disorganisasi keluarga

17
PEMBENTUKKAN KONSEP DIRI ANAK BROKEN HOME (DISORGANISASI KELUARGA) Makalah ini diajukkan untuk melengkapi komponen penilaian BIPI Annisa Fitriana Lestari 1131003053 Nur Sehah 1131003043 Octaviani Sari Dewi 1131003041 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2014

Upload: afelonew

Post on 19-Jan-2016

2.271 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Tugas Bahasa Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Disorganisasi Keluarga

PEMBENTUKKAN KONSEP DIRI ANAK BROKENHOME (DISORGANISASI KELUARGA)

Makalah ini diajukkan untuk melengkapi komponen penilaian BIPI

Annisa Fitriana Lestari1131003053

Nur Sehah1131003043

Octaviani Sari Dewi1131003041

JURUSAN ILMU KOMUNIKASIFAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS BAKRIEJAKARTA

2014

Page 2: Disorganisasi Keluarga

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat

serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan karya tulis ini

yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Pembentukkan Konsep Diri

Anak Broken Home (Disorganisasi Keluarga.

Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai proses pembentukkan konsep

diri pada anak broken home atau disorganisasi keluarga. Diharapkan makalah ini dapat

memberikan informasi kepada kita semua tentang proses pembentukkan konsep diri

pada anak broken home dan faktor – faktor yang mempengaruhinya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi

kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah

SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin. Semoga makalah ini bermanfaat

bagi para pembaca.

Jakarta, 1 Januari 2014

Annisa Fitriana Lestari

Nur Sehah

Octaviani Sari Dewi

Page 3: Disorganisasi Keluarga

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………… iii

PENDAHULUAN…………………………………………………………... 1

I.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………...... 1

I.2 Tujuan Penulisan…………………………………………………………. 1

I.3 Rumusan Masalah………………………………………………………… 2

I.4 Dasar Teori ………………………………………………………………. 2

2. PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKKAN KONSEPDIRI ANAK………………………………………………………………. 3

II.1 Pengertian Disorganisasi Keluarga dan Konsep Diri……………………. 3

II.2 Keluarga Sebagai Faktor Pembentukkan Konsep Diri AnakDisorganisasi Keluarga………………………………………………….. 5

3. DAMPAK PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKANKONSEP DIRI ANAK…………………………………………………... 7

III.1 Macam – Macam Konsep Diri………………………………………..... 7

III.2 Munculnya Diskrepansi Diri…………………………………………… 10

4. KESIMPULAN…………………………………………………………... 12

IV.1 Simpulan……………………………………………………………….. 12

IV.2 Saran/Rekomendasi…………………………………………………… 13

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 14

LAMPIRAN

Page 4: Disorganisasi Keluarga

1

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Kenakalan anak remaja kini telah menjadi hal yang tak tabu lagi di telinga

masyarakat Indonesia. Komnas Anak membuktikan sepanjang tahun 2011 telah terdapat

1.815 kasus anak – anak melakukan tindak kriminal. Dari jumlah tersebut, 52 persen

anak melakukan tindak pidana pencurian. Disusul dengan kekerasan, perkosaan,

narkoba, perjudian dan penganiayaan. Dan mirisnya 89 persen dari kasus tersebut harus

berakhir di penjara.

Disorganisasi keluarga mendorong anak-anak terjerumus dalam tindak

kejahatan. Masalah utama anak sering merasa frustasi di dalam keluarga. Sehingga

mereka keluar mencari lingkungan yang lebih baik menurut mereka. Tindak pidana ini

dilakukan karena didorong lingkungan baru setelah anak-anak kabur dari rumah

ternyata tidak seindah yang mereka bayangkan.

I.2 Tujuan Penulisan/

Tujuan diadakannya penulisan/penelitian ini, yaitu:

1. Menganalisis peran keluarga pada konsep diri anak disorganisasi keluarga

2. Menganalisis dampak disorganisasi keluarga

Page 5: Disorganisasi Keluarga

2

I.3 Rumusan Masalah

Batasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan/penelitian, yaitu:

1. Bagaimana peran keluarga terutama orang tua dalam pembentukkan konsep diri

anak?

