distribusi makrozoobentos pada sedimen bar … · pengamatan dilakukan dengan mengambil data dan...
TRANSCRIPT
DISTRIBUSI MAKROZOOBENTOS PADA SEDIMEN BAR (PASIR PENGHALANG) DI INTERTIDAL PANTAI DESA
MAPPAKALOMPO KABUPATEN TAKALAR
SKRIPSI
Oleh : HAIDIR MUHAIMIN
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
Abstrak
HAIDIR MUHAIMIN (L11108269) “Distribusi Makrozoobentos pada Sedimen Bar (Pasir Penghalang) di Intertidal Pantai Desa Mappakalompo Kec. Galesong Kab. Takalar” di bawah bimbingan Marzuki Ukkas sebagai pembimbing utama dan Rohani Ambo Rappe sebagai anggota
Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai organisme kunci dalam jaring makanan. Makrozoobentos dapat hidup dan ditemukan pada berbagai jenis substrat, sedimen maupun berdasarkan bentuk sedimentasi khususnya pada sedimen bar yang memiliki karakteristik yaitu hanya muncul pada saat surut dan tenggelam pada saat pasang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan keragaman makrozoobentos pada sedimen bar yang terbentuk di daerah intertidal pantai wisata Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Maret 2013.
Pengamatan dilakukan dengan mengambil data dan sampel dari lapangan, yaitu sampel makrozoobentos dan sedimen. Sampel yang diperoleh di lapangan, dianalisis lebih lanjut di Laboratorium Geomorfologi dan Manajemen Pantai. Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan dianalisis secara secara statistik menggunakan one-way ANOVA.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, sedimen bar yang merupakan salah satu fenomena sedimentasi yang terjadi akibat adanya pengaruh dari pasang surut, arus, dan gelombang. Dimana dalam sedimen bar ini terakumulasi oleh sedimen dan bahan organik yang berasal dari laut lepas dan pesisir pantai, hal ini mengakibatkan keberadaan makrozoobentos yang beragam berdasarkan jenisnya. Akan tetapi, tidak ada pengaruh yang signifikan berkaitan dengan distribusi makrozoobentos di daerah sedimen bar maupun di daerah yang bukan sedimen bar.
Kesimpulan yang diperoleh Ditemukan sebanyak 37 spesies makrozoobentos yang tersebar di 4stasiun yang terdiri dari 14 spesies dari kelas Gastropoda dan 23 spesies dari kelas Bivalvia. Tingkat keseragaman dan keanekaragaman makrozobentos yang ditemukan dalam penelitian ini cukup beragam, berkaitan dengan sedimen bar yang merupakan salah satu bentuk sedimentasi.
Kata Kunci : Makrozoobentos, Sedimen Bar, Bivalvia, Gastropoda
i
DISTRIBUSI MAKROZOOBENTOS PADA SEDIMEN BAR (PASIR PENGHALANG) DI INTERTIDAL PANTAI DESA
MAPPAKALOMPO KABUPATEN TAKALAR
Oleh :
HAIDIR MUHAIMIN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : Distribusi Makrozoobentos Pada Sedimen Bar (Pasir Penghalang) Di Intertidal Pantai Desa Mappakalompo Kabupaten Takalar
Nama Mahasiswa : Haidir Muhaimin Nomor Pokok : L 111 08 269 Program Studi : Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa
dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama,
Ir. Marzuki Ukkas, DEA NIP. 195808011985031001
Pembimbing Anggota,
Dr. Ir. Rohani AR, M. Si NIP.196909131993032004
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, MP NIP. 196112011987032002
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan,
Dr. Ir. Amir Hamzah Muhidin, M.Si NIP. 196311201993031002
Tanggal Lulus: 30 Mei 2013
iii
RIWAYAT HIDUP
Haidir Muhaimindilahirkan pada tanggal 7 April 1991 di Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. Anak pertama dari tiga
bersaudara, dari pasangan Hasanuddin dan St. Murni.
Menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Inpres Mangasa Kab.
Gowa pada tahun 2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di
SMP Negeri 1 Sungguminasa pada tahun 2005, dan Sekolah
Menengah Atas di SMA Negeri 11 Makassar pada tahun
2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi di universitas negeri terbesar di Indonesia Timur, Universitas Hasanuddin.
Penulis diterima masuk pada Jurusan Ilmu Kelautan melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama menggeluti dunia kemahasiswaan, penulis juga aktif dalam
beberapa organisasi ekstra kampus, seperti pernah mengikuti OMBAK
(Oreantasi Mahasiswa Baru Kelautan) yang dilaksanakan SEMA Ilmu kelautan
UNHAS pada tahun 2008. Menjadi pengurus Senat Mahasiswa Ilmu Kelautan
Periode 2011-2012 dan anggota komunitas pencinta alam kelautan (SETAPAK
22), terlibat dalam kegiatan Musyawarah Nasional HIMITEKINDO di Pulau
Baranglompo dan Transplantasi Karang di Pulau Pajjenekang Kab. Pangkep.
Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir pada tahun 2011, yaitu
Praktik Kerja Lapang (PKL) dengan judul “Identifikasi Tumbuhan Pantai Jenis
Pescaprae dan Baringtonia di Desa Tasiwalie Kec. Suppa Kab. Pinrang” dan
Kuliah Kerja Nyata Reguler di Desa Patobong, Kecamatan Mattirosompe,
Kabupaten Pinrang. Ketertarikan dalam bidang Bioekologi selama menjalani
dunia perkuliahan yang akhirnya menginspirasi penulis untuk melakukan
penelitian dengan judul “Distribusi makrozoobentos pada Sedimen Bar (Pasir
Penghalang) di Intertidal Pantai Desa Mappakalompo Kec. Galesong kab.
Takalar”.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala
rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Distribusi makrozoobentos pada Sedimen Bar (Pasir Penghalang) di
Intertidal Pantai Desa Mappakalompo Kec. Galesong kab. Takalar” sebagai salah
satu syarat kelulusan di Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin.
Shalawat serta salam kepada Nabiullah Muhammad SAW atas segala nikmat
dan rahmatnya kepada penulis.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan cobaan dan
hambatan, namun berkat usaha, kemauan dan doa serta dukungan dari berbagai
pihak sehingga penulis dapat mengatasinya. Untuk itu penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua, Bapak Hasanuddin dan Ibu St. Murniyang telah
membesarkan, memberikan dukungan moril maupun materil untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang tinggi dan senantiasa menjadi
cermin kehidupan dan pembimbing akhlak bagi penulis.
2. Bapak Ir. Marzuki Ukkas, DEAselaku pembimbing utama sekaligus
membantu menemukan ide-ide tema penelitian dan ibuDr. Ir. Rohani AR,
M.Siselaku pembimbing kedua yang telah meluangkan banyak
waktu,pikiran dan tenaga untuk membimbing, memotivasi, memberikan
saran, ilmu dan perhatian selama penulis menyelesaikan laporan akhir.
3. Para dosen penguji BapakProf. Dr. Amran Saru, ST, M.Si, Dr. Supriadi,
ST, M.Si, Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Sc, dan dosen penguji pengganti
Bapak Dr. Khairul Amri, ST, M.Sc.Stud, dan Dr. Wasir Samad, S.Si, M.Si
v
yang telah meluangkan waktu dalam memberikan perhatian, kritik dan
saran terhadap skripsi penulis.
4. Ibu Dr. Ir. Rohani AR, M.Si selaku penasehat akademik yang senantiasa
menjadi orang tua kedua dalam memberi masukan dan motivasi selama
menjalani kegiatan akademik.
5. Teman-teman seperjuangan di masa SMA yang menjadi panutan dan
memberi motivasi secara langsung maupun tidak langsung bagi penulis
untuk Asikin Yahya, Amd (Bojes), Rizka Juwita, SE (Ai), Anang
Mardiansyah, S.Kom, Mario Utama Bachlar, SE, Muh. Ayyub, S.Kom,
Mujibul khair, Risha Rifki, Ramdhan kadir, SE, Wahyudin Murlan, SE, Iqbal
(pace), Egi, Ali, Anca dan semua teman yang belum sempat diucapkan
satu persatu.
6. Dian Puspitasari K yang telah menemani penulis dalam segala kondisi
senang maupun susah, memberi dorongan dan solusi sehingga mampu
keluar dari masalah, memberi cintanya serta menjadi motivasi tersendiri
bagi penulis untuk menyelesaikan studi.
7. Teman-teman MEZEIGHT (Marine Science Zero Eight) yang telah banyak
meluangkan waktu bagi penulis untuk Anto Kopas, Dayat, Anto Samin,
Anca, Rival, Rahmadi, Haerul, Accank, Matte, Herman, Ucca, Nik, Mufti,
Nirwan, Ivan, Adi sabbang, Kiki, Cikal, Januar, Rufi, Baso, terkhusus untuk
Halid yang menjadi penghibur dan menemani tertawa sepanjang hari.
Kemudian untuk para srikandi MEZEIGHT Rabuana, Anggi, Haska, Emma,
Ipah, Anti aras, Anti, Darmiati, Adlien, Rizka dan Rara dan semua teman
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Tawa candamu tidak akan
kulupakan saudara, semoga kalian masih tetap seperti dulu dan tak
berubah sampai kapanpun. Amin.
vi
8. Keluarga besar senat mahasiswa ilmu kelautan yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, semoga kalian masih bisa menjaga simpul-simpul
yang hampir putus.
9. Pak Acid dan Cabu’ menjadi orang pertama yang menyediakan tempat
untuk menuntut ilmu di kelas.
10. Mone, Dg. Te’ne dan Dg. Bunga, terima kasih atas kesediaannya
memenuhi kebutuhan gizi bagi penulis selama ini.
11. Teman-temanKKN Reguler Unhas Gel.82, Marsel, Jo, Salim, Hadi, Sri,
Gege, Novi dan Friska, semoga kita bisa berkumpul lagi.
12. Teman-teman Kelautan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang
telah menemani penulis selama kuliah di jurusan ilmu kelautan. Terima
kasih untuk semua bantuan, motivasi, kebersamaan, dan canda tawamu di
koridor yang tidak pernah padam.
