disertasi ugm hasil 1

319
Seminar Hasil 1 ANALISIS KINERJA DAN BEBAN KERJA PILOT DALAM KAITANNYA DENGAN KECELAKAAN PESAWAT TERBANG; Studi Kasus Penerbangan Sipil di Indonesia Diajukan Oleh : Abadi Dwi Saputra 12/341003/STK/00384 PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK

Upload: abadi1982

Post on 17-Jan-2017

1.662 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Disertasi ugm hasil 1

Seminar Hasil 1

ANALISIS KINERJA DAN

BEBAN KERJA PILOT DALAM KAITANNYA DENGAN

KECELAKAAN PESAWAT TERBANG;

Studi Kasus Penerbangan Sipil di Indonesia

Diajukan Oleh :

Abadi Dwi Saputra12/341003/STK/00384

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015

Page 2: Disertasi ugm hasil 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penemuan terbesar setelah alphabet (tulisan) yang telah mengubah dan

membawa kemajuan dalam kebudayaan dan kesejahteraan manusia adalah

penemuan peralatan transportasi, dimulai dengan berhasil diciptakannya sebuah

roda yang mendorong kemajuan alat angkut didarat, dilanjutkan dengan

penemuan kompas yang membuka kesempatan berlayar lebih jauh serta mesin uap

pada masa revolusi industri yang dipakai sebagai alat penggerak kendaraan

bermotor, kapal dan kereta api. Penemuan selanjutnya yang sangat mempengaruhi

sistem transportasi adalah dengan ditemukannya mesin turbin gas, yang kemudian

menjadi turbo jet yang digunakan pada pesawat terbang.

Kemajuan dan perkembangan alat pengangkutan (transportasi)

mengakibatkan tidak ada lagi titik-titik tujuan di muka bumi yang tidak dapat

dicapai oleh manusia, tidak ada lagi batasan dalam berat dan volume yang bisa

diangkut, manusia tidak membutuhkan waktu berhari-hari, berminggu-minggu

maupun berbulan-bulan dalam menempuh perjalanan untuk berpergian ketempat

yang dahulu dikatakan letaknya jauh dari tempat dia berdiam. Sebagaimana akibat

dari adanya kebutuhan pergerakan manusia dan barang, maka tumbuhlah tuntutan

untuk menyediakan sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya agar

pergerakan tersebut bisa berlangsung dengan kondisi aman, nyaman dan lancar

serta ekonomis dari segi waktu dan biaya.

Banyak ahli telah merumuskan dan mengemukakan pengertian transportasi.

Para ahli memiliki pandangannya masing-masing yang mempunyai perbedaan dan

persamaan antara yang satu dengan yang lainnya, Papacostas (1993) menguraikan

bahwa:

“Transportasi adalah suatu sistem yang memungkinkan orang atau barang

dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lain secara efisien dalam

setiap waktu untuk mendukung aktifitas yang diperlukan manusia. Dalam

transportasi ada dua unsur yang terpenting yaitu pemindahan/pergerakan

1

Page 3: Disertasi ugm hasil 1

(movement) dan secara fisik mengubah tempat dari barang (comodity) dan

penumpang ke tempat lain”.

Maksud dari definisi tersebut adalah pengangkutan/transportasi

memungkinkan orang (people) maupun barang (comodity) untuk dapat berpindah

dari satu tempat ke tempat lain (origin to destination) dengan tujuan untuk

memenuhi kebutuhan dan aktifitas yang diperlukan oleh manusia.

Sementara itu menurut Morlok (1985) tentang pengertian transportasi

mengungkapkan bahwa:

“Transportasi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi tidak hanya untuk

melakukan perjalanan, tetapi untuk mencapai tujuan lainnya, sehingga

transportasi merupakan kebutuhan yang diturunkan atau kebutuhan ikutan

yang timbul dari kebutuhan akan jasa atau barang”.

Selanjutnya, menurut Bowersox, seperti yang dikutip oleh Setijowarno

(2004) mengartikan bahwa:

“Transportasi adalah perpindahan barang atau penumpang dari suatu

lokasi ke lokasi lain, dengan produk yang digerakan atau dipindahkan ke

lokasi yang dibutuhkan atau diinginkan. Pada prinsipnya dalam

transportasi secara garis besar dibedakan atas transportasi darat, laut dan

udara. Selain itu sistem transportasi juga memiliki fungsi pokok sebagai

berikut:

1. Menggerakan obyek yang diangkut baik penumpang, hewan dan barang;

2. Melindungi obyek yang diangkut;

3. Mengendalikan kecepatan dan arah dari gerakan sehingga keamanan

perjalanan dapat terjamin.”

Ketiga definisi mengenai pengertian transportasi tersebut memperlihatkan

bahwa transportasi merupakan proses pemindahan, proses pergerakan, proses

pengangkutan objek (manusia atau barang) dari satu tempat ketempat lain dengan

menggunakan wahana yang digerakkan baik oleh manusia ataupun mesin untuk

menjamin lancarnya proses pemindahan sesuai dengan waktu yang diinginkan,

dimana ditempat lain ini objek (manusia atau barang) tersebut dapat lebih

bermanfaat dan dapat berguna untuk tujuan-tujuan tertentu. Transportasi

2

Page 4: Disertasi ugm hasil 1

digunakan untuk memudahkan manusia untuk melakukan aktivitas sehari-sehari

dan merupakan hal penting dan strategis serta mempengaruhi hampir semua aspek

kehidupan manusia. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

transportasi merupakan urat nadi perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia.

Aktivitas perkembangan transportasi di Indonesia yang terdiri dari berbagai matra

(transportasi darat, transportasi laut, transportasi udara, transportasi kereta api, dan

transportasi lainnya) semakin meningkat. Hal ini merupakan dampak dari aktivitas

perekonomian dan aktivitas sosial budaya dari masyarakat.

Seiring dengan peningkatan aktivitas transportasi secara nasional baik dalam

matra transportasi darat, laut, udara, dan perkeretaapian tersebut, maka tuntutan

akan peningkatan kualitas pelayanan, keamanan dan keselamatan transportasi juga

semakin dirasakan.

Menyadari pentingnya peranan transportasi maka penyelenggaraan

transportasi harus ditata sehingga menjadi suatu sistem transportasi nasional yang

handal secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang

seimbang dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan yang

selamat, aman, cepat, lancar, tertib, nyaman dan efisien. Dalam mewujudkan

transportasi yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, nyaman dan efisien maka

aspek keselamatan harus menjadi prioritas utama dalam transportasi, baik di darat,

laut maupun udara, karena indikator dari penyelenggaraan transportasi yang

berbasis keselamatan adalah apabila angka kecelakaan dapat ditekan serendah

mungkin. Namun pada kenyataannya aspek ini masih belum sepenuhnya

menunjukan kinerja yang baik.

Beberapa peristiwa kecelakaan transportasi seperti yang terjadi pada waktu

lalu dapat dijadikan contoh bahwa kendati telah memenuhi standar prosedur

keselamatan yang berlaku, namun kesalahan sekecil apapun dapat menimbulkan

ancaman bagi keselamatan transportasi. Kecelakaan seringkali menimbulkan

korban jiwa maupun kerugian material dan imaterial yang seringkali tidak sedikit

jumlahnya.

Kecelakaan transportasi baik itu transportasi darat, laut dan udara akan

selalu mendapat perhatian yang besar dari masyarakat luas, ini disebabkan karena

3

Page 5: Disertasi ugm hasil 1

sektor transportasi merupakan sektor yang mempunyai peran penting dalam

perekonomian suatu daerah/negara dan bersifat menghubungkan suatu daerah

dengan daerah lain, karenanya setiap terjadi kecelakaan pada moda ini secara

otomatis akan menarik perhatian masyarakat secara luas dan khususnya

kecelakaan pada sektor transportasi udara (kecelakaan pesawat terbang) lebih

menarik perhatian publik karena pesawat terbang sebagai salah satu dari moda

transportasi yang ada merupakan sarana perhubungan yang cepat, efisien, dan

nyaman sehingga merupakan pilihan yang paling tepat dalam kehidupan dunia

modern yang menuntut segala sesuatu serba cepat dan efisien. Pesawat terbang

mempunyai karakteristik antara lain mampu menempuh perjalanan untuk

mencapai tempat tujuan dalam waktu cepat, menggunakan serta melibatkan

teknologi tinggi dalam pengoperasiannya, tidak mengenal batas suatu daerah

maupun negara, dan yang paling utama adalah pesawat terbang memiliki tingkat

keamanan dan keselamatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan moda

transportasi lainnya (Martono, 1987).

Kegiatan penerbangan, baik dengan mengoperasikan pesawat terbang sipil

maupun pesawat terbang negara dapat menimbulkan resiko yang tidak diinginkan.

Berbagai resiko akibat kegiatan penerbangan dapat berupa gangguan sonic boom,

tabrakan pesawat, kecelakaan pesawat yang semuanya dapat menimbulkan

kerugian terhadap manusia dan benda di darat. Oleh karena itu terjadinya suatu

kecelakaan penerbangan seringkali menjadi sorotan publik meskipun probalilitas

terjadi kecelakaan persejuta penerbangan sangat kecil bila dibanding moda

tranportasi lainnya. Dalam angka kematian perjalanan per-juta kilometer (death

per million kilometer) moda angkutan udara mendapat indeks (0,05) bermakna

setiap perjalanan sejauh sepuluh juta kilometer terdapat lima orang meninggal,

bandingkan dengan indeks bus (0,4), kereta api (0,6), kapal (2,6), pejalan kaki

(54,2) dan sepeda motor (108,9). (Poerwoko, 2011).

Dalam dunia penerbangan dikenal 3 macam pengertian kecelakaan pesawat

terbang yakni kecelakaan (accident), kejadian serius (serious incident) dan

kejadian/insiden (incident). Accident adalah suatu peristiwa yang terjadi diluar

dugaan manusia yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat yang

4

Page 6: Disertasi ugm hasil 1

berlangsung sejak penumpang naik pesawat (boarding) dengan maksud

melakukan penerbangan sampai waktu semua penumpang turun dari pesawat

(debarkasi), dimana dalam peristiwa tersebut mengakibatkan orang meninggal

dunia atau luka parah baik secara langsung maupun tidak langsung atau pesawat

mengalami kerusakan-kerusakan struktural yang berat dan pesawat memerlukan

perbaikan yang besar atau pesawat hilang sama sekali. Sementara itu serious

incident adalah suatu “incident” yang menyangkut keadaan dan yang

mengindikasikan bahwa suatu “accident” nyaris terjadi. Perbedaan antara suatu

“accident” dengan suatu “serious incident” hanya terletak pada akibatnya.

Sedangkan incident adalah peristiwa yang terjadi selama penerbangan

berlangsung yang berhubungan dengan operasi pesawat yang dapat

membahayakan terhadap keselamatan penerbangan (ICAO-Annex 13, 2001).

Salah satu permasalahan yang menonjol di penerbangan adalah bila terjadi

frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat terbang yang meningkat. Meningkatnya

insiden dan kecelakaan dapat merupakan indikator bagi kesiapan operasional

penerbangan. Frekuensi kecelakaan pesawat terbang niaga/komersial di Indonesia

adalah rata-rata 9 kali pertahun, sedangkan di negara Asia lainnya hanya 3-4 kali

pertahun. Angka ini merupakan kesimpulan penelitian Lembaga Penerbangan

Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization), dan kecelakaan

yang dimaksud adalah kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan

fisik pesawat rusak serius (Wibisana, 2007). Hal ini menunjukkan betapa tinggi

angka kecelakaan pesawat terbang di Indonesia.

Sementara itu International Air Transport Association (IATA)

menyimpulkan tingkat keamanan penerbangan di Indonesia termasuk rendah,

yaitu sebesar 1,3 jauh dari angka ideal untuk keselamatan penerbangan ditetapkan

0,35. Keselamatan penerbangan Indonesia kalah jauh jika dibandingkan dengan

Negara lain. IATA memberikan angka 0,0 untuk standar keselamatan di Cina,

Amerika 0,2 dan Negara di Eropa 0,3, namun Indonesia masih lebih baik dari

rata-rata perusahaan penerbangan di Timur Tengah 3,8 dan Amerika Latin 2,6,

sementara rata-rata standar keselamatan internasional berkisar 0,6, semakin besar

angka standar keamanannya, maka semakin buruk standar keamanannya.

5

Page 7: Disertasi ugm hasil 1

Penelitian dilakukan terhadap operator penerbangan yang menjadi anggota IATA

(Wibisana, 2007).

Gaung kecelakaan sebuah pesawat terbang dimanapun terjadi, terutama yang

memakan korban (fatal accident), tidak dipengaruhi oleh banyak sedikitnya

jumlah korban yang jatuh. Setiap terjadi kecelakaan fatal, informasi akan

dipublikasikan secara cepat keseluruh dunia dan akan menambah daftar jumlah

kecelakaan dan penilaian yang buruk bagi negara tersebut dimata dunia.

Terjadinya suatu kecelakaan seringkali melibatkan berbagai faktor yang

mempengaruhi. Suatu kecelakaan tidak selalu serta merta terjadi tanpa adanya

peristiwa-peristiwa terdahulu yang mengarah pada terjadinya kecelakaan.

Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi secara bertahap namun masih dalam batas

toleransi tertentu. Suatu ketika akumulasi peristiwa tersebut dapat mengakibatkan

terjadinya kecelakaan karena telah melewati batas toleransi.

Kecelakaan pesawat terbang sesungguhnya berkaitan erat dengan

keselamatan terbang dan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab penerbang

seorang diri tetapi dipengaruhi oleh satu atau lebih gabungan dari tiga faktor

utama dalam penerbangan yaitu manusia, mesin dan media. Faktor manusia

meliputi kesiapan manusia yaitu kesiapan penerbang beserta awak lainnya. Faktor

mesin menunjuk pada pesawat terbang itu sendiri, sedangkan faktor media

meliputi gejala alam, yaitu keadaan cuaca, medan, ketinggian dan angin.

Lebih terperinci lagi, Kahar (1987) mengatakan bahwa untuk

mengantisipasi kecelakaan terbang perlu diperhatikan konsep 5M sebagai berikut:

1. Man, yaitu unsur manusia yang dalam hal ini adalah penerbang sebagai unsur

pokok;

2. Machine, yaitu mesin pesawat terbang;

3. Mission, yaitu penentuan tujuan penerbangan dengan berbagai macam resiko

yang mungkin dihadapi. Hal ini tergantung pula dari jenis perjanjian dan

perintah;

4. Medium, yaitu cuaca dalam penerbangan dan hambatan infrastruktur;

5. Management, yang mencakup, seleksi, pendidikan, latihan, perlengkapan

keamanan terbang, dan pengendalian opersional.

6

Page 8: Disertasi ugm hasil 1

Kelima komponen tersebut hampir tidak pernah berdiri sendiri melainkan saling

terkait.

Pada umumnya suatu kecelakaan pesawat terbang terjadi disebabkan oleh

beberapa faktor, dalam Safety Management Manual (SMM) yang diterbitkan oleh

International Civil Aviation Organization (ICAO) membagi faktor penyebab

kecelakaan pesawat terbang dalam 4 (empat) kelompok yaitu:

1. Faktor software yaitu : kebijakan, prosedur dan lain-lain

2. Faktor hardware yaitu : prasarana dan sarana

3. Faktor environment yaitu : lingkungan dan cuaca

4. Faktor liveware yaitu : manusia

Dari keempat faktor tersebut oleh FAA (Federal Aviation Administrations)

disimpulkan ada 3 (tiga) faktor penyebab utama kecelakaan pesawat terbang yaitu

faktor cuaca (weather), faktor pesawat yang digunakan (technical) dan faktor

manusia (human factor).

Transportasi udara terselenggara apabila ada interaksi antar faktor manusia

dengan faktor lainnya demikian pula dengan kecelakaan pesawat terbang terjadi

karena adanya interaksi antar faktor manusia dan faktor penyebab kecelakaan

lainnya. Interaksi antar faktor manusia dengan faktor-faktor lainnya dapat

digambarkan sebagai berikut:

1. Antar faktor manusia dengan faktor prasarana dan sarana penerbangan;

2. Faktor manusia dengan faktor software, yang dalam hal ini adalah

ketidakjelasan aturan, kebijakan dan SOP (Standard Operating Procedure)

dan lain-lain yang berhubungan dengan peraturan keselamatan penerbangan;

3. Faktor manusia dengan manusia, interaksi disini dipengaruhi oleh

kepemimpinan, kerjasama, budaya kerja dan lingkungan kerja juga dapat

menyebabkan kecelakaan pesawat terbang;

4. Faktor manusia dengan lingkungan, baik lingkungan dalam perusahaan

maupun luar perusahaan, lingkungan dalam perusahaan adalah kenyamanan

dalam bekerja sedangkan lingkungan diluar dimaksudkan adalah faktor alam

diantaranya kondisi cuaca, hujan, turbulance dan hal-hal lain yang dapat

menyebabkan kecelakaan pesawat terbang.

7

Page 9: Disertasi ugm hasil 1

Kemajuan industri penerbangan yang pesat dalam beberapa puluh tahun

terakhir ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat terbang

generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi berbagai peralatan

operasional termasuk prosedur-prosedur ATC (Air Traffic Controller). Hal ini

tidak dapat dipungkiri memberikan dampak pada operator, penerbang pada

khususnya, untuk lebih memperhatikan beberapa persyaratan kemampuan dan

keterampilan yang harus dipenuhi. Faktor manusia menjadi penting terutama

tuntutan pada aspek-aspek psikologis tertentu, mengingat kemajuan teknologi

memberikan dampak pada meningkatnya tuntutan terhadap kemampuan yang

berhubungan dengan kompleksitas kognitif. Perhatian terhadap aspek psikologi

faktor manusia menjadi penting, kegagalan padanya dapat menyebabkan

kecelakaan. Oleh karena itu, selama beberapa dekade belakangan ini berbagai

upaya terus dilakukan untuk mencegah berulangnya kecelakaan pesawat terbang.

Namun pada kenyataannya berbagai upaya tersebut tidak menurunkan angka

kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia (human error).

Dari berbagai laporan resmi penyelidikan tentang sebab-sebab kecelakaan

dapat digambarkan bahwa angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan

kesalahan manusia relatif tetap besar. Menurut FAA (Federal Aviation

Administration) terdapat tiga faktor penyebab kecelakaan yaitu faktor cuaca

(weather) sebesar 13,2 %, armada (pesawat) yang digunakan sebesar 27,1 % dan

hampir 66% dari keseluruhan kecelakaan (accidents) maupun insiden (incidents)

penerbangan disebabkan karena kesalahan manusia (human error) dalam

mengoperasikan sistem penerbangan itu sendiri (Susetyadi, et.al. 2008). Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Boeing dan ICAO selama tahun 1959 sampai

dengan tahun 2005 (Sudjono, 2009), seperti yang ditunjukan pada Tabel 1.1,

menemukan bahwa faktor manusia (human factor) merupakan penyebab terbesar

penyebab kecelakaan penerbangan.

NO Penyebab Boeing 1959-1979

Boeing 1980-1989

Boeing 1990-1999

ICAO 1994-1995

Boeing 1996-2005

1 Awak pesawat 75,6 72,5 67 62 552 Pesawat 11,1 10,8 11 14 17

8

Page 10: Disertasi ugm hasil 1

3 Perawatan 1,2 2,5 7 12 34 Cuaca 4,9 5 6 4 135 Bandar udara/ATC 3,7 5 4 4 56 Lain-lain 33 4,2 4 4 7

Tabel 1.1 Penyebab utama kecelakaan pesawat terbang (presentase)Sumber: Sudjono 2009

Demikian pula data yang diambil dari (www.planecrashinfo.com) pada

Tabel 1.2, menyebutkan dari statistik kecelakaan semua jenis pesawat komersial

seluruh dunia dari tahun 1950an hingga 2000an, kecelakaan rata-rata akibat awak

penerbangan (pilot error) mencapai 50 %, disusul faktor pesawat (mechanical

failure) 22 %, cuaca (weather) 12 %, sabotase 9 %, kesalahan manusia lainnya

(other human factor) 7 % dan lain-lain 1 %.

NO Penyebab 1950an 1960an 1970an 1980an 1990an 2000an rata-rata

1 Pilot Error 41 34 24 26 27 30 29

2 Pilot Error(weather related) 10 17 14 18 19 19 16

3 Pilot Error(mechanical related) 6 5 5 2 5 5 5

4 Total Pilot Error 57 56 43 46 51 54 50

5 Other Human Factor 2 9 9 6 9 5 7

6 Weather 16 9 14 14 10 8 12

7 Mechanical Failure 21 19 20 20 18 24 22

8 Sabotage 5 9 13 13 11 9 9

9 Other Cause 0 2 1 1 1 0 1

Tabel 1.2 Penyebab kecelakaan pesawat terbang di Dunia (persentase) Sumber: http://www.planecrashinfo.com/cause.htm

Hal yang sama tampaknya terjadi pula di penerbangan nasional, dicurigai

bahwa tingginya frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat terbang berhubungan

dengan sebab-sebab pada faktor manusia. Menurut data yang dihimpun oleh

KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) Kementerian Perhubungan

RI, selama kurun waktu 1988-2012 (per Agustus 2012) telah terjadi 914 kali

9

Page 11: Disertasi ugm hasil 1

insiden dan kecelakaan penerbangan sipil/komersial di tanah air. Di antaranya

terjadi 414 kecelakaan (serious incident dan accident), atau ± 17 kali terjadi

kecelakaan per tahun. Sedangkan jika diklasifikasikan kecelakaan pesawat terbang

berdasarkan penyebabnya pada Tabel 1.3, dari data tahun 2007 s/d Agustus 2012

ditemukan bahwa faktor penyebab kecelakaan dari aspek manusia (human factor)

kurang lebih sebesar 35,2% (45 kasus); faktor teknis (technical) sebesar 26,6%

(34 kasus), sisanya merupakan penyebab dari aspek lingkungan (environment)

sebesar 4% (5 kasus) dan hal-hal yang belum teridentifikasi secara jelas

(unidentified) sebesar 34,4% (44 kasus).

Tabel 1.3 Penyebab kecelakaan pesawat terbang di Indonesia (jumlah)

NO Tahun InvestigasiFaktor Penyebab Utama

Faktor Manusia Teknis Lingkungan Cuaca

1 2007 21 15 5 1 02 2008 21 6 12 3 03 2009 21 12 9 0 04 2010 18 9 8 1 05 2011* 32 3 0 0 0

6 2012 (10 Agustus 2012)* 15 0 0 0 0

Jumlah 128 45 34 5 0 Ket: * faktor penyebab masih diperkirakan, karena beberapa laporan final belum diselesaikan Sumber: KNKT

Dari data di atas, baik kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di dunia

maupun di Indonesia, faktor penyebab utama adalah faktor manusia (human

factor) sehingga konsekuensinya kesalahan faktor manusia selalu diletakkan pada

individu, dalam hal ini penerbang (pilot).

Hal ini tidak dapat dipungkiri karena secara tradisional, penyebab terjadinya

kecelakaan pesawat terbang sering diarahkan semata-mata karena kesalahan

penerbang hal ini dikarenakan selama operasi penerbangan melibatkan manusia

maka faktor ini tidak akan terlepas dari kemungkinan terjadinya kecelakaan. Bila

membatasi tanggung jawab hanya pada penerbang saja berarti membebaskan

orang lain atau faktor lain yang mungkin terlibat.

10

Page 12: Disertasi ugm hasil 1

Seperti diketahui lingkungan kerja penerbangan melibatkan teknologi yang

tinggi dan menyangkut sistem yang kompleks termasuk pengaturan/prosedur kerja

yang ketat. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penyebab kecelakaan pesawat

terbang tidak mungkin menjadi tanggung jawab penerbang saja. Hampir tidak ada

penyebab tunggal terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Mengapa

seorang penerbang melakukan tindakan tidak aman sehingga terjadi kecelakaan

perlu ditelusuri dan diselidiki lebih mendalam, terhadap kemungkinan-

kemungkinan faktor-faktor lain sebagai penyebab, baik yang berasal dari orang

lain di luar penerbang (pengawas, pemimpin, dan/atau rekan kerja) atau faktor

lingkungan fisik tempat kerja, dan manajemen/organisasi.

Manusia memiliki karakteristik yang unik. Manusia sebagai komponen

sistem atau sub-sistem meskipun mampu beradaptasi dengan baik, fleksibel,

adaptabel dan valuabel dari sistem penerbangan namun manusia tetap memiliki

keterbatasan, cenderung labil dan juga paling sensitif terhadap pengaruh yang

dapat berdampak pada kinerja. Kecelakaan penerbangan umumnya terjadi pada

masa-masa kritis dan di saat yang sama kinerja manusia sedang menurun.

Setidaknya berbagai publikasi tentang topik keselamatan penerbangan

menunjukan 3 dari 4 kecelakaan penerbangan dalam satu periode disebabkan

kurang optimalnya kinerja manusia, dan seringkali hal ini diistilahkan dengan

”pilot error”.

Disadari atau tidak penggunaan istilah ”pilot error” cenderung akan

membuat fakta-fakta pendukung terjadinya kecelakaan tetap tersembunyi yang

sebenarnya bila dikenali lebih awal dapat mencegah terjadinya kecelakaan.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki manusia, perlu optimasi kinerja dengan

cara mempelajari karakteristik manusia secara spesifik. Dalam ruang lingkup yang

lebih luas, peran organisasi penerbangan dan pihak berwenang ikut menentukan

kinerja personel yang bersentuhan langsung dengan operasi di lapangan. Untuk

memperkecil pengaruh manusia (pilot) dalam konteks terjadinya kecelakaan

pesawat terbang baik accident maupun incident, perlu dilakukan berbagai

perbaikan yang terkait sebab-sebab yang mempengaruhi kondisi pilot.

11

Page 13: Disertasi ugm hasil 1

Beberapa penelitian di bawah ini menunjukan keterkaitan hubungan antara

kecelakaan pesawat terbang dengan faktor manusia (human factor), baik yang

berasal dari dalam individu pilot itu sendiri (internal factor) diantaranya adalah

faktor usia, jenis kelamin, pengalaman/total jam terbang, tingkat kecerdasan dan

tingkat pendidikan maupun kondisi yang berasal dari luar (external factor)

diantaranya faktor cuaca, lokasi, fase terbang, tipe pesawat, dan kondisi terbang

yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang

diakibatkan oleh manusia.

Secara empiris hasil penelitian Vail, et.al. (1986); McFadden, et.al. (1997);

dan Bazargan (2011); menunjukkan bahwa kecelakaan pesawat terbang dapat

dipengaruhi oleh jenis kelamin dari seorang pilot.

Sementara itu hubungan antara pengaruh usia seorang pilot dengan

terjadinya kecelakaan pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh McFadden, et.al. (1997); Broach, et.al. (2003); Li, et.al. (2006); Rebok, et.al.

(2009); Bazargan (2011); dan Li, et.al. (2009); menunjukkan bahwa usia dari

seorang pilot juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan pesawat

terbang.

Demikian pula halnya dengan tingkat kecerdasaan dan

pendidikan/pengetahuan seorang pilot disinyalir memiliki hubungan yang

signifikan terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang, secara empiris

penelitian yang dilakukan oleh Wignjosoebroto dan Zaini, (2007); Besco, (1992);

dan Rosekind, et.al. (2006) menunjukkan keterkaitan hal tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh McFadden, et.al. (1997); Wignjosoebroto

dan Zaini, (2007); Bazargan, (2011); Conway, et.al. (2005); Capobianco dan

Lee, (2001); Burian, et.al. (2000); dan Bustamante, et.al. (2005) secara empiris

menunjukkan bahwa jam terbang (flight hours) dari seorang pilot juga dapat

mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang.

Sementara itu penelitian yang membahas pengaruh faktor luar (external

factor) yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang

telah dilakukan dalam penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya pengaruh

faktor cuaca, lokasi, fase terbang, tipe pesawat, dan kondisi terbang yang dapat

12

Page 14: Disertasi ugm hasil 1

mempengaruhi terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang diakibatkan oleh

manusia.

Hubungan antara pengaruh faktor cuaca didukung oleh penelitian yang

dailakukan oleh Saleem dan Kleiner, (2005); Wong, et.al. (2006); Jarboe,

(2005); Batt dan O’Hare, (2005); Coyne, et.al. (2001); Capobianco dan Lee,

(2001); Goh dan Wiegmann, (2002); Li, et.al. (2009); Wiegman, et.al. (2002);

Burian, et.al. (2000); dan Bustamante, et.al. (2005) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara keadaan cuaca terhadap terjadinya suatu

kecelakaan pesawat terbang, karena pesawat terbang merupakan moda yang

sangat bergantung pada keadaan cuaca, baik waktu tinggal landas/lepas landas

ataupun pada waktu pesawat di udara, sehingga kondisi cuaca sangat berpengaruh

terhadap pengoperasian penerbangan. Selain itu faktor kondisi pengoperasian

penerbangan (IMC or VFR) karena pengaruh cuaca yang dapat mengakibatkan

terjadinya kecelakaan juga telah dilakukan oleh Jarboe, (2005); Batt dan O’Hare,

(2005); dan Coyne, et.al. (2001) secara empiris menunjukkan bahwa

pengoperasian penerbangan (IMC or VFR) berpengaruh terhadap terjadinya

kecelakaan pesawat terbang.

Secara empiris hasil penelitian yang membahas pengaruh lokasi suatu

daerah terhadap kecelakaan pesawat terbang yang dilakukan oleh Shappell, et.al.

(2007); Rebok, et.al. (2009); Grabowski, et.al. (2002); Changchun dan

Dongdong, (2012); Li dan Kearney, (2000); Grabowski, et.al. (2002); Li, et.al.

(2009); dan Ayres, et.al. (2012) mengungkapakan bahwa faktor lokasi suatu

daerah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya suatu kecelakaan

pesawat terbang. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan permukaan ditiap-tiap

deerah sehingga memungkinkan pula terdapat perbedaan potensi kejadian

kecelakaan disuatu daerah yang satu dengan yang lain.

Sementara itu faktor waktu disinyalir juga memiliki hubungan terhadap

terjadinya kecelakaan pesawat terbang, hal ini dikemukakan oleh penelitian yang

dilakukan oleh Sungkawaningtyas, (2007); Mello, et.al. (2008); Rebok, et.al.

(2009); Rosekind, et.al. (2006); Goode, (2003); MacPherson dan Tvaryans,

13

Page 15: Disertasi ugm hasil 1

(2009); Pruchniki, et.al. (2010); Conway, et.al. (2005); dan Saleem dan Kleiner,

(2005).

Hubungan antara fase terbang (flight phase) dengan terjadinya kecelakaan

pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wignjosoebroto

dan Zaini, (2007); Schvaneveldt (2000); dan Tiabtiamrat, (2009) menunjukkan

bahwa kecelakaan pesawat terbang juga dipengaruhi dari fase terbang (flight

phase) suatu pesawat terbang, karena flight phase adalah tahapan terbang dari

suatu pesawat terbang dari tinggal landas sampai pada pendaratan berikutnya

sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan pada tahapan ini adalah cukup

besar.

Sementara itu hubungan antara tipe pesawat (type of aircraft) dan

kecelakaan pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Wignjosoebroto dan Zaini, (2007); dan Tiabtiamrat, (2009).

Berikut disampaikan tabulasi perbedaan antara penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya sebagaimana terdapat pada Tabel 1.4, khususnya dalam

penggunaan variabel pada model penelitian.

14

Page 16: Disertasi ugm hasil 1

NO Penelitian, Tahun

Faktor Internal Faktor Eksternal

Jenis Kelamin (Gender)

Usia (Age)

Jam Terbang (Flight Hours)

Tingkat Kecerdasan

(IQ)

Pendidikan/ Pengetahuan

Cuaca (Weather)

Lokasi (Location)

Organisasi (organization)

Waktu (time)

Tipe Pesawat (Type of Aircraft)

Fase Terbang

(flight phase)

Kondisi terbang (IMC or

VFR)1 Vail, et.al., (1986) √2 Mc fadden, et.al., (1997) √ √ √

3 Broach, et.al., (2003) √

4 Li, et.al., (2006) √

5 Sungkawaningtyas, (2007) √

6 Wignjosoebroto dan Zaini, (2007) √ √ √ √

7 Shappell, et.al., (2007) √ √

8 De Mello, et.al., (2008) √

9 Rebok, et.al., (2009) √ √ √

10 Bazargan, ( 2011) √ √ √

11 Tiabtiamrat, (2009) √ √

12 Grabowski, et.al., (2002) √

13 Changchun and Dongdong, (2012) √

14 Li and Kearney, (2000) √

15 Grabowski, et.al., (2002) √

16 Li, et.al., (2009) √ √ √

17 Ayres, et.al., (2012) √

Tabel 1.4 Penelitian terkait kecelakaan pesawat terbang

15

Page 17: Disertasi ugm hasil 1

NO Penelitian, Tahun

Faktor Internal Faktor Eksternal

Jenis Kelamin (Gender)

Usia (Age)

Jam Terbang (Flight Hours)

Tingkat Kecerdasan

(IQ)

Pendidikan/ Pengetahuan

Cuaca (Weather)

Lokasi (Location)

Organisasi (organization)

Waktu (time)

Tipe Pesawat (Type of Aircraft)

Fase Terbang

(flight phase)

Kondisi Terbang (IMC or

VFR)18 Besco, (1992) √19 Rosekind, et.al., (2006) √ √

20 Goode, (2003) √

21 MacPherson and Tvaryans, (2009) √

22 Pruchniki, et.al., (2010) √

23 Conway, et.al., (2005) √ √

24 Saleem and Kleiner, (2005) √ √

25 Wong, et.al., (2006) √

26 Jarboe, (2005) √ √

27 Batt and O’Hare, (2005) √ √

28 Coyne, et.al., (2001) √

29 Capobianco and Lee, (2001) √ √ √

30 Goh and Wiegmann, (2002) √

31 Wiegman and Goh, (2002) √

32 Burian, et.al., (2000) √ √

33 Bustamante, et.al., (2005) √ √

34 Cardi et.al. (2012) √ √

16

Page 18: Disertasi ugm hasil 1

35 Schvaneveldt (2000) √

Tabel 1.4 (Lanjutan)

17

Page 19: Disertasi ugm hasil 1

Berdasarkan tabulasi pada Tabel 1.4, diperoleh gambaran bahwa penelitian

ini merupakan hasil pemikiraan beberapa penelitian sebelumnya serta ingin

mencari celah penelitian (research gap) untuk dapat diangkat dalam penelitian ini,

sehingga diperoleh sebuah model yang memiliki keunikan dan karakteristik yang

berbeda dibanding model penelitian sebelumnya.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengisi celah penelitian (research gap)

sebelumnya sehingga dapat melengkapi dan meyempurnakannya, celah penelitian

(research gap) yang hendak diisi adalah, apabila penelitian sebelumnya sebagian

besar meneliti tentang hubungan antara berbagai faktor yang dapat

mempengaruhi manusia dalam hal ini pilot terhadap terjadinya kecelakaan, maka

pada penelitian ini selain membahas faktor-faktor yang dapat mengakibatkan

suatu kecelakaan secara langsung juga untuk menelitinya secara tidak langsung,

dalam hal ini akan melalui variabel antara (intervening or mediating variable)

yakni kinerja (performance) dan beban kerja (workload) terhadap terjadinya

kecelakaan pesawat terbang.

Fenomena ini kemudian menarik bagi peneliti untuk melihat dampak

hubungan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yakni antara pengaruh waktu

(phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather)

terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang secara langsung (direct effect)

dan juga pengaruhnya terhadap pilot itu sendiri dalam hal ini adalah pengaruh

terhadap kinerja (performance) dan beban kerja (workload) yang dapat

menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang (indirect effect).

Untuk menganalisis pengaruh waktu (phases of time), fase terbang (flight

phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap terjadinya kecelakaan

pesawat terbang dan juga pengaruhnya terhadap pilot itu sendiri dilakukan dengan

menggunakan analisis Structural Equation Modeling (SEM) berbasis varians

dengan pendekatan Partial Least Square (PLS) dan Subjective Workload

Assessment Technique (SWAT).

Model analisis SEM memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antar

variabel yang kompleks dan juga untuk memperoleh gambaran menyeluruh

mengenai keseluruhan suatu model (Fornell, 1981). Keunggulan Structural

17

Page 20: Disertasi ugm hasil 1

Equation Modeling (SEM) adalah dapat digunakan untuk menguji secara

bersama-sama: model struktural, hubungan antar konstruk independen dan

dependen; dan model measurement, hubungan (nilai loading) antara indikator

dengan konstruk (Bollen, 1989). Analisis Structural Equation Modeling (SEM)

memungkinkan pengujian model struktural dan pengukuran yang berfungsi untuk:

(1) menguji kesalahan pengukuran (measurement error); dan (2) melakukan

analisis faktor bersamaan dengan pengujian hipotesis.

Partial Least Square (PLS) adalah salah satu pendekatan untuk menganalisis

SEM. PLS adalah metode lunak atau soft model karena didalam PLS

pendugaannya tidak memerlukan asumsi lebaran (distrubution free) dari peubah

pengamatan dan ukuran dari contoh tidak harus besar, tetapi sedikitnya adalah

sepuluh kali dari jumlah peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian. Oleh

karena itu dengan tersedianya alat ukur PLS tersebut maka peneliti ingin

melakukan suatu penelitian tentang pengaruh waktu (phases of time), fase terbang

(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap kinerja

(performance) pilot dan terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang dianalisis

dengan menggunakan metode PLS. Metode PLS akan menganalisis faktor-faktor,

baik yang dihitung secara langsung maupun tak langsung terhadap terjadinya

kecelakaan pesawat terbang. Alasan-alasan lain dilakukannya penelitian ini adalah

belum banyaknya dari penelitian-penelitian yang menyangkut dengan kecelakaan

pesawat terbang yang dalam perhitungannya menggunakan metode PLS.

Sementara itu metode analisis SWAT digunakan untuk menganalisis

permasalahan beban kerja seperti apa yang sering dialami oleh pilot pesawat

terbang yang memiliki kaitan dengan kecendrungan kesalahan-kesalahan yang

dilakukan oleh manusia (human error) yang bisa menyebabkan terjadinya

kecelakaan pesawat terbang.

B. Perumusan Masalah

Dilihat dari kacamata peneliti penyebab kecelakaan pesawat terbang dapat

ditinjau dari berbagai aspek antara lain sisi manusianya, sistem organisasi,

teknologi dan lingkungan. Faktor manusia (human factor) menjadi penting

18

Page 21: Disertasi ugm hasil 1

untuk dikaji, karena berdasarkan data menurut FAA, selama ini penyebab

kecelakaan pesawat terbang di dunia terjadi akibat dari faktor manusia (human

factor) sebesar 66% hal ini dikarenakan sebagian besar operasi penerbangan

melibatkan faktor manusia. Manusia memiliki karakteristik yang unik.

Meskipun mampu beradaptasi dengan baik namun manusia memiliki

keterbatasan dan cendrung labil.

Pilot tidak hanya harus tahu bagaimana mengoperasikan pesawatnya, tapi

juga harus memperoleh gambaran yang akurat tentang lingkungan dimana

pesawatnya bergerak. Menghadapi hal ini bukanlah tugas yang sederhana bagi

pilot, mengingat kompleksitas sejumlah faktor yang harus diperhitungkannya

untuk membuat keputusan dan bertindak secara efektif, tugas pilot tidak

sesederhana sekedar mempersepsi data saja, tapi juga tergantung pada sejauhmana

ia memahami secara mendalam data-data yang signifikan dari lingkungan yang

didasarkan atas pengertian tentang bagaimana komponen dari lingkungan

berinteraksi dan berfungsi, dan selanjutnya mampu memprediksi kondisi sistem

ke depannya. Kesalahan jelas dapat menyebabkan dampak yang tidak diinginkan

yaitu kecelakaan pesawat terbang.

Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas di atas maka permasalahan

yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut: “apakah terdapat

pengaruh antara kejadian kecelakaan pesawat terbang terhadap waktu (phases

of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), cuaca (weather) dan juga

apakah terdapat hubungannya dengan kinerja (performance) dan beban kerja

(workload) pilot itu sendiri.”

Sebagai upaya mempertajam kajian di dalam penelitian ini diturunkan

beberapa pertanyaan penelitian yang lebih spesifik untuk dicarikan jawabannya,

adapun pertanyaan penelitian tersebut sebagai berikut:

1. Apakah periode waktu terbang (phases of time) berpengaruh positif dan

signifikan terhadap kinerja pilot (performance) ?

2. Apakah periode waktu terbang (phases of time) berpengaruh positif dan

signifikan terhadap kecelakaan pesawat terbang ?

19

Page 22: Disertasi ugm hasil 1

3. Apakah periode fase terbang (flight phase) berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kinerja pilot (performance) ?

4. Apakah periode fase terbang (flight phase) berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kecelakaan pesawat terbang ?

5. Apakah lokasi (location) terbang berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kinerja pilot (performance) ?

6. Apakah lokasi (location) berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kecelakaan pesawat terbang ?

7. Apakah kondisi (weather) cuaca berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kinerja pilot (performance) ?

8. Apakah kondisi cuaca (weather) berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kecelakaan pesawat terbang ?

9. Apakah kinerja pilot (performance) berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kecelakaan pesawat terbang ?

10. Kondisi yang bagaimana yang membebani pilot yang memiliki kaitan dengan

kecendrungan terjadinya kecelakaan pesawat terbang ?

11. Bagaimana kategori faktor-faktor beban kerja yang ada melalui tiga dimensi

pengukuran, yaitu Time Load, Mental Effort Load dan Psychological stress

Load ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan paparan dari beberapa buku referensi dan penelitian empiris

dari peneliti sebelumnya mengenai pengaruh manusia (human factor) dalam

terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang ditunjang dengan model-model dan

dilengkapi dengan teori-teori yang komprehensif untuk menunjang model dalam

penelitian ini, maka diharapkan model penelitian yang dibangun dapat menjawab

pertanyaan penelitian yang secara spesifik bertujuan:

1. Menguji dan menganalisis pengaruh waktu (phases of time), fase terbang

(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap terjadinya

kecelakaan pesawat terbang.

20

Page 23: Disertasi ugm hasil 1

2. Menguji dan menganalisis pengaruh waktu (phases of time), fase terbang

(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap kinerja

(performance) pilot.

3. Menguji dan menganalisis hubungan terbang ditinjau dari aspek waktu

(phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca

(weather) bagi pilot terhadap potensi terjadinya kecelakaan pesawat terbang.

4. Mengetahui besarnya nilai pengaruh langsung dan tidak langsung masing-

masing variabel prediktor terhadap variabel kecelakaan pesawat terbang.

5. Mengetahui kesesuaian model teoritis faktor waktu (phases of time), fase

terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap

terjadinya kecelakaan pesawat terbang dengan data empiris.

6. Menganalisis kondisi yang bagaimana yang membebani pilot yang memiliki

kaitan dengan kecendrungan terjadinya kecelakaan pesawat terbang.

7. Mengetahui kategori dari beban kerja yang dialami oleh pilot.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian dan sesuai dengan sifat penelitiannya, maka hasil penelitian ini

diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi

pengembangan ilmu pengetahuan mengenai permasalahan apakah terdapat

hubungan antara kecelakaan pesawat terbang ditinjau dari waktu (phases

of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), cuaca (weather) dan

juga apakah terdapat hubungannya dengan kinerja (performance) dan

beban kerja (workload) dari pilot.

b. Dapat memberikan model baru dalam menganalisis suatu kecelakaan

pesawat terbang yang diakibatkan oleh faktor manusia (human factor).

21

Page 24: Disertasi ugm hasil 1

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi yang positif bagi

penelitian lanjutan khususnya yang membahas mengenai pengaruh

manusia (pilot) dalam kecelakaan penerbangan sipil baik di dunia maupun

di Indonesia.

2. Manfaat praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu para manajemen (manager)

untuk dapat membangun komunikasi tentang apa saja permasalahan-

permasalahan yang terjadi di lapangan dalam hal ini yang terkait dengan

bidang pekerjaan pilot selaku frontliner dari sebuah perusahaan sehingga

dapat memberikan nilai yang optimal bagi perusahaan itu sendiri.

b. Informasi mengenai beban kerja dan kinerja pilot dapat digunakan

sebagai dasar keputusan yang lebih mendalam atau masukan dalam

aspek keselamatan dan keamanan operasional penerbangan baik yang

bersifat teknis maupun non teknis.

E. Cakupan Penelitian

Cakupan penelitian ini meliputi analisis mengenai pengaruh kecelakaan

pesawat terbang ditinjau dari waktu (phases of time), fase terbang (flight phase),

lokasi (location), cuaca (weather) dan juga apakah terdapat hubungannya dengan

kinerja (performance) dan beban kerja (workload) dari pilot dalam menunjang

keselamatan penerbangan. Adapun obyek dalam penelitian ini adalah pilot itu

sendiri selaku frontliner dalam dunia penerbangan, serta manajemen penerbangan

yang menaungi para pilot.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

penjelasan (explanatory research) karena tujuannya adalah untuk menjelaskan

hubungan kausal antar variabel dengan melakukan pengujian hipotesis mengenai

hubungan-hubungan sebab akibat antara variabel-variabel yang dibahas dalam

penelitian ini. Yang menjadi target populasi dalam penelitian ini adalah yang

merupakan pelaku utama yang terlibat dalam permasalahan yang dikaji dalam

penelitian ini adalah Pilot, dan Airlines atau perusahaan penerbangan, adapun area

22

Page 25: Disertasi ugm hasil 1

penelitian dilakukan di kota Jakarta mengingat bahwa banyak kantor pusat

perusahaan penerbangan berlokasi di Jakarta.

F. Batasan Penelitian

Melihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya dan banyaknya konsep,

model dan teori yang saling terkait dalam penelitian ini sehingga ada beberapa

variabel yang tidak dapat dimasukkan untuk diteliti dalam penelitian ini serta

adanya keterbatasan waktu, biaya, dan tenaga, sehingga disadari penelitian ini

mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang dapat muncul pada saat dilakukan

pengambilan data di lapangan yakni:

1. Responden dalam hal ini pilot dapat saja mempunyai respon yang berlebihan

terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner penelitian.

2. Penelitian ini dibatasi oleh pembatasan yang didasarkan oleh prediksi dari sisi

pandang, dan realibilitas konstruk penelitian.

3. Tidak memungkinkannya menyertakan seluruh kemungkinan yang dapat

membentuk konstruk penelitian, sehingga hanya variabel yang dianggap

dominan saja yang dapat disertakan dalam hal ini adalah aspek waktu (phases

of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).

4. Subyek-subyek didalam penelitian ini mungkin ada yang tidak dapat

dimengerti dengan presepsi yang sama oleh responden sesuai konstruk

pertanyaan kuisioner.

G. Keaslian Penelitian

1. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan studi literatur yang peneliti telusuri, peneliti menjumpai

penelitian yang serupa, Tabel 1.5, berikut ini adalah perbandingan bebarapa

penelitian yang terkait dengan kecelakaan pesawat terbang.

23

Page 26: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 1.5 Pemetaan hasil penelitian terdahuluNo Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan1 Grabowski et.al. (2002) Exploratory spatial of pilot

fatality rates in general aviation crashes using Geographic Information System

Menganalisis lokasi-lokasi yang paling rawan terjadinya kecelakaan

Data kecelakaan pesawat di Amerika dari tahun 1983 s/d 1998

- lokasi Geographic Information System

1. Dari 14.051 kecelakaan pesawat (general aviation), 31 % tergolong kecelakaan fatal

2. Dari hasil yang didapat dengan menggunakan GIS didapati bahwa sekitar 74 wilayah (geographic area) tergolong masuk wilayah memiliki tingkat yang rendah untuk terjadinya kecelakaan pesawat, sedangkan 53 wilayah masuk kategori wilayah yang berbahaya meliputi daerah pegunungan

2 Rebok et.al. (2009) Pilot age and error in air taxi crashes

Tujuan dari analisa ini adalah untuk menganalisis hubungan antara usia pilot dengan pola pilot error

Data diambil dari hasil investigasi NTSB antara tahun 1983-2002

- Usia- lokasi- waktu

Chi-square test

1. Dari data yang ada menunjukkan 28 % kecelakaan disebabkan oleh masalah mekanikal, 25% kehilangan kendali pada saat take off atau landing, 7% fuel starvation, 7% kondisi VFR, 28 % penyebab lainnya.

2. Hasil menunjukan bahwa pilot yang berusia tua lebih banyak mengalami kecelakaan pada waktu siang hari dibandingkan malam hari, dan lokasi kejadian lebih banyak terjadi di luar kawasan bandara dibandingkan dengan yang didalam bandara.

3 Changchun dan Dongdong, (2012)

Research on inducement to accident/incident of civil aviation in southwest of China based on grey

Mengetahui lokasi di China bagian tenggara yang paling rawan akan terjadinya kecelakaan

Data accident dan incident yang terjadi di China bagian tenggara

- lokasi Grey incident analysis

Dari hasil penelitian melalui metode analisis grey incident analysis didapat bahwa daerah Cina bagian tenggara yang mempunyai kontur dataran tinggi

24

Page 27: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 1.5 (lanjutan)

Tabel 1.5 (lanjutan)

Tabel 1.5 (lanjutan)

No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuanincidence analysis pesawat udara antara tahun 2001 –

2008banyaknya kecelakaan diakibatkan dari faktor manusia (crew) dan hewan dalam hal ini burung (bird strike)

4 Li dan Kearney, (2000) Geographic variations in crash risk of general aviation and air taxis

Mengetahui hubungan risiko kecelakaan dan kematian yang berkaitan dengan wilayah geografis

Data diambil dari data kecelakaan NTSB tahun 1992 – 1994

- lokasi Chi-square test

Dari hasil penelitian didapat bahwa tingkat kecelakaan 8,9 kecelakaan per 100.000 jam terbang dan wilayah Alaska dan daerah pegunungan di Nortwest memiliki tingkat kecelakaan yang paling fatal. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa meskipun jumlah penerbangan dikendalikan tetapi tingkat kecelakaan tetaplah tinggi di wilayah tersebut

5 Grabowski et.al. (2002) Geographic patterns of pilot fatality rates in commuter and air taxi crashes

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola geografi tingkat kematian pilot (pilot fatality rates) pada kecelakaan pesawat udara

Data diambil dari data kecelakaan NTSB di wilayah Amerika dari tahun 1983 – 1998

- lokasi Monte carlo simulations

Hasil penelitian menunjukkan :1. Dari hasil penelitian didapat bahwa

25% kecelakaan dari tahun 1983-1998 yang berjumlah 1.094 kecelakaan merupakaan kecelakaan fatal yang mengakibatkan kematian pilot

2. Kecelakaan pada daerah tinggi (mountainous) terjadi pada waktu malam hari dan pada saat kondisi terbang menggunakan metode IMC

6 Li et.al. (2009) Geographic region, weather, pilot age, and air carrier crashes: a case-control study

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara factor lokasi, kondisi cuaca dan usia pilot terhadap terjadinya kecelakaan pesawat

Data diambil dari data kecelakaan NTSB dari tahun 1983 – 2002

- lokasi (geographic region)

- cuaca- usia pilot

Logistic regression

Dari hasil penelitian didapat bahwa:1. kecelakaan pesawat udara didaerah

Alaska yang berhubungan dengan faktor lokasi, kondisi cuaca, usia dan jam terbang adalah memiliki risko 3 kali terjadinya kecelakaan pesawat dibandingkan dengan daerah lain.

25

Page 28: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 1.5 (lanjutan)

No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan2. Kondisi terbang dengan

menggunakan metode IMC juga meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan yang diakibatkan karena pilot error

3. Usia pilot dan total jam terbang tidak memliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya kecelakaan pesawat udara.

7 Ayres et.al. (2012) Modelling the location and consequences of aircraft accidents

Mengetahui resiko kecelakaan disekitar lokasi bandara

Data kecelakaan pesawat Boeing dari tahun 1959 – 2010

- lokasi Complementary Cumulative Probability Distribution (CCPD) models

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi kecelakaan pesawat didaerah bandara sering terjadi di ujung landasan (takeoff overruns dan landing undershoots) dari model yang dibangun juga dapat diketahui konsekuensi yang didapat pada kecelakaan di lokasi tersebut

8 Wignjosoebroto dan Zaini, (2007)

Studi aplikasi ergonomi kognitif untuk beban kerja mental pilot dalam pelaksanaan pengendalian pesawat dengan menggunakan metode SWAT

Mengetahui beban kerja mental seperti apa yang sering dialami oleh pilot pesawat terbang yang memiliki kaitan dengan kecendrungan human factor yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan

- fase dan - kondisi

penerbangan- tingkat

kecerdasan pilot

- pengalaman (jam terbang)

- jenis peswat terbang

Metode SWAT

Menunjukan bahwa:Secara individu faktor IQ (Intelligency Quotient) sesuai dengan uji statistik tidak pernah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap beban kerja mental baik pada pilot Fokker 28 maupun pilot Boeing 737. Disisi lain faktor fase penerbangan, faktor kondisi penerbangan dan faktor jam terbang pilot telah terbukti memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap beban kerja mental pada pilot kedua jenis pesawat tersebut

9 Tiabtiamrat et. al. (2009)

Boeing 737 commercial jet aircraft accident analysis

Menganalisis factor kecelakaan ditinjau dari

Data kecelakaan pesawat Boeing

- flight pase- jenis pesawat

Analisa statistic dan

Hasil menunjukkan bahwa fase terbang (flight phase) pada pesawat Boeing 737

26

Page 29: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 1.5 (lanjutan)

No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuanfase terbang (flight phase) dari suatu pesawat

dari tahun 1967 s/d 2006

permodelan mempunyai efek yang signifikan terhadap terjadinya kecelakaan pesawat namum hal ini tidak berkaitan dengan jumlah korban yang ditimbulkan.

10 Besco, (1992) Analyzing knowledge deficiencies in pilot performance

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penurunan pengetahuan dan kinerja dari seorang pilot

- pengetahuan- kinerja

PPA (Profecional Performance Analysis)

Dari hasil penelitian didapati bahwa kekurangan/penurunan pengetahuan pilot berinteraksi secara bersama dengan beberapa faktor yang dapat mengakibatkan pilot (crew) tidak dapat mengatasi situasi yang sulit dalam penerbangan

11 Rosekind et.al. (2006) Alertness management in aviation operations: enhancing performance and sleep

Meneliti tingkat kewaspadaan, kinerja dan keselamatan dalam dunia penerbangan

29 responden pilot - tingkat pendidikan

- waktu penjadwalan, waktu tidur

Alertness Management Program (AMP)

Penelitian ini menjelaskan tentang pengaruh antara tingkat kelelahan pilot (fatique) terhadap penjadwalan, tingkat pendidikan, tidur yang sehat, dan strategi kewaspadaan

12 de Mello et.al. (2008) Relationship between Brazilian airline pilot errors and time of day

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hari (shift) dimana sering terjadi kecelakaan bagi pilot di Brazil

Populasi diambil dari data pilot yang berjumlah 515 orang dan copilot 472 orang yang pernah mengalami kecelakaan.

- waktu Flight Operations Quality Assurance (FOQA) program

1. Dari data yang ada menunjukkan 35 % penerbangan berlangsung di pagi (siang) hari, 32 % di sore hari, 26 % dimalam hari, dan 7 % di pagi hari (00.00-06.00am)

2. Hasil menunjukan bahwa periode pagi memiliki resiko yang lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan (rasio 1:1.46), dibandingkan periode sore (rasio 1:1.04) dan periode malam (rasiio 1:1.05)

13 Goode, (2003) Are pilots at risk of accident due to fatigue

Menganalisis hubungan antara jadwal terbang pilot terhadap fatique dan kecelakaan pesawat udara

Data kecelakaan pesawat di Amerika yang disebabkan akibat faktor

- jadwal terbang Chi square test 1. Terdapat hubungan antara peluang terjadinya kecelakaan dengan jadwal terbang dari pilot

2. pembatasan jam kerja pilot dapat

27

Page 30: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 1.5 (lanjutan)

No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuanmanusia dari tahun1978 s/d 1999

mengurangi terjadinya kecelakaan

14 Tvaryans dan MacPherson, (2009)

Fatique in pilots of remotely piloted aircraft before and after shift work adjusment

Menanalisis hubungan antara waktu shift kerja dengan kemungkinan terjadinya pilot error

Data diambil dari 114 responden pilot pesawat udara

- jadwal terbang

MANOVA Dari hasil penelitian didapat bahwa tidak terdapat penurunan yang signifikan terhadap fatique pilot meskipun terdapat modifikasi pengaturan jadwal pilot guna meningkatkan periode istirahat dari si pilot

15 Sungkawaningtyas, (2007)

Kelelahan pilot dan strategi mengatasinya

Mengetahui dengan jelas faktor-faktor apa saja yang dominan menyebabkan kelelahan pada pilot dan strategi yang bisa digunakan untuk mengatasi kelelahan

185 pilot maskapai penerbangan Indonesia

- kulitas tidur- lama waktu tugas- kurang tidur

Analisis Faktor, analisis regresi berganda, dan uji beda T

1. Dari hasil analisis faktor penyebab kelelahan terkelompok menjadi 3 faktor penyebab yaitu: lama waktu tugas, kualitas tidur dan kurang tidur

2. Dari hasil analisis regresi faktor yang dominan menyebabkan kelelahan pada pilot yang pertama adalah lama waktu tugas dan yang kedua adalah kualitas tidur

3. Tidak ada perbedaan kelelahan berdasarkan jenis kelamin, status/jabatan, jam terbang, dan jenis pesawat dengan menggunakan uji beda T

4. Cara yang digunakan untuk mengatasi kelelahan adalah: tidur setelah bertugas, minum banyak air putih, meregangkan otot ditempat duduk pilot

16 Pruchniki et.al. (2010) An exploration of the utility af mathematical modeling predicting fatique from

Memprediksi kelelahan pilot ditinjau dari sejarah waktu tidur/bangun dan

Kecelakaan pesawat Comair flight 5191

- waktu (tidur dan bangun)

SAFTE/FAST Dari hasil penelitian didapati bahwa sejarah waktu tidur/bangun seorang pilot, atc berpengaruh terhadap tingkat

28

Page 31: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 1.5 (lanjutan)

No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuansleep/wake history and circadian phase applied in accident analysis and prevention: the crash of Comair flight 5191

fase circadian kelelahan (fatique) yang dapat juga menurunkan kinerja.

17 Conway et.al. (2005) Flight safety in Alaska: comparing attitudes and practices of high and low risk air carriers

Mengetahui pengaruh antara waktu dan kecelakaan di wilayah Alaska

data kecelakaan tahun 1990-2002

- waktu-Total jam terbang

Statistic analysis

Dari hasil penelitian didapat bahwa kombinasi antara pilot yang kurang berpengalaman (total jam terbang) dan lamanya waktu tugas (dalam jam dan minggu) berkontribusi signifikan terhadap tingkat kecelakaan di Alaska

18 Saleem dan Kleiner, (2005)

The effects of nighttime and deteriorating visual condition on pilot performanve, workload and situation awareness in general aviation for both VFR and IFR approach

Penelitian ini ingin mengetahui efek dari waktu dan kondisi cuaca terhadap beban kerja, kinerja dan tingkat kewaspadaan pilot

16 responden pilot - waktu (daytime & night time)- kondisi cuaca

MANOVA, ANOVA

Penelitian ini mendapati bahwa tidak berpengaruhnya kondisi malam dan siang atau cuaca buruk dan bagus terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan, namun terdapat perbedaan terhadap beban, tingkat kewaspadaan dan beban kerja dari pilot

19 Wong et.al. (2006) Quantifying and characterizing aviation accident risk factors

Menganalisis antara beberapa kondisi faktor cuaca terhadap terjadinya kecelakaan

238 kecelakaan yang diakibatkan oleh cuaca dari data NTSB

- kondisi cuaca (visibility, ceiling, temperature, crosswind, tailwind)- kondisi penerbangan IMC or VFR

- chi square test- t test

-Relative Accident Involvement Ratios (RAIR)

1. Dari hasil uji chi square didapat hasil bahwa kondisi terbang (instrument/visual meteorological condition) memliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kecelakaan pesawat udara

2. Dari hasil uji RAIR didapat bahwa kondisi IMC memiliki hubungan yang besar terhadap terjadinya kecelakaan dibandingkan dengan kondisi VFR

20 Jarboe, (2005) U.S. Aviation weather-related crashes and fatalities in 2004

Meneliti faktor cuaca terhadap terjadinya kecelakaan pesawat di

Data kecelakaan yang diambil dari NTSB yang

- kondisi cuaca- kategori

kondisi

Statistic analysis

1. Sekitar 88 % kecelakaan yang disebabkan oleh cuaca terjadi pada saat kondisi pengoperasian

29

Page 32: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 1.5 (lanjutan)

No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil TemuanAmerika Serikat diakibatkan oleh

cuaca pada tahun 2004

terbang- tipe operasi

pesawat

penerbangan adalah IMC2. Sekitar 83 % kecelakaan yang

disebabkan oleh cuaca terjadi pada penerbangan pribadi (general aviation operations, FAR part 91)

21 Batt dan O’Hare, (2005) Pilot behaviors in the face of adverse weather; a new look at an old problem

Meneliti tiga prilaku pilot dalam mengahadapi suatu kondisi cuaca

Data kecelakaan yang diambil dari ATSB yang disebabkan oleh factor cuaca

- kategori kondisi terbang- kondisi cuaca

- Chi square test

Dari hasil peneelitian terdapat beberapa perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok perilaku terbang seorang pilot (VFR into IMC, precautonary landing, dan pencegahaan lainnya) yang berhubungan dengan cuaca dalam hal demografis pilot, karakteristik pesawat udara, faktor geografis atau lingkungan, atau jarak penerbangan mutlak. Pola penerbangan jarak jauh relatif (sebuah konstruksi psikologis) sangat berbeda untuk tiga kelompok, dengan pilot dalam kelompok penghindaran cuaca yang dibedakan dengan mengambil tindakan tepat waktu.

22 Coyne et.al. (2001) Pilot weather assessment: implications for visual flight rule into instrumen meteorogical conditions

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pilot dalam mengambil keputusan terbang VFR ke IMC pada suatu kondisi cuaca tertentu

24 pilot pribadi (general aviations pilot)

- kondisi cuaca - Statistic analysis

Dari hasil penelitian didapat bahwa faktor ceiling dan visibility menentukan seorang pilot mengambil keputusan terbang dengan IMC pada saat kondisi cuaca tertentu

23 Capobianco dan Lee, (2001)

The role of weather in general aviation accidents: an analysis of causes,

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab, faktor

1520 kecelakaan GA dari tahun 1995 s/d 1998, data

- fase operasi- jam terbang pilot

- Statistic analysis

1. Dari hasil penelitian didapat bahwa faktor yang paling umum dalam kecelakaan pesawat yang

30

Page 33: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 1.5 (lanjutan)

No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuancontributing factors and issues

kontribusi isu yang berhubungan dengan kecelakaan yang disebabkan oleh factor cuaca.

diambil dari database NTSB

- kondisi cuaca disebabkan oleh cuaca adalah, low ceiling (20%), fog (14%), wind (10%), dan malam (9%).

2. Pergantian kondisi terbang dari VFR ke IMC dan phase cruise saat pernerbangan memasuki cuaca buruk juga merupakan penyebab utama kecelakaan yang diakibatkan oleh faktor cuaca.

24 Goh dan Wiegmann, (2002)

Human factors analysis of accidents involving visual flight rules into adverse weather

Meneliti penyebab kecelakaan pesawat untuk GA yang berhubungan dengan perubahan kondisi terbang VFR ke IMC

Data kecelakaan penerbangan GA dari bulan Januari 1990 s/d Desember 1997 yang disebabkan perubahan kondisi terbang VFR ke IMC, data diambil dari database NTSB.

- kondisi cuaca - Statistic analysis

Dari hasil penelitian didapat kecelakaan yang diakibatkan oleh pergantian kondisi terbang VFR ke IMC pada saat kondisi cuaca tertentu dipengaruhi oleh jam terbang pilot dan adanya penumpang dipesawat (passengers aboard)

25 Wiegman et.al. (2002) The role of situation assessment and flight experience in pilots decisions to continue visual flight rules flight into adverse weather

Mengetahui keputusan pilot untuk melanjutkan atau membatalkan prosedur terbang VFR ke IMC pada saat kondisi cuaca buruk

Data dari 36 responden pilot

kondisi cuaca Statistic analysis (Mann-Whitney U test)

Dari hasil penelitian didapat bahwa pilot yang mengalami cuaca buruk pada saat awal penerbangan dan mengalami juga pada saat penerbangan lebih berpeluang memiliki optimistis yang tinggi dalam penerbangan jika dibandingkan pilot yang mengalami cuaca buruk baru pada saat dalam perjalanan

26 Burian et.al. (2000) Weather realated decision errors: differences across flight types

Mengetahui faktor yang mempengaruhi keputusan pilot untuk tetap terbang

300 kecelakaan yang diakibatkan oleh cuaca dari

- cuaca (poor visibility)- total jam

Statistical analysis

Diketahui bahwa keputusan terbang (PCE= Plan Continuation Errors) pada saat kondisi cuaca buruk adalah

31

Page 34: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 1.5 (lanjutan)

No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuanpada saat kondisi cuaca buruk

tahun 1994 dan 1997

terbang (pengalaman)

dipengaruhi oleh pengalaman pilot (jam terbang), jarak pandang, dan koordinasi antar kru (crew conflict)

27 Bustamante et.al.(2005) Pilots’ workload, situation awarness, and trust during weather events as a function of time pressure, role assignment, pilots’ rank, weather display and weather system

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji beban kerja, kesadaran, dan kepercayaan dalam sistem cuaca selama peristiwa cuaca penting sebagai fungsi dari tekanan waktu, penetapan peran, pengalaman pilot, layar cuaca, dan sistem cuaca

24 pilot responden dari 6 maskapai penerbangan di US

- cuaca- pengalaman pilot- tekanan waktu

NASA TLX, SART

Dari hasil penelitian didapat bahwa terdapat kenaikan beban kerja yang signifikan pada saat memasuki kondisi cuaca yang buruk dalam penelitian ini juga didapat bahwa tingkat kesadaran (situation awarness) antara kapten pilot dan kopilot berbeda.

28 Cardi et.al. (20120 Distribution of air accidents around runways

Menganalisis daerah aman disekitar bandara terhadap terjadinya kecelakaan pesawat

Data kecelakaan dari tahun 1980 s/d 1997

- lokasi- fase terbang

SDAC (Spatial Distributin of Aircraft Crashes)

Bahwa fase landing yang meliputi fase approach dan fase landing itu sendiri memiliki nilai yang tinggi dan signifikan terhadap terjadinya suatu kecelakaan dibandingkan dengan fase take off dan climb. Dalam penelitiannya juga ditemukan hasil bahwa untuk fase approach kecelakaan tertinggi yakni terjadi sebelum runway (88%), sedangkan untuk fase landing kecelakaan tertinggi terjadi setelah runway yakni sebesar 46 %

29 Schvaneveldt et.al. (2000)

Priority and organization of information accessed by pilot in various phases of flight

Menganalisis kondisi pilot dari berbagai macam fase terbang

34 pilot responden - fase terbang SWAT Menghasilkan diantara fase terbang dalam pengoperasian pesawat udara, fase take off, approach dan landing memiliki nilai beban kerja yang tinggi pada saat kondisi normal pengoperasian pesawat. Dalam

32

Page 35: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 1.5 (lanjutan)

No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuanpenelitiannya juga didapat bahwa kecelakaan pesawat sering terjadi pada fase take off, approach dan landing

30 Rosekind et.al. (1994) Crew factors in flight operations IX: effect of planned cockpit rest on performance and alertness in long haul operations

Menganalisis keefektifan rencana waktu istirahat kru penerbangan terhadap kinerja dan tingkat kewaspadaan

12 pilot B737 - kinerja- waktu stirahat

ANOVA Didapat hasil bahwa cockpit rest period atau waktu istirahat crew di kokpit saat berlangsungnya penerbangan dapat meningkatkan kewaspadaan dan kinerja dari seorang pilot sehingga dapat meminimalisasikan kemungkinan terjadinya kecelakaan pesawat udara.

31 Simons dan Valk (1997) Pros and cons of strategics napping on long haul flights

Meneiliti pengaruh periode waktu istirahat terhadap kinerja pilot pada penerbangan jarak jauh

68 pilot - kinerja Statistical analysis

Dari hasil penelitian didapat bahwa kesempatan untuk dapat beristirahat saat pengoperasian penerbangan jarak jauh memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kinerja dan kewaspadaan fisik dari seorang pilot.

33

Page 36: Disertasi ugm hasil 1

2. Implikasi Terhadap Penelitian

Dari beberapa hasil penelitian yang telah dijelaskan pada Tabel 1.5, belum

ditemukan penelitian yang sama dengan penelitian ini, beberapa persamaan dari

penelitian-penelitian tersebut di atas dengan penelitian ini adalah:

1. Variabel dependennya sama dengan penelitian ini, yaitu melihat kecelakaan

pesawat terbang.

2. Instrumen penelitian yang digunakan juga memiliki kesamaan dengan

penelitian ini yaitu menggunakan data primer dalam hal ini kuesioner dan

data sekunder yakni data kecelakaan pesawat terbang.

Perbedaan dengan penelitian yang dilaksanakan adalah:

1. Faktor-faktor yang digunakan untuk menganalisis terjadinya kecelakaan

pesawat terbang dalam penelitian ini merupakan gabungan dari beberapa

faktor-faktor dari penelitian sebelumnya, yakni waktu (phases of time), fase

terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).

2. Dalam penelitian ini selain membahas faktor-faktor yang dapat

mengakibatkan suatu kecelakaan secara langsung juga untuk menelitinya

secara tidak langsung, dalam hal ini akan melalui variabel antara

(intervening/mediating variable) yakni kinerja (performance) dan beban kerja

(workload) terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang.

3. Perbedaan yang lain adalah dari segi metode analisis yang digunakan. Analisis

menggunakan 2 (dua) metode analisis yaitu dengan menggunakan metode

PLS dan SWAT. Metode PLS akan menganalisis faktor-faktor, baik yang

dihitung secara langsung maupun tak langsung terhadap terjadinya kecelakaan

pesawat. Penggunaan PLS dalam penelitian ini adalah karena belum

banyaknya dari penelitian-penelitian yang menyangkut dengan kecelakaan

pesawat yang dalam perhitungannya menggunakan metode PLS. Sementara

itu metode analisis SWAT digunakan untuk menganalisis permasalahan beban

kerja seperti apa yang sering dialami oleh pilot pesawat terbang yang memiliki

kaitan dengan kecendrungan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh

manusia (human error) yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan.

34

Page 37: Disertasi ugm hasil 1

Dilihat dari persamaan dan perbedaan antara penelitian yang sudah

dilaksanakan dengan penelitian ini, peneliti menilai bahwa penelitian ini

memiliki keaslian yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

35

Page 38: Disertasi ugm hasil 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada tinjauan pustaka akan diulas variabel dan faktor-faktor yang terkait

dengan penelitian. Tulisan ini dipakai untuk memperkuat alasan atau latar

belakang, rumusan masalah, manfaat, definisi dan landasan teori untuk

membangun konsep serta digunakan untuk bahan dasar diskusi atau

pembahasan dan pada akhirnya dapat pula dipakai untuk pengambilan

kesimpulan dan saran atau rekomendasi selanjutnya dari penelitian ini.

Adapun hal yang akan dibahas meliputi: pengertian penerbang (pilot),

pengertian pesawat udara (aircraft), pengertian kecelakaan pesawat, mekanisme

terjadinya kecelakaan, keselamatan penerbangan, kesalahan manusia (human

error), kinerja (performance), beban kerja (workload), waktu terbang (phases

of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).

A. Penerbang (Pilot)

1. Pengertian Penerbang (Pilot)

Menurut ICAO (Annex 1, 2006), yang dimaksud dengan pilot adalah

”seorang yang menangani atau mengoperasikan kendali penerbangan (flight

control) suatu pesawat udara selama masa (waktu) penerbangan”. Dalam hal

pengertian pilot, ICAO juga membagi menjadi 2 (dua) pengertian mengenai pilot

berdasarkan kewenangannya, yaitu Pilot In Command (PIC) yakni pilot yang

ditugaskan oleh ”operator” atau oleh pemilik pesawat udara dalam kasus

penerbangan umum, sebagai penanggung jawab untuk melakukan suatu

penerbangan yang aman/selamat, dan Second In Command (SIC)/Co-pilot yakni

pembantu pilot yang melakukan tugas dan fungsi sebagai seorang ”Pilot In

Command” di bawah supervisi dari ”Pilot In Command”. Sesuai dengan metode

supervisi yang dapat diterima (memenuhi syarat) dari Otoritas Lisensi (Licensing

Authority) atau bisa juga diartikan sebagai seorang pilot berlisensi yang bertindak

dalam setiap kapasitasnya untuk mengemudikan pesawat udara selain dari sebagai

”Pilot In Command”, tetapi tidak termasuk sebagai seorang pilot yang berada

dalam pesawat udara hanya untuk kepentingan melakukan penerbangan pelatihan.

36

Page 39: Disertasi ugm hasil 1

2. Klasifikasi Penerbang (Pilot)

Sesuai dengan ketentuan dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulation)

atau Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 20 dan Annex 1

mengenai lisensi penerbangan, tenaga penerbangan diklasifikasikan menurut

lisensi yang dimiliki sebagai berikut:

a. Student Pilot License: Pemegang SPL diperkenankan menerima pelajaran

praktek terbang dan melakukan terbang dengan maksud meningkatkan

keterampilan sehingga mencapai persyaratan standar mendapatkan lisensi

yang lebih tinggi atau melakukan terbang dengan maksud memenuhi

persyaratan memperbaharui suatu lisensi yang kadaluwarsa;

b. Private Pilot License (PPL): Pemegang PPL diperkenankan bertindak sebagai

penerbang pemimpin (Pilot In Command) atau penerbang pembantu (Second

In Command/Co-pilot);

c. Comercial Pilot License (CPL): Pemegang CPL diperkenankan untuk

melaksanakan semua hak dari pemegang PPL disertai:

1) memperoleh imbalan sebagai penerbang pemimpin dari setiap pesawat

udara yang dimiliki ratingnya dengan berat maksimum 5.700 kg;

2) memperoleh imbalan sebagai penerbang pembantu didalam setiap pesawat

udara yang dimiliki ratingnya yang perlu dioperasikan dengan seorang

pembantu.

d. Senior Commercial Pilot License (SCPL): Pemegang SCPL diperkenankan

melaksanakan semua hak dari pemegang PPL, CPL dan rating instrumen

dengan memperoleh imbalan sebagai penerbang pemimpin (Pilot In

Command) pada setiap pesawat udara yang dimiliki ratingnya dengan berat

maksimum 20.000 kg;

e. Airline Transport Pilot License (ATPL): Pemegang ATPL diperkenankan

melaksanakan semua hak dari pemegang CPL, PPL dan rating instrumen serta

memperoleh imbalan sebagai penerbang pemimpin (Pilot In Command) dari

setiap pesawat udara yang dimiliki ratingnya. Persyaratan pemegang ATPL

tersebut sama halnya dengan persyaratan sebagai pemegang SCPL namun

demikian untuk memperoleh ATPL harus berkedudukan sebagai kapten pilot.

37

Page 40: Disertasi ugm hasil 1

B. Pesawat Udara (Aircraft)

1. Pengertian Pesawat Udara (Aircraft)

Menurut UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang dimaksud

dengan pesawat udara (Aircraft) ialah ”setiap mesin atau alat yang dapat terbang

diatmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi

udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan”.

Sementara itu pengertian pesawat udara (Aircraft) menurut International

Civil Aviation Organization (ICAO) adalah ”setiap bangun mekanis yang dapat

memperoleh daya dukung (daya angkat) dalam atmosfer dari reaksi udara selain

reaksi udara terhadap permukaan bumi”.

Secara umum istilah pesawat terbang sering juga disebut dengan pesawat

udara atau kapal terbang atau cukup pesawat dengan tujuan pendefinisian yang

sama sebagai kendaraan yang mampu terbang di atmosfer atau udara. Namun

dalam dunia penerbangan, istilah pesawat terbang berbeda dengan pesawat udara,

istilah pesawat udara jauh lebih luas pengertiannya karena telah mencakup

pesawat terbang dan helikopter.

2. Klasifikasi Pesawat Udara (Aircraft)

Pesawat udara dapat diklasifikasikan sesuai dengan karakteristik dasar

tertentu (Aircraft category) seperti:

a. Lebih berat dari udara (heavier than air)

Pesawat udara yang lebih berat dari udara disebut aerodin, yang masuk dalam

kategori ini adalah autogiro, helikopter, girokopter dan pesawat

terbang/pesawat bersayap tetap. Pesawat bersayap tetap umumnya

menggunakan mesin pembakaran dalam yang berupa mesin piston (dengan

baling-baling/propeller) atau mesin turbin (jet atau turboprop) untuk

menghasilkan dorongan yang menggerakkan pesawat, lalu pergerakan udara di

sayap menghasilkan gaya dorong ke atas, yang membuat pesawat ini bisa

terbang. Sebagai pengecualian, pesawat bersayap tetap juga ada yang tidak

menggunakan mesin, misalnya glider, yang hanya menggunakan gaya

gravitasi dan arus udara panas. Helikopter dan autogiro menggunakan mesin

38

Page 41: Disertasi ugm hasil 1

dan sayap berputar untuk menghasilkan gaya dorong ke atas, dan helikopter

juga menggunakan mesin untuk menghasilkan dorongan ke depan.

b. Lebih ringan dari udara (lighter than air)

Pesawat udara yang lebih ringan dari udara disebut aerostat, yang masuk

dalam kategori ini adalah balon dan kapal udara. Aerostat menggunakan gaya

apung untuk terbang di udara, seperti yang digunakan kapal laut untuk

mengapung di atas air. Pesawat udara ini umumnya menggunakan gas seperti

helium, hidrogen, atau udara panas untuk menghasilkan gaya apung tersebut.

Perbedaaan balon udara dengan kapal udara adalah balon udara lebih

mengikuti arus angin, sedangkan kapal udara memiliki sistem propulsi untuk

dorongan ke depan dan sistem kendali.

C. Kecelakaan Pesawat

1. Pengertian Kecelakaan Pesawat

Secara umum kecelakaan merupakan segala sesuatu yang terjadi tidak sesuai

dengan kondisi operasional yang diinginkan baik itu yang disebabkan karena

adanya kesalahan, kegagalan dan sebab-sebab lain atau kombinasi adanya antara

kesalahan, kegagalan, dan sebab-sebab lain tersebut. Dalam hal ini tingkat bahaya,

korban jiwa dan luka-luka, atau kerugian biasanya tidak dipersoalkan. Dalam

dunia penerbangan serta dalam bidang investigasi istilah kecelakaan biasanya

didefinisikan sebagai dua kondisi yang berbeda, yaitu kecelakaan (accident) dan

kejadian (incident). Lahirnya kedua istilah ini didasarkan pada adanya perbedaan

tingkat bahaya, korban jiwa, luka-luka, serta tingkat kerugian yang terjadi.

Menurut International Civil Aviation Organization (ICAO), pengertian

kecelakaan pesawat udara sipil (Accident) adalah ”suatu kejadian yang

berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara yang terjadi sejak seseorang

naik pesawat udara untuk maksud penerbangan sampai suatu waktu ketika semua

orang telah meninggalkan (turun dari) atau keluar dari pesawat udara” (ICAO

Annex 13, 2001), dimana:

a. Seseorang meninggal atau mengalami luka serius sebagai akibat dari:

1) Berada di dalam pesawat, atau

39

Page 42: Disertasi ugm hasil 1

2) Kontak langsung dengan bagian pesawat, termasuk bagian yang terlepas

dari pesawat, atau

3) Terkena dampak langsung jet blast.

Kecuali jika luka-luka tersebut disebabkan oleh penyebab alamiah (natural

causes) diri sendiri atau orang lain atau terjadi pada penumpang gelap

yang berada dibagian pesawat yang tidak diperuntukkan bagi

penumpang/crew; atau

b. Pesawat mengalami kerusakan atau kegagalan struktur yang:

1) Mempengaruhi kekuatan struktur, karakteristik dan performa terbang

pesawat, dan

2) Memerlukan perbaikan besar atau penggantian komponen yang rusak.

Kecuali untuk kegagalan atau kerusakan mesin, dangan kerusakan mesin,

cowling dan accessories, kerusakan pada propeller, wing tip, antenna,

tires, brakes, fairings, lubang kecil/dekukan pada kulit (skin) pesawat.

c. Pesawat itu hilang atau sama sekali tidak terjangkau. Pesawat udara dianggap

hilang, apabila operasi SAR (Search And Rescue) resmi telah dinyatakan

berakhir dan pesawat udara tersebut tidak dapat diketemukan.

Untuk pemahaman yang lebih baik dalam mendefinisikan kecelakaan

pesawat udara, beberapa klasifikasi tentang tingkat keparahan dari kecelakaan

pesawat ”aircraft accident” atau tingkat keseriusan dari cedera ”injury” telah

diidentifikasi. National Transport Safety Bureau (NTSB) mengkategorikan

menjadi 4 (empat) tingkatan berdasarkan keseriusan cedera (NTSB, 2006).

Meskipun Boeing dan ICAO (Annex 13) tidak secara gamblang menjelaskan hal

tersebut, mereka juga menyebutkan beberapa definisi tingkat keparahan dalam

klasifikasi yang mereka buat, dimana:

a. Fatal and major injury. NTSB menyatakan bahwa “aircraft accident”

dianggap sesuatu yang fatal jika ada cedera apapun yang menyebabkan

kematian dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal terjadinya

kecelakaan (NTSB, 2006). Definisi ini sejalan dengan pengertian yang dipakai

oleh ICAO (Annex 13, 2001) dan Boeing (Boeing, 2012). Boeing juga

menyebutkan bahwa kecelakaan pesawat masuk dalam kategori “fatal and

40

Page 43: Disertasi ugm hasil 1

major injury” jika pesawat tersebut hancur, atau banyak menimbulkan korban

jiwa, atau hanya ada satu kematian namun pesawat mengalami kerusakan

parah “substantial damage” (Boeing, 2012). Kategori ini sebenarnya mirip

dengan pengertian dari fatal accident. Dalam pengertian ini hanya

menambahkan kondisi pesawat setelah terjadinya kecelakaan. Namun, ICAO

(Annex 13) tidak menyebutkan major accident dalam definisi yang mereka

keluarkan.

b. Serious injury. Dalam menentukan pengertian tentang serious injury,

ICAO dan Boeing setuju menempatkan enam kategori yang termasuk dalam

pengertian serious injury sedangkan NTSB hanya menyebutkan lima dan tidak

termasuk kategori terakhir yang dipakai oleh ICAO dan Boeing. ICAO

(Annex 13, 2001) dan Boeing (Boeing, 2012) mendefinisikan serious injury

sebagai suatu luka yang diderita oleh seseorang dalam suatu “accident” yang:

1) Membutuhkan perawatan dirumah sakit selama lebih dari 48 jam, sampai

dengan 7 hari setelah kecelakaan terjadi;

2) Berakibat patah tulang (tidak termasuk patahnya jari-jari tangan, jari-jari

kaki atau hidung);

3) Berakibat pendarahan hebat, sakit pada saraf, otot, kerusakan urat;

4) Cidera pada organ dalam;

5) Mengakibatkan luka bakar tingkat 2 atau 3 atau luka bakar yang

mempengaruhi lebih dari 5 % permukaan tubuh;

6) Meliputi zat-zat yang menginfeksi dengan penyembuhan yang memakan

waktu lama atau cidera akibat radiasi.

NTSB (2006) menerjemahkan serious injury seperti luka yang (1)

Membutuhkan perawatan dirumah sakit selama lebih dari 48 jam, sampai

dengan 7 hari setelah kecelakaan terjadi; (2) Berakibat patah tulang (tidak

termasuk patahnya jari-jari tangan, jari-jari kaki atau hidung); (3) Berakibat

pendarahan hebat, sakit pada saraf, otot, kerusakan urat; (4) Cidera pada organ

dalam; (5) Mengakibatkan luka bakar tingkat 2 atau 3 atau luka bakar yang

mempengaruhi lebih dari 5 % permukaan tubuh.

41

Page 44: Disertasi ugm hasil 1

c. Minor. Luka yang tidak termasuk dalam kategori fatal and major injury

maupun serious injury (NTSB, 2006). Tidak ada istilah minor injury dalam

pengertian yang dikeluarkan oleh ICAO dan Boeing.

d. None. Tidak mengalami luka.

Serious Incident, ICAO (Annex 13, 2001) mengartikan serious incident

sebagai “suatu “incident” yang menyangkut keadaan dan yang mengindikasikan

bahwa suatu “accident” nyaris terjadi”. Perbedaan antara suatu “accident”

dengan suatu “serious incident” hanya terletak pada akibatnya. Untuk

menjelaskan perbedaan tersebut, ICAO mengklasifikasikan beberapa kejadian

yang membahayakan, antara lain disebabkan:

a. Kegagalan fungsi atau kerusakan pada Flight Control System;

b. Ketidakmampuan dari Flight Crew Member untuk menjalankan tugas secara

normal yang diakibatkan oleh adanya luka atau sakit;

c. Kerusakan komponen struktur turbin mesin kecuali kompresor dan daun-daun

turbin dan baling-baling;

d. Kebakaran;

e. Hampir terjadinya tabrakan pesawat udara di udara (near-miss);

f. Barang berbahaya (dangerous good);

g. Untuk pesawat multi mesin berbadan lebar/besar (mempunyai maksimum

berat tinggal landas lebih dari 12.500 lbs)

1) Kerusakan sistem listrik dalam penerbangan yang membutuhkan bantuan

emergency bus yang digerakan oleh sumber daya dukung seperti baterai,

unit daya tambahan/APU (Auxiliary Power Unit) atau generator yang

digerakan oleh udara untuk mempertahankan kemudi terbang atau

instrumen-instrumen penting.

2) Kerusakan sistem hidrolik dalam penerbangan yang mengakibatkan

ketergantungan pada satu-satunya sistem hidrolik atau sistem mekanis

yang tersisa untuk pergerakan permukaan kemudi terbang.

3) Kehilangan terus menerus tenaga atau daya dorong yang dihasilkan oleh

satu mesin atau lebih.

42

Page 45: Disertasi ugm hasil 1

4) Evakuasi dari pesawat udara yang memakai sistem pintu keluar dari

pesawat secara darurat (emergency exit).

Sementara itu untuk pengertian insiden pesawat (aircraft incident) menurut

ICAO, NTSB, dan Boeing adalah “suatu kejadian selain daripada suatu

“accident” yang terkait dengan pengoperasian suatu pesawat udara yang

berdampak atau dapat berdampak terhadap keselamatan atas pengoperasian

tersebut” (ICAO Annex 13, 2001 dan Boeing, 2012).

2. Klasifikasi Tingkat Kerusakan Pesawat

Selain itu terdapat juga beberapa istilah mengenai tingkat kerusakan yang

dialami pesawat terbang yaitu.

a. Hancur (Destroyed). Kerusakan akibat benturan, kebakaran atau kegagalan

saat terbang sehingga pesawat secara ekonomi tidak bisa diperbaiki (biaya

perbaikan lebih besar dari nilai pesawat) (NTSB, 2006). Sedangkan Boeing

mendeskripsikan destroyed jika biaya perbaikan nilainya setengah nilai

pesawat yang baru pada waktu kecelakaan (Boeing, 2012). Selanjutnya,

Boeing juga menggunakan prinsip Hull Loss terhadap pesawat yang

mengalami kerusakan, prinsip ini mengandung pengertian biaya perbaikan

terhadap pesawat yang hancur (destroyed) mempunyai efek terhadap nilai

ekonomis. Prinsip Hull Loss dapat diterapkan pada situasi dimana pesawat

atau reruntuhan pesawat hilang dan tidak dapat ditemukan setelah usaha

pencarian dihentikan, atau pesawat sama sekali tidak dapat ditemukan.

b. Kerusakan parah (Substantial damage). Kerusakan atau kegagalan yang

mempengaruhi kekuatan dan performa struktur dan karakteristik terbang

sebuah pesawat udara, dan yang umumnya membutuhkan perbaikan besar atau

penggantian komponen yang terpengaruh. Kegagalan mesin atau kerusakan

yang terbatas pada sebuah mesin. Jika pada satu mesin mengalami kegagalan

atau mengalami kerusakan aliran udara atau penutup mesin yang bengkok,

penyok pada bagian luar, lubang-lubang tusukan kecil pada kulit atau struktur,

kerusakan dasar rotor atau daun baling-baling dan kerusakan pada roda

pendarat, pelek roda, ban-ban, flap, aksesori mesin, rem-rem atau ujung sayap

43

Page 46: Disertasi ugm hasil 1

(wingtips) tidak termasuk dalam “kerusakan berat” pada bagian ini. (Boeing,

2012 dan NTSB, 2006).

c. Kerusakan kecil (Minor or slightly damaged). Kerusakan yang tidak

menghancurkan pesawat atau tidak menyebabkan kerusakan parah. Kerusakan

yang tidak termasuk dalam kategori destroyed maupun substantial damage

(NTSB, 2006). Istilah slightly damaged digunakan oleh ICAO dalam format

laporan akhir kecelakaan (investigation final report). ICAO juga

menambahakan kategori lain untuk menggambarkan kondisi kerusakan

(damage) yang dapat diisi oleh pemberi laporan (ICAO Annex 13, 2001).

d. Tidak rusak (None). Berarti pesawat tidak mengalami kerusakan pada saat

terjadinya kecelakaan.

D. Mekanisme Terjadinya Kecelakaan

Proses terjadinya kecelakaan digambarkan oleh Reason (1990) sebagai

model keju Swiss (Swiss cheese model), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 di

bawah ini.

Gambar 2.1. Swiss cheese modelSumber: http://www.futuremedia.co.au

Model ini menggambarkan sebuah keju swiss sebagai suatu sistem

keselamatan penerbangan. Beberapa lapis keju dalam suatu sistem tersebut

merupakan pihak-pihak yang terlibat dengan operasi penerbangan. Pada masing-

masing lapis keju terdapat lubang-lubang yang menggambarkan adanya

kelemahan atau kekurangan pada pihak terkait dan berpotensi menimbulkan

bahaya. Bila terjadi kelalaian, digambarkan sebagai bom yang meledak maka

ledakan itu akan mengenai dinding-dinding keju. Sebagian serpihan ledakan akan

44

Page 47: Disertasi ugm hasil 1

tertahan lapisan keju dan sebagian akan melalui lubang-lubang pada keju tersebut.

Bila ledakan itu mampu melewati semua dinding keju melalui lubang yang ada

maka akan mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Sebaliknya, bila ledakan itu

tidak berhasil melewati semua lapisan keju maka kelalaian tersebut masih dalam

batas toleransi dan tidak mengakibatkan kecelakaan.

Reason (1990) membedakan dua macam kesalahan dalam sebuah sistem

(system error) yaitu aktif (active) dan terselubung (latent). Active error adalah

kesalahan yang efeknya langsung dirasakan, sedangkan latent error melibatkan

aspek buruk pada sistem yang tidak aktif dan menjadi jelas ketika dikombinasikan

dengan aspek lain untuk menembus pertahanan suatu sistem. Perpaduan dua

macam kesalahan ini dalam suatu sistem akan menimbulkan kecelakaan bila

mampu menembus pertahanan atau batas toleransi. Dalam kaitannya dengan dunia

penerbangan, active error berhubungan dengan kinerja orang-orang yang berada

di lini depan seperti pilot, pemandu lalu lintas udara (Air Traffic Controller/ATC),

kru di ruang pengendali, dan yang ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan

operasional. Sedangkan latent error merupakan kegiatan yang tidak berhubungan

dengan operasi langsung seperti pembuat desain, pembuat kebijakan tingkat tinggi

dan pihak pengelola, seperti dirangkum dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Sumber terjadinya kesalahan aktif dan terselubungLatent Error Active Error

Terletak di:a. Organisasi, sistem b. Hukum dan peraturanc. Prosedur d. Tujuan, sasaran

Terletak di pekerja dan tim lini depan, disebabkan oleh:1. Komunikasi2. Kerusakan fisik3. Faktor Psikologis4. Interaksi manusia dengan peralatan

Efek adanya active error biasanya langsung dapat diketahui dengan cepat

sedangkan tanda-tanda adanya latent error sulit diketahui. Pada semua sistem

selalu ada latent error namun karena proses berkembangnya secara bertahap dan

tidak menimbulkan efek secara langsung maka sulit dideteksi. Adanya latent error

lebih berbahaya dan mesti lebih diwaspadai.

45

Page 48: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 2.2. Model empat sumber kesalahanSumber: http://www.rutgersscholar.rutgers.edu

Reason menggambarkan empat sumber penyebab terjadinya kelalaian

manusia yang saling mempengaruhi, seperti diilustrasikan pada Gambar 2.2.

Pertama adalah tindakan tidak aman (unsafe acts) yang dilakukan operator yang

berada di lini depan. Kesalahan yang terjadi dapat menyebabkan kecelakaan

karena berhubungan langsung dengan operasi penerbangan. Tiga sumber

berikutnya merupakan latent error. Pertama adalah kondisi sebelum terjadi

tindakan yang tidak aman (preconditions for unsafe acts). Sumber ini meliputi

kondisi kru penerbangan yang dapat berdampak pada kinerja misalnya kelelahan,

buruknya komunikasi dan koordinasi. Hal-hal tersebut berkaitan dengan

pengelolaan sumber daya manusia/CRM (Crew Resources Management).

Berikutnya, pengawasan yang tidak aman (unsafe supervision) berkaitan dengan

pelaksanaan pelatihan untuk menunjang CRM yang bagus. Sumber ketiga adalah

keterlibatan organisasi (organizational influence), merupakan kebijakan

manajemen tingkat atas. Pada umumnya kelemahan dalam sistem dimulai pada

taraf organisasi yang lebih tinggi yaitu manajemen tingkat atas. Bila ada

kelemahan pada manajemen tingkat atas maka kemungkinannya akan ada lubang-

lubang kelemahan pada level organisasi yang lebih rendah.

Salah satu contoh penggunaan model ini dalam meneliti penyebab terjadinya

suatu kecelakaan bisa terlihat dari kasus kecelakaan pesawat Adam Air yang

terjadi pada tanggal 1 Januari 2007, pesawat Boeing 737-4Q8 Adam Air nomor

penerbangan DHI 574 dengan registrasi PK-KKW terbang dari Surabaya, Jawa

Timur menuju Manado, Sulawesi Utara. Pada kecelakaan penerbangan ini, banyak

46

Page 49: Disertasi ugm hasil 1

faktor yang berperan, mulai dari faktor perilaku penerbang hingga masalah sistem

penerbangan. Dalam hubungannya dengan Swiss cheese model, jatuhnya Adam

Air DHI 574 dapat dijelaskan berdasarkan layer-layer peneyebab berikut ini:

Layer I: Organizational Influences

a. Perusahaan melakukan penghematan dengan meminimisasi penggantian suku

cadang;

b. Kurangnya kesadaran perusahaan tentang keselamatan penerbangan.

Layer II: Unsafe Supervision

a. Kurangnya pengawasan pada kerusakan IRS (Inertial Reference System) yang

merupakan alat pengindikasi posisi pesawat;

b. Kurangnya perhatian pada pemeliharaan perangkat pesawat;

c. Penggantian suku cadang tidak diawasi dengan baik;

d. Koreksi kemiringan pesawat akibat adanya angin hanya dilakukan sebentar;

e. Tidak ada satupun dari Pilot maupun Kopliot yang menjaga arah pesawat

selama 30 detik seperti yang diharuskan oleh Quick Reference Handbook

(QRH) yaitu buku yang berisi pedoman untuk kondisi darurat.

Layer III: Precondition for Unsafe Act

a. Pilot dan Kopilot dalam kondisi panik;

b. Cuaca buruk;

c. Kehilangan situational awareness saat kemiringan pesawat melebihi batas

maksimum;

d. Kerusakan salah satu IRS;

e. Awak pesawat tidak mengetahui secara pasti IRS mana (Left IRS atau Right

IRS) yang masih berfungsi dengan baik.

Layer IV: Unsafe Act

a. Kurang menanggapi secara serius peringatan bahaya dari petugas Air Traffic

Controller (ATC);

b. Pilot dan Kopilot lebih fokus pada kerusakan IRS dari pada tingkat

kemiringan pesawat yang bermasalah;

c. Salah mengambil keputusan (decission error) saat kemiringan melebihi batas

normal.

47

Page 50: Disertasi ugm hasil 1

Pada setiap layer diatas, terdapat kesalahan-kesalahan yang digambarkan

sebagai lubang pada potongan keju Swiss. Kesalahan ini berasal dari manajemen

keselamatan dan/atau dari awak pesawat itu sendiri. Kecelakaan ini dapat terjadi

karena lubang (kesalahan atau kegagalan) tersebut dapat menembus hingga

mencapai layer unsafe act yang dilakukan Pilot maupun Kopilot.

Berdasarkan teori-teori Reason tersebut diketahui bahwa kecelakaan

penerbangan sebenarnya dapat dihindari atau dikurangi dengan cara:

a. Seluruh pembuat kebijakan mengetahui dan memahami seluruh bahaya, baik

yang bersifat laten dan kegagalan aktif yang ditemukan dalam seluruh

kegiatan penerbangan;

b. Seluruh pembuat kebijakan/keputusan membuat peraturan/kebijakan/dalam

kegiatan penerbangan kemudian menerjemahkan seluruh bahaya yang ada

menjadi suatu kebijakan yang bersifat pencegahan dengan membuat suatu

garis pengawasan penerapan kebijakan kepada para pelaku atau pengguna

pesawat udara;

c. Seluruh pembuat kebijakan/keputusan membuat berbagai prosedur atau

manual kerja tetap untuk setiap langkah kerja yang akan dilakukan oleh

personil didarat dan udara. Hal tersebut diharapkan dapat membentuk budaya

keselamatan kerja yang diketahui dan dipahami oleh seluruh personil termasuk

pihak manajemen (Nugroho, 2006).

E. Keselamatan Penerbangan (Aviation Safety)

Aviation safety artinya keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan

penerbangan, lebih jauh lagi berarti kondisi selamat, yang terjadi setelah semua

(pihak) yang terkait dalam terbentuknya sebuah penerbangan beserta fasilitas

pendukungnya melaksanakan kepatuhan dalam memenuhi (semua) persayaratan

standar keselamatan. Proses keamanan dan kenyaman yang dimaksud tentu bukan

hanya saat penumpang berada didalam pesawat. Pasal 1 angka 48 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 mengartikan keselamatan

penerbangan (aviation safety) sebagai “suatu keadaan terpenuhinya persyaratan

keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,

48

Page 51: Disertasi ugm hasil 1

angkutan udara, navigasi, penerbangan serta fasilitas penunjang dan fasilitas

umum lainnya”. Sedangkan Pasal 1 angka 49 mengatur pengertian keamanan

penerbangan (aviation security). Menurut pasal tersebut keamanan penerbangan

adalah “suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada penerbangan dari

tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya

manusia, fasilitas dan prosedur”.

Berdasarkan teori SHELL (yang diungkapkan oleh Reason dan

disempurnakan oleh Hawkins), aspek keselamatan penerbangan perlu

memperhatikan beberapa unsur pembentuk sistem keselamatan itu sendiri yaitu:

a. Manusia yang disebut dengan Liveware (L);

b. Pesawat udara yang disebut Hardware (H);

c. Peraturan perundang-undangan/konvensi/kebijakan yang disebut dengan

Software (S);

d. Infrastruktur, cuaca, kondisi wilayah dan berbagai faktor yang berada diluar

kendali manusia disebut sebagai Environment (E).

Gambar 2.3. Teori SHELLSumber : www.skybrary.aero/index.php/ICAO_SHELL_Model

Model ini hanya meliputi interaksi yang berhubungan dengan faktor

manusia. Faktor manusia (liveware) seperti pada Gambar 2.3, sebagai pusat

model. Manusia secara umum diyakini merupakan faktor paling kritis sekaligus

paling fleksibel dalam sistem. Manusia banyak berhubungan dengan performansi

dan memiliki banyak keterbatasan, yang mana sebagian besar dapat diprediksi

49

Page 52: Disertasi ugm hasil 1

dalam kondisi umum. Komponen lain dalam sistem harus disesuaikan secara hati-

hati bila ingin menghindari tekanan pada sistem dan kejadian yang tidak

diinginkan. Untuk memenuhi hal tersebut, diperlukan pemahaman karakteristik

manusia dengan baik.

Hubungan antara Liveware-Hardware menyangkut interaksi antara manusia

dan peralatan. Misalnya penggunaan peralatan sistem kendali, tempat duduk

cockpit, membaca indikator ketinggian terbang. Ketidaksesuaian desain peralatan

dengan karakteristik manusia sering menimbulkan terjadinya bencana.

Hubungan antara Liveware-Software menyangkut interaksi manusia dengan

aspek non-fisik. Misalnya pelaksanaan standar operasional, aturan, manual.

Masalah yang ada mungkin lebih nyata dibandingkan interaksi antara Liveware-

Hardware namun konsekuensinya sulit dideteksi.

Hubungan antara Liveware-Environment merupakan interaksi yang pertama

kali ditemukan dalam dunia penerbangan. Masalah lingkungan meliputi tekanan

pada kabin, cuaca, waktu penerbangan. Saat ini tantangan baru telah muncul,

misalnya konsentrasi ozon dan bahaya radiasi pada tingkat tinggi, dan masalah

yang berhubungan dengan terganggunya ritme biologis dan tidur karena

perjalanan dengan kecepatan tinggi. Penerbangan pada malam hari dapat

mengakibatkan pilot kehilangan arah dan berkurangnya kepekaan pada kondisi

sekitar.

Hubungan antara Liveware-liveware adalah interaksi antar manusia.

Interaksi ini bisa terjadi antar kru penerbangan maupun pilot dengan pemandu lalu

lintas udara (ATC). Masalah yang sering timbul berkaitan dengan kerjasama,

komunikasi, dan interaksi yang salah.

F. Kesalahan Manusia (Human Error)

1. Pengertian dan Definisi Kesalahan Manusia (Human Error)

Kelalaian atau kesalahan yang dilakukan manusia adalah satu fakta dalam

hidup yang tidak bisa dipungkiri. Lalai atau berbuat salah adalah satu hal yang

manusiawi. Walaupun berbuat kesalahan adalah manusiawi tetapi hal ini harus

sedapat mungkin dihindari. Keberadaan kesalahan manusia (human error) dapat

50

Page 53: Disertasi ugm hasil 1

menjadi masalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan manusia,

efektivitas, operasi, waktu, kerugian ekonomis dan lain-lain. Tidak seorangpun

yang dapat melakukan suatu tindakan lebih dari sekali dengan tepat sama. Setiap

tindakan error yang dilakukan seseorang merupakan suatu kemungkinan

terjadinya error. Kesalahan yang dilakukan oleh manusia tidak sepenuhnya

berasal dari manusia tersebut, hal lain yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya

kesalahan tersebut yaitu lingkungan kerja itu sendiri seperti alat atau mesin yang

digunakan pada saat bekerja.

Human Error dapat terjadi dalam berbagai bentuk, tetapi secara umum

human error dapat dikenali sebagai satu bentuk tindakan manusia yang

seharusnya tidak terjadi. Human error didefinisikan sebagai suatu keputusan atau

tindakan yang potensional untuk mengurangi efektivitas, keamanan, atau

performansi suatu sistem. Menurut Pulat (1992) ada dua hal yang penting yang

berkaitan dengan definisi diatas yaitu:

a. Suatu error didefinisikan dalam konteks sebagai suatu efek yang

tidak diharapkan atau efek potensial berdasarkan suatu kriteria tertentu dari

suatu sistem atau pada manusia;

b. Suatu tindakan atau action tidak harus menyebabkan penurunan

performansi sistem untuk dinyatakan sebagai error. Suatu error yang dapat

diperbaiki/dikoreksi sebelum menyebabkan adanya gangguan tetap merupakan

suatu error.

2. Penyebab dari Kesalahan Manusia (Human Error)

Berdasarkan kesalahan yang dilakukan oleh manusia, maka secara tidak

langsung harus dicari penyebab yang mengakibatkan kesalahan itu bisa terjadi.

Menentukan penyebab terjadinya human error bukanlah hal yang mudah,

terutama jika ingin menentukan penyebab yang pasti. Secara teoritis, setiap error

yang terjadi akan berhubungan dengan faktor-faktor situasional, faktor individu

atau kombinasi keduanya.

Menurut Pulat (1992) berikut merupakan 95% kemungkinan penyebab

utama dari kesalahan manusia diantaranya:

51

Page 54: Disertasi ugm hasil 1

a. Perilaku yang kurang baik (Malevolent Behavior)

Kesalahan yang dilakukan atau dibuat secara sengaja adalah diluar batas

kontrol dari definisi kesalahan manusia. Maksud tersebut adalah penting, Jika

operator dengan sengaja melakukan suatu kesalahan, perilaku ini tidak

dipertimbangkan sebagai kesalahan yang memerlukan penyelidikan secara

ergonomi. Akan tetapi hal ini menjadi standar penerimaan, salah satu

penyebab dari kesalahan manusia adalah perilaku yang kurang baik.

b. Kemampuan manusia tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan (Human

capability less than the job requirement)

Kapanpun pekerjaan dapat melebihi kemampuan manusia, pekerja mungkin

punya hak untuk membuat penilaian, atau melaksanakannya sesuai dengan

pembagian, waktu dan periode atau melakukan pekerjaan yang lebih mudah.

Dalam semua kasus, kesalahan akan dicatat. Sejak salah satu tujuan dari

ergonomi adalah untuk menghasilkan suatu yang lebih baik, dua yaitu bahwa

aplikasi ergonomi dapat memperkecil kesalahan seperti itu.

c. Stres yang terlalu rendah atau yang berlebihan (Insufficient or Overstress)

Sebelum didiskusikan, sedikit rasa stres dapat mengakibatkan bosan, lesu atau

lemah, dan mengantuk. Ini adalah situasi dimana orang-orang hanya bisa

dipastikan untuk membuat kesalahan-kesalahan. Lagi pula, terlalu banyak

stres yang menyebabkan kelelahan. Hal tersebut akan mengakibatkan banyak

kesalahan manusia. Performansi manusia yang baik adalah ketika ada

beberapa stres tapi tidak terlalu banyak atau tidak terlalu sedikit.

d. Pekerjaan yang tidak diperuntukkan bagi manusia (Work not human-

engineered)

Menyesuaikan suatu pekerjaan dengan manusia adalah inti dari ergonomi. Jika

tempat kerja tidak dapat menyediakan ruangan yang cukup jangkauan dan

kemampuan beradaptasi untuk sebagian besar populasi pekerja dan metode

kerja tidak dapat mempertimbangkan tingkah laku manusia, ekonomi gerakan,

kualitas dari dunia kerja dan postur kerja yang diinginkan. Kemudian efisiensi

dan efektivitas manusia akan menurun. Hal ini akan mengakibatkan atau

menimbulkan kesalahan.

52

Page 55: Disertasi ugm hasil 1

e. Pelatihan yang tidak memadai atau tidak tepat (Insufficient/incorrect training)

Tempat kerja dan metoda kerja mungkin didesain berdasarkan ergonomi dan

berdasarkan kondisi lingkungan yang optimal. Bagaimanapun juga, jika

kemampuan pekerja tidak cukup untuk memenuhi performasi penerimaan,

pria ataupun wanita tidak dapat bekerja dengan efektif. Diantara

ketidakoefisienan kesalahan akan terjadi. Kesalahan tersebut adalah tanggung

jawab dari desainer untuk menjelaskan tentang kemampuan yang cukup untuk

penerimaan performansi dalam bekerja dan bagian yang bertanggung jawab

yaitu membagi-bagi pekerjaan kepada operator yang tepat dan terlatih.

3. Klasifikasi Kesalahan Manusia (Human Error)

Dengan adanya pembagian klasifikasi error, kita dapat lebih mudah

melakukan identifikasi karena memiliki karakteristik yang lebih spesifik.

Beberapa klasifikasi mengenai error adalah sebagai berikut:

aDesign-induced and operator-induced

Berdasarkan penyebab terjadinya, kelalaian dibagi menjadi dua, Design-

induced and operator-induced. Design-induced berhubungan dengan sistem,

mekanisme atau fasilitas pendukung operasional. Sebagai contoh adalah

desain cockpit yang tidak disesuaikan dengan karakteristik tubuh pilot.

Sedangkan operator-induced disebabkan ketidakmampuan individu dalam

melakukan operasi, misalnya karena kurangnya jam terbang dalam

mengoperasikan pesawat Airbus A320.

b. Random, systematic and sporadic

Berdasarkan letak kesalahannya, kelalaian dibagi menjadi tiga, Random,

systematic and sporadic (Gambar 2.4). Random error adalah kesalahan yang

terjadi secara acak, misalnya ketika pilot mendaratkan pesawat, terkadang

tepat pada daerah yang ditentukan, terkadang undershoot dan terkadang

overshoot. Kesalahan ini biasanya terjadi karena kurangnya keterampilan.

Untuk mengatasi masalah ini diperlukan latihan untuk meningkatkan

keterampilan.

53

Page 56: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 2.4. Beberapa tipe errorSumber : Hawkins, Human Error in Flight

Sistematik error adalah kesalahan yang terjadi secara sistematik pada daerah

tertentu, misalnya ketika pilot mendaratkan pesawat selalu mengalami

undershoot. Kesalahan ini biasanya terjadi karena ada kebiasaan yang salah,

misalnya selalu memperlambat kecepatan dan menurunkan ketinggian pesawat

sebelum saat yang ditentukan oleh prosedur pendaratan sehingga selalu

undershoot. Untuk mengatasinya, perlu mengubah pola lama yang salah

tersebut ke arah yang benar. Sporadic error adalah kesalahan yang terjadi

secara tiba-tiba setelah mengalami performa yang bagus. Kesalahan ini sulit

diprediksi. Sebagai contoh seorang pilot yang mendaratkan pesawat hampir

selalu tepat pada daerah yang diinginkan namun suatu ketika mengalami

overshoot. Kesalahan ini sulit diprediksi dan untuk mengatasinya diperlukan

konsistensi untuk menjaga kinerja tetap tinggi

c. Omission, commission, and subtitution

Berdasarkan pelaksanaannya, kelalaian dibagi menjadi tiga, Omission,

commission, and subtitution. Omission didefinisikan sebagai kesalahan yang

diakibatkan kesalahan dalam melakukan suatu prosedur. Misalnya

menghilangkan item tertentu dalam checklist. Commission adalah melakukan

sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Misalnya adalah memanggil

penumpang untuk menaiki pesawat disaat terjadi delay karena masalah teknis.

Subtitution adalah melakukan aksi disaat dibutuhkan namun aksi yang

dilakukan salah. Misalnya saat pilot mematikan mesin yang salah sesaat

setelah salah satu mesin mati.

54

Page 57: Disertasi ugm hasil 1

d. Reversible and Irreversible

Berdasarkan resiko akibat yang ditimbulkan, kelalaian dibagi menjadi dua,

Reversible and Irreversible. Reversible adalah kesalahan yang akibatnya

masih bisa diperbaiki. Misalnya saat melakukan simulasi terbang, seorang

pilot menabrak gunung karena kesalahan membaca instrumen. Irreversibel

adalah kesalahan yang akibatnya tidak bisa ditolerir dan tidak bisa diperbaiki.

Misalnya pada kondisi sebenarnya, pilot yang menabrak gunung dan

menyebabkan kerusakan fatal tidak bisa memperoleh kesempatan kedua.

G. Kinerja (Performance)

Dalam mendefinisikan Kinerja (performance), banyak ahli yang

mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, namun pada hakekatnya

mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Kinerja (performance) berasal dari kata “to perform” adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakaannya sesuai dengan tanggung jawab dan sesuai dengan hasil yang diharapkan, sedangkan arti kata performance merupakan kata benda (noun) dimana salah satunya adalah: “thing done” (sesuatu hasil yang telah dikerjakan), sehingga arti kata performance atau kinerja adalah sebagai

berikut “performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau

sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan tanggung jawab masing-

masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara

legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika

(Prawirosentono, 1999)”. Kemudian mengenai kinerja (performance) diartikan pula oleh Simamora (1995) sebagai “suatu pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu yang akhirnya secara nyata dapat tercermin keluaran yang dihasilkan”. 

Simanjutak (2005) mendefinisikan kinerja sebagai “tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu”. Sedangkan Mangkunegara (2005) menjelaskan bahwa kinerja SDM (Sumber Daya Manusia) adalah “prestasi kerja atau hasil kerja (output)

55

Page 58: Disertasi ugm hasil 1

baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya ssuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

Lebih lanjut Mangkunegara (2005) menyatakan bahwa kinerja individu adalah “hasil kerja orang tersebut yang dilihat baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu akan tercapai bilamana didukung oleh atribut individu, upaya kerja dan dukungan organisasi”.

“Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama” (Rivai dan Basri 2004).

Suprihanto (2000) menyebutkan istilah kinerja dan prestasi kerja yaitu “hasil kerja seseorang selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran”. Menurut Mangkunegara (2001), istilah kinerja berasal dari kata ”Job Performance atau Actual Performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

Kinerja menurut Helfert yang disampaikan Soetjipto (1997) adalah ”suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional organisasi dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki”.

56

Page 59: Disertasi ugm hasil 1

Adapun kinerja menurut Mulyadi dalam Soetjipto (1997) adalah ”penentuan secara periodik efektivitas operasional organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya”.

Sementara itu menurut Mathis dan Jackson (2006) kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Lebih lanjut Mathis menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu: 1) Kemampuan pribadi untuk melakukan pekerjaan tersebut (Ability), 2) Tingkat usaha yang dicurahkan (Effort), dan 3) Dukungan organisasi (Support). Hubungan ketiga faktor ini diakui secara luas dalam literatur manajemen sebagai formula di bawah ini:

Kinerja (Performance-P) = Kemampuan (Ability-A) x Usaha (Effort-E) x Dukungan (Support-S)

Bohlander (2007) menyatakan bahwa “kinerja merupakan suatu fungsi dari

beberapa faktor, tetapi dapat pula dibagi menjadi tiga perhatian utama yaitu: (1)

Ability (kemampuan) yang terdiri dari keahlian teknik, interpersonal, pemecahan

masalah, analitik, komunikasi dan keterbatasan fisik, (2) Motivation (motivasi)

yang terdiri dari ambisi karir, konflik karyawan, kegagalan, keadilan/kepuasan,

pengharapan, dan (3) Environment (lingkungan): perlengkapan/peralatan,

tujuan/pola kerja, kondisi ekonomi, serikat kerja, peraturan dan ketertiban,

dukungan manajemen, hukum dan peraturan”.

Menurut Dessler (1997) kinerja merupakan “prosedur yang meliputi (1)

penetapan standar kinerja; (2) penilaian kinerja aktual pegawai dalam hubungan

dengan standar-standar ini; (3) memberi umpan balik kepada pegawai dengan

tujuan memotivasi orang tersebut untuk menghilangkan kemerosotan kinerja atau

terus berkinerja lebih tinggi lagi”.

57

Page 60: Disertasi ugm hasil 1

Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja menurut

Mangkunegara (2005) adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi

(motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Davis yang merumuskan bahwa:

Human performance = Ability + Motivation

Motivation = Attitude + Situation

Ability = Knowledge + Skill

Menurut teori dua faktor dari Herzebeg (1959) yang disadur oleh Gibson

et.al. (1992) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja secara umum dapat

dikelompokkkan menjadi dua, yaitu faktor ketidakpuasan (dissatisfiers) atau

hygine factors (faktor untuk memelihara) dan faktor pemuas (satisfiers) atau

motivator. Faktor hygiene meliputi: gaji/upah, pengawasan, hubungan antar

pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor satisfiers meliputi: pekerjaan yang

menantang, karakteristik pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan, kesempatan

berprestasi, penghargaan dan promosi.

Teori lain menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah

variabel individu, organisasi dan psikologis. Variabel individu meliputi antara

lain: karakteristik demografis dan keterampilan. Variabel organisasi terdiri dari:

imbalan, struktur, desain pekerjaan, sumber daya, sedangkan variabel psikologis

terdiri dari: persepsi, sikap, motivasi, kepribadian (Gibson et.al. 1992).

Kinerja seseorang akan baik, jika individu tersebut mempunyai keahlian

yang tinggi, kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan

mempunyai harapan masa depan. Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang

mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu yaitu; variabel individu,

variabel organisasi dan variabel psikologis (Prawiosentono, 1999).

Umumnya, untuk mencapai kinerja yang dibutuhkan dalam menguasai tugas

tertentu, orang akan melalui tiga tahap pembelajaran sejak ia mulai mempelajari

suatu tugas sampai dengan tahap ia menjadi ahli atau terampil, yaitu level kognitif

(knowledge-based level), level asosiatif (rule-based level), dan level otonom

(skill-based level) (Rasmussen, 1982; yang disadur dalam Studi Litbang Hubud,

2006).

58

Page 61: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 2.2 Batas kinerja dan jenis kesalahanPerformance level Error level

Skill-based level (batas keahlian) Lupa

Rule-based level (batas pemahaman pada peraturan)

Pelanggaran atas pemahaman peraturan

Knowledge-based level (batas pemahaman pada pengetahuan)

Kesalahaan pemahaman terhadap pengetahuan

Sumber: Studi Evaluasi Tentang Kebijakan Keselamatan Penerbangan, Litbang Hubud (2006)

Ketiga faktor kinerja yang dapat menyebabkan keselamatan penerbangan

menurun atau memburuk dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

a. Skill-based level (batas keahlian)

Batas keahlian seseorang dapat dikelompokkan lagi dalam 2 tindakan, yaitu

(1) Kurang perhatian (inattention), yang mana seseorang tidak melakukan

sesuatu yang seharusnya dilakukan ketika sesorang tersebut melakukan

tindakan rutin didalam suatu urutan tertentu. Contohnya: seorang pilot

melakukan pemeriksaan muatan dengan membaca lembar muatan (load sheet),

namun yang dibaca adalah checklist atau manifest penumpang; (2)

memperhatikan secara berlebihan (overattention) dengan melakukan

pengawasan secara rutin yang tidak tepat pada waktunya.

b. Rule-based level (batas pemahaman pada peraturan)

Tingkat kesalahan yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.

c. Knowledge-based level (batas pemahaman pada pengetahuan)

Tingkat kesalahan yang didasarkan pada pengetahuan seseorang.

Memformulasikan beberapa makna kinerja diatas bahwa dimensi kinerja

menyangkut masukan (input), proses dan keluaran (output) atau produk. Masukan

disini merajuk kepada pelaku, seperti penerbang pada suatu airlines, sedangkan

proses merujuk kepada cara pencapaian tujuan dan keluaran berkaitan dengan

hasil yang dicapai.

59

Page 62: Disertasi ugm hasil 1

H. Beban Kerja (Workload)

Beban kerja yang dialami seorang pekerja dapat berupa beban fisik, beban

mental serta beban psikologi yang timbul dari lingkungan kerja. Beban kerja

dirancang sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan baik fisik maupun mental

pekerja. Sementara itu pengertian beban kerja (workload) dapat diartikan sebagai

total energi yang dihasilkan dari sebuah sistem, orang tertentu atau hewan yang

melakukan suatu pekerjaan yang melebihi waktu. Sebagai contoh definisi yang

digunakan oleh Hart et.al. (1988) mendefinisikan beban kerja sebagai berikut “the

perceived relationship between the amount of mental processing capability or

resources and the amount required by the task”. Yang berarti pengertian beban

kerja (workload) mengandung dua dimensi kuantitatif dan kualitatif, yaitu:

a. Workload merupakan total seluruh sumber daya yang digunakan dibandingkan

dengan penugasan atau pekerjaan yang dibebankan dalam periode waktu

tertentu (dimensi kuantitatif, jumlah sumber daya yang mengerjakan dalam

waktu tertentu);

b. Workload merupakan persepsi pekerja terhadap pekerjaannya (kualitatif,

bagaimana pekerja merespon suatu penugasan yang dikerjakaannya, apakah

pekerjaan membebaninya atau terlalu ringan baginya).

”Beban kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang diberikan kepada

karyawan. Beban kerja kualitatif adalah beban kerja yang dituntut kepada

seseorang untuk melakukan pekerjaannya secara mental dan fisik, contohnya

seorang karyawan memiliki pekerjaan untuk mengangkat barang atau bertugas

untuk memecahkan rumus matematika. Beban kerja kuantitatif adalah jumlah

pekerjaan yang harus dikerjakan oleh karyawan” (Spector, 1997).

Menurut Jex (2002), mengartikan workload sebagai ”jumlah pekerjaan yang

harus dilakukan oleh karyawan pada waktu yang telah ditentukan. Dalam

melakukan usaha untuk menunjukkan performa saat bekerja tergantung dari

informasi dan perlengkapan yang tersedia dilingkungan kerja, skill dan

pengalaman pekerja, strategi yang digunakan, dan respon emosional pada situasi

tertentu”.

60

Page 63: Disertasi ugm hasil 1

Sementara itu Gartner dan Murphy (dalam Gawron, 2008)

mendefinisikan workload sebagai “a set of task demands, as effort, and as activity

or accompolishment”. Istilah task demand dijelaskan sebagai tujuan yang hendak

dicapai, waktu yang diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan, dan level

performa kerja yang diperlukan agar suatu pekerjaan dapat terselesaikan. Faktor-

faktor yang mempengaruhi usaha yang dikeluarkan adalah informasi dan peralatan

yang disediakan pada lingkungan tugas, kemampuan dan pengalaman subyek,

strategi yang dipakai dan emotional respon terhadap situasi. Sedangkan menurut

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 12 Tahun 2008

mengenai Pedoman Analisis Beban Kerja di Lingkungan Departemen Dalam

Negeri dan Pemerintah, beban kerja adalah “besaran pekerjaan yang harus dipikul

oleh suatu jabatan/unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume kerja

dan norma waktu”.

Pengertian lain tentang definisi beban kerja (workload) juga dikemukakan

oleh Groenewegen et.al. (1991), “sebagai keseluruhan waktu yang digunakan oleh

pegawai dalam melakukan aktivitas atau kegiatan selama jam kerja”. Sedangkan

menurut DiDomenico (2003), beban kerja (workload) didefinisikan sebagai

“pengorbanan yang harus dikeluarkan oleh seseorang dengan memberikan

kapasitas mereka dalam mencapai tingkat performansi dari suatu pekerjaan

dengan tuntutan yang spesifik. Tuntutan dari suatu pekerjaan atau kombinasi

pekerjaan di antaranya adalah menjaga stabilitas sikap, melakukan aksi fisik, dan

melakukan pekerjaan kognitif (performing cognitive task)”.

Noyes (2001) mengelompokkan beban kerja menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Physical Workload: Jumlah energi yang dibutuhkan seseorang untuk dapat

menyelesaikan suatu aktivitas. Ketika melakukan pekerjaan fisik akan

mengakibatkan pengeluaran energi yang berhubungan dengan konsumsi

energi dan dapat menyebabkan kelelahan.

b. Cognitive (or mental) Workload: Dapat diukur dengan cara yang bersifat

subjektif, seperti memperkirakan berapa beban kerja seseorang berdasarkan

subjektivitas atasan yang mengawasi jabatan tertentu. Selain itu dapat pula

61

Page 64: Disertasi ugm hasil 1

diukur dengan cara yang objektif, seperti mengukur aktivitas EEG, blink rate,

diameter pupil, denyut jantung dan galvanic skin response.

Tarwaka (2004), mengemukakan bahwa secara umum beban kerja

dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal, yakni:

a. Beban kerja faktor eksternal

Beban kerja faktor eksternal adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh

pekerja, seperti tugas, organisasi dan lingkungan kerja, seperti:

1). Tugas-tugas yang dilakukan baik yang bersifat fisik yaitu tata ruang kerja,

alat dan sarana kerja, sikap kerja, kondisi dan medan kerja, sikap kerja,

cara angkat/angkut beban, alat bantu kerja dan alur kerja. Sedangkan tugas

yang bersifat mental seperti kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan

pekerjaan yang mempengaruhi emosi pekerja, tanggung jawab terhadap

pekerjaan dan lain-lain.

2). Organisasi kerja yang dapat mempengaruhi beban kerja seperti lamanya

waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem

pengupahan, model struktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang.

3). Lingkungan kerja yang dapat memberikan beban tambahan kepada

pekerja, seperti:

a) Lingkungan kerja fisik, seperti suhu udara, kelembaban udara, suhu

radiasi, penerangan, kebisingan dan getaran;

b) Lingkungan kerja kimiawi yaitu gas, debu, uap, cairan dan benda

padat;

c) Lingkungan kerja biologis yaitu bakteri, virus, jamur, parasit;

d) Lingkungan kerja fisiologi (ergonomi): konstruksi mesin, sikap dan

cara kerja;

e) Lingkungan kerja psikologis seperti suasana kerja, hubungan antar

pekerja atau pengusaha dan pekerja dengan lingkungan sosial.

b. Beban kerja faktor internal

Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu

sendiri sebagai akibat adanya reaksi beban kerja eksternal seperti:

62

Page 65: Disertasi ugm hasil 1

1) Faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan dan

status gizi);

2) Faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan kepuasan).

Dari beberapa pengertian mengenai beban kerja (workload) dapat ditarik

kesimpulan beban kerja adalah, sejumlah kegiatan yang membutuhkan proses

mental atau kemampuan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu,

baik dalam bentuk fisik maupun psikis.

Untuk mengetahui seberapa besar beban kerja yang diderita seseorang yang

sedang melakukan aktivitas dilakukan suatu pengukuran. Pengukuran beban fisik

dan mental masing-masing mempunyai metode yang berbeda-beda. Pengukuran

beban kerja fisik dibagi atas dua pengukuran yaitu subjective measure dan

objective measure. Kedua jenis pengukuran ini masing-masing mempunyai

keunggulan tersendiri untuk mengevaluasi beban kerja fisik. Subjective measure

adalah metode pengukuran beban kerja berdasarkan pendapat subjective dari

responden yang diteliti beban kerjanya. Subjective measure menggunakan

kuesioner untuk menilai beban kerja tersebut. Objective measure adalah metode

pengukuran beban kerja berdasarkan pengukuran alat ukur tertentu bukan

berdasarkan pendapat subjective responden.

I. Waktu Terbang (Phases of Time)

Waktu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah “seluruh

rangkaian saat ketika proses, perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung.

Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan/kejadian,

atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. Skala waktu diukur

dengan satuan detik, menit, jam, hari (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu,

Minggu), bulan (Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus,

September, Oktober, November, Desember), tahun, windu, dekade (dasawarsa),

abad, milenium (alaf) dan seterusnya”.

Satuan waktu utama yang berlaku di seluruh dunia adalah UTC (Universal

Time Coordinated) yang dipakai sejak 1 Januari 1972. Sebagai waktu utama, UTC

membagi waktu dalam hari, jam, menit dan detik. Satu hari sama dengan 24 jam,

63

Page 66: Disertasi ugm hasil 1

dan satu jam sama dengan 60 menit serta satu menit sama dengan 60 detik.

Dengan menggunakan sistem waktu UTC, dunia penerbangan dapat memastikan

semua lokasi pilot berdasarkan patokan waktu yang sama, sehingga menghindari

kerancuan ketika terbang antar zona waktu (Handoyo dan Sudibyo, 2010).

Dalam dunia penerbangan dikenal siklus arus penumpang, yaitu musim

padat penumpang (peak season), yang biasa berlangsung selama liburan sekolah

(pertengahan tahun-bulan Juni/Juli), liburan akhir tahun (bulan Desember),

liburan lebaran atau liburan akhir pekan (long weekend). Siklus lain arus

penumpang dalam dunia bisnis penerbangan adalah musim sepi penumpang yang

biasa berlangsung pada bulan Januari dan bulan Agustus-Nopember. Selain itu

juga terdapat puncak jam sibuk lalu lintas udara (peak traffic hour/golden time)

dalam dunia penerbangan yakni dari pukul 06.00 hingga 21.00 (Handoyo dan

Sudibyo, 2010).

J. Fase Terbang (Flight phase)

Fase terbang atau flight phase adalah “tahapan terbang dari suatu pesawat

udara dari tinggal landas sampai pada pendaratan berikutnya, tetapi tidak

termasuk pendaratan teknis (technical landing). Penerbangan dimulai dari

seseorang naik pesawat udara untuk maksud penerbangan sampai suatu waktu

ketika semua orang telah meninggalkan (turun dari) atau keluar dari pesawat

udara” (Annex 13, 2001). Fase terbang terdiri atas suatu rangkaian, diantaranya

adalah: taxi, take off, climb, cruise, descent, approach dan landing. (ICAO, 2006).

64

Page 67: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 2.5. Rangkaian fase terbang pesawat udaraSumber: http://www.airways.co.nz/aspire/_content/flight_info1.asp

a. Taxi

Pergerakan pesawat udara dipermukaan bandara memakai tenaganya dan

bergerak dengan menggunakan roda, tidak termasuk lepas landas dan

pendaratan. Biasanya bergerak dari runway, taxiway menuju apron ataupun

sebaliknya.

b. Lepas landas (Take off )

Lepas landas atau sering dikenal dengan take off adalah fase dalam

penerbangan di mana sebuah pesawat udara berpindah dari bergerak di atas

permukaan (taxi) menjadi terbang di udara, biasanya pada sebuah landasan

pacu (runway). Untuk pesawat udara seperti balon udara dan helikopter, tidak

diperlukan landasan pacu. Proses lepas landas merupakan suatu proses yang

paling membutuhkan keahlian pilot agar pesawat dapat melakukan

penerbangan sesuai dengan misi yang akan dijalaninya, mulai keadaan

pesawat diam hingga berakselerasi dan terbang.

c. Terbang menanjak (Climb)

Terbang menanjak atau climb adalah proses dimana pesawat mulai terbang

dan berakhir hingga memasuki fase terbang jelajah (cruise) dan untuk

penerbangan ini dibutuhkan gaya dorong (thrust) lebih besar dari gaya

hambatnya (drag).

d. Terbang jelajah (Cruise)

Terbang jelajah atau cruise adalah bagian dari fase terbang (flight phase)

dimana fase ini merupakan fase yang paling irit dalam menggunakan bahan

bakar. Fase ini berada diantara fase climb dan fase descent dan merupakan

sebagian besar perjalanan dalam penerbangan.

e. Terbang menurun (Descent)

Terbang menurun atau descent adalah proses dimana pesawat meninggalkan

ketinggian yang lebih tinggi menuju ke ketinggian yang lebih rendah daripada

ketinggian sebelumnya atau terbang meninggalkan suatu ketinggian menuju

65

Page 68: Disertasi ugm hasil 1

ke ketinggian yang lebih rendah atau jangka waktu selama pesawat udara

melakukan penerbangan menurun meninggalkan ketinggian terbang jelajahnya

(biasanya dihitung dalam satuan waktu). Descent merupakan komponen

paling penting untuk proses selanjutnya yaitu approach dan landing.

f. Pendekatan (Approach)

Pendekatan (approach) adalah suatu tindakan atau perbuatan untuk mendekat

di ruang udara di atas daerah pendekatan (approach area)

dengan  menggerakkan pesawat udara ke arah posisi untuk melaksanakan

pendekatan yang akan mendarat.

g. Pendaratan (Landing)

Pendaratan/mendarat atau landing adalah adalah bagian terakhir dari suatu

penerbangan, di mana suatu penerbangan pesawat terbang kembali ke

landasan. Pesawat terbang pada umumnya mendarat di suatu bandar udara di

atas landasan pacu atau helikopter yang mendarat di helipad.

Lamanya fase penerbangan tidak berbanding lurus dengan kemungkinan

terjadinya kecelakaan penerbangan. Meskipun fase penerbangan tertentu

memakan sebagian besar waktu penerbangan namun belum tentu banyak terjadi

kecelakaan pada fase tersebut. Ini diperkuat berdasarkan data yang diambil dari

penelitian Boeing yang dilakukan pada periode 1959-2008 seperti pada gambar

2.6 mengenai kecelakaan pesawat terbang komersial (Boeing) berdasarkan fase

terbang pesawat menunjukkan fase terbang jelajah (cruise) yang menghabiskan

57% dari total waktu tempuh (berdasar asumsi penerbangan selama 1.5 jam)

hanya terjadi kecelakaan sebanyak 8% sedangkan korban meninggal pada fasa ini

sebanyak 16%. Sementara itu jika dilihat dari data tersebut mayoritas kecelakaan

terjadi pada fase awal penerbangan (take off & initial climb) sebesar 20 % dengan

korban meninggal pada fasa ini sebanyak 30% meskipun hanya memakan waktu

2% dari total waktu tempuh, sedangkan pada fase akhir (final apprach & landing)

yang hanya memakan waktu 4% dari total waktu tempuh terjadi kecelakaan

sebesar 36 % dengan korban jiwa sebanyak 25%. Hal ini diakibatkan karena

dalam operasi penerbangan fase awal (take off & initial climb) dan fase akhir

(final apprach & landing) adalah fase paling kritis dan berbahaya dalam operasi

66

Page 69: Disertasi ugm hasil 1

penerbangan hal ini memungkinkan karena fakta bahwa fase fase awal (take off &

initial climb) dan fase akhir (final apprach & landing) adalah fase yang terjadi

dekat dengan tanah (near the ground) sehingga mengakibatkan resiko yang lebih

besar dalam hal keselamatan. Selain itu pada tahap ini juga banyak prosedur

penggantian pengoperasian pesawat (aircraft configuration) yang harus dilakukan

oleh pilot sehingga kemungkinan terjadinya error dapat meningkat.

Gambar 2.6. Kecelakaan berdasarkan fase terbang pesawat udaraSumber: http://planecrashinfo.com/cause.htm

K. Lokasi (Location)

Pengertian lokasi menurut Kartawidjaja (1988) adalah “posisi suatu tempat,

benda, peristiwa, atau gejala di permukaan bumi dalam hubungannya dengan

tempat, gejala atau peristiwa lain”. Sedangkan menurut Tarigan (2005) bahwa

“landasan dari lokasi adalah ruang”. Ruang disini adalah permukaan bumi yang

ada di atas atau di bawah sepanjang manusia masih bisa menjangkaunya. Lokasi

menggambarkan posisi pada ruang tersebut.

Menurut Sumaatmadja (1988) lokasi dalam ruang dapat dibedakan antara

lokasi absolut dan lokasi relatif. Lokasi absolut suatu tempat atau wilayah, yaitu

lokasi yang berkenaan dengan posisinya menurut garis lintang dan garis bujur

atau berdasarkan garis-garis derajat. Lokasi absolut tidak dapat berubah dan

bersifat tetap karena berkaitan dengan bentuk bumi. Dengan dinyatakan lokasi

absolut suatu tempat atau suatu wilayah karakteristik tempat yang bersangkutan

dapat diabstraksikan lagi lebih jauh lagi. Untuk memperhitungkan karakteristik

lebih jauh lagi harus diketahui lokasi relatifnya. Lokasi relatif suatu tempat atau

67

Page 70: Disertasi ugm hasil 1

wilayah, yaitu lokasi tempat atau wilayah yang bersangkutan yang berkenaan

dengan hubungan tempat atau wilayah tersebut dengan faktor alam atau faktor

budaya disekitarnya.

Sehubungan dengan pengertian lokasi Gunawan (1997) mengemukakan

bahwa “tempat atau lokasi adalah suatu area yang dapat dikenali atau dibatasi

dimana terjadi sesuatu kegiatan tertentu dimana terdapat suatu obyek”.

Dalam dunia penerbangan pengertian lokasi lebih tertuju pada kondisi

daratan suatu daerah (terrain) yakni permukaan bumi yang berisi/mengandung

fitur-fitur yang terjadi secara alami seperti gunung, bukit, lembah, perairan, es

permanent dan salju, tidak termasuk “obstacle” (Sukajaya et.al. 2010).

L. Cuaca (Weather)

Cuaca adalah keadaan udara pada saat tertentu dan diwilayah tertentu yang

relatif sempit dan pada jangka waktu yang singkat. Cuaca itu terbentuk dari

gabungan unsur cuaca dan jangka waktu cuaca dalam waktu beberapa jam saja.

Cuaca (weather) dan iklim (climate) merupakan suatu kondisi udara yang terjadi

di permukaan bumi akibat adanya penyebaran pemerataan energi yang berasal

dari matahari yang diterima oleh permukaan bumi (Lakitan, 1997).

Cuaca adalah seluruh fenomena yang terjadi di atmosfer bumi/planet

lainnya. Cuaca biasanya merupakan sebuah aktivitas fenomena dalam waktu

beberapa hari saja. Cuaca terjadi karena suhu dan kelembaban yang berbeda

antara satu tempat dengan tempat lainnya. Perbedaan ini dapat terjadi karena

sudut pemanasan matahari yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya

karena perbedaan lintang bumi. Perbedaan yang tinggi antara suhu udara di daerah

tropis dan daerah kutub dapat menimbulkan arus jet (jet stream). Sumbu bumi

yang miring dibanding orbit bumi terhadap matahari membuat perbedaan cuaca

sepanjang tahun untuk daerah sub tropis hingga kutub (Handoyo dan Sudibyo,

2010).

Cuaca penerbangan adalah ”cuaca yang diperuntukkan khusus untuk dunia

penerbangan, baik untuk saat lepas landas, mendarat maupun selama

penerbangan. Informasi cuaca ini diberikan setiap waktu pada saat pesawat akan

68

Page 71: Disertasi ugm hasil 1

merencanakan penerbangan yang disesuaikan dengan jadwal penerbangan.

Informasi cuaca pada saat lepas landas, selama perjalanan dan mendarat meliputi

beberapa unsur cuaca, yaitu angin, jarak pandang, tekanan, jenis awan, dan suhu”

(Handoyo dan Sudibyo, 2010).

a. Angin

Unsur arah angin ini diperlukan untuk menentukan dari mana dan kemana

pesawat tersebut lepas landas maupun mendarat dengan memperhitungkan

kecepatan angin (wind speed) yang sedang terjadi, sedangkan selama

perjalanan dimanfaatkan untuk mempertahankan posisi pesawat saat di udara.

Perubahan arah dan kecepatan angin permukaan yang signifikan dilaporkan

seketika itu juga untuk keselamatan penerbangan saat lepas landas (take off)

maupun mendarat (landing). Pesawat terbang akan melakukan pendaratan

(landing) dan lepas landas (take off) menuju arah datangnya angin, namun

juga memperhatikan landasan contoh:

1) Pada landasan yang memanjang dari barat hingga timur

- Jika angin berasal dari barat maka pesawat akan lepas landas maupun

landing menuju barat.

- Jika angin berasal dari timur maka pesawat akan lepas landas maupun

landing menuju timur.

2) Pada landasan yang memanjang dari utara hingga selatan

- Jika angin berasal dari selatan maka pesawat akan lepas landas maupun

landing menuju selatan.

- Jika angin berasal dari utara maka pesawat akan lepas landas maupun

landing menuju utara.

b. Jarak Pandang (visibility)

Visibility adalah jarak pandang mendatar, maksudnya jarak pandang terjauh

yang bisa dilihat oleh pengamat tanpa ada halangan apapun. Untuk pesawat

yang tidak otomatis, informasi jarak pandang sangat diperlukan dalam hal

pendaratan, baik jarak pandang vertikal maupun horizontal.

69

Page 72: Disertasi ugm hasil 1

1) Jarak pandang vertikal: erat kaitannya dengan saat pesawat akan

melakukan pendaratan saat masih di udara, hal ini penting untuk

mengetahui posisi dan sisa runway agar pendaratan dapat dilakukan

dengan tepat.

2) Jarak pandang horizontal: erat kaitannya dengan saat pesawat sudah mulai

mendarat di dekat permukaan.

Dalam penerbangan dikenal dengan Runway Visual Range (RVR), RVR

merupakan alat meterologi yang memberikan informasi jarak pandang

maksimum (visibility) didaerah sekitar runway, RVR biasanya dipasang

sebagai kelengkapan fasilitas Instrumen Landing System (ILS)

Kejadian-kejadian yang dapat mengurangi jarak pandang:

1) Hujan deras (heavy rain)

Pada dasarnya hujan didefinisikan sebagai partikel-partikel air yang jatuh

ke permukaan tanah berbentuk kepingan dengan diameter 0.5 mm atau

kurang, dapat dibayangkan apabila partikel-partikel yang jatuh ke bumi di

suatu bandara jumlahnya sangat banyak, tentu saja akan mengakibatkan

berkurangnya jarak pandang. Pada umumnya hujan deras ini jatuh dari

awan rendah antara lain awan Cumulonimbus (Cb).

2) Udara kabur (haze)

Hal ini terjadi dikarenakan polusi udara karena asap kendaraan, asap dari

hasil pembuangan industri pabrik, dan pembakaran hutan. Partikel-partikel

asap yang besar akan jatuh ke permukaan bumi, sedangkan partikel-

partikel yang kecil yang seukuran dengan mist dan halimun akan

melayang di udara.

3) Halimun

Terdiri dari tetes-tetes air mikroskopis yang melayang di udara, kejadian

ini dapat mengurangi jarak pandang tidak kurang dari 1 km. tetes-tetes air

mikroskopis ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang karena

ukurannya yang sangat kecil.

4) Kabut (fog)

70

Page 73: Disertasi ugm hasil 1

Terdiri dari tetes-tetes air yang sangat kecil yang melayang-layang di

udara dan dapat mengurangi jarak pandang kurang dari 1 km. tetes-tetes

air ini dapat dilihat dengan mata biasa dan pergerakannya mengikuti

pergerakan udara.

5) Smog

Merupakan campuran asap dan kabut yang dapat mengurangi jarak

pandang.

6) Badai pasir (Sandstrom)

Terjadi dari pengangkatan pasir yang dapat naik ke udara dikarenakan

tiupan angin, namun ketinggian naiknya pasir ini tergantung dari

ukurannya namun karena ringan, partikel ini jarang mencapai ketinggian

lebih dari 20-30 m. Biasanya terjadi di daerah padang pasir.

7) Badai debu (Duststrom)

Terjadi dari partikel-partikel debu yang sangat kecil yang melayang di atas

permukaan hingga ketinggian beberapa km dari permukaan, kejadian ini

dapat berlangsung lama dan meluas dan umumnya terjadi pada daerah

padang pasir.

c. Tekanan (preasure)

Tekanan menggambarkan gaya per satuan luas pada suatu ketinggian tertentu.

Dimana tekanan udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan

menentukan kerapatan udara selain daripada suhu udara. Tekanan merupakan

salah satu unsur cuaca terpenting yang dibutuhkan dalam penerbangan,

tekanan tidak lepas kaitannya dengan suhu, dimana tekanan berbanding

terbalik dengan suhu. Hal ini jelas apabila suhu tinggi maka tekanan rendah

dan sebaliknya, apabila suhu rendah maka tekanan tinggi. Tekanan permukaan

laut/Mean Sea Level Pressure (MSLP) adalah tekanan pada permukaan laut

atau (saat pengukuran tekanan dilakukan pada daratan yang telah ditentukan

ketinggiannya).

Dalam dunia penerbangan dikenal istilah “Altimeter”, yaitu sebuah barometer

aneroid yang dibuat sedemikian rupa sehingga skala-skalanya dapat

menunjukkan ketinggian (altitude). Kesalahan pada saat pembacaan tekanan

71

Page 74: Disertasi ugm hasil 1

akan berakibat pada kesalahan dalam penyetelan altimeter, hal ini tentu saja

akan mengakibatkan kesalahan penafsiran ketinggian pesawat oleh pilot,

terutama pada saat mendarat. Selain itu informasi tekanan juga berpengaruh

terhadap ketinggian kerapatan udara (density height) yang kemudian mengacu

pada daya angkat pesawat dan panjang landasan yang diperlukan pada saat

pesawat lepas landas.

Tekanan udara yang dipergunakan sebagai patokan dan di setel pada skala

tekanan, umumnya dinyatakan dalam bentuk sandi internasional. Adapun

sandi tersebut adalah sebagai berikut:

1) QFE (Q-code Field Elevation): Tekanan udara pada permukaan lapangan

terbuka yang didapat dari tekanan yang diamati pada ketinggian induk

barometer, kemudian dijabarkan ke tekanan permukaan lapangan terbang.

2) QFF: Tekanan udara pada suatu stasiun dijabarkan ke tekanan permukaan

laut sesuai dengan konvensi meteorologi.

3) QNE (Q-code Nautical Elevation): Ketinggian tekanan (pressure height)

terhadap tekanan lapangan terbang.

4) QNH (Q-code Nautical Height): Tekanan udara pada lapangan terbang

dijabarkan ke tekanan permukaan laut sesuai dengan spesifikasi atmosfer

standar ICAO.

Dalam praktek operasi penerbangan, jika QFE ini di setel pada skala maka

jarum akan menunjukkan ketinggian nol dan ini dipergunakan untuk keperluan

landing. Tetapi jika QNH yang kita setel, jarum akan menunjukkan elevasi

stasiun pada tempat pendaratan. Umumnya cara ini sering dipergunakan. QNE

biasanya dipergunakan dalam hubungannya dengan suhu udara untuk

memperoleh ketinggian kerapatan udara (density height) yang merupakan

petunjuk yang baik terhadap daya kerja suatu pesawat.

d. Jenis awan

Ada bermacam-macam jenis awan berdasarkan level ketinggian, yaitu awan

rendah, menengah, dan tinggi. Dalam penerbangan awan yang harus

dilaporkan adalah jenis awan rendah yaitu awan Cumulonimbus (Cb) dan

awan Towering Cumulus (Tcu), namun pada umumnya awan Cb. Awan ini

72

Page 75: Disertasi ugm hasil 1

sangat ditakuti dalam penerbangan karena  dapat mengakibatkan updraft (arus

naik), downdraft (arus turun), dan windshear (perubahan kecepatan secara

tiba-tiba), yang apabila pesawat berada di dalam/bawah  awan ini pada saat

setelah lepas landas, sebelum mendarat, maupun pada saat terbang akan

mengakibatkan ketidakstabilan posisi pesawat yang dapat berakibat fatal.

e. Suhu udara

Temperatur udara permukaan bumi merupakan salah satu unsur penting yang

diamati oleh pengamat cuaca (Meteorological Station maupun Climatological

Station). Dalam meteorologi yang dimaksud dengan suhu udara permukaan

adalah suhu udara pada ketinggian 1,25 meter sampai dengan 2 meter dari

permukaan tanah. Suhu udara adalah salah satu faktor penting terhadap daya

kerja pesawat terbang. Pada suatu tekanan udara dalam suhu yang tinggi akan

mengakibatkan rendahnya kerapatan udara, dimana akan menimbulkan

pengaruh yang meragukan pesawat-pesawat terbang terutama pada saat

mengudara. Suhu udara dalam penerbangan sangat erat kaitannya dengan

pemuaian udara dimana apabila suhu tinggi udara memuai, begitu pula

sebaliknya:

1) Apabila suhu lebih tinggi: mengakibatkan pemuaian udara yang lebih, hal

ini dapat mengakibatkan terbentuknya fatamorgana yang dapat

mempengaruhi estimasi pilot mengenai jarak pandang yang sebenarnya.

Suhu yang tinggi dapat juga memacu meningkatkan daya angkat yang

harus dihasilkan pesawat yang nantinya akan mempengaruhi terhadap

penggunaan bahan bakar. Dapat dibayangkan apabila udara di sekeliling

pesawat yang merupakan media terbangnya pesawat menjadi renggang,

yang dapat mengurangi daya angkat pesawat.

2) Apabila suhu lebih rendah: dengan suhu yang lebih rendah, udara di

sekeliling akan lebih rapat dari pada ketika panas, hal ini menyebabkan

pesawat memiliki daya angkat yang lebih pada saat lepas landas, maupun

terbang di udara, yang tentunya akan dapat mengurangi daya angkat yang

73

Page 76: Disertasi ugm hasil 1

harus dihasilkan pesawat sehingga dapat mengurangi penggunaan bahan

bakar.

Suhu di lapangan terbang mempunyai peranan penting dalam operasi

penerbangan. Diantaranya:

1) Penerbang dapat menentukan kemampuan mesin pesawat untuk dapat

digunakan semaksimal mungkin. Atas dasar suhu dan tekanan udara

penerbang dapat memperhitungkan beban dan panjang landasan pada

waktu take off dan landing;

2) Penerbang dapat menentukan density height-nya (ketinggian kerapatan

udaranya). Untuk ketinggian 1°C dapat menyebabkan kesalahan

perhitungan ketinggian 120 feet.

Variasi suhu sekelilingnya sangat berpengaruh terhadap pesawat terbang.

Akibat dari kenaikan suhu akan menyebabkan kekurangan arus udara yang

dihisap dan kelajuannya, bertambahnya bahan bakar yang digunakan dan

kurang efisien bekerjanya kompresor. Karena itu penerbang harus bisa

membedakan antara perubahan suhu pada tekanan tertentu dengan perubahan

akibat alami bila ketinggian berubah

Dalam dunia penerbangan terdapat istilah prakiran cuaca (weather forecast)

yakni prakiran keadaan atmosfer dengan merujuk satu atau lebih unsur cuaca yang

bersangkutan (Handoyo dan Sudibyo, 2010), yang terdiri atas:

a. Route forecast

Adalah prakiraan cuaca sepanjang jalur penerbangan yang berisikan prakiraan

dari unsur udara atas (angin, suhu) dan fenomena cuaca yang berkaitan dengan

awan sepanjang jalur penerbangan.

b. Landing weather forecast

Adalah prakiraan cuaca yang diperlukan untuk pesawat udara yang akan

melakukan pendaratan, baik di bandara tujuan (airport destination) maupun

bandara cadangan (airport alternate). Pada umumnya masa berlaku landing

weather forecast paling lama dua jam dari waktu pembuatan prakiraan

tersebut. Penyampaian landing weather forecast kepada penerbang sekurang-

74

Page 77: Disertasi ugm hasil 1

kurangnya satu jam sebelum pesawat udara sampai di bandara pendaratan.

Landing weather forecast dapat berupa informasi:

1) Cuaca yang diperkirakan akan terjadi selama waktu masa berlakunya

prakiraan;

2) Kecendrungan perubahan atau perkembangan unsur cuaca yang di

prakirakan akan terjadi selama waktu yang disebutkan.

Unsur cuaca yang diprakirakan adalah: kondisi angin permukaan,

banglas/pandangan tanpa halangan, kondisi awan, dan fenomena cuaca yang

signifikan.

c. Take off weather forecast

Adalah prakiraan cuaca yang diperlukan untuk pesawat udara melakukan

tinggal landas dari suatu bandara. Prakiraan cuaca saat tinggal landas ini

disampaikan atas permintaan perusahaan penerbangan dan awak pesawat.

Penyampaian take off weather forecast dilakukan tiga jam sebelum rencana

keberangkatan pesawat. Prakiraan tersebut meliputi angin permukaan, suhu,

tekanan udara dan unsur lain yang diperlukan.

Cuaca buruk pada saat penerbangan dapat disebabkan karena:

a. Turbulensi

Turbulensi adalah golakan udara yang umumnya tidak dapat dilihat. Hal ini

dapat terjadi apabila langit cerah dan secara tiba-tiba tanpa diprediksi

sebelumnya. Penyebab dari turbulensi diantaranya:

1) Suhu – Pemanasan dari matahari menyebabkan masa udara panas naik dan

sebaliknya masa udara dingin turun, turbulensi jenis ini sering disebut

dengan ”turbulensi thermis”;

2) Jet stream – Pergerakan yang sangat cepat arus udara pada level

ketinggian yang tinggi, dan mempengaruhi udara disekitarnya;

3) Pegunungan – Massa udara yang melewati pegunungan dan

mengakibatkan turbulensi pada saat pesawat terbang di atasnya pada sisi

yang lain. Turbulensi jenis ini sering disebut dengan “turbulensi

mekanis”;

75

Page 78: Disertasi ugm hasil 1

4) Wake turbulence – Turbulensi yang terjadi dekat dengan permukaan yang

dilewati pesawat atau helikopter.

b. Updraft dan Downdraft pada awan Cumulunimbus (Cb)

Updraft dan downdraft adalah pergerakan vertikal dari massa udara sebagai

bagian dari fenomena cuaca. Hal ini dikarenakan perbedaan massa udara

panas dengan massa udara dingin sehingga mengakibatkan massa udara yang

lebih panas dari sekitarnya naik hingga suhunya sama dengan suhu sekitar,

sedang massa udara yang suhunya lebih dingin turun. Keadaan ini

mengakibatkan pesawat yang sedang berada di dalam dan di bawah badan

awan Cb menjadi tidak stabil posisinya dan jika updraft dan downdraft yang

terjadi sangat kuat, akan mengakibatkan pesawat mengalami kejadian yang

sering disebut dengan “turbulence”.

Apabila kekuatan downdraft dari awan Cb sangat besar, maka kejadian ini

disebut ”downburst”, dimana dapat menghasilkan angin vertikal turun yang

sangat kencang dengan kecepatannya mencapai 240 km/jam. Dengan

kecepatan vertikal yang lebih besar lagi hingga mencapai lebih dari 75 m/detik

atau 270 km/jam dan dirasakan dalam wilayah yang lebih besar dari 4 km,

maka downdraft ini disebut dengan ”microbust”. Downdraft dan micobust

harus dihindari oleh pilot karena dapat menyebabkan kecelakaan pesawat pada

saat lepas landas maupun pendaratan. 

c. Icing

Dalam penerbangan, kodisi icing merupakan kondisi dimana terbentuk es di

permukaan badan pesawat, atau ketika karburator di dalam mesin pesawat

membeku. Icing terjadi ketika uap air membeku di bawah titik beku.

Fenomena ini tidak membahayakan penerbangan dengan seketika namun

secara perlahan-lahan apabila kondisi ini dibiarkan terus-menerus. Hal ini

akan mengakibatkan kerusakan mesin, pengurangan daya kerja, penambahan

berat pesawat, mengganggu arus udara, dan meningkatkan kecepatan stall

pesawat yang nantinya akan mengganggu kerja pesawat.

d. Kilat

76

Page 79: Disertasi ugm hasil 1

Sambaran kilat pada pesawat terbang akan merusakkan peralatan navigasi,

juga sistem peralatan yang lainnya dalam pesawat. Selain itu sinar yang silau

yang dipancarkan oleh kilat secara terus-menerus akan mengganggu pilot

dalam menerbangkan pesawat, dalam hal ini pesawat yang digunakan

bukanlah pesawat otomatis.

Fenomena cuaca yang keberadaannya berada diluar kendali manusia, sering

dimasukan kedalam faktor (pihak), yang dapat menjadi penyabab terjadinya

sebuah kecelakaan.

M. Landasan Teori

Penggunaan bahan-bahan teori yang ada adalah sebagai langkah untuk

memfokuskan arah penelitian yang dilakukan, disamping juga dalam

memberikan kontribusi pengetahuan bagi peneliti (contribution of knowledge)

demikian juga bagi pembaca.

1. Hubungan antara Kinerja (Performance) terhadap Kecelakaan Pesawat

Terbang

Sebuah kecelakaan di penerbangan adalah kejadian atau musibah yang

munculnya dapat secara tidak terduga dan terelakkan. Proses kejadian tersebut

dapat digambarkan sebagai sesuatu yang ikut bersama dalam setiap perjalanan,

namun tersembunyi dan akan muncul secara tiba-tiba pada saat satu atau beberapa

faktor penentu terjadinya keselamatan lainnya dalam kondisi lengah atau tidak

sepenuhnya mengikuti aturan yang seharusnya dipenuhi

Berbagai penyelidikan terhadap kecelakaan pesawat terbang yang terjadi,

sebagian besar penyebabnya diarahkan terhadap faktor-faktor pelaku atau manusia

yang terlibat didalam proses pelaksanaan penerbangan tersebut.

Manusia sebagai komponen sistem atau sub sistem adalah yang paling

fleksibel, adaptabel dan valuabel dari sistem penerbangan, tapi juga yang paling

sensitif terhadap pengaruh yang dapat berdampak pada kinerja (performance).

Human performance merupakan kemampuan dan keterbatasan manusia yang

mengakibatkan suatu dampak terhadap keselamatan dan efisiensi operasi

penerbangan. Kurang optimalnya kinerja (performance) pilot dapat

mempengaruhi keselamatan penerbangan.

77

Page 80: Disertasi ugm hasil 1

Hubungan antara kinerja (performance) dengan terjadinya kecelakaan

pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Susetyadi et.al.

(2008) yang melakukan penelitian mengenai kinerja pilot ditinjau dari konsep

SHELL (Software, Hardware, Environment, Liveware-Liveware) didapat bahwa

dari konsep tersebut tidak terdapat kendala yang berarti dalam mempengaruhi

kinerja seorang pilot dalam melakukan tugasnya.

Simons dan Valk (1997) pada penelitiannya yang meneliti hubungan antara

pengaruh pengoperasian jarak jauh pada operasi penerbangan dengan kinerja pilot

didapat hasil bahwa cockpit rest period atau waktu istirahat crew di kokpit saat

berlangsungnya penerbangan dapat meningkatkan kewaspadaan dan kinerja dari

seorang pilot sehingga dapat meminimalisasikan kemungkinan terjadinya

kecelakaan pesawat udara. Hal yang sama juga dihasilkan dari penelitian yang

dilakukan oleh Rosekind et.al. (1994), bahwa kesempatan untuk dapat beristirahat

saat pengoperasian penerbangan jarak jauh memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap peningkatan kinerja dan kewaspadaan fisik dari seorang pilot.

2. Hubungan antara Beban Kerja (Workload) terhadap Kecelakaan

Pesawat Terbang

Setiap aktifitas atau pekerjaan yang dilakukan oleh manusia pasti

mempunyai suatu beban kerja. Beban kerja muncul karena adanya interaksi antara

operator dan tugas yang diberikan oleh operator.

Dalam mengoperasikan pesawat keselamatan adalah hal yang harus

diutamakan, namun dalam prakteknya ada beberapa hal yang tidak hal yang tidak

dapat terduga oleh pilot yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Pada

situasi tersebut pilot dituntut untuk lebih berkonsentrasi, dan pada kondisi yang

tak terduga tersebut dapat menimbulkan beban kerja yang tinggi.

Dukungan empiris untuk hubungan beban kerja (workload) terhadap

kecelakaan pesawat terbang telah terbukti dibeberapa penelitian. Wignjosoebroto

dan Zaini (2007) dengan menggunakan metode Subjective Workload Assesment

Technique (SWAT) didapat hasil bahwa secara individu faktor IQ (Intelligency

Quotient) sesuai dengan uji statistik tidak pernah memberikan pengaruh yang

78

Page 81: Disertasi ugm hasil 1

signifikan terhadap beban kerja mental baik pada pilot Fokker 28 maupun pilot

Boeing 737. Disisi lain faktor phase penerbangan, faktor kondisi penerbangan dan

faktor jam terbang pilot telah terbukti memberikan pengaruh yang cukup

signifikan terhadap beban kerja mental pada pilot kedua jenis pesawat tersebut.

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Schvaneveldt (2000) yang

juga menggunakan metode SWAT menghasilkan diantara fase terbang dalam

pengoperasian pesawat terbang, fase take off, approach dan landing memiliki

nilai beban kerja yang tinggi pada saat kondisi normal pengoperasian pesawat.

Dalam penelitiannya juga didapat bahwa kecelakaan pesawat sering terjadi pada

fase take off, approach dan landing.

Penelitian yang dilakukan oleh Susetyadi et.al. (2008); Shappell et.al.

(2007); lebih menekankan kepada berbagai beban kerja (work load), dan kondisi

dari seorang pilot yang memiliki kaitan dengan kecendrungan human factor yang

bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan

3. Hubungan antara Waktu Terbang (Phases of Time) terhadap

Kecelakaan Pesawat Terbang

Dalam dunia penerbangan dikenal siklus arus penumpang, yaitu musim

padat penumpang (peak season), yang biasa berlangsung selama liburan sekolah

(pertengahan tahun-bulan juni/juli), liburan akhir tahun (bulan Desember), liburan

lebaran atau liburan akhir pekan (long weekend). Siklus lain arus penumpang

dalam dunia bisnis penerbangan adalah musim sepi penumpang yang biasa

berlangsung pada bulan Januari dan bulan Agustus-Nopember.

Beberapa penelitian mengenai hubungan antara waktu terbang terhadap

terjadinya kecelakaan pesawat terbang telah dibuktikan oleh beberapa peneliti.

Penelitian yang dilakukan oleh De Mello, et. al. (2008) mengenai penyebab

kecelakaan pesawat udara ditinjau dari kesalahan manusia (human factor) adalah

dengan dilihat dari shift kerja (waktu) dari si pilot itu sendiri, dalam

penelitiannya menunjukan bahwa periode pagi (00:00-11:59) memiliki resiko

yang lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan (1:1.46), dibandingkan dengan

79

Page 82: Disertasi ugm hasil 1

periode sore dari pukul 12:00 – 17:59 dengan rasio 1:1.05 dan periode malam

antara pukul 18:00 – 23.59 (rasio 1:1.04).

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Salem dan Kleiner (2005),

didapat bahwa tidak terdapat pengaruh antara waktu malam dan siang, atau cuaca

buruk dan cerah terhadap terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang, namun

dapat mempengaruhi tingkat kewaspadaan, dan beban kerja dari seorang pilot.

Goode (2003) pada penelitiannya yang meneliti hubungan antara jadwal

terbang pilot terhadap tingkat kelelahan pilot (fatique) dan kecelakaan pesawat

terbang, didapat bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peluang

terjadinya kecelakaan pesawat terbang dengan jadwal jam terbang pilot. Selain itu

pula didapati hasil bahwa pembatasan atau pengaturan jam terbang pilot dapat

mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan pesawat yang diakibatkan dari faktor

kelelahan seorang pilot (pilot fatique).

Penelitian yang sama tentang faktor penjadwalan waktu terbang dengan

terjadinya kecelakaan pesawat terbang juga dilakukan oleh Rosekind et.al. (2006),

dan MacPherson dan Tvaryans, (2009). Dalam penelitiannya Rosekind et.al.

(2006) mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara

kelelahan seorang pilot yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu kecelakaan

pesawat terbang dengan penjadwalan waktu tugas seorang pilot. Sedangkan

MacPherson dan Tvaryans, (2009) mendapati bahwa tidak terdapat penurunan

yang signifikan terhadap tingkat kelelahan seorang pilot (pilot fatique) meskipun

terdapat modifikasi terhadap pengaturan jadwal waktu terbang seorang pilot.

Sementara itu penelitian yang meneliti masalah waktu dalam hal ini lama

waktu tugas seorang pilot yang berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya

kecelakaan pesawat terbang didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan antara lamanya waktu tugas (dalam jam dan minggu) dan juga total jam

terbang seorang pilot terhadap potensi terjadinya kecelakaan pesawat terbang,

Conway et.al. (2005). Sedangkan Sukawaningtyas (2007) mendapati bahwa faktor

dominan yang menyebabkan kelelahan pada pilot yang dapat mengakibatkan

terjadinya kecelakaan pesawat terbang adalah lamanya waktu tugas.

80

Page 83: Disertasi ugm hasil 1

4. Hubungan antara Fase Terbang (Flight Phase) terhadap Kecelakaan

Pesawat Terbang

Peristiwa kecelakaan pesawat terbang dapat terjadi pada tahap

pengoperasian pesawat terbang, diawali dengan sejak taxi, tinggal landas (take

off), menanjak (climb), penerbangan jelajah (cruising flight), dan tahap pendaratan

yang dimulai dari descent, awal pendaratan (approach) kemudian menyentuh

landasan (touch down) sampai pesawat terbang berhenti di apron Bandar udara

tujuan pendaratan.

Beberapa penelitian dibawah ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara fase terbang (flight phase) terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang.

Penelitian yang dilakukan oleh Tiabtiamrat et.al. (2009) yang membahas masalah

fase terbang (flight phase) menunjukkan bahwa phase terbang (phase flight) pada

pesawat Boeing 737 mempunyai efek yang signifikan terhadap terjadinya

kecelakaan pesawat terbang namun hal ini tidak berkaitan dengan jumlah korban

yang ditimbulkan.

Hasil penelitiaan Cardi et.al. (2012), yang juga meneliti hubungan fase

terbang dengan terjadinya kecelakaan pesawat teerbang didapatkan bahwa fase

landing yang meliputi fase approach dan fase landing itu sendiri memiliki nilai

yang tinggi dan signifikan terhadap terjadinya suatu kecelakaan dibandingkan

dengan fase take off dan climb. Dalam penelitiannya juga ditemukan hasil bahwa

untuk fase approach kecelakaan tertinggi yakni terjadi sebelum runway (88%),

sedangkan untuk fase landing kecelakaan tertinggi terjadi setelah runway yakni

sebesar 46 %.

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Wignjosoebroto dan Zaini,

(2007), yang membahas hubungan antara fase terbang suatu pesawat dengan

terjadinya kecelakaan yang diwakili dengan variabel beban kerja juga

membuktikan bahwa fase terbang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

beban kerja pilot yang dapat mempengaruhi keselamatan dalam pengoperasian

penerbangan, dalam penelitiannya juga membandingkan antara pilot yang

mengoperasikan jenis pesawat yang berbeda yakni Fokker 28 dan Boeing 737.

81

Page 84: Disertasi ugm hasil 1

5. Hubungan antara Lokasi (Location) terhadap Kecelakaan Pesawat

Terbang

Dalam dunia penerbangan pengertian lokasi lebih tertuju pada kondisi

daratan suatu daerah (terrain) yakni permukaan bumi yang berisi/mengandung

fitur-fitur yang terjadi secara alamai seperti gunung, bukit, lembah, perairan, es

permanent dan salju, tidak termasuk “obstacle”. Jalur penerbangan dengan kontur

yang ekstrem dan lokasi bandara yang sulit menjadikan keputusan pilot saat

menerbangkan pesawat menjadi dominan.

Untuk hubungan antara lokasi kejadian dengan terjadinya kecelakaan

pesawat terbang, penelitian yang dilakukan oleh Grabowski et. al. (2002) dari

hasil yang didapat dengan menggunakan GIS (Geographic Information System)

didapati bahwa sekitar 74 wilayah (geographic area) di Amerika Serikat

tergolong masuk wilayah memiliki tingkat yang rendah untuk terjadinya

kecelakaan pesawat terbang, sedangkan 53 wilayah masuk kategori wilayah yang

berbahaya meliputi daerah pegunungan.

Changchun dan Dongdong (2012), pada penelitiannya yang menggunakan

metode grey incident analysis untuk meneliti daerah yang paling rawan

terjadinya kecelakaan di China didapati bahwa daerah Tenggara China yang

mempunyai kontur daratan tinggi memiliki relevansi yang tinggi untuk

terjadinya kecelakaan pesawat terbang, dan dalam penelitiannya juga didapati

bahwa kontur daerah yang tinggi dapat mempengaruhi manusia dalam hal ini

pilot untuk melakukan tindakan yang berujung kesalahan manusia (human

factor). Selain berpengaruh terhadap keselahan manusia (human factor) ternyata

daerah yang memiliki kontur wilayah yang tinggi menyimpan pula potensi

bahaya yang diakibatkan oleh hewan dalam hal ini burung, karena dari hasil

penelitian didapati bahwa penyebab kecelakaan didaerah tersebut juga

disebabkan oleh burung (bird strike).

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Li dan Kearney (2000), yang

meneliti tentang hubungan antara resiko kecelakaan dan kematian yang

berkaitan dengan kondisi geoegrafis suatu daerah, didapati bahwa 8,9 kejadian

kecelakaan per 100.000 jam terbang diwilayah yang memiliki kontur dataran

82

Page 85: Disertasi ugm hasil 1

tinggi (pegunungan) diwilayah Alaska memiliki tingkat kecelakaan yang paling

fatal. Dalam penelitian ini juga didapati bahwa meskipun jumlah penerbangan

telah dikendalikan untuk wilayah tersebut namun probabilitas terjadinya

kecelakaan tetaplah tinggi.

Hasil penelitian Grabowski et.al. (2002) yang juga meneliti hubungan

lokasi dengan terjadinya kecelakaan pesawat terbang, menunjukkan bahwa

terjadinya kecelakaan didaerah yang memiliki kontur wilayah tinggi dalam hal

ini adalah daerah pegunungan terjadi lebih banyak pada waktu malam hari dan

pada saat kondisi terbang menggunakan metode IMC (Instrument Meteorogical

Condition).

Penelitian lain yang meneliti hubungan antar terjadinya kecelakaan pesawat

terbang dengan lokasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Rebok et.al. (2009).

Dalam penelitiannya selain meneliti hubungan antar lokasi dengan kecelakaan

pesawat terbang, juga meneliti faktor lain yang dipakai dalam penelitiannya

yakni faktor waktu dan usia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pilot yang

berusia tua lebih banyak mengalami kecelakaan pada waktu siang hari dan

lokasi terjadinya kecelakaan adalah diluar kawasan bandara, dari hasil penelitian

juga didapati bahwa 28% kecelakaan disebabkan masalah mekanikal dari

pesawat, 25% merupakan kejadian kehilangan kendali (loss control) baik pada

saat take off maupun landing, 7% diakibatkan fuel saturation, 7% karena kondisi

terbang menggunakan metode VFR (Visual Flight Rule) dan 28% disebabkan

oleh penyebab lainnya.

Penelitian Ayers et.al. (2012) yang meneliti resiko terjadinya kecelakaan

pesawat disekitar lokasi Bandara, didapati bahwa kecelakaan pesawat sering

terjadi di ujung landasan dari suatu Bandara, baik itu take off overruns maupun

landing over shoot.

6. Hubungan antara Cuaca (Weather) terhadap Kecelakaan Pesawat

Terbang

Pada moda transportasi, transportasi udara merupakan moda yang sangat

bergantung pada keadaan cuaca, baik waktu tinggal landas/lepas landas ataupun

83

Page 86: Disertasi ugm hasil 1

pada waktu pesawat di udara. Kecelakaan pada pesawat terbang dapat disebabkan

oleh teknis, kesalahan manusia, maupun faktor cuaca.

Pengaruh cuaca (weather) terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang

sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Bustamante, et.al., (2005) dalam

penelitiannya didapatkan hasil bahwa terdapat kenaikan nilai beban kerja pilot

yang signifikan pada saat pesawat yang dioperasikan oleh pilot memasuki

kondisi cuaca yang buruk, dalam penelitian ini juga didapat ada perbedaan

tingkat kesadaraan (situation awarness) antara kapten pilot dengan kopilot

dalam menghadapi kondisi tersebut.

Sementara itu keterkaitan antara kondisi cuaca dengan pengoperasian

kondisi penerbangan yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan dilakukan

penelitian oleh Wong et.al. (2006); Jarboe, (2005); Batt dan O’Hare, (2005);

Coyne et.al. (2001); Capobianco dan Lee, (2001); Goh dan Wiegmann, (2002);

dan Wiegman et.al. (2002).

Wong et.al. (2006), pada penelitiannya memperoleh hasil dari uji chi square

didapat hasil bahwa kondisi terbang antara IMC (Instrument Meteorogical

Condition) atau VFR (Visual Flight Rule) pada saat kondisi cuaca kurang baik

(adverse weather) memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya

kecelakaan pesawat terbang, sementara itu dari pengujian RAIR (Relative

Accident Involvement Ratios) didapat bahwa kondisi terbang dengan

menggunakan metode IMC memiliki pengaruh yang besar terhadap terjadinya

kecelakaan pesawat udara dibandingkan dengan kondisi VFR. Hasil yang sama

juga didapat dalam penelitian yang dilakukan oleh Jarboe (2005) yang

membuktikan bahwa metode IMC dalam mengoperasikan pesawat terbang dalam

kondisi cuaca yang buruk juga merupakan faktor penentu kecelakaan pesawat

udara yang diakibatkan oleh cuaca (88 % dari total kecelakaan yang diakibatkan

oleh cuaca). Hal ini diperkuat pula oleh penelitian yang dilakukan Capobianco

dan Lee, (2001) yang membuktikan kondisi terbang dari VFR ke IMC pada saat

penerbangan memasuki kondisi cuaca yang buruk juga merupakan penyebab

utama kecelakaan yang diakibatkan oleh faktor cuaca, penelitian tersebut juga

menemukan bahwa faktor yang paling umum dalam kecelakaan pesawat yang

84

Page 87: Disertasi ugm hasil 1

disebabkan oleh faktor cuaca adalah low ceiling (20%), fog (14%), wind (10%),

dan malam (9%).

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Coyne et.al. (2001), yang

bertujuan untuk mengetahui kemampuan pilot dalam mengambil keputusan

terbang VFR ke IMC pada suatu kondisi cuaca tertentu, didapati bahwa faktor

ceiling dan visibility merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan

seorang pilot mengambil keputusan terbang dengan metode IMC pada saat

kondisi cuaca tertentu (adverse weather).

Goh dan Wiegmann (2002), pada penelitiannya memperoleh hasil

kecelakaan yang diakibatkan oleh pergantian kondisi terbang VFR ke IMC pada

saat kondisi cuaca tertentu dipengaruhi oleh jam terbang pilot dan adanya

penumpang dipesawat (passengers aboard). Sementara itu dalam penelitian

lanjutannya yang meneliti tentang keputusan pilot untuk melanjutkan atau

membatalkan prosedur terbang VFR ke IMC pada saat kondisi cuaca buruk

(adverse weather), didapati bahwa pilot yang mengalami cuaca buruk pada saat

awal penerbangan dan mengalami juga pada saat penerbangan lebih berpeluang

memiliki optimistis yang tinggi dalam penerbangan jika dibandingkan pilot yang

mengalami cuaca buruk baru pada saat dalam perjalanan, Wiegman et.al. (2002).

Sementara itu Burian et.al. (2000), menyatakan bahwa bahwa keputusan

terbang (PCE, Plan Continuation Errors) pada saat kondisi cuaca buruk adalah

dipengaruhi oleh pengalaman pilot (jam terbang), jarak pandang, dan koordinasi

antar kru (crew conflict).

N. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa landasan teori yang telah

dikemukakan di atas tentang variabel-variabel yang berpengaruh terhadap

terjadinya kecelakaan pesawat udara, maka dapat disusun kerangka konseptual

(Gambar 2.8) yang dilandasi dari teori-teori terdahulu seperti Gambar 2.7, yang

mendasari keseluruhan penelitian ini.

85

Page 88: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 2.7. Bagan kerangka teori (teori-teori terdahulu): Grabowski et.al. (2002), Rebok et.al. (2009), Changchung & Dongdong (2012), Li & Kearney (2000), Grabowki et.al (2002), Li et.al. (2009), Ayers et.al. (2012), Wignjosebroto &

Zaini (2007), Tiabtiamrat et.al. (2009), Besco 91992), Rosekind et.al 92006), de Mello et.al. (2008), Goode (2003), Tvaryans & Macpherson (2009),

Sungkawaningtyas (2007), Pruchniki et.al. (2010), Conway et.al. (2005), Saleem & Kleiner (2006), Wong et.al. (2006), Jarboe (2005), Batt & O’Hare (2005),

Coyne et.al. (2001), capobianco & Lee (2001), Goh & Wiegman (2002), Wiegman et.al.(2002), Burian et.al. (2000),Bustamante et.al. (2005), Cardi et.al. (2010), Schvaneveldt et.al. (2000), Rosekind et.al. (1994), dan Simons 7 Valk

(1997)

86

Page 89: Disertasi ugm hasil 1

Kerangka konseptual penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada

Gambar 2.8, dibawah ini.

Gambar 2.8. Kerangka konseptual variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kecelakaan pesawat terbang (model hipotesis)

Dari kerangka konseptual tersebut di atas, maka dapat dituliskan hipotesis

yang merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang

kebenarannya harus diuji secara empiris. Adapun hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah:

”Masing-masing dari variabel penelitian waktu (phases of time), fase

terbang (flight phase), lokasi (location), cuaca (weather), kinerja (performance),

serta beban kerja (workload), yang membentuk model struktural diduga

memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap variabel kecelakaan

pesawat terbang (aircraft accident)”.

87

Page 90: Disertasi ugm hasil 1

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tahap Penelitian

Penelitian merupakan proses yang kompleks dan terkait secara sistematik.

Tiap tahapan merupakan bagian yang menentukan bagi tahapan selanjutnya

sehingga harus dilalui secara cermat. Untuk memudahkan dalam memperoleh

gambaran penelitian secara menyeluruh perlu dirumuskan suatu tahapan

penelitian yang akan menjadi acuan dalam penelitian ini sehingga dapat

menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini secara garis besar (menyeluruh),

tahapan dari penelitian ini dilakukan secara sistematis sebagaimana terdapat pada

Gambar 3.1, berikut.

Gambar 3.1. Tahapan penelitian

a. Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah mengetahui gambaran

kecelakaan pesawat terbang di Indonesia yang diambil dari instansi yang

88

Page 91: Disertasi ugm hasil 1

terkait dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Dengan melihat data yang ada

diharapkan dapat sebagai bahan evaluasi dalam penelitian yang akan

dilaksanakan.

b. Tiga unsur pendekatan penelitian

1) Subyek, yaitu merupakan unsur utama yang terlibat dalam permasalahan

yang dikaji dalam penelitian ini, terdiri dari pilot dan airlines.

2) Obyek, yaitu unsur permasalahan yang akan dicarikan solusi pemecahan

masalahnya, dimana dalam penelitian ini adalah kondisi pilot dalam hal ini

kinerja (performance) dan beban kerja (workload) terhadap terjadinya

kecelakaan pesawat terbang ditinjau dari waktu (phases of time), fase

terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).

3) Metode, yaitu unsur teknik analisa yang digunakan dalam memecahkan

permasalahan dimana dalam penelitian ini menggunakan metode analisis

Structural Equation Modeling (SEM) berbasis varians dengan pendekatan

Partial Least Square (PLS) dan Subjective Workload Assesment Technique

(SWAT) yang dipergunakan sebagai pendekatan dalam

mengidentifikasikan human error dalam melakukan tugasnya.

c. Instrumental input yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan

melakukan studi literatur dan empiris dari penelitian terdahulu yang

membahas tentang kecelakaan pesawat terbang yang disebabkan atau ditinjau

dari faktor waktu (phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi

(location), dan cuaca (weather).

d. Umpan balik (feed-back) diperlukan untuk mengetahui berbagai kendala dan

permasalahan yang dihadapi, sehingga proses perumusan pemecahan masalah

dapat berjalan, yang selanjutnya akan didapatkan butir-butir hasil (output dan

outcome) yang diharapkan dari penelitian ini.

e. Hasil yang diharapkan (output dan outcome), jenis penelitian ini adalah

penelitian penjelasan (explanatory research) karena tujuannya adalah unutk

menjelaskan hubungan kausal antar variabel dengan melakukan pengujian

hipotesis, sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi

pilot dalam penyebab terjadinya kecelakaan penerbangan.

89

Page 92: Disertasi ugm hasil 1

Secara garis besar langkah-langkah pemecahan masalah disajikan pada

Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Flowchart langkah-langkah pemecahan masalah

B. Kerangka Model Operasional Penelitian

90

Page 93: Disertasi ugm hasil 1

Kerangka model operasional penelitian ini dibangun atas dasar eksplorasi

mendalam pada teori-teori dan hasil kajian peneliti terdahulu. Dari kajian tersebut

selanjutnya dapat digambarkan alur/konstruksi sebagai model operasional didalam

penelitian ini sebagaimana pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Kerangka penelitian

Dalam penelitian ini analisa yang digunakan dalam memecahkan

permasalahan adalah dengan menggunakan metode metode analisis Structural

Equation Modeling (SEM) berbasis varians dengan pendekatan Partial Least

Square (PLS) dan Subjective Workload Assesment Technique (SWAT) yang

dipergunakan sebagai pendekatan dalam mengidentifikasikan terjadinya

kecelakaan pesawat terbang yang diakibatkan oleh faktor manusia (human error).

91

Page 94: Disertasi ugm hasil 1

Dalam metode SEM-PLS, model yang dibangun mengandung dua unsur

penting yaitu struktur model dan parameter model. Struktur model

menggambarkan skema hubungan antar variabel, parameter model memberi

informasi sifat hubungan ataupun pengaruh antar variabel tersebut. Sifat

hubungan antar variabel dalam konstruk model ini (langsung, tidak langsung,

positif atau negatif) diasumsikan diawal (hipotesis) berdasar landasan teori, yang

nantinya akan muncul sebagai parameter model saat permodel telah selesai diuji.

Variabel-variabel yang telah teridentifikasi dan secara teori maupun hasil

penelitian memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung dengan kecelakaan

pesawat terbang dimasukkan kedalam model menjadi konstruksi model seperti

tergambar dalam kerangka konsep. Konstruksi model yang dibangun dalam

penelitian ini melibatkan variabel:

a. Kecelakaan pesawat terbang, merupakan variabel laten (variabel yang tidak

terukur langsung) adalah variabel yang menjadi bahasan utama dalam

penelitian ini, terukur melalu variabel indikator (variabel observasi);

b. Kinerja pilot, variabel yang mempengaruhi secara langsung pada kecelakaan

pesawat terbang, dipengaruhi oleh waktu (phases of time), fase terbang (flight

phase), lokasi (location), dan cuaca (weather);

c. Waktu (phases of time), variabel yang mempengaruhi kinerja pilot dan

kecelakaan pesawat terbang;

d. Fase terbang (flight phase), variabel yang mempengaruhi kinerja pilot dan

kecelakaan pesawat terbang;

e. Lokasi (location), variabel yang mempengaruhi kinerja pilot dan kecelakaan

pesawat terbang;

f. Cuaca (weather), variabel yang mempengaruhi kinerja pilot dan kecelakaan

pesawat terbang.

Hasil yang diharapkan yaitu adanya hubungan yang signifikan atau nilai

koefisien lintas (λ) yang nyata antara peubah laten kecelakaan pesawat terbang

dan peubah-peubah manifesnya yaitu kinerja pilot, waktu (phases of time), fase

terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather). Hal yang sama juga

92

Page 95: Disertasi ugm hasil 1

diharapkan untuk peubah laten kinerja pilot terhadap waktu (phases of time), fase

terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather)

Sementara itu dengan menggunakan metode Subjective Workload Assesment

Technique (SWAT) akan diketahui beban kerja mental pilot dalam melakukan

tugasnya. Dimensi-dimensi yang digunakan dalam SWAT terdiri dari tiga dimensi

yaitu beban waktu (time load), beban usaha mental (mental effort load) dan beban

tekanan psikologis (psychological stress load). Tiga dimensi didefinisikan oleh

masing-masing deskriptor yang terdiri atas waktu (phases of time), fase terbang

(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) untuk menunjukkan beban

kerja dari tiap dimensi.

C. Instrumen Penelitian dan Pengujian Instrumen

1. Instrumen Penelitian (Kuesioner)

Danim (2000) menerangkan bahwa instrumen penelitian disusun dengan

tujuan untuk memperoleh data yang sesuai (baik data kualitatif maupun data

kuantitatif). Data tersebut akan diolah untuk menjadi informasi yang dapat

menjelaskan hubungan antar gejala atau hubungan antara gejala. Data yang

diperoleh dengan instrumen dengan cara pengumpulan data dihimpun, ditata,

dianalisis dan diinterpretasikan untuk mendiskripsikan suatu kondisi atau gejala.

Instrumen penelitian ini berupa kuesioner sebagai pedoman dalam melakukan

wawancara yang terpandu secara terstruktur kepada responden.

Arikunto (1993) mendefinisikan kuesioner adalah “sejumlah pertanyaan

tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden, dalam arti

laporan pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui”. Kuesioner dibedakan atas

beberapa jenis dari cara menjawab, yaitu:

a. Kuesioner terbuka, yaitu kuesioner yang memberikan kesempatan kepada

responden untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri;

b. Kuesioner tertutup, yaitu kuesioner yang sudah disediakan jawabannya

sehingga responden tinggal memilih.

Supranto (1997) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih

butir-butir kuesioner yang baik, yaitu:

93

Page 96: Disertasi ugm hasil 1

a. Butir-butir harus relevan atau terkait dengan apa yang kita ukur;

b. Butir-butir harus ringkas, butir yang terlalu panjang menyebabkan daftar

pertanyaan panjang dan sukar dibaca;

c. Butir tidak boleh membingungkan;

d. Butir yang bagus hanya memuat satu pemikiran.

Agung (1992) menjelaskan kaitan suatu penelitian yang akan memakai data

primer sebagai informasi, dapat dinyatakan bahwa kuesioner atau instrumen

untuk pengumpulan data merupakan bagian yang penting dari penelitian tersebut.

Permasalahan yang harus diperhatikan berkaitan dalam penyusunan kuesioner

meliputi:

a. Pertanyaan terbuka;

b. Pertanyaan tertutup;

c. Pertanyaan yang singkat dan jelas;

d. Pertanyaan yang relevan untuk seluruh responden;

e. Menghindari pertanyaan pribadi;

f. Menghindari pertanyaan kompleks.

Instrumen penelitian ini berupa kuesioner sebagai pedoman dalam

melakukan wawancara yang terpandu secara terstruktur kepada responden.

Kuesioner dirancang dengan pertanyaan tertutup dan terbuka berdasarkan

kebutuhan variabel penelitian. Pada dasarnya, pertanyaan tertutup dipakai

berkaitan dengan variabel kategori murni, nominal, ordinal, dengan variatif

jawaban bersangkutan mempunyai alternatif jawaban tertentu atau pasti. Untuk

pertanyaan terbuka, seorang responden mungkin akan menjelaskan panjang lebar

dengan berbagai bumbu-bumbunya, sehingga untuk pertanyaan terbuka dipakai

variable numeric yang berskala interval atau ratio untuk pendekatan data

berkelompok.

2. Pengujian Instrumen

Sebelum dilakukan pengumpulan data sebenarnya, terlebih dahulu dilakukan

uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen atau alat ukur penelitian. Menurut

Singarimbun (1995) dalam penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai alat

94

Page 97: Disertasi ugm hasil 1

pengumpul data, maka uji validitas perlu dilakukan terhadap data yang

dikumpulkan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang valid, yang

akan didapat bilamana jawaban-jawaban kuesioner mempunyai konsistensi

internal. Dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah kuesioner dalam

skala Likert. Status instrumen pengukuran dikatakan valid jika instrumen dapat

mengukur sesuatu dengan tepat apa yang hendak diukur. Sedangkan status

instrumen penelitian dikatakan reliabel apabila hasil pengukurannya konsisten,

cermat dan akurat. Atau dengan perkataan lain bahwa uji reliabilitas instrumen

dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsistensi dari instrumen sebagai alat

ukur, sehingga alat pengukuran dapat dipercaya (Sambas, 2007).

a. Validitas Instrumen

”Validitas (validity) menunjukkan seberapa jauh suatu tes atau satu set dari

operasi-operasi mengukur apa yang seharusnya diukur” (Ghiselli et.al. 1981).

Validitas berhubungan dengan ketepatan alat ukur untuk melakukan tugasnya

mencapai sasaran. Validitas berhubungan dengan kenyataan (actually). Validitas

juga berhubungan dengan tujuan dari pengukuran. Pengukuran dikatakan valid

jika mengukur tujuannya dengan nyata dan benar. Alat ukur yang tidak valid

adalah yang memberikan hasil ukuran menyimpang dari tujuannya. Besarnya

validitas ditunjukkan dengan suatu angka yang disebut koefisien validitas.

Pengertian lain dari validitas ini adalah ”mampu tidaknya suatu alat ukur

mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat” (Cohen dan Lea,

2004).

Azwar (2001) mengatakan bahwa validitas merupakan “ketepatan dan

kecermatan instrumen dalam melakukan fungsi ukurnya sesuai kepentingan

penelitian”. Kemampuan suatu instrumen dikatakan mempunyai validitas yang

tinggi apabila alat tersebut mampu menggambarkan atau menjalankan fungsi

ukurnya sesuai dengan maksud dilakukan pengukuran instrumen tersebut dapat

dibuat. ‘Validitas instrumen menunjukan kualitas dari keseluruhan proses

pengumpulan data penelitian’ (Singarimbun dan Effendi, 1989).

95

Page 98: Disertasi ugm hasil 1

Arikunto (1993), “analisis butir dilakukan dengan didahului oleh suatu

asumsi bahwa instrumen dikatakan valid jika setiap butir faktor yang membentuk

instrumen tersebut sudah valid. Analisis butir dapat dilakukan dengan

mengkorelasi skor faktor dengan skor total, untuk mengetahui kekhususan tiap

butir faktor. Sesudah itu dapat diuji validitas setiap butir dengan mengkorelasikan

masing-masing skor faktor (butir instrumen) dengan skor total dari seluruh subyek

penelitian”.

Untuk menguji apakah setiap indikator (variabel manifes) valid atau absah

mengukur masing-masing variabel laten yang digunakan dalam model PLS-SEM,

maka digunakan pengujian model CFA (Cofirmatory Factor Analysis) dan

menggunakan Program LVPLS.

Pelaksanaan validitas konstruk dalam penelitian ini menggunakan teknik uji

terpakai dengan melibatkan responden penelitian (yang berjumlah 260

responden). Alasan menggunakan uji terpakai dan uji terpisah mengacu pada

pendapat Hadi (1993) yang menyatakan bahwa uji terpakai memiliki keuntungan,

yaitu: 1) tidak perlu mencari sampel uji coba yang setara dengan sampel

penelitian, 2) untuk ukuran sampel yang lebih besar, maka secara statistik peluang

jumlah butir yang gugur akan lebih sedikit, 3) tidak menambah waktu dan biaya

penelitian yang mubazir, 4) tersedia program yang langsung menggabungkan hasil

uji terpakai dengan data penelitian lainnya.

Analisis konfirmatori ini menguji apakah pertanyaan yang telah disusun

tersebut merupakan indikator yang valid sebagai pengukur variabel laten atau

dengan kata lain apakah indikator-indikator yang telah disusun tersebut

merupakan ukuran multidimensionalitas suatu variabel laten. Ukuran yang dipakai

untuk menilai valid tidaknya item pertanyaan sebagai indikator variabel adalah

dengan melihat nilai loading factor pada output hasil analisis. Item pertanyaan

dinyatakan valid jika nilai standardized loading estimate sama dengan 0.50 atau

lebih idealnya harus lebih dari 0.70, dan dapat pula ditunjukkan oleh nilai Average

Variance Extracted (AVE) yang direkomendasikan harus lebih besar 0,50.

(Ghozali dan Fuad 2008).

96

Page 99: Disertasi ugm hasil 1

b. Reliabilitas Instrumen

Besarnya reliabilitas ditunjukkan dengan suatu angka yang disebut koefisien

reliabilitas. Reliabilitas (reliability) suatu pengukuran menunjukkan stabilitas dan

konsistensi dari suatu instrumen yang mengukur suatu konsep dan berguna untuk

mengakses ”kebaikan” dari suatu pengukur (Sekaran, 2003).

Ghiselli et.al. (1981) mendefinisikan reliabilitas suatu pengukur sebagai

“seberapa besar variasi tidak sistematik dari penjelasan kuantitatif dari

karakteristik-karakteristik suatu individu jika individu yang sama diukur beberapa

kali”. Michael dan Isaac (1981) mendefinisikan reliabilitas sebagai “konsistensi

antar pengukuran-pengukuran secara berurutan”.

Azwar (2001) mengemukakan bahwa “reliabilitas instrumen berasal dari

kata reliability yang artinya keterpercayaan, keterandalan, dan konsistensi suatu

pengukuran.pengukuran dapat dipercaya apabila hasil dalam beberapa kali

pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil

yang relatif sama, dengan catatan aspek yang diukur tidak berubah atau responden

tetap konsisten pada jawabannya”.

Reliabilitas instrumen adalah hasil pengukuran instrumen yang dipercaya

untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan pengukuran yang mencirikan

tingkat konsistensi responden. Reliabilitas instrumen dikatakan valid apabila hasil

pengukuran sama dengan kenyataaan dilapangan yang sebenarnya.

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa reliabilitas

menunjukkan akurasi dan ketepatan dari pengukurannya. Reliabilitas

berhubungan dengan akurasi (accurately) dari pengukurnya. Reliabilitas

berhubungan dengan konsistensi dari pengukur. Suatu penegukur dikatakan

reliabel (dapat diandalkan) jika dapat dipercaya. Supaya dapat dipercaya, maka

hasil dari pengukuran harus akurat dan konsisten. Dikatakan konsisten jika

beberapa pengukuran terhadap subyek yang sama diperoleh hasil yang tidak

berbeda. Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana suatu hasil

survei melalui kuesioner dapat dilihat tingkat kepercayaannya. Prosedur analisis

reliabilitas diarahkan pada analisis terhadap variabel/pertanyaan dalam kuesioner

tersebut.

97

Page 100: Disertasi ugm hasil 1

Uji realibilitas dalam model analisis SEM-PLS dilakukan dengan melihat

nilai composite realibility dari blok indikator (variabel manifes) yang mengukur

konstruk (variabel laten). Hasil composite realibility akan menunjukkan nilai

yang memuaskan jika memiliki nilai lebih besar dari 0,70 (Ghozali dan Fuad

2008). Uji reliabiltas juga bisa diperkuat dengan menggunakan teknik reliabilitas

Cronbach’s Alpha. Menurut Ferdinand (2000) bahwa nilai batas yang digunakan

untuk menilai tingkat reliabilitas yang diterima adalah 0,70 walaupun angka

tersebut bukanlah sebuah ukuran “mati”.

D. Skala Likert

Setelah item-item kuesioner telah didefinisikan untuk dapat diukur, maka

diperlukan alat untuk mengukurnya yaitu yang disebut dengan skala (scale).

Penskalaan adalah sebuah instrumen atau alat yang mewajibkan pengamat untuk

memanfaatkan subyek pada kategori atau kontinum dengan memberikan nomor

atau angka pada kategori tersebut.

Menurut Cooper dan Schindler (2008) penskalaan (scaling) adalah

“prosedur untuk memberikan angka-angka nilai (atau simbol-simbol) ke suatu

properti dari obyek untuk tujuan memberi beberapa karakteristik dari angka-

angka tersebut ke properti-properti yang ditanyakan”. Terdapat empat macam

tipe data untuk dasar dari skala yaitu nominal, ordinal, interval dan rasio.

a. Nominal, yang bernilai klasifikasi, misalnya: laki, perempuan untuk gender;

b. Ordinal, yaitu bernilai klasifikasi dan order (ada urutannya). Misalnya:

penilaian (kurang, baik, sangat baik);

c. Interval, yaitu bernilai klasifikasi, order (ada urutannya), dan berjarak

(perbedaan dua nilai berarti). Misalnya skala likert 1 sampai dengan 5,

dengan jarak 1 sampai dengan 2 mempunyai jarak yang sama dengan 3 dan

seterusnya;

d. Rasio, yaitu bernilai klasifikasi, order, distance (berjarak) dan mempunyai

nilai awal (origin). Misalnya unit waktu sebesar 20 menit yang mempunyai

nilai awal 0. Rasio dalam hal ini tidak harus dalam pembagian.

98

Page 101: Disertasi ugm hasil 1

Terdapat dua macam metoda pensakalaan yaitu skala rating (rating scale)

dan skala rangking (rangking scale). Skala rating (rating scale) digunakan untuk

memberikan nilai (rating) ke suatu variabel. Skala likert merupakan salah satu

skala rating. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi

seseorang atau kelompok tentang fenomena sosial. Dengan skala likert, variabel

yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator

tersebut dijadikan item untuk menyusun item-item instrumen yang berbentuk

pertanyaan atau pernyataan (Sugiyono, 2005). Teknik yang digunakan, jawaban

yang diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian diberikan skor.

Pemberian skor pada likert bergradasi dari yang sangat positif sampai yang

sangat negatif. Skor ini berdasarkan konstruk yang dinilai. Penilaian skala likert

secara sederhana adalah untuk skala favorit rendah diberikan nilai rendah dan

yang memiliki tingkat favorit tinggi diberi nilai tinggi (Singarimbun dan Effendi,

1994) sebagaimana tersebut di bawah ini:

1 2 3 4 5Favorit rendah ------/------/------/------/------/ Favorit tinggi

Skor responden dijumlahkan dan jumlah ini merupakan total skor, dan total skor

inilah yang ditafsirkan sebagai posisi responden terhadap suatu

hal/sikap/persepsi.

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah dimana penelitian

akan dilaksanakan. Adapun penelitian yang dilakukan peneliti akan mengambil

lokasi di Jakarta mengingat banyaknya kantor operator penerbangan yang

berlokasi di Jakarta. Waktu yang digunakan dalam penelitian ini selama 9

(sembilan) bulan untuk pengambilan data yang terdiri atas pengisian kuesioner

dan wawancara terhadap responden maupun pihak-pihak yang terkait.

Survei untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini

dengan cara menyebarkan kuesioner untuk diisi oleh responden yang sesuai

dengan karakteristik populasi dalam hal ini adalah pilot pesawat terbang.

99

Page 102: Disertasi ugm hasil 1

Pendahuluan dalam lembar kuesioner di mulai dengan sebuah pernyataan

yang isinya meminta responden untuk memberikan tanggapan terhadap butir-butir

pernyataan yang telah disusun dan menjamin kerahasiaan responden atas

informasi yang peneliti peroleh dari kuesioner tersebut, kemudian setelah itu

disusul permohonan informasi demografi dari responden.

Pengisian kuesioner maupun wawancara responden dalam hal ini pilot

dilakukan pada saat pilot tidak dalam kondisi on duty melainkan pada saat off duty

hal ini dimaksudkan agar dalam menjawab pertanyaan yang diberikan baik dalam

bentuk kuesioner maupun wawancara diharapkan dapat terjawab dengan baik.

F. Penentuan Jumlah Sampel

Arikunto (1993) mengatakan bahwa sampel adalah ”bagian dari populasi

(sebagian atau wakil populasi yang diteliti)”. Sampel penelitian adalah sebagian

dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh

populasi. Sugiyono (2008) memberikan pengertian bahwa sampel adalah

”sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Dari

beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel adalah sebagian

atau wakil dari populasi yang memiliki ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan

diteliti oleh karena tidak dimungkinkan mengambil populasi secara keseluruhan,

maka pada penelitian ini digunakan sampel sebagai subyek penelitian. Dasar

dilakukan penyampelan adalah agar dapat menarik simpulan dengan sejumlah

elemen dan populasi sebagai sampel untuk keseluruhan populasi.

Teknik pengambilan sampel atau teknik sampling adalah suatu cara

mengambil sampel yang representatif dari populasi. Pengambilan sampel harus

dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat

mewakili dan dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya.

Swanson et.al. (1992) menyatakan bahwa jumlah sampel minimum yang

dapat digunakan untuk survei dengan teknik stated preference adalah 30 buah.

Sementara itu Arikunto (1993) mengemukakan bahwa untuk sekedar ancer-ancer

apabila subjek kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua, sehingga

100

Page 103: Disertasi ugm hasil 1

penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika subjeknya besar,

dapat diambil antara 10% - 15 % atau 20% - 25 % atau lebih.

Memperhatikan pernyataan di atas menurut Surakhmad (1994)

menyarankan, apabila ukuran populasi sebanyak kurang atau sama dengan 100,

pengambilan sampel sekurang-kurangnya 50% dari ukuran populasi. Apabila

ukuran populasi sama dengan atau lebih dari 1000, ukuran sampel diharapkan

sekurang-kurangnya 15% dari ukuran populasi.

Krejcie dan Morgan (1970) dan Leedy (1997) menyatakan bahwa jumlah

sampel yang diperlukan harus cukup untuk menggambarkan ukuran populasi yang

berbeda. Dasar yang digunakan pada tabel tersebut adalah mengikuti petunjuk

dalam penentuan jumlah sampel sebagai berikut:

a. Untuk populasi yang besar, prosentase dari populasi dari populasi yang

diperlukan untuk penentuan jumlah sampel adalah kecil;

b. Untuk jumlah populasi yang kecil, N < 100, jumlah sampel adalah sama

dengan populasi;

c. Jika ukuran populasi sekitar 500, jumlah sampel adalah 50% dari jumlah

populasi;

d. Jika ukuran populasi adalah sekitar 1.500, maka jumlah sampel adalah 20%

dari jumlah populasi;

e. Jika jumlah populasi melebihi angka pasti (N = 5.000) ukuran populasi sering

tidak sesuai dan ukuran sampel 400 akan lebih memadai.

Menurut Pangestu dan Djarwanto (1993) dinyatakan bahwa bentuk

distribusi dan distribusi sampling yang paling mendekati distribusi normal apabila

jumlah sampel n lebih besar dari 30, atau lebih kecil dari 30 dianggap

berdistribusi normal apabila distribusi populasinya normal atau standar deviasinya

diketahui.

Menurut Hair et.al. (1998) Dalam menentukan ukuran sampel (sampel size)

untuk SEM terdapat beberapa pedoman yang harus di penuhi salah satunya, yaitu

ukuran sampel bergantung pada metode estimasi parameter yang di pakai. Bila

estimasi parameter menggunakan metode Maximum Likehood (ML), ukuran

sampel yang disarankan adalah antara 100-200.

101

Page 104: Disertasi ugm hasil 1

Menurut Solimun (2002), beberapa pedoman penentuan besarnya sample

size untuk SEM diberikan sebagai berikut:

a. Bila pendugaan menggunakan metode kemungkinan maksimum (maximum

likehood estimation) besar sampel yang disarankan adalah antara 100 hingga

200, dengan sampel minimum 50;

b. Sebanyak 5 hingga 10 kali jumlah parameter yang ada dalam model;

c. Sama dengan 5 hingga 10 kali jumlah variabel manifest (indikator) dari

keseluruhan variabel laten.

Berdasarkan penjelasan di atas, disyaratkan untuk dapat menggunakan

tekhnik analisis Structural Equation Modeling (SEM), yaitu ukuran sampel yang

di sarankan adalah antara 100-200. Sementara itu dalam penelitian ini melibatkan

sebanyak 52 indikator, sehingga merujuk pada aturan ketiga diperlukan minimal 5

x 52 atau sebesar 260 responden sebagai subyek penelitian. Sementara itu dalam

metode Subjective Workload Assesment Technique (SWAT) tidak terdapat acuan

jumlah responden yang akan dilakukan dalam penelitian namun diutamakan yang

memiliki satu profesi yang sejenis misal untuk profesi pilot, dosen, supir, nahkoda

dan lain-lain.

Metode sampel yang digunakan adalah non probability sampling yaitu

pemilihan sampel berdasarkan pada pertimbangan pribadi (Supramono &

Haryanto, 2005). Berdasarkan penjelasan tersebut maka penelitian ini

menggunakan non probability sampling dengan teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah purposive sampling, yakni peneliti memilih sampel yang

disesuaikan dengan kebutuhan penelitian dan diharapkan memiliki informasi yang

akurat (Supramono & Haryanto, 2005).

G. Pengambilan dan Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah ”cara-cara memperoleh data melalui peristiwa-peristiwa, hal-hal, keterangan-keterangan, dan karakteristik-karakteristik, baik sebagian maupun keseluruhan yang akan menunjang penelitian” (Hasan, 2002).

102

Page 105: Disertasi ugm hasil 1

Pengumpulan data dan infomasi pada dasarnya mengacu pada studi kepustakaan, data dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara dan survei lapangan.a. Data primer

Data primer dilakukan terhadap responden yang akan diteliti, dalam

penelitian ini adalah pilot pesawat terbang dengan bantuan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya dan kusioner tersebut telah lulus uji validitas dan reliabilitas. Adapun variabel-variabel pengukuran dalam penelitian ini: waktu terbang (phases of

time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), cuaca (weather), kinerja

pilot, beban kerja pilot dan kecelakaan pesawat terbang. Dari data yang diperoleh diolah kemudian dituliskan pada bab hasil penelitian.

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari tinjauan kepustakaan melalui literatur, jurnal-

jurnal, dan situs internet yang dapat memberikan informasi yang berkaitan

dengan kecelakaan pesawat udara, data sekunder yang dibutuhkan dalam

penelitian ini adalah data kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di

Indonesia.

H. Cara Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah menggunakan analisis

statistik yaitu:

1. Analisis Deskriptif

Dalam statistik deskriptif ini akan dikemukakan cara-cara penyajian data

dengan tabel biasa maupun distribusi frekuensi seperti grafik maupun batang,

diagram lingkaran, piktogram, penjelasan kelompok melalui mean, median,

modus dan variasi kelompok melalui rentang dan simpangan baku.

Analisis deskriptif adalah analisis statistik yang berfungsi untuk

mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui

data sampel atau sampel sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan

103

Page 106: Disertasi ugm hasil 1

membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Analisis deskriptif juga dapat

diartikan sebagai suatu metode analisis tentang fenomena sekelompok manusia

atau obyek pada suatu kondisi, suatu pemikiran ataupun peristiwa yang terjadi

pada saat ini yang bertujuan memberikan gambaran atau lukisan secara

sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antar

fenomena yang diselidiki. Mengelompokan, atau memisahkan komponen atau

bagian yang relevan dari keseluruhan data juga merupakan salah satu bentuk

analisis untuk menjadikan data mudah dikelola. Pengaturan, pengurutan atau

manipulasi data bisa memberikan informasi deskriptif yang akan menjawab

pertanyaan-pertanyaan dalam definisi masalah (Kuncoro, 2003).

Menurut Walpole dan Myres (1995), metode statistik dikelompokan

menjadi dua bagian yaitu statistik deskritif dan statistik inferensia. Statistik

deskriptif berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data

sehingga memberikan informasi yang berguna, sedangkan statistik inferensia

mencakup semua metode yang berhubungan dengan analisis data untuk

selanjutnya sampai pada peramalan atau penarikan kesimpulan mengenai

keseluruhan data.

Setiap peneliti harus dapat menyediakan data yang diperoleh, baik yang

diperoleh melalui observasi, wawancara, kuesioner, maupun dokumentasi.

Prinsip dasar penyajian data adalah komunikatif dan lengkap, dalam arti data

yang disajikan dapat menarik perhatian pihak lain untuk membacanya dan mudah

memahami isinya.

2. Structural Equation Modeling (SEM)

a. Konsep Structural Equation Modeling (SEM)

Structural Equation Modeling (SEM) adalah teknik statistik multivariat

yang memungkinkan pengujian suatu rangkaian hubungan kausalitas antarvariabel

secara simultan dan serentak sehingga dapat memberikan efisiensi secara statistik.

Lebih dari itu, SEM secara eksplisit akan menghitung pengukuran error yang

terjadi dalam model. SEM dikelompokkan sebagai keluarga multivariat dependen

artinya ada variabel dalam SEM yang berperan sebagai variabel dependen dan ada

104

Page 107: Disertasi ugm hasil 1

variabel yang berperan sebagai variabel independen. Istilah variabel dependen

dalam SEM disebut variabel endogen dan istilah variabel independen disebut

variabel eksogen. Tiap-tiap variabel eksogen dan endogen dapat berupa variabel

laten atau unobservable construct yang dapat di ukur secara langsung dalam

proses penelitian (Hair et.al. 1998).

Analisis Structural Equation Modeling (SEM) merupakan gabungan analisis

korelasi dan analisis jalur (path diagram analysis) dengan tingkat ketelitian yang

tinggi. SEM mempunyai karakteristik yang bersifat sebagai teknik analisis untuk

lebih menegaskan (confirm) daripada untuk menerangkan. Analisis SEM

digunakan untuk menentukan apakah suatu model tertentu valid atau tidak

daripada menggunakannya untuk menemukan suatu model tertentu cocok atau

tidak, meski analisis SEM sering pula mencakup elemen-elemen yang digunakan

untuk menerangkan (Wijayanto, 2008).

Structural Equation Modeling (SEM) digunakan untuk menganalisis

hubungan antar variabel dalam penelitian perilaku yang melibatkan banyak

variabel. Hubungan ini dibentuk dalam model struktural atau hubungan antara

variabel laten eksogen dan endogen (Klem, 2000). Adapun data yang digunakan

merupakan korelasi matrik yang berupa data skala yang jumlahnya tergantung

pada komplesitas modelnya.

Adapun SEM menurut Bagozzi dan Fornel (dalam Ghozali dan Fuad, 2008),

adalah “suatu teknik analisis multivariat yang memungkinkan peneliti untuk

menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recrusive maupun non-

recrusive, dan untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan

model. SEM dapat juga menguji secara bersama-sama model struktural (hubungan

antara konstruk independen dan dependen baik secara langsung maupun tidak

langsung) dan model measurement (hubungan/nilai loading antara indikator

dengan konstruk/variabel laten). Dengan adanya penggabungan dua model

tersebut memungkinkan peneliti untuk menguji kesalahan pengukuran

(measurement error) dan melakukan analisis faktor bersamaan dengan pengujian

hipotesis” (Bollen dikutip dalam Ghozali dan Fuad, 2008).

105

Page 108: Disertasi ugm hasil 1

Maruyama (1998) mendefinisikan model persamaan struktural atau disebut

Structural Equation Modeling (SEM) adalah “sebuah model yang memberikan

perkiraan perhitungan dari kekuatan hubungan hipotesis diantara variabel dalam

sebuah model teoritis, baik secara langsung atau melalui variabel antara

(intervening or mediating variable)”. SEM adalah sekumpulan teknik statistik

yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan yang relatif rumit.

Istilah path analysis, causal modeling dan SEM telah banyak digunakan oleh para

ahli dari berbagai disiplin dan pendekatan khusus pada hubungan sebab (causal

analysis) antara variabel yang dirancang (Sharma, 1996). Selanjutnya menurut

Maruyama (1998), model persamaan struktural scara garis besar terdiri atas dua

komponen. Komponen pertama terdiri atas variabel eksogen dan komponen kedua

adalah variabel endogen. Masing-masing variabel dapat dilihat efeknya terhadap

variabel lainnya. Variabel eksogen adalah variabel yang menjadi penyebab

(variabel bebas), sedangkan variabel endogen adalah variabel yang dihipotesiskan

sebagai akibat dari variabel lain (variabel terikat) yang dapat juga diduga

memprediksi variabel endogen lainnya.

Selanjutnya menurut Solimun (2002), SEM sering disebut juga Linear

structural relations (Lisrel) yang merupakan pendekatan yang terintegrasi antara

analisis faktor, model struktural dan analisis jalur (path analysis). Selain itu SEM

juga merupakan pendekatan yang terintegrasi antara analisis data dengan konstruk

konsep. SEM dapat melakukan tiga kegiatan sekaligus yaitu memeriksa validitas

dan reliabilitas instrumen (setara dengan analisis faktor konfimatori), melakukan

pengujian model hubungan variabel laten (setara dengan analisis jalur), dan

mendapatkan model yang bermanfaat untuk perkiraan atau prediksi (setara dengan

model struktural atau analisis regeresi. SEM berbeda dengan analisis jalur yang

hanya dapat diterapkan dalam model yang hubungan kausalitasnya satu arah,

maka model SEM dapat diterapkan baik dalam model rekrusif ataupun model

resiprokal. Selain itu SEM juga tidak terkendala oleh adanya korelasi antara error

jadi tidak harus independen seperti model analisis jalur.

Landasan awal dari analisis SEM adalah sebuah teori yang jelas dan

terdefinisi oleh peneliti. Landasan teori tersebut kemudian menjadi sebuah konsep

106

Page 109: Disertasi ugm hasil 1

keterkaitan antarvariabel. Hubungan kausalitas diantara variabel laten tidak

ditentukan oleh analisis SEM, tetapi dibangun oleh landasan teori yang

mendukungnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa analisa SEM berguna untuk

mengkonfirmasi suatu bentuk model berdasarkan data empiris yang ada.

SEM sesungguhnya merupakan gabungan dari dua metode statistik, yaitu

analisis faktor yang dikembangkan dalam ilmu psikologi (psikometri) yang

mampu menggambarkan variabel laten dan diukur dengan indikator-indikatornya,

serta model persamaan simultan yang dikembangkan di ekonomi (ekonometrika)

yang memfokuskan pada prediksi (Yamin dan Kurniawan, 2011). Prinsip

Structural Equation Modeling merupakan pendekatan terintegrasi dari

confirmatory factor analysis dan path analysis (analisis jalur). Analisis jalur

mempelajari apakah hubungan yang terjadi disebabkan oleh pengaruh langsung

dan tidak langsung dari variabel independen terhadap variabel dependen,

mempelajari ketergantungan sejumlah variabel dalam suatu model (model kausal),

menganalisis hubungan antar variabel dari model kausal yang telah dirumuskan

oleh peneliti atas dasar pertimbangan teoritis, serta menguji seperangkat hipotesis

kausal dan menginterpretasikan hubungan tersebut (langsung atau tidak

langsung).

Model ini sering digunakan karena termasuk keluarga model linear yang

mempunyai kemampuan untuk: (1) memodelkan sistem yang kompleks dengan

hubungan variabel yang simultan, dan memiliki derajat kualitas, serta kepuasan

yang sama, (2) memodelkan hubungan variabel yang tak teramati dengan tetap

memperhitungkan ukuran kesalahan yang biasanya dapat diukur pada kuesioner

dan dapat menghasilkan bias jika diabaikan, (3) mengurangi kesalahan

pengukuran dengan indikator ganda dari variabel laten, (4) menguji seluruh model

dan tiap-tiap parameter, (5) membandingkan model tertutup dan terbuka secara

statistik, (6) menguji model dengan variabel tergantung ganda, (7) memodelkan

variabel mediator (proses), dan (8) memodelkan kesalahan.

SEM terdiri dari model struktural (inner model) dan model pengukuran

(outer model). Model struktural merupakan model yang menjelaskan struktur

hubungan sebab akibat antar peubah laten (konstruk), sedangkan model

107

Page 110: Disertasi ugm hasil 1

pengukuran adalah model dari hasil pengukuran yang digunakan untuk

mengkonfirmasi dimensi-dimensi peubah penjelas (indikator) yang mendukung

peubah laten (konstruk).

Dalam model pengukuran (outer model) sangat penting untuk

mendefinisikan dan menspesifikasikan hubungan antara konstruk laten dengan

indikatornya apakah bersifak reflektif atau formatif. Menurut Jarvis et.al. (2003)

kekeliruan dalam menetapkan hubungan antara konstruk dengan indikatornya

(construct misspecification) memiliki dampak serius pada kesimpulan yang dibuat

terkait dengan hasil pengujian SEM. Kekeliruan dalam penyimpulan tersebut

terjadi karena adanya kesalahan tipe I (type I error) dan tipe II (type II eror).

Dalam penelitian MacKenzie et.al. (2005) mereka menemukan bahwa jalur (path)

yang datang dari konstruk yang keliru (misspecified construct) cendrung terinflasi

(type I error). Sementara jalur (path) yang menuju ke konstruk yang keliru

(misspecified construct) cendrung terdeflasi (type II error). Pemahaman mengenai

jenis konstruk juga penting berkaitan dengan teknik pengujian validitas dan

reliabilitas.

b. Model Indikator Reflektif

Sebuah konstruk disebut bersifat reflektif jika nilainya menentukan nilai

indikator. Jika hubungan antara keduanya positif, maka semakin tinggi nilai

konstruk maka semakin tinggi pula indikator. Dalam konstruk reflektif indikator-

indikator memiliki korelasi yang tinggi (karena didasarkan dari konsep yang

sama). “Penghilangan” salah satu atau beberapa indikator tidak menghilangkan

esensi konstruk itu sendiri (Latan dan Gudono, 2012). Pada model reflektif,

konstruk (unidimensional) digambarkan dengan bentuk ellips dengan beberapa

anak panah dari konstruk ke indikator. Model ini menghipotesiskan bahwa

perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada indikator.

Model indikator refleksif harus memiliki internal konsistensi karena semua

indikator diasumsikan mengukur satu konstruk, sehingga dua indikator yang sama

reliabilitasnya dapat saling dipertukarkan. Walaupun reliabilitas (Cronbach

108

Page 111: Disertasi ugm hasil 1

Alpha) suatu konstruk akan rendah jika hanya ada sedikit indikator, tetapi

validitas konstruk tidak akan berubah jika satu indikator dihilangkan.

Contoh model indikator refleksif adalah konstruk yang berkaitan dengan

sikap (attitude) dan niat membeli (purchase intention). Sikap umumnya

dipandang sebagai jawaban dalam bentuk favorable (positif) atau unfavorable

(negatif) terhadap suatu obyek dan biasanya diukur dengan skala multi item dalam

bentuk semantik differences seperti, good-bad, like-dislike, dan favorable-

unfavorable. Sedangkan niat membeli umumnya diukur dengan ukuran subyektif

seperti how likely-unlikely, probable-improbable, dan/atau possible-impossible.

Gambar 3.4. Model indikator reflektifSumber: Ghozali (2004), Structural Equation Modeling-

Metode Alternatif dengan Partial Least Square

Ciri-ciri model indikator reflektif adalah:

a. Arah hubungan kausalitas seolah-olah dari konstruk ke indikator;

b. Antar indikator diarapkan saling berkorelasi (memiliki internal consitency

reliability);

c. Menghilangkan satu indikator dari model pengukuran tidak akan merubah

makna dan arti konstruk;

d. Menghitung adanya kesalahan pengukuran (error) pada tingkat indikator.

c. Model Indikator Formatif

Sebuah konstruk (disebut juga latent factor atau unobservable variable)

disebut bersifat formatif bilamana nilai konstruk tersebut dipengaruhi atau

disebabkan oleh nilai-nilai indikator (disebut juga scaled items atau measures).

Konstruk formatif disebut juga skor komposit. Dalam model formatif, perubahan

pada indikator dihipotesakan mempengaruhi perubahan dalam konstruk (variabel

109

Page 112: Disertasi ugm hasil 1

laten). Tidak seperti pada model refleksif, model formatif tidak mengasumsikan

bahwa indikator dipengaruhi oleh konstruk tetapi mengasumsikan bahwa semua

indikator mempengaruhi single konstruk. Arah hubungan kausalitas seolah-olah

mengalir dari indikator ke konstruk laten dan indikator sebagai grup secara

bersama-sama menentukan konsep, konstruk atau laten.

Oleh karena, diasumsikan bahwa indikator seolah-olah mempengaruhi

konstruk laten, maka ada kemungkinan antar indikator saling berkorelasi, tetapi

model formatif tidak mengasumsikan perlunya korelasi antar indikator secara

konsisten. Sebagai misal komposit konstruk yang diukur oleh indikator yang

saling mutually exclusive, adalah konstruk Status Sosial Ekonomi diukur dengan

indikator antara lain Pendidikan, Pekerjaan dan Tempat Tinggal.

Oleh karena diasumsikan bahwa antar indikator tidak saling berkorelasi

maka ukuran internal konsistensi reliabilitas (Alpha Cronbach) tidak diperlukan

untuk menguji reliabilitas konstruk formatif. Kausalitas hubungan antar indikator

tidak menjadi rendah nilai validitasnya hanya karena memiliki internal konsistensi

yang rendah. Untuk menilai validitas konstruk perlu dilihat vaiabel lain yang

mempengaruhi konstruk laten. Jadi untuk menguji validitas dari konstruk laten,

peneliti harus menekankan pada nimological dan atau criterion-related validity.

Implikasi lainnya dari model formatif adalah dengan menghilangkan

(dropping) satu indikator dalam model akan menimbulkan persoalan serius.

Menurut para ahli psikometri indikator formatif memerlukan semua indikator

yang membentuk konstruk. Jadi menghilangkan satu indikator akan

menghilangkan bagian yang unik dari konstruk laten dan merubah makna dari

konstruk. Komposit variabel laten memasukkan error term dalam model, hanya

error term diletakkan pada konstruk laten dan bukan pada indikator.

Model formatif memandang (secara matematis) indikator seolah-olah

sebagai variabel yang mempengaruhi variabel laten, dalam hal ini memang

berbeda dengan model analisis faktor, jika salah satu indikator meningkat, tidak

harus diikuti oleh peningkatan indikator lainnya dalam satu konstruk, tapi jelas

akan meningkatkan variabel latennya.

110

Page 113: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 3.5. Model indikator formatifSumber: Ghozali (2004), Structural Equation Modeling-

Metode Alternatif dengan Partial Least Square

Ciri-ciri model indikator formatif adalah:

a. Arah hubungan kausalitas dari indikator ke konstruk;.

b. Antara indikator diasumsikan tidak berkorelasi (tidak diperlukan uji

konsistensi internal atau cronbach alpha );

c. Menghilangkan satu indikator berakibat merubah makna dari konstruk;

d. Kesalahan pengukuran diletakkan pada tingkat konstruk (zeta);

e. Konstruk mempunyai makna “surplus”;

f. Skala skor tidak menggambarkan konstruk.

Model refleksif mengasumsikan semua indikator seolah-olah dipengaruhi

oleh variabel konstruk, oleh karena itu menghendaki antar indikator saling

berkorelasi satu sama lain. Dalam hal ini konstruk diperoleh menggunakan

analisis faktor. Sedangkan, model formatif (konstruk diperoleh melalui analisis

komponen utama) tidak mengasumsikan perlunya korelasi antar indikator, atau

secara konsisten berasumsi tidak ada hubungan antar indikator.

d. Konstruksi Diagram Jalur Structural Equation Modeling (SEM)

SEM adalah teknik statistik multivariat yang memungkinkan pengujian

suatu rangkaian hubungan kausalitas antar variabel secara simultan dan serentak

sehingga dapat memberikan efisiensi secara statistik. Tiap-tiap variabel eksogen

dan endogen dapat berupa latent variabel atau unobservable construct yang dapat

diukur secara langsung dalam proses penelitian.

Dalam analisis ini ada dua variabel akhir yakni, kinerja pilot (pilot

performance), dan kecelakaan pesawat terbang (aircraft accident). Namun dalam

penelitian ini peneliti berada pada pemikiran penerimaan sementara teori tersebut

yang nantinya akan dikonfirmasi dengan hasil data empiris dan metode persamaan

111

Page 114: Disertasi ugm hasil 1

struktural. kinerja pilot, dan kecelakaan pesawat terbang di dalam penelitian ini

selain dipengaruhi oleh empat variabel eksogen dan berperan sebagai independen

variabel yakni:

(1) Waktu terbang (phases of time) = periode jam, periode hari, dan periode bulan

(2) Fase terbang (flight phase) = preflight planning, transition to cruise, in-

flight planning.

(3) Lokasi (location) = plateau, mountainous, relatively flat

(4) Cuaca (weather) = wind, visibility condition, pressure, cloud,

temperature condition, ceiling

dan dua variabel endogen yakni;

(1) Kinerja pilot (pilot performance), dan

(2) Kecelakaan pesawat terbang (aircraft accident).

Tujuan pembuatan diagram jalur adalah untuk menggambarkan model teori

yang telah dibuat dan memudahkan dalam menganalisis hubungan kausalitas antar

variabel disertai indikatornya. Dalam diagram jalur, hubungan antar konstruk

akan dinyatakan melalui anak panah. Anak panah yang lurus menunjukkan sebuah

hubungan kausal yang langsung antara satu konstruk dengan konstruk lainnya.

Ada dua kelompok konstruk yaitu, konstruk eksogen (exogenous construct) atau

disebut juga variabel independen dan konstruk endogen (endogenous construct)

atau disebut juga variabel dependen.

e. Penerjemahan Diagram Jalur Persamaan Structural Equation Modeling

(SEM)

Penggunaan diagram jalur dalam penelitian ini akan lebih memudahkan

untuk melihat hubungan antar variabel yang sedang diobservasi. Di bawah ini

merupakan model diagram jalur yang dikembangkan dalam penelitian ini.

112

Page 115: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 3.6. Model konseptual kinerja pilot

Dalam Gambar 3.6 kinerja pilot pada penelitian ini dipengaruhi oleh waktu

terbang (phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca

(weather). Dalam kaitannya dengan terjadinya kecelakaan pesawat terbang,

hubungan antar variabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 3.7. Model konseptual kinerja pilot terhadap kecelakaan

Dalam gambar model konseptual di atas diasumsikan bahwa faktor waktu

terbang (phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca

(weather) memiliki pengaruh terhadap kinerja seorang pilot yang dalam penelitian

ini juga berhubungan dengan kemungkinan terjadinya suatu kecelakaan pesawat

terbang.

Berdasarkan model konseptual Structural Equation Modeling (SEM) yang

menggambarkan kinerja pilot atau kecelakaan pesawat terbang, yang merupakan

113

Page 116: Disertasi ugm hasil 1

fungsi dari waktu terbang (phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi

(location), dan cuaca (weather), dapat diketahui variabel-variabel yang paling

dominan atau memberikan kontribusi yang paling besar hingga variabel yang

kurang dominan atau memberikan kontribusi yang paling kecil.

f. Persamaan Struktural Penelitian

Berdasarkan model operasional penelitian, dapat dibentuk persamaan

fungsional dalam model simultan Structural Equation Modeling (SEM) dengan

reduced form sebagai berikut:

1. Y2= f (Y1 ; Y1X1, Y1X2, Y1X3, Y1X4 ) (1)

2. Y1= f (X1, X2, X3, X4)

Dimana:

X1 = Waktu terbang (phases of time)

X2 = Fase terbang (flight phase)

X3 = Lokasi (location)

X4 = Cuaca (weather)

Y1 = Kinerja Pilot

Y2 = Kecelakaan Pesawat

Berdasarkan model fungsional di atas (1), maka penyusunan regresi model

persamaan yang dikembangkan adalah:

Y1 = α1 X1+ α2X2 + α3X3 + α4X4 + Ó1 (2)

Y2 = 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5Y1 +Ó2

Untuk mengestimasi persamaan di atas dapat dilakukan dengan OLS

(Ordinary Least Square) dengan mensubtitusi persamaan di atas maka, reduce

form dapat diperoleh sebagai berikut:

Y1= α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + Ó1

Y2= 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5Y1 +Ó2

Y2= 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5 (α1X1+α2X2+α3X3+α4X4+Ó1) + Ó2 (3)

114

Page 117: Disertasi ugm hasil 1

Y2= 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5α1X1 + 5α2X2+ 5α3X3 + 5α4X4 +5Ó1 + Ó2

Y2= (1+5α1)X1 + (2+5α2)X2 + (3+5 α 3)X3 + (4+5 α 4)X3 + (5+Ó1+Ó2)

Y2= ë1X1 + ë 2X2 + ë 3X3 + ë 4X4 + 5+ Ó3

Berdasarkan hasil reduce form di atas maka didapat model statistik untuk

masing – masing:

a. Model pengaruh waktu terbang (phases of time), fase terbang (flight phase),

lokasi (location), cuaca (weather) terhadap kinerja pilot.

Y1= α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 +Ó1

Dimana:

α1 = Pengaruh langsung waktu terbang (phases of time) (X1) terhadap

kinerja pilot (Y1)

α2 = Pengaruh langsung fase terbang (flight phase) (X2) terhadap kinerja

pilot (Y1)

α3 = Pengaruh langsung lokasi (location) (X3) terhadap kinerja pilot (Y1)

α4 = Pengaruh langsung cuaca (weather) (X4) terhadap kinerja pilot (Y1)

b. Model pengaruh waktu terbang (phases of time), fase terbang (flight phase),

lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap kecelakaan pesawat melalui

kinerja pilot.

Pengujian hipotesis pengaruh masing-masing pengaruh variabel waktu terbang

(phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca

(weather) terhadap kecelakaan pesawat melalui kinerja pilot dapat di gunakan

berdasarkan reduced form pada kesamaan.

Y1= α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + Ó1

Y2= 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5Y1 +Ó2

Y2= 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 +5 (α1X1+α2X2+α3X3+α4X4+Ó1) + Ó2

Y2= 1X1+2X2+3X3+4X4+5α1X1+5α2 X2+5α3X3+5α4X4+5Ó1+ Ó2

Y2= (1+5α1) X1+ (2+5α2) X2+ (3+5α 3) X3+ (4+5α 4) X3+ (5+Ó1+Ó2)

Y2= ë1 X1 + ë 2 X2 + ë 3 X3 + ë 4 X4 + 5+ Ó3

Dimana:

115

Page 118: Disertasi ugm hasil 1

1. Pengaruh Langsung (Direct Effect)

1 = Pengaruh langsung waktu terbang (phases of time) (X1) terhadap

kecelakaan pesawat (Y2)

2 = Pengaruh langsung fase terbang (flight phase) (X2) terhadap

kecelakaan pesawat (Y2)

3 = Pengaruh langsung lokasi (location) (X3) terhadap kecelakaan

pesawat (Y2)

4 = Pengaruh langsung cuaca (weather) (X4) terhadap kecelakaan

pesawat (Y2)

2. PengaruhTidak Langsung (Indirect Effect)

5α1= Pengaruh tidak langsung waktu terbang (phases of time) (X1)

terhadap kecelakaan pesawat (Y2) melalui kinerja pilot (Y1)

5α2 = Pengaruh tidak langsung fase terbang (flight phase) (X2) terhadap

kecelakaan pesawat (Y2) melalui kinerja pilot (Y1)

5α3 = Pengaruh tidak langsung lokasi (location) (X3) terhadap kecelakaan

pesawat (Y2) melalui kinerja pilot (Y1)

5α4 = Pengaruh tidak langsung cuaca (weather) (X4) terhadap kecelakaan

pesawat (Y2) melalui kinerja pilot (Y1)

3. Total Pengaruh (Total Effect)

ë1 = 5α1+1 = Total pengaruh waktu terbang (phases of time) (X1)

terhadap kecelakaan pesawat (Y2)

ë2 = 5α2+2 = Total pengaruh fase terbang (flight phase) (X2) terhadap

kecelakaan pesawat (Y2)

ë3 = 5α3+3 = Total pengaruh lokasi (location) (X3) terhadap kecelakaan

pesawat (Y2)

ë 4 = 5α4+4 = Total pengaruh cuaca (weather) (X4) terhadap kecelakaan

pesawat (Y2)

3. Analisis Partial Least Square (PLS)

Penelitian ini menggunakan teknik analisis SEM dengan metode Partial

Least Square (PLS). PLS pertama kali dikembangkan oleh Herman Wold pada

116

Page 119: Disertasi ugm hasil 1

tahun 1966. PLS adalah metode lunak atau soft model karena didalam PLS

pendugaannya tidak memerlukan asumsi sebaran (distribution free) dari peubah

pengamatan dan ukuran contoh tidak harus besar, tetapi sedikitnya adalah sepuluh

kali dari jumlah peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian (Chin, 2000).

PLS dapat digunakan untuk mengkonfirmasi teori, jenis skala data yang

dipakai dapat berupa data nominal, ordinal, interval, dan rasio. PLS juga dapat

digunakan untuk menjelaskan atau memprediksikan ada tidaknya hubungan

antarvariabel laten yang dukungan teorinya masih tentatif ataupun pengukuran

setiap variabel laten masih baru sehingga lebih menekankan data dari pada teori

(Ghozali, 2006).

PLS merupakan pendekatan yang lebih tepat untuk tujuan prediksi, hal ini

terutama pada kondisi dimana indikator bersifat formatif. Hal ini merupakan

konseptual awal yang harus menjadi landasan dalam penelitian bagi para peneliti.

Sebagaimana dalam analisis regresi, tujuan utamanya adalah mengidentifikasi

variabel yang berguna untuk memprediksi hasil. Dengan variabel laten berupa

kombinasi linier dari indikatornya, maka prediksi nilai dari variabel laten dapat

dengan mudah diperoleh, sehingga prediksi nilai terhadap variabel laten yang

dipengaruhinya juga dapat dengan mudah diperoleh, sehingga prediksi terhadap

variabel laten yang dipengaruhi juga dapat dengan mudah dilakukan.

Melalui pendekatan ini, diasumsikan bahwa semua varian yang dihitung

merupakan varian yang berguna untuk penjelasan. Pendekatan pendugaan variabel

laten dalam PLS adalah sebagai exact kombinasi linear dari indikator, sehingga

mampu menghindari masalah indeterminacy dan menghasilkan skor komponen

yang tepat. Dengan menggunakan algoritma iteratif yang terdiri dari beberapa

analisis dengan metode kuadrat kecil biasa (ordinary least square) maka

persoalan identifikasi tidak menjadi masalah, karena model bersifat rekursif.

Tabel 3.1 Kriteria PLS-SEMNo Kriteria PLS-SEM

1 Tujuan Penelitian Untuk mengembangkan teori atau membangun teori (orientasi prediksi)

2 Pendekatan Berdasarkan variance

117

Page 120: Disertasi ugm hasil 1

3 Metode Estimasi Least Square4 Ukuran Sampel Ukuran sampel dapat kecil antara 30 – 100

5 Spesifikasi Model dan Parameter Model

Component two loadings, path koefisien dan component weight serta indikator konstruk dapat berbentuk reflektif dan formatif

6 Model StrukturalModel dengan kompleksitas besar dengan banyak konstruk dan banyak indikator dan hanya berbentuk recusive

7Evaluasi Model dan Asumsi Normalitas Data

Tidak mensyaratkan data terdistribusi normal dan estimasi parameter dapat langsung dilakukan tanpa persyaratan kriteria goodness of fit

8 Pengujian Signifikansi Tidak dapat diuji dan difalsifikasi (harus melalui prosedur bootstrap atau jackknife)

Sumber: Latan dan Gudono (2012)

Gaston (2009) yang disadur oleh Yamin dan Kurniawan (2011)

menyebutkan PLS dapat juga digunakan untuk tujuan konfirmasi (seperti

pengujian hipotesis) dan tujuan eksplorasi. Meskipun PLS lebih diutamakan

sebagai eksplorasi daripada konfirmasi. PLS juga dapat untuk menduga apakah

terdapat atau tidak terdapat hubungan dan kemudian proposisi untuk pengujian.

Tujuan utamnya adalah untuk menjelaskan hubungan antar konstruk dan

menekankan pengertian tentang nilai tersebut. Dalam hal ini, hal penting yang

harus diperhatikan adalah adanya teori yang memberikan asumsi untuk

menggambarkan model, pemilihan variabel, pendekatan analisis, dan interpretasi

hasil. Rekomendasi utama untuk aplikasi PLS dalam pengujian teori adalah

melalui proses validasi bootstrap.

Pendekatan PLS didasarkan pada pergeseran analisis dari pengukuran

estimasi parameter model menjadi pengukuran prediksi yang relevan. Sehingga

fokus analisis bergeser dari hanya estimasi dan penafsiran signifikan parameter

menjadi validitas dan akurasi prediksi.

Didalam PLS variabel laten bisa berupa hasil pencerminan indikatornya,

diistilahkan dengan indikator refleksif (reflective indicator). Disamping itu, juga

bisa konstruk dibentuk (formatif) oleh indikatornya, diistilahkan dengan indikator

formatif (formative indicator).

118

Page 121: Disertasi ugm hasil 1

Thompson et.al. (1995) menyarankan bahwa model PLS dianalisis dan

diinterpretasikan dalam dua langkah berurutan. Pertama, statistik dari

measurement model yaitu menilai validitas dan reliabilitas model pengukuran

(hubungan dari indikator ke variabel laten) atau disebut outer model. Kedua

menilai model strukturnya atau disebut inner model.

a. Spesifikasi PLS

PLS terdiri atas hubungan eksternal (outer model atau model pengukuran)

dan hubungan internal (inner model atau model struktural). Hubungan tersebut

didefinisikan sebagai persamaan linier yaitu model pengukuran yang menyatakan

hubungan antar peubah laten dengan sekelompok peubah penjelas dan model

struktural yaitu hubungan antar peubah-peubah laten (Gefen, 2000).

Dengan tidak kehilangan generalitas, dapat asumsikan baik peubah laten

maupun peubah penjelas diskalakan ke rata-rata nol sehingga parameter-

parameter lokasi dapat dibuang dalam persamaan-persamaan berikut. Persamaan

model struktural yang menghubungkan peubah-peubah laten menurut Wold

(1982) adalah sebagai berikut:

ŋj = βjo + ( βji ŋi ) + ζj , i < j , untuk j = 1, 2,....., J (1)

Dimana:

J = banyaknya peubah laten

ŋj = peubah laten tidak bebas ke-j

ŋi = peubah laten bebas ke-i untuk i ≠ j

βji = koefisien lintas peubah laten ke-j dan ke-i

βjo = intersep

ζj = sisaan model struktural ke-j

i = banyaknya lintasan dari peubah laten bebas ke peubah laten tak bebas

Pendekatan PLS mengasumsikan model struktural yang rekrusif, sehingga

dari persamaan (1) dapat diperoleh spesifikasi prediksi seperti berikut ini:

E (ŋj│ŋ1, ŋ2, ..... ŋj-1 ) = βjo + ( βji ŋi ) untuk i < j (2)

119

Page 122: Disertasi ugm hasil 1

hal ini mengimplikasikan bahwa

cov ( ζj, ŋ1 ) = 0 untuk i < j , j = 1, 2, ...J (3)

sehingga peubah laten endogen (tak bebas) diasumsikan linier dari peubah laten

eksogen (bebas).

Persamaan model pengukuraan peubah-peubah laten endogen adalah:

ykj = γkjo + γkj ŋj + εkj , untuk j = 1, ...., J dan k = 1, ...,K (4)

Dimana:

J = banyaknya peubah laten

ŋj = peubah laten ke-j

ykj = peubah penjelas ke-k dan peubah laten ke-j

γkj = koefisien antara peubah penjelas ke-k dan peubah laten ke-j

γkjo = intersep

εkj = sisaan model pengukuran peubah penjelas ke-k dan peubah laten ke-j

k = lintasan dari ŋj ke γkj

Kj = banyaknya peubah penjelas pada peubah laten ke-j

Peubah penjelas diasumsikan ke dalam blok-blok yang terpisah dan masing-

masing blok mewakili satu peubah laten. Setiap peubah penjelas diasumsikan

sebagai milik dari hanya satu peubah laten dan karena pembobotan peubah laten

tidak diketahui maka diperlukaan standarisasi agar terhindar dari ambiguitas skala

ragam unit atau var (ŋj) = 1.

Sama dengan model struktural, pada model pengukuran juga diperoleh

spesifikasi prediksi sebagai berikut:

E (ykj│ŋ1) = γkjo + γkj ŋj (5)

hal ini berimplikasi

cov (εkj, ŋj) = 0 (6)

120

Page 123: Disertasi ugm hasil 1

yang artinya sisaan model pengukuran bebas dengan semua peubah laten dan

bebas dengan sisaan model struktural.

Prinsip dasar pada permodelan PLS adalah asumsi bahwa semua informasi

dari peubah penjelas ditujukan pada peubah-peubah laten. Hal ini mempunyai dua

implikasi yaitu model PLS tidak melibatkan hubungan antar peubah penjelas dan

sisaan-sisaan model pengukuran dari satu blok diasumsikan tidak berkolerasi

dengan sisaan model pengkuran dari blok lainnya.

Dimungkinkan dengan menggunakan persamaan (1) untuk menggantikan

peubah laten endogen kedalam persamaan (4), oleh Wold (1982) disebut sebagai

substitusi eliminasi dari peubah laten atau disingkat SELV (Substitutive

Elimination of the Laten Variable). Adapun hasilnya adalah sebagai berikut:

ykj = γkjo + γkj (βjo + ( βji ŋi ) + ζj ) + εkj (7)

dan persamaan (7) dapat disederhanakan menjadi

ykj = γ*kjo + γkj ( ( βji ŋi )) + ε*kj (8)

Dari persamaan (8) dapat diketahui bahwa SELV menghubungkan peubah

penjelas endogen dengan peubah laten melalui model struktural oleh masing-

masing blok dari peubah penjelas. Intersep dan sisaan pada persamaan (8) adalah

masing-masing γ*kj = γkjo + γkj βjo dan ε*kj = γkj ζj + εkj berturut-turut serta

sisaannya tidak berkorelasi dengan prdiktor peubah laten yang sama.

b. Pendugaan PLS

Prosedur pendugaan PLS melalui dua tahapan yang mendasar. Tahap

pertama, dengan menggunakan pendugaan iteratif, didapat peubah-peubah laten

sebagai kombinasi linier dari sekelompok peubah-peubah penjelasnya. Tahap

kedua, menggunakan pendugaan non-iteratif untuk koefisien model struktural dari

model pengukuran.

Persamaan pendugaan peubah-peubah laten endogen berikut ini:

Yjn = est (ŋjn) = ( wkj ykjn) (9)

121

Page 124: Disertasi ugm hasil 1

digunakan untuk pendugaan peubah laten sebagai kombinasi linier dari

sekelompok peubah-peubah penjelasnya. Pembobotan wkj dipilih agar dugaan

peubah-peubah laten mempunyai ragam satu.

Pendugaan peubah laten yang telah terdefinisi, kemudian digunakan untuk

menghitung pembobot-pembobot dan koefisien-koefisien model struktural yang

diperoleh dengan cara menerapkan metode kuadrat terkecil. Koefisien lintas

model struktural diperoleh dengan meregresikan setiap hubungan-hubungan

secara parsial.

Inti dari prosedur PLS adalah menentukan pembobot-pembobot yang

kemudian digunakan untuk menduga peubah laten. Pembobot didapat dari hasil

regresi dengan metode kuadrat terkecil terhadap peubah penjelas setiap blok.

Penduga pembobotan dalam masalah ini adalah outward mode yang dapat

dihitung berdasarkan regresi sederhana. Outward mode sebenarnya adalah

pendugaan pembobotan untuk peubah penjelas refleksif yaitu peubah penjelas

yang diasumsikan sebagai cerminan dari peubah laten (Chin, 2000).

c. Evaluasi PLS

PLS pada dasarnya bertujuan untuk memprediksi kuadrat terkecil dari

peubah laten endogen dan peubah manifes endogen yang dibatasi oleh spesifikasi

hubungan-hubungan model struktural dan model pengukuran. Terlepas dari

pengujian koefisien penduga, bagian terpenting dari evaluasi model adalah

pengujian indeks-indeks kecocokan yang mencerminkan kekuatan prediksi dari

dugaan hubungan-hubungan model struktural dengan model pengukuran.

Indeks-indeks kecocokan diperoleh dari berbagai persamaan model

struktural dan model pengukuran yang telah ada. Nilai R2 dari regresi berganda

dapat diperoleh dari hubungan-hubungan model struktural, demikian juga

koefisien-koefisien interbatery juga dapat diperoleh dari hubungan-hubungan

model pengukuran.

Menurut Wold (1982), dengan menggunakan uji relevansi prediktif Stone-

Geisser dapat diketahui kelayakan suatu prediksi. Cara dari uji tersebut adalah

dengan meregresikan k peubah bebas, dengan setiap kali penghilangan satu kasus

122

Page 125: Disertasi ugm hasil 1

ke-i dengan i = 1, 2, ..., n. Persamaan ini diukur melalui statistik Q2 dengan

persamaan sebagai berikut:

Q2 = 1.0 - { [n (Yi - k Xki bk(i))2]/[n (Yi – Y.(i))2]} (10)

Dimana:

bk(i) = koefisien regresi yang diperoleh tanpa kasus ke-i

Y.(i)= rata-rata dari peubah tak bebas yang dihitung tanpa kasus ke-i

n = banyaknya ukuran contoh

k = banyaknya peubah bebas

Jika dilihat dari persamaan di atas, maka Q2 adalah analog jackknife dari R2.

Nilai Q2 diperoleh dari rata-rata nilai Q2 dari setiap kasus ke-i yang dihilangkan.

Nilai Q2 dapat negatif, Q2 < 0, yang artinya model prediksi tidak relevan, tetapi

jika Q2 > 0 maka model prediksi relevan, semakin tinggi nilai Q2 semakin tinggi

pula relevansi prediksi dari persamaan model yang diuji.

Selain uji koefisien lintas model yang menggunakan teknik jackknife

beberapa uji lainnya seperti uji validitas kekonvergenan dan uji validitas

diskriminan juga mendukung dalam mengevaluasi model.

Ada 3 uji validitas kekonvergenan yang digunakan; (a) reliabilitas setiaap

peubah penjelas, (b) reliabilitas gabungan dan (c) Average Variance Extracted

(AVE) setiap peubah peubah laten.

Reliabilitas setiap peubah penjelas ditentukan oleh koefisien lintasnya

masing-masing. Oleh Chin (1998), koefisien lintas (λ) sebesar 0,7

mengindikasikan reliabilitas yang cukup baik. Reliabilitas gabungan (ρc)

digunakan untuk mengukur reliabilitas setiap peubah laten dan nilai ρc juga dapat

menunjukkan stabilitas dan konsistensi dari suatu pengukuran. Nilai ρc berkisar

dari 0 sampai 1 dan Chin (1998) merekomendasikan nilai di atas 0.8

mengindikasikan reliabilitas gabungan yang baik. Nilai ρc didapat dari

perhitungan berikut ρc = (λ1)2/[(λ1)2 + (1 - λ1)2] dimana λ1 adalah koefisien

lintas ke-i.

123

Page 126: Disertasi ugm hasil 1

AVE digunakan untuk mengukur keragaman peubah laten yang dapat

dijelaskan oleh keragaman model pengukuran, dengan persamaan sebagai berikut:

AVE = λi2/n, dimana λ1merupakan koefisien lintas ke-i. Nilai AVE berkisar 0

dan 1. Oleh Tan et.al. (1999) direkomendasikan bahwa jika nilai AVE di atas 0.5

mengindikasikan pengukuran keragaman yang cukup baik. Semakin tinggi nilai

AVE maka mengindikasikan jumlah keragaman dari peubah penjelas yang

direkomendasikan oleh peubah laten lebih besar dibandingkan dengan jumlah

keragaman yang tidak dapat dijelaskan oleh peubah penjelas.

Uji validitas diskriman dilakukan dengan cara membandingkan akar kudarat

AVE setiap peubah laten dengan korelasi peubah laten. Uji ini berguna untuk

mengetahui kesesuaian pembeda dari peubah laten. Apabila akar kuadrat AVE

lebih dari setiap korelasi peubah laten, maka validitas diskriminannya cukup baik.

d. Desain Konsep Penelitian, Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Analisis data pada penelitian ini adalah analisis model melalui perhitungan

Partial Least Square (PLS). Pertimbangan menggunakan PLS karena model

penelitian mengindikasikan lebih dari satu variabel tergantung, jumlah sampel

kecil, serta data tidak bersifat multivariat normal.

Hal tersebut berdasarkan Henseler et.al. (2009), Chin (2000), serta Naik dan

Tsai (2000) yang menyatakan bahwa PLS merupakan metode analisis yang tidak

mengasumsikan data harus dengan pengukuran skala tertentu, jumlah sampel yang

kecil atau terlalu besar untuk perhitungan model, dan dapat digunakan untuk

eksplorasi hubungan antar variabel. PLS dapat digunakan sebagai konfirmasi teori

dan merekomendasikan yang belum ada dasar teorinya.

Statistik dari measurement model diukur untuk mengetahui validitas dan

reliabilitas konstruk. Validitas dievaluasi berdasarkan item reliabaility, internal

consistensy, average variance extraced (AVE), square root of AVE, dan cross

loadings (Thompson et.al. 1995). Tiga uji pertama dikenal sebagai validitas

konvergensi (Fornell dan Larcker, 1981) dan dua uji terakhir dikenal sebagai

validitas diskriminan (Thompson et.al. 1995). Reliabilitas diukur menggunakan

reliabilitas komposit (Henseler et.al. 2009).

124

Page 127: Disertasi ugm hasil 1

Inner model digunakan untuk mengevaluasi model secara keseluruhan.

Evaluasi model yang biasa digunakan dalam PLS adalah R-Square dan

bootstapping (inner weights). Goodness of fit model yang digunakan dalam PLS

adalah Q-square predictive relevance, yang dihitung berdasarkan nilai R-kuadrat.

R-kuadrat sebagaimana pada analisis regeresi berganda biasa, berfungsi untuk

mengetahui seberapa besar variansi dalam konstruk dapat dijelaskan oleh model.

Berdasarkan nilai R-kuadrat dihitung Q-square predictive relevance. Rumus Q-

square adalah.

Q2 = 1 – (1-R12) (1-R2

2).................(1-Rp2)

Dimana:

R12, R2

2, Rp2 adalah R square variabel endogen dalan model.

Nilai R-square yang direkomendasikan adalah di atas 0,00 (Henseler et.al.

2009). Bootstapping (inner weights) digunakan untuk menilai signifikansi statistik

dari loadings dan koefisien struktural jalur. Penggunaan teknik ini karena

mengacu pada data yang digunakan yang tidak mengasumsikan harus multivariat

normal.

Pada PLS dikenal istilah variabel endogen dan eksogen. Variabel endogen

adalah variabel yang dijelaskan oleh variabel lain. Kata lain dalam diagram

permodelan adalah variabel yang dikenai arah panah. Variabel eksogen adalah

variabel yang mempengaruhi variabel lain (Henseler et.al. 2009).

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program LVPLS yang akan

menghasilkan model pengukuran (measurement model) yang dikenal dengan

istilah outer model serta model struktural atau inner model.

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel akhir (endogen) yakni, kinerja

pilot (performance) dan kecelakaan pesawat (aircraft accident) dan empat

variabel eksogen dan berperan sebagai variabel independen yakni waktu terbang

(phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location) dan cuaca (weather).

Pengaruh dari antar variabel tersebut dengan hubungan positif dan signifikan

yang diestimasi, dapat digambarkan alur sebagaimana pada Gambar 3.8.

125

Page 128: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 3.8. Desain dan hipotesis penelitian peubah laten dan peubah manifes

Keterangan:

a. Hipotesis

1 = Hubungan waktu terbang (phases of time) terhadap kinerja pilot (pilot

performance), menjawab Hipotesis 1

2 = Hubungan waktu terbang (phases of time) terhadap kecelakaan pesawat

terbang (accident), menjawab Hipotesis 2

3 = Hubungan fase terbang (flight phase) terhadap kinerja pilot (pilot

performance), menjawab Hipotesis 3

4 = Hubungan fase terbang (flight phase) terhadap kecelakaan pesawat

terbang (accident), menjawab Hipotesis 4

5 = Hubungan lokasi (location) terhadap kinerja pilot (pilot performance),

menjawab Hipotesis 5

6 = Hubungan lokasi (location) terhadap kecelakaan pesawat terbang

(accident), menjawab Hipotesis 6

126

Page 129: Disertasi ugm hasil 1

7 = Hubungan cuaca (weather) terhadap kinerja pilot (pilot performance),

menjawab Hipotesis 7

8 = Hubungan cuaca (weather) terhadap kecelakaan pesawat terbang

(accident), menjawab Hipotesis 8

9 = Hubungan kinerja pilot (pilot performance) terhadap kecelakaan pesawat

terbang (accident), menjawab Hipotesis 9

b. Variabel Eksogen

Variabel eksogen, adalah variabel yang tidak diprediksi oleh variabel lain

dalam model. Variabel eksogen dikenal juga sebagai source variable atau

independent variable. Dalam penelitian ini variabel eksogen adalah waktu

terbang (phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location) dan

cuaca (weather).

1) Waktu terbang (phases of time)

Waktu terbang (phases of time), dalam dunia penerbangan dikenal siklus

arus penumpang, yaitu musim padat penumpang (peak season), dan

musim non peak season. Selain itu juga terdapat puncak jam sibuk lalu

lintas udara (peak traffic hour atau golden time) dalam dunia penerbangan

yakni dari pukul 06.00 hingga 21.00. Indikator untuk mengukur variabel

waktu terbang meliputi:

X1.1 = Indikator waktu (phases of time), tentang terbang pada pagi hari

X1.2 = Indikator waktu (phases of time), tentang terbang pada siang hari

X1.3 = Indikator waktu (phases of time), tentang terbang pada malam hari

X1.4 = Indikator waktu (phases of time), terbang pada pada dini hari

X1.5 = Indikator waktu (phases of time), terbang pada hari libur

X1.6 = Indikator waktu (phases of time), terbang pada hari kerja

X1.7 = Indikator waktu (phases of time), terbang pada peak season

X1.8 = Indikator waktu (phases of time), terbang pada non-peak season

Variabel faktor waktu terbang (phases of time) diukur dengan

menggunakan skala likert 5 poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1

sangat tidak setuju (STS), poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin

4 setuju (S), dan poin 5 sangat setuju (SS).

127

Page 130: Disertasi ugm hasil 1

2) Fase terbang (flight phase)

Fase terbang (flight phase) didefinisikan sebagai tahapan terbang dari

suatu pesawat udara dari tinggal landas sampai pada pendaratan

berikutnya, tetapi tidak termasuk pendaratan teknis (technical landing).

Indikator untuk mengukur variabel fase terbang meliputi:

X2.1 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase take off

X2.2 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase climb

X2.3 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase cruise

X2.4 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase descent

X2.5 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase approach

X2.6 = Indikator fase terbang (flight phase), terbang pada fase landing

Variabel faktor fase terbang (flight phase) diukur dengan menggunakan

skala likert 5 poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1 sangat tidak

setuju (STS), poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin 4 setuju (S),

dan poin 5 sangat setuju (SS).

3) Lokasi (location)

Lokasi (location) dalam dunia penerbangan didefinisikan sebagai kondisi

daratan suatu daerah (terrain) yakni permukaan bumi yang

berisi/mengandung fitur-fitur yang terjadi secara alami seperti gunung,

bukit, lembah, perairan, es permanen dan salju, tidak termasuk “obstacle”.

Indikator untuk mengukur variabel lokasi meliputi:

X3.1 = Indikator lokasi (location), bandara dan rute penerbangan plateau

X3.2= Indikator lokasi (location), bandara dan rute penerbangan

mountainous

X3.3 = Indikator lokasi (location), bandara dan rute penerbangan flat

Variabel faktor lokasi (location) diukur dengan menggunakan skala likert

5 poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1 sangat tidak setuju (STS),

poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin 4 setuju (S), dan poin 5

sangat setuju (SS).

128

Page 131: Disertasi ugm hasil 1

4) Cuaca (weather)

Cuaca (weather) dalam dunia penerbangan didefinisikan sebagai cuaca

yang diperuntukkan khusus untuk dunia penerbangan, baik untuk saat

lepas landas, mendarat maupun selama penerbangan. Indikator untuk

mengukur variabel cuaca meliputi:

X4.1 = Indikator cuaca (weather), kondisi angin (wind condition)

X4.2 = Indikator cuaca (weather), kondisi jarak pandang (visibility

condition)

X4.3 = Indikator cuaca (weather), kondisi tekanan (pressure condition)

X4.4 = Indikator cuaca (weather), kondisi awan (cloud condition)

X4.5 = Indikator cuaca (weather), kondisi suhu udara (temperature

condition)

X4.6 = Indikator cuaca (weather), kondisi ceiling

Variabel faktor cuaca (weather) diukur dengan menggunakan skala likert 5

poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1 sangat tidak setuju (STS),

poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin 4 setuju (S), dan poin 5

sangat setuju (SS).

c. Variabel Endogen

Variabel endogen adalah variabel yang diprediksikan oleh satu atau beberapa

variabel yang lain dalam model, dikenal juga sebagai dependent variable.

Dalam penelitian ini variabel endogen terdiri dari kinerja (performance) yang

juga bertindak sebagai variabel antara (mediating varaible) dan kecelakaan

pesawat (accident).

1. Kinerja (performance)

Kinerja (performance) dalam dunia penerbangan didefinisikan sebagai

kemampuan dan keterbatasan manusia yang mengakibatkan suatu dampak

terhadap keselamatan dan efisiensi operasi penerbangan. Indikator untuk

mengukur variabel kinerja meliputi:

Y1.1 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), jumlah jam terbang

Y1.2 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), tipe rating

Y1.3 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), kerja keras

129

Page 132: Disertasi ugm hasil 1

Y1.4 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), komunikasi

Y1.5 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), pelatihan

Y1.6 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), mengatasi masalah

Y1.7 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), kesehatan

Y1.8 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), gaji

Y1.9 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), tunjangan

Y1.10 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), tanggung jawab

Y1.11 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), beban kerja

Y1.12 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), karir

Y1.13 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), SOP

Y1.14 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), SMS

Y1.15 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), fasilitas & SDM

Y1.16 = Indikator kinerja pilot (pilot performance), promosi

Variabel kinerja (performance) diukur dengan menggunakan skala likert 5

poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1 sangat tidak setuju (STS),

poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin 4 setuju (S), dan poin 5

sangat setuju (SS).

2. Kecelakaan (accident)

Kecelakaan (accident) dalam dunia penerbangan didefinisikan sebagai

suatu kejadian yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara

yang terjadi sejak seseorang naik pesawat udara untuk maksud

penerbangan sampai suatu waktu ketika semua orang telah meninggalkan

(turun dari) atau keluar dari pesawat udara. Indikator untuk mengukur

variabel kecelakaan pesawat meliputi:

Y2.1 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), faktor manusia

Y2.2 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), usia

Y2.3 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), total jam terbang

Y2.4 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), jenis kelamin

Y2.5 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), tipe rating

Y2.6 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), IQ

Y2.7 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), tingkat pendidikan

130

Page 133: Disertasi ugm hasil 1

Y2.8 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), tingkat kelelahan

Y2.9 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), usia pesawat

Y2.10 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), jenis pesawat

Y2.11 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), tipe pesawat

Y2.12 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), kebijakan perusahaan

Y2.13 = Indikator kecelakaan pesawat (accident), gap experience

Variabel kecelakaan (accident) diukur dengan menggunakan skala likert 5

poin (5-point likert scale) dimulai dari poin 1 sangat tidak setuju (STS),

poin 2 tidak setuju (TS), poin 3 netral (N), poin 4 setuju (S), dan poin 5

sangat setuju (SS).

Hal yang diharapkan yaitu adanya hubungan yang signifikan atau nilai

koefisien lintas (λ) yang nyata antara peubah laten kinerja pilot dan peubah-

peubah manifesnya yaitu waktu terbang (phases of time), fase terbang (phase

flight), lokasi (location), dan cuaca (weather). Hal yang sama juga diharapkan

untuk peubah laten kecelakaan pesawat terhadap waktu terbang (phases of time),

fase terbang (phase flight), lokasi (location), cuaca (weather), dan kinerja pilot.

4. Analisis Subjective Workload Assesment Technique (SWAT)

SWAT dikembangkan karena munculnya kebutuhan pengukuran subjektif

yang dapat digunakan dalam lingkungan yang sebenarnya. Selain itu SWAT

merupakan salah satu cara penganalisaan beban kerja dengan metoda subjektif

yang unik, dimana menurut metoda ini beban kerja manusia dipengaruhi oleh tiga

dimensi tingkah laku, yaitu Time Load (T), Mental Effort Load (E) dan Stress

Load (S). Metoda SWAT ini dikembangkan oleh Reid dan Nygren pada Amstrong

Medical Research Laboratory dengan dasar metode penskalaan konjoin. SWAT

dibuat sedemikian rupa sehingga tanggapan hanya diberikan melalui tiga

deskriptor pada masing-masing dimensi. Pendekatan ini mengurangi tingkat

kesulitan dari jumlah waktu yang dibutuhkan mengingat jumlah dan kompleksitas

deskriptor yang diberikan oleh subjek pada waktu pengujian.

SWAT terbagi menjadi dua tahap, yaitu :

a. Pembuatan skala (scale development)

131

Page 134: Disertasi ugm hasil 1

b. Pemberian nilai terhadap hasil penelitian (event scoring)

Tahap pembuatan skala digunakan untuk melatih subjek dalam

menggunakan metoda ini khususnya deskriptor masing-masing faktor, serta untuk

memperoleh data berkaitan dengan kombinasi dimensi-dimensi ini yang

mencerminkan pandangan seseorang terhadap beban kerja. Fasa pemberian nilai

terhadap hasil peneitian merupakan tahap pemberian nilai terhadap beban kerja

yang dialami oleh subjek berkaitan dengan aktifitas yang dilakukan dalam

percobaan tersebut (Reid, 1989).

a. Pembuatan Skala (Scale Development)

Fasa ini merupakan aspek utama yang membedakan metoda SWAT dengan

metoda pengujian beban kerja subjektif lainnya. Biasanya untuk deskriptor dibuat

sejumlah tingkatan angka yang mempresentasikan beban kerja dan subjek harus

mengetahui beban kerja yang direpresentasikan oleh angka-angka tersebut. Pada

SWAT berbeda, subjek tidak harus mengetahui maksud dari masing-masing

tingkatan beban kerja tersebut, tetapi lebih cenderung membuat dugaan yang

memungkinkan pengamat mengetahui bagaimana faktor-faktor dalam SWAT

berkombinasi (Reid, 1989).

b. Deskripsi dari Dimensi (Deskriptor)

Tiga dimensi yang digunakan dalam SWAT didefinisikan masing-masing

oleh tiga deskriptor untuk menunjukkan beban kerja dari tiap dimensi. Dimensi ini

dikembangkan berdasarkan teori yang diajukan oleh Sheridan dan Simpson

(1979) dalam mendefinisikan beban kerja pilot. Perkembangan terakhir

menunjukkan bahwa SWAT ini dapat digunakan secara luas, tidak hanya pada

ruang lingkup pilot saja (Reid, 1989).

a. Beban Waktu (Time Load)

Dimensi beban waktu tergantung dari ketersediaan waktu dan kemampuan

melangkahi dalam suatu aktifitas. Hal ini berkaitan erat dengan analisis batas

waktu yang merupakan metode primer untuk mengetahui apakah subjek dapat

menyelesaikan tugasnya dalam rentang waktu yang telah diberikan.

Tingkatan deskriptor beban waktu dalam SWAT adalah (Reid, 1989):

132

Page 135: Disertasi ugm hasil 1

1) Selalu mempunyai waktu lebih. Interupsi atau overlap diantara aktivitas

tidak terjadi atau jarang terjadi.

2) Kadang-kadang mempunyai waktu lebih. Interupsi atau overlap diantara

aktivitas sering terjadi.

3) Tidak mempunyai waktu lebih. Interupsi atau overlap diantara aktivitas

sering terjadi atau selalu terjadi.

b. Beban Usaha Mental (Mental Effort Load)

Beban usaha mental merupakan indikator besarnya kebutuhan mental dan

perhatian yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu aktivitas, independen

terhadap jumlah sub pekerjaan atau batasan waktu. Dengan beban usaha

mental rendah, konsentrasi dan perhatian yang dibutuhkan untuk melakukan

suatu aktivitas rendah dan performansi cenderung otomatis. Sejalan dengan

meningkatnya beban ini, konsentrasi dan perhatian yang dibutuhkan

meningkat pula. Secara umum ini berkaitan dengan tingkat kerumitan

pekerjaan dan jumlah informasi yang harus diproses oleh subjek untuk

melaksanakan pekerjaanya dengan baik. Usaha mental yang tinggi

membutuhkan keseluruhan konsentrasi dan perhatian sesuai dengan kerumitan

pekerjaan atau jumlah informasi yang harus diproses. Aktivitas seperti

perhitungan, pembuatan keputusan, mengingat informasi dan penyelesaian

masalah merupakan contoh usaha mental. Tingkatan deskriptor beban usaha

mental dalam SWAT adalah (Reid, 1989):

1. Kebutuhan konsentrasi dan usaha mental sadar sangat kecil. Aktivitas

yang dilakukan hampir otomatis dan tidak membutuhkan perhatian.

2. Kebutuhan konsentrasi dan usaha mental sadar sedang. Kerumitan

aktivitas sedang hingga tinggi sejalan dengan ketidakpastian, ketidak

mampu prediksian dan ketidak kenalan. Perhatian tambahan diperlukan.

3. Kebutuhan konsentrasi dan usaha mental sadar sangat besar dan

diperlukan sekali. Aktivitas yang kompleks dan membutuhkan perhatian

total.

c. Beban Tekanan Psikologis (Psychological Stress Load)

133

Page 136: Disertasi ugm hasil 1

Beban tekanan psikologis berkaitan dengan kondisi yang dapat menyebabkan

terjadinya kebingungan, frustasi dan ketakutan selama melaksanakan

pekerjaan dengan demikian menyebabkan penyelesaian pekerjaan tampak

lebih sulit dilakukan daripada sebenarnya. Pada tingkat stress rendah, orang

cenderung rileks. Seiring dengan meningkatnya stress, terjadi pengacauan

konsentrasi terhadap aspek yang relevan dari suatu pekerjaan yang lebih

disebabkan oleh faktor individual subjek. Faktor ini antara lain motivasi,

kelelahan, ketakutan, tingkat keahlian, suhu, kebisingan, getaran dan

kenyamanan. Sebagian besar dari faktor ini mempengaruhi performansi subjek

secara langsung jika mereka sampai pada tingkatan yang tinggi. Dalam SWAT

faktor-faktor ini diperhitungkan, meskipun kecil, jika mengganggu dan

menyebabkan individu harus mengeluarkan kemampuannya untuk mencegah

terpengaruhnya pekerjaan yang dilakukan.

Tingkatan deskriptor beban tekanan psikologis dalam SWAT adalah (Reid,

1989):

1. Kebingungan, resiko, frustasi atau kegelisahan dapat di atasi dengan

mudah.

2. Stress yang muncul dan berkaitan dengan kebingungan, frustasi dan

kegelisahan menambah beban kerja yang dialami. Kompensasi tambahan

perlu dilakukan untuk menjaga performansi subjek.

3. Stress yang tinggi dan intens berkaitan dengan kebingungan, frustasi dan

kegelisahan. Membutuhkan pengendalian diri yang sangat besar.

c. Model Pengukuran Konjoin

Banyak aturan komposisi yang menggambarkan betapa rumitnya

membentuk praduga multifaktor atau multidimensi. Satu aturan yang sederhana

adalah aturan aditif yang menggambarkan bahwa variabel-variabel independen

berinteraksi dalam bentuk penjumlahan independen yang menghasilkan efek

psikologis gabungan. Aturan aditif ini yang mendasari SWAT. Misalnya, jika T1

adalah salah satu tingkat dari faktor waktu, E1 merupakan salah satu tingkat dari

faktor usaha mental, dan S1 adalah salah satu faktor stress, maka dapat dibuat

134

Page 137: Disertasi ugm hasil 1

suatu hipotesis bahwa efek gabungan dari ketiga faktor ini (atau yang kemudian

disebut beban kerja) adalah (Reid, 1989):

f(T1, E1, S1) = f1 (T1) + f2 (E1) + f3 (S1) (11)

Dengan f, f1, f2 dan f3 adalah fungsi numerik yang dapat diidentifikasi dan terpisah

(Krantz dan Tvesky, 1971).

Model aditif seperti yang dijelaskan pada persamaan (11) menjadi bagian

penting dari teori psikologi. Sampai baru-baru ini, meskipun untuk model

sesederhana ini, tidaklah mudah untuk mengestimasi fungsi-fungsi tersebut. Teori

pengukuran konjoin digunakan untuk mengatasi masalah ini.

Teori umum yang diberikan oleh Krantz dan Tversky (1971) memuat

aksioma yang dapat digunakan untuk menguji data, untuk membantu

menunjukkan mana diantara keempat model polinomial yang digunakan sesuai

dengan data yang ada. Misalkan, jika f1(T1), f2(E1) dan f3(S1) merepresentasikan

nilai skala subjektif yang berkaitan dengan tingkatan tersebut untuk seorang

subjek. Kita dapat mempostulatkan bahwa ketiga faktor berinteraksi untuk

membentuk nilai beban kerja keseluruhan f(T1, E1, S1) dengan aturan :

Model aditif : f(T1, E1, S1) = f1(T1) + f2(E1) + f3(S1) (12)

Model multiplikatif : f(T1, E1, S1) = f1(T1) x f2(E1) x f3(S1) (13)

Model distributif : f(T1, E1, S1) = f1(T1) x f2(E1) + f3(S1) (14)

Model dual-distributif : f(T1, E1, S1) = f1(T1) + f2(E1) x f3(S1) (15)

Perhatikan bahwa pada tiga model terakhir, nilai keseluruhan dan efek

kombinasi dari ketiga faktor f(T1, E1, S1), dapat tidak bernilai jika faktor pengali

mempunyai harga nol. Dengan demikian faktor lain tidak berpengaruh. Sebagian

besar penelitian empiris dan teoritis dalam pengukuran konjoin difokuskan pada

model aditif (Reid, 1989).

d. Tes Aksioma

135

Page 138: Disertasi ugm hasil 1

Aksioma Krantz dan Tversky (1971) menjelaskan tentang lima buah

properti ordinal yang berguna untuk menurunkan model persamaan (12) hingga

(15). Properti ini adalah indepedensi faktor tunggal, independensi faktor

gabungan, penggagalan ganda, penggagalan distributif dan penggagalan dual-

distributif. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nygren (1985), aksioma

yang paling penting untuk digunakan dalam menguji aditifitas adalah

independensi faktor tunggal, independensi faktor gabungan dan penggagalan

ganda. Aksioma ini digunakan dalam analisis SWAT untuk menentukan apakah

model aditif ini muncul dalam data (Reid, 1989).

a. Independensi (Independence)

Independensi merupakan properti fundamental yang dapat diperiksa secara

terpisah untuk masing-masing faktor. A independen terhadap B dan C jika (a1,

b1, c1) > (a2, b1, c1) jika dan hanya jika (a1, b2, c2) > (a2, b2, c2) dengan A, B dan

C merepresentasikan ketiga dimensi dan a1, a2 dan a3 merepresentasikan tiga

tingkatan dalam dimensi pertama. Demikian pula b1, b2, dan b3,

merepresentasikan dimensi kedua dan c1, c2 dan c3, merepresentasikan dimensi

ketiga. Dengan demikian independensi A menyatakan jika a2 > a1 untuk setiap

kombinasi faktor B dan C, maka hubungan ini akan sama untuk setiap

kombinasi B dan C lainnya (Reid, 1989).

b. Independensi Gabungan (Joint Independence)

Bentuk kedua dari independensi dapat diperiksa dari model tiga faktor. A dan

B secara gabungan independen terhadap C jika (a1, b1, c1) > (a2, b2, c1) jika dan

hanya jika (a1, b1, c2) > (a2, b2, c2). Independensi gabungan A dan B terhadap C

menunjukkan bahwa jika satu kombinasi A dan B adalah lebih besar

dibandingkan yang lain pada tingkatan C yang tetap maka urutan lainnya

harus mengikuti pola yang sama (Reid, 1989).

c. Penggagalan Ganda (Double Concelation)

Properti berikutnya menyatakan bahwa faktor A dan B mempunyai properti

seperti: jika (a2, b3, c1) > (a1, b2, c1) dan (a3, b2, c1) > (a2, b1, c1) maka (a3, b3, c1)

> (a1, b1, c1). Perhatikan bahwa penggagalan ganda membutuhkan paling

136

Page 139: Disertasi ugm hasil 1

sedikit tiga tingkatan untuk setiap faktor A dan B, dan melibatkan dua faktor

pada saat pengujian. Dengan demikian jika faktor A dan B masing-masing

mempunyai tiga skala tingkatan, maka akan hanya ada satu pengujian properti

ini untuk dua faktor tersebut. Hal ini harus dipenuhi oleh semua faktor. Oleh

karena itu hanya ada tiga pengujian yang mungkin dilakukan untuk properti

ini (Reid, 1989).

e. Penskalaan

Setelah tes aksioma diselesaikan dan model aditif telah dipandang sebagai

representasi yang cukup untuk data, program SWAT menghitung solusi yang

diskalakan dari data. Solusi yang diskalakan berarti nilai numerik bisa didapat

untuk setiap tingkat dari ketiga faktor dan kombinasi aditifnya yang akan menjaga

urutan kartu yang diberikan subjek dan mengacu pada model aditif. Sejumlah

algoritma sekarang dapat digunakan untuk memperoleh skala akhir. Dua

algoritma ini adalah MONANOVA (Kruskal, 1965) dan NONMTRG (Johnson,

1973) digunakan dalam SWAT untuk membuat skala yang paling sesuai, yang

mempresentasikan kartu yang telah diurutkan oleh subjek. Sebagai prosedur

penskalaan nonmetrik, kedua algoritma berusaha menentukan nilai skala interval

yang paling sesuai untuk tingkatan dimensi dan efek kombinasi berdasarkan

urutan peringkat dari kombinasi dimensi. Sehingga prosedur SWAT dimulai

dengan mengurutkan data dari yang terkecil ke yang terbesar jika belum dalam

bentuk tersebut. Dari sini hanya urutan data tersebut yang dipergunakan untuk

analisis (Reid, 1989).

a. MONANOVA

Pendekatan pertama MONANOVA mencari dan menerapkan sebuah

transformasi monotonik pada data penyusunan kartu asli sedemikian rupa

sehingga kombinasi tingkatan-tingkatan dengan batasan jarak transformasi

memenuhi paling tidak analisis kuadrat. Untuk permulaan, sebuah skala awal

yang diambil secara sembarang untuk tiap tingkatan faktor dibentuk untuk

137

Page 140: Disertasi ugm hasil 1

menghasilkan estimasi terhadap 27 kombinasi dimensi. Dari skala awal ini,

sebuah matriks yang dinilai dengan dispariti dibentuk. Dispariti mengubah

nilai yang monotonik terhadap data asli dan sedekat mungkin dengan nilai

skala beban kerja awal. Berikutnya, pengukuran uji keburukan suai (Badness

of Fit), stress, dihitung untuk menentukan seberapa dekat nilai dispariti yang

ditransformasikan secara monoton cocok dengan nilai skala yang diestimasi

dari model aditif. Stress dibentuk dari akar kuadrat dari jumlah kuadrat deviasi

antara dispariti dengan nilai stimulus yang diestimasi (Reid, 1989).

b. Algoritma Johnson

Prosedur penskalaan dalam SWAT, NONMETRG, digunakan untuk membuat

skala yang lain dari data, yang berbeda dengan stress. Pengukuran ini,

THETA, berbeda dari stress sedemikian rupa karena didasarkan pada metode

pasangan yang mengidentifikasi perbedaan skala yang mungkin dari pasangan

stimuli (351 pasangan dari 27 stimuli dalam SWAT) dibandingkan dengan

perbedaan peringkat asli (Reid, 1989).

f. Desain Konsep Penelitian SWAT

Metode SWAT dalam penerapannya akan membeberkan penskalaan

subjektif yang sederhana dan mudah dilakukan untuk mengkuantitatifkan beban

kerja dari aktivitas yang harus dilakukan oleh pekerja. SWAT akan

menggambarkan system kerja sebagai model multi dimensional dari beban kerja,

yang terdiri atas tiga dimensi atau faktor yaitu beban waktu (time load), beban

mental (mental effort load), dan beban psikologis (psychological stress load).

Masing-masing terdiri dari 3 tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi.

138

Page 141: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 3.9. Model konseptual beban kerja pilot terhadap kecelakaan

Langkah penelitian untuk metode ini diawali dengan pembentukan

variabel-variabel penelitian berupa identifikasi faktor-faktor yang terdapat

dalam variabel-varriabel tersebut. Setelah faktor-faktor dalam penelitian

teridentifikasi, seterusnya dilanjutkan dengan penskalaan (scale development)

dan penilaian (event scoring) yang merupakan langkah utama penerapan

metode SWAT. Selanjutnya dilakukan proses pengolahan data untuk mencari

pola pengaruh faktor-faktor yang telah diidentifikasi dengan perancangan

eksperimen faktorial (Metoda ANOVA). Pengujian dengan metode ANOVA

dilakukan setelah asumsi dasar yaitu normalitas distribusi dan homogenitas

varian data terpenuhi. Untuk mengetahui normalitas distribusi data digunakan

pengujian (test) Chi-Square, sedangkan untuk homogeinitas varian data

dilakukan dengan pengujian (uji) Bartlett.

Setelah pola pengaruh berhasil diidentifikasi melalui serangkaian

pengujian di atas, maka faktor-faktor dan/atau interaksinya yang terbukti

berpengaruh secara berarti (signifikan) akan diselidiki pula pengelompokkan

pengaruhnya terhadap beban kerja mental pilot. Untuk itu dilakukan uji

Rentang Newman Keuls. Hasil uji ini akan dimanfaatkan untuk menentukan

kondisi terbang yang paling terbebani oleh faktor-faktor dugaan yang telah

diidentifikasikan tersebut.

139

Page 142: Disertasi ugm hasil 1

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Karakteristik Responden

Karakteristik responden merupakan alat ukur statistik yang penting dalam

suatu populasi. Karakteristik responden yang terdiri dari 260 pilot dalam

penelitian ini digambarkan mengenai jenis kelamin, usia, jenjang pendidikan,

masa kerja, klasifikasi penerbang, tipe rating, jumlah jam terbang, tipe dan jenis

pesawat. Adapun karakteristik yang terkumpul melalui pengumpulan kuesioner

yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1 Statistik deskripsi responden berdasarkan jenis kelaminFrekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)

Pria 259 99.6 99.6Wanita 1 0.4 100Total 260 100

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa berdasarkan data identifikasi responden

pengisi kuesioner, dapat terlihat bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin

pria (99.6 %), hal ini dapat dimaklumi karena jenis profesi yang diteliti dalam

penelitian ini adalah profesi yang masih jarang ditekuni oleh wanita khususnya di

Indonesia yaitu profesi sebagai seorang penerbang (pilot).

Tabel 4.2 Statistik deskripsi responden berdasarkan usiaFrekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)

< 30 th 70 26.9 26.931 – 40 th 115 44.2 71.241 – 50 th 56 21.5 92.7

≥ 51 th 19 7.3 100Total 260 100

Faktor usia berpengaruh pada pengalaman kerja dan tingkat profesionalisme,

karena semakin tua umur akan semakin berpengalaman dalam menyelasaikan

suatu pekerjaan dan mengatasi masalah yang muncul, sehingga akan

mempengaruhi tingkat profesionalisme tersebut. Tabel 4.2 menunjukan bahwa

sebagian besar dari responden yaitu sebesar 44.2 % bila ditinjau berdasarkan usia,

140

Page 143: Disertasi ugm hasil 1

berusia diantara 31 s/d 40 tahun, sedangkan 26.9 % berusia dibawah 31 tahun, dan

21.5 % berusia diantara 41 s/d 50 tahun. Adapun 7.3 % responden berusia diatas

50 tahun.

Tabel 4.3 Statistik deskripsi responden berdasarkan jenjang pendidikan

Frekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)Diploma 99 38.1 38.1Sarjana 132 50.8 88.8Pasca 29 11.2 100Total 260 100

Tabel 4.3 memperlihatkan sebaran jawaban pertanyaan-pertanyaan tentang

latar belakang pendidikan responden, prosentase terbesar pada tingkat sarjana

yaitu sebesar 50.8 %, selebihnya adalah pendidikan tingkat diploma dan pasca,

yang masing-masing sebesar 38.1 % dan 11.2%.

Tabel 4.4 Statistik deskripsi responden berdasarkan masa kerja (Tahun)

Frekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)

< 10 th 140 53.8 53.810 – 20 th 90 34.6 88.5

> 20 th 30 11.5 100Total 260 100

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa 53.8 % responden jika ditinjau berdasarkan

masa kerja sebagai seorang pilot adalah dibawah 10 tahun, sementara 34.6 %

responden memiliki masa kerja antara 10 s/d 20 tahun, sedangkan 11.5 %

memiliki masa kerja diatas 20 tahun sebagai seorang penerbang (pilot).

Tabel 4.5 Statistik deskripsi responden berdasarkan klasifikasi penerbang

Frekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)

PIC 155 59.6 59.6SIC 105 40.4 100

Total 260 100

Tabel 4.5 menunjukan klasifikasi seorang penerbang yang terbagi menjadi 2

(dua) yaitu yaitu Pilot In Command (PIC) yakni pilot yang ditugaskan oleh

141

Page 144: Disertasi ugm hasil 1

”operator” atau oleh pemilik pesawat udara dalam kasus penerbangan umum,

sebagai penanggung jawab untuk melakukan suatu penerbangan yang

aman/selamat, dan Second In Command (SIC)/Co-pilot yakni pembantu pilot yang

melakukan tugas dan fungsi sebagai seorang ”Pilot In Command” di bawah

supervisi dari ”Pilot In Command”, memperlihatkan bahwa 59.6 % atau 155

responden mempunyai klasifikasi saat ini adalah sebagai SIC sedangakan 40.4 %

atau 105 responden berklasifikasi sebagai PIC.

Tabel 4.6 Statistik deskripsi responden berdasarkan tipe rating (Type Rating)

Frekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)

PPL 3 1.2 1.2CPL 82 31.5 32.7

SCPL 28 10.8 43.5ATPL 147 56.5 100Total 260 100

Sesuai dengan ketentuan dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulation)

Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 20 dan Annex 1

mengenai lisensi penerbangan, tenaga penerbangan diklasifikasikan menurut

lisensi (tipe rating) yang dimiliki, berdasarkan data identifikasi responden pengisi

kuesioner, dapat terlihat pada Tabel 4.6 bahwa sebagian besar dari responden

yaitu sebesar 56.5 % memiliki tipe rating ATPL, selebihnya adalah tipe rating

CPL 31.5 %, SCPL 10.8 % dan PPL 3 %.

Tabel 4.7 Statistik deskripsi responden berdasarkan jumlah jam terbangFrekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)

< 10.000 207 79.6 79.610.000-20.000 43 16.5 96.2

> 20.000 10 3.8 100Total 260 100

Tabel 4.7 memperlihatkan sebaran jawaban pertanyaan tentang jumlah jam

terbang yang dimiliki responden (pilot) yang dimiliki sampai dengan saat survei

dilaksanakan terdapat prosentase terbesar yaitu sebesar 79.6 % atau 207

responden pilot memiliki jam terbang kurang dari 10.000 jam terbang, sedangkan

142

Page 145: Disertasi ugm hasil 1

16.5 % atau 43 responden memiliki jam terbang berkisar antara 10.000 s/d 20.000

jam terbang, sementara itu 3.8 % atau 10 responden memiliki jam terbang diatas

20.000 jam terbang. Jam terbang seorang pilot berbanding lurus dengan masa

kerja ataupun berapa lama responden berprofesi sebagai seorang pilot.

Tabel 4.8 Statistik deskripsi responden berdasarkan tipe pesawat

Frekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)

Jet 219 84.2 84.2Propeller 41 15.8 100

Total 260 100

Pesawat bisa terbang karena ada gaya dorong dari mesin penggerak (engine)

yang menyebabkan pesawat memiliki kecepatan, dan kecepatan inilah yang di

terima sayap pesawat berbentuk aerofoil sehingga pesawat dapat terangkat /

terbang. Pemilihan engine didasarkan pada besar kecilnya ukuran pesawat

terbang. Secara garis besar mesin penggerak (engine) pesawat terbagi menjadi

sistem penggerak propeller dan jet. Dari Tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa

84.2 % atau 219 responden pilot mengawaki pesawat bermesin jet sedangkan

sisanya yakni 15.8 5 atau 41 responden pilot mengawaki pesawat bermesin

propeller.

Tabel 4.9 Statistik deskripsi responden berdasarkan jenis pesawatFrekuensi Persentase (%) Total Persentase (%)

Boeing 158 60.8 60.8Airbus 52 20.0 80.8

Lainnya 50 19.2 100Total 260 100

Tabel 4.9 menunjukkan kaitan antara jenis pesawat yang dioperasikan oleh

responden pada saat survei berlangsung, dimana 60.8 % atau 158 responden pilot

mengoperasikan pesawat jenis Boeing dari berbagai tipe, selanjutnya adalaha

pesawat Airbus dari berbagai tipe sebesar 20 %, dan sisanya sebessar 19.2 5 atau

50 responden menjawab dengan tipe yang lainnya (embraer, cessna, ATR).

Mayoritas responden mengoperasikan pesawat Boeing mengingat operator yang

143

Page 146: Disertasi ugm hasil 1

disurvei oleh peneliti dimana pilot bekerja disana adalah banyak yang

megoperasikan pesawat jenis ini.

B. Analisis SEM-PLS

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program LVPLS yang akan

menghasilkan model pengukuran (measurement model) yang dikenal dengan

istilah outer model serta model struktural atau inner model. Dalam penelitian ini

terdapat dua variabel akhir (endogen) yakni, kinerja pilot (performance) dan

kecelakaan pesawat (aircraft accident) dan empat variabel eksogen dan berperan

sebagai variabel independen yakni waktu terbang (phases of time), fase terbang

(flight phase), lokasi (location) dan cuaca (weather). Pengaruh dari antar variabel

tersebut dengan hubungan positif dan signifikan yang diestimasi, dapat

digambarkan alur sebagaimana pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Model struktural penelitian

1. Analisis Data

Dengan menggunakan LVPLS, kemudian model dieksekusi dengan

menggunakan LVPLS. Berikut ini hasil nilai dari LVPLS.

144

Page 147: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 4.2 Penjabaran desain penelitian (LVPLS)

2. Evaluasi Model Pengukuran (Measurement outer model)

Evaluasi awal terhadap model pengukuran adalah item reliability atau biasa

disebut indikator validitas. Hal ini dapat dilihat dari nilai loading factor. Nilai

loading factor dibawah 0.5 akan didrop dari model,. Dari hasil pengolahan

terdapat 2 indikator yang didrop dari model karena memiliki nilai loading factor

dibawah 0.5. Nilai loading factor tiap-tiap indikator dapat dilihat pada Tabel 4.10,

dibawah.

Tabel 4.10 Factor loading, residual dan weight

ConstructIndicato

r Mean Stdev Loading Residual WeightPhases of Time X1.1 3.696154 1.070842 0.5644 0.6815 0.0415

X1.2 3.188462 0.85597 0.824 0.321 0.2443X1.3 3.55 0.92655 0.6342 0.5978 -0.0731X1.4 3.696154 1.070842 0.6498 0.5778 -0.0938X1.5 3.726923 1.121244 0.6811 0.5361 -0.0745X1.6 3.165385 0.954341 0.9463 0.1045 0.5925X1.7 3.723077 1.118572 0.5544 0.6926 0.0842X1.8 3.284615 0.923604 0.8858 0.2154 0.3679

Flight Phase X2.1 4.007692 0.994162 0.831 0.3095 0.2357X2.2 3.815385 0.9114 0.638 0.5929 0.1993X2.3 3 0.9903 0.6831 0.5334 0.3093

145

Page 148: Disertasi ugm hasil 1

ConstructIndicato

r Mean Stdev Loading Residual WeightX2.4 2.992308 0.982442 0.5028 0.7472 0.1561X2.5 3.688462 0.878234 0.7367 0.4573 0.2115X2.6 3.873077 1.17044 0.8566 0.2662 0.2702

Location X3.1 3.369231 0.947571 0.7804 0.3909 0.4285X3.2 3.55 0.951224 0.8158 0.3345 0.3879X3.3 4.157692 0.65328 0.6714 0.5492 0.5201

Weather X4.1 3.711538 0.911881 0.6199 0.6157 0.1961X4.2 3.815385 0.9114 0.6567 0.5687 0.2093X4.3 3.665385 1.168916 0.8217 0.3248 0.3197X4.4 3.515385 1.143959 0.7682 0.4098 0.2386X4.5 2.992308 0.994162 0.6292 0.6041 0.2805X4.6 3.676923 0.840255 0.6219 0.6132 0.1905

Performance Y1.1 4.369231 0.670831 0.6589 0.5658 0.0816Y1.2 4.119231 0.661413 0.709 0.4973 0.1072Y1.3 4.15 0.672545 0.6111 0.6265 0.0679Y1.4 4.157692 0.65328 0.7496 0.4381 0.1673Y1.5 4.442308 0.686704 0.7406 0.4515 0.1229Y1.6 4.092308 0.60175 0.6847 0.5312 0.0975Y1.7 4.453846 0.704224 0.7119 0.4932 0.1122Y1.8 3.711538 0.911881 0.542 0.7062 0.1284Y1.9 3.676923 0.840255 0.507 0.743 0.1177Y1.10 4.038462 0.662321 0.689 0.5253 0.0935Y1.11 3.915385 0.634097 0.6846 0.5313 0.1013Y1.12 3.753846 0.714565 0.5167 0.7331 0.0686Y1.13 3.803846 0.654642 0.5342 0.7147 0.0604Y1.14 4 0.60244 0.5027 0.7473 0.0669Y1.15 3.876923 0.65188 0.6569 0.5685 0.0873Y1.16 3.753846 0.703675 0.6282 0.6054 0.0701

Accident Y2.1 3.476923 1.092024 0.8589 0.2623 0.124Y2.2 2.992308 0.994162 0.7925 0.372 0.1344Y2.3 3.126923 1.011157 0.6423 0.5875 0.0911Y2.4 3.446154 1.069489 0.7635 0.4171 0.1051Y2.5 3.45 1.076872 0.8084 0.3464 0.1142Y2.6 3.634615 1.159631 0.7662 0.413 0.1414Y2.8 3.665385 1.168916 0.7662 0.4129 0.147Y2.9 2.969231 0.962128 0.6789 0.539 0.1067Y2.10 3.469231 1.077595 0.8048 0.3524 0.1138Y2.12 2.961538 0.953788 0.7171 0.4858 0.1147Y2.13 3.657692 1.14665 0.6904 0.5233 0.1285

Sumber: Pengolahan data dengan LVPLS, 2015

Dari hasil Tabel 4.10 diatas nilai loading factor untuk tiap-tiap indikator

yang mengukur konstrak memiliki nilai loading factor lebih dari 0.5, sehingga

indikator memiliki validitas yang valid, sehingga dapat digunakan untuk

mengukur konstrak dalam model ini.

146

Page 149: Disertasi ugm hasil 1

Pemeriksaan selanjutnya adalah melihat reliabilitas konstruk. Ada dua

metode yang dilakukan yaitu dengan cronbach’s alpha dan composite reliability.

Konstruk dinyatakan reliabel jika memiliki nilai composite reliability dan atau

cronbach’s alpha diatas 0.7. berikut ini adalah hasil LVPLS.

Tabel 4.11 Reliability dan AVE

Construct Composite Relibility

Cronbach Alpha

Phases of Time 0.898384 0.939654Flight Phase 0.861289 0.80618Location 0.801359 0.661075Weather 0.843895 0.781472Performance 0.915399 0.897563Accident 0.935828 0.923908

Sumber: Pengolahan data dengan LVPLS, 2015

Dari hasil diatas, terdapat nilai cronbach’s alpha yang reliabilitasnya kurang

dari 0.7, yaitu location (0.661076). meski demikian, bila digunakan metode

composite reliability, nilai reliabilitas konstruknya diatas 0.70. Setelah

pemeriksaan reliabilitas konstruk, dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap

discriminant validity, hal ini disebabkan karena indikator dalam penelitian ini

diukur dengan indikator reflektif. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat nilai

cross loading sebagai berikut.

Tabel 4.12. Cross loadingScale Items Phase of Time Flight Phase Location Weather Performance Accident

X1.1 0.6566 0.0698 -0.0372 -0.0157 -0.0073 0.0649X1.2 0.8284 -0.1535 -0.1572 -0.2328 -0.0763 -0.1393X1.3 0.639 0.0557 0.035 -0.0395 0.024 0.0414X1.4 0.6566 0.0698 -0.0372 -0.0157 -0.0073 0.0649X1.5 0.6858 0.1026 0.0192 -0.0229 -0.0187 0.0555X1.6 0.9479 -0.3376 -0.3077 -0.4294 -0.099 -0.3646X1.7 0.5562 0.0447 0.0088 -0.0445 -0.0126 -0.0523X1.8 0.8888 -0.228 -0.2409 -0.3269 -0.0877 -0.2182X2.1 -0.3128 0.831 0.5688 0.65 0.224 0.5435X2.2 -0.3157 0.638 0.6287 0.6567 0.3358 0.425X2.3 -0.1007 0.6831 0.2889 0.6298 -0.0182 0.7868X2.4 -0.0917 0.5028 0.1315 0.3334 -0.0708 0.4117X2.5 -0.0999 0.7367 0.6236 0.4958 0.1946 0.4891X2.6 -0.4734 0.8566 0.5666 0.7243 0.1634 0.645X3.1 -0.3664 0.691 0.7804 0.6599 0.18 0.5769X3.2 -0.2568 0.6665 0.8158 0.5638 0.2026 0.4778X3.3 -0.1005 0.1915 0.6714 0.2624 0.7496 0.1056

147

Page 150: Disertasi ugm hasil 1

Scale Items Phase of Time Flight Phase Location Weather Performance AccidentX4.1 -0.267 0.3009 0.3067 0.6199 0.542 0.2918X4.2 -0.3157 0.638 0.6287 0.6567 0.3358 0.425X4.3 -0.4932 0.6805 0.6081 0.8217 0.2629 0.7662X4.4 -0.3817 0.7197 0.5152 0.7682 0.1297 0.6032X4.5 -0.0948 0.6811 0.2886 0.6292 -0.0254 0.7925X4.6 -0.177 0.3076 0.2514 0.6219 0.507 0.2924Y1.1 0.0063 0.1033 0.3255 0.1407 0.6589 -0.004Y1.2 -0.1203 0.0741 0.3827 0.1874 0.709 0.0009Y1.3 0.0484 -0.0124 0.2573 0.0187 0.6112 -0.0671Y1.4 -0.1005 0.1915 0.6714 0.2624 0.7496 0.1056Y1.5 0.0131 0.1105 0.4481 0.1918 0.7406 0.0743Y1.6 -0.0552 0.1146 0.4004 0.1573 0.6847 -0.0054Y1.7 0.0539 0.1486 0.4044 0.2131 0.7119 0.1524Y1.8 -0.267 0.3009 0.3067 0.6199 0.542 0.2918Y1.9 -0.177 0.3076 0.2514 0.6219 0.507 0.2924

Y1.10 0.0562 0.0742 0.3091 0.1628 0.689 0.0446Y1.11 -0.122 0.0941 0.3199 0.2485 0.6846 0.0338Y1.12 -0.0007 0.007 0.1819 0.1441 0.5167 -0.0887Y1.13 -0.0599 -0.1232 0.148 0.0066 0.5341 -0.1191Y1.14 0.0157 0.0344 0.2622 0.062 0.5026 -0.0211Y1.15 -0.1686 0.1175 0.2954 0.2413 0.6569 0.0621Y1.16 -0.0968 0.035 0.1954 0.1826 0.6282 -0.057Y2.1 -0.277 0.6159 0.2953 0.6077 0.0386 0.8589Y2.2 -0.0948 0.6811 0.2886 0.6292 -0.0254 0.7925Y2.3 0.0784 0.5133 0.3637 0.4277 0.057 0.6423Y2.4 -0.2264 0.5277 0.2517 0.5116 0.0322 0.7635Y2.5 -0.2495 0.5624 0.3255 0.5665 0.043 0.8084Y2.6 -0.4707 0.6576 0.5291 0.7776 0.2215 0.7661Y2.8 -0.4932 0.6805 0.6081 0.8217 0.2629 0.7662Y2.9 -0.1398 0.5622 0.2969 0.4874 -0.034 0.679

Y2.10 -0.259 0.5721 0.2359 0.5481 0.0216 0.8047Y2.12 -0.0888 0.5696 0.2055 0.5274 -0.0689 0.7171Y2.13 -0.4473 0.6252 0.5367 0.7016 0.2262 0.6904 Sumber: Pengolahan data dengan LVPLS, 2015

Pengujian discriminant validity adalah bahwa indikator pada suatu konstruk

akan mempunyai nilai loading factor terbesar pada konstruk yang dibentuknya

daripada loading factor dengan konstuk yang lain. Berdasarkan pada Tabel 4.12

diatas tampak bahwa semua loading factor memiliki nilai diatas 0.50. Hal ini

dapat disimpulkan bahwa konstruk mempunyai convergent validity yang baik.

Nilai cross loading juga menunjukkan adanya discriminant validity yang baik

oleh karena nilai korelasi indikator terhadap konsrak lebih tinggi dibandingkan

nilai korelasi indikator dengan konstruk lainnya.

148

Page 151: Disertasi ugm hasil 1

3. Evaluasi Model Strutural (Measurement inner model)

Setelah model yang diestimasi memenuhi kriteria discriminant validity

berikutnya dilakukan pengujian model struktural (inner model). Menilai inner

model adalah melihat hubungan antar konstruk laten dengan melihat hasil estimasi

koefisiennparameter path dan tingkat signifikansinya. Berikut adal nilai R-square

pada konstruk.

Tabel 4.13 Nilai R-square

Construct R-square

Phases of Time -Flight Phase -Location -Weather -Performance 0.440Accident 0.739

Sumber: Pengolahan data dengan LVPLS, 2015

Tabel 4.13 diatas, menunjukkan bahwa nilai R-square konstruk performance

(kinerja) adalah sebesar 44 % (0.440). Hal tersebut berarti bahwa secara bersama-

sama, konstruk phases of time (waktu), flight phase (fase terbang), location

(kondisi permukaan dataran), dan weather (cuaca) berpengaruh/mampu

menjelaskan sebesar 44 % persen terhadap performance (kinerja) dan sisanya

dipengaruhi/dijelaskan oleh variabel lain.

Sedangkan konstruk accident (kecelakaan), secara bersama-sama, konstruk

phases of time (waktu), flight phase (fase terbang), location (kondisi permukaan

dataran), weather (cuaca), dan performance (kinerja) berpengaruh/mampu

menjelaskan sebesar 73.9 % persen terhadap accident (kecelakaan) dan sisanya

dipengaruhi/dijelaskan oleh variabel lain.

4. Pengujian dan Pembahasan Hipotesis

Dasar yang digunakan dalam mengaji hipotesis adalah nilai yang terdapat

pada output result for inner weight berikut ini:

Tabel 4.14 Result for inner weight

149

Page 152: Disertasi ugm hasil 1

Entire Sample Estimate

Mean of Subsample

Standard Error T-Statistic

Phases of time->Performance 0.117 0.1137 0.0547 2.1405Phases of time->Accident 0.003 0.0349 0.0301 0.0998

Flight phase->Performance -0.69 -0.6953 0.1277 -5.4052Flight phase->Accident 0.333 0.3244 0.078 4.2711Location->Performance 0.661 0.6231 0.1578 4.1901

Location->Accident -0.031 -0.0511 0.0385 -0.8052Weather->Performance 0.584 0.6341 0.2504 2.3321

Weather->Accident 0.625 0.6448 0.0694 9.0084Performance->Accident -0.179 -0.1872 0.053 -3.3756

Sumber: Pengolahan data dengan LVPLS, 2015

a. Hipotesis 1 (Hipotesis pertama berbunyi terdapat hubungan yang

positif signifikan antara waktu terbang (phases of time) dengan kinerja

pilot (performance))

Dari Tabel 4.14 hubungan positif dan signifikan terlihat pada faktor waktu

terbang (phases of time) terhadap kinerja (performance) dengan koefisien

parameter sebesar 0.117. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat nilai t

statistik yang lebih besar dari 1.96, yakni sebesar 2.1405. Dengan demikian,

hipotesis 1 dalam penelitian ini diterima. Dengan kata lain menunjukan bahwa

faktor waktu terbang (phases of time) dapat mempengaruhi kinerja (performance)

seorang pilot, karena dalam dunia penerbangan dikenal siklus arus penumpang,

yaitu musim padat penumpang (peak season), yang biasa berlangsung selama

liburan sekolah, liburan akhir tahun, liburan lebaran atau liburan akhir pekan.

Siklus lain arus penumpang dalam dunia bisnis penerbangan adalah musim sepi

penumpang yang biasa berlangsung pada bulan Januari dan bulan Agustus-

Nopember. Selain itu juga terdapat puncak jam sibuk lalu lintas udara (peak

traffic hour) dalam dunia penerbangan yakni dari pukul 06.00 hingga 21.00, yang

itu semua dapat mempengaruhi kinerja (performance) seorang pilot dalam

melaksanakan tugasnya.

150

Page 153: Disertasi ugm hasil 1

b. Hipotesis 2 (Hipotesis kedua berbunyi terdapat hubungan yang positif

signifikan antara hubungan waktu terbang (phases of time) dengan

kecelakaan pesawat terbang (accident))

Berdasarkan hasil pengujian didapat nilai koefisien parameter sebesar 0.003

dan nilai t statistik dibawah 1.96, yakni sebesar 0.0998, yang berarti bahwa

hubungan antara faktor waktu terbang (phases of time) dengan kecelakaan

pesawat terbang (accident) bernilai postif namun tidak signifikan. Dengan

demikian, hipotesis 2 dalam penelitian ini ditolak. Hal ini menggambarkan faktor

waktu terbang (phases of time) tidak sangat mempengaruhi terjadinya suatu

kecelakaan pesawat terbang (accident). Dengan kata lain terjadinya suatu

kecelakaan pesawat terbang (accident) dapat terjadi kapan saja tanpa mengenal

waktu, baik pagi, siang, malam, maupun hari dan bulan. Sebuah kecelakaan di

penerbangan adalah suatu kejadian atau musibah yang munculnya dapat secara

tidak terduga dan terelakkan. Proses kejadian tersebut dapat digambarkan sebagai

sesuatu yang ikut bersama dalam setiap perjalanan, namun tersembunyi dan akan

muncul secara tiba-tiba pada saat satu atau beberapa faktor penentu terjadinya

keselamatan lainnya dalam kondisi lengah atau tidak sepenuhnya mengikuti

aturan yang seharusnya dipenuhi dan dilaksanakan.

c. Hipotesis 3 (Hipotesis ketiga berbunyi terdapat hubungan yang positif

signifikan antara hubungan fase terbang (flight phase) dengan kinerja

pilot (performance))

Dari hasil analisis menggunakan LVPLS dengan memilih model pengukuran

reflektif didapatkan hasil pada Tabel 4.14, bahwa hubungan faktor fase terbang

(flight phase) terhadap kinerja (performance) tidak berpengaruh signifikan (nilai t

statistik hitung < t tabel 1.96) dan bernilai negatif. Hal ini terlihat dari nilai -

5.4052 dengan koefisien parameter sebesar -0.69 yang berarti konstruk fase

terbang (flight phase) tidak berpengaruh terhadap kinerja (performance). Dengan

demikian, hipotesis 3 dalam penelitian ini ditolak. Sehingga dapat dikatakan

bahwa faktor fase terbang (flight phase) bukanlah konstruk yang dapat

mempengaruhi kinerja (performance).

151

Page 154: Disertasi ugm hasil 1

d. Hipotesis 4 (Hipotesis keempat berbunyi terdapat hubungan yang

positif signifikan antara hubungan fase terbang (flight phase) dengan

kecelakaan pesawat terbang (accident))

Dari Tabel 4.14 hubungan positif dan signifikan terlihat pada faktor fase

terbang (flight phase) terhadap kecelakaan pesawat terbang (accident) dengan

koefisien parameter sebesar 0.333. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat

nilai t statistik yang lebih besar dari 1.96, yakni sebesar 4.2711. Dengan demikian,

hipotesis 4 dalam penelitian ini diterima. Hal ini menunjukkan bahwa faktor fase

terbang (flight phase) dapat mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan (accident)

pesawat terbang, karena peristiwa kecelakaan pesawat terbang dapat terjadi pada

tahap pengoperasian pesawat terbang, diawali dengan sejak taxi, tinggal landas

(take off), menanjak (climb), penerbangan jelajah (cruising flight), dan tahap

pendaratan yang dimulai dari descent, awal pendaratan (approach) kemudian

menyentuh landasan (touch down) sampai pesawat terbang berhenti di apron

Bandar udara tujuan. Diantara fase-fase lainnya dalam operasi penerbangan, fase

take off dan landing adalah fase paling kritis dan berbahaya dalam operasi

penerbangan hal ini memungkinkan karena fakta bahwa fase take off dan landing

adalah fase yang terjadi dekat dengan tanah (near the ground) sehingga

mengakibatkan resiko yang lebih besar dalam hal keselamatan. Selain itu pada

tahap ini juga banyak prosedur penggantian pengoperasian pesawat (aircraft

configuration) yang harus dilakukan oleh pilot sehingga kemungkinan terjadinya

error dapat meningkat.

e. Hipotesis 5 (Hipotesis kelima berbunyi terdapat hubungan yang positif

signifikan antara hubungan lokasi (location) dengan kinerja pilot

(performance))

Berdasarkan hasil perhitungan diatas (Tabel 4.14), dapat disimpulkan bahwa

hubungan antara konstruk lokasi (location) terhadap kinerja (performance)

dinyatakan positif dan signifikan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari nilai

koefisien parameter sebesar 0.661 dan nilai t statistik yang lebih besar dari 1.96,

yakni sebesar 4.1901. Dengan demikian, hipotesis 5 dalam penelitian ini diterima.

Hal ini menunjukkan bahwa faktor lokasi (location) yang dalam dunia

152

Page 155: Disertasi ugm hasil 1

penerbangan lebih tertuju pada kondisi daratan suatu daerah (terrain) yakni

permukaan bumi yang berisi/mengandung fitur-fitur yang terjadi secara alami

seperti gunung, bukit, lembah, perairan, es permanent dan salju, tidak termasuk

“obstacle” dapat mempengaruhi kinerja (performance) seorang pilot dalam

melaksanakan tugasnya.

f. Hipotesis 6 (Hipotesis keenam berbunyi terdapat hubungan yang positif

signifikan antara hubungan lokasi (location) dengan kecelakaan

pesawat terbang (accident))

Hasil pengujian penelitian menyatakan bahwa nilai t statistik adalah -0.8052

dan koefisien parameter sebesar -0.031. Nilai ini berarti hubungan antara faktor

lokasi (location) dengan kecelakaan pesawat terbang (accident) tidak positif dan

tidak signifikan. Hal ini menggambarkan tidak ada pengaruh antara faktor lokasi

(location) dengan kecelakaan pesawat terbang (accident). Dengan demikian,

hipotesis 6 dalam penelitian ini ditolak.

g. Hipotesis 7 (Hipotesis ketujuh berbunyi terdapat hubungan yang positif

signifikan antara hubungan cuaca (weather) dengan kinerja pilot

(performance))

Cuaca penerbangan adalah cuaca yang diperuntukkan khusus untuk dunia

penerbangan, baik untuk saat lepas landas, mendarat maupun selama

penerbangan. Informasi cuaca ini diberikan setiap waktu pada saat pesawat akan

merencanakan penerbangan yang disesuaikan dengan jadwal penerbangan.

Informasi cuaca pada saat lepas landas, selama perjalanan dan mendarat meliputi

beberapa unsur cuaca, yaitu angin, jarak pandang, tekanan, jenis awan, dan suhu.

Berdasarkan hasil pengujian yang terdapat pada Tabel 4.14, dapat disimpulkan

bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara faktor cuaca (weather)

dengan kinerja (performance). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat nilai

t statistik yang lebih besar dari 1.96, yakni sebesar 2.3321 dan dengan nilI

koefisien parameter sebesar 0.582. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa faktor

cuaca (weather) dapat mempengaruhi kinerja (performance) seorang pilot dalam

melaksanakan tugasnya untuk mengoperasikan pesawat terbang. Dengan

demikian, hipotesis 7 dalam penelitian ini diterima.

153

Page 156: Disertasi ugm hasil 1

h. Hipotesis 8 (Hipotesis kedelapan berbunyi terdapat hubungan yang

positif signifikan antara hubungan cuaca (weather) dengan kecelakaan

pesawat terbang (accident))

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan LVPLS didapat hubungan

yang positif dan signifikan pada faktor cuaca (weather) terhadap kecelakaan

pesawat terbang (accident). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat nilai t

statistik yang lebih besar dari 1.96, yakni sebesar 9.0884 dan nilai koefisien

parameter sebesar 0.625. Hal ini dikarenakan pesawat terbang merupakan moda

yang sangat bergantung pada keadaan cuaca, baik waktu tinggal landas/lepas

landas (take off) ataupun pada waktu pesawat di udara (cruise) dan juga pada saat

melakukan pendaratan (landing), fenomena cuaca yang keberadaannya berada

diluar kendali manusia sering dimasukan kedalam faktor (pihak) yang dapat

menjadi penyebab terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang. Dengan

demikian, hipotesis 8 dalam penelitian ini diterima.

i. Hipotesis 9 (Hipotesis kesembilan berbunyi terdapat hubungan yang

positif signifikan antara hubungan kinerja pilot (performance) dengan

kecelakaan pesawat terbang (accident))

Berdasarkan hasil perhitungan diatas (Tabel 4.14), dapat disimpulkan bahwa

hubungan yang tidak signifikan ditemukan antara konstruk faktor kinerja

(performance) terhadap kecelakaan pesawat terbang (accident). Hal tersebut dapat

dibuktikan dengan melihat nilai t statistik yang dibawah 1.96, yakni sebesar -

3.3756 dan nilai koefisien parameter sebesar -0.179. Dengan demikian, hipotesis

9 dalam penelitian ini ditolak. Dalam penelitian ini, konstruk faktor kinerja

(performance) tidak berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang

(accident).

C. Analisis SWAT

1 Pengukuran Beban Kerja Mental Pilot

a. Pengurutan Kartu SWAT

Pada tahap ini responden diminta untuk melakukan pengurutan kartu SWAT

sebanyak 27 kartu, ini dibuat berdasarkan kombinasi dari tiga dimensi beban kerja

154

Page 157: Disertasi ugm hasil 1

yang memiliki tingkatan rendah, sedang, tinggi dimana dari setiap kartu tersebut

memiliki tiga dimensi. ketiga dimensi tersebut yaitu beban waktu (Time load),

beban usaha (Effort load), dan beban stres (Phsycological Stress). Dari setiap

dimensi pada kartu SWAT tersebut diberikan kombinasi skala yang berbeda untuk

setiap kartunya, dimana skala yang ditetapkan adalah 1, 2, 3. Skala tersebut

berdasarkan pada tingkat beban mental yang paling rendah hingga yang paling

tinggi kemudian skala tersebut dipresentasikan menggunakan pernyataan-

pernyataan yang dapat menunjukan bobot dari beban kerja mental tersebut.

Kombinasi skala yang paling rendah adalah skala 1 untuk Time, skala 1

untuk Effort dan skala 1 untuk Stress, dan yang paling tinggi adalah skala 3 untuk

Time, skala 3 untuk Effort dan skala 3 untuk Stress. Pengurutan kartu SWAT

tersebut berdasarkan persepsi masing-masing tentang pemahaman tingkatan beban

kerja dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi yang dapat menjadi

prioritas responden dalam melaksanakan tugasnya. Urutan kartu SWAT dapat

dilihat pada Tabel 4.15 dibawah.

