Ia mengatakan

bahwa Onizuka menjadi “guru yang tidak bener, tapi bener.”(O8) Secara tidak

langsung, guru Onizuka ini masuk kepada pemenuhan kewajiban seorang guru untuk

dekat dengan muridnya – menjadi diperbolehkan – dan justru berseberangan dengan

guru “pada umumnya” – yang akhirnya ditempatkan pada sisi tidak baik pada dunia

hasrat.

Dari tiga dunia ini saja sudah terlihat bagaimana individu-individu berusaha

dibagi-bagi oleh para pembaca. Hal ini menunjukkan bagaimana nilai sang tokoh

utama juga bergantung pada nilai-nilai yang diberikan pada tokoh-tokoh lainnya.

Konsep seperti ijippari pada dunia kepercayaan, pembagian baik-buruk pada dunia

hasrat, serta pengkotak-kotakan narasi sesuai dunia kewajiban, ketiganya menjadi

dasar penting untuk kemudian pembaca memaknai tujuan dan rencana yang

dijalankan oleh karakter.

4. Tujuan dan Rencana yang Dijalankan Karakter

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 198: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

185

Berlawanan dengan dunia hasrat atau dunia kewajiban yang statis, tujuan dan

rencana yang dimiliki oleh karakter selalu dinamis. Dunia ini justru berisi rangkaian

peristiwa yang berujung pada penggambaran adanya model yang statis tadi. Dengan

kata lain, dunia ini menggambarkan rangkaian peristiwa yang kemudian membuat

pembaca mampu menamai individu di dalam film-teks dengan ijippari,

kepahlawanan, kebersamaan, pentingnya orang-orang di sekitar tokoh, terjadinya

perubahan individu, atau bahkan ketaatan terhadap peraturan seperti keamanan dan

ketertiban waktu.

Semua pelekatan properti individu semacam itu baru bisa terjadi seturut

selesainya pertemuan pembaca dengan film-teks. Kira berargumen bahwa terdapat

perbedaan antara orang yang baru menonton satu episode dengan orang yang sudah

menyelesaikan semua episode.(K9) Argumen ini membuktikan bahwa seluruh

semesta film-teks memang dibangun dengan menekankan perkembangan psikologis

sang tokoh. Ia menyukai film-teks Jepang dimana ceritanya serius dan tidak

kebanyakan komedi (K5) – sehingga ia benar-benar bisa berimersi dengan karakter

yang ia temui. Bahkan Koh Oyon pun menyetujuinya dengan mengatakan bahwa film

Jepang “berat kalau dimasukkan jadi movie” yang hanya berdurasi 2 jam.(O6) Ia

merasa bahwa perkembangan tokoh dalam dorama perlu didalami dengan lebih

intens melalui bentuk serial beberapa episode.222

Xakha menyatakan hal serupa ketika

membandingkan film-teks Jepang dengan film serial di Indonesia (sinetron). Ia

222 Panjangnya serial dorama biasanya menyesuaikan pergantian musim, sehingga setiap judul hanya sepanjang 11-16 episode –tiga sampai empat bulan penayangan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 199: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

186

menyatakan bahwa film-teks Jepang “gak lebay, pas karena tidak dipanjang-

panjangin,” sehingga perkembangan psikologis tokoh sampai titik tertentu yang

disampaikan sesuai jangka waktu tertentu baik di anime, dorama, maupun tokusatsu

merupakan hal yang tepat. Penyelesaian film-teks sesuai tercapainya sang tokoh

“bajingan” dalam mendapatkan pekerjaan mapan demi adiknya (Yasuko to Kenji),

keberhasilan sang pemain piano ke dunia internasional (Long Vacation),

pendewasaan ranger merah sehingga bisa mendapat kepercayaan lebih dari rekan

atau keluarga dan berhasil menyelamatkan dunia (seri super sentai) ataupun

keberhasilan kamen rider dalam menyelamatkan dunia melalui tercapainya tingkat

kemampuan yang paling tinggi pemberian dari orang-orang yang dipercaya (seri

kamen rider), kedewasaan sikap dalam bekerja sama sebagai tim bagi anak-anak SD-

SMP dalam bekerja sama dengan monster-monster (Digimon), kontrol terhadap

kekuatan setan yang merasukinya melalui bantuan kepercayaan murid-muridnya

(Jigoku sensei Nube), kesemuanya menampilkan bagaimana tujuan utama dari tokoh

terkadang tidak terencana dan justru berhasil dengan membawa nilai-nilai yang

didapat dari sekitarnya – bantuan dari sekitarnya. Di sini terlihat bagaimana dalam

film-teks Jepang, tujuan dan rencana karakter bukan mendasari penyimpulan dunia

hasrat ataupun kewajiban. Bukan tujuan mereka dalam menyelamatkan dunia, atau

mengalahkan monster maupun setan yang menjadi rangkaian utama yang mendasari

terbentuknya narasi film-Jepang. Namun yang terjadi justru sebaliknya, bahwa

penemuan dan pengakuan – baik oleh karakter dalam film-teks maupun pembaca –

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 200: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

187

terhadap dunia kepercayaan, hasrat, dan kewajiban justru menjadi tujuan utama yang

harus diselesaikan.

5. Mimpi dan Angan milik Karakter

Representasi akan mimpi dan angan ini bukanlah sebuah dunia, tetapi berupa

semesta alternatif yang diatur beredar di sekitar dunia aktual karakter. Bentuk

representasi semacam ini yang akan terus mengalami pengulangan dalam model

semantik sebuah teks. Atau dengan kata lain, bentuk representasi ini yang

mewujudkan negosiasi antara dunia privat sang karakter dengan dunia aktual yang

digambarkan dalam film-teks. Tentu penamaan atas representasi ini tidak bisa dilihat

terlepas dari pengakuan atas dunia-dunia lainnya yang dilakukan oleh pembaca.

Dalam film-teks Jepang, hal ini terutama tidak bisa dilepaskan dari kuatnya konsep

ijippari dan kekerabatan yang tergambar dalam dunia kepercayaan. Justru konsep

mimpi dan angan milik karakter ini seringkali sengaja dikalahkan untuk menguatkan

dunia kepercayaan yang berusaha digambarkan film-teks – mengingat bahwa ideologi

pada sejarahnya adalah untuk melawan gaya Amerika yang goal-oriented dan action-

driven. Sama seperti dunia tujuan dan rencana milik karakter, dunia mimpi dan angan

ini juga hanya menjadi bumbu bagi perjalanan narasi film-teks Jepang.

Dalam Digimon adventure 1, setelah anak-anak terpilih berhasil

mengalahkan Vandemon dan menyelamatkan bumi, film-teks ini tidak berhenti di

situ. Konflik berikutnya dimunculkan melalui terancamnya eksistensi dunia digital

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 201: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

188

dan seluruh digital monster – juga termasuk digimon peliharaan mereka. Walaupun

keluarga mereka mengkhawatirkan anak-anak SD-SMP ini untuk kembali ke dunia

digital demi melakukan misi penyelamatan, mereka berkeras hati ingin

menyelamatkan digimon-digimon mereka walaupun harus mengorbankan nyawa.

Walaupun masing-masing dari mereka memiliki mimpi masing-masing dalam

kehidupan aktualnya, berdasar kedekatannya dengan digimon, mimpi dan angan

tersebut dikalahkan oleh kekerasan hati tokoh untuk menyelamatkan kawan-kawan

digimonnya. Dalam Great Teacher Onizuka, menjadi guru bukanlah mimpi dan

angan milih tokoh. Jalannya narasi justru didasari dorongan mendadak tokoh untuk

menyelesaikan segala masalah muridnya yang ditemui satu persatu dalam setiap

episodenya. Dalam Yasuko to Kenji, mimpinya untuk bisa menjadi komikus nomor

satu di Jepang dikalahkan oleh kebutuhan dan negosiasinya pada kehidupan adiknya,

sehingga narasi akhirnya ditutup dengan sang tokoh membuka angkringan. Dalam

Long Vacation, walaupun akhirnya sang tokoh mendapatkan kesempatan untuk bisa

melanjutkan ke luar negeri seperti mimpinya yang diceritakan sejak awal, ia

bersikeras menolak kesempatan tersebut jika keberangkatannya tidak

mengikutsertakan teman sekamarnya yang sudah menemani prosesnya.

Dalam beberapa contoh tersebut dapat terlihat bahwa mimpi dari tokoh yang

sejak awal diceritakan secara gamblang dan menjadi alasan bagi tokoh tersebut untuk

terus berjalan di setiap episodenya justru dikalahkan dengan keinginan yang muncul

didasari konsep ijippari ataupun kebersamaan. Melalui bentuk-bentuk seperti ini,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 202: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

189

film-film serial Jepang seakan ingin mengatakan bahwa mimpi dan keinginan privat

milik tokoh merupakan hal yang harus selalu dinegosiasikan dengan dunia aktualnya,

dan pada akhirnya negosiasi tersebut tetap harus memenangkan kepentingan dunia

aktualnya. Konsep ijippari yang berarti kekerasan hati berdasar kebanggaan atau

kehormatan harus didasari kuat oleh dunia aktualnya, bukan berangkat dari

kebanggan atau kehormatan yang berdasar dunia privat.

Dari segala negosiasi lima dunia yang telah digambarkan di atas dapat terlihat

bagaimana dua konsep dalam dunia kepercayaan menjadi satu kesatuan yang

mendasari pembentukan possible course of events dan kemudian membantu

terciptanya possible individual bagi pembaca. Pembaca dibuat seakan menamai dunia

privat sang individu yang ia temui saja, namun yang terjadi justru mereka ditarik

masuk menjadi individu sendiri dan merasakan bagaimana caranya bernegosiasi

antara dunia privat dan dunia aktual di dalam film-teks. Pengenalan tujuan dan

rencana karakter, serta mimpi dan angan milik karakter hanya menjadi sarana bagi

pembaca untuk melakukan imersi temporal pada awalnya. Yang terjadi setelahnya

adalah pembaca harus merombak segala pembagian dunia hasrat dan dunia kewajiban

yang ia bentuk di awal – yang diilusikan oleh permukaan film-teks ketika pembaca

hanya membaca dari luar tanpa melakukan peletakan topoi dan tanpa melakukan

penamaan possible course of events, possible individual, dan possible state of affairs.

Kemudian pembaca dipaksa untuk merasakan sendiri menjadi subjek yang didasari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 203: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

190

oleh dunia kepercayaan yang sama dengan yang dialami oleh semua individu di

dalam film-teks.

Di sini terlihat bagaimana bentuk film fantasi justru menjadi gerbang masuk

paling efektif bagi film-teks Jepang, karena ini menandakan bahwa intentio operis

bisa dengan bebas bernegosiasi pada properti-properti di dalamnya untuk mengangkat

struktur lima dunia yang sangat “Jepang.” Usaha untuk menjadikan film-teks sebagai

yang aktual bagi pembaca juga menjadi usaha untuk memasukkan bentuk lima dunia

dalam dunia aktual pembaca juga – membentuk dunia aktual Jepang yang diakui

pembaca. Dari titik ini, yang kemudian harus dilacak sebagai sebuah kasus adalah

usaha pembaca untuk bisa mempercaya kehidupan yang mereka masuki dan hidupi,

dan kemudian membawa kepercayaan tersebut keluar dari dunianya. Di titik ini,

kedua pembahasan sebelumnya harus dilihat sebagai keutuhan semesta system of

possible-worlds.

