dispensasi nikah anak di bawah umur skripsi untuk...
TRANSCRIPT
DISPENSASI NIKAH ANAK DI BAWAH UMUR
(ANALISIS PENETAPAN PERKARA NOMOR: 124/PDT.P/2010/PA.SRG.
DI PENGADILAN AGAMA SERANG)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ARIF RAHMANNIM: 106044101389
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M APROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJ A K A R T A
1432 H/2011 M
DISPENSASI NIKAH ANAK DI BAWAH UMUR
(ANALISIS PENETAPAN PERKARA NOMOR: 124/PDT.P/2010/PA.SRG.
DI PENGADILAN AGAMA SERANG)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ARIF RAHMAN
NIM: 106044101389
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H/2011 M
DISPENSASI NIKAH ANAK DI BAWAH UMUR(ANALISIS PENETAPAN PERKARA NOMOR: 124/PDT.P/2010/PA.SRG
DI PENGADILAN AGAMA SERANG)
SKRIPSIDiajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
oleh:
ARIF RAHMAN106044101389
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
DRS. H. A. BASIQ DJALIL, SH., MA.1950030619760310001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M APROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJ A K A R T A
1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul DISPENSASI NIKAH ANAK DI BAWAH UMUR
(Analisis Penetapan Perkara Nomor: 124/Pdt.P/2010/PA.Srg. di Pengadilan Agama
Serang), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S1) pada Program Studi
Ahwal al-Syakhsiyyah.
Jakarta, 17 Juni 2011
Dekan,
Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.NIP: 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua :
Sekretaris :
Pembimbing :
Penguji 1 :
Penguji 2 :
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MANIP. 195003061976031001
Rosdiana, MANIP : 196906102003122001
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MANIP. 195003061976031001
Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.NIP: 195505051982031012
DR. KH. A. Juaini Syukri, Lcs., MA.NIP: 195507061998031003
(......................)
(......................)
(......................)
(......................)
(......................)
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatulah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau merupakan
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
Jakarta, 9 Mei 2011
Penulis
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas segala limpahan
nikmat dan rahmat yang telah diberikan-Nya, terutama nikmat iman, kesehatan,
kesabaran dalam menghadapi segala macam persoalan. Salawat dan salam tidak lupa
penulis haturkan kepada junjungan umat baginda Rasulullah Muhammad SAW. yang
telah mengajarkan bahwa ilmu adalah bekal untuk menghadapi dunia dan akhirat.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dispensasi Nikah Anak
di Bawah Umur (Analisis Penetapan Perkara Nomor: 124/Pdt.P/2010/PA.Srg di
Pengadilan Agama Serang)”.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-
tulusnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dari semasa kuliah sampai
menyelesaikan jenjang pendidikan strata satu (S1) di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Untuk itu, kiranya penulis perlu mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya dan apresiasi yang tinggi atas semua bantuan serta jasa-jasa yang diberikan
dalam penyelesaian skripsi ini. Terutama kepada beberapa pihak, diantaranya
bapak/ibu:
1. Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. selaku dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
ii
Hidayatullah Jakarta, penguji I dan pembimbing akademik yang dengan
penuh kesabaran dan ketegasan dalam memberikan bimbingan serta nasehat,
arahan dan petunjuknya yang sangat berharga.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. selaku Ketua Program studi Ahwal al-
Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku dosen pembimbing skripsi yang
dengan penuh kesabaran dan ketegasan dalam memberikan bimbingan serta
nasehat, arahan dan petunjuknya yang sangat berharga.
3. Dra. Hj. Rosdiana, MA. Selaku sekretaris program studi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. DR. KH. A. Juaini Syukri, Lcs., MA. selaku penguji II yang telah
memberikan pengetahuan dan arahan yang sangat berharga.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu yang telah banyak memberikan peranan dalam proses
pembelajaran sehingga tercapainya gelar sarjana dalam bidang ilmu syari’ah.
6. Pimpinan dan staff karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah menyediakan fasilitas untuk studi kepustakaan.
7. Drs. H. M. Hasany Nasir, SH. Selaku Ketua dan Drs. Moch. Tajudin selaku
Hakim Pengadilan Agama Serang.
iii
8. Abah dan Ibu tercinta yang tegar dan bijak menyikapi hidup serta sabar
menghadapi penulis. Semoga cinta kasih yang dicurahkan menjadikan kalian
tiada jarak dengan Allah SWT.
9. Kakak-kakak dan adikku tersayang yang telah memberikan dukungan dan
juga kesabaran kepada penulis.
10. Para sahabat yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Atas segala kebaikan yang telah diberikan, penulis hanya dapat
memanjatkan doa kepada Allah SWT. Semoga amal baik tersebut
mendapatkan balasan ridha dari-Nya. Akhir kata penulis berharap dengan
segala kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam skripsi ini semoga
dapat bermanfaat bagi kita semua. (Amin)
Jakarta, 3 Mei 2011
Penulis
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
TRANSLITERASI ................................................................................................
i
iv
v
vii
BAB I
BAB II
BAB III
:
:
:
PENDAHULUAN ............................................................................
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
D. Tinjauan Studi Terdahulu ...........................................................
E. Metode Penelitian .......................................................................
F. Sistematika Penulisan .................................................................
PERKAWINAN MENURUT FIQIH DAN HUKUM POSITIF..
A. Pengertian dan Dasar Hukum .....................................................
B. Syarat dan Rukun Perkawinan ....................................................
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ................................................
DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR ..................................
A. Pengertian Nikah di Bawah Umur dan Dispensasi Nikah .........
B. Batas Usia Perkawinan ...............................................................
C. Sebab-Sebab Terjadi Perkawinan di Bawah Umur ....................
1
1
5
6
6
8
10
11
11
16
33
38
38
43
48
vi
BAB IV
BAB V
:
:
ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SERANG..
A. Potret Pengadilan Agama Serang ...............................................
B. Prosedur Permohonan Dispensasi Nikah dan Posisi Kasus ........
C. Pertimbangan Hukum .................................................................
D. Analisis Penulis ..........................................................................
PENUTUP ........................................................................................
A. Kesimpulan .................................................................................
B. Saran ...........................................................................................
52
52
54
59
62
64
64
65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 66
LAMPIRAN-LAMPIRAN : 1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi
Pembimbing Skripsi .........................................
2. Surat Permohonan Data/Wawancara ................
3. Surat Keterangan Melakukan Penelitian
(Pengambilan Data/Wawancara) ......................
4. Salinan Penetapan No.124/Pdt.P/2010/PA.Srg
di Pengadilan Agama Serang ............................
5. Wawancara Hakim Pengadilan Agama Serang
69
70
71
72
84
vii
TRANSLITERASI
Transliterasi yang digunakan adalah sistem transliterasi Arab-Latin
berdasarkan pedoman pembuatan karya ilmiah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا - tidak dilambangkan
ب b be
ت t te
ث ts te dan es
ج j je
ح h h dengan garis bawah
خ kh ka dan ha
د d de
ذ dz de dan zet
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan yr
ص s es dengan garis di bawah
ض d d dengan garis di bawah
ط t te dengan garis di bawah
ظ z zet dengan garis di bawah
ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan
غ gh ge dan ha
ف f ef
viii
ق q ki
ك k ka
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ه h ha
ء ` apostrof
ي y ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksarnya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ــ a fathah
ــ i kasrah
ـ ـ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ــــ ي ai a dan i
ـــ و au a dan u
Vokal panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mâd), yang dalam bahasa arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf yaitu:
ix
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـا â a dengan topi di atas
ـي î i dengan topi di atas
ـو û u dengan topi di atas
Kata sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ,/dialihaksarakan menjadi huruf /l ,ال baik diikuti huruf Syamsiyyah maupun
huruf Qamariyyah. contoh: al-Rijâl bukan ar-Rijâl, al-Diwân bukan ad-Diwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydiid yang dalam sistem tulisan arab dilambangakan dengan
sebuah tanda ( ـــ ( dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tandda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang
diikuti huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ر ة الض ر و tidak ditulis ad-darûrah
melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda
(ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
x
Contoh:
No. Kata Arab Alih Aksara1. طریقة Tarîqah2. یة الم س ة اإل ع ام الج al-Jâmiah al-Islâmiyyah3. د و ج ة الو د ح و Wahdat al-Wujûd
Huruf kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara
ini huruf kapital juga digunakan. Dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam
ejaan yang disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain.
Penting diperhatikan, jika nama diri di dahului kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. (contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî, bukan Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-
Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (Italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku ini ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia nusantarara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa arab. Misalnya Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad
al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
xi
Cara Penulisan Kata
Setiap Kata, baik kata kerja (fi’il) ,kata benda (ism) maupun huruf (harf)
ditulis secra terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat
bahasa arab, denagn pedoman ketentuan-ketentuan sebagai di atas:
Kata Arab Kata Latin
ھب يذ القض Dzahaba al-qadî
ر األج Tsabata al-ajruثبت
لیة ة األص ك ر al-harakah al-‘asriyyahالح
ال إلھ إال هللا ھد أن Asyhadu an lâأش ilâha illâ Allâh
الح الص لك النا م و Maulânâم malik al-salih
م هللا ك ثر Yu’atsirukum allâhیؤ
قلیة اھر الع ز al-Mazâhir al-‘aqliyyahالم
نیة و الك al-Âyât al kauniyyahاآلیات
ات ر و ض ح ة تبیح الم ر و ر al-Darûrat tubîhu al-mahzûrâtالض
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sunnatullâh yang umum dan berlaku pada semua
makhluknya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan
adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT. sebagai jalan bagi makhluknya
untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Pernikahan akan berperan
setelah masing-masing pasangannya sudah melakukan perannya masing-masing
yang positif dalam mewujudkan pernikahan tersebut.1
Allah SWT. Tidak menjadikan manusia seperti makhluknya yang lainnya
yang hidup untuk mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina
secara anarkis tidak ada aturan.
Manusia adalah makhluk yang lebih diutamakan oleh Allah SWT.
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Allah SWT. telah menetapkan adanya
aturan tentang pernikahan bagi manusia dengan adanya aturan-aturan yang tidak
boleh dilanggar sehingga manusia tidak boleh berbuat semaunya, seperti
binatang kawin dengan lawan jenisnya atau seperti tumbuh-tumbuhan yang
kawin dengan perantara angin.2 Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat al-
Hijr ayat 22:
1 Slamet Aminuddin, Fiqh Munkahat (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h . 9.
2 H. A. S. al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Pustaka Amani,1989). h. 15
2
) ٢٢: ا لحجر(
Artinya: “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beriminum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yangmenyimpannya.” (Q.S. al-Hijr: 22)
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. yang menyebutkan bahwa
makhluk hidup yang diciptakan dalam dunia ini tidak lain adalah untuk saling
mengenal, saling membutuhkan, saling berdampingan dan berkasih sayang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkawinan merupakan sunnatullâh
yang umum, yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, pada manusia dan
tumbuh-tumbuhan.3 Perkawinan menjadi peristiwa yang didamba-damba semua
orang karena dengan perkawinan seseorang dapat mendapatkan keturunan yang
sah, baik dalam pandangan Agama dan hukum yang berlaku di Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan pasal 1 yaitu “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”.4
Melihat begitu pentingnya sebuah ikatan demi eksistensi kehidupan
3 Sayyid Sâbiq, Fiqh Sunnah. cet. VI. Penerjemah. Drs. Muhammad Thalib (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 2006), h. 253.