Dengan rendah hati penulis berharap, semoga skripsi yang memiliki banyak
kekurangan ini dapat bermanfaat dan memberikan inspirasi kepada para
pembaca. Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan untuk
perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Penulis,
Haidir Muhaimin
vii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................... xi
I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................. 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan ...................................................... 2
1.3 Ruang Lingkup................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 3
2.1 Jenis-Jenis Sedimen pada Daerah Pantai ...................... 3
2.2 Bentuk dan Fenomena Sedimentasi Daerah Intertidal .... 6
2.3 Material dan Profil Pantai ................................................ 8
2.4 Sedimen Bar (Pasir Penghalang) .................................... 9
2.5 Zonasi Daerah Intertidal .................................................. 11
2.6 Skema Umum untuk Zonasi Pantai Berpasir ................... 13
2.7 Makrozoobentos ............................................................. 14
2.8 Faktor Pembatas Fisik .................................................... 16
III. METODE PENELITIAN ............................................................. 19
3.1 Waktu dan Tempat........................................................... 19
3.2 Alat dan Bahan ................................................................ 19
3.3 Prosedur Penelitian.......................................................... 20
3.4 Pengolahan data .............................................................. 23
3.5 Analisis Data .................................................................... 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................... 26
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ...................................... 26
4.2 Karakteristik Sedimen Bar(Pasir Penghalang) ................. 27
viii
4.3 Kaitan Sedimen Bardengan Faktor Pembatas Fisik ......... 29
4.4 Struktur Komunitas Makrozoobentos ............................... 33
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 41
5.1 Kesimpulan ...................................................................... 41
5.2 Saran ............................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 42
LAMPIRAN ..................................................................................... 43
ix
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Klasifikasi sedimen berdasarkan jenis dan ukuran partikelnya . 3
2. Skala Wenworth untuk klasifikasi partikel-partikel sedimen ...... 21
3. Arus permukaan laut ................................................................ 30
4. Kondisi gelombang laut ............................................................ 30
5. Hasil analisis BOT, jenis dan tekstur sedimen .......................... 32
6. Komposisi jenis makrozoobentos pada setiap stasiun.............. 36
x
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Bentuk sedimen bar (pasir penghalang) ..................................... 11
2. Peta lokasi penelitian ................................................................. 18
3. Sketsa stasiun pengamatan ....................................................... 20
4. Pasang surut .............................................................................. 29
5. Bahan Organik Total (BOT) pada seluruh stasiun ...................... 32
6. Kelimpahan jenis makrozoobentos pada stasiun 1 ..................... 33
7. Kelimpahan jenis makrozoobentos pada stasiun 2 ..................... 34
8. Kelimpahan jenis makrozoobentos pada stasiun 3 ..................... 34
9. Kelimpahan jenis makrozoobentos pada stasiun kontrol ............ 35
10. Jumlah jenis makrozoobentos pada seluruh stasiun ................... 37
11. Kelimpahan rata-rata individu makrozoobentos pada seluruh stasiun ........................................................................... 38
12. Indeks ekologi makrozoobentos ................................................. 40
xi
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Klasifikasi sedimen ............................................................................ 45 2. Jumlah individu pada stasiun kontrol ................................................. 46
3. Jumlah individu pada stasiun 3 ......................................................... 47
4. Jumlah individu pada stasiun 2 ......................................................... 48
5. Jumlah individu pada stasiun 1 ......................................................... 49
6. Hasil analisis One Way Anova mengenai kelimpahan makrozoobentos pada setiap stasiun ........................................................................... 50
7. Hasil analisis One Way Anova mengenai jumlah jenis makrozoobentos Pada setiap stasiun ........................................................................... 51
8. Kelimpahan dan jumlah jenis makrozoobentos pada stasiun 1 ........ 52
9. Kelimpahan dan jumlah jenis makrozoobentos pada stasiun 2 ........ 53
10. Kelimpahan dan jumlah jenis makrozoobentos pada stasiun 3 ........ 54
11. Kelimpahan dan jumlah jenis makrozoobentos pada stasiun kontrol 55
12. Indeks ekologi makrozoobentos ....................................................... 56
13. Bahan organik sedimen ................................................................... 57
14. Data arus permukaan laut ................................................................ 58
15. Data pasang surut ............................................................................ 59
16. Jumlah jenis makrozoobentos pada seluruh stasiun ........................ 60
17. Gambar makrozoobentos ................................................................. 61
12
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pantai memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (interfece) antara
ekosistemdarat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
yang sangat kaya.Pantai dapat didefenisikan sebagai daerahpertemuan antara laut dengan
daratan serta udara, dimana interaksi ketiga komponen tersebut menjadikan wilayah pantai
sangat dinamis, sehingga menyebabkan daerah pantai sangat rentan terhadap setiap
perubahan yang terjadi.
Daerah pantai juga dipengaruhi oleh fenomena sedimentasi dan menyebabkan
banyaknya bentuk-bentuk sedimentasi yang terbentuk, salah satunya adalah sedimen bar
(pasir penghalang). Di dalam berbagai bentuk sedimen bar inilah terdapat keanekaragaman
organisme, khususnya makrozoobentos.
Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem
perairan sehubungan dengan peranannya sebagai organisme kunci dalam jaring
makanan.Selain itu tingkat keanekaragaman makrozoobenthos di lingkungan perairan dapat
digunakan sebagai indikator pencemaran karena hewan ini hidup menetap (sesile) dan daya
adaptasinya bervariasi terhadap kondisi lingkungan.(Rosenberg, 1993).
Makrozoobentos dapat hidup dan ditemukan pada berbagai jenis substrat, sedimen
maupun berdasarkan bentuk sedimentasi khususnya pada sedimen bar di suatu wilayah
intertidal. Daerah ini khususnya didominasi oleh substrat bioklastik (berupa pecahan atau
hancuran karang dan biota laut bercangkang dengan komunitas karang, algae dan berbagai
jenis yang hidup bersama dengan karang).
Untuk mengetahui hubungan antara sedimen bar dan penyebaran makrozoobentos
maka, perlu diadakan penelitian karena sedimen bar memiliki karakteristik yang menarik
yaitu hanya muncul pada saat surut dan tenggelam pada saat pasang. Kecenderungan
inilah yang memungkinkan adanya pengaruh terhadap distribusi makrozoobentos.
13
Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi dan tinjauan mengenai
kondisi awal keragaman makrozoobentos yang hidup pada sedimen bar di pantai Desa
Mappakalompo dan menjadi data pendukung untuk merepresentasikan tentang kondisi awal
di daerah tersebut.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan keragaman makrozoobentos
padasedimen bar yang terbentuk di daerah intertidal pantai wisata Desa Mappakalompo
Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.
Kegunaan dari penelitian ini adalah memberikan informasimengenai kondisi awal
keragaman makrozoobenthos yang hidup pada berbagai bentuk sedimen bar di pantai Desa
Mappakalompo dan menjadi data pendukung dalam upaya mengeksplorasi kondisi wilayah
tersebut.
1.3 Ruang Lingkup
Ruang lingkup pada penelitian ini difokuskan pada identifikasi jenis dan perhitungan
kelimpahan dan keanekaragaman makrozoobentos yang hidup pada sedimen bar di
intertidal pantai Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jenis-Jenis Sedimen pada Daerah Pantai
Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi
dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Seluruh permukaan dasar lautan ditutupi oleh partikel sedimen yang diendapkan secara
perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun (Garrison, 2005).
14
Sedimen terutama terdiri dari partikel-partikel yang berasal dari hasil pembongkaran
batu-batuan dan potongan-potongan kulit (shell) serta sisa rangka dari organisme laut.
Ukuran-ukuran partikel sedimen sangat ditentukan oleh sifat fisik mereka dan akibatnya
sedimen yang terdapat di berbagai tempat di dunia mempunyai sifat-sifat yang sangat
berbeda satu sama lainnya.
Ukuran partikel sedimen merupakan salah satu cara mudah untuk menentukan
klasifikasi sedimen. Klasifikasi berdasarkan ukuran partikelnya menurut Wentworth (1922)
dalam Dale dan William (1989) adalah :
Tabel 1. Klasifikasi sedimen berdasarkan jenis dan ukuran partikelnya
Jenis Partikel Ukuran (mm)
Boulder > 256 Cobble 64 – 256 Pebble 4 – 64 Granule 2 – 4 Sand 0,062 – 2 Silt 0,004 – 0,062 Clay < 0,004
Chester (1993) membagi sedimen laut menjadi 2 kelompok yaitu:
1. Nearshore sediment, sebagian besar endapan sedimennya dipengaruhi kuat oleh
kedekatannya dengan daratan sehingga mengakibatkan kondisi fisika kimia dan biologi
sedimen ini lebih bervariasi dibandingkan dengan deep-sea sediment.
2. Deep-sea sediment, sebagian besar mengendap di perairan dalam di atas 500 m dan
banyak faktor seperti jauhnya dari daratan, reaksi antara komponen terlarut dalam kolom
perairan serta hadirnya biomassa khusus yang mendominasi lingkungan laut dalam yang
menyebabkan sedimen ini merupakan habitat yang unik di planet dan memiliki
karateristik yang sangat berbeda dengan daerah continental / near shore.
Menurut asalnya Garrison (2006) menggolongkan sedimen ke dalam 4
bagian yaitu:
1. Sedimen Terrigenous
15
Jenis sedimen ini berasal dari erosi yang berasal dari benua atau pulau, letusan
gunung berapi dan segumpalan debu. Sedimen ini lebih dikenal dengan batuan yang
berasal dari gunung berapi seperti granit yang bersumber dari tanah liat dan batuan kwarsa
yang menjadi dua komponen penyusun sedimen terrigenous.
2. Sedimen Lithogenous
Sedimen ini berasal dari sisa pengikisan batu-batuan di darat. Ini diakibatkan karena
adanya suatu kondisi fisik yang ekstrim, seperti adanya pemanasan dan pendinginan
terhadap batu-batuan yang terjadi secara terus-menerus. Partikel-partikel ini diangkut dari
daratan ke laut oleh sungai-sungai. Begitu sedimen mencapai lautan, partikel-partikel yang
berukuran besar cenderung untuk lebih cepat tenggelam dan menetap dari yang berukuran
lebih kecil. Kecepatan tenggelamnya partikel-partikel ini telah dihitung, dimana jenis partikel
pasir hanya memerlukan waktu kira-kira 1,8 hari untuk tenggelam dan menetap di atas
lapisan atas dasar laut yang mempunyai kedalaman 4.000 meter. Sedangkan jenis partikel
lumpur yang berukuran lebih kecil membutuhkan waktu kira-kira 185 hari dan jenis partikel
tanah liat membutuhkan waktu kira-kira 51 tahun pada kedalaman kolom air yang sama.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jikalau pasir akan segera diendapkan begitu sampai
di laut dan cenderung untuk mengumpul di daerah pantai (Hutabarat dan Stewart, 2000).
3. Sedimen Biogenous
Sedimen ini berasal dari sisa-sisa rangka dari organisme hidup. Jenis sedimen ini
digolongkan ke dalam dua tipe utama yaitu calcareous dan siliceous ooze. Material siliceous
dan calcareous pada waktu itu di ekstrak dari laut dengan aktivitas normal dari tanaman dan
hewan untuk membangun rangka dan cangkang. Kebanyakan organisme yang
menghasilkan sedimen biogenous mengapung bebas di perairan seperti plankton. Sedimen
biogenous paling berlimpah dimana cukup nutrien yang mendorong produktivitas biologi
yang tinggi, selalu terjadi pada wilayah dekat continental margin dan area upwelling.
Thurman dan Trujillo (2004) menyatakan bahwa dua campuran kimiawi yang paling umum
terdapat dalam sedimen biogenous adalah calcium carbonat (CaCO3), dimana tersusun dari
16
mineral calcite) dan silica (SiO2). Seringkali silica secara kimiawi dikombinasikan dengan air
untuk menghasikan SiO2 . nH2O.
4. Sedimen Hydrogenous
Sedimen hydrogenous terdiri dari mineral yang mempercepat proses presipitasi dari
laut. Jenis partikel ini dibentuk sebagai hasil reaksi kimia dalam air laut. Reaksi kimia yang
terjadi disini bersifat sangat lambat, dimana untuk membentuk sebuah nodule yang besar
diperlukan waktu selama berjuta-juta tahun dan proses ini kemudian akan berhenti sama
sekali jika nodule telah terkubur di dalam sedimen. Di pusat perputaran, jauh dari benua,
partikel sedimen terakumulasi sangat lambat.(Garrison, 2006).
2.2 Bentuk dan Fenomena Sedimentasi Daerah Intertidal
Pengendapan merupakan proses terbawanya material hasil pengikisan dan pelapukan
oleh air, angin, atau gletser ke suatu wilayah kemudian diendapkan. Semua batuan dan
material hasil pelapukan dan pengikisan yang diendapkan lama kelamaan akan menjadi
suatu batuan yang dinamakan batuan sedimen. Batuan sedimen yang kemudian
terakumulasi ini lama-kelamaan akan menjadi suatu bentuk bentang alam di bumi. Bentuk
bentang alam yang dihasilkan dari proses pengendapan ini akan berbeda disuatu tempat
dan tempat lainnya berdasarkan media yang menjadi pembawa material endapan. Jenis
pengendapan berdasarkan media pengangkutnya antara lain (Hallaf, 2006):
1. Pengendapan oleh air sungai. Pengendapan ini terjadi karena pengikisan daerah aliran
sungai oleh arus sungai.
2. Pengendapan oleh air laut. Pengendapan ini biasa terjadi karena adanya pengaruh arus
dan gelombang di daerah pesisir laut. Batuan sedimen hasil pengendapan oleh air laut
disebut sebagai sedimen marine.
3. Pengendapan oleh angin. Pengendapan yang terjadi oleh angin dapat terjadi apabila
material (pasir) disuatu tempat terkikis oleh angin dan kemudian diendapkan di suatu
17
tempat dan menjadi gumuk pasir (sand dune). Pengendapan ini dapat terjadi di daerah
pantai maupun gurun. Batuan hasil pengendapannya disebut sedimen aeolis.
Daerah pantai merupakan zona campuran atau perbatasan yang mengalami
perubahan, baik perubahan luas areal daratan karena sedimennya atau persen
pengurangan luas areal karena pengikisan (Carter 1988). Zona dapat pula dicirikan menurut
kategori fisik (darat dan laut), biologi atau kultur (budaya masyarakat).
Sementara Mappa dan Kaharuddin (1991) dalam Ihklas (2001), mengungkapkan
bahwa pantai merupakan daerah interaksi antara laut dan daratan (daerah daratan yang
ternasuk pantai yang masih dipengaruhi oleh daratan seperti pengaruh sedimentasi, sungai
dan salinitas yang relatif rendah (<32%) untuk daerah tropis). Dasar pembentukan pantai
berbeda-beda, ada yang terdiri dari batuan-batuan, lumpur, tanah liat, pasir dan kerikil, atau
campuran antara dua atau lebih tipe-tipe ini secara bersama-sama.
Berdasarkan bentuk dan tipe pantai secara umum, ada beberapa jenis pantai di
Indonesia (Anonim, 2002), yaitu :
a. Pantai tertutup, yaitu pantai yang umumnya berada dalam teluk dan terlindung dari
pengaruh-pengaruh alam ( ombak, arus kencang dan angin ).
b. Pantai tertutup ( golfe ), dalam bentuk teluk dengan ukuran yang lebih besar dan
biasanya masih terasa pengaruh alam.
c. Pantai memanjang atau yang berbentuk bulan sabit, biasanya material yang membentuk
jenis pantai ini adalah sedimen yang dapat berpindah seperti pasir dan batuan.
d. Pantai berbatu, daerah tebing berbatu meliputi 80% diseluruh permukaan bumi. Daerah
ini yang kurang dipelajari sehingga menyebabkan daerah tersebut terbentuk secara
natural atau alamiah.
e. Tebing pantai ( cliff ), daerah yang biasanya dicirikan dengan dinding pantai terjal yang
langsung berhubungan dengan laut. Pada daerah yang terlindung, keberadaan tebing
pantai ini terdapat agak jauh dari pantai, sedangkan pantai itu sendiri dikarakteristikan
pada pantai berpasir. Jenis pantai tebing dapat ditemukan dalam dua tipe, yaitu tebing
18
pantai dengan material lepas yang gampang hancur atau runtuh, dan tebing karang yang
umumnya keras dan tidak mudah hancur.
Bentuk tebing pantai dengan material lepas pada umumnya dipengaruhi oleh keadaan
alam seperti ombak, arus pantai, angin, atau yang diakibatkan secara tidak langsung oleh
kegiatan manusia di wilayah pantai.
f. Pantai berpasir dan bukit pasir, daerah yang jumlahnya sekitar 20% daerah pantai
diseluruh dunia, yang umumnya terbentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari
sungai atau yang terjadi karena pengaruh ombak dan arus yang mengantarkan sedimen
tersebut ke arah pantai.
2.3 Material dan Profil Pantai
Sedimen tersebut berupa pasir atau batu yang berasal dari sungai yang terdapat
disekitar pantai tersebut. Disamping berasal dari sungai atau daratan, material yang
menyusun pantai ini juga dapat berasal dari berbagai jenis biota laut yang ada di daerah
pantai itu sendiri. Pada daerah dimana terdapat angin keras, biasanya terjadi pada daerah
atau pantai yang berhadapan dengan laut lepas, akan terjadi akumulasi pantai yang
berlebihan dimana angin akan mengantarkan sedimen berupa pasir dan menumpuk
didaerah tersebut.
Disamping itu, dapat juga ditemukan beachrock, yang juga merupakan bagian dari
jenis pantai ini, tapi jarang ditemukan pada daerah tropikal. Beachrock merupakan bentukan
dari material pasir bioklastik (pasir dari hancuran biota laut) yang menyatu dan membentuk
material keras sehingga dapat juga berfungsi sebagai pelindung pantai.
Pada daerah tropis, sedimen yang ada di pantai biasanya berasal dari hancuran atau
pecahan biota laut yang hidup disekitarnya, antara lain hancuran kerang-kerangan,
hancuran karang, hancuran alga karang, sponge atau hancuran biota laut lainnya.
Sementara daerah pantai yang letaknya dekat dengan aliran sungai akan menerima
sedimen yang berasal dari sungai itu sendiri, antara lain lumpur, pasir, dan batu kerikil
hingga batuan berukuran besar.
19
Bentuk dan tipe pantai seperti ini banyak dijumpai kegiatan pariwisata, terutama jika
terdapat ekosistem terumbu karang dibagian depan pantai. Jenis material yang
mendominasi pantai dapat berasal dari daratan, jika letak pantai tersebut dekat dengan
sungai, atau didominasi oleh material yang berasal dari laut lainnya (Anonim, 2002).
2.4 Sedimen Bar (pasir penghalang)
Karakteristik sedimen dapat menentukan morfologi fungsional dan tingkah
laku hewan bentos. Tipe substrat dapat memberikan kendali terhadap distribusi
organisme bentos di perairan. Adaptasi terhadap tipe substrat akan menentukan
morfologi, cara makan dan adaptasi fisiologi organisme terhadap suhu, salinitas
dan faktor kimia lainnya (Hutabarat dan Stewart, 2000). Ukuran partikel sedimen juga
berperan penting dalam menentukan jenis benthos laut (Levinton, 1982).
Sedimen Bar merupakan salah satu bentuk sedimentasi marine yaitu sedimentasi
yang diangkut oleh air laut. Hal ini disebabkan oleh pengendapan air laut dikarenakan
adanya gelombang. Hasil pengendapan oleh air laut ini membentuk bar. Bar adalah gosong-
gosong pasir penghalang gelombang yang terbentuk oleh endapan dari gelombang dan
arus. Bar merupakan bagian dari pantai, yang tampak pada saat air surut. Sedimen Bar atau
biasa disebut sand bar adalah sejenis gosong yang terdiri dari pasir dan bersifat sebagai
penghalang yang tampak pada saat sedang surut dan hilang pada saat pasang.
Sedimen bar ini memiliki banyak macam model atau bentuk, misalnya berbentuk
seperti kipas, bulat, dan ada yang memanjang sejajar dengan garis pantai.
Suatu hal lumrah bila diketemukan dua atau lebih dari dua bar berkembang sejajar
dengan pantai. Bar yang lebih dalam terbentuk pertama kali oleh gelombang yang lemah
dapat maju lebih jauh ke arah bagian laut yang lebih dangkal (Hallaf,2006).
Sedimen bar terjadi akibat proses sedimentasi yang membentuk endapan dari
gelombang dan arus sepanjang pantai. Ketika gelombang menghempas yang merupakan
kekuatan pukulan untuk memecahkan batuan yang ada di pantai. Butiran-butiran halus dari
pecahan batuan (material klastis), seperti kerikil atau pasir, kemudian diangkut sepanjang
20
pesisir (zona pasang surut), yaitu bagian yang terkadang kering dan terkadang berair oleh
gerak pasang surut atau oleh arus sepanjang pesisir. Proses pemindahan bahan-bahan
penyusun pantai yang terangkut disebut beachdrift, yaitu pergeseran-pergeseran pasir atau
kerikil oleh gelombang sampai diendapkan dan membentuk endapan pasir (Hallaf,2006).
Beberapa bentuk sedimen bar yang dikenal antara lain, fleche, tombolo, pantai
dengan bagian depannya terdapat akumulasi sedimen (terpisah dari pantai itu sendiri)
dipisahkan oleh laguna, atau dengan bagian depan terakumulasi sedimen berbentuk
segitiga.
1. Lidah pasir atau fleche, merupakan bentukan daratan yang menjorok ke laut atau secara
horizontal pantai, dimana proses pembentukannya terjadi akibat terbawanya sedimen
oleh arus pantai yang secara perlahan-lahan membentuk daratan baru. Pada beberapa
daerah, fleche dapat memanjang hingga puluhan kilometer, sehingga telah menyerupai
daratan. Fleche biasanya akan bergerak tergantung arus dan letaknya. Pada daerah
dengan arus dan angin kencang, fleche dapat berpindah tempat dan akan terus
bertambah, sedangkan pada keadaan yang sebaliknya, fleche berkembang secara
perlahan. Pada pantai tertututp, sedimen akan bergerak atau berpindah sesuai dengan
arah arus yang datang, demikian juga terjadi pada pantai yang kedua sisinya terlindung
oleh batu karang.
2. Tombolo, merupakan salah satu bentukan daratan yang terbentuk oleh penyatuan dua
pulau yang berdekatan dimana terjadi proses akumulasi sedimen pantai yang dibawa
oleh dua arus pantai yang berlawanan arah.
3. Delta, salah satu bentuk sedimentasi yang cenderung di angkut dari hulu dan diendapkan
di muara sungai dan disebabkan oleh adanya pengaruh ombak dan pasang surut.
4. Gosong karang, atau pulau karang yang baru terbentuk merupakan daratan baru yang
hanya muncul di permukaan laut pada saat air surut. Gosong biasanya didominasi oleh
substrat bioklastik (berupa pecahan atau hancuran karang dan biota laut bercangkang
dengan komunitas karang, algae dan berbagai jenis yang hidup bersama dengan karang)
(Anonim, 2002).
21
5. Gosong pasir, gundukan atau endapan pasir yang muncul pada saat surut.
6. Dunne, endapan di daerah pantai (supratidal) yang cenderung terjadi karena diakibatkan
oleh pengaruh angin.
7. Pasir penghalang, endapan pasir yang muncul di depan garis pantai baik terletak sejajar,
tegak lurus dan bergerombol pad adaerah intertidal pantai.
Gambar 1. Bentuk sedimen bar (pasir penghalang)
2.5 Zonasi Daerah Intertidal
Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan
mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Kawasan pesisir memilki sejumlah
fungsi ekologis berupa penghasil sumberdaya, penyedia jasa kenyamanan, penyedia
kebutuhan pokok hidup dan penerima limbah (Bengen, 2002).
Salah satu bagian dari ekosistem di kawasan pesisir dan laut adalah kawasan
intertidal (intertidal zone). Wilayah pesisir atau coastal adalah salah satu sistim lingkungan
yang ada, dimana zona intertidal atau lebih dikenal dengan zona pasang surut adalah
merupakan daerah yang terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia,
merupakan pinggiran yang sempit sekali – hanya beberapa meter luasnya – terletak di
antara air tinggi (high water) dan air rendah (low water) (Nybakken, 1992).
Letak zona intertidal yang dekat dengan berbagai macam aktifitas manusia, dan
memilikii lingkungan dengan dinamika yang tinggi menjadikan kawasan ini sangat rentan
terhadap gangguan. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap segenap kehidupan
di dalamnya. Pengaruh tersebut salah satunya dapat berupa cara beradaptasi. Adaptasi ini
Sedimen bar
22
diperlukan untuk mempertahankan hidup pada lingkungan di zona intertidal. Keberhasilan
beradaptasi akan menentukan keberlangsungan organisme di zona intertidal.
Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang
tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang
surut. Menurut Nybakken (1992), zona intertidal merupakan daerah yang paling sempit
diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi sampai pada
surut terendah. Zona ini hanya terdapat pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan
pantai yang landai. Semakin landai pantainya maka zona intertidalnya semakin luas,
sebaliknya semakin terjal pantainya maka zona intertidalnya akan semakin sempit.
Karena tepi pantai ini bergantian tertutup oleh laut dan terkena udara, organisme
hidup di lingkungan ini harus memiliki adaptasi yang baik untuk kondisi basah dan kering.
Bahaya termasuk menjadi hancur atau terbawa oleh gelombang kasar, paparan suhu sangat
tinggi, dan pengeringan. Khas penduduk pantai berbatu pasang surut termasuk bulu babi,
anemon laut, teritip, chitons, kepiting, isopoda, kerang, bintang laut, dan moluska banyak
gastropoda laut seperti limpets, whelks, dan bahkan gurita.
Pada dasarnya pantai dibagi dalam beberapa jenis berdasarkan bentuk substrat
utama penyusun pantai, yaitu pantai berbatu, pantai berpasir, dan pantai berlumpur. Ketiga
jenis pantai tersebut memiliki bentuk zonasi yang berbeda. Selain pantai berbatu zona
intertidal juga banyak ditemukan pada jenis pantai yang lain.
2.6 Skema Umum Untuk Zonasi Pantai Berpasir
Pada umumnya pantai berpasir lebih banyak dikenal oleh manusia dibanding dengan
jenis pantai yang lain. Hal ini dikarenakan pantai berpasir memiliki manfaat yang sangat
banyak dibanding dengan pantai jenis yang lainnya. Pada jenis pantai ini juga dapat
ditemukan berbagai ekosistem lain seperti ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu
karang.
Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai
berpasir termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang halus. Sama halnya pada pantai
23
berbatu pada pantai berpasir juga dibagi dalam beberapa zonasi (Dahl, 1952 and Salvat,
1964 in Raffaelli and Hawkins, 1996) yaitu:
1. Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang purnama.
Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah ini berbatasan langsung dengan
daerah yang kering dan sering terekspose.
2. Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut. Zona ini merupakan daerah yang
paling banyak mengalami fluktuasi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan
berbagai ekosistem salah satunya ekosistem padang lamun.
3. Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang surut
purnama. Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini fluktuasi pasang
surut sangat sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut.
Daerah ini juga bisa ditemukan ekosistem terumbu karang.
Menurut Nybakken (1992) zonasi yang terbentuk pada pantai berpasir sangat
dipengaruhi oleh faktor fisik perairan. Hal ini nampak dari hempasan gelombang dimana jika
kecil maka ukuran partikelnya juga kecil, tetapi sebaliknya jika hempasan gelombang besar
maka partikelnya juga akan besar. Pada pantai berpasir hempasan gelombangnya kecil
menyebabkan butiran partikelnya kecil.
2.7 Makrozoobentos
Organisme bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal di
dalam sedimen dasar. Organisme bentos meliputi organisme nabati yang disebut fitobentos
dan organisme hewani disebut zoobentos (Odum, 1971). Berdasarkan ukurannya maka
organisme benthos dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu makrozoobentos dan
mikrozoobentos. Makrozoobentos adalah organisme yang tersaring oleh saringan bertingkat
dengan ukuran 0,5 mm (Lind,1979 dalam Ihlas, 2001), sedangkan Hutabarat dan Evans
(1995) mengklasifikasikan zoobenthos menjadi tiga kelompok yaitu mikrofauna yang
ukurannya lebih kecil dari 0,1 mm, meiofauna yang berukuran 0,1 mm dan makrofauna yang
ukurannya lebih besar dari 1,0 mm.
24
Makrozoobentos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di
permukaan sedimen dasar perairan serta memiliki ukuran panjang lebih dari 1 mm
(Nybakken, 1982; Mann, 1982; Odum, 1971).
Peran makrozoobentos di dalam ekosistem akuatik adalah :
1) Melakukan proses mineralisasi dan daur ulang bahan organik (Lind, 1979);
2) Sebagai bagian dalam rantai makanan detritus dalam sumber daya perikanan (Odum,
1971); dan
3) Sebagai bioindikator perubahan lingkungan (Hawkes, 1976).
Makrozoobentos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar,
mobilitas yang rendah, mudah ditangkap serta memiliki kelangsungan hidup yang panjang.
Oleh karena itu, peran makrozoobentos dalam keseimbangan suatu ekosistem
perairan termasuk lahan budidaya dapat menjadi indikator kondisi ekologi terkini pada suatu
kawasan tertentu.
Sejalan dengan kebiasaan makannya, Odum (1971) membagi pula hewan bentos atas
:
(a) Filter-feeder yaitu hewan yang menyaring partikel-partikel detritus yang masih melayang-
layang dalam perairan misalnya Balanus (Crustacea), Chaetopterus (polychaeta) dan
Crepudila (Gastropoda).
(b) Deposit-feeder yaitu hewan benthos yang memakan partikel-partikel detritus yang telah
mengendap pada dasar perairan misalnya Terebella dan Amphitrile (Polychaeta), Tellina
dan Arba.
Distribusi hewan makrozoobentos sangat ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan biologi
perairan. Sifat fisika yang berpengaruh langsung terhadap hewan makrozoobentos adalah
kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan, substrat dasar dan suhu perairan. Sedangkan sifat
kimia yang berpengaruh langsung adalah derajat keasaman dan kandungan oksigen terlarut
(Odum, 1971).
Ditambahkan oleh Krebs (1978) bahwa faktor biologi perairan yang mempengaruhi
komunitas hewan bentos adalah kompetisi (persaingan ruang hidup dan makanan), predator
25
(pemangsa) dan tingkat produktivitas primer. Masing-masing faktor biologi tersebut dapat
berdiri sendiri akan tetap ada kalanya faktor tersebut saling berinteraksi dan bersama-sama
mempengaruhi komunitas pada suatu perairan.
Pengaruh fluktuasi faktor-faktor fisis dan adaptasi yang dimiliki secara evolusioner
ditentukan lebih lanjut oleh substrat dari pantai tersebut. Beberapa organisme memilki organ
pemegang untuk mempertahankan posisi mereka dari hempasan gelombang di sepanjang
pantai berbatu. Di sepanjang pantai berpasir, organisme sering mempunyai kemampuan
lebih untuk membuat lubang atau pembenaman diri dalam pasir. Organisme yang
menyesuaikan diri pada pantai-pantai berbatu harus mampu melawan benturan fisis
sedangkan organisme yang beradaptasi pada pantai berpasir harus mempertahankan
kehidupannya dalam kelompok matrik fisis (perubahan lingkungan). Distribusi organisme
dikedua habitat tersebut seringkali menunjukkan suatu pengelompokan tertentu, yang
menggambarkan sebahagian dari kemampuan mereka untuk melawan lingkungan fisis yang
eksrtim (Mc.Naughton,1992 dalam Ihlas, 2001).
Makrozoobentos yang mendiami zona intertidal cukup banyak jumlahnya, mereka
hidup dan menyesuaikan diri dengan cara perubahan fisik maupun tingkah laku. Beberapa
contoh terlihat pada filum Mollusca. Organisme tersebut mampu melakukan adaptasi
dengan cara menggali lubang atau membenamkan diri pada pasir sehingga ombak dan
perubahan suhu akibat terjadinya surut tidak menjadi persoalan bagi mereka (Nybakken
1982).
2.8 Faktor Pembatas Fisik
2.8.1 Arus
Menurut Dean dan Dalrymple (2002), perputaran/sirkulasi arus di sekitar pantai dapat
digolongkan dalam tiga jenis, yaitu: arus sepanjang pantai (Longshore current), arus seret
(Rip current), dan aliran balik (Back flows/cross-shore flows). Sistem sirkulasi arus tersebut
seringkali tidak seragam antara ketiganya bergantung kepada arah/sudut gelombang
datang. Pada kawasan pantai yang diterjang gelombang menyudut terhadap garis pantai,
arus dominan yang akan terjadi adalah arus sejajar pantai (longshore current). Sedangkan
26
apabila garis puncak gelombang datang sejajar dengan garis pantai, maka akan terjadi 2
kemungkinan arus dominan di pantai. Yang pertama, bila di daerah surf zone terdapat
banyak penghalang bukit pasir (sand bars) dan celah-celah (gaps) maka arus yang terjadi
adalah berupa sirkulasi sel dengan rip current yang menuju laut. Kemungkinan kedua, bila di
daerah surf zone tidak terdapat penghalang yang mengganggu maka arus dominan yang
terjadi adalah aliran balik (back flows).
2.8.2 Gelombang Laut
Gelombang adalah pergerakan naik dan turunnya air dengan arah tegak lurus
permukaan air laut yang membentuk kurva/grafik sinusoidal. Gelombang laut disebabkan
oleh angin. Angin di atas lautan mentransfer energinya ke perairan, menyebabkan riak-riak,
alun/bukit, dan berubah menjadi apa yang kita sebut sebagai gelombang. Gelombang dapat
membentuk dan merusak pantai dan berpengaruh pada bangunan-bangunan pantai. Energi
gelombang akan membangkitkan arus dan mempengaruhi pergerakan sedimen dalam arah
tegak lurus pantai (cross-shore) dan sejajar pantai (longshore).
2.8.3 Pasang Surut Air Laut
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek
sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung
dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil
dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari
dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat dari pada jarak
matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan
menghasilkan dua tonjolan pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang
surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan
matahari.
Pasang surut memiliki pengaruh yang besar terhadap kemunculan sedimen bar dan
proses transpor sedimen. Apabila pasang, maka sedimen bar ini tidak akan muncul dan
akan terlihat kembali di saat surut. Hal ini tentunya juga berpengaruh terhadap keberadaan
organisme bentos disekitarnya.
27
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2012 sampai bulan Maret
2013.Pengambilan sampel makrozoobenthos dan sedimen dilakukan di Pantai Boe, Desa
Mappakalompo, Kabupaten Takalar (Gambar 2).Analisis tekstur sedimen dilakukan di
28
Laboratorium Geomorfologi dan Manajemen Pantai, sedangkan analisis sampel
makrozoobenthos dilakukan di Laboratorium Ekologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah roll meter untuk mengukur
jarak setiap stasiun, sekop untuk mengambil sampel sedimen dan makrozoobenthos, Sieve
net dengan mesh size berukuran 1 mm untuk pemisahan makrozoobenthos dengan
sedimen, Global Positioning System (GPS) untuk menetukan titik stasiun, cool box untuk
menyimpan sampel, baki sebagai wadah sampel makrozoobenthos di laboratorium, pinset
untuk mengambil sampel makrozoobenthos dari baki, makroskop dan mikroskop untuk
mengamati dan membantu dalam proses identifikasi sampel, timbangan digital untuk
menimbang sedimen, ayakan sedimen untuk mengayak sampel sedimen, oven untuk
mengeringkan sampel sedimen, breaker glass sebagai wadah sampel sedimen, kamera
29
untuk mendokumentasikan sampel dan aktifitas selama penelitian, alat tulis menulis untuk
mencatat hasil pengamatan.
Bahan-bahan yang digunakan adalah kantong sampel sebagai tempat menyimpan
sampel, kertas label untuk memberi label tiap kantong sampel, aquades untuk
membersihkan alat, alkohol 70% untuk mengawetkan sampel.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Prosedur di Lapangan
Tahapan prosedur yang dilakukan selama pengambilan data di lapangan antara lain:
3.3.1.1 Tahap Persiapan
Tahap ini meliputi studi literatur, konsultasi dengan pembimbing, survei awal kondisidi
lapangan, serta mempersiapkan alat-alat yang digunakan selama penelitian di lapangan.
3.3.1.2 Penentuan Stasiun
Berdasarkan hasil survei awal, penentuan lokasi dilakukan berdasarkan bentuk
sedimenbar dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan karakteristik lokasi penelitian
pada zona intertidal.Stasiun pengamatan (Gambar 3) terdiri dari 3 stasiun yang berupa
sedimen bar dengan 1 stasiun yang bukan sedimen bar sebagai pembanding.Dalam setiap
stasiun dilakukan 5 kali ulangan plot (Gambar 3). Stasiun I adalah sedimen bar yang terletak
di dekat Hatchery. Stasiun II adalah sedimen bar yang terletak di pesisir pantai. Stasiun III
adalah sedimen bar yang terletak di daerah dekat muara sungai.Sedangkan 1 stasiun
tambahan yaitu daerah yang bukan sedimen bar, diperlukan sebagai kontrol dari sedimen
bar lainnya.
Gambar 3. Sketsa stasiun pengamatan
3.3.2 Pengambilan Data
3.3.2.1 Pengambilan Sampel Makrozoobentos
30
Sampel makrozoobentos diambil dengan menggunakan sekop yang memiliki
luasan30×20 cm, setelah itu sampel makrozoobentos disaring dengan menggunakan
ayakan. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan pada 3 titik dalam setiap plot
ulangan.Setelah itu dilakukan tahap penyortiran yaitu memisahkan antara makrozoobentos
yang masih bercampur dengan sedimen. Kemudian diidentikasi di bawah stereomakroskop
dengan bantuan buku identifikasi makrozoobentos (Siput dan Kerang Indonesia, Bunjamin
Darman).Penyortiran dan identifikasi makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Ekologi
Laut Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
3.3.2.2 Pengambilan Sampel Sedimen
Pengambilan sampel sedimen dilakukan pada setiap plot ulangan di setiap stasiun.
Untuk mengukur ukuran partikel digunakan metode penyaringan kering (dry sieving)
berdasarkan skala Wenworth. Saringan yang digunakan adalah saringan bertingkat yang
mempunyai ukuran antara 2 mm-0,063 mm. Sedimen yang diambil terlebih dahulu
dikeringkan melalui sinar matahari dan panas oven dengan suhu 1050C.
Metode yang digunakan mengklasifikasikan substrat pasir dan lumpur dengan
prosedur sebagai berikut:
1. Sampel sedimen yang telah kering ditimbang sebanyak ± 100 gram, lalu diayak
menggunakan sieve net bertingkat selama 15 menit dengan gerakan konstan sehingga
didapatkan pemisahan partikel sedimen berdasarkan masing-masing ukuran ayakan (2
mm, 1 mm, 0,5 mm, 0, 25 mm, 0, 125 mm, 0,063 mm dan < 0, 063 mm
2. Sampel dipisahkan dari masing-masing ukuran ayakan hingga bersih lalu ditimbang
% Berat = (Berat Hasil Ayakan / Berat awal) x 100%
Untuk mengetahui jenis sedimen, digunakan skala Wenworth sebagai berikut :
Tabel 2. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen Terminologi Diameter (mm)
31
Kerikil Bolder (boulder) Bongkah (Cobble) Kerakal (Pebble) Kerikil (Granule) Pasir ( Sand ) Pasir sangat kasar (Very Coarse
Sand) Pasir Kasar (Coarse Sand) Pasir Sedang (Medium Sand) Pasir Halus (Fine Sand) Pasir Sangat Halus (Very Fine
Sand) Lumpur (Mud) Lanau (Silt) Lempung (Clay)
> 256 64 – 256 4 – 64 2 – 4 1 - 2 0,5 – 1 0,25 – 0,5 0,125 – 0,25 0,0625 – 0,125 0,0039 – 0,0625 < 0,0039
(Sumber Hutabarat dan Evans, 2000)
3.3.2.3 Pengambilan Data Bahan Organik (BOT) Sedimen
Adapun prosedur kerja dari kandungan bahan organik dari sedimen sebagai berikut:
1) Menimbang berat cawan petri.
2) Menimbang berat sampel sedimen yeng telah dikeringkan sebanyak kurang lebih 5 gram
dan mencatatnya (cawan petri + sampel kurang lebih 5 gram) sebagai berat awal.
3) Memanaskan dengan tanur pada suhu 600oC selama kurang lebih 3 jam.
4) Setelah mencapai 3 jam sampel dikeluarkan dari tanur dan di dinginkan dengan
menggunakan desikator.
5) Menimbang kembali sampel (cawan petri + sampel setelah ditanur) yang sudah
dipanaskan sebagai berat akhir.
kandungan bahan organik
Berat BOT
% Bahan Organik = x 100%
Berat sampel
Dimana : BCK = Berat Cawan Kosong ( gram)
BS = Berat Sampel ( gram)
BSP = Berat Setelah Pijar ( gram)
3.3.2.4 Pengambilan Data Parameter Lingkungan
Berat BOT = (BCK + BS) – BSP)
32
Data parameter lingkungan menggunakan data sekunder dari Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Paotere Makassar.
3.4 Pengolahan Data
3.4.1 Pengolahan Data Makrozoobentos
3.4.1.1 Kelimpahan (K)
Kelimpahan organisme makrozoobentos dihitung dengan menggunakan rumus
Shanon-Wiener (Odum 1971):
Y = . x a
Keterangan :
Y = Kelimpahan individu (ind/m2)
a = Jumlah makrozoobentos yang tersaring
b = Luas bukaan sekop (cm2)
10000 = nilai konversi dari cm2 ke m2
3.4.1.2 Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman organisme makrozoobenthos dihitung dengan menggunakan
rumus Shannon-Wiener (Odum 1971):
H’ = -∑ ni/N x In ni/N
Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah total individu
3.4.1.3 Indeks Keseragaman
Indeks keseragaman organisme makrozoobentos dihitung dengan menggunakan
rumus Evennes Indeks (Odum 1971):
E = H’ / LnS
Keterangan:
E = Indeks keseragaman jenis
33
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis organisme
3.4.1.4 Indeks Dominansi
Indeks dominansi organisme makrozoobenthos dihitung dengan menggunakan rumus
Odum (1971) :
C = ∑ (ni/N)2
Keterangan :
C = indeks dominasi
ni = jumlah individu setiap spesies
N = jumlah total individu
3.5 Analisis Data
Struktur komunitas makrozoobentos dibandingkan antar stasiun pengamatan. Data
hasil penelitian kemudian disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan dianalisis secara
secara statistik menggunakan one-way ANOVA.
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 KondisiUmum Lokasi Penelitian
Kawasan Pantai Boe merupakan wilayah Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong
kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Kabupaten Takalar adalah salah satu kabupaten
dalam wilayah propinsi Sulawesi Selatan yang memiliki luas 566,51 km2 dan berada pada
posisi 5,300-5,380 LS dan119.22-118.390 BT. Kabupaten Takalar berbatasan dengan Kota
Makassar dan Kabupaten Gowa pada sebelah Utara, Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten
Gowa sebelah Timur, Laut Flores pada sebelah Selatan dan Selat Makassar pada sebelah
Barat. Di Kabupaten Takalar terdapat banyak wilayah pantai yang dimanfaatkan sebagai
objek ekowisata pantai, baik pada lahan di belakang garis pantai maupun pada perairan
pantai depan garis pantai (Sumber Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Takalar).
Pantai Boe di Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar
merupakan salah satu bagian dari wilayah pesisir Kabupaten Takalar yang memiliki potensi
yang besar untuk dikembangkan sebagai objek wisata pantai. Oleh karena pantai Boe ini
sudah ±10 tahun belakangan telah ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal, terutama pada
hari libur dan pada akhir pekandengan jumlah pengunjung dapat mencapai sekitar ratusan
sampai seribu orang.Kondisi kawasan ini masih alami, kecuali sebagian kecil telah
dikonversi menjadi lahan pertambakan, tetapi hingga sekarang kurang dikelola dengan baik.
Pertambakan di wilayah pantai ini selain terkesan menganggur juga penanaman mangrove
di dalam tambak yang berumur ±5-10 tahun, sehingga menarik menjadi kawasan yang bisa
dimanfaatkan secara terpadu dengan alam pantai berpasir. (Armos, 2013).
35
Lahan di belakang pantai berupa empang dan kebun campuran. Dari hasil pengukuran
diketahui bahwa luas empang yaitu ±2 ha dan luas kebun campuran yaitu ±1 ha. Jenis
mangrove yang berada di dalam empang memiliki dua jenis mangrove yaitu Rhizophora
mucronata dan Rhizophora stylosa yang merupakan hasil penanaman oleh petani tambak
sedangkan di ekosistem mangrove alami terdapat 4 jenis mangrove yaitu Avicenia lanata,
Bruguiera sp Rhizophora stylosa dan Rhizophora mucronata. Mangrove tersebut ditanam di
sekitar pematang dan di tengah-tengah tambak. Tujuan penanaman mangrove di sekitar
pinggir tambak dengan tujuan untuk memperkuat struktur pematang dari tambak itu sendiri.
Sedangkan mangrove yang ditanam dengan rapi di tengah tambak bertujuan untuk
mengembalikan kesuburan tanah pada tambak dan sebagai daerah tempat ikan berlindung,
mencari makan (feeding ground), mengasuh dan membesarkan (nursery ground) dan
sebagai tempat untuk bertelur (spawning ground).
Empang tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk budidaya ikan bandeng
(Chanos chanos). Empang tersebut masih mendapat pengaruh air tawar dari sungai Saro’
yang bermuara di sebelah Selatan pantai Boe. Namun tidak semua empang dapat
dimanfaatkan oleh karena pada musim kemarau sistem drainase kurang baik karena suplai
air laut tidak begitu banyak yang masuk ke lahan tambak sehingga hanya beberapa lahan
tambak saja yang cukup tergenang oleh air dan dapat dimanfaatkan. Empang lainnya yang
berada di depan kebun campuran ukurannya juga cukup luas. Empang tersebut
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kegiatan perikanan tambak seperti budidaya
ikan dan udang. (Armos, 2013).
4.2 Karakteristik Sedimen Bar (Pasir Penghalang)
Daerah pantai Desa Mappakalompo merupakan salah satu tipe pantai berpasir yang
umumnya terbentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari sungai atau yang terjadi
karena pengaruh ombak dan arus yang mengantarkan sedimen tersebut ke arah pantai.
Dari fenomena seperti inilah, maka memungkinkan terbentuknya sedimen bar di pantai
tersebut dimana proses pembentukannya terjadi akibat terbawanya sedimen oleh arus
pantai yang secara perlahan-lahan membentuk daratan baru. Letak sedimen bar ini terpisah
36
dengan pesisir pantai dan mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Sedimen bar ini
muncul karena adanya pengaruh pasang surut maupun arus yang menuju ke arah pantai,
yang membawa sedimen dari dasar laut ke arah pantai sehingga terjadi proses sedimentasi
di daerah intertidal dan membentuk sebuah penghalang atau sedimen bar. Sedimen
tersebut berupa pasir atau batu yang berasal dari sungai yang terdapat disekitar pantai
tersebut. Disamping berasal dari sungai atau daratan, material yang menyusun pantai ini
juga dapat berasal dari berbagai jenis biota laut yang ada di daerah pantai itu sendiri.
(Anonim, 2002).
Daerah kawasan Pantai Boe memiliki karakteristik yang cukup menarik, karena terjadi
fenomena sedimentasi berupa sedimen bar. Sedimen bar ini merupakan salah satu bentuk
sedimentasi berupa pasir yang berfungsi sebagai penghalang dan hanya tampak pada saat
air laut sedang surut.
Karakteristik sedimen dapat menentukan morfologi fungsional dan tingkah laku hewan
bentos. Tipe substrat dapat memberikan kendali terhadap distribusiorganisme bentos di
perairan. Adaptasi terhadap tipe substrat akan menentukanmorfologi, cara makan dan
adaptasi fisiologi organisme terhadap suhu, salinitasdan faktor kimia lainnya (Hutabarat dan
Evans, 2000). Ukuran partikel sedimen juga berperan penting dalam menentukan jenis
benthos laut (Levinton, 1982).
Sedimen bar terjadi akibat proses sedimentasi yang membentuk endapan dari
gelombang dan arus sepanjang pantai. Ketika gelombang menghempas yang merupakan
kekuatan pukulan untuk memecahkan batuan yang ada di pantai. Butiran-butiran halus dari
pecahan batuan (material klastis), seperti kerikil atau pasir, kemudian diangkut sepanjang
pesisir (zona pasang surut), yaitu bagian yang terkadang kering dan terkadang berair oleh
gerak pasang surut atau oleh arus sepanjang pesisir. Proses pemindahan bahan-bahan
penyusun pantai yang terangkut disebut beachdrift, yaitu pergeseran-pergeseran pasir atau
kerikil oleh gelombang sampai diendapkan dan membentuk endapan pasir (Hallaf,2006).
4.3 Kaitan Sedimen Bar dengan Faktor Pembatas Fisik
4.3.1 Pasang Surut
37
Pasang surut memiliki pengaruh yang besar terhadap kemunculan sedimen bar dan
proses transpor sedimen. Apabila pasang, maka sedimen bar ini tidak akan muncul dan
akan terlihat kembali di saat surut. Hal ini tentunya juga berpengaruh terhadap keberadaan
organisme benthos disekitarnya.
Berdasarkan data yang diperoleh muka air tertinggi (maksimum) terjadi pada tanggal
12 Januari 2013 dengan nilai elevasi sebesar 140 cm sedangkan muka air terendah pada
tanggal 4 Januari 2013 dengan nilai elevasi 125 cm. Hal ini menunjukkan bahwa sedimen
bar hanya muncul pada saat surut.
Gambar 4.
Grafik pasang surut
4.3.2 Arus Permukaan Laut
Berdasarkan data yang diperoleh, kecepatan arus rata-rata di daerah penelitian yaitu
dari daerah hatchery (stasiun 1) sampai muara sungai saro’ (stasiun 3) diperoleh nilai 0,069
m/s. Dalam hal ini, kecepatan arus dapat mempengaruhi kemunculan sedimen bar dan
proses sedimentasi pada sedimen bar dapat terjadi lebih cepat. Menurut Dean dan
Dalrymple (2002), perputaran/sirkulasi arus di sekitar pantai dapat digolongkan dalam tiga
jenis, yaitu: arus sepanjang pantai (Longshore current), arus seret (Rip current), dan aliran
balik (Back flows/cross-shore flows). Di daerah pantai Desa Mappakalompo, garis puncak
gelombang datang sejajar dengan garis pantai yang mana daerah ini merupakan daerah
38
surf zone terdapat banyak penghalang bukit pasir (sand bars) dan celah-celah (gaps) maka
arus yang terjadi adalah berupa sirkulasi sel dengan rip current yang menuju laut. (Tabel 3).
Tabel 3. Arus permukaan laut (Armos, 2013)
Stasiun
Kecepatan Arus (m/s) Rata-rata
Kec. Arus (m/s) Saat
Pasang Saat Surut
I 0.057 0.100 0,078 II 0,059 0,077 0,069 III 0.053 0.082 0,067 IV 0,056 0,0734 0,064
0,0695
4.3.3 Gelombang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG), gelombang tertinggi pada umumnya adalah 3.5-5.0 m. Kondisi gelombang seperti
ini mengakibatkan keberadaan sedimen bar sangat tidak memungkinkan karena gelombang
yang tinggi membuat sedimen bar ini tidak muncul dan tenggelam. Energi gelombang akan
membangkitkan arus dan mempengaruhi pergerakan sedimen dalam arah tegak lurus pantai
(cross-shore) dan sejajar pantai (longshore).
Tabel 4. Kondisi gelombang laut pada bulan Januari (Sumber, BMKG)
Lokasi Tinggi Gel.
Laut(m) Sig Max Selat Makassar bagian selatan 1.0-1.8 3.5-5.0
4.3.4 Bahan Organik Total (BOT), Jenis dan Tekstur Sedimen
Berdasarkan hasil pengukuran kandungan bahan organik (BOT), terlihat bahwa
kandungan bahan organik tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 2,079 sedangkan
kandungan bahan organik terendah terdapat pada stasiun 4 (stasiun kontrol) dengan nilai
1,015. Tingginya kandungan bahan organik pada stasiun I dipengaruhi oleh akibat dari
limbah rumah tangga dimana daerah stasiun 1 merupakan daerah yang dekat dengan
pemukiman penduduk dan limbah industri hatchery dimana masing-masing memberikan
39
sumbangan bahan organik ke perairan. Kandungan bahan organik dalam perairan akan
mengalami peningkatan, antara lain sebagai akibat dari limbah rumah tangga, pertanian,
industri, hujan dan aliran air permukaan. Keadaan seperti ini menyerupai hasil penelitian
dengan judul “Struktur Komunitas Makrozoobentos di Intertidal Pantai Desa Dompas
Kabupaten Bengkalis Riau” (Fajriansyah, 2011). Berbeda dengan stasiun 4 (stasiun kontrol)
dimana kandungan bahan organiknya terendah, rendahnya kandungan bahan organik yang
terdapat pada Stasiun 4 diduga disebabkan substrat dasar dari stasiun ini memiliki fraksi
pasir. Keadaan ini sesuai menurut (Clark dalam Ardi, 2002) bahwa sedimen berpasir
memiliki kandungan bahan organik lebih sedikit dibandingkan sedimen lumpur, karena dasar
perairan berlumpur cenderung mengakumulasi bahan organik yang terbawa oleh aliran air,
dimana tekstur dan ukuran partikel yang halus memudahkan terserapnya bahan organik.
Tekstur sedimen yang di dominasi oleh fraksi pasir menyebabkan dominannya organisme
Kelas Bivalvia. Hal ini didukung oleh pernyataan Lind (1979) bahwa fraksi pasir merupakan
habitat yang paling disukai oelh makrozoobentos. Pada dasarnya kondisi lingkungan dan
parameter fisika seperti bahan organik (BOT) dan fraksi sedimen tidak berpengaruh
terhadap distribusi makrozoobentos. Hal ini diakibatkan oleh karakteristik sedimen bar yang
bersifat tidak permanen, artinya hanya muncul pada saat surut dan hilang pada saat
pasang.
Gambar 5. Bahan organik total pada seluruh stasiun
Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut:
0
0.5
1
1.5
2
2.5
1 2 3 4
40
Tabel 5. Hasil analisis BOT, jenis dan tekstur sedimen Stasiun st 1 st 2 st 3 st kontrol BOT (gr) 2,079 1,419 1,257 1,015
Jenis sedimen (Q2) (mm)
Pasir sedang (0,265)
Pasir sedang (0,355)
Pasir sedang (0,450)
Pasir sedang (0,455)
Tekstur sedimen (dominasi) Pasir Pasir Pasir Pasir
4.4 Struktur Komunitas Makrozoobentos
4.4.1 Komposisi Jenis Makrozoobentos
Ditemukan 37 jenis makrozoobentos pada 3 stasiun sedimen bar dan 1 stasiun yang
bukan sedimen bar (stasiun kontrol), 14 spesies dari kelas Gastropoda dan 23 spesies dari
kelas Bivalvia, dengan total jumlah individu pada empat stasiun sebanyak 426 individu.
Stasiun 1 didominasi oleh spesies Terebra affinis dengan persentase sebesar 12%. Terebra
affinis merupakan salah satu spesies dari kelas gastropoda, Gastropoda lebih banyak
dijumpai karena organisme ini didukung oleh struktur tubuh yang bercangkang dan dapat
memperkecil pengaruh hempasan ombak dan sifat hidupnya yang menempel dan dapat
menggali lubang pada substrat dimana mereka hidup. Sementara substrat yang dominan
pada stasiun 1 yaitu substrat pasir sedang (Gambar 6).
41
Gambar 6. Kelimpahan jenis makrozoobentos berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan
pada seluruh stasiun 1.
Stasiun 2 didominasi oleh spesies Trachycardium subrugosum dengan persentase
sebesar 15%. Trachycardium subrugosum merupakan salah satu spesies dari kelas bivalvia.
Pada stasiun ini, subtrat yang mendominasi yaitu substrat pasir sedang (Gambar 7).
Gambar 7. Kelimpahan jenis makrozoobentos berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan pada seluruh stasiun 2.
Stasiun 3 didominasi oleh spesies Fragum fragum dengan nilai persentase sebesar
21%. (Gambar 8).
Pseudostomatella papyracea
2%
Rhinoclavis aspera
4%
Mastonia sp2% Viriola corrugata
2%
Turricula javana1%
Ficus gracilis1%
Cerithium sp5%
Terebra affinis12%
Fragum fragum2%Tellina remies
7%
Tapes dorsatus2%
Trachycardium subrugosum
8%
Tellina tokunagai
10%Dosinia insularum6%
Tellina timorensis1%
Placemen chlorotica4%
Fulfia papyracea2%
Quadrans gargadia7%
Corculum cardissa2%
Pitar manillae4%
Gaffarium pectinatum2%
Hemidonax donaciformis
11%
Soletellina donacioides
3%
Littorina scabra5%
Vexillum exasperatum
12%
Mastonia sp9%
Strombus gibberulus1%
Terebra affinis4%
Notocallista kingii6%
Eucrassatella kingicola4%
Pitar manillae6%
Trachycardium subrugosum
15%
Dosinia insularum6%
Mactra pusilla9%
Notacallista diemenensis
4%
Tellina radiata4%
Tellina tokunagai1%
Soletellina donacioides3%
Quadrans gargadia3%
Tapes dorsatus5%
Placemen chlorocita1%
Fragum fragum
1%
42
. Gambar 8. Kelimpahan jenis makrozoobentos berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan
pada seluruh stasiun 3.
Stasiun kontrol didominasi oleh spesies Mastonia sp dengan nilai persentase sebesar
14%. (Gambar 9).
Gambar 9. Kelimpahan jenis makrozoobentos berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan
pada seluruh stasiun kontrol.
Komposisi jenis yang ditemukan berdasarkan jumlah jenis pada masing-masing
stasiun pengamatan menunjukkan bahwa jumlah makrozoobentos yang tertinggi terdapat
pada stasiun I yaitu 23 spesies. Makrozoobentos yang terdapat didominansi oleh kelas
Bivalvia. Komposisi jenis makrozoobentos pada seluruh stasiun didominasi oleh Kelas
Bivalvia (Tabel 6). Pada stasiun 1, Kelas Bivalvia mendominasi dengan nilai komposisi jenis
Cerithium kobelti12%
Pseudostomatella papyracea
1%
Mastonia sp2%
Nassarius venustus1%
Vexillum exasperatum6%Cerithidea cingulata
2%
Quadrans gargadia5%
Notocallista diemenensis
7%
Trachycardium subrugosum
7%
Dosinia insularum
11%
Fragum fragum21%
Pitar manillae7%
Placemen chlorocita1%
Eucrassatella kingicola1%
Glycymeris grayana1%
Mactra pusilla5% Tellina
remies7%
Tellina tokunagai3%
Hemidonax donaciformis
3%
Cerithium kobelti
10%Vexillum
exasperatum13%
Turricula javana8%
Mastonia sp14%
Rhinocalvis aspera8%
Trachycardium subrugosum
9%
Eucrassatella kingicola
6%
Tellina timorensis3%
Dosinia insularum6%
Fragum fragum8%
Soletellina donacioides
7%
Hemidonax donaciformis
4%
Pitar manillae5%
43
sebesar 65,217%. Pada stasiun 2, Kelas Bivalvia juga mendominasi dengan nilai komposisi
jenis sebesar 73,684%. Sedangkan pada stasiun 3 dan stasiun kontrol, Kelas Bivalvia masih
mendominasi dengan nilai komposisi jenis sebesar 68,421% dan 66,667%. Dominannya
jumlah spesies dari kelas Bivalvia di lokasi penelitian berkaitan dengan substrat
penyusunnya yaitu terdiri dari pasir sedang pada semua stasiun pengamatan. Hal ini
dikarenakan kelas Bivalvia termasuk dalam kelompok organisme yang dapat hidup pada
daerah dengan sedimen mulai dari lumpur sampai pasir kasar. Kelas Bivalvia masuk dalam
kategori organisme pemakan suspensi dan deposit (Nybakken, 1992). Tidak adanya
perbedaan yang cukup signifikan terhadap jumlah jenis dan kelimpahan makrozoobentos
disebabkan oleh adanya persamaan substrat pada setiap stasiun yaitu substrat pasir
sedang. (Gambar 9).
Tabel 6. Komposisi jenis makrozoobentos pada setiap stasiun berdasarkan jumlah individu.
N0. Class St 1 %
St 2 %
St 3 %
St Kontrol %
1. Gastropoda 8 34,783 5 26,316 6 31,579 5 33,333 2. Bivalvia 15 65,217 14 73,684 13 68,421 10 66,667
Total 23 100 19 100 19 100 15 100
Kelas Bivalvia memiliki kemampuan untuk menggali sedimen dan menyaring partikel-
partikel yang tersuspensi dengan menggunakan sifon yang terdapat pada bagian tubuh
Bivalvia dan menjulurkannya ke permukaan untuk memperoleh makanan. Bahan organik
yang terdeposit diperoleh dengan cara menggali lubang kemudian menyaring bahan organik
tersebut (Nybakken, 1992).
Hal ini didukung oleh pernyataan Lind (1979) yang menyatakan bahwa substrat pasir
merupakan habitat yang paling disukai makrozoobentos. Banyaknya jenis makrozoobentos
pada stasiun kontrol disebabkan karena stasiun kontrol merupakan daerah yang permanen,
dimana makrozoobentos telah berasosiasi dengan daerah tersebut, berbeda dengan
sedimen bar yang merupakan daerah yang tidak permanen sehingga jumlah jenis
makrozoobentos dapat berubah. Dari hasil analisis uji anova diperoleh nilai f hitungnya
44
sebesar 1,067 dengan nilai signifikan sebesar 0,397 (>0,05),berarti tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antar stasiun dalam hal ini jumlah jenis makrozoobentos.
Gambar 10. Jumlah jenis makrozoobentos antar stasiun
4.4.2 Kelimpahan Makrozoobentos
Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun I dan stasiun III yaitu 406,6 Ind/m2.