4.3. Orang Jepang yang Sedang Menyikapi Indonesia

Eco (1979) melihat bahwa aspek semantik dari narasi bukan sebagai possible-

world yang tunggal, namun sebagai semesta yang tercipta dari konstelasi tiga jenis

possible-world. Possible-world yang pertama adalah possible-worlds yang

diimajinasikan dan dinyatakan oleh pengarang. Dunia-dunia ini berkorespondensi

antara fabula oleh pengarang. Hal ini nampak pada proses penciptaan possible state of

affairs, possible individual, dan possible course of events sebagai struktur yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 204: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

191

keberadaannya diinterpretasikan oleh pembaca, namun terikat kuat pada

pembangunan struktur dan dunia-dunia di dalam film-teks oleh pengarang – possible-

world pengarang (Jepang) secara tak langsung memberikan batasan atas interpretasi

pembaca dalam membangun possible-world. Pada titik ini terlihat bagaimana sejarah

pembentukan media film dan televisi di Jepang menjadi aspek intentio auctoris –

seperti konsep ijippari yang dikenalkan Yasujiro Ozu – yang bertahan hingga

diresepsi pembaca di Indonesia beberapa puluh tahun kemudian.

Possible-world yang kedua adalah possible-subworlds yang diimajinasikan,

dipercaya, atau diangankan oleh karakter-karakter dalam fabula. Hal ini nampak pada

usaha pembaca dalam menilai individu dan course of events melalui imersi temporal

yang mereka lakukan. Penilaian atas hal ini terlihat melalui negosiasi antara lima

dunia yang sudah dijelaskan sebelumnya dengan dunia aktual “Jepang” yang

berusaha diciptakan. Pengakuan atas dunia aktual Jepang dalam film-teks ini juga

yang akan menunjukkan proses penarikan dunia aktual film-teks menjadi dunia aktual

yang diimajinasikan, dipercaya, atau diangankan.

Possible-world yang ketiga adalah possible-subworld yang diimajinasikan,

dipercaya, atau diangankan oleh Model Reader di setiap disjunction of probability

(setiap kemungkinan kelanjutan kisah yang mungkin terjadi) dalam fabula. Possible-

world yang ketiga ini baru akan terbukti (benar atau tidak, diakui atau tidak diakui

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 205: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

192

oleh teks) setelah mengikuti lebih lanjut narasi dalam fabula.223

Hal ini terlihat

melalui usaha pembaca untuk mengakui yang “Jepang” melalui imersi spasial dan

temporal yang mereka lakukan secara penuh sampai akhir setiap filmnya. Seperti

yang diungkap oleh Kira, bahwa pembaca akan menyimpulkan hal yang berbeda

ketika hanya melihat film-teks ini secara terpotong-potong.

Kesimpulan pada analisa di dua sub-bab sebelumnya menunjukkan bahwa

pada aspek possible state of affairs para pembaca menamai Jepang dengan

teknologinya yang maju – narasi mengenai kereta api (K1) dan vending machine (J4)

– dan Jepang dengan kehidupannya yang penuh ritme tertentu – tepat waktu (K1),

butuh instan dan aman (J4), disiplin terhadap peraturan kota (J2). Pada aspek possible

individual, para pembaca menamai Jepang melalui pengetahuan atas budayanya –

samurai (K2), ninja (G2), anime Tobe-isami yang menceritakan sejarah dan anime

Nube yang menceritakan mitos setan-setan Jepang (J9), aspek tradisional dan

mencintai sejarah (J1 dan J4), serta masyarakat yang memiliki nilai moral tersendiri

(X2), baik kerja keras (K1) maupun semangatnya (G2) – dan juga melakukan proses

menamai Jepang melalui fungsi karakter dalam fabula – pantang menyerah (K4 dan

K8), kepahlawanan (G2), kerja keras (K8), pendewasaan (O8) dan perkembangan

karakter (X4), mementingkan proses daripada hasil (K2), jiwa kepahlawanan (G2),

semangat untuk terus bekerja (J5), dan loyalitas (J6). Pada analisa aspek possible

course of events, pembaca menamai Jepang melalui kuatnya peran dunia kepercayaan

223 Eco (1979), op.cit. hal. 234 - 35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 206: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

193

sebagai pengatur cerita – bahkan aspek tujuan dan rencana, serta aspek mimpi dan

angan milik karakter dikorbankan demi kepentingan dunia hasrat dan dunia

kewajiban untuk menguatkan dunia kepercayaan – dan di dalamnya mencerminkan

nilai kekerasan hati orang Jepang untuk terus berjuang dan bekerja keras melalui

pengakuan adanya interpersonal network. Kesemua analisa pada bagian-bagian

possible-world oleh pembaca ini yang akan menentukan langkah selanjutnya dalam

pembentukan Jepang yang aktual bagi pembaca.

Eco (1979) pernah mengatakan bahwa ketiga possible-world ini

berkepentingan bagi pembaca untuk menjadi pengakuan atas usaha penciptaan

actual-world,224

sehingga usaha pembacalah yang akan menjadi benang pengikat atas

aspek-aspek possible-world yang sudah dibahas sebelumnya. Semua strategi

penamaan state of affair dan individual serta pengakuan atas struktur narasi (lima

dunia) yang ditemukan sebelumnya akan menjadi titik masuk untuk melihat

bagaimana pembaca membawa “Jepang” yang mereka temui dalam film-teks menjadi

Jepang yang aktual. Untuk melihat usaha pembaca dalam mengakui possible-world

menjadi actual-world, maka analisis harus kembali pada konsep trikotomi tanda

dalam membentuk final interpretant serta peran habit di dalamnya.

Dengan menggunakan konsep tersebut. maka data-data dari narasumber pada

sub-bab ini bisa dilihat dalam hubungannya antara proses mereka dalam menamai-

menyimpulkan possible state of affairs, possible individual, dan possible course of

224 Ibid. hal. 235

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 207: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

194

events dengan proses mereka dalam menamai Jepang yang mereka anggap aktual.

Jepang yang sudah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya akan ditempatkan

sebagai tahapan awal yang mempengaruhi mereka membentuk final interpretant

Jepang yang aktual. Oleh karena itu, analisis akan masuk pada pencarian tahapan

pada narasi narasumber mengenai Jepang yang dianggap aktual – baik yang masih

menampakkan jejak film-teks maupun yang sudah terlepas – dan mengaitkannya

dengan segala pengetahuan yang beredar di Indonesia (outer-world) yang

mempengaruhi pembaca untuk menginterpretasikan Jepang – kesimpulan pada inner-

world. Analisa pada tahap ini juga akan mencari apakah terdapat sisa-sisa ikon Liyan

pada bahasa yang diungkap oleh narasumber. Berikut adalah data-data narasi

narasumber yang menunjukkan interpretasi atas Jepang yang aktual:

Kira

K10

Ya.. ya kenapa kamen rider tu sampai detik ini masih ada. Ya

mungkin, dari situ, ditontonkan tiap hari minggu untuk anak-

anak. Ya mungkin itu lah yang membentuk pola pikir orang

Jepang kecil sampai orang Jepang gedhe.

K11

Ya mungkin, orang Jepang kan harus bisa… Ya maksude, kalau

melakukan satu hal A ya tetap harus selesai. Walaupun kenapa,

walaupun apa, kalau belum ketemu hasilnya kan belum anu ta,

wong Jepang ya gitu sih. Kalau menurutku katsudou sama orang

Jepang, kalau mereka belum sampai, kalau belum ketemu hasil A,

belum sesuai harapan, ya dia belum mau ngapai-ngapain,, yo

sakjane itu jelek sih. Tapi kan bisa diambil dari sisi lain. Ya

emang kesannya terlalu memaksakan, tapi emang kalau

tujuannya A ya harus A…

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 208: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

195

K12

Ya sekarang kalau aku ambil contoh. Pas katsudou sama orang

Ritsumeikan, ya misale mereka mau ngadain kunjungan orang tua

murid ke sekolah. Ya kita datang ke rumah-rumah dan ngasih tau

besok ini lho ada kunjungan. Lihat anak-anaknya belajar. Di

Desa A, jadi orang Jepang sama kita ke rumah-rumah, “ini lho

besok ada acara ini, kamu bisa dateng apa enggak“ Yo orang

Jepang itu pingin orang tua itu datang. Walaupun orang tuanya

alasannya apa, alasannya apa, orang Jepang itu tetep pingin

orang tua itu datang. Kan ini demi anak-anakmu. Kamu harus

datang. Kan kalau orang tuanya emang bener-bener ga bisa

datang, ya kita sebagai penerjemahnya kan ya bingung, maksa

orang tuanya untuk datang ke sekolah. kalau misalnya memang

orang tuanya tidak bisa karena ada kerja atau apa. Ya tapi kalau

pinginnya orang Jepangnya itu ya ijin. Tapi kan di Indonesia kan

hal-hal seperti itu ya belum bisa. Beda dengan di Jepang.

Geyol

G10

Kok berantemnya pun ga ada gregetnya gtu lho istilahnya… Tapi

kalau jaman saya, seperti kamen rider ichigo, superone, segala

macem, sampai aktornya sendiri itu turun. Bisa berantem, ya kan.

Seperti itu. Dan juga ada kringetnya, lari-lari.

G11

Bener-bener yang keliatan seperti ninja yang dipilih, yang

matanya sipit, yang kira-kira badannya lincah gitu kan. Yang

tenaga dalam pun, aktornya harus bisa kungfu. Bener-bener

latihan kungfu…

G12

kalau saya sih karena memang tetangga dari nenek saya di

purworejo juga sudah tahu kalau bapak saya udah belajar dari

sana lama, justru menimba ilmu di negara yang modern, seperti

itu… cuman ya gitu, angkatannya nenek saya, mungkin tetangga-

tetangga yang tanda kutip tidak berpendidikan, gak lulus, bahkan

gak sekolah, tu memang image Jepang masih penjajah…

Koh

Oyon O9

Nek kaya dikaya-kayakke tenan, tapi nek enggak kaya, ya bener.

Dalam artian gini.. kayak contohne ya.. gampange nek… Wong

Jepang ki kayak musike itu, bisa ngepas. Kalau misalkan nek-nek

e sendu, ya musiknya bisa ngepas. Jadi tambah sendu. Nek lucu

ya lucu, bisa ngepas gitu lho… Ga lebay. Tapi nek pas, komedi

lebay ya lebaybanget. Umpamane pertama kali, uwaah cring

cring cring.. uwaaa, hahaha, nek kayak gitu biasane cinta-

cintaan. Dorama nek yang kayak gitu ya ada… Gitu, agak seru..

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 209: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

196

O10

Ya itu, kayak GTO, sama sing itu,, aku yang paling seneng yang

itu sih…Yang ada,,, apa ya,,, adaa…Ada pelajarannya,

gampangane gitu lah… daripada sing cuman cinta-cintaan thok..

ya gitu-gitu.Ada… ini.. jadi guru ki ngene ngene ngene ki lho. Iki

lho critane. Suka duka guru tu seperti ini. Terus nanti kan mesti

ada komunitas kayak gini.. Nah, gitu.. Pokoknya yang ada

wujudnya, apa ya… yang aku seneng, kalau jadi guru… Terus

yang itu, yang… yang mangaka bekas geng motor itu…Iya. Itu.

