diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi...

223

Upload: others

Post on 30-Oct-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan
Page 2: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

Diskursus Tikrār dalam al-Qur’an:

Studi Terhadap Tafsīr Al- Sha’rāwī

Angga Marzuki, MA

Penerbit:

Yayasan Soebono Mantofani

2019

Page 3: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

Judul: Diskursus Tikrār dalam al-Qur’an: Studi Terhadap Tafsīr Al-Sha’rāwī

Penulis Angga Marzuki

Editor : Muhammad Fanshuri Abdillah

Layout : Muhammad Fanshuri Abdillah

Desain Cover : Puput

Cetakan pertama : Desember 2019

ISBN : 978-602-5063-48-0

Penerbit: Yayasan Soebono Mantofani

Alamat: Jl. Rawa Lele No. 75, RT/RW 01/07, Jombang

Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.Kode pos: 15414

Email: [email protected]

Telpon:0217486251

Page 4: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt.,

karena berkat Rahmat dan Ridho-Nya penulisan tesis yang telah

di bukukan ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tak lupa

dihaturkan kepada Nabi Muhammad Saw. Keluarganya, para

sahabat serta para pengikutnya yang mulia dan istiqamah dalam

menjalankan risalah kenabiannya.

Penulisan buku dengan judul “Diskursus Tikrār dalam al-

Qur’an: Studi terhadap Tafsīr al-Sha’rāwī” dimaksudkan untuk

melengkapi sekaligus memenuhi salah satu persyaratan yang

ditetapkan untuk menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

Konsentrasi Tafsir.

Dalam penulisan buku ini, penulis memperoleh bantuan

moril-materil, dorongan, bimbingan dan saran serta masukan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, sepatutnya disampaikan ucapan

terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof Dr. Amany Lubis, MA sebagai Rektor

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof Dr. Jamhari, MA.,Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

dan Dr. JM Muslimin, MA., (Ketua Jurusan Magister)

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA., selaku Pembimbing

yang banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan saran,

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dan juga

penulis berterima kasih kepada Dr. Yusuf Rahman, MA yang

kepadanya penulis beberapa kali konsultasi penelitian ini.

4. Segenap dosen mata kuliah maupun penguji pada ujian

Proposal, Ujian Komprehensif, Work In Progress I dan II,

Dr. JM Muslimin, MA, Dr. Yusuf Rahman, MA, Dr. Euis

Amalia, MA, Dr. Bahrissalim, MA, Prof. Dr. Iik Arifin

Mansoor , MA, Dr. Usep Abdul Matin, MA, Dr. Ismatu Ropi,

MA. Terima kasih atas masukan dan kritikan yang

konstruktif ketika ujian.

Page 5: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

ii

5. Kepada kedua sosok yang mendidik penulis, yaitu orang tua,

Hj. Ade dan H. Edi Chaidir Rohman yang gigih dan tidak

bosan mendoakan, mengingatkan, sekaligus memberikan

semangat untuk terus belajar menjadi pribadi yang lebih baik.

Semoga Allah mengkaruniakan kesehatan dan

memanjangkan umur keduanya.

6. Kepada guru mulia yang telah mendidik dan membentuk

pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang

Oyim Umar Anas, tanpa didikan dari keduanya entah penulis

menjadi apa.

7. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah

memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

8. Kepada seluruh civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah melayani kepentingan

penulis, baik selama studi maupun dalam proses penyelesaian

tesis ini.

9. Kepada semua sahabat Program Magister (S2) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta angkatan 2015.

10. Kepada seluruh penikmat kantin SPs. Terimakasih atas kopi

dan diskusinya yang sangat bermanfaat untuk penulisan tesis

ini.

Terakhir, kepada semua pihak yang tidak sempat

disebutkan, tak lupa penulis ucapakan terima kasih.

Jakarta, Desember 2019

Penulis

Angga Marzuk

Page 6: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

iii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam

penelitian ini adalah ALA–LC ROMANIZATION tables yaitu

sebagai berikut:

A. Konsonan

Initial Romanization Initial Romanization

O ا

m

it

ḍ ض

ṭ ط B ب

ẓ ظ T ت

T ث

h

„ ع

G غ J ج

h ح Ḥ ف F

K خ

h

Q ق

K ك D د

D ذ

h

L ل

M م R ر

N ن Z ز

ه S س, ة

H

S ش

h

W و

Y ى Ṣ ص

B. Vokal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

...

..

..

Fatḥah A A

... Kasrah I I

....

..

.

Ḍammah U U

Page 7: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

iv

2. Vokal Rangkap

Tanda Na

m

a

Gabungan Huruf Nama

.ى ... Fatḥah dan ya A

i

A dan I

…و .. Fatḥah dan wau A

u

A dan W

Contoh :

Ḥaul : حول Ḥusain : حسين

C. Vokal Panjang

Tanda Na

ma

Gabungan Huru

f

Nama

Fatḥah dan alif Ā a dan garis di آى

atas ىى Kasrah dan ya Ī i dan garis di

atas ىو Ḍammah dan wau ū u dan garis di

atas

D. Tā’ marbūṭah (ة)

Transliterasi ta’ marbut}ah (ة) di akhir kata bila dimatikan ditulis

h.

Contoh :

madrasah : مدرسة mar’ah : مرأة

(Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang

sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat

dan sebagainya kecuali dikehendaki lafadz aslinya)

E. Shaddah

Shaddah/tasydīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf,

yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.

Contoh:

shawwāl : شوال rabbanā : ربنا

Page 8: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

v

F. Kata Sandang Alif + Lām

Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al.

Contoh :

al-Qalam : القلم

Apabila diikuti oleh huruf shamsiyah ditulis dengan

menggandeng huruf shamsiyah yang mengikutinya serta

menghilangkan huruf l-nya

Contoh:

Al-Nās :الناس Al-Shams : الشمس

G. Pengecualian Transliterasi

Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di

dalam bahasa Indonesia, seperti الله, asmā al-ḥusnā dan ibn,

kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan

pertimbangan konsistensi dalam penulisan

Page 9: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

9

Page 10: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................

i

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................

iii

DAFTAR ISI ..............................................................................................

vii

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................

1

A. Latar Belakang 1

B. Permasalahan 9

1. Identifikasi Masalah 9

2. Pembatasan Masalah 10

3. Perumusan Masalah 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 11

1. Tujuan Penelitian 11

2. Manfaat Penelitian . 12

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan 12

E. Metodologi Penelitian 26

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian …………………....................................

26

2. Sumber Data ………………………………………….

30

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data......................

30

F. Teknik Penulisan dan Penyajian Hasil Penelitian……..

31

G. Sistematika Penulisan ........................................................

32

BAB II : Al-TIKRĀR SEBAGAI CABANG ILMU AL-QUR’AN ........

35

A. Melacak Tradisi Awal Kajian Tikrār fī al-Qur’ān ............

36

B. Hubungan Tikrār dengan Cabang Ilmu al-Qur’an 48

C. Kajian Tikrār Kontemporer ................................................

60

BAB III : BIOGRAFI AL-SHA’RĀWĪ DAN PENAFSIRANNYA .........

67

A. Kondisi Sosial dan Pendidikan al-Sha'rāwī ........................

69

B. Sekilas Tentang Tafsīr al-Sha’rāwī ...................................

83

C. Posisi Tafsīr al-Sha'rāwī dalam Tradisi Tafsir Mesir .........

89

D. Beberapa Pemikiran al-Sha’rāwī .........................................

95

E. Latar Belakang dan Tujuan Pengkajian Tikrār .................

98

Page 11: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

viii

BAB IV : KAJIAN TIKRĀR DALAM TAFSĪR AL-SHA'RĀWĪ ................

125

A. Karakteristik Tikrār dalam Tafsīr al-Sha’rāwī ..................

125

B. Analisis Kajian Tikrār dalam Tafsīr Al-Sha’rāwī................

133

C. Tikrār dalam Kajian Ilmuwan dan al-Sha’rāwī .............

168

BAB V : PENUTUP .................................................................................

187

A. Kesimpulan ..........................................................................

187

B. Saran dan Rekomendasi .......................................................

188

Daftar Pustaka ................................................................................................

189

Glosarium .......................................................................................................

201

Indeks .............................................................................................................

205

Lampiran-Lampiran Biodata Penulis

207 211

Page 12: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara metodologis, wilayah kajian terhadap al-

Qur‟an dapat dipetakan menjadi tiga wilayah kajian1.

Pertama, kajian mengenai teks al-Qur‟an yang dilakukan

untuk membuktikan otentisitas atau untuk mengkaji isi

kandungan al-Qur‟an. Kedua, kajian mengenai hasil

penafsiran ulama yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir, yang

biasanya dimaksudkan untuk mendukung, menolak, menguji,

atau mengkritisi hasil penafsiran para ulama. Ketiga, kajian

tentang respon masyarakat terhadap al-Qur‟an yang

dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, atau yang disebut

dengan Living Qur‟an, seperti fenomena semaan al-Qur‟an,

ruqyah (semacam jimat) dengan menggunakan ayat-ayat al-

Qur‟an dan sebagainya.

Sedangkan menurut Amīn al-Khūllī (1895-1966 M.),

dalam mengkaji al-Qur‟an, setidaknya ada dua wilayah kajian

studi2, yakni studi tentang apa yang di sekitar al-Qur‟an (mā

ḥawl al-qur‟ān) dan studi tentang teks al-Qur‟an itu sendiri

(mā fī al-Qur‟ān fī nafsih). Kajian pertama ditujukkan kepada

penggalian informasi latar belakang diturunkannya al-Qur‟an,

dimulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan

penyebaranNya pada masyarakat Arab sebagai objek wahyu

pertama, serta kodifikasi dan cara bacanya, kajian-kajian

tersebut sekarang dikenal dengan istilah „Ulūm al-Qur‟ān,

ringkasnya, kajian ini fokus pada arti pentingnya aspek-aspek

historis, sosial, kultural dan antropologis masyarakat Arab

pada abad ke tujuh sebagai objek pertama diturunkannya al-

1Dalhari, “Karya Tafsir Modern Di Timur Tengah Abad 19

Dan 20 M,” dalam Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 3, no.

1, juni 2013, h. 64. 2Amīn al-Khūlī, Manāhij Tajdīd fī Naḥw wa al-Balāghah

wa al-Adab (Mesir: Dār al-Ma‟ārif, t.th), h. 234.

Page 13: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

2

Qur‟an.3 Adapun pendapat yang menyatakan bahwa dalam

mengkaji al-Qur‟an selain harus mengikut sertakan ilmu-ilmu

al-Qur‟an („Ulūm al-Qur‟ān), ilmu-ilmu Humaniora pun

harus digunakan untuk menggali kandungan dan maksud yang

dikehendaki al-Qur‟an, pendapat ini bukan hanya digagas oleh

Amīn al-Khūlī, Fazlur Rahman (1919-1988 M.)4 dan

Muḥammad „Abduh (1849-1905 M.)5 pun menggagas ini.

Kajian mengenai al-Qur‟an dan disiplin-disiplin ilmu

yang menopangnya menjadi perhatian yang cukup memikat.

Selain karena al-Qur‟an merupakan kitab suci yang diimani

oleh penganut agama Islam, juga karena al-Qur‟an

menyisakkan banyak misteri yang harus ditafsirkan untuk

mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamNya, selain

itu ada beberapa bagian dari al-Qur‟an yang menarik untuk

mengkajinya6, salah satunya yang banyak yang dipertanyakan

terkait aspek al-Qur‟an adalah adanya pengulangan-

pengulangan pada teks al-Qur‟an.

Jumhur Ulama telah sepakat bahwa urutan ayat yang

tersusun oleh kata-kata dalam satu surat merupakan tawqifī,

yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasullullah sebagai

penerima wahyu.7 Jika urutan kata-kata dalam ayat, urutan

3M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar

(Yogyakarta: eLSAQ, 2005), h. 12-13. 4Gagasan Fazlur Rahman terpenting bagi Studi al-Qur‟an,

yakni metode sistematisnya untuk menafsirkan al-Qur‟an yang

melibatkan historisitas dan kontekstualitas. Lihat: Fazlur Rahman,

“The Impact Of Modernity On Islam,” dalam Islamic Studies V,

1966, h. 121. 5Menurut Abduh dalam mengkaji al-Qur‟an sepatutnya

mengedepankan ilmu Sosiologi („Ilm Aḥwāl al-Bashar) lihat:

Muḥammad „Abduh, Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah, h. 16. 6Ahmad Fawaid Sjadzili, “Diskursus „Ulum al-Qur‟an di

Mesir Kontemporer,” dalam Studi al-Qur‟an II, no. 2, 2007, h. 499. 7Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān

(Damaskus: Dār al-Fikr, 1979 ), h. 60-63.

Page 14: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

3

ayat-ayat dalam surat dan urutan surat-surat yang ada

sekarang dalam muṣḥaf ūthmānī merupakan tauwqifī, maka

pada tataran penggalian kandungan susunan tersebut

merupakan ijtihadī karena bagaimana pun penggalian

kandungan dari pertalian ayat (munāsabah)8 dan pengulangan

lafaz itu dapat lahir dari sejauh mana seorang mufassir

berkecimpung9 dalam mengkaji al-Qur‟an, maka dari itu,

hasil dari dua kajian ilmu ini akan berbeda satu dengan

lainnya, walaupun tidak menutup kemungkinan seorang

mufasir memberikan pengaruh pada mufassir setelahnya.

Kosakata sebagai pembentuk kalimat yang tersusun

dalam sebuah karya manusia, umumnya bisa digantikan dan

dikembangkan dengan kata sinonim oleh pembaca. Namun

tidak demikian dengan mengutip firman Allah yang tertuang

dalam al-Qur‟an, karena hanya sang Pencipta yang berhak

mengubah kata-kata dan materi guna menjaga hak-Nya.10

Di

lain pihak banyaknya kata/lafaz dalam al-Qur‟an yang

diulangi berkali-kali.

8Hasani Ahmad Said, Diskursus Munāsabah al-Qur‟an

(Ciputat: Puspita Press, 2011), 14-15. 9Maka dari itu al-Sha‟rāwī pun lebih cocok menamai kitab

tafsirnya bukan dengan judul tafsir tetapi dengan Khawāṭir Ḥawl al-

Qur‟ān al-Karīm, lihat: surat pernyataan al-Sha‟rāwī yang terlampir

pada kitab Tafsīr al-Sha‟rāwī jilid pertama, pada surat tersebut al-

Sha‟rāwī menyatakan kitab yang berjilid-jilid yang disusun oleh

muridnya, adalah benar adalah isi dari ceramahnya: M. Mutawallī

al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī: Khawāṭir Faḍīlah al-Shaykh

Muḥummad Mutawallī al-Sha‟rāwī Ḥawl al-Qur‟ān al-Karīm

(Cairo: Idārah al-Kutub wa al-Maktabāt, 1991), h. 4. 10

M. Muṣṭafā „Azamī, The History of The Qur‟anic Text

from Revelation to Compilation A Comparative Study The Old and

New Testaments, Terj. Sohirin Solihin (Jakarta: Gema Insani Press,

2005), h. 74.

Page 15: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

4

Bahkan Jika diamati banyak redaksi ayat yang

menguraikan kisah tertentu dengan beredaksi mirip11

.

Fenomena ini12

merupakan realitas menarik yang tidak dapat

dihindari oleh para mufassir. Menurut al-Khāṭib al-Iskāfi (420

H), dari 114 surat Al-Qur‟an, hanya 28 surah atau sekitar 25%

yang tidak mengandung ayat yang beredaksi mirip. Sementara

Taj al-Qurra al-Kirmānī bahwa dia menemukan sebelas surat

atau kurang dari 11% yang tidak mengandung ayat-ayat yang

mirip.13

Temuan ini menunjukkan bahwa intensnya al-Qur‟an

dalam menguraikan kandungannya dengan menggunakan

model pengulangan.

11

Penelitian terkait metode penafsiran ayat-ayat yang

beradaksi mirip telah dilakukan oleh Nasruddin Baidan pada tahun

1990, di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dari asil penelitiannya, Nasruddin menyimpulkan tak kurang dari

75% dari 144 surat dalam al-Qur‟an mengandung ayat-ayat

beredaksi mirip. lihat: Nasruddin Baidan, ”Metode Penafsiran Ayat-

Ayat Beredaksi Mirip di Dalam Al-Qur‟an,” (Disertasi S3 Fakultas

Pasca Sarjana IAIN Syari HIdayatullah Jakarta 1990), h. 324. 12

Menurut Ibn Qutaybah, masyarakat Arab memiliki tradisi

(sunnah) dalam bertutur (baik dalam bentuk perkataan, do‟a dan

tulisan) mengulang-ulang apa yang iya ingin sampaikan.

مذاىبهم. ومن فقد أعلمتك أن القرآن نزل بلسان القوم، وعلى “مذاىبهم التكرار: إرادة التوكيد والإفهام، كما أن من مذاىبهم الاختصار: إرادة التخفيف والإيجاز، لأن افتتان المتكلم والخطيب في

أحسن من اقتصاره في المقام -الفنون، وخروجو عن شيء إلى شيء ”على فن واحد.

Lihat: Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkīl al-Qur‟ān,,, h. 235. 13

Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Ayat-ayat yang

Beredaksi Mirip dalam Al-Qur‟an, (Pekan Baru: Fajarr Harapan,

1993), h. 7.

Page 16: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

5

Topik pembahasan pengulangan lafaz dalam al-

Qur‟an sudah lama dipermasalahkan oleh banyak peneliti

(Orientalis)14

, sedangkan dari kaum yang mempercayai al-

Qur‟an sebagai kitab sucinya pun saling berbeda pendapat

terkait topik ini, menurut Ibn Qutaybah (213-276 H.),

pengulangan yang terdapat dalam al-Qu‟an itu berfungsi

untuk menguatkan kandungan yang sudah dipaparkan

sebelumnya dan memberi pemahaman yang mendalam.15

Sedangkan menurut al-Sha‟rāwī pengulangan lafaz yang

terdapat al-Qur‟an itu hanya pengulanan secara lafaz, tidak

ada pengulangan secara kandungan16

. Tentu pendapat ini

menarik untuk dikaji, bagaimana konsistensi dan metode yang

digunakan dalam mengeloborasi pengulangan dalam al-

Qur‟an

Adapun kajian tikrār17

fī al-Qur‟ān berawal dari

kenyataan bahwa dalam al-Qur‟an (Muṣḥaf Uthmanī ) banyak

sekali pengulangan, menurut Maḥmūd bin Ḥamzah al-

Karmānī (w. 505 H.) yang telah melakukan invetarisasi18

14

Salah satu Orientalis yang mengkaji al-Qur‟an dari segi

kebahasaannya adalah Cristoph Luxernberg, dari hasil kajiannya ia

berkesimpulan, bahwa tidak ada unsur kemukjizatan al-Qur‟an dari

segi kebahasaannnya, melainkan sebagian dari al-Qur‟an

berasal/menggunakan bahasa Syria-Aromaik, Lihat: Cristoph

Luxernberg, Syro-Aramaic Reading to The al-Qur‟an: A

Contribution to Decoding of The language to The Koran ( Berlin:

Verlag Hans Schiler, 2004), h. 30. 15

Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkil al-Qur‟ān…., h. 235. 16

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, (Cairo:

Idarah al-Kutub wa al-maktabāt, 1991), h. 48. 17

Tikrār merupakan bentuk maṣdar dari kata مكرارا - تكرارا

-تكريرا -تكريرة -تكريرا -يكرر -)كرر ( lihat: Muḥammad Ma‟ṣūm bin „

Alī, Amthilah al-Taṣrifiyyah, (Surabaya: Maktabah wa Maṭba‟ah

Sālim Nabhān, T. Th), h.14. 18

Inventarisasi bermakna pencatatan atau pengumpulan

data (tentang kegiatan, hasil yang dicapai dan sebagainya) Sumber:

Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia versi lima.

Page 17: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

6

pengulangan lafaz yang dikategorikan per-surat, ia

menemukan 589 pengulangan lafaz19

, dari surat al-Fātiḥah

sampai surat al-Nās. Maka penggalian makna dan kandungan

yang terdapat tikrār dalam al-Qur‟an seyogyanya harus terus

digali untuk menjadikan al-Qur‟an selalu relevan.

Pandangan para pengkaji al-Qur‟an terhadap

pengulangan yang terdapat pada al-Qur‟an beragam,

mayoritas berpendapat bahwa tikrār itu berfungsi untuk

menguatkan (taw‟kīd) dan memberikan pemahaman yang

mendalam (ifhām) seperti Ibn Qutaybah, berbeda dengan

pendapat Badr al-Dīn Muḥammad al-Zarkashī, menurut al-

Zarkashī bahwa tikrār itu ablagh dari pada taw‟kīd, karena

tikrār itu membangun (makna dan maksud) sedangkan

taw‟kīd itu menentukan keinginan makna dari kata/kalimat

yang terdahulu dan menghilangkannya juga tidak apa-apa.20

Dengan persepektif inilah embrio gagasan bahwa

pengulangan dalam al-Qur‟an ada hanya pada tataran lafaz

saja, tidak berlaku pada wilayah makna dan kandungannya.

Kata-kata yang sama secara lafaz tetapi diletakkan di

ayat/surat yang berbeda memiliki filosofi makna dan

kandungan yang berbeda21

, ini menggambarkankan tentang

i`jāz al-Qur`ān yang tidak akan pernah habis ditelan zaman.

Karena itu, aspek i`jāz al-Qur`an harus terus berevolusi pada

tiap generasi, dengan dalih bahwa meskipun al-Qur`an telah

19

Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkil al-Qur‟ān…., h. 257. 20

Badr al-Dīn Abī „Abd Allāh Muḥammad al-Zarkashī, al-

Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 9.

ىناك تكرار في القران الكريم, وإذا تكرر اللفظ نقول انو ليس “21فيكون معناه في كل مرة مختلفا معناه فى المرة السابقة, لأن المتكلم ىو الله سبحانو وتعال ....ولذلك فهو يضع اللفظ فى مكانو

”الصحيح, وفى معناه الصحيح

Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī…., h. 47-48.

Page 18: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

7

melewati berabad-abad dari masa penurunannya, al-Qur`an

masih tetap hangat dikaji, diteliti dan diperbincangkan.

Usaha-usaha untuk mengetahui rahasia-rahasia yang

terkandung di dalamnya masih terus dilakukan. Para

pengkritisi Islam pun sangat agresif mengkaji kitab suci ini,

walaupun tujuannya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk

mendapatkan kelemahan-kelemahan di dalamnya dan

merekapun tidak mendapatkanya.22

Salah satu penafsir yang meyakini dan mengkaji

bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an hanya ada secara lafaz

tidak secara makna adalah Muḥammad Mutawallī al-

Sha‟rāwī, juru dakwah,23

darinya lahir banyak karya, dia

mempunyai gagasan bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an

memiliki makna dan kandungan dari tiap masing-masing

pengulangannya24

. Tafsirnya pun tergolong dalam tafsir

22

Mahmūd bin Mahmud Al-Abdullah, al-I`jāz al-

bayanī Wa al-Tashrī`I wa al-Sabaq al-ilmi Li al-Qur`ān (Tanta: al-

Majdli al-Tsaqafah wa al-Ulum, 2008), h. 9. Walaupun anggapan

ini tidak benar sepenuhnya, banyak juga akademisi Barat meneliti

al-Qur‟an tanpa ada niat mencari kelemahan alQur‟an atau

mendikreditkan al-Qur‟an. 23

Ahmad al-Mursi Husein Jauhar, al-Shaykh Muḥammad

Mutawallī al-Sha‟rāwī; Imām al-„Ashr (t.tp t.th), h. 212-213. 24

Misalnya ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan lafaz الرحمن

dalam الرحمن الرحيم dalam surat al-Fātiḥah, menurutnya lafaz الرحيم

basmalah memiliki makna dan maksud yang berbeda dengan الرحمن

pada ayat surat al-Fatiḥah yang ke tiga, dalam menafsirkan الرحيم

al-Sha‟rāwī, memapar terlebih dahulu argumentasi الرحمن الرحيم

mengapa di setiap hendak melakukan sesuatu seorang hamba

sepatutnya mengucapkan bismillah,lalu al-Sha‟rāwī menyatakan

tidak ada pengulangan kandungan dalam al-Qur‟an, yang ada hanya

pengulangan lafaz. Dalam menafsirkan, al-Sha‟rāwī menggunakan

hadis, ayat (bi al-Ma‟thūr) dan ra‟yi sebagai sumber penasirannya.

Itu pun berlaku ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan lafaz di atas,

menurutnya perlu disadari oleh setiap kita, bahwa dua sifat Allah

yang tertera pada bismillāh itu merupakan peringatan pada kita

Page 19: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

8

kontemporer, maka tak heran di dalamnya kerap kali

mendiskusikan problematika sosial yang ada pada zamannya.

Selain tafsir al-Sha‟rāwī, ada pula kitab yang

mempunyai gagasan yang sama bahwa tidak ada pengulangan

secara makna, yang ada hanya pengulangan secara laaz, di

tulis oleh Ibn al-Zubayr dengan nama lengkap Aḥmad b.

Ibrāhīm b. al-Zubayr b. Muḥammad b. Ibrāhīm (708 H.)25

, ia

menulis kitab yang berjudul Milāk al-Ta‟wîl al-Qāṭi‟ bi

Dhawi al-Ilḥād wa al-Ta‟ṭīl fī Tawjīh al-Mutashabih al-lafẓ

min Ây al-Tanzīl, karya Ibn al-Zubayr merupakan kitab tafsir

tematik yang orientasi penjelasannya menitikberatkan dalam

mentakwilkan ayat-ayat yang mengalami pengulangan

(tikrār), kalimat-kalimat yang beredaksi mirip (mutashābih

al-lafẓī26

). Tentu berbeda dengan al-Sha‟rāwī yang menafsiri

al-Qur‟an secara taḥlili.

bahwa pintu maaf selalu terbuka bagi setiap kita, al-Sha‟rāwī

menambahkan bahwa jika seseorang yang jatuh pada perbuatan keji

(maksiat). Sedangkan al-Sha‟rāwī ketika menafsirkan lafaz الرحمن

pada ayat yang ketiga dari surat al-Fātiḥah iya menitik الرحيم

beratkan pada konteks ayat, yaitu yang berhubungan dengan lafaz

ingin الرحمن الرحيم menurut al-Sha‟rāwī pada ayat ketiga , برب العالمين

menyatakan bahwa kasih sayang Allah Swt meliputi bagi setiap

makhluknya di muka bumi ini, baik itu mukmin dan pula kafir. Iya

mencontohkan nikmat yang Allah berikan berupa adanya matahari

dan turunnya hujan itu bagi siapa saja, baik itu mukmin dan pula

kafir. Lihat :M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, (Cairo:

Idarah al-Kutub wa al-maktabāt, 1991), h. 48-51. 25

Ibn al-Zubayr, Milāk al-Ta‟wīl (Libanon, Dār al-Kutub

al-„Ilmiyah, 1971),h. Cover. 26

Misalnya ketika menafsirkan diksi ayat pertama dari

surah al-Baqarah, Alif-Lām-mīm. Selain menjadi pembuka dari al-

Baqarah, ayat ini juga menjadi pembuka di beberapa surah yaitu

surat Āl 'Imrān, al-„Ankabūt, al-Rūm, Luqmān, dan al-Sajdah.

Menurut Ibn Zubayr, al-ḥurūf al-muqaṭṭa‟ah adalah indikasi khusus

tentang huruf-huruf yang terbanyak ditemukan dalam surat yang

diawali al-ḥurūf al-muqaṭṭa‟ah. Jika diperhatikan, huruf-huruf yang

Page 20: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

9

B. Permasalahan

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian

pendahuluan, bahwa studi ini hendak mengkaji dan menguji

konsistensi pernyataan dan penafsiran al-Sha‟rāwī yang

berpendapat, bahwa pengulangan yang terdapat dalam al-

Qur‟an hanya berlaku pada tataran lafaz saja, pengulangan

tidak berlaku pada tataran makna. Ini secara tidak langsung

menolak pendapat yang memasukkan pembahasaan

pengulangan dalam al-Qur‟an termasuk pada bagian

pembahasan mutashābih al-Qur‟ān. Oleh karena itu, perlu

diajukan beberapa pertanyaan penelitian, agar penelitian ini

lebih akurat, terperinci dan fokus. Permasalahan penelitian

dibagi menjadi tiga bagian, yaitu identifikasi masalah,

perumusan masalah dan pembatasan masalah. Adapun

rinciannya sebagai berikut:

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka

permasalahan yang mungkin untuk diteliti dalam tulisan ini

adalah pengulangan dalam al-Qur‟an perspektif al-Sha‟rāwī

merupakan tema sentral dalam penulisan karya ilmiah ini.

Dari penjabaran di atas penulis mencoba mengidentifikasi

permasalahan-permasalahan yang muncul dari tema tersebut,

di antaranya adalah:

menjadi awal dan pembuka surat. Pendapat ini berbeda dengan

pendapat para pengkaji al-qur‟an, mayoritas ulama abad pertama

hingga abad ketiga, yang berpendapat bahwa al-ḥurūf al-muqaṭṭa‟ah

adalah rahasia Allah yang tidak bisa ditafsirkan, dan tidak ada ruang

bagi manusia untuk berpendapat. Lihat: Delta Yaumin Nahri,

“Ta‟wīl Ibn Al-Zubayr Terhadap Mutashābih Al-Lafẓ Dalam Al-

Qur‟an,” dalam Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 4, no. 1,

Juni 2014, h. 5-6.

Page 21: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

10

a) Bagaimana kriteria pengulangan yang dieloborasi

oleh al-Sha‟rāwī

b) Pendekatan apa yang digunakan oleh al-Sha‟rāwī

dalam menggali kandungan dalam pengulangan.

c) Bagaimana pola penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap

pengulangan yang terdapat pada tafsirnya.

d) Bagaimana konsistensi al-Sha‟rāwī dengan

pernyataan “tidak ada pengulangan dalam al-Qur‟an

secara makna, yang ada hanya pada tataran lafaz”

e) Bagaimana hasil dari penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap

pengulangan yang terdapat dalam tafsirnya

f) Bagaimana kajian tikrār pada masa klasik dan masa

modern/kontemporer.

Poin-poin di atas merupakan masalah yang muncul

dari pembahasan karya tulis ini. Pada bagian dibawah ini

penulis fokuskan yang menjadi objek/tujuan penelitian ini.

2. Pambatasan Masalah

Berdasarkan perumusan masalah di atas dan

mengingat luasnya ruang lingkup objek dari kajian al-tikrār

dalam al-Qur‟an, maka dalam penulisan tesis ini, penulis

membatasi pada dua aspek, antara lain:

a) Penafsiran al-Sha'rāwī terhadap tikrār yang dia

uraikan pada tafsirnya, yaitu Tafsīr al-Sha'rāwī

terbitan Akhbār al-Yawm.

b) Bagaimana hasil dari penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap

pengulangan dalam al-Qur‟an, dibandingkan dengan

para sarjana yang sama-sama mengkaji tikrār fī al-

Qur‟ān.

Page 22: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

11

Dalam studi ini, penulis membatasi kajian tikrār

dalam Tafsīr al-Sha‟rāwī dengan kriteria, pembandingan lafaz

dalam mengeloborasi objek tikrār tersebut.27

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bagian identifikasi masalah

di atas, dapat dirangkum rumusan masalah untuk studi ini

dalam sebuah kalimat seperti berikut: “Bagaimana penafsiran

al-Sha‟rāwī terhadap lafaz tikrār dalam tafsirnya yang

berjudul Tafsīr al-Sha‟rāwī”.

Rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam dua

pertanyaan, antara lain: pertama, bagaimana pola penafsiran

al-Sha'rāwī terhadap lafaz-lafaz yang mengalami

pengulangan? Kedua, bagaimana hasil penafsiran al-Sha'rāwī

terhadap tikrār dan pendekatan apa yang digunakannya dalam

menguraikan penafsiran?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang dimungkinkan dicapai dari

hasil penelitian ini, sehingga penelitian ini memang benar-

benar layak dan menarik untuk dikaji lebih lanjut dan

komprehensif, antara lain:

a) Menjelaskan dan menguraikan konstruk penjelasan

penafsiran dan pendekatan al-Sha'rāwī dalam

menguraikan lafaz tikrār.

27

Seperti halnya yang telah dipaparkan pada contoh yang

telah dipaparkan, bagaimana al-Sha‟rāwī menafsir lafaz al-raḥmān

al-raḥīm dalam surah al-Fātiḥah. Membandingkan dua unsur

pengulangan, lalu menjelaskan masing-masing konteks dari lafaz

yang mengalami pengulangan, dari situ ditemukan fokus utama dari

masing-masing pengulangan, lalu digabungkan antara kanddungan

satu dengan yang lain, guna memformulasikan makna yang

terkandung pada pengulangan.

Page 23: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

12

b) Menjelaskan dan Menganalisa hasil dari penafsiran

al-Sha‟rāwī terhadap pengulangan dalam al-Qur‟an.

2. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik

secara akademik dan teoritis, antara lain:

Secara akademik, penelitian ini bermanfaat untuk

memperkaya khazanah studi al-Qur‟an yang berusaha untuk

menggali kandungan tikrār dari sudut pandang M. Mutawalli

al-Sha‟rāwī.

Secara Teori, Studi ini memberikan wawasan

kontribusi tikrār dengan gagasan tidak ada pengulangan

secara makna dan kandungan yang hanya ada pengulangan

secara lafaz.

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Tulisan ini bukan tulisan pertama yang membahas

tentang pengulangan dalam al-Qur‟an, bukan pula, tulisan

pertama mengenai tokoh mesir yang bernama M. Mutawalli

al-Sha'rāwī. Berikut dipaparkan tulisan-tulisan terdahulu

terkait dengan dua tema (pengulangan dalam al-Qur‟an dan

Penafsiran al-Sha'rāwī) pada pokok bahasan dalam penelitian

ini:

a. Tema pengulangan lafaz dalam al-Qur‟an, dijadikan

objek penelitian bukanlah hal yang baru. Sudah banyak

literatur klasik (turāth) maupun penelitian akademisi

yang mengkaji tentang tema ini. Untuk mencari tahu

sejauh mana tema ini telah didiskusikan, penulis

paparkan berikut tulisan dan penelitian mengenai tema

pengulangan lafaz dalam al-Qur‟an:

Pertama, Maḥmūd bin Ḥamzah al-Kirmānī28

(W. 505

H), Asrār al-Tikrār fī al-Qur‟ān; al-Burhān fī taujīh

28

al-Kirmānī yang dimaksud di sini bukan ulama yang

mensyarihi kitab Ṣaḥīḥ Bukharī, tetapi al-Kirmānī ini bernama

Page 24: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

13

mutashābih al-Qur‟ān limā fī al-Hujjah wa al-Bayān.

Menguraikan penjelasan rahasia dari pengulangan dalam

al-Qur‟an.29

Dalam kitab ini, al-Kirmānī melakukan

inventarisasi lafaz-lafaz yang diulangi, berdasarkan

kategori tiap-tiap surat. Misalnya dalam kitabnya ini,

menurut al-Kirmānī dalam surat al-Fātiḥah ada empat

kali pengulangan. Di setiap pengulangan ia tafsiri dengan

singkat dan padat, sampai pada kata ḍomir pun.

Kedua, Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Ayat-

Ayat yang Beredaksi Mirip di dalam Al-Qur‟an. Dia

berpendapat, untuk menafsirkan ayat-ayat yang yang

beredaksi mirip, diperlukan metode, agar seorang

penafsir tidak keliru dalam menafsirkan ayat-ayat yang

beredaksi mirip. Dalam penelitian ini, Nashruddin

menemukan empat langkah yang perlu diterapkan dalam

menggunakan metode komparatif yaitu, pertama,

menghimpun dan mengidentifikasi ayat-ayat yang

beredaksi mirip. Kedua, membandingkan kemiripan

redaksi. Ketiga, menganalisa kemiripan redaksi. Dan

lengkap Maḥmūd bin Ḥamzah bin Naṣr Abū al-Qāsim Burhān al-

Dīn al-Kirmānī, ia menulis beberapa kitab, antara lain:

1) Lubāb al-Tafsīr wa „Ajāib al-Ta‟wīl atau sering

dinamai dengan al-„Ajāib wa al-Gharāib.

2) Khat al-Maṣāḥif

3) Lubāb al-Ta‟wīl

4) Asrār al-Tikrār fī al-Qur‟ān; al-Burhān fī taujīh

mutashābih al-Qur‟ān limā fī al-Hujjah wa al-

Bayān.

5) Sharḥ al-Lam‟i li Ibn Janā

6) Al-Ikhtiṣār al-Lam‟i li Ibn Janā

7) Al-Mukhtṣar al-Īḍāḥ li al-Fārisī (informasi

keterangan di atas didapatkan dari Maḥmūd bin

Ḥamzah al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-Qur‟ān

…., h. 15-19. 29

Maḥmūd bin Ḥamzah al-Karāmānī, Asrār al-Tikrār fī al-

Qur‟ān, Dār al-Faḍīlah, t.th.

Page 25: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

14

keempat, membandingkan pendapat-pendapat para

mufassir tentang kemiripan redaksi tersebut. Penelitian

ini juga menyimpulkan, bahwa, kekeliruan dalam

menafsirkan ayat-ayat yang beredaksi mirip, salah satu

penyebab utamanya adalah mufassir kurang

memperhatikan metode tersebut.30

Dari disertasi tersebut

ditemukkan pengulangan dalam al-Qur‟an yang ditinjau

secara lafaz, namun belum ditemukkan pembahasan yang

menghasilkan bahwa tidak ada pengulangan pada al-

Qur‟an secara nilai dengan menggunakan pandangan al-

Sha‟rāwī.

Ketiga, Studi Neuwrith ini tentang bentuk dan

struktur surah al-Ḥijr, yang menjadi fokus kajian dari

studi ini adalah struktur surah, dalam kajiannya,

Neuwirth membagi surah menjadi beberapa bagian

berdasarkan kelompok ayat tematik (enjeux), seperti

penghiburan, polemik, dan narasi. Analisisnya tentang

bagian-bagian mengungkapkan apa yang dia sebut

“referentiality” (ayat yang diulangi, pararel secara

semantik) yang merupakan pengulangan tema sentral

berupa ayat-ayat di surah-surah yang berbeda, serta

kemunculan paralel antara pengulangan. Bagian surah,

seperti yang diperlihatkan Neuwirth dalam analisisnya,

satu sama lainnya adalah saling berhubungan dari hasil

observasinya terhadap ayat yang dia diistilahkan dengan

referentilality (ayat yang diulangi, pararel secara

semantik) antara surah al-Ḥijr dan surat-surat dalam al-

Qur'an, analisanya menunjukkan bahwa bentuk-bentuk

pengulangan bukan hanya sekedar pengulangan belaka

yang tidak memiliki makna, lebih dari itu, bentuk-bentuk

pengulangan tersebut jika dihimpun dan dianalisa

30

Nashruddin Baidan, “Metode Penafsiran Ayat-Ayat yang

Beredaksi Mirip di Dalam Al-Qur‟an,” ( Disertasi S3 Fakultas

Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri, 1990), h. 324-325.

Page 26: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

15

berkesimpulan bahwa pengulangan-pengulangan itu

membangun satu dengan yang lainnya, menyusun unsur-

unsur yang menghasilkan perpaduan yang darinya

melahirkan fokus makna yang baru.31

Kajian ini

menguatkan bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an hanya

berupa dalam tataran lafaz, tidak masuk pada tataran

makna, kesimpulan ini juga dipaparkan oleh al-Sha‟rāwī,

adapun penelitian ini berusaha membuktikan dan

menguatkan dengan cara mengkaji penafsiran al-

Sha‟rāwī terhadap lafaz yang mengalami pengulangan,

menurutnya pada tiap pengulangan lafaz memiliki makna

yang dipengaruhi oleh konteks dan informasi yang terkait

dengan lafaz, dengan cara dikombinasikan, makna yang

terdapat pada pengulangan lafaz menjadi bahan dalam

memformulasikan makna yang lebih komprehensif.

Keempat, Artikel yang berjudul “Repitition in the

Qur‟an: A Relevance Based Explanation of the

Phenomenon” ditulis oleh Salwa al-Awa32

. Diterbitkan

oleh jurnal Islamic Studies, Edisi Vol. 42, No. 4, 2003.

Salwa mengidentifikasi fungsi interaksi komunikasi dari

pengulangan-pengulangan ayat dan menunjukkan

bagaimana pengulangan-pengulangan tersebut berfungsi.

Salwa mendiskusikan tema ini melalui fenomena

kejadian-kejadian dalam al-Qur‟an, yang terdapat di

dalamnya pengulangan-pengulangan, Salwa mengajukan

31

Angelika Neuwrith,“Referentialty and Textuality in al-

Ḥijr: Some Observations on The Qur‟anic Canonical Process and

Emergency of Community,”15 dalam Literary Structures of

Religious Meaning in the Qur‟ān, ed. Issa J. Boullata (Richmond:

Curzon, 2000), 158-159. 32

Salwa el-Awa adalah seorang Dosen di bidang Qur‟anic

Studies pada Departemen Theology dan Religion di Brimingham

University. Lihat:

https://berkleycenter.georgetown.edu/people/salwa-el-awa diakses

pada 29- 01-2017.

Page 27: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

16

sebuah framework baru untuk memahami pengulangan-

pengulangan dalam al-Qur‟an.33

dalam artikelnya Salwa

mengkategorikan pengulangan ayat yang terdapat pada

kisah-kisah dalam al-Qur‟an menjadi empat kategori, ini

tidak bisa lepas dari latar belakangnya yang menekuni

linguistik. Tidak ditemukan dalam artikelnya ini kutipan

yang berasal dari penafsiran Tafsīr al-Sha‟rāwī.

Kelima, John Wansbrough, menulis terkait kajian al-

Qur‟an secara luas, karyanya itu diberi judul “Qur‟anic

Studies: Sources and Method of Scriptural

Interpretation”. Karyanya ini tidak hanya fokus terhadap

kajian pengulangan dalam al-Qur‟an, tetapi salah satu

yang didiskusikan dalam buku ini adalah tema

pengulangan dalam al-Qur‟an pada kategori kisah-kisah

dalam al-Qur‟an. Menurut Wansbrough, pengulangan

kisah-kisah yang ada pada al-Qur‟an, yang tertulis pada

beberapa surat yang terpisah, itu dikarenakan para

penulis kisah-kisah tersebut berasal dari berbeda-beda

daerah. Pada kajian ini34

, WansBrough belum menguji

pengulangan dari segi kebahasaan dan apa yang

terkandung di dalamnya, seperti apa yang akan dilakukan

pada studi ini oleh penulis dengan menggunakan

perspektif penafsiran al-Sha‟rāwī. Keenam, Achmad Hasmi Hashona, menulis tentang

tema tikrār dengan judul “Repitisi Kisah Nabi Mūsa As.

Dalam al-Qur‟an; Kajian Strukturalisme dan Semiotik ”.

Hashona meneliti penggunaan gaya bahasa

(pengulangan) yang digunakan al-Qur‟an dalam

mengungkap kisah-kisah Nabi Musa As. Yang

33

Salwa al-Awa, “Repitition in the Qur‟an: A Relevance

Based Explanation of the Phenomenon,” dalam Islamic Studies 42,

no. 4, 2003, h. 577. 34

John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Method

of Scriptual Interpretation (New York: Prometheus Books, 2004), h.

42.

Page 28: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

17

dipaparakan dalam beberapa surat dengan menggunakan

pendekatan strukturalisme-semiotik, meliputi sintaksis,

semantik, dan pragmatik, lalu mengungkap tujuan dari

kisah Nabi Musa As. Dengan penggunaan uslūb tikrār35

.

Dari penelitian yang Hashona lakukan, menyimpulkan,

bahwa, secara kebahasaan setiap repitisi plot/alur,

terjadi perbedaan kosakata, struktur kalimat dan konteks

kalimat, menurut Hashona perbedaan ketiga aspek

kebahasaan tersebut dilatar belakangi oleh tujuan dan

maksud yang berbeda. Dalam penelitian ini tidak

ditemukan penggunaan Penafsiran al-Sha'rāwī dalam

mengkaji repitisi kisah Nabi Musa As, lebih lagi, tidak

ditemukan dalam disertasi ini formulasi yang digunakan

al-Sha'rāwī dalam mengkaji tikrār fī al-Qur‟ān.

Ketujuh, pembahasaan pengulangan dalam hadis

Nabi, ditulis oleh Umaymah Badr al-Dīn dengan judul

“al-Tikrār fī al-Ḥadīth al-Nabawī al-Sharīf”, artikel ini

diterbitkan pada jurnal Universitas Damaskus pada edisi

26 tahun 2010, pada artikel ini Umaymah melakukan

inventarisasi terhadap kata-kata yang diulang beberapa

kali dalam beberapa sabda Nabi Muḥammad Saw. Tidak

sampai disitu, Umaymah pun mengkaji terhadap fungsi

repitisi yang terdapat pada hadis Nabi.36

Kedelapan, Disertasi yang ditulis oleh Dalia Abo

Haggar37

, dengan judul “Repetition: A key to Qur‟anic

Style, Structure and Meaning, 2010”. Dalam studi ini,

35

Achmad Hasmi Hashona, “Repitisi Kisah Nabi Musa As.

Dalam al-Qur‟an; Kajian Strukturalisme-Semiotika,” (Disertasi S3

Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, 2008), h. 208. 36

Umaymah Badr al-Dīn, “al-Tikrār fī Hadīth al-Nabawī al-

Sharīf,” dalam Jurnal Universitas Damaskus 26 (2010) 37

Dalia Abo-Haggar seorang Dosen pada Center for Middle

Eastern Studies di Harvard University, lihat:

http://www.islamicstudies.harvard.edu/faculty/dalia-abo-haggar/

diakses pada 26/02/20017.

Page 29: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

18

Abo Haggar menguji pengulangan ayat-ayat38

yang

terdapat pada tiga surat, yaitu surat al‟Arāf, Yūnus dan

al-Hūd. Dia amati dan analisa bagaimana fungsi dari

pengulangan ayat-ayat yang terdapat dari tiga surat yang

berbeda. Abo Haggar berkesimpulan bahwa, dalam

proses mengekstrak dan menganalisa perbedaan-

perbedaan skema yang terpaparkan dalam al-Qur‟an itu

semua bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang

lebih mendalam terhadap lapisan-lapisan dari makna teks

al-Qur‟an, selain itu dengan cara analisanya, dapat

mengulas hubungan dari pembahasan-pembahasan pokok

yang terdapat pada tiga surat tersebut dan kesimpulan

yang terakhir, dengan cara analisa seperti ini dapat

menunjukkan kepada pendengar/pembaca untuk

menemukan/mendapatkan kandungan-kandungan al-

Qur‟an yang tersirat/terpendam pada level struktur teks

al-Qur‟an39

Kesembilan, Andy Hadiyanto menulis, “Repitisi

Kisah al-Qur‟an; Analisis Struktural Genetik Terhadap

Kisah Nabi Ibrahim dalam Surah Makkiyyah dan

Madaniyyah”. Dilatar belakangi dari data yang ada dalam

al-Qur‟an, bahwa pengulangan suatu kisah diuraikan

dengan diulang-ulang pada beberapa surah, tetapi

sejatinya, adanya perbedaan gaya bahasa, gagasan, atau

episode yang diulang, inilah yang menjadikan penelitian

yang dilakukan oleh Hadianto dalam disertasinya.

Kesimpulan dari penelitian yang Hadiyanto lakukan

adalah Pertama. Konteks situasional dan kebahasan

dalam surah makkiyah dan madaniyyah berkontribusi

38

Ayat-ayat yang dimaksud disini adalah ayat-ayat yang

diulangi percis sama, kalaupun ada perbedaan/perubahan, itu hanya

perubahan/perbedaan minor. 39

Dalia Abo Haggar, Repetition: A Key To Qur‟anic Style,

Structure And Meaning, (Disertasi S3 University of Pennsylvania,

2010), h. viii.

Page 30: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

19

dalam ragam maksud, tujuan, tipologi dan penyusunan

konstruksi unsur-unsur kisah Ibrahīm dalam al-Qur‟an.

Kedua. Variasi penyajian ulang kisah Ibrahīm

disesuaikan dengan tema besar yang ingin dicapai oleh

surah di mana kisah tersebut disajikan40

Kesepuluh, Khoridatul Mudhiah menulis artikel

dengan judul ,”Menelusuri Makna Pengulangan Redaksi

dalam Surah ar-Raḥmān”. Membahas tentang rahasia

pengulangan redaksi dalam surat al-Raḥmān.

Terdapatnya pengulangan redaksi dalam surah ini,

melatar belakangi Khoridatul untuk mengetahui rahasia

di balik pengulangan, dengan mengunakan konten

analisis, Khoridatul mencermati dan melakukan

penafsiran terhadap redaksi yang diulang-ulang, guna

mendapatkan sesuatu yang tersirat di balik pesan yang

beredaksi repetitif. Hasil dari penelitian Khoridatul

adalah suatu temuan di mana redaksi yang diulang-ulang

itu benar memberikan pemahaman yang mendalam

tentang aspek-aspek psikologis yang memilki pengaruh

terhadap para pembacanya.41

kesimpulan yang

didapatkan dari kajian Khoridatul, secara tidak langsung

menguatkan salah satu kesimpulan dari Ibn Qutaybah

yang berpendapat bahwa pengulangan yang terdapat

dalam al-Qur‟an itu bertujuan untuk menguatkan (taukīd)

dan memberikan pemahaman secara mendalam (ifhām)42

tetapi tidak ada pernyataan dan kesimpulan pada artikel

ini yang menyatakan bahwa tidak ada pengulangan

40

Andy Hadiyanto, Repitisi Kisah al-Qur‟an; “Analisis

Struktural Genetik Terhadap Kisah Nabi Ibrahim dalam Surah

Makkiyyah dan Madaniyyah,” (Disertasi Sekolah Pasasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 5-6. 41

Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan

Redaksi Dalam Surat al-Raḥmān,” Hermeunetik 8, no. 1, Juni 2014,

h. 133. 42

Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Muskil al-Qur‟an, ……., h. 235.

Page 31: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

20

makna dan kandungan seperti yang dinyatakan oleh al-

Sha‟rāwī.

Kesebelas. Disertasinya yang diujikan pada 29

Januari 2016 di Univesitas Gadjah Mada, dengan Judul

“Bentuk dan Fungsi Pengulangan Dalam Surat Al-

Baqarah : Analisis Sistematik dan Stilistik”, Nur Faizin,

membahas bentuk dan fungsi pengulangan yang terdapat

di dalam surah Al-Baqarah sebagai sebuah teks tertulis.

Penelitian bentuk pengulangan ini dilakukan

menggunakan teori satuan-satuan kebahasaan (lingual

units) dalam hierarki bentuk satuan-satuannya. Analisis

meliputi analisis, fonologis, gramatikal dan tekstual,

yaitu analisis terhadap pengulangan fonem, morfem,

kata, frasa, klausa, kalimat, dan topik Surat Al-Baqarah.

Penelitian ini mengambil sumber data dari Q.S. Al-

Baqarah [2]. Pengambilan dan pengumpulan data

dilakukan dengan metode membaca dengan teknik

mencatat. Analisis data dilakukan dengan metode

distribusional dengan teknik bagi unsur langsung BUL

(segmenting immediate constituents) dan berupa teknik

lesap (deletion), teknik ganti (subtitution), dan teknik

ubah ujud (paraphase) sebagai teknik lanjutan.

Penggunaan teknik ganti dan ubah ujud digunakan

setelah teknik lesap dilakukan. Penelitian ini menemukan

bentuk-bentuk pengulangan yang mencakup: bentuk

pengulangan satuan kebahasaan fonem dan suku kata di

akhir ayat-ayat surah al-Baqarah; bentuk pengulangan

fonem di dalam ayat; bentuk pengulangan morfem dalam

ayat; bentuk pengulangan morfem dalam kata (tadl'if);

bentuk pengulangan kata dalam ayat yang meliputi

semua kelas kata: kata nomina, kata verba, dan juga

partikel (charf); bentuk pengulangan satuan kebahasaan

frasa dalam Ayat, meliputi frasa verbal, frasa nominal,

numeral, dan frasa adverbial; bentuk pengulangan klausa

dalam topik Surat yang meliputi klausa nominal dan

Page 32: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

21

klausa verbal; bentuk pengulangan kalimat dalam topik

Surat yang meliputi kalimat nominal dan kalimat verbal,

kalimat tunggal maupun kalimat majemuk; bentuk

pengulangan tekstual yang berupa pengulangan proposisi

di dalam topik-topik Surah Al-Baqarah.

Melalui analisis lanjutan ditemukan dua jenis

pengulangan yang mencakup: (1) pengulangan sistemik

(2) pengulangan gaya bahasa (stilistik). Fungsi

pengulangan sistemik meliputi: pengulangan sebagai

pemarkah kasus, pengulangan sebagai pemarkah modus;

pengulangan sebagai pembentuk leksem/kata;

pengulangan sebagai penghubung; pengulangan partikel

sebagai alat; pengulangan infinitif sebagai keterangan,

dan pengulangan sebagai peranti kohesi. Fungsi

pengulangan gaya bahasa digunakan untuk memberikan

penekanan (ta‟kīd), menunjukkan perbedaan,

memberikan pendidikan (tarbiyah), mendapatkan

kenyamanan (talaḍḍuḍ), memberikan dorongan,

menujukkan perhatian (ihtimām), menyerupakan

(tashbih), dan lain-lain. Sedangkan fungsi pengulangan

gaya bahasa berdasarkan posisinya meliputi gaya bunyi

yang musikal inter-ayat, gaya keserasian bunyi intra-ayat,

gaya kebalikan (al-`aks), gaya kontras (tadladd), gaya

berhadapan (muqabalah), dan lain-lain.43

Dari abstrak

yang diupload pada halaman website Universitas Gadjah

Mada, tidak ditemukan Nur Faizin menyimpulkan bahwa

pengulangan yang terdapat dalam surat al-Baqarah itu

hanya pengulangan secara lafaz, tetapi tidak secara

makna dan kandungannya dalam tiap-tiap

pengulangannya seperti yang dinyatakan oleh al-

Sha‟rāwī.

43

lihat:http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?act=view&

buku_id=92964&mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&typ

=html. Diakses pada 26/02/2017.

Page 33: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

22

Kedua belas, Artikel yang mengkaji tikrār terbaru

yang ditemukan adalah karya Faraan Alamgir Sayed

dengan judul "Repetition in Qurʾānic Qaṣaṣ: With

Reference to Thematic and Literary Coherence in the

Story of Moses" yang diterbitkan pada Journal of Islamic

and Muslim Studies pada Vol. 2, No. 2 (November

2017), lewat abstrak yang dapat diakses, dapat diketahui

bahwa, artikel ini mengkaji ayat-ayat yang mengalami

pengulangan yang mendiskusikan kisah Nabi Musa As.

kajian ini berkesimpulan bahwa, pengulangan lafaz yang

berbicara mengenai tema yang sama memiliki

keterhubungan, selain itu, kajian ini menyimpulkan

bahwa pengulangan lafaz secara leksikal dan tematis

saling melengkapi dalam menarasikan kisah Nabi Musa

dan memberikan kedalaman karakter lintas-kisah yang

lebih luas bagi penyimak.44

Ini semakna dengan pendapat

al-Sha‟rāwī dalam memahami lafaz yang mengalami

pengulangan yang berbicara tentang tema yang sama,

menurutnya bahwa sebagian kisah yang diuraikan dengan

cara pengulangan pada ayat/surah yang berbeda, masing-

masingnya memiliki makna dan fokus yang berbeda, jika

pengulangan yang dipaparkan pada ayat/surah yang

berbeda itu dikumpulkan, maka satu sama lain akan

saling melengkapi.45

Selian itu kajian ini menguatkan

hipotesa penulis, bahwa dalam menafsirkan dengan

44

https://www.jstor.org/stable/10.2979/jims.2.2.03?seq=1#p

age_scan_tab_contents. Diakses pada 24-01-2019. "والقصص في القرآن لا ترد مكررة. وقد يأتي بعض منها في آيات. 45

لقطة مختلفة. تعطينا في كل آية معلومة وبعض منها في آيات أخرى. ولكن الجديدة. بحيث أنك إذا جمعت كل الآيات التي ذكرت في القرآن الكريم. تجد -lihat: M. M. Al .أمامك قصة كاملة متكاملة. كل آية تضيف شيئا جديدا."

Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī ,,,,,,h. 237.

Page 34: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

23

metode tafsir tematik sebelum menghubungkan

kandungan (dengan „ilm munāsabah) dua ayat atau lebih

yang berbicara tema yang sama, terlebih dahulu harus

dipahami kandungan yang terdapat pada lafaz repititif

dari masing-masing ayat.

b. Kajian mengenai al-Sha‟rāwī dan pemikirannya (tafsir)

sudah banyak dilakukan, untuk mencari tahu tema apa

saja yang telah dikaji terkait pemikiran al-Sha'rāwī,

berikut kajian-kajian mengenai al-Sha'rāwī dan

pemikirannya:

Pertama, Tesis yang meneliti terkait pemikiran kalam

al-Sha‟rāwī dilakukan oleh Salahuddin, studi ini yang

dirampungkan pada tahun 1997, Salahuddin mengkaji

pemikiran kalam al-Sha‟rāwī lewat kitab-kitab al-

Sha‟rāwī, tidak hanya melalu kitab tafsirnya, tetapi kitab-

kitab al-Sha‟rāwī yang lainnya pun, studi ini meneliti

beberapa term, terkait tentang pemikiran kalam, yang

menjadi fokus pembahasannya antara lain: Perbuatan

Manusia, kemampuan akal, melihat Allah, konsep doa,

konsep iman, kehendak Allah, hukum kausalitas,

keadilan Allah, mukjizat al-Qur‟an, nama dan sifat Allah

dan mukjizat al-Qur‟an. Studi ini menyimpulkan, bahwa

pemikiran kalam al-Sha‟rāwī mirip dengan pemikiran

kalam tradisional Ash‟ariyah. Akan tetapi pemikiran

kalam Sha‟rāwī bukan merupakan adopsi dari kalam

Ash‟ariyah, karena Sha‟rāwī mengemukakan

argumentasi yang berbeda dalam membela pandangan

kalamnya.46

Dalam studi ini, tidak ditemukkan

pembahasan yang mengkaji bagaimana penafsiran

46

Salahuddin, Dimensi Kalam dalam Pemikiran Syekh

Muḥammad Mutawallī Sya‟rawī, Tesis Program Pascasarjana IAIN

Syarif Hidayatullah Jakarta 1997.

Page 35: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

24

Sha‟rāwī terkait pengulangan dalam al-Qur‟an yang

menjadi fokus studi penulis.

Kedua, disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, diteliti oleh Isytibsyaroh

(2004) yang menelaah dan meneliti pemikiran al-

Sha‟rāwī terkait hak-hak perempuan dalam relasi gender,

melalui kitab tafsir karya al-Sha‟rāwī sebagai sumber

utamanya. Studi ini berkesimpulan bahwa pandangan al-

Sha‟rāwī terhadap term-term relasi jender pada tafsirnya

memiliki pandangan yang moderat, misalnya;

membolehkan perempuan bekerja di luar, sepanjang

pekerjaannya itu tidak menimbulkan fitnah, dapat

menjaga prinsip-prinsip ajaran agama, kesusilaan dan

dapat mejaga diri. Tidak hanya sampai disitu,

Isytibsyaroh juga memaparkan, bahwa al-Sha‟rāwī

berpendapat bahwa perempuan dapat menjadi saksi

sebagaimana laki-laki dan juga membolehkan perempuan

menjabat sebagai pemimpin.47

Dari pembacaan yang

penulis lakukan, dapat disimpulkan pada disertasi ini,

Istibsyaroh tidak membahas tikrār fī al-Qur‟ān.

Ketiga, Badruzzaman M. Yunus, Disertasinya yang

dirampungkan pada tahun 2009, di Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul “Tafsīr al-

Sha‟rāwī; Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan

Ittijāh. Dari kajian yang dilakukan oleh Badruzzaman

ini, ia menyimpulkan bahwa Tafsīr al-Sha‟rāwī

menggunakan ra‟yi sebagai sumber dari penafsiran yang

dilakukannya, menurut Badruzzaman, ra‟yi tidak

selamanya menggunakan ijtihad/nalar sebagai sumber

penafsiran secara murni. Selain itu, Badruzzaman

menyimpulkan bahwa al-Sha‟rāwī dalam menafsirkan

47

Istibsyaroh, “Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender

pada Tafsir al-Sha‟rāwī,” (Disertasi S3 Pascasarjana UIN Jakarta,

Jakarta: 2004).

Page 36: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

25

menggunakan teori kesatuan dan teori korelasi. Adapun

ittijāh dalam tafsir bi al-ra‟yi muncul disebabkan latar

belakang dari seorang penafsir ketika ia menafsirkan dan

ittijāh pun muncul didasarkan dari tujuan yang telah

ditetapkan oleh mufassir pada saat akan menafsirkan.48

Jelas kiranya, dari kajian yang dilakukan Badruzzaman

terhadap Tafsīr al-Sha‟rāwī tidak membahas terkait

dengan penafsiran Sha‟rāwī terhadap pengulangan

(tikrār) dalam al-Qur‟an.

Keempat, Malkan, Dimensi Ilmiah dalam Tafsir al-

Sya‟rāwī Suatu Kajian Ayat tentang Penciptaan

Manusia. Disertasi Mahasiswa Sekolah Pascasarjana

UIN Jakarta tahun 2016, dia membandingkan

penafsiran al-Sha‟rāwī terkait ayat-ayat Proses produksi

manusia (ṭīn, ṭīn lāzib, ḥama‟ masnūn, Ṣalṣal, Nuṭfah,

„Alaqah, Muḍghah, Izām, panca indera, jantung dan sidik

jari) dengan ilmu pengetahuan modern, setelah

mencermati dari perbandingan dua sumber tersebut,

adanya beberapa pembahasan di atas yang relevan antara

penafsiran al-Sha‟rāwī dengan ilmu pengetahuan

modern.49

Kajian yang dilakukan oleh Malkan terhadap

Tafsir al-Sha‟rāwī itu hanya terkait dengan penafsiran

terhadap ayat-ayat yang mendiskusikan tentang

penciptaan manusia, tidak ditemukan dalam kajian ini

yang membahas tentang tikrār fī al-Qur‟an dalam Tafsir

al-Sha‟rāwī.

Berdasarkan pengamatan penulis, terhadap penelitian

dan karya tulis di atas, secara garis besar merefleksikan dua

wilayah kajian utama yakni, pertama Tafsīr Al-Sha‟rāwī dan

48

Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir al-Sya‟rāwī; Tinjauan

Terhadap Sumber, Metode dan Ittijāh,” (Disertasi S3 Sekolah

Pascasarjana UIN Jakarta, Jakarta:2009). 49

Malkan, Dimensi Ilmiah Dalam Tafsīr Al-Sha‟rāwī:

Suatu Kajian Ayat Tentang Penciptaan Manusia, (Jakarta: Mazhab

Ciputat, 2016).

Page 37: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

26

kajian tikrār dalam al-Qur‟an, sampai saat ini, belum

ditemukan studi yang mengkaji tikrār dalam Tafsīr al-

Sha‟rāwī.

E. Metodelogi Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Mengingat sumber dari penelitian ini adalah pustaka

murni, maka jenis penelitian ini dikategorikan sebagai

penelitian library research (penelitian pustaka), yang berarti

bahwa data yang menjadi objek hal-hal yang terkait dengan

teori al-tikrār fī al-Qur‟ān yang digunakan oleh al-Sha‟rāwī

dalam menafsirkan pengulangan dalam al-Qur‟an. penelitian

ini bersifat teoritis, metode yang digunakan adalah metode

kualitatif. Metode kualitatif secara umum dapat didefinisikan

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati50

.

Pendekatan strukturalisme digunakan guna membaca

penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap lafaz-lafaz yang mengalami

pengulangan dalam al-Qur‟an. Sebelum berbicara jauh dan

menerapkan strukturalisme linguistik terlebih dahulu

dipaparkan penjelasan terkait dengan pendekatan ini. Pada

dasarnya strukturalisme merupakan cara berfikir tentang dunia

sebagai badan yang terstruktur oleh unsur-unsur

pembangunnya. Berbagai unsur pembangun tersebut

dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis dari

pada sekedar susunan unsur-unsur pembangun. Oleh karena

itu, masing-masing unsur hanya akan bermakna jika

dihubungkan dengan unsur yang lain di dalam struktur.51

Maka dengan perspektif ini memahami sebuah teks sebagai

50

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif

(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 4. 51

Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics (Taylor &

Francis e-Library, 2004), h. 6-7.

Page 38: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

27

tubuh yang tersusun, yang setiap unsur penyusunnya

mempunyai makna dan kandungan dari tiap-tiap

bangunan/susunan yang disusunnya. Dengan demikian,

berbagai unsur pembangun/penyusun struktur memiliki

koherensi atau pertautan yang erat. mereka (unsur-unsur

penyusun) tidak berdiri sendiri satu dengan yang lainnya

(otonom), melainkan menjadi bagian dari situasi yang rumit

dan hanya dengan interaksi itulah teks itu mendapatkan arti.

Definisi strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur,

yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar

hubungannya, hubungan antar pihak yang satu dengan unsur

lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur-unsur

dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata

bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan

kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan

pertentangan. Dalam khazanah ilmu al-Qur‟an yang

membahas tentang bagaimana hubungan yang terdapat pada

al-Qur‟an, baik itu hubungan antar ayat, hubungan surah dan

masih banyak lagi macamnya, seperti yang telah penulis

paparkan pada bab sebelumnya. Ilmu ini dinamakan „Ilm

Munāsabah.

Linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang

menjadikan bahasa sabagai objek kajiannya, sedangkan

menurut Andre Matinet, linguistik adalah telaah ilmiah

mengenai bahasa manusia.52

Pandangan ini meneguhkan

bahwa linguistik merupakan pendekatan yang dapat

digunakan dalam menelaah al-Qu‟ran, karena al-Qur‟an

diuraikan menggunakan bahasa manusia, lebih spesifiknya

bahasa Arab.

Asumsi dasar Strukturalisme linguistik adalah bahwa

bahasa merupakan sistem yang terdiri kaidh-kaidah abstrak

yang menentukkan kombinasi serta relasi antar unsur

52

Andre Martinet, Ilmu Bahasa : Pengantar, Terj. Rahayu

S. Hidayat (Yogyakarta: Kansius , 1987), h. 19.

Page 39: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

28

bahasa.53

Artinya dengan asumsi ini, pada kajian ini penulis

akan menggunakan pendekatan strukturalisme linguistik

untuk membaca penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap

susunan/hubungan lafaz yang terbangun pada tiap susunan

lafaz dalam tikrār.

Pendekatan strukturalisme menjadi tool dalam

membaca dan menganalisa pengeloborasian al-Sha‟rāwī

terhadap struktur lafaz tikrār. Pendekatan ini juga digunakan

dalam mengkaji secara mendalam dalam membaca sebuah

kajian seorang tokoh yang mengkaji al-Qur‟an, yaitu

mengkaji pemkiran Muḥammad Shaḥrūr, kajian ini mengkaji

karya Muḥammad Shaḥrūr yang berjudul al-Kitāb wa al-

Qur‟ān: Qirā‟ah Mu‟āṣirah.

Dalam pandangan Zaki Mubarok dari hasil kajiannya

terhadap kajian-kajian terhadap studi strukturalisme linguistik,

ada enam prinsip analisis teks strukturalis, prinsip ini

merupakan perwujudan strukturalisme yang berasal dari

paradigma Strukturalisme Linguistik, berikut enam prinsip

analisis teks strukturalisme:54

1. Prinsip Imanensi, yaitu menekankan analisis pada

struktur atau sistem dalam perspektif singkronis atau

diakronis

2. Prinsip Distingsi, yaitu analisis terhadap hubungan

distingtif antar unsur dalam sistem yang mempunyai

nilai berbeda-beda

3. Prinsip kesesuaian, yaitu mengkaji aturan-aturan

yang menentukan kombinasi tiap-tiap elemen dalam

teks

53

Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik

dalam Tafsir al-Qur‟an Kontemporer “ala” M. Syahrur,

(Yogyakarta: eLSAQ, 2007), h. 306. 54

Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme .......,h. 105.

Page 40: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

29

4. Prinsip Integrasi, yaitu bahwa struktur-struktur

elementer harus diintegrasikan dalam totalitas sebuah

sistem

5. Prinsip perubahan diakronis. Perubahan diakronis

(sejarah) didasarkan pada analisis sinkronis sebuah

sistem

6. Prinsip fungsional, yaitu mengkaji fungsi komunikasi

dan fungsi-fungsi lainnya dari sistem ang ada pada

teks.

Enam analisis teks strukturalis linguistik di atas yang

disimpulkan oleh Zaki Mubarok ini tidak semuanya dapat

digunakan sebagai alat dalam menganalisa penafsiran al-

Sha‟rāwī terhadap tikrār, tentunya prinsip di atas lebih rinci

dari teori naẓm al-Jurjānī, tetapi penulis berpandangan bahwa

teori naẓm al-jurjānī relevan untuk membaca bagaimana

eloborasi al-Sha‟rāwī dalam menafsirkan tikrār fī al-Qur‟ān.

Pemahaman seperti ini kurang lebih serupa dengan

konsep Naẓm yang dikembangkan oleh „Abd al-Qāhir al-

Jurjānī55

(W. 471/1078) yang menyoal hubungan sintagmatis

kata di dalam kalimat dan struktur teks yang lebih luas. Kata-

kata individual , menurut al-Jurjānī, tidak memiliki nilai

distingtif kecuali berada dalam struktur yang lebih luas.56

Jadi

55

„Abd al-Qāhir al-Jurjānī lahir di kota Jurjān, sebuah kota

yang berlokasi di antara kota Khurāsān dan Ṭabaristān, al-Jurjāni

banyak menulis kitab, di antara banyak karyanya yang paling

penting di bidang balāghah dan i‟jaz al-Qur‟an adalah Dalāil al-

„Ijāz, Asrār al-Balāghah dan al-Risālah al-Shāfiyah . selain

kepakarannya di bidang linguistik, al-Jurjāni pun dikenal sebagai

pembela mazhab Asy„Ariyah di bidang Kalam dan Shafi‟iyah di

bidang Fiqih. Lihat: Muhammad Rafii Yunus, “Modern Approaches

to Study I‟jāz al-Qur‟ān,” (Disertasi S3 Fakultas Near Eastren

Studies di The University of Michigan, 1994), h. 10. 56

Sebagaimana yang dikutip oleh Fathurrahman, al-Qur‟an

dan Tafsirnya dalam Pesrpektif Toshihiko Izutsu, (Tesis Sekolah

PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 43. lihat: Aḥmad

Page 41: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

30

dengan perspektif ini, pembaca akan menemukan makna yang

berbeda dari satu kata yang sama, yang dikarenakan kata

tersebut berada pada konteks/kalimat yang berbeda.

Dengan analisa strukturalisme linguistik ini, penulis

akan mencoba untuk membaca dan menganalisa bagaimana

penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap terhadap ayat-ayat yang

terdapat di dalamnya pengulangan dan bagaimana cara kerja

al-Sha‟rāwī dalam menafsirkan struktur ayat yang dimana

tersususn atas unsur-unsur, yang al-Sha‟rāwī yakini bahwa

setiap unsur penyusun dari setiap ayat memiliki kandungan

dan makna di setiap tempatnya.

2. Sumber Data

Sumber Primer dalam melakukan studi ini adalah

kitab Tafsīr al-Sha‟rāwī karya yang ditulis oleh murid-

muridnya, antara lain Muḥammad al-Sinrawi, „Abd al-

Waris al-Dasuqi dari hasil penafsiran al-Sharāwī57

, adapun

data sekunder untuk penelitian ini adalah literatur ilmu al-

Qur‟an yang tertera di dalamnya ilmu al-tikrār fī al-Qur‟ān,

literatur tafsir sebagai bahan untuk mengetahui posisi

penafsiran al-Sha‟rāwī, perbandingan, dan untuk memperkaya

data dalam melakukan penelitian ini, selain itu dalam

penelitian ini semua terjemahan al-Qur‟an bersumber dari

aplikasi Qur‟an Kemenag.

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Data Penelitian ini dikumpulkan melalui studi teks

(literatur) terhadap Tafsīr al-Sha‟rāwī karya Muhammad

Sayyid Muḥammad „Ammār , Naẓariyyat al-I„jaz al-Qur‟ān wa

Athāruhā fī al-Naqd al-„Arabi al-Qadīm (Beirut: Dār al-Fikr

Mu‟ṣirah, 1998), h.152. 57

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas

Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN

Syarif Hidayatullah, 2011), h. 148.

Page 42: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

31

Mutawallī al-Sha‟rāwī. Penulis akan menginventarisir ragam

tikrār yang ditafsiri oleh al-Sha‟rāwī.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

dengan content analisis58

. Data yang telah terkumpul

kemudian diolah dan dianalisis secara objektif dengan

membandingkan penerapan penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap

tikrār dalam al-Qur‟an, dengan penafsiran para penafsir

pendahulunya, sehingga dengan cara ini, penulis mendapatkan

kesimpulan dimana posisi penafsiran al-Sha‟rāwī.

Adapun Prosedur atau langkah-langkah yang

ditempuh sebagai berikut: a) mengidentifikasi kategori

kata/kalimat yang secara lafaz59

adalah tikrār, namun al-

Sha‟rāwī memandangnya bukan tikrār60

, b). Mengumpulkan

penafsiran-penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap lafaz yang secara

tersurat memang diulangi, c) menganalisa pendekatan apa

yang digunakan al-Sha‟rāwī dalam menggali maksud dan

kandungan dari lafaz-lafaz yang diulang, d) menghubungkan

dan membandingkan penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap tikrār

dengan penafsiran penafsir-penafsir yang lain, e)

Menyimpulkan hasil penelitian.

F. Teknik Penulisan dan Penyajian Hasil Penelitian

Dalam Teknik Penulisan, penelitian tesis ini

mengikuti buku pedoman Penyusunan Proposal

58

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif

(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 4. 59

Penting mencari tahu kategori kata/kalimat (yang secara

lafaz adalah tikrār namun dalam pandangan al-Sha‟rāwī bukan

tikrār) yang ditafsiri al-Sha‟rāwi, karena berbeda menurut Karmānī 60

Ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan lafaz الرحمن الرحيم dalam

surat al-Fātiḥah, menurutnya lafaz الرحمن الرحيم dalam basmalah

memilki makna dan maksud yang berbeda dengan الرحمن الرحيم pada

ayat surat al-Fatiḥah ke tiga. Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr

al-Sha‟rāwī (Cairo: Idarah al-Kutub wa al-maktabāt, 1991), h. 47-

48.

Page 43: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

32

Tesis/Disertasi yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hiadayatullah jakarta tahun 2017. Sementara

dalam penulisan footnote dan transliterasi, penulis mengacu

pada ALA-LC Romanization Tables dan Turabian and

Chicago Styles Citations.61

Hasil penelitian ini disajikan dalam semua

pembahasan (bab) dalam tesis ini, dan tidak dikhususkan pada

bab tertentu, karena tesis ini merupakan satu kesatuan yang

utuh mengenai hasil pembacaan, penulusuran data,

sistematisasi, validasi, dan konklusi terhadap pendekatan dan

penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap pengulangan yang ada dalam

al-Qur‟an, melalui kitab tafsirnya.

Penyajian hasil penelitian ini juga diperkuat dan

divalidasi dengan berbagai literatur atau referensi terkait yang

diletakkan pada catatan kaki (footnote). Beberapa hal (istilah,

konsep dan ungkapan) yang dinilai perlu diberi penjelasan

lebih lanjut juga diberikan penjelasan dalam dua tanda kurung

dan/atau dalam catatan kaki.

G. Sistematika Penulisan

Untuk teknik Penulisan tesis ini merujuk pada buku

Pedoman Penulisan Bahasa Indonesi, Transliterasi dan

Pembuatan Notes Dalam Karya Ilmiah, Sekolah Pasca Sarjana

Pembahasan dalam tesis ini disajikan dalam lima bab, bab

pertama merupakan pengantar dalam bentuk pendahuluan,

yang mejelaskan latar belakang munculnya permasalahan,

kemudian dibatasi dan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan

penelitian, yang hendak dijawab oleh penelitian ini, pada bab

ini juga menjelaskan metodelogi yang digunakan sebagai

instrumen analisis dan cara membaca data.

61

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia,

Transliterasi dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah (jakarta:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)

Page 44: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

33

Pada bab kedua merupakan landasan teoritis bagi bab-

bab berikutnya. Bagian pertama pada bab ini akan membahas

perkembangan kajian tikrār dari masa klasik hingga modern,

serta mendiskusikan Teori al-Tikrār fī al-Qur‟ān yang telah

dikembangkan oleh para pakar „Ulūm al-Qur‟ān, lalu setelah

itu memaparkan dan menganalisa bagaimana hubungan kajian

tikrār dengan cabang-cabang ilmu al-Qur‟an62

dan metode

penafsiran al-Qur‟an yang menggunakan teks al-Qur‟an

sebagai instrumen dalam menggali kandungan al-Qur‟an, dan

serta menyoal tikrār sebagai bantahan terhadap pandangan

orientalis yang beranggapan pengulangan dalam al-Qur‟an itu

tidak perlu dan cenderung mendiskreditkan al-Qur‟an karena

terdapat banyak sekali pengulangan di dalamnya.

Pada bab ketiga mengulas tentang Muḥammad

Mutawallī al-Sha‟rāwī dan karya tafsirnya. Pembahasan ini

dibagi dalam beberapa poin, yaitu sekilas biografi yang

meliputi riwayat hidup, setting sosio-kultural, tafsir dan

karya-karya lainnya, setelah itu dilakukan kajian secara umum

tentang Tafsīr al-Sha‟rāwī, berupa tinjauan umum

karakteristik tafsir serta penyajian penafsirannya serta

memaparkan posisi penafsiran al-Sha‟rāwī dalam tradisi

menafsirkan di Mesir serta menguraikan motivasi dari al-

Sha‟rāwī dalam menafsirkan al-Tikrār dalam al-Qur‟an.

Pada bab empat berisi uraian pokok yaitu berupa

analisis terkait dengan penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap lafaz

yang tersurat kan diulangi inti dari penelitian ini, membahas

terkait dengan al-Tikrār sebagai sumber penggalian bukti

kemukjizatan al-Qur‟an dari aspek kebahasaan dan

kandungan, serta pembahasan yang terakhir membandingkan

kajian tikrār yang dilakukan oleh al-Sha‟rāwī dengan kajian

oleh sarjana, dengan mengamplikasian framework sarjana

terhadap eloborasi kajian tikrār al-Sha‟rāwī

62

Dengan ilmu munāsabah.

Page 45: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

34

Bab ke lima adalah kesimpulan dari uraian penelitian

dan saran-masukan.

Page 46: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

35

BAB II

Tikrār sebagai cabang Ilmu al-Qur’an

Bab ini dimulai dengan memaparkan tradisi awal

kajian tikrār, usaha ini dilakukan guna mengetahuai sejak

kapan kajian terhadap disiplin cabang „Ulūm al-Qur‟ān ini

menjadi pusat perhatian para penggiat kajian al-Qur‟an.

kemudian dilanjutkan dengan pembahasan dan

memetakan posisi kajian tikrār dengan posisi kajian beberapa

„Ulūm al-Qur‟ān lainnya yang berhubungan dengan

penggalian kandungan teks yang melibatkan kemiripan lafaz

secara cara penulisan. disiplin cabang-cabang ilmu al-

Qur‟annya adalah: Munāsabah, Balāghah dan Ishtirāk al-

Lafẓī. Ini dilakukan untuk memetakan perbedaan kajian tikrār

dengan cabang-cabang ilmu al-Qur‟an tersebut.

Pada sub terakhir dari bab ini, penulis menyajiakan

sebuah perspektif kajian tikrar kontemporer. Untuk

menunjukkan sejauh mana kajian terhadap disiplin ilmu ini

didiskusikan. Ini akan menunjukkan bahwa pengulangan yang

terdapat dalam al-Qur‟an merupakan hal yang sangat layak

untuk diteliti dan selain itu pula penelitian yang dipaparkan

akan digunakan guna membaca penafsiran al-Sha'rāwī dalam

mengkaji tikrār.

Dari sekian banyak kajian al-Qur‟an, yang mengkaji

al-Qur‟an dari segi bahasa, salah satunya kajian yang menitik

beratkan penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksi dan kata-

kata yang berulang (tikrār) atau beredaksi mirip. Orientasi

dari diskursus ini untuk mengungkap rahasia retorika bahasa

al-Qur‟an (asrār al-balāghah), karena bagaimanapun, teks al-

Qur‟an itu bersifat tauqifi dan dari teks yang sudah tidak bisa

diubah dari segi susunannya tidak pula bisa ditambah dari segi

Page 47: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

36

kontennya1, maka dari itu, sebuah keharusan untuk menggali

kandungan di dalamnya, guna mendapatkan kandungan dari

teks tersebut.

A. Melacak Tradisi Awal Kajian Tikrār fī al-

Qur’ān

Sebelum berbicara banyak tentang sejarah awal mula

kajian tikrār dimulai, akan terlebih dahalu disajikan definisi

tikrār yang telah didiskusikan oleh [akar terlebih dahulu,

secara bahasa tikrār atau takrār (keduanya sama-sama bentuk

masdar dari kata ز مس ) mempunyai makna I‟adah atau Radd

yang berarti mengulang2 sedangkan secara istilah tikrār

menurut al-Zarkashī dalam karyanya al-Burhān fī „Ulūm al-

Qur‟ān, dia mendefinisikan penyebutan sesuatu lebih dari

sekali.3 Sedangkan menurut Ibn Zubayr dalam karyanya Milāk

Ta‟wīl, tikrār merupakan4 ayat yang mengalami pengulangan

secara lafaz, maupun perbedaan yang dikarenakan taqdim

(dikedepankan) atau ta'khīr (diterakhirkan) atau dengan

tambahan dalam ibarahnya. Adapun dalam karya-karyanya al-

1 Khālid „Uthmān al-Tsabt, Qawā‟id al-Tafsīr Jam‟an wa

Dirāsatan, (Mesir: Dār Ibn „Affān, 1421 H.), h. 102. 2 Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir Kamus

Arab-Indonesia, (Yogyakarta: UPBIK PP al-Munawwir, 1984), h.

521. 3 Badr al-Dīn al-Zarkashī, al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān,

(Baerut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah , 2007), Jil. 3, h. 8. 4Ibn Zubayr (W. 807 H.) salah satu pengkaji al-Qur‟an

yang fokus tentang tema mutashābih al-Lafẓī, menurutnya

pengertian terkait mutashābih al-Lafẓī sebagai berikut: توجحيو مااىزعجستكرر من آياتو لفظا أو اختلف بتقديم أو تأخير و بعض زيادة في lihat:

Ibn Zubayr, Milak al-Ta‟wīl, (Baerut Libanon: Dār kutub al-

'Ilmiyyah, 2006, Cet. I), h. 7.

Page 48: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

37

Sha‟rāwī belum ditemukkan definisi tikrār secara explisit,

tetapi al-Sha‟rāwī mempunyai asumsi dasar sampai dia

berkesimpulan bahwa di dalam al-Qur‟an hanya ada

pengulangan secara lafaz, pengulangan tidak berlaku pada

ruang makna. Asumsi dasarnya bahwa yang menentukkan

letak susunan kata dan ayat dalam al-Qur‟an adalah Allah

Swt. dan dipastikan susunan al-Qur‟an memiliki makna.5

Al-Qur‟an sebagai kitab pedoman bagi umat manusia

diturunkan untuk menjadi petunjuk, guna mengarungi hidup

sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt, maka layakanya

buku pedoman dapat dipahami dengan baik, di lain pihak al-

Qur‟an sebagai wahyu ilahiyah, dalam ruang historis dan

manusiawi. Artinya, al-Qur‟an telah mengalami transformasi,

dari kalam al-nafsī, (The Idea of God) menuju kalam al-Lafẓī

yang menggunakan simbol-simbol bahasa yang digunakan

manusia, kejadian ini (transformasi) karena terjadi

penyampaian pesan/ajaran (risalah) yang ditujukkan kepada

umat manusia. Penyampaiannya lewat perantara Malaikat

Jibril lalu Nabi Muhammad Saw. Terus disampaikan ke umat

manusia6.

Oleh karena itu, dalam menggali kandungan-

kandungan al-Qur‟an (sebagai sebuah pesan Allah Swt.)

Memahami bahasa Arab (sebagai kode komunikasi)7 adalah

suatu bagian yang paling tidak terelakkan. Karena di beberapa

5لأن المتكلم ىو الله سبحانو وتعال ....ولذلك فهو يضع اللفظ فى

مكانو الصحيح, وفى معناه الصحيح

Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,,h.

48. 6Naṣr Ḥamīd Abū Zayd, “The Textuality of the Koran”

dalam Islam and Europe in Past and Present, NIAS, 1997, h. 43. 7Islah Gusmian, “Lompatan Stilistika dan Transformasi

Dunia Makna al-Qur‟an” dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. II, No.

2, 2007, h. 438.

Page 49: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

38

kesempatan ada penegasan bahwa al-Qur‟an hanya

disampaikan dengan bahasa Arab.8 Maka tidak heran, para

pakar memberi syarat seseorang jika ingin menafsirkan,

seyogyanya memiliki kemampuan dalam bahasa Arab, baik

itu dalam bidang ilmu Naḥw, Ṣarf9 maupun Balāghah

10.

Dalam proses pembacaan simbol-simbol yang

dituangkan dalam bahasa Arab, ditemukan dalam uraian al-

Qur‟an, sepintas cukup banyak bagian teks al-Qur‟an yang

tidak mudah untuk dipahami secara jelas11

, lebih lagi, ada

8Setidaknya ada pada enam kesempatan, al-Quran

menegaskan diri-Nya hanya diturunkan dengan bahasa Arab, antara

lain: زق عد ىعي اى فب ف صس صىب قسآب عسثب مرىل أ ذمسا حدس ى أ

“Kami menurunkan al-Quran dalam bahasa Arab” (Q.S. Ṭāhā

[20]:113), رعقي صىب قسآب عسثب ىعين إب أ “Kami menurunkan al-Qur‟an

dengan berbahasa al-Qur‟an agar kamu memahaminya ” (Q.S.

Yūsuf [12]: 2) زق ج ىعي س ذ ع adalah al-Qur‟an“ قسآب عسثب غ

dalam bahasa Arab yang tidak ada bengkokannya” (Q.S. Al-Zumār

[39]: 28), عي يذ آبر قسآب عسثب ىق مزبة فص “adalah bacaan dalam

bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui” (Q.S. Fuṣilat [41]: 3),

ع ل اىج رز ر ىب ح اىقس رز أ ل قسآب عسثب ىز ب إى ح مرىل أ ت ف ز

عس فسق ف اىس Kami wahyukan kepada dalam bahasa“ فسق ف اىجخ

Arab” (Q.S.Al-Syūrā [42]: 7), رعقي Kami“ إب جعيب قسآب عسثب ىعين

menjadikan al-Qur‟an dalam bahasa Arab” (Q.S. Al-Zukhruf [43]:

3). Terjemahan berikut diambil dari aplikasi Qur‟an Kemenag yang

disusun oleh Lajnah Pentashihan al-Qur‟an versi dibawah

Kementerian Agama RI. 9Ṣarf adalah Ṣarf (Morfologi) ilmu yang melingkupi

pembahassan terkaitt perubahan bentuk kata (kata kerja, benda dan

sifat). Lihat: Abdallah Tayseer Alshdaifat, “The Formation of

Nominal Derivatives in the Arabic Language With a View to

Computational Linguistics”, (Disertasi S3 School of Humanities,

Languages and Social Sciences, University of Salford, Salford, UK,

2014), h. 2.

11 Bagian al-Qur‟an yang sukar atau samar untuk dipahami,

bagain ini diistilahkan dengan mutashābih al-Qur‟ān,

cangkupan/area kajian mutashābih menjadi perdebatan antara

Page 50: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

39

pada beberapa bagian dari al-Qur‟an jika ditinjau sepintas

terkesan kontradiktif dan banyak juga di temukan

pengulangan yang terkesan tidak perlu.12

Dengan fakta seperti di atas. Namun di lain pihak,

disepakati secara meluas, bahwa susunan unsur penyusun

pengkaji al-Qur‟an, antara lain yang dikategorikan mutashābih al-

Qur‟ān:

1. Ayat-ayat yang hanya Allah yang tahu kapan terjadi apa

yang diinformasikannya, seperti kapan tibanya hari

kiamat dan hadirnya dābbah (دآثخ) QS. Al-Naml 27:82.

2. Ayat-ayat yang tidak dapat dipahami kecuali

mengaitkannya dengan penjelasan.

3. Ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna.

4. Ayat yang mansukh yang tidak diamalkan karena batal

hukumnya.

5. Apa yang diperintahkan untuk diimani, lalu menyerahkan

maknanya kepada Allah.

6. Kisah-kisah dalam al-Qur‟an.

7. Huruf-huruf alfabetis yang terdapat pada awal beberapa

surah, seperti اى (huruf muqata‟ah) lihat: M. Quraish

Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan dan Aturan

Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat

Al-Qur‟an, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 211. Dari

sekian uraian Quraish Shihab terkait mutashābih dia atas,

satu yang memiliki kaitan erat dengan pembahasan tikrār

adalah bagian kisah-kisah dalam al-Quran. Bagian ini

dikategorikan mutashābih karena al-Qur‟an dalam

menyampaikan kisah-kisahNya menggunakan

pengulangan dan menyampaikannya dibeberapa surah

yang berbeda, untuk lebih dalamnya lihat: Andy

Hadianto, “Repetisi Kisah Al Qur‟an(Analisis Struktural

Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makkiyyah

dan Madaniyyah),” (Disertasi S3 Sekoalah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 12

Salwa el-Awa, “Repitition in the al-Qur‟an: A Relevance

Based Explanation of the Phenomenon,” dalam Islamic Studies, Vol.

42, No. 4, Winter 2003, h. 577.

Page 51: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

40

dalam al-Qur‟an baik itu kata maupun kalimat adalah

susunannya bersifat tauqifi, maka sudah dipastikan, susunan

kata dan kalimat dalam al-Qur‟an bukan dalam ranah yang

bersiat ijtihadī13

, maka tidak bisa susunan yang sudah ada

pada raṣm uthmānī direkonstruksi. Maka pengulangan yang

ada merupakan ketentuan Tuhan, yang pasti memiliki maksud

dan makna di dalamnya, dalam hal ini, mutawalli al-Sha'rāwī‟

memberikan komentar sebagai berikut:

نحن نقول انو ليس ىناك تكرار في القران الكريم, وإذا تكرر اللفظ ال ....ولذلك يكون معناه في كل مرة السابقة لأن المتكلم ىو الله سبحانو وتع

14فهو يضع اللفظ فى مكانو الصحيح, وفى معناه الصحيح

Dari pernyataan ini, al-Sha'rāwī sangat meyakini bahwa

dalam setiap pengulangan yang ada dalam al-Qur‟an pasti

memiliki maksudnya masing-masing.

Di lain pihak tikrār adalah bagian dari naẓm al-Qur‟ān,

terkait naẓm al Qur‟ān, menurut Jāḥiz, Naẓm al-Qur‟an

merupakan salah satu i‟jaz al-Qur'an karena ketidak

mampuan orang-orang Arab dalam menulis yang serupa

(imitate) dengan al-Qur'an, dalam karyanya Hujjah al-

Nubuwwah. Namun demikian, perdebatan mengenai naẓm al-

Qur‟ān, merupakan kasus klasik yang sudah muncul dari

perdebatan di antara para pengkaji al-Qur‟an, sebagian

berpendapat bahwa naẓm al-Qur‟ān adalah salah satu bentuk

13

Merupakan hasil usaha kreatifitas secara rasional. 14

Kami Berpendapat bahwa tidak ada pengulangan (makna

dan substansi) dalam al-Qur‟an, jika suatu lafaz diulangi, itu akan

memiliki makna yang berbeda dengan makna lafaz yang telah lalu

(sebelumnya), karena yang bersabda adalah Allah Swt. Oleh maka

sebab itu, Allah Meletakkan sebuah lafaz pada posisi yang tepat dan

memiliki makna yang tepat (benar). M. Mutaawalli al-Sha'rāwī ,

Tafsīr al-Sha'rāwī,,,,,,h. 51-52.

Page 52: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

41

kelebihan dari al-Qur‟an (I‟jāz15

), banyaknya yang telah

mengkaji tentang kemukjizatan (a miracle) naẓm al-Qur‟ān,

Pendapat Jāḥiz ini dikuatkan oleh pendapat-pendapat

penerusnya. Antara lain: 1). Ibn Jarīr al-Ṭabarī, menurutnya

bahwa naẓm al-Qur‟ān adalah salah satu i‟jaz, yaitu dengan

gaya al-Qur‟an dalam menguraikan kandungannya, cara

menguraikan kandungannya berbeda dengan cara

menguraikan kandungan pada kitab-kitab suci sebelumnya.

Menurutnya kemukjizatan naẓm al-Qur‟an terletak pada segi

koherensi dan kebersinambungan dalam naẓmnya, 2).

Rummānī menambahkan bahwa i‟jaz al-Qur‟an adalah

sebuah keindahan bahasa, kekhasan al-Qur‟an dalam

menyampaikan pesan-pesannya dan di dalamnya

menyusupkan persepsi umat manusia. 3). Khaṭṭābī

memberikan komentar terkait naẓm al-Qur‟an, menurutnya

sangat khas dan pada setiap makna terikat dengan kata-kata

yang tersusun dengan sistematis. 4). al-Jurjānī memberikan

pandangannya mengenai naẓm al-Qur‟an, menurutnya

komposisi naẓm al-Qur‟an sangat indah dan kaya akan makna,

memiliki keterhubungan antara setiap kata-katanya (talā‟um

al-alfāẓ), dengan gaya itu, membuat masing-masing kata

yang tersusun dalam al-Qur‟an memiliki hubungan, 5). al-

Zamakhsharī yang bukan lain adalah murid al-Jurjānī sangat

dipengaruhi oleh gagasan gurunya itu, terkait naẓm al-Qur‟an

Zamakhshārī menambahkan bahwa yang menjadikan al-

15

Menurut pendapat Abd al-Jabbar yang dikutip oleh

Yusuf Rahman, bahwa I‟jaz itu harus memenuhi beberapa kriteria,

antara lain: 1). datangnya dari Allah, baik itu secara langsung

maupun tidak langsung. 2). keajaiban harus mendekonstruksi

kebiasaan orang-orang yang menjadi sasaran kemukjizatannya. 3).

tidak ada sesuatu pun yang dapat membuat serupa dengan nya dan

sebuah mukjizat itu dipastikan original, itu untuk menjadi ciri

kenabian, lihat: Yusuf Rahman,” The Miraculous Nature of muslim

Scripture: A Study of 'Abd Al-Jabbar "I'jaz al-Qur'ān" dalam

Islamic Studies, Vol. 35, No. 4, Winter 1999, h. 413.

Page 53: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

42

Qur‟an itu Mu‟jiz karena susunan dan sistematis teksnya. 6).

Fakhr al-Dīn al-Rāzī berpendapat bahwa kesempurnaan al-

Qur‟an terletak pada ekspresi dalam menguraikan

kandungannya (naẓm), bagian itu adalah salah satu unsur

kemukjizatan al-Qur‟an.16

7). adapun menurut al-Sha‟rāwī

terkait dengan naẓm al-Qur‟an, dia berpendapat bahwa Allah

yang maha benar tentu memiliki maksud dari setiap susunan

naẓm al-Qur‟ān, tentu suatu susunan kata dalam al-Qur‟an

memiliki makna17

.

Bukan tidak ada para pengkaji al-Qur‟an yang

berpendapat bahwa tidak ada keistimewaan (bukan I‟jaz)

dalam naẓm al-Qur‟an18

. Misalnya al-Qādhī „Abd al-Jabbār

(w. 415 H), tokoh Mu„tazilah, mengenai naẓm al-Qur‟ān

menurutnya bukanlah I„jāz al-Qur‟ān (inimitability of the

Qur‟ān), dia berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qur‟ān

bukan terletak pada nazhamnya19

. „Abd al-Jabbar mengutip

pendapat gurunya yang berpendapat

16

Muhammad Rafii Yunus, “Modern Apprpaches to the

Study of I‟jaz al-Qur‟ān,” (Disertasi S3 The University of Michigan,

1994), h. 15-16. 17

M. Mutawalli al-Sha'rāwī, Tafsīr al-Sha'rāwī.....,h. 51-52.

Untuk perkembangan pemahaman terkait i‟jaz al-Qur‟an lihat:

Muhammad Rafii Yunus, “Modern Apprpaches to the Study of I‟jāz

al-Qur‟ān,” (Disertasi S3 The University of Michigan, 1994). 18

Menurut Audebert, dengan fakta mushaf al-Qur‟an yang

sekarang dari jumlah banyaknya pengulangan dalam al-Qur‟an,

tidak (kurang) ada hubungan antara teks al-Qur‟an. (the lack of

coherence in the composition of the Qur„anic text) lihat: Michel

Cuypers, “Semitic Rhetoric as a Key to the Question of Naẓm of the

Qur„anic Text,” dalam Journal Quranic Studies, 1. 19

Lebih lanjut, al-Qādhī „Abd al-Jabbār berpendat bahwa

kemukjizatan al-Qur‟an itu terletak pada makna kalimat, bukan pada

kata-kata tunggal bentuknya, lihat:

http://fitk.uinjkt.ac.id/index.php/2017/07/24/mengenal-pemikiran-

linguistik-al-jurjani-dalam-dalail-al-ijaz/. Diakses 30-01-2018.

Page 54: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

43

“jika seseorang membuat sebuah tulisan yang

serupa dengan al-Qur‟an secara sastrawi, maka

tulisannya tersebut akan menyerupai al-Qur‟an”20

Dengan ketidak ada tandingan al-Qur‟an secara lafaz

bukan dikarenakan kemustahilan menandindingi al-Qur‟an

secara teks (naẓm), melainkan tidak adannya usaha yang

cukup untuk menandingi al-Qur‟an secara naẓm.

Tikrār salah satu bagian dari naẓm al-Qur‟ān yang

menjadi objek penelitian guna menguraikan makna yang

terkandung di dalamnya. Pada referensi lain, beberapa

pengkaji21

al-Qur‟an tidak menggunakan istilah tikrār, tetapi

menggunakan istilah mutāshabih lafẓī22

, ini telah dikonfirmasi

bahwa pengertian mutāshabih lafzī yang dimaksud adalah

ayat-ayat yang dipaparkan al-Quran berulang-ulang baik itu

tentang suatu kisah/cerita yang diuraikan ber-ulang beberapa

surah, maupun satu tema yang diperbincangkang dalam al-

Qur'an lebih dari satu kali, pada lafaz-lafaz yang sukar untuk

dipahami dan uslūb-uslūb yang berbeda tapi terkesan

20

Yusuf Rahman,” The Miraculous Nature of muslim

Scripture: A Study of 'Abd Al-Jabbar "I'jaz al-Qur'ān" dalam

Islamic Studies, Vol. 35, No. 4, Winter 1999, h. 414. 21

Ibn Zubayr (W. 807 H.) salah satu pengkaji al-Qur‟an

yang fokus tentang tema mutashābih al-Lafẓī, menurutnya

pengertian terkait mutashābih al-Lafẓī sebagai berikut: رجح ب رنسز

,lihat: Ibn Zubayr آبر ىفظب أ اخزيف ثزقد أ رأخس ثعط شبدح ف اىزعجس

Milak al-Ta‟wīl, (Baerut Libanon: Dār kutub al-'Ilmiyyah, 2006,

Cet. I), h. 7. 22

Terkait penelitian tema ini, telah dilakukan dengan sangat

baik dalam dua penelitian, satu penelitian yang dilakukan oleh

Yauman Delta, “Ta‟wīl Ibn Al-Zubayr Terhadap Mutashābih Al-

Lafẓ dalam al-Qur‟an,” dalam Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir

Hadis, Volume 4, Nomor 1, Juni 2014, h. 5-6. Dan Muhammad

Rajāī Aḥmad al-Jabālī, “Taujīh al-Mutāshabih al-Lafdhī fi al-Qur‟an

al-Karīm; Bayna al-Qudamā wa al-Muḥaddithīn, Aḥmad al-Gharnāṭī

wa Fāẓil al-Samurāī; Dirāsah Muqaranah,” (Akādīmiyyah al-

Dirāsah al-Islāmiyah, jāmi'ah malāya, 2012).

Page 55: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

44

memiliki makna yang sama23

, dari pengertian di atas,

memperkuat anggapan bahwa tikrār memiliki porsi/tempat

dalam tafsir Maudhu‟ī, lebih lagi jika menggunakan metode

tafsir mauḍu‟ī yang digagas oleh „abd al-Hayyi al-Farmawī.24

Terkait kajian tentang tikrār dalam al-Qur‟an

dilakukan juga oleh non-Muslim, menurut sebagian orientalis,

pengulangan (kisah dalam al-Qur'an) merupakan bukti bahwa

al-Qur'an tidak balīgh. Bahkan Kamil Najjar beranggapan

bahwa pengulangan-pengulangan yang terdapat dalam al-

Qur'an hanya membuang-buang waktu dan membuat pembaca

bosan, Najjar pun mempertanyakan manfaat pengulangan

kisah Musa lengkap dengan rincian detailnya dalam lebih dari

tujuh surah, begitu pula kisah Ibrahim yang diulang dalam 25

surah.25

Perihal penyebaran potongan kisah Nabi dalam al-

Qur‟an di berbagai surah, menurut Ibn Qutaybah,

penyampaian kisah dalam al-Qur'an dengan cara lafaz tikrar

23

Khatīb al-Iskāfī, Durah al-Tanzīl wa Gurah al-Ta'wīl,

Tahqiq: Muḥammad Muṣtafā (Mekah: Maktabah al-Mulk Fahd al-

Watniyah Athnai al-Nashr, 2001, Juz 1), h. 55. Lihat juga: Ṣālih bin

'Abd Allāh Muḥammad al-Shartharī, “Mutashābih al-Lafẓī fī al-

Qur'ān al-Karīm wa Asrārih al-Balāghiah,” (Disertasi, Umm al-

Qurrā University, 2001), h. 8. 24

Dalam menulis tafsir mauḍu‟i, ada enam prosedur/tahap

yang mesti dilalui, dalam enam tahap yang ditentukan al-Farmawy

tersebut, melibatkan dua „ulūm al-Qur‟ān yaitu asbāb al-nuzūl dan

munāsabah, lihat: „Abd al-Hayy al-Farmawy, al-Bidāyah fī Tafsīr

al-Mauḍu‟ī, (Cairo: Maktab al-Jumhūriyyah, 1997), h. 58.

Ditambahkan oleh Shihab dengan melibatkan „am-khas dan mutlaq-

muqayyad. Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an;

Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan,

1994), h. 114-115. Dapat disempurnakan lagi melibatkan „ilm tikrār.

Karena bagaimana pun tidak bisa dipungkiri pada setiap dua

kalimat/ayat yang berbicara tetang sebuah tema yang sama, sangat

berpotensi menggunakan (terdapat) lafaz yang sama. 25

Kamil Najjār, Qirā‟ah Manhajiyyah li al-Islām, (Tripoli:

Talah, 2005), h. 123-124.

Page 56: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

45

dan terdapat di berbagai surah, itu cara Allah menyampaikan

kandungannya dengan lembut serta itu merupakan rahmatnya,

agar kandungannya tersampaikan pada setiap penyimak al-

Qur'an, memantapkan setiap hati, dan menghadirkan di

dalamnya pemahaman dan peringatan.

في أطراف الأرض ويلقيها في فأراد الله، بلطفو ورحمتو، أن يشهر ىذه القصص .26كل سمع، ويثبتها في كل قلب، ويزيد الحاضرين في الإفهام والتحذير

Studi tentang tikrār atau mutashābih al-Lafẓī

mempunyai peran penting dalam memahami kandungan al-

Qur'an, yang mempunyai redaksi sama/yang mempunyai

redaksi sama dengan perbedaan minor, karena dalam al-

Qur‟an satu kosakata memiliki beberapa makna, dengan

lahirnya ilmu Ishtiraq dan Jinās yang memaparkan tentang

ragam makna dari sebuah kata, terkait dengan hubungan

tikrār dengan kedua cabang „ilm al-Qur‟ān ini akan

dipaparkan dipenjelasan selanjutnya.

Dalam memaparkan sejarah pengkajian tikrār, dapat

ditemukan dua pendapat yang telah dipaparkan dalam

disertasi, menurut Ṣālih bin 'Abd Allāh Muḥammad al-

Shartharī kajian tikrār/mutashābih al-Lafẓī dimulai dengan

kitab sebagai berikut:

Pengkaji Tikrār pada masa Awal Versi Muḥammad al-

Shartharī

Abad Penulis Judul Kitab

V Abī „Abd Allāh

Muḥammad bin „Abd

Allāh al-Aṣbahānī, lebih

dikenal dengan nama

Durrah al-Tanzīl

wa al-Gurrah al-

Ta‟wīl

26

Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkīl al-Qur‟ān,,,,h. 235.

Page 57: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

46

Khaṭīb al-Iskāfī (W. 420

H.)27

VI Maḥmūd bin Hamzah bin

Naṣr al-Kirmānī (W. 505

H.)28

al-Burhān fī

Mutashābih al-

Qur'ān

VIII Aḥmad bin Ibrāhīm bin al-

Zubayr al-al-Thaqafī al-

Gharnāṭī (W. 708 H.)29

Milāk al-Ta‟wīl

VIII Badr al-Dīn bin Jam'ah

(639-833 H.)30

Kashf al-Ma‟ānī fī

al-Mutashābih

min al-Mathānī

IX

Abī Yaḥyā Zakariyyā al-

Anṣārī31

Fatḥ al-Raḥmān bi

Kashf mā Yaltabis

fī al-Qur‟ān

32

Dari pembacaan Data yang dipaparakan oleh

Muḥammad al-Shartharī dalam penelitiannya, setidaknya ada

27

Muḥammad Musṭafa Aydayn, “Durrah al-Tanzīl wa al-

Gurrah al-Ta‟wīl; Diraasah wa Tahqiiq wa Ta'liiq”, (Disertasi S3

Jaami'ah Umm al-Qurraa Mekkah: Maktabah al-Mulk Fahd, 2001

M. Juz 1). 28

Al-Kirmānī, al-Burhān fī Mutashābih al-Qur'ān, (Beirut:

Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1986) 29

Yauman Delta,” Ta‟wīl Ibn Al-Zubayr Terhadap

Mutashābih Al-Lafẓ dalam al-Qur‟an, Mutawātir: dalam Jurnal

Keilmuan Tafsir Hadis, Vol.4, No. 1, Juni 2014, h. 4. 30

Badr al-Dīn bin Jam'ah, Kashf al-Ma‟ānī fī al-

Mutashābih min al-Mathānī, (Pakistan: Dār al-Wafā al-Mulabā‟ah

wa al-Nashr wa al-Tawzī‟, 1990), h. 5. 31

Referensi yang ditemukan, tidak diterangkan tahun wafat

penulis, ada pun Fatḥ al-Raḥmān yang ditemukan versi yang

ditaḥqiq oleh M. Alī al-Ṣābūnī, penulis Ṣafwah al-Tafāsīr dan juga

seorang dosen di bidang Tafsir pada Umm al-Qurrā University. 32Ṣālih bin 'Abd Allāh Muḥammad al-Shartharī, “Al-

Mutashābih al-Lafẓī fī al-Qur‟ān al-Karīm wa Asrārih Balāghiyah”,

(Disertasi S3 Umm al-Qurrā University, 2001), h. 6.

Page 58: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

47

dua kesimpulan yang dapat diambil, pertama,

menginformasikan bahwa pengkajian secara fokus terhadap

repitisi dalam al-Qur‟an sudah dimulai sejak abad ke lima.

Kedua, dari lima kitab yang dipaparkan, semuanya

menguraikan pengulangan lafaz dalam al-Qur‟an di setiap

suratnya.

Setiap uraian dari pengulangan yang disuguhkan

dalam lima kitab di atas, memiliki metode dan sumber dalam

menguraikan pengulangan lafaznya yang berbeda33

, ini

menandakan bahwa penguraian lafaz yang diulangi adalah

dalam ranah ijtihadi.

Kajian di ranah kajian tikrār telah dimulai oleh Abī

Muḥammad „Abd Allāh bin Muslīm bin Qutaybah (W. 213-

33

Misalnya, dalam cara menyuguhkan penjelasannya, al-

Iskāfī menguraikan penjelasan mengapa lafaz tersebut berbeda

dengan yang dilakukan Ibn Zubayr dan Ibn jamā‟ah dalam

menguraikan lafaz yang akan dijelaskan. Mereka mengajukan

pertanyaan terlebih dahulu, dalam mengajukan pertanyaannya

antaranya Ibn Zubayr dan Ibn Jamā‟ah berbeda dalam

melakukannya, baik secara konten maupun cara menyampaikan

penjelasannya. Ibn Zubayr dalam menjelaskan/menafsirkan

beberapa bagian dari surat al-Fātiḥah mengajukan empat pertanyaan,

dengan mengajukan empat pertanyaan terlebih dahulu, setalah itu,

baru memaparkan uraian penjelasan untuk menjawab pertanyaan

yang sudah disuguhkan sebelumnya. Lihat: Ibn Zubayr, Milak

Ta'wil, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1971), h. 11-20. lain

halnya dengan Ibn Jamā‟ah, dalam menguraikan lafaz yang dia

jelaskan, dia mengajukan pertanyaan langsung dijawabnya, jadi

setiap setelah pertanyaan, dia menyertakan jawabanya untuk

menjelaskan lafaz yang ingin dia uraikan. Dalam menelah surat al-

Fātiḥah dia mengajukan sembilan bagian yang dia uraikan. Lihat:

Badr al-Dīn bin Jam'ah, Kashf al-Ma‟ānī fī al-Mutashābih min al-

Mathānī, (Pakistan: Dār al-Wafā al-Mulabā‟ah wa al-Nashr wa al-

Tawzī‟, 1990), h. 83-87.

Page 59: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

48

276 H.) dengan karyanya Ta‟wīl Mushkil al-Qur‟ān34

¸jika

ditinjau dari masa hidup Ibn Qutaybah maka pada abad 3 H.

Ibn Qutaybah35

memaparkan dalam karyanya itu.

B. Hubungan Tikrār dan Cabang-Cabang Ilmu al-

Qur’an Dalam pembahasan ini, akan dipaparkan tarik ulur

dan hubungan ilmu tikrār dengan beberapa cabang Ilmu al-

Qur‟an, ini bertujuan untuk menegaskan wilayah kajian/ruang

lingkup „ilm tikrār dan menggambarkan perbedaan wilayah

kajian dengan cabang-cabang ilmu al-Qur‟an lainnya.

Beberapa cabang ilmu al-Qur‟an yang dimaksud adalah;

munāsabah, Istriraq dan tikrār ditinjau dari aspek balāghah.

Ini penting dilakukan untuk menegaskan posisi kajian „ilm

tikrār di antara cabang-cabang ilmu al-Qur‟an, yang kerap

kali Tikrār tidak begitu diperhitungkan.

Al-Qur‟an sebagai salah satu Pesan Allah yang

terekam, perlu dikaji secara mendalam, meski kajian terhadap

al-Quran tidak akan menemukan titik selesai, namun kajian

ini merupakan tugas yang tak kenal henti. Pengkajian

terhadap al-Qur‟an telah dilakukan oleh banyak pihak dan

menghabiskan waktu yang tidak sebentar, al-Qur‟an pun

dikaji dari berbagai sudut pandang ilmu, Dalam kurun waktu

itu, telah lahir banyak kajian dan ilmu dikembangkan. Itu

sebagai proses penggalian kekayaan kandungan al-Qur‟an.

Dalam hal lain, tidak jarang melahirkan beberapa hasil kajian

yang memiliki kemiripan (similiarty), sehingga dalam

prakteknya. dikarenakan keterbatasan pengetahuan oleh

seorang pengkaji, suatu ilmu menegasikan ilmu lainya. Maka

34

Terkait kitab ini telah diteliti dalam bentuk disertasi di

university of Edinburgh dengan judul “Ibn Qutaybah's contribution

to Qur'anic studies” 1993. Dan Tesis di MacGill University, oleh

Floyd W. Mackay dengan judul “Ibn Qutayba‟s Understanding of

Qur‟anic Brevity ” pada tahun 1991.