4 R. Subekti dan R. Tirtosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Bw) DenganTambahan Undang-Undang Pokok Agrarian dan Perkawinan (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), h .449.
3
manusia, maka perlu ada pemikiran yang matang sebelum menjalin ikatan sebuah
rumah tangga. Salah satu hal perlu dipikirkan adalah usia yang dikategorikan
dewasa. Karena dengan usia yang matang rumah tangga nantinya akan terlaksana
dengan baik.
Perkawinan merupakan satu hal yang dilakukan dengan serius yang
mengakibatkan seseorang akan terikat seumur hidup dengan pasangannya. Oleh
karena itu perkawinan membutuhkan persiapan yang matang, yaitu kematangan
fisik dan kedewasaan mental. Pada dasarnya kematangan jiwalah yang sangat
berarti untuk memasuki gerbang rumah tangga. Perkawinan pada usia muda di
saat seseorang belum siap fisik maupun mental sering menimbulkan masalah di
kemudian hari, bahkan tidak sedikit berantakan di tengah jalan.5
Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang telah sama-sama dewasa
akan membawa dampak yang baik bagi perkembangan rumah tangga, dengan
adanya kedewasaan dari kedua belah pihak baik secara fisik maupun mental,
akan membawa rumah tangga tentram dan damai. Kematangan fisik merupakan
potensi yang sangat dominan terhadap keharmonisan rumah tangga. Hal tersebut
dapat mewujudkan perkawinan yang baik tanpa diakhiri dengan perceraian dan
mendapat keturunan yang sehat.
Yang tidak kalah penting adalah mentalitas yang matang merupakan
kekuatan yang besar dalam memperoleh kebahagiaan rumah tangga. Kesiapan
5 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk(Bandung: al-Bayan, 1995), h . 18.
4
dan kematangan fisik dan mental sebelum menikah menjadi satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan, dengan bekal itu dengan sendirinya cita-cita untuk
berumah tangga yang bahagia, kekal dan sejahtera bisa terwujud.6
Agama Islam tidak menentukan batasan usia perkawinan yang jelas.
Namun begitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
memberikan ketentuan atau kriteria-kriteria tersendiri terhadap batasan usia
seseorang yang akan melangsungkan pernikahan. Ketentuan itu dijelaskan dalam
pasal 7 ayat (1): “Perkawian hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun”.7 Walaupun telah diatur dengan sedemikian rupa,
kemungkinan terjadinya penyimpangan akan selalu terjadi. Oleh sebab itu
ditambahkan dengan ayat (2) “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal
ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.8
Sekalipun Undang-Undang telah mengatur batasan usia nikah, namun
dalam prakteknya masih ada nikah di bawah umur. Pernikahan di bawah umur
boleh saja dilakukan dengan syarat tertentu, yaitu ketika pemberitahuan ke KUA
dengan melampirkan dispensasi nikah. Agar perkawinan itu bukan hanya sah
6 Ibid., h. 19.
7Tim Redaksi Fokusmedia, HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Bandung: FOKUSMEDIA, 2005), h. 4.
8 Ibid., h. 4.
5
menurut Agama tapi juga sah menurut Negara. Jika perkawinan tersebut tidak
dengan dilampirkan dispensasi nikah maka perkawinan itu tidak dapat
dicatatkan.9
Melihat pentingnya dispensasi nikah untuk pencatatan pernikahan di
bawah umur agar sah menurut Negara, maka penulis bertujuan mengulas lebih
jauh mengenai dispensasi nikah, yang dalam ini akan diangkat dengan judul
“Dispensasi Nikah Anak di Bawah Umur (Analisis Penetapan Perkara No.
124/Pdt.P/2010/PA.Srg. di Pengadilan Agama Serang)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan
ketentuan terhadap batasan usia seseorang yang akan melangsungkan
pernikahan. Ketentuan itu dijelaskan dalam pasal 7 ayat (1): “Perkawian
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.10
Walaupun telah diatur dengan sedemikian rupa, kemungkinan terjadinya
penyimpangan akan selalu terjadi. Oleh sebab itu ditambahkan dengan ayat
(2) yang berisikan tentang dispensasi nikah yang diberikan Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua pria maupun wanita.
9 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk, h . 19.
10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat (1).
6
2. Perumusan masalah
Mengenai usia nikah telah diatur sedemikian rupa dalam UU No.1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1), tetapi tetap saja ada
penyimpangan mengenai batas usia nikah di lapangan. Bertitik tolak dari
permasalahan di atas maka penulis memberikan beberapa masalah antara lain:
1) Bagaimana perspektif Fiqih dan Hukum Positif mengenai perkawinan di
bawah umur?
2) Prosedur apa saja yang harus dilalui untuk pengajuan dispensasi nikah di
Pengadilan Agama Serang?
3) Pertimbangan apa saja yang digunakan oleh hakim Pengadilan Agama
Serang terkait penetapannya tentang dispensasi nikah pada penetapan
Perkara No. 124/Pdt.P/2010/PA. Srg. di Pengadilan Agama Serang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui batasan usia perkawinan menurut Fiqih dan Hukum Positif.
2. Untuk mengetahui prosedur apa saja yang dilalui dalam pengajuan dispensasi
nikah di Pengadilan Agama Serang.
3. Untuk mengetahui pertimbangan apa saja yang digunakan oleh Hakim
Pengadilan Agama Serang terkait penetapannya tentang dispensasi nikah pada
penetapan perkara No. 124/Pdt.P/2010/PA. Srg. di Pengadilan Agama Serang.
D. Tinjauan Studi Terdahulu
Dalam menyusun skripsi ini penulis melakukan studi terdahulu sebelum
menentukan judul skripsi ini, diantaranya:
7
1. Ahmad Ripa’i :
2. Danu Aprilianto :
Pemberian Dispensasi Kawin di Bawah Umur oleh
Pengadilan Agama (Studi Analisis Putusan No.
07/Pdt.P/2000/PA.CBN di Pengadilan agama Cibinong).
Skripsi ini membahas dispensasi perkawinan di bawah
umur dan sanksi bagi orang yang menikahkan anak di
bawah umur tanpa dispensasi nikah Pengadilan Agama
setempat.
Dispensasi Nikah dalam Perspektif Fikih dan
Hukum Positif (Studi Putusan Pengadilan Agama
Purbalingga Tahun 2007-2008). Skripsi ini membahas
fenomena perkawinan di bawah umur di Pengadilan
Agama Purbalingga tahun 2007-2008 dan indikasi
kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga dengan
adanya batasan usia pada UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7
ayat 1.
Jadi perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu dalam
penelitian ini fokus pembahasannya adalah mengenai pandangan fiqih dan
hukum positif terhadap nikah anak di bawah umur, prosedur pengajuan
dispensasi nikah di Pengadilan Agama Serang dan Pertimbangan Hakim pada
penetapan dispensasi nikah perkara nomor: 124/Pdt.P/2010/PA.Srg di Pengadilan
Agama Serang.
8
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu
memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari satuan
gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia, dengan mengkaji data-data
dan literatur yang berkaitan dengan judul.
Strategi pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah strategi
deskriptif analisis, yakni bertujuan untuk menggambarkan keadaan sementara
dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data atau
dokumen maupun wawancara.
2. Sumber penelitian
Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan data
sekunder. Sumber data primer adalah penetapan perkara Nomor
124/Pdt.P/2010/PA Srg. Selain itu juga wawancara yang dilakukan terhadap
hakim di Pengadilan Agama Serang. Sumber data sekunder antara lain; bahan-
bahan hukum yang mengikat. Dalam hal ini adalah Kompilasi Hukum Islam
(KHI), kitab-kitab fiqih dan literatur-literatur yang terkait dengan materi.
3. Metode pengumpulan data
1) Metode library research
Yaitu penelitian kepustakaan dan literatur yang ada relevansinya
dengan judul, di mana penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji
9
dan mengulas penetapan perkara yang dikeluarkan Pengadilan Agama
Serang (Penetapan Perkara Nomor 124/Pdt.P/2010/PA. Srg)
2) Metode field research
Menggunakan penelitian dengan cara datang ke lokasi yang ada
hubungannya dengan tulisan ini untuk melakukan wawancara dengan
para pihak yang terkait dan mumpuni, dalam hal ini dilakukan di
Pengadilan Agama Serang.
4. Tekhnik pengumpulan data
1) Seleksi data
Setelah memperoleh data dan bahan-bahan baik melalui library
research maupun field research, lalu data diperiksa satu-persatu agar
tidak ada kekeliruan.
2) Klasifikasi data
Setelah data diperoleh lalu diklasifikasikan dalam bentuk dan jenis
tertentu, kemudian diambil satu kesimpulan.
5. Analisa data
Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan diinterpetasikan, atau mudah dipahami dan
diinformasikan kepada yang lain.11 Analisa data ini dilakukan dengan cara
11 Mari Singarimbuan dan Sofan Efendi, Metode Penelitian Survey. cet ke-1 (Jakarta: LP3ES,1995), h. 263, dan lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Bandung: Alfabeta)
10
membandingkan penetapan yang diperoleh dalam pemeriksaan perkara
pemberian dispensasi nikah di Pengadilan Agama Serang.
6. Teknik penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan berpedoman pada prinsip-
prinsip yang diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cet. 1, 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis mengurai beberapa
hal tentang sistematika sebagai berikut:
Bab pertama tentang pendahuluan, meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua tentang perkawinan menurut fiqih dan hukum positif, berisi
tentang pengertian dan dasar hukum perkawinan, syarat-syarat dan rukun
perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan.
Bab ketiga tentang dispensasi nikah di bawah umur, mencakup pengertian
perkawinan di bawah umur dan dispensasi nikah, batasan usia perkawinan,
sebab-sebab terjadinya perkawinan di bawah umur.
Bab keempat tentang analisis penetapan Pengadilan Agama Serang, potret
Pengadilan Agama Serang, prosedur permohonan dispensasi nikah di bawah
umur dan posisi kasus, pertimbangan hukum dan analisis penulis.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran serta lampiran.
11
BAB II
PERKAWINAN MENURUT FIQIH DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
1. Menurut fiqih
Perkawinan dalam istilah agama disebut nikah, yang dimaksud ialah:
Melakukan suatu akad atau suatu perjanjian untuk mengikat diri antaraseorang laki-laki dan seorang wanita untuk menghalalkan hubungankelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoankedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagian hidup keluargayang diliputi perasaan cinta kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah SWT.1
Perjanjian di sini bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian jual beli
atau sewa menyewa, tetapi perjanjian pernikahan merupakan perjanjian suci
untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci
disini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan.