Itu kan juga bagus itu.. Nha… itu apik.. aku seneng yang gitu-

gitu.. Ada yang dia bener-bener dari yang bajingan jadi apik. Aku

lebih seneng itu… terutama dia mainnya gimana..

O11

Aku kalau disuruh ke jakarta wegah kok… Ngopo yo. Wongane ki

kayak ga bisa menikmati hidup, nek aku sih. Ya semua kota besar

lah.. Lha mending temenku di jepang itu. Sing si,,, siapa,, temenku

yang di jepang itu, balik-balik sugih. Kerja di sana setahun dua

tahun, di sini dua tahun nganggur ya tetep bisa makan kok. Ga

nyari duit aja tetep bisa makan…. Tapi ya kerjanya ya,, ngerti

wae.. sehari bisa 500 ribu. Tips e tok.. 500 ribu sehari…

Xakha

X7

Kan ga ada yang lain. Ada paling juga cuman film-film

Indonesia. Ya itu kan kayak selingan, film Indonesia jaman dulu.

Ya cuman kayak, selesai nonton anime, ya nonton tuyul dan mbak

yul, nonton jinny oh jinny gitu.

X8 Ya kokehan mungkin di situ ya, nilai nganunya, yang bikin orang

tertarik untuk ngikutin, besok ada apa lagi ya. Kayak penasaran

John

Switch J11

Saya tukang nghayal. Saya suka nghayal. Dari kecil tu sukanya tu

aku suka ngehayal… Tapi dulu kan saya lebih suka main game.

Terus selalu membayangkan bagaimana sih kalau kita jadi

karakter ini. Apalagi kalau maen game RPG kan, kalau kita main

game RPG ya, ngliat botol ini aja udah,,, ini botol biasa, tapi

kalau kita lihat tu udah kayak ada tulisannya, item, efeknya apa,

fungsinya apa. Nah itu udah keliatan. Itu awal-awalnya…

Sekarang pun juga masih. Jadi kadang ngliat-ngliat, kadang

ngliat hape gini, jadi muncul opsi-opsinya. Nah itu. Hahaha…

Nah kalau gini mikir, kayaknya kalau bikin kostum asik nih…

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 210: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

197

J12

Tapi sebenernya gini, kalau boleh jujur sih, sebenernya banyak

ya, kalau gak ada Jepang aku akuin Indonesia ga bisa merdeka,

satu. Terus kalau gak ada negara Belanda tu Indonesia gak bisa

sampe kayak gini sebenernya. Semua hal-hal yang kita ambil

sekarang tu kita adopsi dari unsur Jepang. Hal yang paling

gampang: Baju! Baju itu sebenernya dari Belanda sama Jepang.

Sebenernya. Kita mengadopsinya. Misalkan kita ga sampai

dijajah Belanda sama Jepang, sampai sekarang kita masih pake

kebaya sama blankon. Kayak gitu… Persenjataan, teknik irigasi,

terus teknik penciptaan dan lain sebagainya, makanan, kuliner,

semua, pengelolaan negara, kan ambil dari tentara Belanda.

Makanya kalau misalkan mau tahu sejarah Indonesia sama

dokumen Indonesia paling lengkp, pergilah ke Belanda. Kayak

gitu… Iya hiperbola. Orang-orang jaman dulu aja…. Nah itulah,

hiperbola orang jaman dulu tu terlalu berlebihan sih sebenernya.

Apalagi kalau kayak orang main kata gitu lho. Si A ngomong apa,

si ini ngomomg,.. Misalkan dia ngomong ke temenya ini, nah

nanti sampai ke orang lain udah bisa Z. Kayak gitu sih…

J13

Yang pertama kali muncul ya, ya anak-anak, aku sih kalau aku

pakai logisnya ya, anak-anak tu males baca, pasti lebih suka

nonton. Sekarang kalau hari minggu apa yang ditunggu? Anime

kan… kalau baca kan kita bisa tiap hari baca, tapi itu kan jadi

cepet bosen. Lha terus sekarang yang paling kita tunggu apa

kalau hari minggu? “enggak, aku mau nonton anime dulu,

digimon, wah, ya. Ada tinju, sialaaan!” hahaha, yaudah, orang

pasti ngincernya apa? Anime… Kalau dulu tu, paling ya, anime

yang paling berkesan tu digimon sih sampai sekarang… Itu awal-

awal aku nonton, yang bener-bener, istilahnya, sampai kayak

addicts. Sama beyblade dulu. Beyblade, crushgear, tamiya, itu.

Itu paling aku incer-incer terus tiap hari, tiap minggu. Sekarang

kalau dipikir-pikir, anime tu bener-bener mempengaruhi anak.

Misalkan ya, woh, anime beyblade, orang pada beli beyblade

J14

…Nah soalnya gini. Di Jepang sendiri kan, samurai, dan

semuanya yang berhubungan dengan masa lalu paling juga

dihormati kan. Bahkan sampai dibikin eventnya khusus… Di luar

negeri soalnya kegiatan-kegiatan bersejarah yang mengangkat

sejarah-sejarah dan perayaan sejarah tu, kesannya bagi mereka

tu, itu hal yang menarik. Bukan menarik lagi, itu hal-hal luar

biasa. Itu aset negara bagi mereka… Bisa dijual. Buat

keuntungan mereka. Tapi di sini jarang. Malah dipermasalahkan

terus. Lha malah ribut-ribut gitu. Mereka lebih mikirin politiknya

dan sebagainya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 211: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

198

J15

Sederhana, satu, pihak kreatif mereka tu di support… Negara.

Industrinya juga. Bagi perusahaan-perusahaan yang pihak kreatif

tu mereka menghargai. Apa pun ide yang mereka masuk, apa pun

kita hargai. Indonesia? Baru kita masukin aja udah di tolak. Ga

menghasilkan. Bagi mereka tu ini enggak blablablabla… ya

dikembalikan. Itungannya ide-ide mainstream doank. Ga jelas.

Kayak gitu bisa apa Indonesia…

J16

malah mungkin, sekarang kesannya kayak datar hidupku.Iya.

Soalnya bagiku sih Jepang tu menarik masalahnya. Ya bagiku

menarik soalnya. Apalagi setelah kesana, semuanya kayaknya

wah, menarik gitu. Banyak hal yang itungannya bahkan tidak bisa

dijelasin dengan kata-kata. Bagi kit a tu, kayak, aku seneeeeng

(dengan penekanan) banget sama itu… Banyak faktornya.

Pokoknya kamu ngerasa kayaknya bener-bener cinta, banyak hal

gitu. Tapi,,, di satu sisi, aku juga suka Indonesia. Bahkan, aku

cinta Indonesia. Cinta banget. Aku juga cinta Jepang. Bahkan aku

kadang sekarang di Indonesia pun aku tu memperagakan gaya

hidup di Jepang tu kayak gimana dan sebagainya. Terus habis itu,

begitu aku jadi wakil Indonesia, itu aku tetap menjunjung tinggi

bahwa aku orang Indonesia di sana. Tapi begitu aku merasa

melihat Jepang itu menarik, menariknya tadi, woh kayaknya

kehidupannya menarik, sejarahnya menarik, budayanya menarik,

terus macem-macem lah hal yang menarik di situ. Mungkin bagi

mereka yang juga suka sama budaya Rusia mungkin ya, mereka

juga berkata “oh disana menarik”. Menurut saya kayak gitu aja

sih.

J17

Biasa aja sih. Dulu, dari orang tua, apalagi bapak. Bapak kan

bener-bener, apa ya, kasarannya kalau kita mau bilang itu, suka

banget sama Soekarno. Cinta Indonesia banget. Kalau

kasarannya tu bener-bener cinta indonesia garis keras. Dia tau

saya suka cosplay dan sebagainya itu dia pasti berpikir, “ah itu,

kamu tu, udah tau Jepang itu menjajah juga dan sebagainya,

ngapain juga kayak gitu.” Ngomong kayak gitu, “kamu masak

mau sih dijajah lagi. blablabla. Kita tu dulu tu makan, kita tu

sekarang tu makan di Indonesia, ngapain kamu pake budaya

Jepang”.. Ya awalnya kan kalau kita labil, kita bilang “ah papa

tu gak tau apa-apa, udah aku keluar dari rumah!” hahaha. Nah,

karena untungnya, waktu itu saya juga belajar dari, latar

belakang keluarga saya seni, saya juga belajar di sekolah seni.

Akhirnya, saya diajarin, ada kita diajarin, bagaimana sih cara

kita menjelaskan, soal seni yang kita suka kepada orang yang gak

tahu soal seninya, budaya yang kita suka kepada orang yang gak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 212: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

199

tau budaya itu apa. Akhirnya, seiring berjalannya waktu, aku

jelasin ke papaku, “pa, cosplay itu gak semuanya harus jepang

kok pa. cosplay itu kan universal. Ada barat, indonesia juga

ada.” terus aku ngomong, “yang ku tonjolin di sini tu bukan aku

ngambil Jepang-jepangnya, yang ku ambil tu lebih ke skillnya

pa.” kesukaannya dan sebagainya. Aku nunjukkin. Akhirnya,

kalau nunjukkin dengan kata-kata tidak mempan, tunjukkin

dengan bakat sekalian, Aksi. “Aku lho bisa bikin kayak gini, gini,

gini…” “woo, bagus ya kayak gini. Kalau Jepang emang

gimana?” aku jelasin, “di Jepang tu ada gini-gini lho pa,” dan

sebagainya. “Teknik keris, Indonesia sama Jepang tu sama lho

sebenernya. Cuman beda di panjang, modifikasi, terus

gini,gini,gini. Jepang tu sebenernya mix, gini,gini,gini dan

sebagainya” aku jelasin aja. Misal, apa yang bisa di mix, apa

yang bisa diambil, apa yang bisa diterima dari jepang ke

Indonesia tu apa. Blablabla dan sebagainya. Akhirnya emang,

emang butuh waktu juga, tapi papaku sekarang ngedukung, “apa

yang lagi kamu kerja, lagi ada orderan apa nih?” gitu. Sekarang

kan juga, papaku kalau ada orderan yang ada hubungannya

tentang kostum, desainnya malah sama aku. “Bim tolong donk,

kamu ada orang versi Jepang gak? Yang soal ini,ini, tolong cariin

donk. Soal yang kuil-kuil Jepang kayak gimana” akhirnya kita

saling mutualisme.

Tabel 4. Data Propositional Attitudes

Interpretasi atas Jepang yang aktual seperti yang dibahasakan oleh narasumber

pada tabel.4 di atas menunjukkan adanya dua jenis usaha menurut arah narasinya.

Jenis usaha yang pertama adalah narasi yang lebih memberatkan proses penamaannya

melalui film-teks. Jenis yang pertama ini menunjukkan usaha narasumber yang lebih

memberatkan pengalaman inner-world mereka, yaitu pertemuannya dengan film-teks.