Page 60: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

49

dalam hal ini penting, untuk menegaskan posisi kajian tikrār

sebagai salah satu cabang Ilmu al-Qur‟an yang digunakan

dalam mengeloborasi teks al-Qur‟an guna mendapatkan

pemahaman yang tidak parsial.

1. Tikrār dan Munāsabah: Menafsirkan Kesatuan

Tema (al-Waḥdah al-Mauḍu’iyah)

Al-Qur‟an dengan kemukjizatannya, memberikan

para pembacanya aneka ragam pengalaman dan pemahaman

pada setiap individu yang berinteraksi denganya36

. Maka tidak

mengejutkan jika setiap individu mendapatkan pemahaman

dan pengalaman yang berbeda-beda dalam melakukan

interaksi dengan al-Qur‟an. Menurut Abdullah Darraz bahwa

ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur‟an bagaikan intan

berlian, yang setiap sudutnya, memancarkan cahaya yang

berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut yang lain.

Sangat mungkin, jika kita mempersilahkan orang lain

mendengar al-Qur‟an, tidak jarang si pendengar akan

melihat/memahami lebih banyak ketimbang seorang yang

membacakan37

, tentu dikarenakan pendekatan, latar belakang

dan pengetahuan maka mendapatkan yang berbeda pula ketika

melakukan interaksi dengan al-Qur‟an.

Lebih lanjut, al-Qur‟an memiliki gaya bahasa yang

khas, berbeda dengan gaya sastra Arab lainnya. Susunan al-

Quran termasuk salah satu unsur i‟jaz, berbeda dengan

susunan tuturan orang-orang Arab pada umumnya, al-Qur‟an

memiliki gaya yang berbeda dari apa yang dikenal oleh orang-

36

Islah Gusmian, “Lompatan Stilistika dan Transformasi

Dunia Makna Al-Qur‟an”, dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. II,

No. 2, 2007, h. 436. 37

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi Dan

Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan,

1992), h. 16.

Page 61: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

50

orang Arab38

pada masa awal disampaikannya al-Qur‟an oleh

Muḥammad Saw.

Terkait dengan susunan al-Qur‟an, salah satu cabang

„Ulūm al-Qur‟ān yang mengkaji tema ini adalah „Ilm

Munāsabah.39

Menurut Al-Suyūṭī Munāsabah memiliki

makna perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian,

kecocokan dan kepantasan. Kata munāsabah, adalah sinonim

(murādif) dengan kata al-muqārabah dan al-musyākalah,

yang masing-masing berarti kedekatan dan persamaan40

. Ilmu

ini mengaplikasikan pernyataan bahwa al-Qur‟an dapat

dipahami dengan memadukan ayat satu dengan ayat lain yang

berhubungan. bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang

komperhensif dan tidak parsial (al-Qur‟ān yufassiru ba‟ḍuhu

ba‟ḍan), sedangkan menurut Salwa El-Awa41

, Studi tentang

Pertaliaan yang memiliki hubungan pada teks (A study of

coherence relations) sangat mempertimbangkan hubungan

antara bagian-bagian dari sebuah teks itu sendiri, baik itu

bagian mayor dan pula komponen-komponen yang penting

dalam teks itu sendiri.42

maka hubungan pertalian teks itu

38

Al-Baqilāni, I‟jaz al-Qur‟ān, (Kairo: t.p, 1978), h. 38. 39

Terkait kajian „Ilm Munāsabah telah ditulis panjang lebar

dan mendalam. Lihat: Hasani Ahmad Said, Diskursus Munāsabah

al-Qur‟an Kajian atas Tafsir al-Misbāh, (Ciputat: Puspita Press,

2011, Cet. I). 40

Jalāluddīn al-Suyūthī, al-Itqān fī „Ulūm Al-Qur‟ān,

(Beirut: Dār al-Fikr: tt.), juz II, h. 108. 41

Murid dari 'A‟isha 'Abdul-Rahman, (Bint al-Shati‟), Lutfi

'Abdul-Badic and Ramadan 'Abdul-Tawwab, who first introduced

me to the study of linguistics and encouraged me to apply my work

to the Qur‟anic text. Lihat: Salwa M. S. El-Awa, Textual relations in

the Qur'an; Relevance,Coherence dan Structure, (Canada:

Routledge, 2006, Cet. I), x. 42

Salwa M. S. El-Awa Textual Relations in the Qur'an;

Relevance,Coherence dan Structre, (Canada: Routledge, 2006, Cet.

I), h. 26.

Page 62: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

51

sangat mempertimbangkan apa yang menjadi perbincangan

antara teks-teks itu sendiri.

Sepintas, ranah kajian yang menjadi objek dan

orientasi dari dua cabang ilmu al-Qur‟an ini (Munāsabah dan

Tikrār) memiliki dua objek pembahasan yang sama, yaitu dua

ayat/kata atau lebih (parts of a text) yang membicarakan tema

yang sama, orientasi dari dua kajian ini untuk mendapatkan

pemahaman yang komperhensif dan menghindari pemahaman

yang parsial, dengan memadu pandankan dua

ayat/kata/kalimat yang memiliki hubungan/kemiripan dengan

prosedural melakukan pembacaan dan penelitian pada ayat-

ayat/kata-kata yang membicarakan tema yang sama43

.

Misalnya dalam memahami ayat pertama dan ketiga

dari surat al-Fātiḥah, kedua ayat tersebut sangat jelas memiliki

hubungan/korelasi (Munāsabah Ẓāhir), karena keduanya

menguraikan tema yang sama, ayat ketiga (al-Rāḥmān al-

Raḥīm) dalam surat al-Fātiḥāh, menurut Quraish Shihab tidak

bisa dianggap sebagai pengulangan sebagian kandungan dari

ayat pertama44

(Basmalah), menurut Shihab, lafaz al-Rāḥmān

al-Raḥīm pada ayat ketiga bertujuan untuk menjelaskan

rahmat dan kasih sayangnya Tuhan yang dicurahkan kepada

makhluk-makhlukNya45

Sedangkan al-Kirmānī dalam menelaah lafaz yang

diulangi, dia menyampaikan pendapat-pendapat pengkaji al-

Qur‟an yang pendahulunya46

, setelah itu dia memaparkan

43

. Misalnya memahami lafaz al-Raḥmān al-Raḥīm yang

tersurat dua kali dalam surat al-Fātihah, jika ditinjau dari sudut

pandang tikrār memiliki perbedaan makna dan maksud. Sedangkan

ditinjau dari sudut pandang munāsabah mencari tahu hubungan

antara dua makna yang memiliki hubungan. 44

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh, (Ciputat: Lentera

hati, Ed 2017, Cet. I, Jil. 1), 40. 45

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh,,,,,, h. 33. 46

Ketika menelaah lafaz al-Raḥmān al-Raḥīm, al-Kirmānī

menyampaikan dua pendapat pendahulunya, pendapat pertama

Page 63: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

52

pendapatnya, adapun pendapat al-Kirmānī sendiri mengenai

lafaz al-Rāḥmān al-Raḥīm dalam surah al-Fātiḥah

menurutnya pada ayat pertama (Basmalah) hanya

menyebutkan zat pemberi nikmat tanpa menyebutkan pihak

penerimanya, maka diulangi untuk memberikan pengetahuan

pihak objek penerima nikmat, al-Raḥmān menurutnya

bermakna memberi untuk semuanya, sedangkan al-Raḥīm

hanya untuk orang mukmin terkait itu dengan pengampunan

pada hari pembalasan.47

Tentu ini berbeda dengan Sha'rāwī‟

dari segi pendapat dan cara menelaah lafaz yang diulangi48

Munāsabah49

berfungsi untuk mencari tahu

bagaimana hubungan antara unsur penyusun al-Qur‟an,

diulangi karena diwajibkan untuk memuji Allah karena Allah itu

maha pengasih lagi maha penyayang. 47

Al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār, ,,,,,,h. 65. 48

Lihat: bab satu yang mengkaji tema diatas 49

Munāsabah secara garis besar terbagi menjadi dua,

Munāsabah ayat (Munāsabah Āyāt) dan Munāsabah Surah

(Munāsabah al-Suwar), dalam rinciannya Munāsabah memilki

banyak macamnya, antara lain sebagai berikut:

Pola Munāsabah Ayat:

a) Munāsabah antar ayat dalam satu surah

b) Munāsabah antar ayat dengan Fāṣilah (penutupnya)

c) Munāsabah antar kalimat dengan kalimat dalam ayat

d) Munāsabah antar kata dengan kata dalam satu ayat

e) Munāsabah antar ayat pertama dengan ayat terakhir

dalam satu surah

Pola Munāsabah Surat

a) Munāsabah antar surah dengan surah sebelumnya

b) Munāsabah awal uraian surah dengan uraian akhir

surah

c) Munāsabah antara awal surah dengan uraian akhir

surah sebelumnya

d) Munāsabah tema surah dengan nama surah

e) Munāsabah antara kisah dalam satu surah

f) Munāsabah antara surah-surah dalam al-Quran

Page 64: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

53

sebelum menghubungkan antara dua unsur penyusun al-

Qur‟an50

, baiknya terlebih dahulu menguraikan dan

mengetahui maksud dari masing-masing dari dua (lafaz) unsur

penyusun al-Qur‟an yang memiliki kesamaan secara tekstual,

karena kesamaan teks boleh jadi memiliki makna yang sangat

beda dikarenakan konteks kata/kalimat. Sebelum

menggunakan „ilm munāsabah, terlebih dahulu menggunakan

ilmu tikrār untuk memaparkan secara terperinci kandungan

pada setiap kandung ayat atau kalimat yang mengalmi

pengulangan, dapat digambarkan secara berikut:

g) Munāsabah antara Fawātiḥ Al-Suwar dengan isi surah

Pembagian dan kajian terkait Munāsabah-Munāsabah di atas dapat

di lihat: Hasani Ahmad said, Diskursus Munāsabah al-Qur‟an;

Kajian atas Tasir al-Misbāh, (Ciputat: Puspita Press, 2011), h. 222-

324. 50

Dalam kajian Linguistik terdapat dua pendekatan untuk

menelaah hubungan-hubungan antara teks, Teori Koherensi

(Coherence Theory) dan Teori Relevansi (Relevence Theory) dua

pendekatan ini tidak hanya menjelaskan bentuk kebahasaanya saja,

tetapi mempertimbangkan jugaf faktor yang mempengaruhi

pemahaman kita terhadap makna. Lihat: Salwa M. S. El-Awa,

Textual relations in the Qur'an; Relevance,Coherence dan

Structure,,,,,h. 26.

Page 65: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

54

Gambar 1. Alur Penafsiran Tematik

Gambar di atas, menunjukkan bahwa pada kekayaan

uslūb al-Qur‟an, lafaz yang diulangi kerapkali membicarakan

satu tema yang sama, dari dua lafaz/ayat atau lebih memiliki

korelasi, jalur di atas adalah jalur mauḍu‟ī ditinjau dari naẓm

al-Qur‟an, perincian ini kerapkali tidak diperhatikan, jika

berkaca dengan prosedural Tafsir Madhui yang sudah populer,

yang dicetuskan oleh „Abd al-Hayyi al-Farmawī. Pada

prosedurnya, sebelum menghubungkan dua ayat atau lebih

yang membicarakan tema yang sama, tidak terlebih dulu

mengeloborasi aspek pengulangan yang terdapat padanya,

tetapi dengan tergesa-gesa menghubungkan („Ilm Munāsabah)

kandungan yang terdapat ayat-ayat tersebut.

2. Tikrār ditinjau dari aspek Balāghah

Balāghah51

menjadi salah satu cabang ilmu al-Qur‟an

yang penting untuk memahami al-Qur‟an, tanpa ilmu ini

51

. Pengertian Balāghah sebagai berikut:

Page 66: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

55

seorang pembaca al-Qur‟an tidak menemukan keindahan

bahasa yang digunakan al-Qur‟an, tidak merasakan keindahan

yang dibaca hanyalah teks kering akan gaya bahasa yang

salah satu menjadikan al-Qur‟an karya syair bahasa Arab

terbesar sepanjang masa, sejak munculnya, al-Qur‟an telah

membuat takjub, dengan pemilihan kata dan gaya penuturan

yang khas menggugah dan menggebrak para

pujangga/Penyair Arab pada masa itu52

.

Lebih jauh lagi, kebahasaan al-Qur‟an sampai

sekarang menjadi sumber kajian yang tak lekang oleh waktu,

itu ditenggarai oleh kebahasaan al-Qur‟an yang sangat indah

dan logis, maka dalam memahami al-Qur‟an sudah

seyogyanya menggunakan ilmu Balāghah.

Pada tulisan ini, akan sedikit membahas/meninjau

tikrār dari aspek Balāghah, pambahasan tikrār dalam ranah

ilmu Balāghah termasuk dalam „Ilm Ma‟ānī53

. Tikrār pada

اىجلاغخ رأخ اىع اىجيو اظحب ثعجبزح صححخ فصحخ

Balāghah ialah menyampaikan makna yang luhur secara jelas

dengan menggunakan ungkapan bahasa yang benar serta fasih. Dua

aspek yang menjadi kajian utama „Ilm Balāghah. Pertama, “lapisan

dalam” yaitu makna yang terdapat dalam fikiran

mutakallim/pembicara. Kedua, “lapisan luar” yaitu berupa ujaran

yang diutarak oleh mutakallim baik secara atau tulisan untuk

menyampaikan makna. Lihat: D. Hidayat, al-Balāghah lil-Jamī‟wa

al-Shawāhid min Kalām al-Badī‟; Balaghah Untuk Semua, (Jakarta:

Karya Toha Putra dan Bina Masyarakat Qur‟ani Jakarta, 2002), h.8-

9. 52

Di antara pujangga Arab yang terkagum dengan kekhasan

gaya al-Qur‟an adalah al-Walīd bin al-Mughīrah. Lihat: Ahmad

Amin, Dhuhā al-Islām, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah,

1952), h. 11. 53

Pembahasan „Ilm Ma‟anī, selain tikrārada beberapa

pembahasan lain yang termasuk dalam ranah kajian „Ilm Ma‟anī,

antara lain: al-Ījāz, al-Ḥadhf, al-Qaṣr, al-Takrār, Dhikr al-Khāṣ

ba‟da al-„Ām wa al-„Aks, al-I‟tirāḍ, al-Faṣl bayna al-Jumlatayn dan

al-Iltifāt. Lihat : D. Hidayat, al-Balāghah lil-Jamī‟wa al-Shawāhid

Page 67: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

56

dasarnya menunjukkan sebuah kata atau kelompok kata yang

mendapat pengulangan itu dianggap penting, karena

merupakan pikiran inti yang harus lebih ditonjolkan dari

unsur-unsur yang teks yang lain.54

Jadi pembahasan/gagasan

yang mendapatkan pengulangan merupakan mempunyai porsi

prioritas untuk ditekankan.

Tikrār ditinjau dari segi strukturnya, dapat dikategorikan

menjadi tiga model pengulangan, antara lain:

a) Tikrār Bersambungan, pada strukur ini

dihubungkan dengan ḥuruf aṭaf atau oleh

adawāh al-Istifhām55

b) Tikrār tidak bersambung, seperti pada ayat:

56

Ayat ini terdapat pada surah al-Qamar pada

ayat ke 17, 22, 23 dan 40.

min Kalām al-Badī‟; Balaghah Untuk Semua, (Jakarta: Karya Toha

Putra dan Bina Masyarakat Qur‟ani Jakarta, 2002), IV 54

D.Hidayat, al-Balāghah lil-Jamī‟wa al-Shawāhid min

Kalām al-Badī‟; Balaghah Untuk Semua, (Jakarta: Karya Toha

Putra dan Bina Masyarakat Qur‟ani Jakarta, 2002), h. IV. 55

QS. Al-Qāri‟ah 101: 1-3. kata al-Qāri‟ah diulangi dalam

tiga ayat, ini menekankan sebagai penegasan bakal datangnya hari

kiamat yang sangat dahsyat. 56

Menurut Quraish Shihab banyak upaya yang telah

ditempuh untuk memudahkan dalam memahami al-Qur‟an, degan

cara menurunkannya secara bertahap (), Mengulang-ulangi

urainnya, Memberikan serangkian contoh dan perumpamaan

menyangkut hal-hal yang abstrak dengan sesuatu yang kasat indrawi

melalui pemilihan bahasa yang paling kaya kosakatanya , menurut

Quraish Shihab untuk lebih memahami ayat ini, baca juga QS.

Yūnus (12): 2. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan,

Kesan, dan keserasian dalam al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera

Hati,2009, edisi Baru Cet. I), h. 242-243.

Page 68: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

57

Selain itu, pengulangan dalam al-Qur‟an jika ditinjau

dari sudut pandang Balāghah, menjadi pembahasan al-Jinās

al-Jinās ,(اىجبض)57

adalah gaya bahasa yang menggunakan

“ulangan kata” Kesesuaian atau kemiripan dua lafaz dalam

pengucapan sedangkan artinya berbeda”. Tentu ini sangat

sepaham dengan pendapat yang menyatakan tidak ada

sinonim dalam al-Qur‟an. Ada dua macam, antara lain: al-

Jinās al-Tām (bila dua kata persis sama dalam segi huruf,

bentuk, jumlah dan urutan huruf58

) dan al-Jinās ghayr al-Tām

(Jinās yang tidak sama dari segi empat kategori di atas).

Jika „ilm tikrār guna memparkan penjelasan mengapa

suatu lafaz berlafaz sama, dan melahirkan makna yang tersirat

dari pengulangan lafaz tersebut, sedangkan al-Jinās berguna

untuk memaparkan perbedaan makna suatu lafaz kata yang

sama.

3. Tikrār dan Ishtirāk al-Lafẓī: Menguraikan

Kandungan Satu Lafaz Dengan Ragam Makna

Kajian tentang tektualitas al-Qur‟an sudah banyak

dilakukan, salah satu pengkaji al-Qur‟an kontemporer

57

-lihat: Aḥmad al رشبث اىيفظز ف اىطق اخزلافب ف اىع .

Hāsyimī, Jawāhir al-Balāghah.…, 325. 58

dalam ayat ini, terdapat pengulangan kata اىسبعخ yang

memiliki dua makna yang berbeda. Lafaz yang pertama bermakna

hari kiamat dan lafaz kedua bermakna sesaat Lihat:

“Dan pada hari (ketika) terjadinya Kiamat, orang-orang

yang berdosa bersumpah, bahwa mereka berdiam (dalam

kubur) hanya sesaat (saja). Begitulah dahulu mereka

dipalingkan (dari kebenaran). (Q.S. al-Rūm [30]: 55)

Page 69: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

58

misalnya Muhammad Arkoun melakukan kajian mendalam

terhadap teks al-Qur‟an, kajiannya terkait tekstualitas al-

Qur‟an sampai pada kesimpulan pada beberapa poin, antara

lain: 1). kata-kata Allah, 2). Wacana al-Qur‟an, 3). Korpus

tertutup resmi dan 4). Korpus-korpus tertafsir59

. Dalam hal ini

penulis tidak membahas empat kesimpulan Arkoun di atas,

Yang menjadi perhatian penulis adalah kesimpulan ketiga

dan keempat, dari kesimpulan ketiga merujuk pada fakta

kodifikasi al-Qur‟an yang telah dilakukan pada zaman

„Uthmān bin Affān, menurutnya, bahwa al-Qur‟an terdiri dari

sejumlah ujaran tertentu yang mempunyai bentuk tetap. Ini

berarti Al-Qur‟an selesai dari segi bentuk ungkapan dan isi60

.

Namun demikian, pada kesimpulan ke empat Arkoun juga

berpendapat bahwa korpus Al-Qur‟an bersifat terbuka, artinya

korpus tersebut terbuka bagi konteks yang beraneka ragam,

itu berarti korpus tertutup yang bersifat terbuka untuk

ditafsirkan dalam berbagai konteks, termasuk pada konteks

sekarang dan nanti yang akan semakin dinamis.

Dalam pembahasan makna, tidak dipungkiri adanya

kesamaan lafaz tetapi berbeda dalam pemaknaan, ini pun

terdapat dalam al-Qur‟an, terdapatnya kata-kata yang diulangi

yang secara lafaz (dari segi tulisan), dikarenakan berbeda

konteks suatu kata memiliki makna yang berbeda, „Abd al-

Qahir al-Jurjāni berpendapat bahwa kata tidak memiliki

makna pada dirinya (kata) jika tanpa dihubungkan dengan

konteksnya61

59

Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-

Qur‟an; Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta:

Teraju, 2003), h. 63. 60

Mohammed Arkoun, Tarīkhiyyah al-Fikr al-„Arabi al-

Islām, (Beirut: Markaz al-inma, 1987), h. 5. 61

Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-

Qur‟an; Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta:

Teraju, 2003), h. 87.

Page 70: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

59

Pada perkembangannya, sebuah teks akan dipahami

dengan sangat baik terlebih dengan memahami kontek teks

tersebut lahir atau posisi teks (Naẓm) tersebut berdiri, Abu

Zayd melakukan eloborasi sangat mendalam terkait level

konteks, menurutnya ada beberapa level konteks62

yang mesti

dipahami untuk memahami suatu teks dengan komperhensif.

Salah satu level yang berkaitan dengan teks (naẓm) adalah

level susunan linguistik, pada level ini perlu menganalisa

relasi-relasi suatu teks (naẓm), seperti Faṣl (pemisahan), Waṣl

(pengaitan) antara kalimat-kalimat secara gramatikal dan

relasi-relasi taqdīm (mendahulukan) ta‟khīr (menterakhirkan),

al-Dhikr wa al-Ḥadf (penyebutan dan penghapusan) dan

Tikrār (pengulangan)63

. Pada eloborasi ini dapat ditemukan

titik tolak yang mengharuskan menganaslisa kata-kata yang

diulangi, yang memiliki makna plural.

Dalam „Ulūm al-Qur‟ān, terdapat salah satu

cabangnya („Ulūm al-Qur‟ān) yang memabahas satu lafaz

beragam makna dikarenakan terletak di konteks yang berbeda,

Ishtirāk al-Lafẓī adalah pembahasaan tekait dengan satu lafaz

yang sama tetapi memilki makna yang berbeda64

, terkait ini

al-Zarkashi berpendapat bahwa, “satu kata, memiliki dua

puluh makna, ada kata yang jumlah maknanya lebih dari itu

ada juga kata maknanya kurang dari dua puluh, yang pasti

tidak ada perkataan seorangpun yang memiliki pluralitas

maknanya sebanyak al-Qur'an”65

maka kajian terkait satu kata

62

Baca: Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-

Qur‟an; ,,,,,,h. 90-93. 63

Naṣr Ḥamīd Abū Zayd, “Qadhiyyat al-Mar‟ah bayna

Sanadān al-Ḥadātsah wa Mathraqat al-Taqālīd: Dirāsah fī Tarīkh al-

Nuṣūṣ”, Alif, dalam Majallat al-Balāghah al-Muqāranah, No. 19,

1999, h. 41-42. 64

Muḥammad Nūr al-Dīn al-Munjid, al-Ishtirāk al-Lafẓī al-

Qurān al-Karīm (bayna al-Nadhriyah wa al-Taṭbīq), (Damaskus:

Dar al-Fikr, 1999), 77. 65

Al-Zarkashī, al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān, Jil.I, h. 102.

Page 71: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

60

yang diulangi, tetapi memiliki makna satu sama lain, tentu

sepintas kajian ini memiliki similiarty dengan tikrār, lalu apa

perbedaan yang tegas antara dua pembahasan ini.

Hasil dari pembahasan Ishtirāq al-Lafẓī ini

memaparkan ragam makna dari satu lafaz, tidak dengan

penjelasan yang mendalam dan terperinci, karena yang

menjadi inti pembahasan dari ishtirāq adalah memaparkan

bahwa suatu lafaz memiliki makna yang beragam, itu

dikarenakan konteks yang menghendaki sautu lafaz memiliki

makna tertentu, dan setiap konteks secara jelas menghendaki

makna suatu kata berbeda, Hasil kajian yang dilakukan oleh

Muḥammad Nūr al-Dīn al-Munjid terhadap lafaz اىلأخسح

menurutnya, kata اىلأخسح memiliki lima makna dalam al-

Qur‟an, makna-maknanya antara lain66

: al-Akhirah, al-

Qiyāmah (QS. Al-Mu‟mīn: 23/74, al-Layl: 2/102), al-Jannah

(al-Baqarah: 2/102, al-Zukhrūf: 43/35), Jahanam (al-Zumar:

39/9), dan al-Qabr (al-Ibrāhim: 14:27)

Perbedaan yang mendasar dari dua pembahasaan

(Ishtirāq al-Lafẓī dan Tikrār) ini adalah, jika Ishtirāq al-Lafẓī

memaparkan ragam makna suatu kata karena dipengaruhi

konteks kata.

C. Kajian Tikrār Kontemporer

Berkat kritikan yang dilontarkan oleh Edward Said,

kajian al-Qur‟an di Barat mengalami pergeseran yang cukup

signifikan, awalnya pada abad ke delapan belas dan Sembilan

belas Masehi kajian al-Qur‟an di Barat cenderung bias budaya

dan pemikiran Barat, itu tidak terlepas dari masa kolonial.

kritikannya itu berimplikasi pada kajian Islam dan Al-Qur‟an

di Barat pada abad ke dua puluh dan dua puluh satu berubah

66

Muḥammad Nūr al-Dīn al-Munjid, al-Ishtirāk al-Lafẓī al-

Qurān al-Karīm (Bayna al-Nadhriyah wa al-Taṭbīq), (Damaskus:

Dar al-Fikr, 1999), h. 97-97.

Page 72: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

61

dan lebih bervarian.67

Ini menandakan kritikan Said yang

berangkat dari kajiannya terhadap kajian Islam dan al-Qur‟an

di Barat menjadi salah satu titik tolak balik kecenderungan

kajian Islam dan al-Qur‟an di Barat.

Sebelum Membahas lebih jauh mengenai tema ini,

penting untuk ditegaskan, bahwa yang difokuskan pada

tulisan ini adalah kajian al-Qur‟an terkait tema tikrār yang

dilakukan di Barat. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan dan

menegaskan bahwa tikrār adalah tema yang polemic yang

kerap kali dijadikan objek kajian, baik di dunia Islam Maupun

oleh sarjana Barat. Menurut Gabriel Said Reynolds bahwa

kajian al-Qur‟an di Barat tengah pada masa keemasannya68

,

karena banyak wacana dan ragam kajian al-Qur‟an yang telah

dilakukan di Barat, maka dalam hal ini, penulis tidak

membahas semua kajian al-Qur‟an secara menyeluruh.

Menurut salwa el-Awa69

, pengulangan dalam al-

Qur‟an penguraiannya sangat mengalir, tentu itu tidak bisa

diabaikan untuk di analisa teks bahasa (pengulangan) yang

digunakan, dalam penelitiannya “ Repetition in the Qur‟an: A

Relevance Based Explanation of the Phenomenon” ingin

mengungkap fungsi pengulangan lebih dari Taukīd dan

67

Yusuf Rahman, “Tren Kajian al-Qur‟an di Dunia Barat”,

dalam Studi Insania, April 2013. Vol. 1, No. 1, h. 1. 68

Gabriel Said Reynolds, "Introduction: The Golden Age of

Qur'anic Studies?," dalam Gabriel Said Reynolds (ed.),New

Perspectiveson the Qur'an: The Qur'an in Its Historical Context 2

(London dan New York: Routledge, 2011), h. 2. 69

Salwa M. S. El-Awa adalah seorang Dosen dalam bidang

kajian al-Qur'an di fakultas (Departemen) Teologi dan Agama,

Universitas Birmingham, disana dia mengajar Hermeneutika Al-

Qur‟an dan metode penafsiran teks Islam. ketertarikannya dalam

meneliti analisis wacana Alquran. Lihat: Salwa M. S. El-Awa,

Textual Relations In Quran Relevance, Coherence and Structure,

(London and New York, Routledge Taylor and Francis Group,

2006).

Page 73: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

62

Itnāb70

. Artinya dalam penelitiannya el-Awa bermaksud

mengungkap fungsi lain dari penglangan yang terdapat dalam

al-Qur‟an, selain kedua fungsi yang telah ditemukan sejak

lama.

Dalam artikelnya, el-Awa mengajukan tujuan dari

penelitiannya itu untuk mengidentifikasi fungsi komunikatif

dari pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an al-Qur‟an

serta menujukkan bagamana fungsi itu dioperasikan.71

Utnuk

mencapai tujuan tersebut al-Awa mengajukan framework baru

guna mencapai tujuannya tersebut.

Pengkategorian tikrār yang dilakukan oleh el-Awa

ingin menguji bagaimana tikrār yang terdapat dalam al-

Qur‟an diuji dengan menerapkan model pengulangan yang

digagas oleh Deborah Tannen, yang disebut oleh el-Awa

dengan “Tannen‟s Dimensions of self-repetition” empat

kategori yang digagas oleh Tannen akan dipaparkan di depan.

El-Awa mengklasifikasikan pengulanga dalam al-

Qur‟an (tikrār) menjadi empat klasifikasi mayor, antara lain:

Exact Immediate, Exact Delayed, Paraphrase Immediate dan

Paraphrase Delayed.72

El-Awa Tidak menjelsakan secara rinci

tekait kategori yang menjadi pertimbangan suatu ayat/kalimt

dimasukan pada salah satu klasifikasi, hanya menjelsaskan

secara sederhana.

a. Exact Immadite (tepat dengan segera)

Klasifikasi ini menggambarkan kejadian atau

femomena yang terjadi tepat dengan segera73

,

70

Sudah dipaparakan di banyak ulum al-Qur‟an bahwa

fungsi tikrār dalam al-Qur‟an untuk taukīd dan iṭnāb. 71

Salwa el-Awa,” Repetition in the Qur‟an: A Relevance

Based Explanation of the Phenomenon”, dalam Islamic Studies,

42:4, 2003, h. 578. 72

Salwa el-Awa,” Repetition in the Qur‟an: ,,,,,, h. 579-581. 73

Seperti pada pengulangan yang terdapat pada surah al-

Inshirah (94:5 dan 6). Setelah kesulitan maka akan segera datang

kemudahan.

Page 74: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

63

Menurut el-Awa, sangat jarang (often) ayat al-Qur‟an

yang masuk dalam klasifikasi ini, dalam klasifikasi ini

el-Awa mengajukan beberapa contoh antara lain:

Sūrat al-Fajr (89: 21,22)74

, al-Wāqi‟ah (56:10,11), al-

Sharḥ (94: 5,6) dan al-Takāthur (102: 3,4).

b. Exact Delayed

El-Awa memberikan penjelasan terkait dengan

klasifikasi ini, menurutnya klasfifikasi ini terjadi

ketika si pembicara mengulangi perkataannya setelah

kejadian dengan melibatkan item linguistik75

,

menurutnya pengulangan al-Qur‟an yang termasuk

pada klasifikasi ini adalah Sūrat al-Qāri‟ah (101: 1-

3)76

c. Paraphrase Immediate

Klasifikasi ini berlaku ketika Sebuah frase terjadi

ketika ide/gagasan yang sama diungkapkan dengan

kata-kata yang berbeda, gagasan yang sama dapat

disimpulkan dari kombinasi asumsi yang berbeda. Ini

membuat pengulangan gagasan secara eksplisit yang

persis sama, yang bermasalah, terutama jika

seseorang memikirkan frase dalam hal frase yang

74ب ) ب دم يل صفب 11ملا إذا دمذ الزض دم اى جبء زثل )

(11صفب ) “Sekali-kali tidak! Apabila bumi diguncangkan berturut-

turut (berbenturan). dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat

berbaris-baris. (Q.S. Al- Fajr [89]: 21-22). 75

Salwa el-Awa,” Repetition in the Qur‟an: A Relevance

Based Explanation of the Phenomenon”, dalam Islamic Studies,

42:4, 2003, h. 579. ب اىقبزعخ 1اىقبزعخ )76 ب اىقبزعخ ( 1)( ب أدزاك (3)

“Hari Kiamat. Apakah hari Kiamat itu?. Dan tahukah kamu

apakah hari Kiamat itu?” (Q.S. Al-Qāri‟ah [101]: 1-3).

Page 75: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

64

sempurna atau lengkap. Namaun dalam memberikan

contoh untuk klasifikasi ini el-Awa kesulitan dan

merasa tidak yakin 100% dengan contoh yang

dimasukkan pada klasifikasi ini, adapun yang dia

ajukan contohnya sūrat al-Baqarah (2:33).77

“Because of the complexity of this

matter, I have excluded

paraphrases that are not complete

from my search for examples of this

category”78

d. Paraphrase Delayed

Tipe ini banyak menjadi objek penelitian, khususnya

pada surah madaniah, yang surahnya memiliki

retorika yang lebih panjang dari pada Surah

Makkiyah, selain mempunyai uraian yang panjang,

surah madaniah juga memilki ciri uraiannya sangat

detail. Tipe ini (Paraphrase Delayed) mempunyai

77

جأ ب أ في بئ ثأس جئ أ قبه ب آد

ت غ إ أعي أقو ىن قبه أى بئ اد ثأس ب اىس

رنز ز ب م ب رجد أعي الزض

“Dia (Allah) berfirman, “Wahai Adam! Beritahukanlah

kepada mereka nama-nama itu!” Setelah dia (Adam)

menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman, “Bukankah

telah Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui

rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang

kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?” (Q.S.

Al-Baqarah [2]: 33)

78

Salwa el-Awa,” Repetition in the Qur‟an: A Relevance

Based Explanation of the Phenomenon”, Islamic Studies, 42:4,

2003, h. 579-580.

Page 76: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

65

kriteria ketika sejumlah uraian mengilustrasikan suatu

tema atau menggambarkan suatu kisah.

Kerapkali tipe ini terpaparkan pada beberapa surah,

seperti pendeskripsian seorang Nabi Muhammad

manusia biasa yang menerima wahyu,

pendeskripsiannya dipaparkan dengan kondisi-kondisi

yang berbeda, itu dipaparkan pada al-Kahfi (18:110)79

dan (41:6)80

. Catatan untuk tipe ini adalah frase

pengulangan.

empat kategori di atas adalah kategori secara garis

besar, tentu masih dapat ini Tentu apa yang dilakukan el-Awa

tidak sama dengan apa yang menjadi tujuan utama dalam

79

. اى ح ثين ب اب ثشس احد قو ا اى ن ب اى ا

ل شسك ثعجبدح لا صبىحب و ع فيع ا ىقبء زث سج مب ف

احدا زث

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya

seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima

wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan

Yang Maha Esa.” Maka barangsiapa mengharap pertemuan

dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan

kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan

sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.(Q.S. Al-

Kahfi [18]: 110)

80

احد اى ن ب اى ا اى ح ثين ب اب ثشس قو ا

شسم و ىي اسزغفس ا اى فبسزق

“Katakanlah (Muhammad), “Aku ini hanyalah seorang

manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa

Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu

tetaplah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah

ampunan kepada-Nya. Dan celakalah bagi orang-orang

yang mempersekutukan-(Nya).” (Q.S. Fuṣṣilat [41]: 6)

Page 77: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

66

penelitian ini, tetapi dengan apa yang telah dilakukan el-Awa

(pengkategrian tikrār) dapat dipertimbangkan untuk membaca

penafsiran tikrār yang diterapkan oleh al-Sha'rāwī.

Selain kajian yang dilakukan oleh Salwa el-Awa.

Dalia Abo Haggar menulis disertasi mengenai pangulangan

dalam al-Qur‟an, dari disertasinya itu Haggar ingin menguji

pangulangan sebagai sebuah metode dalam interaksi makna

dalam al-Qur‟an. Dalam mengkaji tikrār ada tiga surah yang

dikaji, surah al-A‟rāf, Yūnus dan ketika mengkaji al-A‟rāf

menyimpulkan bahwa pengulangan yang terdapat pada surah

ini menunjukkan bahwa pengulangan lafaz memiliki

kandungan yang tersirat di dalamnya, berupa penambahan

makna-makna yang baru81

, ketika menghubungkan dan

menguhubungkan ulang dengan kisah (section) dari bagian

surah. Menambahkan koherensi bagian-bagian surah.82

Kajian-kajian tikrār kontemporer ini, menunjukkan bahwa

kajin dengan tema ini didiskusikan oleh para sarjanawan dan

tentu masi perlu pengembangan dan pembacaan produktif

guna mengeluarkan kandungan yang tersirat dalam lafaz-lafaz

tikrār.

81

Ini sependapat dengan apa yang disimpulakan oleh

Khoridatul dari kajiannya, menurutnya pengulangan yang terdapat

pada surah al-Raḥmān memiliki muatan persepsi pada penambahan

makna berupa aspek Psikologis yang terdapat pada setiap uraiannya.

Lihat: Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan

Redaksi Dalam Surat al-Raḥmān,” dalam Hermeunetik 8, no. 1,Juni

2014, h. 133. 82

Dalia Abo Haggar, “Repitition a key to Qur‟anic Style,

Structure and Meaning”, (Disertasi S3 University o Pennsylvania,

2010), h.150.

Page 78: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

67

BAB III

Biografi Al-Sha’rāwī Dan Penafsirannya

Pada bab ini dipaparkan, latar belakang profil penafsir

dan tafsirnya, itu meliputi motivasi, sumber, metode1 dan

pendekatan al-Sha‟rāwī selain itu pada salah satu sub dalam

bab ini, dipaparkan juga latar belakang penggalian kandungan

yang tersirat dalam lafaz-lafaz yang mengalami repitisi.

Dalam melakukan kajian terhadap suatu karya tafsir,

sebuah keniscayaan mengetahui latar belakang2 seorang

penafsir dan tafsirnya, karena bagaimana pun seorang

penafsir, tidak hidup pada ruang hampa, tetapi dia mengisi

ruang yang sangat dinamis, yang tiap eranya sangat

memungkinkan bergerak dan berkembang, maka sebuah

keharusan membahas latar belakang3 dan seluk beluk

1Menurut Norman Calder (1950-1998) yang dikutip oleh

Yusuf Rahman, bahwa kualitas yang membedakan dari hasil karya

seorang penafsir dengan penafsiran lainnya, bukan terletak pada

kesimpulannya sehubungan dengan apa yang al-Qur‟an maksud,

lebih dari pada itu, pada pengembangan dan penunjukkan teknik-

teknik yang menjadi tanda penguasaan mereka atas bidang

kebahasaan (sastra). Dengan kata lain, berbagai metode yang

digunakan oleh para penafsir bisa dianggap lebih penting ketimbang

hasil penafsirannya. Sering juga dikatakan bahwa berbagai

kesimpulan berbeda dalam penafsiran utamanya adalah karena

variasi metode yang digunakan oleh para penafsir. Lihat: Yususf

Rahman, "Akidah Sayyid Quṭb (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi

terhadap al-Qur‟an" dalam Jurnal Tsaqafah, Vol. 7, No. 1, April

2011, h. 71. 2Latar belakang disini dapat diklasifikasikan menjadi dua,

latar belakang yang mempengaruhi keilmuan al-Sha'rāwī dan latar

belakang terkait dengan penafsiran yang dilahirkan al-Sha‟rāwī. 3. Salah satu yang unik dalam melakukan pembacaan dan

memahami sebuah teks adalah teks terdahulu yang dibaca oleh

penulis. Lihat: Amina Wadud, Qur‟an and Woman; Rereading the

Page 79: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

68

kehidupan al-Sha'rāwī4 dengan tafsirnya, guna mendapatkan

pemahaman yang komprehensif tentang Tafsīr al-Sha'rāwī.

Penafsiran al-Sha‟rāwī tidak bisa dilepaskan dari

pengaruh disekitarnya atau aktivitas dia jalani,

keadaan/konteks dimana dan kapan Sha‟rāwī hidup, sebagai

Sacred Text From a Woman‟s Perspective, (New York: Oxford

University Press, 1999), h.5. 4Tentu ini bukan tulisan pertama yang mengulas tentang

kehidupan al-Sha‟rāwī dan perjalanan intelektualnya, yang mana

keduanya mempengaruhi terhadap hasil penafsirannya, beberapa

kajian yang dapat yang telah dilakukan terkait dengan tema tersebut,

dari sekian banyak para sarjana yang menulis tentang al-Sha‟rāwī

salah satunya adalah Jacquelene Jayne Gottlieb Brinton,seorang

Associate Professor di Kansas University. Lihat:

https://religiousstudies.ku.edu/jacquelene-brinton diakses pada 19-

04-2018. Dia melakukan kajian terkait dengan al-Sha‟rāwī dan

melahirkan tiga tulisan, satu dalam bentuk disertasi yang ditulisnya

pada Kansas University dan dua artikel jurnal. Lihat: “Preaching

Islamic Renewel: Shyakh Muhammad Mutawalli al-Sha and The

Synchronization of Revelation adn Contemporary Life. " Disertasi

di University of Virginia, 2009. , “Preaching and the

epistemological enforcement of ‘ ulama'’ authority: The sermons of

Muhammad Mutawalli al-Sha‟rāwī ." Intellectual Discourse, Vol

19, No 1, 2011. Dan “Religion, National Identity and Nation

Building: Muḥammad Mutwallī al-Shaʿrāwī‟s Concept of Islam

and Its Ties to Modern Egyptian Politics. " Comparative Islamic

Studies, 10.1 (2014) 61–85Ketiga tulisan Brinton memang tidak

mengulas Tafsīr al-Sha‟rāwī secara fokus, melainkan tulisannya

tersebut mengungkap pemikiran keagamaan al-Sha‟rāwī guna

merespon modernitas terkait dengan keseharian di era kontemporer

dan kehidupan berbangsa. Selain itu Pesona al-Sha‟rāwī pun tak

luput dari perhatian para sarjana Indonesia, beberapa telaah terhadap

pemikiran al-Sha‟rāwī pun telah dilakukan, setidaknnya empat karya

ilmiah yang telah dipaparkan pada bab 1, menunjukkan bahwa

pemikiran al-Sha‟rāwī memberikan sumbangsih sangat signifikan

bagi peradaban pemikiran Islam.

Page 80: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

69

ulama5 yang dilahirkan dalam konteks kultur dan politik

Mesir, tentu itu sangat mempengaruhi dalam membentuk

pemikiran al-Sha‟rāwī yang dituangkan dalam penafsirannya.

A. Kondisi Sosial dan Pendidikan M. Mutawallī al-Sha’rāwī

Al-Sha‟rāwī Bernama lengkap Muḥammad Mutawallī

al-Sha'rāwī, (mempunyai gelar al-Shaykh al-Amīn al-

Sha'rāwī)6 lahir di Mesir

7 pada tanggal 17 Rābi al-Tsānī 1329

H bertepatan dengan 16 April 1911 M dan meninggal pada

usia 87 tahun pada tanggal 22 Ṣafar 1419 H atau 17 Juni 1998

M8.

Al-Sha‟rāwī‟ merupakan seorang cendikiawan

Muslim, pada tahun 1976 dia diberi amanat untuk menjabat

sebagai menteri, (in 1976, al-Sha‟rāwī was selected to become

the Egyptian Minister of Religious Endowments)9 di dalam

pemerintahan Mesir. Diamanatkan kepadanya jabatan menteri

6Jacquelene Jayne Gottlieb Brinton, “Preaching Islamic

Renewal: Shaykh Muḥammad Mitwallī Sha„rāwī and the

Synchronization of Revelation and Contemporary Life,” (Disertasi,

University of Virginia, August 2009), h. 78. 7Mesir adalah negara yang banyak melahirkan pemikir dan

cendikikiawan Muslim, pemikir-pemikir pembahru Islam, seperti

Jamalauddin al-Afghānī, Muḥammad „Abduh dan Rashīd Riḍā.

Lihat: Muhammad Yasin Jazar, Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī;

„Ālim `Aṣruh fî `Uyûn `Ashrih, (Kairo: Maktabah al-Turāth al-

Islāmī, 1409 H), h.15. 8Muḥammad Alī Iyāzī, al-Mufassirûn Ḥayātuhum wa

Manhajuhum, (Teheran: Mu‟assasah al-Ṭaba‟ah al-Naṣr, T.th.), h.

269. 9Jacquelene Brinton, “Preaching and Epistimological

Enforcement of Ulama Authority: The Sermons of Muḥammad

Mutawallī Sha‟rāwī” dalam Intelectual Discourse, 19, 97-121, 2011,

h.104.

Page 81: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

70

kepada al-Sha‟rāwī mengindikasikan bahwa, al-Sha‟rāwī

memiliki keilmuan yang mumpuni, selain itu al-Sha‟rāwī pun

pada waktu itu merupakan kiblat warga Mesir dalam

memahami Islam, selain itu al-Sha‟rāwī‟ lebih dikenal sebagai

pendakwah yang memiliki popularitas yang tidak biasa pada

waktu itu.10 Popularitasnya itu sangat dipengaruhi oleh

tayangan pengajiannya yang mengupas tentang penafsiran

terhadap al-Qur‟an yang ditayangkan di televisi secara luas,

tayangan pengajiannya ini mengambil lokasi di berbagai

masjid, terkadang di daerah kairo dan Alexandria, rekaman

pengajiannya tayang setiap hari jum‟at.

Perjalanan al-Sha‟rāwī sebagai Dai yang populer di

sebuah program televisi di mulai pada tahun 198011

, ketika dia

berumur lima puluh sembilan tahun, program ceramahnya di

televisi dikenal dengan Nūr „alā Nūr dengan dipandu oleh

Maḥmūd Farag sebagai pembawa acaranya, latar belakang al-

Sha‟rāwī mengudara di televisi, awalnya, tidak langsung

pihak pemilik stasiun televisi membuat program secara

khusus untuk al-Sha‟rāwī, awalnya al-Sha‟rāwī hanya

diundang untuk menjadi bintang tamu untuk satu episode,

ternyata episode yang menghadirkan al-Sha‟rāwī sebagai

bintang tamu, pada kesempatan itu dia menguraikan

pemikirannya. Episode itu mendapatkan sambutan positif

ramai dari penonton, jadilah dia didaulat menjadi pengisi

program itu, bahkan program itu dijadikan format

ceramah/penguraian pemikiran yang berlandaskan kitab suci

al-Qur‟an.

10

Popularitas al-Sha‟rāwī tidak hanya terdengar di kalangat

masyarakat Mesir, lebih dari itu, al-Sha‟rāwī harum namanya di

masarakat dunia Arab. Lihat: Jacquelene Brinton, “Religion,

National Identity and Nation Building: Muḥammad Mutwallī al-

Shaʿrāwī‟s Concept of Islam and Its Ties to Modern Egyptian

Politics. " dalam Comparative Islamic Studies, 10.1 (2014), h. 61. 11

Jacquelene Brinton, “Preaching and Epistimological

Enforcement of Ulama,,, h. 104.

Page 82: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

71

Dalam kitab Muhammad Mutawalli Al-Sha‟rāwī min

al-Qaryah ilā Ālamiyyah, sebagaimana yang dikutip oleh

Istibsyarah, bahwa al-Sha‟rāwī dilahirkan dari keluarga pas-

pasan, tidak kaya, tidak miskin, memiliki nasab yang

terhormat yaitu keturunan Aḥl al-Bayt12

. Akan tetapi Al-

Sha‟rāwī sendiri tidak perrnah menceritakan hal ini kepada

siapapun, sebagaimana al-Sha‟rāwī pernah berkata: “Aku

tidak pernah bercerita kepada siapapun terkait hal ini, maka

janganlah engkau memberitahu siapapun tentang hal ini.13

Ini

menunjukkan ke-tawadhuan al-Sha‟rāwī, selain itu sikap

tawadhu nya pun tercermin ketika berpendapat bahwa kajian

eloborasinya terhadap naṣ al-Qur‟ān bukanlah tafsir

melainkan khawāṭirī ḥawl al-Qur‟ān.14

Tidak berlebihan, jika al-Sha‟rāwī disebut sebagai tokoh

yang berpengaruh di zamannya, lebih khususnya di Mesir,

cakupan pengaruh masuk pada banyak elemen, baik itu

elemen elit yang diwujudkan ketika al-Sha‟rāwī menjabat

sebagai Menteri wakaf,, maupun al-Sha‟rāwī sangat

berpengaruh untuk masyarakat umum, lewat pengajian dan

ceramahnya al-Sha‟rāwī menjadi pencerah bagi masyarakat

mesir, selain kedua objek di atas itu, al-Sha‟rāwī pun

memberikan pengaruh kepada umat Islam di luar masyarakat

12

Aḥl al-Bayt dalam nomenklatur Islam diartikan sebagai

keturunan Nabi Muḥammad Saw. Sedangkan dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia bermakna keluarga terdekat Nabi Muḥammad

Saw.

13Istibsyarah, Hak-hak Perempuan, Relasi Gender menurut

Tafsir Al-Sya‟rāwī. (Jakarta: Teraju, 2004), h. 21. 14

dalam benak al-Sha‟rāwī, yang memiliki otoritas dalam

menafsirkan al-Qur‟an hanyalah Nabi Muhammad Saw. Dengan

keyakinan itu, menurut al-Sha‟rāwī bahwa eloborasi pada la-Qur‟an

merupakan percikan pikiran al-Sha‟rāwī atas bacaannya terhadap al-

Qur‟an. M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, (Kairo:

Akhbār al-Yawm, 1991), h. 9.

Page 83: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

72

Mesir, terkait data ini akan dipaparkan pada pembahasan

berikutnya.

1. Kesarjanaan dan Aktivitas al-Sha'rāwī

Pendidikan al-Sha‟rāwī dimulai dengan menghafal

Qur‟an di bawah bimbingan gurunya yang bernama „Abd

Majīd Faṣa yang bukan lain adalah seorang penulis,

berdasarkan informasi yang ditemukan setelah cukup lamanya

al-Sha‟rāwī kecil menghafalkan tiap-tiap ayat dalam kitab

suci al-Qur‟an di bahwah bimbingan gurunya itu, akhirnya

pada umur sebelas15

tahun al-Sha‟rāwī menyelesaikan

hafalannya tiga puluh juz16

. Tentu hal ini (hafal al-Qur‟an

dalam usia dini) adalah suatu yang lumrah dikalangan para

ulama, terlebih untuk mereka yang memiliki konsen dalam

menggali kandungan kitab suci al-Qur‟an17

.

Selain sejak dini Al-Sha‟rāwī‟ kecil memulai pendidikan

informal, al-Sha‟rāwī pun menempuh pendidikan formal,

yang dimulai dari tingkat sekolah dasar sampai pada tingkat

Universitas, dia menempuh pendidikan formalnya pada

Universitas Al-Azhar, untuk lebih detail terkait data riwayat

pendidikan formalanya, berikut riwayat pendidikan al-

Sha‟rāwī:

15

Sedangkan dari sumber lain, al-Sha‟rāwī kecil telah hafal

al-Qur'an pada umur sepuluh tahun. Lihat: Jacquelene Brinton,

“Preaching Islamic Renewel: Shyakh Muhammad Mutawalli al-Sha

and The Synchronization of Revelation adn Contemporary Life"

Disertasi, University of Virginia, 2009, 72. 16

Malkan, Dimensi Ilmiah dalam Tafsir al-Sha‟rāwī; Suatu

Kajian Ayat Tentang Penciptaan Manusia, (Ciputat: Mazhab

Ciputat, 2016), 56. Lihat juga: Muḥammad Muṣṭafā, Riḥlah fī al-

A‟maq al-Sha‟rāwī, (Kairo: Dār al-Ṣafwah, 1991), 6. 17

Ulama tafsir yang hafal al-Qur‟an sejak usia dini antara

lain: ……

Page 84: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

73

NO Pendidikan Daerah Jurusan .

Tahun

1 Sekolah Dasar al-

Azhar

Zaqāziq - 1926-

1932

2 Sekolah Menengah

Al-Azhar

Zaqāziq - 1932-

1936

3 Universitas al-Azhar

S1

Kairo Bahasa

Arab

1937-

1941

4 Universitas al-

Azharz S318

Kairo Bahasa

Arab

1943

Tabel. 1.2 Riwayat Pendidikan Formal al-

Sha’rāwī

Dari tabel di atas dapat dipahami, semasa hidupnya,

al-Sha‟rāwī menempuh pendidikan formal di lingkungan

Universitas al-Azhar, jadi keilmuan al-Sha‟rāwī berkembang

dikalangan para cendikiawan Mesir lainnya, maka tidak tepat

jika menganggap bahwa keilmuan al-Sha‟rāwī lepas dari

ruang-ruang kelas Universitas, lebih tepatnya ada dialektika

keilmuan dari al-Sha‟rāwī dengan kehidupan akademis di

Universitas Al-Azhar.

18

Pada dua referensi dijelasakan seperti ini. Lihat:

Isytibsyaroh, “Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender pada Tafsīr

al-Sha‟rāwī ” (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 36. Dan lihat juga: Selamat Amir,

dkk, "Pentafsiran Saintifik dalam al-Quran: Satu Pengenalan

Terhadap Metode al-Sha„rāwī dalam Tafsīr al-Sha„rāwī, Tumpuan

Surah al-An„ām Ayat 125" dalam Jurnal Usuluddin 42 , Juli –

Desember 2015, h. 61.

Page 85: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

74

2. Aktivitas dan Karier

Penting untuk mengetahui kilas balik kehidupan

seorang penulis, karena dari situlah hipotesa-hipotesa yang

dipahami penulis dalam menentukan seseorang tersebut

akhirnya memililih untuk terjun/aktif dalam organisasi sosial

atau berdakwah, dalam hal ini, al-Sha‟rāwī muda memang

sudah sangat menggandrungi ilmu, karena tidak bisa

dielakkan bahwa, lahir dikelilingi guru mulia selain itu al-

Sha‟rāwī kecil pun dikelilingi kondisi sosialnya. Sebelum

menentukan untuk menekuni dunia dakwah, tentu al-Sha‟rāwī

pun memiliki aktivitas selain dunia yang dia tekuni dan

habiskan sisa hidupnya yaitu dijalan dakwah.

Pertama sebelum membahas hal lain, tentu yang sangat

penting diketahui adalah bagaimana kondisi dan apa yang

terjadi di tempat dimana dia dilahirkan dan tumbuh menjadi

al-Sha‟rāwī muda. di Daqadus pada waktu itu merupakan

daerah agraris, penduduk disana pada waktu itu mayoritas

berprofesi sebagai petani. Di samping menjadi petani. Dalam

ranah politik mayoritas warga Daqadus berafiliasi dengan

partai Wafd kala itu dipimpin oleh Sa‟ad Zaghlul,19

al-

19

Sa‟ad Zaghlul adalah salah satu tokoh yang yang

berjuang menuntut kemerdekaan Mesir dari Inggris, yang kemudian

Zaghlul diberikan kepercayaan sebagai pemimpin pergerakan

nasional Mesir. Dia mengutus perwakilan (wafd) dalam konferensi

perdamaian di Paris dan London, pergerakan ini dianggap sebagai

pemberontakan, dan konsekuensina Zaghlul ditangkap lalu

diasingkan ke Malta oleh Inggris pada tahun 1919. Lihat: Philip K.

Hitti, History of Arabs, (New York: Plgrave Macmilan, 1976), h.

751. Tindakan Inggris ini memicu kemarahan masyarakat Mesir

tentunya, Imbas dari kejadian itu masyarakat Mesir melakukan

demonstrasi, mogok kerja dan kerusuhan. Kejadian itu memaksa

Inggris memberikan kemerdekaan nominal (a semi independent) dan

lalu Zaghlul dibebaskan, lalu atas perjuangannya dia diberikan

penghormatan sebagai pahlawan nasional. Lihat: Henry Munson Jr. ,

Islam and Revolution in the Middle East, (New Haven and London:

Yale University, 1988), h. 75.

Page 86: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

75

Sha‟rāwī muda juga dia aktif di organisasi.20 Orang tua al-

Sha‟rāwī adalah ulama di daerah Daqadus21

orang tuanya

memperkenalkan al-Sha‟rāwī sejak dia umur sembilan tahun

dengan cara mengajaknya di acara partai Wafd itu terjadi

sekitar tahun 1919.22

Al-Sha‟rāwī muda menjadi aktif di partai Wafd, tentu itu

bisa lepas dari jasa ayahnya yang memperkenalkan dirinya

dengan partai Wafd. Lalu al-Sha‟rāwī sangat kagum dan

dipengaruhi oleh perjuangan Sa‟ad Zaghlul dalam

memperjuangkan kemerdekaan Mesir, hingga kerap kali di

peringatan partai Wafd dan Sa‟ad Zaghlul, al-Sha‟rāwī

membuat syair yang berisi pujian. Al-Sha‟rāwī mengakui

bahwa dirinya merupakan politisi dari partai Wafd yang

beralmamater al-Azhar. Aktivitasnya di partai Wafd

berkurang ketika dia ditunjuk sebagai tenaga pengajar oleh al-

Azhar pada tahun 1943.23

Setelah penunjukkan ini al-Sha‟rāwī

menghabiskan waktunya untuk mengajar dan mengajar,

sampai pada akhirnya al-Sha‟rāwī menjalani aktivitas

bardakwah.