Menurut kamus istilah fiqih sendiri (menurut syara’ ) hakikat nikah itu
ialah:
Suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki danperempuan yang bukan muhrim. Akad ini menimbulkan hak dankewajiban antara keduanya. Itu merupakan suatu ikatan lahir antaradua orang, laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalamrumah tangga dan memiliki keturunan yang dilangsungkan menurutketentuan-ketentuan Syari’at Islam.2
1 Soemayati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-UndangNo. 1 Tahun 1974 (Yogyakarta: Liberti, 1986), h. 8.
2 M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi’iah AM. Kamus Istilah Fiqih (PT. PustakaFirdaus: Jakarta, 1994), h. 249.
12
Al-Qur’an juga menggunakan kata zawwaja dari kata zawûj yang
berarti pasangan untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan
seseorang memiliki pasangan.3 Kata nikâh mengandung dua pengertian, yaitu
dalam arti sebenarnya (hakikat) dalam arti kiasan (majaz). Di dalam arti yang
sebeanarnya kata nikah itu berarti berkumpul “berkumpul”. Sedangkan dalam
arti kiasan berarti “’aqad” atau “mengadakan suatu perjanjian perkawinan”.4
Menurut aturan agama, akad nikah harus diucapkan dengan kata-kata
yang sarîh yang menunjukkan maksud nikah. Firman Allah. SWT:
... ... - )٣(
Artinya : “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku
adil, Maka (kawinilah) seorang saja... (Q.S. an-Nisa ayat: 3)
Ulama Hanafiyyah mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang
berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang lelaki dapat
menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan
kesenangan atau kepuasan. Semantara ulama Syâfi’iyyah menyebutkan bahwa
pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikâh atau zawûj,
yang menyimpan arti memiliki wat’i, artinya dengan pernikahan seseorang
3 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an. Cet ke - VI (Bandung: Mizan, 1997), h. 191.
4 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: PT. Prenada Media, 2003), h. 7.
13
dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya. Di lain pihak
ulama Malikiyyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang
yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan, dengan tidak
mewajibkan adanya harga. Ulama Hanâbillâh menyebutkan bahwa pernikahan
adalah akad dengan menggunakan lafal inkâhu atau tazwîju untuk
mendapatkan kepuasan, artinya seseorang laki-laki dapat memperoleh
kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.5
Dapat dikemukakan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang
dilakukan antara seorang laki-laki dan wanita atas dasar kerelaan dan
kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut
sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan
percampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan
menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.6
2. Menurut hukum positif
Perkawinan adalah perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum maka
perkawinan mempunyai akibat-akibat hukum. Sah tidaknya suatu perbuatan
hukum dalam hal ini perkawinan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang
ada dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.7
5 Slamet Aminuddin, Fiqh Munkahat I (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h . 10-11.
6 Ibid., h. 11-12.
7 Undang-Undang Perkawinan Anggota IKAPI 2005. Cet 1, h. 2.
14
Pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan pasal 1 ditegaskan mengenai pengertian perkawinan ialah:
“perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.8
Bagi bangsa Indonesia perkawinan dinilai bukan hanya untuk
memuaskan nafsu biologis semata, akan tetapi perkawinan merupakan suatu
hal yang sakral atau suci. Seperti yang sudah dijelaskan dalam pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
menerangkan pengertian dan dasar hukum perkawinan, maka undang-undang
perkawinan memandang bahwa suatu perkawinan bukan hanya perbuatan
hukum saja, akan tetapi sebagai perbuatan agama juga.
Hal ini lebih lanjut tersirat dalam penjelasan terhadap pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi sebagai
berikut:
Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila dimana sila yang pertamaialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyaihubungan yang erat sekali dengan Agama, sehingga perkawinan bukansaja mempunyai unsur batin/rohani juga mempunyai peranan pentinguntuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, mendapatketurunan yang juga tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikanmenjadi hak dan kewajiban orang tua.9
8 Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Perkawinan, Edisi Lengkap(Bandung: FOKUSMEDIA, 2005), h. 1-2.
9 Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Perkawinan, Edisi Lengkap,h. 24.
15
Oleh karena itu maka perkawinan adalah sebagai ikatan lahir dan batin
antara seorang isteri dan seorang suami, sehingga mengandung makna bahwa
perkawinan adalah persoalan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya,
yang akan melangsungkan perkawinan adalah persoalan kedua belah pihak
dan akan menjadi seorang suami isteri.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan pada pasal
2 “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaaqon ghaliidhan untuk menaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya merupakan ibadah”.10
Dari beberapa penjelasan mengenai perkawinan menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam diatas maka perkawinan itu adalah suatu ikatan/akad yang kuat
(mitsâqon ghalîzan) yang dilakukan antara pihak laki-laki sebagai suami dan
wanita sebagai isteri untuk membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia,
mendapatkan keturunan, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
sejalan dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia dan disertai sifat-
sifat keagamaan sehingga dapat terealisasinya keseimbangan dalam kehidupan
bernegara dan beragama.11
10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan danKompilasi Hukum Islam, (Bandung: CITRA UMBARA, 2007), h. 228.
11 Ibid., h. 228.
16
B. Syarat dan Rukun Perkawinan
1. Menurut Fiqih
Rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap
akad (transaksi) apapun, termasuk untuk tidak mengatakan terutama akad
nikah. Bedanya, rukun berada di dalam sesuatu akad (nikah) itu sendiri,
sedangkan syarat berada di luarnya. Dikatakan ruknu al-sya’i mâ-yatimmu
bihi, rukun sesuatu adalah sesuatu yang ada dengannya (sesuatu itu) akan
menjadi sempurna (eksis), yang mana rukun itu sendiri merupakan bagian
yang ada di dalamnya. Berbeda dengan syarat yang ada di luar sesuatu itu
sendiri.12 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, syarat dirumuskan dengan
“sesuatu yang bergantung padanya hukum syar’i dan dia berada di luar hukum
itu sendiri.13
Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing
itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka
uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari
rukun tersebut.14
Adapun rukun nikah dengan syaratnya masing-masing adalah sebagai
berikut:
12 ‘Alî bin Muhammad al-Jurjânî, Kitab al-Ta’rîfât. (Beirut-Lubnan: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1408 H/1998 M). H. 112
13 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 5. (Jakarta: Ichtar Baru – Van Hoeve,1997), h. 1691.
14 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h. 71
17
1) Calon suami, syarat-syaratnya; beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya,
baligh/ dapat memberikan persetujuan dan tidak terdapat halangan
perkawinan.
2) Calon isteri, syarat-syaratnya; beragama, meskipun Yahudi maupun
Nasrani, perempuan, jelas orangnya, baligh/dapat dimintai persetujuannya
dan tidak terdapat halangan perkawinan
3) Wali nikah, syarat-syaratnya; laki-laki, dewasa, mempunyai hak
perwalian dan tidak terdapat halangan perwaliannya.
4) Saksi nikah, syarat-syaratnya; minimal dua orang laki-laki, hadir dalam
ijab qabul, dapat mengerti maksud akad, Islam dan dewasa.
5) Ijab qabul, syarat-syaratnya; adanya pernyataan mengawinkan dari wali,
adanya penerimaan dari calon mempelai, memakai kata-kata nikâh, tazwîj
atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara ijab dan qabul
berkesinambungan, antara ijab dan qabul jelas maksudnya, orang yang
terkait dengan ijab qabul tidak sedang ihram atau haji dan majelis ijab dan
qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu, calon mempelai atau
wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
2. Menurut hukum positif
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum
maka perkawinan mempunyai akibat-akibat hukum. sah tidaknya suatu
perbuatan hukum dalam hal ini perkawinan ditentukan oleh ketentuan-
18
ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.15
Sahnya perkawinan ditentukan dalam bunyi pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu tentang sahnya
perkawinan: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu” dan juga ditentukan dalam
pasal 2 ayat 2 yaitu: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-
undangan yang berlaku”.16
Kemudian penjelasan dalam pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa: dengan
perumusan pasal 2 ayat (1) ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Adapun yang dimaksud dengan hukum masing-masing
Agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Adapun sahnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam disebut
dalam pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut: “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang syarat sahnya perkawinan.”
Syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, meliputi syarat-syarat materil dan syarat-syarat formil.
15 Undang-Undang Perkawinan Anggota IKAPI 2005. cet. 1, h. 1.
16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat (2).
19
Syarat-syarat materiil yaitu syarat-syarat yang berlaku mengenai diri
pribadi calon mempelai. Sedangkan syarat-syarat formil adalah syarat-syarat
yang menyangkut tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat
berlangsungnya perkawinan.17
a. Syarat-syarat materil yang berlaku umum
Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok ini diatur dalam
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, syarat-syarat
materil sebagai berikut:
1. Pasal 6 ayat (1) perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon
mempelai
2. Pasal 7 ayat (1), perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun.
3. Pasal 9, seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang ternuat dalam pasal 3 ayat (2)
dan pasal 4.
4. Pasal Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal
39 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu tentang
waktu tunggu seorang wanita yang putus perkawinannya.
17 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,(Mahkamah Agung RI, 2005), h. 26.
20
Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan
ketidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya
suatu perkawinan.
b. Syarat-syarat materil yang berlaku khusus
Dalam hukum Perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut
asas selektivitas. Maksud dari asas ini adalah seseorang yang hendak
menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah
dan dengan siapa ia dilarang menikah.18
1. Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
larangan perkawinan ini telah diatur dengan jelas seperti yang terdapat
dalam pasal 8 yang menyatakan:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang;
(1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun
ke atas.
(2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antar saudara.
(3) Berhubungan semenda
(4) Berhubungan susuan
(5) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
dilarang kawin.
18 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1996). h. 34.
21
Selanjutnya di dalam pasal 9 Undang-Undang perkawinan
dinyatakan “seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3
ayat (2) dan pasal 4 Undang-Undang ini”.19
Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang hanya memuat
secara singkat larangan kawin, Kompilasi Hukum Islam
menjelaskannya lebih rinci dan tegas. Bahkan KHI dalam hal ini
mengikuti sistematika Fiqih yang telah baku. Masalah larangan kawin
ini dimuat pada bab VI pasal 39 sampai pasal 44.
Di dalam pasal 39 dinyatakan:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan
wanita disebabkan;
(1) Karena pertalian nasab:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
(2) Karena pertalian kerabat semenda:
a. Dengan saudara yang melahirkan isterinya atau bekas isteinya.
b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang
menurunkannya.
19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 9.
22
c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya,
kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya
itu qabla al-dukhul.
d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sepersusuan:
a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut
garis lurus ke atas.
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis
lurus ke bawah.
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan
sesusuan ke bawah.
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek sesusuan ke
atas.
e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.20
Sedangkan larangan yang bersifat mua’aqqat seperti yang
termuat pada pasal 40 KHI dinyatakan dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan
tertentu.