Di sisi lain, jenis usaha yang kedua tampak pada narasi yang seakan menunjukkan

Jepang yang sudah terlepas dari film-teks. Usaha jenis kedua ini menunjukkan

kemenangan kuasa outer-world atas pengalaman inner-world.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 213: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

200

Kira menyampaikan bahwa seri kamen rider menjadi pengaruh kuat bagi

pembentukan pola pikir orang Jepang sampai mereka dewasa (K10). Ia secara tidak

langsung mengaitkan properti individu Jepang yang ia percaya dalam film-teks

sebagai properti bagi orang Jepang aktual, yaitu efek teknologi maju yang

mempengaruhi terciptanya ritme kehidupan yang teratur (K1 dan K4), pantang

menyerah (K4 dan K8), bekerja keras (K8), dan orang Jepang yang mementingkan

proses daripada hasil (K2). Pada argumen ini tampak Kira melakukan usaha jenis

pertama – menyimpulkan interpretant melalui pertemuannya dengan film-teks. Yang

memaksa Kira untuk menarik interpretant tersebut menjadi final interpretant bagi

Jepang yang aktual adalah pengalaman personalnya terhadap orang Jepang di dunia

aktual – di sini nampak usaha jenis yang kedua. Di argumen berikutnya ia

menunjukkan bahwa orang Jepang “harus bisa” mengerjakan satu hal sampai selesai

(K11) melalui kegiatannya (katsudou) bersama dengan orang Jepang selama ia kuliah.

Dengan mengatakan bahwa “kalau mereka belum sampai, kalau belum ketemu hasil

A, belum sesuai harapan, ya dia belum mau ngapa-ngapain,” Kira menjadikan

properti pantang menyerah, kerja keras, dan pementingan hasil daripada proses

menjadi final interpretant bagi orang Jepang. Pada argumen berikutnya (K12), ia

kemudian menunjukkan secara jelas bagaimana pengetahuan dari outer-world yang

mengakomodasi terbentuknya final interpretant atas Jepang tersebut hadir melalui

pembandingannya dengan kondisi Indonesia. Ketika ia menjelaskan kegiatannya

bersama dengan orang Jepang, ia mengakhiri ceritanya dengan narasi “tapi kan di

Indonesia kan hal-hal seperti itu ya belum bisa, beda dengan di Jepang.” Kalimat ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 214: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

201

menunjukkan habit pada komunitas (Indonesia) yang memaksa Kira untuk

menyimpulkan nilai atas Jepang melalui kata “belum bisa – beda dengan.” Hukum

dalam komunitas (habit) sebagai “yang belum bisa” membantu Kira untuk

menyimpulkan Jepang “yang sudah bisa” menjalankan nilai-nilai tertentu. Dengan

kata lain, pengalaman menilai Jepang dalam pertemuannya dengan film-teks

terjelaskan ketika Kira memasukkan aspek “Indonesia yang belum bisa” dalam

properti yang ia dapat dalam film-teks sehingga ia dapat menyimpulkan nilai-nilai

yang dimiliki oleh Jepang.225

Di titik ini ia tidak menerangkan secara jelas apa yang

“Indonesia belum bisa,” sehingga penamaannya justru harus dilihat melalui proses

Kira menamai Jepang.

Pada narasi yang diungkap oleh Geyol (G10 dan G11), ia tidak banyak masuk

pada proses penamaan Jepang yang aktual dan tetap mempertahankan usahanya

dalam menamai film-teks. Argumen ini bisa dilihat sebagai bentuk ketidakberhasilan

narasumber dalam menarik pemaknaan film-teks sebagai akar terbentuknya final

interpretant Jepang yang aktual. Pada analisa di bagian sebelumnya, Geyol

menunjukkan bahwa melalui film-teks yang membawa nilai tradisional Jepang seperti

ninja (G5), pergeseran atas budaya tersebut terjadi pada beberapa film/seri yang

diterbitkan dengan tahun yang berbeda cukup jauh, dan pergeseran ini ia lihat melalui

225 Lihat pembahasan pada Bab I dan Bab II mengenai wacana “meniru Jepang” yang muncul sekitar periode 1970 akhir ketika investasi perusahaan Jepang dan produk-produknya membanjiri Indonesia. Pengetahuan terhadap hal ini menjadi sarana yang masuk akal untuk terus terbawa menjadi aspek outer-world yang membentuk final interpretant Jepang seperti pada narasi yang diucapkan Kira walaupun tidak secara langsung mampu untuk ditarik garis hubungan ketika Kira tidak pernah membaca atau mendengar mengenai wacana tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 215: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

202

aktualitas budaya dalam film-teks yang dulu ia temui. Aktualitas tersebut hanya ia

nyatakan melalui istilah “greget”(K10), yaitu bahwa film yang ia nikmati ketika

masih kecil merupakan film yang lebih memiliki “greget” – dan tidak menjelaskan

lebih lanjut fungsi dari kata tersebut selain dari nilai-nilai yang ia dapat. Ketika ia

diminta menjelaskan mengenai nilai yang bisa didapatkan melalui film-teks Jepang,

ia berulang kali menyebutkan properti nilai kepahlawanan (G2), “jiwa api membara”

(G3) dan nilai “jangan menilai orang dari sisi luarnya” (G9) yang bisa didapat

olehnya dan teman-temannya, namun tidak kemudian membawa pengalamannya

tersebut untuk menamai Jepang yang berusaha direpresentasikan film-teks.

Ketidakberhasilan semacam ini menyebabkan kata “negara modern” pada

argumennya (G12) menjadi tidak terjelaskan. Ia meletakkan imaji “negara modern”

sebagai outer-world yang terlepas dari nilai kepahlawanan yang ia dapat dari film-

teks. Keduanya tidak dinegosiasikan oleh Geyol untuk bisa saling membangun

penamaan tanda baru bagi Jepang, sehingga dua jenis argumen ini menunjukkan dua

jenis usaha yang berbeda: usaha jenis pertama untuk menamai Jepang dalam film-teks,

dan usaha jenis kedua untuk menamai Jepang yang aktual – terlepas dari film-teks.

Pada usaha jenis pertama, Geyol menunjukkan bahwa properti atas Jepang

yang ia dapat dari film-teks berhenti pada energetic interpretant dan hanya berhasil

dinamai dengan bantuan kata “greget”. Ia tidak berhasil memproduksi situasi konkret

yang membuatnya mampu memiliki pengalaman perseptual atas objek Jepang yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 216: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

203

ditunjuk dalam film-teks. Dengan kata lain, Jepang dalam interpretasi Geyol melalui

pertemuannya dengan film-teks tidak berhasil menjadi sebuah final interpretant.

Pada usaha jenis kedua, kata “negara modern”menjadi kata yang secara jelas

menunjukkan peredaran pengetahuan atas Jepang yang beredar di Indonesia, dan

hanya berhenti sampai pada pengetahuan sebagai bahan mentah yang siap

diaktualisasikan melalui pengalaman personal macam pertemuan dengan film-teks.

Ketidakberhasilan ini hanya bisa terjadi ketika ia sudah menjadikan konsep Jepang

yang modern sebagai common-sense yang taken-for-granted dan tidak perlu

dijelaskan kembali. Hal ini terlihat melalui cara ia menarasikan kata “Jepang masih

penjajah” dengan meletakkan properti “tidak berpendidikan, tidak lulus, bahkan

tidak sekolah” sebagai properti yang dimiliki oleh individu yang masih melihat

Jepang sebagai penjajah, bukan sebagai negara modern. Ia tidak mendekonstruksi

pembentukan properti negara modern yang dilekatkan pada objek Jepang.

Koh Oyon pada argumen-argumennya (O9 – O11) menunjukkan tiga tahapan

pemaknaan. Pertama ia berusaha membahasakan pengalamannya dalam menciptakan

pengalaman perseptual terhadap objek Jepang yang aktual, namun ia tidak berhasil

menegosiasikannya dengan outer-world. Dalam narasinya, ia menggunakan ekspresi

“ngepas” atau “uwaa… cring, cring,cring” untuk mengekspresikan film-teks Jepang

yang ia anggap aktual – tidak lebay (O9). Kata-kata yang sekedar menunjukkan

ekspresi tanpa bisa dibahasakan tersebut menjadi resiko dari intepreter yang akhirnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 217: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

204

tidak berhasil menemukan komponen outer-world untuk diculik menjadi bahan

penciptaan final interpretant, sehingga pengalamannya tetap tidak terbahasakan.

Pada argumen berikutnya nampak bahwa Koh Oyon memimjam komponen-

komponen outer-world untuk bisa membahasakan pengalamannya. Ia berargumen

bahwa film-teks Jepang memberikan pelajaran-pelajaran, dan tidak sekedar “cinta-

cintaan” (O10). Di sini ia mulai meletakkan pengetahuan outer-world-nya, yaitu

film-teks yang bukan Jepang sebagai film-teks yang selalu berisi kisah cinta. Ia

melakukan penamaan terhadap film-teks Jepang melalui strategi semacam ini, namun

masih membicarakan film-teks Jepang. Pada bagian argumen yang sama juga

kemudian ia menunjukkan bagaimana film-teks Jepang berusaha ia bawa keluar dari

filmnya dengan membawa nilai-nilai yang ia dapat. Dengan mengatakan bahwa aspek

yang ia sukai dari film-teks Jepang adalah adanya “dia bener-bener dari yang

bajingan jadi apik,” maka ia mulai memakai komponen outer-world (yang bukan

film-teks) untuk menciptakan final interpretant. Ia menggunakan kata bajingan dan

apik yang menunjukkan pemberatan makna pada bahasa sehari-hari (bukan bahasa

Indonesia formal) yang lebih sering digunakan oleh masyarakat dimana ia tinggal –

dan cenderung memiliki makna negatif yang disangatkan untuk kata bajingan.

Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari pemilihan kata yang diungkap oleh

Koh Oyon pada argumen ini. Pertama, pemilihan kata bajingan dan apik

menunjukkan aspek familiarity pada final interpretant karena ia lebih memilih bahasa

yang paling dekat dengan kesehariannya dari semesta pengetahuan outer-world yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 218: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

205

beragam untuk dia pilih. Kedua, pemilihan kata tersebut menunjukkan hukum (habit)

dalam komunitas yang ia tinggali (Indonesia) – dimana “yang bajingan” sebagai yang

tidak bisa diterima oleh masyarakat meminta adanya perubahan untuk bisa masuk

pada “yang apik.” Film-teks Jepang yang ia temui memberikan jalan (pelajaran) pada

kemungkinan perubahan dari bajingan jadi apik, dari yang dibenci menjadi disukai,

dari yang dijauhkan menjadi diterima, dari ekslusi menjadi inklusi. Dengan kata lain,

ketiga, pemilihan kata ini juga menyiratkan adanya proses menerima “stranger”

menjadi “familiar”, atau dari yang masih asing menjadi yang intim. Proses

menjadikan film-teks Jepang – dan juga otomatis objek Jepang – sebagai sesuatu

yang intim terbaca dari argumen ini.