Karier al-Sha‟rāwī sebagai pendakwah yang sangat

masyhur tentu tidak mendadak secara tiba-tiba menjadi

panutan para jamaahnya, capaiannya sebagai pelita umat tentu

dimulai dari karier pemula (dari bawah). Awal profesi sebagai

20

Dalam sebuah kesempatan al-Sha‟rāwī

menginformasikan bahwa, masyarakat Daqadus semuannya

berafiliasi dengan partai Wafd.lihat: Sā‟id Abū „Ainain, al-Sha‟rāwī

al-Ladzī Lā Na‟rifuh , (Kairo: Akhbār al-Yaum), h. 57. 21

Daqadus berlokasi di wilayah distrik Mit Ghamr Provinsi

Daqaliah. 22

Al-Sha‟rāwī muda sempat melihat dua kali Saad Zaghlul.

Lihat:Sa‟īd Abū „Ainain, al-Sha‟rāwī al-Ladzī Lā Na‟rifuh ,,,,h.42. 23

Ahmad Mursi Husein Jauhar, al-Syaikh Muḥammad

Mutawallī al-Sha‟rāwī:Imām al-„Ashr, (Kairo: Nahdlah, 1990), h.

82.

Page 87: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

76

pendakwahnya.24

Dimulai dengan aktif sebagai tenaga

pengajar di salah satu sekolah al-Azhar sebagai pengampu di

bidang ilmu Balaghah dan sastra.25

Dimulai pada tahun 1980. al-Sha‟rāwī menjajaki

dunia dakwah lewat media televisi26

, yang disiarkan pada

program Nūr „alā Nūr, awalnya al-Sha‟rāwī hanya diundang

untuk menjadi bintang tamu, setelah undangan pertama, al-

Sha‟rāwī diundang terus-menerus, walaupun ketika itu al-

Sha‟rāwī berumur lima puluh sembilan tahun, tentu dengan

usia itu, al-Sha‟rāwī tidak muda lagi, tapi itu tidak

mematahkan semangatnya untuk menyebarkan ajaran agama

Islam. Setelah memenuhi permintaan mengisi di program Nūr

„ala Nūr berkali-kali, dia pun lantas menjadi pendakwah yang

sangat populer dan program yang tadinya hanya

mengundangnya untuk mengisi, karena para masyarakat

merespon dengan sangat positif27

, jadilah program itu menjadi

24

Pada beberapa kesempatan al-Sha‟rāwī mengutarakan

bahwa awalnya dia tidak membayangkan menjadi pendakwah, dia

hanya ingin menjadi seperti ayahnya, yaitu seorang petani, salah

satu harapannya itu, dia utarakan ketika diwawancarai Maḥmūd

Fawzi: Minal-Qaryah ilā al-Qimmāḥ, (Cairo: Dar al-Nashr Hātīh,

1992), h. 72. 25

Informasi mengenai tahun al-Sha‟rāwī memulai mengajar

di sekolah al-Azhar 26

Jacquelene Brinton, “Preaching and Epistimological

Enforcement of Ulama Authority: The Sermons of Muḥammad

Mutawallī Sha‟rāwī” dalam Intelectual Discourse, 19, 2011, h.104. 27

Program Nūr „alā Nūr ditayangkan pada setiap setelah

shalat jum‟at, dalam tulisannya, Brinton menuturkan bahwa

masyarakat Mesir berbondong-bondong bergegas pulang setelah

menunaikan shalat jum‟at, guna menyaksikan tayangan program

Nūr „alā Nūr. Lihat: Jacquelene Brinton, “Preaching and

Epistimological Enforcement of Ulama Authority: The Sermons of

Muḥammad Mutawallī Sha‟rāwī” dalam Intelectual Discourse, 19,

2011, h. 104.

Page 88: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

77

program yang dimana al-Sha‟rāwī sebagai narasumber

utamanya.

Secara singkat karir yang telah dijalani oleh al-

Sha‟rāwī dipaparkan pada tabel berikut:

NO Profesi Bidang Tempat

Tahun

1 Guru Pendidikan - 1926-

1932

2 Sekolah

Menengah Al-

Azhar

- 1932-

1936

3 Universitas al-

Azhar

Kairo Kairo 1937

4 Dosen untuk

Matakuliah

Tafsir-Hadis di

Fakultas

Syariah

Universitas al-

Mālik „Abd al-

„Azīz di

Mekkah

Pendidikan Mekkah 1951

5 Wakil sekolah

al-Azhar di

Tanta

1960

6 Direktur

Pengembangan

Dakwah Islam

pada Dept.

Wakaf

Pemerintahan Mesir 1961

7 Pengawas

Pengembangan

Bahasa Arab di

Akademisi

dan Birokrasi

Mesir 1962

Page 89: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

78

al-Azhar

8 Asisten pribadi

Grand Syekh

Hasan Makmun

Akademisi

dan Birokrasi

Mesir 1964

9 Direktur Kantor

Grand Syekh

Akademisi

dan Birokrasi

Mesir 1967

10 Pengisi acara

(Dai) di

Program

Televisi Nūr

„alā Nūr28

Dai Mesir 1973

11 Menteri Wakaf Birokrasi Mesir 1967

12 Menteri Wakaf

dan Manteri

yang

berhubungan

dengan al-

Azhar

Birokrasi Mesir 1977-

1978

Tabel 1.3. Riwayat Karir al-Sha’rāwī

Dari Tabel riwayat karir di atas, dapat diketahui

bahwa banyak jabatan di bidang akademik dan pemerintahan

yang telah dilalui, al-Sha‟rāwī mempunyai pengalaman yang

luas dan diakui oleh skala nasional negara Mesir. selain

rangkaian karir di atas, al-Sha‟rāwī juga pada tahun 1987

diberikan amanah untuk menjadi anggota LitBang (Penelitian

dan Pengembangan) bahasa Arab di bawah lembaga

“Mujamma‟ al-Khālidīn” komunitas yang menangani

28

Pada program Nūr „alā Nūr lah penafsiran al-Sha‟rāwī

tehadap al-Qur‟an diuraikan, lewat program ini juga semua

masyarakat Mesir melihat dan mendengarkan ceramah keagamaan

dan penafsiran al-Sha‟rāwī selama dua puluh lima tahun . lihat:

Isytibsyaroh, “Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender pada Tafsīr

al-Sha‟rāwī….., h. 39-41.

Page 90: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

79

perkembangan bahasa Arab di Kairo. Tidak lama setelah

penunjukkan ini, al-Sha‟rāwī pada tahun 1988 mendapatkan

penghargaan dari Presiden Husni Mubarok berupa medali

kenegaraan di acara Da‟i29

dan pada tahun 1990, al-Sha‟rāwī

mendapatkan gelar tertinggi bagi akademisi yaitu “Guru

Besar” titel tersebut diberikan dari Universitas al-Manṣūrah

dalam bidang Adab (Bahasa dan Sastra).

Tidak berenti sampai di situ, penghargaan dan

apresiasi masih berlanjut berdatangan kepada al-Sha‟rāwī,

atas dedikasinya pada kaum muslimin, di tahun 1998 al-

Sha‟rāwī diberikan gelar kepadanya sebagai tokoh Islam

utama di dunia ( الشصية الإسلامية الأولى) dan hadiah uang dari

putra mahkota al-Nahyan dari Dubai. Namun al-Sha‟rāwī

memberikan itu kepada al-Azhar dan para pelajar yang

dinamai al-bu‟ūs al-Islāmiyyah (pelajar di Al-Azhar yang

berasal dari negara-negara Islam dari seluruh dunia). dan

selain itu al-Sha‟rāwī mendapatkan penghargaan dari pihak

Rābiṭah al-„Alām al-Islāmī (perkumpulan tokoh Islam) di

Mekkah, dengan memilih al-Sha‟rāwī sebagai salah satu

penggagas berdirinya perkumpulan ini.30

Al-Sha‟rāwī melewati masa hidupnya dengan

berbagai pengalaman. Perjalanan hidupnya itulah dia

mendapatkan pembelajaran dan pengetahuan yang kelak

menjadi modal untuk diberdakwah dan pengetahuannya itu

yang menjadi modal untuk mengurai penafsiran yang mudah

diterima oleh masyarakat.31

29

Maḥmūd Rizq al-„Amāl, “Tarīkh al-Imam al-Sha‟rāwī ,”

dalam Majalah Manār al-Islām, September, 2001, No. 6, Vol. 27, h.

35. 30

Isytibsyaroh, “Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender

pada Tafsīr al-Sha‟rāwī….., h. 42. 31

Di Daqadus tempat al-Sha‟rāwī lahir, mayoritas menjadi

petani. Al-Sha‟rāwī ketika menafsirkan al-Sha‟rāwī menafsirkan

ayat ke tujuh puluh tiga dari surah al-Naḥl, dia menguraikan lafaz

Page 91: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

80

3. Kontribusi Al-Sha’rāwī di Luar Mesir

Al-Sha‟rāwī diberi kepercayaan untuk mengisi posisi

pengajar di beberapa tempat, mulai dari guru di lingkungan al-

Azhar sampai pada menjadi dosen tamu di luar negara Mesir.

Diangakatnya al-Sha‟rāwī muda menjadi guru di lingkungan

al-Azhar pada tahun 194332

, pada tahun ini al-Sha‟rāwī di

angkat menjadi guru di sekolah lingkungan al-Azhar, untuk

mengajar bidang studi balāghah, al-Sha‟rāwī muda sudah

menekuni mengajar ilmu kebahasaan yang menjadi

bidangnya. Tentu sedikit-banyaknya pengalaman ini

menambah dan mempertajam keilmuannya di bidang

kebahasaan.

Tahun 1950, al-Sha‟rāwī diamanatkan menjadi Dosen

tamu pada Fakultas Syari‟ah Universitas King „Abd al-Aziz

Mekkah dan disana al-Sha‟rāwī diberikan kepercayaan untuk

mengampu mata kuliah Tafsir dan Hadis, di umur yang cukup

muda al-Sha‟rāwī diberikan kepercayaan untuk mengampu

dua mata kuliah yang notabenenya sangat penting untuk umat

Islam, tentu ini juga salah satu indikator bahwa keilmuan al-

السماوات والرض شيئارزقا من menurut al-Sha‟rāwī, rizki

yang datangnya dari langit merupakan air hujan, dan rizki yang

Allah berikan dari bumi merupakan hasil bercocok tanam, dari dua

sumber itu Allah memberikan riziki. Itulah merupakan dua rizki dari

Allah yang secara langsung dapat dinikmati, adapun harta

merupakan rizki yang tidak dapat langsung disantap dan manusia

dapat hidup dengan menyantap dari dua sumber itu(berupa air

minum dan makanan). Adapan untuk saat ini kita dapat hidup

dengan menyantap raghīf al-„Īsh (roti yang menjadi makanan pokok

warga Mesir). Dapat dilihat dari penafsirannya ini, al-Sha‟rāwī

dalam menafsirkan memberikan penjelasan yang mengambil

pengetahuan dari yang ada di masyarakat Mesir. Lihat: M.

Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,, h.8086. 32

Badruzzaman M. Yunus, “ Tafsir al-Sha‟rāwī ; Tinjauan

Terhadap Sumber, Metode dan Ittijāh” Disertasi, Sekolah Pasca

Sarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, 27.

Page 92: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

81

Sha‟rāwī diakui tidak hanya terbatas di negara Mesir, lebih

khususnya di lingkungan al-Azhar, namun keilmuan al-

Sha‟rāwī diakui sampai luar Mesir.

Pada Tahun 1966, al-Sha‟rāwī mengemban misi di

negara Aljazair, dia menjadi ketua tim misi al-Azhar di

Aljazair, dia dikirim ke Aljazair untuk mengembalikkan

identitas Aljazair sebagai negara, karena pada masa itu,

Aljazair masih riskan terpengaruhi oleh sifat dari penjajah

yang baru saja pergi dari Aljazair, dari sekian banyak usaha

untuk mengembalikkan identitas Aljazair sebagai negara,

beberapa pokok yang dilakukan adalah mendirikan sekolah-

sekolah agama dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa

pengantar dalam kegaiatan belajar mengajarnya.33

Itu menjadi

titik tolak balik dari negara Aljazair untuk mengembalikkan

identitasnya sebagai negara berpenduduk Muslim.

Al-Sha‟rāwī Mengemban jabatan sebagai Menteri Wakaf

sejak tahun 1976, itu tidak menghalangi al-Sha‟rāwī untuk

melakukan kegiatan berdakwahnya, karena tidak lama setelah

penunjukkannya sebagai Menteri, dia menjadi pengisi

ceramah di Televisi. Tidak berhenti sampai disitu, bahkan al-

Sha‟rāwī mengunjungi beberapa negara, baik itu untuk

menghadiri beberapa konferensi, menghadiri undangan untuk

memberikan ceramah keagamaan, berikut beberapa kunjungan

dan kegiatan al-Sha‟rāwī di luar negara Mesir:

No. Kegiatan Negara Tahun

1 Menghadiri Konferensi Ekonomi

Islam

Inggris 1977

2 Menghadiri undangan Konferensi Islam

Asia

Pakistan 1978

3 Menghadiri undangan Konferensi Bank

Islam

Arab

Saudi

1978

4 Menghadiri undangan Konferensi Kanada 1978

33

Muḥammad Siddīq al-Misyāwī, Al-Syaikh al-Sha‟rāwī

wa Hadīth al-Dzikrayāt,,,,,,, h. 28.

Page 93: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

82

Teknologi

5 Menghadiri undangan untuk memberikan

ceramah di hadapan Muslim Kanada

Kanada 1983

6 Menghadiri undangan untuk mengisi

ceramah di Islamic Centre Los Angeles

Amerika 1983

7 Menghadiri undangan Konferensi al-

Sunnah al-Nabawiyyah kedua

Los

Angeles

Amerika

1985

8 Memimpin Konferensi Konferensi al-

Sunnah al-Nabawiyyah ketiga

Los

Angeles

Amerika

1986

9 Menghadiri Pertemuan Duta Besar

negara-negara Arab

Austria 1986

Tabel 1.4. Kegiatan Berdakwah Al-Sha’rāwī di Luar

Mesir

Al-Sha‟rāwī tidak bisa dielakkan sebagai pandakwah

yang sangat ulung dan diakui keilmuwannya, dari tabel di atas

dapat diketahui pengakuan banyak pihak secara luas

merupakan penilaian dan apresiasi terhadap aktivitas dalam

mendakwahkan Islam di berbagai pihak dan golongan, uraian

ceramahnya bisa diterima dan dicerna oleh masyarakat umum

maupun para akademisi, pengakuan masyarakat Mesir

terhadap keulungan al-Sha‟rāwī dalam berdakwah diikuti oleh

para muslimin di belahan dunia.

Kegiatan al-Sha‟rāwī dalam menghadiri berbagai

konferensi secara umum bersifat oral, bersifat oral di sini yang

dimaksud adalah di berbagai forum konferensi al-Sha‟rāwī

diminta pendapat dan gagasannya. Selain menghadiri

konferensi di suatu negara, di negara itu juga kerap kali al-

Sha‟rāwī diminta oleh komunitas Muslim di sana untuk

menyampaikan ceramah keagamaan. Seperti ketika al-

Sha‟rāwī melakukan kunjungan ke Amerika Serikat pada

Tahun 1983, dia diberikan kehormatan untuk menjadi khotib

dan imam shalat jum‟at di masjid gedung PBB New York

Page 94: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

83

pada tanggal 27 Oktober 1983. Shalat jum‟at tersebut

merupakan perdana yang dihelat di masjid tersebut, setelah

rangkaian shalat jum‟at selesai dihelat, al-Sha‟rāwī diminta

pandangannya tentang pokok ajaran Islam oleh jurnalis salah

satu stasiun televisi di Amerika Serikat. 34

B. Sekilas tentang Tafsīr al-Sha’rāwī

Untuk bagian ini, banyak sekali yang telah

menulis dan mengulas tentang Tafsīr al-Sha‟rāwī, baik

itu dari segi penulisan, metode, sumber, corak dan latar

belakang. salah satu penelitian yang secara fokus mengkaji

Tafsīr al-Sha‟rāwī adalah Disertasi yang ditulis oleh

Badruzzaman M. Yunus, yang ditulis pada tahun 2009,

dengan judul disertasinya “Tafsīr al-Sha‟rāwī ; Sebuah

Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan Ittijāh.” Sebuah

karya yang dijadikan penelitian merupakan indikasi bahwa, karya tersebut memiliki kontribusi dalam memperkaya

khazanah keilmuan secara umum, dalam hal ini secara khusus

khazanah penafsiran al-Qur‟an, walaupun sudah diketahu

secara luas bahwa Tafsīr al-Sha‟rāwī bukanlah karya Tafsir

yang ditulis al-Sha‟rāwī sediri,35

melainkan tafsir ini adalah

34

Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir al-Sya‟rawi; Tinjauan

Terhadap Sumber, Metode dan Ittijāh”....h. 41-44. 35

Al-Sha‟rāwī‟adalah sosok ulama yang produktif sekali

dalam menguaraikan kandungan agama Islam secara lisan, karya-

karya yang dinisbatkan atas nama al-Sha‟rāwī bukanlah karya tulis

tangan al-Sha‟rāwī, melainkan bentuk “transkip” atas uraian-urain

al-Sha‟rāwī di berbagai forum majelis ilmu, al-Sha‟rāwī mengakui

sulit untuk menulis semua yang ada pada benaknya, jadi dapat

diketahui al-Sha‟rāwī dominan produktif dalam menyampaikan

gagasan dan ilmunya lewat mimbar dan majlis-majlis ilmu. Menurut

al-Sha‟rāwī, dia tidak menulis buku, karena tulisan hanya

diperuntukkan bagi para pembaca saja, dibandingkan buku,

perantara lisan lebih efektif dan ekonomis, yang terpenting adalah

Page 95: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

84

“transkrip”36

ceramah al-Sha‟rāwī yang ditayangkan dalam

program Nūr „alā Nūr di Televisi. Oleh karena itu, bagian ini diuraikan untuk

memenuhi persyaratan dalam membahas seorang

penafsir dan tafsirnya, karena sudah menjadi salah satu

prosedur dalam mengkaji pemikiran dari seorang

penafsir, yaitu sebuah keharusan untuk menyuguhkan

tentang penafsirannya. Itu dilakukan guna mendapatkan

gambaran penafsirannya, bagaimana metode, alur,

sumber penafsiran dan apa yang melatar belakangi

seorang penafsir melahirkan uraian penafsirannya. Tafsīr al-Sha‟rāwī pertama kali diterbitkan oleh

Majalah al-Liwā‟ al-Islāmī mulai tahun 1986-1989 M.37

Di

Kairo. Kemudian dikumpulkan dalam bentuk seri yang diberi

judul “Khawātirī Ḥawl al-Qur‟ān al-Karīm” yang mulai

diterbitkan pada tahun 1982 oleh penerbit Dār May al-

Waṭaniyyah.38

Dalam pernyataan al-Sha‟rāwī dalam

pembukaan kitab Tafsirnya, dia mengutarakan bahwa dia

menghendaki bahwa tafsirnya ini diberi judul “Khawātirī

Ḥawl al-Qur‟ān” selain itu untuk memastikan dan

membuktikan originalitas dan validitas uraian penafsiran al-

memperoleh pahala atas apa yang telah dia sampaikan, adapun

tulisan adalah hanya salah satu dari metode dalam menyampaikan

gagasan. Lihat: Badruzzaman M. Yunus, Tafsīr al-Sha‟rāwī;

“Tinjauan Terhadap Metode, Sumber dan Ittijāh,” (Disertasi S3

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 53-

54. 36

Kata Transkrip dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

dimaknai dengan salinan. 37

A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (

Kumpulan Ktab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik Sampai Masa

Kontemporer), (Pondok Cabe: LSIQ, 2013), h. 219. 38

Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir al-Sya‟rawi,,,,h. 53 dan

54.

Page 96: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

85

Sha‟rāwī yang dia sampaikan lewat bahasa lisan dan ditulis

oleh Tim, maka dalam pembukaan kitabnya al-Sha‟rāwī

membumbuhi surat pernyataan dengan tulisan al-Sha‟rāwī,

yang dilampirkan pada lembaran lampiran. Dan juga penting

diketahui bahwa tafsir ini ditashih oleh Lembaga Penelitian

Universitas al-Azhar (Majma‟ al-Buḥuth al-Islāmiyyah)39

,

namun pihak penerbit Akhbār al-Yawm menghendaki tafsir

ini diberi judul “Tafsīr al-Sha‟rāwī ”.40

1. Sistematika Penafsiran

Dalam menafsirkan, secara garis besar, al-Sha‟rāwī

tidak memiliki sistematika penafsiran yang permanen, itu

dikarenakan, uraian penjelasan al-Sha‟rāwī mengenai

pemahamnnya terhadap kandungan al-Qur‟an dimaksudkan

untuk para pendengar dan penyimaknya yang dia uraikan

dengan cara ceramah, uraiannya itu tidak dimaksudkan untuk

menjadi tafsir ilmiah atau penafsiran yang dibukukan.

Penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan al-Sha‟rāwī

menempuh metode Taḥlilī, metode ini menghendaki seorang

penafsir memulai penafsirannya dari surah al-Fātiḥāh lalu

dilanjutkan dengan surah-surah berikutnya secara berurutan

berdasarkan susunan musḥaf uthmānī. selain metode ini,

dalam diskurus metode menafsirkan al-Qur‟an ada beberapa

metode dalam menafsirkan al-Qur‟an yang telah menjadi

pakem metode menafsirkan di kalangan para penafsir, antara

lain: Metode tafsir Taḥlilī, Ijmalī, Muqaran dan Maḍū‟ī.41

Empat metode di atas, tentu tidak lahir dalam ruang

hampa, empat metode ini tercipta sebagai usaha

mengkontekstualkan makna al-Qur‟an, ini wujud

39

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī , Tafsīr al-Sha‟rāwī, ,,,h. 1. 40

Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir al-Sya‟rawi,,,,h. 54. 41

Hujair A. H. Sanaky, "Metode Tafsir [Perkembangan

Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin]," dalam

Al-Mawarid, Edisi, XVIII Tahun 2008, h. 267.

Page 97: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

86

merealisasikan jargon al-Qur‟an Ṣāliḥ li Kulli Zamān wa

Makān, jargon ini sudah ada dan diyakini oleh para penafsir

terdahulu, hanya saja jargon ini dipahami dengan cara

“memaksakan”42

untuk konteks apa pun ke dalam al-Qur‟an,

akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tidak

menjawab tantangan zaman.

Secara garis besar Tafsīr al-Sha‟rāwī menempuh

sistematika menjelaskan makna dan hikmah (ketika

menafsirkan surah al-Fātiḥah), menafsirkan ayat per ayat,

menafsirkan ayat dengan ayat, menguraikan hubungan dengan

ayat sebelumnya atau yang berkaitan dengannya

(munāsabah), menafsirkan dengan riwayat (hadis Nabi,

perkataan sahabat).43

Dalam menafsirkan ayat, al-Sha‟rāwī menjelaskan

dengan perspektif bahasa yang rinci dan mudah dicerna.

Penjelasan dari sudut ilmu bahasa seperti naḥwu, balāghah.

Hal ini jelas menunjukkan kepakarannya dalam aspek bahasa

Arab. Apabila diperhatikan secara mendalam penafsiran al-

Sha'rawi, dia banyak dipengaruhi oleh metode mufasir

pendahulunya seperti Shaykh Muḥammad „Abduh, Rashid

Riḍa dan Sayyid Quṭb.44

2. Sumber Penafsiran

Sebuah tulisan atau gagasan yang berkualitas, dapat

terlihat dari beberapa aspek, salah satunya didasari atau

dibangun dari sumber-sumber otoritatif, sama halnya dengan

tulisan pada umumnya, penafsiran yang baik itu dapat

diketahui dengan bagaimana seorang penafsir dalam

membangun argumentasi dalam menyampaikan uraian

42

Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer,

(Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 45-55. 43

A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir ,,,,,,h.

222. 44

M. Mutawallī al-Sha„rawi, Tafsīr al-Sha‟rāwī ,,,,h. 271.

Page 98: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

87

tafsirnya. Dalam hal ini, al-Sha‟rāwī mempunyai posisi yang

berbeda dengan para penafsir pandahulunya, al-Sha‟rāwī

ketika menguraikan penafsirannya, dia sebagai pendakwah

yang di depannya para audien, maka dari itu banyak hal yang

dia ingat pada saat itu, maksudnya penjelasananya dapat

melebar dari ayat yang sedang dibahas. Penafsiran al-

Sha‟rāwī diperkaya oleh beberapa sumber, antara lain:

1) al-Qur‟an (Tafsīr ayat bil ayat)45

2) Penafsiran dengan riwayat46

3) Penafsiran dengan logika47

45

Penafsiran ayat dengan ayat diterapkan di banyak

kesempatan dalam Penafsiran al-Sha‟rāwī, salah satunya ketika

menafsirkan ayat ke enam dan ke tujuh dari surah al-Fātiḥah, al-

Sha‟rāwī menafsirkannya dengan ayat 186 dari surah al-Baqarah. 46

Intertekstual al-Qur‟an, mengharuskan dalam memahami

al-Qur‟an mengikutseratakan teks lain, teks lain disini salah satunya

riwayat yang disandarkan pada Nabi Muhammad, yang merupakan

penerima risalah al-Qur‟an, dalam memahami al-Qur‟an, menurut

al-Sha‟rāwī yang memiliki otoritas dalam menafsirkan al-Qur‟an

adalah Nabi Muhammad Saw. (lihat Muqaddimah Tafsīr al-

Sha‟rāwī ), untuk contoh bagaimana al-Sha‟rāwī menafsirkan al-

Qur‟an dengan hadis. Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-

Sha‟rāwī, ,,,h. 60. Berangkat dari pernyataan bahwa hadislah yang

paling menjadi prioritas dalam menafsirkan al-Qur‟an. Sedangkan

terkait dengan pembacaan intertekstual lebih detailnya dapat dilihat

: Mohd Sholeh Sheh Yusuff dan Mohd Nizam Sahad, "Bacaan

Intertekstual Teks Fadilat dalam Tafsīr Nūr al-Iḥsān" dalam Jurnal

Usuluddin, (Januari – Jun 2013), h. 35. Dan lihat juga: Lien Iffah

Naf‟atu Fina, “Membaca Metode Penafsiran Al-Qur‟an

Kontemporer Di Kalangan Sarjana Barat Analisis Pemikiran

Angelika Neuwirth," dalam Ulumuna Jurnal Studi Keislaman,

Volume 18 Nomor 2 (Desember) 2014, h. 228. 47

Penafsiran dengan logika (bi ra‟y). Al-Sha‟rāwī lakukan,

salah satunya ketika dia menguraikan bahwa kandungan dalam

pengulangan lafaz yang terdapat pada ayat pertama dan ayat ketiga

Page 99: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

88

4) Asbāb al-Nuzūl48

5) Qawl Sahabat dan Tabi‟īn

6) Kondisi Aktual49

7) Kaedah kebahasaan50

8) Sejarah51

9) Syair52

10) Kaedah Uṣūl53

Dapat diketahui dari penjabaran di atas, bahwa

penafsiran al-Sha‟rāwī diperkaya oleh banyak komponen,

pembacaan intertekstual al-Sha‟rāwī untuk menafsirkan ayat

suci al-Qur‟an, membuat penafsirnnya kaya akan

pengetahuan.

dalam surah al-Fātiḥah. M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-

Sha‟rāwī,,,,h. 54. 48

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,h. 8087. 49

Ketika menguraikan lafaz ن السمبوات والأرض شيئب -al , م

Sha‟rāwī menjelaskan bahwa rezeki dari Allah Swt. yang hakiki dan

dapat langsung disantap itu berasal dari dua sumber, yaitu dari langit

berupa air hujan dan dari bumi yaitu berupa hasil bercocok tanam,

sedangkan emas dan perak (harta) itu merupakan rezeki yang tidak

bisa langsung disantap, sedangkan kita dapat bertahan hidup hanya

bisa menikmati rezeki yang bisa disantap. Adapun untuk konteks

kita saat ini, kita membutuhkan Roghīf al-„Īsh (roti yang menjadi

makanan pokok warga Mesir). Lihat: Muḥammad Mutawallī al-

Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, ,,,,h. 8086. 50

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, ,,,,h. 1894. 51

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, ,,,,h. 42. 52

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, ,,,,h. 1314. 53

Dalam menafsirkan ayat ke tujuh puluh tiga, al-Sha‟rāwī

menguraikan penafsirannya menggunakan kaedah Ushul fiqh, ما لاإلا بو فهو واجبيتم الواجب kaedah ini digunakan untuk membantah

atau menjawab anggapan bahwa yang dikategorikan ibadah

hanyalah mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya lihat: M.

Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,, h. 8081.

Page 100: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

89

Tafsir al-Sha‟rāwī bukan karya tulis ilmiah, karena

maksud dan tujuan tafsir ini (uraian penjelasan al-Qur‟an

menurut al-Sha‟rāwī) adalah menguraikan kepada masyarakat

secara luas tentang kemukjizatan al-Qur‟an, itu semua untuk

menyerukan para pendengar dan penyimak ceramahnya untuk

beriman dengan iman yang diperkaya pengetahuan. Jadi tidak

bisa dipungkiri eloborasi dan penjelasan aspek pengulangan

dalam al-Qur‟an yang dilakukan oleh al-Sha‟rāwī tidak lepas

dari tujun dan maksud di atas.

C. Posisi Tafsīr al-Sharāwī dalam Tradisi Tafsir

Mesir,

Sub Bab ini menguraikan dan mendudukan tafsir al-

Sha‟rāwī dalam perkembangan tafsir di Mesir, tentu

membahas perkembangan tafsir sampai pada era tafsir al-

Sha‟rāwī diterbitkan tidak akan terbahas secara utuh dalam

tulisan ini, tapi setidaknya sub bab ini mencoba

membentangkan bagaimana pemetaan perkembangan

eloborasi kandungan kitab suci al-Qur‟an di Mesir dan dari

situ dapat melihat dimana posisi tafsir al-Sha‟rāwī.

Mesir adalah salah satu negara yang sangat produktif

dalam melahirkan dan mengembangkan pemikiran Islam.

Keberadaan Universitas al-Azhar adalah salah satu bentuk

bukti kongkrit bagaimana perkembangan khazanah intelektual

Islam berkembang di Mesir, Universitas Mesir didirikan

pertama pada tahun 975 M. pada saat dinasti Fatimiyah54

dan

sampai saat ini masih memproduksi para cendikiawan

muslim.

Sejarah mencatat bahwa penulisan tafsir pertama di

Mesir telah dimulai jauh sebelum fase Muḥammad „Abduh

dan Rashīd Riḍā yang pemikiran kedua tokoh mesir ini

digadang-gadang menjadi pelopor kajian al-Qur‟an

54

“Sejarah Lahirnya al-Azhar”,.m.republika.co.id, diakses

pada 2 Maret 2019.

Page 101: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

90

kontemporer, disinyalir kajian tafsir di Mesir telah dimulai

sejak sejak ekspansi Islam ke Mesir, tepatnya pada era „Umar

ibn al-Khaṭṭab (634-644 M)55

menguasai wilayah Mesir dari

imperium Bizantium, menurut Newby- Islam telah

menemukan lahannya yang subur dan menjadi pusat

peradaban khazanah keilmuan Islam di Mesir.

Untuk menguraikan dan memetakan perkembangan

tafsir al-Qur‟an di Mesir tidak bisa lepas dari dua kajian

ilmiah yang telah mengkaji tema ini secara mendalam, yang

pertama adalah kajian 'Abd Allāh Khūrshīd al-Barrī, dengan

judul “al-Qur‟ān wa „Ulūmuh fī Miṣr (20 H. 358 H./640 M.-

969 M.), kajian yang dilakukan oleh al-Barrī membantu untuk

memaparkan bagaimana peta awal dan perkembangan literasi

tafsir di Mesir, tentu ini belum beranjak dari tafsir klasik.

Kedua, untuk fase modern dalam mengkaji dan untuk

mendapatkan gambaran terkait tema perkembangan kajian

tafsir di Mesir Modern adalah kajian ang dilakukan oleh J.J.G.

Jansen, dalam kajiannya Jansen berusaha memetakan

perkembangan kajian ulama pada kandungan al-Qur‟an pada

fase modern, Jansen memberikan judul untuk kajiannya

dengan judul “the Interpretation of the Koran in Modern

Egypt.”56

55

. D. Newby (ed.), “Egypt” dalam A Concise

Encyclopaedia of Islam, (Oxford: One World, 2002), h. 56. 56

Karya Jansen berjudul The Interpretation of The Koran in

Modern Egypt adalah disertasi doktoralnya di Rijksuniversiteit

Leide tahun 1972. Kajiannya ini mengkaji secara mendalam

keseluruhan karya tafsir di Mesir modern. Buku setebal 111

halaman yang diterbitkan oleh E.J. Brill tahun 1980, berisi beberapa

bab, yaitu: bab pertama, Introduction: The Koran and its

Interpretation. Bab kedua, Mohammad Abduh‟s Koran

Interpretations. Bab ketiga, Koran Interpretation and Natural

History. Bab keempat, Koran and Interpretation and Philology, dan

bab kelima, Practical Koran Interpretation. Lihat: Abu Bakar,

Pemikiran Tafsīr Mesir Modern J.J.G Jansen(Telaah Atas Karya

Page 102: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

91

Mengelaborasi kedua karya tersebut, diharapkan

mendapatkan gambaran terkait awal dan perkembangan kajian

tafsir dari masa klasik sampai modern. lebih komprehensif

meskipun adanya ketidak lengkapan karena terkendala dengan

hilangnya beberapa tahun (missing link)57

tafsir yang berkisar

antara fase pasca abad ke-9 M. [mengingat karya al-Barrī

hanya sampai pada abad ke-9 M.] hingga fase pra modern

[sebelum abad 19 M. yang belum sepenuhnya tersentuh dalam

kajian Jansen]. jadi dari dua kajian itu tidak seutuhnya

sinergis secara periodik, ada beberapa tahun yang belum

ditemukan secara kongktit datanya.

secara garis besar, kajian tafsir di Mesir dari sudut

periodesasinya menurut Dzikri Nirwana terbagi menjadi tiga

periode:

a. Fase Pembentukan („Aṣr al-Takwīn)

Menurut Khūrshīd, bahwa tafsir pada periode awal

Islam Mesir ini sangat bersifat kondisional, hanya muncul

pada peristiwa tertentu, riwayat-riwayatnya pun masih

terpencar-pencar (riwāyāt mutafarriqah) dan belum

terkodifikasi, meskipun hal ini setidaknya mengindikasikan

betapa tingginya semangat umat Islam pada masa itu untuk

mempelajari dan memahami al-Qur'an,58

pendapat ini senada

dengan pendapat al-Qaṭṭān bahwa tafsir pada fase ini memang

belum memasuki era tadwīn, karena fase kodifikasi tafsir baru

dimulai setelah abad ke-2 H. Tafsir masih merupakan bagian

J.J.G.Jansen The Interpretation Of The Koran in Modern Egypt),

dalam Al-Ihkām Vo l . V I N o . 1 J u n i 2 01 1, h. 4. 57

. Dzikri Nirwana, "Peta Tafsir Di Mesir: Melacak

Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an dari Abad Klasik Hingga Modern,"

dalam Jurnal Falasifa. Vol. 1 No.1 Maret 2010, h. 27-28. 58

'Abd Allāh Khūrshīd al-Barrī, al-Qur‟ān wa „Ulūmuh fī

Miṣr, (20 H.-358 H.), (Mesir: Dār al-Ma‟ārif, 1969), h. 267-270.

Page 103: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

92

dari hadis, belum mengambil bentuknya sendiri59

fase ini,

kajian tafsir di Mesir belum terbentuk sepenuhnya, hanya

beberapa kajian tafsir secara parsial yang terdapat pada masa

itu, kajiannya pada periode ini dapat dibaca dengan tabel di

bawah ini60

:

No Nama Periode

1 Abū Ayyūb al-Anṣārī (w. 51 H.)

2 'Abd Allāh bin 'Amr bin

al-'Āṣ

(w. 56 H.)

3 'Abd Allāh bin 'Abbās (w. 68 H.)

4 Abd al-Raḥmān ibn

Ḥajīrah al-Khawlānī

(w. 83 H.)

5 'Utbah ibn al-Nuḍarr (w. 84 H.)

6 Mujāhid bin Jabbar (w. 103 H.)

7 'Alī ibn Rabāḥ al-

Lakhmī

(w. 114 H.)

Tabel 2,1 Nama Penafsir awal di Mesir

Aktivitas menafsirkan kalam Allah Swt. Telah

dimulai sejak awal ekspansi Islam ke berbagai daerah, salah

satu daerah yang menjadi penyebaran Islam di era awal adalah

yang sekarang disebut dengan negara Mesir, sejak ekspansi

Islam ke negara ini, negara ini menjadi negara yang sangat

produktif dalam mengembangkan khazanah keilmuan Islam.

a) Fase Kodifikasi („Aṣr al-Tadwīn)

Pada Fase kodisifikasi, Ibn „Abbās dan dua

muridnya, Mujāhid dan Ikrimah adalah aktor utama yang

menjadi penyebar kajian tafsir mazhab, atau dikenal dengan

istilah tafsir Mekkah di Mesir, Dalam kajian Khūrshīd, ada

59

. Al-Qaṭṭān, Mabāḥith, 337. Lihat juga: Dzikri Nirwana,

"Peta Tafsir Di Mesir... h. 30. 60

Dzikri Nirwana, "Peta Tafsir Di Mesir” ..h. 29.

Page 104: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

93

sejumlah tokoh mufassir Mesir dicatat sebagai penerus tiga

tokoh di atas seperti:

No. Nama Periode

1 'Aṭā ibn Dīnār al-Hadhālī (w. 126 H.)

2 'Ubayd ibn Suwayyah al-

Anṣārī

(w. 135 H.)

3 'Abd Allāh ibn Wahb (w.197 H.)

4 al-Imām al-Shāfi'ī (w. 204 H.)

5 'Abd al-Allāh ibn Ṣālih (w. 223 H.)

6 'Abd al-Ghanī ibn Sa'īd al-

Thaqafī

(w. 229 H.)

7 Abū Ja'far alNaḥās (w. 338 H.)

8 Abū Bakr al-Adfawī (w. 388 H.)

Tabel No. 2,2. Daftar Nama Penafsir Pada Masa

Kodifikasi Di Mesir

Diperkirakan, sejumlah mufasir di atas telah mulai

menulis tafsirnya atau setidaknya tafsir mereka telah ditulis

oleh para muridnya dan dinisbahkan kepada mereka. Dilihat

dari periode penulisan tafsir pada fase kodifikasi, dapat

diketahui bahwa proses kodifikasi tafsir di Mesir diperkirakan

sudah dimulai sejak awal abad ke-2 H., sekitar akhir

pemerintahan Dinasti Umayyah dan awal pemerintahan

Dinasti 'Abbāsiyyah.61

Dari sebuah informasi bahwa Ibn

„Abbās pernah dua kali berkunjung ke Mesir.

Menurut Khūrshīd, bahwa tiga tafsir teratas sulit

ditemukan, kecuali melalui beberapa sumber sekunder yang

menginformasikannya dalam bentuk kutipan-kutipan yang

banyak disebut oleh sejumlah mufasir atau muhadis

belakangan. Pada fase ini penafsiran yang berkembang

cenderung mengikuti penafsiran Ibnu „Abbās dengan riwayat.

61

Dzikri Nirwana, "Peta Tafsir Di Mesir”,,,, h. 32.

Page 105: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

94

b) Fase Pembaharuan („Aṣr al-Tajdīd)

Jansen menyatakan bahwa era pembaharuan dalam

sejarah tafsir di Mesir dimulai sejak fase Muḥammad „Abduh

(w. 1905 M.). Baik Tafsīr Juz „Amma sebagai karya tafsir

individual 'Abduh, ataupun Tafsīr al-Manār yang ditulis

bersama muridnya Rashīd Riḍā (w. 1935 M.)62

, diakui.

Menurut Jansen sebagai karya tafsir yang mampu membawa

angin segar. Karya Jansen berjudul The Interpretation of The

Koran in Modern Egypt adalah disertasi doktoralnya di

Rijksuniversiteit Leide tahun 1972.63

Disertasi ini secara fokus

mengkaji keseluruhan karya tafsir modern di Mesir. berikut

pandangan Muḥammad „Abduh terkait dengan tafsir-tafsir

yang telah ada pada masa sebelumnya:

ىذا لا ينبغى أن يسمى تفسير و إنما ىو ضرب من “64”التمرين في الفنون كاانحو والمعاني و غيرهما

Pendapat „Abduh ini mengkritik penafsiran yang dilahirkan

oleh para pendahulunya, yang sangat panjang lebar dalam

menguraikan aspek kebahasaan dan pemaknaan.

Dari pemetaan tafsir di atas, al-Sha‟rāwī mengisi

penafsiran yang menjelaskan kemukjizatan al-Qur‟an yang

62

Dzikri Nirwana, "Peta Tafsir Di Mesir; Melacak

Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an dari Abad Klasik Hingga Modern"

dalam Jurnal Falasifa. Vol. 1 No.1 Maret 2010, h. 36. 63

Abu Bakar, "Pemikiran Tafsir Mesir Modern J.J.G

Jansen (Telaah atas Karya J.J.G.Jansen The Interpretation of The

Koran in Modern Egypt)" dalam al-Ihkām, Vol . V I. No. 1, Juni,

2011, h. 4. 64

Ini sepatutnya tidak disebut sebuah penafsiran, melainkan

sebuah karya salah satu macam uraian beberapa bidang ilmu

kebahasaan seperti nahwu (gramatikal), ma'aani dan lainnya. Lihat:

Muḥammad Rashīd Riḍā, Tafsīr al-Qur‟ān al-Ḥakīm, (Beirut: Dār

al-Fikr, t.th), Vol.1, h. 25.

Page 106: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

95

penjelasannya berdasarkan sosio-historis pada masa dan

dimana dia hidup.

D. Beberapa Pemikiran Pemikiran al-Sha’rāwī

Seseorang yang memiliki keilmuan yang mumpuni

dapat dinilai dengan pemikirannya. al-Sha‟rāwī adalah salah

satu pemikir Islam pada eranya, maka bukan hal yang aneh

jika beberapa penelitian mengkaji secara serius tentang

pemikiran al-Sha‟rāwī. Tujuan dilakukannya penelitian

pemikiran seorang tokoh, bertujuan untuk mencari tahu

bagaiamana tokoh tersebut dalam membangun argumen untuk

menopang pemikirannya, bagaimana tokoh tersebut dalam

membangun sebuah kesimpulan. selain itu, yang tidak kalah

penting untuk dicari tahu adalah konteks dan latar belakang

yang mengelilingi tokoh tersebut, dan pemikiran tersebut guna

menjawab persoalan apa.

Dalam hal ini banyak penelitian yang telah dilakukan

untuk mengkaji secara mendalam pemikiran al-Sha‟rāwī,

berikut beberapa pemikiran al-Sha‟rāwī yang diteliti oleh

akademisi:

1. Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender

Kajian mengenai jender dalam Islam banyak yang

telah dilakukan para sarjana, salah dua nya adalah

kajian yang dilakukan secara serius oleh Nasaruddin

Umar dan Hamka Hasan. Tema relasi jender dalam

Islam memang terus berkembang sampai pada saat

ini.

Istibsyaroh menyimpulkan bahwa penafsiran al-

Sha‟rāwī pada tema-tema relasi jender adalah

penafsiran yang bersifat moderat, ada beberapa tema

yang menjadi objek penelitiannya terkait relasi Jender

dalam Tafsīr al-Sha‟rāwī, antara lain kesimpulan dari

Page 107: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

96

hasil penelitian yang dilakukan oleh Istibsyaroh

adalah sebagai berikut:65

i. Perempuan dapat menjadi saksi sebagaimana

halnya lelaki, dengan sarat perempuan itu melihat

dengan secara langsung.

ii. Perempuan dibolehkan bekerja di luar rumah,

sepanjang pekerjaan itu tidak melanggar prinsip-

prinsip ajaran agama.

iii. Perempuan sama hal nya dengan lelaki dapat

menjabat sebagai pemimpin di ruang publik dan

tidak ada superior dan inferior di dalam

kehidupan rumah tangga suami dan isteri,

keduanya bermusyawarah dalam membesarkan

dan mendidik anak.

Penafsiran al-Sha‟rāwī tentang hak-hak perempuan

dalam tafsirnya yang bersifat moderat ini dilatar

belakangi keilmuan dan sosio-historis yang ada pada

masa dan dimana dia hidup.

2. Relasi Agama dan Negara Perspektif al-Sha‟rāwī

Sampai pada saat ini, diskusi tentang hubungan

agama dan negara menjadi salah satu topik diskusi di

kalangan masyarakat akademis, Dalam sejarah Islam,

ada tiga tipologi hubungan antara agama dan negara

yang dilahirkan oleh para cendikiawan Islam. Din

Syamsudin membaginya sebagai berikut:Pertama,

pihak yang berpandangan bahwa hubungan antara

agama dan negara berjalan secara integral. Tokoh

pendukungan gerakan ini adalah al-Mawdudi. Kedua,

golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara

agama dan negara berjalan secara simbiotik dan

dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung,

65

Istibsyaroh, “Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender

pada Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,h. 286-289

Page 108: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

97

agama memerlukan lembaga negara untuk melakukan

akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga

negara memerlukan agama untuk membangun negara

yang adil dan sesuai dengan spirit ketuhanan. Tokoh

Muslim dunia dalam golongan ini di antaranya adalah

Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Muḥammad Shahrūr,

Naṣr Ḥamīd Abū Zayd, Abdurrahman Wahid dan

Nurcholish Madjid. Ketiga, golongan yang

berpendapat bahwa agama dan negara merupakan dua

domian yang berbeda dan tidak ada hubungan sama

sekali.66

tema ini memang menjadi perhatian para

pemikir, al-Sha‟rāwī tidak lepas untuk mendiskusikan

tema ini.

Banyak cendekiawan muslim (ulama) Mesir terlibat

dalam gerakan nasionalis jauh sebelum Republik

Mesir didirikan yaitu sebelum revolusi 1952.67

Dalam

pandangan meraka, itu merupakan panggilan kepada

pihak yang mempunyai otoritas agama. Artinya jauh

sebelum al-Sha‟rāwī berbicara tentang nasionalisme,

para pendahulunya telah memperjuangkan hal ini.

Tetapi terkait dengan pemikiran al-Sha‟rāwī tentang

hubungan agama dan rasa nasionalisme, Jacquelene

Brinton mempunyai penilaian yang berbeda dengan

para ulama pendahulunya, hasil kesimpulan dari

mengkaji pemikiran al-Sha‟rāwī tentang tema ini

dengan konteks politik Mesir Modern.

Shaʿrāwī menghubungkan identitas keduanya agama

dan negara, dia menunjukkan bagaimana Islam

menjadi sumber identitas nasional di Mesir. Dengan

66

Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara”,

dalam Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan; Nasionalisme Religius

di Indonesia (Bandung:Pustaka Hidayah, 1999), h. 45-50. 67

Shalahuddin al-Ayubi, "Pengaruh Perang Dunia II

Terhadap Revolusi Mesir 1952," dalam Mimbar Sejarah, Sastra,

Budaya dan Agama, Vol. XXII, No. 2. Juli 2016. h. 277.

Page 109: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

98

menggunakan simbol-simbol dan bahasa Islam untuk

meneruskan proyek pembangunan bangsa dan

Shaʿrāwī memberikan gagasan ajaran Islam yang

segar untuk menghubungkan gagasan sekular dan

pergerakan politik.68

Kajian tentang al-Sha‟rāwī di atas yang dilakukan

oleh ragam identitas sarjana, mengindikasikan aktivitas dan

pemikiran al-Sha‟rāwī yang disampaikan lewat uraian

dakwahnya mendapatkan perhatian dari akademisi dengan

latar belakang yang beragam, itu juga dapat diartikan sebagai

apresiasi dari para peneliti yang menujukkan pemikiran al-

Sha‟rāwī mempunyai peran dalam perkembangan keilmuan di

Mesir.

E. Latar Belakang dan tujuan pengkajian tikrār

Penelitian mengenai lafaz-lafaz yang mengalami

repitisi dalam al-Qur‟an, telah banyak dilakukan oleh para

pengkaji al-Qur‟an69

. Penelitian tersebut, tidak akan sampai

pada kebenaran yang absolut, karena bagaimana pun metode-

metode saintifik yang secanggih apapun tidak akan pernah

sampai pada kesimpulan kebenaran yang absolut, demikian

juga dengan pendekatan keilmuan sosial-humaniora yang

hanya sampai pada level relatif ketika keduanya digunakan

untuk mendekati meneliti kandungan al-Qur‟an. Tidak ada

seorang pun yang dapat memahami al-Qur‟an secara absolut70

68

Jacquelene Brinton, "Religion, National Identity and

Nation Building: Muhammad Mitwalli Shaʿrāwī‟s Concept of

Islam,,,,,, h. 81-82. 69

Penelitian-penelitian terkait dengan tema eloborasi lafaz-

lafaz tikrār telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya. 70

Pendapat serupa dapat ditemukan pada karya-kara para

sarjana muslim, di antaranya : Fazlur Rahman, Islam, 1988 . Hasan

Hanafi, Ikhtilāf fī Tafsīr am Ikhtilāf fī Mashāliḥ, dalam al-Dīn wa

Tsawrah: al-Yamīn wa al-Yasār fī al-Fikr al-Dīnī, Cairo 1981. Nasr

Ḥamīd Abū Zayd, Mafhum al-Nash: Dirosah fi „Ulūm al-Qur‟ān,

Page 110: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

99

upaya manusia dalam menggali kebenaran pemahaman yang

terdapat dalam al-Qur‟an hanya sampai pada pemahaman

yang bersifat relativitas.

Keniscayaan tidak adanya penelitian/kajian terhadap

al-Qur‟an yang sampai pada kebenaran yang absolut

membuka ruang guna melakukan penelitian yang guna

memberikan pengembangan bagi riset-riset sebelumnya.

Tentu tulisan ini pun bermaksud salah satunya memberikan

kontribusi terhadap penelitian sebelumnya yang telah

dilakukan oleh para peneliti terdahulu.

Kajian terhadap lafaz tikrār ini guna mengeloborasi

teks al-Qur‟an, yang terkesan memiliki banyak pengulangan,

yang jika dibaca secara sepintas, pengulangan-pengulangan

tersebut tidak perlu dan itu merupakan salah satu aspek al-

Qur‟an yang banyak dikritik71

. Sedangkan pada teori

kontemporer, aspek-aspek pada teks, menjadikan teks sebagai

dunia hubungan-hubungan semantis, yang tidak dapat

mengekspresikan dirinya dan juga tidak dapat terungkap

kecuali melalui cakrawala pengetahuan yang berasal dari sang

pembaca teks72

. Begitu juga dengan teks al-Qur‟an yang

secara susunan sudah disepakati bersifat tawqifī73

, yang

antara setiap elemen penyusunnya memiliki hubungan. Yang

Cairo, 1987. Abdul Karim Soroush, “The Evolution and Devolution

of Religious Knowledge”, dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal

Islam: A Source Book, Oxford 1998. Lihat: M. Nur Kholis Setiawan,

al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005), h.

98. 71

Salwa el- Awa, “Repitition in the Qur'an: A Relevance

Based Explanation of Phenomenon”, dalam Islamic Studies,

42:4(2003), h. 577. 72

Naṣr Ḥamīd Abū Zayd, Kritik Wacana Agama,

Terj(Yogyakarta: Lkis, 2003), h.119-120. 73

Susunan surat-surat dalam al-Qur‟an itu tidak

berdasarkan ijtihad, melainkan susunannya berasal dari Malaikat

Jibril yang bersumber dari Allah Swt.

Page 111: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

100

menurut „Abd Qāhir al-Jurjanī sebuah kata tidak dapat

dipahami dengan baik, tanpa memahaminya secara

komperhensif, yang artinya harus memahami sebuah kata

dengan memahami nuṣūṣ yang dengan memahaminya,

seorang pembaca mendapatkan pemahaman yang lebih baik

karena al-Qur‟an menjelaskan dirinya sendiri (the al-Qur‟an

explains itself)74

. Tetapi menjadikan penafsiran tekstualis

sebagai satu-satunya penafsiran dalam menggali kandungan

al-Qur‟an pun tidak menjadikan al-Qur‟an dapat berdialog

dengan era modern dan lebih lagi tidak menjadikan al-Qur‟an

sebagai petunjuk yang dapat menjawab/merespon

74

Terkait dengan pernyataan ini, salah satu tafsir yang

menerapkan prinsip ini adalah tafsir yang ditulis oleh Muḥammad

Bint Shātī, menurut Issa J. Boullata menurut metode yang

digunakan oleh Bint al-Shati tampak mengandung kehati-hatian

yang sengaja dijadikan standar agar memungkinkan membiarkan al-

Qur‟an berbicara mengenai dirinya sendiri, dan agar Kitab Suci itu

dipahami dengan cara yang paling langsung sebagaimana orang-

orang Arab pada masa kehidupan Nabi Muhammad. Lihat: Issa J.

Boullata, “Modern Qur‟anic Exegesis: A Atudy of Bint al-Shati‟s

Method”, dalam The Muslim World, vol. LXIV, 1974, h. 6.

metodologi yang digunakan Bint Shati adalah gagasan Amīn al-

Khūlī, yang merupakan suaminya, metodelogi Khulī diaplikasikan

secara baik oleh Bint al-Shati‟ dalam kitab tafsirnya al-Bayān. itu

terlihat ketika memulai sebuah pembahasan, dia mengungkapkan

waktu dan tempat di mana al-Qur‟an diturunkan. Bagi Bint al-Shati‟

pemahaman terhadap kronologi sebab turunya ayat surah (asbāb al-

Nuzūl) ini dimaksudkan untuk mendapat batas situasi yang

behubungan dengan teks khusus al-Qur‟an yang sesuai dengan

kaidah al-ibrah bi umum al lafẓ la bi al-khusūs al-sabāb. Imam

Taufiq, "Nuansa Etis Dalam Surat al-Balad (Sebuah Penafsiran

Linguistik Model Bint al-Syati‟)", dalam Teologia, Volume 16,

Nomor 1, Januari 2005, h. 70.

Page 112: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

101

problematika saat ini.75

Tetapi kritikan dan anggapan bahwa

tekstualitas al-Qur‟an banyak terdapat di dalamnya

keambiguan pun suatu problem yang harus dijawab.

Kecenderungan para penafsir pada masa lalu yang

menitik beratkan fokus pada tekstualitas al-Qur‟an, dengan

kondisi ini, Asghar Ali Engineer berasumsi bahwa umat Islam

memiliki dua pilihan, menerima penafsiran yang telah mapan

selama ini (baca: literal) yang tidak menjawab problematika

umat pada masa modern atau menginterpretasinya agar dapat

menjawab problematika umat saat ini dan yang akan datang.

Tidak ada pilihan lain bagi umat Islam selain mengupayakan

agar al-Qur‟an tetap menunjukkan eksistensinya di tengah

perubahan sosial (social change) yang cukup besar saat ini.76

Ini juga yang diupayakan oleh Abdullah Saeed yang

meneruskan projek77

besar pendahulunya Fazlur Rahman.

Model interpretasi Saeed dikenal dengan istilah kontekstual,

maka tidak heran Saeed sangat memberikan fokus pada

konteks saat masa pewahyuan (Prophet‟s Life and of the First

muslim comunitty)78

dan konteks saat masa al-Qur‟an

ditafsirkan.