(1) Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain.
20 Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
23
(2) Seorang wanita yang masih berada pada masa ‘iddah dengan pria
lain.
(3) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.21
Pasal 41 menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab
dengan perempuan yang sudah dikawini, atau karena sepersusuan.
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita
yang mempunyai hubungan pertalain nasab atau sepersusuan
dengan isterinya;
a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.22
(2) Larangan pada ayat 1 itu tetap berlaku meskipun isterinya telah
ditalak raj’i tetapi dalam masa ‘iddah.
Selanjutnya dalam pasal 54 KHI juga dijelaskan bahwa:
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram tidak boleh
melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak
sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram atau wali
nikahnya masih berada dalam masa ihram, perkawinannya tidak
sah.23
21 Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 TentangPerkawinan & Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Citra Umbara, 2007) h. 241.
22 Ibid., h. 241
24
Larangan kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang sudah
beristeri empat orang dan masih terikat dalam perkawinan atau ditalâk
raj’i masih dalam masa ‘iddah.
Di dalam pasal 42 dinyatakan:
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan denganseorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 isteriyang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan ataumasih dalam masa iddah dan talak raj’i ataupun salah seorangdiantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yanglainnya masih dalam ‘iddah talak raj’i.24
Selanjutnya larangan kawin juga berlaku antara seorang laki-
laki dengan bekas isterinya yang telah ditalâk ba’în (tiga) sampai
bekas isterinya tersebut menikah dengan pria lain dan selanjutnya telah
melangsungkan perceraian. Demikian juga larangan perkawinan isteri
yang telah dili’an yaitu tuduhan seorang suami terhadap isterinya yang
telah melakukan zinâ. Berkenaan dengan maslah li’ân ini telah
dijelaskan Allah SWT. dalam al-Qur’an surat an-Nur:
23 Ibid., h. 246
24 Ibid., h. 241.
25
)٦-٩: النور(
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina),Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain dirimereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kalibersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalahTermasuk orang-orang yang benar. dan (sumpah) yangkelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasukorang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan darihukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama AllahSesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknatAllah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yangbenar.(Q.S. an-Nur: ayat 6-9).
Larangan terhadap isteri yang telah ditalak tiga dan dilia’an
diatur dalam pasal 43 KHI yang berbunyi:
(1) Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria:
a. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali
b. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili’an.
(2) Larangan tersebut pada ayat 1 huruf a gugur kalau bekas isteri tadi
telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus
ba’da al-dukhul dan telah habis masa ‘iddahnya.25
Selanjutnya dalam pasal 44 KHI dinyatakan bahwa; “seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam.”26
25Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 TentangPerkawinan & Kompilasi Hukum Islam, h. 242.
26
2. Izin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21
tahun, dalam hal ini diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6)
ditentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:27
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang
tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah dalam keadaan
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini
cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang
tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalm
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalm garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang
atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
26 Ibid., h. 242.
27 Ibid., h. 242.
27
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.28
Selanjutnya pada pasal 7, terdapat persyaratan-persyaratan
yang lebih rinci. Berkenaan dengan calon mempelai pria dan wanita,
undang-undang mensyaratkan batas minimum umur calon suami
sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16
tahun.29
Selanjutnya dalam hal adanya penyimpangan terhadap pasal 7,
dapat dilakukan dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
pihak wanita.
c. Syarat-syarat formil
Syarat-syarat formil ini meliputi:
28 Ibid., h. 4.
29 Ibid., h. 4.
28
1. Pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Melalui pencatatan
perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing
suami isteri mendapat salinannya, apabila terjadi percekcokan atau
perselisihan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab,
maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan
atau memperoleh hak-hak masing-masing.30
Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama karena
perkawinan selain merupakan akad suci, ia juga mengandung
hubungan keperdataan. Ini dapat dilihat dalam penjelasan umum
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan nomor 2.31
Akan halnya tentang pencatatan perkawinan, dijelaskan pasal
5 Kompilasi Hukum Islam:
(1) Agar terjamin perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo.
30 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h.108.
31 Ibid,.h. 108.
29
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan
berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 Tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah Jawa dan
Madura.
Teknis pelaksaannya, dijelaskan dalam pasal 6 yang menyatakan:
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan
harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan
pegawai pencatat nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat
nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.32
Lembaga pencatatan perkawinan merupakan syarat
administratif, selain substansinya bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban hukum, ia mempunyai manfaat yang sangat besar bagi
kepentingan dan kelangsungan perkawinan.
Pencatatan memiliki manfaat preventif, yaitu untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan
rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan
kepercayaannya itu, maupun menurut perundang-undangan. Dalam
bentuk konkretnya penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui
prosedur yang diatur dalam pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 tentang
32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan danKompilasi Hukum Islam, h. 229.
30
pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:33
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di
tempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-
kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama
Bupati Kepala Daerah.34
Tindakan yang harus diambil oleh pegawai pencatat setelah
menerima pemberitahuan diatur dalam pasal 6 sebagai berikut:
(1) Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan
perkawinan menurut undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) pegawai pencatat meneliti pula:
a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.
33 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. h. 108.
34 Ibid,. h. 42.
31
Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat
dipergunakan dapat digunakan surat keterangan yang
menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan
oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.
b) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan
dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.35
2. Akta nikah
Akta nikah selain merupakan bukti otentik suatu perkawinan ia
memiliki manfaat sebagai “jaminan hukum” apabila salah seorang
suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang.36
Akta nikah juga berguna untuk membuktikan keabsahan anak
dari perkawinan itu. Upaya hukum ke Pengadilan tentu tidak dapat
dilakukan apabila perkawinan tersebut tidak dibuktikan dengan akta
tersebut. Oleh karena itu, pasal 7 Kompilasi Hukum Islam
menegaskan pada ayat (1) “perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.37
Adapun manfaat Akta Nikah yang bersifat represif dapat
dijelaskan sebagai berikut. Bagi suami isteri yang karena sesuatu
pernikahannya tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah maka,
35 Ibid,. h. 43.
36 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. h. 116.
37 Ibid,. h. 117.
32
kompilasi membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan
permohonan isbât nikâh (penetapan) ke Pengadilan Agama.
Pencatatan adalah suatu upaya pemerintah untuk mengayomi
masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan.38 Pasal 7 ayat
(2) dan (3) menyebutkan:
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat diajukan Isbat nikah ke Pengadilan Agama.
(3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya akta nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat
perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.39
38 Ibid., h. 117.
39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan danKompilasi Hukum Islam. h. 229.
33
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
1. Menurut Fiqih
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan
keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah sebagai salah satu yang
harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syariat yakni kemashlahatan
dalam kehidupan.40
Bila kita urutkan ada tiga sumber alasan pokok pernikahan itu harus
dilakukan. Pertama, menurut al-Qur’an; Kedua, menurut al-Hadits, Ketiga,
menurut akal.41
a. Menurut al-Qur’an
Ada dua ayat yang menonjol tentang pernikahan ini, pertama,
dalam surat al-A’raf: 189 menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah
untuk bersenang-senang.42 Dari ayat ini tampaknya kita tidak dilarang
bersenang-senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal yang penting
karenannya, karena memang diakui bahwa rasa senang itu sebagai unsur
untuk mendukung sehat rohani dan jasmani.43 Kedua, dalam surat
40 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo (Topik-Topik Pemikiran Aktual,Diskusi, Pengajian, Ceramah, Khutbah dan Kuliah Subuh) (Qalbun Salim, 2006), h. 86.
41 Ibid., h. 87.
42 al-Qur’an surat al-A’raf ayat 189, berbunyi:
... ...) ١٨٩:األعراف(Artinya: “Supaya dia bersenang-senang dengannya”
43 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo. h. 87.
34
al-Rûm: 2144 terkandung ada tiga makna yang dituju suatu perkawinan.
1) Litaskunû ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunû dan
yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semuanaya berarti
diam. Itulah sebab pisau dinanamakan sikîn, karena bila diarahkan ke
leher hewan ketika menyembelih hewan tersebut akan diam;
2) Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda
yang berarti meluap secara tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena
itulah pasangan muda-muda di mana rasa cintanya sangat tinggi,
termuat kandungan cemburu, sedang rahmah/sayangnya masih rendah,
banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang
memang terkadang sulit dikontrol karena intensitasnya tinggi dan
sering meluap-luap.
3) Rahmah yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya
demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/
mawaddah. Dalam perjalananan hidupnya, semakin bertambahnya usia
pasangan maka rahmahnya semakin naik, sedang mawadahnya
semakin turun.
44 al-Qur’an surat al-Rum ayat 21, berbunyi:
) ٢١: وم الر(
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri darijenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nyadiantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapattanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
35
b. Menurut al-Hadits
Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut al-Hadits. Pertama,
untuk menundukkan pandangan dan menjaga farâj (kemaluan). Itulah
makanya Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila
kemampuan materiil belum memungkinkan.45 Kedua, sebagai kebanggan
Nabi di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat islam
melalui perkawinan yang jelas. secara tekstual Nabi menyatakan jumlah
(kuantitas) yang banyak itu yang Nabi harapkan, karena dalam jumlah yang
banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian walaupun
jumlahnya besar jika kualitasnya rendah tetap saja Nabi mencelanya46.
Disitulah kandungan makna bahwa kualitas sangat diperlukan.47
c. Menurut akal
Menurut akal yang sederhana, ada tiga yang dituju perkawinan;
Pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang
garis tengahnya atau diameternaya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian
luas tentunya harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah
45 Haditsnya berbunyi:ج للفر ن ص أح ر و للبص فإنھ أغض ج و ة فلیتز نكم الباء تطاع م اس ن الشباب م ر ش ع ی یا م لم ن م ع و تط س
اء فإنھ لھ وج م و لیح بص )متفق علیھ( .فعArtinya: “wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaklah kawin, sebab kawin ituakan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, makahendaklah berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (H.R. Mutafaq ‘Alaih)
46 Hadits: akan datang suatu zaman di mana umat islam seperti buih di pantai (banyak tidakmempunyai kekuatan).
47 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo, h. 89.
36
nyatakan untuk kita (manusia).48 Bila orangnya sedikit maka banyak yang
tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan
perkawinan/pernikahan.49
Kedua, bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban,
keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak
tertib tentunya akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak
siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan
tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besarnya bencana.50
Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu
memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya
sekeping papan atau sehelai kain. Ketika orang itu wafat tentu harus ada
ahli waris yang menerima atau menampung peninggalan tersebut. Untuk
tetribnya para ahli waris harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni
dengan pernikahan.51
2. Menurut hukum positif
Di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat (2), perkawinan didefinisikan “ikatan
48 al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 29 berbunyi:
....) ٢٩: البقرة(
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...”
49 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo h. 90.
50 Ibid., h. 91.
51 Ibid., h. 91.
37
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.52
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena
Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini jelas bahwa perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tapi juga memiliki
unsur batin/rohani.