Pada argumen berikutnya, dengan menempatkan Jepang sebagai salah satu

kota besar (O11), ia justru terjebak di ambang. Ia menilai kota besar (Jepang) sebagai

jalan keluar bagi masalah ekonomi. Di sisi lain, ia menghindari kota besar karena

ritme kerjanya yang “tidak menikmati hidup.” Di sini posisinya di tengah komunitas

pemberi hukum pun mengalami proses tarik-ulur. Di satu sisi ia menyimpulkan

Jepang sebagai jalan keluar, sebagai pemberi solusi bagi salah satu bidang kehidupan,

yaitu ekonomi, di komunitasnya sekarang. Di sisi lain, ia menolak diberi hukum yang

ia lihat hadir dengan kuat di komunitas yang memberi jalan keluar tersebut. Namun,

dengan menempatkannya pada konteks sesuai argumen sebelumnya (O10), nampak

secercah harapan pada Koh Oyon untuk perubahan pada komunitas yang sekarang ia

tinggali. Dengan terus melihat objek pemberi nilai “perubahan dari yang bajingan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 219: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

206

jadi apik”, Koh Oyon menegosiasikan keberadaannya dengan tidak perlu memasuki

komunitas kota besar (Jepang) yang memiliki hukum tersendiri. Ia memberi (atau

sekedar memperkuat) hukum pada komunitas yang ia tinggali dengan meminjam

hasil pembentukan final interpretant pada pertemuannya dengan Jepang. Di titik ini

jelas bahwa usaha yang dilakukan Koh Oyon berangkat dari pengalamannya terhadap

film-teks untuk dibawa terlepas dari teksnya dan digunakan untuk menegosiasikan

dunia aktualnya.

Sesuai dengan pembagian dua jenis usaha yang nampak pada narasi

narasumber, Xakha pada dua argumennya (X7 dan X8) menunjukkan jenis arah yang

pertama dan tidak berhasil membawanya benar-benar terlepas dari film-teks. Film-

teks Jepang ia anggap menarik karena membawa nilai tersendiri (X2) yang

merupakan nilai moral seperti kerja keras dan perubahan karakter dari setiap

episodenya (X4). Perubahan individu di dalam film-teks seperti ini yang membuat

Xakha tertarik melakukan imersi spasial maupun temporal pada fabula film-teks

Jepang. Ia mengatakan bahwa rasa penasaran merupakan dorongan utamanya untuk

tetap terus menikmati film-teks Jepang (X8).

Ketika ditanya mengenai posisi film-teks Indonesia yang seringkali jam

siarannya berurutan dengan film-teks Jepang yang ia nikmati di televisi, ia

menegaskan bahwa film Indonesia hanyalah “selingan,” dan hiburan satu-satunya

yang ia anggap adalah film-teks Jepang (X7). Di sini terlihat bahwa Xakha berhasil

berimersi masuk pada film-teks Jepang – sesuai analisa pada bagian possible state of

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 220: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

207

affairs – namun tidak berhasil membahasakan nilai-nilai yang ia hidupi pada

pengalaman imersinya tersebut. Dengan menempatkan film-teks Indonesia sebagai

pembanding, ia berusaha membahasakan usahanya dalam menciptakan pengalaman

perseptual terhadap objek Jepang yang ia temui dalam imersinya. Usaha Xakha hanya

berhasil dibahasakan melalui peminjaman film-teks Indonesia untuk diposisikan

kontras dengan pengalaman pertemuannya, namun tetap tidak berhasil menyimpulkan

final interpretant yang mampu dipercaya juga oleh pembaca lain. Di sini objek

Jepang hanya berhenti menjadi energetic interpretant dan akan terus berusaha

dinegosiasikan oleh Xakha berdasar komponen outer-world yang selalu berubah-ubah

tergantung dengan paparan pada suatu konteks tertentu.

Pada narasi mengenai objek Jepang oleh John Switch, nampak dua jenis arah

baik dari film-teks maupun dari dunia aktual, dan keduanya ditarik pada sisi

terkontrasnya oleh John Switch. Pada jenis usaha yang lebih memberatkan proses

penamaan pada film-teks, ia menyatakan dua alasan dalam imersinya ke dalam film-

teks. Alasan pertamanya adalah pengakuan dirinya sebagai orang yang suka

menghayal, dalam artian bukan menghayal untuk masuk ke dalam film-teks namun

justru membayangkan dunia aktual yang ia hidupi sesuai dengan film-teks yang ia

sukai – misalnya dengan membayangkan properti-properti benda seperti item di

dalam dunia permainan komputer yang memiliki kemampuannya masing-masing

(J11). Dari argumen ini nampak bagaimana John Switch memiliki kemungkinan

besar untuk bisa membawa possible-world yang ia bentuk melalui pertemuannya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 221: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

208

dengan film-teks menjadi sebuah dunia yang senyata mungkin aktual. Ini juga yang

menjadi alasannya dalam melakukan cosplay secara intens, yaitu untuk bisa memiliki

pengalaman perseptual yang konkret dalam pertemuannya dengan film-teks. Ia tidak

sekedar masuk berimersi ke dalam film-teks, namun membawa keluar dunia film-teks

ke dunia nyata – dan memungkinkan dunia aktualnya yang lama tersingkirkan dengan

objek Jepang yang ia bawa keluar.

Alasan yang kedua yang diungkap oleh John Switch adalah objek Jepang

dalam film-teks sebagai hiburan satu-satunya sewaktu ia kecil. Objek Jepang dalam

film-teks menjadi satu-satunya hal yang ditunggu setiap hari minggu (J13). Pada

argumen tersebut pun nampak ia mengakui bahwa anime benar-benar mempengaruhi

kehidupan anak kecil secara nyata di Indonesia, membuat anak-anak ingin membeli

segala mainan tentang film-teks yang ia temui. Dengan kata lain, ia menyamakan

anak-anak kecil yang lain dengan dirinya, yaitu subjek yang memiliki keinginan

bukan untuk sekedar masuk pada film-teks, namun berhasil membawa keluar objek

Jepang menuju dunia nyata setiap anak-anak. Acara selingan yang hadir di hari

minggu menjadi sasaran kemarahan anak-anak yang ingin terus berusaha membangun

keintiman dengan objek Jepang.

Pengaruh pengalaman perseptual terhadap objek Jepang yang didapat oleh

anak-anak seperti John Switch terlihat melalui narasinya pada usaha pembentukan

possible world. Pada bagian possible state of affairs, John Switch menamai Jepang

dengan teknologinya yang maju (vending machine – J4) dan ritme kehidupannya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 222: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

209

yang berbeda dengan Indonesia – yang terkadang dibandingkan dengan menempatkan

Indonesia dalam posisi inferior – melalui kehidupan orang Jepang yang butuh serba

instan, kota yang lebih aman, kedisiplinan yang lebih baik, dan ketaatan terhadap

peraturan kota (J2). Pada aspek possible individual, ia menamai objek individu

Jepang dengan atribut penghargaan terhadap sejarah dan nilai-nilai tradisional (J1, J4,

dan J9), dan juga melalui adanya properti kerja keras, suka bekerja (J5) dan loyalitas

tinggi terhadap pekerjaan seperti seorang samurai (J6). Pada aspek possible course of

events, pengakuan terhadap pentingnya posisi dunia kepercayaan melalui nilai

kekerasan hati dan peran kerabat menjadi nilai yang diangkat untuk menamai lebih

jauh individu Jepang.

Pengalaman perseptual seperti ini ia bawa pada proses pembentukan final

interpretant di tahap yang kedua, yaitu terlepas dari film-teksnya. Pada argumen J14

dan J15 nampak dengan jelas bagaimana ia mengakui properti yang ia dapat dari

proses penamaan possible-world Jepang. Ia mengakui bahwa Jepang yang aktual

adalah Jepang yang menghargai sejarah dan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai tersebut

menjadi aset yang menguntungkan bagi Jepang aktual. Ia menyangatkan argumen

tersebut kemudian dengan kembali mengontraskan pengalaman pertemuannya dengan

film-teks dan pengalaman pertemuannya dengan outer-world Indonesia yang “malah

ribut-ribut terus” (J14). Pada argumen J15 pun nampak strategi yang sama, yaitu

menyimpulkan final interpretant Jepang aktual melalui pengalaman dengan outer-

world Indonesia yang “ga jelas, kayak gitu bisa apa Indonesia” (J15). Kedua nilai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 223: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

210

yang ia dapat dari pertemuannya dengan film-teks, ia negosiasikan dengan

pengalaman outer-world Indonesia, sehingga akhirnya menciptakan final interpretant

Jepang sebagai negara yang mencintai dan menghargai sejarah dan nilai-nilai

tradisional, serta Jepang sebagai negara yang mendukung industri kreatif sehingga

bisa menghasilkan film-teks senyata Jepang aktual.

Melalui strategi pembentukan dengan pembandingan seperti ini, ia membawa

final interpretant yang sudah ia bentuk untuk kemudian menamai Indonesia dan

kehidupan yang ia jalani selama ini. Ia menjadikan tanda tersebut untuk menamai

ulang kehidupannya. Proses menamai ulang Indonesia tampak pada argumen J12,

dimana ia mulai mendekonstruksi sejarah berdasarkan penyimpulannya terhadap

properti yang ia lekatkan pada objek negara Jepang. Ia mengatakan dengan tegas

bahwa “kalau gak ada Jepang, aku akuin Indonesia gak bisa merdeka” (J12). Ia

menegaskan bahwa semua hal yang diambil oleh Indonesia merupakan bentuk adopsi

dari Jepang. Di sini ia berusaha menegosiasikan jejak sejarah Indonesia pada

kehidupan yang ia jalani dengan properti-properti objek negara Jepang yang ia bawa.

Akan tetapi, negosiasinya tidak berhasil ia bahasakan, dan justru berulang kali

melakukan peminjaman atribut Belanda untuk membahasakan apa yang tidak bisa ia

ungkapkan. Dalam argumen J12 terlihat bagaimana John Switch terjebak dalam

menempatkan Jepang di tengah kuasa pengetahuannya atas kemajuan Barat yang ia

ketahui seperti persenjataan, teknik irigasi, ataupun teknik penciptaan yang tidak ia

lekatkan kepada Jepang. Di sini terlihat bahwa objek Jepang yang ia gunakan untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 224: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

211

menamai Indonesia sebagai inferior pun mengalami inferioritas serupa dengan

Belanda.

Proses menamai ulang kehidupannya sendiri ia tampilkan pada argumen J16

dan J17. Ketika diajak membayangkan kehidupannya tanpa kecintaannya terhadap

Jepang, ia menegaskan bahwa hidupnya akan menjadi “datar” (J16) karena objek

Jepang menjadi objek yang sangat menarik baginya – hingga harus ia ungkap

berulang kali dalam narasinya. Kontradiksi terlihat pada argumen J16 ini. Ia

menyatakan ia mencintai Jepang sekaligus mencintai Indonesia, namun melekatkan

properti bahasa yang kontras dalam bahasanya. Ketika ia menyatakan bahwa ia

mencintai Jepang, ia mengisahkan bagaimana di Indonesia ia “memperagakan gaya

hidup di Jepang tu kayak gimana dan sebagaimana”. Di sisi lain, ketika ia

menyatakan bahwa ia juga mencintai Indonesia, ia melekatkan kata “wakil Indonesia”

dan “menjunjung tinggi bahwa aku orang Indonesia” tanpa melekatkan

properti ”memperagakan gaya hidup” seperti yang ia lakukan pada kecintaannya atas

Jepang. Setelah itu ia justru menegaskan sekali lagi bahwa Jepang adalah objek yang

menarik dengan menambahkan properti ”kehidupan, sejarah, budaya, macem-macem

lah yang menarik”. Segala properti yang sebelumnya telah dibahas sebagai properti

yang ada dalam simpulannya atas possible-world Jepang telah ia rubah menjadi

properti bagi objek aktual Jepang. Pada titik ini, ia menunjukkan bagaimana ia

berhasil memproduksi situasi konkret untuk menamai pengalaman perseptualnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 225: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

212

terhadap objek bernama Jepang – tentu dengan bantuan kuat dari pengalamannya di

luar film-teks.