75

Massimo Campanini, The Qur‟an Modern Muslim

Interpretations , (London and New York: Routledge, 2011), h. 46-

48. 76

Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam,

terj. Farid Wajdi dan Cici Fakhra Assegaf (Yogyakarta: Yayasan

Bentang Budaya, 1994), h. 3. 77

Sheyla Nichlatus Sovia, “Interpretasi Kontekstual (Studi

Pemikiran Hermeneutika al-Qur‟an Abdullah Saeed)” dalam

Dialogia, Vol. 13. No. 1 (2015), h. 39. 78

Ini juga mencakup pada sebelum dan sesudah penurunan

al-Qur‟an. Lihat : Abdullah Saeed, Interprating The Qur‟an:

Towards A Contemporary Approach, (London and New York:

Routledge, 2006), h. 105.

Page 113: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

102

Saeed yang digadang-gadang sebagai kontekstualis,

tidak hanya mempertimbangkan konteks (dua konteks di atas),

tapi menurutnya:

“From a Contextualist point of view, the meaning of a

word is not static; it changes with developments in the

linguistic and cultural environment of the community.

Some aspects of meaning become redundant, while

other aspects emerge or are emphasized, adding new

perspectives to the word. It is possible to argue that

even the so-called „core‟ meaning of the word does not

remain static.”79

Dengan jargon kontekstualnya, lantas tidak membuat

Saeed meninggalkan penafsiran berbasis teks al-Qur‟an begitu

saja, dia mengakui bahwa tidak semua aspek al-Qur‟an hanya

dapat dikaji dengan mengandalkan konteks yang menjadi

tumpuan Saeed dalam melakukan interpretasi, dia mengakui

bahwa sebagian aspek dalam al-Qur‟an, hanya dapat dipahami

jika menggunakan pendekatan linguistik, salah satunya

pengulangan, karena pengulangan adalah salah satu cara al-

Qur‟an dalam mengkomunikasikan makna.80

Artinya dengan

memahami pengulangan dengan pendekatan linguistik

merupakan keniscayaan guna memahami makna yang

dikomunikaskan dalam uraian al-Qur‟an berupa lafaz tikrār.

Dalam mengkaji sebuah teks banyak pendekatan yang

telah lahir, itu semua karena bagaimana seorang pengkaji

memperlakukan teks, mencari tahu dimana makna dari sebuah

teks. Pada penulis, teks atau pembaca. Karena dari tiga pihak

ini, menimbulkan pertanyaan yang penting untuk dijawab.

79

Abdullah Saeed, Interprating The Qur‟an: Towards A

Contemporary Approach,,,, h. 106. 80

Dalia Abo Haggar, "Repetition:A Key To Qur‟ānic Style,

Structure And Meaning,",,, h. vii.

Page 114: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

103

Apakah sebuah teks memiliki makna yang plural? Atau apa

seorang pembaca dapat mendapatkan makna yang

dimaksudkan dari si penulis teks.

Pendekatan yang dapat digunakan dalam mendekati

teks jika ditinjau dari tiga hubungan penulis, teks dan

pembaca, maka lahir tiga, antara lain: pendekatan yang

memusatkan pada penulis (author-centered approach)81

,

dengan pendekatan ini makna sebuah teks ada pada penulis,

makna yang benar hanya ada pada si penulis. Untuk

menelusuri makna, bukan hanya konteks si penulis yang perlu

diteliti, tapi perlu dicermati juga faktor yang menyebabkan

teks itu lahir (motivasi penulisan). Dalam Qur‟anic studies,

ilmu yang memberikan informasi mengenai kondisi ketika

ayat al-Qur‟an diturunkan adalah asbāb al-nuzūl. Jika konteks

yang bisa dikaji dengan baik, maka idea moral82

dari sebuah

teks dapat digali.

Pendekatan kedua, dalam melakukan kajian pada

sebuah teks adalah pendekatan yang memusatkan perhatian

pada teks (text-centered approach), karena dengan

pendekatan ini, makna sebuah ada pada diri teks83

sendiri,

81

Mun‟im Sirry, Islam Revisionis; Kontestasi Agama

Zaman Radikal, (Yogyakarta: Suka Press, 2018), h. 78. 82

Ideal moral adalah suatu nilai dasar yang ada pada suatu

ayat yang berkomunikasi dengan konteks ketika ayat tersebut

diturunkan, ideal moral ini yang menjadi pertimbangan bagaimana

sebuah ayat dipahami pada saat si pembaca ayat menafsirkan dengan

memperimbangkan konteksnya. Lihat: Budi Harianto, "Tawaran

Metodologi Fazlur Rahman Dalam Teologi Islam," dalam

Kontemplasi, Vol. 04, No. 02, Desember 2016, h. 294. 83

Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Toshiko Izutsu,

bahwa sebuah kata memiliki makna yang berbeda jika memiliki

konteks yang berbeda, selain itu, kajian Izutsu ini menunjukkan cara

kerja semantik dalam mengkaji al-Qur‟an dan bagaimana kerumitan

dalam pemilihan sebuah kata yang digunakan al-Qur‟an. Toshihiko

Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qurʾan, (Kuala Lumpur:

Islamic Book Trust, 2004), h. 103. Kajian ini sangat membantu

Page 115: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

104

menurut Mun‟im Sirry84

, pendekatan ini sangat diminati oleh

para strukturalist.85

Adapun menurut Roland Barthes sebuah

makna dilahirkan dari dua pihak, teks itu sendiri86

dan

untuk mengkaji aspek pengulangan dalam al-Qur‟an, karena kajian

ini menguatkan bahwa sebuah kata akan memilki makna yang

berbeda dikarenakan konteks yang berbeda. 84

Mun‟im Sirry adalah Assistan Professor di Fakultas

Teologi Universitas Notre Dame, USA. Tiga karyanya: Polemik

Kitab Suci: Tafsir Reformis Atas Kritik Al-Quran Terhadap Agama

Lain, (Gramedia, 2013). Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab

Tradisionalis dan Revisionis, (Mizan, 2015), dan Scriptural

Polemics: The Qur‟an and Other Religions" (Oxford University

Press, 2014). Lihat: https://geotimes.co.id/author/munim-a-sirry/ dan

lihat juga https://theology.nd.edu/people/faculty/munim-sirry/

(diakses pada 16-07-2018). 85

Salah satu pengkaji al-Qur‟an Michel Cuypers

melakukan kajian mendalam terhadap struktural al-Qur‟an, lebih

spesifiknya mengenai elemen-elemen yang mengalami repitisi, dia

melakukan pengamatan pada aspek struktur surah al-Māidah dan

dia mendeteksi elemen-elemen pengulangan dalam berbagai level,

dari level yang paling sederhana, pengulangan sebuah kata tunggal,

frase atau sampai aspek kalimat yang mana elemen-elemen

tersebut, diulangi membentuk struktur (seperti contoh dari Sūrat al-

Aʿrāf [Q. 7], Cuypers melakukan kajiannya dengan, menjadikan

sebuah surah menjadi dua section, bagian dan sub-bagian, Cuypers

mengulas hubungan-hubungan yang terdapat dari elemen yang

mengalami repitisi, dengan berbagai metode analisis teks Qurʾan

yang diulas, dapat disimpulkan bahwa semuanya melampaui

analisis linear dari teks untuk mengamati unsur-unsur yang diulang

secara verbal (seperti partikel, kata, dan elemen fonetik) tentu model

analisa ini turut mengembangkan studi analisis para pengkaji

struktural tentang bentuk dan koherensi surah. Lihat: Michel

Cuypers, The Banquet: A Reading of the Fifth Sura of the Qur‟an,

(Miami: ConviviumPress, 2009), h. 434–437.

86 Lain halnya dengan kesimpulan yang dilahirkan oleh

Daila Abou Haggar, dia menyimpulkan bahwa pengulangan yang

Page 116: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

105

pembaca teks, karena menurutnya makna yang dimkasud oleh

sang penulis tidak dapat diraih sepenuhnya, selain itu jika

sebuah teks sudah dipublis, maknanya sudah tidak lagi ada di

si penulis.

Reader-centered approach adalah pendekatan yang

ketiga, pendekatan ini memberikan porsi yang besar kepada si

pembaca dalam melahirkan sebuah makna dari teks. Dengan

pendekatan ini makna dari sebuah teks ada pada seorang

pembaca, beda pembaca beda pula makna yang dilahirkan,

karena makna lahir dari horison yang dimiliki seorang

pembaca. Pendekatan ini mengembangkan pendekatan yang

kedua.

Perkembangan pendekatan maupun metode yang

ditujukkan untuk menggali kandungan al-Qur‟an, itu semua

melahirkan ragam makna dari al-Qur‟an yang satu, sama

halnya apa yang telah dilakukan oleh pada pengkaji al-Qur‟an

di masa klasik, salah satunya pengkaji tikrār, dia adalah al-

Kirmānī, karyanya mempunyai kontribusi penting dalam peta

kajian tikrār fī al-Qur‟ān, karyanya ini menghimpun

pengulangan dalam al-Qur‟an berdasarkan persurah.

Perbedaan jumlah pengulangan yang dikaji dalam

penafsiran al-Sha‟rāwī dan al-Kirmānī dalam surah al-

Fātiḥah, tidak bisa dilepaskan dari metode dan motif dari

masing-masing pengkaji dalam melakukan kajian terhadap

tikrār.

Latar belakang sebuah kajian perlu diugkap, karena

itu penting agar diketahui secara jelas apa yang menyebabkan

sebuah pengkajian dilaksanakan, walaupun menurut al-

Sha‟rāwī al-Qur‟an tidak butuh dibuktikan secara logika,

namun menurutnya ada beberapa aspek yang membutuhkan

terdapat dalam al-Qur‟an adalah sebuah metode yang dapat

melahirkan makna dalam al-Qur‟an, Dalia Abu Haggar, “Repetition:

A Key To Qur‟ānic Style, Structure And Meaning, (Disertasi S3

University of Pennsylvania, 2010), h. vii.

Page 117: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

106

daya rasional guna membuktikan aspek-aspek kebenaran dan

kandungan yang tersimpan87

di dalam lafaz-lafaz dzāhir al-

Qur‟an, salah satu aspek tersebut adalah aspek tikrār, jumlah

pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an yang tidak sedikit

melainkan banyak.

Walaupun tidak ditemukan secara eksplisit apa yang

melatar belakangi al-Sha‟rāwī mengkaji unsur pengulangan

dalam al-Qur‟an, tetapi al-Sha‟rāwī dalam sebuah kesempatan

memberikan pernyataan bahwa dalam al-Qur‟an tidak ada

pengulangan secara maknawi, melainkan hanya pengulangan

secara lafaz, menurutnya tidak ada satu pun lafaz dalam al-

Qur‟an yang tidak memiliki maksud atau salah tata letaknya,

karena menurutnya, dalam al-Qur‟an sang pembicara adalah

Allah Swt., tidak mungkin tidak memiliki makna dan maksud.

Sedangkan menurut Angelika Neuwirth, model uraian yang

sama dalam al-Qur‟an bukan hanya pengulangan tanpa

makna, tetapi menurutnya setiap pengulangan itu saling

membangun makna, karena masing-masing elemen lafaz

mempunyai fungsi (apa yang akan diuraikan), dan dari itu

membangun rangkaian dengan fokus makna yang baru.88

Dengan kata lain, Neuwirth dari hasil kajiannya, yang

mengkaji pengulangan yang terdapat surah al-Ḥijr

berkesimpulan bahwa, setiap pengulangan mempunyai fokus

makna utamanya masing-masing, jadi jika pengulangan-

pengulangan itu digabungkan dan disusun secara tepat, maka

akan tersusun makna yang komprehensif.89

87

Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī, Mu‟jizah al-Qur‟ān ,

(Mesir: Akhbār al-Yawm, Juz. 1, T. th.), h. 22. 88

Angelika Neuwirth, “Referentiality and Textuality in

Sūrat al-Ḥijr,,,,,h. 160. 89

Dia memberikan contoh pengulangan diksi „ibādī dalam

surah al-Ḥijr 42, 49. Lihat: Angelika Neuwirth, “Referentiality and

Textuality in Sūrat al-Ḥijr,,,,,h. 160.

Page 118: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

107

Perlu diingat bahwa penafsiran yang dilakukan oleh

al-Sha‟rāwī dalam rangka berdakwah yang bertujuan

menjelaskan kepada penyimaknya kemukjizatan al-Qur‟an.

Awal kajian tikrār dilakukan karena adanya pengulangan di

banyak kesempatan dalam al-Qur'an, unsur ini menjadi

polemik yang dikaji oleh para pengkritik, mereka memberikan

perhatian pada bagian ini, mengkritik al-Qur'an secara

retorika, struktur dan gaya menguraikannya. Tentu kajian

mendalam perlu dilakukan guna menjawab kritikan di atas.

Salah satu pengkaji al-Qur‟an yang memberikan

jawaban terhadap kritikan di atas adalah Ibn Qutybah (W. 279

H./889 M.) dalam karyanya Ta‟wīl Mushkil al-Qur‟ān, Ibn

Qutaybah berpendapat bahwa, pengulangan dalam al-Qur‟an

yang berbicara mengenai kisah, informasi yang menjadi

sebuah basis sejarah, selain itu menjadi alasan bahwa benar

al-Qur'an adalah kitab suci yang diwahyukan dalam kurun

waktu dua puluh tiga tahun lamanya, sehingga umat Islam

dapat memahami uraiannya (menerima), diulanginya sebuah

lafaz dan berulang-ulang, meniscayakan terjadinya

internaslisasi dan mengingat kandungan-kandungannya yang

berisikan seruan dan nasihat, selain itu lafaz pengulangan

yang terdapat al-Qur‟an bertujuan untuk menguatkan dan

memberikan pemahaman (irādat al-tawkīd wa-l-ifhām). Gaya

penuturan al-Qur‟an yang seperti ini juga berhubungan

dengan tradisi oral dimana al-Qur‟an diturunkan, yaitu di

Arab.90

Argumen yang diajukkan Ibn Qutaybah di atas

merupakan rasonalisasi dan argumen yang menguatkan bahwa

aspek tikrār al-Qur‟ān yang dikritik merupakan tidak tepat,

melainkan uraian tikrār adalah salah satu cara al-Qur‟an

menguraikan kandungannya.

Setelah Ibn Qutaybah memberikan penjelasan terkait

pengulangan dalam al-Qur'an, pada periode berikutnya

muncul para pengkaji al-Qur'an suksesor Ibn Qutaybah yang

90

Ibn Qutayba, Taʾwīl mushkil al-Qurʾān, 235–237.

Page 119: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

108

mengembangangkan dan mengeloborasi terkait gaya uraian

al-Qur'an secara umum, dan tikrār al-Qur‟ān secara khusus,

itu semua dilakukam berangkat dari pandangan mereka bahwa

Nazm al-Qur'an adalah salah satu bagian dari kemukjizatan al-

Qur'an, di antara nya adalah al-Khatṭābī (W. 388/998), al-

Bāqillānī (W. 405 H./1013 M.) dan diteruskan oleh „Abd al-

Qāhir al-Jurjānī (W. 417 H./1078 M.)91

Para ulama ini,

berusaha untuk menetapkan keunggulan naẓm Al-Qur'an

dengan cara mengamati hubungan antara susunan kata dan

struktur gramatikal dan makna yang dimaksud dari susunan

dan hubungannya.92

Dengan menerapkan pendekatan ini, al-

Khaṭṭābī dan al-Bāqillānī sampai pada kesimpulan bahwa

ayat-ayat yang mengulangi kata demi kata masing-masing

menunjukkan makna yang berbeda. Dengan kesimpulan ini

perkembangan dalam memahami tikrār mengalami

perkembangan, terkait dengan hubungan kata/kalimat dalam

al-Qur‟an, Quraish Shihab berpendapat bahwa al-Qur‟an

layaknya sebuah mutiara yang setiap sudutnya jika ditinjau

memiliki keindahan.

Menurut al-Jurjānī salah satu aspek kemukjizatan al-

Qur‟an yang sangat penting adalah aspek uraiannya secara

teks, dalam pandangan al-Jurjānī setiap kata memiliki makna

yang berbeda, jika lafaz memiliki posisi/konteks yang beda,

karena sebuah konteks memengaruhi makna sebuah

kata/kalimat,93

pandangan ini dikenal dengan teori naẓm.

Sebuah makna kata dan atau kalimat sangat dipengaruhi oleh

konteksnya masing-masing.

91

Dalia Abo Haggar, “Repetition: A Key To Qur‟ānic

Style, Structure And Meaning,,,, h. 9-10. 92

Untuk kajian ini secara mendalam, dapat dilihat pada :

Mustansir Mir, Coherence in the Qurʾān: A Study of Iṣlāḥī‟s

Concept of Naẓm in Tadabbur-i Qurʾān (Indianapolis, IN: American

Trust Publications, 1986), h. 10–16. 93

ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, DalāʾIl Al-IʿJāz, (Cairo:

Maktabat al-Khanjī, 1984), h. 106–109.

Page 120: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

109

Kesimpulan-kesimpulan yang diajukan oleh para

pakar di atas, menjadi titik tolak kelanjutan pengkajian lafaz

tikār yang dilakukan oleh para akademisi pada fase

berikutnya. Pengulangan kalimat atau frasa dalam al-Qur‟an

mempunyai fungsinya masing-masing, menurut sarjana

muslim, pengulangan berfungsi sebagai penguat. Artinya,

semakin sering sebuah tema atau kalimat di dalam al-Qur‟an

diulang, maka aksentuasi maknanya pun akan semakin kuat94

Pengulangan dalam al-Qur‟an termasuk dalam salah

satu gaya/model uraiannya mengikuti gaya komunikasi

masyarakat Arab, tetapi pengulangan dalam al-Qur‟an bukan

hanya mengikuti model komunikasi masyarakat Arab,

melainkan ada kandungan yang bersifat universal yang

terdapat dalam al-Qur‟an. Lebih dari itu, pada sebuah kajian

yang tertuang dalam sebuah disertasi bahwa pengulangan

merupakan sebuah metode al-Qur‟an dalam memberikan

makna tambahan di tiap pengulangan berikutnya atau dalam

penjelasan Haggar “repetition as a method of communicating

meaning in the Qurʾān”95

dengan kesimpulan ini, seorang

pembaca al-Qur‟an hendaknya memahami pengulangan bukan

hanya sekedar mengikuti tradisi komunikasi masyarakat Arab,

melainkan, lafaz yang mengalami repitisi memiliki

kandungannya masing-masing, pandangan ini juga

mematahkan anggapan bahwa banyaknya jumlah pengulangan

dalam al-Qur‟an tidak memiliki urgensi.

Neuwirth96

mengobservasi ayat yang dia diistilahkan

dengan dengan referentilality (ayat yang diulangi, pararel

94

Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkīl al-Qur‟ān.. 180-198. 95

Dalia Abo Haggar, “Repetition in The Qur‟ān: A Key To

Qur‟ānic Style, Structure And Meaning,‟ ,,,,, h. Vii.

96Angelika Neuwirth adalah seorang sarjana Barat Yahudi

yang lahir di Nienburg/Weser pada tanggal 4 November 1943.

Spesialisasi dan ketertarikan Neuwirth adalah pada bidang sastra

Page 121: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

110

secara semantik) antara surah al-Ḥijr dan surat-surat dalam al-

Quran, analisanya menunjukkan bahwa bentuk-bentuk

pengulangan bukan hanya sekedar pengulangan belaka yang

tidak memiliki makna, lebih dari itu, bentuk-bentuk

pengulangan tersebut jika dihimpun dan dianalisa

berkesimpulan bahwa pengulangan-pengulangan itu

membangun satu dengan yang lainnya, menyusun unsur-unsur

yang menghasilkan perpaduan yang darinya melahirkan fokus

makna yang baru.97

Hasil analisa yang dilakukan oleh

Neuwirth ini menambahkan informasi mengenai pentingnya

fitur pengulangan dalam al-Qur'an. Dari kajiannya dia

menyimpulkan bahwa pengulangan bukan hanya berfungsi

untuk menunjukkan keterhubungan dalam sebuah surah dan

integrasi penyimak pada proses komunikasi pengulangan

(komunikasi yang tejalin antar pengalangan) dan juga

Arab klasik dan modern. Neuwirth adalah sarjana Barat pertama

yang mengkaji al-Qur'an sebagai teks sastra dan mengkajinya

dengan menggunakan pendekatan sastra, lebih khusus lagi tentang

pendekatan berbasis surat, terutama lewat disertasinya yang

diterbitkan menjadi buku pada tahun 1981, Studien Zur

Komposition Der Mekkanischen Suren: Die Literarische Form Des

Koran. al-Qur„an. Karenanya tak heran jika pendekatannya kepada

alQur„an sangat kental aroma sastranya. Lihat: Lien Iffah Naf‟atu

Fina, "Membaca Metode Penafsiran Al-Qur‟an Kontemporer Di

Kalangan Sarjana Barat Analisis Pemikiran Angelika Neuwirth,"

dalam Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 18 Nomor 2

(Desember) 2014, h. 271-272. 97

Angelika Neuwirth, “Referentialty and Textuality in al-

Ḥijr: Some Observations on The Qur‟anic Canonical Process and

Emergency of a Community,” dalam Literary Structures of

Religious Meaning in the Qur‟ān, ed. Issa J. Boullata (Richmond:

Curzon, 2000), h. 158-159.

Page 122: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

111

melahirkan hubungan antara surah yang berbeda dan

mengembangkan makna-makna.98

Kesimpulan di atas, tidak bedanya dengan pendapat

al-Sha‟rāwī, menurut dia kisah dalam al-Qur‟an diuraikan

dengan berulang-ulang di tempat yang berbeda, suatu kisah

disampaikan pada suatu ayat yang berposisi di suatu surah,

kisah lainnya disampaikan pada ayat lain, pada uraiannya

yang sama terdapat temuan yang berbeda, memberikan

informasi yang baru pada tiap ayat yang menguraikan kisah,

andaikan seluruh ayat-ayat yang berbicara tentang kisah yang

sama (tema) dikumpulkan, akan ditemukan kisah yang

lengkap, setiap ayat menerima sesuatu yang baru. Artinya cara

al-Qur‟an dalam menyampaikan kisah dengan menggunakan

pengulangan, yang jika dilihat sekilas mengandung

pengulangan yang tidak berfaedah, tentu kesimpulan yang

sangat spekulasi ini tidak berlandaskan pengamatan dan

analisa yang mendalam, sebagai metode dalam

menyampaikannya, lafaz tikrār mengandung maknanya

masing-masing.

"والقصص في القرآن لا ترد مكررة. وقد يأتي بعض منها في آيات. وبعض منها في آيات أخرى. ولكن اللقطة مختلفة. تعطينا في كل آية معلومة جديدة. بحيث أنك إذا جمعت كل الآيات التي ذكرت في القرآن الكريم. تجد أمامك قصة كاملة متكاملة.

99."ل آية تضيف شيئا جديداك

Dari kajian yang dilakukan Neuwirth, dapat

disimpulkan bahwa fitur pengulangan yang terdapat al-

98

Dalia Abo Haggar, “Repitition: A Key to Qur‟ānic Style,

Structure and Meaning,” (Disertasi S3 di Universitas of

Pennsylvania, 2010), h. 33. 99

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,,h. 237.

Page 123: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

112

Qur‟an memiliki peran penting dalam memformulasikan

makna, makna yang lahir dari fitur pengulangan yang terdapat

pada ragam konteks melahirkan makna yang memiliki fokus

baru.

Menurut Islam Dayeh100

, dia melakukan survey

terhadap ayat-ayat yang terdapat di dalamnya pengulangan,

menurutnya dengan model ini (menggunakan pengulangan)

menunjukkan kepada pembaca terkait urgensi dan bagaimana

fungsi lafaz-lafaz diulangi secara tematik, dengan mengkaji

variasi pengulangan dalam beberapa uraiannya, ini membuat

sebuah diskursus tertentu101

dalam kajian Islam, Dayeh

melakukan survey pada ayat-ayat yang mengalami

pengulangan, lalu dia membandingkan ayat-ayat tersebut dan

menyimpulkan kandungannya, Dayeh menganalisa

pengulangan ayat-ayat yang mengalami pengulangan pada al-

Hawāmīm102

yang termasuk dalam kategori surah

Makkiyah.103

Dari studinya, Dayeh berkesimpulan bahwa

100

Islam Dayeh adalah Asisten Profesor studi bahasa Arab

di Freie Universität Berlin dan Editor Eksekutif Jurnal Philological

Encounters (Brill).

Lihat:https://www.geschkult.fuberlin.de/en/e/semiarab/arabistik/Se

minar/Mitarbeiterinnen-und-

Mitarbeiter/Professuren/Dayeh/index.html 101

Islam Dayeh, “Al-Hawāmīm: Intertextuality and

Coherence In Meccan Surahs” dalam, The Qur‟ān In Context:

Historical and Literary Investigations Into The Qur‟ānic Milieu, ed.

Angelika Neuwirth dkk., h. 477-478. 102

Hawāmīm adalah surah-surah yang diwali dengan

hurruf muqata‟ah dalam hal ini khususnya huruf ḥā mīm. 103

Ayat makkiyah adalah ayat yang turun di kawasan

Makkah dan sekitarnya, sebelum ataupun setelah Nabi hijrah,

adapun gaya bahasa yang digunakan ayat makkiyah cenderung

bersifat keras dan tegas. Lihat: Moh. Muhtador, "Teologi Persuasif:

Sebuah Tafsir Relasi Umat Beragama," dalam Fikrah: Jurnal Ilmu

Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 4, No. 2, 2016, h. 190.

Page 124: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

113

pengulangan pada surah al-Hawāmīm menunjukkan cara al-

Qur‟an menguraikan makna yang disampaikan pada beberapa

surah yang sangat berkaitan, dalam artikelnya dia

dimenyimpulkan bahwa:

“an intertextual reading, attentive to the

chronological development of these surahs,

will corroborate the thus far common, yet

unstudied notion that these surahs104

are

interrelated.”105

Pembacaan yang dilakukan Dayeh pengulangan yang

terdapat pada surah-surah al-Ḥawāmīm berkesimpulan bahwa

setiap pengulangan memiliki hubungan dan setiap lafaznya

memiliki pengaruh terhadap makna, model pembacaan ini

membuktikan dan menguatkan anggapan bahwa pengulangan

dalam al-Qur‟an urgen untuk dikaji dan diulas untuk terus

mengkaji makna apa yang terkandung dalam pengulangan.

1. Ragam Kajian Tikrār

Pengkajian pengulangan yang telah dilakukan oleh

para pakar dilakukan dengan beragam metode dalam

104

These are surahs 40 (Ghāfir), 41 (Fuṣṣilat), 42 (ash-

Shūrā), 43 (az-Zukhruf), 44 (ad-Dukhān), 45 (al-Jāthiya), 46 (al-

Aḥqāf), with surah 42 beginning with ḥā mīm ʿayn sīn qāf. Lihat:

Islam Dayeh, “Al-Hawāmīm: Intertextuality and Coherence In

Meccan Surahs”...h. 461.

105Sebuah bacaan Intertekstual yang memperhatikan

kronologis (surah Makkiyah) dari surat-surat ini, akan menguatkan

penelitian-penelitian tentang keterkaitan antara surah yang telah

dilakukan oleh beberapa akademisi antara lain: Neuwirth, Studien

zur Komposition der mekkanischen Suren; Mir, Coherence in the

Qurʾan; Robinson, Discovering the Qurʾan; dan el-Awa, Textual

Relations in the Qurʾan. Lihat: Islam Dayeh, “Al-Hawāmīm:

Intertextuality and Coherence In Meccan Surahs”...h. 461.

Page 125: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

114

mengkajinya, secara garis besar aspek ini mereka kaji dengan

mengklasifikasinya menjadi dua ragam, lafziyah dan

maknawiyah. Dalam kajian yang dilakukan oleh al-Thawnī,

dia menglasifikasi aspek pengulangan dalam al-Qur‟an,

klasfikasi yang pertama, klasifikasi yang diajukan adalah

klasifikasi yang sudah diutarakan oleh para pengkaji al-Qur'an

dari masa awal, pengulangan secara lafaz dan makna,

klasifikasi yang kedua adalah pengulangan yang berfaedah

dan pengulangan yang tak berafedah106

. Selain kedua

klasifikasi itu, al-Thawnī juga mengungkapkan tikrār jika

ditinjau dari susunannya bisa dibagi menjadi al-Ittiṣāl107

dan

al-Infiṣāl.

Melahirkan beberapa ragam ilmu yang dapat

digunakan sebagai acuan dalam memahami aspek

pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an, misalnya kajian

yang dilakukan oleh Khālid bin „Uthmān al-Tsabt108

,

menariknya, sebelum memaparkan uraian atas kajiannya

terhadap aspek pengulangan dalam al-Qur‟an, dia

memberikan keterangan tentang kajian tentang tema ini yang

telah dilakukan oleh para pakar, antara lain; Ta‟wīl Mushkīl

al-Qur‟ān, H. 233, Fiqh al-Lughah liltha‟labī H. 350. Al-

Ṣāḥibī H. 341. Nakt al-Intiṣār H. 313. Al-Burhān fī „Ulūm al-

Qur‟ān liZarkshī, al-IkSīr 240. Madkhāl lilḥdādī 290.

106

Hātif Barīhī Shiyā' al-Thawnī, "Dalālah al-Tikrār fī al-

Qur‟ān", dalam Majalah al-Qādisīyah li al-'Ulūm al-Insāniyah, Vol.

11. No. 4, 2007, h. 76. 107

. Kategori ini mencakup pengulangan baik itu dalam

format pengulangan sebuah kata, kalimat maupun ayat tidak

terpisah, pengulangan ini terdapat pada satu ayat atau pada dua ayat

yang berurutan. seperti pada ayat أولى لك أولى lihat QS. Al-Mulk. 108

Khālid bin „Uthmān al-Tsabt, “Qawā‟id al-Tafsīr ;

Jam‟an wa Dirasah” (tp: Dār Ibn „Affān, Jil. II), 700-

Page 126: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

115

Nihāyah al-Ījāz H. 388. Al-Itqān 199. Tafsīr al-Qāsimī H.

256. I‟jāz al-Qur‟ān liRāfi‟ī H. 193. Al-Taqrīr fī al-Tikrār109

.

Dalam karyanya ini, terlihat secara jelas dari

judulnya, al-Thabt berusaha menyusun sebuah kitab yang

berisikan tentang kumpulan kaedah-kaedah „Ulūm al-Qur‟ān.

Al-Thabt memulai uraiannya mengenai tikrār fī al-Qur‟ān

seperti hal yang lumrah dilakukan penulis, memulainya

dengan menyampaikan definisi tikrār baik secara bahasa dan

istilah, selain itu juga dia juga menyampaikan alternatif

definisi. Beberapa kaedah tikrār yang diuraikan oleh al-Thabt

antara lain110

:

1. Pengulangan Lafaz Berkali-Kali Memiliki

Hubungan111

Makna dari kaidah pertama ini adalah, sungguh pengulangan

yang berulang dalam beberapa kali, menandakan adanya

keterkaitan satu sama lain, Penerapan kaedah ini, seperti

pengulangan lafaz فبأي الاء ربكمب تكذبب yang terdapat pada

surah al-Raḥmān, Adanya pengungalan redaksi ayat فبأي الاء

109

Khālid bin „Uthmān al-Tsabt, Qawā‟id al-Tafsīr ;

Jam‟an wa Dirasah,….h. 700. 110

Khālid bin „Uthmān al-Tsabt, Qawā‟id al-Tafsīr ,,,,h.

700-715. 111

adanya pengulangan dalam al-Qur'an baik itu ayat

maupun kalimat di sebagian surah dalam al-Qur'an berbicara tentang

pembahasan/tema yang berbeda, pengulangan-pengulangan tersebut

banyak yang mempertanyakannya,aspek inilah yang berpotensi

sukar utuk dipahami, lebih lagi jika menganggap baik kalimat

maupun ayat yang mengalami pengulangan tidak memiliki distingsi

dengan yang kalimat/ayat yang diulangi sebelumnya, pendapat ini

menurut al-Thabt tidak tepat, menurutnya setiap pengulangan dalam

al-Qur'an baik itu ayat maupun kalimat yang mengalami

pengulangan memiliki hubungan dengan yang telah diulangi

sebelumnya, maka dengan perspektif ini pengulangan hanya ada

pada tataran lafaz saja, tidak secara substansi. Khālid bin „Uthmān

al-Thabt, Qawā‟id al-Tafsīr,,,,,h. 702.

Page 127: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

116

dalam surat al-Raḥmān, merupakan bentuk ربكمب تكذبب

pemisah dari adanya nikmat-nikmat Allah yang diberikan

kepada manusia yang tertuang dalam surat tersebut. Setiap

ayat yang diulang merupakan pemisah dan berkaitan dengan

ayat sebelumnya.112

Pengulangan yang terdapat pada surah al-

Raḥmān sangat bermuatan psikologis untuk pembacanya.

2. Pengulangan Dalam Al-Qur‟an Tidak Ada Yang

Berdampingan

Jumlah pengulangan lafaz yang terdapat dalam al-

Qur‟an menurut al-Kirmānī sebanyak 589.113

Tentu jumlah ini

cukup untuk mengatakan bahwa pengulangan dalam al-

Qur‟an tidak bisa dikategorikan sedikit, jumlah yang

didapatkan akan tidak sama, jika dalam mengkaji

pengulangan menggunakan metode yang berbeda, dengan

metode yang digunakan oleh al-Kirmānī, seperti kajian yang

telah dilakukan oleh ‟Abd al-Karīm al-Banjābī, menurut al-

Banjābī pengulangan dalam al-Qur‟an, terdapat sebanyak

335114

.Kedua hasil kajian di atas, menghasilkan kesimpulan

yang berbeda, itu dikarenakan penggunaan metode yang

berbeda. Tentu bukan hanya dua kitab ini yang mengkaji

pengulangan dalam al-Qur‟an. Namun dari jumlah

pengulangan di atas, tidak ditemukan pengulangan yang

saling bersandingan/bersampingan satu sama lain secara

langsung, hanya ditemukan pengulangan yang dipisahkan

112

Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan

Redaksi Dalam Surah Ar-Rahman,” Hermeunetik, Vol. 8, No. 1,

Juni 2014. 148. 113

Al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-Qur‟ān…..h. 258. 114

„Abd al-Ghofūr ‟Abd al-Karīm al-Banjābī, al-Tawḍīh

wa al-Bayān fī Tikrār wa Tushābih Ay al-Qur‟ān, (Madinah:

Maktabah al-'Ulūm wa al-Hikām, 1994), h. 346.

Page 128: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

117

dengan kata atau kalimat. Seperti pada pengulangan pada

ayat-ayat berikut.115

3. Kesamaan Hanya Terdapat Pada Lafaz, Tidak Pada

Makna

Kaidah ini sama dengan pendapat al-Sha‟rāwī, yang

menurut al-Sha‟rāwī bahwa, pengulangan hanya berlaku pada

tataran lafaz dan tidak berlaku pada tataran makna, pernyataan

itu yang menjadi salah satu poin yang melatar belakangi

dilakukannya penulisan kajian ini, salah satu contoh dari

penggunaan kaidah ini adalah pemaknaan kata lafaz al-

Raḥmān al-Raḥīm yang terdapat pada ayat pertama

(basmallah) dan ayat ke tiga pada surah al-Fātiḥah, menurut

al-Sha‟rāwī lafaz al-Raḥmān al-Raḥīm ini mempunyai

masing-masing konteks, yang melahirkan fokus makna yang

berbeda, pendapat ini sama dengan apa yang disimpulkan oleh

Angelika Neuwrith.116

4. Nakirah

117 Jika Diulangi Menunjukkan Jumlah Yang

Banyak, Sebaliknya Dengan Ma‟rifah118

.

Kaidah ini menunjukkan bahwa adanya implikasi dan

perbedaan makna yang terjadi jika pengulangan kata itu

berstatus nakirah maupun ma‟rifah. Perbedaanya, jika

115

Pengulangan yang hampir bersandingan seperti kata

Iyyāka dalam surah al-Fātiḥah. Tentu kaedah ini memiliki

pengecualian, namun secara umum hanya sedikit ditemukan

pengulangan yang bersampingan. 116

Angelika Neuwrith, “Referentiality and Textuality in

Sūrat al-Ḥijr,,,, h. 159-160. 117

Isim (kata benda) yang menunjukkan sesuatu yang tidak

ditentukkan 118

Isim (kata benda) yang menunjukkan pada sesuatu yang

tertentu yang dapat dikenal dengan pengenalan yang sempurna.

Lihat: Hamka Ilyas, Al-Nakirah wa al-Ma'rifah, dalam Jurnal Shaut

al-Arabiyah, Vol. III, No. 2, Januari-Juni 2015, h. 8.

Page 129: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

118

terdapat dua kata nakirah secara penulisan/lafaz sama, maka

dua kata itu akan memiliki makna/apa yang dimaksud

berbeda, antara yang kata yang pertama dan kedua, untuk

lebih jelasnya dijelaskan pada penjelasan berikut:

ث ق وة ضعف ث جعل من ب عد ضعف اللو الذي خلقكم من " "وشيبة يلق ما يشاء وىو العليم القدير ضعفا ق وة جعل من ب عد

"Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah,

kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan

lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan

(kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.

Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia

maha mengetahui, maha kuasa" (Q.S. Al-Rūm [03]: 54)

Dalam pandangan Thabt, tiga kata ḍa‟f dan dua kata

quwwah yang berstatus nakirah pada ayat di atas memiliki

makna yang berbeda, berikut119

pemaknaan kata ḍa‟f di atas

dalam perspektif Thabt secara berurutan dari awal ayat, yang

pertama bermakna sperma (nuṭfah) atau debu (turāb)

sedangkan yang kedua bermakna masa kecil (ṭafūliyah) dan

yang ketiga bermakna masa penuaan (shaykhūkhah). Ada pun

pemaknaan dua kata quwwah berstatus nakirah menurutnya

sebagai berikut: yang pertama bermakna daya yang membuat

seorang anak kecil bergerak, sedangkan kata quwwah yang

kedua bermakna masa setelah memasuki masa balig.120

Pemaparan perbedaan makna dari kata ḍa‟f dan quwwah pada

119

Khālid bin „Uthmān al-Thabt, Qawā‟id al-Tafsīr,,,h.

711-713. 120

Masa balig adalah masa dimana seorang remaja

memasuki pertumbuhan fisik ideal, ideal disini secara fisiknya

menuju pada sebagus-bagusnya fisik seseorang remaja dan dalam

masa inilah seorang remaja memasuki pengisian pribadi. Lihat:

Azyyati Mohd NAzim dkk. “Ciri-ciri Remaja Berisiko: Kajian

Literatur", dalam Islamiyyat, 35(1) 2013, h. 117-118.

Page 130: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

119

ayat ke lima puluh empat dari surah al-Rūm ini membantah

hasil kajian Richard Bell yang berkesimpulan bahwa

pengulangan suatu lafaz yang sama menggantikan (me-

nasakh) lafaz yang diulangi sebelumnya.121

Isim ma‟rifah jika diulangi memiliki implikasi berbeda

dengan kata nakirah pada penjelasan di atas. Kata ma‟rifah

menurut al-Thabt jika diulangi, merupakan lafaz yang

diulangi dan yang mengulangi adalah satu hal yang sama.

Salah satu contohnya:

الذين أن عمت عليهم غير صراط ( 6المستقيم ) الصراط اىدنا “ ”(7) الي المغضوب عليهم ولا الض

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-

orang yang telah engkau beri nikmat kepadana; bukan

(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)

mereka yang sesat.” (Q.S. Al-Fatiḥah [1]:6-7)

Kata al-Ṣirāṭ adalah isim ma‟rifah, karena salah satu

ciri dari kata ma‟rifah adalah adanya alif lam, jadi Al-Thabt

berpendapat bahwa kata al-Ṣirāṭ pada ayat ke enam dan ke

tujuh merupakan hal yang sama.122

Tentu pendapat ini

berbeda dengan pendapat al-Sha‟rāwī yang telah dikutip pada

bab terdahulu.

Jika mengulas uraian penjelasan yang ditulis oleh para

Ulama, ada kecenderungan yang cukup jelas, mereka dalam

membahas bagian tikrār fī al-Qur‟ān, mengklasifikasikan

tikrār menjadi dua garis besar, pertama tikrār al-Lafẓī dan

tikrār al-Ma‟nawī, ini bisa dilihat dari karya ulama yang

121

Marianna Klar, "Text-Critical Approaches to Sura

Structure:Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-

Baqara Part Two,” dalam Journal of Qur‟anic Studies 19.2 (2017),

h. 67. 122

Khālid bin „Uthmān al-Thabt, Qawā‟id al-Tafsīr,,,h. 712.

Page 131: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

120

membahas juga bab tikrār fī al-Qur‟ān. Tetapi jika ditelusuri

kajian yang secara fokus tentang objek ini bergerak

berkembang.

2. Metode Mengkaji Tikrār fī al-Qur’ān Kajian Tikrār sama halnya dengan kajian munāsabah,

pembahasan tikrār tidak termasuk pada tataran tauqifī123

(sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul), melainkan tikrār

termasuk pada tataran ijtihadī, maka dari itu hasil kajian

terhadap tikrār sangat dipengaruhi oleh subjektifitas seorang

mufassir, penghayatan seorang mufassir terhadap kebahasaan

al-Qur‟an, dapat dilihat dari eloborasi para penafsir terhadap

lafaz-lafaz tikrār, walaupun objek naṣ yang dieloborasi sama,

namun menghasilkan pemahaman yang berbeda. lihat

perbedaannya ketika empat penafsir dibawah ini ketika dalam

mengeloborasi surah al-Fātiḥah:

No Penulis Jumlah Sumber Sistematika

1 Al-

Kirmānī

Empat124

Pendapat

pendahulun

ya

1.Menyampaikan

pendapat

pendahulunya

2. Memaparkan

pendapatnya

2 Ibn

Zubayr

Empat

(dalam

Ilmu

kebahasaan

1.Menyampaikan

keselurahan

123

Seperti halnya pada panjang dan pendeknya sebuah

surah dalam al-Qur‟an dan juga keseluruhan urutan ayat merupakan

ketetapan Allah Swt. Ketika sebuah ayat diterima oleh Nabi

Muhammad, dia memerintahkan ayat ini ditaruh pada posisi dan

surah yang telah ditentukan. Lihat: Muḥammad Abū Zahrah,

Mu‟jizah al-Kubrā al-Qur‟ān, (T. Tp.:Dār al-Fikr al-„Arabī, T. Th.),

h. 175. 124

Al-Tāj al-Qurā Maḥmūd bin Hamzah al-Kirmānī , Asrār

al-Tikrār fī al-Qur‟ān, (T.tp: Dār al-Faḍīlah, T. th), 65-66.

Page 132: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

121

bentuk

pertanyaa

n)125

pertanyaan-

pertanyaan terkait

lafaz yang akan

dibahas.

2. memaparkan

jawaban atas

pertanyaan-

pertanyaan yang telah

diajukan sebelumnya

dengan

membaandingkan

lafaz yang sama di

surah yang sama atau

berbeda.

3 Ibn

Jama‟ah

Sembilan

poin yang

dijelaska

n

Pendapat

pendahulun

ya dan

kebahasaan

1.Menyampaikan

pertanyaan terkait

poin yang akan

dijelaskan.

2. setiap satu

pertanyaan diikuti

langsung pemaparan

jawaban.

4 Al-

Sha'rāwī

Satu poin Berbagai

disiplin

ilmu

1. Memaparkan naṣ

terkait lafaz tikrār

yang akan

dipaparkan.

2. Menjabarkan lafaz

Tabel No. 2,6. Rangkuman kajian tikrār/mutashābih al-

Lafẓī

125

Al-Imām Abī Ja‟far Ahmad bin Ibrāhīm bin Zubayr al-

Tsaqafī al-Ghirnāṭī ( 708 H.), Milāk al-Ta‟wī1, (Beirut: Dār al-

Kutub al-„Ilmiyah), 11-21.

Page 133: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

122

Dari hasil rangkuman yang dipaparkan melalu tabel di atas,

dapat diketahui bahwa kajian tikrār termasuk pada klasifikasi

kajian yang bersifat ijtihādī, dan pada tabel di atas

menunjukkan bahwa, para ulama berbeda metode dan sumber

dalam mengkaji pengulangan dalam al-Qur‟an.

Tidak tepat jika diyakini bahwa pembahasan

pengulangan dalam al-Qur‟an tergolong baru dilakukan,

Muḥammad al-Barkah dalam tulisannya menyatakan bahwa

pembahasan pengulangan dalam al-Qur‟an sudah dimulai

sejak zaman Nabi Muḥammad Saw.126

Ini dapat terlihat jelas

dari riwayat yang membicarakan pengulangan dalam al-

Qur‟an:

أخبرنا أبو عبد الله الصفار ، ثنا أبو بكر بن أبي الدنيا ، حدثني عمار بن نصر ، ثنا الوليد بن مسلم ، حدثني عبد الله بن العلاء بن زبر ، ثنا القاسم بن عبد

الرحمن ، عن أبي أمامة رضي الله عنو ، عن النبي صلى الله عليو وسلم ، قال: " من القرآن: في سورة البقرة ، وآل عمران ، لفي ثلاث سور عظمإن اسم الله ال

وطو " فالتمستها فوجدت في سورة البقرة آية الكرسي: } الله لا إلو إلا ىو [ ، وفي سورة آل عمران: } الم الله لا إلو إلا ىو 522الحي القيوم { ]البقرة:

ه للحي القيوم [ ، وفي سورة طو: } وعنت الوجو 5الحي القيوم { ]آل عمران: 127[111{ ]طو:

126

Muḥammad bin Rashīd bin Muhammad al-Barkah, “al-

Mutashābih al-Lafẓī fī al-Qur'ān al-Karīm wa Tawjīh Dirasah

Maudu'iyah”, (Tesis S2 Arab Saudi: Universitas Ibn Saud, 2009), h.

75-87. 127

Abū „Abd Allāh Muḥammad bin „Abd Allāh bin

Muḥammad bin al-Ḥākim al- Naysābūrī, Mustadrāk „Alā al-

Ṣaḥīḥayn liḤākim, (Cairo: Dār al-Ḥaramayn, 1997, Jil. 1), 692.

Page 134: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

123

Dari hadis di atas, dapat diketahui bahwa, sejak dulu,

Nabi Muhammad Saw. pun telah memberikan perhatian

kepada term pengulangan dalam al-Qur‟an, itu dilakukan

salah satunya guna mendapatkan pemaham tentang suatu hal

penting yang diutarakan beberapa kali pada beberapa

surah/ayat Secara garis besar dalam mengkaji tikrār dapat

diklasifikasikan menjadi dua garis besar, yang pertama,

mengkaji redaksi yang mirip/mengalami pengulangan dalam

satu surah128

, yang kedua, mengkaji redaksi yang

mirip/mengalami pengulangan dalam inter surah-surah129

pada disertasinya Nasruddin Baidan memformulakan

prosedur dalam menasirkan lafaz-lafaz yang beredaksi mirip,

ini sama halnya dengan diksi yang diulangi, Untuk lebih

jelasna berikut prosedur dalam menafsirkan ayat yang

beredaksi mirip dalam pandangan Baidan:130

a. Mengidentifikasi dan Menghimpun Ayat-Ayat Yang

Mirip

b. Membandingkan Redaksi yang Mirip

c. Analisa Redaksi yang Mirip

d. Bandingkan Pendapat Para Mufassir

Sudah barang tentu kajian yang dilakukan Nasruddin

Baidan ini menambah khazanah metode dalam menafsirkan

128

Metode ini yang dilakukukan oleh al-Kirmānī dalam

menyusun kitab Asrār al-Tikrār fī al-Qur‟ān. 129

Salah satunya Ibn Zubayr al-Ghirnāṭī yang melakuakn

eloborasi lafaz yang mengalami pengulangan, suatu lafaz tidak

hanya dibandingkan dengan lafaz sepadannya yang berada pada satu

surah, melainkan membandingkan dengan lafaz yang sama yang

berada di surah yang lain (berbeda) 130

. Nashruddin baidan, “Metode Penafsiran Ayat-Ayat

Yang Beredaksi Mirip di Dalam Al-Qur‟an, (Disertasi S3 Fakultas

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatulah Jakarta), h. 213.

Page 135: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

124

ayat-ayat yang beredaksi Mirip, jika dilihat dari kesimpulan

metode atau prosedur dalam mengkaji lafaz yang beredaksi

mirip, maka kesimpulan yang akan didapatkan adalah bukan

hal yang baru, karena bertumpu pada pendapat penafsir yang

terdahulu, perlu ada kajian yang lebih dinamis yang

mempertimbangkan konteks, agar melahirkan kesimpulan

yang baru dan dapat menyentuh dan menjawab persoalan

masa kini. Dalam pandangan penulis, penafsiran terhadap

lafaz-lafaz tikrār sama halnya dengan kajian munāsabah yang

bersifat ijtihadī, yang berarti dapat berkembang.

Page 136: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

125

BAB IV

Kajian Tikrār dalam Tafsīr Al-Sha’rāwī

Sebagaimana disampaikan pada bab I, pertanyaan

mayor yang diajukan untuk dijawab dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut: “bagaimana penafsiran al-Sha‟rāwī

terhadap lafaz-lafaz dalam al-Qur‟an yang mengalami

pengulangan” untuk menjawab rumusan masalah di atas,

penulis menyampaikan dua pertanyaan. Pertama, Bagaimana

pola al-Sha‟rāwī dalam menguraikan penafsirannya terhadap

tikrār. Kedua, Bagaimana hasil penafsiran al-Sha‟rāwī

dibandingkan dengan para pakar yang mengkaji tikrār.

Bab ini juga memaparkan beberapa pembahasan,

mulai dari analisa penulisan terkait metode dan pendekatan

yang digunakan oleh al-Sha‟rāwī dalam mengkaji tikrār.

Yang tidak kalah penting dari bagian utama pada bab ini

adalah tinjaun kritis terhadap ragam kajian tikrār yang al-

Sha‟rāwī sampaikan dalam penafsirannya, dan pada akhir bab

ini penulis menengahkan komparasi kajian tikrār yang

dilakukan oleh dua ilmuwan dalam mengkaji tikrār. Ini

dilakukan bertujuan untuk menganalisa distingsi hasil

eloborasi kajian al-Sha‟rāwī dengan kajian yang telah

dilakukan ilmuwan.

A. Karakteristik Tikrār dalam Tafsīr al-Sha’rāwī

Uraian al-Qur‟an yang diakui dan dipercaya sebagai

kitab suci yang memiliki puncak keindahan bahasa1, itu

bukan berarti tidak ada yang mempertanyakan al-Qur‟an

secara retorikanya, baik itu dikarenakan sukar untuk dipahami

maupun memiliki makna yang bias. Salah satu yang banyak

dipertanyakan dan sukar untuk dipahami adalah aspek

pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an. Maka tidak

1Al-Ṭūfī, Al-Iksīr fī ‘Ilm al-Tafsīr, (Cairo: Maktabah al-

Adāb, 1977), h. 270.

Page 137: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

126

heran jika menganggap pengkajian pengulangan dalam al-

Qur‟an merupakan objek yang harus dikaji.

Banyak yang telah melakukan kajian mengenai

pengulangan dalam al-Qur‟an, bahkan Nabi Muḥammad Saw.

Telah memberikan contoh dengan menguraikan pengulangan

dalam al-Qur‟an,2 tentu ini menjadi indikator bahwa di dalam

aspek pengulangan lafaz dalam al-Qur‟an terdapat kandungan

yang tersimpan, karena jika dibaca secara sekilas, tikrār fī

al-Qur’ān tidak begitu urgen eksistensinya dalam al-Qur‟an.

Susunan al-Qur'an terkesan campur aduk, membuat kelelahan

untuk memahaminya ketika membaca al-Qur'an dengan

sebagai susunan/organisasi kontennya.3

Dalam literatur kajian tikrār yang telah dilakukan

oleh para pakar terdahulu, ada dua garis besar cara

menentukkan sebuah frase/kalimat yang mengalami

pengulangan yang akan dieloborasi oleh para pengkaji, sebut

saja dalam kitab Asrār tikrār fī al-Qur’an karya al-Kirmānī

dengan judul lengkap kitab ini adalah Asrār al-tikrār fī al-

Qur’ān al-Musammā al-Burhān fī tawjīh mutashābih al-

Qur’ān limā fīh min al-Ḥujjah wa al-Bayān, dari segi judul

saja menunjukkan bahwa pada masa itu tikrār termasuk

menjadi pembahasan pada ranah mutāshabih al-Qur’ān. Oleh

karena itu karya ini hadir untuk menjelaskan dan memberikan

sebuah perspektif untuk menjelaskan mutashābih-nya.4 Selain

itu, Karya ini salah satu yang menjadi literatur penting dalam

2Abū „Abd Allāh Muḥammad bin „Abd Allāh bin

Muḥammad bin al-Ḥākim al- Naysābūrī, Mustadrāk ‘Alā al-

Ṣaḥīḥayn liḤākim......h. 692. 3Arthur John Arberry, The Holy Koran: An Introduction

with Selections, Ethical & Religious Classics of the East West, no. 9

(London: George Allen and Unwin, 1953), h. 36. Thomas Carlyle,

Heroes, Hero-Worship and the Heroic in History (London:

Chapman and Hall, 1899), h. 59. 4 Maḥmūd bin Hamzah al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-

Qur’ān ......h. 64.

Page 138: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

127

ranah kajian tikrār. Karena kajian memuat sebuah kajian yang

menginventarisir pengulangan lafaz secara penulisan

berdasarkan persurah.

Dalam kajian tikrār yang dilakukan oleh al-Kirmānī

(W. 505 H.) yang menjadi Kriteria tikrār adalah setiap macam

kata, kalimat dan ayat yang mengalami pengulangan pada

suatu surah. Misalnya, dalam mengkaji pengulangan yang

terdapat pada surah al-Fātiḥah, empat aspek pengulangan

yang menjadi lafaz yang dieloborasi oleh al-Kirmānī, antara

lain حيم حمن الر dan صراط ,إياك ,الر5 karena kajian tikrār itu .عليهم

bersifat ijtihadī, maka interpretasi terhadap objek aspek

pengulangan dapat terus berkembang.

Al-Zarkashī memiliki kajian yang berbeda dengan al-

Kirmānī, dalam karyanya yang berjudul al-Burhān fī ‘Ulūm

al-Qur’an, al-Zarkashī menjadikan kajian tikrār fī al-Qur’ān

berdasarkan tujuan dan maksud dari pengulangan sebuah lafaz

dalam al-Qur‟an, dari hasil kajiannya, al-Zarkashī

berkesimpulan bahwa setidaknya ada tujuh tujuan

pengulangan lafaz dalam al-Qur‟ān, berikut di antaranya

yang pertama, Penguatan (ta’kīd).6 Kedua, peringatan

5Maḥmūd bin Hamzah al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-

Qur’ān ......h.65-66. 6 Menurut al-Zarkashī, yang dia kutip dari pendapat al-

Zamakhshārī, bahwa Pengulangan lebih ablāgh Penegasan (Ta‟kid)

أكيد لنو وقع ف تكرار التأسيس وىو أب لغ من واعلم أن التكرير أب لغ من الت ف التأكيد فإن التأكيد ي قرر إرادة معن الول وعدم التجوز فلهذا قال الزمشري

كل سوف ت علمون{ إن الثانية تأسيس ل ق ولو ت عال: }كل سوف ت علمون ث نشاء تأكيد لنو جعل الثانية أب لغ ف ال

Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa pengulangan

lebih mengena/tersampaikan (ablāgh). Lihat: Al-Zarkashī, al-

Burhān fī al-Qur‟ān, (Baerut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah), h. 9-10.

Page 139: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

128

tambahan.7 Ketiga, Untuk kembali memberikan fokus pada

objek utama.8 Keempat, mengagungkan dan mendramatisir.

Kelima, menyampaikan ancaman. Keenam, keta‟ajuban dan

ketujuh, adanya sejumlah uraian yang berhubungan.9 Tentu

dua kajian terdahulu ini sedikit banyak mempengaruhi dan

memnginspirasi kajian tikrār untuk generasi berikutnya

Ditemukan dalam kajian terdahulu, kajian yang

dilakukan oleh Muḥammad Rajāī Aḥmad al-Jabalī, dia

menulis sebuah disertasi, kajiannya menguraikan,

menganalisa dan pada bagian akhir dia membandingkan

kajian Mutashābih al-Lafẓī dari era klasik sampai era

kontemporer. Dalam disertasinya, salah satu yang dimaksud

dengan Mutashābih10

al-Lafẓī adalah lafaz-lafaz yang

كمل تلق الكلم بالقبول 7 همة ل نف الت نبه على ما ادة الت -lihat: Al .ز

Zarkashī, al-Burhān fī al-Qur‟ān, ...h. 11 8 تناس ال ا لههد إذا طال الكلم وخش ة له وتددد ا تطي ل ععد اان و

lihat: Al-Zarkashī, al-Burhān fī al-Qur‟ān, ...h. 11. 9Al-Zarkashī, al-Burhān fī al-Qur’ān, ...h. 9-14.