Menurut Kompilasi Hukum Islam tujuan dari perkawinan tercantum
dalam pasal 3 KHI yang berbunyi: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakînah, mawaddah dan rahmah (tentram, cinta
dan kasih sayang)”.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.
Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami-
isteri saling bantu-membantu serta saling lengkap-melengkapi. Kedua,
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk
pengembangan kepribadian itu suami-isteri harus saling membantu. Ketiga,
tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh bangsa Indonesia adalah keluarga yang
bahagia yang sejahtera spiritual dan material.
52 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 ayat (2).
38
BAB III
DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR
A. Pengertian Nikah di Bawah Umur dan Dispensasi Nikah
1. Pengertian Nikah di bawah umur
Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang dapat
dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat. Ta’rîf (pengertian)
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsâqan ghalîzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan mewujudkan rumah
tangga yang sakînah, mawaddah dan rahmah.1 Banyak sekali dalil baik dari
al-Qur’an maupun al-Hadits yang menganjurkan agar manusia untuk menikah.
Sabda Nabi Muhammad SAW:
ن ص أح ر و للبص فإنھ أغض ج و ة فلیتز م الباء نك تطاع م ن اس الشباب م ر ش ع یا م
یس لم ن م ج و اء للفر فإنھ لھ وج م و لیح بص ع فع 2)متفق علیھ( .تط
Artinya: “wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaklahkawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan danakan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, maka hendaklahberpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (Mutafaq‘Alaih)
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi para
“pemuda” (al-Syabâb), bukan orang dewasa (al-Rijâl) atau orang tua (al-
1Perkawinan di bawah umur, diakses pada 24 mei 2011 dari: http:www.lawskripsi.com/index.php?option=com.
2Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Mukhtârul Ahâdits, h. 517.
39
syuyukh). Hanya saja seruan tersebut tidak disertai indikasi (qarînah) ke arah
hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalâb
ghairu jâzim), alias sunnah (mandûb).3
Menurut kitab-kitab fiqih klasik atau yang sering disebut “kitab
kuning” menyebut perkawinan muda/pernikahan dini dengan istilah nikah al-
Shaghîr/al-Shaghîrah. Sementara kitab-kitab fiqih kontemporer menyebutnya
dengan istilah al-zawâj al-mubakkir (perkawinan dini).4
Shaghîr/Shaghîrah, secara literatur berarti kecil, akan tetapi yang
dimaksud disini adalah laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Pada
anak laki-laki ketentuan baligh tersebut ditandai dengan ihtilâm, yaitu
keluarnya sperma (air mani), baik dalam mimpi maupun keadaan sadar.
Sementara pada anak perempuan, ketentuan baligh ini ditandai dengan
menstruasi atau haid. Ketentuan baligh bagi perempuan juga bisa dikenakan
sebab mengandung (hamil).
Dalam literatur fiqih Islam, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit
mengenai batasan usia pernikahan. Dengan demikian, perkawinan yang
dilakukan orang yang sudah tua dipandang sah sepanjang memenuhi syarat
dan rukunnya, sebagaimana sah bagi anak-anak yang masih kecil.5
3 H S A al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 5.
4 Hussein Muhammad, Fiqh Perempuan, cet II (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 89
5Asrorun Ni’am Sholeh, Pernikahan Usia Dini Perspektif Fiqih Munakahat. DalamKumpulan Makalah Materi Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III (Jakarta: Tim Materi IjtimaUlama Komisi Fatwa Se-Indonnesia, 2009), h. 101.
40
Batasan mengenai kecil di sini, merujuk pada beberapa ketentuan fiqih
bersifat kualitatif, yakni anak yang belum baligh dan secara psikis belum siap
menjalankan tanggung jawab kerumahtanggaan. Sementara dalam perspektif
hukum positif yakni anak yang masih di bawah umur 19 tahun bagi laki-laki
dan 16 tahun bagi perempuan (merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974).6
Mengenai praktek pernikahan dini sendiri telah lama dilakukan baik
oleh para sahabat-sahabat Rasulullah maupun Rasulullah sendiri. Pernikahan
usia dini dilakukan Rasulullah SAW. Ketika menikahi ‘Â’isyah ketika
berumur 6 tahun yang kemudian beliau kumpuli setelah berumur 9 tahun, hal
ini terdapat pada hadits riwayat al-Bukhârî:
أبیھ قال ن ع ام ھش ن ة ع ا م ثنا أبو اس د یل ح اع م إس بید ابن ثني ع د فیت : ح تو
ی د خ فلبث نین ینة بثالث س د لم إلى الم س لیھ و لى هللا ع ص ج النبي ر خ م ة قبل ج
ھي بنت بنى بھا و ثم نین س ت س ة بنت ائش ح ع نك و لك ذ ن قریبا م أو نتین س
ع نی تس 7)روه البخارى(ن س
Artinya: “disampaikan kepada kami al-Bukhârî oleh ‘Ubaid ibn Ismâ’il, yangmendengar dari Abu Usamah, dari Hisyâm, dari ayahnya (yangbernama Urwah) yang berkata: “Khadîjah meninggal dunia tigatahun sebelum Nabi SAW. Hijrah ke madînah, dan Nabi mendudaselama dua tahun atau mendekati dua tahun sebelum hijrah, setelahitu ‘Â’isyah menikah (dengan Nabi) pada umur enam tahun dantinggal serumah (dengan Nabi SAW.) tatkala ia berumur sembilantahun.”
6 Ibid., h. 102.
7 Shahîh Bukhârî, Jilid IV, Kitâb Manâkib Ansâr, Bab Perkawinan ‘Â’isyah. No. 3896, h. 252
41
Contoh lain pernikahan pada usia anak-anak adalah ‘Âlî bin Abî Tâlib
mengawinkan anak perempuannya yang bernama Ummi Kulsum dengan
‘Umâr ibn Khattâb, saat itu Ummi Kulsum masih muda. Kakek Rasulullah
SAW. (‘Abdul Mutâlib) yang menikah dengan Hâlah binti Ummu Amînah
pada hari di mana ‘Abdullâh, anak beliau yang masih terkecil menikah dengan
seorang gadis seusia Hâlah, yaitu Amînah binti Wahâb. ‘Umâr bin Khattâb
menikah dengan anak perempuan ‘Âlî bin abî Tâlib, sedang ia sebaya dengan
usia kakeknya. ‘Umâr bin Khattâb menawarkan anak perempuannya Hafsâh
kepada Abû Bakar Siddiq, yang mana jarak keduanya tak jauh beda dengan
usia Rasulullah SAW. dengan usia ‘Â’isyah.8
Dalam kitab al-‘Umm Imâm al-Syâfî’î berpendapat bahwa tidak boleh
dikawinkan anak yang perempuan yang masih kecil yang belum dewasa oleh
seseorang selain oleh bapak atau kakek. Kalau dikawinkan juga maka
perkawinan itu dibatalkan.9
2. Pengertian Dispensasi Nikah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dispensasi berarti pengecualian
dari peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pembebasan dari suatu
kewajiban atau larangan. Dalam hal dispensasi biasanya dibenarkan apa-apa
yang biasanya dilarang oleh pembuat Undang-Undang. Sedangkan menurut
8 Ummu Aisyah. ‘Â’Isyah Saja Nikah Dini (Solo, CV. Pustaka Arafah, 2008), h. 81.
9 Imâm al-Syâfî’i, al-‘Umm, jilid VII. Penerjemah. H. Ismail Yaqub (Semarang: 1986), h.170.
42
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, dispensasi adalah penetapan yang
sifatnya diklaratoir, yang menyatakan bahwa suatu ketentuan Undang-
Undang memang tidak berlaku bagi kasus yang diajukan oleh seorang
pemohon.10 Dikatakan juga oleh Subekti dan Tjitrosubodo, dispensasi artinya
penyimpangan atau pengecualian dari suatu perintah.11
Dalam pernikahan dianut adanya sikap dewasa dari masing-masing
pasangan suami isteri, oleh karena itu salah satu persyaratan pernikahan
adalah memenuhi ketentuan batas usia seperti yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam:
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16(enam belas) tahun”.12
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanyaboleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yangditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 TentangPerkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calonisteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.13
Namun dalam hal mendesak dan amat penting adakalanya dirasa perlu
untuk mempersamakan seorang anak yang masih di bawah umur dengan
seorang yang sudah dewasa, agar anak tersebut dapat bertindak sendiri dalam
10C.S.T Kansil dan Christine S.T kansil, Kamus Istilah Aneka Ilmu. Cet ke-2 (Jakarta: PT.Surya Multi Grafika, 2001), h. 52.
11Subekti, dkk, Kamus Hukum. cet ke-4 (Jakarta: Pramita, 1979), h. 40.
12Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat (1).
13KHI (Kompilasi Hukum Islam). Pasal 15 Ayat (1).
43
hal-hal tertentu. Oleh karena itu dalam masalah pernikahan diadakan
peraturan tentang proses persamaan status bagi anak yang masih di bawah
umur dengan orang yang sudah dewasa yaitu melalui proses “Dispensasi
Nikah”.
Dispensasi nikah itu sendiri mempunyai kekuatan hukum sesuai
dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat (2);
“Dalam Hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi nikah ke Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun wanita.”
Yang dimaksud dengan Pengadilan di sini adalah Pengadilan Agama
bagi mereka yang beragama Islam tentunya sesuai dengan kewenangan dan
kompetensi Peradilan Agama.
B. Batas Usia Perkawinan
Islam mengenai masalah perkawinan di bawah umur dalam nash al-
Qur’an dan as-Sunnah tidak memberikan batasan yang sangat tegas terkait umur
minimal seseorang untuk bisa melangsungkan pernikahan. Ulama Fiqih klasik
juga tidak memberikan batasan yang begitu tegas tentang batas umur (baligh)
tersebut. Secara global Ulama Fiqih hanya mensyaratkan adanya faktor
kedewasaan antara kedua belah pihak tanpa adanya rincian yang sangat jelas dan
tegas tentang manifestasi kedewasaan tersebut dalam bentuk batas umur.14
14 Muhammad Jawâd Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera, 2001), h. 317-318.
44
Akan tetapi menurut mayoritas ahli fiqih sepakat jika batasan baligh itu
ditentukan dengan hitungan tahun maka batasan usia minimal dalam pernikahan
adalah 15 tahun, sedangkan Imâm Abû Hanîfah berpendapat batas usia tersebut
adalah 17/18 tahun.15
Ibnu Syubrûmâh, Abû Bakar al-Ashâm, dan Utsmân al-Batti memiliki
pandangan lain yang berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas. Mereka
berpandangan bahwa laki-laki ataupun perempuan tidak bisa dinikahkan sebelum
mereka mencapai usia baligh dan melalui persetujuan dari yang berkepentingan
secara eksplisit dalam hal ini adalah anak yang dinikahkan tersebut.16 Dasar
hukum yang mereka gunakan adalah al-Qur’an surat an-Nisa ayat 6 yang
berbunyi:
...) ٦: ء النسا(
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-
hartanya.(Q.S. an-Nisa: 6).