Pada argumen J17 nampak bahwa keberhasilannya dalam memproduksi final

interpretant atas Jepang dan penerapannya dalam kehidupan akhirnya harus

dinegosiasikan dengan kehadiran hukum dari kerabatnya (ayahnya) sebagai

perwakilan dari hukum yang bertahan di komunitas Indonesia. Ia harus melawan

secara langsung anggapan “Jepang penjajah” dengan Jepang yang sudah ia simpulkan.

Pada argumen tersebut tampak keberhasilan John Switch dalam menegosiasikan

Jepang yang ia bawa untuk bernegosiasi melalui usahanya menitikberatkan pada

nilai-nilai yang “universal” dari Jepang, nilai-nilai yang bisa ia bawa masuk ke dalam

komunitas dimana ayahnya tinggal – bukan membawa Jepang sebagai objek negara

tetapi membawa sekedar properti-propertinya. Ia menarasikan dengan jelas bentuk

strateginya ini melalui narasi “apa yang bisa di-mix, apa yang bisa diambil, apa yang

bisa diterima dari Jepang ke Indonesia tu apa” (J17). Ia menghapus kata “Jepang”

dari properti-properti yang ia dapat, kemudian memasukkan kata “universal”,

sehingga negosiasinya bisa diterima. Dengan kata lain, objek Jepang sebagai sebuah

nama diserap menjadi tersirat, dan keberadaannya akan selalu menjadi bayangan bagi

John Switch ketika membicarakan properti-properti kemajuan, teknologi (J4), etos

kerja, disiplin, dan keteraturan (J2), loyalitas (J6), serta penghargaan terhadap nilai-

nilai tradisional dan sejarah (J1, J4, J9). Kebingungan yang muncul pada argumen

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 226: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

213

J16 sebelumnya menjadi jelas di sini, karena properti “membantu Indonesia merdeka”

sudah menyisakan Jepang hanya sebagai bayangan di belakang kalimat tersebut.

Melalui analisa terhadap narasi kelima narasumber, dapat disimpulkan adanya

dua hal yang mengiringi kecenderungan pembaca dalam menyikapi film-teks dan

aktivitas mereka dalam membaca film televisi Jepang di Indonesia. Pertama, dua

narasumber (Geyol dan Xakha) menunjukkan ketidakberhasilan mereka dalam

membentuk final interpretant, dan pengalaman resepsi mereka atas film-teks tidak

bisa terbahasakan dengan utuh untuk menarasikan pengalaman perseptual mereka

atas objek Jepang yang mereka temui. Terdapat dua alasan yang menyebabkan

ketidakberhasilan ini, yaitu:

1. Kuatnya kuasa pengetahuan akan Jepang dalam ingatan pembaca yang

menyebabkan “Jepang” sebagai objek sudah diterima begitu saja tanpa

perlu dinegosiasikan ulang secara terus menerus melalui pembacaan film-

teks. Kegiatan membaca hanya akan menguatkan interpretant yang sudah

diterima begitu saja. Di sini, unlimited semiosis memiliki kemungkinan

untuk berhenti hingga di suatu akhirnya pembaca bisa menemukan objek

baru yang cukup kuat. Selama ini yang terjadi adalah penolakan karena

kuatnya pengetahuan yang sudah terbentuk – Jepang dalam film-teks yang

baru selalu kalah. Hal ini menunjukkan kuatnya pengalaman pembaca atas

Jepang di luar fillm-teks.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 227: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

214

2. Lemahnya komponen dari outer-world karena paparan yang justru selalu

berubah-ubah. Ini terjadi ketika pembaca terpapar dengan berbagai jenis

pengetahuan yang terlalu beragam dan juga objek Jepang yang terlalu

beragam dalam dalam berbagai media – baik itu film-teks, internet,

ataupun jenis lain dari produk budaya Jepang.

Kedua, tiga narasumber (Kira, Koh Oyon, dan John Switch) menunjukkan

keberhasilan dalam membentuk final interpretant. Mereka berhasil memproduksi

bayangan situasi konkret untuk membahasakan pengalaman perseptual atas objek

Jepang. Yang perlu diingat di sini adalah pemahaman bahwa ikon Liyan bisa tersisa

dalam proses merubah energetic interpretant menjadi final interpretant, sehingga

relasi kuasa selalu terjadi di dalam perubahan tersebut. Melalui narasi ketiga

narasumber terlihat bahwa penamaan atas objek Jepang – membawa dari possible

menjadi aktual – selalu melibatkan proses penamaan atas komunitas yang

memberangkatkan para pembaca ini, yaitu Indonesia. Ketiganya menunjukkan habit,

yaitu hukum yang dipahami secara intersubjektif oleh ketiganya dalam memposisikan

Indonesia di tengah proses penamaan tersebut.

Dengan melihat analisa pada tiga narasumber ini, bisa didapat dua posisi

Indonesia dalam proses mereka menamai Jepang. Pertama, Indonesia tersingkirkan

dan hadir hanya di dalam penamaan terhadap Jepang melalui strategi kontrafaktual.

Di sini Indonesia digunakan untuk menamai Jepang tetapi justru penamaan terhadap

Indonesia tidak bisa terbahasakan secara lugas. Hal ini menunjukkan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 228: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

215

Indonesia kemudian akan dinamai melalui penamaan terhadap Jepang. Properti yang

digunakan untuk menamai Jepang harus dipinjam untuk menamai Indonesia. Dengan

kata lain, penamaan terhadap Indonesia harus meminjam ikon dari Liyan, sehingga

Indonesia akan ditempatkan sebagai inferior. Posisi Indonesia yang inferior ini

berkaitan dengan jenis posisi kedua, yaitu keberhasilan dalam membahasakan

Indonesia sebagai yang inferior, atau sebagai komunitas yang membutuhkan hukum

baru. Di sini posisi penamaan terhadap objek Jepang dijadikan sebagai hukum baru

yang diangankan untuk terbawa ke Indonesia. Pada posisi ini, film-teks Jepang

diposisikan sebagai hukum baru (Liyan) yang diinginkan – menginginkan kehidupan

pada dunia simbolik yang baru walaupun tidak menyenangkan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 229: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

216

BAB V

PENUTUP

Penerimaan yang semakin masif atas produk budaya popular Jepang di

Indonesia tahun-tahun terakhir ini tentu saja menyebabkan penerimaan terhadap

Jepang yang juga semakin mapan di benak masyarakat Indonesia. Kisah mengenai

Jepang yang pernah menjajah semakin lama semakin dide(kon)struksi oleh para

pecinta Jepang baru ini. Perubahan imaji menjadi hal yang maklum di tengah-

tengahnya. Jepang menjadi negara impian yang utopis untuk dicapai di jantung

Indonesia. Jelas yang harus ditanyakan adalah bagaimana Indonesia bisa

memberangkatkan fenomena semacam ini? Atau dengan kata lain, Indonesia seperti

apa yang hadir di tengah para pecinta Jepang ini sehingga membuat mereka

mengostumi dirinya dengan Jepang?

Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan utama tersebut dengan

merumuskan empat pertanyaan yang membawahinya melalui metode abduksi.

Pertama, pengetahuan tentang Jepang apa saja yang beredar pada sejarah Indonesia

yang memungkinkan untuk dibawa pada kegiatan membaca film-teks oleh pembaca

film televisi Jepang? Pengetahuan tentang Jepang ini yang terus beredar di Indonesia

semenjak masa kolonialisme. Antara penjajahan dan pendidikan, antara kekejaman

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 230: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

217

dan potensi, antara ingatan negatif dan harapan positif, pengetahuan akan Jepang

beredar di garis antara semacam ini sejak masa itu. Kasusnya, bentuk propaganda

media pada masa ini oleh sendenbu – yang dinilai secara positif – menjadi embrio

bagi kehadiran media televisi kemudian. Kuatnya kuasa Jepang pada pembangunan

media yang kemudian mengisi penuh waktu luang anak-anak muda di Indonesia jelas

akan memberikan pengaruh.

Pengaruh yang didapat pada anak-anak muda ini tentu juga perlu ditarik pada

sejarah pembangun media televisi di Jepang. Media televisi di Jepang hadir sebagai

bentuk fantasi atas represi modernitas dari Barat. Perkembangan film dan media

televisi Jepang tidak pernah terlepas dari strateginya yang selalu menegosiasikan

modernitas. Slogan eastern ethics, western science mengawali hal tersebut, ideologi

discover Japan – exotic Japan menjadi sarananya, dan konsep ijippari dalam film

menjadi produk hasil negosiasinya. Melalui hal ini, narasi film Jepang selalu

dibangun berdasarkan penekanan atas motivasi psikologis sang tokoh dibanding

penekanan atas aksi-aksi dan tujuan akhir tokoh – yang merupakan gaya film

Hollywood. Oleh karena itu, kekhasan pada media Jepang selalu berupa kesuksesan

negasi mereka atas Barat – modernitas – dan bahkan kehadirannya di Indonesia tidak

bisa terlepas dari peran Barat.

Kesuksesan tersebut pun terdengar kencang hingga Indonesia melalui media-

media dan berbagai literatur yang mengisahkan kemajuan Jepang dan bagaimana hal

tersebut harus ditiru oleh Indonesia – sebagai sesama negara Timur. Kehebatan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 231: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

218

negara Timur ini seringkali didengar pada pembicaraan menyoal etos kerja, disiplin,

keteraturan hidup, dan nilai-nilai yang selalu berangkat dari penilaian atas individu

Jepang. Pengetahuan tentang kesuksesan itu pun bisa secara langsung dirasakan oleh

tangan-tangan Indonesia melalui pertemuan dengan nama-nama macam Honda,

Toyota, atau Sanyo yang mengisi-membantu kehidupan mereka. Iklan-iklan dan

baliho-baliho yang bertebaran dimana-mana menyangatkan kesuksesan tersebut.

Jepang bukan lagi negara yang asing bagi masyarakat Indonesia.

Lalu bagaimana pengetahuan seperti ini bisa termanifestasi secara nyata

dalam kehidupan melalui pembacaan serial televisi Jepang? Hal ini merupakan

pertanyaan yang akan dijawab melalui rumusan masalah kedua, yaitu: Bagaimana

film televisi Jepang yang dihadapi pembaca memungkinkan adanya kebutuhan akan

pengetahuan tertentu untuk dapat dibaca? Kemungkinan itu hadir melalui dua faktor.