10Istilah mutshābih dalam disiplin ilmu al-Qur‟an kerap kali

disandingkan dengan istilah muḥkam, bukan hanya karena secara

definisi dua istilah ini berlawanan, karena al-Qur‟an dalam

menguraikan dua istilah dengan cara menyandingkan dan

membanding dua istilah ini. Lihat: (Āli ‘Imrān [3]: 7). Dalam

pandangan al-Sha‟rāwī definisi dari dua istilah ini adalah sebagai

berikut; pertama, ayat muḥkam adalah adalah ayat yang tidak salah

persepsi dan bias dalam memahaminya; karena , ayat-ayat ini

adalah teks-teks yang tidak ada perbedaan dalam memahaminya di

kalangan manusia, karena konten pada naṣ ini sangat jelas, tidak

memungkinkan perbedaan pendapat dalam memahaminya.

إن الشء المحكم هو الذي لا تسيب إله خلل ولا فساد ف الفهم؛ لنه لن النص فه , محكم، وهذ الآات المحكمة ه النصوص الت لا ختلف فها الناس

واضح وصيح لا حتمل سوا

Sedangkan itilah yang kedua, mutashābih dalam pandangan

al-Sha‟rāwī berarti ayat-ayat yang untuk memahaminya memerlukan

Page 140: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

129

mengalami pengulangan dalam al-Qur‟an,11

pada era klasik

memang kajian pengulangan dimasukkan pada pembahasan

mutashābih al-Qur’ān, tetapi itu tidak berarti para pakar dulu

menyerah begitu saja dan tidak mencoba mengkaji dan

menggali kandungan yang terdapat pada fitur pengulangan

yang terdapat pada al-Qur‟an.

Ibn Zubayr salah satunya yang mengkaji makna dan

kandungan yang terdapat pada fitur pengulangan pada al-

Qur‟an. Ibn Zubayr memulai kajiannya dari surah al-Fātiḥah,

yang menjadi objek kajian tikrār nya adalah lafaz الحمد الله,

dalam membahasnya Ibn Zubayr mempertanyakan terkait

dengan pengulangan lafaz الحمد الله dalam al-Qur‟an, untuk

menguraikan kandungan pengulangan lafaz ini, Ibn Zubayr

mengajukan empat pertanyaan.12

Ibn Zubayr menganalisa

lafaz الحمد الله dengan menyandingkan lafaz tersebut yang

terdapat pada keseluruhan al-Qur‟an. Cara pengumpulan

sebuah lafaz dan menyandingkan pada lafaz yang sama yang

terdapat pada surah yang berbeda. Cara ini juga dilakukan

juga oleh „Abd al-Fattāḥ, tetapi tidak banyak penguraian atas

usaha ekstra, sesungguhnya ayat-ayat mutashābih itu bertujuan

untuk diimani.

المتشابه هو الذي نتهب ف فهم المياد منه، إن المتشابه من الآات قد داء مان بهللإ

Al-Sha‟rāwī memberikan contoh ayat mutashābih adalah

ayat menginformasikan bahwa Allah Swt. berada di Arsy, (Tahā

[02]: 5). Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī ,,,,,, h.

1273. 11

Muḥammad Rajāī Aḥmad al-Jabalī, “Tawjīh al-

Mutashābih al-Lafẓī fī al-Qur'ān al-Karīm bayna al-Qudamā wa al-

Muḥadthīn, Aḥmad al-Gharnāṭī wa Fāḍil al-Sāmiraī: Dirāsah

Muqaranah," (Disertasi S3 Jami'ah Malāyā Akādīmiyah al-Dirāsāt

al-Islamiyyah, 2012), h. 31. 12

Ibn Zubayr (W. 708 H.), Milāk al-Ta'wīl, (Baerut: Dār al-

Kutub al-'Ilmiyyah), h. 11-21.

Page 141: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

130

analisa terhadap nas al-Qur‟an yang mengalami pengulangan,

dia hanya menghimpun bahwa lafaz الحمد الله terdapat pada

permulaan lima surah13

Tidak ditemukan dalam karya al-Sha‟rāwī, dia secara

eksplisit mengkategorikan pengulangan dalam al-Qur‟an

sebagai salah satu pembahasan dalam bab mutashābih al-

Qur’ān, tetapi yang ditemukan pendapat al-Sha‟rāwī terkait

dengan pengulangan al-Qur‟an sebagai berikut:

والنص القرآني إذا ما اتفق مع نص آخر، نقول: إن “ظر الداء الخاص ومقتضيات الحوال تختلف، ومن ين

إل خصوصيات ومقتضيات الحوال يعلم أن ىذا تأسيس وليس تكرارا، فقد تحمل آيتان معن عاما

”.واحدا، ولكن كل آية تدس خصوصية العطاء14

“Sebuah nas al-Qur‟an jika dibandingkan dengan

nas al-Qur‟an yang sama, menurut kami,

penyampaian yang khas dan persyaratan konteks

(yang membuat sebuah nas mempunyai

kandungannya masing-masing), barang siapa yang

bisa melihat (menemukan) kekhususan (cara

penguraiannya) dan persyaratannya aḥwal (mā

ḥawla naṣ), sungguh dia akan mengetahui bahwa

itu merupakan pendirian (punya makna sendiri)

dan itu bukan sebuah pengulangan, sungguh

terkadang dua ayat memiliki satu makna yang

13

(al-Fātiḥah [1]: 2) (al-An'ām [6]: 1), (al-Kahfi [18]:

1)(Sabā' [34]: 1) dan (al-Fāṭir [35]: 1) lihat: 'Abd al-Fattāḥ al-

Rawāwī , Dalīl al-Ḥuffaẓ fī Mutashābih al-Alfāẓ, (Kairo: Maktabah

al-Sunnah Bibawri Sa'īd, 2007), h. 11. 14

M. Mutawllī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī ,,,,,, Vol. 9,

h. 9355.

Page 142: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

131

umum, tetapi setiap ayat memiliki sisi kekhususan

yang telah melekat padanya.”

Dari peryataan al-Sha‟rāwī memang tidak menolak

secara eksplisit bahwa pengulangan merupakan termasuk pada

pembahasan mutashābih al-Qur’ān. Namun dalam

peryantaannya di atas, al-Sha‟rāwī menegaskan bahwa, setiap

lafaz dalam al-Qur‟an yang mengalami pengulangan,

memiliki makna yang umum, tetapi setiap ayat juga memiliki

kekhususan yaitu teks yang di sekitarnya/yang berhubungan

dengannya dan cara penguraiannya yang khushus.

Terkait tema utama dalam kajian ini. dalam Tafsīr al-

Sha’rāwī tidak semua pengulangan lafaz dikaji dan

dieloborasi oleh al-Sha‟rāwī, ang dia eloborasi hanya diksi

yang memiliki makna yang berimplikasi menjelaskan

kemukjizatan al-Qur‟an dan memungkinkan mempunyai

implikasi untuk menguatkan keimanan para penyimaknya,

tentu ini tidak lepas dari tujuan al-Sha‟rāwī sebagai Dai dalam

melakukan penafsiran terhadap al-Qur‟an.

Diksi al-raḥmān al-raḥīm menjadi satu-satunya diksi

pengulangan yang dieloborasi al-Sha‟rāwī ketika menafsirkan

surah al-Fātiḥah. padahal jika merujuk pada kajian al-

Kirmānī, pengulangan lafaz dalam surah al-Fātiḥah terdapat

empat Lafaz, al-raḥmān al-raḥīm, iyyāka, al-Ṣirāṭ ‘alayhim.

Jadi berbeda dengan penafsiran yang menjadi fokus objek

kajian tulisan ini.

Al-Sha‟rāwī menjelaskan bahwa diksi al-raḥmān al-

raḥīm hanya mengalami pengulangan secara lafaz, bukan

pengulangan secara makna, dengan mengeloborasi diksi

pengulangan al-raḥmān al-raḥīm, dia menjabarkan

pemaknaan bagaimana dua diksi ini memiliki perbedaan

makna yang dikarenakan memiliki konteks dan cara

penguraian diksinya yang berbeda. Oleh karena itu

pengulangan lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam basmalah dan

pada ayat ketiga memberikan makna dan fokus utama yang

Page 143: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

132

berbeda, seperti inilah bagaimana pengulangan dalam al-

Qur‟an sebagai cara memformulasikan makna.

Kajian ini tentu tidak mengkaji keseluruhan

penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap aspek pengulangan dalam

tafsirnya, ada beberapa kriteria yang mejadi objek kajian

penelitian ini, kriteria penafsiran tikrār al-Sha‟rāwī yang

dikaji dalam tulisan ini adalah penafsiran tikrār al-Sha‟rāwī

yang menggunakan perbandingan teks al-Qur‟an yang secara

sepintas terkesan pengulangan, tikrār yang dikaji merupakan

representasi dari pengulangan yang terdapat pada Tafsīr Al-

Sha’rāwī dan yang terakhir adalah adanya pernyataan al-

Sha‟rāwī yang mengkomentari lafaz tikrār sebagai bukan

merupakan pengulangan, karena ini berhubungan dengan

pernyataan al-Sha‟rāwī dalam penafsirannya, ketika

menafsirkan surah al-Fātiḥah berikut:

ف القرآن الكريم، وإذا تكرر تكرارنقول أن ليس ىناك “اه ف المرة اللفظ يكون معناه ف كل مرة متلفا عن معن

السابقة، لن المتكلم ىو الله سبحانو وتعال. . ولذلك فهو 15”ح.يضع اللفظ ف مكانو الصحيح، وف معناه الصحي

Dapat disimpulkan dari pernyataan di atas, al-

Sha‟rāwī sangat meyakini bahwa pengulangan hanya ada pada

tataran lafaz, pengulangan tidak masuk/menyentuh pada

tataran makna.

Setidaknya ada dua karakteristik yang menjadi objek

penafsiran pengulangan dalam Tafsīr al-Sha’rāwī, antara lain:

a. Menafsirkan sebuah lafaz/ayat lalu

membandingkan dengan lafaz/ayat lain yang

memiliki persamaan dengan ayat yang sedang

ditafsiri, baik itu dalam satu surah maupun lintas

surah.

15

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,, h. 51.

Page 144: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

133

b. Menafsirkan suatu ayat dan menafsirkannya

dengan mengeloborasi aspek pengulangan yang

temanya berkaitan dengan ayat yang sedang

ditafsiri.16

B. Analisis Kajian Tikrār dalam Tafsīr Al-

Sha’rāwī

Bagian ini adalah bagian inti dari tulisan ini, diuraikan

untuk menguji konsistensi pernyataan al-Sha‟rāwī yang

berpendapat bahwa pengulangan hanya pada lafaz, tidak pada

makna.

Dalam merumuskan pola untuk bagian ini, menempuh

cara inventarisasi lafaz yang mengalami pengulangan dalam

penafsiran al-Sha‟rāwī, ditemukan beberapa lafaz tikrār yang

dieloborasi oleh al-Sha‟rāwī, pada banyak kesempatan al-

Sha‟rāwī menguraikan penafsirannya dengan cara

membandingkan dengan ayat lain yang berbicara tentang

topik yang sama. lebih dari itu, jika dia menafsirkan sebuah

ayat, ayat tersebut dibandingkan dengan ayat yang

sama/memiliki persamaan secara lafaz. Lalu al-Sha‟rāwī

membandingkan lafaz yang memiliki persamaan dan

menguraikan pendapatnya.17

16

Lihat ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan salah satu lafaz

dalam ayat ke tujuh puluh tiga dalam surah al-Naḥl , untuk

menafsirkan lafaz wa lā yastaṭi’ūn, al-Sha‟rāwī menguraikan

penjelasannya dengan mengeloborasi pengulangan pada surah al-

Kāfirūn. Untuk lebih jelasnya diuraikan pada pola tikrār pada satu

surah. 17

Ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan ayat ketiga puluh dari

surah al-Baqarah, dia menguraikan pandangannya bahwa pada ayat

menolak anggapan bahwa adanya pengulangan pada Q.S. al-Qaṣaṣ

[28]:7 dan Q.S. Ṭahā [02]:38-39, menurutnya anggapan yang

memandang adanya pengulangan pada ayat tersebut adalah

pemahaman dangkal, menurutnya pengulangan pada ayat tersebut

hanya secara lafaz, al-Sha‟rāwī menegaskan tidak adanya

Page 145: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

134

Pola pengulangan tikrār, tidak beda jauh dengan pola

kajian munāsabah, sebagaimana halnya dalam macam

munāsabah yang telah diuraikan pada bab II halaman tiga

puluh dua. Di dalam pembahasan tikrār juga ada pengulangan

dalam satu surah, pengulangan dalam satu ayat dan masih

banyak, berikut beberapa kajian pola pengulangan tikrār yang

dieloborasi al-Sha‟rāwī:

a. Pola Tikrār dalam Satu Surah

Mendiskusikan mengenai pengulangan dalam satu

surah, tentu teringat pada surah al-Raḥmān, karena surah ini

adalah surah yang secara jumlah pengulangannya paling

banyak dalam al-Qur‟an, menurut al-Sha‟rāwī pengulangan

yang ada pada surah al-Raḥmān sebagai berikut “

pengulangan lafaz fabi‘ayyi ālā'i rabbikumā tukadhdhibān

selalu diungkapkan setelah menyebutkan nikmat yang Allah

telah anugerahkan dengan bernada teguran (al-tawbih) bagi

siapa pun yang mengingkari nikmat-nikmat yang telah

dianugerahkan dan menganggapnya kedustaan belaka. lafaz

tersebut diulangi bertujuan untuk menguatkan (ta‘kīd)”18

sedangkan menurut Khoridatul Mudhiah, tujuan pengulangan

yang terdapat pada surah al-Raḥmān erat hubungannya

dengan penegasan dan penetapan (ta‘kīd), penegesan

tersebutlah yang menjadi faktor yang mendukung

bersemayamnya pikiran dalam jiwa masyarakat dan tetapnya

dalam hati mereka. Nilai penetapan adalah dengan selalu

mengadakan pelafalan dengan mengulang-ulang secara terus-

menerus. Ketika sesuatu itu diulangi secara terus menerus,

pengulangan (makna) pada ayat tersebut. Lihat: Al-Sha‟rāwī, Tafsīr

al-Sha’rāwī,,,,h. 238. 18

Penjelsasan ini diuraikan al-Sha‟rāwī ketika menafsirkan

Q.S. al-Mu„minūn [23]:83. Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr

al-Sha’rāwī, ,,,, h. 10121.

Page 146: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

135

maka akan menancap dalam benak, dan akan dapat diterima

dengan lapang.19

Dalam mengkaji dan menganalisa sebuah surah dalam

al-Qur‟an, menurut El-Awa yang mengutip pendapat Amīn

Aḥsan Iṣlāḥī (1906-1997 M.) dan Sayyid Quṭb (1966 M.),

bahwa setiap surah dalam al-Qur‟an memiliki sebuah idea

utama (central idea), idea utama merupakan pesan yang

unik/original yang ada pada setiap surah, sedangkan uraian-

uraian di sekitar idea utama pada setiap surah ada untuk

dikembangkan dan dieloborasi detail dan uraiannya. Iṣlāḥī

menggunakan istilah „amūd (pillar) untuk menggambarkan

idea central, sedangkan Quṭb menggunakan istilah miḥwar

(axis),20

cara pembacaan seperti ini adalah sebuah pembacaan

ulang untuk menujukkan makna-makna dari setiap bagian dari

surah, sampai pada kesimpulan yang berupa tema/pesan

sentral dari sebuah surah.

Pembacaan yang dilakukan oleh Iṣlāḥī dan Quṭb

memberikan konsep awal kepada penerusnya/pengkaji al-

Qur‟an setelahnya, bagaimana menggambarkan

organisasi/struktur bagian pada sebuah surah. Konsep awal

inilah yang digunakan oleh para masyarakat akademis,

Angelika Neuwrith,21

Robinson, Zahniser dan Salwa el-Awa,

19

Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan

Redaksi dalam Surah Ar-Rahman,” dalam Hermeunetik, Vol. 8, No.

1, Juni 2014, h. 147-148. 20

Salwa El-Awa, “Linguistic Structure”,,,h. 57. Dalam The

Blackwell Companion to the Qur’ān, ed. Andrew Rippin, (United

Kingdom: Blackwell, 2009), h.57. 21

Neuwrith dalam mengkaji surah al-Ḥijr, dia membagi

menjadi lima bagian (subdivisions), antara lain: 2-15, 16-25, 26-48,

49-84 dan 85-99. Dalam membagi surah al-Ḥijr, Neuwrith

membaginya secara urutan dan konten. Menurutnya komposisi dari

konten surah ini heterogen, artinya banyak tema yang dibicarakan

dalam surah ini dan dia berkesimpulan bahwa pengulangan (secara

lafaz) merupakan sebuah karakter dari struktur pembagian dari al-

Page 147: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

136

yaitu melakukan pembacaan sebuah surah, menganalisa dan

memetakan struktur surahnya berdasarkan beberapa bagian,

dari beberapa bagian tersebut disandingkan, dibandingkan dan

dihubungkan dengan uraian ayat yang memiliki kemiripan

baik secara konten, periode penurunan (Makki dan Madani)

dan kemiripan lafaz yang ada pada surah lain.

1) Pola Tikār dalam Surah al-Fātiḥah

Surah al-Fātiḥah adalah surah yang sematkan

kepadanya banyak nama, banyaknya nama yang disematkan

pada suatu surah menunjukkan bahwa kemuliaan surah

tersebut.22

Menurut Ḥasan al-Baṣrī, Tuhan telah merangkum

ilmu-ilmu dari kitab suci sebelumnya dalam al-Qur‟an.

Kemudian, Dia meringkas kandungan al-Qur‟an di dalam

surah al-Fātiḥah, masih menurut al-Baṣrī, barang siapa

menguasai tafsir dari surah al-Fātiḥah, maka seakan dia telah

menguasai tafsir seluruh kitab yang diwahyukan.23

Dari

pendapat ini, dapat diketahui bahwa surah al-Fātiḥāh

memiliki posisi sangat penting dalam al-Qur‟an. Tetapi, jika

diperhatikan dalam surah ini, terdapat beberapa pengulangan

lafaz, al-raḥmān al-raḥīm, Iyyāka, al-ṣirāṭ dan ‘alayhim.

Dalam pandangan Richard Bell, pengulangan sebuah

uraian/lafaz diperuntukkan untuk beberapa kemungkinan,

pertama, diperuntukkan menggantikan (menaskh) lafaz yang

diulangi sebelumnya dan kedua, untuk menghubungkan

uraian yang telah diuraian sebelumnya. menurutnya aspek

Qur‟an. Lihat: Angelika Neuwrith, “Referentiality and Textuality in

Sūrat al-Ḥijr,,,,,h. 148-152. 22

Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafatiḥ al-Ghayb, (Libanon: Dār

al-Fikr, 1981), h. 179. 23

Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭī al-Shāfi‟ī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-

Qur’ān, (Maktabah Nazār Muṣṭafā al-Bāz, 2008), Vol. 4, h. 1124.

Page 148: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

137

pengulangan sangat patut dipertanyakan.24

Pendapat Bell

bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an bertujuan untuk

menaskh lafaz sebelumnya yang diulangi, sudah banyak

dibantah para ilmuwan, salah satunya oleh Angelika Neuwrith

yang menyatakan bahwa setiap pengulangan memiliki fokus

maknanya masing-masing.25

Menurutnya pengulangan

bukanlah ungkapan al-Qur‟an yang monoton, melainkan

ungkapan pengulangan saling membangun satu sama lain

(build upon each other), karena tiap pengulangan mempunyai

poin fokusnya masing-masing (new focuses of meaning).

Memahami pernyataan al-Sha‟rāwī, bahwa tidak ada

pengulangan dalam al-Qur‟an, jika sebuah lafaz mengalami

pengulangan, maka setiap lafaznya memiliki makna yang

berbeda dari makna yang diulanginya, pernyataan ini dia

utarakan ketika menafsirkan Q.S. al-Fātiḥah [1]:3, tetapi

dalam penafsirannya, al-Sha‟rāwī tidak menjabarkan semua

makna lafaz yang mengalami pengulangan, dari empat lafaz

yang yang mengalami pengulangan dalam surah al-Fātiḥah,

hanya lafaz al-raḥmān al-raḥīm yang dia jabarkan

penjelasannya.

Dalam menafsirkan lafaz Iyyāka, al-Sha‟rāwī tidak

menjabarkan makna setiap kata iyyāka dan distingsinya,

namun dia menafsirkan panjang lebar apa yang dimaksud

dengan lafaz iyyāka na’bud dan iyyāka nasta’īn,26

menurutnya

lafaz ini menujukkan bahwa beribadah dan menyembah

secara khusus hanya kepada Allah tidak kepada selainnya.

Sedangkan menurut al-Kirmānī bahwa pengulangan lafaz

iyyāka memiliki faedah untuk tidak adanya homonim dari

24

Marianna Klar, “Text-Critical Approaches to Sura

Structure: Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-

Baqara. Part Two,”,,,h.71. 25

Angelika Neuwrith, “Referentiality and Textuality in

Sūrat al-Ḥijr,,,,,h. 159-160. 26

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,h. 78-83.

Page 149: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

138

lafaz ay yang berhubungan dua kata kerja (na’bud dan

nasta’īn).27

Al-Sha‟rāwī pun tidak menjabarkan pengulangan

lafaz ṣirāṭ pada surah ini, dia hanya menjabarkan makna kata

ṣirāṭ adalah jalan yang dilewati menuju tujuan,28

dia tidak

membedakan makna lafaz ṣirāṭ pada ayat ke enam dan ke

tujuh, ini sependapat dengan kaidah yang mengemukakan

bahwa jika lafaz kata benda yang berstatus ma’rifah diulangi,

maka lafaz tersebut sama dengan lafaz yang diulangi.29

Penjelasan mengenai pendapat ini, telah diuraikan pada bab

terdahulu.

Pada pola tikrār dalam satu surah, yang menjadi

sempel kajian tikrār yang dilakukan oleh al-Sha‟rāwī adalah

lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam ayat yang pertama dalam

surah al-Fātiḥah dan lafaz al-raḥmān al-raḥīm pada surah

yang sama. Pola ini seperti yang telah dijadikan objek kajian

oleh al-Kirmānī30

namun pola tikrār oleh al-Kirmānī

mengindahkan pengulangan secara lafaz, jadi semua lafaz

yang muncul dalam satu surah, maka pengulangan tersebut

dijadikan objek pembahasan. Inilah letak perbedaan yang

terdapat pada kajian pengulangan al-Sha‟rāwī dan al-Kirmānī,

cara menentukan objek pengulangan yang dieloborasi, selain

itu perbedaan ada pada sumber yang dijadikan penjelasan

terhadap lafaz yang mengalami pengulangan.

Al-Sha‟rāwī awal mula menyampaikan pendapatnya

terkait lafaz yang mengalami pengulangan ketika menafsirkan

surah al-Fātiḥah, berikut pernyataan al-Sha‟rāwī tentang

tikrār :

27

Al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-Qur’ān,,,, h. 66. 28

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,h. 86. 29

Khālid bin „Uthmān al-Sabt, Qawā’id al-Tafsīr,

(T.tp.:Dār bin „Affān, T.th.), Vol. 2, h. 711-713. 30

Al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-Qur’ān,,,, h. 65.

Page 150: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

139

الكتاب، الرحيم، وف فاتحة من ف بسم الله الرحتكررت ان ىناك ثلثة أسماء لله قد “

ف القرآن الكريم، وإذا تكرر اللفظ تكراراك والرحيم. نقول أن ليس ىنوىذه السماء ىي: الله. والرحمن وتعال. . انو سبحالمتكلم ىو الله ن ه ف كل مرة متلفا عن معناه ف المرة السابقة، ليكون معنا

31ح.معناه الصحيولذلك فهو يضع اللفظ ف مكانو الصحيح، وف “Terdapat tiga nama Allah yang mengalami

pengulangan dalam bismillah, tiga namaNya

antara lain: Allāh, al-Raḥmān dan al-Raḥīm

menurut al-Sha‟rāwī pencantuman tiga nama

Allah dalam surah al-Fātiḥah bukan merupakan

pengulangan karena jika sebuah lafaz diulangi,

maka lafaz makna tersebut di setiap

pengulangannya memiliki makna yang berbeda

dengan lafaz yang sama pada konteks yang

berbeda, karena sang mutakalim dalam al-

Qur‟an adalah Allah Swt. Allah pasti menaruh

dan memposisikan sebuah lafaz pada konteks

yang tepat dan dalam posisi kata tersebut

memiliki makna yang tepat.”

Pernyataan al-Sha‟rāwī ini yang menjadi asumsi dasar

yang menjadi basis kajian al-Sha‟rāwī yang mempercayai

bahwa tidak ada pengulangan secara makna, yang ada hanya

pengulangan secara lafaz. Al-Sha‟rāwī dalam pendapatnya di

atas menegaskan bahwa makna yang hakiki hanya ada pada

Allah Swt. jadi dapat disimpulkan bahwa dia mempercayai

bahwa penafsiran yang telah diupayakan para penafsir dalam

menggali kandungan dalam al-Qur‟an bukan merupakan

kebenaranan yang absolut. Dalam pendapatnya ini, al-

Sha‟rāwī terlihat berpegang pada pandangan bahwa makna

yang absolut pada naṣ al-Qur’ān ada pada Allah Swt.32

31

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,, h. 9 1. 32

Terkait dengan pendapat bahwa makna al-Qur‟an yang

absolut hanya ada pada Allah itu diperkuat oleh kajian oleh Khaled

Page 151: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

140

Adapun penafsiran yang dilakukan para pakar terhadap al-

Qur‟an merupakan usaha untuk memahami dan mengeluarkan

kandungan dari al-Qur‟an dan hasilnya bersifat relatif.

Kajian terhadap al-Qur‟an yang satu. tidak jarang

menghadirkan kesimpulan yang berbeda, tidak semua sepakat

dengan pendapat al-Sha‟rāwī di atas, seperti pendapat yang

meyakini bahwa adanya pengulangan yang tidak memberikan

manfaat, pengkaji al-Qur‟an yang berpendapat seperti itu

salah satunya adalah al-Ṣirṣirī (W. 716 H./ 1216 M.). Dalam

karyanya, al-Ṣirṣirī menyampaikan pendapatnya bahwa

pengulangan dalam al-Qur‟an secara garis besar dapat

dikelompokkan menjadi dua, yang pertama, pengulangan

makna dan lafaz bersamaan dan yang kedua, pengulangan

makna tanpa dengan pengulangan lafaz. Selain itu, dia juga

berpendapat bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an beberapa di

antaranya tidak memiliki manfaat (ghayr mufīd),33

pendapat

ini tentu bersebrangan dengan pendapat al-Sha‟rāwī.

Al-Sha‟rāwī dalam menguraikan lafaz al-raḥmān al-

raḥīm yang mengalami pengulangan dalam surah al-Fātiḥah,

menjadikan lafaz ini sebagai tikrār

بسم اللو الرحمن الرحيم “Dengan nama Allah yang maha pengasih, maha

penyayang.” (Q.S. al-Fātiḥah [1]: 1).

Abo Fadel, kajiannya melahirkan term otoritarianisme, kajian

Khaled Fadel ini mengkritik golongan yang memiliki anggapan

bahwa pemahamannya terhadap al-Qur‟an merupakan pemahaman

yang final dan tunggal. Lihat: Rendra Khaldun, "Sebuah Upaya

untuk Menemukan Makna Kehendak Tuhan dalam Teks Agama,"

dalam Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012, 118. Lihat juga:

Khaled Abou el Fadhl, Atas Nama Tuhan, Dari Fiqh Otoriter ke

Fikih Otoritatif, (Jakarta: Serambi, 2004), h. 98. 33

Sulayman bin „Abd al-Qawī bin „Abd al-Karīm al-Ṣirṣirī

al-Baghdādī (W. 716 H./ 1216 M.), Al-Iksīr fī ‘Ilm al-Tafsīr, (Kairo:

Maktabah al-Adāb, T. Th.), h. 269-270.

Page 152: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

141

Dalam pandangan al-Sha‟rāwī, basmallāh dimaknai

dengan pertolongan dari Allah yang maha kuasa untuk setiap

hambanya dalam melakukan segala sesuatu, pertolonganNya

bagi siapa pun, dan kapanpun selalu terbuka baik itu bagi

seorang muslim yang taat maupun seseorang yang terjerumus

melakukan maksiat.34

Penafsiran ini sama dengan apa yang

diutarakan Muḥammad „Alī al-Ṣābūnī, bahwa pembacaan

basmallāh dalam setiap melakukan segala hal merupakan

bentuk permintaan pertolongan kepada Allah, pertolongan itu

bagi setiap makhlukNya35

Artinya, dua penafsir ini sepakat

bahwa basmallāh merupakan perwujudan bahwa pertolongan

Allah selalu terbuka untuk setiap makhlukNya. Itulah

pemaknaan lafaz al-raḥmān al-raḥīm yang terdapat pada ayat

pertama dari surah al-Fātiḥah, ayat pertama ini juga

mempunyai konteks yang mengelilinginya, baik itu hadis

yang memberikan informasi tambahan mengenai basmallāh,

maupun letak ayat ini pada surah pertama yang ada pada al-

Qur‟an.

Sedangkan menurut hasil penafsiran Andalusī (W.

754 H./1353 M.) dan Ṭabarsī (W. 548 H./1154 M.).36

bahwasanya lafaz al-raḥmān al-raḥīm bertujuan untuk

menguatkan (ta‘kīd) lafaz yang sebelumnya37

Kedua konteks di atas, menurut al-Sha‟rāwī memiliki

implikasi pada pemaknaan lafaz al-raḥmān al-raḥīm, ini juga

34

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī ,,,,, h. 52. 35

Muḥammad „Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwah al-Tafāsir,

(Baeirut:Dar al-Qur'an al-Karim,1981 M./1402 H.),h. 23. 36

Abū Ḥayyān Muḥammad ibn Yūsuf al -Ghirnāṭī al-

Andalusī, al-Baḥr al-muḥīṭ fi al-tafsīr (Bayrūt: Dār al-Fikr, 2005),

vol. 1, h. 35. Dan lihat juga: Abū Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-

Ṭabarsī, Majma῾ al-bayān fi tafsīr al-Qur‘ān, (Qum: Maktabat Āyat

Allāh al-Uẓmā al-Mar‟ashī al-Najafī, 1333 H.), vol. 1, h. 23. 37

Nevin Reda El-Tahry, "Textual Integrity and Coherence

in the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-

Baqara,,,h., h. 123-124.

Page 153: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

142

yang menyebabkan perbedaan pemaknaan dengan lafaz al-

raḥmān al-raḥīm yang ada pada ayat ketiga, karena ayat

ketiga ini secara lafaz mengulangi sebagian lafaz pada ayat

pertama, namun ayat ini mempunyai konteks sendiri, yaitu

menurut al-Sha‟rāwī pemaknaan ayat ini sangat diperngaruhi

oleh konteks yang mengikatnya, yaitu dengan lafaz ini

berhubungan dengan lafaz rab al-‘Ālamīn.

Pemaknaan seperti di atas, sependapat dan selaras

dengan pernyataan teori naẓm al-Jurjānī, yang menyatakan

bahwa, sebuah lafaz tidak dapat dimaknai dengan secara baik

tanpa memahami konteks lafaz tersebut, karena konteks suatu

lafaz sangat mempengaruhi pemaknaan sebuah lafaz.38

Karena

menurut al-Jurjānī sebuah lafaz saling keterkaitannya antara

unsur-unsur yang membangun kalimat. dalam menguraikan

penafsirannya, dapat diketahui al-Sha‟rāwī menyuguhkan

penafsiran menghimpun dan mengola informasi yang

berhubungan dengan teks tersebut.

الرحمن الرحيم “Yang maha pengasih, maha penyayang.” (Q.S. al-

Fātiḥah [1]:3)

Menurut al-Sha‟rāwī, lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam basmallāh atau ayat pertama memiliki makna yang

berbeda dengan makna dari lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam

surah al-Fātiḥah pada ayat ketiga, lafaz ini pada basamllāh,

mengingatkan kita bahwa pertolongan Allah berupa rahmat

(kasih sayang) dan ampunan Allah Swt. sehingga, jika

seorang hamba terjerumus/khilaf melakukan maksiat,

menurutnya tidak usah malu dan takut untuk memohon

pertolongan dengan mengucapkan basmallāh, sungguh Allah

menginginkan hambanya agar senantiasa memohon

38

„Abd al-Qāhir al-Jurjānī, Kitāb Dala'il al-I'jāz, (Cairo:

Maktabah al-Khanji, 2004), h. 55- 56.

Page 154: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

143

pertolongan dengan namanya di setiap aktivitasnya 39

jika

seseorang jatuh pada jurang kemaksiatan, maka dia bertanya

bagaimana kalau saya memohon pertolongan dengan

basmallāh, sedangkan saya telah melakukan maksiat?

menurutya perkara ini termasuk pada bab rahmat, maka Allah

akan senantiasa mengampuni dan membantu.40

Dalam perspektif Psikologi41

jika seseorang mengaku

membutuhkan pertolongan dan bantuan itu merupakan

sebuah kekuatan, bukan kelemahan. Saat seseorang meminta

tolong, itu berarti dia mengakui kelemahan dia dan menyadari

apa yang harus diperbaiki dari diri dia. Dan mengakui

kelemahan dan berjuang memperbaikinya merupakan

kekuatan, bukan kelemahan. Selain itu meminita tolong dapat

mengurangi rasa malu seseorang di kemudian hari.

Pada penafsirannya di atas, al-Sha‟rāwī

menginformasikan bahwa pertolongan dan ampunan selalu

terbuka kapan pun dan bagi siapa pun, baik seorang hamba

yang taat maupun yang telah melanggar ajaran Islam. Namun

makna dalam lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam ayat berbeda

dengan penafsiran di atas. Al-Sha'rawi dalam menafsirkan lafaz al-raḥmān al-

raḥīm dalam ayat ketiga dari surah al-Fātiḥah,

39

ي بال ل يبدأ فيو )ببسم الله الرحمن الرحيم( فهو أبتر أو أجذم أو أمر ذ ل ك أقطع

“Setiap aktivitas penting yang tidak dimulai dengan

bismillah (dalam riwayat lain : dengan mengingat Allah)

maka amalan tersebut terputus (kurang)

keberkahannya.”(H. R. Abū Dawud: Bab al-Adāb: 4840

dan Ibn Majjaḥ: Bab Nik āḥ 1894) 40

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 52. 41

Leslie Sokol, “Don't Be Afraid to Ask for Help Giving

and getting help benefits everyone,” artikel diakses pada 21 Maret

2019 dari https://www.psychologytoday.com/intl/blog/think-

confident-be confident/200909/dont-be-afraid-ask-help.

Page 155: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

144

menghubungkan lafaz tersebut dengan kata rabb al-‘ālamīn,

lafaz ini sangat berhubungan dengan al-raḥmān al-raḥīm,

menurutnya rabb al-‘ālamīn itu dzat yang mengadakan

semuanya, yang sebelumnya tidak ada, Allah merupakan rabb

bagi orang yang beriman maupun orang kafir (tidak beriman),

oleh karenanya, Allah pula yang memberikan mereka (orang

beriman dan kafir) nikmat dan kasih sayangnya, itu semua

bukan karena mereka yang meminta haknya. Al-Sha‟rāwī

memberikan contoh nikmat dan kasih sayangnya, yang dapat

dirasakan dan dinikmati oleh semuanya, seperti nikmat sinar

matahari itu dirasakan bagi orang yang beriman maupun yang

tidak, jadi setiap nikmat yang itu berasal dari sisi rubūbiyyah

Allah itu diperuntukkan bagi setiap ciptaannya di dunia, dan

itu merupakan rahmat yang Allah berikan. Dan Allah

merupakan Rabb bagi semuanya, baik itu untuk hamba yang

taat maupun hamba yang melakukan maksiat, dan itu juga

perujudan kasih sayangnya, jadi dapat dipahami, lafaz al-

raḥmān al-raḥīm pada ayat ke tiga merupakan kasih sayang

Allah kepada makhluknya,42

ini bisa dipahami dengan

memahami term tawḥīd rubūbiyyah

Arti kata rabb memiliki beberapa makna, bisa

dimakna tuhan, mendidik dan mengatur,43

kata ini yang

merupakan kata dasar dari kata rūbubiyyah, term rubūbiyyah

dipahami terkait tiga kategori tawḥīd, dalam pandangan Aḥl

al-Sunnah Tauhid dikategorikan menjadi tiga, tawḥīd

rubūbiyyah, tawḥīd ulūwhiyyah dan tawḥīd al-asmā wa al-

ṣiffāt, dalam tulisan ini tidak diulas tiga kateogi tauhid ini,

tetapi dalam definis tawḥīd rubūbiyyah adalah Allah

mencipta, memberi rezeki, memiliki, menguasai, mengatur,

memperbaiki, dan mendidik bagi semesta alam, maka Dia

sajalah yang khusus dengan ketuhanan tanpa yang lain. Wajib

42

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 95. 43

Atābik „Alī dan Aḥmad Zuhdī Muḥḍar, Al-‘Aṣrī: ‘Arabī-

Indūnīsī, (Krapyak: Multi Karya Grafika, 1998), h. 952.

Page 156: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

145

mengesakan-Nya dalam ketuhanan, dan tidak menerima

adanya sekutu bagi-Nya.44

Dari sini dapat dipahami bahwa

tawḥīd rubūbiyyah sifat ketuhanan yaitu menciptakan,

memberi rezeki, menguasai dan mengatur.45

Dari sinilah al-

Sha‟rāwī menopang argumennya dalam menguraikan

penafsiran lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam ayat ketiga dari

surah al-Fātīhah. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemakanaan

lafaz al-raḥmān al-raḥīm yang diuraikan pada penafsirannya

mempunyai fokus maknanya masing-masing. Pengulangan

lafaz bukan hanya pengulangan saja, melainkan pengulangan

tersebut mempunyai urain kandungannya masing-masing

yang jika dihimpun akan membangun makna yang saling

memperkaya satu sama lain46

, karena tiap lafaznya memiliki

konteksnya masing-masing.

Misalnya jika seorang pengkaji ingin mendapatkan

pemaknaan lafaz al-raḥmān al-raḥīm yang terkandung dalam

surah al-Fātiḥah, maka dengan cara menghimpun dua ayat

yang mengandung lafaz tersebut, lalu menguraikan maknanya

dengan memperhatikan konteks dari pengulangan lafaz

tersebut. Berikut penafsiran lafaz al-rāḥmān al-raḥīm dari

surah al-Fatiḥah menggunakan uraian penjelasan dari al-

Sha‟rāwī:

44

Mustaffa bin Abdullah dan Ahmad Zaki bin Ibrahim,

“Tawhid Uluhiyyah, Rububiyyah Dan Al-Asma‟ Wa Al-Sifat

Menurut Tafsiran Muhammad Rasyid Rida Dalam Tafsir Al-Manar"

dalam Jurnal Usuluddin, 20/07/2011, h. 50. 45

Jamiah Hariyati, "Nilai-Nilai Pendidikan pada Kisah

Qabil dan Habil (Q.S. Mā‟idah [5]: 27-32)," dalam Edu Riligia: Vol.

2 No.1, Januari - Maret 2018, h. 43. 46

Angelika Neuwrith, “Referentiality and Textuality in

Sūrat al-Ḥijr,,,,,h. 158-159.

Page 157: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

146

Keterangan/Penafsira lafaz Tikrār Fokus Utama

Alur 4.1 Memformulasi Makna dalam Kajian Tikrār

1. Hadis Nabi Tentang

hendaknya memulai segala

sesuatu dengan Bismillah

2. Makna/Pemahaman Al-

Sha‟rāwī: itu merupakan

bentuk pertolongan dari

Allah Swt.

3. Mengingatkan pada kita

bahwa kasih sayang dan

ampunannya selalu terbuka,

sehingga kita tak perlu

ببسم الله الرحمن الرحيم

mengingatkan bahwa

rahmat dan ampunan

Allah Swt. Selalu ada untuk siapapun, sehingga

jangan pernah malu dan

takut untuk memohon

pertolongan/ampunanNya

, sekalipun sudah

terjerumus dalam kemaksiatan,karena

rahmat dan ampunanNya

selalu terbuka

1. Lafaz الرحمن الحيم Berdampingan

dengan Lafaz رب العالمين yang

bermakna tuhan semesta alam;

2. Sebagai Tuhan semesta alam

Allah memberikan nikmat

kepada setiap makhluknya, baik

itu yang beriman kepadanya

maupun yang tidak beriman

(contoh: nikmat terbitnya

matahari dan air hujan)

3. Lafaz الرحمن الحيم dalam ayat

ketiga dari surah al-Fātiḥah

bermakna Rahmat Allah dalam

sifat Rububiyah bagi

makhlukNya, itu berlaku bagi

setiap makhluknya.

Berhubungan dengan

konteks رب العالمين

menandakan bahwa

Allah Swt. Pun

memberikan

rahmatNYA berupa

nikmat (contoh: sinar

matahari dan hujan)

kepada setiap

makhluknya, baik itu

kepada yang beriman

dan maupun yang

tidak berimanNya

(Perwujudan

Rububiyah Allah)

Kesimpulan makna

Kesimpulan dari kajian lafaz tikrār الرحمن

-oleh al-Sha‟rāwī dalam surah al الحيم

Fātiḥah Rahmat dan ampunanNya Allah

selalu terbuka bagi siapapun, baik itu yang

taat maupun yang sedang terjerumus

kepada kemaksiatan. Selain itu kasih

sayang Allah juga meliputi orang yang

tidak beriman lebih lagi untuk yang

beriman, karena itu merupakan manifestasi

rubūbiyah Allah Swt.

Page 158: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

147

Alur di atas adalah alur bagaimana memformulasikan

makna dari penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap tikrār,

kesimpulan ini sependapat dengan pendapat al-Jurjānī dan

Neuwrith. Penafsiran di atas menunjukkan benar mengamini

pendapat al-Jurjānī, suatu lafaz tidak dapat dimaknai secara

komprehensif, tanpa memahami konteks dari lafaz tersebut,

dalam penafsiran al-Sha‟rāwī pada lafaz al-raḥmān al-raḥīm,

al-Sha‟rāwī memandang bahwa lafaz tersebut sangat

berhubungan dengan keterangan hadis yang menganjurkan

melakukan segala sesuatu dengan membaca basmallāh, dan

lafaz al-raḥmān al-raḥīm pada ayat ketiga sangat

berhubungan dengan lafaz sebelumnya, yaitu lafaz rabb al-

‘ālamīn, dan al-Sha‟rāwī menyatakan bahwa pemaknaan lafaz

al-raḥmān al-raḥīm sangat dipengaruhi dengan teks

sebelumnya. Dia memaknai bahwa kasih sayang Allah itu

melingkupi semua makhluknya, baik yang mengimaninya

maupun yang mengkufurkannya, dia menjelaskan bahwa

pendapat ini dapat dicerna dengan memahami rubūbiyyah

Allah. Selain kesimpulan di atas, dapat diketahui dalam

pengurain di atas bahwa pernyataan al-Sha‟rāwī yang

mengatakan bahwa tidak ada pengulangan dalam al-Qur‟an,

melainkan setiap lafaz yang mengalami repetisi memiliki

makna yang berbeda pada tiap pengulangannya.47

Pernyataan

ini tidak berarti setiap pengulangan lafaz ditafsirkan al-

Sha‟rāwī diuraikan dan dibandingkan distingsi dari makna

pengulangan ada lafaz tersebut, itu dapat diketahui ketika al-

Sha‟rāwī menafsirkan surah al-Fātiḥah, dia hanya

menguraikan pengulangan lafaz al-raḥmān al-raḥīm yang

diuraikan perbedaan makna dari pengulangan lafaz tersebut,

tidak menguraikan tiga pengulangan lainnya.

47

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,,h. 51-52.

Page 159: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

148

2) Surah al-Kāfirūn Surah al-Kāfirūn termasuk surah makiyyah, surah ini

terdiri dari enam ayat, uraiannya berisikan kandungan tentang

Tauhid dan melepaskan diri dari perbuatan menyekutukan

Allah Swt.48

dari enam ayat, dua ayat dalam surah ini secara

lafaznya sama, yaitu ayat ke lima sama dengan ayat ketiga

secara lafaz, dengan bahasa lain, salah satu ayat dari surah ini

adalah pengulangan. Dalam pandangan Richard Bell,

Pengulangan kata-kata atau frasa yang sama dalam ayat-ayat

yang berdekatan, dimaksudkan untuk menggantikan ayat yang

lain (nāsikh)49

. Kesimpulan Bell yang dikutip oleh Marianna

Klar dalam artikelnya ini, jika diterapkan untuk membaca

surah al-Kāfirūn, maka ayat ke lima menggantikan ayat

ketiga. Berbeda dengan pendapat al-Sha‟rāwī, menurutnya

pengulangan lafaz pada surah al-Kāfirūn bukanlah merupakan

pengulangan.

Pada kajian sebelumnya yang dilakukan oleh para

akademisi Eropa, yang mempersalahkan susunan al-Qur'an

dan uraiannya terputus-putus. pandangan Thomas Carlyle (W.

1881 M.)50

terhadap Al-Qur'an yang sudah mashur, berikut

pernyataannya mengenai uraian al-Qur'an:

48

M. „Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwah al-Tafāsir, (Beirut: Dār al-

Qur‟ān, 1981) Vol. 3, h. 613. 49

Marianna Klar, "Text-Critical Approaches to Sura

Structure: Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-

Baqara. Part Two,,,, h. 68. 50

Carlyle memang dikenal tidak menaruh simpatik pada

Islam dan Nabi Muḥammad, dia membuat evaluasi ini sangat parah.

pandangannya ini bukan satu-satunya penilaian dia utarakan. Lihat:

Reynold Alleyne Nicholson, Literary History of the Arabs, (London:

Cambridge U.P., 1969), h. 161. dan lihat juga: Nevin Reda El-

Tahry, “Textual Integrity and Coherence in the Qur‟an: Repetition

and Narrative Structure in Surat al-Baqara”, (Disertasi S3 University

of Toronto, 2010), h. 40-41.

Page 160: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

149

“Saya harus mengatakan, sulit sekali

membaca al-Qur'an. Melelahkan, campur

aduk dan membuat bingung, uraiannya tak

berujung, bertele-tele, dan tidak berdasar,

kebodohan yang tidak dapat dukung,

singkatnya!”51

Pandangan ini memang sudah dibantah oleh hasil

kajian yang dilakukan oleh para akademisi pada generasi

berikutnya, salah satunya yang dilakukan oleh Carl W. Ernst,

dia melakukan kajian secara mendalam tentang susunan dan

cara memahami al-Quran, hasil kajiannya dia tuangkan pada

karyanya yang berjudul “How to read the Qur’an: a new

guide, with select translations”.52

Pembahasan pengulangan dalam surah al-Kāfirūn,

secara kasat mata, setidaknya ada beberapa ungkapan

pengulangan yang secara lafaz, antara lain: pengulangan ayat

ke tiga dan kelima (wa lā antum ‘ābidūna mā a’bud). Dan

lafaz a’budu yang terdapat pada ayat ke dua dan ketiga.

Dengan data ini, al-Sha‟rāwī berpendapat bahwa pada surah

ini tidak terdapat pengulangan, tentu pengulangan yang

dimaksud adalah pengulangan53

makna/tujuan dan filosofis.

51

Thomas Carlyle, Heroes, Hero-Worship and the Heroic

in History, (London: Chapman and Hall, 1899), h. 59. 52

ketika membaca surah 'Ali Imran, dia menguraikan bahwa ini

sangat berkaitan dengan surah kedua, dia menggambarkan topik apa

saja yang dibahas dalam surah ini, dan menyampaikan identitas dari

surah tersebut, dari segi madinah atau makiyyah. selain itu dalam

membaca sebuah surah dia mengutip neuwrith, bahwa surat ini

"does not seem to be a unity, but consists instead of diverse layers

belonging different periods of origin" dalam pandangan Neuwrith

surah ini dibagi mejadi beberapa bagian utama. Lihat: Carl W.

Ernst, How to read the Qur’an: a new guide, with select

translations, h. 169-170.

53

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,,h. 8087.

Page 161: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

150

Pada uraiannya, al-Sha‟rāwī membantah anggapan

yang memahami bahwa ungkapan dalam surah al-Kāfirūn di

dalamnya terdapat pengulangan dan unsur kontradiksi dengan

kebahasaan al-Qur‟an, menurutnya tidak ada pengulangan

dalam surah ini.54

Pernyataan ini tidak bisa diterima dengan

mudah jika melihat lafaz surah al-Kāfirūn secara tekstual,

karena dalam surah ini jelas-jelas di dalamnya terdapat

banyak pengulangan.

Penjelasan yang disampaikan al-Sha‟rāwī terkait

pembantahan adanya pengulangan dalam surah al-Kāfirūn

ini diuraikan untuk membantu menafsirkan ayat ke tujuh

puluh tiga dari surah al-Naḥl, lebih spesifiknya untuk

menguraikan lafaz wa lā tastati’ūn55

menurutnya

ketidakbolehan untuk menyembah kepada selain Allah Swt.

itu berlaku untuk sekarang, dan seterusnya/hari esok. Bahwa

menurutnya hukum haram menyembah kepada selain Allah

hukumnya bersifat absolut (Ḥukm Qāti’ lā isti’naf lah fīmā

ba’d) berlaku untuk selamanya, dan tidak ada negosiasi (yang

bernada untuk mengajak menyembah kepada selain Allah)

yang bisa dilakukan pada masa yang akan datang/hari esok56

Untuk menguatkan pendapat ini al-Sha‟rāwī menggunakan

uraian ayat-ayat pada surah al-Kāfirūn, cara ini, yaitu

54

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 8087.

55 ماوات والرض وي عبدون من دون اللو ما ل يلك لم رزقا من الس شيئا ول يستطيعون

“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang

sama sekali tidak dapat memberikan rezeki kepada

mereka, dari langit dan bumi. Dan tidak akan sanggup

(berbuat apa pun)”. (Q.S. al-Naḥl [16]:73 ). 56

Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-

Sha’rāwī,,,,,h. 8087.

Page 162: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

151

menafsirkan ayat/lafaz dengan menggunakan ayat lain

sebagai sumber penjelasannya dikenal dengan tafsīr bi ayat.57

Menurut al-Sha‟rāwī, dalam mengkaji dan

memahami surah al-Kāfirūn, banyak orang yang berbeda

pendapat, walaupun al-Sha‟rāwī tidak menyebutkan siapa

saja yang berbeda pendapat dan pada aspek apa perbedaan

para pengkaji al-Qur‟an dalam memahami surah ini.

Perbedaan pendapat dalam memahami surah ini menurut

Quraish Shihab, karena sebagian mufasir (tidak spesifik

menyebut nama mufasir juga) berpendapat bahwa,

kandungan ayat ke empat pada surah al-Kāfirūn ini tidak

berbeda kandungannya dengan ayat kedua, demikian juga

halnya dengan kandungan ayat ke lima tidak terdapat

perbedaan dari sisi lafaz dengan ayat ketiga.58

Tentu

pemahaman seperti ini bertolak belakang dengan pendapat al-

Sha‟rāwī yang menolak adanya pengulangan kandungan

dalam al-Qur‟an. Lebih dari itu. Pengulangan lafaz yang

secara susunan kata-kata atau frasanya sama, terjadi pada

ayat yang berdekatan (adjoining) itu bisa disebut dengan

terjadinya pengulangan kandungan (duplicate material)

secara mirip (similiarly), atau adanya sedikit sebuah

perbedaan pada subjek pada ayat-ayat berdekatan tersebut,

tetapi masih didominasi unsur pengulangan, menurut Richard

Bell59

, yang seperti itu merupakan sebuah hal yang pasti

57

Abd Ḥālim Maḥmūd, Manāhij al-Mufassirīn, (Kairo: Dār

al-Kitab al-Miṣr, 2000 M), h. 8. 58

Muhammad Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbāh, (Ciputat:

Lentera Hati, 2017), Vol. 15, h. 682. 59

Richard Bell adalah seorang orientalis yang hidup pada

akhir abad ke-19 dan awal ke-20 M.. dia pakar di bidang Lingusitik

ketimuran, terutama dalam bahasa Arab “Arabic Language”, dan

meniti karir menjadi Dosen pada Universitas Edinburgh London.

Bell mengawali karirnya sebagai ilmuwan dalam ranah kajian al-

Qur‟an lewat publikasi bahan-bahan kuliahnya di Universitas

Edinburgh, "The Origins of Islam in its Crhistian Environment"

Page 163: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

152

bahwa salah satu ayat itu dimaksudkan untuk menggantikan

ayat yang lain (nāsikh).60

Shihab tidak sepakat dengan pendapat yang

menyatakan bahwa adanya duplikasi kandungan ayat yang

terdapat pada surah al-Kāfirūn, sama halnya dengan al-

Sha‟rāwī yang berpendapat bahwa dalam surah al-Kāfirūn

tidak terdapat pengulangan, namun dua penafsir ini memiliki

perbedaan pendekatan dan cara dalam memahami lafaz yang

di dalamnya terdapat lafaz yang mengalami repitisi.

Cara Shihab dalam menguraikan penjelasannya

terkait surah ini, dia menganalisa bentuk kata yang terdapat

pada masing-masing ayat, pertama, menganalisa ayat ke

empat dan ke dua. pada ayat ke empat menggunakan kata

‘abadtum (bentuk kata kerja masa lampau/fi’il māḍi).

Sedangkan pada ayat kedua menggunakan diksi ta’budūn

(bentuk kata kerja yang menunjukan makna masa pada masa

(1926). Diantara orientalis sezamannya, dia cukup disegani karena

kecermatannya dalam melanjutkan kajian-kajiannya. Lihat: W.

Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Quran, (Edinburgh:

Edinburgh University Press, 1991), h. 179-180. 60

Nāsikh adalah salah satu pembahasan dalam rumpun

kajian ‘Ulūm al-Qur’ān, yang berarti menggantikan ayat atau

mengangkat keberlakuan sebuah hukum yang terdapat pada ayat.

Terkait diskursus nāsikh adanya perbedaan pendapat di antara para

pakar mengenai adanya nāsikh dan mansūkh dalam al-Qur‟an.

Misalnya Quraish Shihab, dalam sebuah pertemuan di kelas Pusat

Studi al-Qur‟an, dia menyampaikan bahwa dia tidak sependapat

dengan adanya nāsikh dan mansūkh dalam al-Qur‟an, yang ada

hanyalah mauquf, karena menurutnya boleh jadi ayat yang dipahami

pada saat ini tidak relevan dengan konteks pada saat ini, bisa jadi,

akan relevan pada konteks lain atau di masa depan. Disampaikan

salah satu pertemuan Pendidikan Kader Mufasir angakatan XIII

yang diselenggarakan Oleh PSQ (pusat Studi al-Qur‟an) September

2017- Februari 2018.

Page 164: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

153

kini dan masa yang akan datang).61

Yang dimaksud pada dua

ayat ini adalah untuk menegaskan bahwa Nabi Muḥammad

Saw. Tidak mungkin akan menyembah atau pun taat kepada

sembahan-sembahan mereka (al-Kāfirūn), baik yang mereka

sembah pada hari ini (ketika surah ini turun), hari esok

maupun yang pernah mereka sembah pada masa lalu.62

Artinya Muḥammad akan konsisten dalam menyembah dan

mentaati Allah Swt. dan menutup ruang adanya bias. Susunan

yang penulis uraikan ini sama seperti pada sumber yang

dikutip, menjelaskan ayat ke empat terlebih dahulu lalu

dilanjutkan dengan menjelaskan ayat kedua.

Sedangkan perbedaan pada ayat ketiga dan kelima

yang secara lafaz dan penulisan percis sama. Perbedaan yang

terdapat pada dua ayat ini menurut Shihab terletak pada lafaz

mā. Lafaz mā pada ayat ketiga merupakan mā mawṣūlah.63

Sehingga makna yang terkandung dalam lafaz tersebut

menurut Shihab, mā pada ayat ketiga berarti “apa yang” jadi, sedangkan lafaz mā pada ayat ketiga merupakan mā

maṣdariyah.64

Sedangkan mā pada ayat ke lima (juga ke

61

Ayat kedua dan ke empat bermaksud untuk menegaskan

bahwa Nabi Muḥammad Saw. Tidak mungkin akan menyembah

atau pun taat kepada sembahan mereka, baik yang mereka sembah

hari ini, hari esok dan yang pernah mereka sembah pada hari

kemarin. 62

Shihab, memberikan penafsiran seperti ini berlandaskan

hadis yang dia uraikan dalam tafsirnya, hadis yang berbicara

mengenai sejarah bahwa, kaum musyrikin dulu sering kali

mengubah sembahan-sembahan mereka, pada suatu waktu mereka

menyembah batu dan pada waktu yang lain mereka menyembah

pada sebuah bukit. Lihat: Muhammad Quraish Shihab, Tafsīr al-

Misbāh,,,,,, h. 682. 63

Ibn Mālik al-Andalusī, Naẓm al-Khalaṣah al-Fiyyah Ibn

Mālik; fī al-Naḥw wa al-Ṣarf, (Pekalongan: Maktabah wa Matba‟ah

Rājāmūrāh, T. th), h. 11. 64

Ibn Mālik al-Andalusī, Naẓm al-Khalaṣah al-Fiyyah Ibn

Mālik,,,h. 29.

Page 165: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

154

empat) berarti bermakna “tentang cara” beribadah sehingga

pada ayat ke lima dan ke empat adalah berbicara tentang

cara. Dari sini, terlihat sangat jelas, Shihab sangat

memberikan perhatian terhadap unsur kaidah-kaidah

kebahasaan.

Al-Sha‟rāwī berbeda dalam menjelaskan uraiannya

terkait pengulangan dalam surah ini al-Kāfirūn, dia tidak

terpaku dengan kaedah kebahasaan yang terdapat pada surah

tersebut, tetapi itu tidak membuat dia memberikan

pemahaman yang menyalahi kebahasaan dari naṣ pada surah

ini. Al-Sha‟rāwī menitik beratkan pada argumen yang

dibangun dengan logika yang mudah dipahami oleh

audiennya, bahwa surah ini turun untuk menegaskan bahwa

tidak ada kemungkinan dibolehkannya melakukan negosiasi

yang mengajak untuk menyembah kepada selain Allah, baik

pada saat surah ini turun (al-Ḥāḍir), masa yang akan datang

(al-Mustaqbal) dan sampai hari kiamat (ila yawm al-

qiyāmah).65

Karena ini ditopang adanya sabāb al-nuzūl

tentang surah ini.

Al-Sha‟rāwī memberikan perhatian pada bagaimana

logika yang dibangun untuk menguraikan al-Qur‟an, untuk

dituangkan menjadi penjelasan yang dapat dipahami secara

mudah dipahami oleh para audiensinya66

. Maka dari itu

pengulangan yang terdapat pada surah al-Kāfirūn menurut al-

Sha‟rāwī itu memiliki fokus masing masing, pertama al-

Sha‟rāwī mendesign bahwa secara sederhana dapat

dikelompokkan ayat kedua dan ketiga dan ayat ketiga dan ke

empat. Kedua ayat memiliki fokus utama untuk menegaskan

bahwa tidak ada negosiasi untuk waktu sekarang (waktu pada

saat surah ini turun/al-Ḥādir).

65

Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-

Sha’rāwī,,,,,h. 8088. 66

Badruzzaman M. Yunus, “Tafsīr al-Sya‟rāwī; tinjauan

Terhadap Sumber, metode dan Ittijāh,” (Ciputat: Disertasi S3

Sekolah Pascasajana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 222.

Page 166: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

155

Ayat ke empat dan ke lima mempunyai fokus utama

untuk menegaskan bahwa tidak ada pengulangan, bahwa dua

ayat ini menegaskan menutup kemungkinan adanya negosiasi

di masa mendatang yang mana mengajak untuk menyembah

kepada selain Allah, jadi negosisasi yang dilakukan oleh para

pembesar Kafir Quraisy itu selesai sampai dihari itu dan

berlaku untuk sampai kapan pun. al-Ḥādir (pada saat ini/pada

saat surah al-Kāfirūn turun), al-Mustaqbal (pada hari

esok/masa depan) dan ila Yawm Qiyāmah (hingga hari

kiamat).

Uraian al-Sha‟rāwī yang berusaha menegaskan

bahwa tidak ada pengulangan dalam surah al-Kāfirūn dapat

dipahami dalam bentuk Alur seperti berikut:

Q.S. Al-Kāfirūn

[]: 2-3.67

tidak ada negosiasi untuk

menyembah kepada selain Allah

untuk waktu sekarang (waktu

pada saat surah ini turun/al-

Ḥādir).

Q.S. Al-Kāfirūn

[]: 4-5.68

Manegaskan dan menguatkan

bahwa negosiasi ditidak

mungkin dilakukan untuk waktu

yang akan datang sampai hari

kiamat.

67 ( ول أن تم عابدون ما أعبد 2ل أعبد ما ت عبدون )

“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu

sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang

aku sembah.”(Q.S. al-Kafirūn [109]: 2-3) 68 ( ول أن تم عابدون ما أعبد 4ول أنا عابد ما عبدت )

“dan aku tidak pernah menjadi penyembah

apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak

pernah (pula) menjadi penyembah apa yang

aku sembah.” (Q.S. al-Kafirūn [109]: 4-5)

Page 167: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

156

Tabel No. 2,5 Formulasi Meniadakan Negosiasi Berbuat

Syirik

Dengan uraian pada tabel di atas, al-Sha‟rāwī

menegaskan tidak ada pengulangan dalam surah ini, karena

setiapnya memiliki fokus utama masing-masing. Ayat ke tiga

dan kelima yang secara lafaznya sama menurut al-Sha‟rāwī

memiliki fokus utama yang yang berbeda, maka dapat

disimpulkan tidak ada satu ayat yang mengganti (replace)69

ayat yang lainnya dalam surah ini. Seperti kesimpulan

Richard Bell yang dikutip oleh Marianna Klar. Selain itu

kesimpulan dari hasil analisa kajian pengulangan yang

dilakukan oleh al-Sha‟rāwī itu menguatkan kesimpulan

Roslan Abdul-Rahim, yang dalam Disertasinya dia

berkesimpulan bahwa pengulangan bukanlah yang

menyebabkan suatu lafaz di-naskh.70

Sedangkan dalam pengkategorian pengulangan

berdasarkan fenomena yang dikaji oleh el-Awa, pengulangan

ayat ke tiga dan ke lima dalam surah al-Kāfirūn termasuk

pada ketgori pengulangan exact delayed, pengkategoriannya

telah diuraikan pada bab II, menurut el-Awa, pengulangan ini

syarat akan bahasa yang padat, dengan bermuatan hubungan

semantik.71

69

Marianna Klar, "Text-Critical Approaches to Sura

Structure: Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-

Baqara. Part Two," dalam Journal of Qur’anic Studies 19.2 (2017),

h. 68. 70

Roslan Abdul-Rahim, “Naskh Al-Qur‟an: A Theological

And Juridical Reconsideration Of The Theory Of Abrogation And

Its Impact On Qur‟anic Exegesis, (Disertasi S3 the Temple

University Graduate Board, 2011), h. 137-138. 71

Salwa El-Awa, "Repetition in the Qur'ān: A Relevance

Based Explanation of the Phenomenon",,,, h. 579-580.

Page 168: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

157

Menurut al-Ṣābūnī, dari segi ilmu balāghah72

, uraian

ayat-ayat pada surah al-Kāfirūn memiliki keindahan bahasa,

ada empat analisa yang dituangkannya dalam menganalisa

surah ini dari segi ilmu balāghah, dua hasil analisanya antara

lain:73

1) Keserasian penutupan atau akhir ayat, pada ayat

pertama dan kedua

2) Disandingkannya dua kelompok ayat. Yang

pertama, ayat kedua dan ketiga. Dan yang kedua,

ayat keempat dan kelima. Susunan uraian ini

sangat indah (al-maḥasināt al-badī’īyyah), dan dia

berkesimpulan bahwa kelompok yang kedua

untuk masa sekarang (al-Ḥāl) dan yang kedua

untuk masa yang akan datang (al-Istiqbal).

Hasil analisa al-Ṣābūnī terhadap uraian surah al-

Kāfirūn dari segi keindahan bahasa (ilmu balāghah).

Kesimpulan kedua yang diuraikan di atas, sependapat dengan

kesimpulan al-Sha‟rāwī, kedua pakar pengkaji al-Qur‟an ini

membahas tentang uraian surah al-Kāfirūn dengan

pendekatan dan metode yang berbeda, tetapi dari kesimpulan-

kesimpulan yang dihasilkan, ada persamaan.

Penjelasan al-Sha‟rāwī di atas tentu tidak hadir tanpa

didukung oleh pengetahuan atau informasi lain, jika

ditelusuri, surah al-Kāfirūn mempunyai latar belakang

keterangan informasi bahwa surah ini diturunkan

72

Ṣafwah al-Tafāsir adalah kitab tafsir karya Muḥammad

„Alī al-Ṣābūnī, seorang dosen di King „Abd al-„Azīz University.

Yang menjadi perhatian ketika membaca kitab tafsir ini, pembaca

akan disuguhkan dengan penulisan tafsir yang kaya akan ilmu dan

sistematis penulisannya sangat baik, layaknya model penulisan

modern, penulisannya dibagi setiap pembahasannya, misalnya, ada

bagian munāsabah, asbāb nuzūl, balāghah, ḥikmah dan masih

banyak lagi. 73

Muḥammad „Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwah al-Tafāsir,,,, Vol. 3,

h. 614.

Page 169: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

158

dilatarbelakangi oleh negosiasi yang dilakukan oleh kaum

Quraisy:

“Ya Muḥammad, ikutilah agama kami, nanti

kami ikuti agamamu. Kamu sembah tuhan

kami setahun dan kami sembah tuhanmu

setahun juga.”74

Lalu turun surah al-Kāfirūn.

Menurut Mahmud Yunus, dia menyampaikan

kritikan kepada penafsiran yang diuraikan dalam Tafsīr

Jalālayn, karena menurut Yunus, dalam penafsirannya al-

Shuyūṭī/al-Maḥālī hanya mengungkapkan bahwa Nabi

Muḥammad Saw. Tidak menyembah dewa/berhala yang

disembah oleh orang-orang kafir pada saat itu (ketika surah

al-Kāfirūn turun) dan pada masa yang akan datang. Menurut

Yunus, penafsiran seperti ini, yang tidak menjelaskan dan

menegaskan bahwa Nabi Muḥammad Saw. Tidak pernah

menyembah sembahan mereka (orang-orang kafir) pada masa

lalu. Masih menurut Yunus, karena jika tidak disampaikan

bahwa Nabi sejak kecil maupun sebelum diangkat menjadi

Nabi tidak pernah melakukan penyembahan kepada berhala,

maka ada peluang dapat dipahami ketika Nabi kecil pernah

menyembaah kepada tuhan meraka.

Yunus menyampaikan pemahamannya terkait surah

al-Kāfirūn, menurutnya, pada ayat kedua menyampaikan

untuk keterangan pada masa depan, karena menggunakan

diksi ‘abudu yang berarti liistiqbāl (masa yang akan datang).

Sedangkan penjelasan bahwa Nabi tidak pernah menyembah

berhala sebelumnya, itu menurut Yunus diuraikan pada ayat

ke empat. Saya bukanlah penyembah apa yang kamu dulu

sembah.75

Penafsiran Yunus jernih dalam menguraikan

makna pada surah ini, namun tidak ditemukan dalam

74

Abī al-Ḥasan „Alī bin Aḥmad al-Wāḥidī (W. 468 H.),

Asbāb Nuzūl al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991),

h. 554. 75

Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, (Ciputat: Mahmud

Yunus wa Dzuriyyah, 2011), h. 921.

Page 170: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

159

penafsirannya, Yunus mengulas dan menjabarkan

pengulangan yang terdapat pada surah al-Kāfirūn.

Dapat disimpulkan bahwa, al-Sha‟rāwī dalam

menguraikan penjelasannya terkait pengulangan dalam surah

al-Kāfirūn menggunakan informasi asbāb nuzūl dengan

fleksibel dan tidak terpaku pada kaedah-kaedah kebahasan

yang terkandung pada surah ini, adapun kritikan yang

disampaikan Yunus, yang ditujukkan pada penafsiran surah

ini pada Tafsīr Jalālalyn dapat mengena untuk mengeritik

penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap pengulangan pada surah ini,

tetapi yang perlu diingat bahwa, pengeloborasian

pengulangan pada surah ini dalam rangka membantu untuk

menafsirkan ayat ke tujuh puluh tiga surah al-Naḥl, lebih

spesifiknya untuk menjelaskan lafaz wa lā yastati’ūn pada

ayat tersebut, lafaz ini menggunakan kata kerja muḍāri’

(present) yang berarti masa sekarang (al-Hāḍir) dan masa

yang akan datang (al-Mustaqbal).

b. Pola Tikrār dalam Satu Ayat

Banyak pembaca al-Qur‟an yang tidak memiliki

keahlian atau pengetahuan tentang bahasa Arab, meluncurkan

pertanyaan, karena mereka tidak dapat memahami hubungan

struktur kebahasaan al-Qur‟an76

, ada dua kelompok pembaca

struktur kebahasaan al-Qur‟an, selain kelompok pembaca

yang dipaparkan di atas, kelompok lain, yang memiliki

pengetahuan tentang bahasa Arab, namun tidak bisa

menyuguhkan penjelasan mengenai struktur kebahasaan al-

Qur‟an, karena mereka tidak mempunyai keresahan tentang

kebahasaan al-Qur‟an, tetapi mereka lebih memilih untuk

mengimani uraian al-Qur‟an tanpa ingin mengulasnya lebih

dalam.

76

Salwa M. S. El-Awa, “Linguistic Structure,” dalam The

Blackwell Companion to The Qur’ān, ed. Andrew Rippin,

(Singapore: Blackwell, 2009), h. 53.

Page 171: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

160

Salah satu yang menjadi objek yang sukar dipahami

dan diterima dari uraian al-Qur‟an adalah adanya pengulangan

lafaz dalam jumlah yang banyak dalam al-Qur‟an, baik itu

pengulangan yang terdapat dalam satu surah maupun

pengulangan yang terdapat dalam satu ayat.

Tidak sedikit Pengulangan lafaz dalam satu ayat

dapat ditemukan dalam uraian al-Qur‟an, menurut pendapat

al-Jurjānī yang dikutip oleh Nur Ichwan, kata tidak memiliki

mkana pada dirinya (kata) melainkan, suatu kata hanya bisa

dimaknai dengan dihubungkan dengan konteks kata/lafaz

tersebut.77

Artinya adanya dua lafaz yang sama yang terdapat

pada satu ayat, namun memiliki makna yang berbeda.

Pada bab II, telah diuraikan pembahasan yang

mengkaji tentang adanya kesamaan lafaz namun memiliki

makna yang beragam, pembahasan ini diistilahkan dengan

Ishtirāk al-lafẓī, ilmu mengulas bahwa persamaan lafaz yang

terdapat pada al-Qur‟an memiliki ragam makna, Al-Itbā’

menurutnya setidaknya memiliki lima ragam makna78

, antara

lain: al-Ṣuḥbah (Q.S. Al-Kahfi [18]: 66.) al-Ikhtiyār (Q.S.Āli

‘Imrān [3]:7 ), al-Ṣalāh (Q.S. al-Baqarah [2]: 145), al-

Istiqāmah (Q.S. al-Naḥl [16]: 123), al-Ṭā’ah (Q.S. al-Nisā’

[4]:83). Ragam makna dari satu akar kata yaitu al-Itbā‟

dengan ragam derivasi dan konteks, melahirkan ragam makna,

makna-makna inilah yang dimaksudkan, bahwa makna lahir

bukan pada diri kata (dirinya), melainkan, makna dapat

dilahirkan dari makna dan dipengaruhi oleh konteks kata

tersebut.

Lebih dari uraian di atas, yang dari satu akar kata

memiliki makna yang beragam dari derivasi kata yang

77

Moch. Nur Ichwan, Meretas Keilmuwanan Kritis al-

Qur’an; Teori Hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Teraju,

2003), h. 87. 78

Muḥammad Nūr al-Dīn al-Munjid (W. 1216 M.), al-

Ishtirāk al-Lafẓi fī al-Qur’ān al-Karīm: bayna al-Naẓariyyah wa al-

Taṭbīq, (Beirut: Dār al-Fikr, 1999), h. 112-113.

Page 172: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

161

berbeda pada konteks ayat berbeda pula. bahwa ditemukan

ada pengulangan lafaz yang terdapat pada satu ayat, dengan

bahasa lain, dalam satu ayat ada pengulangan lafaz. Salah satu

yang memiliki pengulangan sebagai berikut:

وإن كانوا من ق بل أن ي ن زل عليهم من ق بلو لمبلسي “Padahal walaupun sebelum hujan

diturunkan kepada mereka, mereka benar-

benar telah berputus asa” (QS. Al-Rūm

[30]: 49).

Tidak semua para pengkaji al-Qur‟an bersepakat

bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an mempunyai maknanya

masing-masing, salah satunya adalah Sulayman bin „Abd al-

Qāwī (1216 H.), dia berpendapat bahwa ada pengulangan

dalam al-Qur‟an yang tidak memiliki manfaat (ghayr mufīd).79

Sebelum menguraikan pendapat ini, dia menguraikan tipologi

pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an, menurutnya

secara garis besar ada pengulangan dalam al-Qur‟an dibagi

menjadi dua, pertama, pengulangan lafaz disertai dengan

pengulangan makna. Kedua, pengulangan makna tanpa

disertai dengan pengulangan lafaz. Dua tipologi pegulangan

ini menurutnya ada yang memiliki manfaat maupun ada yang

tidak memiliki manfaat.

Pendapat Sulayman bin „Abd al-Qāwī, yang

menyatakan bahwa terdapat pengulangan dalam al-Qur‟an

yang tidak memiliki manafaat. Tentu pendapat ini bertolak

belakang dengan pendapat dengan yang diutarakan oleh al-

Sha‟rāwī. Menurut Sulayman bin „Abd al-Qāwī tentang

pengulangan ayat di atas (QS. Al-Rūm [30: 49]). Dia

mengelompokkan pada yang memiliki makna dan tujuan

yang satu. Artinya pengulangan lafaz min qabl pada ayat di

79

Sulayman bin „Abd al-Qawī bin „Abd al-Karīm al-Ṣirṣirī

al-Baghdādī, al-Iksīr fī ‘Ilm al-Tafsīr, (Kairo: Maktabah al-Adāb, T.

Th.), h. 269.

Page 173: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

162

atas memiliki tujuan yang satu, tiap pengulangan tersebut

tidak memiliki makna, melainkan dua lafaz itu hanya satu

tujuannya (ma’nā wāḥīd ligharḍ wāḥid)80

. Pengulangan

pada ayat ini tidak memiliki manfaat, melain hanya sedikit,

melainkan hanya qorinah. Berbeda dengan penafsiran al-

Sha‟rāwī terhadap pengulangan yang terdapat pada ayat di

atas.

Menurut al-Sha‟rāwī pengulangan lafaz min qabl

pada ayat di atas memiliki makna dan manfaat masing-

masing, itu berdasarkan dan berangkat dari uraian ayat

sebelumnya Q.S. al-Rūm [30]:48 yang menjelsakan tentang

proses turunnya hujan yang diawali dengan dtiupkan angin.

Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Sha‟rāwī mengawalinya

dengan menjelaskan lafaz al-mublisīn pada ayat di atas,

makna dari lafaz ini adalah keputus asaan terhadap harapan

turunnya hujan, jika turun hujan setelah mereka berputus asa,

maka kegembiraan meraka berlipat-lipat. Masih menurut al-

Sha‟rāwī, para ulama membutuhkan waktu untuk memahami

ayat di atas, karena adanya pengulangan lafaz min qabl. Ini

menandakan pengulangan memang cukup menguras tenaga

dan fikiran untuk memahaminya.

Membutuhkan perenungan untuk mendapatkan

makna dari pengulangan lafaz min qabl pada ayat ini,

menurut al-Sha‟rāwī pengulangan lafaz ini, adalah sebelum

menurunkan hujan kepada mereka, bahkan sebelum proses

menurunkan mereka sudah berputus asa, berarti menurutnya

ada dua kali keputus asaan.

Harus dipahami, bahwa ada proses sebelum proses

menurunkan hujan, proses ini adalah tiupan/transmisi angin

yang menandakan adanya potensi turun hujan (irsāl lilriyāḥ

al-llatī tubshir al-maṭar), setelah proses ini, lalu dilanjutkan

dengan proses turun hujan (inzāl al-maṭar), jadi sebelum

80

Sulayman bin „Abd al-Qawī bin „Abd al-Karīm al-Ṣirṣirī

al-Baghdādī, al-Iksīr fī ‘Ilm al-Tafsīr,,,, h. 273.

Page 174: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

163

turunnya hujan, terlebih dahulu ada proses yang menandai

potensi adanya hujan, yaitu tiupan angin (irsāl), jadi menurut

al-Sha‟rāwī sebelum pada proses yang menandai berpotensi

turun hujan, mereka sudah berputus asa, dan setelah adanya

proses irsāl lilriyāḥ mereka berkata “mungkin tidak hujan”.

Dapat disimpulkan dari pemaparan di atas, adanya

maksud pada tiap pengulangan lafaz min qabl pada ayat di

atas, jadi sebelum proses turun hujan (qabl inzāl) dan

sebelum proses yang menandai potensi turunnya hujan yaitu

dihembuskannya angin (qabl irsāl). Dua uraian ini dapat

menghasilkan hasil analisa bahwa dua lafaz min qabl pada

ayat di atas, sebelum proses inzāl al-maṭar dan sebelum pada

proses inzāl mereka sudah berputus asa.81

Dari uraian penjelasan pengulangan lafaz min qabl

pada ayat Q.S. al-Rūm [30]: 49. Bahwa al-Sha‟rāwī dalam

memberikan pemahaman melakukan pembacaan kolaboratif,

pembacaan kolaboratif yang dimaksud adalah memadukan

pembacaan ayat/teks al-Qur‟an dengan pembacaan terhadap

fenomena alam atau dalam kajian ‘ulūm al-Qur’ān dikenal

dengan istillah Ayat kawnniyyah.82

81

Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-

Sha’rāwī,,,,,,h. 11511. 82

Setidaknya dua ayat ini yang menjadi basis kajian

fenomena yang terjadi pada alam dalam al-Qur‟an atau atau dikenal

dengan ayat kawniyyah:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan

bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat

tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-

orang yang berakal ”(Q.S. Āli „Imrān [3]: 190)

“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi

dan apa yang ada di antara keduanya dengan

sia-sia. Itu anggapan orang kafir , maka

celakalah orang-orang yang kafir itu karena

mereka akan masuk neraka ”(Q.S. Ṣād [38]:

27)

Page 175: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

164

Pembacaan fenomena alam dilakukan dengan cara

memerhatikan peristiwa yang terjadi pada alam, dalam ayat

di atas berbicara terkait tema turunnya hujan,fenomenai

merupakan fenomena alam yang cukup sering, terlebih lagi

pada dearah tropis pada musim hujan, seperti Indonesia. Tapi

secara umum, dalam kondisi normal beberapa saat sebelum

turunnya hujan, diawali terlebih dahulu oleh peristiwa yang

menandai potensi turun hujan, yaitu hembusan angin,

hembusan angin dengan kriteria tertentu menjadi tanda akan

terjadi/turunnya hujan.83

Artinya penjelasan al-Sha‟rāwī,

Pada era kontemporer, pengkajian al-Qur'an tentang ayat-

ayat kawniyyah, salah satunya dilakukan oleh Zaghlūl al-Najjār,

seorang Muslim yang mempunyai kepakaran di bidang Geologi,

pada tahun 1963 dia telah menyelasaikan studi PhD nya di bidang

kajian Kaji Bumi dan Geologi di Universitas Wales dan

memperoleh gelar guru besar pada tahun 1972 dari Universitas

Kuwait. melalu karyanya yang berjudul Tafsīr al-Āyah al-

Kawniyyah fī al-Qur’ān al-Karīm. karya ini berisikan penafsiran

enam puluh enam ayat yang berbicara tentang fenomena alam,

kajian tematik ini diperkaya dengan bukti-bukti saintifik lihat:

Selamat Bin Amir, dkk., “Aplikasi Elemen Saintifik Dalam Tafsir

Al-Qur‟an: Satu Pengamatan Awal Terhadap Manhaj Zaghlul Al-

Najjar Dalam Tafsir Al-Ayah Al-Kawniyyah Fi Al-Quran Al-

Karim” dalam Proceedings: The 2nd Annual International Qur’anic

Conference 2012, (Centre of Quranic Research (CQR)) h. 132-134. 83

untuk konteks pergantian musim di Indonesia

mengakibatkan jumlah butiran curah hujan juga dipengaruhi oleh

angin monsun, Dampak adanya angin monsun di Indonesia adalah

adanya angin baratan dan angin timuran. Angin baratan bertiup pada

bulan Oktober Maret, yang bertepatan saat terjadi monsoon dingin

di asia. Angin ini membawa massa udara dingin dan lembab,

sehingga menimbulkan hujan di berbagai lokasi yang terkena

pengaruhnya.. Lihat: Lili Kartika, dkk., “Analisis Hubungan Zonal

dan Angin Meridional Lapisan 850 Milibar Terhadap Curah Hujan

Di Sumatera Barat, ” dalam Pillar of Physics, Vol. 8. Oktober 2016,

h. 49-50.

Page 176: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

165

yang menyatakan bahwa sebelum proses turunnya hujan,

sebelum proses itu terlebih dahulu terjadinya proses

hembusan angin, fenomena alam ini yang menjadi salah satu

tanda potensi terjadi turunnya hujan.kesimpulan ini

membantah anggapan jika uraian al-Sha‟rāwī tidak berdasar,

melainkan hanya retorika belaka. Anggapan tersebut

terbantah dengan temuan analisa sains yang sependapat

dengan uraian al-Sha‟rāwī terkait penafsirannya terhadap

lafaz yang mengalami repitisi.

Kesimpulan al-Sha‟rāwī berarti menghubungkan dua

lafaz yang mengalami pengulangan pada ayat Q.S. al-Rūm

[30]: 49. Dengan sesuatu penjelasan yang bersumber dari

selain teks al-Qur‟an, tetapi teks yang terdapat pada alam,

yaitu ayat kawniyyah. Jadi sederhananya, jika digambarkan

dalam bentuk alur penafsiran pengulangan lafaz min qabl,

seperti berikut:

No Penafsiran Lafaz Tikrār

من قبل إرسال للرياح 1

من قبل إنزال المطر 2

Tabel No. 4.3 Alur Penafsiran Pengulangan

Lafaz

Tabel di atas, memberikan gambaran bahwa al-

Sha‟rāwī memposisikan masing-masing lafaz min qabl

dengan konteksnya masing, yang berarti tiap pengulangan

lafaz min qabl mempunyai implikasinya masing-masing,

dengan pemetaan yang dipaparkan lewat tabel di atas,

pengualngan yang tadinya sukar untuk dipahami atau

berpotensi bias karenan adanya unsur mutashābih menjadi

jelas, gamblang untuk dipahami dan dengan pemaparan

penafsiran di atas, secara struktur unsur kebahasan menjadi

terbangun struktur uraian yang rinci. Selain itu, dari

uraiannya ini, al-Sha‟rāwī secara tidak langsung

mengungkapkan lewat eloborasi terhadap lafaz tikrār pada

ayat di atas, bagaimana al-Qur‟an memformulasikan makna

yang dimaksud-Nya, yaitu mereka telah berpustus asa

Page 177: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

166

sebelum ada tanda yang menggambarkan ada potensi turun

hujan.

Cara yang ditempuh dan sumber yang dijadikan

materi oleh al-Sha‟rāwī dalam menguraikan penafsiran ayat

di atas, secara langsung membenarkan dan menegaskan

bahwa informasi dan ilmu pengetahuan yang mengelili al-

Qur‟an (mā ḥawl al-Qur’ān) harus diikutsertakan untuk

menjadi pendekatan dalam menafsirkan al-Qur‟an, seperti

apa yang telah dinyatakan oleh Amīn al-Khūlī yang penulis

telah kutip pada bab terdahulu, yang berpendapat bahwa

dalam memahami dan menafsirkan al-Qur‟an, seyogyanya

seorang penafsir memerhatikan mā fī al-Qur’ān dan mā ḥawl

al-Qur’ān. Yang dimaksud dengan mā fī al-Qur’ān adalah

apa yang terdapat pada teks al-Qur‟an itu sendiri, baik dari

pengulangan lafaz (tikrār), kebahasaan, lafaz khas dan masih

banyak lagi, adapun yang dimaksud dengan mā ḥawl al-

Qur’ān adalah informasi atau ilmu pengetahuan yang

berhubungan dengan al-Qur‟an baik itu dari ‘ulūm al-Qur’ān

maupun non-‘ulūm al-Qur’ān.

Penguraian bahwa adanya inzāl dan irsāl yang

berhubungan dengan lafaz yang mengalami pengulangan

(min qabl), dari pemaparan al-Sha‟rāwī di atas, maka

pertanyaan yang muncul, apakah inzāl dan irsāl termasuk

dari pembahasan (ḥadhf)84

, ḥadhf adalah salah satu

pembahasan dalam kajian ‘ulūm al-Qur’ān yang membahas

tentang penanggalan sebagian atau keseluruhan klausa

(kalam) karena adanya suatu dalil (petunjuk/indikasi). Istilah

84

Gagasan utama dari pengertian ḥadhf dalam diskursus

‘ulūm al-Qur’ān meliputi tiga hal pokok yaitu: menanggalkan

sebagian klausa/kalam, meninggalkan untuk tidak menyebutkan dan

ketiadaan penyebutan. Lihat: Muhammad Iskandar Zulkarnain, al-

Ḥadhf Dalam Penafsiran Al-Qur‟an (Telaah Kritis atas Konsepsi al-

HHadhf dalam Pemaknaan Ayat), (Tesis S2 Pasca Ilmuwan Institut

Agama Islam Negeri Surakarta, 2017), h.33.

Page 178: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

167

ḥadhf sering juga diistilahkan dengan Elipsis. 85

Banyak

kriteria dan ragam kajian ḥadf yang telah dirumuskan oleh

para pengkaji al-Qur‟an, berikut ragam ḥadf dalam al-

Qur‟an:86

1. Ḥadhf al-huruf (Elipsis huruf)

2. Ḥadhf al-kalimah (Elipsis kata)

3. Ḥadhf al-jumlah (Elipsis ayat)

4. Ḥadhf al-tarkib (Elipsis rangkaian ayat)

Ayat di atas (Q.S. al-Rūm [30]: 49), termasuk pada

pembahasan bagian kedua ḥadhf, yaitu yang menanggalkan

dua kata yang berhubungan dengan dua lafaz min qabl pada

ayat tersebut, seperti yang telah diulas oleh Rahman yang

mengkaji diskursus ḥadhf dalam persepktif Ibn Qutaybah,

menurutnya pada Q.S. al-Baqarah [2]: 197 (al-hajj ashurun

ma’lūmāt), ada unsur/term yang ditanggalkan dalam ayat ini,

menurut Ibn Qutybah yang dikutipnya, unsur ditanggalkan

adalah waqt87

. Artinya dalam memahami ayat Q.S. al-

Baqarah [2]: 197, berkesimpulan bahwa ditanggal. Untuk

ayat (Q.S. al-Rūm [30]: 49), dapat memahami ayat ini,

setidaknya dapat menggunakan dua diskursus, pertama

menggunakan tikrār dan yang kedua menggunakan ḥadhf.

Penjelasan di atas menguatkan, bahwa sebuah uraian

a-Qur‟an dapat dipahami dengan multi pendekatan, untuk ayat

(Q.S. al-Rūm [30]: 49), setidaknya dapat menggunakan dua

85

Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lain yang wujud

asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar

bahasa. Lihat:Tim Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,2008), h. 385. 86

Mohd Shahrizal Nasir, ”Elipsis (al-Ḥadhf) dalam Al-

Quran Sebagai Satu Petunjuk Ketinggian Bahasa Arab Kalamullah"

dalam Manu Bil. 25, 2017, h. 162. 87

Yusuf Rahman, “Ellipsis in the Qur‟ān: A Study of Ibn

Qutaybah‟s Ta‟wīl Mushkīl al-Qur‟ān” dalam Literary Structures of

Religion Meaning in the Qur’ān, ed. Issa J. Boullatta, (UK: Curzon

Press, 2000), h. 280.

Page 179: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

168

pendekatan, yaitu ḥadhf dan tikrār. Seperti halnya yang telah

diuraikan pada pembahasan pola tikrār dalam surah al-

Kāfirūn dapat dibahas menggunakan pendekatan tikrār dan

balāghah (menurut al-Ṣābūnī).

C. Tikrār dalam Kajian Ilmuwan dan al-Sha’rāwī

Tidak sedikit dari kalangan masyarakat ilmuwan yang

sudah melakukan penelitian terhadap aspek pengulangan

dalam al-Qur‟an, dalam mengkajinya, meraka menggunakan

berbagai metode. Bagian inti pada sub bagian ini, bukan

untuk mereview kajian mereka terhadap tikrār fī al-Qur’ān,

seperti apa yang telah diuraikan pada bab II, melainkan. Pada

sub ini akan disajikan bagaimana framework yang mereka

gunakan dalam mengkaji aspek pengulangan dalam al-Qur‟an

dan pada sub bagian ini juga akan diuraikan penafsiran al-

Sha‟rāwī terhadapa aspek pengulangan dengan menggunakan

framework yang digunakan ilmuwan dalam mengkaji

pengulangan dalam al-Qur‟an.

Penggunaan framework para ilmuwan, bertujuan

untuk membandingkan dan mendiskusikan bagaimana

penafsiran al-Sha‟rāwī dan masyarakat akademis dalam

mengkaji aspek pengulangan dalam al-Qur‟an adalah sebuah

usaha untuk menguji bagaimana hasil penafsiran al-Sha‟rāwī

terhadap aspek pengulangan. Selain itu untuk mengetahui

bagaimana distingsi dari kajian yang mereka lakukan terhadap

aspek pengulangan.

Masyarakat akademis yang dimaksud adalah para

ilmuwan yang dalam publikasi ilmiahnya (disertasi dan

artikel) mengkaji aspek pengulangan dalam al-Qur‟an, tentu

tidak semua para ilmuwan yang mengkaji tema ini diulas pada

bagian ini, yang akan diulas dalam kajian ini hanya dua yang

dianggap mewakili para ilmuwan dalam mengkaji

pengulangan, dalam bentuk disertasi dan artikel ilmiah.

1. Nevin Reda el-Tahry

Page 180: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

169

Reda dalam Disertasinya mengkaji pengulangan yang

terdapat pada surah al-Baqarah dan al-Fātīḥah, menjadi

hal yang penting dalam menganaslisa struktur sebuah

surah, kerap kali dalam menganalisa, ditemukan al-Qur'an

dalam mengungkan kandungannya dengan menggunakan

pengulangan, baik itu pengulangan dalam bentuk kata

atau frase, di balik penggunaan pengulangan tersebut,

pasti ada sebuah hubungan tematik yang jelas (a clear

thematic connections) antara dua bagian (sections).88

Artinya pengulangan yang ada merupakan cara al-Qur‟an

dalam menguraikan kandungannya, dan jika pengulangan

itu dianalisa akan mendapatkan pemahaman yang

komprehensif karena setiap bagian pembahasan tema

yang dihubungkan menggunakan pengulangan

membangun uraian yang saling melengkapi.

Seperti halnya Neuwrith dalam mengkaji pengulangan

pada surah al-Ḥijr89

, Reda juga membagi surah yang

dikajinya menjadi beberapa bagian, menurut el-Awa cara

seperti ini digagas oleh al-Amīn Aḥsan Iṣlāḥī (1906-1997

M.) yang berasal dari Pakistan dan Sayyid Quṭb (W 1966

M.) yang berasal dari Mesir90

. Reda dalam mengkaji

pengulangan, membagi surah al-Baqarah menjadi

beberapa bagian sebagai berikut91

:

88

Raymond K. Farrin, "Surat al-Baqara: A Structural

Analysis" dalam The Muslim World, 2010: 100, 1, h. 18-19. 89

Angelika Neuwrith, ” Referentialitity and Textualit in

Sūrat al-Ḥijr,, h. 148-151 90

Salwa el-Awa, “Linguistic Structure,,,,h. 57. 91

Dalia Abo Haggar, Textual Integrity and Coherence in the

Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-Baqara.. h.

101-104. Apa yang dilakukan oleh Reda, dengan membuat tabel di

atas, yang bertujuah untuk membuktikan kesatuan dan

keterhubungan yang terdapat pada surah al-Baqarah. merupakan

pengembangan atas kajian yang telah dilakukan oleh

pendahulunya,tabel yang sejenis juga dibuat oleh Mathias Zahniser.

Page 181: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

170

No.

Ayat

Aspek yang diulangi

Bagian I 2

5

16

26

38

ىدى ىدى

لدى ي هدي

ىداي dan ىدى

Bagian

II

40

47-48

122-

123

يا بن إسرائيل اذكروا نعمت الت أن عمت عليكم يا بن إسرائيل اذكروا نعمت الت أن عمت عليكم وأني

لتكم على العالمي ) ( وات قوا ي وما ل تزي ن فس 44فضها عدل ها شفاعة ول ي ؤخذ من عن ن فس شيئا ول ي قبل من

ول ىم ي نصرون وأني عليكم أن عمت الت نعمت اذكروا إسرائيل بن يا

لتكم ن فس زيت ل ي وما وات قوا( 222) العالمي على فضها ي قبل ول شيئا ن فس عن فعها ول عدل من ول شفاعة ت ن

ي نصرون ىم Bagian

III

129

191

لو عليهم آياتك وي علمهم هم ي ت رب نا واب عث فيهم رسول من يهم إنك أنت العزيز الكيم الكتاب والكمة وي زك

لو منكم رسول فيكم أرسلنا كما يكم آياتنا عليكم ي ت وي زكت علمون تكونوا ل ما وي علمكم والكمة الكتاب وي علمكم

Lihat: A. H. Mathias Zahniser, “Major Transitions and Thematic

Borders in Two Long Sūras: al-Baqara and al-Nisā‟”, dalam

Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’ān, ed. Issa J.

Boulatta, (UK: Curzon, 2000), h. 28.

Page 182: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

171

Bab IV 092

084

لى القوم الكافرين وانصرنا ع فانصرنا على القوم الكافرين

Cara kerja dalam mengkaji pengulangan yang

dilakukan oleh Reda, mengingatkan bagaimana al-Kirmānī

mengkaji aspek, yaitu mengkaji pengulangan dalam satu

surah, dalam hal ini Reda memberikan batasan pada surah

al-Baqarah. Berbeda dengan Reda, al-Kirmānī

memberikan fokus empat puluh lima poin pengulangan.92

Ini dapat dipahami karena, al-Kirmānī dalam mengkaji

tikrār memasukkan semua ragam lafaz yang mengalami

pengulangan, termasuk pada kata penghubung dan kata

pengganti subjek/objek. (lihat kajiannya atas surah al-

Fātiḥah) selain itu dia juga memasukkan pengulangan

lintas surah, misalnya ketika al-Kirmānī memulai mengkaji

pengualangan dalam surah al-Baqarah, dia mengkaji lafaz

aliflāmīm,dalam penjelasannya mengani lafaz ini, dia

menjelaskan bahwa lafaz ini diulangi sebanyak tujuh kali,

lafaz ini merupakan lafaz yang sukar untuk dipahami, atau

dalam ilmu al-Qur‟an dikenal dengan istilah mutashābih

al-Lafẓ

Tentu tidak semua framework pengulangan yang

dikaji oleh Reda akan diulas dalam pada sub bagian ini,

namun dalam bagian satu dari kajian Reda, sebagai

representasi untuk menguji penafsiran al-Sha‟rāwī dengan

menggunakan framework pengulangan yang digunakan

oleh Reda dalam mengkaji pengulangan. Studi yang

dilakukannya menjadikan poin distingsi yang ada pada tiap

92

Muḥammad bin Ḥamzah al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī

al-Qur’ān, ,,, h. 66-88.

Page 183: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

172

pengulangan lafaz sebagai poin yang dieloborasi.93

Pada

tulisan ini yang akan dibandingkan adalah bagian pertama

yang dikaji oleh Reda, yaitu:

Bagian Pertama ayat 1-39

Pada bagian pertama ini, Reda memberikan fokus pada

diksi yang bermakna petunjuk (hudā), sejauh ayat pertama

sampai ayat ketiga puluh sembilah, hasil analisa Reda

bahwa ada diksi hudā pada ayat 2,5,16,26 dan 38.94

Secara

cara kerja, apa yang dilakukan dalam mengkaji

pengulangan oleh Reda, sepintas sama dengan cara kerja

Ishtirāk al-Lafẓī, yang telah dipaparkan pada bab II,

namun pengulangan yang dijadikan objek kajian oleh Reda

difokuskan pada satu surah, sedangkan Ishtirāk al-Lafẓī

pada lintas surah.

Dengan Reda melakukan kajian terhadap pengulangan

pada satu surah bertujuan untuk mengetahui bagimana kata

hudā didiskusikan pada surah ini, dengan membandingkan

penggunaan dan implikasi dari tiap konteks kata ini

diuraikan. Ini dilakukan sebagai pembuktian atas

hipotesanya bahwa uraian pengulangan merupakan

peralihan yang membatasi dan memasuki diskusi sebuah

tema dan pengkajian pengulangan yang dilakukan Reda,

dilakukan bertujuan untuk membantu memahami struktur

tema dan hubungannya dalam surah al-Baqarah95

artinya

dengan menganalisa pengulangan tema yang didiskusikan

93

Nevin Reda El-Tahry,Textual Integrity and Coherence in

the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-Baqara,

(Disertasi S3 Universitas Toronto, 2010), h. 78. 94

Nevin Reda El-Tahry,Textual Integrity and Coherence in

the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-Baqara,,,

h. 88. 95

Nevin Reda El-Tahry,”Textual Integrity and Coherence in

the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-

Baqara”,,,,h. 85.

Page 184: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

173

dalam suatu surah, itu membantu pembaca untuk

mengetahui struktur pambahasan yang ada pada surah

tersebut, pendapat ini secara tidak langsung menolak

anggapan Wansbrough, bahwa pengulangan yang ada pada

teks al-Qur‟an hanya dikarenakan ragam periwayatan dan

ragam tradisi dalam proses kodifikasi al-Qur‟an.96

Kata hudā yang pertama terletak pada ayat kedua,

tersusun (composed) dan tidak terlepaskan dengan ayat

pertama yang hanya terdiri dari tiga huruf.97

Selain itu, al-

Baqarah adalah surah kedua setelah surah al-Fātiḥah,

menurut Reda dan pendapat ini telah diungkapkan oleh

pengkaji al-Qur‟an sebelumnya, sebut saja, al-Suyūṭī, al-

Biqā‟ī dan Ṭanṭāwī, bahwa ayat pertama dan ayat kedua

dari surah al-Baqarah berhubungan dengan surah al-

Fātiḥah, dimana pada surah tersebut diungkapkan

permohonan petunjuk.98

Adapun dalam menafsirkan kata

hudā pada konteks ini, al-Sha‟rāwī menghubungkan

dengan kata yang setelahnya yaitu al-muttaqīn lalu dia

mengutip ayat lain, bertujuan untuk menjelaskan susunan

ini (hudā lilmuttaqīn), menurutnya diksi hudā disini

bermakna petunjuk yang yang bukan lain merupakan al-

Qur‟an, petunjuk bagi semua makhluknya yang

menujukkan dan menerangkan menuju jalan yang lurus

(al-ṭarīq al-mustaqīm), dan petunjuk pada konteks ini

menurutnya merupakan hudā al-dalālah, yaitu petunjuk

yang mengantarkan semua makhluknya menuju ketaatan

96

John Wansbrough, Qur'anic Studies; Sources and

Methods of Scriptual Interpratation, (New York: Prometheus

Books, 2004) h. 20-21. 97

Nevin Reda El-Tahry,”Textual Integrity and Coherence in

the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-

Baqara”,,,,h. 85. 98

Nevin Reda El-Tahry,”Textual Integrity and Coherence in

the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-

Baqara”,,,,142.

Page 185: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

174

kepadaNya dan surga-Nya.99

Selain itu, kata hudā dalam

ayat kedua berkaitan dengan kata lil muttaqīn, al-Sha‟rāwī

memaknai hudā lilmuttaqīn dengan mengutip sebuah ayat

Q.S. al-Taḥrīm [66]: 6100

, maka dapat dipahami bahwa

hudā (petunjuk) menyerukan untuk melakukan beramal

saleh agar terhindar dari siksa neraka.101

Pengulangan berikutnya terdapat pada pertengahan

pada bagian satu dari beberapa bagian yang dirumuskan

oleh Reda, yaitu pada ayat lima dan enam belas, menurut

Reda pengulangan diksi hudā pada dua ayat ini merupakan

pembatasan diskusi sebuah tema, selain pada dua ayat ini,

sama halnya dengan pengulangan kata yahdī102

pada ayat

ke dua puluh enam.

Pengulangan kata hudā pada ayat kelima,

mendiskusikan petunjuk bagi orang yang mengikuti seruan

Allah merekalah, orang-orang yang berhasil, uraian ini

dihubungkan dengan pembicaraan sebelumnya tentang

99

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 122.

يا أي ها الذين آمنوا قوا أن فسكم وأىليكم نارا وقودىا الناس 100ها ملئكة غلظ شداد ل ي عصون اللو ما أمرىم والجارة علي

وي فعلون ما ي ؤمرون “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu

dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya

manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang

kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah

terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan

selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. al-

Taḥrīm [66]:6). 101

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 119-

120. 102

Pengulangan yang dianalisa adalah kata hudā dan

derivasinya, bukan dalam bentuk satu hudā atau bukanpengulangan

verbatim

Page 186: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

175

kesadaraan adanya Allah. Menurut al-Sha‟rāwī, kata hudā

pada ayat ini adalah petunjuk yang mengangkat derajat

seseorang yang diberi petujuk (al-muhtadī), petunjuk

tersebut menjaga manusia dari kerugian, seperti

kemurkaan Allah, penderitaan hidup bermasyarakat.103

Sedangkan pengulangan hudā pada ayat enam belas,

pada ayat ini membicarakan tentang orang-orang yang

telah membeli kesesatan dengan petunjuk oleh karena itu

perdagangan mereka tidak menguntungkan dan mereka

tidak diberi petunjuk (were not guided), pengulangan pada

ayat ini menurut Reda berhubungan dengan ayat ke tujuh.

Dua ayat ini menjelaskan diksi ḍālin pada surah al-

Fātiḥāh, diksi ḍālin ini merupakan pembahasan yang luas,

karena banyak yang termasuk bagian dari kategori ini,

seperti munafik104

. Berbeda dengan Reda, dalam

pandangan al-Sha‟rāwī hudā dalam ayat kelima bermakna.

Sedangkan kata hudā pada ayat ketiga puluh delapan

itu sangat erat kaitannya dengan ayat berikutnya, menurut

Reda bahwa ayat ketiga puluh sembilan merupakan

antitesa dari ayat sebelumnya.

Untuk kata hudā pada ayat enam belas, al-Sha‟rāwī

mengajukan uraian apakah petunjuk ada pada orang

munafik yang menukarkannya dengan kesesataan. boleh

jadi hidayah pada konteks ini, menurutnya adalah hidayah

fitrah (hudā al-fiṭrah), konteks ini menggambarkan mereka

memungkinkan untuk memilih hidayah, namun mereka

memilih kesesatan (al-dalalāh), untuk menguatkan

argumennya bahwa setiap manusia diberikan potensi untuk

menerima hudā dalālah, dia mengutip Q.S. Fuṣṣilat

[41]:17.105

103

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 132. 104

Nevin Reda El-Tahry,”Textual Integrity and Coherence

in the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-

Baqara”,,,,h.142-143. 105

M. Mutawalilī Al-Sha'rāwī, Tafsīr al-Sha'rāwī,,, h. 163.

Page 187: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

176

Sedangkan al-Sha'rāwī dalam menafsirkan ayat ke dua

puluh enam, dalam tafsirnya, dia tidak melakukan

eloborasi terhadap diksi yahdī (derivasi dari kata hudā),

dalam menafsirkan ayat ini, al-Sha'rāwī memberikan

perhatian pada dua poin, pertama. rahasia dan maksud dari

pemberian perempumaan nyamuk dan kedua pemaknaan

diksi fāsik. Adapun ungkapan yudhilu bihi kathiraa wa

yahdii bihi kathiraa... merupakan bantahan dari ungkapan

orang kafir yang mempertanyakan "mādhā arād Allāh

bihadhā mathalā"106

Al-Sha'rāwī dalam menafsirkan diksi yang bermakna

petunjuk (hudā) dalam ayat ke tiga puluh delapan,

menurutnya, petunjuk memiliki dua macam, yang pertama

sebagai petunjuk jalan menuju kebaikan dan petunjuk

berupa pertolongan untuk beriman.107

untuk menguatkan

argumennya, al-Sha'rawi Q.S Muhammad [47]: 17.

Jadi dapat disimpulkan dari uraian di atas, bahwa dalam

mengeloborasi diksi hudā pada tiga puluh delapan ayat

pertama dari surah al-Baqarah, al-Sha‟rāwī menghasilkan

ragam petunjuk, sebagai berikut:

1) Petunjuk yang dengan mengikutinya akan

mengantarkan pada ketaatan kepadaNya (hudā

al-dalālah). Lihat penafsiran hudā pada ayat

kedua surah al-Baqarah.

2) Petunjuk yang langsung dianugerahkan (hudā

firṭrah). Lihat Penafsiran ayat enam belas

surah al-Baqarah

3) petunjuk sebagai pertolongan (hudā al-i’ānah)

lihat: Penafsirannya ayat ke tiga puluh delapan

surah al-Baqarah

Dari kesimpulan di atas, menunjukkan eloborasi al-

Sha‟rāwī terhadap pengulangan diksi hudā, menghadirkan

106

M. Mutawalilī Al-Sha'rāwī, Tafsīr al-Sha'rāwī,,, h. 212. 107

M. Mutawalilī Al-Sha'rāwī, Tafsīr al-Sha'rāwī,,, h. 278.

Page 188: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

177

diskusi tentang distingsi atau ragam makna hudā pada

masing-masing konteks, ini selaras dengan hipotesa Reda

bahwa, lewat mengkaji pengulangan pada sebuah

term/tema akan menghadirkan pemahaman yang lebih

komprehensif tentang tema tersebut.

2. Salwa El-Awa Menurut Salwa El-Awa, hubungan yang terjalin pada

naṣ al-Qur’ān baik itu dalam bentuk kata, frase maupun

kalimat/ayat, masing-masing menentukan makna.108

jadi

menurut El-Awa, hubungan-hubungan tekstual yang

diuraikan oleh al-Qur‟an berimplikasi terhadap maknanya,

maknanya itu dipengaruhi oleh konteks yang terhubung

dengan teks tersebut, pengulangan yang terdapat pada al-

Qur‟an di banyak kesempatan yang diuraikan di berbagai

surah yang berbeda. Pendapat ini diambil dari

pembacaanya terhadap kajian yang dilakukan Ibrāhim al-

Biqā‟i, menurut al-Biqā‟i makna sebuah ayat al-Qur‟an

tergantung ayat tersebut dihubungkan dengan ayat yang

bicara apa.109

Artinya pemaknaan suatu ayat sangat

dipengaruhi oleh ayat yang dihubungkan kepadanya, salah

satu metode penafsiran dalam diskursus tafsir, dikenal

dengan istilah metode tafsir tematik (mawḍū’ī).

Dalam Bab II, telah diuraikan bahwa dua ayat atau

lebih yang membicarakan tema yang sama, sangat

berpotensi pada ayat tersebut terdapat lafaz yang diulangi.

Dalam diskursus kajian tafsir metode tematik, secara garis

besar setidaknya ada dua macam, yang pertama berangkat

dari uraian teks al-Qur‟an (naṣ al-Qur’ān) dan yang kedua

berangkat dari realitas (al-wāqi’), kedua metode ini

108

Salwa El-Awa, Textual Relations in The Qur'an;

Relevance, Coherence and Structure,,, h. 27. 109

Burhān al-Dīn Ibrāhim Ibn „Umar Al-Biqā‟ī, Naẓm al-

Durar fī Tanāsub al-‘Ayāt wa al-Suwar,( Beirut: Dār al-Kutub al-

„Ilmiyya, 1995 ), h. 7.

Page 189: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

178

ditempuh bukan lain untuk menjawab problematika yang

ada di masyarakat (hudan li al-nās). Kedua metode ini

dikenal secara mashur diperkenalkan oleh „Abd al-Hayy

al-Farmāwī dan Bāqir Ṣadr, namun ini masih dalam

perdebatan, karena menurut kajian, ada yang lebih dulu

mengenalkan dua metode ini secara cara kerjanya. Kedua

metode tafsir ini dirumuskan untuk menghadirkan

penafsiran yang utuh, menggunakan korelasi (munāsabah)

ayat untuk mendapatkan penjelasan yang komprehensif,

namun aspek pengulangan belum menjadi perhatian yang

serius dalam kegaiatan menafsirkan secara metode tematik,

oleh karena itu pada gambar 2.2 pada bab II diajukan

bahwa sebelum pengeloborasian korelasi antar ayat

(munāsabah), hendaknya yang terlebih dulu dilakukan

adalah mengeloborasi lafaz pengulagan yang terdapat pada

ayat-ayatnya.

Menurut El-Awa pengulangan adalah salah satu tehnik

al-Qur'an dalam menguraikan kandungan-Nya, secara garis

besar kajiannya terhadap aspek pengulangan dalam al-

Qur'an telah dipaparkan pada Bab II. Dari apa yang dia

kaji, yaitu mengkaji aspek pengulangan dalam al-Qur'an

menggunakan kerangka kerja teori relevansi (framework

relevance theory), dengan mengkaji pengulangan pada al-

Qur'an berdasarkan fenomena/peristiwa yang dikisahkan

dan diuraikan. dia berkesimpulan bahwa, tikrar fī al-

Qur'ān adalah cara efektif yang memungkinkan untuk

menyampaikan makna dalam tiga cara, yaitu dengan jelas

tersampaikan makna yang dimaksudkan (explicature),

menyisipkan makna yang terkandung, meskipun tidak

dinyatakan secara jelas dan terang-terangan (implicature)

dan dengan menyampaian uraian yang pendek dengan

Page 190: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

179

cara mengulangi (reduce).110

Jadi fitur pengulangan yang

digunakan al-Qur‟an dalam meyampaikan kandungannya

berdasarkan kajian El-Awa, memungkinkan setidaknya

tiga ragam hasil makna/manfaat, menguraikan makna

secara eksplisit, implisit dan uraian yang efektif dan

efisien.

Salah satu tema pengulangan yang dijadikan objek yang

dikaji oleh El-Awa adalah berhubungan dengan konsep

kenabian Nabi Muḥammad dalam al-Qur‟an, dia

memaparakan bahwa setidaknya ada dua ayat yang

berbicara tentang Nabi Muhammad sebagai Rasul yang

juga sebagai manusia membawa risalah, antara lain: 18:

110 dan 41:6, yang mejadi objek kajian dari el-Awa,

berikut ayatnya:

ا إلكم ا أنا بشر مث لكم يوحى إل أن قل إنفمن كان ي رجو لقاء ربو ف لي عمل عمل صالا إلو واحد

بعبادة ربو أحداول يشرك “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku

ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang

telah menerima wahyu, Bahwa sesungguhnya

Tuhan kamu adalah Tuhan yang maha Esa.

Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan

Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan

kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan

dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada

Tuhannya.”(Q.S. Al-Kahfi [18]:110)

110

Salwa El-Awa, “Repetition in the Qur'ān: A Relevance

Based Explanation of the Phenomenon,” dalam Islamic Studies, Vol.

42, No. 4 (Winter 2003), h. 593.

Page 191: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

180

ا إلكم ا أنا بشر مث لكم يوحى إل أن قل إن واست غفروه وويل للمشركي فاستقيموا إليو إلو واحد

Katakanlah (Muhammad), “Aku ini

hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang

diwahyukan kepadaku bahwa tuhan kamu adalah

tuhan yang maha Esa, karena itulah tetaplah kamu

(beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan

kepada-Nya. Dan Celakalah bagi orang-orang

yang mempersekutukan (Nya).” (Q.S. Fuṣilat

[41]: 6)

Menurut El-Awa pengulangan pada ayat di atas

dimasukkan pada kategori delayed paraphrased, artinya

pengulangan yang berfungsi dan bermakna sebagai

penguhubung penjelasan dan penguraian yang telah

diuraikan sebelumnya, tipe ini berfungsi untuk

mengkomunikasi uraian yang sebelumnya, sederhananya

untuk menambahkan/melengkapi uraian sebelumnya.

masing-masing pengulangan lafaz pada ayat dia atas

terhubung dengan konteks yang berbeda, secara jelas

dapat dipahami bahwa ayat di atas menguraikan bahwa

"Nabi Muhammad sebagai manusia biasa yang menerima

wahyu," uraian tersebut berhubung dengan lafaz yang

menguraikan penjelasan yang berbeda, dengan ini,

menurut el-Awa pengulangan ini bermuatan informasi

tambahan bagi pembacanya.111

pendapat ini sependapat

dengan al-Sha‟rāwī dan Neuwrith yang berpendapat

bahwa pengulangan merupakan cara al-Qur'an

111

Salwa El-Awa, “Repetition in the Qur'ān: A Relevance

Based Explanation of the Phenomenon,” ,,,,h. 589-592.

Page 192: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

181

membangun uraikanNya.112

Namun eloborasi yang

disajikan oleh El-Awa dalam membahas pengulangan

pada ayat di atas, tidak ditemukan secara detail

penjelasannya terkait perbedaan yang ada pada

pengulangan lafaz pada ayat di atas, juga tidak dieloborasi

secara komprehensif mengenai apa yang dilengkapi dari

uraian Q.S. Al-Kahfi [18]:110, Lalu bagaimana al-

Sha‟rāwī menguraiakan dan menafsirkan pengulangan

yang terdapat pada dua ayat di atas.

Tidak seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan

sebelumnya, bahwa al-Sha‟rāwī ketika membahas

pengulangan lafaz, dia membandingkan dua lafaz tersebut.

Namun ketika menafsirkan Q.S. Al-Kahfi [18]:110. Al-

Sha‟rāwī tidak membandingkan dengan Q.S. Fuṣilat [41]:

6. Dan sebaliknya ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan Q.S.

Fuṣilat [41]: 6, dia tidak membandingkannya dengan Q.S.

Al-Kahfi [18]:110. Padahal ketika menafsirkan dua ayat

ini, al-Sha‟rāwī menggunakan beberapa ayat lain untuk

menjelaskan kandungannya.

Namun penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap dua ayat di atas

dapat dipahami, bahwa Q.S. Al-Kahfi [18]:110 merupakan

satu uraian dan Q.S. Fuṣilat [41]: 6 uraian yang

melanjutkannya, jadi lafaz yang mengalami pengulangan

yang berada pada konteks ayat yang berbeda itu bukan

merupakan pengulangan yang tanpa makna dan manfaat,

melainkan pengulangan itu sama lain membangun

penjelasan yang lebih utuh, pendapat ini juga yang

dikuatkan oleh Neuwrith.113

Ketika menafsirkan pengulangan pada pada Q.S. Al-

Kahfi [18]:110, al-Sha‟rāwī memulainya dengan

112

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī, ,,,h. 5395.

Dan lihat: Angelika Newrith, “Referentialitity and Textualit in Sūrat

al-Ḥijr,,,,h. 159-160. 113

Angelika Newrith, “Referentialitity and Textualit in

Sūrat al-Ḥijr,,,,h. 159-160.

Page 193: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

182

menyatakan bahwa ini adalah uraian yang baru (hadhā

kalām jadīd), ini menandakan bahwa al-Sha‟rāwī

memahami betul bahwa lafaz pada ayat ini bukan

mengulangi, melainkan objek yang diulangi. menurut al-

Sha‟rāwī bahwa tujuan dari ayat ini adalah seruan untuk

manusia mengambil suri tauladan dari Nabi Muḥammad,

yang merupakan dari kelompok manusia sama seperti

mereka.114

Lafaz Tikrār yang ada pada Q.S. Al-Kahfi [18]:110

dihubungkan dengan penjelasan seorang hamba yang

melakukan amal shaleh akan mendapatkan balasan dari

Allah, berupa puncak kenikmatan yaitu syurga-Nya, pada

ayat ini, dijelaskan bahwa balasan dari amal saleh dapat

menghantarkan seorang hamba untuk mendapatkan

kenikmatan lebih tinggi dari nikmat syurga, yaitu bertemu

dengan Allah Swt. dan memandang dzat yang maha mulia,

jadi kesimpulan al-Sha‟rāwī, amal saleh dapat menjadi

wasilah atau perantara bagi seorang hamba untuk bertemu

dengan Allah. Uraian selanjutnya berupa larangan untuk

menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, menurut al-

Sha'rawi sesuatu disini termasuk dengan syurga, untuk

menguatkan argumennya ini, dia mengutip syair Rābi‟ah

al-'Adawiyah yang berbicara mengenai hakikat tujuan

dalam melakukan ibadah kepada Allah Swt. bukan

dikarenakan untuk mendapatkan kenikmatan syurga dan

menghindari siksa api neraka dan seruan dalil. menurutnya

al-Sha‟rāwī. syair ini menjelasakan hadis qudsi yang

berbicara mengenai "andaikan saya tidak menciptakan

syurga dan neraka..."115

Sedangkan pada Q.S. Fuṣilat [41]: 6, menurut al-

Sha‟rāwī lafaz “qul innamā ana’ bashar mithlukum yūḥā

114

M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī, ,,,h. 1012. 115

M. Mutawalli al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 9013-

9014.

Page 194: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

183

ilayya annamā ilāhukum ilāh wāhid” merupakan

penolakan terhadap anggapan mereka, orang-orang

musyrik yang beranggapan bahwa ada perbedaan atau

sekat yang membedakan Nabi dan meraka,anggaapan

mereka itu untuk menghalangi dakwah Nabi Muḥammad

Saw. ini yang diuraikan pada ayat sebelumnya. Setelah

lafaz ini diteruskan dengan uraian berupa perintah untuk

beristiqomah untuk menuju Allah, Menurut al-Sha‟rāwī

istiqmah pangkal batas istiqomah itu tidak melenceng pada

ke kanan atau kiri atau bisa dipahami bahwa pergilah

kepadNya melalu jalan yang lurus (al-Mustaqim) dan jika

dalam perjalanan kepadanya mengalami lalai (ghaflah)

makan memohon ampunlah.116

Jadi dapat dipahami kalau

penafsiran dua ayat ini yang dilakukan oleh al-Sha‟rāwī

menghasilkan penafsiran yang berbeda tiap lafaznya baik

pada Q.S. Al-Kahfi [18]:110. Maupun pada Q.S. Fuṣṣilat

[41]: 6. Penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap lafaz tikrār pada

ayat di atas, sederhananya dapat digambarkan dengan

sebagai berikut:

Penafsiran/fokus

utama Lafaz Tikrār Uraian setelahnya

Ini adalah kalimat

baru (bukan

mengulangi)

Nabi Muḥammad

adalah Manusia yang

diberi wahyu

kepadanya, maka

dari itu setiap

manusia ambillah

suri tauladan darinya

ا أنا بشر قل إنمث لكم يوحى ا إلكم إل أن

إلو واحد

seorang hamba yang

melakukan amal shaleh

akan mendapatkan

balasan dari Allah,

berupa puncak

kenikmatan yaitu

syurga-Nya, pada ayat

ini, dijelaskan bahwa

balasan dari amal saleh

dapat menghantarkan

seorang hamba untuk

116

M. Mutawalli al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h.

13496-13498.

Page 195: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

184

mendapatkan

kenikmatan lebih tinggi

dari nikmat syurga,

yaitu bertemu dengan

Allah Swt.

larangan untuk

menyekutukan Allah

dengan sesuatu pun,

termasuk dengan syurga

penolakan terhadap

anggapan ada

perbedaan atau sekat

yang membedakan

Nabi dan

meraka,anggapan

mereka itu untuk

menghalangi dakwah

Nabi Muḥammad

Saw. ini yang

diuraikan pada ayat

sebelumnya

ا أنا قل إنبشر م ث لكم يوحى ا إلكم إلو إل أن

واحد

perintah untuk

beristiqomah untuk

menuju Allah, melalui

jalan yang lurus (al-

mustaqim)

jika dalam perjalanan

kepadanya mengalami

lalai (ghaflah) makan

memohon ampunlah

Tabel No. 4.4 Tikrār pada Q.S. Al-Kahfi [18]:110. Dan

Fuṣilat [41]: 6.

Dari tabel diatas, dapat dipahami bahwa lafaz tikrār

yang secara tekstual sama, namun memiliki fokus utama

dan konteksnya berbeda, selain itu memiliki implikasi

yang berbeda, seteleh lafaz tikrār, memiliki uraian yang

berkesinambungan, maka ini membuktikan kesimpulan

yang berpendapat bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an

adalah tehnik al-Qur‟an dalam menghubugkan uraiannya,

atau dalam kesimpulan Dalia, pengulangan dalam al-

Qur‟an adalah salah satu cara al-Qur‟an dalam

mengkomunikasikan makna (repetition as a method of

Page 196: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

185

communicating meaning in the Qurʾān).117

Dengan begini,

memahami pengulangan dalam al-Qur‟an adalah salah satu

cara untuk mendapatkan pemahaman makna al-Qur‟an

yang komprehensif, setelah mendapatkan pemahaman

makna dan maksud dari masing-masing lafaz yang terdapat

pada tiap ayat, setelah itu baru menghubungkan atau lebih

tepatnya menggali hubungan yang terdapat pada dua ayat

tersebut. Jadi dapat disimpulkan sebelum menggunakan

ilmu munāsabah (korelasi), terlebih dahulu mengeloborasi

lafaz tikrār, untuk lebih rincinya lihat gambar No. 2.2 pada

bab II.

Pendapat yang menyatakan bahwa pengulangan

merupakan cara al-Qur‟an membangun uraian dan

maknanya, pendapat semakna dengan ini disampaikan

oleh Neuwrith dan salah satu118

pendapat Richard Bell

terhadap pengulangan dalam al-Qur‟an, yang dikutip oleh

Mariana Klar, bahwa pengulangan adalah sebuah tehnik

stilistik yang digunakan al-Qur‟an dalam menghubungkan

uraian kandungan yang telah disampaikan sebelumnya (It

remains possible, however, that repetition might have been

utilised as a tylistic technique in order to connect new

117

Dalia Abo Haggar, “Repetition: A Key To Qur‟ānic

Style, Structure And Meaning," (Disertasi S3 The University Of

Pennsylvania, 2010), h. Vii. 118

Selain berpendapat bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an

sebagai cara al-Qu‟an menghubungkan dengan uraian sebelumnya,

Richard Bell juga mempunyai kesimpulan bahwa pengulangan

dalam al-Qur‟an berfungsi untuk mengganti materi yang

diduplikasi/diulangi pada ayat yang berdekatan (The repetition of

the same rhyme-word or phrase in adjoining verses to replace the

other). Lihat: Marianna Klar, "Text-Critical Approaches to Sura

Structure: Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-

Baqara. Part Two," dalam Journal of Qur’anic Studies, 19.2 (2017),

h. 68-71.

Page 197: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

186

sections of text to pre-existing material)119

artinya

pengulangan dipahami sebagai tehnik al-Qur‟an dalam

memformulasikan sebuah uraian tentang sebuah tema,

dalam hal ini (dua ayat di atas) adalah konsep kenabian

Nabi Muḥammad. Dalam membaca dan memahami uraian

al-Qur‟an akan beresiko mendapatkan pemahaman yang

parsial, jika memandang uraian yang diulangi dalam al-

Qur‟an merupakan pengulangan belaka tanpa ada makna.

Sedangkan menurut Neuwrith bahwa format uraian

yang diulangi tidak bisa hanya dipahami sebagai

pengulangan belaka yang tanpa makna tambahan,

melainkan pengulangan itu saling membangun satu sama

lain, pengulangan lafaz dengan konteks yang berbeda

sesungguhnya memberikan fokus makna yang baru.

(reiterated patterns do not constitute mere repetitions, but

rather build upon each other, their elements proving

functinal in creating ever new ensembles with new focuses

of meaning).120

Dari Uraian di atas, membuktikan bahwa

hasil penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap aspek pengulangan

dalam al-Qur‟an kompatibel untuk dibaca menggunakan

framework ilmuwan dalam mengkaji tema ini.

119

Marianna Klar, "Text-Critical Approaches to Sura

Structure: Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-

Baqara. Part Two,,, h. 71. 120

Angelika Newrith, “Referentialitity and Textualit in

Sūrat al-Ḥijr,,,,h. 159-160.

Page 198: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

187

BAB V

Penutup

A. Kesimpulan

Sesuai dengan pertanyaan penelitian pada Bab I yang

kemudian penulis jabarkan pada Bab IV, maka kesimpulan

dari penelitian ini menghasilkan sebuah pemahaman dan

eloborasi terhadap tikrār fī al-Qur'ān.

Muṣhaf yang ada pada saat ini merupakan korpus

tertutup, yang artinya secara teks sudah final tetapi secara

konteks terbuka untuk ditafsirkan. Beberapa unsur aspek

dalam al-Qur’an sukar untuk diipahami atau lebih tepatnya

beresiko dipahami secara bias, beberapa di antaranya, huruf

muqaṭa’ah, sistematika ayat, dan pengulangan lafaz. Dalam

hal ini, kenyataan bahwa banyaknya pengulangan lafaz yang

terdapat pada mushaf al-Qur’an merupakan sebuah kenyataan

yang tidak bisa dielakkan, tentu unsur ini mendapatkan

perhatian dari banyak pihak, baik itu dari para peneliti di

pihak akademisi maupun dari para pakar, dari kajian yang

telah dilakukan pada pada bab-bab terdahulu, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, banyaknya pengulangan yang terdapat

dalam al-Qur’an memiliki makna pada masing-masing lafaz,

makna tersebut dipengaruhi oleh konteks yang berhubungan

pada lafaz tersebut.

Kedua, keliru jika menganggap bahwa lafaz yang

sama memiliki makna yang sama juga, dari hasil kajian yang

telah dilakukan, terbukti bahwa pengulangan hanya ada pada

tataran lafaz tidak sampai masuk pada ruang makna.

Ketiga, pengulangan lafaz dalam al-Qur’an bukanlah

hal yang hampa faedah, melainkan, pengulangan adalah salah

satu cara al-Qur’an dalam memformulasikan makna. Seorang

penafsir yang hendak memahami/menafsirkan dua ayat/lebih

yang membahas tema yang sama, sebelum dia menggunakan

Page 199: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

188

ilmu munāsabah, terlebih dahulu dia harus menguraikan

distingsi dan kandungan yang terdapat pada lafaz tikrār pada

ayat tersebut, karena pada dua ayat atau lebih jika

membicarakan tema yang sama, sangat berpotensi di dalam

ayat tersebut terdapat pengulangan.

Keempat, eloborasi al-Sha’rāwī terhadap lafaz-lafaz

yang mengalami pengulangan bersifat aplikatif dibaca atau

dikaji menggunakan dengan framewok para ilmuwan yang

mengkaji tikrār.

Kelima, dalam mengkaji tikrār, al-Sha’rāwī

menerapkan beberapa pola, di antaranya: pola tikrār dalam

satu surah, tikrār dalam satu ayat dan tikrār dalam lintas

surah.

Keenam, al-Sha’rāwī mengeloborasi tikrār fī al-

Qur’ān menggunakan multi pendekatan, dalam contoh yang

dianalisa pada tulisan ini, al-Sha’rāwī menggunakan

pendekatan tauhid rubūbiyah dan ayat kawniyyah sebagai

basis uraian penafsiran tikrār yang dilakukannya.

B. Saran

Meskipun al-Sha’rāwī cukup berhasil dalam menggali

kandungan yang terdapat pada lafaz tikrār dalam al-Qur’an,

namun tidak bisa dipungkiri, tidak semua lafaz tikrār dalam

al-Qur’an dieloborasi oleh al-Sha’rāwī, maka perlu kajian

lanjutan, untuk melengkapi apa yang telah dilakukan oleh al-

Sha’rāwī.

Kajian mengenai Tafsir tematik banyak yang sudah

dilakukan, namun belum banyak penafsiran yang

mengkajinya dengan menggunakan ilmu tikrār sebagai basis

ilmu munāsabah yang diterapkan dalam metode tafsir

maudhui’.

Page 200: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

189

Daftar Pustaka

Sumber: Buku

Abū „Ainain, Sā‟id, al-Sha‟rāwī al-Ladzī Lā Na‟rifuh , Kairo:

Akhbār al-Yaum T. th.

Abū Zahrah, Muḥammad, Mu‟jizah al-Kubrā al-Qur‟ān,

T.Tp.:Dār al-Fikr al-„Arabī, T. Th.

Adi Permono, Syaichul. Ilmu Tafsir Al-Qur‟an.

Surabaya:Bina Ilmu, 1975.

„Ammār, Aḥmad Sayyid Muḥammad, Naẓariyyat al-I„jaz al-

Qur‟ān wa Athāruhā fī al-Naqd al-„Arabi al-Qadīm.

Beirut: Dār al-Fikr Mu‟ṣirah, 1998.

„Alī, Atābik dan Aḥmad Zuhdī Muḥḍar, Al-„Aṣrī: „Arabī-

Indūnīsī, (Krapyak: Multi Karya Grafika, 1998).

Al-Andalusī, Ibn Mālik, Naẓm al-Khalaṣah al-Fiyyah Ibn

Mālik; fī al-Naḥw wa al-Ṣarf, Pekalongan: Maktabah

wa Matba‟ah Rājāmūrāh, T. th.

Arkoun, Mohammed, Tarīkhiyyah al-Fikr al-„Arabi al-Islām,

Beirut: Markaz al-inma, 1987.

Arberry, Arthur John, The Holy Koran: An Introduction with

Selections, Ethical & Religious Classics of the East

West, no. 9, London: George Allen and Unwin, 1953.

El-Awa, Salwa, “Linguistic Structure” dalam The Blackwell

Companion to the Qur‟ān, ed. Andrew Rippin, United

Kingdom: Blackwell, 2009.

Al-Baghdādī, Sulayman bin „Abd al-Qawī bin „Abd al-Karīm

al-Ṣirṣirī (W. 716 H./ 1216 M.), Al-Iksīr fī „Ilm al-

Tafsīr, Kairo: Maktabah al-Adāb, T. Th.

Al-Banjābī, al-Ghofūr ‟Abd al-Karīm, „Abd, al-Tawḍīh wa al-

Bayān fī Tikrār wa Tushābih Ay al-Qur‟ān,

Madinah: Maktabah al-'Uluum wa al-Hikaam, 1994.

Al-Barrī, 'Abd Allāh Khūrshīd, al-Qur‟ān wa „Ulūmuh fī

Miṣr, Mesir: Dār al-Ma‟ārif, 1969.

Page 201: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

190

El-Awa, Salwa M. S. Textual relations in the Qur'an;

Relevance,Coherence dan Structre, Canada:

Routledge, 2006.

„Azamī, M. Muṣṭafā. The History of The Qur‟anic Text from

Revelation to Compilation A Comparative Study The

Old and New Testaments, Terj. Sohirin Solihin ,

Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Baidan, Nasruddin. Metode Penafsiran Ayat-ayat yang

Beredaksi Mirip dalam Al-Qur‟an. Pekan Baru: Fajarr

Harapan, 1993.

Bin Mahmud, Abd Allāh Mahmud, al-I`jaz al-bayani Wa al-

Tashrī`I wa al-Sabaq al-ilmi Li al-Qur`ān. Tanta: al-

Majdli al-Tsaqafah wa al-Ulum , 2008).

Boullata, Issa J., “Modern Qur‟anic Exegesis: A Atudy of

Bint al-Shati‟s Method”, dalam The Muslim World,

vol. LXIV.

Carlyle, Thomas, Heroes, Hero-Worship and the Heroic in

History, London: Chapman and Hall, 1899.

Cuypers, Michel, The Banquet: A Reading of the Fifth Sura of

the Qur‟an, Miami: ConviviumPress, 2009.

El-Fadhl, Khaled Abou, Atas Nama Tuhan, Dari Fiqh

Otoriter ke Fikih Otoritatif, Terj. Jakarta: Serambi,

2004.

Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj.

Farid Wajdi dan Cici Fakhra Assegaf, Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya, 1994.

Hidayat, D., al-Balāghah lil-Jamī‟wa al-Shawāhid min Kalām

al-Badī‟; Balaghah Untuk Semua, Jakarta: Karya

Toha Putra dan Bina Masyarakat Qur‟ani Jakarta,

2002.

Al-Iskāfī, Khatīb, Durah al-Tanzīl wa Gurah al-Ta'wīl,

Tahqiq: Muḥammad Muṣtafā, Mekah: Maktabah al-

Mulk Fahd al-Watniyah Athnai al-Nashr, 2001.

Page 202: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

191

Iyāzī, Muḥammad Alī, al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa

Manhajuhum, Teheran: Mu‟assasah al-Ṭaba‟ah al-

Naṣr, T.th.

Jazar, Muḥammad Yāsīn, Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī;

„Ālim `Aṣruh fî `Uyûn `Ashrih, Kairo: Maktabah al-

Turāth al-Islāmī, 1409 H.

Al-Jurjānī,„Abd al-Qāhir, Kitab Dala'il al-I'jaz, Cairo:

Maktabah al-Khanji, 2004.

Ibn al-Zubayr, Milāk al-Ta‟wīl. Libanon: Dār al-Kutub al-

„Ilmiyah, 1971.

--------------------- Milak al-Ta‟wīl, Baerut: Dār kutub al-

'Ilmiyyah, 2006.

Fawzi, Maḥmūd, Minal-Qaryah ilā al-Qimmāḥ, Kairo: Dār

al-Nashr Hātīh, 1992.

Hawkes, Terence, Structuralism and Semiotics, Taylor &

Francis: e-Library, 2004.

Husnul, Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir; Kumpulan

Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik Sampai Masa

Kontemporer, (Depok: Lingkar Studi al-Qur‟an: LSIQ

2013).

Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkil al-Qur‟ān, (Kairo: Dār al-

Turāth, 1180 H).

Ichwan, Moch Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an;

Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta:

Teraju, 2003).

----------------, al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta:

eLSAQ, 2005).

Al-Jurjānī, ʿAbd al-Qāhir, DalāʾIl Al-IʿJāz, ed. Maḥmūd

Muḥammad Shākir, (Kairo: Maktabat al-Khanjī,

1984).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional,2008.

Al-Kirmānī , Maḥmūd bin Ḥamzah, Asrār al-Tikrār fī al-

Qur‟ān. T. Tp: Dār al-Faḍīlah, T.th. T.tp.

Page 203: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

192

----------------------, al-Burhān fī Mutashābih al-Qur'ān,

Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1986.

Khalafullah, Muḥammad Aḥmad,. Al-Fann al-Qaṣaṣ fī al-

Qur‟ān al-Karīm, Terj. Zuhairi Misrawi dan Anis

Maftukhin, Jakarta: Paramadina, 2002.

Al-Khūlī, Amīn, Manāhij Tajdīd fī Naḥw wa al-Balāghah wa

al-Adab, Mesir: Dār al-Ma‟ārif, T.th.

Luxernberg, Cristoph, Syro-Aramaic Reading to The al-

Qur‟an: A Contribution to Decoding of The language

to The Koran. Berlin: Verlag Hans Schiler, 2004.

Maḥmūd, Abd Ḥālim, Manāhij al-Mufassirīn, Kairo: Dār al-

Kitab al-Miṣr, 2000.

Malkan, Dimensi Ilmiah Dalam Tasir Al-Sha‟rāwī: Suatu

Kajian Ayat Tentang Penciptaan Manusia, Jakarta:

Mazhab Ciputat 2016.

Martinet, Andre, Ilmu Bahasa : Pengantar, Terj. Rahayu S.

Hidayat. Yogyakarta: Kansius , 1987.

Moleong, Lexy J, Metodelogi Penelitian Kualitatif.

Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013.

Mubarok, Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam

Tafsir al-Qur‟an Kontemporer “ala” M. Syahrur,

Yogyakarta: eLSAQ, 2007.

Al-Munjid, Muḥammad Nūr al-Dīn, al-Ishtirāk al-Lafẓī al-

Qurān al-Karīm: bayna al-Nadhriyah wa al-Taṭbīq,

Damaskus: Dār al-Fikr, 1999.

Mustaqim, Abdul, Epistimologi Tafsir Kontemporer.

Yogyakarta:LKIS, 2012.

Mustansir, Mir, Coherence in the Qurʾān: A Study of Iṣlāḥī‟s

Concept of Naẓm in Tadabbur-i Qurʾān, Indianapolis,

IN: American Trust Publications, 1986.

Al-Naysābūrī, „Abd Allāh bin Muḥammad bin al-Ḥākim,

Abū, Mustadrāk „Alā al-Ṣaḥīḥayn liḤākim, Kairo:

Dār al-Ḥaramayn, 1997.

Newby, D. (ed.), “Egypt” dalam A Concise Encyclopaedia of

Islam, Oxford: One World, 2002.

Page 204: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

193

Nicholson, Reynold Alleyne, Literary History of the Arabs,

London: Cambridge U.P., 1969.

Al-Rawāwī, 'Abd al-Fattāḥ, Dalīl al-Ḥuffaẓ fī Mutashābih al-

Alfāẓ, Kairo: Maktabah al-Sunnah Bibawri Sa'īd, 2007. Rahman, Yusuf, “Ellipsis in the Qur‟ān: A Study of Ibn Qutaybah‟s

Ta‟wīl Mushkīl al-Qur‟ān” dalam Literary Structures of

Religion Meaning in the Qur‟ān, ed. Issa J. Boullatta, UK:

Curzon Press, 2000.

Al-Rāzī, Fakhr al-Dīn, Mafātiḥ al-Ghayb, Libanon: Dār al-

Fikr, 1981.

Riḍā, Muḥammad Rashīd, Tafsīr al-Qur‟ān al-Ḥakīm, Beirut:

Dār al-Fikr, T.th.

Saeed, Abdullah, Interprating The Qur‟an: Towards A

Contemporary Approach, London and New York:

Routledge, 2006.

Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munāsabah al-Qur‟an,

Ciputat: Puspita Press, 2011.

Al-Ṣābūnī, Muḥammad „Alī, Ṣafwah al-Tafāsir, Beirut: Dār

al-Qur‟ān, 1981.

Setiawan, M. Nur Kholis, al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar,

Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.

Soroush, Abdul Karim, “The Evolution and Devolution of

Religious Knowledge”, dalam Charles Kurzman (ed.),

Liberal Islam: A Source Book, Oxford: 1998.

Al-Sha‟rāwī, M. Mutawallī, Tafsīr al-Sha‟rāwī: Khawāṭir

Faḍīlah al-Shaykh Muḥummad Mutawallī al-Sha‟rāwī

Ḥawl al-Qur‟ān al-Karīm, Kairo: Idārah al-Kutub wa

al-Maktabāt, 1991.

--------------, Mu‟jizah al-Qur‟ān , Mesir: Akhbār al-Yawm,

T. Th.

Sirry, Mun‟im, Islam Revisionis; Kontestasi Agama Zaman

Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018.

----------------, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis Atas

Kritik Al-Quran Terhadap Agama Lain" Jakarta:

Gramedia, 2013.

Page 205: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

194

Al-Suyūṭi, Jalāl al-Dīn, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān,

Damaskus: Dār al-Fikr, 1979.

-----------------, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān, Maktabah Nazār

Muṣṭafā al-Bāz, 200).

-------------------, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān, Arab Saudi:

Markaz al-Dirāsah al-Qur‟āniyah T. Th.

Al-Ṭaharawanah, Sulaymān. Rahasia Pilihan Kata dalam al-

Qur‟an, Terj. Agus faishal Kariem dan Anis

Maftukhin, Jakarta: Qisthi Press, 2004.

Al-Sabt, Khālid bin „Uthmān, Qawā‟id al-Tafsīr, T.tp.:Dār

bin „Affān, T.th.

Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan dan

Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami

Ayat-Ayat Al-Qur‟an, Ciputat: Lentera Hati, 2015.

--------------, Tafsīr al-Misbāh,Ciputat: Lentera Hati, 2017.

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia,

Transliterasi dan Pembuatan Notes dalam Karya

Ilmiah. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2014.

------------------Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi

Program Magister dan Doktor, Jakarta: Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.

Wadud, Amina, Qur‟an and Woman; Rereading the Sacred

Text From a Woman‟s Perspective, New York:

Oxford University Press, 1999.

Al-Wāḥidī, Abī al-Ḥasan „Alī bin Aḥmad (W. 468 H.), Asbāb

Nuzūl al-Qur‟ān, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah,

1991.

Watt, W. Montgomery, Bell‟s Introduction to the Quran,

Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991.

Yunus, Mahmud, Tafsir Qur‟an Karim, Ciputat: Mahmud

Yunus wa Dzuriyyah, 2011.

Al-Zarkashī, Badr al-Dīn Abī „Abd Allāh Muḥammad, al-

Burhān fī „Ulūm, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah,

2007.

Page 206: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

195

Zayd, Nasr Ḥamīd Abū, Kritik Wacana Agama,

Terj.Yogyakarta: Lkis, 2003.

Sumber: hasil Penelitian, Jurnal, Website dan

Aplikasi.

Abdul-Rahim, Roslan, “Naskh Al-Qur‟an: A Theological And

Juridical Reconsideration Of The Theory Of

Abrogation And Its Impact On Qur‟anic Exegesis,

Disertasi S3 the Temple University Graduate Board,

2011.

Amir, Selamat et.al., "Pentafsiran Saintifik dalam al-Quran:

Satu PengenalanTerhadap Metode al-Sha„rāwī dalam

Tafsīr al-Sha„rāwī, Tumpuan Surah al-An„ām Ayat

125" dalam Jurnal Usuluddin 42 , Juli – Desember

2015.

Alshdaifat, Abdallah Tayseer, “The Formation of Nominal

Derivatives in the Arabic Language With a View to

Computational Linguistics”, Disertasi-S3 University

of Salford, Salford, UK, 2014.

Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia versi lima.

El-Awa, Salwa, “Repitition in the Qur‟an: A Relevance Based

Explanation of the Phenomenon” Islamic Studies 42,

No. 4, 2003.

Badr al-Dīn, “Umaymah, al-Tikrār fī Hadīth al-Nabawī al-

Sharīf.” Jurnal Universitas Damaskus 26, 2010.

Baidan, Nasruddin, “Metode Penafsiran Ayat-Ayat Beredaksi

Mirip di Dalam Al-Qur‟an, Disertasi S3 Fakultas

Pasca Sarjana IAIN Syari HIdayatullah Jakarta:

Ciputat, 1990.

Bin Abdullah, Mustaffa dan Ahmad Zaki bin Ibrahim,

“Tawhid Uluhiyyah, Rububiyyah Dan Al-Asma‟ Wa

Al-Sifat Menurut Tafsiran Muhammad Rasyid Rida

Dalam Tafsir Al-Manar" dalam Jurnal Usuluddin,

20/07/2011.

Page 207: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

196

Al-Barkah, Muḥammad bin, “al-Mutashābih al-Lafẓī fī al-

Qur'ān al-Karīm wa Tawjīh Dirasah Maudu'iyah”,

Tesis S2 Arab Saudi: Universitas Ibn Saud, 2009.

Bakar, Abu, “Pemikiran Tafsīr Mesir Modern J.J.G. Jansen

(Telaah atas Karya J.J.G. Jansen The Interpretetation

of The Koran In Modern Egypt),” dalam Al-Iḥkām,

Vol. VI, No. 1 Juni 2011.

Al-Jabalī, Muḥammad Rajāī Aḥmad, Tawjīh al-Mutashābih

al-Lafẓī fī al-Qur'ān al-Karīm bayna al-Qudamā wa al-

Muḥadthīn, Aḥmad al-Gharnāṭī wa Fāḍil al-Sāmiraī:

Dirāsah Muqaranah, Disertasi-S3 Jami'ah Malāyā

Akādīmiyah al-Dirāsāt al-Islamiyyah, 2012.

Bin Amir, Selamat, et.al., “Aplikasi Elemen Saintifik Dalam

Tafsir Al-Qur‟an: Satu Pengamatan Awal Terhadap

Manhaj Zaghlul Al-Najjar Dalam Tafsir Al-Ayah Al-

Kawniyyah Fi Al-Quran Al-Karim” dalam

Proceedings: The 2nd Annual International Qur‟anic

Conference 2012, (Centre of Quranic Research (CQR).

Dalhari, “Karya Tafsir Modern Di Timur Tengah Abad 19

Dan 20 M,” Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis

3, No, 1, juni 2013.

Dayeh, Islam, “Al-Hawāmīm: Intertextuality and Coherence

In Meccan Surahs” dalam, The Qur‟ān In Context:

Historical and Literary Investigations Into The

Qur‟ānic Milieu, ed. Angelika Neuwrith.

Dzikri Nirwana, "Peta Tafsir Di Mesir; Melacak

Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an dari Abad Klasik

Hingga Modern" dalam Jurnal Falasifa. Vol. 1 No.1

Maret 2010.

Haggar, Dalia Abo, “Repetition: A Key To Qur‟anic Style,

Structure And Meaning”, Disertasi-S3 di University

of Pennsylvania, 2010.

Hariyati, Jamiah, “Nilai-Nilai Pendidikan pada Kisah Qabil

dan Habil (Q.S. Mā‟idah [5]: 27-32),” dalam Edu

Riligia: Vol. 2 No.1, Januari - Maret 2018.

Page 208: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

197

J.J.G.Jansen, “The Interpretation of The Koran in Modern

Egypt” Disertasi-S3 Rijksuniversiteit Leiden, 1972.

Fathurrahman, Oman. “al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam

Pesrpektif Toshihiko Izutsu.” Tesis Sekolah

PascaSarjana, Ciputat: 2010.

Gusmian, Islah, “Lompatan Stilistika dan Transformasi Dunia

Makna al-Qur‟an” Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. II, No.

2, 2007.

Hadianto, Andy, Repetisi Kisah Al Qur‟an(Analisis Struktural

Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat

Makkiyyah dan Madaniyyah), Disertasi-S3 Sekoalah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender pada

Tafsir al-Sha‟rāwī. Disertasi S3. pada Program

Pascasarjana UIN Jakarta, 2004.

Al-Jabālī, Muhammad Rajāī Aḥmad, “Taujīh al-Mutāshabih

al-Lafdhī fi al-Qur‟an al-Karīm; Bayna al-Qudamā wa

al-Muḥaddithīn, Aḥmad al-Gharnāṭī wa Fāẓil al-

Samurāī; Dirāsah Muqaranah,” (Akādīmiyyah al-

Dirāsah al-Islāmiyah, jāmi'ah malāya, 2012.

J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern

Egypt, Disertasi S3 di Rijksuniversiteit Leide tahun

1972.

Jayne Gottlieb Brinton, Jacquelene, Preaching Islamic

Renewel: Shyakh Muhammad Mutawalli al-Sha and

The Synchronization of Revelation adn Contemporary

Life, Disertasi- S3 di University of Virginia, 2009.

----------------- “Preaching and the epistemological

enforcement of ‘ ulama'’ authority: The sermons of

Muhammad Mutawalli al-Sha‟rāwī ." Intellectual

Discourse, Vol 19, No 1, 2011.

-------------------- “Religion, National Identity and

Nation Building: Muḥammad Mutwallī al-Shaʿrāwī‟s

Concept of Islam and Its Ties to Modern Egyptian

Politics. " Comparative Islamic Studies, 10.1, 2014.

Page 209: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

198

Kartika, Lili, et.al., “Analisis Hubungan Zonal dan Angin

Meridional Lapisan 850 Milibar Terhadap Curah

Hujan Di Sumatera Barat, ” dalam Pillar of Physics,

Vol. 8. Oktober 2016.

Khaldun, Rendra, "Sebuah Upaya untuk Menemukan Makna

Kehendak Tuhan dalam Teks Agama," dalam Jurnal

Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012.

Klar, Marianna, "Text-Critical Approaches to Sura Structure:

Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat

al-Baqara. Part Two," dalam Journal of Qur‟anic

Studies 19.2 (2017).

Mudhiah, Khoridatul, “Menelusuri Makna Pengulangan

Redaksi Dalam Surat al-Raḥmān,” Hermeunetik 8, no

1, Juni 2014.

Neuwrith, Angelika, “Referentialty and Textuality in al-Ḥijr:

Some Observations on The Qur‟anic Canonical

Process and Emergency of a Community,” dalam

Literary Structures of Religious Meaning in the

Qur‟ān, ed. Issa J. Boullata, Richmond: Curzon,

2000.

Nahri, Delta Yaumin, “Ta‟wīl Ibn Al-Zubayr Terhadap

Mutashābih Al-Lafẓ dalam al-qur‟an,” Mutawātir:

Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 4, no 1, Juni 2014.

Nahri, Delta Yaumin, “Ta‟wīl Ibn Al-Zubayr Terhadap

Mutashābih Al-Lafẓ dalam al-qur‟an,” Mutawātir:

Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 4, no 1, Juni 2014.

Nirwana, Dzikri, "Peta Tafsir Di Mesir; Melacak

Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an dari Abad Klasik

Hingga Modern" dalam Jurnal Falasifa. Vol. 1 No.1

Maret 2010.

Muḥammad, „Abd al-Raḥmān, “al-Tikrār Muḍāhiruh wa

Asrāruh,” Tesis Ummu al-Qurā University, 1983.

Yunus, Muhammad Rafii, “Modern Apprpaches to the Study

of I‟jaz al-Qur‟ān,” Disertasi The University of

Michigan, 1994.

Page 210: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

199

Rahman, Yusuf ” The Miraculous Nature of Muslim

Scripture: A Study of 'Abd Al-Jabbar "I'jaz al-

Qur'ān" Islamic Studies, Vol. 35, No. 4. Winter 1999.

--------------, “Tren Kajian al-Qur‟an di Dunia Barat”, Studi

Insania, April 2013. Vol. 1, No. 1.

--------------, "Akidah Sayyid Quṭb (1906-1966) dan

Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur‟an" dalam Jurnal

Tsaqafah, Vol. 7, No. 1, April 2011.

Salahuddin, Dimensi Kalam dalam Pemikiran Syekh

Muhammad Mutawalli Sya‟rawī. Tesis-S2 Program

Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1997.

Sjadzili, Ahmad Fawaid, “Diskursus „Ulum al-Qur‟an di

Mesir Kontemporer,” dalam Studi al-Qur‟an, Vol. II,

No. 2, 2007.

Sokol, Leslie, “Don't Be Afraid to Ask for Help Giving and

getting help benefits everyone,” dalam

psychologytoday, diakses dari

https://www.psychologytoday.com/intl/blog/think-

confident-be confident/200909/dont-be-afraid-ask-help. Sovia, Sheyla Nichlatus, “Interpretasi Kontekstual (Studi

Pemikiran Hermeneutika al-Qur‟an Abdullah Saeed)”

dalam Dialogia, Vol. 13. No. 1, 2015.

El-Tahry, Nevin Reda, “Textual Integrity and Coherence in

the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in

Surat al-Baqara,” Disertasi S3, University Toronto,

2010.

Taufiq, Imam, "Nuansa Etis Dalam Surat al-Balad (Sebuah

Penafsiran Linguistik Model Bint al-

Syati‟)",Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari

2005.

Al-Tsabt, Khālid „Uthmān, Qawā‟id al-Tafsīr Jam‟an wa

Dirāsatan, Mesir: Dār Ibn „Affān, 1421 H.

Al-Thawnī, Hātif Barīhī Shiyā', "Dalālah al-Tikrār fī al-

Qur‟ān", dalam Majalah al-Qādisīyah li al-'Ulūm al-

Insāniyah, Vol. 11. No. 4, 2007.

Page 211: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

200

Yunus, Badruzzaman M., “Tafsir al-Sya‟rāwī; Tinjauan

Terhadap Sumber, Metode dan Ittijāh,” Disertasi

Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, .Jakarta: 2009.

Zayd, Naṣr Ḥamīd Abū, “The Textuality of the Koran” Islam

and Europe in Past and Present, NIAS, 1997.

Zulkarnain, Muhammad Iskandar, al-Ḥadhf dalam Penafsiran

Al-Qur‟an (Telaah Kritis atas Konsepsi al-Ḥadhf

dalam Pemaknaan Ayat), Tesis-S2 Pasca Sarjana

Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2017.

https://berkleycenter.georgetown.edu/people/salwa-el-awa

http://www.islamicstudies.harvard.edu/faculty/dalia-abo-

haggar/

http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?act=view&buku_id

=92964&mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetai

l&typ=html

https://religiousstudies.ku.edu/jacquelene-brinton

https://geotimes.co.id/author/munim-a-sirry/

https://theology.nd.edu/people/faculty/munim-sirry/

https://www.geschkult.fuberlin.de/en/e/semiarab/arabistik/Se

minar/Mitarbeiterinnen-und-

Mitarbeiter/Professuren/Dayeh/index.html

Page 212: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

201

GLOSARIUM

Al-waḥdah al- Mawḍū’iyyah: : Kesatuan tema, kesatuan tema-tema yang berserakandan menunjukkan bahwa dalam tema-tema tersebut tersusun satu kesatuan tema yang utuh dan tidak bertentangan satu sama lain. Ayat Kawniyyah : Sumber Ilmu Pengetahuan yang

bersumber dari segala hal tentang alam semesta.

Ayat Qur'āniyyah : Sumber Ilmu Pengetahuan yang bersumber dari kitab suci al-Qur‟an .

Asbāb al-Nuzūl : sesuatu yang menyebabkan satu ayat atau beberapa ayat diturunkan untuk membicarakan sebab atau menjelaskan hukum sebab tersebut pada masa terjadinya sebab itu.

Balāghah : Menyampaikan makna yang luhur secara jelas dengan menggunakan ungkapan bahasa yang benar serta fasih. Dua aspek yang menjadi kajian utama „Ilm Balāghah. Pertama, “lapisandalam” yaitu makna yang terdapat dalam fikiran mutakallim/pembicara. Kedua, “lapisan luar” yaitu berupa ujaran yang diutarak oleh mutakallim baik secara atau tulisan untuk menyampaikan makna.

Formulasi : Perumusan dalam bentuk/makna yang tepat. Ibrah : Pembelajaran yang bisa diambil dari sebuah teks,peristiwa dan fenomena. Ijtihādī : Penyusunannya berdasarkan ijtihd

Page 213: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

202

para Sahabat Nabi dan Ulama (selain Allah dan Nabi).

Ishtirāk al-Lafẓī : Pembahasaan tekait dengan satu

lafaz yang sama tetapi memilki

makna yang berbeda.

Jinās : gaya bahasa yang

menggunakan “ulangan kata” Kesesuaian atau kemiripan dua lafaz dalam pengucapan sedangkan artinya berbeda.

Kontekstual : Sesuatu konsep yang berusaha untuk menerapkan sesuai dengan zamannya/konteksnya.

Kontemporer : Sesuatu yan bersifat kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Linguistik : Ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sabagai objek kajiannya. Munāsabah : Hubungan, keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al- Qur‟an. Mutashābih : Aspek dalam al-Qur‟an yang samar untuk dipahami kemungkinan memiliki banyak makna;

Mutashābih al-Lafẓī : Ayat atau lafaz yang

mengalami pengulangan secara lafaz,

maupun perbedaan yang dikarenakan

taqdim (dikedepankan) atau ta'khīr

(diterakhirkan) atau dengan tambahan

dalam ibarahnya.

Qaṣaṣ al-Qur’ān : Kisah-kisah yang terkandung dalam

al-Qur‟an.

Page 214: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

203

Tafsīr Mawḍu’ī : Salah satu metode dalam menafsirkan

al-Quran , yaitu dengan cara menentukan

tema yang akan dibahas, lalu menghimpun

ayat-ayat al-Quran yang membicarakan tema

tersebut, lalu menyusun ayat itu berdasarkan

asbāb al- Nuzūl, dan menghubungkan

menganalisa hubungan dan kandungan dalam

ayat-ayat tersebut, dan pada akhir

menyimpulkan bagaimana ayat-ayat tersebut

berbicara tentang tema yang telah ditentukan

di awal. Tafsīr Taḥlilī :Cara menafsirkan al-Quran sesuai urutan mushaf disertai dengan analisa dari berbagai aspek, seperti, mufradat,

munāsabah, asbāb al-nuzūl dan masih banyak lagi, dengan metode ini, semua bagian ayat ditafsirkan, ruang lingkup metode tafsir ini sangat luas, metode ini mendalami ayat dari awal sampai akhir. Tafsīr Muqaran :Tafsir yang menjelaskan makna-makna

yang sukar untuk dipahami, yaitu dengan

cara membandingkan sejumlah ayat/lafaz

yang memiliki diksi kemiripan atau dengan

membandingkan pendapat para mufassir . Tawqifī :Penyusunannya (al-Qur‟an) berdasarkan Petunjuk dari Nabi

Tikrār :Ayat/lafaz yang mengalami pengulangan secara lafaz, maupun perbedaan yang dikarenakan taqdim (dikedepankan) atau ta'khīr (diterakhirkan) atau dengan tambahan dalam ibarahnya.

Semantik :Ilmu tentang makna kata dan

kalimat, pengetahuan mengenai seluk-

beluk dan pergeseran arti kata, bagi

struktur bahasa yang berhubungan dengan

Page 215: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

204

makna dan ungkapan atau struktur suatu

wicara. Strukturalisme :Paham mengenai unsur-unsur

pembangun sebuah bangunan memiliki hubungan dan menempati posisi dalam sebuah tubuh yang kokoh.

‘Ulūm Al-Qur’ān :kumpulan disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk memahami dan menggali kandungan dalam kitab suci al-Qur‟an.

Page 216: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

205

Indeks

M

mufassir, 1, 2, 3, 9, 16, 59, 76

P

perjalanan, 43

‘Abd al-Qāhir al-Jurjānī, 17, 68, 90

‘Ulūm al-Qur’ān, 2, 5, 20, 21, 30, 36, 63,

72, 73, 87, 96

A

Al-Sha’rāwī, 5, 15, 16, 43, 44, 45, 46, 48,

50, 51, 52, 53, 56, 78, 83, 84, 85, 86, 88,

89, 91, 98, 116

al-Zarkashī, 4, 5, 21, 82, 84

al-Zubayr, 6, 28

Amīn al-Khūllī, 1

Angelika Neuwrith, 10, 74, 92, 107

D

Dalia Abo Haggar, 12, 40, 41, 65, 68, 69,

70, 107

I

i`jāz al-Qur`ān, 5

Ibn Qutaybah, 3, 4, 13, 27, 29, 68, 69, 106

Ishtirāk al-Lafẓī, 21, 36, 37, 109

J

John Wansbrough, 11, 110

M

mufassir, 1, 2, 3, 9, 16, 59, 76

Munāsabah, 2, 21, 29, 30, 31, 32, 33, 80

mutashābih al-lafẓī, 6

P

perjalanan, 43

S

Salwa al-Awa, 10, 11

Salwa el-Awa, 10, 24, 38, 39, 40, 86, 107

T

Ta’wīl Mushkil al-Qur’ān, 4, 29, 68

Tafsīr al-Sha’rāwī, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 15,

16, 17, 18, 19, 20, 22, 44, 45, 47, 50, 51,

53, 54, 55, 56, 61, 71, 80, 83, 84, 85, 86,

87, 88, 89, 91, 92, 94, 95, 96, 98, 103,

110, 111, 115, 116, 117

‘Abd al-Qāhir al-Jurjānī, 17, 68, 90

‘Aṣr al-Tadwīn, 59

‘Ulūm al-Qur’ān, 2, 5, 20, 21, 30, 36, 63,

72, 73, 87, 96

A

Abu Zayd, 36

Al-Sha’rāwī, 5, 15, 16, 43, 44, 45, 46, 48,

50, 51, 52, 53, 56, 78, 83, 84, 85, 86, 88,

89, 91, 98, 116

al-Zarkashī, 4, 5, 21, 82, 84

Page 217: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

206

al-Zubayr, 6, 28

Amīn al-Khūllī, 1

Amina Wadud, 43

Angelika Neuwrith, 10, 74, 92, 107

D

Dalia Abo Haggar, 12, 40, 41, 65, 68, 69,

70, 107

G

Gabriel Said Reynolds, 37

I

i`jāz al-Qur`ān, 5

Ibn Jama’ah, 76

Ibn Qutaybah, 3, 4, 13, 27, 29, 68, 69, 106

Ishtirāk al-Lafẓī, 21, 36, 37, 109

J

John Wansbrough, 11, 110

M

mufassir, 1, 2, 3, 9, 16, 59, 76

Munāsabah, 2, 21, 29, 30, 31, 32, 33, 80

mutashābih al-lafẓī, 6

N

Nūr ‘alā Nūr, 45, 48, 49, 50, 53, 84

P

perjalanan, 43

S

Salwa al-Awa, 10, 11

Salwa el-Awa, 10, 24, 38, 39, 40, 86, 107

T

Ta’wīl Mushkil al-Qur’ān, 4, 29, 68

Tafsīr al-Sha’rāwī, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 15,

16, 17, 18, 19, 20, 22, 44, 45, 47, 50, 51,

53, 54, 55, 56, 61, 71, 80, 83, 84, 85, 86,

87, 88, 89, 91, 92, 94, 95, 96, 98, 103,

110, 111, 115, 116, 117

Page 218: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

207

No Jilid Konten Halaman

1 I AL-Fātiḥāh s.d al-Baqarah 154 1-658

2 II Al-Baqarah 155 s.d ‘Alī ‘Imrān 13 659-1302

3 III ‘Alī ‘Imrān 14 s.d ‘Alī ‘Imrān 189 1945-1944

4 IV ‘Alī ‘Imrān 190 s.d al-Nisā’ 100 1945-2586

5 V Al-Nisā’ 101 s.d al-Mā’idah 54 2587-3228

6 VI Al-Māidah 55 s.d al-An’ām 109 3229-3870

7 VII Al-An’ām 110 s.d al-A’rāf 188 3871-4512

8 VIII Al-A’rāf 188 s.d Al-Tawbah 44 4513-5154

9 IX Al-Tawbah 45 s.d Yūnus 14 5155-5794

10 X Yūnus 15 s.d Hūd 27 5795-6432

11 XI Hūd 28 s.d Yūsuf 96 6433-7072

12 XII Yūsuf 97 s.d Al-Hāj 47 7073-7712

13 XIII Al-Hāj 48 s.d Al-Isrā’ 4 7713-8352

14 XIV Al-Isrā’ 5 s.d Al-Kahfi 98 8353-8992

15 XV Al-Kahfi 99 s.d Al-Anbiyā 90 8993-9632

16 XVI Al-Anbiyā 91 s.d Al-Nūr 35 9633-10272

17 XVII Al-Nūr 36 s.d Al-Qashash 29 10273-10912

18 XVIII Al-Qashash 30 s.d Al-Rūm 58 10913-11552

19 XIX Al-Rūm 59 s.d Al-Ahzāb 63 11553-12192

20 XX Al-Ahzāb 64 s.d Al-Shāffāt 138 12193-12832

Lampiran I

Konten Tafsir al-Sha’rāwī Perjilid dalam terbitan Akhbār al-Yawm

Page 219: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

208

Lampiran II

Rekomendasi Lembaga Riset al-Azhar

الهر حي م ن ح الهر ه لل ا س م ب

Al-Azhar Islamic Research Academy

General Departement

ForResearching, Writting and

Translation

ازلألىر لإالاسمية الازحث مجم

الاامية أإرادلة واترلجمة التأليف للازحث و

بأاار زيلا زتلازر ي لطاا الاا هادرر اأسلتاذ ديسلأ/وبدا - وبركاتو ورح ة الله علكيم السال

الكريم الطران حزل زباطري : كتاب ومراجاة الالب صانا صفبح فاناء ىلع الشاراوي متزلي للايل محمد الشيخ ضفيةل : تأليف

طااة ىلع مان نم ولا سلإاالمية الاطدية رتاارض م فيو ام ليس اهذكزر الكتاب بأن نفيد . نااصة نفطتكم

الشررفة النازرة الاحلأدث الطرانية و االايت بكتابة التامة الانارة رضورة لعى التأكدي م . زهااقف الله

وبركاتو ورح ة الله علكيم السال و

الاا هادرر

والرتجمة الاحزث رادلإاة

رتحررا ي 1111/10/11 هزهااقف 00/01/ 1991

Page 220: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

209

Lampiran III

Pernyataan al-Sha’rāwī dalam pembukaan kitab Tafsīr al-Sha’rāwī

الهر حي م ن ح الهر ه لل ا

س م ب ديسان محمد, رسلو ابمت رح تو و لعى لسم صلى الله و أن محمد, امدم الله امك انملع

.... باد و كتاب الله, عشت أين فيو رشف هتجلإادي , هجايد صحيلة , و الايمل , معري اصحد هفذا , و رعفاين

واجب وأدرت , ايمإين وفيت دهج كأزن دق لالى فيض الله , و ستطاال وتاكمتن لا كتاب الله لا و , بايد يأيت زباطر نم مفتاح ىذه بزاري كتزن نو نأ ساحان سأأل الله

ىداه هن دابره نالم نم الله ام ءنحد , و علهيا من لأارض و ررث الله ءاجعبو تىح ضطنت

كولايل نعم اللهو وحسبنا

رعشلاايو وتم لي محمد

Page 221: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

210

Page 222: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

211

Tentang Penulis

Angga Marzuki, lahir di Pandeglang,

01 Desember 1991. Memulai

pendidikan di Sekolah Dasar selama

lima tahun di SDN Palanyar Tiga dan

di tahun terakhir di SDN Palanyar

satu Kecamatan Cipeucang,

Kabupaten Pandeglang. Kemudian melanjutkan ke Jenjang

Madrasah Tsanawiyah di MTs Manbaul Hikmah, di sekolah ini

juga penulis menyelesaikan pendidikan Madrasah Aliyah, selama

penulis menjalani pendidikan Tsanawiyyah dan Aliyah, penulis

tinggal di pondok Pesantren Ma’had al-Shighor al-Islamy,

Gedongan, Cirebon. di bawah bimbingan guru Mulia Drs. KH.

Abuya Bisyri Imam M Ag. Setelah menghabiskan enam tahun,

penulis istirahat dari mondok dan melanjutkan ke jenjang

pendidikan berikutnya di tingkat Universitas, pada tahun 2010,

penulis mulai berstatus Mahasiswa di Universitas Negeri Syarif

Hiyatullah Jakarta, Alhamdulilah pada akhir tahun 2014 penulis

mengalami penyematana toga untuk tingkat ini.

Selama kuliah, penulis menyempatkan diri untuk

mengirimkan tulisan ke beberapa call paper, hanya dua tulisan

yang sempat lolos untuk dipresentasikan “Prinsip-Prisip dalam

Memilih Partai Politik pada Syair Nahdlah Karya Abu Fauzy

(Kyai Ma'shum) Pesantren Gedongan Cirebon.” Pada pagelaran

Muktamar Pemikiran Santri Nusantara yang diselenggarakan

oleh Kementerian Agama RI di tahun 2018. Dan “Nilai Budaya

dalam Ritual Ratib Samman di Lingga, Kepulauan Riau”

Sedangkan tulisan yang pernah dipublis antara lain:

sebuah Sebuah resensi buku, “Menuai Ajaran Islam ala M.

Quraish Shihab” dan “Meneguhkan Berislam di Negara

Pancasila” dan mengisi kolom Kamus Syariah, menjelaskan

makna dari kata “Syukur”.

“Fenomena Perceraian dan Penyebabnya:Studi Kasus

Kota Cilegon” dalam Jurnal Bimas Islam Vol. 9, no. 4, 2016.

Page 223: Diskursus - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang Oyim Umar Anas, tanpa didikan

212

“Rekonstruksi Penafsiran Ayat Amtsâl tentang

Tumbuhan dalam Membangun Karakter Individu (Studi

Pemikiran Ibn 'Âsyur di Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr)”

Dan “Prinsip Memilih Partai Politik: Kajian atas Syair

Nahḍah Karya K.H. Ma’shum Sirojdj Pesantren Gedongan,

Cirebon” Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 17, No. 2, 2019. dalam

Jurnal Bimas Islam Vol. 10, No. 2, 2017. Penulis bisa dihubungi

lewat e-mail: [email protected]