2. Bagaimana dampak disorganisasi keluarga terhadap konsep diri anak?

I.4 Dasar Teori

Keluarga adalah lembaga sosial yang ditemukan dalam semua masyarakat yang

menyatukan orang-orang dalam kelompok kooperatif untuk merawat satu sama lain,

termasuk anak-anak. Sebagian besar anggota keluarga adalah yang pertama dan paling

penting yang mempengaruhi bagaimana kita menilai diri sendiri. Karena memang

interaksi dengan keluarga itu mendominasi masa – masa awal kita (Widiastuti, 2011:

130). Orangtua merupakan contoh (role model), panutan, dan teladan bagi

perkembangan kita di masa remaja, terutama pada perkembangan psikis dan emosi,

dimana kita perlu pengarahan, kontrol, serta perhatian yang cukup dari mereka.

Orangtua merupakan salah satu faktor sangat penting dalam pembentukan

karakter kita selain faktor lingkungan, sosial, dan pergaulan. Namun, ketika keluarga

terutama orangtua tidak melaksanakan peran yang semestinya maka yang akan timbul

adalah disorganisasi keluarga.

Disorganisasi keluarga bisa juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak

harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena

sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir

pada perceraian. Kondisi ini menimbulkan dampak yang sangat besar terutama bagi

anak-anak. Bisa saja anak jadi murung, sedih yang berkepanjangan, dan malu. Selain

itu, anak juga kehilangan pegangan serta panutan dalam masa transisi menuju

kedewasaan.

Page 6: Disorganisasi Keluarga

3

II. KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KONSEP DIRIANAK

II.1 Pengertian Disorganisasi Keluarga dan Konsep Diri

Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena

anggota – anggotanya gagal memenuhi kewajiban – kewajibannya yang sesuai dengan

peranan sosialnya.

Secara sosiologis, bentuk – bentuk disorganisasi keluarga antara lain adalah:

a. Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar perkawinan walaupun

dalam hal ini secara yuridis dan social belum terbentuk suatu keluarga, bentuk

ini dapat digolongkan sebagai disorganisasi keluarga sebab ayah (biologis) gagal

dalam mengisi peranan sosialnya dan demikian juga halnya dengan keluarga

pihak ayah maupun keluarga pihak ibu.

b. Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian,

perpisahan meja dan tempat tidur, dan seterusnya.

c. Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut, yaitu dalam hal komunikasi antara

anggota – anggotanya. Goede menamakannya sebagai empty shell family.

d. Krisis keluarga, karena salah satu yang bertindak sebagai kepala keluarga, di

luar kemampuannya sendiri meninggalkan rumah, mungkin karena meninggal

dunia, dihukum atau karena peperangan.

e. Krisis keluarga yang disebabkan oleh karena faktor – faktor intern, misalnya

karena terganggu keseimbangan jiwa salah seorang anggota keluarga.

Disorganisasi keluarga mungkin terjadi pada masyarakat – masyarakat sederhana

karena suami sebagai kepala keluarga gagal memenuhi kebutuhan – kebutuhan primer

Page 7: Disorganisasi Keluarga

4

keluarganya atau mungkin karena dia menikah lagi. Pada umumnya masalah tersebut

disebabkan karena kesulitan – kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan –

tuntutan kebudayaan.

Di dalam zaman modern ini, disorganisasi keluarga mungkin terjadi karena konflik

peranan social atas dasar perbedaan ras, agama atau faktor social ekonomis. Ada juga

disorganisasi keluarga karena tidak adanya keseimbangan dari perubahan – perubahan

unsur – unsure warisan sosial (social heritage). Keluarga, menurut pola masyarakat

agraris, menghadapi persoalan – persoalan dalam menyongsong modernisasi, khususnya

industrialisasi. Ikatan keluarga dalam masyarakat agraris didasarkan atas dasar faktor

kasih sayang dan faktor ekonomis di dalam arti keluarga tersebut merupakan suatu unit

yang memproduksi sendiri kebutuhan – kebutuhan primernya.

Dengan dimulainya industrialisasi pada suatu masyarakat agraris, peranan keluarga

berubah. Biasanya ayah yang wajib mencari penghasilan. Seorang ibu, apabila

penghasilan ayah tidak mencukupi, turut pula mencari penghasilan tambahan. Hal yang

jelas adalah bahwa pola pendidikan anak – anak mengalami perubahan. Sebagian dari

pendidikan anak – anak benar – benar diserahkan kepada lembaga – lembaga

pendidikan di luar rumah seperti di sekolah. Pada hakikatnya, disorganisasi keluarga

pada masyarakat yang sedang dalam keadaan transisi menuju masyarakat yang modern

dan kompleks disebabkan karena keterlambatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi

sosial-ekonomis yang baru.

Diri pribadi adalah suatu ukuran atau kualitas yang memungkinkan seseorang untuk

dianggap dan dikenali sebagai individu yang berbeda dengan individu lainnya. Konsep

diri menyebabkan: selective exposure, selective perception, and selective attention

(Anita Taylor, 1997). William D. Brooks (1974): “those physical, social, and

psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our

interaction with others”. Konsep diri bukan saja sekedar deskriptif, namun penilaian

tentang “diri” pribadi (Anita Taylor, 1977).

Charles Horton Cooley (1864-1929), menyatakan bahwa konsep diri terkait dengan

looking glass self (Rakhmat, 2005: 99). Aplikasi Cooley untuk dapat menjadi subjek

dan objek persepsi sekaligus. Terdapat dua komponen; kognitif (self-image) dan afektif

Page 8: Disorganisasi Keluarga

5

(self-esteem). Faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang significant others,

generalized others, dan reference group. Konsep diri akan terbentuk positif atau negatif.

Nubuat yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecies atau perkiraan untuk diri

sendiri).

II.2 Keluarga Sebagai Faktor Pembentukkan Konsep Diri Anak DisorganisasiKeluarga

Anggota keluarga adalah yang pertama dan paling penting yang mempengaruhi

bagaimana kita menilai diri sendiri. Karena memang interaksi dengan keluarga itu

mendominasi masa – masa awal kita. (Widiastuti, 2011: 130).Wood (dalam Widiastuti,

2011: 130 - 133) berpendapat keluarga memilki beberapa cara dalam membangun

pribadi kita, yaitu melalui:

1. Direct Definition

Komunikasi yang secara eksplisit mengungkapkan bagaimana keluarga itu

melabelkan diri kita dan tingkah laku kita. Dari sini lah seorang anak itu mulai

mempelajari bagaimana orang lain memberikan presepsi dan ekspetasi atau penilain

kepadanya sehingga mulai dapat engajari bagaimana mereka harus menghargai diri

mereka sendiri.

2. Life Script

Anggota keluarga membentuk pribadi seorang anak dengan aturan untuk hidup dan

identitas.

3. Attachment Style

Pola orang tua mendidik seorang anak yang mengajari bagaimana untuk melihat

konsep diri dan hubungan pribadi.

a. Secure attachment style

Muncul ketika seorang anak mula – mula diberikan respon perhatian dan peduli

yang secara konsisten memperhatikan dan mencintainya. Orang yang pemberian

cara semacam ini dari orang tuanya, dia cenderung menjadi orang yang penuh

kasih sayang, bisa mengatasi tantangan dan kekecewaan dalam hubungan dekat.

Page 9: Disorganisasi Keluarga

6

b. Fearful attachment style

Cara pemberian komunikasi oleh orang tua yang cenderung negative, penolakan,

dan bahkan kasar. Sehingga anak tersebut akan menduga – duga bahwa mereka

tak pantas dicintai dan orang lain tak mencintainya. Akibatnya, orang yang

semacam ini akan kuatir terhadap suatu hubungan dekat karena mereka selalu

merasa tidak nyaman dalam sebuah hubungan bahkan tidak jarang mereka

menjadi tertutup terhadap orang lain.

c. Dismissive attachment

Cara pemeberian komunikasi yang masih menggunakan gaya negative,

penolakan, dan kasar. Namun, orang yang dikembangkan dalam cara seperti ini,

tidak menganggap yang dilakukan orang tuanya bukan mencerminkan mereka

tidak mencintai anaknya, justru malah sebaliknya. Sehingga akhirnya, sang anak

punya pandangan yang positif tentang dirinya. Walaupun anggapan pada sebuah

hubungan itu masih sangat rendah, masih memandang hubungan itu tidak perlu

dan tidak menarik.

d. Anxious/ Ambivalent attachment

Pemberi perhatian itu memberikan perlakuan yang tidak konsisten. Kadang –

kadang penuh kasih, tetapi kdang penolakan. Bukan hanya konsisten, tetapi juga

tidak dapat diprediksi. Pada masa dewasanya, ia masih mempertimbangkan

suatu hubungan karena dia tahu orang lain bisa menyayangi, tetapi juga bisa

menyakiti. Hasil akhir dari cara yang seperti ini membentuk pribadi yang tak

konsisten juga, kadang ia bisa mengasihi, tetapi juga bisa tertutup.