Pertama, kepenuhan film televisi Jepang dalam mengisi waktu luang anak-anak

Indonesia, baik melalui tayangan televisi setiap sore dan setiap hari minggu, maupun

melalui berbagai mainan yang mudah didapatkan di toko-toko terdekat – walaupun

seringkali merupakan tiruan atau bajakan. Intensitas yang tinggi dalam mengintimkan

diri terhadap produk Jepang ini menuntut pembacanya untuk masuk ke dalam dunia

yang direpresentasikan dalam film.

Hal ini yang menghadirkan adanya alasan kedua, yaitu bentuk narasi film-teks

Jepang yang lebih mengutamakan pergulatan psikologis dan motivasi sang tokoh.

Bentuk ini terbukti dari lambatnya plot narasi film-teks Jepang, karena bukan aksi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 232: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

219

yang menjadi tujuan akhir dari film, namun berupa pemenuhan nilai-nilai yang

dibawa sang karakter. Di sini peran pengetahuan tentang kemajuan Jepang dan

individu-individunya yang sudah sering beredar di Indonesia menjadi penting. Pada

pembahasan di Bab III terlihat bagaimana para pembaca membicarakan Jepang yang

mereka temui dalam film-teks melalui kemajuan Jepang (teknologi, kehidupan kota,

dan penghargaan terhadap sejarah) serta nilai-nilai individu Jepang (pantang

menyerah, disiplin, dan pentingnya kekerabatan). Pada pembahasan posisi lima dunia

di Bab IV pun pentingnya narasi mengenai pergulatan psikologis dalam menemukan

nilai ijippari dan pentingnya kekerabatan di dalam film-teks pun kembali disangatkan.

Lalu pertanyaan yang muncul dari pembicaraan mengenai Jepang tersebut

adalah: bagaimana para pembaca dapat menyimpulkan hal tersebut dari

pertemuannya dengan film-teks? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang akan

dijawab melalui rumusan masalah yang ketiga, yaitu: Bagaimana pembentukan

interpretasi atas Jepang tercipta melalui peletakan pengetahuan pembaca pada teks

film? Ada tiga strategi yang umum dilakukan oleh para pembaca berkaitan dengan

proses peletakan topoi pada pertemuan mereka dengan film-teks Jepang. Pertama,

mereka meletakkan topoi tentang Jepang yang mereka ketahui (atau berusaha

ketahui) dari berbagai media lain secara intertekstual. Strategi pertama ini dilakukan

oleh pembaca untuk menyimpulkan Jepang seperti apa yang sedang mereka hadapi.

Strategi kedua adalah strategi peletakan topoi tentang Jepang sesuai dengan

pemahaman masyarakat Indonesia yang sudah mapan atas Jepang, yaitu sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 233: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

220

negara yang lebih maju daripada Indonesia. Strategi yang kedua ini pada akhirnya

berfungsi untuk menyangatkan pemahaman mereka atas Jepang yang mereka bawa

dalam pembacaan. Apabila film-teks yang mereka temui tidak mampu untuk

menyangatkannya, maka film-teks tersebut akan selalu dinilai negatif oleh para

pembaca. Di sini terdapat kecenderungan untuk menilai film-teks Jepang yang

dinikmati dulu lebih baik dibanding yang sekarang.

Strategi ketiga adalah strategi peletakan topoi tentang Indonesia dalam film-

teks Jepang. Pada pembahasan possible state of affairs, possible individual, dan

possible course of events, strategi ini berulang kali digunakan oleh pembaca untuk

akhirnya menamai properti Jepang yang tidak bisa mereka isi dengan aspek-aspek

pengetahuan akan Jepang sehingga mereka harus menyimpulkan Jepang baru ini

berdasarkan strategi kontrafaktual terhadap Indonesia. Pada strategi ini, Indonesia

selalu ditempatkan dalam posisi inferior supaya nama Jepang bisa tercipta.

Melalui strategi ketiga ini, posisi Indonesia yang sebenarnya dibayangkan

oleh para pembaca film televisi Jepang ini pun mulai nampak. Analisa terhadap

proses pembentukan final interpretant Jepang menyisakan pembayangan akan

Indonesia tertentu pada pembaca film televisi Jepang ini. Melalui hal ini, pertanyaan

terakhir yang akan dijawab adalah: Bagaimana Indonesia disiratkan atau dibayangkan

melalui narasi pembaca setelah mengalami proses pembentukan interpretasi atas

Jepang?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 234: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

221

Pada proses pembentukan interpretasi atas Jepang terlihat dua cara

pembayangan Indonesia yang umum dilakukan oleh narasumber. Pertama, Indonesia

yang tidak berhasil dibahasakan, dan hanya bisa dibahasakan melalui peminjaman

ikon Liyan dari Jepang – menjadikan Indonesia inferior atas Jepang. Posisi inferior

ini berkaitan dengan bentuk pembayangan yang kedua, yaitu membayangkan

Indonesia yang memiliki hukum baru sesuai dengan Jepang. Atau dengan kata lain,

membayangkan perubahan Indonesia menuju lebih baik sesuai dengan yang mereka

temui dalam film. Film yang mereka temui dijadikan simbol harapan akan Indonesia

baru.

Melalui jawaban dari empat pertanyaan ini, dapat disimpulkan Indonesia

macam apa yang memberangkatkan adanya kemungkinan terjadinya fenomena

penerimaan Jepang yang masif di Indonesia. Pertama, Indonesia sebagai konteks khas

yang di dalamnya membawa pengetahuan yang masif tentang Jepang – baik melalui

sejarah maupun pengetahuan kontemporer – yang membuat terciptanya pembayangan

bersama atas Jepang. Atau dengan kata lain, Indonesia yang menciptakan adanya

komunitas Jepang terbayang baru di Indonesia. Kedua, Indonesia sebagai negara

paskakolonial terbentuk menjadi negara yang terpapar dengan pengaruh modernitas

(Barat), sehingga adanya Jepang baru ini menjadi penanda baru atas represi

modernitas. Bukan Jepang yang sebenarnya dilihat, namun nilai-nilai yang

disimpulkan sendiri secara khas yang menjadi inti dari proses masifnya penerimaan

terhadap Jepang ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 235: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

222

Dengan kata lain, Jepang hanya berupa medium dalam penelusuran wacana

penikmat produk budaya populer Jepang seperti ini. Pembentukan makna melalui

pengalaman dan paparan sehari-hari merupakan negosiasi yang mandiri, terlepas dari

kuasa Jepang sebagai sebuah negara. Pengalaman mengalami, merasakan, dan

pengalaman visual yang dihidupi oleh para penikmat budaya populer Jepang ini

mandiri karena berkaitan erat dengan konteks khas Indonesia yang memberangkatkan

yang menjadi tanah pijakan mereka.

Oleh karena itu, penelusuran konteks khas Indonesia melalui penelusuran

teknik pembacaan penikmat budaya populer yang masuk ke Indonesia bergerak di

ranah yang cukup berbeda dengan penelusuran sejarah empiris yang terkadang

menekankan perkiraan adanya teori konspirasi secara sadar. Pada penelitian ini

terlihat bahwa Hukum yang berusaha disampaikan oleh Jepang (intentio auctoris)

tidak dapat berbicara banyak pada proses negosiasi pembaca. Negosiasi pembaca

terletak pada mediasi pengalaman keseharian mereka – dalam ranah pembentukan

intentio lectoris – dengan intensi teks yang membawa strategi-strategi linguistik

tertentu (intentio operis). Sehingga, pertanyaan bahwa perubahan imaji Jepang dari

negatif menjadi positif – seperti yang disampaikan pada latar belakang – tidak bisa

begitu saja dikatakan sebagai proyek yang secara sadar dibangun oleh Jepang sebagai

Hukum. Penekanan yang justru terlihat di sini adalah adanya kepenuhan pengetahuan

akan Jepang – yang secara mandiri diamini sebagai real-world pembaca Indonesia –

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 236: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

223

sehingga memberangkat pembentukan possible-world yang berpijak pada konteks

khas Indonesia.

Pendekatan melalui teori pembentukan interpretasi atau possible-world yang

diajukan oleh Eco ini menjadi sangat berguna untuk menjadi jalan lain untuk masuk

pada kajian-kajian yang melakukan pendekatan pada film – terutama ketika arah

kajiannya menekankan pada peran pembaca. Teori ini menyediakan alur-alur

sistematis dalam melihat teks-film sebagai media yang membawa kepenuhan strategi

linguistik tertentu yang dapat memancing interpretasi pembaca (model reader).

Melalui teori ini, teks-film dapat dilihat sebagai arena negosiasi antara intensi

penciptanya – atau lebih spesifik pada intensi teksnya, ketika melihat teks sebagai

kesatuan bahasa atau kesatuan intertekstual – dengan intensi pembacanya yang

membawa pengalaman khas tertentu. Namun, teori possible-world oleh Eco ini masih

dirasa kurang dalam memberikan penekanan pada pengalaman ketidaksadaran yang

hadir pada pembaca itu sendiri. Eco yang berangkat dari wilayah kajian teks,

terutama linguistik dan sastra, perlu dikombinasikan dengan bentuk kajian yang lebih

konkrit dalam memberikan penekanan pada pengalaman pembaca yang subjektif. Di

sini peran teori-teori yang dikemukakan oleh Marie-laure Ryan ataupun Ien Ang yang

secara intens membicarakan pengalamanan subjektif dan imersivitas pembaca

menjadi penting. Keduanya menyediakan alur yang lebih runtut ketika penelitian

akan membicarakan dan menekankan pada pengalaman keberhadapan pembaca pada

film sebagai sebuah teks. Dengan kata lain, penelitian ini menemukan keterbatasan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 237: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

224

teori Eco ketika penekanan ada pada pembaca. Sehingga, penggabungan antara Eco

dengan teori-teori yang lebih kontemporer mengenai pembacaan film kemudian dapat

merumuskan kembali kerangka pikir yang bisa dipakai untuk menganalisis

pengalaman yang berbasis visual. Melalui hal tersebut, kepenuhan analisis dalam

kerangka negosiasi tiga intensi (intensio auctoris – intentio operis – intentio lectoris)

pada teks visual menjadi berimbang.

Secara khusus, melalui kesimpulan ini, penelitian ini dapat memberikan arah

baru bagi perbincangan dalam ranah komunikasi antar bangsa, terutama jika berkaitan

dengan strategi persebaran bentuk-bentuk budaya populer yang sudah tidak dapat

dibendung lagi di era internet saat ini. Hal ini bisa memberikan cara pandang sejarah

yang baru, sehingga penelusuran tidak hanya berhenti dalam menyimpulkan negosiasi

yang kecenderungannya hanya melihat dalam lapisan atas. Kecenderungan seperti ini

tampak pada penelusuran paradigma Cool Japan yang seringkali dilihat sebagai

strategi Jepang dalam mempromosikan negaranya. Penelitian ke arah yang baru, yang

fokus pada pembacaan subjektif sesuai konteks tertentu baru banyak dimulai belum

lama ini. Salah satunya dengan munculnya buku berjudul The End of Cool Japan:

Ethical, Legal, and Cultural Challenges to Japanese Popular Culture (2016) dan

beberapa penelitian sejenis yang sedang banyak dikerjakan oleh peneliti Jepang di

berbagai negara. Diharapkan penelitian ini mampu untuk memberikan kontribusi

nyata di tengah kajian-kajian yang masih segar untuk dikerjakan seperti ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 238: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

225

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Widiarsi, et.al. 2014. Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama

dalam Sejarah Orde Baru. Jakarta: Tempo Publishing

Allen, Matthew. dan Rumi Sakamoto. 2006. Popular Culture, Globalization, and

Japan. New York: Routledge

Allison, Anne. 2006. Millenial Monster: Japanese Toys and Global Imagination.