Tingginya kelimpahan makrozoobentos tersebut diakibatkan oleh tingginya bahan organik
yang dapat mempengaruhi organisme dasar. Menurut Wood (1987) menyatakan bahwa
bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi
organisme bentik, sehingga jumlah dan laju pertambahannya dalam sedimen mempunyai
pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar.Allard dan Moreau dalam APHA
(1992) menyatakan bahwa kelimpahan hewan benthos pada suatu perairan sangat
dipengaruhi oleh berbagai factor lingkungan baik biotik maupun abiotik.
Dari hasil analisis uji anova diperoleh nilai f hitungnya sebesar 0,813 dengan nilai
signifikan sebesar 0,505 (>0,05), berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar
stasiun dalam hal ini kelimpahan makrozoobentos. (Lampiran 6).
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3 kontrol
45
Gambar 11. Kelimpahan Rata-rata Individu makrozoobenthos pada seluruh stasiun 4.4.3 Indeks keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C)
Makrozoobentos
Berdasarkan hasil penghitungan ini diperoleh nilai indeks keanekaragaman (H’)
tertinggi ditemukan di stasiun kontrolyaitu 1,59, sedangkan stasiun 1, 2, dan 3 masing-
masing memiliki nilai yang sama yaitu 1,51.Keanekaragaman (H’) mempunyai nilai terbesar
jika semua individu berasal dari genus atau spesies yang berbeda-beda, sedangkan nilai
terkecil jika semua individu berasal dari satu genus atau satu spesies saja (Odum, 1971).
Dari nilai yang diperoleh, diketahui bahwa komunitas makrozoobentos yang ditemukan
pada lokasi penelitian agak beragam. Nilai keanekaragaman tinggi diperoleh jika ditemukan
banyak individu dan semua individu berasal dari jenis atau genera yang berbeda–beda dan
akan mempunyai nilai kecil atau sama dengan nol jika suatu individu berasal dari beberapa
atau satu jenis saja (Odum, 1971).
Untuk nilai indeks keseragaman (E), Stasiun 1 dan 2memiliki nilai yang paling tinggi
yaitu 0,43.Stasiun1 dan 2 memiliki indeks keseragaman yang lebih baik dibandingkan
stasiun lainnya karena jumlah individu dari tiap jenis makrozoobentos yang ditemukan lebih
merata. Keseragaman hewan bentos dalam suatu perairan dapat diketahui dari indeks
keseragamannya. Semakin kecil nilai indeks keseragaman organisme maka penyebaran
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4
46
individu tiap jenis tidak sama, ada kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu (Odum,
1971).
Untuk nilai indeks dominasi (C), stasiun kontrol memiliki nilai tertinggi yaitu 0,79
sedangkan nilai indeks dominansi terendah terdapat pada stasiun 3.Nilai indeks dominansi
ini menunjukkan bahwa ada jenis tertentu yang mendominasi pada semua stasiun.Nilai
indeks dominansi yang tinggi menyatakan bahwa konsentrasi dominansi yang rendah,
artinya tidak ada jenis yang mendominasi komunitas tersebut. Sedangkan nilai dominansi
yang rendah menyatakan konsentrasi dominasi yang tinggi, artinya terdapat jenis yang
mendominansi dalam komunitas tersebut, karena jika ada jenis yang mendominasi maka
keseimbangan komunitas akan menjadi tidak stabil dan akan mempengaruhi
keanekaragaman dan keseragaman (Odum, 1971).
Gambar 12. Indeks ekologi makrozoobentos
Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi, jika kelimpahan
masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keanekaragaman jenis rendah jika hanya
terdapat beberapa jenis yang melimpah. Indeks keragaman jenis (H’) organisme pada suatu
perairan menurut Shanon dan Wiener (dalam Odum, 1971) yaitu : jika H’< 1 berarti
keanekaragaman rendah, artinya jumlah individu tak seragam dan ada salah satu jenis yang
1.51 1.51 1.511.59
0.43 0.43 0.41 0.41
0.76 0.76 0.75 0.79
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
1 2 3 4
Stasiun
indeks keanekaragaman
indeks keseragaman
indeks dominansi
47
dominan. jika 1 ≤ H’ ≤ 3 berarti keanekaragaman sedang artinya jumlah individu tidak
seragam dan jika H’ ≥ 3 berarti keanekaragaman tinggi artinya jumlah individu mendekati
seragam dan tidak ada jenis yang dominan.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa nilai indeks keanekaragaman
pada semua stasiun yaitu 1 ≤ H’ ≤ 3 berarti keanekaragaman sedang yang artinya jumlah
jenis tidak seragam pada semua stasiun.
Menurut Simpson dalam Odum (1996) nilai indeks dominansi <0,5 berarti tidak ada
jenis yang mendominansi sedangkan apabila indeks dominansi > 0,5 berarti ada jenis
tertentu yang mendominansi.
Krebs (dalam Suherdi, 1992) mengemukakan bahwa nilai indeks keseragaman (e)
terletak antara nol dan satu. Bila nilai e = 1, berarti perairan dianggap seimbang. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Hartati dan Awaluddin (2007), bahwa semakin besar nilai
keseragaman menunjukkan keseragaman jenis yang besar, artinya kepadatan individu tiap
jenis dapat dikatakan sama dan cenderung tidak didominasi oleh jenis tertentu, sebaliknya
semakin kecil nilai keseragaman menunjukkan keseragaman jenis yang kecil, artinya
kepadatan individu tiap jenis dapat dikatakan tidak sama dan cenderung didominasi oleh
jenis tertentu.
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Ditemukan sebanyak 37 spesies makrozoobentos yang tersebar di
3stasiunsedimen bar dan 1 stasiun yang bukan sedimen bar (stasiun kontrol) yang
terdiri dari 14 spesies dari kelas Gastropoda dan 23 spesies dari kelas Bivalvia.
2. Tingkat keseragaman dan keanekaragaman makrozoobentos yang ditemukan
dalam penelitian ini cukup beragam, walaupun tidak ada pengaruh yang cukup
48
signifikan berkaitan dengan jumlah jenis maupun kelimpahan makrozoobentos
pada sedimen bar yang berbeda.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai parameter fisik yang
mempengaruhi sedimen bar ini karena merupakan salah satu fenomena menarik
dalam suatu proses sedimentasi dan memiliki kaitan terhadap komunitas
makrozoobentos yang hidup di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002. Modul Sosialisasi dan Ruang Orientasi Penataan Ruang Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Armos, N. H. 2013. Studi Kelayakan Lahan Pantai Wisata Desa Mappakalompo Kec.
Galesong Ditinjau Berdasarkan Biogeofisik. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Barnes, R.S.K and R.N. Hughes. 1999. An Introduction to Marine Ecology. 3rd ed. Great
Britain, The University Press of Cambridge.
Bengen, G, 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.IPB, Bogor.
Chester, R. 1993. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd. London.
Dale, E. I. dan William J. W. 1989. Oceanography : An Introduction. 3th Edition.
49
Wadsworth Publishing Company Belmart. California.
Dave G. Raffaelli, Stephen J. Hawkins. 1996. Intertidal Ecology. Springer. University of Southampton, Southampton, Hampshire, UK.
Dean, R.G. dan Dalrymple, R.A., 2002. Coastal Processes with EngineeringAplication.
Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom. Garrison, T. 2005. Oceanography: An Invitation to Marine Science. 5ed.Thomson Learning,
Inc. USA.
Garrison, T. 2006. Essentials of Oceanography. 4ed. Thomson Learning, Inc.USA.
Hallaf, Abdul. 2006. Modul Geomorfologi Indonesia. UNM: Geografi. Hawkes. 1976. Principle Standard Methods for Determining Ecological Criteria on Hydrobiocoenose. Pergamon Press, Oxford.
Hawkes, H. A. 1979. Invertebrates as Indicators of River Water Quality. In:
Biological Indicator of Water Quality. James, A dan L. Evison. Ed. John Willey &Sons. Great Britain.
Hutabarat, S. dan S. M. Evans. 2000. Pengantar Oseonografi. UI Press. Jakarta.
Ihlas. 2001. Struktur Komunitas Makrozoobentos Pada Ekosistem Hutan Mangrove di Pulau Sarapa Kecamatan Liukang Tupabiring Kabupaten Pangkep. Sulawesi Selatan.
Krebs, C. J.1978. A review of Chitty's hypothesis of population regulation. Canadian Journal
of Zoology 56: 2463-2480 Krebs, C. J. 1985. Experimental Analysis of Distribution And Abundance. Third Edition. Harper And Row Publisher. Philadelphia. Levinton, J. S., 1982. Marine Ecology. Prientice – Hall inc. London.
Lind, O. T. 1979. Hand Book of Common Method in Limnology. CV. Mosby. St.Louis,
Toronto. London.
Mann, K. H. 1982. Ecology of Costal Water: System Approach. Blackwell Scientific Publisher. London
Mappa, H. dan Kaharuddin. 1991. Geologi Laut. Himpunan Mahasiswa Geologi. Fakultas Teknik. Universitas Hasanuddin. Makassar.
McNaughton, J. 1990. Ekologi umum. Yogyakarta: Penerbit UGM Press.
McNaughton, S.J. dan Wolf, Larry, L. 1992. Ekologi Umum Ed. Kedua. Gadjah Mada University Press.
Nybakken. 1982. Marine Biology. Harper & Row. New York.
Nybakken, J. W. 1992, Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerjemah: H.Muhammad Eidman. PT Gramedia Pustaka, Jakarta.
50
Nybakken. 1997. Marine Ecology. 4th edition. Addison Wesley Longman, Inc. (Menlo Park, Calif). New York.
Odum, E. P. 1971. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Raffaelli, D and S. Hawkins.,1996, Intertidal Ecology, Chapman and Hall, Oxford, UK.
Rossenberg, H. M. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates.
Chapman and Hall, New York. London.
Sissenwine, M. P., and A. A. Rosenberg. 1993. Marine fisheries at a critical juncture. Fisheries, 18(10): 6–14.
Stephenson, T.A., Stephenson, A., 1972. Life Between Tide-Marks on Rocky Shores. W.H.
Freeman, USA, 425 pp.
Sumich, J. L. 1992. An introduction to the biology of marine life. Fifth edition.WCB Wm.C.Brown Publishers. United States of America, 2460 Kerper Boulevard Dubuque IA 52001.
Thurman, H. V. and A. P. Trujillo. 2004. Introductory Oceanography. Pearson
Prentice Hall. New Jersey. 608 hlm.
Triatmodjo, B. 1999, Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta. Wenworth, C.K., 1922. A scale of grade and class term for clastic sediment. Jour. Geol. 30 : 337 – 392
51