Cara orangtua mendidik anaknya sangat berpengaruh pada konsep diri anak itu

karena dia akan meng-copy dan melakukan sesuai dengan pengalaman yang dialaminya.

Page 10: Disorganisasi Keluarga

7

III. DAMPAK PERANAN KELUARGA DALAM

PEMBENTUKAN KONSEP DIRI ANAK

III.1 Macam – Macam Konsep Diri

Kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri disebut sebagai

nubuat yang dipenuhi sendiri. Bila anda berpikir anda orang bodoh, anda akan benar –

benar menjadi orang bodoh. Bila anda merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi

persoalan, maka persoalan apapun yang anda hadapi pada akhirnya dapat anda atasi.

Hubungan konsep diri dengan perilaku, mungkin dapat disimpulkan dengan ucapan para

penganjur berpikir positif: You don’t think what you are, you are what your think.

Sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri

anda; positif atau negatif. Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert (1976:42—

43) ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif. Pertama, ia peka pada

kritik. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik

pitam. Bagi orang ini, koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan

harga dirinya. Dalam komunikasi, orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung

menghindari dialog yang terbuka, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan

berbagai justifikasi atau logika yang keliru.

Kedua, orang yang memiliki konsep diri negatif, responsive sekali terhadap

pujian. Walaupun ia mungkin berpura – pura menghindari pujian, ia tidak dapat

menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang – orang

seperti ini, segala macam embel – embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat

perhatiannya. Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian, mereka pun bersikap

hiper kritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apa pun

Page 11: Disorganisasi Keluarga

8

dan siapa pun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan

atau pengakuan pada kelebihan orang lain. Inilah sifat yang ketiga, sikap hiper kritis.

Keempat, orang yang konsep dirinya negatif, cenderung merasa tidak disenangi

orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah ia bereaksi pada orang lain

sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban

persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap

dirinya sebagai korban dari system sosial yang tidak beres.

Kelima, orang yang konsep dirinya negatif, bersikap pesimis terhadap kompetisi

seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam

membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang

merugikan dirinya.

Sebaliknya, orang yang memilki konsep diri positif ditandaidengan lima hal :

1) Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah;

2) Ia merasa setara dengan orang lain;

3) Ia menerima pujian tanpa rasa malu;

4) Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan

perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat;

5) Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek –

aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

Dalam kenyataan, memang tidak ada orang yang betul – betul sepenuhnya berkonsep

diri negatif atau positif, tetapi untuk efektivitas komunikasi interpersonal, sedapat

mungkin kita memperoleh sebanyak mungkin tanda – tanda konsep diri positif. D.E.

Hamachek menyebutkan sebelas tanda – tanda konsep diri positif:

1) Ia meyakini betul – betul nilai – nilai dan prinsip – prinsip tertentu serta bersedia

mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat.

Tetapi, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip – prinsip

itu bila pengalaman dan bukti – bukti baru menunjukkan masalah.

Page 12: Disorganisasi Keluarga

9

2) Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah

yang berlebih – lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak

menyetujui tindakannya.

3) Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang

akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang

terjadi waktu sekarang.

4) Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan

ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.

5) Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah,

walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang

keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.

6) Ia sanggup menjadi dirinya sebagai orang yang penting danbernilai bagi orang

lain, paling tidak bagi orang – orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.

7) Ia dapat menerima pujian tanpa berpura – pura rendah hati, dan menerima

penghargaan tanpa merasa bersalah.

8) Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.

9) Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai

dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai

bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam

pula.

10) Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi

pekerjaan, permainan, ungkapandiri yang kreatif, persahabatan, atau sekadar

mengisi waktu.

11) Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima,

dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang – senang

dengan mengorbankan orang lain. (Brooks danEmmert, 1976:56)

Kita agak banyak membicarakan konsep diri yang positif, karena dari konsep diri yang

positif lahir pola perilaku komunikasi interpersonal yang positif pula, yakni melakukan

persepsi yang lebih cermat, dan mengungkapkan petunjuk – petunjuk yang membuat

orang lain menafsirkan kita dengan cermat pula. Komunikan yang berkonsep diri positif

adalah orang yang menurut istilah Sidney M. Jourard – “tembus pandang” (transparent),

terbuka kepada orang lain (Jourard,1971).

Page 13: Disorganisasi Keluarga

10

III.2 Munculnya Diskrepansi Diri

Aspek lain dari diri yang memengaruhi pemikiran dan perilaku kita adalah

diskrepansi antara diri kita yang actual dengan diri kita yang kita idealkan. Psikolog

Tory Higgins (1987,1989) menyatakan bahwa self-discrepancies (diskrepansidiri) ini

menimbulkan emosi yang kuat. Ketika kita merasakan diskrepansi antara kualitas

personal kita dengan keinginan ideal kita (ideal self—diri ideal), kita mengalami

kekecewaan, ketidakpuasan, atau kesedihan (yang kitanamakan “dejection-related

emotions”), dan berkurangnya harga diri (Moretti& Higgins, 1990). Diskrepansi antara

diri actual dan apa yang kita inginkan (ought self—diri yang semestinya)

menghasilkanemosi yang berhubungan dengan agitasi seperti takut dan cemas

(misalnya, Boldero& Francis, 2000). Meskipun kandungan actual dari keyakinan kita

tentang diri kita selalu berubah, kita tetap menggunakan diri ideal dan diri yang

semestinya sebagai standar (Strauman, 1996).

Untuk menguji poin ini, Higgins, Klein, dan Strauman (1985) meminta

mahasiswa untuk mengisi kuesioner yang menilai persepsi diri mereka, termasuk

bagaimana diri ideal mereka dan bagaimana diri yang semestinya menurut mereka

sendiri. Pertama, partisipan mengisi kuesioner untuk diri mereka sendiri, kemudian

mereka mengisinya dari sudut pandang ayahnya, ibunya, dan sahabat terdekat. Mereka

juga menilai sejauh mana atribut personal relevan dengan mereka.

Diskrepansi antara diri actual dengan diri ideal menimbulkan emosi yang

berhubungan dengan penolakan (Higgins &Bargh, 1987), dan berkurangnya hargadiri

(Higgins, Shah, & Friedman, 1997; Moretti& Higgins, 1990).Misalnya, keinginan

menjadi editor Koran kampus namun keinginan itu tak tercapai akan menimbulkan

kekecewaan dan kesedihan. Diskrepansi yang dirasakan antara diri actual dengan

pandangan ideal orang tua dan kawan juga menimbulkan kecemasan. Misalnya, merasa

tidak bisa memenuhi harapan orang tua untuk menjadi pengusaha sukses juga akan

menimbulkan kecemasan dan kesedihan. Semakin penting atribut personal bagi

responden, semakin besar emosi yang dialami mereka (lihat juga Higgins, 1999).

Teori diskrepansi diri mempostulatkan bahwa perhatian pada diri ideal atau diri

yang seharusnya muncul dari tempramen dan dari sosialisasi awal.Artinya, kita

Page 14: Disorganisasi Keluarga

11

cenderung, dan mungkin diajari, untuk berpikir dalam term menjadi diri ideal atau

memenuhi standar yang ditentukan orang lain. Secara umum, orang yang lebih ingin

menggapai yang ideal adalah mereka yang mendapat pengasuhan yang hangat dan

suportif dari orang tuanya, sedangkan orang yang lebih memerhatikan opini orang lain

adalah mereka yang sering mendapat asuhan yang kurang baik (Manian, Strauman, &

Denney, 1998). Perbedaan cultural juga memengaruhi seberapa jauh diri ideal atau diri

semestinya akan mengatur perilaku. Secara spesifik; orang dengan diri independen lebih

mungkin termotivasi oleh diskrepansi antara diri mereka dan diri ideal, sedangkan orang

yang dibesarkan diri interdependen lebih mungkin memerhatikan orang lain (Lee,

Acker, & Gardner, 2000). Secara keseluruhan, orang merasakan nyaman saat ada

kesesuaian antara tujuan dengan orientasi mereka (Bianco, Higgins, &Klem, 2003;

Higgens, Idson, Freitas, Spiegel, &Molden, 2003).

Page 15: Disorganisasi Keluarga

12

IV. KESIMPULAN

IV.1 Simpulan

Peranan keluarga adalah yang pertama dan paling penting, dimana orang tua sebagai

panutan dan teladan bagi perkembangan anaknya. Terutama terhadap perkembangan

psikis dan emosi untuk mengarahkan dan mengontrol perkembangan serta pembentukan

karakter bagi anaknya. Orang tua menjadi salah satu faktor sangat penting dalam

pembentukkan karakter anak-anak nya selain faktor lingkungan, sosial, dan pergaulan.

Ketika orangtua tidak melaksanakan peran semestinya maka yang akan timbul adalah

disorganisasi keluarga.

Disorganisasi keluarga terjadi pada masyarakat-masyarakat sederhana karena suami

sebagai kepala keluarga gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer keluarganya atau

mungkin karena dia menikah lagi. Pada umumnya masalah tersebut disebabkan karena

kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan kebudayaan.

Di dalam zaman modern ini, disorganisasi keluarga terjadi karena konflik peranan

social atas dasar perbedaan ras, agama atau faktor social ekonomis. Ada juga

disorganisasi keluarga karena tidak adanya keseimbangan dari perubahan-perubahan

unsur-nsur warisan sosial (social heritage).

Dengan dimulainya industrialisasi pada suatu masyarakat agraris, peranan keluarga

berubah. Biasanya ayah yang wajib mencari penghasilan. Seorang ibu, apabila

penghasilan ayah tidak mencukupi, turut pula mencari penghasilan tambahan. Hal yang

jelas adalah bahwa pola pendidikan anak-anak mengalami perubahan. Sebagian dari

pendidikan anak-anak benar-benar diserahkan kepada lembaga-lembaga pendidikan di

Page 16: Disorganisasi Keluarga

13

luar rumah seperti di sekolah. Pada hakikatnya, disorganisasi keluarga pada masyarakat

yang sedang dalam keadaan transisi menuju masyarakat yang modern dan kompleks

disebabkan karena keterlambatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial-

ekonomis yang baru.

Dalam fenomena ini huubungan konsep diri dengan perilaku, mungkin dapat

disimpulkan dengan ucapan para penganjur berpikir positif: You don’t think what you

are, you are what your think. Karena konsep diri memiliki dua pengaruh besar yang

akan menentukan kepribadian seseorang, yaitu: konsep diri positif dan konsep diri

negatif. Dimana keduanya menjadi pilihan dalam proses perkembangan remaja

seseorang, yang akan dipengaruhi oleh keluarga, lingkungan, sosial, dan pergaulan.

IV.2 Saran/Rekomendasi

Bagi penulis selanjutnya mengenai tulisan ini, diharapkan agar lebih cermat dalam

memilih pendekatan untuk menganalisa dan metode yang akan digunakan karena

pergantian waktu mempengaruhi perkembangan zaman teknologi yang semakin

canggih.

Adapun untuk pembaca, penulis kembali menghimbau bagi orang tua agar lebih

memperhatikan segala aspek permasalahan yang terjadi dalam keluarga. Supaya anak-

anak tidak menjadi korban disorganisasi keluarga. Karena akan merugikan pihak anak

dan pihak orang tua atau mungkin masyarakat sekitar atas kesenjangan negatif yang

dilakukan anak. Kondisi apapun yang terjadi dalam permasalah keluarga, orang tua

tetap bertanggung jawab dalam melaksanakan perannya sebagai orang tua. Oleh karena

itu, orang tua berperan aktif dalam mengarahkan dan mngontrol perkembangan karakter

anak supaya mengantisipasi hal negatif mampu merusak konsep diri anak. Dan mencari

referensi lain sebagai sumber informasi mengenai konsep diri anak untuk membantu

pemahaman yang lebih.

Page 17: Disorganisasi Keluarga

14

DAFTAR PUSTAKA

Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Psikologi Komunikasi. Edisi Kedua. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Sarwono, Sarlito W., dan Eko A, Meinarno (Eds). 2011. Psikologi Sosial. Jakarta:

Salemba Humanika.

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Keempat Puluh. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Widiastuti, Tuti. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Bpress.

Wood, Julia T. 2011. Communication Mosaic: An Introduction to the Field of

Communication. Canada: Wadsworth Cengage Learning.