Menurut mereka jika anak-anak belum cukup umur boleh dinikahan
sebelum berusia baligh maka apa jadinya arti ayat ini. Selain itu mereka juga
15 Hussein Muhammad, Fiqih Perempuan. h. 90
16 Ibid., h. 94.
45
belum membutuhkan untuk kawin. Ibnu Syûbrûmah, mengatakan lebih lanjut:
“ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil kecuali
apabila telah baligh dan mengizinkannya”.17
Selanjutnya mengenai pernikahan Rasulullah SAW. dengan ‘A’isyah,
Ibnu Syûbramâh berpendapat bahwa itu merupakan hal yang tidak bisa dijadikan
hujjâh (alasan), karena pernikahan tersebut merupakan pengecualian atau suatu
kekhususan bagi Nabi sendiri yang tidak diberlakukan bagi umatnya.
Mengenai pernikahan di bawah umur, Imâm al-Ghazâlî menekankan
agar seorang isteri harus terlepas dari hambatan yang menyebabkan tidak halal
untuk dikawini oleh seorang calon suami, yaitu dalam kalimat:
غ أ د البلو ھا إال بع اح نك ح ة فال تص یر غ ثیبا ص ن تكو 18ن
Artinya: “seseorang janda yang belum cukup umur (belum dewasa/baligh) dalam
kedewasaannya ini tidak sah nikahnya kecuali setelah baligh.
Dalam kalimat ini menjelaskan bahwa al-Ghazâlî sangat menekankan
pernikahan dilaksanakan ketika seorang calon suami atau isteri ini harus baligh.
al-Ghazâlî tidak menentukan batas usia secara jelas akan tetapi hanya
memberikan batasan baligh dengan diitandainya tumbuhnya bulu ketiak yang
merupakan bukti balighnya seseorang.19
17 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan. h. 95.
18 Abû Hamîd Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Juz II, h. 40
19 Muhammad Jawâd Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab. h. 317.
46
Akan tetapi Imam asy-Syâfi’î yang merupakan pelopor madzhâb yang
diikuti al-Ghazâlî, dalam hal ini (batas usia dewasa) membatasi usia baligh untuk
laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun.20
Sedangkan dalam hukum positif Indonesia mengemukakan bahwa batasan
usia pernikahan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang
menjelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.21 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan mengenai batasan usia dalam pernikahan adalah sesuai dengan UU
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.22
Ketentuan batas umur ini seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga
dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan
Undang-Undang Perkawinan, bahwa calon suami dan calon isteri harus telah
masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik
tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih
di bawah umur.23
20 Ibid,. h. 317.
21Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan danKompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 5.
22Ibid., h. 233.
23Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 76.
47
Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyata batas umur yang rendah bagi wanita untuk kawin,
mengakibatkan laju kelahiran yang tinggi. sehubungan dengan itu maka Undang-
Undang ini menentukan batas umur untuk kawin bagi pria dan wanita.24
Masalah penentuan umur dalam UU Perkawinan maupun dalam
kompilasi, memang bersifat ijtihâdiyyah, sebagai usaha pembaharuan fiqih yang
lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syar’i-nya mempunyai landasan
yang kuat. Misalnya isyarat Allah SWT. Dalam surat an-Nisa ayat 9:
) ٩: ء النسا(
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainyameninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang merekakhawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklahmereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkanPerkataan yang benar.” (Q.S. an- Nisa: 9).
Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung
menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan pasangan yang berusia muda di
bawah ketentuan yang diatur UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan akan
menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya.
Secara metodologis, langkah usia perkawinan didasarkan maslahat
murslah. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihâdî, yang kebenarannya
relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya apabila karena sesuatu dan
24 Ibid., h. 77.
48
lain hal perkawinan dari mereka yang usianya di bawah 21 tahun atau sekurang-
kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita, Undang-Undang tetap
memberi jalan keluar. Pasal 7 ayat (2) menegaskan: “Dalam hal penyimpangan
terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi nikah kepada Pengadilan
atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak
wanita”.
Dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan tidak konsisten. Di satu sisi,
pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan, seseorang
yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua
orang tua, di sisi lain pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Bedanya, jika kurang dari 21 tahun,
yang diperlukan izin orang tua dan jika kurang dari 19 tahun, perlu izin
Pengadilan. Ini dikuatkan pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam “Bagi calon
mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin
sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.25
C. Sebab-Sebab Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur
Menikah sebelum cukup usia ternyata masih banyak terjadi di kota
maupun di daerah-daerah di Indonesia. Budaya perjodohan bahkan sejak anak
25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan danKompilasi Hukum Islam. h. 233.
49
perempuan belum lulus SD atau SMP, masih dilakukan banyak orangtua,
terutama yang tinggal di Pedesaan. Pernikahan dini yang dilakukan anak-anak
usia sekolah masih terbilang tinggi. Pada 2006 – 2010, jumlah anak menikah usia
dini (menikah di bawah usia 17 tahun) masih meningkat walaupun persentasenya
naik turun. Ada beberapa penyebab terjadinya pernikahan anak usia dini. DR
Sukron Kamil, salah seorang peneliti dari UIN menyatakan, 62 persen wanita
menikah karena hamil, 21 persen pernikahan karena ingin memperbaiki ekonomi
dan keluar dari kemiskinan dan sisanya karena dipaksa orangtua dan karena
status sosial.26
Perkawinan usia muda tidak hanya terjadi di desa-desa, tetapi juga di
kota-kota dengan sebab yang sama. Terlebih lagi di kota besar sekarang ini
sering terjadi perkawinan di bawah umur karena kecelakaan (zinâ) atau si gadis
dilarikan oleh pacarnya. Jadi perkawinan hanya sebagai usaha untuk menutup
tantangan dan aneka macam kemesuman karena kebebasan pergaulan.27
Banyak faktor yang melatarbelakangi perkawinan di usia muda.
Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dan Suryono disebabkan
oleh:
1. Masalah ekonomi keluarga
26 Syukron Kamil, “Penyebab Pernikahan di Bawah Umur”. Diakses pada 24 mei 2011diakses dari http://www.kainsutera-penyebab-pernikahan-di-bawah-umur.html
27 Aisyah Dahlan, Persiapan Menuju Perkawinan Yang Lestari (Jakarta: PT. Pustaka Antara,1996), h. 39
50
2. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila
mau mengawinkan anak gadisnya.
3. Bahwa dengan adanya perkawinan anak- anak tersebut, maka dalam keluarga
gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab
(makanan, pakaian, pendidikan dan sebagainya).28
Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat
kita, yaitu:29
1. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di
bawah garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak
wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mau.
2. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak
dan masyarakat, menyebabkan adanya kecendrungan mengawinkan anaknya
yang masih di bawah umur.
3. Faktor orang tua
Orang tua khawatir terkena aib karena anak perempuannya berpacaran
dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
28 Sebab-sebab pernikahan dini. Diakses pada 24 Mei 2011 dari: http: //alfiyah2 3.student.umm.ac.id/
29 Ibid.
51
4. Media massa
Gencarnya ekspos seks di media massa menyebabkan remaja modern
kian permisif terhadap seks.
5. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya
dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
52
BAB IV
ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SERANG
A. Potret Pengadilan Agama Serang
1. Kondisi geografi
Posisi : 50050"; - 60021" LS; dan 10050 7" - 10060 22" BT
Wilayah : 172,403.75 Ha, dengan 32 Daerah dan 351 Desa
Batas Wilayah : Utara : Laut Jawa
Timur : Kabupaten Tangerang
Barat : Kota Cilegon dan Kabupaten Pandeglang
Selatan : Kota Lebak
Temperatur Iklim : 22.10C - 32.70 C1
2. Sekilas tentang Pengadilan Agama Serang
Pengadilan Agama Serang merupakan Pengadilan Agama provinsi karena
terletak di Ibukota Provinsi Banten. Secara historis Pengadilan Agama Serang
merupakan Pengadilan Agama yang sangat erat kaitannya dengan sejarah
Banten di masa lalu.2
Eksistensi Pengadilan Agama Serang secara lembaga formal diketahui
ada sejak sebelum tahun 1933, bahkan jauh sebelum tahun 1933 yaitu pada
1Kondisi Geografis Pengadilan Agama Serang. Diakses pada 24 Mei 2011 dari http:/pa-serang.net-profil
2Ibid.
53
tanggal 1 agustus 1982 pernah ditetapkan sebagai Peradilan Agama di
Indonesia (Jawa dan Madura) khususnya Pengadilan Agama Serang.
Perkara-perkara yang diajukan pada Pengadilan Agama Serang dari ke
tahun ke tahun berjalan secara konstan. Mengenai kelas Pengadilan,
berdasarkan Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor : 039/SEK/SK/IX/2008. Pengadilan Agama Serang yang berada di
wilayah Ibukota provinsi, mendapatkan kenaikan status kelas yang
tadinya masih berstatus kelas II kini Pengadilan Agama Serang berstatus
kelas I B.
3. Ketenagaan (kekuatan SDM) Pengadilan Agama Serang
Sumber daya manusia (pegawai, termasuk hakim) yang ada pada
Pengadilan Agama Serang tahun 2009 terdiri dari; satu (1) orang Ketua, satu
(1) orang Wakil Ketua, sebelas (11) orang hakim, satu (1) orang Panitera /
Sekretaris / Jurusita, satu (1) orang Wakil Sekretaris, tiga (3) orang pejabat
kesekretariatan (Plt. Kaur Umum, Kaur Kepegawaian, dan Plt. Kaur
Keuangan), empat (4) orang pejabat kepaniteraan (Wakil Panitera, Panmud
Permohonan, Panmud Permohonan, Panmud Hukum), tujuh (7) orang juru
sita pengganti yang merangkap tenaga administrasi, serta satu (1) orang
panitera pengganti. Sedangkan untuk tenaga honorer yang dibiayai DIPA,
Pengadilan Agama Serang memiliki 5 orang.3
3Ibid.
54
B. Prosedur Permohonan Dispensasi Nikah dan Posisi Kasus
1. Prosedur permohonan dispensasi nikah
Salah satu bidang perkawinan yang menjadi kewenangan dan
kekuasaan Pengadilan Agama adalah pemberian dispensasi nikah bagi anak
yang masih di bawah umur sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (2).
Bentuk perkara di Pengadilan Agama ada 2 (dua) macam, yaitu;
perkara gugatan (kontentius) dan perkara permohonan (voluntair). Prosedur
pengajuan perkara permohonan sama dengan prosedur mengajukan gugatan.
Adapun mekanisme pengajuan perkara permohonan di Pengadilan Agama
Serang adalah sebagai berikut:
1) Meja 1, menerima surat permohonan yang berisi, Identitas para pihak,
fundamentum petendi/posita, petitum, menaksir panjar biaya perkara dan
menuliskannya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).4 Bagi yang
tidak mampu dapat diijinkan secara prodeo (cuma-cuma).
2) Kasir, pemohon menyerahkan surat permohonan dan SKUM. Kasir
kemudian; menerima uang tersebut dan mencatat jurnal perkara,
menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas pada
SKUM, mengembalikan surat permohonan dan SKUM kepada
pemohon.
4 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta:Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 8.
55
3) Meja 2, mendaftar permohonan dalam register, memberi nomor perkara
dengan nomor SKUM, menyerahkan kembali kepada penggugat atau
pemohon satu lembar surat gugatan atau permohonan yang telah terdaftar,
mengatur berkas perkara dan menyerahkannya pada wakil panitera untuk
disampaikan ke Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.5
4) Ketua Pengadilan Agama, mempelajari berkas dan Membentuk PMH
(Penetapan Majelis Hakim).
5) Panitera, menunjuk panitera sidang dan menyerahkan berkas
permohonan/gugatan ke majelis.
6) PMH (Penetapan Majelis Hakim), membuat PHS (Penetapan Hari
Sidang), memanggil para pihak melalui juru sita dan menyidangkan
perkara.
7) Meja 3, menerima berkas dari majelis hakim, memberitahukan isi putusan
kepada pihak-pihak lewat jurusita, memberitahukan ke meja II dan kasir
yang bertalian dengan tugas mereka, menetapkan kekuatan hakim,
menyerahkan salinan putusan kepada pemohon dan instansi terkait,
menyerahkan berkas kepada panitera muda.
8) Panitera muda, mendata perkara, melaporkan dan mengarsipkan.
2. Posisi kasus
Berdasarkan surat yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama
Serang dengan nomor perkara 124/Pdt.P/2010/PA.Srg tertanggal 2 Juli 2010,
5 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Di Pengadilan Agama h. 28.
56
Bahwa Aan Siti Nurjahan binti H. M. Saleh Djian, umur 42 tahun, pekerjaan
urusan rumah tangga, alamat di Jl. Tb. Suwandi, Gang Perintis No. 72, RT. 02
RW. 016, kelurahan Serang, Kecamatan Serang, Kota Serang, bertindak
selaku ibu kandung mewakili anak kandungnya atas nama Salman Ahmad bin
Aang Edwin, SE., umur 17 tahun (lahir 03 Juli 1993), agama Islam, pekerjaan
pelajar, selanjutnya disebut pemohon, mengajukan permohonan dispensasi
kawin untuk anak kandungnya dengan dalil sebagai berikut;
1. Bahwa, anak kandung pemohon yang bernama SALMAN AHMAD bin
AANG EDWIN, SE masih dibawah umur untuk melakukan perkawinan,
yaitu masih berusia 17 tahun (lahir 03 Juli 1993), oleh karena itu pemohon
(AAN SITI NURJAHAN, BE binti H. M. SALEH DJIAN) selaku orang
tua kandung yang mengajukan perkara ini.
2. Bahwa, pemohon bermaksud akan mengawinkan anak tersebut dengan
seorang perempuan yang bernama ALANIA FAJRINA MASHRIQIS
BARUS binti ATAUR RAZZAQ BARUS (umur 18 tahun) pada hari sabtu
tanggal 3 Juli 2010.
3. Bahwa, antara anak kandung pemohon dan calon istrinya tidak ada
larangan untuk melangsungkan perkawinan menurut ketentuan hukum
Islam kecuali anak pemohon masih berumur 17 tahun dan belum mencapai
batas minimal (19 tahun bagi seorang calon suami).
4. Bahwa, pemohon dengan calon istrinya telah menghadap di PPN
KUA Kecamatan Serang tetapi ditolak secara lisan dan menganjurkan
57
mengajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Serang.
5. Bahwa, keadaan yang mendesak untuk anak tersebut agar dinikahkan oleh
karena telah suka sama suka dan selalu bersama dan dikhawatirkan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan dalam Agama dan Undang-undang.
6. Bahwa, pemohon telah dapat bertanggung jawab, bersikap dewasa dan
karena umurnya 17 tahun dan setelah perkawinan orang tua bertanggung
jawab atas nafkah mereka.
Berdasarkan alasan/dalil-dalil di atas, pemohon memohon agar Ketua
Pengadilan Agama Serang Cq. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara ini berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi:
1. Mengabulkan permohonan pemohon;
2. Memberikan izin dispensasi kawin kepada anak pemohon;
3. Memerintahkan kepada Kepala KUA Kecamatan Serang, Kota Serang
untuk mengawinkan anak pemohon
4. Membebankan biaya perkara menurut hukum;
Atau,
Apabila pengadilan berpendapat lain, mohon menjatuhkan penetapan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan,
pemohon, anak pemohon, orang tua calon istri serta calon istri anak pemohon
telah hadir sendiri menghadap di persidangan.
58
Menimbang, bahwa pemeriksaan perkara ini dilakukan dalam
persidangan terbuka untuk umum, majelis hakim memberikan nasehat agar
pemohon mengurungkan niatnya dan bersabar menunggu usia anak pemohon
mencapai 19 tahun, tetapi tidak berhasil, kemudian dibacakan permohonan
pemohon, yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon.
Menimbang, bahwa atas permohonan pemohon tersebut, anak
pemohon dan calon suaminya telah memberikan keterangan yang pada
pokoknya mempertegas dan mendukung dalil-dalil permohonan pemohon.
Menimbang, bahwa disamping anak Pemohon dan calon istrinya
tersebut, telah dihadirkan juga orang tua calon istri anak pemohon yang
bernama Busroh Hamidah, agama Islam, pekerjaan Tidak bekerja, tempat
tinggal di Kampung Babakan, RT. 03 RW. 04, Kelurahan Pondok Udik,
Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, menyatakan telah mengijinkan
anaknya untuk dinikahkan.
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil permohonan,
pemohon telah mengajukan bukti-bukti berupa:
1) Bukti Tertulis, fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), atas nama
pemohon (Aan Siti), fotokopi Kartu Keluarga atas nama kepala keluarga
(Aang Edwin, SE), fotokopi Surat pemberitahuan keinginan nikah kepada
KUA Kecamatan Serang, fotokopi Surat keterangan untuk nikah atas
nama Salman Ahmad, fotokopi Surat keterangan Asal usul atas nama
Salman Ahmad, fotokopi Surat keterangan tentang orang tua yang
59
menerangkan bahwa Aang Edwin, SE dan Aan Siti Nurjahan, BE adalah
orang tua kandung dari Salman Ahmad, fotokopi Daftar Pemeriksaan
Nikah dengan Nomor 786/12/VII/2010 atas nama Salman Ahmad,
fotokopi Surat Keterangan, fotokopi Kutipan Akta Kelahiran dan fotokopi
Kartu Tanda Penduduk (KTP), atas nama Alania Fajrina Mashriqis.
2) Bukti Saksi, dua orang saksi yang telah memberikan keterangan secara
terpisah dan di bawah sumpah.
C. Pertimbangan Hukum
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 Ayat (1) tentang kewajiban hakim yaitu hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa kedilan
yang hidup di masyarakat.6
Pada pengajuan dispensasi kawin perkara Nomor.
124/Pdt.P/2010/PA.Srg. tertanggal 2 Juli 2010 yang telah terdaftar di
Kepanitaraan Pengadilan Agama Serang telah memenuhi syarat-syarat baik
formil maupun materil yang sesuai dengan prosedur permohonan yang berlaku di
Pengadilan Agama, maka Majelis Hakim Menimbang;
- Maksud dan tujuan pemohon sebagaimana yang telah diuraikan.
- Bahwa pada hari sidang yang telah para pihak telah hadir.
- Dalam hal pembuktian pemohon, Majelis hakim mempertimbangkan bahwa,
6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: TamitaUtama, 2004), h. 10.
60
bukti surat P. 1. hitam berupa Kartu Tanda Penduduk dapat membuktikan
bahwa pemohon adalah pemohon yang benar.
- Majelis hakim telah menasehati Pemohon agar pernikahan anaknya ditunda
menunggu cukup umur (19 tahun), akan tetapi tidak berhasil.
- Berdasarkan posita angka 1 (satu) yang didukung dengan bukti P.2. hitam
berupa Fotokopi Kartu Keluarga pemohon dapat mengajukan permohonan
dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama Serang untuk anaknya tersebut.
- Berdasarkan keterangan pemohon dan diperkuat dengan keterangan anak
kandung pemohon dan Bukti Surat P.6.hitam berupa Fotokopi Akta Kelahiran,
terbukti anak pemohon berumur 17 tahun, dalam hal ini belum cukup umur
untuk dapat melangsungkan perkawinan.
- Oleh karena anak pemohon masih berumur kurang dari 19 tahun, maka
berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, untuk dapat melangsungkan perkawinan harus
mendapatkan dispensasi nikah dari Pengadilan Agama.
- Keterangan saksi I terdapat keterangan yang sama dan bersesuaian dengan
dalil-dalil permohonan pemohon diperkuat dengan bukti-bukti surat P.3.a
hitam – P.3. d.hitam serta bukti surat P. 4. Hitam.
- Menghubungkan keadaan yang terjadi, keduanya tidak ada halangan
perkawinan maka untuk menghindari atau mencegah terhadap perbuatan yang
tercela dan melanggar agama dengan prinsip menutup pintu kejahatan (Saddu
Zar’iyyah), maka majelis hakim memandang anak pemohon tersebut dapat
61
dipandang dewasa dan majelis hakim patut memberikan dispensasi nikah.
- Untuk kepentingan tersebut di atas, maka Pengadilan Agama Serang perlu
mengeluarkan Penetapan Dispensasi nikah kepada anak pemohon dengan
berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan jo pasal 6 (e) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
- Keterangan pemohon serta alat bukti yang tidak relevan dengan pokok perkara
tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
- Bahwa perkara ini voluntaire sifatnya ex-parte, seluruh kepentingan ada pada
pemohon sehingga biaya perkara seluruhnya dibebankan kepada pemohon
yang jumlahnya akan disebutkan dalam diktum penetapan di bawah nanti.
Memperhatikan pasal-pasal perundang-undangan serta hukum syar’i yang
berkenaan dengan perkara ini, maka majelis hakim menjatuhkan diktum
penetapan sebagai berikut :
M E N E T A P K A N
1. Mengabulkan permohonan pemohon.
2. Memberikan izin dispensasi nikah kepada anak pemohon yang bernama
SALMAN AHMAD bin AANG EDWIN, SE (umur 17 tahun/lahir tanggal 3
Juli 1993) untuk melangsungkan perkawinan dengan perempuan bernama
ALANIA FAJRINA MASHRIQIS BARUS binti ATAUR RAZZAQ
BARUS (umur 17 tahun/lahir tanggal 18 Agustus 1992).
62
3. Memerintahkan kepada Kepala KUA Kecamatan Serang, Kota Serang untuk
mengawinkan anak pemohon tersebut dengan perempuan bernama ALANIA
FAJRINA MASHRIQIS BARUS binti ATAUR RAZZAQ BARUS.
4. Membebankan seluruh biaya perkara ini kepada pemohon, yang jumlahnya
sebesar Rp. 141.000,- (Seratus empat puluh satu ribu rupiah),-
Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan majelis
hakim Pengadilan Agama Serang pada hari Selasa, tanggal 6 Juli 2010 M/
bertepatan dengan tanggal 23 Rajab 1431 H., oleh kami Drs. H. Ambo Asse,
S.H., MH, sebagai ketua majelis, Drs. Nashruddin, SH dan Drs. Moch.
Tadjuddin, masing-masing sebagai hakim anggota dengan dibantu oleh Ade
Ahmad Hanif, SHI sebagai panitera pengganti, putusan tersebut diucapkan oleh
ketua majelis dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri para hakim
anggota tersebut dan dihadiri pula oleh pemohon.
D. Analisis Penulis
Dasar hukum yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Serang dalam memutus perkara dispensasi nikah kawin adalah berdasarkan
bukti-bukti serta dalil-dalil pemohon. Dan selain menggunakan dasar hukum
yang terdapat dalam Undang-Undang, majelis hakim juga menggunakan dasar
hukum dari sumber hukum Islam.
Berdasarkan syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan baik menurut
hukum Islam maupun perundang-undangan telah terpenuhi. Sebagaimana
penetapan Pengadilan Agama dalam perkara nomor 124/Pdt.P/2010/PA.Srg.
63
Dalam perkara tersebut majelis hakim memberikan penetapannya
berdasarkan bahwa pernikahan mereka dapat segera dilaksanakan berhubung
karena di antara para pemohon telah suka sama suka dan selalu bersama dan
dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam Agama maupun
Undang-Undang.
Bahwasannya majelis hakim telah menasehati pemohon agar pernikahan
anaknya ditunda menunggu cukup umur (19) tahun, akan tetapi tidak berhasil,
karena pemohon tetap pada pendiriannya yang didukung dengan keterangan
pemohon dan diperkuat anak kandung pemohon serta terdapat keterangan dari
para saksi yang bersesuaian dengan dengan dalil-dalil permohonan, majelis
hakim memandang mereka patut dinikahkan untuk menghindari atau mencegah
terhadap perbuatan yang tercela dan melanggar agama di mana keduanya sering
bersama, maka dengan prinsip menutup pintu kejahatan (Saddu Zar’iyyah), maka
majelis hakim patut memberikan dispensasi nikah kepada anak kandung si
pemohon agar dapat melaksanakan pernikahan yang sah di mata agama dan
negara sehingga dapat tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dengan judul “Dispensasi
Nikah bagi Perkawinan di Bawah Umur (Analisis Penetapan No.
124/Pdt.P/2010/PA.Srg di Pengadilan Agama Serang)”, serta penelitian yang
penulis lakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam al-Qur’an secara konkret tidak menentukan batasan usia perkawinan,
batasan hanya diberikan berdasarkan kualitas. Sementara dalam perspektif
hukum positif pernikahan di bawah umur yang dilakukan oleh anak-anak yang
masih dibawah umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita harus
mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan atau pejabat yang ditunjuk
oleh kedua pihak orang tua (UU Perkawinan Pasal 7 Ayat (1) dan (2)).
2. Prosedur mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama
Serang secara berurut yaitu; Meja I, Kasir, Meja II, Ketua Pengadilan Agama,
Majelis Hakim, Panitera, Majelis Hakim, Meja III dan Panitera Muda.
3. Majelis Hakim Pengadilan Agama Serang pada penetapan perkara No.
124/Pdt.P/2010/PA.Srg. dengan pertimbangannya berdasarkan bukti-bukti
yang ada mengabulkan permohonan pemohon untuk mendapatkan dispensasi
nikah bagi anaknya.
65
B. Saran
1. Bagi orang tua hendaknya memberikan pendidikan yang baik sejak dini bagi
anaknya, memberikan pemahaman agama sebagai pedoman hidup dan
memberi perhatian lebih terhadap segala perilaku putra/putrinya sehari-hari
baik di dalam maupun di luar rumah agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang
dilarang syari’at.
2. Harus adanya sosialisasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang lebih dari pemerintah dan andil dari para tokoh masyarakat
baik ulama, dosen dan guru dengan mensosialisasikan kitab-kitab ataupun
dengan pengajian-pengajian atau seminar yang berkaitan dengan perkawinan
di bawah umur.
3. Tentang dispensasi nikah perlu dimasukkan dalam kurikulum fiqih
Tsanawiyah/SMP atau Aliyah/SMA yang membahas tentang perkawinan,
yang memberikan pemahaman terhadap pengertian perkawinan, tujuan,
hikmah dan syarat sehingga hal ini dapat menekan laju jumlah perkawinan di
bawah umur.
66
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2006.
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama UU RI Tahun 2006. Jakarta: PT.Sinar Grafika, 2006.
Arto, H. A. Mukti. Praktek Perkara pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: PustakaPelajar, 2006.
as-Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta:Darussalam, 2004.
Bisri, MS. Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2000.
Dahlan, Aisyah. Persiapan Menuju Perkawinan yang Lestari. Jakarta: PT. PustakaAntara, 1996.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Djalil, A. Basiq. Tebaran Pemikiran Islam di Tanah Gayo; Topik-Topik PemikiranAktual, Diskusi, Pengajian, Ceramah, Qhutbah dan Kuliah Subuh. QalbunSalim, 2006.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.
Ghazali, Abd Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: PT. Prenada Media, 2006.
Ikhsan, Ahmad. Hukum bagi Perkawinan yang Beragama Islam. Jakarta: Pradia,1986.
Kansil, C.S.T, dan Kristin S.T kansil. Kamus Istilah Aneka Ilmu. Jakarta: PT. SuryaMulti Grafika, 2001.
Karim, Helmi. Kedewasaan untuk Menikah: Problematika Hukum Kontemporer.Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
67
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen SosialRI, 2003.
Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1995.
Mahkamah Agung RI. Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama DilengkapiPermasalahan Dan Pemecahannya. Jakarta: PUSDIKLAT PEGAWAIMAHKAMAH AGUNG RI, 2005.
Mughniyyah, Muhammad Jawâd. Fiqh Lima Madzhab: Ja’farî, Hanafî, Malikî,Syâfi’î dan Hambalî. Penerjemah, Masykur Abdillah .Dkk. Jakarta: Lentera,2008.
Muhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: BulanBintang, 1987.
Muthmainnah, Inna. Pernikahan Dini: Problema dan Solusi: Perspektif Psikologi danAgama, 07 Mei 2002. Jakarta: BEM UIN Syarif Hidayatullah, 2002.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Kamal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, No 1/1974 sampaiKHI). Jakarta: Kencana, 2004.
Tim Penyusun. Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta 2008-2009. Jakarta: Biro Akademik danKemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet ke-3. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 1998.
Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin. Perbandingan Hukum Perdata: Jakarta: LembagaPenelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007.
Rusyd, Ibnu. Bidâyat al-Mujtahid. Jilid 3. Penerjemah, Imam Ghazali Said dan A.Ziddun. Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
Sâbbiq, Sayyid. Fiqhu as-Sunnah. Penerjemah, Moh. Thalib. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990.
68
Soemayati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Yogyakarta: Liberti, 1986.
Soebekti, dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Pramita, 1979.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai PersoalanUmat. Bandung: Mizan, 1997.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahatdan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004. Tentang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta:Tamita Utama, 2004.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan &Kompilasi Hukum Islam (Beserta Penjelasannya). Bandung: CITRAUMBARA, 2007.
Tim Redaksi Fokus media. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentangPerkawinan. Bandung: Fokus Media, 2005.
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhâb Syâfi’î, Hanafî,Malikî dan Hambalî. Jakarta: CV. AL-HIDAYAH, 1964.
84
Narasumber : Drs. Moch. Tajuddin (Hakim PA Serang)
Rabu, 6 April 11
WAWANCARA
1. Bagaimana menurut bapak hakim tentang pernikahan di bawah umur?
- Perikahan di bawah umur yaitu perkawinan yang calon suami dan istri belum
mencapai usia sebagai mana yang ditentukan dalam pasal 7 ayat 1 UU No 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Dalam pasal 7 ayat (2) diatur jika terdapat penyimpangan pada pasal 7 ayat (1)
dengan mengajukan dispensasi nikah, lalu bagaimana menurut bapak hakim
mengenai dispensasi nikah?
- Dispensasi itu kan rukhsah, jadi jika calon suami atau isteri tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974
maka ada pengecualian, sehingga walaupun salah satu atau keduanya belum
mencapai batas usia yang ditentukan UU, tapi mereka tetap dapat menikah
jika telah mendapatkan izin dari Pengadilan berupa dispensasi nikah.
3. Pada pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa dispensasi nikah diajukan ke Pengadilan
Agama di daerah tempat tinggal orang yang bersangkutan sesuai dengan
kompetensi absolut dan relatif. Lalu siapa yang dimaksud dengan pejabat selain
Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh kedua orang tua para pihak tersebut?
Apakah ada UU atau Peraturan lain yang mengatur hal ini?
85
- Saya sendiri kurang mengerti maksud dari pejabat lain yang ditunjuk itu selain
dari Pengadilan Agama. Itu merupakan kerancuan yang terdapat pada pasal itu
karena tidak ada penjelasan dalam pasal itu sendiri maupun dalam pasal-pasal
lainnya.
4. Prosedur apa saja yang harus ditempuh dalam mengajukan dispensasi nikah di
Pengadilan Agama?
- Untuk prosedur pengajuannya sama saja dengan pengajuan perkara-perkara
lainnya. Baik yang sifatnya gugatan maupun yang sifatnya permohonan. Jadi
jika seseorang mau mengajukan permohonan/gugatan itu harus ke meja 1
dulu, lalu ke kasir, meja 2, Ketua Pengadilan Agama, Panitera, meja 3, dan
yang terakhir panitera muda. Untuk lengkapnya bisa dilihat di prosedur
berperkara yang terpampang di depan bagian umum.
5. Pertimbangan apa saja yang di ambil oleh majelis hakim terhadap penetapan
perkara No: 124/Pdt.P/2010/PA.Srg?
- Ada beberapa pertimbangan yang diambil dalam menentukan penetapan ini,
salah satunya adalah saddzu adz-dzarî’at, yaitu upaya yang dilakukan untuk
menutup pintu kemungkaran yang mungkin disebabkan dari berpacaran yang
begitu lama dan seringnya bersama, hal ini ditakutkan dapat menimbulkan
adanya perbuatan yang dilarang oleh syara’. Selain itu juga ada fathu adz-
dzariâ’t atau kebanyakan ulama mengistilahkan masâlih al-mursalat. Yaitu
membuka pintu kemakrufan, maksudnya adalah suatu perbuatan yang tadinya
86
merupakan kemungkaran jika dilakukan setelah perkawinan maka menjadi
kemakrufan.