Berkeley dan Los Angeles: University of California Press

Andressen, Curtis. 2002. A Short History of Japan: From Samurai to Sony. Chiang

Mai: Silkworm Books

Ang, Ien. 1985. Watching Dallas: Soap Opera and the Melodramatic Imagination.

London: Methuen & Co.Ltd

____. 1996. Living Room Wars: Rethinking Media Audiences for a Postmodern

World. London: Routledge

Armando, Ade. 2016. Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas

Chambert-Loir, Henri. 2009. Sadur. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Chun, Jayson Makoto. 2007. “A Nation of a Hundred Million Idiots”?: A Social

History of Japanese Television, 1953-1973. New York: Routledge

Condry, Ian. 2006. Hip-Hop Japan: Rap and the Paths of Cultural Globalization.

Durnham and London: Duke University Press

Craig, Timothy J. 2000. Japan Pop! Inside the World of Japanese Popular Culture.

New York: M. E. Sharpe .Inc

Eco, Umberto. 1976. A Theory of Semiotics. London: Indiana University Press

____. 1979. The Role of The Reader. Bloomington: Indiana University Press

____. 1991. Limits of Interpretation. Indianapolis: Indiana University Press

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 239: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

226

Frankel, Jeffrey A., dan Miles Kahler (ed.) Regionalism and Rivalry: Japan and the

United States in Pacific Asia. Chicago: The University of Chicago Press

Gordon, Andrew. 1993. Postwar Japan as History. Berkeley: University of California

Press

Henshall, Kenneth G. 2004. A History of Japan: From Stone Age to Superpower.

Edisi Kedua. New York: Palgrave McMillan

Herman, David, Manfred Jahn, dan Marie-laure Ryan. 2005. Routledge Encyclopedia

of Narrative Theory. New York: Routledge

Iida, Yumiko. 2002. Rethinking Identity in Modern Japan: Nationalism as Aesthetic.

London: Routledge

Iriye, Akira dan Robert A. Wampler. 2001. Partnership: The United States and Japan

1951-2001. Tokyo: Kodansha International Ltd.

Ito, Mizuki, Daisuke Okabe, dan Izumi Tsuji (ed.) 2012. Fandom Unbound: Otaku

Culture in a Connected World. New Haven & London: Yale University Press

Iwabuchi, Koichi. 2002. Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese

Transnationalism. Durnham: Duke University Press

____. 2004. Feeling Asian Modernities: Transnational Consumption of Japanese TV

Drama. Hong Kong: Hong Kong University Press

Ivy, Marylin. 1995. Discourse of the Vanishing: Modernity, Phantasm, Japan.

Chicago: The University of Chicago Press

Kelts, Roland. 2006. JAPANAMERICA: How Japanese Pop Culture Has Invaded U.S.

New York: Palgrave McMillan

Kingston, Jeff. 2011. Contemporary Japan: History, Politics, and Social Change

since the 1980s. West Sussex: Wiley-Blackwell

Kitley, Philip. 2001. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (terj.) Jakarta: Institut

Studi Arus Informasi

Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT.

Gramedia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 240: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

227

Kurasawa, Aiko. 2015. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-

1945. Jakarta: Komunitas Bambu

____. 2015. Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang. Jakarta: Penerbit Buku

Kompas

Levi, Antonia, dkk. 2008. Boys‟ Love Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and

Cross-Cultural Fandom of the Genre. North Carolina: McFarland &

Company .Inc

Livingstone, Sonia. 2002. Young People and New Media: Childhood and The

Changing Media Environment. London: Sage Publication

MacWilliams, Mark W. 2008. Japanese Visual Culture: Exploration in the World of

Manga and Anime. New York: M. E. Sharpe Inc.

Morley, David, dan Kevin Robins. 1995. Spaces of Identities: Global Media,

Electronic Landscapes, and Cultural Boundaries. London: Routledge

Napier, Susan J. 2005. Anime From Akira to Howl‟s Moving Castle: Experiencing

Contemporary Japanese Animation. New York: Palgrave Macmillan

Robertson, Jennifer (ed.) 2005. A Companion to the Anthropology of Japan. Oxford:

Blackwell Publishing Ltd.

Ryan, Marie-Laure. 2001. Narrative as Virtual Reality: Immersion and Interactivity

in Literature and Electronic Media. Baltimore: The John Hopkins University

Press

Said, Salim. 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers

Standish, Isolde. 2006. A New History of Japanese Cinema: A Century of Narrative

Film. New York: Continuum

Sudo, Sueo. 2002. The International Relations of Japan and South East Asia:

Forging a New Regionalism. London: Routledge

Tsutsui, William M. dan Michiko Ito. 2006. In Godzilla‟s Footsteps: Japanese Pop

Cultural Icons on the Global Stage. New York: Palgrave MacMillan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 241: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

228

Yasushi, Watanabe, dan David L. McConnel (ed.) 2008. Soft Power Superpowers:

Cultural and National Assets of Japan and the United States. (New York:

M.E.Sharpe, 2008)

SUMBER ARTIKEL

Centre for Strategic and International Studies (CSIS). 1981. Japan and Indonesia in a

Changing Environment. Jakarta: CSIS

Iwabuchi, Koichi. 2015. Complicit Exoticism: Japan and Its Other. Dalam jurnal

Continuum: The Australian Journal of Media & Culture. (Vol. 8, No. 2, 1994)

JETRO, “Cool” Japan‟s Economy Warms Up (Maret 2005)

McGray, Douglas. 2002. Japan‟s Gross National Cool. Dalam Foreign Policy

(Mei/Juni 2002)

Moeran, Brian. 2004. Soft Sell, Hard Cash: Marketing J-Cult in Asia dari Department

of Intercultural Communication and Management di Copenhagen Business

School.

Perez, Luis Antonio Vidal. 2014. POP POWER: Pop Diplomacy for Global Society.

Dalam laman Academia.edu.

PRISMA. 1983. Mengapa Jepang? Vol. 5, Mei 1983. Jakarta: LP3ES

SUMBER TULISAN LAIN

Cahyaningrum, Prima Nur. 2009. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Kemunculan

Komunitas Pencinta Budaya Populer Jepang di Yogyakarta. Skripsi Jurusan

Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Kartini, Eka Rahayu. 2008. Penerimaan J-Pop di Kalangan Anak Muda Jogjakarta.

Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Kurniawan, Firman. 2011. Kehidupan Otaku di Yogyakarta sebagai Penggemar

Produk Budaya Populer Jepang. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 242: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

229

Perdana, Galih Harilaning. 2012. Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang: Studi Kasus

Tiga Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang di Yogyakarta. Skripsi Jurusan

Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Ridha, Muhammad Naufal. 2013. Japan Adult Video: Studi Kasus 4 Mahasiswa

Universitas Gadjah Mada Penggemar JAV. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa

Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Saraswati, Nugrah Nur. 2011. Makna Aktualisasi Diri Para Cosplayer di Yogyakarta.

Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Widiatmoko, Heru. 2013. Perkembangan Toko Mainan Anime dan Tokusatsu Jepang

di Yogyakarta. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta.

Wulaningsih, Sri. 2011. Fenomena Kemunculan Band-band Lokal Bernuansa Jepang

di Yogyakarta. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta.

SUMBER INTERNET

http://www.pref.kyoto.jp/en/01-04-02.html (diakses pada 26 Mei 2015)

www.clashcosplay.com (diakses pada 26 Mei 2015)

http://wwwmcc.murdoch.edu.au/readingroom/8.2/Iwabuchi.html (diakses pada 10

September 2015)

http://www.univ-paris-diderot.fr/clam/seminaires/RyanEN.htm (diakses pada tanggal

31 Januari 2016)

http://www.japantimes.co.jp/news/2012/05/15/reference/exporting-culture-via-cool-

japan/#.V2p5hBKvhsV (diakses pada 20 Juni 2016)

http://www.japantimes.co.jp/culture/2014/01/09/general/will-cool-japan-finally-heat-

up-in-2014/#.V2p5khKvhsV (diakses pada 20 Juni 2016)

https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%20136/volume-136-I-1832-

English.pdf (diakses pada 21 Juni 2016)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 243: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

230

https://twitter.com/yuyucow/status/499230707001356289 (diakses pada 1 Maret

2017)

http://www.nationmaster.com/country-info/compare/Japan/United-States/Crime

(diakses pada 7 April 2017)

https://knoema.com/atlas/Japan/topics/Crime-Statistics (diakses pada 7 April 2017)

https://www.pinterest.com/Tjhill96/kakuranger/ (diakses pada 9 April 2017)

https://dryedmangoez.com/tag/shuriken-sentai-ninninger/page/2/ (diakses pada 9

April 2017)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 244: Disusun oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 146322010

231

LAMPIRAN I. PROTOKOL WAWANCARA

1. Real-World Film-Teks

A. Awal Menerima Budaya Populer Jepang

1. Pertama mengenali budaya populer Jepang apakah melalui anime, tokusatsu,

manga, atau dorama? Apa judulnya? Tentang apa?

2. Siapa yang mengenalkan? Usia berapa anda saat itu? Anda berdomisili

dimana?

3. Setelah itu, apa saja yang anda tonton? Di mana anda menontonnya?

4. Mengenai apa film yang anda tonton tersebut?

5. Serutin apa anda menonton hal tersebut?

6. Sampai kapan anda melakukan kegiatan menonton itu?

B. Awal Masuk Pengaruh Media Massa

1. Sejak kapan anda mengenal majalah Animonstar, Anima, atau sejenisnya?

2. Sejak kapan anda aktif mencari konten film Jepang di internet?

3. Sepenting apakah peran majalah, atau internet, bagi hobi anda ini?

C. Awal Berkomunitas

1. Sejak kapan anda merasa ingin berkomunitas?

2. Komunitas apa yang pertama kali anda ikuti? Siapa yang mengajak? Mengapa

tertarik?

3. Seberapa sering komunitas itu berkumpul? Apa yang dilakukan ketika

berkumpul?

4. Apakah relasi anggota komunitas hanya ketika jadwal kumpulan rutin saja?

Bagaimana pengaruh dengan dunia kerja, atau pendidikan yang sedang di

jalani?

5. Bagaimana kalau anda tidak pernah mengenali budaya populer Jepang ini?

2. Real-World Indonesia

1. Sejak kapan anda mengetahui mengenai Jepang?

2. Dari mana anda mendapatkan pengetahuan mengenai Jepang?

3. Menurut anda, bagaimana Jepang?

4. Apa yang anda ketahui mengenai sejarah Jepang di Indonesia?

5. Bagaimana anda menyikapi sejarah Jepang di Indonesia tersebut?

6. Menurut anda, bagaimana kalau Jepang masih menjajah Indonesia? Atau,

kembali menjajah Indonesia?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI