disertasi ugm hasil 1
TRANSCRIPT
Seminar Hasil 1
ANALISIS KINERJA DAN
BEBAN KERJA PILOT DALAM KAITANNYA DENGAN
KECELAKAAN PESAWAT TERBANG;
Studi Kasus Penerbangan Sipil di Indonesia
Diajukan Oleh :
Abadi Dwi Saputra12/341003/STK/00384
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penemuan terbesar setelah alphabet (tulisan) yang telah mengubah dan
membawa kemajuan dalam kebudayaan dan kesejahteraan manusia adalah
penemuan peralatan transportasi, dimulai dengan berhasil diciptakannya sebuah
roda yang mendorong kemajuan alat angkut didarat, dilanjutkan dengan
penemuan kompas yang membuka kesempatan berlayar lebih jauh serta mesin uap
pada masa revolusi industri yang dipakai sebagai alat penggerak kendaraan
bermotor, kapal dan kereta api. Penemuan selanjutnya yang sangat mempengaruhi
sistem transportasi adalah dengan ditemukannya mesin turbin gas, yang kemudian
menjadi turbo jet yang digunakan pada pesawat terbang.
Kemajuan dan perkembangan alat pengangkutan (transportasi)
mengakibatkan tidak ada lagi titik-titik tujuan di muka bumi yang tidak dapat
dicapai oleh manusia, tidak ada lagi batasan dalam berat dan volume yang bisa
diangkut, manusia tidak membutuhkan waktu berhari-hari, berminggu-minggu
maupun berbulan-bulan dalam menempuh perjalanan untuk berpergian ketempat
yang dahulu dikatakan letaknya jauh dari tempat dia berdiam. Sebagaimana akibat
dari adanya kebutuhan pergerakan manusia dan barang, maka tumbuhlah tuntutan
untuk menyediakan sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya agar
pergerakan tersebut bisa berlangsung dengan kondisi aman, nyaman dan lancar
serta ekonomis dari segi waktu dan biaya.
Banyak ahli telah merumuskan dan mengemukakan pengertian transportasi.
Para ahli memiliki pandangannya masing-masing yang mempunyai perbedaan dan
persamaan antara yang satu dengan yang lainnya, Papacostas (1993) menguraikan
bahwa:
“Transportasi adalah suatu sistem yang memungkinkan orang atau barang
dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lain secara efisien dalam
setiap waktu untuk mendukung aktifitas yang diperlukan manusia. Dalam
transportasi ada dua unsur yang terpenting yaitu pemindahan/pergerakan
1
(movement) dan secara fisik mengubah tempat dari barang (comodity) dan
penumpang ke tempat lain”.
Maksud dari definisi tersebut adalah pengangkutan/transportasi
memungkinkan orang (people) maupun barang (comodity) untuk dapat berpindah
dari satu tempat ke tempat lain (origin to destination) dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan dan aktifitas yang diperlukan oleh manusia.
Sementara itu menurut Morlok (1985) tentang pengertian transportasi
mengungkapkan bahwa:
“Transportasi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi tidak hanya untuk
melakukan perjalanan, tetapi untuk mencapai tujuan lainnya, sehingga
transportasi merupakan kebutuhan yang diturunkan atau kebutuhan ikutan
yang timbul dari kebutuhan akan jasa atau barang”.
Selanjutnya, menurut Bowersox, seperti yang dikutip oleh Setijowarno
(2004) mengartikan bahwa:
“Transportasi adalah perpindahan barang atau penumpang dari suatu
lokasi ke lokasi lain, dengan produk yang digerakan atau dipindahkan ke
lokasi yang dibutuhkan atau diinginkan. Pada prinsipnya dalam
transportasi secara garis besar dibedakan atas transportasi darat, laut dan
udara. Selain itu sistem transportasi juga memiliki fungsi pokok sebagai
berikut:
1. Menggerakan obyek yang diangkut baik penumpang, hewan dan barang;
2. Melindungi obyek yang diangkut;
3. Mengendalikan kecepatan dan arah dari gerakan sehingga keamanan
perjalanan dapat terjamin.”
Ketiga definisi mengenai pengertian transportasi tersebut memperlihatkan
bahwa transportasi merupakan proses pemindahan, proses pergerakan, proses
pengangkutan objek (manusia atau barang) dari satu tempat ketempat lain dengan
menggunakan wahana yang digerakkan baik oleh manusia ataupun mesin untuk
menjamin lancarnya proses pemindahan sesuai dengan waktu yang diinginkan,
dimana ditempat lain ini objek (manusia atau barang) tersebut dapat lebih
bermanfaat dan dapat berguna untuk tujuan-tujuan tertentu. Transportasi
2
digunakan untuk memudahkan manusia untuk melakukan aktivitas sehari-sehari
dan merupakan hal penting dan strategis serta mempengaruhi hampir semua aspek
kehidupan manusia. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
transportasi merupakan urat nadi perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia.
Aktivitas perkembangan transportasi di Indonesia yang terdiri dari berbagai matra
(transportasi darat, transportasi laut, transportasi udara, transportasi kereta api, dan
transportasi lainnya) semakin meningkat. Hal ini merupakan dampak dari aktivitas
perekonomian dan aktivitas sosial budaya dari masyarakat.
Seiring dengan peningkatan aktivitas transportasi secara nasional baik dalam
matra transportasi darat, laut, udara, dan perkeretaapian tersebut, maka tuntutan
akan peningkatan kualitas pelayanan, keamanan dan keselamatan transportasi juga
semakin dirasakan.
Menyadari pentingnya peranan transportasi maka penyelenggaraan
transportasi harus ditata sehingga menjadi suatu sistem transportasi nasional yang
handal secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang
seimbang dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan yang
selamat, aman, cepat, lancar, tertib, nyaman dan efisien. Dalam mewujudkan
transportasi yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, nyaman dan efisien maka
aspek keselamatan harus menjadi prioritas utama dalam transportasi, baik di darat,
laut maupun udara, karena indikator dari penyelenggaraan transportasi yang
berbasis keselamatan adalah apabila angka kecelakaan dapat ditekan serendah
mungkin. Namun pada kenyataannya aspek ini masih belum sepenuhnya
menunjukan kinerja yang baik.
Beberapa peristiwa kecelakaan transportasi seperti yang terjadi pada waktu
lalu dapat dijadikan contoh bahwa kendati telah memenuhi standar prosedur
keselamatan yang berlaku, namun kesalahan sekecil apapun dapat menimbulkan
ancaman bagi keselamatan transportasi. Kecelakaan seringkali menimbulkan
korban jiwa maupun kerugian material dan imaterial yang seringkali tidak sedikit
jumlahnya.
Kecelakaan transportasi baik itu transportasi darat, laut dan udara akan
selalu mendapat perhatian yang besar dari masyarakat luas, ini disebabkan karena
3
sektor transportasi merupakan sektor yang mempunyai peran penting dalam
perekonomian suatu daerah/negara dan bersifat menghubungkan suatu daerah
dengan daerah lain, karenanya setiap terjadi kecelakaan pada moda ini secara
otomatis akan menarik perhatian masyarakat secara luas dan khususnya
kecelakaan pada sektor transportasi udara (kecelakaan pesawat terbang) lebih
menarik perhatian publik karena pesawat terbang sebagai salah satu dari moda
transportasi yang ada merupakan sarana perhubungan yang cepat, efisien, dan
nyaman sehingga merupakan pilihan yang paling tepat dalam kehidupan dunia
modern yang menuntut segala sesuatu serba cepat dan efisien. Pesawat terbang
mempunyai karakteristik antara lain mampu menempuh perjalanan untuk
mencapai tempat tujuan dalam waktu cepat, menggunakan serta melibatkan
teknologi tinggi dalam pengoperasiannya, tidak mengenal batas suatu daerah
maupun negara, dan yang paling utama adalah pesawat terbang memiliki tingkat
keamanan dan keselamatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan moda
transportasi lainnya (Martono, 1987).
Kegiatan penerbangan, baik dengan mengoperasikan pesawat terbang sipil
maupun pesawat terbang negara dapat menimbulkan resiko yang tidak diinginkan.
Berbagai resiko akibat kegiatan penerbangan dapat berupa gangguan sonic boom,
tabrakan pesawat, kecelakaan pesawat yang semuanya dapat menimbulkan
kerugian terhadap manusia dan benda di darat. Oleh karena itu terjadinya suatu
kecelakaan penerbangan seringkali menjadi sorotan publik meskipun probalilitas
terjadi kecelakaan persejuta penerbangan sangat kecil bila dibanding moda
tranportasi lainnya. Dalam angka kematian perjalanan per-juta kilometer (death
per million kilometer) moda angkutan udara mendapat indeks (0,05) bermakna
setiap perjalanan sejauh sepuluh juta kilometer terdapat lima orang meninggal,
bandingkan dengan indeks bus (0,4), kereta api (0,6), kapal (2,6), pejalan kaki
(54,2) dan sepeda motor (108,9). (Poerwoko, 2011).
Dalam dunia penerbangan dikenal 3 macam pengertian kecelakaan pesawat
terbang yakni kecelakaan (accident), kejadian serius (serious incident) dan
kejadian/insiden (incident). Accident adalah suatu peristiwa yang terjadi diluar
dugaan manusia yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat yang
4
berlangsung sejak penumpang naik pesawat (boarding) dengan maksud
melakukan penerbangan sampai waktu semua penumpang turun dari pesawat
(debarkasi), dimana dalam peristiwa tersebut mengakibatkan orang meninggal
dunia atau luka parah baik secara langsung maupun tidak langsung atau pesawat
mengalami kerusakan-kerusakan struktural yang berat dan pesawat memerlukan
perbaikan yang besar atau pesawat hilang sama sekali. Sementara itu serious
incident adalah suatu “incident” yang menyangkut keadaan dan yang
mengindikasikan bahwa suatu “accident” nyaris terjadi. Perbedaan antara suatu
“accident” dengan suatu “serious incident” hanya terletak pada akibatnya.
Sedangkan incident adalah peristiwa yang terjadi selama penerbangan
berlangsung yang berhubungan dengan operasi pesawat yang dapat
membahayakan terhadap keselamatan penerbangan (ICAO-Annex 13, 2001).
Salah satu permasalahan yang menonjol di penerbangan adalah bila terjadi
frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat terbang yang meningkat. Meningkatnya
insiden dan kecelakaan dapat merupakan indikator bagi kesiapan operasional
penerbangan. Frekuensi kecelakaan pesawat terbang niaga/komersial di Indonesia
adalah rata-rata 9 kali pertahun, sedangkan di negara Asia lainnya hanya 3-4 kali
pertahun. Angka ini merupakan kesimpulan penelitian Lembaga Penerbangan
Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization), dan kecelakaan
yang dimaksud adalah kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan
fisik pesawat rusak serius (Wibisana, 2007). Hal ini menunjukkan betapa tinggi
angka kecelakaan pesawat terbang di Indonesia.
Sementara itu International Air Transport Association (IATA)
menyimpulkan tingkat keamanan penerbangan di Indonesia termasuk rendah,
yaitu sebesar 1,3 jauh dari angka ideal untuk keselamatan penerbangan ditetapkan
0,35. Keselamatan penerbangan Indonesia kalah jauh jika dibandingkan dengan
Negara lain. IATA memberikan angka 0,0 untuk standar keselamatan di Cina,
Amerika 0,2 dan Negara di Eropa 0,3, namun Indonesia masih lebih baik dari
rata-rata perusahaan penerbangan di Timur Tengah 3,8 dan Amerika Latin 2,6,
sementara rata-rata standar keselamatan internasional berkisar 0,6, semakin besar
angka standar keamanannya, maka semakin buruk standar keamanannya.
5
Penelitian dilakukan terhadap operator penerbangan yang menjadi anggota IATA
(Wibisana, 2007).
Gaung kecelakaan sebuah pesawat terbang dimanapun terjadi, terutama yang
memakan korban (fatal accident), tidak dipengaruhi oleh banyak sedikitnya
jumlah korban yang jatuh. Setiap terjadi kecelakaan fatal, informasi akan
dipublikasikan secara cepat keseluruh dunia dan akan menambah daftar jumlah
kecelakaan dan penilaian yang buruk bagi negara tersebut dimata dunia.
Terjadinya suatu kecelakaan seringkali melibatkan berbagai faktor yang
mempengaruhi. Suatu kecelakaan tidak selalu serta merta terjadi tanpa adanya
peristiwa-peristiwa terdahulu yang mengarah pada terjadinya kecelakaan.
Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi secara bertahap namun masih dalam batas
toleransi tertentu. Suatu ketika akumulasi peristiwa tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya kecelakaan karena telah melewati batas toleransi.
Kecelakaan pesawat terbang sesungguhnya berkaitan erat dengan
keselamatan terbang dan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab penerbang
seorang diri tetapi dipengaruhi oleh satu atau lebih gabungan dari tiga faktor
utama dalam penerbangan yaitu manusia, mesin dan media. Faktor manusia
meliputi kesiapan manusia yaitu kesiapan penerbang beserta awak lainnya. Faktor
mesin menunjuk pada pesawat terbang itu sendiri, sedangkan faktor media
meliputi gejala alam, yaitu keadaan cuaca, medan, ketinggian dan angin.
Lebih terperinci lagi, Kahar (1987) mengatakan bahwa untuk
mengantisipasi kecelakaan terbang perlu diperhatikan konsep 5M sebagai berikut:
1. Man, yaitu unsur manusia yang dalam hal ini adalah penerbang sebagai unsur
pokok;
2. Machine, yaitu mesin pesawat terbang;
3. Mission, yaitu penentuan tujuan penerbangan dengan berbagai macam resiko
yang mungkin dihadapi. Hal ini tergantung pula dari jenis perjanjian dan
perintah;
4. Medium, yaitu cuaca dalam penerbangan dan hambatan infrastruktur;
5. Management, yang mencakup, seleksi, pendidikan, latihan, perlengkapan
keamanan terbang, dan pengendalian opersional.
6
Kelima komponen tersebut hampir tidak pernah berdiri sendiri melainkan saling
terkait.
Pada umumnya suatu kecelakaan pesawat terbang terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor, dalam Safety Management Manual (SMM) yang diterbitkan oleh
International Civil Aviation Organization (ICAO) membagi faktor penyebab
kecelakaan pesawat terbang dalam 4 (empat) kelompok yaitu:
1. Faktor software yaitu : kebijakan, prosedur dan lain-lain
2. Faktor hardware yaitu : prasarana dan sarana
3. Faktor environment yaitu : lingkungan dan cuaca
4. Faktor liveware yaitu : manusia
Dari keempat faktor tersebut oleh FAA (Federal Aviation Administrations)
disimpulkan ada 3 (tiga) faktor penyebab utama kecelakaan pesawat terbang yaitu
faktor cuaca (weather), faktor pesawat yang digunakan (technical) dan faktor
manusia (human factor).
Transportasi udara terselenggara apabila ada interaksi antar faktor manusia
dengan faktor lainnya demikian pula dengan kecelakaan pesawat terbang terjadi
karena adanya interaksi antar faktor manusia dan faktor penyebab kecelakaan
lainnya. Interaksi antar faktor manusia dengan faktor-faktor lainnya dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Antar faktor manusia dengan faktor prasarana dan sarana penerbangan;
2. Faktor manusia dengan faktor software, yang dalam hal ini adalah
ketidakjelasan aturan, kebijakan dan SOP (Standard Operating Procedure)
dan lain-lain yang berhubungan dengan peraturan keselamatan penerbangan;
3. Faktor manusia dengan manusia, interaksi disini dipengaruhi oleh
kepemimpinan, kerjasama, budaya kerja dan lingkungan kerja juga dapat
menyebabkan kecelakaan pesawat terbang;
4. Faktor manusia dengan lingkungan, baik lingkungan dalam perusahaan
maupun luar perusahaan, lingkungan dalam perusahaan adalah kenyamanan
dalam bekerja sedangkan lingkungan diluar dimaksudkan adalah faktor alam
diantaranya kondisi cuaca, hujan, turbulance dan hal-hal lain yang dapat
menyebabkan kecelakaan pesawat terbang.
7
Kemajuan industri penerbangan yang pesat dalam beberapa puluh tahun
terakhir ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat terbang
generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi berbagai peralatan
operasional termasuk prosedur-prosedur ATC (Air Traffic Controller). Hal ini
tidak dapat dipungkiri memberikan dampak pada operator, penerbang pada
khususnya, untuk lebih memperhatikan beberapa persyaratan kemampuan dan
keterampilan yang harus dipenuhi. Faktor manusia menjadi penting terutama
tuntutan pada aspek-aspek psikologis tertentu, mengingat kemajuan teknologi
memberikan dampak pada meningkatnya tuntutan terhadap kemampuan yang
berhubungan dengan kompleksitas kognitif. Perhatian terhadap aspek psikologi
faktor manusia menjadi penting, kegagalan padanya dapat menyebabkan
kecelakaan. Oleh karena itu, selama beberapa dekade belakangan ini berbagai
upaya terus dilakukan untuk mencegah berulangnya kecelakaan pesawat terbang.
Namun pada kenyataannya berbagai upaya tersebut tidak menurunkan angka
kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia (human error).
Dari berbagai laporan resmi penyelidikan tentang sebab-sebab kecelakaan
dapat digambarkan bahwa angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan
kesalahan manusia relatif tetap besar. Menurut FAA (Federal Aviation
Administration) terdapat tiga faktor penyebab kecelakaan yaitu faktor cuaca
(weather) sebesar 13,2 %, armada (pesawat) yang digunakan sebesar 27,1 % dan
hampir 66% dari keseluruhan kecelakaan (accidents) maupun insiden (incidents)
penerbangan disebabkan karena kesalahan manusia (human error) dalam
mengoperasikan sistem penerbangan itu sendiri (Susetyadi, et.al. 2008). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Boeing dan ICAO selama tahun 1959 sampai
dengan tahun 2005 (Sudjono, 2009), seperti yang ditunjukan pada Tabel 1.1,
menemukan bahwa faktor manusia (human factor) merupakan penyebab terbesar
penyebab kecelakaan penerbangan.
NO Penyebab Boeing 1959-1979
Boeing 1980-1989
Boeing 1990-1999
ICAO 1994-1995
Boeing 1996-2005
1 Awak pesawat 75,6 72,5 67 62 552 Pesawat 11,1 10,8 11 14 17
8
3 Perawatan 1,2 2,5 7 12 34 Cuaca 4,9 5 6 4 135 Bandar udara/ATC 3,7 5 4 4 56 Lain-lain 33 4,2 4 4 7
Tabel 1.1 Penyebab utama kecelakaan pesawat terbang (presentase)Sumber: Sudjono 2009
Demikian pula data yang diambil dari (www.planecrashinfo.com) pada
Tabel 1.2, menyebutkan dari statistik kecelakaan semua jenis pesawat komersial
seluruh dunia dari tahun 1950an hingga 2000an, kecelakaan rata-rata akibat awak
penerbangan (pilot error) mencapai 50 %, disusul faktor pesawat (mechanical
failure) 22 %, cuaca (weather) 12 %, sabotase 9 %, kesalahan manusia lainnya
(other human factor) 7 % dan lain-lain 1 %.
NO Penyebab 1950an 1960an 1970an 1980an 1990an 2000an rata-rata
1 Pilot Error 41 34 24 26 27 30 29
2 Pilot Error(weather related) 10 17 14 18 19 19 16
3 Pilot Error(mechanical related) 6 5 5 2 5 5 5
4 Total Pilot Error 57 56 43 46 51 54 50
5 Other Human Factor 2 9 9 6 9 5 7
6 Weather 16 9 14 14 10 8 12
7 Mechanical Failure 21 19 20 20 18 24 22
8 Sabotage 5 9 13 13 11 9 9
9 Other Cause 0 2 1 1 1 0 1
Tabel 1.2 Penyebab kecelakaan pesawat terbang di Dunia (persentase) Sumber: http://www.planecrashinfo.com/cause.htm
Hal yang sama tampaknya terjadi pula di penerbangan nasional, dicurigai
bahwa tingginya frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat terbang berhubungan
dengan sebab-sebab pada faktor manusia. Menurut data yang dihimpun oleh
KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) Kementerian Perhubungan
RI, selama kurun waktu 1988-2012 (per Agustus 2012) telah terjadi 914 kali
9
insiden dan kecelakaan penerbangan sipil/komersial di tanah air. Di antaranya
terjadi 414 kecelakaan (serious incident dan accident), atau ± 17 kali terjadi
kecelakaan per tahun. Sedangkan jika diklasifikasikan kecelakaan pesawat terbang
berdasarkan penyebabnya pada Tabel 1.3, dari data tahun 2007 s/d Agustus 2012
ditemukan bahwa faktor penyebab kecelakaan dari aspek manusia (human factor)
kurang lebih sebesar 35,2% (45 kasus); faktor teknis (technical) sebesar 26,6%
(34 kasus), sisanya merupakan penyebab dari aspek lingkungan (environment)
sebesar 4% (5 kasus) dan hal-hal yang belum teridentifikasi secara jelas
(unidentified) sebesar 34,4% (44 kasus).
Tabel 1.3 Penyebab kecelakaan pesawat terbang di Indonesia (jumlah)
NO Tahun InvestigasiFaktor Penyebab Utama
Faktor Manusia Teknis Lingkungan Cuaca
1 2007 21 15 5 1 02 2008 21 6 12 3 03 2009 21 12 9 0 04 2010 18 9 8 1 05 2011* 32 3 0 0 0
6 2012 (10 Agustus 2012)* 15 0 0 0 0
Jumlah 128 45 34 5 0 Ket: * faktor penyebab masih diperkirakan, karena beberapa laporan final belum diselesaikan Sumber: KNKT
Dari data di atas, baik kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di dunia
maupun di Indonesia, faktor penyebab utama adalah faktor manusia (human
factor) sehingga konsekuensinya kesalahan faktor manusia selalu diletakkan pada
individu, dalam hal ini penerbang (pilot).
Hal ini tidak dapat dipungkiri karena secara tradisional, penyebab terjadinya
kecelakaan pesawat terbang sering diarahkan semata-mata karena kesalahan
penerbang hal ini dikarenakan selama operasi penerbangan melibatkan manusia
maka faktor ini tidak akan terlepas dari kemungkinan terjadinya kecelakaan. Bila
membatasi tanggung jawab hanya pada penerbang saja berarti membebaskan
orang lain atau faktor lain yang mungkin terlibat.
10
Seperti diketahui lingkungan kerja penerbangan melibatkan teknologi yang
tinggi dan menyangkut sistem yang kompleks termasuk pengaturan/prosedur kerja
yang ketat. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penyebab kecelakaan pesawat
terbang tidak mungkin menjadi tanggung jawab penerbang saja. Hampir tidak ada
penyebab tunggal terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Mengapa
seorang penerbang melakukan tindakan tidak aman sehingga terjadi kecelakaan
perlu ditelusuri dan diselidiki lebih mendalam, terhadap kemungkinan-
kemungkinan faktor-faktor lain sebagai penyebab, baik yang berasal dari orang
lain di luar penerbang (pengawas, pemimpin, dan/atau rekan kerja) atau faktor
lingkungan fisik tempat kerja, dan manajemen/organisasi.
Manusia memiliki karakteristik yang unik. Manusia sebagai komponen
sistem atau sub-sistem meskipun mampu beradaptasi dengan baik, fleksibel,
adaptabel dan valuabel dari sistem penerbangan namun manusia tetap memiliki
keterbatasan, cenderung labil dan juga paling sensitif terhadap pengaruh yang
dapat berdampak pada kinerja. Kecelakaan penerbangan umumnya terjadi pada
masa-masa kritis dan di saat yang sama kinerja manusia sedang menurun.
Setidaknya berbagai publikasi tentang topik keselamatan penerbangan
menunjukan 3 dari 4 kecelakaan penerbangan dalam satu periode disebabkan
kurang optimalnya kinerja manusia, dan seringkali hal ini diistilahkan dengan
”pilot error”.
Disadari atau tidak penggunaan istilah ”pilot error” cenderung akan
membuat fakta-fakta pendukung terjadinya kecelakaan tetap tersembunyi yang
sebenarnya bila dikenali lebih awal dapat mencegah terjadinya kecelakaan.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki manusia, perlu optimasi kinerja dengan
cara mempelajari karakteristik manusia secara spesifik. Dalam ruang lingkup yang
lebih luas, peran organisasi penerbangan dan pihak berwenang ikut menentukan
kinerja personel yang bersentuhan langsung dengan operasi di lapangan. Untuk
memperkecil pengaruh manusia (pilot) dalam konteks terjadinya kecelakaan
pesawat terbang baik accident maupun incident, perlu dilakukan berbagai
perbaikan yang terkait sebab-sebab yang mempengaruhi kondisi pilot.
11
Beberapa penelitian di bawah ini menunjukan keterkaitan hubungan antara
kecelakaan pesawat terbang dengan faktor manusia (human factor), baik yang
berasal dari dalam individu pilot itu sendiri (internal factor) diantaranya adalah
faktor usia, jenis kelamin, pengalaman/total jam terbang, tingkat kecerdasan dan
tingkat pendidikan maupun kondisi yang berasal dari luar (external factor)
diantaranya faktor cuaca, lokasi, fase terbang, tipe pesawat, dan kondisi terbang
yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang
diakibatkan oleh manusia.
Secara empiris hasil penelitian Vail, et.al. (1986); McFadden, et.al. (1997);
dan Bazargan (2011); menunjukkan bahwa kecelakaan pesawat terbang dapat
dipengaruhi oleh jenis kelamin dari seorang pilot.
Sementara itu hubungan antara pengaruh usia seorang pilot dengan
terjadinya kecelakaan pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh McFadden, et.al. (1997); Broach, et.al. (2003); Li, et.al. (2006); Rebok, et.al.
(2009); Bazargan (2011); dan Li, et.al. (2009); menunjukkan bahwa usia dari
seorang pilot juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan pesawat
terbang.
Demikian pula halnya dengan tingkat kecerdasaan dan
pendidikan/pengetahuan seorang pilot disinyalir memiliki hubungan yang
signifikan terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang, secara empiris
penelitian yang dilakukan oleh Wignjosoebroto dan Zaini, (2007); Besco, (1992);
dan Rosekind, et.al. (2006) menunjukkan keterkaitan hal tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh McFadden, et.al. (1997); Wignjosoebroto
dan Zaini, (2007); Bazargan, (2011); Conway, et.al. (2005); Capobianco dan
Lee, (2001); Burian, et.al. (2000); dan Bustamante, et.al. (2005) secara empiris
menunjukkan bahwa jam terbang (flight hours) dari seorang pilot juga dapat
mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang.
Sementara itu penelitian yang membahas pengaruh faktor luar (external
factor) yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang
telah dilakukan dalam penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya pengaruh
faktor cuaca, lokasi, fase terbang, tipe pesawat, dan kondisi terbang yang dapat
12
mempengaruhi terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang diakibatkan oleh
manusia.
Hubungan antara pengaruh faktor cuaca didukung oleh penelitian yang
dailakukan oleh Saleem dan Kleiner, (2005); Wong, et.al. (2006); Jarboe,
(2005); Batt dan O’Hare, (2005); Coyne, et.al. (2001); Capobianco dan Lee,
(2001); Goh dan Wiegmann, (2002); Li, et.al. (2009); Wiegman, et.al. (2002);
Burian, et.al. (2000); dan Bustamante, et.al. (2005) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara keadaan cuaca terhadap terjadinya suatu
kecelakaan pesawat terbang, karena pesawat terbang merupakan moda yang
sangat bergantung pada keadaan cuaca, baik waktu tinggal landas/lepas landas
ataupun pada waktu pesawat di udara, sehingga kondisi cuaca sangat berpengaruh
terhadap pengoperasian penerbangan. Selain itu faktor kondisi pengoperasian
penerbangan (IMC or VFR) karena pengaruh cuaca yang dapat mengakibatkan
terjadinya kecelakaan juga telah dilakukan oleh Jarboe, (2005); Batt dan O’Hare,
(2005); dan Coyne, et.al. (2001) secara empiris menunjukkan bahwa
pengoperasian penerbangan (IMC or VFR) berpengaruh terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang.
Secara empiris hasil penelitian yang membahas pengaruh lokasi suatu
daerah terhadap kecelakaan pesawat terbang yang dilakukan oleh Shappell, et.al.
(2007); Rebok, et.al. (2009); Grabowski, et.al. (2002); Changchun dan
Dongdong, (2012); Li dan Kearney, (2000); Grabowski, et.al. (2002); Li, et.al.
(2009); dan Ayres, et.al. (2012) mengungkapakan bahwa faktor lokasi suatu
daerah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya suatu kecelakaan
pesawat terbang. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan permukaan ditiap-tiap
deerah sehingga memungkinkan pula terdapat perbedaan potensi kejadian
kecelakaan disuatu daerah yang satu dengan yang lain.
Sementara itu faktor waktu disinyalir juga memiliki hubungan terhadap
terjadinya kecelakaan pesawat terbang, hal ini dikemukakan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Sungkawaningtyas, (2007); Mello, et.al. (2008); Rebok, et.al.
(2009); Rosekind, et.al. (2006); Goode, (2003); MacPherson dan Tvaryans,
13
(2009); Pruchniki, et.al. (2010); Conway, et.al. (2005); dan Saleem dan Kleiner,
(2005).
Hubungan antara fase terbang (flight phase) dengan terjadinya kecelakaan
pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wignjosoebroto
dan Zaini, (2007); Schvaneveldt (2000); dan Tiabtiamrat, (2009) menunjukkan
bahwa kecelakaan pesawat terbang juga dipengaruhi dari fase terbang (flight
phase) suatu pesawat terbang, karena flight phase adalah tahapan terbang dari
suatu pesawat terbang dari tinggal landas sampai pada pendaratan berikutnya
sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan pada tahapan ini adalah cukup
besar.
Sementara itu hubungan antara tipe pesawat (type of aircraft) dan
kecelakaan pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Wignjosoebroto dan Zaini, (2007); dan Tiabtiamrat, (2009).
Berikut disampaikan tabulasi perbedaan antara penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya sebagaimana terdapat pada Tabel 1.4, khususnya dalam
penggunaan variabel pada model penelitian.
14
NO Penelitian, Tahun
Faktor Internal Faktor Eksternal
Jenis Kelamin (Gender)
Usia (Age)
Jam Terbang (Flight Hours)
Tingkat Kecerdasan
(IQ)
Pendidikan/ Pengetahuan
Cuaca (Weather)
Lokasi (Location)
Organisasi (organization)
Waktu (time)
Tipe Pesawat (Type of Aircraft)
Fase Terbang
(flight phase)
Kondisi terbang (IMC or
VFR)1 Vail, et.al., (1986) √2 Mc fadden, et.al., (1997) √ √ √
3 Broach, et.al., (2003) √
4 Li, et.al., (2006) √
5 Sungkawaningtyas, (2007) √
6 Wignjosoebroto dan Zaini, (2007) √ √ √ √
7 Shappell, et.al., (2007) √ √
8 De Mello, et.al., (2008) √
9 Rebok, et.al., (2009) √ √ √
10 Bazargan, ( 2011) √ √ √
11 Tiabtiamrat, (2009) √ √
12 Grabowski, et.al., (2002) √
13 Changchun and Dongdong, (2012) √
14 Li and Kearney, (2000) √
15 Grabowski, et.al., (2002) √
16 Li, et.al., (2009) √ √ √
17 Ayres, et.al., (2012) √
Tabel 1.4 Penelitian terkait kecelakaan pesawat terbang
15
NO Penelitian, Tahun
Faktor Internal Faktor Eksternal
Jenis Kelamin (Gender)
Usia (Age)
Jam Terbang (Flight Hours)
Tingkat Kecerdasan
(IQ)
Pendidikan/ Pengetahuan
Cuaca (Weather)
Lokasi (Location)
Organisasi (organization)
Waktu (time)
Tipe Pesawat (Type of Aircraft)
Fase Terbang
(flight phase)
Kondisi Terbang (IMC or
VFR)18 Besco, (1992) √19 Rosekind, et.al., (2006) √ √
20 Goode, (2003) √
21 MacPherson and Tvaryans, (2009) √
22 Pruchniki, et.al., (2010) √
23 Conway, et.al., (2005) √ √
24 Saleem and Kleiner, (2005) √ √
25 Wong, et.al., (2006) √
26 Jarboe, (2005) √ √
27 Batt and O’Hare, (2005) √ √
28 Coyne, et.al., (2001) √
29 Capobianco and Lee, (2001) √ √ √
30 Goh and Wiegmann, (2002) √
31 Wiegman and Goh, (2002) √
32 Burian, et.al., (2000) √ √
33 Bustamante, et.al., (2005) √ √
34 Cardi et.al. (2012) √ √
16
35 Schvaneveldt (2000) √
Tabel 1.4 (Lanjutan)
17
Berdasarkan tabulasi pada Tabel 1.4, diperoleh gambaran bahwa penelitian
ini merupakan hasil pemikiraan beberapa penelitian sebelumnya serta ingin
mencari celah penelitian (research gap) untuk dapat diangkat dalam penelitian ini,
sehingga diperoleh sebuah model yang memiliki keunikan dan karakteristik yang
berbeda dibanding model penelitian sebelumnya.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengisi celah penelitian (research gap)
sebelumnya sehingga dapat melengkapi dan meyempurnakannya, celah penelitian
(research gap) yang hendak diisi adalah, apabila penelitian sebelumnya sebagian
besar meneliti tentang hubungan antara berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi manusia dalam hal ini pilot terhadap terjadinya kecelakaan, maka
pada penelitian ini selain membahas faktor-faktor yang dapat mengakibatkan
suatu kecelakaan secara langsung juga untuk menelitinya secara tidak langsung,
dalam hal ini akan melalui variabel antara (intervening or mediating variable)
yakni kinerja (performance) dan beban kerja (workload) terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang.
Fenomena ini kemudian menarik bagi peneliti untuk melihat dampak
hubungan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yakni antara pengaruh waktu
(phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather)
terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang secara langsung (direct effect)
dan juga pengaruhnya terhadap pilot itu sendiri dalam hal ini adalah pengaruh
terhadap kinerja (performance) dan beban kerja (workload) yang dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang (indirect effect).
Untuk menganalisis pengaruh waktu (phases of time), fase terbang (flight
phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap terjadinya kecelakaan
pesawat terbang dan juga pengaruhnya terhadap pilot itu sendiri dilakukan dengan
menggunakan analisis Structural Equation Modeling (SEM) berbasis varians
dengan pendekatan Partial Least Square (PLS) dan Subjective Workload
Assessment Technique (SWAT).
Model analisis SEM memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antar
variabel yang kompleks dan juga untuk memperoleh gambaran menyeluruh
mengenai keseluruhan suatu model (Fornell, 1981). Keunggulan Structural
17
Equation Modeling (SEM) adalah dapat digunakan untuk menguji secara
bersama-sama: model struktural, hubungan antar konstruk independen dan
dependen; dan model measurement, hubungan (nilai loading) antara indikator
dengan konstruk (Bollen, 1989). Analisis Structural Equation Modeling (SEM)
memungkinkan pengujian model struktural dan pengukuran yang berfungsi untuk:
(1) menguji kesalahan pengukuran (measurement error); dan (2) melakukan
analisis faktor bersamaan dengan pengujian hipotesis.
Partial Least Square (PLS) adalah salah satu pendekatan untuk menganalisis
SEM. PLS adalah metode lunak atau soft model karena didalam PLS
pendugaannya tidak memerlukan asumsi lebaran (distrubution free) dari peubah
pengamatan dan ukuran dari contoh tidak harus besar, tetapi sedikitnya adalah
sepuluh kali dari jumlah peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian. Oleh
karena itu dengan tersedianya alat ukur PLS tersebut maka peneliti ingin
melakukan suatu penelitian tentang pengaruh waktu (phases of time), fase terbang
(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap kinerja
(performance) pilot dan terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang dianalisis
dengan menggunakan metode PLS. Metode PLS akan menganalisis faktor-faktor,
baik yang dihitung secara langsung maupun tak langsung terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang. Alasan-alasan lain dilakukannya penelitian ini adalah
belum banyaknya dari penelitian-penelitian yang menyangkut dengan kecelakaan
pesawat terbang yang dalam perhitungannya menggunakan metode PLS.
Sementara itu metode analisis SWAT digunakan untuk menganalisis
permasalahan beban kerja seperti apa yang sering dialami oleh pilot pesawat
terbang yang memiliki kaitan dengan kecendrungan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh manusia (human error) yang bisa menyebabkan terjadinya
kecelakaan pesawat terbang.
B. Perumusan Masalah
Dilihat dari kacamata peneliti penyebab kecelakaan pesawat terbang dapat
ditinjau dari berbagai aspek antara lain sisi manusianya, sistem organisasi,
teknologi dan lingkungan. Faktor manusia (human factor) menjadi penting
18
untuk dikaji, karena berdasarkan data menurut FAA, selama ini penyebab
kecelakaan pesawat terbang di dunia terjadi akibat dari faktor manusia (human
factor) sebesar 66% hal ini dikarenakan sebagian besar operasi penerbangan
melibatkan faktor manusia. Manusia memiliki karakteristik yang unik.
Meskipun mampu beradaptasi dengan baik namun manusia memiliki
keterbatasan dan cendrung labil.
Pilot tidak hanya harus tahu bagaimana mengoperasikan pesawatnya, tapi
juga harus memperoleh gambaran yang akurat tentang lingkungan dimana
pesawatnya bergerak. Menghadapi hal ini bukanlah tugas yang sederhana bagi
pilot, mengingat kompleksitas sejumlah faktor yang harus diperhitungkannya
untuk membuat keputusan dan bertindak secara efektif, tugas pilot tidak
sesederhana sekedar mempersepsi data saja, tapi juga tergantung pada sejauhmana
ia memahami secara mendalam data-data yang signifikan dari lingkungan yang
didasarkan atas pengertian tentang bagaimana komponen dari lingkungan
berinteraksi dan berfungsi, dan selanjutnya mampu memprediksi kondisi sistem
ke depannya. Kesalahan jelas dapat menyebabkan dampak yang tidak diinginkan
yaitu kecelakaan pesawat terbang.
Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas di atas maka permasalahan
yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut: “apakah terdapat
pengaruh antara kejadian kecelakaan pesawat terbang terhadap waktu (phases
of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), cuaca (weather) dan juga
apakah terdapat hubungannya dengan kinerja (performance) dan beban kerja
(workload) pilot itu sendiri.”
Sebagai upaya mempertajam kajian di dalam penelitian ini diturunkan
beberapa pertanyaan penelitian yang lebih spesifik untuk dicarikan jawabannya,
adapun pertanyaan penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Apakah periode waktu terbang (phases of time) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja pilot (performance) ?
2. Apakah periode waktu terbang (phases of time) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kecelakaan pesawat terbang ?
19
3. Apakah periode fase terbang (flight phase) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja pilot (performance) ?
4. Apakah periode fase terbang (flight phase) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kecelakaan pesawat terbang ?
5. Apakah lokasi (location) terbang berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja pilot (performance) ?
6. Apakah lokasi (location) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kecelakaan pesawat terbang ?
7. Apakah kondisi (weather) cuaca berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja pilot (performance) ?
8. Apakah kondisi cuaca (weather) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kecelakaan pesawat terbang ?
9. Apakah kinerja pilot (performance) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kecelakaan pesawat terbang ?
10. Kondisi yang bagaimana yang membebani pilot yang memiliki kaitan dengan
kecendrungan terjadinya kecelakaan pesawat terbang ?
11. Bagaimana kategori faktor-faktor beban kerja yang ada melalui tiga dimensi
pengukuran, yaitu Time Load, Mental Effort Load dan Psychological stress
Load ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan dari beberapa buku referensi dan penelitian empiris
dari peneliti sebelumnya mengenai pengaruh manusia (human factor) dalam
terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang ditunjang dengan model-model dan
dilengkapi dengan teori-teori yang komprehensif untuk menunjang model dalam
penelitian ini, maka diharapkan model penelitian yang dibangun dapat menjawab
pertanyaan penelitian yang secara spesifik bertujuan:
1. Menguji dan menganalisis pengaruh waktu (phases of time), fase terbang
(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang.
20
2. Menguji dan menganalisis pengaruh waktu (phases of time), fase terbang
(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap kinerja
(performance) pilot.
3. Menguji dan menganalisis hubungan terbang ditinjau dari aspek waktu
(phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca
(weather) bagi pilot terhadap potensi terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
4. Mengetahui besarnya nilai pengaruh langsung dan tidak langsung masing-
masing variabel prediktor terhadap variabel kecelakaan pesawat terbang.
5. Mengetahui kesesuaian model teoritis faktor waktu (phases of time), fase
terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap
terjadinya kecelakaan pesawat terbang dengan data empiris.
6. Menganalisis kondisi yang bagaimana yang membebani pilot yang memiliki
kaitan dengan kecendrungan terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
7. Mengetahui kategori dari beban kerja yang dialami oleh pilot.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian dan sesuai dengan sifat penelitiannya, maka hasil penelitian ini
diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan mengenai permasalahan apakah terdapat
hubungan antara kecelakaan pesawat terbang ditinjau dari waktu (phases
of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), cuaca (weather) dan
juga apakah terdapat hubungannya dengan kinerja (performance) dan
beban kerja (workload) dari pilot.
b. Dapat memberikan model baru dalam menganalisis suatu kecelakaan
pesawat terbang yang diakibatkan oleh faktor manusia (human factor).
21
c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi yang positif bagi
penelitian lanjutan khususnya yang membahas mengenai pengaruh
manusia (pilot) dalam kecelakaan penerbangan sipil baik di dunia maupun
di Indonesia.
2. Manfaat praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu para manajemen (manager)
untuk dapat membangun komunikasi tentang apa saja permasalahan-
permasalahan yang terjadi di lapangan dalam hal ini yang terkait dengan
bidang pekerjaan pilot selaku frontliner dari sebuah perusahaan sehingga
dapat memberikan nilai yang optimal bagi perusahaan itu sendiri.
b. Informasi mengenai beban kerja dan kinerja pilot dapat digunakan
sebagai dasar keputusan yang lebih mendalam atau masukan dalam
aspek keselamatan dan keamanan operasional penerbangan baik yang
bersifat teknis maupun non teknis.
E. Cakupan Penelitian
Cakupan penelitian ini meliputi analisis mengenai pengaruh kecelakaan
pesawat terbang ditinjau dari waktu (phases of time), fase terbang (flight phase),
lokasi (location), cuaca (weather) dan juga apakah terdapat hubungannya dengan
kinerja (performance) dan beban kerja (workload) dari pilot dalam menunjang
keselamatan penerbangan. Adapun obyek dalam penelitian ini adalah pilot itu
sendiri selaku frontliner dalam dunia penerbangan, serta manajemen penerbangan
yang menaungi para pilot.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
penjelasan (explanatory research) karena tujuannya adalah untuk menjelaskan
hubungan kausal antar variabel dengan melakukan pengujian hipotesis mengenai
hubungan-hubungan sebab akibat antara variabel-variabel yang dibahas dalam
penelitian ini. Yang menjadi target populasi dalam penelitian ini adalah yang
merupakan pelaku utama yang terlibat dalam permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah Pilot, dan Airlines atau perusahaan penerbangan, adapun area
22
penelitian dilakukan di kota Jakarta mengingat bahwa banyak kantor pusat
perusahaan penerbangan berlokasi di Jakarta.
F. Batasan Penelitian
Melihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya dan banyaknya konsep,
model dan teori yang saling terkait dalam penelitian ini sehingga ada beberapa
variabel yang tidak dapat dimasukkan untuk diteliti dalam penelitian ini serta
adanya keterbatasan waktu, biaya, dan tenaga, sehingga disadari penelitian ini
mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang dapat muncul pada saat dilakukan
pengambilan data di lapangan yakni:
1. Responden dalam hal ini pilot dapat saja mempunyai respon yang berlebihan
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner penelitian.
2. Penelitian ini dibatasi oleh pembatasan yang didasarkan oleh prediksi dari sisi
pandang, dan realibilitas konstruk penelitian.
3. Tidak memungkinkannya menyertakan seluruh kemungkinan yang dapat
membentuk konstruk penelitian, sehingga hanya variabel yang dianggap
dominan saja yang dapat disertakan dalam hal ini adalah aspek waktu (phases
of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).
4. Subyek-subyek didalam penelitian ini mungkin ada yang tidak dapat
dimengerti dengan presepsi yang sama oleh responden sesuai konstruk
pertanyaan kuisioner.
G. Keaslian Penelitian
1. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan studi literatur yang peneliti telusuri, peneliti menjumpai
penelitian yang serupa, Tabel 1.5, berikut ini adalah perbandingan bebarapa
penelitian yang terkait dengan kecelakaan pesawat terbang.
23
Tabel 1.5 Pemetaan hasil penelitian terdahuluNo Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan1 Grabowski et.al. (2002) Exploratory spatial of pilot
fatality rates in general aviation crashes using Geographic Information System
Menganalisis lokasi-lokasi yang paling rawan terjadinya kecelakaan
Data kecelakaan pesawat di Amerika dari tahun 1983 s/d 1998
- lokasi Geographic Information System
1. Dari 14.051 kecelakaan pesawat (general aviation), 31 % tergolong kecelakaan fatal
2. Dari hasil yang didapat dengan menggunakan GIS didapati bahwa sekitar 74 wilayah (geographic area) tergolong masuk wilayah memiliki tingkat yang rendah untuk terjadinya kecelakaan pesawat, sedangkan 53 wilayah masuk kategori wilayah yang berbahaya meliputi daerah pegunungan
2 Rebok et.al. (2009) Pilot age and error in air taxi crashes
Tujuan dari analisa ini adalah untuk menganalisis hubungan antara usia pilot dengan pola pilot error
Data diambil dari hasil investigasi NTSB antara tahun 1983-2002
- Usia- lokasi- waktu
Chi-square test
1. Dari data yang ada menunjukkan 28 % kecelakaan disebabkan oleh masalah mekanikal, 25% kehilangan kendali pada saat take off atau landing, 7% fuel starvation, 7% kondisi VFR, 28 % penyebab lainnya.
2. Hasil menunjukan bahwa pilot yang berusia tua lebih banyak mengalami kecelakaan pada waktu siang hari dibandingkan malam hari, dan lokasi kejadian lebih banyak terjadi di luar kawasan bandara dibandingkan dengan yang didalam bandara.
3 Changchun dan Dongdong, (2012)
Research on inducement to accident/incident of civil aviation in southwest of China based on grey
Mengetahui lokasi di China bagian tenggara yang paling rawan akan terjadinya kecelakaan
Data accident dan incident yang terjadi di China bagian tenggara
- lokasi Grey incident analysis
Dari hasil penelitian melalui metode analisis grey incident analysis didapat bahwa daerah Cina bagian tenggara yang mempunyai kontur dataran tinggi
24
Tabel 1.5 (lanjutan)
Tabel 1.5 (lanjutan)
Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuanincidence analysis pesawat udara antara tahun 2001 –
2008banyaknya kecelakaan diakibatkan dari faktor manusia (crew) dan hewan dalam hal ini burung (bird strike)
4 Li dan Kearney, (2000) Geographic variations in crash risk of general aviation and air taxis
Mengetahui hubungan risiko kecelakaan dan kematian yang berkaitan dengan wilayah geografis
Data diambil dari data kecelakaan NTSB tahun 1992 – 1994
- lokasi Chi-square test
Dari hasil penelitian didapat bahwa tingkat kecelakaan 8,9 kecelakaan per 100.000 jam terbang dan wilayah Alaska dan daerah pegunungan di Nortwest memiliki tingkat kecelakaan yang paling fatal. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa meskipun jumlah penerbangan dikendalikan tetapi tingkat kecelakaan tetaplah tinggi di wilayah tersebut
5 Grabowski et.al. (2002) Geographic patterns of pilot fatality rates in commuter and air taxi crashes
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola geografi tingkat kematian pilot (pilot fatality rates) pada kecelakaan pesawat udara
Data diambil dari data kecelakaan NTSB di wilayah Amerika dari tahun 1983 – 1998
- lokasi Monte carlo simulations
Hasil penelitian menunjukkan :1. Dari hasil penelitian didapat bahwa
25% kecelakaan dari tahun 1983-1998 yang berjumlah 1.094 kecelakaan merupakaan kecelakaan fatal yang mengakibatkan kematian pilot
2. Kecelakaan pada daerah tinggi (mountainous) terjadi pada waktu malam hari dan pada saat kondisi terbang menggunakan metode IMC
6 Li et.al. (2009) Geographic region, weather, pilot age, and air carrier crashes: a case-control study
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara factor lokasi, kondisi cuaca dan usia pilot terhadap terjadinya kecelakaan pesawat
Data diambil dari data kecelakaan NTSB dari tahun 1983 – 2002
- lokasi (geographic region)
- cuaca- usia pilot
Logistic regression
Dari hasil penelitian didapat bahwa:1. kecelakaan pesawat udara didaerah
Alaska yang berhubungan dengan faktor lokasi, kondisi cuaca, usia dan jam terbang adalah memiliki risko 3 kali terjadinya kecelakaan pesawat dibandingkan dengan daerah lain.
25
Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan2. Kondisi terbang dengan
menggunakan metode IMC juga meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan yang diakibatkan karena pilot error
3. Usia pilot dan total jam terbang tidak memliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya kecelakaan pesawat udara.
7 Ayres et.al. (2012) Modelling the location and consequences of aircraft accidents
Mengetahui resiko kecelakaan disekitar lokasi bandara
Data kecelakaan pesawat Boeing dari tahun 1959 – 2010
- lokasi Complementary Cumulative Probability Distribution (CCPD) models
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi kecelakaan pesawat didaerah bandara sering terjadi di ujung landasan (takeoff overruns dan landing undershoots) dari model yang dibangun juga dapat diketahui konsekuensi yang didapat pada kecelakaan di lokasi tersebut
8 Wignjosoebroto dan Zaini, (2007)
Studi aplikasi ergonomi kognitif untuk beban kerja mental pilot dalam pelaksanaan pengendalian pesawat dengan menggunakan metode SWAT
Mengetahui beban kerja mental seperti apa yang sering dialami oleh pilot pesawat terbang yang memiliki kaitan dengan kecendrungan human factor yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan
- fase dan - kondisi
penerbangan- tingkat
kecerdasan pilot
- pengalaman (jam terbang)
- jenis peswat terbang
Metode SWAT
Menunjukan bahwa:Secara individu faktor IQ (Intelligency Quotient) sesuai dengan uji statistik tidak pernah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap beban kerja mental baik pada pilot Fokker 28 maupun pilot Boeing 737. Disisi lain faktor fase penerbangan, faktor kondisi penerbangan dan faktor jam terbang pilot telah terbukti memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap beban kerja mental pada pilot kedua jenis pesawat tersebut
9 Tiabtiamrat et. al. (2009)
Boeing 737 commercial jet aircraft accident analysis
Menganalisis factor kecelakaan ditinjau dari
Data kecelakaan pesawat Boeing
- flight pase- jenis pesawat
Analisa statistic dan
Hasil menunjukkan bahwa fase terbang (flight phase) pada pesawat Boeing 737
26
Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuanfase terbang (flight phase) dari suatu pesawat
dari tahun 1967 s/d 2006
permodelan mempunyai efek yang signifikan terhadap terjadinya kecelakaan pesawat namum hal ini tidak berkaitan dengan jumlah korban yang ditimbulkan.
10 Besco, (1992) Analyzing knowledge deficiencies in pilot performance
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penurunan pengetahuan dan kinerja dari seorang pilot
- pengetahuan- kinerja
PPA (Profecional Performance Analysis)
Dari hasil penelitian didapati bahwa kekurangan/penurunan pengetahuan pilot berinteraksi secara bersama dengan beberapa faktor yang dapat mengakibatkan pilot (crew) tidak dapat mengatasi situasi yang sulit dalam penerbangan
11 Rosekind et.al. (2006) Alertness management in aviation operations: enhancing performance and sleep
Meneliti tingkat kewaspadaan, kinerja dan keselamatan dalam dunia penerbangan
29 responden pilot - tingkat pendidikan
- waktu penjadwalan, waktu tidur
Alertness Management Program (AMP)
Penelitian ini menjelaskan tentang pengaruh antara tingkat kelelahan pilot (fatique) terhadap penjadwalan, tingkat pendidikan, tidur yang sehat, dan strategi kewaspadaan
12 de Mello et.al. (2008) Relationship between Brazilian airline pilot errors and time of day
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hari (shift) dimana sering terjadi kecelakaan bagi pilot di Brazil
Populasi diambil dari data pilot yang berjumlah 515 orang dan copilot 472 orang yang pernah mengalami kecelakaan.
- waktu Flight Operations Quality Assurance (FOQA) program
1. Dari data yang ada menunjukkan 35 % penerbangan berlangsung di pagi (siang) hari, 32 % di sore hari, 26 % dimalam hari, dan 7 % di pagi hari (00.00-06.00am)
2. Hasil menunjukan bahwa periode pagi memiliki resiko yang lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan (rasio 1:1.46), dibandingkan periode sore (rasio 1:1.04) dan periode malam (rasiio 1:1.05)
13 Goode, (2003) Are pilots at risk of accident due to fatigue
Menganalisis hubungan antara jadwal terbang pilot terhadap fatique dan kecelakaan pesawat udara
Data kecelakaan pesawat di Amerika yang disebabkan akibat faktor
- jadwal terbang Chi square test 1. Terdapat hubungan antara peluang terjadinya kecelakaan dengan jadwal terbang dari pilot
2. pembatasan jam kerja pilot dapat
27
Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuanmanusia dari tahun1978 s/d 1999
mengurangi terjadinya kecelakaan
14 Tvaryans dan MacPherson, (2009)
Fatique in pilots of remotely piloted aircraft before and after shift work adjusment
Menanalisis hubungan antara waktu shift kerja dengan kemungkinan terjadinya pilot error
Data diambil dari 114 responden pilot pesawat udara
- jadwal terbang
MANOVA Dari hasil penelitian didapat bahwa tidak terdapat penurunan yang signifikan terhadap fatique pilot meskipun terdapat modifikasi pengaturan jadwal pilot guna meningkatkan periode istirahat dari si pilot
15 Sungkawaningtyas, (2007)
Kelelahan pilot dan strategi mengatasinya
Mengetahui dengan jelas faktor-faktor apa saja yang dominan menyebabkan kelelahan pada pilot dan strategi yang bisa digunakan untuk mengatasi kelelahan
185 pilot maskapai penerbangan Indonesia
- kulitas tidur- lama waktu tugas- kurang tidur
Analisis Faktor, analisis regresi berganda, dan uji beda T
1. Dari hasil analisis faktor penyebab kelelahan terkelompok menjadi 3 faktor penyebab yaitu: lama waktu tugas, kualitas tidur dan kurang tidur
2. Dari hasil analisis regresi faktor yang dominan menyebabkan kelelahan pada pilot yang pertama adalah lama waktu tugas dan yang kedua adalah kualitas tidur
3. Tidak ada perbedaan kelelahan berdasarkan jenis kelamin, status/jabatan, jam terbang, dan jenis pesawat dengan menggunakan uji beda T
4. Cara yang digunakan untuk mengatasi kelelahan adalah: tidur setelah bertugas, minum banyak air putih, meregangkan otot ditempat duduk pilot
16 Pruchniki et.al. (2010) An exploration of the utility af mathematical modeling predicting fatique from
Memprediksi kelelahan pilot ditinjau dari sejarah waktu tidur/bangun dan
Kecelakaan pesawat Comair flight 5191
- waktu (tidur dan bangun)
SAFTE/FAST Dari hasil penelitian didapati bahwa sejarah waktu tidur/bangun seorang pilot, atc berpengaruh terhadap tingkat
28
Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuansleep/wake history and circadian phase applied in accident analysis and prevention: the crash of Comair flight 5191
fase circadian kelelahan (fatique) yang dapat juga menurunkan kinerja.
17 Conway et.al. (2005) Flight safety in Alaska: comparing attitudes and practices of high and low risk air carriers
Mengetahui pengaruh antara waktu dan kecelakaan di wilayah Alaska
data kecelakaan tahun 1990-2002
- waktu-Total jam terbang
Statistic analysis
Dari hasil penelitian didapat bahwa kombinasi antara pilot yang kurang berpengalaman (total jam terbang) dan lamanya waktu tugas (dalam jam dan minggu) berkontribusi signifikan terhadap tingkat kecelakaan di Alaska
18 Saleem dan Kleiner, (2005)
The effects of nighttime and deteriorating visual condition on pilot performanve, workload and situation awareness in general aviation for both VFR and IFR approach
Penelitian ini ingin mengetahui efek dari waktu dan kondisi cuaca terhadap beban kerja, kinerja dan tingkat kewaspadaan pilot
16 responden pilot - waktu (daytime & night time)- kondisi cuaca
MANOVA, ANOVA
Penelitian ini mendapati bahwa tidak berpengaruhnya kondisi malam dan siang atau cuaca buruk dan bagus terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan, namun terdapat perbedaan terhadap beban, tingkat kewaspadaan dan beban kerja dari pilot
19 Wong et.al. (2006) Quantifying and characterizing aviation accident risk factors
Menganalisis antara beberapa kondisi faktor cuaca terhadap terjadinya kecelakaan
238 kecelakaan yang diakibatkan oleh cuaca dari data NTSB
- kondisi cuaca (visibility, ceiling, temperature, crosswind, tailwind)- kondisi penerbangan IMC or VFR
- chi square test- t test
-Relative Accident Involvement Ratios (RAIR)
1. Dari hasil uji chi square didapat hasil bahwa kondisi terbang (instrument/visual meteorological condition) memliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kecelakaan pesawat udara
2. Dari hasil uji RAIR didapat bahwa kondisi IMC memiliki hubungan yang besar terhadap terjadinya kecelakaan dibandingkan dengan kondisi VFR
20 Jarboe, (2005) U.S. Aviation weather-related crashes and fatalities in 2004
Meneliti faktor cuaca terhadap terjadinya kecelakaan pesawat di
Data kecelakaan yang diambil dari NTSB yang
- kondisi cuaca- kategori
kondisi
Statistic analysis
1. Sekitar 88 % kecelakaan yang disebabkan oleh cuaca terjadi pada saat kondisi pengoperasian
29
Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil TemuanAmerika Serikat diakibatkan oleh
cuaca pada tahun 2004
terbang- tipe operasi
pesawat
penerbangan adalah IMC2. Sekitar 83 % kecelakaan yang
disebabkan oleh cuaca terjadi pada penerbangan pribadi (general aviation operations, FAR part 91)
21 Batt dan O’Hare, (2005) Pilot behaviors in the face of adverse weather; a new look at an old problem
Meneliti tiga prilaku pilot dalam mengahadapi suatu kondisi cuaca
Data kecelakaan yang diambil dari ATSB yang disebabkan oleh factor cuaca
- kategori kondisi terbang- kondisi cuaca
- Chi square test
Dari hasil peneelitian terdapat beberapa perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok perilaku terbang seorang pilot (VFR into IMC, precautonary landing, dan pencegahaan lainnya) yang berhubungan dengan cuaca dalam hal demografis pilot, karakteristik pesawat udara, faktor geografis atau lingkungan, atau jarak penerbangan mutlak. Pola penerbangan jarak jauh relatif (sebuah konstruksi psikologis) sangat berbeda untuk tiga kelompok, dengan pilot dalam kelompok penghindaran cuaca yang dibedakan dengan mengambil tindakan tepat waktu.
22 Coyne et.al. (2001) Pilot weather assessment: implications for visual flight rule into instrumen meteorogical conditions
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pilot dalam mengambil keputusan terbang VFR ke IMC pada suatu kondisi cuaca tertentu
24 pilot pribadi (general aviations pilot)
- kondisi cuaca - Statistic analysis
Dari hasil penelitian didapat bahwa faktor ceiling dan visibility menentukan seorang pilot mengambil keputusan terbang dengan IMC pada saat kondisi cuaca tertentu
23 Capobianco dan Lee, (2001)
The role of weather in general aviation accidents: an analysis of causes,
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab, faktor
1520 kecelakaan GA dari tahun 1995 s/d 1998, data
- fase operasi- jam terbang pilot
- Statistic analysis
1. Dari hasil penelitian didapat bahwa faktor yang paling umum dalam kecelakaan pesawat yang
30
Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuancontributing factors and issues
kontribusi isu yang berhubungan dengan kecelakaan yang disebabkan oleh factor cuaca.
diambil dari database NTSB
- kondisi cuaca disebabkan oleh cuaca adalah, low ceiling (20%), fog (14%), wind (10%), dan malam (9%).
2. Pergantian kondisi terbang dari VFR ke IMC dan phase cruise saat pernerbangan memasuki cuaca buruk juga merupakan penyebab utama kecelakaan yang diakibatkan oleh faktor cuaca.
24 Goh dan Wiegmann, (2002)
Human factors analysis of accidents involving visual flight rules into adverse weather
Meneliti penyebab kecelakaan pesawat untuk GA yang berhubungan dengan perubahan kondisi terbang VFR ke IMC
Data kecelakaan penerbangan GA dari bulan Januari 1990 s/d Desember 1997 yang disebabkan perubahan kondisi terbang VFR ke IMC, data diambil dari database NTSB.
- kondisi cuaca - Statistic analysis
Dari hasil penelitian didapat kecelakaan yang diakibatkan oleh pergantian kondisi terbang VFR ke IMC pada saat kondisi cuaca tertentu dipengaruhi oleh jam terbang pilot dan adanya penumpang dipesawat (passengers aboard)
25 Wiegman et.al. (2002) The role of situation assessment and flight experience in pilots decisions to continue visual flight rules flight into adverse weather
Mengetahui keputusan pilot untuk melanjutkan atau membatalkan prosedur terbang VFR ke IMC pada saat kondisi cuaca buruk
Data dari 36 responden pilot
kondisi cuaca Statistic analysis (Mann-Whitney U test)
Dari hasil penelitian didapat bahwa pilot yang mengalami cuaca buruk pada saat awal penerbangan dan mengalami juga pada saat penerbangan lebih berpeluang memiliki optimistis yang tinggi dalam penerbangan jika dibandingkan pilot yang mengalami cuaca buruk baru pada saat dalam perjalanan
26 Burian et.al. (2000) Weather realated decision errors: differences across flight types
Mengetahui faktor yang mempengaruhi keputusan pilot untuk tetap terbang
300 kecelakaan yang diakibatkan oleh cuaca dari
- cuaca (poor visibility)- total jam
Statistical analysis
Diketahui bahwa keputusan terbang (PCE= Plan Continuation Errors) pada saat kondisi cuaca buruk adalah
31
Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuanpada saat kondisi cuaca buruk
tahun 1994 dan 1997
terbang (pengalaman)
dipengaruhi oleh pengalaman pilot (jam terbang), jarak pandang, dan koordinasi antar kru (crew conflict)
27 Bustamante et.al.(2005) Pilots’ workload, situation awarness, and trust during weather events as a function of time pressure, role assignment, pilots’ rank, weather display and weather system
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji beban kerja, kesadaran, dan kepercayaan dalam sistem cuaca selama peristiwa cuaca penting sebagai fungsi dari tekanan waktu, penetapan peran, pengalaman pilot, layar cuaca, dan sistem cuaca
24 pilot responden dari 6 maskapai penerbangan di US
- cuaca- pengalaman pilot- tekanan waktu
NASA TLX, SART
Dari hasil penelitian didapat bahwa terdapat kenaikan beban kerja yang signifikan pada saat memasuki kondisi cuaca yang buruk dalam penelitian ini juga didapat bahwa tingkat kesadaran (situation awarness) antara kapten pilot dan kopilot berbeda.
28 Cardi et.al. (20120 Distribution of air accidents around runways
Menganalisis daerah aman disekitar bandara terhadap terjadinya kecelakaan pesawat
Data kecelakaan dari tahun 1980 s/d 1997
- lokasi- fase terbang
SDAC (Spatial Distributin of Aircraft Crashes)
Bahwa fase landing yang meliputi fase approach dan fase landing itu sendiri memiliki nilai yang tinggi dan signifikan terhadap terjadinya suatu kecelakaan dibandingkan dengan fase take off dan climb. Dalam penelitiannya juga ditemukan hasil bahwa untuk fase approach kecelakaan tertinggi yakni terjadi sebelum runway (88%), sedangkan untuk fase landing kecelakaan tertinggi terjadi setelah runway yakni sebesar 46 %
29 Schvaneveldt et.al. (2000)
Priority and organization of information accessed by pilot in various phases of flight
Menganalisis kondisi pilot dari berbagai macam fase terbang
34 pilot responden - fase terbang SWAT Menghasilkan diantara fase terbang dalam pengoperasian pesawat udara, fase take off, approach dan landing memiliki nilai beban kerja yang tinggi pada saat kondisi normal pengoperasian pesawat. Dalam
32
Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuanpenelitiannya juga didapat bahwa kecelakaan pesawat sering terjadi pada fase take off, approach dan landing
30 Rosekind et.al. (1994) Crew factors in flight operations IX: effect of planned cockpit rest on performance and alertness in long haul operations
Menganalisis keefektifan rencana waktu istirahat kru penerbangan terhadap kinerja dan tingkat kewaspadaan
12 pilot B737 - kinerja- waktu stirahat
ANOVA Didapat hasil bahwa cockpit rest period atau waktu istirahat crew di kokpit saat berlangsungnya penerbangan dapat meningkatkan kewaspadaan dan kinerja dari seorang pilot sehingga dapat meminimalisasikan kemungkinan terjadinya kecelakaan pesawat udara.
31 Simons dan Valk (1997) Pros and cons of strategics napping on long haul flights
Meneiliti pengaruh periode waktu istirahat terhadap kinerja pilot pada penerbangan jarak jauh
68 pilot - kinerja Statistical analysis
Dari hasil penelitian didapat bahwa kesempatan untuk dapat beristirahat saat pengoperasian penerbangan jarak jauh memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kinerja dan kewaspadaan fisik dari seorang pilot.
33
2. Implikasi Terhadap Penelitian
Dari beberapa hasil penelitian yang telah dijelaskan pada Tabel 1.5, belum
ditemukan penelitian yang sama dengan penelitian ini, beberapa persamaan dari
penelitian-penelitian tersebut di atas dengan penelitian ini adalah:
1. Variabel dependennya sama dengan penelitian ini, yaitu melihat kecelakaan
pesawat terbang.
2. Instrumen penelitian yang digunakan juga memiliki kesamaan dengan
penelitian ini yaitu menggunakan data primer dalam hal ini kuesioner dan
data sekunder yakni data kecelakaan pesawat terbang.
Perbedaan dengan penelitian yang dilaksanakan adalah:
1. Faktor-faktor yang digunakan untuk menganalisis terjadinya kecelakaan
pesawat terbang dalam penelitian ini merupakan gabungan dari beberapa
faktor-faktor dari penelitian sebelumnya, yakni waktu (phases of time), fase
terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).
2. Dalam penelitian ini selain membahas faktor-faktor yang dapat
mengakibatkan suatu kecelakaan secara langsung juga untuk menelitinya
secara tidak langsung, dalam hal ini akan melalui variabel antara
(intervening/mediating variable) yakni kinerja (performance) dan beban kerja
(workload) terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
3. Perbedaan yang lain adalah dari segi metode analisis yang digunakan. Analisis
menggunakan 2 (dua) metode analisis yaitu dengan menggunakan metode
PLS dan SWAT. Metode PLS akan menganalisis faktor-faktor, baik yang
dihitung secara langsung maupun tak langsung terhadap terjadinya kecelakaan
pesawat. Penggunaan PLS dalam penelitian ini adalah karena belum
banyaknya dari penelitian-penelitian yang menyangkut dengan kecelakaan
pesawat yang dalam perhitungannya menggunakan metode PLS. Sementara
itu metode analisis SWAT digunakan untuk menganalisis permasalahan beban
kerja seperti apa yang sering dialami oleh pilot pesawat terbang yang memiliki
kaitan dengan kecendrungan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
manusia (human error) yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan.
34
Dilihat dari persamaan dan perbedaan antara penelitian yang sudah
dilaksanakan dengan penelitian ini, peneliti menilai bahwa penelitian ini
memiliki keaslian yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
35
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada tinjauan pustaka akan diulas variabel dan faktor-faktor yang terkait
dengan penelitian. Tulisan ini dipakai untuk memperkuat alasan atau latar
belakang, rumusan masalah, manfaat, definisi dan landasan teori untuk
membangun konsep serta digunakan untuk bahan dasar diskusi atau
pembahasan dan pada akhirnya dapat pula dipakai untuk pengambilan
kesimpulan dan saran atau rekomendasi selanjutnya dari penelitian ini.
Adapun hal yang akan dibahas meliputi: pengertian penerbang (pilot),
pengertian pesawat udara (aircraft), pengertian kecelakaan pesawat, mekanisme
terjadinya kecelakaan, keselamatan penerbangan, kesalahan manusia (human
error), kinerja (performance), beban kerja (workload), waktu terbang (phases
of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).
A. Penerbang (Pilot)
1. Pengertian Penerbang (Pilot)
Menurut ICAO (Annex 1, 2006), yang dimaksud dengan pilot adalah
”seorang yang menangani atau mengoperasikan kendali penerbangan (flight
control) suatu pesawat udara selama masa (waktu) penerbangan”. Dalam hal
pengertian pilot, ICAO juga membagi menjadi 2 (dua) pengertian mengenai pilot
berdasarkan kewenangannya, yaitu Pilot In Command (PIC) yakni pilot yang
ditugaskan oleh ”operator” atau oleh pemilik pesawat udara dalam kasus
penerbangan umum, sebagai penanggung jawab untuk melakukan suatu
penerbangan yang aman/selamat, dan Second In Command (SIC)/Co-pilot yakni
pembantu pilot yang melakukan tugas dan fungsi sebagai seorang ”Pilot In
Command” di bawah supervisi dari ”Pilot In Command”. Sesuai dengan metode
supervisi yang dapat diterima (memenuhi syarat) dari Otoritas Lisensi (Licensing
Authority) atau bisa juga diartikan sebagai seorang pilot berlisensi yang bertindak
dalam setiap kapasitasnya untuk mengemudikan pesawat udara selain dari sebagai
”Pilot In Command”, tetapi tidak termasuk sebagai seorang pilot yang berada
dalam pesawat udara hanya untuk kepentingan melakukan penerbangan pelatihan.
36
2. Klasifikasi Penerbang (Pilot)
Sesuai dengan ketentuan dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulation)
atau Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 20 dan Annex 1
mengenai lisensi penerbangan, tenaga penerbangan diklasifikasikan menurut
lisensi yang dimiliki sebagai berikut:
a. Student Pilot License: Pemegang SPL diperkenankan menerima pelajaran
praktek terbang dan melakukan terbang dengan maksud meningkatkan
keterampilan sehingga mencapai persyaratan standar mendapatkan lisensi
yang lebih tinggi atau melakukan terbang dengan maksud memenuhi
persyaratan memperbaharui suatu lisensi yang kadaluwarsa;
b. Private Pilot License (PPL): Pemegang PPL diperkenankan bertindak sebagai
penerbang pemimpin (Pilot In Command) atau penerbang pembantu (Second
In Command/Co-pilot);
c. Comercial Pilot License (CPL): Pemegang CPL diperkenankan untuk
melaksanakan semua hak dari pemegang PPL disertai:
1) memperoleh imbalan sebagai penerbang pemimpin dari setiap pesawat
udara yang dimiliki ratingnya dengan berat maksimum 5.700 kg;
2) memperoleh imbalan sebagai penerbang pembantu didalam setiap pesawat
udara yang dimiliki ratingnya yang perlu dioperasikan dengan seorang
pembantu.
d. Senior Commercial Pilot License (SCPL): Pemegang SCPL diperkenankan
melaksanakan semua hak dari pemegang PPL, CPL dan rating instrumen
dengan memperoleh imbalan sebagai penerbang pemimpin (Pilot In
Command) pada setiap pesawat udara yang dimiliki ratingnya dengan berat
maksimum 20.000 kg;
e. Airline Transport Pilot License (ATPL): Pemegang ATPL diperkenankan
melaksanakan semua hak dari pemegang CPL, PPL dan rating instrumen serta
memperoleh imbalan sebagai penerbang pemimpin (Pilot In Command) dari
setiap pesawat udara yang dimiliki ratingnya. Persyaratan pemegang ATPL
tersebut sama halnya dengan persyaratan sebagai pemegang SCPL namun
demikian untuk memperoleh ATPL harus berkedudukan sebagai kapten pilot.
37
B. Pesawat Udara (Aircraft)
1. Pengertian Pesawat Udara (Aircraft)
Menurut UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang dimaksud
dengan pesawat udara (Aircraft) ialah ”setiap mesin atau alat yang dapat terbang
diatmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi
udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan”.
Sementara itu pengertian pesawat udara (Aircraft) menurut International
Civil Aviation Organization (ICAO) adalah ”setiap bangun mekanis yang dapat
memperoleh daya dukung (daya angkat) dalam atmosfer dari reaksi udara selain
reaksi udara terhadap permukaan bumi”.
Secara umum istilah pesawat terbang sering juga disebut dengan pesawat
udara atau kapal terbang atau cukup pesawat dengan tujuan pendefinisian yang
sama sebagai kendaraan yang mampu terbang di atmosfer atau udara. Namun
dalam dunia penerbangan, istilah pesawat terbang berbeda dengan pesawat udara,
istilah pesawat udara jauh lebih luas pengertiannya karena telah mencakup
pesawat terbang dan helikopter.
2. Klasifikasi Pesawat Udara (Aircraft)
Pesawat udara dapat diklasifikasikan sesuai dengan karakteristik dasar
tertentu (Aircraft category) seperti:
a. Lebih berat dari udara (heavier than air)
Pesawat udara yang lebih berat dari udara disebut aerodin, yang masuk dalam
kategori ini adalah autogiro, helikopter, girokopter dan pesawat
terbang/pesawat bersayap tetap. Pesawat bersayap tetap umumnya
menggunakan mesin pembakaran dalam yang berupa mesin piston (dengan
baling-baling/propeller) atau mesin turbin (jet atau turboprop) untuk
menghasilkan dorongan yang menggerakkan pesawat, lalu pergerakan udara di
sayap menghasilkan gaya dorong ke atas, yang membuat pesawat ini bisa
terbang. Sebagai pengecualian, pesawat bersayap tetap juga ada yang tidak
menggunakan mesin, misalnya glider, yang hanya menggunakan gaya
gravitasi dan arus udara panas. Helikopter dan autogiro menggunakan mesin
38
dan sayap berputar untuk menghasilkan gaya dorong ke atas, dan helikopter
juga menggunakan mesin untuk menghasilkan dorongan ke depan.
b. Lebih ringan dari udara (lighter than air)
Pesawat udara yang lebih ringan dari udara disebut aerostat, yang masuk
dalam kategori ini adalah balon dan kapal udara. Aerostat menggunakan gaya
apung untuk terbang di udara, seperti yang digunakan kapal laut untuk
mengapung di atas air. Pesawat udara ini umumnya menggunakan gas seperti
helium, hidrogen, atau udara panas untuk menghasilkan gaya apung tersebut.
Perbedaaan balon udara dengan kapal udara adalah balon udara lebih
mengikuti arus angin, sedangkan kapal udara memiliki sistem propulsi untuk
dorongan ke depan dan sistem kendali.
C. Kecelakaan Pesawat
1. Pengertian Kecelakaan Pesawat
Secara umum kecelakaan merupakan segala sesuatu yang terjadi tidak sesuai
dengan kondisi operasional yang diinginkan baik itu yang disebabkan karena
adanya kesalahan, kegagalan dan sebab-sebab lain atau kombinasi adanya antara
kesalahan, kegagalan, dan sebab-sebab lain tersebut. Dalam hal ini tingkat bahaya,
korban jiwa dan luka-luka, atau kerugian biasanya tidak dipersoalkan. Dalam
dunia penerbangan serta dalam bidang investigasi istilah kecelakaan biasanya
didefinisikan sebagai dua kondisi yang berbeda, yaitu kecelakaan (accident) dan
kejadian (incident). Lahirnya kedua istilah ini didasarkan pada adanya perbedaan
tingkat bahaya, korban jiwa, luka-luka, serta tingkat kerugian yang terjadi.
Menurut International Civil Aviation Organization (ICAO), pengertian
kecelakaan pesawat udara sipil (Accident) adalah ”suatu kejadian yang
berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara yang terjadi sejak seseorang
naik pesawat udara untuk maksud penerbangan sampai suatu waktu ketika semua
orang telah meninggalkan (turun dari) atau keluar dari pesawat udara” (ICAO
Annex 13, 2001), dimana:
a. Seseorang meninggal atau mengalami luka serius sebagai akibat dari:
1) Berada di dalam pesawat, atau
39
2) Kontak langsung dengan bagian pesawat, termasuk bagian yang terlepas
dari pesawat, atau
3) Terkena dampak langsung jet blast.
Kecuali jika luka-luka tersebut disebabkan oleh penyebab alamiah (natural
causes) diri sendiri atau orang lain atau terjadi pada penumpang gelap
yang berada dibagian pesawat yang tidak diperuntukkan bagi
penumpang/crew; atau
b. Pesawat mengalami kerusakan atau kegagalan struktur yang:
1) Mempengaruhi kekuatan struktur, karakteristik dan performa terbang
pesawat, dan
2) Memerlukan perbaikan besar atau penggantian komponen yang rusak.
Kecuali untuk kegagalan atau kerusakan mesin, dangan kerusakan mesin,
cowling dan accessories, kerusakan pada propeller, wing tip, antenna,
tires, brakes, fairings, lubang kecil/dekukan pada kulit (skin) pesawat.
c. Pesawat itu hilang atau sama sekali tidak terjangkau. Pesawat udara dianggap
hilang, apabila operasi SAR (Search And Rescue) resmi telah dinyatakan
berakhir dan pesawat udara tersebut tidak dapat diketemukan.
Untuk pemahaman yang lebih baik dalam mendefinisikan kecelakaan
pesawat udara, beberapa klasifikasi tentang tingkat keparahan dari kecelakaan
pesawat ”aircraft accident” atau tingkat keseriusan dari cedera ”injury” telah
diidentifikasi. National Transport Safety Bureau (NTSB) mengkategorikan
menjadi 4 (empat) tingkatan berdasarkan keseriusan cedera (NTSB, 2006).
Meskipun Boeing dan ICAO (Annex 13) tidak secara gamblang menjelaskan hal
tersebut, mereka juga menyebutkan beberapa definisi tingkat keparahan dalam
klasifikasi yang mereka buat, dimana:
a. Fatal and major injury. NTSB menyatakan bahwa “aircraft accident”
dianggap sesuatu yang fatal jika ada cedera apapun yang menyebabkan
kematian dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal terjadinya
kecelakaan (NTSB, 2006). Definisi ini sejalan dengan pengertian yang dipakai
oleh ICAO (Annex 13, 2001) dan Boeing (Boeing, 2012). Boeing juga
menyebutkan bahwa kecelakaan pesawat masuk dalam kategori “fatal and
40
major injury” jika pesawat tersebut hancur, atau banyak menimbulkan korban
jiwa, atau hanya ada satu kematian namun pesawat mengalami kerusakan
parah “substantial damage” (Boeing, 2012). Kategori ini sebenarnya mirip
dengan pengertian dari fatal accident. Dalam pengertian ini hanya
menambahkan kondisi pesawat setelah terjadinya kecelakaan. Namun, ICAO
(Annex 13) tidak menyebutkan major accident dalam definisi yang mereka
keluarkan.
b. Serious injury. Dalam menentukan pengertian tentang serious injury,
ICAO dan Boeing setuju menempatkan enam kategori yang termasuk dalam
pengertian serious injury sedangkan NTSB hanya menyebutkan lima dan tidak
termasuk kategori terakhir yang dipakai oleh ICAO dan Boeing. ICAO
(Annex 13, 2001) dan Boeing (Boeing, 2012) mendefinisikan serious injury
sebagai suatu luka yang diderita oleh seseorang dalam suatu “accident” yang:
1) Membutuhkan perawatan dirumah sakit selama lebih dari 48 jam, sampai
dengan 7 hari setelah kecelakaan terjadi;
2) Berakibat patah tulang (tidak termasuk patahnya jari-jari tangan, jari-jari
kaki atau hidung);
3) Berakibat pendarahan hebat, sakit pada saraf, otot, kerusakan urat;
4) Cidera pada organ dalam;
5) Mengakibatkan luka bakar tingkat 2 atau 3 atau luka bakar yang
mempengaruhi lebih dari 5 % permukaan tubuh;
6) Meliputi zat-zat yang menginfeksi dengan penyembuhan yang memakan
waktu lama atau cidera akibat radiasi.
NTSB (2006) menerjemahkan serious injury seperti luka yang (1)
Membutuhkan perawatan dirumah sakit selama lebih dari 48 jam, sampai
dengan 7 hari setelah kecelakaan terjadi; (2) Berakibat patah tulang (tidak
termasuk patahnya jari-jari tangan, jari-jari kaki atau hidung); (3) Berakibat
pendarahan hebat, sakit pada saraf, otot, kerusakan urat; (4) Cidera pada organ
dalam; (5) Mengakibatkan luka bakar tingkat 2 atau 3 atau luka bakar yang
mempengaruhi lebih dari 5 % permukaan tubuh.
41
c. Minor. Luka yang tidak termasuk dalam kategori fatal and major injury
maupun serious injury (NTSB, 2006). Tidak ada istilah minor injury dalam
pengertian yang dikeluarkan oleh ICAO dan Boeing.
d. None. Tidak mengalami luka.
Serious Incident, ICAO (Annex 13, 2001) mengartikan serious incident
sebagai “suatu “incident” yang menyangkut keadaan dan yang mengindikasikan
bahwa suatu “accident” nyaris terjadi”. Perbedaan antara suatu “accident”
dengan suatu “serious incident” hanya terletak pada akibatnya. Untuk
menjelaskan perbedaan tersebut, ICAO mengklasifikasikan beberapa kejadian
yang membahayakan, antara lain disebabkan:
a. Kegagalan fungsi atau kerusakan pada Flight Control System;
b. Ketidakmampuan dari Flight Crew Member untuk menjalankan tugas secara
normal yang diakibatkan oleh adanya luka atau sakit;
c. Kerusakan komponen struktur turbin mesin kecuali kompresor dan daun-daun
turbin dan baling-baling;
d. Kebakaran;
e. Hampir terjadinya tabrakan pesawat udara di udara (near-miss);
f. Barang berbahaya (dangerous good);
g. Untuk pesawat multi mesin berbadan lebar/besar (mempunyai maksimum
berat tinggal landas lebih dari 12.500 lbs)
1) Kerusakan sistem listrik dalam penerbangan yang membutuhkan bantuan
emergency bus yang digerakan oleh sumber daya dukung seperti baterai,
unit daya tambahan/APU (Auxiliary Power Unit) atau generator yang
digerakan oleh udara untuk mempertahankan kemudi terbang atau
instrumen-instrumen penting.
2) Kerusakan sistem hidrolik dalam penerbangan yang mengakibatkan
ketergantungan pada satu-satunya sistem hidrolik atau sistem mekanis
yang tersisa untuk pergerakan permukaan kemudi terbang.
3) Kehilangan terus menerus tenaga atau daya dorong yang dihasilkan oleh
satu mesin atau lebih.
42
4) Evakuasi dari pesawat udara yang memakai sistem pintu keluar dari
pesawat secara darurat (emergency exit).
Sementara itu untuk pengertian insiden pesawat (aircraft incident) menurut
ICAO, NTSB, dan Boeing adalah “suatu kejadian selain daripada suatu
“accident” yang terkait dengan pengoperasian suatu pesawat udara yang
berdampak atau dapat berdampak terhadap keselamatan atas pengoperasian
tersebut” (ICAO Annex 13, 2001 dan Boeing, 2012).
2. Klasifikasi Tingkat Kerusakan Pesawat
Selain itu terdapat juga beberapa istilah mengenai tingkat kerusakan yang
dialami pesawat terbang yaitu.
a. Hancur (Destroyed). Kerusakan akibat benturan, kebakaran atau kegagalan
saat terbang sehingga pesawat secara ekonomi tidak bisa diperbaiki (biaya
perbaikan lebih besar dari nilai pesawat) (NTSB, 2006). Sedangkan Boeing
mendeskripsikan destroyed jika biaya perbaikan nilainya setengah nilai
pesawat yang baru pada waktu kecelakaan (Boeing, 2012). Selanjutnya,
Boeing juga menggunakan prinsip Hull Loss terhadap pesawat yang
mengalami kerusakan, prinsip ini mengandung pengertian biaya perbaikan
terhadap pesawat yang hancur (destroyed) mempunyai efek terhadap nilai
ekonomis. Prinsip Hull Loss dapat diterapkan pada situasi dimana pesawat
atau reruntuhan pesawat hilang dan tidak dapat ditemukan setelah usaha
pencarian dihentikan, atau pesawat sama sekali tidak dapat ditemukan.
b. Kerusakan parah (Substantial damage). Kerusakan atau kegagalan yang
mempengaruhi kekuatan dan performa struktur dan karakteristik terbang
sebuah pesawat udara, dan yang umumnya membutuhkan perbaikan besar atau
penggantian komponen yang terpengaruh. Kegagalan mesin atau kerusakan
yang terbatas pada sebuah mesin. Jika pada satu mesin mengalami kegagalan
atau mengalami kerusakan aliran udara atau penutup mesin yang bengkok,
penyok pada bagian luar, lubang-lubang tusukan kecil pada kulit atau struktur,
kerusakan dasar rotor atau daun baling-baling dan kerusakan pada roda
pendarat, pelek roda, ban-ban, flap, aksesori mesin, rem-rem atau ujung sayap
43
(wingtips) tidak termasuk dalam “kerusakan berat” pada bagian ini. (Boeing,
2012 dan NTSB, 2006).
c. Kerusakan kecil (Minor or slightly damaged). Kerusakan yang tidak
menghancurkan pesawat atau tidak menyebabkan kerusakan parah. Kerusakan
yang tidak termasuk dalam kategori destroyed maupun substantial damage
(NTSB, 2006). Istilah slightly damaged digunakan oleh ICAO dalam format
laporan akhir kecelakaan (investigation final report). ICAO juga
menambahakan kategori lain untuk menggambarkan kondisi kerusakan
(damage) yang dapat diisi oleh pemberi laporan (ICAO Annex 13, 2001).
d. Tidak rusak (None). Berarti pesawat tidak mengalami kerusakan pada saat
terjadinya kecelakaan.
D. Mekanisme Terjadinya Kecelakaan
Proses terjadinya kecelakaan digambarkan oleh Reason (1990) sebagai
model keju Swiss (Swiss cheese model), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 di
bawah ini.
Gambar 2.1. Swiss cheese modelSumber: http://www.futuremedia.co.au
Model ini menggambarkan sebuah keju swiss sebagai suatu sistem
keselamatan penerbangan. Beberapa lapis keju dalam suatu sistem tersebut
merupakan pihak-pihak yang terlibat dengan operasi penerbangan. Pada masing-
masing lapis keju terdapat lubang-lubang yang menggambarkan adanya
kelemahan atau kekurangan pada pihak terkait dan berpotensi menimbulkan
bahaya. Bila terjadi kelalaian, digambarkan sebagai bom yang meledak maka
ledakan itu akan mengenai dinding-dinding keju. Sebagian serpihan ledakan akan
44
tertahan lapisan keju dan sebagian akan melalui lubang-lubang pada keju tersebut.
Bila ledakan itu mampu melewati semua dinding keju melalui lubang yang ada
maka akan mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Sebaliknya, bila ledakan itu
tidak berhasil melewati semua lapisan keju maka kelalaian tersebut masih dalam
batas toleransi dan tidak mengakibatkan kecelakaan.
Reason (1990) membedakan dua macam kesalahan dalam sebuah sistem
(system error) yaitu aktif (active) dan terselubung (latent). Active error adalah
kesalahan yang efeknya langsung dirasakan, sedangkan latent error melibatkan
aspek buruk pada sistem yang tidak aktif dan menjadi jelas ketika dikombinasikan
dengan aspek lain untuk menembus pertahanan suatu sistem. Perpaduan dua
macam kesalahan ini dalam suatu sistem akan menimbulkan kecelakaan bila
mampu menembus pertahanan atau batas toleransi. Dalam kaitannya dengan dunia
penerbangan, active error berhubungan dengan kinerja orang-orang yang berada
di lini depan seperti pilot, pemandu lalu lintas udara (Air Traffic Controller/ATC),
kru di ruang pengendali, dan yang ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan
operasional. Sedangkan latent error merupakan kegiatan yang tidak berhubungan
dengan operasi langsung seperti pembuat desain, pembuat kebijakan tingkat tinggi
dan pihak pengelola, seperti dirangkum dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sumber terjadinya kesalahan aktif dan terselubungLatent Error Active Error
Terletak di:a. Organisasi, sistem b. Hukum dan peraturanc. Prosedur d. Tujuan, sasaran
Terletak di pekerja dan tim lini depan, disebabkan oleh:1. Komunikasi2. Kerusakan fisik3. Faktor Psikologis4. Interaksi manusia dengan peralatan
Efek adanya active error biasanya langsung dapat diketahui dengan cepat
sedangkan tanda-tanda adanya latent error sulit diketahui. Pada semua sistem
selalu ada latent error namun karena proses berkembangnya secara bertahap dan
tidak menimbulkan efek secara langsung maka sulit dideteksi. Adanya latent error
lebih berbahaya dan mesti lebih diwaspadai.
45
Gambar 2.2. Model empat sumber kesalahanSumber: http://www.rutgersscholar.rutgers.edu
Reason menggambarkan empat sumber penyebab terjadinya kelalaian
manusia yang saling mempengaruhi, seperti diilustrasikan pada Gambar 2.2.
Pertama adalah tindakan tidak aman (unsafe acts) yang dilakukan operator yang
berada di lini depan. Kesalahan yang terjadi dapat menyebabkan kecelakaan
karena berhubungan langsung dengan operasi penerbangan. Tiga sumber
berikutnya merupakan latent error. Pertama adalah kondisi sebelum terjadi
tindakan yang tidak aman (preconditions for unsafe acts). Sumber ini meliputi
kondisi kru penerbangan yang dapat berdampak pada kinerja misalnya kelelahan,
buruknya komunikasi dan koordinasi. Hal-hal tersebut berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya manusia/CRM (Crew Resources Management).
Berikutnya, pengawasan yang tidak aman (unsafe supervision) berkaitan dengan
pelaksanaan pelatihan untuk menunjang CRM yang bagus. Sumber ketiga adalah
keterlibatan organisasi (organizational influence), merupakan kebijakan
manajemen tingkat atas. Pada umumnya kelemahan dalam sistem dimulai pada
taraf organisasi yang lebih tinggi yaitu manajemen tingkat atas. Bila ada
kelemahan pada manajemen tingkat atas maka kemungkinannya akan ada lubang-
lubang kelemahan pada level organisasi yang lebih rendah.
Salah satu contoh penggunaan model ini dalam meneliti penyebab terjadinya
suatu kecelakaan bisa terlihat dari kasus kecelakaan pesawat Adam Air yang
terjadi pada tanggal 1 Januari 2007, pesawat Boeing 737-4Q8 Adam Air nomor
penerbangan DHI 574 dengan registrasi PK-KKW terbang dari Surabaya, Jawa
Timur menuju Manado, Sulawesi Utara. Pada kecelakaan penerbangan ini, banyak
46
faktor yang berperan, mulai dari faktor perilaku penerbang hingga masalah sistem
penerbangan. Dalam hubungannya dengan Swiss cheese model, jatuhnya Adam
Air DHI 574 dapat dijelaskan berdasarkan layer-layer peneyebab berikut ini:
Layer I: Organizational Influences
a. Perusahaan melakukan penghematan dengan meminimisasi penggantian suku
cadang;
b. Kurangnya kesadaran perusahaan tentang keselamatan penerbangan.
Layer II: Unsafe Supervision
a. Kurangnya pengawasan pada kerusakan IRS (Inertial Reference System) yang
merupakan alat pengindikasi posisi pesawat;
b. Kurangnya perhatian pada pemeliharaan perangkat pesawat;
c. Penggantian suku cadang tidak diawasi dengan baik;
d. Koreksi kemiringan pesawat akibat adanya angin hanya dilakukan sebentar;
e. Tidak ada satupun dari Pilot maupun Kopliot yang menjaga arah pesawat
selama 30 detik seperti yang diharuskan oleh Quick Reference Handbook
(QRH) yaitu buku yang berisi pedoman untuk kondisi darurat.
Layer III: Precondition for Unsafe Act
a. Pilot dan Kopilot dalam kondisi panik;
b. Cuaca buruk;
c. Kehilangan situational awareness saat kemiringan pesawat melebihi batas
maksimum;
d. Kerusakan salah satu IRS;
e. Awak pesawat tidak mengetahui secara pasti IRS mana (Left IRS atau Right
IRS) yang masih berfungsi dengan baik.
Layer IV: Unsafe Act
a. Kurang menanggapi secara serius peringatan bahaya dari petugas Air Traffic
Controller (ATC);
b. Pilot dan Kopilot lebih fokus pada kerusakan IRS dari pada tingkat
kemiringan pesawat yang bermasalah;
c. Salah mengambil keputusan (decission error) saat kemiringan melebihi batas
normal.
47
Pada setiap layer diatas, terdapat kesalahan-kesalahan yang digambarkan
sebagai lubang pada potongan keju Swiss. Kesalahan ini berasal dari manajemen
keselamatan dan/atau dari awak pesawat itu sendiri. Kecelakaan ini dapat terjadi
karena lubang (kesalahan atau kegagalan) tersebut dapat menembus hingga
mencapai layer unsafe act yang dilakukan Pilot maupun Kopilot.
Berdasarkan teori-teori Reason tersebut diketahui bahwa kecelakaan
penerbangan sebenarnya dapat dihindari atau dikurangi dengan cara:
a. Seluruh pembuat kebijakan mengetahui dan memahami seluruh bahaya, baik
yang bersifat laten dan kegagalan aktif yang ditemukan dalam seluruh
kegiatan penerbangan;
b. Seluruh pembuat kebijakan/keputusan membuat peraturan/kebijakan/dalam
kegiatan penerbangan kemudian menerjemahkan seluruh bahaya yang ada
menjadi suatu kebijakan yang bersifat pencegahan dengan membuat suatu
garis pengawasan penerapan kebijakan kepada para pelaku atau pengguna
pesawat udara;
c. Seluruh pembuat kebijakan/keputusan membuat berbagai prosedur atau
manual kerja tetap untuk setiap langkah kerja yang akan dilakukan oleh
personil didarat dan udara. Hal tersebut diharapkan dapat membentuk budaya
keselamatan kerja yang diketahui dan dipahami oleh seluruh personil termasuk
pihak manajemen (Nugroho, 2006).
E. Keselamatan Penerbangan (Aviation Safety)
Aviation safety artinya keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan
penerbangan, lebih jauh lagi berarti kondisi selamat, yang terjadi setelah semua
(pihak) yang terkait dalam terbentuknya sebuah penerbangan beserta fasilitas
pendukungnya melaksanakan kepatuhan dalam memenuhi (semua) persayaratan
standar keselamatan. Proses keamanan dan kenyaman yang dimaksud tentu bukan
hanya saat penumpang berada didalam pesawat. Pasal 1 angka 48 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 mengartikan keselamatan
penerbangan (aviation safety) sebagai “suatu keadaan terpenuhinya persyaratan
keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
48
angkutan udara, navigasi, penerbangan serta fasilitas penunjang dan fasilitas
umum lainnya”. Sedangkan Pasal 1 angka 49 mengatur pengertian keamanan
penerbangan (aviation security). Menurut pasal tersebut keamanan penerbangan
adalah “suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada penerbangan dari
tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya
manusia, fasilitas dan prosedur”.
Berdasarkan teori SHELL (yang diungkapkan oleh Reason dan
disempurnakan oleh Hawkins), aspek keselamatan penerbangan perlu
memperhatikan beberapa unsur pembentuk sistem keselamatan itu sendiri yaitu:
a. Manusia yang disebut dengan Liveware (L);
b. Pesawat udara yang disebut Hardware (H);
c. Peraturan perundang-undangan/konvensi/kebijakan yang disebut dengan
Software (S);
d. Infrastruktur, cuaca, kondisi wilayah dan berbagai faktor yang berada diluar
kendali manusia disebut sebagai Environment (E).
Gambar 2.3. Teori SHELLSumber : www.skybrary.aero/index.php/ICAO_SHELL_Model
Model ini hanya meliputi interaksi yang berhubungan dengan faktor
manusia. Faktor manusia (liveware) seperti pada Gambar 2.3, sebagai pusat
model. Manusia secara umum diyakini merupakan faktor paling kritis sekaligus
paling fleksibel dalam sistem. Manusia banyak berhubungan dengan performansi
dan memiliki banyak keterbatasan, yang mana sebagian besar dapat diprediksi
49
dalam kondisi umum. Komponen lain dalam sistem harus disesuaikan secara hati-
hati bila ingin menghindari tekanan pada sistem dan kejadian yang tidak
diinginkan. Untuk memenuhi hal tersebut, diperlukan pemahaman karakteristik
manusia dengan baik.
Hubungan antara Liveware-Hardware menyangkut interaksi antara manusia
dan peralatan. Misalnya penggunaan peralatan sistem kendali, tempat duduk
cockpit, membaca indikator ketinggian terbang. Ketidaksesuaian desain peralatan
dengan karakteristik manusia sering menimbulkan terjadinya bencana.
Hubungan antara Liveware-Software menyangkut interaksi manusia dengan
aspek non-fisik. Misalnya pelaksanaan standar operasional, aturan, manual.
Masalah yang ada mungkin lebih nyata dibandingkan interaksi antara Liveware-
Hardware namun konsekuensinya sulit dideteksi.
Hubungan antara Liveware-Environment merupakan interaksi yang pertama
kali ditemukan dalam dunia penerbangan. Masalah lingkungan meliputi tekanan
pada kabin, cuaca, waktu penerbangan. Saat ini tantangan baru telah muncul,
misalnya konsentrasi ozon dan bahaya radiasi pada tingkat tinggi, dan masalah
yang berhubungan dengan terganggunya ritme biologis dan tidur karena
perjalanan dengan kecepatan tinggi. Penerbangan pada malam hari dapat
mengakibatkan pilot kehilangan arah dan berkurangnya kepekaan pada kondisi
sekitar.
Hubungan antara Liveware-liveware adalah interaksi antar manusia.
Interaksi ini bisa terjadi antar kru penerbangan maupun pilot dengan pemandu lalu
lintas udara (ATC). Masalah yang sering timbul berkaitan dengan kerjasama,
komunikasi, dan interaksi yang salah.
F. Kesalahan Manusia (Human Error)
1. Pengertian dan Definisi Kesalahan Manusia (Human Error)
Kelalaian atau kesalahan yang dilakukan manusia adalah satu fakta dalam
hidup yang tidak bisa dipungkiri. Lalai atau berbuat salah adalah satu hal yang
manusiawi. Walaupun berbuat kesalahan adalah manusiawi tetapi hal ini harus
sedapat mungkin dihindari. Keberadaan kesalahan manusia (human error) dapat
50
menjadi masalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan manusia,
efektivitas, operasi, waktu, kerugian ekonomis dan lain-lain. Tidak seorangpun
yang dapat melakukan suatu tindakan lebih dari sekali dengan tepat sama. Setiap
tindakan error yang dilakukan seseorang merupakan suatu kemungkinan
terjadinya error. Kesalahan yang dilakukan oleh manusia tidak sepenuhnya
berasal dari manusia tersebut, hal lain yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya
kesalahan tersebut yaitu lingkungan kerja itu sendiri seperti alat atau mesin yang
digunakan pada saat bekerja.
Human Error dapat terjadi dalam berbagai bentuk, tetapi secara umum
human error dapat dikenali sebagai satu bentuk tindakan manusia yang
seharusnya tidak terjadi. Human error didefinisikan sebagai suatu keputusan atau
tindakan yang potensional untuk mengurangi efektivitas, keamanan, atau
performansi suatu sistem. Menurut Pulat (1992) ada dua hal yang penting yang
berkaitan dengan definisi diatas yaitu:
a. Suatu error didefinisikan dalam konteks sebagai suatu efek yang
tidak diharapkan atau efek potensial berdasarkan suatu kriteria tertentu dari
suatu sistem atau pada manusia;
b. Suatu tindakan atau action tidak harus menyebabkan penurunan
performansi sistem untuk dinyatakan sebagai error. Suatu error yang dapat
diperbaiki/dikoreksi sebelum menyebabkan adanya gangguan tetap merupakan
suatu error.
2. Penyebab dari Kesalahan Manusia (Human Error)
Berdasarkan kesalahan yang dilakukan oleh manusia, maka secara tidak
langsung harus dicari penyebab yang mengakibatkan kesalahan itu bisa terjadi.
Menentukan penyebab terjadinya human error bukanlah hal yang mudah,
terutama jika ingin menentukan penyebab yang pasti. Secara teoritis, setiap error
yang terjadi akan berhubungan dengan faktor-faktor situasional, faktor individu
atau kombinasi keduanya.
Menurut Pulat (1992) berikut merupakan 95% kemungkinan penyebab
utama dari kesalahan manusia diantaranya:
51
a. Perilaku yang kurang baik (Malevolent Behavior)
Kesalahan yang dilakukan atau dibuat secara sengaja adalah diluar batas
kontrol dari definisi kesalahan manusia. Maksud tersebut adalah penting, Jika
operator dengan sengaja melakukan suatu kesalahan, perilaku ini tidak
dipertimbangkan sebagai kesalahan yang memerlukan penyelidikan secara
ergonomi. Akan tetapi hal ini menjadi standar penerimaan, salah satu
penyebab dari kesalahan manusia adalah perilaku yang kurang baik.
b. Kemampuan manusia tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan (Human
capability less than the job requirement)
Kapanpun pekerjaan dapat melebihi kemampuan manusia, pekerja mungkin
punya hak untuk membuat penilaian, atau melaksanakannya sesuai dengan
pembagian, waktu dan periode atau melakukan pekerjaan yang lebih mudah.
Dalam semua kasus, kesalahan akan dicatat. Sejak salah satu tujuan dari
ergonomi adalah untuk menghasilkan suatu yang lebih baik, dua yaitu bahwa
aplikasi ergonomi dapat memperkecil kesalahan seperti itu.
c. Stres yang terlalu rendah atau yang berlebihan (Insufficient or Overstress)
Sebelum didiskusikan, sedikit rasa stres dapat mengakibatkan bosan, lesu atau
lemah, dan mengantuk. Ini adalah situasi dimana orang-orang hanya bisa
dipastikan untuk membuat kesalahan-kesalahan. Lagi pula, terlalu banyak
stres yang menyebabkan kelelahan. Hal tersebut akan mengakibatkan banyak
kesalahan manusia. Performansi manusia yang baik adalah ketika ada
beberapa stres tapi tidak terlalu banyak atau tidak terlalu sedikit.
d. Pekerjaan yang tidak diperuntukkan bagi manusia (Work not human-
engineered)
Menyesuaikan suatu pekerjaan dengan manusia adalah inti dari ergonomi. Jika
tempat kerja tidak dapat menyediakan ruangan yang cukup jangkauan dan
kemampuan beradaptasi untuk sebagian besar populasi pekerja dan metode
kerja tidak dapat mempertimbangkan tingkah laku manusia, ekonomi gerakan,
kualitas dari dunia kerja dan postur kerja yang diinginkan. Kemudian efisiensi
dan efektivitas manusia akan menurun. Hal ini akan mengakibatkan atau
menimbulkan kesalahan.
52
e. Pelatihan yang tidak memadai atau tidak tepat (Insufficient/incorrect training)
Tempat kerja dan metoda kerja mungkin didesain berdasarkan ergonomi dan
berdasarkan kondisi lingkungan yang optimal. Bagaimanapun juga, jika
kemampuan pekerja tidak cukup untuk memenuhi performasi penerimaan,
pria ataupun wanita tidak dapat bekerja dengan efektif. Diantara
ketidakoefisienan kesalahan akan terjadi. Kesalahan tersebut adalah tanggung
jawab dari desainer untuk menjelaskan tentang kemampuan yang cukup untuk
penerimaan performansi dalam bekerja dan bagian yang bertanggung jawab
yaitu membagi-bagi pekerjaan kepada operator yang tepat dan terlatih.
3. Klasifikasi Kesalahan Manusia (Human Error)
Dengan adanya pembagian klasifikasi error, kita dapat lebih mudah
melakukan identifikasi karena memiliki karakteristik yang lebih spesifik.
Beberapa klasifikasi mengenai error adalah sebagai berikut:
aDesign-induced and operator-induced
Berdasarkan penyebab terjadinya, kelalaian dibagi menjadi dua, Design-
induced and operator-induced. Design-induced berhubungan dengan sistem,
mekanisme atau fasilitas pendukung operasional. Sebagai contoh adalah
desain cockpit yang tidak disesuaikan dengan karakteristik tubuh pilot.
Sedangkan operator-induced disebabkan ketidakmampuan individu dalam
melakukan operasi, misalnya karena kurangnya jam terbang dalam
mengoperasikan pesawat Airbus A320.
b. Random, systematic and sporadic
Berdasarkan letak kesalahannya, kelalaian dibagi menjadi tiga, Random,
systematic and sporadic (Gambar 2.4). Random error adalah kesalahan yang
terjadi secara acak, misalnya ketika pilot mendaratkan pesawat, terkadang
tepat pada daerah yang ditentukan, terkadang undershoot dan terkadang
overshoot. Kesalahan ini biasanya terjadi karena kurangnya keterampilan.
Untuk mengatasi masalah ini diperlukan latihan untuk meningkatkan
keterampilan.
53
Gambar 2.4. Beberapa tipe errorSumber : Hawkins, Human Error in Flight
Sistematik error adalah kesalahan yang terjadi secara sistematik pada daerah
tertentu, misalnya ketika pilot mendaratkan pesawat selalu mengalami
undershoot. Kesalahan ini biasanya terjadi karena ada kebiasaan yang salah,
misalnya selalu memperlambat kecepatan dan menurunkan ketinggian pesawat
sebelum saat yang ditentukan oleh prosedur pendaratan sehingga selalu
undershoot. Untuk mengatasinya, perlu mengubah pola lama yang salah
tersebut ke arah yang benar. Sporadic error adalah kesalahan yang terjadi
secara tiba-tiba setelah mengalami performa yang bagus. Kesalahan ini sulit
diprediksi. Sebagai contoh seorang pilot yang mendaratkan pesawat hampir
selalu tepat pada daerah yang diinginkan namun suatu ketika mengalami
overshoot. Kesalahan ini sulit diprediksi dan untuk mengatasinya diperlukan
konsistensi untuk menjaga kinerja tetap tinggi
c. Omission, commission, and subtitution
Berdasarkan pelaksanaannya, kelalaian dibagi menjadi tiga, Omission,
commission, and subtitution. Omission didefinisikan sebagai kesalahan yang
diakibatkan kesalahan dalam melakukan suatu prosedur. Misalnya
menghilangkan item tertentu dalam checklist. Commission adalah melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Misalnya adalah memanggil
penumpang untuk menaiki pesawat disaat terjadi delay karena masalah teknis.
Subtitution adalah melakukan aksi disaat dibutuhkan namun aksi yang
dilakukan salah. Misalnya saat pilot mematikan mesin yang salah sesaat
setelah salah satu mesin mati.
54
d. Reversible and Irreversible
Berdasarkan resiko akibat yang ditimbulkan, kelalaian dibagi menjadi dua,
Reversible and Irreversible. Reversible adalah kesalahan yang akibatnya
masih bisa diperbaiki. Misalnya saat melakukan simulasi terbang, seorang
pilot menabrak gunung karena kesalahan membaca instrumen. Irreversibel
adalah kesalahan yang akibatnya tidak bisa ditolerir dan tidak bisa diperbaiki.
Misalnya pada kondisi sebenarnya, pilot yang menabrak gunung dan
menyebabkan kerusakan fatal tidak bisa memperoleh kesempatan kedua.
G. Kinerja (Performance)
Dalam mendefinisikan Kinerja (performance), banyak ahli yang
mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, namun pada hakekatnya
mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Kinerja (performance) berasal dari kata “to perform” adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakaannya sesuai dengan tanggung jawab dan sesuai dengan hasil yang diharapkan, sedangkan arti kata performance merupakan kata benda (noun) dimana salah satunya adalah: “thing done” (sesuatu hasil yang telah dikerjakan), sehingga arti kata performance atau kinerja adalah sebagai
berikut “performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan tanggung jawab masing-
masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara
legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika
(Prawirosentono, 1999)”. Kemudian mengenai kinerja (performance) diartikan pula oleh Simamora (1995) sebagai “suatu pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu yang akhirnya secara nyata dapat tercermin keluaran yang dihasilkan”.
Simanjutak (2005) mendefinisikan kinerja sebagai “tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu”. Sedangkan Mangkunegara (2005) menjelaskan bahwa kinerja SDM (Sumber Daya Manusia) adalah “prestasi kerja atau hasil kerja (output)
55
baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya ssuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Lebih lanjut Mangkunegara (2005) menyatakan bahwa kinerja individu adalah “hasil kerja orang tersebut yang dilihat baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu akan tercapai bilamana didukung oleh atribut individu, upaya kerja dan dukungan organisasi”.
“Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama” (Rivai dan Basri 2004).
Suprihanto (2000) menyebutkan istilah kinerja dan prestasi kerja yaitu “hasil kerja seseorang selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran”. Menurut Mangkunegara (2001), istilah kinerja berasal dari kata ”Job Performance atau Actual Performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Kinerja menurut Helfert yang disampaikan Soetjipto (1997) adalah ”suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional organisasi dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki”.
56
Adapun kinerja menurut Mulyadi dalam Soetjipto (1997) adalah ”penentuan secara periodik efektivitas operasional organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya”.
Sementara itu menurut Mathis dan Jackson (2006) kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Lebih lanjut Mathis menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu: 1) Kemampuan pribadi untuk melakukan pekerjaan tersebut (Ability), 2) Tingkat usaha yang dicurahkan (Effort), dan 3) Dukungan organisasi (Support). Hubungan ketiga faktor ini diakui secara luas dalam literatur manajemen sebagai formula di bawah ini:
Kinerja (Performance-P) = Kemampuan (Ability-A) x Usaha (Effort-E) x Dukungan (Support-S)
Bohlander (2007) menyatakan bahwa “kinerja merupakan suatu fungsi dari
beberapa faktor, tetapi dapat pula dibagi menjadi tiga perhatian utama yaitu: (1)
Ability (kemampuan) yang terdiri dari keahlian teknik, interpersonal, pemecahan
masalah, analitik, komunikasi dan keterbatasan fisik, (2) Motivation (motivasi)
yang terdiri dari ambisi karir, konflik karyawan, kegagalan, keadilan/kepuasan,
pengharapan, dan (3) Environment (lingkungan): perlengkapan/peralatan,
tujuan/pola kerja, kondisi ekonomi, serikat kerja, peraturan dan ketertiban,
dukungan manajemen, hukum dan peraturan”.
Menurut Dessler (1997) kinerja merupakan “prosedur yang meliputi (1)
penetapan standar kinerja; (2) penilaian kinerja aktual pegawai dalam hubungan
dengan standar-standar ini; (3) memberi umpan balik kepada pegawai dengan
tujuan memotivasi orang tersebut untuk menghilangkan kemerosotan kinerja atau
terus berkinerja lebih tinggi lagi”.
57
Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja menurut
Mangkunegara (2005) adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi
(motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Davis yang merumuskan bahwa:
Human performance = Ability + Motivation
Motivation = Attitude + Situation
Ability = Knowledge + Skill
Menurut teori dua faktor dari Herzebeg (1959) yang disadur oleh Gibson
et.al. (1992) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja secara umum dapat
dikelompokkkan menjadi dua, yaitu faktor ketidakpuasan (dissatisfiers) atau
hygine factors (faktor untuk memelihara) dan faktor pemuas (satisfiers) atau
motivator. Faktor hygiene meliputi: gaji/upah, pengawasan, hubungan antar
pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor satisfiers meliputi: pekerjaan yang
menantang, karakteristik pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan, kesempatan
berprestasi, penghargaan dan promosi.
Teori lain menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah
variabel individu, organisasi dan psikologis. Variabel individu meliputi antara
lain: karakteristik demografis dan keterampilan. Variabel organisasi terdiri dari:
imbalan, struktur, desain pekerjaan, sumber daya, sedangkan variabel psikologis
terdiri dari: persepsi, sikap, motivasi, kepribadian (Gibson et.al. 1992).
Kinerja seseorang akan baik, jika individu tersebut mempunyai keahlian
yang tinggi, kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan
mempunyai harapan masa depan. Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang
mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu yaitu; variabel individu,
variabel organisasi dan variabel psikologis (Prawiosentono, 1999).
Umumnya, untuk mencapai kinerja yang dibutuhkan dalam menguasai tugas
tertentu, orang akan melalui tiga tahap pembelajaran sejak ia mulai mempelajari
suatu tugas sampai dengan tahap ia menjadi ahli atau terampil, yaitu level kognitif
(knowledge-based level), level asosiatif (rule-based level), dan level otonom
(skill-based level) (Rasmussen, 1982; yang disadur dalam Studi Litbang Hubud,
2006).
58
Tabel 2.2 Batas kinerja dan jenis kesalahanPerformance level Error level
Skill-based level (batas keahlian) Lupa
Rule-based level (batas pemahaman pada peraturan)
Pelanggaran atas pemahaman peraturan
Knowledge-based level (batas pemahaman pada pengetahuan)
Kesalahaan pemahaman terhadap pengetahuan
Sumber: Studi Evaluasi Tentang Kebijakan Keselamatan Penerbangan, Litbang Hubud (2006)
Ketiga faktor kinerja yang dapat menyebabkan keselamatan penerbangan
menurun atau memburuk dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Skill-based level (batas keahlian)
Batas keahlian seseorang dapat dikelompokkan lagi dalam 2 tindakan, yaitu
(1) Kurang perhatian (inattention), yang mana seseorang tidak melakukan
sesuatu yang seharusnya dilakukan ketika sesorang tersebut melakukan
tindakan rutin didalam suatu urutan tertentu. Contohnya: seorang pilot
melakukan pemeriksaan muatan dengan membaca lembar muatan (load sheet),
namun yang dibaca adalah checklist atau manifest penumpang; (2)
memperhatikan secara berlebihan (overattention) dengan melakukan
pengawasan secara rutin yang tidak tepat pada waktunya.
b. Rule-based level (batas pemahaman pada peraturan)
Tingkat kesalahan yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
c. Knowledge-based level (batas pemahaman pada pengetahuan)
Tingkat kesalahan yang didasarkan pada pengetahuan seseorang.
Memformulasikan beberapa makna kinerja diatas bahwa dimensi kinerja
menyangkut masukan (input), proses dan keluaran (output) atau produk. Masukan
disini merajuk kepada pelaku, seperti penerbang pada suatu airlines, sedangkan
proses merujuk kepada cara pencapaian tujuan dan keluaran berkaitan dengan
hasil yang dicapai.
59
H. Beban Kerja (Workload)
Beban kerja yang dialami seorang pekerja dapat berupa beban fisik, beban
mental serta beban psikologi yang timbul dari lingkungan kerja. Beban kerja
dirancang sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan baik fisik maupun mental
pekerja. Sementara itu pengertian beban kerja (workload) dapat diartikan sebagai
total energi yang dihasilkan dari sebuah sistem, orang tertentu atau hewan yang
melakukan suatu pekerjaan yang melebihi waktu. Sebagai contoh definisi yang
digunakan oleh Hart et.al. (1988) mendefinisikan beban kerja sebagai berikut “the
perceived relationship between the amount of mental processing capability or
resources and the amount required by the task”. Yang berarti pengertian beban
kerja (workload) mengandung dua dimensi kuantitatif dan kualitatif, yaitu:
a. Workload merupakan total seluruh sumber daya yang digunakan dibandingkan
dengan penugasan atau pekerjaan yang dibebankan dalam periode waktu
tertentu (dimensi kuantitatif, jumlah sumber daya yang mengerjakan dalam
waktu tertentu);
b. Workload merupakan persepsi pekerja terhadap pekerjaannya (kualitatif,
bagaimana pekerja merespon suatu penugasan yang dikerjakaannya, apakah
pekerjaan membebaninya atau terlalu ringan baginya).
”Beban kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang diberikan kepada
karyawan. Beban kerja kualitatif adalah beban kerja yang dituntut kepada
seseorang untuk melakukan pekerjaannya secara mental dan fisik, contohnya
seorang karyawan memiliki pekerjaan untuk mengangkat barang atau bertugas
untuk memecahkan rumus matematika. Beban kerja kuantitatif adalah jumlah
pekerjaan yang harus dikerjakan oleh karyawan” (Spector, 1997).
Menurut Jex (2002), mengartikan workload sebagai ”jumlah pekerjaan yang
harus dilakukan oleh karyawan pada waktu yang telah ditentukan. Dalam
melakukan usaha untuk menunjukkan performa saat bekerja tergantung dari
informasi dan perlengkapan yang tersedia dilingkungan kerja, skill dan
pengalaman pekerja, strategi yang digunakan, dan respon emosional pada situasi
tertentu”.
60
Sementara itu Gartner dan Murphy (dalam Gawron, 2008)
mendefinisikan workload sebagai “a set of task demands, as effort, and as activity
or accompolishment”. Istilah task demand dijelaskan sebagai tujuan yang hendak
dicapai, waktu yang diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan, dan level
performa kerja yang diperlukan agar suatu pekerjaan dapat terselesaikan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi usaha yang dikeluarkan adalah informasi dan peralatan
yang disediakan pada lingkungan tugas, kemampuan dan pengalaman subyek,
strategi yang dipakai dan emotional respon terhadap situasi. Sedangkan menurut
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 12 Tahun 2008
mengenai Pedoman Analisis Beban Kerja di Lingkungan Departemen Dalam
Negeri dan Pemerintah, beban kerja adalah “besaran pekerjaan yang harus dipikul
oleh suatu jabatan/unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume kerja
dan norma waktu”.
Pengertian lain tentang definisi beban kerja (workload) juga dikemukakan
oleh Groenewegen et.al. (1991), “sebagai keseluruhan waktu yang digunakan oleh
pegawai dalam melakukan aktivitas atau kegiatan selama jam kerja”. Sedangkan
menurut DiDomenico (2003), beban kerja (workload) didefinisikan sebagai
“pengorbanan yang harus dikeluarkan oleh seseorang dengan memberikan
kapasitas mereka dalam mencapai tingkat performansi dari suatu pekerjaan
dengan tuntutan yang spesifik. Tuntutan dari suatu pekerjaan atau kombinasi
pekerjaan di antaranya adalah menjaga stabilitas sikap, melakukan aksi fisik, dan
melakukan pekerjaan kognitif (performing cognitive task)”.
Noyes (2001) mengelompokkan beban kerja menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Physical Workload: Jumlah energi yang dibutuhkan seseorang untuk dapat
menyelesaikan suatu aktivitas. Ketika melakukan pekerjaan fisik akan
mengakibatkan pengeluaran energi yang berhubungan dengan konsumsi
energi dan dapat menyebabkan kelelahan.
b. Cognitive (or mental) Workload: Dapat diukur dengan cara yang bersifat
subjektif, seperti memperkirakan berapa beban kerja seseorang berdasarkan
subjektivitas atasan yang mengawasi jabatan tertentu. Selain itu dapat pula
61
diukur dengan cara yang objektif, seperti mengukur aktivitas EEG, blink rate,
diameter pupil, denyut jantung dan galvanic skin response.
Tarwaka (2004), mengemukakan bahwa secara umum beban kerja
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal, yakni:
a. Beban kerja faktor eksternal
Beban kerja faktor eksternal adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh
pekerja, seperti tugas, organisasi dan lingkungan kerja, seperti:
1). Tugas-tugas yang dilakukan baik yang bersifat fisik yaitu tata ruang kerja,
alat dan sarana kerja, sikap kerja, kondisi dan medan kerja, sikap kerja,
cara angkat/angkut beban, alat bantu kerja dan alur kerja. Sedangkan tugas
yang bersifat mental seperti kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan
pekerjaan yang mempengaruhi emosi pekerja, tanggung jawab terhadap
pekerjaan dan lain-lain.
2). Organisasi kerja yang dapat mempengaruhi beban kerja seperti lamanya
waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem
pengupahan, model struktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang.
3). Lingkungan kerja yang dapat memberikan beban tambahan kepada
pekerja, seperti:
a) Lingkungan kerja fisik, seperti suhu udara, kelembaban udara, suhu
radiasi, penerangan, kebisingan dan getaran;
b) Lingkungan kerja kimiawi yaitu gas, debu, uap, cairan dan benda
padat;
c) Lingkungan kerja biologis yaitu bakteri, virus, jamur, parasit;
d) Lingkungan kerja fisiologi (ergonomi): konstruksi mesin, sikap dan
cara kerja;
e) Lingkungan kerja psikologis seperti suasana kerja, hubungan antar
pekerja atau pengusaha dan pekerja dengan lingkungan sosial.
b. Beban kerja faktor internal
Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu
sendiri sebagai akibat adanya reaksi beban kerja eksternal seperti:
62
1) Faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan dan
status gizi);
2) Faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan kepuasan).
Dari beberapa pengertian mengenai beban kerja (workload) dapat ditarik
kesimpulan beban kerja adalah, sejumlah kegiatan yang membutuhkan proses
mental atau kemampuan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu,
baik dalam bentuk fisik maupun psikis.
Untuk mengetahui seberapa besar beban kerja yang diderita seseorang yang
sedang melakukan aktivitas dilakukan suatu pengukuran. Pengukuran beban fisik
dan mental masing-masing mempunyai metode yang berbeda-beda. Pengukuran
beban kerja fisik dibagi atas dua pengukuran yaitu subjective measure dan
objective measure. Kedua jenis pengukuran ini masing-masing mempunyai
keunggulan tersendiri untuk mengevaluasi beban kerja fisik. Subjective measure
adalah metode pengukuran beban kerja berdasarkan pendapat subjective dari
responden yang diteliti beban kerjanya. Subjective measure menggunakan
kuesioner untuk menilai beban kerja tersebut. Objective measure adalah metode
pengukuran beban kerja berdasarkan pengukuran alat ukur tertentu bukan
berdasarkan pendapat subjective responden.
I. Waktu Terbang (Phases of Time)
Waktu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah “seluruh
rangkaian saat ketika proses, perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung.
Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan/kejadian,
atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. Skala waktu diukur
dengan satuan detik, menit, jam, hari (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu,
Minggu), bulan (Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus,
September, Oktober, November, Desember), tahun, windu, dekade (dasawarsa),
abad, milenium (alaf) dan seterusnya”.
Satuan waktu utama yang berlaku di seluruh dunia adalah UTC (Universal
Time Coordinated) yang dipakai sejak 1 Januari 1972. Sebagai waktu utama, UTC
membagi waktu dalam hari, jam, menit dan detik. Satu hari sama dengan 24 jam,
63
dan satu jam sama dengan 60 menit serta satu menit sama dengan 60 detik.
Dengan menggunakan sistem waktu UTC, dunia penerbangan dapat memastikan
semua lokasi pilot berdasarkan patokan waktu yang sama, sehingga menghindari
kerancuan ketika terbang antar zona waktu (Handoyo dan Sudibyo, 2010).
Dalam dunia penerbangan dikenal siklus arus penumpang, yaitu musim
padat penumpang (peak season), yang biasa berlangsung selama liburan sekolah
(pertengahan tahun-bulan Juni/Juli), liburan akhir tahun (bulan Desember),
liburan lebaran atau liburan akhir pekan (long weekend). Siklus lain arus
penumpang dalam dunia bisnis penerbangan adalah musim sepi penumpang yang
biasa berlangsung pada bulan Januari dan bulan Agustus-Nopember. Selain itu
juga terdapat puncak jam sibuk lalu lintas udara (peak traffic hour/golden time)
dalam dunia penerbangan yakni dari pukul 06.00 hingga 21.00 (Handoyo dan
Sudibyo, 2010).
J. Fase Terbang (Flight phase)
Fase terbang atau flight phase adalah “tahapan terbang dari suatu pesawat
udara dari tinggal landas sampai pada pendaratan berikutnya, tetapi tidak
termasuk pendaratan teknis (technical landing). Penerbangan dimulai dari
seseorang naik pesawat udara untuk maksud penerbangan sampai suatu waktu
ketika semua orang telah meninggalkan (turun dari) atau keluar dari pesawat
udara” (Annex 13, 2001). Fase terbang terdiri atas suatu rangkaian, diantaranya
adalah: taxi, take off, climb, cruise, descent, approach dan landing. (ICAO, 2006).
64
Gambar 2.5. Rangkaian fase terbang pesawat udaraSumber: http://www.airways.co.nz/aspire/_content/flight_info1.asp
a. Taxi
Pergerakan pesawat udara dipermukaan bandara memakai tenaganya dan
bergerak dengan menggunakan roda, tidak termasuk lepas landas dan
pendaratan. Biasanya bergerak dari runway, taxiway menuju apron ataupun
sebaliknya.
b. Lepas landas (Take off )
Lepas landas atau sering dikenal dengan take off adalah fase dalam
penerbangan di mana sebuah pesawat udara berpindah dari bergerak di atas
permukaan (taxi) menjadi terbang di udara, biasanya pada sebuah landasan
pacu (runway). Untuk pesawat udara seperti balon udara dan helikopter, tidak
diperlukan landasan pacu. Proses lepas landas merupakan suatu proses yang
paling membutuhkan keahlian pilot agar pesawat dapat melakukan
penerbangan sesuai dengan misi yang akan dijalaninya, mulai keadaan
pesawat diam hingga berakselerasi dan terbang.
c. Terbang menanjak (Climb)
Terbang menanjak atau climb adalah proses dimana pesawat mulai terbang
dan berakhir hingga memasuki fase terbang jelajah (cruise) dan untuk
penerbangan ini dibutuhkan gaya dorong (thrust) lebih besar dari gaya
hambatnya (drag).
d. Terbang jelajah (Cruise)
Terbang jelajah atau cruise adalah bagian dari fase terbang (flight phase)
dimana fase ini merupakan fase yang paling irit dalam menggunakan bahan
bakar. Fase ini berada diantara fase climb dan fase descent dan merupakan
sebagian besar perjalanan dalam penerbangan.
e. Terbang menurun (Descent)
Terbang menurun atau descent adalah proses dimana pesawat meninggalkan
ketinggian yang lebih tinggi menuju ke ketinggian yang lebih rendah daripada
ketinggian sebelumnya atau terbang meninggalkan suatu ketinggian menuju
65
ke ketinggian yang lebih rendah atau jangka waktu selama pesawat udara
melakukan penerbangan menurun meninggalkan ketinggian terbang jelajahnya
(biasanya dihitung dalam satuan waktu). Descent merupakan komponen
paling penting untuk proses selanjutnya yaitu approach dan landing.
f. Pendekatan (Approach)
Pendekatan (approach) adalah suatu tindakan atau perbuatan untuk mendekat
di ruang udara di atas daerah pendekatan (approach area)
dengan menggerakkan pesawat udara ke arah posisi untuk melaksanakan
pendekatan yang akan mendarat.
g. Pendaratan (Landing)
Pendaratan/mendarat atau landing adalah adalah bagian terakhir dari suatu
penerbangan, di mana suatu penerbangan pesawat terbang kembali ke
landasan. Pesawat terbang pada umumnya mendarat di suatu bandar udara di
atas landasan pacu atau helikopter yang mendarat di helipad.
Lamanya fase penerbangan tidak berbanding lurus dengan kemungkinan
terjadinya kecelakaan penerbangan. Meskipun fase penerbangan tertentu
memakan sebagian besar waktu penerbangan namun belum tentu banyak terjadi
kecelakaan pada fase tersebut. Ini diperkuat berdasarkan data yang diambil dari
penelitian Boeing yang dilakukan pada periode 1959-2008 seperti pada gambar
2.6 mengenai kecelakaan pesawat terbang komersial (Boeing) berdasarkan fase
terbang pesawat menunjukkan fase terbang jelajah (cruise) yang menghabiskan
57% dari total waktu tempuh (berdasar asumsi penerbangan selama 1.5 jam)
hanya terjadi kecelakaan sebanyak 8% sedangkan korban meninggal pada fasa ini
sebanyak 16%. Sementara itu jika dilihat dari data tersebut mayoritas kecelakaan
terjadi pada fase awal penerbangan (take off & initial climb) sebesar 20 % dengan
korban meninggal pada fasa ini sebanyak 30% meskipun hanya memakan waktu
2% dari total waktu tempuh, sedangkan pada fase akhir (final apprach & landing)
yang hanya memakan waktu 4% dari total waktu tempuh terjadi kecelakaan
sebesar 36 % dengan korban jiwa sebanyak 25%. Hal ini diakibatkan karena
dalam operasi penerbangan fase awal (take off & initial climb) dan fase akhir
(final apprach & landing) adalah fase paling kritis dan berbahaya dalam operasi
66
penerbangan hal ini memungkinkan karena fakta bahwa fase fase awal (take off &
initial climb) dan fase akhir (final apprach & landing) adalah fase yang terjadi
dekat dengan tanah (near the ground) sehingga mengakibatkan resiko yang lebih
besar dalam hal keselamatan. Selain itu pada tahap ini juga banyak prosedur
penggantian pengoperasian pesawat (aircraft configuration) yang harus dilakukan
oleh pilot sehingga kemungkinan terjadinya error dapat meningkat.
Gambar 2.6. Kecelakaan berdasarkan fase terbang pesawat udaraSumber: http://planecrashinfo.com/cause.htm
K. Lokasi (Location)
Pengertian lokasi menurut Kartawidjaja (1988) adalah “posisi suatu tempat,
benda, peristiwa, atau gejala di permukaan bumi dalam hubungannya dengan
tempat, gejala atau peristiwa lain”. Sedangkan menurut Tarigan (2005) bahwa
“landasan dari lokasi adalah ruang”. Ruang disini adalah permukaan bumi yang
ada di atas atau di bawah sepanjang manusia masih bisa menjangkaunya. Lokasi
menggambarkan posisi pada ruang tersebut.
Menurut Sumaatmadja (1988) lokasi dalam ruang dapat dibedakan antara
lokasi absolut dan lokasi relatif. Lokasi absolut suatu tempat atau wilayah, yaitu
lokasi yang berkenaan dengan posisinya menurut garis lintang dan garis bujur
atau berdasarkan garis-garis derajat. Lokasi absolut tidak dapat berubah dan
bersifat tetap karena berkaitan dengan bentuk bumi. Dengan dinyatakan lokasi
absolut suatu tempat atau suatu wilayah karakteristik tempat yang bersangkutan
dapat diabstraksikan lagi lebih jauh lagi. Untuk memperhitungkan karakteristik
lebih jauh lagi harus diketahui lokasi relatifnya. Lokasi relatif suatu tempat atau
67
wilayah, yaitu lokasi tempat atau wilayah yang bersangkutan yang berkenaan
dengan hubungan tempat atau wilayah tersebut dengan faktor alam atau faktor
budaya disekitarnya.
Sehubungan dengan pengertian lokasi Gunawan (1997) mengemukakan
bahwa “tempat atau lokasi adalah suatu area yang dapat dikenali atau dibatasi
dimana terjadi sesuatu kegiatan tertentu dimana terdapat suatu obyek”.
Dalam dunia penerbangan pengertian lokasi lebih tertuju pada kondisi
daratan suatu daerah (terrain) yakni permukaan bumi yang berisi/mengandung
fitur-fitur yang terjadi secara alami seperti gunung, bukit, lembah, perairan, es
permanent dan salju, tidak termasuk “obstacle” (Sukajaya et.al. 2010).
L. Cuaca (Weather)
Cuaca adalah keadaan udara pada saat tertentu dan diwilayah tertentu yang
relatif sempit dan pada jangka waktu yang singkat. Cuaca itu terbentuk dari
gabungan unsur cuaca dan jangka waktu cuaca dalam waktu beberapa jam saja.
Cuaca (weather) dan iklim (climate) merupakan suatu kondisi udara yang terjadi
di permukaan bumi akibat adanya penyebaran pemerataan energi yang berasal
dari matahari yang diterima oleh permukaan bumi (Lakitan, 1997).
Cuaca adalah seluruh fenomena yang terjadi di atmosfer bumi/planet
lainnya. Cuaca biasanya merupakan sebuah aktivitas fenomena dalam waktu
beberapa hari saja. Cuaca terjadi karena suhu dan kelembaban yang berbeda
antara satu tempat dengan tempat lainnya. Perbedaan ini dapat terjadi karena
sudut pemanasan matahari yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya
karena perbedaan lintang bumi. Perbedaan yang tinggi antara suhu udara di daerah
tropis dan daerah kutub dapat menimbulkan arus jet (jet stream). Sumbu bumi
yang miring dibanding orbit bumi terhadap matahari membuat perbedaan cuaca
sepanjang tahun untuk daerah sub tropis hingga kutub (Handoyo dan Sudibyo,
2010).
Cuaca penerbangan adalah ”cuaca yang diperuntukkan khusus untuk dunia
penerbangan, baik untuk saat lepas landas, mendarat maupun selama
penerbangan. Informasi cuaca ini diberikan setiap waktu pada saat pesawat akan
68
merencanakan penerbangan yang disesuaikan dengan jadwal penerbangan.
Informasi cuaca pada saat lepas landas, selama perjalanan dan mendarat meliputi
beberapa unsur cuaca, yaitu angin, jarak pandang, tekanan, jenis awan, dan suhu”
(Handoyo dan Sudibyo, 2010).
a. Angin
Unsur arah angin ini diperlukan untuk menentukan dari mana dan kemana
pesawat tersebut lepas landas maupun mendarat dengan memperhitungkan
kecepatan angin (wind speed) yang sedang terjadi, sedangkan selama
perjalanan dimanfaatkan untuk mempertahankan posisi pesawat saat di udara.
Perubahan arah dan kecepatan angin permukaan yang signifikan dilaporkan
seketika itu juga untuk keselamatan penerbangan saat lepas landas (take off)
maupun mendarat (landing). Pesawat terbang akan melakukan pendaratan
(landing) dan lepas landas (take off) menuju arah datangnya angin, namun
juga memperhatikan landasan contoh:
1) Pada landasan yang memanjang dari barat hingga timur
- Jika angin berasal dari barat maka pesawat akan lepas landas maupun
landing menuju barat.
- Jika angin berasal dari timur maka pesawat akan lepas landas maupun
landing menuju timur.
2) Pada landasan yang memanjang dari utara hingga selatan
- Jika angin berasal dari selatan maka pesawat akan lepas landas maupun
landing menuju selatan.
- Jika angin berasal dari utara maka pesawat akan lepas landas maupun
landing menuju utara.
b. Jarak Pandang (visibility)
Visibility adalah jarak pandang mendatar, maksudnya jarak pandang terjauh
yang bisa dilihat oleh pengamat tanpa ada halangan apapun. Untuk pesawat
yang tidak otomatis, informasi jarak pandang sangat diperlukan dalam hal
pendaratan, baik jarak pandang vertikal maupun horizontal.
69
1) Jarak pandang vertikal: erat kaitannya dengan saat pesawat akan
melakukan pendaratan saat masih di udara, hal ini penting untuk
mengetahui posisi dan sisa runway agar pendaratan dapat dilakukan
dengan tepat.
2) Jarak pandang horizontal: erat kaitannya dengan saat pesawat sudah mulai
mendarat di dekat permukaan.
Dalam penerbangan dikenal dengan Runway Visual Range (RVR), RVR
merupakan alat meterologi yang memberikan informasi jarak pandang
maksimum (visibility) didaerah sekitar runway, RVR biasanya dipasang
sebagai kelengkapan fasilitas Instrumen Landing System (ILS)
Kejadian-kejadian yang dapat mengurangi jarak pandang:
1) Hujan deras (heavy rain)
Pada dasarnya hujan didefinisikan sebagai partikel-partikel air yang jatuh
ke permukaan tanah berbentuk kepingan dengan diameter 0.5 mm atau
kurang, dapat dibayangkan apabila partikel-partikel yang jatuh ke bumi di
suatu bandara jumlahnya sangat banyak, tentu saja akan mengakibatkan
berkurangnya jarak pandang. Pada umumnya hujan deras ini jatuh dari
awan rendah antara lain awan Cumulonimbus (Cb).
2) Udara kabur (haze)
Hal ini terjadi dikarenakan polusi udara karena asap kendaraan, asap dari
hasil pembuangan industri pabrik, dan pembakaran hutan. Partikel-partikel
asap yang besar akan jatuh ke permukaan bumi, sedangkan partikel-
partikel yang kecil yang seukuran dengan mist dan halimun akan
melayang di udara.
3) Halimun
Terdiri dari tetes-tetes air mikroskopis yang melayang di udara, kejadian
ini dapat mengurangi jarak pandang tidak kurang dari 1 km. tetes-tetes air
mikroskopis ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang karena
ukurannya yang sangat kecil.
4) Kabut (fog)
70
Terdiri dari tetes-tetes air yang sangat kecil yang melayang-layang di
udara dan dapat mengurangi jarak pandang kurang dari 1 km. tetes-tetes
air ini dapat dilihat dengan mata biasa dan pergerakannya mengikuti
pergerakan udara.
5) Smog
Merupakan campuran asap dan kabut yang dapat mengurangi jarak
pandang.
6) Badai pasir (Sandstrom)
Terjadi dari pengangkatan pasir yang dapat naik ke udara dikarenakan
tiupan angin, namun ketinggian naiknya pasir ini tergantung dari
ukurannya namun karena ringan, partikel ini jarang mencapai ketinggian
lebih dari 20-30 m. Biasanya terjadi di daerah padang pasir.
7) Badai debu (Duststrom)
Terjadi dari partikel-partikel debu yang sangat kecil yang melayang di atas
permukaan hingga ketinggian beberapa km dari permukaan, kejadian ini
dapat berlangsung lama dan meluas dan umumnya terjadi pada daerah
padang pasir.
c. Tekanan (preasure)
Tekanan menggambarkan gaya per satuan luas pada suatu ketinggian tertentu.
Dimana tekanan udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan
menentukan kerapatan udara selain daripada suhu udara. Tekanan merupakan
salah satu unsur cuaca terpenting yang dibutuhkan dalam penerbangan,
tekanan tidak lepas kaitannya dengan suhu, dimana tekanan berbanding
terbalik dengan suhu. Hal ini jelas apabila suhu tinggi maka tekanan rendah
dan sebaliknya, apabila suhu rendah maka tekanan tinggi. Tekanan permukaan
laut/Mean Sea Level Pressure (MSLP) adalah tekanan pada permukaan laut
atau (saat pengukuran tekanan dilakukan pada daratan yang telah ditentukan
ketinggiannya).
Dalam dunia penerbangan dikenal istilah “Altimeter”, yaitu sebuah barometer
aneroid yang dibuat sedemikian rupa sehingga skala-skalanya dapat
menunjukkan ketinggian (altitude). Kesalahan pada saat pembacaan tekanan
71
akan berakibat pada kesalahan dalam penyetelan altimeter, hal ini tentu saja
akan mengakibatkan kesalahan penafsiran ketinggian pesawat oleh pilot,
terutama pada saat mendarat. Selain itu informasi tekanan juga berpengaruh
terhadap ketinggian kerapatan udara (density height) yang kemudian mengacu
pada daya angkat pesawat dan panjang landasan yang diperlukan pada saat
pesawat lepas landas.
Tekanan udara yang dipergunakan sebagai patokan dan di setel pada skala
tekanan, umumnya dinyatakan dalam bentuk sandi internasional. Adapun
sandi tersebut adalah sebagai berikut:
1) QFE (Q-code Field Elevation): Tekanan udara pada permukaan lapangan
terbuka yang didapat dari tekanan yang diamati pada ketinggian induk
barometer, kemudian dijabarkan ke tekanan permukaan lapangan terbang.
2) QFF: Tekanan udara pada suatu stasiun dijabarkan ke tekanan permukaan
laut sesuai dengan konvensi meteorologi.
3) QNE (Q-code Nautical Elevation): Ketinggian tekanan (pressure height)
terhadap tekanan lapangan terbang.
4) QNH (Q-code Nautical Height): Tekanan udara pada lapangan terbang
dijabarkan ke tekanan permukaan laut sesuai dengan spesifikasi atmosfer
standar ICAO.
Dalam praktek operasi penerbangan, jika QFE ini di setel pada skala maka
jarum akan menunjukkan ketinggian nol dan ini dipergunakan untuk keperluan
landing. Tetapi jika QNH yang kita setel, jarum akan menunjukkan elevasi
stasiun pada tempat pendaratan. Umumnya cara ini sering dipergunakan. QNE
biasanya dipergunakan dalam hubungannya dengan suhu udara untuk
memperoleh ketinggian kerapatan udara (density height) yang merupakan
petunjuk yang baik terhadap daya kerja suatu pesawat.
d. Jenis awan
Ada bermacam-macam jenis awan berdasarkan level ketinggian, yaitu awan
rendah, menengah, dan tinggi. Dalam penerbangan awan yang harus
dilaporkan adalah jenis awan rendah yaitu awan Cumulonimbus (Cb) dan
awan Towering Cumulus (Tcu), namun pada umumnya awan Cb. Awan ini
72
sangat ditakuti dalam penerbangan karena dapat mengakibatkan updraft (arus
naik), downdraft (arus turun), dan windshear (perubahan kecepatan secara
tiba-tiba), yang apabila pesawat berada di dalam/bawah awan ini pada saat
setelah lepas landas, sebelum mendarat, maupun pada saat terbang akan
mengakibatkan ketidakstabilan posisi pesawat yang dapat berakibat fatal.
e. Suhu udara
Temperatur udara permukaan bumi merupakan salah satu unsur penting yang
diamati oleh pengamat cuaca (Meteorological Station maupun Climatological
Station). Dalam meteorologi yang dimaksud dengan suhu udara permukaan
adalah suhu udara pada ketinggian 1,25 meter sampai dengan 2 meter dari
permukaan tanah. Suhu udara adalah salah satu faktor penting terhadap daya
kerja pesawat terbang. Pada suatu tekanan udara dalam suhu yang tinggi akan
mengakibatkan rendahnya kerapatan udara, dimana akan menimbulkan
pengaruh yang meragukan pesawat-pesawat terbang terutama pada saat
mengudara. Suhu udara dalam penerbangan sangat erat kaitannya dengan
pemuaian udara dimana apabila suhu tinggi udara memuai, begitu pula
sebaliknya:
1) Apabila suhu lebih tinggi: mengakibatkan pemuaian udara yang lebih, hal
ini dapat mengakibatkan terbentuknya fatamorgana yang dapat
mempengaruhi estimasi pilot mengenai jarak pandang yang sebenarnya.
Suhu yang tinggi dapat juga memacu meningkatkan daya angkat yang
harus dihasilkan pesawat yang nantinya akan mempengaruhi terhadap
penggunaan bahan bakar. Dapat dibayangkan apabila udara di sekeliling
pesawat yang merupakan media terbangnya pesawat menjadi renggang,
yang dapat mengurangi daya angkat pesawat.
2) Apabila suhu lebih rendah: dengan suhu yang lebih rendah, udara di
sekeliling akan lebih rapat dari pada ketika panas, hal ini menyebabkan
pesawat memiliki daya angkat yang lebih pada saat lepas landas, maupun
terbang di udara, yang tentunya akan dapat mengurangi daya angkat yang
73
harus dihasilkan pesawat sehingga dapat mengurangi penggunaan bahan
bakar.
Suhu di lapangan terbang mempunyai peranan penting dalam operasi
penerbangan. Diantaranya:
1) Penerbang dapat menentukan kemampuan mesin pesawat untuk dapat
digunakan semaksimal mungkin. Atas dasar suhu dan tekanan udara
penerbang dapat memperhitungkan beban dan panjang landasan pada
waktu take off dan landing;
2) Penerbang dapat menentukan density height-nya (ketinggian kerapatan
udaranya). Untuk ketinggian 1°C dapat menyebabkan kesalahan
perhitungan ketinggian 120 feet.
Variasi suhu sekelilingnya sangat berpengaruh terhadap pesawat terbang.
Akibat dari kenaikan suhu akan menyebabkan kekurangan arus udara yang
dihisap dan kelajuannya, bertambahnya bahan bakar yang digunakan dan
kurang efisien bekerjanya kompresor. Karena itu penerbang harus bisa
membedakan antara perubahan suhu pada tekanan tertentu dengan perubahan
akibat alami bila ketinggian berubah
Dalam dunia penerbangan terdapat istilah prakiran cuaca (weather forecast)
yakni prakiran keadaan atmosfer dengan merujuk satu atau lebih unsur cuaca yang
bersangkutan (Handoyo dan Sudibyo, 2010), yang terdiri atas:
a. Route forecast
Adalah prakiraan cuaca sepanjang jalur penerbangan yang berisikan prakiraan
dari unsur udara atas (angin, suhu) dan fenomena cuaca yang berkaitan dengan
awan sepanjang jalur penerbangan.
b. Landing weather forecast
Adalah prakiraan cuaca yang diperlukan untuk pesawat udara yang akan
melakukan pendaratan, baik di bandara tujuan (airport destination) maupun
bandara cadangan (airport alternate). Pada umumnya masa berlaku landing
weather forecast paling lama dua jam dari waktu pembuatan prakiraan
tersebut. Penyampaian landing weather forecast kepada penerbang sekurang-
74
kurangnya satu jam sebelum pesawat udara sampai di bandara pendaratan.
Landing weather forecast dapat berupa informasi:
1) Cuaca yang diperkirakan akan terjadi selama waktu masa berlakunya
prakiraan;
2) Kecendrungan perubahan atau perkembangan unsur cuaca yang di
prakirakan akan terjadi selama waktu yang disebutkan.
Unsur cuaca yang diprakirakan adalah: kondisi angin permukaan,
banglas/pandangan tanpa halangan, kondisi awan, dan fenomena cuaca yang
signifikan.
c. Take off weather forecast
Adalah prakiraan cuaca yang diperlukan untuk pesawat udara melakukan
tinggal landas dari suatu bandara. Prakiraan cuaca saat tinggal landas ini
disampaikan atas permintaan perusahaan penerbangan dan awak pesawat.
Penyampaian take off weather forecast dilakukan tiga jam sebelum rencana
keberangkatan pesawat. Prakiraan tersebut meliputi angin permukaan, suhu,
tekanan udara dan unsur lain yang diperlukan.
Cuaca buruk pada saat penerbangan dapat disebabkan karena:
a. Turbulensi
Turbulensi adalah golakan udara yang umumnya tidak dapat dilihat. Hal ini
dapat terjadi apabila langit cerah dan secara tiba-tiba tanpa diprediksi
sebelumnya. Penyebab dari turbulensi diantaranya:
1) Suhu – Pemanasan dari matahari menyebabkan masa udara panas naik dan
sebaliknya masa udara dingin turun, turbulensi jenis ini sering disebut
dengan ”turbulensi thermis”;
2) Jet stream – Pergerakan yang sangat cepat arus udara pada level
ketinggian yang tinggi, dan mempengaruhi udara disekitarnya;
3) Pegunungan – Massa udara yang melewati pegunungan dan
mengakibatkan turbulensi pada saat pesawat terbang di atasnya pada sisi
yang lain. Turbulensi jenis ini sering disebut dengan “turbulensi
mekanis”;
75
4) Wake turbulence – Turbulensi yang terjadi dekat dengan permukaan yang
dilewati pesawat atau helikopter.
b. Updraft dan Downdraft pada awan Cumulunimbus (Cb)
Updraft dan downdraft adalah pergerakan vertikal dari massa udara sebagai
bagian dari fenomena cuaca. Hal ini dikarenakan perbedaan massa udara
panas dengan massa udara dingin sehingga mengakibatkan massa udara yang
lebih panas dari sekitarnya naik hingga suhunya sama dengan suhu sekitar,
sedang massa udara yang suhunya lebih dingin turun. Keadaan ini
mengakibatkan pesawat yang sedang berada di dalam dan di bawah badan
awan Cb menjadi tidak stabil posisinya dan jika updraft dan downdraft yang
terjadi sangat kuat, akan mengakibatkan pesawat mengalami kejadian yang
sering disebut dengan “turbulence”.
Apabila kekuatan downdraft dari awan Cb sangat besar, maka kejadian ini
disebut ”downburst”, dimana dapat menghasilkan angin vertikal turun yang
sangat kencang dengan kecepatannya mencapai 240 km/jam. Dengan
kecepatan vertikal yang lebih besar lagi hingga mencapai lebih dari 75 m/detik
atau 270 km/jam dan dirasakan dalam wilayah yang lebih besar dari 4 km,
maka downdraft ini disebut dengan ”microbust”. Downdraft dan micobust
harus dihindari oleh pilot karena dapat menyebabkan kecelakaan pesawat pada
saat lepas landas maupun pendaratan.
c. Icing
Dalam penerbangan, kodisi icing merupakan kondisi dimana terbentuk es di
permukaan badan pesawat, atau ketika karburator di dalam mesin pesawat
membeku. Icing terjadi ketika uap air membeku di bawah titik beku.
Fenomena ini tidak membahayakan penerbangan dengan seketika namun
secara perlahan-lahan apabila kondisi ini dibiarkan terus-menerus. Hal ini
akan mengakibatkan kerusakan mesin, pengurangan daya kerja, penambahan
berat pesawat, mengganggu arus udara, dan meningkatkan kecepatan stall
pesawat yang nantinya akan mengganggu kerja pesawat.
d. Kilat
76
Sambaran kilat pada pesawat terbang akan merusakkan peralatan navigasi,
juga sistem peralatan yang lainnya dalam pesawat. Selain itu sinar yang silau
yang dipancarkan oleh kilat secara terus-menerus akan mengganggu pilot
dalam menerbangkan pesawat, dalam hal ini pesawat yang digunakan
bukanlah pesawat otomatis.
Fenomena cuaca yang keberadaannya berada diluar kendali manusia, sering
dimasukan kedalam faktor (pihak), yang dapat menjadi penyabab terjadinya
sebuah kecelakaan.
M. Landasan Teori
Penggunaan bahan-bahan teori yang ada adalah sebagai langkah untuk
memfokuskan arah penelitian yang dilakukan, disamping juga dalam
memberikan kontribusi pengetahuan bagi peneliti (contribution of knowledge)
demikian juga bagi pembaca.
1. Hubungan antara Kinerja (Performance) terhadap Kecelakaan Pesawat
Terbang
Sebuah kecelakaan di penerbangan adalah kejadian atau musibah yang
munculnya dapat secara tidak terduga dan terelakkan. Proses kejadian tersebut
dapat digambarkan sebagai sesuatu yang ikut bersama dalam setiap perjalanan,
namun tersembunyi dan akan muncul secara tiba-tiba pada saat satu atau beberapa
faktor penentu terjadinya keselamatan lainnya dalam kondisi lengah atau tidak
sepenuhnya mengikuti aturan yang seharusnya dipenuhi
Berbagai penyelidikan terhadap kecelakaan pesawat terbang yang terjadi,
sebagian besar penyebabnya diarahkan terhadap faktor-faktor pelaku atau manusia
yang terlibat didalam proses pelaksanaan penerbangan tersebut.
Manusia sebagai komponen sistem atau sub sistem adalah yang paling
fleksibel, adaptabel dan valuabel dari sistem penerbangan, tapi juga yang paling
sensitif terhadap pengaruh yang dapat berdampak pada kinerja (performance).
Human performance merupakan kemampuan dan keterbatasan manusia yang
mengakibatkan suatu dampak terhadap keselamatan dan efisiensi operasi
penerbangan. Kurang optimalnya kinerja (performance) pilot dapat
mempengaruhi keselamatan penerbangan.
77
Hubungan antara kinerja (performance) dengan terjadinya kecelakaan
pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Susetyadi et.al.
(2008) yang melakukan penelitian mengenai kinerja pilot ditinjau dari konsep
SHELL (Software, Hardware, Environment, Liveware-Liveware) didapat bahwa
dari konsep tersebut tidak terdapat kendala yang berarti dalam mempengaruhi
kinerja seorang pilot dalam melakukan tugasnya.
Simons dan Valk (1997) pada penelitiannya yang meneliti hubungan antara
pengaruh pengoperasian jarak jauh pada operasi penerbangan dengan kinerja pilot
didapat hasil bahwa cockpit rest period atau waktu istirahat crew di kokpit saat
berlangsungnya penerbangan dapat meningkatkan kewaspadaan dan kinerja dari
seorang pilot sehingga dapat meminimalisasikan kemungkinan terjadinya
kecelakaan pesawat udara. Hal yang sama juga dihasilkan dari penelitian yang
dilakukan oleh Rosekind et.al. (1994), bahwa kesempatan untuk dapat beristirahat
saat pengoperasian penerbangan jarak jauh memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap peningkatan kinerja dan kewaspadaan fisik dari seorang pilot.
2. Hubungan antara Beban Kerja (Workload) terhadap Kecelakaan
Pesawat Terbang
Setiap aktifitas atau pekerjaan yang dilakukan oleh manusia pasti
mempunyai suatu beban kerja. Beban kerja muncul karena adanya interaksi antara
operator dan tugas yang diberikan oleh operator.
Dalam mengoperasikan pesawat keselamatan adalah hal yang harus
diutamakan, namun dalam prakteknya ada beberapa hal yang tidak hal yang tidak
dapat terduga oleh pilot yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Pada
situasi tersebut pilot dituntut untuk lebih berkonsentrasi, dan pada kondisi yang
tak terduga tersebut dapat menimbulkan beban kerja yang tinggi.
Dukungan empiris untuk hubungan beban kerja (workload) terhadap
kecelakaan pesawat terbang telah terbukti dibeberapa penelitian. Wignjosoebroto
dan Zaini (2007) dengan menggunakan metode Subjective Workload Assesment
Technique (SWAT) didapat hasil bahwa secara individu faktor IQ (Intelligency
Quotient) sesuai dengan uji statistik tidak pernah memberikan pengaruh yang
78
signifikan terhadap beban kerja mental baik pada pilot Fokker 28 maupun pilot
Boeing 737. Disisi lain faktor phase penerbangan, faktor kondisi penerbangan dan
faktor jam terbang pilot telah terbukti memberikan pengaruh yang cukup
signifikan terhadap beban kerja mental pada pilot kedua jenis pesawat tersebut.
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Schvaneveldt (2000) yang
juga menggunakan metode SWAT menghasilkan diantara fase terbang dalam
pengoperasian pesawat terbang, fase take off, approach dan landing memiliki
nilai beban kerja yang tinggi pada saat kondisi normal pengoperasian pesawat.
Dalam penelitiannya juga didapat bahwa kecelakaan pesawat sering terjadi pada
fase take off, approach dan landing.
Penelitian yang dilakukan oleh Susetyadi et.al. (2008); Shappell et.al.
(2007); lebih menekankan kepada berbagai beban kerja (work load), dan kondisi
dari seorang pilot yang memiliki kaitan dengan kecendrungan human factor yang
bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan
3. Hubungan antara Waktu Terbang (Phases of Time) terhadap
Kecelakaan Pesawat Terbang
Dalam dunia penerbangan dikenal siklus arus penumpang, yaitu musim
padat penumpang (peak season), yang biasa berlangsung selama liburan sekolah
(pertengahan tahun-bulan juni/juli), liburan akhir tahun (bulan Desember), liburan
lebaran atau liburan akhir pekan (long weekend). Siklus lain arus penumpang
dalam dunia bisnis penerbangan adalah musim sepi penumpang yang biasa
berlangsung pada bulan Januari dan bulan Agustus-Nopember.
Beberapa penelitian mengenai hubungan antara waktu terbang terhadap
terjadinya kecelakaan pesawat terbang telah dibuktikan oleh beberapa peneliti.
Penelitian yang dilakukan oleh De Mello, et. al. (2008) mengenai penyebab
kecelakaan pesawat udara ditinjau dari kesalahan manusia (human factor) adalah
dengan dilihat dari shift kerja (waktu) dari si pilot itu sendiri, dalam
penelitiannya menunjukan bahwa periode pagi (00:00-11:59) memiliki resiko
yang lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan (1:1.46), dibandingkan dengan
79
periode sore dari pukul 12:00 – 17:59 dengan rasio 1:1.05 dan periode malam
antara pukul 18:00 – 23.59 (rasio 1:1.04).
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Salem dan Kleiner (2005),
didapat bahwa tidak terdapat pengaruh antara waktu malam dan siang, atau cuaca
buruk dan cerah terhadap terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang, namun
dapat mempengaruhi tingkat kewaspadaan, dan beban kerja dari seorang pilot.
Goode (2003) pada penelitiannya yang meneliti hubungan antara jadwal
terbang pilot terhadap tingkat kelelahan pilot (fatique) dan kecelakaan pesawat
terbang, didapat bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peluang
terjadinya kecelakaan pesawat terbang dengan jadwal jam terbang pilot. Selain itu
pula didapati hasil bahwa pembatasan atau pengaturan jam terbang pilot dapat
mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan pesawat yang diakibatkan dari faktor
kelelahan seorang pilot (pilot fatique).
Penelitian yang sama tentang faktor penjadwalan waktu terbang dengan
terjadinya kecelakaan pesawat terbang juga dilakukan oleh Rosekind et.al. (2006),
dan MacPherson dan Tvaryans, (2009). Dalam penelitiannya Rosekind et.al.
(2006) mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara
kelelahan seorang pilot yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu kecelakaan
pesawat terbang dengan penjadwalan waktu tugas seorang pilot. Sedangkan
MacPherson dan Tvaryans, (2009) mendapati bahwa tidak terdapat penurunan
yang signifikan terhadap tingkat kelelahan seorang pilot (pilot fatique) meskipun
terdapat modifikasi terhadap pengaturan jadwal waktu terbang seorang pilot.
Sementara itu penelitian yang meneliti masalah waktu dalam hal ini lama
waktu tugas seorang pilot yang berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya
kecelakaan pesawat terbang didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara lamanya waktu tugas (dalam jam dan minggu) dan juga total jam
terbang seorang pilot terhadap potensi terjadinya kecelakaan pesawat terbang,
Conway et.al. (2005). Sedangkan Sukawaningtyas (2007) mendapati bahwa faktor
dominan yang menyebabkan kelelahan pada pilot yang dapat mengakibatkan
terjadinya kecelakaan pesawat terbang adalah lamanya waktu tugas.
80
4. Hubungan antara Fase Terbang (Flight Phase) terhadap Kecelakaan
Pesawat Terbang
Peristiwa kecelakaan pesawat terbang dapat terjadi pada tahap
pengoperasian pesawat terbang, diawali dengan sejak taxi, tinggal landas (take
off), menanjak (climb), penerbangan jelajah (cruising flight), dan tahap pendaratan
yang dimulai dari descent, awal pendaratan (approach) kemudian menyentuh
landasan (touch down) sampai pesawat terbang berhenti di apron Bandar udara
tujuan pendaratan.
Beberapa penelitian dibawah ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara fase terbang (flight phase) terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
Penelitian yang dilakukan oleh Tiabtiamrat et.al. (2009) yang membahas masalah
fase terbang (flight phase) menunjukkan bahwa phase terbang (phase flight) pada
pesawat Boeing 737 mempunyai efek yang signifikan terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang namun hal ini tidak berkaitan dengan jumlah korban
yang ditimbulkan.
Hasil penelitiaan Cardi et.al. (2012), yang juga meneliti hubungan fase
terbang dengan terjadinya kecelakaan pesawat teerbang didapatkan bahwa fase
landing yang meliputi fase approach dan fase landing itu sendiri memiliki nilai
yang tinggi dan signifikan terhadap terjadinya suatu kecelakaan dibandingkan
dengan fase take off dan climb. Dalam penelitiannya juga ditemukan hasil bahwa
untuk fase approach kecelakaan tertinggi yakni terjadi sebelum runway (88%),
sedangkan untuk fase landing kecelakaan tertinggi terjadi setelah runway yakni
sebesar 46 %.
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Wignjosoebroto dan Zaini,
(2007), yang membahas hubungan antara fase terbang suatu pesawat dengan
terjadinya kecelakaan yang diwakili dengan variabel beban kerja juga
membuktikan bahwa fase terbang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
beban kerja pilot yang dapat mempengaruhi keselamatan dalam pengoperasian
penerbangan, dalam penelitiannya juga membandingkan antara pilot yang
mengoperasikan jenis pesawat yang berbeda yakni Fokker 28 dan Boeing 737.
81
5. Hubungan antara Lokasi (Location) terhadap Kecelakaan Pesawat
Terbang
Dalam dunia penerbangan pengertian lokasi lebih tertuju pada kondisi
daratan suatu daerah (terrain) yakni permukaan bumi yang berisi/mengandung
fitur-fitur yang terjadi secara alamai seperti gunung, bukit, lembah, perairan, es
permanent dan salju, tidak termasuk “obstacle”. Jalur penerbangan dengan kontur
yang ekstrem dan lokasi bandara yang sulit menjadikan keputusan pilot saat
menerbangkan pesawat menjadi dominan.
Untuk hubungan antara lokasi kejadian dengan terjadinya kecelakaan
pesawat terbang, penelitian yang dilakukan oleh Grabowski et. al. (2002) dari
hasil yang didapat dengan menggunakan GIS (Geographic Information System)
didapati bahwa sekitar 74 wilayah (geographic area) di Amerika Serikat
tergolong masuk wilayah memiliki tingkat yang rendah untuk terjadinya
kecelakaan pesawat terbang, sedangkan 53 wilayah masuk kategori wilayah yang
berbahaya meliputi daerah pegunungan.
Changchun dan Dongdong (2012), pada penelitiannya yang menggunakan
metode grey incident analysis untuk meneliti daerah yang paling rawan
terjadinya kecelakaan di China didapati bahwa daerah Tenggara China yang
mempunyai kontur daratan tinggi memiliki relevansi yang tinggi untuk
terjadinya kecelakaan pesawat terbang, dan dalam penelitiannya juga didapati
bahwa kontur daerah yang tinggi dapat mempengaruhi manusia dalam hal ini
pilot untuk melakukan tindakan yang berujung kesalahan manusia (human
factor). Selain berpengaruh terhadap keselahan manusia (human factor) ternyata
daerah yang memiliki kontur wilayah yang tinggi menyimpan pula potensi
bahaya yang diakibatkan oleh hewan dalam hal ini burung, karena dari hasil
penelitian didapati bahwa penyebab kecelakaan didaerah tersebut juga
disebabkan oleh burung (bird strike).
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Li dan Kearney (2000), yang
meneliti tentang hubungan antara resiko kecelakaan dan kematian yang
berkaitan dengan kondisi geoegrafis suatu daerah, didapati bahwa 8,9 kejadian
kecelakaan per 100.000 jam terbang diwilayah yang memiliki kontur dataran
82
tinggi (pegunungan) diwilayah Alaska memiliki tingkat kecelakaan yang paling
fatal. Dalam penelitian ini juga didapati bahwa meskipun jumlah penerbangan
telah dikendalikan untuk wilayah tersebut namun probabilitas terjadinya
kecelakaan tetaplah tinggi.
Hasil penelitian Grabowski et.al. (2002) yang juga meneliti hubungan
lokasi dengan terjadinya kecelakaan pesawat terbang, menunjukkan bahwa
terjadinya kecelakaan didaerah yang memiliki kontur wilayah tinggi dalam hal
ini adalah daerah pegunungan terjadi lebih banyak pada waktu malam hari dan
pada saat kondisi terbang menggunakan metode IMC (Instrument Meteorogical
Condition).
Penelitian lain yang meneliti hubungan antar terjadinya kecelakaan pesawat
terbang dengan lokasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Rebok et.al. (2009).
Dalam penelitiannya selain meneliti hubungan antar lokasi dengan kecelakaan
pesawat terbang, juga meneliti faktor lain yang dipakai dalam penelitiannya
yakni faktor waktu dan usia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pilot yang
berusia tua lebih banyak mengalami kecelakaan pada waktu siang hari dan
lokasi terjadinya kecelakaan adalah diluar kawasan bandara, dari hasil penelitian
juga didapati bahwa 28% kecelakaan disebabkan masalah mekanikal dari
pesawat, 25% merupakan kejadian kehilangan kendali (loss control) baik pada
saat take off maupun landing, 7% diakibatkan fuel saturation, 7% karena kondisi
terbang menggunakan metode VFR (Visual Flight Rule) dan 28% disebabkan
oleh penyebab lainnya.
Penelitian Ayers et.al. (2012) yang meneliti resiko terjadinya kecelakaan
pesawat disekitar lokasi Bandara, didapati bahwa kecelakaan pesawat sering
terjadi di ujung landasan dari suatu Bandara, baik itu take off overruns maupun
landing over shoot.
6. Hubungan antara Cuaca (Weather) terhadap Kecelakaan Pesawat
Terbang
Pada moda transportasi, transportasi udara merupakan moda yang sangat
bergantung pada keadaan cuaca, baik waktu tinggal landas/lepas landas ataupun
83
pada waktu pesawat di udara. Kecelakaan pada pesawat terbang dapat disebabkan
oleh teknis, kesalahan manusia, maupun faktor cuaca.
Pengaruh cuaca (weather) terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang
sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Bustamante, et.al., (2005) dalam
penelitiannya didapatkan hasil bahwa terdapat kenaikan nilai beban kerja pilot
yang signifikan pada saat pesawat yang dioperasikan oleh pilot memasuki
kondisi cuaca yang buruk, dalam penelitian ini juga didapat ada perbedaan
tingkat kesadaraan (situation awarness) antara kapten pilot dengan kopilot
dalam menghadapi kondisi tersebut.
Sementara itu keterkaitan antara kondisi cuaca dengan pengoperasian
kondisi penerbangan yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan dilakukan
penelitian oleh Wong et.al. (2006); Jarboe, (2005); Batt dan O’Hare, (2005);
Coyne et.al. (2001); Capobianco dan Lee, (2001); Goh dan Wiegmann, (2002);
dan Wiegman et.al. (2002).
Wong et.al. (2006), pada penelitiannya memperoleh hasil dari uji chi square
didapat hasil bahwa kondisi terbang antara IMC (Instrument Meteorogical
Condition) atau VFR (Visual Flight Rule) pada saat kondisi cuaca kurang baik
(adverse weather) memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang, sementara itu dari pengujian RAIR (Relative
Accident Involvement Ratios) didapat bahwa kondisi terbang dengan
menggunakan metode IMC memiliki pengaruh yang besar terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat udara dibandingkan dengan kondisi VFR. Hasil yang sama
juga didapat dalam penelitian yang dilakukan oleh Jarboe (2005) yang
membuktikan bahwa metode IMC dalam mengoperasikan pesawat terbang dalam
kondisi cuaca yang buruk juga merupakan faktor penentu kecelakaan pesawat
udara yang diakibatkan oleh cuaca (88 % dari total kecelakaan yang diakibatkan
oleh cuaca). Hal ini diperkuat pula oleh penelitian yang dilakukan Capobianco
dan Lee, (2001) yang membuktikan kondisi terbang dari VFR ke IMC pada saat
penerbangan memasuki kondisi cuaca yang buruk juga merupakan penyebab
utama kecelakaan yang diakibatkan oleh faktor cuaca, penelitian tersebut juga
menemukan bahwa faktor yang paling umum dalam kecelakaan pesawat yang
84
disebabkan oleh faktor cuaca adalah low ceiling (20%), fog (14%), wind (10%),
dan malam (9%).
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Coyne et.al. (2001), yang
bertujuan untuk mengetahui kemampuan pilot dalam mengambil keputusan
terbang VFR ke IMC pada suatu kondisi cuaca tertentu, didapati bahwa faktor
ceiling dan visibility merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan
seorang pilot mengambil keputusan terbang dengan metode IMC pada saat
kondisi cuaca tertentu (adverse weather).
Goh dan Wiegmann (2002), pada penelitiannya memperoleh hasil
kecelakaan yang diakibatkan oleh pergantian kondisi terbang VFR ke IMC pada
saat kondisi cuaca tertentu dipengaruhi oleh jam terbang pilot dan adanya
penumpang dipesawat (passengers aboard). Sementara itu dalam penelitian
lanjutannya yang meneliti tentang keputusan pilot untuk melanjutkan atau
membatalkan prosedur terbang VFR ke IMC pada saat kondisi cuaca buruk
(adverse weather), didapati bahwa pilot yang mengalami cuaca buruk pada saat
awal penerbangan dan mengalami juga pada saat penerbangan lebih berpeluang
memiliki optimistis yang tinggi dalam penerbangan jika dibandingkan pilot yang
mengalami cuaca buruk baru pada saat dalam perjalanan, Wiegman et.al. (2002).
Sementara itu Burian et.al. (2000), menyatakan bahwa bahwa keputusan
terbang (PCE, Plan Continuation Errors) pada saat kondisi cuaca buruk adalah
dipengaruhi oleh pengalaman pilot (jam terbang), jarak pandang, dan koordinasi
antar kru (crew conflict).
N. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa landasan teori yang telah
dikemukakan di atas tentang variabel-variabel yang berpengaruh terhadap
terjadinya kecelakaan pesawat udara, maka dapat disusun kerangka konseptual
(Gambar 2.8) yang dilandasi dari teori-teori terdahulu seperti Gambar 2.7, yang
mendasari keseluruhan penelitian ini.
85
Gambar 2.7. Bagan kerangka teori (teori-teori terdahulu): Grabowski et.al. (2002), Rebok et.al. (2009), Changchung & Dongdong (2012), Li & Kearney (2000), Grabowki et.al (2002), Li et.al. (2009), Ayers et.al. (2012), Wignjosebroto &
Zaini (2007), Tiabtiamrat et.al. (2009), Besco 91992), Rosekind et.al 92006), de Mello et.al. (2008), Goode (2003), Tvaryans & Macpherson (2009),
Sungkawaningtyas (2007), Pruchniki et.al. (2010), Conway et.al. (2005), Saleem & Kleiner (2006), Wong et.al. (2006), Jarboe (2005), Batt & O’Hare (2005),
Coyne et.al. (2001), capobianco & Lee (2001), Goh & Wiegman (2002), Wiegman et.al.(2002), Burian et.al. (2000),Bustamante et.al. (2005), Cardi et.al. (2010), Schvaneveldt et.al. (2000), Rosekind et.al. (1994), dan Simons 7 Valk
(1997)
86
Kerangka konseptual penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada
Gambar 2.8, dibawah ini.
Gambar 2.8. Kerangka konseptual variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kecelakaan pesawat terbang (model hipotesis)
Dari kerangka konseptual tersebut di atas, maka dapat dituliskan hipotesis
yang merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang
kebenarannya harus diuji secara empiris. Adapun hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah:
”Masing-masing dari variabel penelitian waktu (phases of time), fase
terbang (flight phase), lokasi (location), cuaca (weather), kinerja (performance),
serta beban kerja (workload), yang membentuk model struktural diduga
memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap variabel kecelakaan
pesawat terbang (aircraft accident)”.
87
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tahap Penelitian
Penelitian merupakan proses yang kompleks dan terkait secara sistematik.
Tiap tahapan merupakan bagian yang menentukan bagi tahapan selanjutnya
sehingga harus dilalui secara cermat. Untuk memudahkan dalam memperoleh
gambaran penelitian secara menyeluruh perlu dirumuskan suatu tahapan
penelitian yang akan menjadi acuan dalam penelitian ini sehingga dapat
menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini secara garis besar (menyeluruh),
tahapan dari penelitian ini dilakukan secara sistematis sebagaimana terdapat pada
Gambar 3.1, berikut.
Gambar 3.1. Tahapan penelitian
a. Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah mengetahui gambaran
kecelakaan pesawat terbang di Indonesia yang diambil dari instansi yang
88
terkait dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Dengan melihat data yang ada
diharapkan dapat sebagai bahan evaluasi dalam penelitian yang akan
dilaksanakan.
b. Tiga unsur pendekatan penelitian
1) Subyek, yaitu merupakan unsur utama yang terlibat dalam permasalahan
yang dikaji dalam penelitian ini, terdiri dari pilot dan airlines.
2) Obyek, yaitu unsur permasalahan yang akan dicarikan solusi pemecahan
masalahnya, dimana dalam penelitian ini adalah kondisi pilot dalam hal ini
kinerja (performance) dan beban kerja (workload) terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang ditinjau dari waktu (phases of time), fase
terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).
3) Metode, yaitu unsur teknik analisa yang digunakan dalam memecahkan
permasalahan dimana dalam penelitian ini menggunakan metode analisis
Structural Equation Modeling (SEM) berbasis varians dengan pendekatan
Partial Least Square (PLS) dan Subjective Workload Assesment Technique
(SWAT) yang dipergunakan sebagai pendekatan dalam
mengidentifikasikan human error dalam melakukan tugasnya.
c. Instrumental input yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan studi literatur dan empiris dari penelitian terdahulu yang
membahas tentang kecelakaan pesawat terbang yang disebabkan atau ditinjau
dari faktor waktu (phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi
(location), dan cuaca (weather).
d. Umpan balik (feed-back) diperlukan untuk mengetahui berbagai kendala dan
permasalahan yang dihadapi, sehingga proses perumusan pemecahan masalah
dapat berjalan, yang selanjutnya akan didapatkan butir-butir hasil (output dan
outcome) yang diharapkan dari penelitian ini.
e. Hasil yang diharapkan (output dan outcome), jenis penelitian ini adalah
penelitian penjelasan (explanatory research) karena tujuannya adalah unutk
menjelaskan hubungan kausal antar variabel dengan melakukan pengujian
hipotesis, sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi
pilot dalam penyebab terjadinya kecelakaan penerbangan.
89
Secara garis besar langkah-langkah pemecahan masalah disajikan pada
Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Flowchart langkah-langkah pemecahan masalah
B. Kerangka Model Operasional Penelitian
90
Kerangka model operasional penelitian ini dibangun atas dasar eksplorasi
mendalam pada teori-teori dan hasil kajian peneliti terdahulu. Dari kajian tersebut
selanjutnya dapat digambarkan alur/konstruksi sebagai model operasional didalam
penelitian ini sebagaimana pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Kerangka penelitian
Dalam penelitian ini analisa yang digunakan dalam memecahkan
permasalahan adalah dengan menggunakan metode metode analisis Structural
Equation Modeling (SEM) berbasis varians dengan pendekatan Partial Least
Square (PLS) dan Subjective Workload Assesment Technique (SWAT) yang
dipergunakan sebagai pendekatan dalam mengidentifikasikan terjadinya
kecelakaan pesawat terbang yang diakibatkan oleh faktor manusia (human error).
91
Dalam metode SEM-PLS, model yang dibangun mengandung dua unsur
penting yaitu struktur model dan parameter model. Struktur model
menggambarkan skema hubungan antar variabel, parameter model memberi
informasi sifat hubungan ataupun pengaruh antar variabel tersebut. Sifat
hubungan antar variabel dalam konstruk model ini (langsung, tidak langsung,
positif atau negatif) diasumsikan diawal (hipotesis) berdasar landasan teori, yang
nantinya akan muncul sebagai parameter model saat permodel telah selesai diuji.
Variabel-variabel yang telah teridentifikasi dan secara teori maupun hasil
penelitian memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung dengan kecelakaan
pesawat terbang dimasukkan kedalam model menjadi konstruksi model seperti
tergambar dalam kerangka konsep. Konstruksi model yang dibangun dalam
penelitian ini melibatkan variabel:
a. Kecelakaan pesawat terbang, merupakan variabel laten (variabel yang tidak
terukur langsung) adalah variabel yang menjadi bahasan utama dalam
penelitian ini, terukur melalu variabel indikator (variabel observasi);
b. Kinerja pilot, variabel yang mempengaruhi secara langsung pada kecelakaan
pesawat terbang, dipengaruhi oleh waktu (phases of time), fase terbang (flight
phase), lokasi (location), dan cuaca (weather);
c. Waktu (phases of time), variabel yang mempengaruhi kinerja pilot dan
kecelakaan pesawat terbang;
d. Fase terbang (flight phase), variabel yang mempengaruhi kinerja pilot dan
kecelakaan pesawat terbang;
e. Lokasi (location), variabel yang mempengaruhi kinerja pilot dan kecelakaan
pesawat terbang;
f. Cuaca (weather), variabel yang mempengaruhi kinerja pilot dan kecelakaan
pesawat terbang.
Hasil yang diharapkan yaitu adanya hubungan yang signifikan atau nilai
koefisien lintas (λ) yang nyata antara peubah laten kecelakaan pesawat terbang
dan peubah-peubah manifesnya yaitu kinerja pilot, waktu (phases of time), fase
terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather). Hal yang sama juga
92
diharapkan untuk peubah laten kinerja pilot terhadap waktu (phases of time), fase
terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather)
Sementara itu dengan menggunakan metode Subjective Workload Assesment
Technique (SWAT) akan diketahui beban kerja mental pilot dalam melakukan
tugasnya. Dimensi-dimensi yang digunakan dalam SWAT terdiri dari tiga dimensi
yaitu beban waktu (time load), beban usaha mental (mental effort load) dan beban
tekanan psikologis (psychological stress load). Tiga dimensi didefinisikan oleh
masing-masing deskriptor yang terdiri atas waktu (phases of time), fase terbang
(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) untuk menunjukkan beban
kerja dari tiap dimensi.
C. Instrumen Penelitian dan Pengujian Instrumen
1. Instrumen Penelitian (Kuesioner)
Danim (2000) menerangkan bahwa instrumen penelitian disusun dengan
tujuan untuk memperoleh data yang sesuai (baik data kualitatif maupun data
kuantitatif). Data tersebut akan diolah untuk menjadi informasi yang dapat
menjelaskan hubungan antar gejala atau hubungan antara gejala. Data yang
diperoleh dengan instrumen dengan cara pengumpulan data dihimpun, ditata,
dianalisis dan diinterpretasikan untuk mendiskripsikan suatu kondisi atau gejala.
Instrumen penelitian ini berupa kuesioner sebagai pedoman dalam melakukan
wawancara yang terpandu secara terstruktur kepada responden.
Arikunto (1993) mendefinisikan kuesioner adalah “sejumlah pertanyaan
tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden, dalam arti
laporan pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui”. Kuesioner dibedakan atas
beberapa jenis dari cara menjawab, yaitu:
a. Kuesioner terbuka, yaitu kuesioner yang memberikan kesempatan kepada
responden untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri;
b. Kuesioner tertutup, yaitu kuesioner yang sudah disediakan jawabannya
sehingga responden tinggal memilih.
Supranto (1997) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih
butir-butir kuesioner yang baik, yaitu:
93
a. Butir-butir harus relevan atau terkait dengan apa yang kita ukur;
b. Butir-butir harus ringkas, butir yang terlalu panjang menyebabkan daftar
pertanyaan panjang dan sukar dibaca;
c. Butir tidak boleh membingungkan;
d. Butir yang bagus hanya memuat satu pemikiran.
Agung (1992) menjelaskan kaitan suatu penelitian yang akan memakai data
primer sebagai informasi, dapat dinyatakan bahwa kuesioner atau instrumen
untuk pengumpulan data merupakan bagian yang penting dari penelitian tersebut.
Permasalahan yang harus diperhatikan berkaitan dalam penyusunan kuesioner
meliputi:
a. Pertanyaan terbuka;
b. Pertanyaan tertutup;
c. Pertanyaan yang singkat dan jelas;
d. Pertanyaan yang relevan untuk seluruh responden;
e. Menghindari pertanyaan pribadi;
f. Menghindari pertanyaan kompleks.
Instrumen penelitian ini berupa kuesioner sebagai pedoman dalam
melakukan wawancara yang terpandu secara terstruktur kepada responden.
Kuesioner dirancang dengan pertanyaan tertutup dan terbuka berdasarkan
kebutuhan variabel penelitian. Pada dasarnya, pertanyaan tertutup dipakai
berkaitan dengan variabel kategori murni, nominal, ordinal, dengan variatif
jawaban bersangkutan mempunyai alternatif jawaban tertentu atau pasti. Untuk
pertanyaan terbuka, seorang responden mungkin akan menjelaskan panjang lebar
dengan berbagai bumbu-bumbunya, sehingga untuk pertanyaan terbuka dipakai
variable numeric yang berskala interval atau ratio untuk pendekatan data
berkelompok.
2. Pengujian Instrumen
Sebelum dilakukan pengumpulan data sebenarnya, terlebih dahulu dilakukan
uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen atau alat ukur penelitian. Menurut
Singarimbun (1995) dalam penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai alat
94
pengumpul data, maka uji validitas perlu dilakukan terhadap data yang
dikumpulkan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang valid, yang
akan didapat bilamana jawaban-jawaban kuesioner mempunyai konsistensi
internal. Dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah kuesioner dalam
skala Likert. Status instrumen pengukuran dikatakan valid jika instrumen dapat
mengukur sesuatu dengan tepat apa yang hendak diukur. Sedangkan status
instrumen penelitian dikatakan reliabel apabila hasil pengukurannya konsisten,
cermat dan akurat. Atau dengan perkataan lain bahwa uji reliabilitas instrumen
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsistensi dari instrumen sebagai alat
ukur, sehingga alat pengukuran dapat dipercaya (Sambas, 2007).
a. Validitas Instrumen
”Validitas (validity) menunjukkan seberapa jauh suatu tes atau satu set dari
operasi-operasi mengukur apa yang seharusnya diukur” (Ghiselli et.al. 1981).
Validitas berhubungan dengan ketepatan alat ukur untuk melakukan tugasnya
mencapai sasaran. Validitas berhubungan dengan kenyataan (actually). Validitas
juga berhubungan dengan tujuan dari pengukuran. Pengukuran dikatakan valid
jika mengukur tujuannya dengan nyata dan benar. Alat ukur yang tidak valid
adalah yang memberikan hasil ukuran menyimpang dari tujuannya. Besarnya
validitas ditunjukkan dengan suatu angka yang disebut koefisien validitas.
Pengertian lain dari validitas ini adalah ”mampu tidaknya suatu alat ukur
mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat” (Cohen dan Lea,
2004).
Azwar (2001) mengatakan bahwa validitas merupakan “ketepatan dan
kecermatan instrumen dalam melakukan fungsi ukurnya sesuai kepentingan
penelitian”. Kemampuan suatu instrumen dikatakan mempunyai validitas yang
tinggi apabila alat tersebut mampu menggambarkan atau menjalankan fungsi
ukurnya sesuai dengan maksud dilakukan pengukuran instrumen tersebut dapat
dibuat. ‘Validitas instrumen menunjukan kualitas dari keseluruhan proses
pengumpulan data penelitian’ (Singarimbun dan Effendi, 1989).
95
Arikunto (1993), “analisis butir dilakukan dengan didahului oleh suatu
asumsi bahwa instrumen dikatakan valid jika setiap butir faktor yang membentuk
instrumen tersebut sudah valid. Analisis butir dapat dilakukan dengan
mengkorelasi skor faktor dengan skor total, untuk mengetahui kekhususan tiap
butir faktor. Sesudah itu dapat diuji validitas setiap butir dengan mengkorelasikan
masing-masing skor faktor (butir instrumen) dengan skor total dari seluruh subyek
penelitian”.
Untuk menguji apakah setiap indikator (variabel manifes) valid atau absah
mengukur masing-masing variabel laten yang digunakan dalam model PLS-SEM,
maka digunakan pengujian model CFA (Cofirmatory Factor Analysis) dan
menggunakan Program LVPLS.
Pelaksanaan validitas konstruk dalam penelitian ini menggunakan teknik uji
terpakai dengan melibatkan responden penelitian (yang berjumlah 260
responden). Alasan menggunakan uji terpakai dan uji terpisah mengacu pada
pendapat Hadi (1993) yang menyatakan bahwa uji terpakai memiliki keuntungan,
yaitu: 1) tidak perlu mencari sampel uji coba yang setara dengan sampel
penelitian, 2) untuk ukuran sampel yang lebih besar, maka secara statistik peluang
jumlah butir yang gugur akan lebih sedikit, 3) tidak menambah waktu dan biaya
penelitian yang mubazir, 4) tersedia program yang langsung menggabungkan hasil
uji terpakai dengan data penelitian lainnya.
Analisis konfirmatori ini menguji apakah pertanyaan yang telah disusun
tersebut merupakan indikator yang valid sebagai pengukur variabel laten atau
dengan kata lain apakah indikator-indikator yang telah disusun tersebut
merupakan ukuran multidimensionalitas suatu variabel laten. Ukuran yang dipakai
untuk menilai valid tidaknya item pertanyaan sebagai indikator variabel adalah
dengan melihat nilai loading factor pada output hasil analisis. Item pertanyaan
dinyatakan valid jika nilai standardized loading estimate sama dengan 0.50 atau
lebih idealnya harus lebih dari 0.70, dan dapat pula ditunjukkan oleh nilai Average
Variance Extracted (AVE) yang direkomendasikan harus lebih besar 0,50.
(Ghozali dan Fuad 2008).
96
b. Reliabilitas Instrumen
Besarnya reliabilitas ditunjukkan dengan suatu angka yang disebut koefisien
reliabilitas. Reliabilitas (reliability) suatu pengukuran menunjukkan stabilitas dan
konsistensi dari suatu instrumen yang mengukur suatu konsep dan berguna untuk
mengakses ”kebaikan” dari suatu pengukur (Sekaran, 2003).
Ghiselli et.al. (1981) mendefinisikan reliabilitas suatu pengukur sebagai
“seberapa besar variasi tidak sistematik dari penjelasan kuantitatif dari
karakteristik-karakteristik suatu individu jika individu yang sama diukur beberapa
kali”. Michael dan Isaac (1981) mendefinisikan reliabilitas sebagai “konsistensi
antar pengukuran-pengukuran secara berurutan”.
Azwar (2001) mengemukakan bahwa “reliabilitas instrumen berasal dari
kata reliability yang artinya keterpercayaan, keterandalan, dan konsistensi suatu
pengukuran.pengukuran dapat dipercaya apabila hasil dalam beberapa kali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil
yang relatif sama, dengan catatan aspek yang diukur tidak berubah atau responden
tetap konsisten pada jawabannya”.
Reliabilitas instrumen adalah hasil pengukuran instrumen yang dipercaya
untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan pengukuran yang mencirikan
tingkat konsistensi responden. Reliabilitas instrumen dikatakan valid apabila hasil
pengukuran sama dengan kenyataaan dilapangan yang sebenarnya.
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa reliabilitas
menunjukkan akurasi dan ketepatan dari pengukurannya. Reliabilitas
berhubungan dengan akurasi (accurately) dari pengukurnya. Reliabilitas
berhubungan dengan konsistensi dari pengukur. Suatu penegukur dikatakan
reliabel (dapat diandalkan) jika dapat dipercaya. Supaya dapat dipercaya, maka
hasil dari pengukuran harus akurat dan konsisten. Dikatakan konsisten jika
beberapa pengukuran terhadap subyek yang sama diperoleh hasil yang tidak
berbeda. Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana suatu hasil
survei melalui kuesioner dapat dilihat tingkat kepercayaannya. Prosedur analisis
reliabilitas diarahkan pada analisis terhadap variabel/pertanyaan dalam kuesioner
tersebut.
97
Uji realibilitas dalam model analisis SEM-PLS dilakukan dengan melihat
nilai composite realibility dari blok indikator (variabel manifes) yang mengukur
konstruk (variabel laten). Hasil composite realibility akan menunjukkan nilai
yang memuaskan jika memiliki nilai lebih besar dari 0,70 (Ghozali dan Fuad
2008). Uji reliabiltas juga bisa diperkuat dengan menggunakan teknik reliabilitas
Cronbach’s Alpha. Menurut Ferdinand (2000) bahwa nilai batas yang digunakan
untuk menilai tingkat reliabilitas yang diterima adalah 0,70 walaupun angka
tersebut bukanlah sebuah ukuran “mati”.
D. Skala Likert
Setelah item-item kuesioner telah didefinisikan untuk dapat diukur, maka
diperlukan alat untuk mengukurnya yaitu yang disebut dengan skala (scale).
Penskalaan adalah sebuah instrumen atau alat yang mewajibkan pengamat untuk
memanfaatkan subyek pada kategori atau kontinum dengan memberikan nomor
atau angka pada kategori tersebut.
Menurut Cooper dan Schindler (2008) penskalaan (scaling) adalah
“prosedur untuk memberikan angka-angka nilai (atau simbol-simbol) ke suatu
properti dari obyek untuk tujuan memberi beberapa karakteristik dari angka-
angka tersebut ke properti-properti yang ditanyakan”. Terdapat empat macam
tipe data untuk dasar dari skala yaitu nominal, ordinal, interval dan rasio.
a. Nominal, yang bernilai klasifikasi, misalnya: laki, perempuan untuk gender;
b. Ordinal, yaitu bernilai klasifikasi dan order (ada urutannya). Misalnya:
penilaian (kurang, baik, sangat baik);
c. Interval, yaitu bernilai klasifikasi, order (ada urutannya), dan berjarak
(perbedaan dua nilai berarti). Misalnya skala likert 1 sampai dengan 5,
dengan jarak 1 sampai dengan 2 mempunyai jarak yang sama dengan 3 dan
seterusnya;
d. Rasio, yaitu bernilai klasifikasi, order, distance (berjarak) dan mempunyai
nilai awal (origin). Misalnya unit waktu sebesar 20 menit yang mempunyai
nilai awal 0. Rasio dalam hal ini tidak harus dalam pembagian.
98
Terdapat dua macam metoda pensakalaan yaitu skala rating (rating scale)
dan skala rangking (rangking scale). Skala rating (rating scale) digunakan untuk
memberikan nilai (rating) ke suatu variabel. Skala likert merupakan salah satu
skala rating. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi
seseorang atau kelompok tentang fenomena sosial. Dengan skala likert, variabel
yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator
tersebut dijadikan item untuk menyusun item-item instrumen yang berbentuk
pertanyaan atau pernyataan (Sugiyono, 2005). Teknik yang digunakan, jawaban
yang diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian diberikan skor.
Pemberian skor pada likert bergradasi dari yang sangat positif sampai yang
sangat negatif. Skor ini berdasarkan konstruk yang dinilai. Penilaian skala likert
secara sederhana adalah untuk skala favorit rendah diberikan nilai rendah dan
yang memiliki tingkat favorit tinggi diberi nilai tinggi (Singarimbun dan Effendi,
1994) sebagaimana tersebut di bawah ini:
1 2 3 4 5Favorit rendah ------/------/------/------/------/ Favorit tinggi
Skor responden dijumlahkan dan jumlah ini merupakan total skor, dan total skor
inilah yang ditafsirkan sebagai posisi responden terhadap suatu
hal/sikap/persepsi.
E. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah dimana penelitian
akan dilaksanakan. Adapun penelitian yang dilakukan peneliti akan mengambil
lokasi di Jakarta mengingat banyaknya kantor operator penerbangan yang
berlokasi di Jakarta. Waktu yang digunakan dalam penelitian ini selama 9
(sembilan) bulan untuk pengambilan data yang terdiri atas pengisian kuesioner
dan wawancara terhadap responden maupun pihak-pihak yang terkait.
Survei untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
dengan cara menyebarkan kuesioner untuk diisi oleh responden yang sesuai
dengan karakteristik populasi dalam hal ini adalah pilot pesawat terbang.
99
Pendahuluan dalam lembar kuesioner di mulai dengan sebuah pernyataan
yang isinya meminta responden untuk memberikan tanggapan terhadap butir-butir
pernyataan yang telah disusun dan menjamin kerahasiaan responden atas
informasi yang peneliti peroleh dari kuesioner tersebut, kemudian setelah itu
disusul permohonan informasi demografi dari responden.
Pengisian kuesioner maupun wawancara responden dalam hal ini pilot
dilakukan pada saat pilot tidak dalam kondisi on duty melainkan pada saat off duty
hal ini dimaksudkan agar dalam menjawab pertanyaan yang diberikan baik dalam
bentuk kuesioner maupun wawancara diharapkan dapat terjawab dengan baik.
F. Penentuan Jumlah Sampel
Arikunto (1993) mengatakan bahwa sampel adalah ”bagian dari populasi
(sebagian atau wakil populasi yang diteliti)”. Sampel penelitian adalah sebagian
dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh
populasi. Sugiyono (2008) memberikan pengertian bahwa sampel adalah
”sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Dari
beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel adalah sebagian
atau wakil dari populasi yang memiliki ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan
diteliti oleh karena tidak dimungkinkan mengambil populasi secara keseluruhan,
maka pada penelitian ini digunakan sampel sebagai subyek penelitian. Dasar
dilakukan penyampelan adalah agar dapat menarik simpulan dengan sejumlah
elemen dan populasi sebagai sampel untuk keseluruhan populasi.
Teknik pengambilan sampel atau teknik sampling adalah suatu cara
mengambil sampel yang representatif dari populasi. Pengambilan sampel harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat
mewakili dan dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya.
Swanson et.al. (1992) menyatakan bahwa jumlah sampel minimum yang
dapat digunakan untuk survei dengan teknik stated preference adalah 30 buah.
Sementara itu Arikunto (1993) mengemukakan bahwa untuk sekedar ancer-ancer
apabila subjek kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua, sehingga
100
penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika subjeknya besar,
dapat diambil antara 10% - 15 % atau 20% - 25 % atau lebih.
Memperhatikan pernyataan di atas menurut Surakhmad (1994)
menyarankan, apabila ukuran populasi sebanyak kurang atau sama dengan 100,
pengambilan sampel sekurang-kurangnya 50% dari ukuran populasi. Apabila
ukuran populasi sama dengan atau lebih dari 1000, ukuran sampel diharapkan
sekurang-kurangnya 15% dari ukuran populasi.
Krejcie dan Morgan (1970) dan Leedy (1997) menyatakan bahwa jumlah
sampel yang diperlukan harus cukup untuk menggambarkan ukuran populasi yang
berbeda. Dasar yang digunakan pada tabel tersebut adalah mengikuti petunjuk
dalam penentuan jumlah sampel sebagai berikut:
a. Untuk populasi yang besar, prosentase dari populasi dari populasi yang
diperlukan untuk penentuan jumlah sampel adalah kecil;
b. Untuk jumlah populasi yang kecil, N < 100, jumlah sampel adalah sama
dengan populasi;
c. Jika ukuran populasi sekitar 500, jumlah sampel adalah 50% dari jumlah
populasi;
d. Jika ukuran populasi adalah sekitar 1.500, maka jumlah sampel adalah 20%
dari jumlah populasi;
e. Jika jumlah populasi melebihi angka pasti (N = 5.000) ukuran populasi sering
tidak sesuai dan ukuran sampel 400 akan lebih memadai.
Menurut Pangestu dan Djarwanto (1993) dinyatakan bahwa bentuk
distribusi dan distribusi sampling yang paling mendekati distribusi normal apabila
jumlah sampel n lebih besar dari 30, atau lebih kecil dari 30 dianggap
berdistribusi normal apabila distribusi populasinya normal atau standar deviasinya
diketahui.
Menurut Hair et.al. (1998) Dalam menentukan ukuran sampel (sampel size)
untuk SEM terdapat beberapa pedoman yang harus di penuhi salah satunya, yaitu
ukuran sampel bergantung pada metode estimasi parameter yang di pakai. Bila
estimasi parameter menggunakan metode Maximum Likehood (ML), ukuran
sampel yang disarankan adalah antara 100-200.
101
Menurut Solimun (2002), beberapa pedoman penentuan besarnya sample
size untuk SEM diberikan sebagai berikut:
a. Bila pendugaan menggunakan metode kemungkinan maksimum (maximum
likehood estimation) besar sampel yang disarankan adalah antara 100 hingga
200, dengan sampel minimum 50;
b. Sebanyak 5 hingga 10 kali jumlah parameter yang ada dalam model;
c. Sama dengan 5 hingga 10 kali jumlah variabel manifest (indikator) dari
keseluruhan variabel laten.
Berdasarkan penjelasan di atas, disyaratkan untuk dapat menggunakan
tekhnik analisis Structural Equation Modeling (SEM), yaitu ukuran sampel yang
di sarankan adalah antara 100-200. Sementara itu dalam penelitian ini melibatkan
sebanyak 52 indikator, sehingga merujuk pada aturan ketiga diperlukan minimal 5
x 52 atau sebesar 260 responden sebagai subyek penelitian. Sementara itu dalam
metode Subjective Workload Assesment Technique (SWAT) tidak terdapat acuan
jumlah responden yang akan dilakukan dalam penelitian namun diutamakan yang
memiliki satu profesi yang sejenis misal untuk profesi pilot, dosen, supir, nahkoda
dan lain-lain.
Metode sampel yang digunakan adalah non probability sampling yaitu
pemilihan sampel berdasarkan pada pertimbangan pribadi (Supramono &
Haryanto, 2005). Berdasarkan penjelasan tersebut maka penelitian ini
menggunakan non probability sampling dengan teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive sampling, yakni peneliti memilih sampel yang
disesuaikan dengan kebutuhan penelitian dan diharapkan memiliki informasi yang
akurat (Supramono & Haryanto, 2005).
G. Pengambilan dan Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah ”cara-cara memperoleh data melalui peristiwa-peristiwa, hal-hal, keterangan-keterangan, dan karakteristik-karakteristik, baik sebagian maupun keseluruhan yang akan menunjang penelitian” (Hasan, 2002).
102
Pengumpulan data dan infomasi pada dasarnya mengacu pada studi kepustakaan, data dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara dan survei lapangan.a. Data primer
Data primer dilakukan terhadap responden yang akan diteliti, dalam
penelitian ini adalah pilot pesawat terbang dengan bantuan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya dan kusioner tersebut telah lulus uji validitas dan reliabilitas. Adapun variabel-variabel pengukuran dalam penelitian ini: waktu terbang (phases of
time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), cuaca (weather), kinerja
pilot, beban kerja pilot dan kecelakaan pesawat terbang. Dari data yang diperoleh diolah kemudian dituliskan pada bab hasil penelitian.
b. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari tinjauan kepustakaan melalui literatur, jurnal-
jurnal, dan situs internet yang dapat memberikan informasi yang berkaitan
dengan kecelakaan pesawat udara, data sekunder yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah data kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di
Indonesia.
H. Cara Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah menggunakan analisis
statistik yaitu:
1. Analisis Deskriptif
Dalam statistik deskriptif ini akan dikemukakan cara-cara penyajian data
dengan tabel biasa maupun distribusi frekuensi seperti grafik maupun batang,
diagram lingkaran, piktogram, penjelasan kelompok melalui mean, median,
modus dan variasi kelompok melalui rentang dan simpangan baku.
Analisis deskriptif adalah analisis statistik yang berfungsi untuk
mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui
data sampel atau sampel sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan
103
membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Analisis deskriptif juga dapat
diartikan sebagai suatu metode analisis tentang fenomena sekelompok manusia
atau obyek pada suatu kondisi, suatu pemikiran ataupun peristiwa yang terjadi
pada saat ini yang bertujuan memberikan gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki. Mengelompokan, atau memisahkan komponen atau
bagian yang relevan dari keseluruhan data juga merupakan salah satu bentuk
analisis untuk menjadikan data mudah dikelola. Pengaturan, pengurutan atau
manipulasi data bisa memberikan informasi deskriptif yang akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan dalam definisi masalah (Kuncoro, 2003).
Menurut Walpole dan Myres (1995), metode statistik dikelompokan
menjadi dua bagian yaitu statistik deskritif dan statistik inferensia. Statistik
deskriptif berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data
sehingga memberikan informasi yang berguna, sedangkan statistik inferensia
mencakup semua metode yang berhubungan dengan analisis data untuk
selanjutnya sampai pada peramalan atau penarikan kesimpulan mengenai
keseluruhan data.
Setiap peneliti harus dapat menyediakan data yang diperoleh, baik yang
diperoleh melalui observasi, wawancara, kuesioner, maupun dokumentasi.
Prinsip dasar penyajian data adalah komunikatif dan lengkap, dalam arti data
yang disajikan dapat menarik perhatian pihak lain untuk membacanya dan mudah
memahami isinya.
2. Structural Equation Modeling (SEM)
a. Konsep Structural Equation Modeling (SEM)
Structural Equation Modeling (SEM) adalah teknik statistik multivariat
yang memungkinkan pengujian suatu rangkaian hubungan kausalitas antarvariabel
secara simultan dan serentak sehingga dapat memberikan efisiensi secara statistik.
Lebih dari itu, SEM secara eksplisit akan menghitung pengukuran error yang
terjadi dalam model. SEM dikelompokkan sebagai keluarga multivariat dependen
artinya ada variabel dalam SEM yang berperan sebagai variabel dependen dan ada
104
variabel yang berperan sebagai variabel independen. Istilah variabel dependen
dalam SEM disebut variabel endogen dan istilah variabel independen disebut
variabel eksogen. Tiap-tiap variabel eksogen dan endogen dapat berupa variabel
laten atau unobservable construct yang dapat di ukur secara langsung dalam
proses penelitian (Hair et.al. 1998).
Analisis Structural Equation Modeling (SEM) merupakan gabungan analisis
korelasi dan analisis jalur (path diagram analysis) dengan tingkat ketelitian yang
tinggi. SEM mempunyai karakteristik yang bersifat sebagai teknik analisis untuk
lebih menegaskan (confirm) daripada untuk menerangkan. Analisis SEM
digunakan untuk menentukan apakah suatu model tertentu valid atau tidak
daripada menggunakannya untuk menemukan suatu model tertentu cocok atau
tidak, meski analisis SEM sering pula mencakup elemen-elemen yang digunakan
untuk menerangkan (Wijayanto, 2008).
Structural Equation Modeling (SEM) digunakan untuk menganalisis
hubungan antar variabel dalam penelitian perilaku yang melibatkan banyak
variabel. Hubungan ini dibentuk dalam model struktural atau hubungan antara
variabel laten eksogen dan endogen (Klem, 2000). Adapun data yang digunakan
merupakan korelasi matrik yang berupa data skala yang jumlahnya tergantung
pada komplesitas modelnya.
Adapun SEM menurut Bagozzi dan Fornel (dalam Ghozali dan Fuad, 2008),
adalah “suatu teknik analisis multivariat yang memungkinkan peneliti untuk
menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recrusive maupun non-
recrusive, dan untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan
model. SEM dapat juga menguji secara bersama-sama model struktural (hubungan
antara konstruk independen dan dependen baik secara langsung maupun tidak
langsung) dan model measurement (hubungan/nilai loading antara indikator
dengan konstruk/variabel laten). Dengan adanya penggabungan dua model
tersebut memungkinkan peneliti untuk menguji kesalahan pengukuran
(measurement error) dan melakukan analisis faktor bersamaan dengan pengujian
hipotesis” (Bollen dikutip dalam Ghozali dan Fuad, 2008).
105
Maruyama (1998) mendefinisikan model persamaan struktural atau disebut
Structural Equation Modeling (SEM) adalah “sebuah model yang memberikan
perkiraan perhitungan dari kekuatan hubungan hipotesis diantara variabel dalam
sebuah model teoritis, baik secara langsung atau melalui variabel antara
(intervening or mediating variable)”. SEM adalah sekumpulan teknik statistik
yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan yang relatif rumit.
Istilah path analysis, causal modeling dan SEM telah banyak digunakan oleh para
ahli dari berbagai disiplin dan pendekatan khusus pada hubungan sebab (causal
analysis) antara variabel yang dirancang (Sharma, 1996). Selanjutnya menurut
Maruyama (1998), model persamaan struktural scara garis besar terdiri atas dua
komponen. Komponen pertama terdiri atas variabel eksogen dan komponen kedua
adalah variabel endogen. Masing-masing variabel dapat dilihat efeknya terhadap
variabel lainnya. Variabel eksogen adalah variabel yang menjadi penyebab
(variabel bebas), sedangkan variabel endogen adalah variabel yang dihipotesiskan
sebagai akibat dari variabel lain (variabel terikat) yang dapat juga diduga
memprediksi variabel endogen lainnya.
Selanjutnya menurut Solimun (2002), SEM sering disebut juga Linear
structural relations (Lisrel) yang merupakan pendekatan yang terintegrasi antara
analisis faktor, model struktural dan analisis jalur (path analysis). Selain itu SEM
juga merupakan pendekatan yang terintegrasi antara analisis data dengan konstruk
konsep. SEM dapat melakukan tiga kegiatan sekaligus yaitu memeriksa validitas
dan reliabilitas instrumen (setara dengan analisis faktor konfimatori), melakukan
pengujian model hubungan variabel laten (setara dengan analisis jalur), dan
mendapatkan model yang bermanfaat untuk perkiraan atau prediksi (setara dengan
model struktural atau analisis regeresi. SEM berbeda dengan analisis jalur yang
hanya dapat diterapkan dalam model yang hubungan kausalitasnya satu arah,
maka model SEM dapat diterapkan baik dalam model rekrusif ataupun model
resiprokal. Selain itu SEM juga tidak terkendala oleh adanya korelasi antara error
jadi tidak harus independen seperti model analisis jalur.
Landasan awal dari analisis SEM adalah sebuah teori yang jelas dan
terdefinisi oleh peneliti. Landasan teori tersebut kemudian menjadi sebuah konsep
106
keterkaitan antarvariabel. Hubungan kausalitas diantara variabel laten tidak
ditentukan oleh analisis SEM, tetapi dibangun oleh landasan teori yang
mendukungnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa analisa SEM berguna untuk
mengkonfirmasi suatu bentuk model berdasarkan data empiris yang ada.
SEM sesungguhnya merupakan gabungan dari dua metode statistik, yaitu
analisis faktor yang dikembangkan dalam ilmu psikologi (psikometri) yang
mampu menggambarkan variabel laten dan diukur dengan indikator-indikatornya,
serta model persamaan simultan yang dikembangkan di ekonomi (ekonometrika)
yang memfokuskan pada prediksi (Yamin dan Kurniawan, 2011). Prinsip
Structural Equation Modeling merupakan pendekatan terintegrasi dari
confirmatory factor analysis dan path analysis (analisis jalur). Analisis jalur
mempelajari apakah hubungan yang terjadi disebabkan oleh pengaruh langsung
dan tidak langsung dari variabel independen terhadap variabel dependen,
mempelajari ketergantungan sejumlah variabel dalam suatu model (model kausal),
menganalisis hubungan antar variabel dari model kausal yang telah dirumuskan
oleh peneliti atas dasar pertimbangan teoritis, serta menguji seperangkat hipotesis
kausal dan menginterpretasikan hubungan tersebut (langsung atau tidak
langsung).
Model ini sering digunakan karena termasuk keluarga model linear yang
mempunyai kemampuan untuk: (1) memodelkan sistem yang kompleks dengan
hubungan variabel yang simultan, dan memiliki derajat kualitas, serta kepuasan
yang sama, (2) memodelkan hubungan variabel yang tak teramati dengan tetap
memperhitungkan ukuran kesalahan yang biasanya dapat diukur pada kuesioner
dan dapat menghasilkan bias jika diabaikan, (3) mengurangi kesalahan
pengukuran dengan indikator ganda dari variabel laten, (4) menguji seluruh model
dan tiap-tiap parameter, (5) membandingkan model tertutup dan terbuka secara
statistik, (6) menguji model dengan variabel tergantung ganda, (7) memodelkan
variabel mediator (proses), dan (8) memodelkan kesalahan.
SEM terdiri dari model struktural (inner model) dan model pengukuran
(outer model). Model struktural merupakan model yang menjelaskan struktur
hubungan sebab akibat antar peubah laten (konstruk), sedangkan model
107
pengukuran adalah model dari hasil pengukuran yang digunakan untuk
mengkonfirmasi dimensi-dimensi peubah penjelas (indikator) yang mendukung
peubah laten (konstruk).
Dalam model pengukuran (outer model) sangat penting untuk
mendefinisikan dan menspesifikasikan hubungan antara konstruk laten dengan
indikatornya apakah bersifak reflektif atau formatif. Menurut Jarvis et.al. (2003)
kekeliruan dalam menetapkan hubungan antara konstruk dengan indikatornya
(construct misspecification) memiliki dampak serius pada kesimpulan yang dibuat
terkait dengan hasil pengujian SEM. Kekeliruan dalam penyimpulan tersebut
terjadi karena adanya kesalahan tipe I (type I error) dan tipe II (type II eror).
Dalam penelitian MacKenzie et.al. (2005) mereka menemukan bahwa jalur (path)
yang datang dari konstruk yang keliru (misspecified construct) cendrung terinflasi
(type I error). Sementara jalur (path) yang menuju ke konstruk yang keliru
(misspecified construct) cendrung terdeflasi (type II error). Pemahaman mengenai
jenis konstruk juga penting berkaitan dengan teknik pengujian validitas dan
reliabilitas.
b. Model Indikator Reflektif
Sebuah konstruk disebut bersifat reflektif jika nilainya menentukan nilai
indikator. Jika hubungan antara keduanya positif, maka semakin tinggi nilai
konstruk maka semakin tinggi pula indikator. Dalam konstruk reflektif indikator-
indikator memiliki korelasi yang tinggi (karena didasarkan dari konsep yang
sama). “Penghilangan” salah satu atau beberapa indikator tidak menghilangkan
esensi konstruk itu sendiri (Latan dan Gudono, 2012). Pada model reflektif,
konstruk (unidimensional) digambarkan dengan bentuk ellips dengan beberapa
anak panah dari konstruk ke indikator. Model ini menghipotesiskan bahwa
perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada indikator.
Model indikator refleksif harus memiliki internal konsistensi karena semua
indikator diasumsikan mengukur satu konstruk, sehingga dua indikator yang sama
reliabilitasnya dapat saling dipertukarkan. Walaupun reliabilitas (Cronbach
108
Alpha) suatu konstruk akan rendah jika hanya ada sedikit indikator, tetapi
validitas konstruk tidak akan berubah jika satu indikator dihilangkan.
Contoh model indikator refleksif adalah konstruk yang berkaitan dengan
sikap (attitude) dan niat membeli (purchase intention). Sikap umumnya
dipandang sebagai jawaban dalam bentuk favorable (positif) atau unfavorable
(negatif) terhadap suatu obyek dan biasanya diukur dengan skala multi item dalam
bentuk semantik differences seperti, good-bad, like-dislike, dan favorable-
unfavorable. Sedangkan niat membeli umumnya diukur dengan ukuran subyektif
seperti how likely-unlikely, probable-improbable, dan/atau possible-impossible.
Gambar 3.4. Model indikator reflektifSumber: Ghozali (2004), Structural Equation Modeling-
Metode Alternatif dengan Partial Least Square
Ciri-ciri model indikator reflektif adalah:
a. Arah hubungan kausalitas seolah-olah dari konstruk ke indikator;
b. Antar indikator diarapkan saling berkorelasi (memiliki internal consitency
reliability);
c. Menghilangkan satu indikator dari model pengukuran tidak akan merubah
makna dan arti konstruk;
d. Menghitung adanya kesalahan pengukuran (error) pada tingkat indikator.
c. Model Indikator Formatif
Sebuah konstruk (disebut juga latent factor atau unobservable variable)
disebut bersifat formatif bilamana nilai konstruk tersebut dipengaruhi atau
disebabkan oleh nilai-nilai indikator (disebut juga scaled items atau measures).
Konstruk formatif disebut juga skor komposit. Dalam model formatif, perubahan
pada indikator dihipotesakan mempengaruhi perubahan dalam konstruk (variabel
109
laten). Tidak seperti pada model refleksif, model formatif tidak mengasumsikan
bahwa indikator dipengaruhi oleh konstruk tetapi mengasumsikan bahwa semua
indikator mempengaruhi single konstruk. Arah hubungan kausalitas seolah-olah
mengalir dari indikator ke konstruk laten dan indikator sebagai grup secara
bersama-sama menentukan konsep, konstruk atau laten.
Oleh karena, diasumsikan bahwa indikator seolah-olah mempengaruhi
konstruk laten, maka ada kemungkinan antar indikator saling berkorelasi, tetapi
model formatif tidak mengasumsikan perlunya korelasi antar indikator secara
konsisten. Sebagai misal komposit konstruk yang diukur oleh indikator yang
saling mutually exclusive, adalah konstruk Status Sosial Ekonomi diukur dengan
indikator antara lain Pendidikan, Pekerjaan dan Tempat Tinggal.
Oleh karena diasumsikan bahwa antar indikator tidak saling berkorelasi
maka ukuran internal konsistensi reliabilitas (Alpha Cronbach) tidak diperlukan
untuk menguji reliabilitas konstruk formatif. Kausalitas hubungan antar indikator
tidak menjadi rendah nilai validitasnya hanya karena memiliki internal konsistensi
yang rendah. Untuk menilai validitas konstruk perlu dilihat vaiabel lain yang
mempengaruhi konstruk laten. Jadi untuk menguji validitas dari konstruk laten,
peneliti harus menekankan pada nimological dan atau criterion-related validity.
Implikasi lainnya dari model formatif adalah dengan menghilangkan
(dropping) satu indikator dalam model akan menimbulkan persoalan serius.
Menurut para ahli psikometri indikator formatif memerlukan semua indikator
yang membentuk konstruk. Jadi menghilangkan satu indikator akan
menghilangkan bagian yang unik dari konstruk laten dan merubah makna dari
konstruk. Komposit variabel laten memasukkan error term dalam model, hanya
error term diletakkan pada konstruk laten dan bukan pada indikator.
Model formatif memandang (secara matematis) indikator seolah-olah
sebagai variabel yang mempengaruhi variabel laten, dalam hal ini memang
berbeda dengan model analisis faktor, jika salah satu indikator meningkat, tidak
harus diikuti oleh peningkatan indikator lainnya dalam satu konstruk, tapi jelas
akan meningkatkan variabel latennya.
110
Gambar 3.5. Model indikator formatifSumber: Ghozali (2004), Structural Equation Modeling-
Metode Alternatif dengan Partial Least Square
Ciri-ciri model indikator formatif adalah:
a. Arah hubungan kausalitas dari indikator ke konstruk;.
b. Antara indikator diasumsikan tidak berkorelasi (tidak diperlukan uji
konsistensi internal atau cronbach alpha );
c. Menghilangkan satu indikator berakibat merubah makna dari konstruk;
d. Kesalahan pengukuran diletakkan pada tingkat konstruk (zeta);
e. Konstruk mempunyai makna “surplus”;
f. Skala skor tidak menggambarkan konstruk.
Model refleksif mengasumsikan semua indikator seolah-olah dipengaruhi
oleh variabel konstruk, oleh karena itu menghendaki antar indikator saling
berkorelasi satu sama lain. Dalam hal ini konstruk diperoleh menggunakan
analisis faktor. Sedangkan, model formatif (konstruk diperoleh melalui analisis
komponen utama) tidak mengasumsikan perlunya korelasi antar indikator, atau
secara konsisten berasumsi tidak ada hubungan antar indikator.
d. Konstruksi Diagram Jalur Structural Equation Modeling (SEM)
SEM adalah teknik statistik multivariat yang memungkinkan pengujian
suatu rangkaian hubungan kausalitas antar variabel secara simultan dan serentak
sehingga dapat memberikan efisiensi secara statistik. Tiap-tiap variabel eksogen
dan endogen dapat berupa latent variabel atau unobservable construct yang dapat
diukur secara langsung dalam proses penelitian.
Dalam analisis ini ada dua variabel akhir yakni, kinerja pilot (pilot
performance), dan kecelakaan pesawat terbang (aircraft accident). Namun dalam
penelitian ini peneliti berada pada pemikiran penerimaan sementara teori tersebut
yang nantinya akan dikonfirmasi dengan hasil data empiris dan metode persamaan
111
struktural. kinerja pilot, dan kecelakaan pesawat terbang di dalam penelitian ini
selain dipengaruhi oleh empat variabel eksogen dan berperan sebagai independen
variabel yakni:
(1) Waktu terbang (phases of time) = periode jam, periode hari, dan periode bulan
(2) Fase terbang (flight phase) = preflight planning, transition to cruise, in-
flight planning.
(3) Lokasi (location) = plateau, mountainous, relatively flat
(4) Cuaca (weather) = wind, visibility condition, pressure, cloud,
temperature condition, ceiling
dan dua variabel endogen yakni;
(1) Kinerja pilot (pilot performance), dan
(2) Kecelakaan pesawat terbang (aircraft accident).
Tujuan pembuatan diagram jalur adalah untuk menggambarkan model teori
yang telah dibuat dan memudahkan dalam menganalisis hubungan kausalitas antar
variabel disertai indikatornya. Dalam diagram jalur, hubungan antar konstruk
akan dinyatakan melalui anak panah. Anak panah yang lurus menunjukkan sebuah
hubungan kausal yang langsung antara satu konstruk dengan konstruk lainnya.
Ada dua kelompok konstruk yaitu, konstruk eksogen (exogenous construct) atau
disebut juga variabel independen dan konstruk endogen (endogenous construct)
atau disebut juga variabel dependen.
e. Penerjemahan Diagram Jalur Persamaan Structural Equation Modeling
(SEM)
Penggunaan diagram jalur dalam penelitian ini akan lebih memudahkan
untuk melihat hubungan antar variabel yang sedang diobservasi. Di bawah ini
merupakan model diagram jalur yang dikembangkan dalam penelitian ini.
112
Gambar 3.6. Model konseptual kinerja pilot
Dalam Gambar 3.6 kinerja pilot pada penelitian ini dipengaruhi oleh waktu
terbang (phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca
(weather). Dalam kaitannya dengan terjadinya kecelakaan pesawat terbang,
hubungan antar variabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 3.7. Model konseptual kinerja pilot terhadap kecelakaan
Dalam gambar model konseptual di atas diasumsikan bahwa faktor waktu
terbang (phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca
(weather) memiliki pengaruh terhadap kinerja seorang pilot yang dalam penelitian
ini juga berhubungan dengan kemungkinan terjadinya suatu kecelakaan pesawat
terbang.
Berdasarkan model konseptual Structural Equation Modeling (SEM) yang
menggambarkan kinerja pilot atau kecelakaan pesawat terbang, yang merupakan
113
fungsi dari waktu terbang (phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi
(location), dan cuaca (weather), dapat diketahui variabel-variabel yang paling
dominan atau memberikan kontribusi yang paling besar hingga variabel yang
kurang dominan atau memberikan kontribusi yang paling kecil.
f. Persamaan Struktural Penelitian
Berdasarkan model operasional penelitian, dapat dibentuk persamaan
fungsional dalam model simultan Structural Equation Modeling (SEM) dengan
reduced form sebagai berikut:
1. Y2= f (Y1 ; Y1X1, Y1X2, Y1X3, Y1X4 ) (1)
2. Y1= f (X1, X2, X3, X4)
Dimana:
X1 = Waktu terbang (phases of time)
X2 = Fase terbang (flight phase)
X3 = Lokasi (location)
X4 = Cuaca (weather)
Y1 = Kinerja Pilot
Y2 = Kecelakaan Pesawat
Berdasarkan model fungsional di atas (1), maka penyusunan regresi model
persamaan yang dikembangkan adalah:
Y1 = α1 X1+ α2X2 + α3X3 + α4X4 + Ó1 (2)
Y2 = 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5Y1 +Ó2
Untuk mengestimasi persamaan di atas dapat dilakukan dengan OLS
(Ordinary Least Square) dengan mensubtitusi persamaan di atas maka, reduce
form dapat diperoleh sebagai berikut:
Y1= α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + Ó1
Y2= 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5Y1 +Ó2
Y2= 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5 (α1X1+α2X2+α3X3+α4X4+Ó1) + Ó2 (3)
114
Y2= 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5α1X1 + 5α2X2+ 5α3X3 + 5α4X4 +5Ó1 + Ó2
Y2= (1+5α1)X1 + (2+5α2)X2 + (3+5 α 3)X3 + (4+5 α 4)X3 + (5+Ó1+Ó2)
Y2= ë1X1 + ë 2X2 + ë 3X3 + ë 4X4 + 5+ Ó3
Berdasarkan hasil reduce form di atas maka didapat model statistik untuk
masing – masing:
a. Model pengaruh waktu terbang (phases of time), fase terbang (flight phase),
lokasi (location), cuaca (weather) terhadap kinerja pilot.
Y1= α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 +Ó1
Dimana:
α1 = Pengaruh langsung waktu terbang (phases of time) (X1) terhadap
kinerja pilot (Y1)
α2 = Pengaruh langsung fase terbang (flight phase) (X2) terhadap kinerja
pilot (Y1)
α3 = Pengaruh langsung lokasi (location) (X3) terhadap kinerja pilot (Y1)
α4 = Pengaruh langsung cuaca (weather) (X4) terhadap kinerja pilot (Y1)
b. Model pengaruh waktu terbang (phases of time), fase terbang (flight phase),
lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap kecelakaan pesawat melalui
kinerja pilot.
Pengujian hipotesis pengaruh masing-masing pengaruh variabel waktu terbang
(phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca
(weather) terhadap kecelakaan pesawat melalui kinerja pilot dapat di gunakan
berdasarkan reduced form pada kesamaan.
Y1= α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + Ó1
Y2= 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5Y1 +Ó2
Y2= 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 +5 (α1X1+α2X2+α3X3+α4X4+Ó1) + Ó2
Y2= 1X1+2X2+3X3+4X4+5α1X1+5α2 X2+5α3X3+5α4X4+5Ó1+ Ó2
Y2= (1+5α1) X1+ (2+5α2) X2+ (3+5α 3) X3+ (4+5α 4) X3+ (5+Ó1+Ó2)
Y2= ë1 X1 + ë 2 X2 + ë 3 X3 + ë 4 X4 + 5+ Ó3
Dimana:
115
1. Pengaruh Langsung (Direct Effect)
1 = Pengaruh langsung waktu terbang (phases of time) (X1) terhadap
kecelakaan pesawat (Y2)
2 = Pengaruh langsung fase terbang (flight phase) (X2) terhadap
kecelakaan pesawat (Y2)
3 = Pengaruh langsung lokasi (location) (X3) terhadap kecelakaan
pesawat (Y2)
4 = Pengaruh langsung cuaca (weather) (X4) terhadap kecelakaan
pesawat (Y2)
2. PengaruhTidak Langsung (Indirect Effect)
5α1= Pengaruh tidak langsung waktu terbang (phases of time) (X1)
terhadap kecelakaan pesawat (Y2) melalui kinerja pilot (Y1)
5α2 = Pengaruh tidak langsung fase terbang (flight phase) (X2) terhadap
kecelakaan pesawat (Y2) melalui kinerja pilot (Y1)
5α3 = Pengaruh tidak langsung lokasi (location) (X3) terhadap kecelakaan
pesawat (Y2) melalui kinerja pilot (Y1)
5α4 = Pengaruh tidak langsung cuaca (weather) (X4) terhadap kecelakaan
pesawat (Y2) melalui kinerja pilot (Y1)
3. Total Pengaruh (Total Effect)
ë1 = 5α1+1 = Total pengaruh waktu terbang (phases of time) (X1)
terhadap kecelakaan pesawat (Y2)
ë2 = 5α2+2 = Total pengaruh fase terbang (flight phase) (X2) terhadap
kecelakaan pesawat (Y2)
ë3 = 5α3+3 = Total pengaruh lokasi (location) (X3) terhadap kecelakaan
pesawat (Y2)
ë 4 = 5α4+4 = Total pengaruh cuaca (weather) (X4) terhadap kecelakaan
pesawat (Y2)
3. Analisis Partial Least Square (PLS)
Penelitian ini menggunakan teknik analisis SEM dengan metode Partial
Least Square (PLS). PLS pertama kali dikembangkan oleh Herman Wold pada
116
tahun 1966. PLS adalah metode lunak atau soft model karena didalam PLS
pendugaannya tidak memerlukan asumsi sebaran (distribution free) dari peubah
pengamatan dan ukuran contoh tidak harus besar, tetapi sedikitnya adalah sepuluh
kali dari jumlah peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian (Chin, 2000).
PLS dapat digunakan untuk mengkonfirmasi teori, jenis skala data yang
dipakai dapat berupa data nominal, ordinal, interval, dan rasio. PLS juga dapat
digunakan untuk menjelaskan atau memprediksikan ada tidaknya hubungan
antarvariabel laten yang dukungan teorinya masih tentatif ataupun pengukuran
setiap variabel laten masih baru sehingga lebih menekankan data dari pada teori
(Ghozali, 2006).
PLS merupakan pendekatan yang lebih tepat untuk tujuan prediksi, hal ini
terutama pada kondisi dimana indikator bersifat formatif. Hal ini merupakan
konseptual awal yang harus menjadi landasan dalam penelitian bagi para peneliti.
Sebagaimana dalam analisis regresi, tujuan utamanya adalah mengidentifikasi
variabel yang berguna untuk memprediksi hasil. Dengan variabel laten berupa
kombinasi linier dari indikatornya, maka prediksi nilai dari variabel laten dapat
dengan mudah diperoleh, sehingga prediksi nilai terhadap variabel laten yang
dipengaruhinya juga dapat dengan mudah diperoleh, sehingga prediksi terhadap
variabel laten yang dipengaruhi juga dapat dengan mudah dilakukan.
Melalui pendekatan ini, diasumsikan bahwa semua varian yang dihitung
merupakan varian yang berguna untuk penjelasan. Pendekatan pendugaan variabel
laten dalam PLS adalah sebagai exact kombinasi linear dari indikator, sehingga
mampu menghindari masalah indeterminacy dan menghasilkan skor komponen
yang tepat. Dengan menggunakan algoritma iteratif yang terdiri dari beberapa
analisis dengan metode kuadrat kecil biasa (ordinary least square) maka
persoalan identifikasi tidak menjadi masalah, karena model bersifat rekursif.
Tabel 3.1 Kriteria PLS-SEMNo Kriteria PLS-SEM
1 Tujuan Penelitian Untuk mengembangkan teori atau membangun teori (orientasi prediksi)
2 Pendekatan Berdasarkan variance
117
3 Metode Estimasi Least Square4 Ukuran Sampel Ukuran sampel dapat kecil antara 30 – 100
5 Spesifikasi Model dan Parameter Model
Component two loadings, path koefisien dan component weight serta indikator konstruk dapat berbentuk reflektif dan formatif
6 Model StrukturalModel dengan kompleksitas besar dengan banyak konstruk dan banyak indikator dan hanya berbentuk recusive
7Evaluasi Model dan Asumsi Normalitas Data
Tidak mensyaratkan data terdistribusi normal dan estimasi parameter dapat langsung dilakukan tanpa persyaratan kriteria goodness of fit
8 Pengujian Signifikansi Tidak dapat diuji dan difalsifikasi (harus melalui prosedur bootstrap atau jackknife)
Sumber: Latan dan Gudono (2012)
Gaston (2009) yang disadur oleh Yamin dan Kurniawan (2011)
menyebutkan PLS dapat juga digunakan untuk tujuan konfirmasi (seperti
pengujian hipotesis) dan tujuan eksplorasi. Meskipun PLS lebih diutamakan
sebagai eksplorasi daripada konfirmasi. PLS juga dapat untuk menduga apakah
terdapat atau tidak terdapat hubungan dan kemudian proposisi untuk pengujian.
Tujuan utamnya adalah untuk menjelaskan hubungan antar konstruk dan
menekankan pengertian tentang nilai tersebut. Dalam hal ini, hal penting yang
harus diperhatikan adalah adanya teori yang memberikan asumsi untuk
menggambarkan model, pemilihan variabel, pendekatan analisis, dan interpretasi
hasil. Rekomendasi utama untuk aplikasi PLS dalam pengujian teori adalah
melalui proses validasi bootstrap.
Pendekatan PLS didasarkan pada pergeseran analisis dari pengukuran
estimasi parameter model menjadi pengukuran prediksi yang relevan. Sehingga
fokus analisis bergeser dari hanya estimasi dan penafsiran signifikan parameter
menjadi validitas dan akurasi prediksi.
Didalam PLS variabel laten bisa berupa hasil pencerminan indikatornya,
diistilahkan dengan indikator refleksif (reflective indicator). Disamping itu, juga
bisa konstruk dibentuk (formatif) oleh indikatornya, diistilahkan dengan indikator
formatif (formative indicator).
118
Thompson et.al. (1995) menyarankan bahwa model PLS dianalisis dan
diinterpretasikan dalam dua langkah berurutan. Pertama, statistik dari
measurement model yaitu menilai validitas dan reliabilitas model pengukuran
(hubungan dari indikator ke variabel laten) atau disebut outer model. Kedua
menilai model strukturnya atau disebut inner model.
a. Spesifikasi PLS
PLS terdiri atas hubungan eksternal (outer model atau model pengukuran)
dan hubungan internal (inner model atau model struktural). Hubungan tersebut
didefinisikan sebagai persamaan linier yaitu model pengukuran yang menyatakan
hubungan antar peubah laten dengan sekelompok peubah penjelas dan model
struktural yaitu hubungan antar peubah-peubah laten (Gefen, 2000).
Dengan tidak kehilangan generalitas, dapat asumsikan baik peubah laten
maupun peubah penjelas diskalakan ke rata-rata nol sehingga parameter-
parameter lokasi dapat dibuang dalam persamaan-persamaan berikut. Persamaan
model struktural yang menghubungkan peubah-peubah laten menurut Wold
(1982) adalah sebagai berikut:
ŋj = βjo + ( βji ŋi ) + ζj , i < j , untuk j = 1, 2,....., J (1)
Dimana:
J = banyaknya peubah laten
ŋj = peubah laten tidak bebas ke-j
ŋi = peubah laten bebas ke-i untuk i ≠ j
βji = koefisien lintas peubah laten ke-j dan ke-i
βjo = intersep
ζj = sisaan model struktural ke-j
i = banyaknya lintasan dari peubah laten bebas ke peubah laten tak bebas
Pendekatan PLS mengasumsikan model struktural yang rekrusif, sehingga
dari persamaan (1) dapat diperoleh spesifikasi prediksi seperti berikut ini:
E (ŋj│ŋ1, ŋ2, ..... ŋj-1 ) = βjo + ( βji ŋi ) untuk i < j (2)
119
hal ini mengimplikasikan bahwa
cov ( ζj, ŋ1 ) = 0 untuk i < j , j = 1, 2, ...J (3)
sehingga peubah laten endogen (tak bebas) diasumsikan linier dari peubah laten
eksogen (bebas).
Persamaan model pengukuraan peubah-peubah laten endogen adalah:
ykj = γkjo + γkj ŋj + εkj , untuk j = 1, ...., J dan k = 1, ...,K (4)
Dimana:
J = banyaknya peubah laten
ŋj = peubah laten ke-j
ykj = peubah penjelas ke-k dan peubah laten ke-j
γkj = koefisien antara peubah penjelas ke-k dan peubah laten ke-j
γkjo = intersep
εkj = sisaan model pengukuran peubah penjelas ke-k dan peubah laten ke-j
k = lintasan dari ŋj ke γkj
Kj = banyaknya peubah penjelas pada peubah laten ke-j
Peubah penjelas diasumsikan ke dalam blok-blok yang terpisah dan masing-
masing blok mewakili satu peubah laten. Setiap peubah penjelas diasumsikan
sebagai milik dari hanya satu peubah laten dan karena pembobotan peubah laten
tidak diketahui maka diperlukaan standarisasi agar terhindar dari ambiguitas skala
ragam unit atau var (ŋj) = 1.
Sama dengan model struktural, pada model pengukuran juga diperoleh
spesifikasi prediksi sebagai berikut:
E (ykj│ŋ1) = γkjo + γkj ŋj (5)
hal ini berimplikasi
cov (εkj, ŋj) = 0 (6)
120
yang artinya sisaan model pengukuran bebas dengan semua peubah laten dan
bebas dengan sisaan model struktural.
Prinsip dasar pada permodelan PLS adalah asumsi bahwa semua informasi
dari peubah penjelas ditujukan pada peubah-peubah laten. Hal ini mempunyai dua
implikasi yaitu model PLS tidak melibatkan hubungan antar peubah penjelas dan
sisaan-sisaan model pengukuran dari satu blok diasumsikan tidak berkolerasi
dengan sisaan model pengkuran dari blok lainnya.
Dimungkinkan dengan menggunakan persamaan (1) untuk menggantikan
peubah laten endogen kedalam persamaan (4), oleh Wold (1982) disebut sebagai
substitusi eliminasi dari peubah laten atau disingkat SELV (Substitutive
Elimination of the Laten Variable). Adapun hasilnya adalah sebagai berikut:
ykj = γkjo + γkj (βjo + ( βji ŋi ) + ζj ) + εkj (7)
dan persamaan (7) dapat disederhanakan menjadi
ykj = γ*kjo + γkj ( ( βji ŋi )) + ε*kj (8)
Dari persamaan (8) dapat diketahui bahwa SELV menghubungkan peubah
penjelas endogen dengan peubah laten melalui model struktural oleh masing-
masing blok dari peubah penjelas. Intersep dan sisaan pada persamaan (8) adalah
masing-masing γ*kj = γkjo + γkj βjo dan ε*kj = γkj ζj + εkj berturut-turut serta
sisaannya tidak berkorelasi dengan prdiktor peubah laten yang sama.
b. Pendugaan PLS
Prosedur pendugaan PLS melalui dua tahapan yang mendasar. Tahap
pertama, dengan menggunakan pendugaan iteratif, didapat peubah-peubah laten
sebagai kombinasi linier dari sekelompok peubah-peubah penjelasnya. Tahap
kedua, menggunakan pendugaan non-iteratif untuk koefisien model struktural dari
model pengukuran.
Persamaan pendugaan peubah-peubah laten endogen berikut ini:
Yjn = est (ŋjn) = ( wkj ykjn) (9)
121
digunakan untuk pendugaan peubah laten sebagai kombinasi linier dari
sekelompok peubah-peubah penjelasnya. Pembobotan wkj dipilih agar dugaan
peubah-peubah laten mempunyai ragam satu.
Pendugaan peubah laten yang telah terdefinisi, kemudian digunakan untuk
menghitung pembobot-pembobot dan koefisien-koefisien model struktural yang
diperoleh dengan cara menerapkan metode kuadrat terkecil. Koefisien lintas
model struktural diperoleh dengan meregresikan setiap hubungan-hubungan
secara parsial.
Inti dari prosedur PLS adalah menentukan pembobot-pembobot yang
kemudian digunakan untuk menduga peubah laten. Pembobot didapat dari hasil
regresi dengan metode kuadrat terkecil terhadap peubah penjelas setiap blok.
Penduga pembobotan dalam masalah ini adalah outward mode yang dapat
dihitung berdasarkan regresi sederhana. Outward mode sebenarnya adalah
pendugaan pembobotan untuk peubah penjelas refleksif yaitu peubah penjelas
yang diasumsikan sebagai cerminan dari peubah laten (Chin, 2000).
c. Evaluasi PLS
PLS pada dasarnya bertujuan untuk memprediksi kuadrat terkecil dari
peubah laten endogen dan peubah manifes endogen yang dibatasi oleh spesifikasi
hubungan-hubungan model struktural dan model pengukuran. Terlepas dari
pengujian koefisien penduga, bagian terpenting dari evaluasi model adalah
pengujian indeks-indeks kecocokan yang mencerminkan kekuatan prediksi dari
dugaan hubungan-hubungan model struktural dengan model pengukuran.
Indeks-indeks kecocokan diperoleh dari berbagai persamaan model
struktural dan model pengukuran yang telah ada. Nilai R2 dari regresi berganda
dapat diperoleh dari hubungan-hubungan model struktural, demikian juga
koefisien-koefisien interbatery juga dapat diperoleh dari hubungan-hubungan
model pengukuran.
Menurut Wold (1982), dengan menggunakan uji relevansi prediktif Stone-
Geisser dapat diketahui kelayakan suatu prediksi. Cara dari uji tersebut adalah
dengan meregresikan k peubah bebas, dengan setiap kali penghilangan satu kasus
122
ke-i dengan i = 1, 2, ..., n. Persamaan ini diukur melalui statistik Q2 dengan
persamaan sebagai berikut:
Q2 = 1.0 - { [n (Yi - k Xki bk(i))2]/[n (Yi – Y.(i))2]} (10)
Dimana:
bk(i) = koefisien regresi yang diperoleh tanpa kasus ke-i
Y.(i)= rata-rata dari peubah tak bebas yang dihitung tanpa kasus ke-i
n = banyaknya ukuran contoh
k = banyaknya peubah bebas
Jika dilihat dari persamaan di atas, maka Q2 adalah analog jackknife dari R2.
Nilai Q2 diperoleh dari rata-rata nilai Q2 dari setiap kasus ke-i yang dihilangkan.
Nilai Q2 dapat negatif, Q2 < 0, yang artinya model prediksi tidak relevan, tetapi
jika Q2 > 0 maka model prediksi relevan, semakin tinggi nilai Q2 semakin tinggi
pula relevansi prediksi dari persamaan model yang diuji.
Selain uji koefisien lintas model yang menggunakan teknik jackknife
beberapa uji lainnya seperti uji validitas kekonvergenan dan uji validitas
diskriminan juga mendukung dalam mengevaluasi model.
Ada 3 uji validitas kekonvergenan yang digunakan; (a) reliabilitas setiaap
peubah penjelas, (b) reliabilitas gabungan dan (c) Average Variance Extracted
(AVE) setiap peubah peubah laten.
Reliabilitas setiap peubah penjelas ditentukan oleh koefisien lintasnya
masing-masing. Oleh Chin (1998), koefisien lintas (λ) sebesar 0,7
mengindikasikan reliabilitas yang cukup baik. Reliabilitas gabungan (ρc)
digunakan untuk mengukur reliabilitas setiap peubah laten dan nilai ρc juga dapat
menunjukkan stabilitas dan konsistensi dari suatu pengukuran. Nilai ρc berkisar
dari 0 sampai 1 dan Chin (1998) merekomendasikan nilai di atas 0.8
mengindikasikan reliabilitas gabungan yang baik. Nilai ρc didapat dari
perhitungan berikut ρc = (λ1)2/[(λ1)2 + (1 - λ1)2] dimana λ1 adalah koefisien
lintas ke-i.
123
AVE digunakan untuk mengukur keragaman peubah laten yang dapat
dijelaskan oleh keragaman model pengukuran, dengan persamaan sebagai berikut:
AVE = λi2/n, dimana λ1merupakan koefisien lintas ke-i. Nilai AVE berkisar 0
dan 1. Oleh Tan et.al. (1999) direkomendasikan bahwa jika nilai AVE di atas 0.5
mengindikasikan pengukuran keragaman yang cukup baik. Semakin tinggi nilai
AVE maka mengindikasikan jumlah keragaman dari peubah penjelas yang
direkomendasikan oleh peubah laten lebih besar dibandingkan dengan jumlah
keragaman yang tidak dapat dijelaskan oleh peubah penjelas.
Uji validitas diskriman dilakukan dengan cara membandingkan akar kudarat
AVE setiap peubah laten dengan korelasi peubah laten. Uji ini berguna untuk
mengetahui kesesuaian pembeda dari peubah laten. Apabila akar kuadrat AVE
lebih dari setiap korelasi peubah laten, maka validitas diskriminannya cukup baik.
d. Desain Konsep Penelitian, Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Analisis data pada penelitian ini adalah analisis model melalui perhitungan
Partial Least Square (PLS). Pertimbangan menggunakan PLS karena model
penelitian mengindikasikan lebih dari satu variabel tergantung, jumlah sampel
kecil, serta data tidak bersifat multivariat normal.
Hal tersebut berdasarkan Henseler et.al. (2009), Chin (2000), serta Naik dan
Tsai (2000) yang menyatakan bahwa PLS merupakan metode analisis yang tidak
mengasumsikan data harus dengan pengukuran skala tertentu, jumlah sampel yang
kecil atau terlalu besar untuk perhitungan model, dan dapat digunakan untuk
eksplorasi hubungan antar variabel. PLS dapat digunakan sebagai konfirmasi teori
dan merekomendasikan yang belum ada dasar teorinya.
Statistik dari measurement model diukur untuk mengetahui validitas dan
reliabilitas konstruk. Validitas dievaluasi berdasarkan item reliabaility, internal
consistensy, average variance extraced (AVE), square root of AVE, dan cross
loadings (Thompson et.al. 1995). Tiga uji pertama dikenal sebagai validitas
konvergensi (Fornell dan Larcker, 1981) dan dua uji terakhir dikenal sebagai
validitas diskriminan (Thompson et.al. 1995). Reliabilitas diukur menggunakan
reliabilitas komposit (Henseler et.al. 2009).
124
Inner model digunakan untuk mengevaluasi model secara keseluruhan.
Evaluasi model yang biasa digunakan dalam PLS adalah R-Square dan
bootstapping (inner weights). Goodness of fit model yang digunakan dalam PLS
adalah Q-square predictive relevance, yang dihitung berdasarkan nilai R-kuadrat.
R-kuadrat sebagaimana pada analisis regeresi berganda biasa, berfungsi untuk
mengetahui seberapa besar variansi dalam konstruk dapat dijelaskan oleh model.
Berdasarkan nilai R-kuadrat dihitung Q-square predictive relevance. Rumus Q-
square adalah.
Q2 = 1 – (1-R12) (1-R2
2).................(1-Rp2)
Dimana:
R12, R2
2, Rp2 adalah R square variabel endogen dalan model.
Nilai R-square yang direkomendasikan adalah di atas 0,00 (Henseler et.al.
2009). Bootstapping (inner weights) digunakan untuk menilai signifikansi statistik
dari loadings dan koefisien struktural jalur. Penggunaan teknik ini karena
mengacu pada data yang digunakan yang tidak mengasumsikan harus multivariat
normal.
Pada PLS dikenal istilah variabel endogen dan eksogen. Variabel endogen
adalah variabel yang dijelaskan oleh variabel lain. Kata lain dalam diagram
permodelan adalah variabel yang dikenai arah panah. Variabel eksogen adalah
variabel yang mempengaruhi variabel lain (Henseler et.al. 2009).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program LVPLS yang akan
menghasilkan model pengukuran (measurement model) yang dikenal dengan
istilah outer model serta model struktural atau inner model.
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel akhir (endogen) yakni, kinerja
pilot (performance) dan kecelakaan pesawat (aircraft accident) dan empat
variabel eksogen dan berperan sebagai variabel independen yakni waktu terbang
(phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location) dan cuaca (weather).
Pengaruh dari antar variabel tersebut dengan hubungan positif dan signifikan
yang diestimasi, dapat digambarkan alur sebagaimana pada Gambar 3.8.
125
Gambar 3.8. Desain dan hipotesis penelitian peubah laten dan peubah manifes
Keterangan:
a. Hipotesis
1 = Hubungan waktu terbang (phases of time) terhadap kinerja pilot (pilot
performance), menjawab Hipotesis 1
2 = Hubungan waktu terbang (phases of time) terhadap kecelakaan pesawat
terbang (accident), menjawab Hipotesis 2
3 = Hubungan fase terbang (flight phase) terhadap kinerja pilot (pilot
performance), menjawab Hipotesis 3
4 = Hubungan fase terbang (flight phase) terhadap kecelakaan pesawat
terbang (accident), menjawab Hipotesis 4
5 = Hubungan lokasi (location) terhadap kinerja pilot (pilot performance),
menjawab Hipotesis 5
6 = Hubungan lokasi (location) terhadap kecelakaan pesawat terbang
(accident), menjawab Hipotesis 6
126
7 = Hubungan cuaca (weather) terhadap kinerja pilot (pilot performance),
menjawab Hipotesis 7
8 = Hubungan cuaca (weather) terhadap kecelakaan pesawat terbang
(accident), menjawab Hipotesis 8
9 = Hubungan kinerja pilot (pilot performance) terhadap kecelakaan pesawat
terbang (accident), menjawab Hipotesis 9
b. Variabel Eksogen
Variabel eksogen, adalah variabel yang tidak diprediksi oleh variabel lain
dalam model. Variabel eksogen dikenal juga sebagai source variable atau
independent variable. Dalam penelitian ini variabel eksogen adalah waktu
terbang (phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location) dan
cuaca (weather).
1) Waktu terbang (phases of time)
Waktu terbang (phases of time), dalam dunia penerbangan dikenal siklus
arus penumpang, yaitu musim padat penumpang (peak season), dan
musim non peak season. Selain itu juga terdapat puncak jam sibuk lalu
lintas udara (peak traffic hour atau golden time) dalam dunia penerbangan
yakni dari pukul 06.00 hingga 21.00. Indikator untuk mengukur variabel
waktu terbang meliputi:
X1.1 = Indikator waktu (phases of time), tentang terbang pada pagi hari
X1.2 = Indikator waktu (phases of time), tentang terbang pada siang hari
X1.3 = Indikator waktu (phases of time), tentang terbang pada malam hari
X1.4 = Indikator waktu (phases of time), terbang pada pada dini hari
X1.5 = Indikator waktu (phases of time), terbang pada hari libur
X1.6 = Indikator waktu (phases of time), terbang pada hari kerja
X1.7 = Indikator waktu (phases of time), terbang pada peak season
X1.8 = Indikator waktu (phases of time), terbang pada non-peak season
Variabel faktor waktu terbang (phases of time) diukur dengan
menggunakan skala likert 5 poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1
sangat tidak setuju (STS), poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin
4 setuju (S), dan poin 5 sangat setuju (SS).
127
2) Fase terbang (flight phase)
Fase terbang (flight phase) didefinisikan sebagai tahapan terbang dari
suatu pesawat udara dari tinggal landas sampai pada pendaratan
berikutnya, tetapi tidak termasuk pendaratan teknis (technical landing).
Indikator untuk mengukur variabel fase terbang meliputi:
X2.1 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase take off
X2.2 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase climb
X2.3 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase cruise
X2.4 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase descent
X2.5 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase approach
X2.6 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase landing
Variabel faktor fase terbang (flight phase) diukur dengan menggunakan
skala likert 5 poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1 sangat tidak
setuju (STS), poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin 4 setuju (S),
dan poin 5 sangat setuju (SS).
3) Lokasi (location)
Lokasi (location) dalam dunia penerbangan didefinisikan sebagai kondisi
daratan suatu daerah (terrain) yakni permukaan bumi yang
berisi/mengandung fitur-fitur yang terjadi secara alami seperti gunung,
bukit, lembah, perairan, es permanen dan salju, tidak termasuk “obstacle”.
Indikator untuk mengukur variabel lokasi meliputi:
X3.1 = Indikator lokasi (location), bandara dan rute penerbangan plateau
X3.2= Indikator lokasi (location), bandara dan rute penerbangan
mountainous
X3.3 = Indikator lokasi (location), bandara dan rute penerbangan flat
Variabel faktor lokasi (location) diukur dengan menggunakan skala likert
5 poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1 sangat tidak setuju (STS),
poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin 4 setuju (S), dan poin 5
sangat setuju (SS).
128
4) Cuaca (weather)
Cuaca (weather) dalam dunia penerbangan didefinisikan sebagai cuaca
yang diperuntukkan khusus untuk dunia penerbangan, baik untuk saat
lepas landas, mendarat maupun selama penerbangan. Indikator untuk
mengukur variabel cuaca meliputi:
X4.1 = Indikator cuaca (weather), kondisi angin (wind condition)
X4.2 = Indikator cuaca (weather), kondisi jarak pandang (visibility
condition)
X4.3 = Indikator cuaca (weather), kondisi tekanan (pressure condition)
X4.4 = Indikator cuaca (weather), kondisi awan (cloud condition)
X4.5 = Indikator cuaca (weather), kondisi suhu udara (temperature
condition)
X4.6 = Indikator cuaca (weather), kondisi ceiling
Variabel faktor cuaca (weather) diukur dengan menggunakan skala likert 5
poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1 sangat tidak setuju (STS),
poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin 4 setuju (S), dan poin 5
sangat setuju (SS).
c. Variabel Endogen
Variabel endogen adalah variabel yang diprediksikan oleh satu atau beberapa
variabel yang lain dalam model, dikenal juga sebagai dependent variable.
Dalam penelitian ini variabel endogen terdiri dari kinerja (performance) yang
juga bertindak sebagai variabel antara (mediating varaible) dan kecelakaan
pesawat (accident).
1. Kinerja (performance)
Kinerja (performance) dalam dunia penerbangan didefinisikan sebagai
kemampuan dan keterbatasan manusia yang mengakibatkan suatu dampak
terhadap keselamatan dan efisiensi operasi penerbangan. Indikator untuk
mengukur variabel kinerja meliputi:
Y1.1 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), jumlah jam terbang
Y1.2 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), tipe rating
Y1.3 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), kerja keras
129
Y1.4 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), komunikasi
Y1.5 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), pelatihan
Y1.6 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), mengatasi masalah
Y1.7 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), kesehatan
Y1.8 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), gaji
Y1.9 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), tunjangan
Y1.10 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), tanggung jawab
Y1.11 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), beban kerja
Y1.12 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), karir
Y1.13 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), SOP
Y1.14 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), SMS
Y1.15 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), fasilitas & SDM
Y1.16 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), promosi
Variabel kinerja (performance) diukur dengan menggunakan skala likert 5
poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1 sangat tidak setuju (STS),
poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin 4 setuju (S), dan poin 5
sangat setuju (SS).
2. Kecelakaan (accident)
Kecelakaan (accident) dalam dunia penerbangan didefinisikan sebagai
suatu kejadian yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara
yang terjadi sejak seseorang naik pesawat udara untuk maksud
penerbangan sampai suatu waktu ketika semua orang telah meninggalkan
(turun dari) atau keluar dari pesawat udara. Indikator untuk mengukur
variabel kecelakaan pesawat meliputi:
Y2.1 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), faktor manusia
Y2.2 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), usia
Y2.3 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), total jam terbang
Y2.4 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), jenis kelamin
Y2.5 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), tipe rating
Y2.6 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), IQ
Y2.7 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), tingkat pendidikan
130
Y2.8 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), tingkat kelelahan
Y2.9 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), usia pesawat
Y2.10 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), jenis pesawat
Y2.11 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), tipe pesawat
Y2.12 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), kebijakan perusahaan
Y2.13 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), gap experience
Variabel kecelakaan (accident) diukur dengan menggunakan skala likert 5
poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1 sangat tidak setuju (STS),
poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin 4 setuju (S), dan poin 5
sangat setuju (SS).
Hal yang diharapkan yaitu adanya hubungan yang signifikan atau nilai
koefisien lintas (λ) yang nyata antara peubah laten kinerja pilot dan peubah-
peubah manifesnya yaitu waktu terbang (phases of time), fase terbang (phase
flight), lokasi (location), dan cuaca (weather). Hal yang sama juga diharapkan
untuk peubah laten kecelakaan pesawat terhadap waktu terbang (phases of time),
fase terbang (phase flight), lokasi (location), cuaca (weather), dan kinerja pilot.
4. Analisis Subjective Workload Assesment Technique (SWAT)
SWAT dikembangkan karena munculnya kebutuhan pengukuran subjektif
yang dapat digunakan dalam lingkungan yang sebenarnya. Selain itu SWAT
merupakan salah satu cara penganalisaan beban kerja dengan metoda subjektif
yang unik, dimana menurut metoda ini beban kerja manusia dipengaruhi oleh tiga
dimensi tingkah laku, yaitu Time Load (T), Mental Effort Load (E) dan Stress
Load (S). Metoda SWAT ini dikembangkan oleh Reid dan Nygren pada Amstrong
Medical Research Laboratory dengan dasar metode penskalaan konjoin. SWAT
dibuat sedemikian rupa sehingga tanggapan hanya diberikan melalui tiga
deskriptor pada masing-masing dimensi. Pendekatan ini mengurangi tingkat
kesulitan dari jumlah waktu yang dibutuhkan mengingat jumlah dan kompleksitas
deskriptor yang diberikan oleh subjek pada waktu pengujian.
SWAT terbagi menjadi dua tahap, yaitu :
a. Pembuatan skala (scale development)
131
b. Pemberian nilai terhadap hasil penelitian (event scoring)
Tahap pembuatan skala digunakan untuk melatih subjek dalam
menggunakan metoda ini khususnya deskriptor masing-masing faktor, serta untuk
memperoleh data berkaitan dengan kombinasi dimensi-dimensi ini yang
mencerminkan pandangan seseorang terhadap beban kerja. Fasa pemberian nilai
terhadap hasil peneitian merupakan tahap pemberian nilai terhadap beban kerja
yang dialami oleh subjek berkaitan dengan aktifitas yang dilakukan dalam
percobaan tersebut (Reid, 1989).
a. Pembuatan Skala (Scale Development)
Fasa ini merupakan aspek utama yang membedakan metoda SWAT dengan
metoda pengujian beban kerja subjektif lainnya. Biasanya untuk deskriptor dibuat
sejumlah tingkatan angka yang mempresentasikan beban kerja dan subjek harus
mengetahui beban kerja yang direpresentasikan oleh angka-angka tersebut. Pada
SWAT berbeda, subjek tidak harus mengetahui maksud dari masing-masing
tingkatan beban kerja tersebut, tetapi lebih cenderung membuat dugaan yang
memungkinkan pengamat mengetahui bagaimana faktor-faktor dalam SWAT
berkombinasi (Reid, 1989).
b. Deskripsi dari Dimensi (Deskriptor)
Tiga dimensi yang digunakan dalam SWAT didefinisikan masing-masing
oleh tiga deskriptor untuk menunjukkan beban kerja dari tiap dimensi. Dimensi ini
dikembangkan berdasarkan teori yang diajukan oleh Sheridan dan Simpson
(1979) dalam mendefinisikan beban kerja pilot. Perkembangan terakhir
menunjukkan bahwa SWAT ini dapat digunakan secara luas, tidak hanya pada
ruang lingkup pilot saja (Reid, 1989).
a. Beban Waktu (Time Load)
Dimensi beban waktu tergantung dari ketersediaan waktu dan kemampuan
melangkahi dalam suatu aktifitas. Hal ini berkaitan erat dengan analisis batas
waktu yang merupakan metode primer untuk mengetahui apakah subjek dapat
menyelesaikan tugasnya dalam rentang waktu yang telah diberikan.
Tingkatan deskriptor beban waktu dalam SWAT adalah (Reid, 1989):
132
1) Selalu mempunyai waktu lebih. Interupsi atau overlap diantara aktivitas
tidak terjadi atau jarang terjadi.
2) Kadang-kadang mempunyai waktu lebih. Interupsi atau overlap diantara
aktivitas sering terjadi.
3) Tidak mempunyai waktu lebih. Interupsi atau overlap diantara aktivitas
sering terjadi atau selalu terjadi.
b. Beban Usaha Mental (Mental Effort Load)
Beban usaha mental merupakan indikator besarnya kebutuhan mental dan
perhatian yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu aktivitas, independen
terhadap jumlah sub pekerjaan atau batasan waktu. Dengan beban usaha
mental rendah, konsentrasi dan perhatian yang dibutuhkan untuk melakukan
suatu aktivitas rendah dan performansi cenderung otomatis. Sejalan dengan
meningkatnya beban ini, konsentrasi dan perhatian yang dibutuhkan
meningkat pula. Secara umum ini berkaitan dengan tingkat kerumitan
pekerjaan dan jumlah informasi yang harus diproses oleh subjek untuk
melaksanakan pekerjaanya dengan baik. Usaha mental yang tinggi
membutuhkan keseluruhan konsentrasi dan perhatian sesuai dengan kerumitan
pekerjaan atau jumlah informasi yang harus diproses. Aktivitas seperti
perhitungan, pembuatan keputusan, mengingat informasi dan penyelesaian
masalah merupakan contoh usaha mental. Tingkatan deskriptor beban usaha
mental dalam SWAT adalah (Reid, 1989):
1. Kebutuhan konsentrasi dan usaha mental sadar sangat kecil. Aktivitas
yang dilakukan hampir otomatis dan tidak membutuhkan perhatian.
2. Kebutuhan konsentrasi dan usaha mental sadar sedang. Kerumitan
aktivitas sedang hingga tinggi sejalan dengan ketidakpastian, ketidak
mampu prediksian dan ketidak kenalan. Perhatian tambahan diperlukan.
3. Kebutuhan konsentrasi dan usaha mental sadar sangat besar dan
diperlukan sekali. Aktivitas yang kompleks dan membutuhkan perhatian
total.
c. Beban Tekanan Psikologis (Psychological Stress Load)
133
Beban tekanan psikologis berkaitan dengan kondisi yang dapat menyebabkan
terjadinya kebingungan, frustasi dan ketakutan selama melaksanakan
pekerjaan dengan demikian menyebabkan penyelesaian pekerjaan tampak
lebih sulit dilakukan daripada sebenarnya. Pada tingkat stress rendah, orang
cenderung rileks. Seiring dengan meningkatnya stress, terjadi pengacauan
konsentrasi terhadap aspek yang relevan dari suatu pekerjaan yang lebih
disebabkan oleh faktor individual subjek. Faktor ini antara lain motivasi,
kelelahan, ketakutan, tingkat keahlian, suhu, kebisingan, getaran dan
kenyamanan. Sebagian besar dari faktor ini mempengaruhi performansi subjek
secara langsung jika mereka sampai pada tingkatan yang tinggi. Dalam SWAT
faktor-faktor ini diperhitungkan, meskipun kecil, jika mengganggu dan
menyebabkan individu harus mengeluarkan kemampuannya untuk mencegah
terpengaruhnya pekerjaan yang dilakukan.
Tingkatan deskriptor beban tekanan psikologis dalam SWAT adalah (Reid,
1989):
1. Kebingungan, resiko, frustasi atau kegelisahan dapat di atasi dengan
mudah.
2. Stress yang muncul dan berkaitan dengan kebingungan, frustasi dan
kegelisahan menambah beban kerja yang dialami. Kompensasi tambahan
perlu dilakukan untuk menjaga performansi subjek.
3. Stress yang tinggi dan intens berkaitan dengan kebingungan, frustasi dan
kegelisahan. Membutuhkan pengendalian diri yang sangat besar.
c. Model Pengukuran Konjoin
Banyak aturan komposisi yang menggambarkan betapa rumitnya
membentuk praduga multifaktor atau multidimensi. Satu aturan yang sederhana
adalah aturan aditif yang menggambarkan bahwa variabel-variabel independen
berinteraksi dalam bentuk penjumlahan independen yang menghasilkan efek
psikologis gabungan. Aturan aditif ini yang mendasari SWAT. Misalnya, jika T1
adalah salah satu tingkat dari faktor waktu, E1 merupakan salah satu tingkat dari
faktor usaha mental, dan S1 adalah salah satu faktor stress, maka dapat dibuat
134
suatu hipotesis bahwa efek gabungan dari ketiga faktor ini (atau yang kemudian
disebut beban kerja) adalah (Reid, 1989):
f(T1, E1, S1) = f1 (T1) + f2 (E1) + f3 (S1) (11)
Dengan f, f1, f2 dan f3 adalah fungsi numerik yang dapat diidentifikasi dan terpisah
(Krantz dan Tvesky, 1971).
Model aditif seperti yang dijelaskan pada persamaan (11) menjadi bagian
penting dari teori psikologi. Sampai baru-baru ini, meskipun untuk model
sesederhana ini, tidaklah mudah untuk mengestimasi fungsi-fungsi tersebut. Teori
pengukuran konjoin digunakan untuk mengatasi masalah ini.
Teori umum yang diberikan oleh Krantz dan Tversky (1971) memuat
aksioma yang dapat digunakan untuk menguji data, untuk membantu
menunjukkan mana diantara keempat model polinomial yang digunakan sesuai
dengan data yang ada. Misalkan, jika f1(T1), f2(E1) dan f3(S1) merepresentasikan
nilai skala subjektif yang berkaitan dengan tingkatan tersebut untuk seorang
subjek. Kita dapat mempostulatkan bahwa ketiga faktor berinteraksi untuk
membentuk nilai beban kerja keseluruhan f(T1, E1, S1) dengan aturan :
Model aditif : f(T1, E1, S1) = f1(T1) + f2(E1) + f3(S1) (12)
Model multiplikatif : f(T1, E1, S1) = f1(T1) x f2(E1) x f3(S1) (13)
Model distributif : f(T1, E1, S1) = f1(T1) x f2(E1) + f3(S1) (14)
Model dual-distributif : f(T1, E1, S1) = f1(T1) + f2(E1) x f3(S1) (15)
Perhatikan bahwa pada tiga model terakhir, nilai keseluruhan dan efek
kombinasi dari ketiga faktor f(T1, E1, S1), dapat tidak bernilai jika faktor pengali
mempunyai harga nol. Dengan demikian faktor lain tidak berpengaruh. Sebagian
besar penelitian empiris dan teoritis dalam pengukuran konjoin difokuskan pada
model aditif (Reid, 1989).
d. Tes Aksioma
135
Aksioma Krantz dan Tversky (1971) menjelaskan tentang lima buah
properti ordinal yang berguna untuk menurunkan model persamaan (12) hingga
(15). Properti ini adalah indepedensi faktor tunggal, independensi faktor
gabungan, penggagalan ganda, penggagalan distributif dan penggagalan dual-
distributif. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nygren (1985), aksioma
yang paling penting untuk digunakan dalam menguji aditifitas adalah
independensi faktor tunggal, independensi faktor gabungan dan penggagalan
ganda. Aksioma ini digunakan dalam analisis SWAT untuk menentukan apakah
model aditif ini muncul dalam data (Reid, 1989).
a. Independensi (Independence)
Independensi merupakan properti fundamental yang dapat diperiksa secara
terpisah untuk masing-masing faktor. A independen terhadap B dan C jika (a1,
b1, c1) > (a2, b1, c1) jika dan hanya jika (a1, b2, c2) > (a2, b2, c2) dengan A, B dan
C merepresentasikan ketiga dimensi dan a1, a2 dan a3 merepresentasikan tiga
tingkatan dalam dimensi pertama. Demikian pula b1, b2, dan b3,
merepresentasikan dimensi kedua dan c1, c2 dan c3, merepresentasikan dimensi
ketiga. Dengan demikian independensi A menyatakan jika a2 > a1 untuk setiap
kombinasi faktor B dan C, maka hubungan ini akan sama untuk setiap
kombinasi B dan C lainnya (Reid, 1989).
b. Independensi Gabungan (Joint Independence)
Bentuk kedua dari independensi dapat diperiksa dari model tiga faktor. A dan
B secara gabungan independen terhadap C jika (a1, b1, c1) > (a2, b2, c1) jika dan
hanya jika (a1, b1, c2) > (a2, b2, c2). Independensi gabungan A dan B terhadap C
menunjukkan bahwa jika satu kombinasi A dan B adalah lebih besar
dibandingkan yang lain pada tingkatan C yang tetap maka urutan lainnya
harus mengikuti pola yang sama (Reid, 1989).
c. Penggagalan Ganda (Double Concelation)
Properti berikutnya menyatakan bahwa faktor A dan B mempunyai properti
seperti: jika (a2, b3, c1) > (a1, b2, c1) dan (a3, b2, c1) > (a2, b1, c1) maka (a3, b3, c1)
> (a1, b1, c1). Perhatikan bahwa penggagalan ganda membutuhkan paling
136
sedikit tiga tingkatan untuk setiap faktor A dan B, dan melibatkan dua faktor
pada saat pengujian. Dengan demikian jika faktor A dan B masing-masing
mempunyai tiga skala tingkatan, maka akan hanya ada satu pengujian properti
ini untuk dua faktor tersebut. Hal ini harus dipenuhi oleh semua faktor. Oleh
karena itu hanya ada tiga pengujian yang mungkin dilakukan untuk properti
ini (Reid, 1989).
e. Penskalaan
Setelah tes aksioma diselesaikan dan model aditif telah dipandang sebagai
representasi yang cukup untuk data, program SWAT menghitung solusi yang
diskalakan dari data. Solusi yang diskalakan berarti nilai numerik bisa didapat
untuk setiap tingkat dari ketiga faktor dan kombinasi aditifnya yang akan menjaga
urutan kartu yang diberikan subjek dan mengacu pada model aditif. Sejumlah
algoritma sekarang dapat digunakan untuk memperoleh skala akhir. Dua
algoritma ini adalah MONANOVA (Kruskal, 1965) dan NONMTRG (Johnson,
1973) digunakan dalam SWAT untuk membuat skala yang paling sesuai, yang
mempresentasikan kartu yang telah diurutkan oleh subjek. Sebagai prosedur
penskalaan nonmetrik, kedua algoritma berusaha menentukan nilai skala interval
yang paling sesuai untuk tingkatan dimensi dan efek kombinasi berdasarkan
urutan peringkat dari kombinasi dimensi. Sehingga prosedur SWAT dimulai
dengan mengurutkan data dari yang terkecil ke yang terbesar jika belum dalam
bentuk tersebut. Dari sini hanya urutan data tersebut yang dipergunakan untuk
analisis (Reid, 1989).
a. MONANOVA
Pendekatan pertama MONANOVA mencari dan menerapkan sebuah
transformasi monotonik pada data penyusunan kartu asli sedemikian rupa
sehingga kombinasi tingkatan-tingkatan dengan batasan jarak transformasi
memenuhi paling tidak analisis kuadrat. Untuk permulaan, sebuah skala awal
yang diambil secara sembarang untuk tiap tingkatan faktor dibentuk untuk
137
menghasilkan estimasi terhadap 27 kombinasi dimensi. Dari skala awal ini,
sebuah matriks yang dinilai dengan dispariti dibentuk. Dispariti mengubah
nilai yang monotonik terhadap data asli dan sedekat mungkin dengan nilai
skala beban kerja awal. Berikutnya, pengukuran uji keburukan suai (Badness
of Fit), stress, dihitung untuk menentukan seberapa dekat nilai dispariti yang
ditransformasikan secara monoton cocok dengan nilai skala yang diestimasi
dari model aditif. Stress dibentuk dari akar kuadrat dari jumlah kuadrat deviasi
antara dispariti dengan nilai stimulus yang diestimasi (Reid, 1989).
b. Algoritma Johnson
Prosedur penskalaan dalam SWAT, NONMETRG, digunakan untuk membuat
skala yang lain dari data, yang berbeda dengan stress. Pengukuran ini,
THETA, berbeda dari stress sedemikian rupa karena didasarkan pada metode
pasangan yang mengidentifikasi perbedaan skala yang mungkin dari pasangan
stimuli (351 pasangan dari 27 stimuli dalam SWAT) dibandingkan dengan
perbedaan peringkat asli (Reid, 1989).
f. Desain Konsep Penelitian SWAT
Metode SWAT dalam penerapannya akan membeberkan penskalaan
subjektif yang sederhana dan mudah dilakukan untuk mengkuantitatifkan beban
kerja dari aktivitas yang harus dilakukan oleh pekerja. SWAT akan
menggambarkan system kerja sebagai model multi dimensional dari beban kerja,
yang terdiri atas tiga dimensi atau faktor yaitu beban waktu (time load), beban
mental (mental effort load), dan beban psikologis (psychological stress load).
Masing-masing terdiri dari 3 tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi.
138
Gambar 3.9. Model konseptual beban kerja pilot terhadap kecelakaan
Langkah penelitian untuk metode ini diawali dengan pembentukan
variabel-variabel penelitian berupa identifikasi faktor-faktor yang terdapat
dalam variabel-varriabel tersebut. Setelah faktor-faktor dalam penelitian
teridentifikasi, seterusnya dilanjutkan dengan penskalaan (scale development)
dan penilaian (event scoring) yang merupakan langkah utama penerapan
metode SWAT. Selanjutnya dilakukan proses pengolahan data untuk mencari
pola pengaruh faktor-faktor yang telah diidentifikasi dengan perancangan
eksperimen faktorial (Metoda ANOVA). Pengujian dengan metode ANOVA
dilakukan setelah asumsi dasar yaitu normalitas distribusi dan homogenitas
varian data terpenuhi. Untuk mengetahui normalitas distribusi data digunakan
pengujian (test) Chi-Square, sedangkan untuk homogeinitas varian data
dilakukan dengan pengujian (uji) Bartlett.
Setelah pola pengaruh berhasil diidentifikasi melalui serangkaian
pengujian di atas, maka faktor-faktor dan/atau interaksinya yang terbukti
berpengaruh secara berarti (signifikan) akan diselidiki pula pengelompokkan
pengaruhnya terhadap beban kerja mental pilot. Untuk itu dilakukan uji
Rentang Newman Keuls. Hasil uji ini akan dimanfaatkan untuk menentukan
kondisi terbang yang paling terbebani oleh faktor-faktor dugaan yang telah
diidentifikasikan tersebut.
139
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Karakteristik Responden
Karakteristik responden merupakan alat ukur statistik yang penting dalam
suatu populasi. Karakteristik responden yang terdiri dari 260 pilot dalam
penelitian ini digambarkan mengenai jenis kelamin, usia, jenjang pendidikan,
masa kerja, klasifikasi penerbang, tipe rating, jumlah jam terbang, tipe dan jenis
pesawat. Adapun karakteristik yang terkumpul melalui pengumpulan kuesioner
yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1 Statistik deskripsi responden berdasarkan jenis kelaminFrekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)
Pria 259 99.6 99.6Wanita 1 0.4 100Total 260 100
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa berdasarkan data identifikasi responden
pengisi kuesioner, dapat terlihat bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin
pria (99.6 %), hal ini dapat dimaklumi karena jenis profesi yang diteliti dalam
penelitian ini adalah profesi yang masih jarang ditekuni oleh wanita khususnya di
Indonesia yaitu profesi sebagai seorang penerbang (pilot).
Tabel 4.2 Statistik deskripsi responden berdasarkan usiaFrekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)
< 30 th 70 26.9 26.931 – 40 th 115 44.2 71.241 – 50 th 56 21.5 92.7
≥ 51 th 19 7.3 100Total 260 100
Faktor usia berpengaruh pada pengalaman kerja dan tingkat profesionalisme,
karena semakin tua umur akan semakin berpengalaman dalam menyelasaikan
suatu pekerjaan dan mengatasi masalah yang muncul, sehingga akan
mempengaruhi tingkat profesionalisme tersebut. Tabel 4.2 menunjukan bahwa
sebagian besar dari responden yaitu sebesar 44.2 % bila ditinjau berdasarkan usia,
140
berusia diantara 31 s/d 40 tahun, sedangkan 26.9 % berusia dibawah 31 tahun, dan
21.5 % berusia diantara 41 s/d 50 tahun. Adapun 7.3 % responden berusia diatas
50 tahun.
Tabel 4.3 Statistik deskripsi responden berdasarkan jenjang pendidikan
Frekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)Diploma 99 38.1 38.1Sarjana 132 50.8 88.8Pasca 29 11.2 100Total 260 100
Tabel 4.3 memperlihatkan sebaran jawaban pertanyaan-pertanyaan tentang
latar belakang pendidikan responden, prosentase terbesar pada tingkat sarjana
yaitu sebesar 50.8 %, selebihnya adalah pendidikan tingkat diploma dan pasca,
yang masing-masing sebesar 38.1 % dan 11.2%.
Tabel 4.4 Statistik deskripsi responden berdasarkan masa kerja (Tahun)
Frekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)
< 10 th 140 53.8 53.810 – 20 th 90 34.6 88.5
> 20 th 30 11.5 100Total 260 100
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa 53.8 % responden jika ditinjau berdasarkan
masa kerja sebagai seorang pilot adalah dibawah 10 tahun, sementara 34.6 %
responden memiliki masa kerja antara 10 s/d 20 tahun, sedangkan 11.5 %
memiliki masa kerja diatas 20 tahun sebagai seorang penerbang (pilot).
Tabel 4.5 Statistik deskripsi responden berdasarkan klasifikasi penerbang
Frekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)
PIC 155 59.6 59.6SIC 105 40.4 100
Total 260 100
Tabel 4.5 menunjukan klasifikasi seorang penerbang yang terbagi menjadi 2
(dua) yaitu yaitu Pilot In Command (PIC) yakni pilot yang ditugaskan oleh
141
”operator” atau oleh pemilik pesawat udara dalam kasus penerbangan umum,
sebagai penanggung jawab untuk melakukan suatu penerbangan yang
aman/selamat, dan Second In Command (SIC)/Co-pilot yakni pembantu pilot yang
melakukan tugas dan fungsi sebagai seorang ”Pilot In Command” di bawah
supervisi dari ”Pilot In Command”, memperlihatkan bahwa 59.6 % atau 155
responden mempunyai klasifikasi saat ini adalah sebagai SIC sedangakan 40.4 %
atau 105 responden berklasifikasi sebagai PIC.
Tabel 4.6 Statistik deskripsi responden berdasarkan tipe rating (Type Rating)
Frekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)
PPL 3 1.2 1.2CPL 82 31.5 32.7
SCPL 28 10.8 43.5ATPL 147 56.5 100Total 260 100
Sesuai dengan ketentuan dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulation)
Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 20 dan Annex 1
mengenai lisensi penerbangan, tenaga penerbangan diklasifikasikan menurut
lisensi (tipe rating) yang dimiliki, berdasarkan data identifikasi responden pengisi
kuesioner, dapat terlihat pada Tabel 4.6 bahwa sebagian besar dari responden
yaitu sebesar 56.5 % memiliki tipe rating ATPL, selebihnya adalah tipe rating
CPL 31.5 %, SCPL 10.8 % dan PPL 3 %.
Tabel 4.7 Statistik deskripsi responden berdasarkan jumlah jam terbangFrekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)
< 10.000 207 79.6 79.610.000-20.000 43 16.5 96.2
> 20.000 10 3.8 100Total 260 100
Tabel 4.7 memperlihatkan sebaran jawaban pertanyaan tentang jumlah jam
terbang yang dimiliki responden (pilot) yang dimiliki sampai dengan saat survei
dilaksanakan terdapat prosentase terbesar yaitu sebesar 79.6 % atau 207
responden pilot memiliki jam terbang kurang dari 10.000 jam terbang, sedangkan
142
16.5 % atau 43 responden memiliki jam terbang berkisar antara 10.000 s/d 20.000
jam terbang, sementara itu 3.8 % atau 10 responden memiliki jam terbang diatas
20.000 jam terbang. Jam terbang seorang pilot berbanding lurus dengan masa
kerja ataupun berapa lama responden berprofesi sebagai seorang pilot.
Tabel 4.8 Statistik deskripsi responden berdasarkan tipe pesawat
Frekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)
Jet 219 84.2 84.2Propeller 41 15.8 100
Total 260 100
Pesawat bisa terbang karena ada gaya dorong dari mesin penggerak (engine)
yang menyebabkan pesawat memiliki kecepatan, dan kecepatan inilah yang di
terima sayap pesawat berbentuk aerofoil sehingga pesawat dapat terangkat /
terbang. Pemilihan engine didasarkan pada besar kecilnya ukuran pesawat
terbang. Secara garis besar mesin penggerak (engine) pesawat terbagi menjadi
sistem penggerak propeller dan jet. Dari Tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa
84.2 % atau 219 responden pilot mengawaki pesawat bermesin jet sedangkan
sisanya yakni 15.8 5 atau 41 responden pilot mengawaki pesawat bermesin
propeller.
Tabel 4.9 Statistik deskripsi responden berdasarkan jenis pesawatFrekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)
Boeing 158 60.8 60.8Airbus 52 20.0 80.8
Lainnya 50 19.2 100Total 260 100
Tabel 4.9 menunjukkan kaitan antara jenis pesawat yang dioperasikan oleh
responden pada saat survei berlangsung, dimana 60.8 % atau 158 responden pilot
mengoperasikan pesawat jenis Boeing dari berbagai tipe, selanjutnya adalaha
pesawat Airbus dari berbagai tipe sebesar 20 %, dan sisanya sebessar 19.2 5 atau
50 responden menjawab dengan tipe yang lainnya (embraer, cessna, ATR).
Mayoritas responden mengoperasikan pesawat Boeing mengingat operator yang
143
disurvei oleh peneliti dimana pilot bekerja disana adalah banyak yang
megoperasikan pesawat jenis ini.
B. Analisis SEM-PLS
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program LVPLS yang akan
menghasilkan model pengukuran (measurement model) yang dikenal dengan
istilah outer model serta model struktural atau inner model. Dalam penelitian ini
terdapat dua variabel akhir (endogen) yakni, kinerja pilot (performance) dan
kecelakaan pesawat (aircraft accident) dan empat variabel eksogen dan berperan
sebagai variabel independen yakni waktu terbang (phases of time), fase terbang
(flight phase), lokasi (location) dan cuaca (weather). Pengaruh dari antar variabel
tersebut dengan hubungan positif dan signifikan yang diestimasi, dapat
digambarkan alur sebagaimana pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Model struktural penelitian
1. Analisis Data
Dengan menggunakan LVPLS, kemudian model dieksekusi dengan
menggunakan LVPLS. Berikut ini hasil nilai dari LVPLS.
144
Gambar 4.2 Penjabaran desain penelitian (LVPLS)
2. Evaluasi Model Pengukuran (Measurement outer model)
Evaluasi awal terhadap model pengukuran adalah item reliability atau biasa
disebut indikator validitas. Hal ini dapat dilihat dari nilai loading factor. Nilai
loading factor dibawah 0.5 akan didrop dari model,. Dari hasil pengolahan
terdapat 2 indikator yang didrop dari model karena memiliki nilai loading factor
dibawah 0.5. Nilai loading factor tiap-tiap indikator dapat dilihat pada Tabel 4.10,
dibawah.
Tabel 4.10 Factor loading, residual dan weight
ConstructIndicato
r Mean Stdev Loading Residual WeightPhases of Time X1.1 3.696154 1.070842 0.5644 0.6815 0.0415
X1.2 3.188462 0.85597 0.824 0.321 0.2443X1.3 3.55 0.92655 0.6342 0.5978 -0.0731X1.4 3.696154 1.070842 0.6498 0.5778 -0.0938X1.5 3.726923 1.121244 0.6811 0.5361 -0.0745X1.6 3.165385 0.954341 0.9463 0.1045 0.5925X1.7 3.723077 1.118572 0.5544 0.6926 0.0842X1.8 3.284615 0.923604 0.8858 0.2154 0.3679
Flight Phase X2.1 4.007692 0.994162 0.831 0.3095 0.2357X2.2 3.815385 0.9114 0.638 0.5929 0.1993X2.3 3 0.9903 0.6831 0.5334 0.3093
145
ConstructIndicato
r Mean Stdev Loading Residual WeightX2.4 2.992308 0.982442 0.5028 0.7472 0.1561X2.5 3.688462 0.878234 0.7367 0.4573 0.2115X2.6 3.873077 1.17044 0.8566 0.2662 0.2702
Location X3.1 3.369231 0.947571 0.7804 0.3909 0.4285X3.2 3.55 0.951224 0.8158 0.3345 0.3879X3.3 4.157692 0.65328 0.6714 0.5492 0.5201
Weather X4.1 3.711538 0.911881 0.6199 0.6157 0.1961X4.2 3.815385 0.9114 0.6567 0.5687 0.2093X4.3 3.665385 1.168916 0.8217 0.3248 0.3197X4.4 3.515385 1.143959 0.7682 0.4098 0.2386X4.5 2.992308 0.994162 0.6292 0.6041 0.2805X4.6 3.676923 0.840255 0.6219 0.6132 0.1905
Performance Y1.1 4.369231 0.670831 0.6589 0.5658 0.0816Y1.2 4.119231 0.661413 0.709 0.4973 0.1072Y1.3 4.15 0.672545 0.6111 0.6265 0.0679Y1.4 4.157692 0.65328 0.7496 0.4381 0.1673Y1.5 4.442308 0.686704 0.7406 0.4515 0.1229Y1.6 4.092308 0.60175 0.6847 0.5312 0.0975Y1.7 4.453846 0.704224 0.7119 0.4932 0.1122Y1.8 3.711538 0.911881 0.542 0.7062 0.1284Y1.9 3.676923 0.840255 0.507 0.743 0.1177Y1.10 4.038462 0.662321 0.689 0.5253 0.0935Y1.11 3.915385 0.634097 0.6846 0.5313 0.1013Y1.12 3.753846 0.714565 0.5167 0.7331 0.0686Y1.13 3.803846 0.654642 0.5342 0.7147 0.0604Y1.14 4 0.60244 0.5027 0.7473 0.0669Y1.15 3.876923 0.65188 0.6569 0.5685 0.0873Y1.16 3.753846 0.703675 0.6282 0.6054 0.0701
Accident Y2.1 3.476923 1.092024 0.8589 0.2623 0.124Y2.2 2.992308 0.994162 0.7925 0.372 0.1344Y2.3 3.126923 1.011157 0.6423 0.5875 0.0911Y2.4 3.446154 1.069489 0.7635 0.4171 0.1051Y2.5 3.45 1.076872 0.8084 0.3464 0.1142Y2.6 3.634615 1.159631 0.7662 0.413 0.1414Y2.8 3.665385 1.168916 0.7662 0.4129 0.147Y2.9 2.969231 0.962128 0.6789 0.539 0.1067Y2.10 3.469231 1.077595 0.8048 0.3524 0.1138Y2.12 2.961538 0.953788 0.7171 0.4858 0.1147Y2.13 3.657692 1.14665 0.6904 0.5233 0.1285
Sumber: Pengolahan data dengan LVPLS, 2015
Dari hasil Tabel 4.10 diatas nilai loading factor untuk tiap-tiap indikator
yang mengukur konstrak memiliki nilai loading factor lebih dari 0.5, sehingga
indikator memiliki validitas yang valid, sehingga dapat digunakan untuk
mengukur konstrak dalam model ini.
146
Pemeriksaan selanjutnya adalah melihat reliabilitas konstruk. Ada dua
metode yang dilakukan yaitu dengan cronbach’s alpha dan composite reliability.
Konstruk dinyatakan reliabel jika memiliki nilai composite reliability dan atau
cronbach’s alpha diatas 0.7. berikut ini adalah hasil LVPLS.
Tabel 4.11 Reliability dan AVE
Construct Composite Relibility
Cronbach Alpha
Phases of Time 0.898384 0.939654Flight Phase 0.861289 0.80618Location 0.801359 0.661075Weather 0.843895 0.781472Performance 0.915399 0.897563Accident 0.935828 0.923908
Sumber: Pengolahan data dengan LVPLS, 2015
Dari hasil diatas, terdapat nilai cronbach’s alpha yang reliabilitasnya kurang
dari 0.7, yaitu location (0.661076). meski demikian, bila digunakan metode
composite reliability, nilai reliabilitas konstruknya diatas 0.70. Setelah
pemeriksaan reliabilitas konstruk, dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap
discriminant validity, hal ini disebabkan karena indikator dalam penelitian ini
diukur dengan indikator reflektif. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat nilai
cross loading sebagai berikut.
Tabel 4.12. Cross loadingScale Items Phase of Time Flight Phase Location Weather Performance Accident
X1.1 0.6566 0.0698 -0.0372 -0.0157 -0.0073 0.0649X1.2 0.8284 -0.1535 -0.1572 -0.2328 -0.0763 -0.1393X1.3 0.639 0.0557 0.035 -0.0395 0.024 0.0414X1.4 0.6566 0.0698 -0.0372 -0.0157 -0.0073 0.0649X1.5 0.6858 0.1026 0.0192 -0.0229 -0.0187 0.0555X1.6 0.9479 -0.3376 -0.3077 -0.4294 -0.099 -0.3646X1.7 0.5562 0.0447 0.0088 -0.0445 -0.0126 -0.0523X1.8 0.8888 -0.228 -0.2409 -0.3269 -0.0877 -0.2182X2.1 -0.3128 0.831 0.5688 0.65 0.224 0.5435X2.2 -0.3157 0.638 0.6287 0.6567 0.3358 0.425X2.3 -0.1007 0.6831 0.2889 0.6298 -0.0182 0.7868X2.4 -0.0917 0.5028 0.1315 0.3334 -0.0708 0.4117X2.5 -0.0999 0.7367 0.6236 0.4958 0.1946 0.4891X2.6 -0.4734 0.8566 0.5666 0.7243 0.1634 0.645X3.1 -0.3664 0.691 0.7804 0.6599 0.18 0.5769X3.2 -0.2568 0.6665 0.8158 0.5638 0.2026 0.4778X3.3 -0.1005 0.1915 0.6714 0.2624 0.7496 0.1056
147
Scale Items Phase of Time Flight Phase Location Weather Performance AccidentX4.1 -0.267 0.3009 0.3067 0.6199 0.542 0.2918X4.2 -0.3157 0.638 0.6287 0.6567 0.3358 0.425X4.3 -0.4932 0.6805 0.6081 0.8217 0.2629 0.7662X4.4 -0.3817 0.7197 0.5152 0.7682 0.1297 0.6032X4.5 -0.0948 0.6811 0.2886 0.6292 -0.0254 0.7925X4.6 -0.177 0.3076 0.2514 0.6219 0.507 0.2924Y1.1 0.0063 0.1033 0.3255 0.1407 0.6589 -0.004Y1.2 -0.1203 0.0741 0.3827 0.1874 0.709 0.0009Y1.3 0.0484 -0.0124 0.2573 0.0187 0.6112 -0.0671Y1.4 -0.1005 0.1915 0.6714 0.2624 0.7496 0.1056Y1.5 0.0131 0.1105 0.4481 0.1918 0.7406 0.0743Y1.6 -0.0552 0.1146 0.4004 0.1573 0.6847 -0.0054Y1.7 0.0539 0.1486 0.4044 0.2131 0.7119 0.1524Y1.8 -0.267 0.3009 0.3067 0.6199 0.542 0.2918Y1.9 -0.177 0.3076 0.2514 0.6219 0.507 0.2924
Y1.10 0.0562 0.0742 0.3091 0.1628 0.689 0.0446Y1.11 -0.122 0.0941 0.3199 0.2485 0.6846 0.0338Y1.12 -0.0007 0.007 0.1819 0.1441 0.5167 -0.0887Y1.13 -0.0599 -0.1232 0.148 0.0066 0.5341 -0.1191Y1.14 0.0157 0.0344 0.2622 0.062 0.5026 -0.0211Y1.15 -0.1686 0.1175 0.2954 0.2413 0.6569 0.0621Y1.16 -0.0968 0.035 0.1954 0.1826 0.6282 -0.057Y2.1 -0.277 0.6159 0.2953 0.6077 0.0386 0.8589Y2.2 -0.0948 0.6811 0.2886 0.6292 -0.0254 0.7925Y2.3 0.0784 0.5133 0.3637 0.4277 0.057 0.6423Y2.4 -0.2264 0.5277 0.2517 0.5116 0.0322 0.7635Y2.5 -0.2495 0.5624 0.3255 0.5665 0.043 0.8084Y2.6 -0.4707 0.6576 0.5291 0.7776 0.2215 0.7661Y2.8 -0.4932 0.6805 0.6081 0.8217 0.2629 0.7662Y2.9 -0.1398 0.5622 0.2969 0.4874 -0.034 0.679
Y2.10 -0.259 0.5721 0.2359 0.5481 0.0216 0.8047Y2.12 -0.0888 0.5696 0.2055 0.5274 -0.0689 0.7171Y2.13 -0.4473 0.6252 0.5367 0.7016 0.2262 0.6904 Sumber: Pengolahan data dengan LVPLS, 2015
Pengujian discriminant validity adalah bahwa indikator pada suatu konstruk
akan mempunyai nilai loading factor terbesar pada konstruk yang dibentuknya
daripada loading factor dengan konstuk yang lain. Berdasarkan pada Tabel 4.12
diatas tampak bahwa semua loading factor memiliki nilai diatas 0.50. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa konstruk mempunyai convergent validity yang baik.
Nilai cross loading juga menunjukkan adanya discriminant validity yang baik
oleh karena nilai korelasi indikator terhadap konsrak lebih tinggi dibandingkan
nilai korelasi indikator dengan konstruk lainnya.
148
3. Evaluasi Model Strutural (Measurement inner model)
Setelah model yang diestimasi memenuhi kriteria discriminant validity
berikutnya dilakukan pengujian model struktural (inner model). Menilai inner
model adalah melihat hubungan antar konstruk laten dengan melihat hasil estimasi
koefisiennparameter path dan tingkat signifikansinya. Berikut adal nilai R-square
pada konstruk.
Tabel 4.13 Nilai R-square
Construct R-square
Phases of Time -Flight Phase -Location -Weather -Performance 0.440Accident 0.739
Sumber: Pengolahan data dengan LVPLS, 2015
Tabel 4.13 diatas, menunjukkan bahwa nilai R-square konstruk performance
(kinerja) adalah sebesar 44 % (0.440). Hal tersebut berarti bahwa secara bersama-
sama, konstruk phases of time (waktu), flight phase (fase terbang), location
(kondisi permukaan dataran), dan weather (cuaca) berpengaruh/mampu
menjelaskan sebesar 44 % persen terhadap performance (kinerja) dan sisanya
dipengaruhi/dijelaskan oleh variabel lain.
Sedangkan konstruk accident (kecelakaan), secara bersama-sama, konstruk
phases of time (waktu), flight phase (fase terbang), location (kondisi permukaan
dataran), weather (cuaca), dan performance (kinerja) berpengaruh/mampu
menjelaskan sebesar 73.9 % persen terhadap accident (kecelakaan) dan sisanya
dipengaruhi/dijelaskan oleh variabel lain.
4. Pengujian dan Pembahasan Hipotesis
Dasar yang digunakan dalam mengaji hipotesis adalah nilai yang terdapat
pada output result for inner weight berikut ini:
Tabel 4.14 Result for inner weight
149
Entire Sample Estimate
Mean of Subsample
Standard Error T-Statistic
Phases of time->Performance 0.117 0.1137 0.0547 2.1405Phases of time->Accident 0.003 0.0349 0.0301 0.0998
Flight phase->Performance -0.69 -0.6953 0.1277 -5.4052Flight phase->Accident 0.333 0.3244 0.078 4.2711Location->Performance 0.661 0.6231 0.1578 4.1901
Location->Accident -0.031 -0.0511 0.0385 -0.8052Weather->Performance 0.584 0.6341 0.2504 2.3321
Weather->Accident 0.625 0.6448 0.0694 9.0084Performance->Accident -0.179 -0.1872 0.053 -3.3756
Sumber: Pengolahan data dengan LVPLS, 2015
a. Hipotesis 1 (Hipotesis pertama berbunyi terdapat hubungan yang
positif signifikan antara waktu terbang (phases of time) dengan kinerja
pilot (performance))
Dari Tabel 4.14 hubungan positif dan signifikan terlihat pada faktor waktu
terbang (phases of time) terhadap kinerja (performance) dengan koefisien
parameter sebesar 0.117. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat nilai t
statistik yang lebih besar dari 1.96, yakni sebesar 2.1405. Dengan demikian,
hipotesis 1 dalam penelitian ini diterima. Dengan kata lain menunjukan bahwa
faktor waktu terbang (phases of time) dapat mempengaruhi kinerja (performance)
seorang pilot, karena dalam dunia penerbangan dikenal siklus arus penumpang,
yaitu musim padat penumpang (peak season), yang biasa berlangsung selama
liburan sekolah, liburan akhir tahun, liburan lebaran atau liburan akhir pekan.
Siklus lain arus penumpang dalam dunia bisnis penerbangan adalah musim sepi
penumpang yang biasa berlangsung pada bulan Januari dan bulan Agustus-
Nopember. Selain itu juga terdapat puncak jam sibuk lalu lintas udara (peak
traffic hour) dalam dunia penerbangan yakni dari pukul 06.00 hingga 21.00, yang
itu semua dapat mempengaruhi kinerja (performance) seorang pilot dalam
melaksanakan tugasnya.
150
b. Hipotesis 2 (Hipotesis kedua berbunyi terdapat hubungan yang positif
signifikan antara hubungan waktu terbang (phases of time) dengan
kecelakaan pesawat terbang (accident))
Berdasarkan hasil pengujian didapat nilai koefisien parameter sebesar 0.003
dan nilai t statistik dibawah 1.96, yakni sebesar 0.0998, yang berarti bahwa
hubungan antara faktor waktu terbang (phases of time) dengan kecelakaan
pesawat terbang (accident) bernilai postif namun tidak signifikan. Dengan
demikian, hipotesis 2 dalam penelitian ini ditolak. Hal ini menggambarkan faktor
waktu terbang (phases of time) tidak sangat mempengaruhi terjadinya suatu
kecelakaan pesawat terbang (accident). Dengan kata lain terjadinya suatu
kecelakaan pesawat terbang (accident) dapat terjadi kapan saja tanpa mengenal
waktu, baik pagi, siang, malam, maupun hari dan bulan. Sebuah kecelakaan di
penerbangan adalah suatu kejadian atau musibah yang munculnya dapat secara
tidak terduga dan terelakkan. Proses kejadian tersebut dapat digambarkan sebagai
sesuatu yang ikut bersama dalam setiap perjalanan, namun tersembunyi dan akan
muncul secara tiba-tiba pada saat satu atau beberapa faktor penentu terjadinya
keselamatan lainnya dalam kondisi lengah atau tidak sepenuhnya mengikuti
aturan yang seharusnya dipenuhi dan dilaksanakan.
c. Hipotesis 3 (Hipotesis ketiga berbunyi terdapat hubungan yang positif
signifikan antara hubungan fase terbang (flight phase) dengan kinerja
pilot (performance))
Dari hasil analisis menggunakan LVPLS dengan memilih model pengukuran
reflektif didapatkan hasil pada Tabel 4.14, bahwa hubungan faktor fase terbang
(flight phase) terhadap kinerja (performance) tidak berpengaruh signifikan (nilai t
statistik hitung < t tabel 1.96) dan bernilai negatif. Hal ini terlihat dari nilai -
5.4052 dengan koefisien parameter sebesar -0.69 yang berarti konstruk fase
terbang (flight phase) tidak berpengaruh terhadap kinerja (performance). Dengan
demikian, hipotesis 3 dalam penelitian ini ditolak. Sehingga dapat dikatakan
bahwa faktor fase terbang (flight phase) bukanlah konstruk yang dapat
mempengaruhi kinerja (performance).
151
d. Hipotesis 4 (Hipotesis keempat berbunyi terdapat hubungan yang
positif signifikan antara hubungan fase terbang (flight phase) dengan
kecelakaan pesawat terbang (accident))
Dari Tabel 4.14 hubungan positif dan signifikan terlihat pada faktor fase
terbang (flight phase) terhadap kecelakaan pesawat terbang (accident) dengan
koefisien parameter sebesar 0.333. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat
nilai t statistik yang lebih besar dari 1.96, yakni sebesar 4.2711. Dengan demikian,
hipotesis 4 dalam penelitian ini diterima. Hal ini menunjukkan bahwa faktor fase
terbang (flight phase) dapat mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan (accident)
pesawat terbang, karena peristiwa kecelakaan pesawat terbang dapat terjadi pada
tahap pengoperasian pesawat terbang, diawali dengan sejak taxi, tinggal landas
(take off), menanjak (climb), penerbangan jelajah (cruising flight), dan tahap
pendaratan yang dimulai dari descent, awal pendaratan (approach) kemudian
menyentuh landasan (touch down) sampai pesawat terbang berhenti di apron
Bandar udara tujuan. Diantara fase-fase lainnya dalam operasi penerbangan, fase
take off dan landing adalah fase paling kritis dan berbahaya dalam operasi
penerbangan hal ini memungkinkan karena fakta bahwa fase take off dan landing
adalah fase yang terjadi dekat dengan tanah (near the ground) sehingga
mengakibatkan resiko yang lebih besar dalam hal keselamatan. Selain itu pada
tahap ini juga banyak prosedur penggantian pengoperasian pesawat (aircraft
configuration) yang harus dilakukan oleh pilot sehingga kemungkinan terjadinya
error dapat meningkat.
e. Hipotesis 5 (Hipotesis kelima berbunyi terdapat hubungan yang positif
signifikan antara hubungan lokasi (location) dengan kinerja pilot
(performance))
Berdasarkan hasil perhitungan diatas (Tabel 4.14), dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara konstruk lokasi (location) terhadap kinerja (performance)
dinyatakan positif dan signifikan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari nilai
koefisien parameter sebesar 0.661 dan nilai t statistik yang lebih besar dari 1.96,
yakni sebesar 4.1901. Dengan demikian, hipotesis 5 dalam penelitian ini diterima.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor lokasi (location) yang dalam dunia
152
penerbangan lebih tertuju pada kondisi daratan suatu daerah (terrain) yakni
permukaan bumi yang berisi/mengandung fitur-fitur yang terjadi secara alami
seperti gunung, bukit, lembah, perairan, es permanent dan salju, tidak termasuk
“obstacle” dapat mempengaruhi kinerja (performance) seorang pilot dalam
melaksanakan tugasnya.
f. Hipotesis 6 (Hipotesis keenam berbunyi terdapat hubungan yang positif
signifikan antara hubungan lokasi (location) dengan kecelakaan
pesawat terbang (accident))
Hasil pengujian penelitian menyatakan bahwa nilai t statistik adalah -0.8052
dan koefisien parameter sebesar -0.031. Nilai ini berarti hubungan antara faktor
lokasi (location) dengan kecelakaan pesawat terbang (accident) tidak positif dan
tidak signifikan. Hal ini menggambarkan tidak ada pengaruh antara faktor lokasi
(location) dengan kecelakaan pesawat terbang (accident). Dengan demikian,
hipotesis 6 dalam penelitian ini ditolak.
g. Hipotesis 7 (Hipotesis ketujuh berbunyi terdapat hubungan yang positif
signifikan antara hubungan cuaca (weather) dengan kinerja pilot
(performance))
Cuaca penerbangan adalah cuaca yang diperuntukkan khusus untuk dunia
penerbangan, baik untuk saat lepas landas, mendarat maupun selama
penerbangan. Informasi cuaca ini diberikan setiap waktu pada saat pesawat akan
merencanakan penerbangan yang disesuaikan dengan jadwal penerbangan.
Informasi cuaca pada saat lepas landas, selama perjalanan dan mendarat meliputi
beberapa unsur cuaca, yaitu angin, jarak pandang, tekanan, jenis awan, dan suhu.
Berdasarkan hasil pengujian yang terdapat pada Tabel 4.14, dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara faktor cuaca (weather)
dengan kinerja (performance). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat nilai
t statistik yang lebih besar dari 1.96, yakni sebesar 2.3321 dan dengan nilI
koefisien parameter sebesar 0.582. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa faktor
cuaca (weather) dapat mempengaruhi kinerja (performance) seorang pilot dalam
melaksanakan tugasnya untuk mengoperasikan pesawat terbang. Dengan
demikian, hipotesis 7 dalam penelitian ini diterima.
153
h. Hipotesis 8 (Hipotesis kedelapan berbunyi terdapat hubungan yang
positif signifikan antara hubungan cuaca (weather) dengan kecelakaan
pesawat terbang (accident))
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan LVPLS didapat hubungan
yang positif dan signifikan pada faktor cuaca (weather) terhadap kecelakaan
pesawat terbang (accident). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat nilai t
statistik yang lebih besar dari 1.96, yakni sebesar 9.0884 dan nilai koefisien
parameter sebesar 0.625. Hal ini dikarenakan pesawat terbang merupakan moda
yang sangat bergantung pada keadaan cuaca, baik waktu tinggal landas/lepas
landas (take off) ataupun pada waktu pesawat di udara (cruise) dan juga pada saat
melakukan pendaratan (landing), fenomena cuaca yang keberadaannya berada
diluar kendali manusia sering dimasukan kedalam faktor (pihak) yang dapat
menjadi penyebab terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang. Dengan
demikian, hipotesis 8 dalam penelitian ini diterima.
i. Hipotesis 9 (Hipotesis kesembilan berbunyi terdapat hubungan yang
positif signifikan antara hubungan kinerja pilot (performance) dengan
kecelakaan pesawat terbang (accident))
Berdasarkan hasil perhitungan diatas (Tabel 4.14), dapat disimpulkan bahwa
hubungan yang tidak signifikan ditemukan antara konstruk faktor kinerja
(performance) terhadap kecelakaan pesawat terbang (accident). Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan melihat nilai t statistik yang dibawah 1.96, yakni sebesar -
3.3756 dan nilai koefisien parameter sebesar -0.179. Dengan demikian, hipotesis
9 dalam penelitian ini ditolak. Dalam penelitian ini, konstruk faktor kinerja
(performance) tidak berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang
(accident).
C. Analisis SWAT
1 Pengukuran Beban Kerja Mental Pilot
a. Pengurutan Kartu SWAT
Pada tahap ini responden diminta untuk melakukan pengurutan kartu SWAT
sebanyak 27 kartu, ini dibuat berdasarkan kombinasi dari tiga dimensi beban kerja
154
yang memiliki tingkatan rendah, sedang, tinggi dimana dari setiap kartu tersebut
memiliki tiga dimensi. ketiga dimensi tersebut yaitu beban waktu (Time load),
beban usaha (Effort load), dan beban stres (Phsycological Stress). Dari setiap
dimensi pada kartu SWAT tersebut diberikan kombinasi skala yang berbeda untuk
setiap kartunya, dimana skala yang ditetapkan adalah 1, 2, 3. Skala tersebut
berdasarkan pada tingkat beban mental yang paling rendah hingga yang paling
tinggi kemudian skala tersebut dipresentasikan menggunakan pernyataan-
pernyataan yang dapat menunjukan bobot dari beban kerja mental tersebut.
Kombinasi skala yang paling rendah adalah skala 1 untuk Time, skala 1
untuk Effort dan skala 1 untuk Stress, dan yang paling tinggi adalah skala 3 untuk
Time, skala 3 untuk Effort dan skala 3 untuk Stress. Pengurutan kartu SWAT
tersebut berdasarkan persepsi masing-masing tentang pemahaman tingkatan beban
kerja dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi yang dapat menjadi
prioritas responden dalam melaksanakan tugasnya. Urutan kartu SWAT dapat
dilihat pada Tabel 4.15 dibawah.
Tabel 4.15 Urutan kartu SWAT
155
b. Pengolahan Data Scale Development
Proses Scale Development dilakukan dengan meng-input hasil pengurutan
27 kombinasi kartu ke dalam Software dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Klik icon SWAT pada desktop kemudian masukkan today’s date (tanggal
dilakukannya penelitian), study name (nama penelitian yang anda lakukan),
file name (nama file yang akan anda gunakan untuk menyimpan hasil
penelitian), number of subjects (jumlah responden yang akan diteliti dengan
menggunakan software ini) akan muncul tampilan seperti gambar dibawah :
Gambar 4.3 Tampilan utama software SWAT
2. Mulai dengan melakukan data Entry dari kartu-kartu yang telah diurutkan oleh
responden yang diteliti dengan menekan tombol F2, sehingga muncul
tampilan sebagai berikut (hasil analisis data dapat dilihat pada Lampiran 3) :
156
Gambar 4.4 Tampilan input data 27 kartu SWAT
3. Tekan F1 untuk berhenti melakukan Entry data, kemudian tekan tombol F4
(Program Setup) untuk melihat hasil Scale Development. Tampilan layar yang
akan muncul adalah sebagai berikut
157
Gambar 4.5 Tampilan program setup pada software SWAT
4. Kemudian pilih angka 1 untuk melihat hasil Kendall’s yang akan menentukan
data berupa individu jika nilai ≤ 0.75 atau group ≥ 0.75 dan enter maka akan
muncul tampilan sebagai berikut (hasil analisis data dapat dilihat pada
Lampiran 3):
Gambar 4.6 Tampilan prototype analysis Kendal’s
5. Tekan F1 untuk keluar kemudian tekan F3 untuk kembali ke Program Setup
seperti gambar di point 3, kemudian pilih angka 3 dan muncul tampilan
sebagai berikut :
158
Gambar 4.7 Tampilan program setup pada software SWAT
6. Kemudian setelah memilih angka 3 dan enter maka akan muncul hasil Scalling
Information seperti tampilan berikut (hasil analisis data dapat dilihat pada
Lampiran 3) :
Gambar 4.8 Tampilan scalling information pada software SWAT
7. Kemudian tekan F4 untuk melihat hasil Scalling Solution maka akan muncul
tampilan sebagai berikut (hasil analisis data dapat dilihat pada Lampiran 3) :
159
Gambar 4.9 Tampilan scalling solution pada software SWAT
c. Tahap Penilaian Beban Kerja
Tahap penilaian situasi beban kerja dari uraian pekerjaan tugas dan tanggung
jawab diperoleh dari kuesioner yang telah diberikan kepada responden untuk
dihitung masing-masing dimensi beban kerjanya. Penilaian kondisi pengoperasian
pesawat dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 4.16 dibawah ini :
Beban waktu (Time)
1. Pekerjaan mempunyai waktu luang yang banyak
2. pekerjaan mempunyai waktu luang yang agak ketat
3. Pekerjaan sangat ketat dan tidak mempunyai waktu luang
Beban usaha mental (Effort)
1. Pekerjaan mudah dan tidak membingungkan
2. Pekerjaan memerlukan konsentrasi
3. Pekerjaan memerlukan konsentrasi yang tinggi
Stress
1. Pekerjaan mudah dan tidak menimbulkan frustasi
2. Pekerjaan mempunyai tingkat stress yang sedang
3. Pekerjaan mempunyai tingkat stress yang tinggi
160
Tabel 4.16 Penilaian Kondisi Pengoperasian PesawatKONDISI PENGOPERASIAN
PESAWATNILAI BEBAN KERJA
WAKTU MENTAL STRESSWaktu Terbang (Phases of Time) :1. Hour Period - Morning (6:00 am -11:59 am) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Afternoon (12:00 pm - 17:59 pm) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Night (18:00 pm - 23:59 pm) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Early morning (0:00 am-5:59 am) 1 2 3 1 2 3 1 2 32. Week Period - Weekend (Saturday-Sunday) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Weekday (Monday-Friday) 1 2 3 1 2 3 1 2 33. Month Period - Peak season 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Non peak season 1 2 3 1 2 3 1 2 3Fase Terbang (flight phase) :1. Preflight Planning - Takeoff 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Climb 1 2 3 1 2 3 1 2 32. Transition to Cruise - Cruise 1 2 3 1 2 3 1 2 33. In-Flight Planning - Descent 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Approach 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Landing 1 2 3 1 2 3 1 2 3Lokasi (Location/Terrain condition) :1. Plateau 1 2 3 1 2 3 1 2 32. Mountainous 1 2 3 1 2 3 1 2 33. Relatively flat 1 2 3 1 2 3 1 2 3Cuaca (Weather) :1. Wind (Windshear, Crosswind,
Tailwind)1 2 3 1 2 3 1 2 3
2. Visibility condition (heavy rain, fog, haze, smog, duststrom, sandstorm) 1 2 3 1 2 3 1 2 3
3. Pressure (MSLP or QFF) 1 2 3 1 2 3 1 2 34. Cloud (Cumulonimbus (Cb),
Towering Cumulus (Tcu)) 1 2 3 1 2 3 1 2 3
5. Temperature condition (high or low) 1 2 3 1 2 3 1 2 36. Ceiling 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Setelah skala akhir dibentuk, kemudian setiap kondisi pengoperasian
pesawat diberi nilai berdasarkan peringkat yang telah diberikan oleh masing-
masing pilot. Peringkat yang diberikan oleh pilot dan akan disesuaikan dengan
level pada nilai skala akhir yang terbentuk. Nilai skala akhir akan menunjukkan
beban kerja operator :
161
1. Beban kerja rendah (Lower Load) jika nilai skala akhir 0 – 40
2. Beban kerja (Medium) jika nilai skala akhir 41 – 60
3. Beban kerja tinggi (Over Load) jika nilai skala akhir 61 – 100
Hasil dari penilaian beban kerja berdasarkan skala akhir yang telah diperoleh
untuk responden 1 sampai responden 260 dapat dilihat pada Tabel 4.17 berikut
ini.
162
Tabel 4.17 Beban mental tiap-tiap pilot terhadap kondisi pengoperasian pesawatKONDISI
PENGOPERASIAN PESAWAT
RESPONDEN/PILOT KE-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Waktu Terbang 1. Hour Period
- Morning (6.00am-11.59am) 48.7 56.7 46.5 100 100 48.7 48.7 100 100 100 48.7 48.7 48.7 100 48.7 67.5 100 100 100 100 48.7 48.7 100 56.7 100 100 - Afternoon (12.00pm-17.59pm) 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 26.7 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 26.7 48.8 48.8 48.8 0 48.8 48.8 48.8 48.8
- Night (18.00pm-23.59pm) 28.2 91.3 100 100 100 58.5 100 100 100 100 28.2 65.1 65.1 28.2 65.1 100 65.1 91.3 100 100 73.8 58.5 73.8 100 100 58.5 - Early morning (00.00am-5.59am) 100 68.5 68.5 100 66 53.4 26.6 29 68.5 68.5 100 29 68.5 100 100 55.8 68.5 68.5 55.8 68.5 68.5 53.4 68.5 68.5 55.8 100
2. Week Period- Weekend 54.8 66.2 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 54.8 54.2 54.8 87.4 54.8 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 54.8 99.4 99.4 99.4 87.4- Weekday 15.1 51 51 51 15.1 51 51 51 51 51 15.1 15.1 51 15.1 51 42.5 51 8.5 51 51 51 51 51 51 42.5 15.13. Month Period- Peak Season 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 64.7 100 100 100 100- Non Peak Season 38.9 22.4 52.2 52.2 22.4 52.2 22.4 52.2 52.2 52.2 9.1 22.4 9.1 9.1 9.1 52.2 38.9 22.4 52.2 9.1 22.4 9.1 22.4 52.2 22.4 9.1Fase Terbang - Take Off 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 58.5 100 100 100 100- Climb 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 13.9 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 13.9 40 50- Cruise 0 0 5.9 48.7 16.1 48.7 0 0 48.7 0 0 0 0 0 0 16.1 16.1 16.1 48.7 5.9 0 5.9 0 0 48.7 0- Descent 59.3 59.3 59.3 59.3 22.3 59.3 50.9 59.3 59.3 59.3 62.1 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3- Approach 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100- Landing 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100Lokasi - Plateau 52.9 66.8 100 100 100 100 100 100 100 100 52.9 88.7 66.8 52.9 52.9 100 66.8 66.8 100 100 66.8 55.6 66.8 66.8 100 52.9- Mountainous 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 72.7 100 100 100 100- Relatively Flat 55.4 55.4 55.4 55.4 50.4 0 18.6 55.4 50.4 55.4 55.4 18.6 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 18.6 55.4 18.6 55.4 0 36.7 55.4Cuaca - Wind 100 100 100 100 66.3 66.3 100 100 66.3 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 66.3 100 100 100- Visibility Condition 100 100 100 100 69.8 69.8 100 69.8 100 100 100 60.7 100 100 100 100 100 100 100 100 100 69.8 100 100 100 100- Pressure 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0- Cloud 50.0 56.4 50.0 66.3 100 90.1 50.0 50.0 66.3 66.3 50.0 59.9 50.0 50.0 50.0 56.4 66.3 50.0 66.3 66.3 50.0 66.3 66.3 56.4 46.4 50.0- Temperature Condition 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11.4 0 0 0- Ceiling 62.4 62.4 65.1 62.4 65.1 65.1 62.4 62.4 65.1 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 14.8 62.4 65.1 62.4 65.1 62.4 62.4 47.6 62.4
163
(Lanjutan)KONDISI
PENGOPERASIAN PESAWAT
RESPONDEN/PILOT KE-
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
Waktu Terbang 1. Hour Period
- Morning (6.00am-11.59am) 100 100 100 61.2 49.9 100 39.2 49.9 29.9 49.9 100 49.9 0 49.9 71.7 0 10.7 20.0 49.9 49.9 78.2 10.7 89.5 89.5 71.7 100
- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 63.6 63.6 63.6 23.4 0 63.6 40.2 63.6 40.2 63.6 63.6 63.6 0 100 63.6 63.6 51.2 63.6 63.6 63.6 87.7 82.3 12.4 58.1 63.6 58.1
- Night (18.00pm-23.59pm) 85.8 85.8 56.4 85.8 35.9 100 48.9 100 0 48.9 78.3 48.9 13.0 48.9 85.8 48.9 78.3 48.9 56.4 48.9 100 70.7 48.9 56.4 63.2 85.8 - Early morning (00.00am-5.59am) 99.6 59.7 71.7 35.1 59.7 100 87.2 99.6 87.6 59.7 0 59.7 23.1 99.6 99.6 99.6 87.6 23.1 99.6 24.4 99.6 35.1 87.6 59.3 71.7 99.6
2. Week Period- Weekend 100 90.7 100 61.7 38.3 100 50.2 50.2 38.3 50.2 100 50.2 0 50.2 50.2 50.2 50.2 12 52.4 100 100 59.6 90.7 88.5 90.7 100- Weekday 52.5 16.8 52.5 52.5 52.5 56.2 35.8 52.5 0 52.5 52.5 52.5 0 52.5 63.7 52.5 52.5 52.5 56.2 0 100 0 52.5 52.5 63.7 67.43. Month Period- Peak Season 100 95.1 100 100 1.7 100 98.9 56.2 0 56.2 100 56.2 0 56.2 62.1 56.2 94.1 56.2 62.1 100 100 56.2 98.9 77.5 95.1 95.1- Non Peak Season 20.3 20.3 45.7 56.7 36.4 56.7 56.7 56.7 0 56.7 56.7 56.7 0 56.7 56.7 56.7 9.2 20.3 58.1 0 100 0 56.7 45.7 56.7 20.3Fase Terbang - Take Off 100 100 100 100 48.9 100 48.9 100 100 0 100 48.9 13 100 100 100 70.7 92.5 100 100 100 13 100 85.8 85.8 100- Climb 50 0 50 15.4 46.2 50 34.6 50 0 0 50 15.4 15.4 50 50 50 50 50 50 0 100 15.4 50 53.8 38.5 50- Cruise 0 0 20 20 49.9 29.9 0 49.9 0 49.9 0 20 0 49.9 49.9 0 0 49.9 49.9 0 49.9 0 29.9 29.9 49.9 20- Descent 49.9 34.1 49.9 49.9 5.6 49.9 49.9 49.9 0 49.9 34.1 15.8 0 49.9 49.9 0 15.8 49.9 49.9 0 49.9 0 39.7 15.8 44.4 49.9- Approach 99.2 99.2 99.2 99.2 46.9 52.1 64 99.2 53.3 53.3 53.3 53.3 18 99.2 99.2 0 53.3 100 99.2 99.2 88.3 53.3 100 53.3 64.8 64- Landing 100 100 100 100 52.6 100 100 100 100 6.1 100 84.7 52.6 100 100 100 100 95.4 100 89.3 100 100 100 95.4 100 100Lokasi - Plateau 68.6 100 100 68.6 0 59 59 51.3 47.7 51.3 51.3 51.3 0 51.3 51.3 11.1 51.3 60.8 51.3 0 92.3 47.7 59 68.6 68.6 68.6- Mountainous 100 100 100 100 77 100 62.9 48 48 48 100 48 12.7 100 62.9 100 100 60 100 100 100 97.1 88 88 100 62.9- Relatively Flat 58.1 0 58.1 58.1 45.5 58.1 98.9 58.1 11.5 58.1 0 19.8 0 58.1 67.2 0 7.2 19.8 58.1 0 89.9 11.5 12.6 19.8 58.1 58.1Cuaca - Wind 100 100 100 100 14.8 100 57.6 100 100 0 100 100 57.6 100 100 100 57.6 57.6 100 100 100 100 94.0 100 100 100- Visibility Condition 100 57.0 100 100 52.3 52.3 68.4 100 100 0 100 52.3 52.3 100 100 100 100 95.2 100 100 100 52.3 95.2 52.3 95.2 68.4- Pressure 0 0 0 0 48.0 39.9 48.0 48.0 0 0 0 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0 39.9 100 0 0 0 50.9 48.0 60.0 12.7- Cloud 50.6 66.8 66.8 55.3 100 100 66.8 50.6 50.6 50.6 50.6 100 16.2 100 62.2 100 100 50.6 66.8 50.6 100 50.6 100 100 100 100- Temperature Condition 0 0 0 0 52.6 46.5 52.6 52.6 52.6 52.6 0 52.6 13.1 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 0 52.6 52.6 46.5 52.6 23.7 13.1- Ceiling 17.3 12.0 53.6 53.6 53.6 36.3 53.6 53.6 0 53.6 53.6 17.3 17.3 53.6 68.8 100 53.6 65.7 53.6 68.8 53.6 53.6 8.5 8.8 29.4 53.6
164
(Lanjutan)KONDISI
PENGOPERASIAN PESAWAT
RESPONDEN/PILOT KE-
53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Waktu Terbang 1. Hour Period
- Morning (6.00am-11.59am) 83.9 100 93.5 100 48.8 48.8 93.5 93.5 100 100 17.1 48.8 64.9 0 83.9 93.5 70.8 83.9 0 48.8 17.1 17.1 48.8 31.7 48.8 93.5
- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 54.7 54.7 54.7 65.3 54.7 54.7 54.7 44.8 55.2 54.7 54.9 54.7 0 54.7 54.7 54.7 44.8 54.7 54.7 54.7 20.0 0 54.7 20.0 54.7 99.5
- Night (18.00pm-23.59pm) 87.7 71.8 100 100 50.7 50.7 87.7 87.7 87.7 59.5 23.9 50.7 50.7 50.7 15.1 87.7 62.9 47.4 50.7 50.7 15.1 71.8 50.7 15.1 50.7 78.9 - Early morning (00.00am-5.59am) 91.6 91.6 84.3 100 55.7 55.7 100 100 100 63 100 100 0 55.7 84.3 35.1 91.6 44.9 100 8.6 19.4 71.4 64 35.1 55.7 84.3
2. Week Period- Weekend 89.9 89.9 89.4 89.9 54.7 54.7 100 100 100 100 54.7 54.7 54.7 0 89.9 54.7 89.4 54.7 30.1 54.7 20 89.4 54.7 20 54.7 89.9- Weekday 52.1 41 52.1 52.1 52.1 52.1 54.8 58.4 54.8 61.1 13.8 52.1 0 0 52.1 52.1 91 52.1 52.1 52.1 11.1 52.1 52.1 58.4 52.1 52.13. Month Period- Peak Season 100 72.4 89.3 79.2 51.6 51.6 89.9 89.9 72.4 100 48.6 51.6 51.6 0 89.3 89.9 51.6 61.7 15.5 100 15.5 100 51.6 61.7 51.6 72.4- Non Peak Season 67.3 17 53.4 53.4 53.4 53.4 42.4 42.4 53.4 67.3 42.4 53.4 0 0 10.8 53.4 53.4 42.4 17 53.4 17 17 53.4 17 53.4 53.4Fase Terbang - Take Off 100 100 91.9 100 50.7 78.9 100 87.7 100 100 12.1 100 100 50.7 100 100 100 87.7 50.7 100 50.7 36.2 100 100 50.7 100- Climb 69.5 16.3 66.9 40.7 57 57 48.6 57 49.2 57 40.7 57 40.7 0 57 97.4 57 40.7 57 57 57 57 57 16.3 57 49.2- Cruise 38.3 38.3 48.8 17.1 48.8 48.8 42.3 31.7 17.1 6.5 23.7 0 0 0 17.1 71.5 0 31.7 48.8 48.8 48.8 17.1 48.8 0 38.3 6.5- Descent 55.8 13.9 46.5 53.4 53.4 53.4 66 46.5 53.4 13.9 100 53.4 46.5 0 68.5 55.8 0 13.9 53.4 53.4 53.4 53.4 53.4 13.9 53.4 39.5- Approach 62.2 62.2 53.7 62.2 56.9 56.9 100 56.9 53.7 62.2 97.1 97.1 97.1 0 97.1 97.1 97.1 56.9 56.9 97.1 56.9 97.1 97.1 65.1 56.9 97.1- Landing 98.3 98.3 98.3 98.3 59 92.3 98.3 98.3 98.3 90.6 98.3 98.3 98.3 59 98.3 98.3 98.3 98.3 59 98.3 59 98.3 98.3 98.3 59 100Lokasi- Plateau 66.9 66.9 66.9 50.7 50.7 50.7 62.7 40.9 55 50.7 45.2 100 83.7 0 100 55 50.7 50.7 50.7 50.7 50.7 100 50.7 50.7 50.7 62.7- Mountainous 100 100 100 63.3 50.9 50.9 96.2 87.6 100 100 54.7 100 100 50.9 100 100 63.3 59.6 100 50.9 63.3 100 100 96.2 50.9 100- Relatively Flat 59.4 59.4 62.3 96.5 59.4 59.4 28 62.3 25.1 21.6 11.2 59.4 7.7 0 28 55.9 62.3 0 0 59.4 59.4 25.1 59.4 28 59.4 25.1Cuaca - Wind 100 100 100 100 45.8 45.8 100 88.1 100 100 100 100 100 0 100 100 100 54.7 45.8 45.8 66.7 100 100 100 45.8 79.2- Visibility Condition 100 60.7 64.0 57.0 57.0 57.0 96.3 57.0 100 89.2 100 100 89.2 57.0 100 100 100 48.3 57.0 57.0 67.8 100 100 89.2 57.0 57.0- Pressure 43.6 50.9 50.9 47.7 50.9 50.9 54.7 14.3 50.9 36.7 100 50.9 50.9 0 14.3 100 100 36.7 50.9 50.9 50.9 50.9 50.9 36.7 50.9 14.3- Cloud 100 100 100 96.6 47.1 47.1 96.6 100 28.4 47.1 100 100 100 0 100 100 100 50.5 47.1 47.1 64.5 100 47.1 82.6 47.1 82.6- Temperature Condition 49.3 59.0 9.8 23.8 59.0 59.0 59.0 45.0 22.1 23.8 65.0 59.0 59.0 0 59.0 98.3 59.0 35.2 59.0 59.0 59.0 59.0 59.0 0 59.0 23.8- Ceiling 10.7 20.3 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 20.3 20.3 20.3 45.1 100 54.6 0 54.6 100 54.6 34.4 54.6 54.6 65.6 100 54.6 54.6 54.6 20.3
165
(Lanjutan)KONDISI
PENGOPERASIAN PESAWAT
RESPONDEN/PILOT KE-
79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104
Waktu Terbang 1. Hour Period
- Morning (6.00am-11.59am) 45.8 45.8 45.8 45.8 41.8 89.8 41.8 0 45.8 45.8 52.0 45.8 100 0 45.8 45.8 56.0 0 73.4 45.8 0 100 45.8 89.8 100 100
- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 100 56.4 0 50.0 100 93.6 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 0 0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 56.4 50.0 50.0
- Night (18.00pm-23.59pm) 51.5 100 51.5 51.5 17.4 100 65.9 0 65.9 34.1 94.7 51.5 0 51.5 51.5 51.5 17.4 51.5 51.5 65.9 51.5 100 51.5 90.9 100 94.7
- Early morning (00.00am-5.59am) 57 57 57 57 89 57 67.3 0 67.3 11 99.7 99.7 21.6 57 57 57 99.7 57 57 99.7 99.7 99.7 57 89.2 99.7 57
2. Week Period- Weekend 57.2 57.2 0 57.2 0 96.8 57.2 0 0 57.2 96.8 57.2 0 0 57.2 57.2 88.4 0 57.2 57.2 46.9 96.8 57.2 88.4 96.8 57.2- Weekday 47.4 47.4 0 47.4 47.4 100 47.4 0 0 47.4 89 47.4 100 0 47.4 47.4 47.4 0 7.9 47.4 0 47.4 47.4 13.4 47.4 47.43. Month Period- Peak Season 51.5 51.5 51.5 51.5 100 51.5 51.5 0 51.5 51.5 100 51.5 0 51.5 51.5 51.5 51.5 0 81.3 51.5 0 100 51.5 70.2 100 51.5- Non Peak Season 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5 0 0 45.5 92.3 45.5 0 0 45.5 45.5 45.5 0 45.5 45.5 0 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5Fase Terbang - Take Off 51.5 100 100 51.5 94.7 100 100 100 100 100 94.7 100 100 51.5 51.5 51.5 100 100 94.7 100 51.5 100 51.5 100 100 100- Climb 49.8 49.8 15.5 49.8 15.5 49.8 49.8 49.8 100 49.8 54.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8- Cruise 35.6 45.8 0 45.8 14.2 45.8 45.8 0 100 45.8 16.4 45.8 0 0 45.8 45.8 0 0 31.6 45.8 45.8 0 45.8 45.8 45.8 45.8- Descent 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 100 56.1 0 100 56.1 56.6 56.1 0 0 56.1 56.1 0 0 47.5 56.1 56.1 0 56.1 56.1 56.1 56.1- Approach 57.1 98.2 57.1 57.1 57.1 98.2 98.2 57.1 98.2 57.1 98.2 57.1 57.1 0 57.1 57.1 98.2 57.1 100 98.2 57.1 57.1 57.1 98.2 98.2 98.2- Landing 52.6 100 52.6 52.6 100 100 100 100 100 100 90.6 100 100 52.6 52.6 52.6 100 100 95.5 100 52.6 100 52.6 100 100 100Lokasi - Plateau 56.7 56.7 100 100 56.7 68 100 56.7 100 66.7 100 100 56.7 56.7 56.7 56.7 100 56.7 56.7 56.7 56.7 100 56.7 66.7 68 58.1- Mountainous 58.6 99 99 99 99 99 99 99 99 100 99 99 99 58.6 58.6 58.6 99 58.6 99 99 99 99 58.6 99 99 99- Relatively Flat 43.7 97 43.7 43.7 1.8 43.7 97 0 97 0.8 0 43.7 0 43.7 43.7 43.7 0 43.7 40 43.7 43.7 0 43.7 43.7 43.7 43.7Cuaca (Weather)- Wind 48.4 48.4 100 100 65.9 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 48.4 100 100 100 48.4 100 100 100- Visibility Condition 54.2 100 100 100 100 54.2 100 100 100 100 100 100 54.2 100 100 100 54.2 100 96.3 100 100 100 54.2 100 100 100- Pressure 58.6 58.6 58.6 58.6 99.0 58.6 99.0 0 58.6 58.6 58.6 58.6 0 58.6 99.0 99.0 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6- Cloud 47.4 100 47.4 100 66.0 100 100 100 100 100 100 100 47.4 47.4 100 100 100 47.4 47.4 100 47.4 100 47.4 100 100 100- Temperature Condition 52.6 52.6 52.6 52.6 68.2 52.6 100 0 100 40.8 52.6 52.6 0 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 0 52.6 52.6 52.6 0- Ceiling 56.0 56.0 56.0 56.0 56.0 56.0 68.0 56.0 100 0 56.0 100 0 56.0 56.0 56.0 56.0 56.0 56.0 56.0 66.8 56.0 56.0 56.0 56.0 0
(Lanjutan)
166
KONDISI PENGOPERASIAN PESAWAT
RESPONDEN/PILOT KE-105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130
Waktu Terbang 1. Hour Period
- Morning (6.00am-11.59am) 100 52.7 100 52.7 52.7 53.3 52.7 52.7 0 100 52.7 42.4 100 100 52.7 53.3 100 52.7 100 63.8 100 53.3 100 100 52.7 52.7 - Afternoon (12.00pm-17.59pm) 55.56 55.56 55.56 55.56 55.56 57.2 55.56 55.56 0 0 0 55.56 55.56 55.56 55.56 98.5 55.56 55.56 55.56 55.56 55.56 55.56 55.56 55.56 100 55.56 - Night (18.00pm-23.59pm) 51.8 51.8 51.8 51.8 14.8 88.4 51.8 51.8 100 23.2 51.8 58.4 58.4 100 11.6 3.2 0 51.8 100 51.8 51.8 51.8 51.8 51.8 51.8 51.8 - Early morning (00.00am-5.59am) 100 52.6 52.6 52.6 34.1 58.5 52.6 52.6 100 0 100 52.6 100 100 6.5 0 100 52.6 100 73.9 100 58.5 58.5 100 52.6 52.6
2. Week Period- Weekend 98.6 55.5 98.6 55.5 89.1 55.5 55.5 55.5 55.5 98.6 89.1 65 55.5 55.5 55.5 0 98.6 55.5 98.6 55.5 55.5 55.5 55.5 98.6 11.5 55.5- Weekday 50 50 50 50 50 50 50 50 0 100 0 50 8 50 50 0 50 50 50 50 50 50 50 50 5.9 503. Month Period- Peak Season 58.7 58.7 100 58.7 65.3 65.3 58.7 58.7 58.7 100 74.3 100 58.7 100 58.7 58.7 58.7 58.7 58.7 58.7 100 58.7 58.7 100 100 5- Non Peak Season 53.5 0 53.5 0 58.5 82.3 53.5 53.5 0 100 53.5 58.5 11.8 53.5 53.5 0 53.5 53.5 53.5 53.5 53.5 53.5 53.5 53.5 7.9 53.5Fase Terbang - Take Off 100 100 100 100 100 21.4 51.8 51.8 100 100 51.8 100 100 100 51.8 100 100 100 100 70 100 58.4 100 100 93.4 51.8- Climb 53.6 53.6 53.6 53.6 53.6 18.4 53.6 53.6 53.6 53.6 0 53.6 53.6 53.6 53.6 53.6 0 53.6 53.6 53.6 53.6 53.6 53.6 53.6 8.5 53.6- Cruise 52.7 52.7 52.7 52.7 20.1 53.3 52.7 52.7 0 0 0 0 0 0 52.7 10.3 52.7 52.7 0 52.7 0 52.7 0 52.7 9.8 52.7- Descent 57.6 57.6 57.6 57.6 57.6 21.5 57.6 57.6 0 57.6 0 0 0 57.6 57.6 57.6 0 57.6 0 57.6 0 57.6 0 57.6 8.5 57.6- Approach 62.4 62.4 62.4 100 100 25.5 62.4 62.4 62.4 100 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 100 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4- Landing 100 100 100 100 100 87.7 56.1 56.1 100 100 68.4 100 100 100 56.1 100 100 100 100 100 100 68.4 100 100 97.2 56.1Lokasi - Plateau 88.8 99 99 58.6 99 99 58.6 58.6 58.6 99 68.8 58.6 58.6 99 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 99 58.6 13.4 58.6- Mountainous 89.7 100 100 100 100 65.3 54.5 54.5 100 100 64.8 100 54.5 100 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 9.7 54.5- Relatively Flat 44.1 57.4 57.4 100 57.4 68.2 57.4 57.4 57.4 0 37.9 100 0 0 57.4 0 57.4 57.4 57.4 57.4 57.4 57.4 57.4 57.4 6.2 57.4Cuaca- Wind 100 100 100 100 100 100 55.2 55.2 100 100 88.4 70.0 100 100 55.2 100 100 100 100 70.0 100 58.4 100 100 96.8 58.4- Visibility Condition 100 100 100 100 100 20.9 57.8 57.8 100 100 60.9 100 100 100 57.8 100 100 57.8 100 57.8 57.8 57.8 100 100 7.3 57.8- Pressure 0 54.5 54.5 54.5 54.5 0 54.5 54.5 0 54.5 34.7 19.8 0 9.7 54.5 79.6 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 9.7 54.5- Cloud 99.2 99.2 99.2 99.2 99.2 43.8 55.1 55.1 99.2 99.2 55.1 99.2 55.1 99.2 55.1 45.4 99.2 55.1 99.2 66.0 99.2 54.3 99.2 99.2 100 55.1- Temperature Condition 0 0 56.1 0 56.1 68.4 56.1 56.1 100 56.1 35.7 0 0 56.1 56.1 47.2 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1- Ceiling 0 0 55.4 0 91.7 58.1 55.4 55.4 0 0 29.8 14.8 91.7 91.7 55.4 40.7 91.7 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 91.7 14.8 55.4
(Lanjutan)KONDISI RESPONDEN/PILOT KE-
167
PENGOPERASIAN PESAWAT
131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156
Waktu Terbang1. Hour Period
- Morning (6.00am-11.59am) 87.6 100 51.8 51.8 51.8 100 20.8 51.8 51.8 51.8 100 87.6 87.6 87.6 51.8 94.7 100 8.9 0 8.9 8.9 0 0 51.8 100 69.5
- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 52.6 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 23.3 56.1 56.1 56.1 23.3 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 23.3 56.1 10.4 10.4 56.1 100 56.1 56.1 56.1
- Night (18.00pm-23.59pm) 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 20.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 10.8 100 20.6 56.6 20.7 45.8 32.6 32.6 100 56.6 68.6 88.0 68.6
- Early morning (00.00am-5.59am) 89.3 100 57.1 100 57.1 100 20 57.1 100 57.1 95.5 89.3 89.3 89.3 100 89.3 20 20 84.8 35.2 35.2 100 57.1 35.2 89.3 67.8
2. Week Period- Weekend 88.9 99.5 53.7 99.5 53.7 53.7 20.2 53.7 53.7 53.7 88.9 53.2 53.2 53.7 99.5 63.8 53.7 10.5 0 0 0 99.5 0 53.7 89.4 63.8- Weekday 41.4 59.6 59.6 59.6 59.6 59.6 24.5 59.6 59.6 59.6 59.6 59.6 59.6 13.6 59.6 59.6 59.6 13.6 0 0 0 0 0 59.6 48.6 463. Month Period- Peak Season 92.7 100 59.3 100 59.3 59.3 22.3 59.3 59.3 59.3 59.3 62.1 59.3 59.3 59.3 89.9 89.9 13.8 59.3 0 0 100 0 89.9 92.7 69.5- Non Peak Season 45.6 50.7 50.7 50.7 50.7 50.7 15.3 50.7 50.7 50.7 45.2 45.2 50.7 50.7 50.7 45.2 50.7 9.8 0 0 0 0 0 50.7 50.7 50.7Fase Terbang - Take Off 88 100 100 100 68.6 100 88 56.6 100 56.6 88 88 56.6 88 100 88 100 10.8 100 22.8 22.8 100 56.6 100 56.6 68.6- Climb 45.7 52.3 52.3 52.3 52.3 52.3 17.1 52.3 52.3 52.3 52.3 17.1 52.3 52.3 52.3 40.9 100 11.4 52.3 11.4 11.4 52.3 52.3 52.3 52.3 52.3- Cruise 48.1 0 51.8 0 51.8 51.8 15.5 51.8 51.8 51.8 42.8 8.9 45.2 8.9 51.8 0 51.8 8.9 51.8 8.9 8.9 0 69.5 51.8 51.8 42.8- Descent 46.3 0 48.4 0 48.4 48.4 11 48.4 48.4 48.4 11 48.4 45.1 7.7 48.4 48.4 48.4 11 48.4 19.6 19.6 0 48.4 48.4 48.4 40.7- Approach 91.1 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 20.3 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 22.3 43.9 19.5 19.5 54.6 54.6 100 54.6 56.7- Landing 97.1 97.1 97.1 97.1 62.2 97.1 88.6 56.6 97.1 56.6 97.1 97.1 53.7 100 97.1 100 97.1 19.7 97.1 19.3 19.3 97.1 62.2 97.1 56.6 62.2Lokasi - Plateau 100 100 53.4 100 53.4 53.4 17 53.4 100 53.4 62.5 62.5 53.4 53.4 53.4 58.2 86.1 30.9 100 0 0 100 53.4 95.2 67.3 67.3- Mountainous 100 100 54.5 100 54.5 54.5 20.2 54.5 100 54.5 54.5 61.9 56.5 54.5 54.5 42.6 94.5 56.5 92.5 0 20.2 100 54.5 100 61.9 61.9- Relatively Flat 54.9 59.4 59.4 59.4 59.4 59.4 25 59.4 59.4 59.4 25 45.8 45.8 11.5 59.4 47.9 70.8 45.8 25 0 0 25 59.4 59.4 45.8 59.4Cuaca - Wind 100 100 100 100 65.5 100 56.9 54.8 100 54.8 89.3 100 91.4 97.9 100 100 100 31.9 100 54.8 54.8 100 54.8 100 65.5 65.5- Visibility Condition 100 46.6 100 100 46.6 46.6 11.9 46.6 46.6 46.6 46.6 86.2 86.2 86.2 100 46.6 86.2 79.1 95.2 46.6 46.6 95.2 65.3 100 51.4 65.3- Pressure 56.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 20.2 54.5 54.5 54.5 20.2 20.2 46.2 54.5 54.5 8.3 54.5 17.3 89.7 54.5 54.5 89.7 54.5 54.5 56.5 54.5- Cloud 98.2 98.2 98.2 98.2 98.2 98.2 54.4 56.2 98.2 56.2 88.9 98.2 88.9 88.9 98.2 88.9 56.2 20.6 29.1 56.2 56.2 100 56.2 98.2 98.2 63.7- Temperature Condition 53.7 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 22.5 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 10.8 0 56.6 56.6 10.8 100 56.6 56.6 0 56.6 56.6 53.7 56.6- Ceiling 53.8 100 52.1 52.1 52.1 52.1 17.7 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 9.5 52.1 9.5 52.1 52.1 52.1 0 52.1 52.1 52.1 43.9
(Lanjutan)KONDISI
PENGOPERASIAN RESPONDEN/PILOT KE-
157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182
168
PESAWATWaktu Terbang1. Hour Period
- Morning (6.00am-11.59am) 56.5 30.8 30.8 56.5 0 56.5 82.1 22.2 12.0 100 10.2 56.5 56.5 56.5 56.5 10.2 30.8 0 56.5 30.8 56.5 0 31.4 44.5 56.5 56.5
- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 54.2 18.0 62.2 18.0 18.0 54.2 0 0 8.5 54.2 9.5 54.2 18.0 54.2 54.2 9.5 54.2 0 54.2 54.2 54.2 0 45.7 45.7 54.2 54.2
- Night (18.00pm-23.59pm) 63.8 22.5 68.5 68.5 17.8 34.0 57.0 83.8 57.0 100 11.2 57.0 22.5 57.0 57.0 11.2 17.8 0 100 88.5 100 0 88.5 100 57.0 57.0
- Early morning (00.00am-5.59am) 29.5 18.8 66.3 100 99.5 29.5 100 8.6 100 100 10.2 56.1 66.8 56.1 56.1 18.8 79.6 0 100 100 100 0 89.3 100 56.1 100
2. Week Period- Weekend 54.7 42.8 42.8 54.7 0 60.1 54.7 0 54.7 100 11.9 54.7 54.7 54.7 54.7 0 54.7 0 54.7 54.7 54.7 0 14.8 54.7 54.7 0- Weekday 52 8.5 8.5 52 0 52 52 100 52 0 8.5 52 52 52 52 0 52 0 52 97.8 52 0 52 52 52 03. Month Period- Peak Season 84.6 100 100 100 49.2 96.2 100 0 100 100 43.2 49.2 96.2 49.2 49.2 7.9 100 0 100 49.2 49.2 0 49.2 49.2 49.2 0- Non Peak Season 57 60.7 0 57 0 12.4 0 96.3 57 0 12.4 57 57 57 57 12.4 67.8 0 57 96.3 57 0 57 57 57 0Fase Terbang - Take Off 95.3 63.8 63.8 100 57 45.7 95.3 22.5 95.3 95.3 57 100 100 95.3 57 57 17.8 34 95.3 63.8 95.3 57 57 100 95.3 95.3- Climb 57 80 80 89.2 0 57 57 64 57 0 47.7 57 57 57 57 0 21.6 57 57 57 57 0 57 57 57 0- Cruise 57 45.7 45.7 57 0 57 57 68.5 57 0 0 11.3 57 0 57 0 0 57 57 68.5 57 0 57 57 0 0- Descent 54.8 65.5 65.5 54.8 0 21.2 54.8 21.2 54.8 0 40.7 54.8 89.3 0 54.8 0 0 54.8 100 91.4 54.8 0 54.8 54.8 54.8 0- Approach 91.7 55.4 89.1 55.4 55.4 55.4 91.7 91.7 55.4 55.4 40.7 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 66.3 91.7 66.3 91.7 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4- Landing 98.2 100 100 65.7 63.9 100 98.2 55.4 98.2 98.2 65.7 100 91.5 98.2 57.1 57.1 98.2 65.7 98.2 65.7 98.2 98.2 57.1 57.1 98.2 98.2Lokasi - Plateau 87.4 100 100 100 44.8 10.5 44.8 10.5 44.8 100 11.8 44.8 55.5 100 44.8 0 44.8 44.8 100 55.5 44.8 0 76.7 44.8 44.8 44.8- Mountainous 100 10.7 10.7 100 67.1 44.8 100 92.6 44.8 100 5.4 100 44.8 100 44.8 34.2 100 44.8 100 77.8 100 44.8 79.7 44.8 44.8 100- Relatively Flat 19.5 49 49 56.2 19.5 7.2 56.2 70.2 56.2 0 12.3 56.2 56.2 56.2 56.2 0 19.5 56.2 56.2 100 100 0 0 56.2 56.2 0Cuaca - Wind 100 38.6 38.6 100 100 89.6 100 91.4 54.4 100 45.8 89.6 89.6 100 54.4 0 100 89.6 100 54.5 100 54.4 100 100 100 100- Visibility Condition 100 79.1 79.1 100 100 100 100 90.1 100 100 57.0 100 57.0 57.0 57.0 57.0 100 97.4 100 59.6 100 57.0 100 100 100 100- Pressure 44.8 72.5 72.5 52.2 5.2 10.7 52.5 52.5 52.5 0 5.4 52.5 52.5 0 52.5 0 0 52.5 52.5 100 52.5 52.5 100 100 52.5 52.5- Cloud 100 45.4 45.4 100 55.5 55.5 56.6 89.0 55.5 100 45.4 98.9 98.9 100 55.5 20.8 100 98.9 100 55.5 55.5 55.5 100 100 55.5 100- Temperature Condition 57.1 57.1 57.1 55.4 57.1 22.8 57.1 57.1 57.1 57.1 10.8 57.1 57.1 57.1 57.1 0 57.1 57.1 57.1 98.2 57.1 57.1 98.2 57.1 57.1 57.1- Ceiling 57.0 31.2 20.3 88.3 22.3 57.0 57.0 57.0 57.0 57.0 10.6 57.0 67.9 0 57.0 0 57.0 100 57.0 57.0 57.0 57.0 98.1 57.0 57.0 98.1
(Lanjutan)KONDISI
PENGOPERASIAN PESAWAT
RESPONDEN/PILOT KE-
183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208
169
Waktu Terbang 1. Hour Period
- Morning (6.00am-11.59am) 62.7 54.9 100 62.7 54.9 62.7 100 54.9 54.9 54.9 100 100 54.9 100 40.5 0 54.9 27.0 71.5 100 100 54.9 54.9 54.9 100 54.9
- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 17.5 52.0 52.0 52.0 52.0 52.0 0 52.0 52.0 52.0 52.0 0 52.0 52.0 39.6 39.6 52.0 22.5 52.0 52.0 5.0 52.0 52.0 22.5 52.0 52.0
- Night (18.00pm-23.59pm) 15.5 100 49.8 10.0 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 20.5 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 20.5 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 15.5 49.8 49.8
- Early morning (00.00am-5.59am) 65.4 100 100 53.8 100 53.8 50 50 50 50 88.5 100 50 100 100 88.5 50 19.2 50 65.4 50 50 50 84.6 53.8 50
2. Week Period- Weekend 52.9 100 100 66 100 52.9 100 47.4 47.4 47.4 86.9 100 47.4 100 0 0 47.4 18.9 47.4 100 100 47.4 47.4 47.4 66 47.4- Weekday 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 0 0 50 19.2 50 50 50 50 50 15.4 50 503. Month Period- Peak Season 99 55 99 100 99 55 55 55 55 55 54 55 55 99 0 0 55 17.7 55 65.9 54 55 55 88.2 99 55- Non Peak Season 17.5 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 0 0 54.2 21.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 17.5 54.2 54.2Fase Terbang - Take Off 100 100 100 87.5 100 54.8 100 49.8 49.8 100 100 100 49.8 100 100 49.8 67.3 20.5 67.3 100 100 49.8 100 95 100 49.8- Climb 56 56 0 56 56 45.5 56 56 56 56 45.2 56 56 0 0 0 56 22.5 56 56 10.5 56 56 56 56 56- Cruise 20 0 0 12.8 0 49.9 0 57.1 57.1 0 44.3 0 57.1 57.1 0 0 57.1 24.5 44.3 7.2 7.2 57.1 0 20 20 57.1- Descent 21.9 56.9 0 56.9 0 48.4 0 56.9 56.9 56.9 56.9 0 56.9 56.9 0 0 56.9 22.1 43.4 8.5 8.5 56.9 0 21.9 13.5 56.9- Approach 57 57 57 57 57 57 57 57 57 98.1 55.1 57 57 98.1 57 57 57 20.3 57 57 57 57 57 57 57 57- Landing 99.2 99.2 99.2 99.2 53.1 52.3 99.2 53.1 53.1 99.2 99.2 99.2 53.1 99.2 99.2 52.3 64 17.2 64 99.2 99.2 53.1 99.2 100 99.2 53.1Lokasi - Plateau 53.2 45.5 45.5 53.2 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5 78 100 45.5 100 45.5 45.5 45.5 12.7 53.2 67.5 92.3 45.5 45.5 78 53.2 45.5- Mountainous 51.1 51.1 51.1 57.8 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 100 51.1 51.1 51.1 57.8 51.1 23.7 51.1 68.1 93.3 51.1 51.1 82.9 57.8 51.1- Relatively Flat 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 5.9 0 49.2 20.6 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 14.7 49.2Cuaca - Wind 92.0 100 100 99.8 100 57.0 100 56.9 56.9 56.9 92.0 99.8 56.9 100 56.9 56.9 65.1 22.1 65.1 100 100 56.9 100 99.8 100 56.9- Visibility Condition 87.5 49.8 100 59.8 100 54.8 100 49.8 49.8 49.8 87.5 49.8 49.8 100 49.8 49.8 49.8 20.5 49.8 100 49.8 49.8 100 49.8 54.8 49.8- Pressure 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 23.7 57.8 51.1 51.1 51.1 51.1 17.0 82.9 51.1- Cloud 92.0 56.9 100 99.8 100 57.0 100 56.9 56.9 56.9 92.0 100 56.9 100 65.1 56.9 56.9 22.1 65.1 100 100 56.9 100 99.8 100 56.9- Temperature Condition 53.1 53.1 53.1 18.0 53.1 46.9 0 53.1 53.1 53.1 53.1 53.1 18.0 53.1 18.0 29.7 53.1 29.7 53.1 53.1 53.1 53.1 53.1 53.1 53.1 53.1- Ceiling 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 45.6 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 33.4 50.0 50.0 50.0 50.0 21.0 50.0 16.6 50.0 50.0 50.0 16.6 16.6 50.0
(Lanjutan)KONDISI
PENGOPERASIAN PESAWAT
RESPONDEN/PILOT KE-
209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234
Waktu Terbang
170
1. Hour Period - Morning (6.00am-11.59am) 57.1 100 57.1 57.1 36.7 57.1 57.1 49.1 25.9 49.1 50.3 73.1 94.4 100 57.1 59.5 57.1 12.4 62.7 57.1 76.1 59.5 62.7 20.4 94.4 49.1
- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 54.9 54.9 54.9 54.9 17.0 54.9 54.9 0 17.0 5.3 43.2 54.9 54.9 66.8 54.9 54.9 54.9 17.0 54.9 54.9 49.7 61.5 54.9 88.2 54.9 54.9
- Night (18.00pm-23.59pm) 52.9 52.9 52.9 52.9 16.3 52.9 52.9 57.8 57.8 65.7 73.0 65.7 95.1 95.1 82.3 88.1 95.1 52.9 52.9 52.9 52.9 95.1 52.9 66.0 65.7 52.9
- Early morning (00.00am-5.59am) 58.2 58.2 58.3 58.2 33.6 68.9 58.2 87.3 87.3 22.9 78.6 68.9 58.2 88.8 78.1 57.7 58.2 45.5 57.7 58.2 46.9 100 68.4 65.9 68.9 45.5
2. Week Period- Weekend 53.4 100 53.4 53.4 18.6 53.4 53.4 44.1 53.6 9.3 44.1 65 99.8 100 53.4 65 44.1 44.1 53.6 53.4 100 90.5 99.8 44.1 30.1 44.1- Weekday 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 57.6 45.1 99 34.6 56.6 56.6 67 46.2 55.5 45.1 56.6 56.6 56.6 45.1 34.6 56.6 45.1 22 56.63. Month Period- Peak Season 54.7 56.9 54.7 54.7 56.9 54.7 54.7 87.2 100 12.8 67.7 56.9 97.7 89.2 97.7 65.4 54.7 54.7 56.9 54.7 97.7 54.9 67.7 54.7 97.7 54.7- Non Peak Season 57.8 57.8 57.8 57.8 11.6 57.8 57.8 10.5 50.5 90.7 57.8 57.8 57.8 57.8 53.5 96.8 57.8 4.3 57.8 57.8 57.8 50.5 50.5 50.5 57.8 57.8Fase Terbang - Take Off 100 100 52.9 52.9 100 100 52.9 88.1 100 57.9 87.2 70.6 95.1 100 100 22.1 100 100 57.8 52.9 95.1 95.1 100 87.2 82.3 57.8- Climb 52.1 52.1 52.1 52.1 9.5 52.1 52.1 52.1 43.9 87.4 63 43.9 52.1 52.1 42.6 17.7 43.9 52.1 52.1 52.1 43.9 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1- Cruise 52.5 16.8 52.5 43.9 0 52.5 43.9 52.5 44.4 85.1 52.5 35.8 43.9 52.5 8.1 44.4 44.4 8.1 52.5 52.5 44.4 56.2 35.8 44.4 52.5 52.5- Descent 54.4 18.5 54.4 54.4 18.5 54.4 54.4 45 45 54.4 54.7 45 54.4 67.1 87.1 18.7 54.4 54.4 54.4 54.4 54.4 54.4 45.4 54.4 87.1 54.4- Approach 56.1 56.1 56.1 56.1 67.8 100 56.1 100 56.1 95.3 95.3 72.5 95.3 95.3 100 35.1 95.3 60.8 60.8 56.1 100 95.3 60.8 88.3 56.1 60.8- Landing 98.8 98.8 55.8 55.8 98.8 98.8 55.8 100 98.8 64.4 98.8 64.4 100 98.8 98.8 64.4 100 98.8 54.6 55.8 98.8 98.8 98.8 89.1 90.2 54.6Lokasi - Plateau 56.3 56.3 56.3 56.3 56.3 56.3 56.3 47.4 55.4 56.3 67.3 55.4 100 56.3 67.3 88.1 55.4 56.3 55.4 56.3 99.1 68.2 68.2 88.1 88.1 56.3- Mountainous 51.9 51.9 51.9 51.9 99 100 51.9 100 52.9 87.8 80.3 64.1 99 99 100 63.1 100 99 52.9 51.9 100 63.1 64.1 87.8 51.9 51.9- Relatively Flat 47.7 47.7 47.7 47.7 0 47.7 47.7 47.7 46 87.9 47.7 39 10.3 10.3 39 60.3 87.9 37.4 47.7 47.7 51.2 47.7 47.7 72 47.7 46Cuaca - Wind 100 100 48.0 48.0 100 100 48.0 100 51.2 59.2 79.1 59.2 96.9 100 100 100 51.2 48.0 51.2 48.0 96.9 96.9 100 88.8 10.4 48.0- Visibility Condition 48.7 48.7 48.7 48.7 83.0 100 48.7 100 100 65.7 95.3 48.7 95.3 87.7 87.7 19.1 100 100 53.4 48.7 100 100 100 87.7 48.7 53.4- Pressure 51.9 51.9 51.9 51.9 35.9 51.9 51.9 51.9 43.4 63.1 63.1 44.3 8.4 51.9 8.4 9.5 51.9 51.9 51.9 51.9 51.9 51.9 43.4 88.8 51.9 51.9- Cloud 100 100 47.8 47.8 81.6 47.8 47.8 66.2 53.2 60.7 81.6 60.7 81.6 100 53.2 53.2 94.5 94.5 53.2 47.8 100 60.7 94.5 81.6 60.7 47.8- Temperature Condition 55.8 55.8 55.8 55.8 0 55.8 55.8 55.8 55.8 55.8 55.8 46.2 11.8 55.8 11.8 55.8 55.8 55.8 55.8 55.8 55.8 55.8 44.0 55.8 55.8 55.8- Ceiling 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 49.2 44.4 83.6 60.8 60.8 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 18.6 56.1 56.1 83.6 83.6 56.1
(Lanjutan)KONDISI
PENGOPERASIAN PESAWAT
RESPONDEN/PILOT KE-
235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260
Waktu Terbang 1. Hour Period
171
- Morning (6.00am-11.59am)
58.1 10.7 58.1 58.1 100 74.6 87.4 70.8 58.1 86.5 75.8 12.8 11.9 0 58.1 99.1 58.1 48.4 48.4 86.5 47.5 12.8 86.5 71.7 0 87.2
- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 54.4 54.4 54.4 49.8 54.4 49.8 54.4 63.9 54.4 54.4 82.3 54.4 17.8 72.1 41.2 54.4 49.8 54.4 62.7 36.6 41.2 4.6 54.4 54.4 64.5 54.4
- Night (18.00pm-23.59pm) 55.7 45.9 55.7 45.9 55.7 57.1 87.1 57.3 55.7 75.9 87.1 45.9 32.1 87.1 68.5 55.7 45.9 100 57.3 55.7 44.5 55.7 68.5 75.9 66.2 9.7
- Early morning (00.00am-5.59am) 49.9 55.5 49.9 44.4 49.9 21.9 88.4 61.6 49.9 100 49.9 55.5 27.5 49.9 45.3 94.4 94.4 67.1 72.5 82.8 39.7 49.9 100 100 67 72.5
2. Week Period- Weekend 50 16.3 50 43.6 100 43.6 83.7 56.4 6.4 83.7 93.6 12.7 6.4 67.4 100 50 6.4 100 12.7 67.4 40.1 6.4 100 59.9 33.7 0- Weekday 50.6 16.2 50.6 50.6 62.2 46 50.6 50.6 4.6 39.1 72.3 4.6 16.2 0 50.6 50.6 4.6 50.6 55.3 34.5 39.1 0 50.6 39.1 34.5 90.83. Month Period- Peak Season 50.6 57.2 50.6 50.6 100 86.8 50.6 23.5 50.6 100 93.4 13.2 16.9 66.3 100 93.4 13.2 100 93.4 66.3 40.3 13.2 83.1 100 33.7 6.6- Non Peak Season 57 16.3 57 48.6 58.5 89 57 16.3 57 40.2 87.5 0 16.3 0 49.7 57 0 57 57 40.2 49.7 8.4 57 40.2 40.2 0Fase Terbang - Take Off 55.7 45.9 55.7 68.5 100 57.1 88.8 68.5 98.3 100 88.8 57.3 55.7 87.1 100 98.3 100 100 88.8 100 88.8 100 100 100 100 98.3- Climb 56.3 48.1 56.3 48.1 56.3 56.3 56.3 66.9 56.3 56.3 66.9 8.2 18.8 56.3 56.3 56.3 8.2 56.3 56.3 37.5 45.7 56.3 56.3 56.3 56.3 56.3- Cruise 53.4 7 53.4 46.4 7 7 13.9 7 7 0 26.6 0 13.9 16.4 39.5 7 0 7 53.4 39.5 0 7 39.5 7 0 0- Descent 54.4 7.3 54.4 45.8 26.2 8.5 15.8 54.4 54.4 54.4 54.4 8.5 15.8 15.8 54.4 8.5 0 54.4 64.8 38.6 47.1 8.5 54.4 54.4 38.6 0- Approach 56.3 18.8 56.3 66.9 71.1 56.3 56.3 56.3 56.3 100 95.8 12.4 56.3 56.3 100 56.3 56.3 100 60.5 56.3 45.7 60.5 56.3 100 85.2 48.1- Landing 55.3 55.2 55.3 68.1 87.1 100 87.1 87.1 55.3 99.9 76.3 55.2 87.2 87.1 99.9 100 99.9 99.9 99.9 99.9 87.1 99.9 99.9 99.9 99.9 100Lokasi- Plateau 53.5 53.5 53.5 53.5 58.7 53.5 53.5 94.9 100 82.3 100 13.1 32.3 82.3 100 53.5 53.5 100 53.5 33.7 41.7 53.5 82.3 82.3 82.3 53.5- Mountainous 57.3 56.1 57.3 64.5 98.8 100 57.3 64.5 64.5 98.8 98.8 56.1 52.7 91.6 98.8 57.3 100 98.8 98.8 34.3 46.1 56.1 57.3 98.8 98.8 100- Relatively Flat 50 43.6 50 43.6 22.6 50 50 50 50 50 6.4 0 0 50 6.4 50 6.4 50 40.1 33.7 40.1 50 50 50 67.4 6.4Cuaca - Wind 54.4 100 67.3 100 100 100 87.4 100 100 100 100 9.7 67.3 87.1 100 99.8 100 100 100 100 45.6 87.4 100 100 100 100- Visibility Condition 53.6 99.9 53.6 66.7 86.6 99.9 86.7 53.4 99.9 99.9 99.9 53.4 66.7 53.4 99.9 53.6 99.9 99.9 100 68.3 53.4 99.9 86.7 99.9 99.9 53.4- Pressure 57.3 52.7 57.3 57.3 47.3 13.0 57.3 57.3 57.3 0 57.3 0 64.5 57.3 0 57.3 57.3 0 100 34.3 47.3 57.3 57.3 0 68.6 13.0- Cloud 61.2 71.6 61.2 58.5 58.5 97.3 84.2 97.3 58.5 86.9 97.3 10.2 32.8 61.2 86.9 100 97.3 61.2 97.3 97.3 48.9 61.2 86.9 61.2 97.3 61.2- Temperature Condition 55.3 55.3 55.3 44.7 21.4 55.3 55.3 44.7 55.3 0 55.3 10.5 68.1 21.4 0 55.3 55.3 0 100 55.3 44.4 55.3 55.3 0 65.8 10.5- Ceiling 56.3 56.3 56.3 56.3 18.8 60.5 56.3 10.6 56.3 56.3 60.5 8.2 71.1 18.8 85.2 56.3 95.8 60.5 56.3 66.4 45.7 56.3 56.3 56.3 85.2 8.2
172
Untuk mengetahui kondisi mana yang paling terbebani, dapat dilihat pada
perhitungan mean dari setiap level pada faktor yang ada. Dan kondisi yang paling
terbebani terletak pada interaksi dari level tiap faktor dengan rata-rata (mean)
beban kerja mental (mental workload) yang paling besar.
Tabel 4.18 Kondisi Paling Terbebani
Kondisi Pengoperasian Pesawat Mean Beban Mental Pilot
Waktu Terbang (Phases of Time)1. Hour Period
- Morning (6.00am-11.59am) 59.70654 - Afternoon (12.00pm-17.59pm) 47.90692 - Night (18.00pm-23.59pm) 58.70192 - Early morning (00.00am-5.59am) 66.40692 *2. Week Period - Weekend 59.91346 * - Weekday 43.193853. Month Period - Peak Season 66.58885 * - Non Peak Season 41.05615Fase Terbang (Flight Phase) - Take Off 82.98923 - Climb 46.76846 - Cruise 28.21577 - Descent 41.22231 - Approach 69.55538 - Landing 86.80000 *Lokasi (Terrain Condition) - Plateau 63.27846 - Mountainous 75.72192 * - Relatively Flat 42.38154Weather - Wind 84.61731 * - Visibility Condition 79.45962 - Pressure 41.74923 - Cloud 74.28231 - Temperature Condition 41.82231 - Ceiling 50.94846
Pada Tabel 4.18, angka yang bertanda bintang (*) merupakan level dengan
beban terberat pada tiap-tiap dimensi. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan
bahwa kondisi yang paling terbebani oleh dimensi-dimensi tersebut adalah, untuk
dimensi waktu terbang (phases of time) beban mental pilot tertinggi pada saat
penerbangan apabila dilihat dari periode waktu (hour period) adalah penerbangan
173
yang dilakukan pada dini hari (early morning (00.00.am–05.59 am)), hal ini
dikarenakan secara alamiah manusia dilahirkan untuk menjadi makhluk siang
hari, artinya manusia bangun dan beraktifitas pada siang hari, dan beristirahat atau
tidur pada malam hari, kehidupan ini mengikuti suatu ritme kehidupan biologis
yang disebut dengan ritme circadian (circadian rhythm), ketika siklus/ritme
tersebut terganggu akibat dari perubahan jam kerja dimana tubuh yang seharusnya
berada pada fase istirahat/relaks dituntut untuk bekerja sehingga menyebabkan
hilangnya waktu istirahat (tidur), maka dampak buruk akan terjadi baik bersifat
fisik maupun psikis, yang hal ini dapat mempengaruhi beban kerja mental bagi
seorang pilot, sedangkan jika ditinjau dari periode hari/minggu (week period)
beban mental yang tertinggi terjadi apabila penerbangan dilakukan pada saat hari
libur atau weekend, sedangkan untuk periode musim/bulan (month period), beban
tertinggi terjadi pada saat peak season, hal ini dikarenakan dalam dunia
penerbangan dikenal siklus arus penumpang, yaitu musim padat penumpang (peak
season), yang biasa berlangsung selama liburan sekolah (pertengahan tahun-bulan
Juni/Juli), liburan akhir tahun (bulan Desember), liburan lebaran atau liburan
akhir pekan (long weekend).
Untuk dimensi fase terbang (flight phase) nilai beban kerja mental pilot akan
meningkat (level tertinggi) atau beban mental pilot tertinggi apabila dihadapkan
pada saat pesawat akan melakukan prosedur pendaratan (landing), hal ini
dikarenakan fakta bahwa fase landing adalah fase yang terjadi dekat dengan tanah
(near the ground) sehingga mengakibatkan resiko yang lebih besar dalam hal
keselamatan. Proses pendaratan pesawat atau landing adalah proses perpindahan
ruang dari satu area/dimensi ke area/dimensi yang lain, dalam hal ini adalah
perpindahan pesawat dari ruang area/dimensi angkasa yang bersifat tidak terbatas
ke ruang area/dimensi yang jauh lebih terbatas yakni didarat Selain itu pada tahap
ini juga banyak prosedur penggantian pengoperasian pesawat (aircraft
configuration) yang harus dilakukan oleh pilot. Tingkat kompleksitas berbagai
sistem yang harus dioperasikan oleh pilot akan mempengaruhi pula beban kerja
mental, sehingga kemungkinan terjadinya error dapat meningkat
174
Sementara itu untuk dimensi lokasi atau terrain condition pilot merasa
terbebani (beban mental tertinggi) jika dihadapkan pada kondisi pengoperasian
pesawat dengan kondisi permukaan daratan yang memiliki kontur pegunungan,
hal ini dikarenakan terdapat beberapa bahaya yang tidak ditemukan didataran
yang datar (flat) diantaranya adalah perubahan angin yang sangat tiba-tiba yang
menghasilkan severe updraft dan downdraft, awan dapat berkembang dengan
cepat sehingga menutupi jarak pandang, dan area datar untuk forced landing
(pendaratan darurat) yang tidak tersedia. Sedangkan jika ditinjau dari dimensi
cuaca (weather), kondisi yang paling terbebani atau beban kerja mental pilot akan
meningkat (level tertinggi) apabila pesawat menghadapi perubahan
kondisi/fenomena angin. Dalam dunia penerbangan fenomena perubahan arah dan
kecepatan angin didefinisikan sebagai wind shear. Wind shear dalam dunia
penerbangan dirasa sangat mengganggu baik dalam proses take off maupun
landing serta pada waktu mengudara, karena perubahan ini terjadi secara tiba-tiba
terutama bila mendapat arus balik yang semula mendapat angin dari muka
pesawat (head wind), dan dapat berubah 1800 secara tiba-tiba yang disertai dengan
perubahan kecepatan angin, hal ini semua dapat mempengaruhi beban kerja
mental bagi seorang pilot.
Setiap aktifitas atau pekerjaan akan memberikan beban kerja yang berupa
beban kerja fisik maupun beban kerja psikis. Beban kerja muncul karena
adanya interaksi antara operator (manusia) dan tugas yang diberikan. Dalam
melaksanakannya interaksi tersebut seringkali manusia merasakan gangguan
sebagai akibat dari faktor pembebanan yang dirasakan. Faktor pembebanan ini
dapat berupa fisik maupun psikis. Pada jenis aktifitas atau pekerjaan dengan
tingkat stres yang tinggi dan membutuhkan banyak konsentrasi dan perhatian
dalam hal ini pengoperasian pesawat terbang, maka beban kerja psikislah yang
paling dominan. Beban psikis yang yang terlampau tinggi akan menimbulkan
kebosanan dan kejenuhan yang disebut dengan kelelahan psikis (boredom),
yaitu suatu keadaan yang kompleks yang ditandai oleh oleh menurunnya
penggiatan pusat syaraf, yang disertai dengan munculnya perasaan-perasaan
175
kelelahan, keletihan, kelesuan dan berkurangnya tingkat kewaspadaan, dan hal
inilah yang harus jadi perhatian.
Berdasar analisa yang telah dilakukan, diketahui bahwa beban kerja mental
keseluruhan pilot dikategorikan dalam kategori beban kerja tinggi (overload),
dimana jika dijabarkan beban kerja mental pilot akan meningkat (level tertinggi)
apabila dihadapkan pada kondisi penerbangan dilakukan pada dini hari (early
morning (00.00am–05.59 am)), saat hari libur (weekend) dan memasuki periode
peak season, serta pada saat pesawat akan melakukan prosedur pendaratan
(landing), dan juga apabila terjadi perubahan kondisi angin (wind condition)
dalam penerbangannya, dan akan semakin bertambah beban kerja mental seorang
pilot jika dihadapkan pada kondisi pengoperasian pesawat dengan kondisi (route
condition) permukaan daratan yang memiliki kontur pegunungan (mountainious).
Beban kerja yang tinggi (overload) merupakan stresor penting dalam penerbangan
yang dapat memberikan dampak negatif bagi tingkat kelelahan (fatique). Seperti
diketahui bahwa salah satu penyebab utama kecelakaan pesawat terbang yang
disebabkan oleh manusia adalah stress dan kelelahan (fatique). Kelelahan bisa
disebabkan oleh sebab fisik ataupun tekanan mental (beban mental). Kelelahan
yang terjadi pada pilot diduga lebih banyak disebabkan oleh beban mental (mental
fatique), dan keadaanya diperberat oleh lingkungan kerja yang kekurangan
oksigen, dalam penelitian ini didapati bahwa beban mental pilot tergolong dalam
kategori tinggi (overload) dan dapat mempengaruhi tingkat kelelahan dari pilot itu
sendiri dan jika tidak dikendalikan dapat menjadi sumber terjadinya suatu
kecelakaan pesawat terbang.
176
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pengolahan data dan dilakukannya analisa, maka ada
beberapa kesimpulan yang dapat diambil untuk menjawab tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Model PLS dapat digunakan untuk menganalisa hubungan antara dua
kelompok atau lebih yang terdiri dari peubah-peubah laten dan peubah-peubah
manifes dan metode ini juga mampu untuk memberikan informasi secara
simultan mengenai koefisiesn lintas model pengukuran dan model struktural
dan tingkat hubungan antar peubah-peubah laten dan peubah-peubah manifes ,
sehingga perhitungan-perhitungan statistik dengan menggunakan metode PLS
menjadi lebih efektif dan efisien.
2. Berdasarkan nilai t statistic, maka hubngan yang signifikan pada alpha 5%
adalah phase of time terhadap performance, flight phase terhadap accident,
location terhadap performance, weather terhadap performance, dan weather
terhadap accident. Sedangkan, hubungan antara phase of time terhadap
accident, flight phase terhadap performance, location terhadap accident dan
performance terhadap accident, tidak signifikan pada alpha 5% karena nilai t
ststistic lebih kecil dari 2.0.
3. Nilai koefisien Kendall menentukan penskalaan yang akan dilakukan jika nilai
koefisien yang dihasilkan ≤ 0.75maka peneliti harus melakukan penskalaan
individu yaitu skala akan dilakukan berdasarkan skala masing-masing
operator, dan jika nilai koefisien Kendall yang dihasilkan ≥ 0.75 maka
dilakukan penskalaan kelompok/Group Scale maksudnya adalah bahwa
seluruh operator yang menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki
karakteristik yang sama. Hasil dari software SWAT pada penelitian ini
menghasilkan keseluruhan nilai koefisien Kendall memenuhi kriteria
penskalaan kelompok ≥ 0.75maka hasil yang diperoleh dari urutan kartu akan
diambil berdasarkan Kelompok /Group Scale.
177
4. Secara keseluruhan, tingkatan kepentingan relatif yang paling tinggi adalah
dimensi beban usaha waktu (time), maka semua subyek mempunyai
kesepakatan dan menganggap bahwa faktor beban waktu (time) merupakan
faktor yang paling penting dalam menentukan tingkatan beban kerja mental
pilot dalam melaksanakan operasional penerbangan.
5. Beban kerja mental pilot akan meningkat (level tertinggi) apabila dihadapkan
pada kondisi penerbangan dilakukan pada dini hari (early morning (00.00.am–
05.59 am)), saat hari libur (weekend) dan memasuki periode peak season, serta
pada saat pesawat akan melakukan prosedur pendaratan (landing), dan juga
apabila terjadi perubahan kondisi angin (wind condition) dalam
penerbangannya, dan akan semakin bertambah beban kerja mental seorang
pilot jika dihadapkan pada kondisi pengoperasian pesawat dengan kondisi
(route condition) permukaan daratan yang memiliki kontur pegunungan
(mountainious).
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka peneliti dapat memberikan saran
yang mungkin bisa bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Saran-saran dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1. Dalam penelitian untuk mengetahui beban kerja ini sebaiknya menggunakan
semacam fasilitas (flight simulator) yang mampu mensimulasikan keadaan
sebenarnya sehingga diharapkan hasil yang didapat akan mendekati
kenyataan.
2. Dalam penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian pengembangan
metode SWAT, terutama pada fase scale development perlu perhatian khusus
untuk menghasilkan data yang objektif.
3. Perlu dilakukan penelitian pengembangan dengan membandingkan dengan
data resmi kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia.
178
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, H.Y., (2007), Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Konsumen,
Citra Perusahan, Dan Loyalitas Konsumen Pada Perusahaan Jasa (Studi
Pada Jasa Penerbangan di Sulawesi Selatan), Disertasi, Pasca Sarjana
Universitas Brawijaya, Malang, Tidak Dipublikasikan.
Agung, I.G.N., (1992), Metode Penelitian Sosial, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Arikunto, S., (1993), Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Penerbit
Rineke Cipta, Jakarta.
Ayers Jr, M., Shirazi, M., Carvalho, R., Hall, J., Speir, R., Arambula, E., David,
R., Gadzinski, J., Caves, R., Wong, D., & Pitfield, D., (2012), Modeling The
Location and Consequences of Aircraft Accidents, Safety Science, (51) 178-
186.
Azwar, S., (2001), Reliabilitas dan Validitas, Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Batt, R., & O’Hare, D., (2005), Pilot Behaviors in the Face of Adverse Weather;
A New Look at an Old Problem, Aviation, Space and Environmental
Medicine, (76), 552-559. [on line]. Dari;
http://docserver.ingentaconnect.com/deliver/connect/asma/00956562/
v76n6/s6.pdf?
expires=1373254671&id=74788166&titleid=8218&accname=Guest+User&
checksum=0213A183C19E10301DFE13DE2AECACB1 > [8 Juli 2013].
Bazarqan, M., & Guzhva,V.S., (2011), Impact of Gender, Age and Experience of
Pilot on General Aviation Accidents, Collegue of Business, Embry-Riddle
Aeronautical University, United States, [on line]. Dari: http://ac.els-
cdn.com/S0001457510003672/1-s2.0-S0001457510003672-main.pdf? > [20
September 2012].
Besco, R.O., (1992), Analyzing Knowledge Deficiencies in Pilot Performance,
The International Journal of Aviation Psychology , 2 (1), 53-74. [on line].
Dari: http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1207/s15327108ijap0201_4 >
[20 April 2013].
179
Boeing, (2012), Statistical Summary of Commercial Jet Airplane Accidents
Worlwide Operation 1959 – 2011, Boeing, [on line]. Dari:
http://www.boeing.com/news/techissues/pdf/statsum.pdf > [20 September
2012].
Bohlander. S., (2007), Human Resources Management, Thomson South Western,
Philadephia.
Bollen, K.A., (1989), Structural Equation with Latent Variabels, John Wiley and
Sons.
Broach, D., Joseph, K.M., & Schroeder, D.J., (2003), Pilot Age and Accident
Rates Report 3: An Analysis of Profesional Air Transport Pilot Accident
Rates by Age, Civil Aeromedical Institute, Oklahoma, [on line]. Dari:
http://www.faa.gov/data_research/research/med_humanfacs/age60/media/
age60_3.pdf > [20 September 2012].
Burian, B.K., Orasanu, J., & Hitt, J., (2000), Weather-Related Decision Errors:
Differences Across Flight Type, Santa Monica, CA: Human Factors and
Ergonomics Society, Proceedings of the Human Factors and Ergonomics
Society Annual Meeting, (44) 22. [on line]. Dari:
http://pro.sagepub.com/content/44/1/22.refs.html, > [8 Juli 2013].
Bustamante, E.A., Fallon, C.K., Bliss, J.P., Bailet, W.R., & Anderson, B.L.,
(2005), Pilots’ Workload, Situation Awarness, and Trust During Weather
Events as a Function of Time Pressure, Role Assignment, Pilots’ Rank,
Weather Display and Weather System, International Journal of Applied
Aviation Studies, 5 (2).
Cardi, A., Di Mascio, P., Di Vito, M., & Pandolfi, C., (2012), Distribution of Air
Accidents Around Runways, Social and Behavioral Sciences , (53) 862-871.
[on line]. Dari: http://ac.els-cdn.com/S1877042812043972/1-s2.0-
S1877042812043972-main.pdf?_tid=5121d2b0-d6ef-11e2-a9b3-
00000aacb361&acdnat=1371433592_269bd23fff338a8e3aec3d2c4475c70a
> [28 Mei 2013]
Capobianco, G., & Lee, M.D., (2001), The Role of Weather in General Aviation
Accidents: An Analysis of Causes, Contributing Factors and Issues,
180
Human Factors and Ergonomics Society. [on line]. Dari:
http://pro.sagepub.com/content/45/2/190 > [12 Juni 2013].
Changchun, Z., & Dongdong, H., (2012), Research on Inducement to
Accident/Incident of Civil Aviation in Southwest of China Based on Grey
Incidence Analysis, Procedia Engineering, (45) 942-949.
Chin, W.W., (1998), Overview of The PLS Method, University of Houston.
Chin, W.W., (1998), The Partial Least Squares Approach to Structural Equal
Modeling. In: G.A. Mourcolides (Ed.). Modern Methods for Business
Research, Mahwah, NJ: Lawrence Elbaum Associatiates.
Chin, W.W., (2000), Partial Least Square for Reseracher: A Overview and
Presentation of Recent Advances Using The PLS Approach. [on line] Dari
http://discnt.cba.uh.edu/chin/indx/html > [12 November 2012].
Cohen, B.H., & Lea, R.B., (2004), Essential of Statistics for Social and
Behavioral Sciences, Hoboken, NJ: John wiley & sons, Inc.
Colorado Firecamp (2000), The Human Factors Analysis and Clasification System
(HFACS), The “Swiss Chesse” Model of Accident Causation. [on line] Dari:
http://www.coloradofirecamp.com/swiss-cheese/introduction.htm > [10
Oktober 2012].
Conway, G.A., Mode, N.A., Berman, M.D., Martin, S., & Hill, A., (2005), Flight
Safety in Alaska: Comparing Attitudes and Practices of High and Low
Risk Air Carriers, Aviation, Space, and Environmental Medicine, 76 (1).
Cooper, D.R., & Schindler, S.P., (2008), Business Research Methods – Tenth
Edition, McGraw-Hill Companies, Inc, New York.
Coyne, J.T., Baldwin, C.L., & Latorella, K.A., (2001), Pilot Weather Assessment:
Implications for Visual Flight Rule into Instrumen Meteorogical
Conditions, The International Journal of Aviation Psyhology, 18 (2), 153-
166.[online]Dari:http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/1050841080
1926756 > [20 April 2013].
Danim, S., (2000), Ilmu-Ilmu Perilaku, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
181
Davison, A. C., & Hinkley, D.V., (2003), Bootstrap Methods and Their
Application (2nd ed.), The Press of The Cambridge University, Cambridge,
United Kingdom.
Dessler, G., (1997), Manajemen Sumber Daya Manusia/Garry Dessler: alih
bahasa, Benyamin Molan: penyunting, Triyana Iskandarsyah. Ed.,
Prenhallindo, South Western.
De Mello, M.T., Esteves, A.M., Pires, M.L.N., Santos, D.C., Bittencourt, L.R.A,
Silva, R.S., & Tufik, S., (2008), Relationship Between Brazilian Airline
Pilot Errors and Time of Day, Brazilian Journal of Medical and Biological
Research, Brazil, [on line]. Dari: http://dx.doi.org/10.1590/S0100-
879X2008001200014 > [10 Oktober 2012].
DiDomenico, A.T., (2003), An Investigation on Subjective Assessments of
Workload and Postural Stability Under Conditions of Joint Mental and
Physical Demands, Dissertation, Blacksburg, Virginia Polytechnic Institute
and State University.
Ferdinand, A., (2000), Structural Equation Modeling. Dalam Penelitian
Manajemen, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
Ferdinand, A., (2002), Structural Equation Modeling dalam Penelitian
Manajemen: Aplikasi Model-model Rumit dalam Penelitian untuk Thesis S-2
dan Disertasi S-3, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Ferdinand, A., (2005), Structural Equation Modeling dalam Penelitian
Manajemen, Aplikasi Model-model Rumit dalam Penelitian Untuk Tesis
Magister Dan Disertasi Doktor, Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Fornell, C., & Larcker, D.F., (1981), Structural Equation Modelings with
Unobservable Variables and Measurements Error: Algeebra and Ststistics,
Journal of Marketing Research, 18 (3), 328-388.
Garthiwate, P.H. (1994), An Interpretation of Partial Least Aquare, Journal of
American Statistical Association, 89 (425), 112-127.
Gawron, V.J., (2008), Workload, and Situational Awareness Measures Handbook,
New York: Taylor dan Francis, inc.
182
Gefen, D., (2000), Structural Equation Modelling and Regression: Guidelines for
Research Practice, Comunications of AIS, 4 (7).
Ghiselli, E.e., John, P.C., & Sheldon, Z., (1981), Measurement Theory for The
Behavioral Sciences, W.H. Freeman and Co., New York.
Ghozali, I.,(2004), Structural Equation Modeling. Metode Alternatif dengan
Partial Least Square, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Ghozali, I., (2006), Structural Equation Modeling : Metode Alternatif Dengan
Partial Least Square, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Ghozali, I.,(2007), Model Persamaan Struktural, Konsep, dan Aplikasi dengan
Program AMOS Versi 16.0, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Ghozali, I., & Fuad, (2008), Structural Equation Modeling: Teori, Konsep, dan
Aplikasi Dengan Program Lisrel 8.80, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Ghozali, I, (2012), Structural Equation Modeling: Metode Alternatif Dengan
Partial Least Square (PLS), Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., & Donnely, J.H., (1992), Organisasi: Perilaku,
Struktur, Proses (terjemahan), Jilid I, Edisi 5, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Goh, J., & Wiegman, D., (2002), Human factors Analysis of Accidents Involving
Visual Flight Rules Flight into Adverse Weather, Aviation, Space, and
Environmental Medicine, (73), 817-822.
Goode, J.H., (2003), Are Pilots at Risk of Accident due to Fatigue, Journal of
Safety Research.
Grabowski, G.J., Curriero, F.C., Baker, S.P., & Li G, (2002), Exploratory Spatial
Analysis of Pilot Fatality Rates in General Aviation Crashes Using
Geographic Information Systems, American Journal of Epidemology. [on
line]. Dari: http://aje.oxfordjournals.org/content/155/5/398.full.pdf+html >
[8 Juli 2013].
183
Grabowski, G.J., Curriero, F.C., Baker, S.P., & Li G, (2002), Geographic Patterns
of Pilot Fatality Rates in Commuter and Air Taxi Crashes, Aviation, Space,
and Environmental Medicine, (73), 1014-1020.
Groenewegen, P & Hutten, J., (1991), “Workload and Job Satisfaction Among
General Practitioners: A Review of The Literature,” Social Science and
Medicine, 32 (5), 1111-1119.
Haenlein, M. & Kaplan, A.M, (2004), A Beginner’s Guide to Partial Least
Squares Analysis, Understanding Ststistics, 3(4), 283-297.
Hair, Jr., Anderson R.E., Tatham, R.L., & Black W.C., (1995), Multivariate Data
Analysis with Readings. 4th Edition, Prentice Hall, Inc, New Jersey.
Hair, Jr., Anderson R.E, Tatham, R.L, & Black W.C., (1998), Multivariate Data
Analysis. 5th Edition, Prentice Hall, Inc, New Jersey.
Hadi, S., (1993), Metedologi Research. Jilid III, Andi Offset, Yogyakarta.
Handoyo, S., & Sudibyo, D., (2010), Aviapedia Ensiklopedia Umum
Penerbangan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Hart, S.G. & Staveland, L.E. (1988), Development of NASA-TLX (Task Load
Index) Result of Empirical and Theoretical Research, Peter A Hancock dan
Najmedin Meshkati, Human Mental Workload, Elsevier Science Publishing
Company, INC, Netherlands, 139-183.
Hasan, I., (2002), Pokok-pokok Materi Metedologi Penelitian, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Henseler, J., Ringle, C.M., & Sinkovics, (2009), The Use of Partial Least Squares
Path Modelling in International Marketing, Advances In International
Marketing, (20), 277-319.
Hopkins, A., (2001), Was Three Mile Island a ‘Normal Accident’?, Journal of
Contingencies and Crisis Management, Blackwell Publishers Ltd., (9), 65-
72.
ICAO, (2001), Annex 13 Aircraft Accident and Incident Investigation – Ninth
Edition, International Civil Aviation Organization, Montreal, Canada.
ICAO, (2004), Annex 14 Aerodromes – Fourth Edition, International Civil
Aviation Organization, Montreal, Canada.
184
ICAO, (2006), Annex 1 Personnel Licensing – Tenth Edition, International Civil
Aviation Organization, Montreal, Canada.
ICAO, (2006), Phase of Flight Definitions and Usage Notes Version 1.0.1,
International Civil Aviation Organization, Montreal, Canada.
ICAO, (2008a), Doc 9859 Safety Management Manual – Second Edition,
International Civil Aviation Organization, Montreal, Canada.
ICAO, (2009a), Doc 9859 Safety Management Manual – Second Edition,
International Civil Aviation Organization, Montreal, Canada.
ICAO, (2009b), Safety Management, International Civil Aviation Organization,
Montreal, Canada.
Jarboe, M.J., (2005), U.S. Aviation Weather-Related Crashes and Fatalities in
2004, NOAA’s National Weather Service, United States. [on line]. Dari:
http://aviationweather.gov/general/pubs/front/docs/jun-05.pdf > [28 Mei
2013]
Jarvis, C.B., Mackenzie, S.B., & Podsakoff, P.M., (2003), A Critical Review of
Construct Indicators and Measurement Model Misspecification in Marketing
and Consumer Research, Journal of Consumer Research, 199-218.
Jex, S.M., (2002), Organizational Psychology: A Scientist Practitioner Approach,
John Wiley dan Sons, New York.
Johnson, R.B., (1973), Pairwise Nonmetric Multidimensional Scaling,
Psyhometrika, 38 (1).
Kahar, U., (1987), Psikologi Penerbangan dan Permasalahannya, Makalah,
Jakarta: Seminar Kesehatan Penerbangan TNI-AU, Tidak Dipublikasikan.
Kansil, C.L., (2006), Lingkungan Kerja, Stres dan Pengambilan Keputusan
Penerbang, Jurnal Manajemen Transportasi, STMT Trisakti, Jakarta, [on
line]. Dari: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/72068589.pdf > [3
Oktober 2012].
Kartawidjaja, O., (1988), Metoda Mengajar Geografi, Dirjen Dikti Depdikbud,
Jakarta.
185
Klem, L., (2000), Structural Equation Modeling. Dalam Reading and
Understanding More Multivariate Statistics. Edited by Grimm, Laurrence G
dan Pau R. Yarnold, American Psychological Association. Washington DC.
KNKT, (2012), Data Kecelakaan Transportasi Udara tahun 1988 – 2012, Komite
Nasional keselamatan Transportasi, Indonesia, Tidak Dipublikasikan.
Krantz, D.H., & Tversky, A., (1971), Conjoint-Measurement Analysis of
Composition Rules in Psychology, Psychological Review, 78 (2), 151-169.
Kristovics, A., Vermeulen, L., Wilson, J., & Martinussen, M., (2006), Gender
Issues on the Flight-Deck: An exploratory Analysis, International Journal of
Applied Aviation Studies.
Kruskal, J.B., (1965), Analysis of Factorial Experiment by Estimating Monotone
Transformations of the Data, Journal of Royal Statistical Society, (27), 251-
263.
Kuncoro, M., (2003), Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Lakitan, B., (1997), Dasar-dasar Klimatologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Latan, H., & Gudono., (2012), SEM – Structural Equation Modeling, Penerbit
BPFE, Yogyakarta.
Li, G., Baker, S.P., Grabowski, J.G., Qiang, Y., McCarthy, M., & Rebok, G.W.,
(2002), Age, Flight Experience, and Risk of Involvement in a Cohort of
Profesional Pilot, Johns hopkins Bloomberg School of Public Health,
United States.
Li, G., & Kearney, P.J., (2000), Geographic Variations in Crash Risk of General
Aviations and Air Taxis, Aviation, Space, and Environmenalt Medicine,
(71)19-21. [on line]. Dari:
http://aje.oxfordjournals.org/content/157/10/874.full.pdf+html?
sid=3c767372-9cfd-480a-9491-cbed65eb53b9 > [8 Juli 2013]
Li, G., Rebok, G.W., Qiang, Y., & Baker, S.P., (2009), Geographic Region,
Weather, Pilot Age, and Air Carrier Crashes: a case-control study, Aviation,
Space, and Environmental Medicine.
186
Li, G., Grabowski, J.G., Baker, S.P., & Rebok, G.W., (2006), Pilot Error in Air
Carrier Accidents: Does Age Matter?, Aviation, Space, and Environmental
Medicine, 77 (7).
MacKenzie, S.B., Podsakoff, P.M., & Jarvis, C.B., (2005), The Problem of
Measurement Model Misspecification in Behaviroral and Organizational
Research and Some Recommended Solutions, Journal of Applied
Psychology, 710-730.
Mangkunegara, A.P., (2001), Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan
(cetakan ke tiga), PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.
Mangkunegara, A.P., (2005), Evaluasi Kinerja SDM, PT. Refika Aditama,
Bandung.
Maming, J., (2011), Pengaruh Kualitas Layanan Orientasi Layanan, Strategi harga
Dampaknya Terhadap Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan jasa
Telekomunikasi di Makassar, Proposal Disertasi, Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Martono, H.K., 1987. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa,
Alumni, Bandung.
Maruyama, G.M., (1998), Basics of Structural Equation Modeling, Sage
Publication, California.
Morlok, E.K., (1985), Pengantar Teknik dan Perancanaan Transportasi, Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Mathis, R.L., & Jackson, J.H., (2006), Manajemen Sumber Daya Manusia, PT.
Salemba Emban Patria, Jakarta.
McFadden, K.L., (1997), Predicting Pilot Error Incidents of US Airline Pilots
Using Logistic Regression, Journal of Applied Ergonomics: Human
Factors in Technology and Society, 28 (3).
Michael, W.B., & Isaac, S., (1981), Handbook in Research and Evolution
(Second Edition), Edits Publishers, San Diego.
Naik, P., & Tsai, C.L., (2000), Partial Least Squares Estimator for Single-Index
Models, Journal. R. Statistics Social Behaviour, 62 (4), 763-771.
Nasution, A., (1996), Manajemen Transportasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.
187
Noyes, J., (2001), Designing for Humans, Taylor dan Francis, inc, New York.
NTSB, (2006), Annual Review of Aircraft Accident Data U.S. General Aviation,
Calender Year 2002, National Transport Safety Board, [on line]. Dari
http:/www.ntsb.gov/publictn/2006/ARG0602.pdf > [3 Oktober 2012].
Nugroho, A., (2006), Handling Accident and Incidents, Kertas Kerja Pada
Seminar Sehari di STPI, Curug. Tidak Dipublikasikan.
Pakan, W., (2008), Faktor Penyebab Kecelakaan Penerbangan Di Indonesia
Tahun 2000-2006, LIPI, Jakarta.
Pangestu, S., & Djarwanto, (1993), Statistik Deskriptif, BPPE, Yogyakarta.
Papacostas, C.S., & Prevedouros, P.D., (1993), Transportation Engineering and
Planning, Prentice Hall, Inc., New Jersey.
Pedhazur, E.J., (1982), Multiple Regresion in Behavioral Reserach, CDS College
Publishing, New York.
Poerwoko, F.D., (2011), Zero Accident, Angkasa, Kompas Gramedia, Jakarta.
Prawirosentono, (1999), Kebijakan Performan Kakitangan, Edisi 1, BPPE,
Yogyakarta.
Pruchnicki, S.A., Wu, L.J., & Belenky, G., (2010), An Exploration of The Utility
of Mathematical Modeling Predicting Fatique from Sleep/Wake History
and Circadian Phase Applied in Accident Analysis and Prevention: The
Crash of Comair Flight 5191, Accident Analysis and Prevention (43)
1056-1061.
Pulat, B.M., (1992), Fundamentals of Industrial Ergonomics, Englewood Cliffs,
Prentice Hall, Inc., New Jersey.
Rivai & Basri, (2004), Penilaian Kinerja Karyawan [on line]. Dari: http://jurnal-
sdm.blogspot.com. > [11 Januari 2013].
Reason, J., (1990), Human Error, CambridgeUniversity Press, UK.
Reid, G.B., (1989), Subjective Workload Assessment Technique (SWAT): A user’s
Guide (U), Amstrong Aerospace Medical Research Laboratory, Ohio.
Riduwan, (2004), Metode dan Teknik Menyusun Tesis, CV. Alfabeta, Bandung.
Rosekind, M.R., Graeber, R.C., Dinges, D.F., Connel, L.J., Rountree, M.S.,
Spinweber, C.L., & Gillen, K.A., (1994), Crew Factors in Flight Operation
188
IX: Effects of Planned Cockpit Rest on Crew Performance and Alertness in
Long-Haul Operations, NASA, United States. [on line]. Dari:
http://www.jetlog.com/fileadmin/downloads/NASA_TM_94_108839.pdf >
[10 Oktober 2012].
Rosekind, M.R., Gregory, K.B., & Mallis, M.M., (2006), Alertness Management
in Aviation Operations: Enhancing Performance and Sleep, Aviation,
Space, and Environmental Medicine, 77 (12).
Saleem, J.J., & Kleiner, B.M., (2005), The Effects of Nighttime and
Deteriorating Visual Condition on Pilot Performanve, Workload and
Situation Awareness in General Aviation for both VFR and IFR
Approaches, International Journal of Applied Aviation Studies , 5 (1).
Salim, H.A.A., (2000), Manajemen Transportasi, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Sambas, A.M., & Maman, A.M., (2007), Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur
Dalam Penelitian, Penerbit Pustaka Setia, Bandung.
Schvaneveldt, R.W., Beringer, D.B., & Lamonica, J.A., (2000), Priority and
Organization of Information Accessed by Pilot in Various Phases of Flight,
The International Journal of Aviation Psychology, 11 (3), 253-280. [on
line].Dari:http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1207/S15327108IJAP110
3_02 > [20 April 2013].
Sekaran, U., (2003), Research Methods for Business: A Skill Building Approach,
4th ed, New Jersey: John Wiley dan Sons., Inc.
Setijowarno, D., & Frazila, R.B., (2004), Pengantar Sistem Transportasi, Unika
Soegijapranata, Semarang.
Shappel, S.A., Detwiler, C., Holcomb, K., Hackworth C., Boquet, A., &
Wiegman, D.A., (2007), Human Error and Commercial Aviation Accidents:
An Analysis using The Human Factors Analysis and Classification System.
Shappel, S.A., & Wiegman, D.A., (2003), A Human Error Analysis of General
Aviation Controlled Flight Into Terrain Accidents Occuring Between 1990-
1998, U.S. Departement of Transportation, Federal Aviation Administration,
[online].Dari:http://www.dtic.mil/cgibin/GetTRDoc?
189
Location=U2&doc=GetTRDoc.pdf&AD=ADA417230 > [10 Oktober
2012].
Sharma, S., (1996), Applied Multivariate Techniques, John Wiley & Sons, Inc.,
Toronto.
Sheridan, T.B., & Simpson, R.W., (1979), Toward The Definition and
Measurement of The Mental Workload of Transport Pilots (FTL Report
R79-4), Cambridge, MA: Flight Transportation Laboratory.
Shrivastava, S., Sonpar, K., & Pazzaglia, F., (2009), Normal Accident Theory
versus High Reliability Theory: A resolution and call for an open systems
view of accidents, Human Relations, (62) 1357-1390.
Simamora, H., (1995), Manajemen Sumber Daya Manusia, STIE YKPN, Jakarta.
Simanjuntak, P.J., (2005), Manajemen dan Evaluasi Kinerja, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Singarimbun, M., (1995), Metode Penelitian Survei, PT. Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta.
Singarimbun, M., & Effendi, S., (1989), Metode Penelitian Survei, PT. Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta.
Singarimbun, M., & Effendi, S., (1994), Metode Penelitian Survei, PT. Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta.
Sjafei, M., (2006), Introduksi Penyelidikan Faktor Manusia Sebagai Penyebab
Kecelakaan Pesawat Terbang, Jurnal Manajemen Transportasi, STMT
Trisakti, Jakarta.
Soetjipto, B.W., (1997), Mengukur Kinerja Bisnis Balanced Scorecard,
Usahawan, No 06, Tahun XXVI, Juni, hal 21-25, [on line]. Dari:
http://duniaesai.com/ekonomi/Eko32.htm > [ 20 Februari 2013].
Solimun, (2002), Multivariate Analysis, Structural Equation Modeling (SEM)
dengan LISREL dan AMOS, Penerbit Universitas Brawijaya, Malang.
Spector, P.E., (1997), Job Satisfaction, Thousan Oaks, CA: Sage Publications,
Inc.
190
Sudjono, I, (2009), Upaya Peningkatan Keselamatan Penerbangan Sipil Pada
Kondisi Pra Terbitnya Undang-Undang Penerbangan No 1 Tahun 2009,
Badan Litbang Kementerian Perhubungan, Jakarta.
Sugiyono, (2005), Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung.
Sugiyono, (2008), Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.
Sukajaya, C., Bisara, C.T., Rahardjo, B., & Dayaun, A.K, (2010), Pengertian dan
Istilah Penerbangan Sipil, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sukawaningtyas, M., (2007), Kelelahan Pilot dan Strategi Mengatasinya, Tesis
Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tidak
Dipublikasikan.
Sumaatmadja, N., (1988), Studi Geografi Pendekatan dan Analisa Keruangan,
Alumni, Bandung.
Suparmono, & Haryanto, O.J., (2005), Desain Proposal Penelitian Studi
Pemasaran, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Supranto, J., (1997), Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta.
Suprihanto. J., (2000), Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan. Edisi I,
Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Susetyadi, A., Masrifah, S., & Yuliawati, E., (2008), Pengkajian Kinerja Pilot
Dalam Menunjang Keselamatan Penerbangan, LIPI, Jakarta.
Surakhmad, W., (1994), Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung.
Swanson, J., Pearmain, D., & Loughead, K., (1992), Stated Preference Sample
Size, Proceeding PTRC Seminar-E, University of Manchester, United
Kingdom.
Tan, W.G., Chan, T., & Gable, G.G., (1999), A Structural Model of Software
Maintainer Effectiveness, Proc. 10th Australian Conference on Information
Systems, Quensland University of Technology, Australia.
Tantri, F., (2002), Motivasi Kerja Awak Pesawat, Disertasi, Program Doktor,
Universitas Negeri Jakarta, Jakarta. Tidak Dipublikasikan.
Tarigan, R., (2005), Ekonomi Regional; Terapan dan Aplikasi. Edisi Revisi, Bumi
Aksara, Jakarta.
191
Tarwaka, (2004), Ergonomi untuk Keselamatan Kesehatan Kerja dan
Produktivitas, Surakarta: UNIBA Press.
Telesca, L., & Lovallo, M., (2007), Non-random Components in Aircraft
Accidents Time Series. Physica A, 3 (81) 407-410.
Thompson, R., Barclay, D., & Higgins, C., (1995), The Partial Least Square
(PLS) Approach to Casual Modelling: Personal Computer Adoption and
Use an Ilustration, Technology Studies: Special Issue on Research
Methodology 2 (2), 285-309.
Tiabtiamrat, S., & Wiriyacosol, S., (2009), Hull Loss Accident Model For Narrow
Body Commercial Aircraft, Songklanakarin Journal of Science And
Technology, Thailand.[on line]. Dari: http://rdo.psu.ac.th/sjstweb/journal/32-
5/0125-3395-32-5-489-496.pdf > [20 Oktober 2012].
Tiabtiamrat, S., Wiriyacosol, S., & Niyomthai, N., (2009), Boeing 737
Commercial jet Aircraft Accident Analysis, Songklanakarin Journal of
Science And Technology, Thailand. [on line]. Dari:
http://kasetsartjournal.ku.ac.th/kuj_files/2010/A1006241047025528.pdf >
[20 Okteber 2012].
Triton, P.B., (2005), SPSS 13.0 Tarapan: Riset Statistik Parametik, Andi Offset,
Yogyakarta.
Tvaryanas, A.P., & MacPherson, G.D., (2009), Fatique in Pilots of Remotely
Piloted Aircraft Before and After Shift Work Adjusment, Aviation, Space,
and Environmental Medicine, 80 (5).
Utari, W., (2004), Loyalitas Pelanggan Pada Industri Jasa Penerbangan: Pengaruh
Kualitas Layanan, Perbaikan, dan Harga, Disertasi, Program Pasca Sarjana
Universitas Brawijaya, Malang. Tidak Dipublikasikan
Vail, G.J., & Ekman, L.G., (1986), Pilot Error Accidents: Male vs Female,
Applied Ergonomics, 17 (4) 297-303. [on line]. Dari:
http://kasetsartjournal.ku.ac.th/kuj_files/2010/A1006241047025528.pdf
> [20 Okteber 2012].
Valk, P.J.L, & Simons, M., (1997), Pros and Cons of Strategics Napping on Long
Haul Flights, Netherlands Aerospace Medical Centre, Netherlands. [on
192
line]. Dari: http://ftp.rta.nato.int/public/PubFulltext/AGARD/CP/AGARD-
CP-599/10SE2-05.pdf > [12 Okteber 2012].
Walpole, R.E., & Myers, R.H., (1995), Ilmu Peluang Untuk Insinyur dan
Ilmuwan, Edisi ke-4, Alih Bahasa oleh Sembiring, R.K., Penerbit ITB,
Bandung.
Wiegmann, D.A., Goh, J., & O’Hare, D., (2002), The Role of Situation
Assessment and Flight Experience in Pilots Decisions to Continue Visual
Flight Rules Flight into Adverse Weather, Human Factors and Ergonomics
Society, 44 (2), 189-197. [on line]. Dari;
http://hfs.sagepub.com/content/44/2/189.full.pdf+html > [8 Juli 2013].
Wenzhi, Z., & Weiwei, Y., (2008), The Simulation Algorithm Design of The
Safety Margin for An Aircraft Accident, International Conference on
Advanced Computer Control.
Wibisana, S., (2007), Berbagai Kisah Kecelakaan Tragis Pesawat Terbang,
PLANE CRASH, Media Pressindo, Yogyakarta.
Wignjosoebroto, S., & Zaini, P., (2007), Studi Aplikasi Ergonomi Kognitif Untuk
Beban Kerja Mental Pilot Dalam Pelaksanaan Prosedur Pengendalian
Pesawat Dengan Metode “SWAT”, [on line]. Dari:
http://www.its.ac.id/personal/files/pub/2824-m_sritomo-ie-Aplikasi
%20Ergonomi%20Kognitif%20-%20Sritomo%20W.Soebroto.pdf > [20
Oktober 2012].
Wijayanto, S.H., (2008), Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8
Konsep dan Tutorial, Penerbit Graha Ilmu,Yogyakarta.
Wijaya, T., (2009), Analisis SEM Menggunakan AMOS, Penerbit Universitas
Atma Jaya, Jakarta.
Wold, H., (1982), Partial Least Square, Encyclopedia of Statistical Sciences, Vol.
VI, John Wiley and Sons, New York.
Wong, D.K.Y., Pitfield, D.E., Caves, R.E., & Appleyard, A.J., (2006),
Quantifaying and Characteristing Aviation Accident Risk Factors,
Loughborough University, Loughborough. [on line]. Dari:
https://dspace.lboro.ac.uk/dspace-jspui/bitstream/2134/4042/1/Revised%20-
193
%20Quantifying%20and%20characterising%20aviation%20accident
%20risk%20factors.pdf > [10 Oktober 2012].
Yamin, S., & Kurniawan, H., (2011), Generasi Baru Mengolah Data Penelitian
dengan Partial Least Square Path Modeling, Penerbit Salemba Infotek,
Jakarta.
__________, Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 830.
__________, Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 20.
__________, (1997), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
__________, (2007), Pengkajian Pengaruh Human Factor Penyebab Kecelakaan
Penerbangan Sipil di Indonesia, Pusat Litbang Perhubungan Udara, Tidak
Dipublikasikan.
__________, (2008), Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Pedoman Analisis Beban Kerja Di Lingkungan Departemen Dalam
Negeri dan Pemerintah Daerah, [on line]. Dari:
http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/2008/02/20/peraturan-
mendagri-no-12-tahun-2008 > [1 Februari 2013].
__________, Petunjuk dan Pelaksana Teknis KNKT, Kementerian Perhubungan,
Tidak Dipublikasikan.
__________, (2003), Studi Evaluasi Kebijakan Keselamatan Penerbangan, Pusat
Litbang Perhubungan Udara, Tidak Dipublikasikan.
__________, (2006), Studi Evaluasi Tentang Kebijakan Keselamatan
Penerbangan, Pusat Litbang Perhubungan Udara, Tidak Dipublikasikan.
__________, (2009), Undang-Undang No.1 Tahun 2009, Tentang Penerbangan,
Kementerian Perhubungan.
http://adilkurnia.wordpress.com/2010/02/11/definisi-analisis-beban-kerja/ > [1
Maret 2013].
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04penilaian-kinerja-karyawandefinisi.html >
[1 Maret 2013].
http://naufal-indoflyer.blogspot.com/2009/11/bahaya-bahaya-yang-mengintai-
saat-take.html > [1 Maret 2013].
http://www.aviation-safety.net/database.html > [2 Oktober 2012].
194
http:/www.boeing.com/commercial/737family/index.html > [2 Oktober 2012].
http://www.boeing.com/news/techissues/pdf/statsum.pdf , statistical summary of
commercial jet airplane accidents worlwide operation 1959-2011, > [2
Oktober 2012]
http://www.b737org.uk/accidentreports.htm > [2 Okteber 2012].
http://www.planecrashinfo.com/cause.htm > [2 Oktober 2012].
http://skybrary.aer/index.php/ICAO SHELL MODEL > [20 Okteber 2012].
195
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
a. Nama Lengkap dan Gelar : Abadi Dwi Saputra, S.Si.T., M.Sc.
b. Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 3 Desember 1982
c. Pangkat/Golongan/jabatan : Penata /III.c/Fungsional Umum
d. Riwayat Pendidkan Tinggi :
Universitas dan Lokasi Gelar Tahun
Pendidikan Program Studi
Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia – Curug, Tangerang
Sarjana Sains Terapan (S.Si.T) 2001-2005
Teknik Penerbangan (Teknik Listrik Bandar Udara)
Universitas Gadjah Mada, Yogyakrta dan Karlstad University, Swedia
Master of Science (M.Sc) 2008-2010
Sistem dan Teknik Transportasi, dan Service Science
e. Karya Ilmiah/Penelitian :
No. Judul Tahun
1 Analisis Pembagian Beban Listrik UPS di Gedung Radar Bandar Udara Adisucipto-Yogyakarta(Tugas Akhir/Skripsi DIV-Teknik Penerbangan)
2005
2 Analysis of Train Passenger Responses on Provided ServiceCase study: PT. Kereta Api Indonesia and Statens Järnvägar (SJ) AB, Sweden(Tesis S2 Sistem dan Teknik Transportasi dan Service Science)
2010
3 Comparison of Passenger Services Between PT. Kereta Api Indonesia and Statens Järnvägar (SJ) AB, Sweden(Tulisan Ilmiah pada Jurnal T2M)
2010
4 Analysis of Train Passenger Responses on Provided ServiceCase study: PT. Kereta Api Indonesia and Statens Järnvägar (SJ) AB, Sweden(Tulisan Ilmiah pada Jurnal ECTS)
2010
196
f. Pertemuan Ilmiah dan Pelatihan Yang Dihadiri : :
Pertemuan Ilmiah dan Pelatihan Kota Tahun
Aviation Enforcement Course Jakarta 2006Pelatihan Dasar Teknik dan Investigasi Kecelakaan Kereta Api Jakarta 2006
Pelatihan Peran Public Relations dalam Diseminasi Informasi Sektor Perhubungan Jakarta 2006
Human Factors for Transport Safety Investigators Course Jakarta 2007
Airplanes 101 Course Program Jakarta 2007Boeing Safety Management Training Support Training Jakarta 2007Pelatihan Dasar-Dasar Teknik Investigasi dan Penelitian Kecelakaan Kapal Laut Jakarta 2007
Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Pegawai Negeri Sipil Golongan III Bogor 2007
English Course Grade Pre-IntermediateEF Jakarta Jakarta 2008
Transportation Accident and Serious Incident Investigation Course Jakarta 2008
Sarasehan dan pertemuan Tahunan Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi (FSTPT) Semarang 2010
Goods Dominant Logics and Service Dominant Logics Seminars Swedia 2010
Pendidikan dan Pelatihan membangun Karakter dan Kesemaptaan Kementerian Perhubungan Jakarta 2011
Underwater Search of Flight Recorders Course Singapura 2011Penyuluhan Penanganan Pertama Kecelakaan Transportasi Udara Jakarta 2011
Seminar on Indonesia readiness Towards ASEAN Open Sky Policy Challenge Jakarta 2011
Aircraft Accident Investigation Fundamentals Course Jakarta 2012Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV (Diklat Pim Tk. IV) Bogor 2012
g. Pengalaman Kerja : :
Instansi/Perusahaan Jabatan Tahun
Bandara Adisucipto-Yogyakarta Teknisi Jan – Mar2005
Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Kementerian Perhubungan
Koordinator PKT Udara/Fungsional
Umum
2006 – Sekarang
197