Tabel 4.15 Urutan kartu SWAT

155

Page 158: Disertasi ugm hasil 1

b. Pengolahan Data Scale Development

Proses Scale Development dilakukan dengan meng-input hasil pengurutan

27 kombinasi kartu ke dalam Software dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Klik icon SWAT pada desktop kemudian masukkan today’s date (tanggal

dilakukannya penelitian), study name (nama penelitian yang anda lakukan),

file name (nama file yang akan anda gunakan untuk menyimpan hasil

penelitian), number of subjects (jumlah responden yang akan diteliti dengan

menggunakan software ini) akan muncul tampilan seperti gambar dibawah :

Gambar 4.3 Tampilan utama software SWAT

2. Mulai dengan melakukan data Entry dari kartu-kartu yang telah diurutkan oleh

responden yang diteliti dengan menekan tombol F2, sehingga muncul

tampilan sebagai berikut (hasil analisis data dapat dilihat pada Lampiran 3) :

156

Page 159: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 4.4 Tampilan input data 27 kartu SWAT

3. Tekan F1 untuk berhenti melakukan Entry data, kemudian tekan tombol F4

(Program Setup) untuk melihat hasil Scale Development. Tampilan layar yang

akan muncul adalah sebagai berikut

157

Page 160: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 4.5 Tampilan program setup pada software SWAT

4. Kemudian pilih angka 1 untuk melihat hasil Kendall’s yang akan menentukan

data berupa individu jika nilai ≤ 0.75 atau group ≥ 0.75 dan enter maka akan

muncul tampilan sebagai berikut (hasil analisis data dapat dilihat pada

Lampiran 3):

Gambar 4.6 Tampilan prototype analysis Kendal’s

5. Tekan F1 untuk keluar kemudian tekan F3 untuk kembali ke Program Setup

seperti gambar di point 3, kemudian pilih angka 3 dan muncul tampilan

sebagai berikut :

158

Page 161: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 4.7 Tampilan program setup pada software SWAT

6. Kemudian setelah memilih angka 3 dan enter maka akan muncul hasil Scalling

Information seperti tampilan berikut (hasil analisis data dapat dilihat pada

Lampiran 3) :

Gambar 4.8 Tampilan scalling information pada software SWAT

7. Kemudian tekan F4 untuk melihat hasil Scalling Solution maka akan muncul

tampilan sebagai berikut (hasil analisis data dapat dilihat pada Lampiran 3) :

159

Page 162: Disertasi ugm hasil 1

Gambar 4.9 Tampilan scalling solution pada software SWAT

c. Tahap Penilaian Beban Kerja

Tahap penilaian situasi beban kerja dari uraian pekerjaan tugas dan tanggung

jawab diperoleh dari kuesioner yang telah diberikan kepada responden untuk

dihitung masing-masing dimensi beban kerjanya. Penilaian kondisi pengoperasian

pesawat dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 4.16 dibawah ini :

Beban waktu (Time)

1. Pekerjaan mempunyai waktu luang yang banyak

2. pekerjaan mempunyai waktu luang yang agak ketat

3. Pekerjaan sangat ketat dan tidak mempunyai waktu luang

Beban usaha mental (Effort)

1. Pekerjaan mudah dan tidak membingungkan

2. Pekerjaan memerlukan konsentrasi

3. Pekerjaan memerlukan konsentrasi yang tinggi

Stress

1. Pekerjaan mudah dan tidak menimbulkan frustasi

2. Pekerjaan mempunyai tingkat stress yang sedang

3. Pekerjaan mempunyai tingkat stress yang tinggi

160

Page 163: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 4.16 Penilaian Kondisi Pengoperasian PesawatKONDISI PENGOPERASIAN

PESAWATNILAI BEBAN KERJA

WAKTU MENTAL STRESSWaktu Terbang (Phases of Time) :1. Hour Period - Morning (6:00 am -11:59 am) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Afternoon (12:00 pm - 17:59 pm) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Night (18:00 pm - 23:59 pm) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Early morning (0:00 am-5:59 am) 1 2 3 1 2 3 1 2 32. Week Period - Weekend (Saturday-Sunday) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Weekday (Monday-Friday) 1 2 3 1 2 3 1 2 33. Month Period - Peak season 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Non peak season 1 2 3 1 2 3 1 2 3Fase Terbang (flight phase) :1. Preflight Planning - Takeoff 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Climb 1 2 3 1 2 3 1 2 32. Transition to Cruise - Cruise 1 2 3 1 2 3 1 2 33. In-Flight Planning - Descent 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Approach 1 2 3 1 2 3 1 2 3 - Landing 1 2 3 1 2 3 1 2 3Lokasi (Location/Terrain condition) :1. Plateau 1 2 3 1 2 3 1 2 32. Mountainous 1 2 3 1 2 3 1 2 33. Relatively flat 1 2 3 1 2 3 1 2 3Cuaca (Weather) :1. Wind (Windshear, Crosswind,

Tailwind)1 2 3 1 2 3 1 2 3

2. Visibility condition (heavy rain, fog, haze, smog, duststrom, sandstorm) 1 2 3 1 2 3 1 2 3

3. Pressure (MSLP or QFF) 1 2 3 1 2 3 1 2 34. Cloud (Cumulonimbus (Cb),

Towering Cumulus (Tcu)) 1 2 3 1 2 3 1 2 3

5. Temperature condition (high or low) 1 2 3 1 2 3 1 2 36. Ceiling 1 2 3 1 2 3 1 2 3

Setelah skala akhir dibentuk, kemudian setiap kondisi pengoperasian

pesawat diberi nilai berdasarkan peringkat yang telah diberikan oleh masing-

masing pilot. Peringkat yang diberikan oleh pilot dan akan disesuaikan dengan

level pada nilai skala akhir yang terbentuk. Nilai skala akhir akan menunjukkan

beban kerja operator :

161

Page 164: Disertasi ugm hasil 1

1. Beban kerja rendah (Lower Load) jika nilai skala akhir 0 – 40

2. Beban kerja (Medium) jika nilai skala akhir 41 – 60

3. Beban kerja tinggi (Over Load) jika nilai skala akhir 61 – 100

Hasil dari penilaian beban kerja berdasarkan skala akhir yang telah diperoleh

untuk responden 1 sampai responden 260 dapat dilihat pada Tabel 4.17 berikut

ini.

162

Page 165: Disertasi ugm hasil 1

Tabel 4.17 Beban mental tiap-tiap pilot terhadap kondisi pengoperasian pesawatKONDISI

PENGOPERASIAN PESAWAT

RESPONDEN/PILOT KE-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Waktu Terbang 1. Hour Period

- Morning (6.00am-11.59am) 48.7 56.7 46.5 100 100 48.7 48.7 100 100 100 48.7 48.7 48.7 100 48.7 67.5 100 100 100 100 48.7 48.7 100 56.7 100 100 - Afternoon (12.00pm-17.59pm) 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 26.7 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 48.8 26.7 48.8 48.8 48.8 0 48.8 48.8 48.8 48.8

- Night (18.00pm-23.59pm) 28.2 91.3 100 100 100 58.5 100 100 100 100 28.2 65.1 65.1 28.2 65.1 100 65.1 91.3 100 100 73.8 58.5 73.8 100 100 58.5 - Early morning (00.00am-5.59am) 100 68.5 68.5 100 66 53.4 26.6 29 68.5 68.5 100 29 68.5 100 100 55.8 68.5 68.5 55.8 68.5 68.5 53.4 68.5 68.5 55.8 100

2. Week Period- Weekend 54.8 66.2 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 54.8 54.2 54.8 87.4 54.8 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 99.4 54.8 99.4 99.4 99.4 87.4- Weekday 15.1 51 51 51 15.1 51 51 51 51 51 15.1 15.1 51 15.1 51 42.5 51 8.5 51 51 51 51 51 51 42.5 15.13. Month Period- Peak Season 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 64.7 100 100 100 100- Non Peak Season 38.9 22.4 52.2 52.2 22.4 52.2 22.4 52.2 52.2 52.2 9.1 22.4 9.1 9.1 9.1 52.2 38.9 22.4 52.2 9.1 22.4 9.1 22.4 52.2 22.4 9.1Fase Terbang - Take Off 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 58.5 100 100 100 100- Climb 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 13.9 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 13.9 40 50- Cruise 0 0 5.9 48.7 16.1 48.7 0 0 48.7 0 0 0 0 0 0 16.1 16.1 16.1 48.7 5.9 0 5.9 0 0 48.7 0- Descent 59.3 59.3 59.3 59.3 22.3 59.3 50.9 59.3 59.3 59.3 62.1 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3 59.3- Approach 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100- Landing 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100Lokasi - Plateau 52.9 66.8 100 100 100 100 100 100 100 100 52.9 88.7 66.8 52.9 52.9 100 66.8 66.8 100 100 66.8 55.6 66.8 66.8 100 52.9- Mountainous 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 72.7 100 100 100 100- Relatively Flat 55.4 55.4 55.4 55.4 50.4 0 18.6 55.4 50.4 55.4 55.4 18.6 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 18.6 55.4 18.6 55.4 0 36.7 55.4Cuaca - Wind 100 100 100 100 66.3 66.3 100 100 66.3 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 66.3 100 100 100- Visibility Condition 100 100 100 100 69.8 69.8 100 69.8 100 100 100 60.7 100 100 100 100 100 100 100 100 100 69.8 100 100 100 100- Pressure 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0- Cloud 50.0 56.4 50.0 66.3 100 90.1 50.0 50.0 66.3 66.3 50.0 59.9 50.0 50.0 50.0 56.4 66.3 50.0 66.3 66.3 50.0 66.3 66.3 56.4 46.4 50.0- Temperature Condition 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11.4 0 0 0- Ceiling 62.4 62.4 65.1 62.4 65.1 65.1 62.4 62.4 65.1 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 14.8 62.4 65.1 62.4 65.1 62.4 62.4 47.6 62.4

163

Page 166: Disertasi ugm hasil 1

(Lanjutan)KONDISI

PENGOPERASIAN PESAWAT

RESPONDEN/PILOT KE-

27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52

Waktu Terbang 1. Hour Period

- Morning (6.00am-11.59am) 100 100 100 61.2 49.9 100 39.2 49.9 29.9 49.9 100 49.9 0 49.9 71.7 0 10.7 20.0 49.9 49.9 78.2 10.7 89.5 89.5 71.7 100

- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 63.6 63.6 63.6 23.4 0 63.6 40.2 63.6 40.2 63.6 63.6 63.6 0 100 63.6 63.6 51.2 63.6 63.6 63.6 87.7 82.3 12.4 58.1 63.6 58.1

- Night (18.00pm-23.59pm) 85.8 85.8 56.4 85.8 35.9 100 48.9 100 0 48.9 78.3 48.9 13.0 48.9 85.8 48.9 78.3 48.9 56.4 48.9 100 70.7 48.9 56.4 63.2 85.8 - Early morning (00.00am-5.59am) 99.6 59.7 71.7 35.1 59.7 100 87.2 99.6 87.6 59.7 0 59.7 23.1 99.6 99.6 99.6 87.6 23.1 99.6 24.4 99.6 35.1 87.6 59.3 71.7 99.6

2. Week Period- Weekend 100 90.7 100 61.7 38.3 100 50.2 50.2 38.3 50.2 100 50.2 0 50.2 50.2 50.2 50.2 12 52.4 100 100 59.6 90.7 88.5 90.7 100- Weekday 52.5 16.8 52.5 52.5 52.5 56.2 35.8 52.5 0 52.5 52.5 52.5 0 52.5 63.7 52.5 52.5 52.5 56.2 0 100 0 52.5 52.5 63.7 67.43. Month Period- Peak Season 100 95.1 100 100 1.7 100 98.9 56.2 0 56.2 100 56.2 0 56.2 62.1 56.2 94.1 56.2 62.1 100 100 56.2 98.9 77.5 95.1 95.1- Non Peak Season 20.3 20.3 45.7 56.7 36.4 56.7 56.7 56.7 0 56.7 56.7 56.7 0 56.7 56.7 56.7 9.2 20.3 58.1 0 100 0 56.7 45.7 56.7 20.3Fase Terbang - Take Off 100 100 100 100 48.9 100 48.9 100 100 0 100 48.9 13 100 100 100 70.7 92.5 100 100 100 13 100 85.8 85.8 100- Climb 50 0 50 15.4 46.2 50 34.6 50 0 0 50 15.4 15.4 50 50 50 50 50 50 0 100 15.4 50 53.8 38.5 50- Cruise 0 0 20 20 49.9 29.9 0 49.9 0 49.9 0 20 0 49.9 49.9 0 0 49.9 49.9 0 49.9 0 29.9 29.9 49.9 20- Descent 49.9 34.1 49.9 49.9 5.6 49.9 49.9 49.9 0 49.9 34.1 15.8 0 49.9 49.9 0 15.8 49.9 49.9 0 49.9 0 39.7 15.8 44.4 49.9- Approach 99.2 99.2 99.2 99.2 46.9 52.1 64 99.2 53.3 53.3 53.3 53.3 18 99.2 99.2 0 53.3 100 99.2 99.2 88.3 53.3 100 53.3 64.8 64- Landing 100 100 100 100 52.6 100 100 100 100 6.1 100 84.7 52.6 100 100 100 100 95.4 100 89.3 100 100 100 95.4 100 100Lokasi - Plateau 68.6 100 100 68.6 0 59 59 51.3 47.7 51.3 51.3 51.3 0 51.3 51.3 11.1 51.3 60.8 51.3 0 92.3 47.7 59 68.6 68.6 68.6- Mountainous 100 100 100 100 77 100 62.9 48 48 48 100 48 12.7 100 62.9 100 100 60 100 100 100 97.1 88 88 100 62.9- Relatively Flat 58.1 0 58.1 58.1 45.5 58.1 98.9 58.1 11.5 58.1 0 19.8 0 58.1 67.2 0 7.2 19.8 58.1 0 89.9 11.5 12.6 19.8 58.1 58.1Cuaca - Wind 100 100 100 100 14.8 100 57.6 100 100 0 100 100 57.6 100 100 100 57.6 57.6 100 100 100 100 94.0 100 100 100- Visibility Condition 100 57.0 100 100 52.3 52.3 68.4 100 100 0 100 52.3 52.3 100 100 100 100 95.2 100 100 100 52.3 95.2 52.3 95.2 68.4- Pressure 0 0 0 0 48.0 39.9 48.0 48.0 0 0 0 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0 39.9 100 0 0 0 50.9 48.0 60.0 12.7- Cloud 50.6 66.8 66.8 55.3 100 100 66.8 50.6 50.6 50.6 50.6 100 16.2 100 62.2 100 100 50.6 66.8 50.6 100 50.6 100 100 100 100- Temperature Condition 0 0 0 0 52.6 46.5 52.6 52.6 52.6 52.6 0 52.6 13.1 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 0 52.6 52.6 46.5 52.6 23.7 13.1- Ceiling 17.3 12.0 53.6 53.6 53.6 36.3 53.6 53.6 0 53.6 53.6 17.3 17.3 53.6 68.8 100 53.6 65.7 53.6 68.8 53.6 53.6 8.5 8.8 29.4 53.6

164

Page 167: Disertasi ugm hasil 1

(Lanjutan)KONDISI

PENGOPERASIAN PESAWAT

RESPONDEN/PILOT KE-

53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78

Waktu Terbang 1. Hour Period

- Morning (6.00am-11.59am) 83.9 100 93.5 100 48.8 48.8 93.5 93.5 100 100 17.1 48.8 64.9 0 83.9 93.5 70.8 83.9 0 48.8 17.1 17.1 48.8 31.7 48.8 93.5

- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 54.7 54.7 54.7 65.3 54.7 54.7 54.7 44.8 55.2 54.7 54.9 54.7 0 54.7 54.7 54.7 44.8 54.7 54.7 54.7 20.0 0 54.7 20.0 54.7 99.5

- Night (18.00pm-23.59pm) 87.7 71.8 100 100 50.7 50.7 87.7 87.7 87.7 59.5 23.9 50.7 50.7 50.7 15.1 87.7 62.9 47.4 50.7 50.7 15.1 71.8 50.7 15.1 50.7 78.9 - Early morning (00.00am-5.59am) 91.6 91.6 84.3 100 55.7 55.7 100 100 100 63 100 100 0 55.7 84.3 35.1 91.6 44.9 100 8.6 19.4 71.4 64 35.1 55.7 84.3

2. Week Period- Weekend 89.9 89.9 89.4 89.9 54.7 54.7 100 100 100 100 54.7 54.7 54.7 0 89.9 54.7 89.4 54.7 30.1 54.7 20 89.4 54.7 20 54.7 89.9- Weekday 52.1 41 52.1 52.1 52.1 52.1 54.8 58.4 54.8 61.1 13.8 52.1 0 0 52.1 52.1 91 52.1 52.1 52.1 11.1 52.1 52.1 58.4 52.1 52.13. Month Period- Peak Season 100 72.4 89.3 79.2 51.6 51.6 89.9 89.9 72.4 100 48.6 51.6 51.6 0 89.3 89.9 51.6 61.7 15.5 100 15.5 100 51.6 61.7 51.6 72.4- Non Peak Season 67.3 17 53.4 53.4 53.4 53.4 42.4 42.4 53.4 67.3 42.4 53.4 0 0 10.8 53.4 53.4 42.4 17 53.4 17 17 53.4 17 53.4 53.4Fase Terbang - Take Off 100 100 91.9 100 50.7 78.9 100 87.7 100 100 12.1 100 100 50.7 100 100 100 87.7 50.7 100 50.7 36.2 100 100 50.7 100- Climb 69.5 16.3 66.9 40.7 57 57 48.6 57 49.2 57 40.7 57 40.7 0 57 97.4 57 40.7 57 57 57 57 57 16.3 57 49.2- Cruise 38.3 38.3 48.8 17.1 48.8 48.8 42.3 31.7 17.1 6.5 23.7 0 0 0 17.1 71.5 0 31.7 48.8 48.8 48.8 17.1 48.8 0 38.3 6.5- Descent 55.8 13.9 46.5 53.4 53.4 53.4 66 46.5 53.4 13.9 100 53.4 46.5 0 68.5 55.8 0 13.9 53.4 53.4 53.4 53.4 53.4 13.9 53.4 39.5- Approach 62.2 62.2 53.7 62.2 56.9 56.9 100 56.9 53.7 62.2 97.1 97.1 97.1 0 97.1 97.1 97.1 56.9 56.9 97.1 56.9 97.1 97.1 65.1 56.9 97.1- Landing 98.3 98.3 98.3 98.3 59 92.3 98.3 98.3 98.3 90.6 98.3 98.3 98.3 59 98.3 98.3 98.3 98.3 59 98.3 59 98.3 98.3 98.3 59 100Lokasi- Plateau 66.9 66.9 66.9 50.7 50.7 50.7 62.7 40.9 55 50.7 45.2 100 83.7 0 100 55 50.7 50.7 50.7 50.7 50.7 100 50.7 50.7 50.7 62.7- Mountainous 100 100 100 63.3 50.9 50.9 96.2 87.6 100 100 54.7 100 100 50.9 100 100 63.3 59.6 100 50.9 63.3 100 100 96.2 50.9 100- Relatively Flat 59.4 59.4 62.3 96.5 59.4 59.4 28 62.3 25.1 21.6 11.2 59.4 7.7 0 28 55.9 62.3 0 0 59.4 59.4 25.1 59.4 28 59.4 25.1Cuaca - Wind 100 100 100 100 45.8 45.8 100 88.1 100 100 100 100 100 0 100 100 100 54.7 45.8 45.8 66.7 100 100 100 45.8 79.2- Visibility Condition 100 60.7 64.0 57.0 57.0 57.0 96.3 57.0 100 89.2 100 100 89.2 57.0 100 100 100 48.3 57.0 57.0 67.8 100 100 89.2 57.0 57.0- Pressure 43.6 50.9 50.9 47.7 50.9 50.9 54.7 14.3 50.9 36.7 100 50.9 50.9 0 14.3 100 100 36.7 50.9 50.9 50.9 50.9 50.9 36.7 50.9 14.3- Cloud 100 100 100 96.6 47.1 47.1 96.6 100 28.4 47.1 100 100 100 0 100 100 100 50.5 47.1 47.1 64.5 100 47.1 82.6 47.1 82.6- Temperature Condition 49.3 59.0 9.8 23.8 59.0 59.0 59.0 45.0 22.1 23.8 65.0 59.0 59.0 0 59.0 98.3 59.0 35.2 59.0 59.0 59.0 59.0 59.0 0 59.0 23.8- Ceiling 10.7 20.3 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 20.3 20.3 20.3 45.1 100 54.6 0 54.6 100 54.6 34.4 54.6 54.6 65.6 100 54.6 54.6 54.6 20.3

165

Page 168: Disertasi ugm hasil 1

(Lanjutan)KONDISI

PENGOPERASIAN PESAWAT

RESPONDEN/PILOT KE-

79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104

Waktu Terbang 1. Hour Period

- Morning (6.00am-11.59am) 45.8 45.8 45.8 45.8 41.8 89.8 41.8 0 45.8 45.8 52.0 45.8 100 0 45.8 45.8 56.0 0 73.4 45.8 0 100 45.8 89.8 100 100

- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 100 56.4 0 50.0 100 93.6 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 0 0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 56.4 50.0 50.0

- Night (18.00pm-23.59pm) 51.5 100 51.5 51.5 17.4 100 65.9 0 65.9 34.1 94.7 51.5 0 51.5 51.5 51.5 17.4 51.5 51.5 65.9 51.5 100 51.5 90.9 100 94.7

- Early morning (00.00am-5.59am) 57 57 57 57 89 57 67.3 0 67.3 11 99.7 99.7 21.6 57 57 57 99.7 57 57 99.7 99.7 99.7 57 89.2 99.7 57

2. Week Period- Weekend 57.2 57.2 0 57.2 0 96.8 57.2 0 0 57.2 96.8 57.2 0 0 57.2 57.2 88.4 0 57.2 57.2 46.9 96.8 57.2 88.4 96.8 57.2- Weekday 47.4 47.4 0 47.4 47.4 100 47.4 0 0 47.4 89 47.4 100 0 47.4 47.4 47.4 0 7.9 47.4 0 47.4 47.4 13.4 47.4 47.43. Month Period- Peak Season 51.5 51.5 51.5 51.5 100 51.5 51.5 0 51.5 51.5 100 51.5 0 51.5 51.5 51.5 51.5 0 81.3 51.5 0 100 51.5 70.2 100 51.5- Non Peak Season 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5 0 0 45.5 92.3 45.5 0 0 45.5 45.5 45.5 0 45.5 45.5 0 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5Fase Terbang - Take Off 51.5 100 100 51.5 94.7 100 100 100 100 100 94.7 100 100 51.5 51.5 51.5 100 100 94.7 100 51.5 100 51.5 100 100 100- Climb 49.8 49.8 15.5 49.8 15.5 49.8 49.8 49.8 100 49.8 54.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8- Cruise 35.6 45.8 0 45.8 14.2 45.8 45.8 0 100 45.8 16.4 45.8 0 0 45.8 45.8 0 0 31.6 45.8 45.8 0 45.8 45.8 45.8 45.8- Descent 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 100 56.1 0 100 56.1 56.6 56.1 0 0 56.1 56.1 0 0 47.5 56.1 56.1 0 56.1 56.1 56.1 56.1- Approach 57.1 98.2 57.1 57.1 57.1 98.2 98.2 57.1 98.2 57.1 98.2 57.1 57.1 0 57.1 57.1 98.2 57.1 100 98.2 57.1 57.1 57.1 98.2 98.2 98.2- Landing 52.6 100 52.6 52.6 100 100 100 100 100 100 90.6 100 100 52.6 52.6 52.6 100 100 95.5 100 52.6 100 52.6 100 100 100Lokasi - Plateau 56.7 56.7 100 100 56.7 68 100 56.7 100 66.7 100 100 56.7 56.7 56.7 56.7 100 56.7 56.7 56.7 56.7 100 56.7 66.7 68 58.1- Mountainous 58.6 99 99 99 99 99 99 99 99 100 99 99 99 58.6 58.6 58.6 99 58.6 99 99 99 99 58.6 99 99 99- Relatively Flat 43.7 97 43.7 43.7 1.8 43.7 97 0 97 0.8 0 43.7 0 43.7 43.7 43.7 0 43.7 40 43.7 43.7 0 43.7 43.7 43.7 43.7Cuaca (Weather)- Wind 48.4 48.4 100 100 65.9 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 48.4 100 100 100 48.4 100 100 100- Visibility Condition 54.2 100 100 100 100 54.2 100 100 100 100 100 100 54.2 100 100 100 54.2 100 96.3 100 100 100 54.2 100 100 100- Pressure 58.6 58.6 58.6 58.6 99.0 58.6 99.0 0 58.6 58.6 58.6 58.6 0 58.6 99.0 99.0 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6- Cloud 47.4 100 47.4 100 66.0 100 100 100 100 100 100 100 47.4 47.4 100 100 100 47.4 47.4 100 47.4 100 47.4 100 100 100- Temperature Condition 52.6 52.6 52.6 52.6 68.2 52.6 100 0 100 40.8 52.6 52.6 0 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 52.6 0 52.6 52.6 52.6 0- Ceiling 56.0 56.0 56.0 56.0 56.0 56.0 68.0 56.0 100 0 56.0 100 0 56.0 56.0 56.0 56.0 56.0 56.0 56.0 66.8 56.0 56.0 56.0 56.0 0

(Lanjutan)

166

Page 169: Disertasi ugm hasil 1

KONDISI PENGOPERASIAN PESAWAT

RESPONDEN/PILOT KE-105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130

Waktu Terbang 1. Hour Period

- Morning (6.00am-11.59am) 100 52.7 100 52.7 52.7 53.3 52.7 52.7 0 100 52.7 42.4 100 100 52.7 53.3 100 52.7 100 63.8 100 53.3 100 100 52.7 52.7 - Afternoon (12.00pm-17.59pm) 55.56 55.56 55.56 55.56 55.56 57.2 55.56 55.56 0 0 0 55.56 55.56 55.56 55.56 98.5 55.56 55.56 55.56 55.56 55.56 55.56 55.56 55.56 100 55.56 - Night (18.00pm-23.59pm) 51.8 51.8 51.8 51.8 14.8 88.4 51.8 51.8 100 23.2 51.8 58.4 58.4 100 11.6 3.2 0 51.8 100 51.8 51.8 51.8 51.8 51.8 51.8 51.8 - Early morning (00.00am-5.59am) 100 52.6 52.6 52.6 34.1 58.5 52.6 52.6 100 0 100 52.6 100 100 6.5 0 100 52.6 100 73.9 100 58.5 58.5 100 52.6 52.6

2. Week Period- Weekend 98.6 55.5 98.6 55.5 89.1 55.5 55.5 55.5 55.5 98.6 89.1 65 55.5 55.5 55.5 0 98.6 55.5 98.6 55.5 55.5 55.5 55.5 98.6 11.5 55.5- Weekday 50 50 50 50 50 50 50 50 0 100 0 50 8 50 50 0 50 50 50 50 50 50 50 50 5.9 503. Month Period- Peak Season 58.7 58.7 100 58.7 65.3 65.3 58.7 58.7 58.7 100 74.3 100 58.7 100 58.7 58.7 58.7 58.7 58.7 58.7 100 58.7 58.7 100 100 5- Non Peak Season 53.5 0 53.5 0 58.5 82.3 53.5 53.5 0 100 53.5 58.5 11.8 53.5 53.5 0 53.5 53.5 53.5 53.5 53.5 53.5 53.5 53.5 7.9 53.5Fase Terbang - Take Off 100 100 100 100 100 21.4 51.8 51.8 100 100 51.8 100 100 100 51.8 100 100 100 100 70 100 58.4 100 100 93.4 51.8- Climb 53.6 53.6 53.6 53.6 53.6 18.4 53.6 53.6 53.6 53.6 0 53.6 53.6 53.6 53.6 53.6 0 53.6 53.6 53.6 53.6 53.6 53.6 53.6 8.5 53.6- Cruise 52.7 52.7 52.7 52.7 20.1 53.3 52.7 52.7 0 0 0 0 0 0 52.7 10.3 52.7 52.7 0 52.7 0 52.7 0 52.7 9.8 52.7- Descent 57.6 57.6 57.6 57.6 57.6 21.5 57.6 57.6 0 57.6 0 0 0 57.6 57.6 57.6 0 57.6 0 57.6 0 57.6 0 57.6 8.5 57.6- Approach 62.4 62.4 62.4 100 100 25.5 62.4 62.4 62.4 100 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 100 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4 62.4- Landing 100 100 100 100 100 87.7 56.1 56.1 100 100 68.4 100 100 100 56.1 100 100 100 100 100 100 68.4 100 100 97.2 56.1Lokasi - Plateau 88.8 99 99 58.6 99 99 58.6 58.6 58.6 99 68.8 58.6 58.6 99 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 58.6 99 58.6 13.4 58.6- Mountainous 89.7 100 100 100 100 65.3 54.5 54.5 100 100 64.8 100 54.5 100 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 9.7 54.5- Relatively Flat 44.1 57.4 57.4 100 57.4 68.2 57.4 57.4 57.4 0 37.9 100 0 0 57.4 0 57.4 57.4 57.4 57.4 57.4 57.4 57.4 57.4 6.2 57.4Cuaca- Wind 100 100 100 100 100 100 55.2 55.2 100 100 88.4 70.0 100 100 55.2 100 100 100 100 70.0 100 58.4 100 100 96.8 58.4- Visibility Condition 100 100 100 100 100 20.9 57.8 57.8 100 100 60.9 100 100 100 57.8 100 100 57.8 100 57.8 57.8 57.8 100 100 7.3 57.8- Pressure 0 54.5 54.5 54.5 54.5 0 54.5 54.5 0 54.5 34.7 19.8 0 9.7 54.5 79.6 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 9.7 54.5- Cloud 99.2 99.2 99.2 99.2 99.2 43.8 55.1 55.1 99.2 99.2 55.1 99.2 55.1 99.2 55.1 45.4 99.2 55.1 99.2 66.0 99.2 54.3 99.2 99.2 100 55.1- Temperature Condition 0 0 56.1 0 56.1 68.4 56.1 56.1 100 56.1 35.7 0 0 56.1 56.1 47.2 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1- Ceiling 0 0 55.4 0 91.7 58.1 55.4 55.4 0 0 29.8 14.8 91.7 91.7 55.4 40.7 91.7 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 91.7 14.8 55.4

(Lanjutan)KONDISI RESPONDEN/PILOT KE-

167

Page 170: Disertasi ugm hasil 1

PENGOPERASIAN PESAWAT

131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156

Waktu Terbang1. Hour Period

- Morning (6.00am-11.59am) 87.6 100 51.8 51.8 51.8 100 20.8 51.8 51.8 51.8 100 87.6 87.6 87.6 51.8 94.7 100 8.9 0 8.9 8.9 0 0 51.8 100 69.5

- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 52.6 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 23.3 56.1 56.1 56.1 23.3 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 23.3 56.1 10.4 10.4 56.1 100 56.1 56.1 56.1

- Night (18.00pm-23.59pm) 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 20.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 10.8 100 20.6 56.6 20.7 45.8 32.6 32.6 100 56.6 68.6 88.0 68.6

- Early morning (00.00am-5.59am) 89.3 100 57.1 100 57.1 100 20 57.1 100 57.1 95.5 89.3 89.3 89.3 100 89.3 20 20 84.8 35.2 35.2 100 57.1 35.2 89.3 67.8

2. Week Period- Weekend 88.9 99.5 53.7 99.5 53.7 53.7 20.2 53.7 53.7 53.7 88.9 53.2 53.2 53.7 99.5 63.8 53.7 10.5 0 0 0 99.5 0 53.7 89.4 63.8- Weekday 41.4 59.6 59.6 59.6 59.6 59.6 24.5 59.6 59.6 59.6 59.6 59.6 59.6 13.6 59.6 59.6 59.6 13.6 0 0 0 0 0 59.6 48.6 463. Month Period- Peak Season 92.7 100 59.3 100 59.3 59.3 22.3 59.3 59.3 59.3 59.3 62.1 59.3 59.3 59.3 89.9 89.9 13.8 59.3 0 0 100 0 89.9 92.7 69.5- Non Peak Season 45.6 50.7 50.7 50.7 50.7 50.7 15.3 50.7 50.7 50.7 45.2 45.2 50.7 50.7 50.7 45.2 50.7 9.8 0 0 0 0 0 50.7 50.7 50.7Fase Terbang - Take Off 88 100 100 100 68.6 100 88 56.6 100 56.6 88 88 56.6 88 100 88 100 10.8 100 22.8 22.8 100 56.6 100 56.6 68.6- Climb 45.7 52.3 52.3 52.3 52.3 52.3 17.1 52.3 52.3 52.3 52.3 17.1 52.3 52.3 52.3 40.9 100 11.4 52.3 11.4 11.4 52.3 52.3 52.3 52.3 52.3- Cruise 48.1 0 51.8 0 51.8 51.8 15.5 51.8 51.8 51.8 42.8 8.9 45.2 8.9 51.8 0 51.8 8.9 51.8 8.9 8.9 0 69.5 51.8 51.8 42.8- Descent 46.3 0 48.4 0 48.4 48.4 11 48.4 48.4 48.4 11 48.4 45.1 7.7 48.4 48.4 48.4 11 48.4 19.6 19.6 0 48.4 48.4 48.4 40.7- Approach 91.1 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 20.3 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 54.6 22.3 43.9 19.5 19.5 54.6 54.6 100 54.6 56.7- Landing 97.1 97.1 97.1 97.1 62.2 97.1 88.6 56.6 97.1 56.6 97.1 97.1 53.7 100 97.1 100 97.1 19.7 97.1 19.3 19.3 97.1 62.2 97.1 56.6 62.2Lokasi - Plateau 100 100 53.4 100 53.4 53.4 17 53.4 100 53.4 62.5 62.5 53.4 53.4 53.4 58.2 86.1 30.9 100 0 0 100 53.4 95.2 67.3 67.3- Mountainous 100 100 54.5 100 54.5 54.5 20.2 54.5 100 54.5 54.5 61.9 56.5 54.5 54.5 42.6 94.5 56.5 92.5 0 20.2 100 54.5 100 61.9 61.9- Relatively Flat 54.9 59.4 59.4 59.4 59.4 59.4 25 59.4 59.4 59.4 25 45.8 45.8 11.5 59.4 47.9 70.8 45.8 25 0 0 25 59.4 59.4 45.8 59.4Cuaca - Wind 100 100 100 100 65.5 100 56.9 54.8 100 54.8 89.3 100 91.4 97.9 100 100 100 31.9 100 54.8 54.8 100 54.8 100 65.5 65.5- Visibility Condition 100 46.6 100 100 46.6 46.6 11.9 46.6 46.6 46.6 46.6 86.2 86.2 86.2 100 46.6 86.2 79.1 95.2 46.6 46.6 95.2 65.3 100 51.4 65.3- Pressure 56.5 54.5 54.5 54.5 54.5 54.5 20.2 54.5 54.5 54.5 20.2 20.2 46.2 54.5 54.5 8.3 54.5 17.3 89.7 54.5 54.5 89.7 54.5 54.5 56.5 54.5- Cloud 98.2 98.2 98.2 98.2 98.2 98.2 54.4 56.2 98.2 56.2 88.9 98.2 88.9 88.9 98.2 88.9 56.2 20.6 29.1 56.2 56.2 100 56.2 98.2 98.2 63.7- Temperature Condition 53.7 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 22.5 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 10.8 0 56.6 56.6 10.8 100 56.6 56.6 0 56.6 56.6 53.7 56.6- Ceiling 53.8 100 52.1 52.1 52.1 52.1 17.7 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 9.5 52.1 9.5 52.1 52.1 52.1 0 52.1 52.1 52.1 43.9

(Lanjutan)KONDISI

PENGOPERASIAN RESPONDEN/PILOT KE-

157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182

168

Page 171: Disertasi ugm hasil 1

PESAWATWaktu Terbang1. Hour Period

- Morning (6.00am-11.59am) 56.5 30.8 30.8 56.5 0 56.5 82.1 22.2 12.0 100 10.2 56.5 56.5 56.5 56.5 10.2 30.8 0 56.5 30.8 56.5 0 31.4 44.5 56.5 56.5

- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 54.2 18.0 62.2 18.0 18.0 54.2 0 0 8.5 54.2 9.5 54.2 18.0 54.2 54.2 9.5 54.2 0 54.2 54.2 54.2 0 45.7 45.7 54.2 54.2

- Night (18.00pm-23.59pm) 63.8 22.5 68.5 68.5 17.8 34.0 57.0 83.8 57.0 100 11.2 57.0 22.5 57.0 57.0 11.2 17.8 0 100 88.5 100 0 88.5 100 57.0 57.0

- Early morning (00.00am-5.59am) 29.5 18.8 66.3 100 99.5 29.5 100 8.6 100 100 10.2 56.1 66.8 56.1 56.1 18.8 79.6 0 100 100 100 0 89.3 100 56.1 100

2. Week Period- Weekend 54.7 42.8 42.8 54.7 0 60.1 54.7 0 54.7 100 11.9 54.7 54.7 54.7 54.7 0 54.7 0 54.7 54.7 54.7 0 14.8 54.7 54.7 0- Weekday 52 8.5 8.5 52 0 52 52 100 52 0 8.5 52 52 52 52 0 52 0 52 97.8 52 0 52 52 52 03. Month Period- Peak Season 84.6 100 100 100 49.2 96.2 100 0 100 100 43.2 49.2 96.2 49.2 49.2 7.9 100 0 100 49.2 49.2 0 49.2 49.2 49.2 0- Non Peak Season 57 60.7 0 57 0 12.4 0 96.3 57 0 12.4 57 57 57 57 12.4 67.8 0 57 96.3 57 0 57 57 57 0Fase Terbang - Take Off 95.3 63.8 63.8 100 57 45.7 95.3 22.5 95.3 95.3 57 100 100 95.3 57 57 17.8 34 95.3 63.8 95.3 57 57 100 95.3 95.3- Climb 57 80 80 89.2 0 57 57 64 57 0 47.7 57 57 57 57 0 21.6 57 57 57 57 0 57 57 57 0- Cruise 57 45.7 45.7 57 0 57 57 68.5 57 0 0 11.3 57 0 57 0 0 57 57 68.5 57 0 57 57 0 0- Descent 54.8 65.5 65.5 54.8 0 21.2 54.8 21.2 54.8 0 40.7 54.8 89.3 0 54.8 0 0 54.8 100 91.4 54.8 0 54.8 54.8 54.8 0- Approach 91.7 55.4 89.1 55.4 55.4 55.4 91.7 91.7 55.4 55.4 40.7 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4 66.3 91.7 66.3 91.7 55.4 55.4 55.4 55.4 55.4- Landing 98.2 100 100 65.7 63.9 100 98.2 55.4 98.2 98.2 65.7 100 91.5 98.2 57.1 57.1 98.2 65.7 98.2 65.7 98.2 98.2 57.1 57.1 98.2 98.2Lokasi - Plateau 87.4 100 100 100 44.8 10.5 44.8 10.5 44.8 100 11.8 44.8 55.5 100 44.8 0 44.8 44.8 100 55.5 44.8 0 76.7 44.8 44.8 44.8- Mountainous 100 10.7 10.7 100 67.1 44.8 100 92.6 44.8 100 5.4 100 44.8 100 44.8 34.2 100 44.8 100 77.8 100 44.8 79.7 44.8 44.8 100- Relatively Flat 19.5 49 49 56.2 19.5 7.2 56.2 70.2 56.2 0 12.3 56.2 56.2 56.2 56.2 0 19.5 56.2 56.2 100 100 0 0 56.2 56.2 0Cuaca - Wind 100 38.6 38.6 100 100 89.6 100 91.4 54.4 100 45.8 89.6 89.6 100 54.4 0 100 89.6 100 54.5 100 54.4 100 100 100 100- Visibility Condition 100 79.1 79.1 100 100 100 100 90.1 100 100 57.0 100 57.0 57.0 57.0 57.0 100 97.4 100 59.6 100 57.0 100 100 100 100- Pressure 44.8 72.5 72.5 52.2 5.2 10.7 52.5 52.5 52.5 0 5.4 52.5 52.5 0 52.5 0 0 52.5 52.5 100 52.5 52.5 100 100 52.5 52.5- Cloud 100 45.4 45.4 100 55.5 55.5 56.6 89.0 55.5 100 45.4 98.9 98.9 100 55.5 20.8 100 98.9 100 55.5 55.5 55.5 100 100 55.5 100- Temperature Condition 57.1 57.1 57.1 55.4 57.1 22.8 57.1 57.1 57.1 57.1 10.8 57.1 57.1 57.1 57.1 0 57.1 57.1 57.1 98.2 57.1 57.1 98.2 57.1 57.1 57.1- Ceiling 57.0 31.2 20.3 88.3 22.3 57.0 57.0 57.0 57.0 57.0 10.6 57.0 67.9 0 57.0 0 57.0 100 57.0 57.0 57.0 57.0 98.1 57.0 57.0 98.1

(Lanjutan)KONDISI

PENGOPERASIAN PESAWAT

RESPONDEN/PILOT KE-

183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208

169

Page 172: Disertasi ugm hasil 1

Waktu Terbang 1. Hour Period

- Morning (6.00am-11.59am) 62.7 54.9 100 62.7 54.9 62.7 100 54.9 54.9 54.9 100 100 54.9 100 40.5 0 54.9 27.0 71.5 100 100 54.9 54.9 54.9 100 54.9

- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 17.5 52.0 52.0 52.0 52.0 52.0 0 52.0 52.0 52.0 52.0 0 52.0 52.0 39.6 39.6 52.0 22.5 52.0 52.0 5.0 52.0 52.0 22.5 52.0 52.0

- Night (18.00pm-23.59pm) 15.5 100 49.8 10.0 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 20.5 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 20.5 49.8 49.8 49.8 49.8 49.8 15.5 49.8 49.8

- Early morning (00.00am-5.59am) 65.4 100 100 53.8 100 53.8 50 50 50 50 88.5 100 50 100 100 88.5 50 19.2 50 65.4 50 50 50 84.6 53.8 50

2. Week Period- Weekend 52.9 100 100 66 100 52.9 100 47.4 47.4 47.4 86.9 100 47.4 100 0 0 47.4 18.9 47.4 100 100 47.4 47.4 47.4 66 47.4- Weekday 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 0 0 50 19.2 50 50 50 50 50 15.4 50 503. Month Period- Peak Season 99 55 99 100 99 55 55 55 55 55 54 55 55 99 0 0 55 17.7 55 65.9 54 55 55 88.2 99 55- Non Peak Season 17.5 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 0 0 54.2 21.2 54.2 54.2 54.2 54.2 54.2 17.5 54.2 54.2Fase Terbang - Take Off 100 100 100 87.5 100 54.8 100 49.8 49.8 100 100 100 49.8 100 100 49.8 67.3 20.5 67.3 100 100 49.8 100 95 100 49.8- Climb 56 56 0 56 56 45.5 56 56 56 56 45.2 56 56 0 0 0 56 22.5 56 56 10.5 56 56 56 56 56- Cruise 20 0 0 12.8 0 49.9 0 57.1 57.1 0 44.3 0 57.1 57.1 0 0 57.1 24.5 44.3 7.2 7.2 57.1 0 20 20 57.1- Descent 21.9 56.9 0 56.9 0 48.4 0 56.9 56.9 56.9 56.9 0 56.9 56.9 0 0 56.9 22.1 43.4 8.5 8.5 56.9 0 21.9 13.5 56.9- Approach 57 57 57 57 57 57 57 57 57 98.1 55.1 57 57 98.1 57 57 57 20.3 57 57 57 57 57 57 57 57- Landing 99.2 99.2 99.2 99.2 53.1 52.3 99.2 53.1 53.1 99.2 99.2 99.2 53.1 99.2 99.2 52.3 64 17.2 64 99.2 99.2 53.1 99.2 100 99.2 53.1Lokasi - Plateau 53.2 45.5 45.5 53.2 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5 45.5 78 100 45.5 100 45.5 45.5 45.5 12.7 53.2 67.5 92.3 45.5 45.5 78 53.2 45.5- Mountainous 51.1 51.1 51.1 57.8 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 100 51.1 51.1 51.1 57.8 51.1 23.7 51.1 68.1 93.3 51.1 51.1 82.9 57.8 51.1- Relatively Flat 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 5.9 0 49.2 20.6 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 49.2 14.7 49.2Cuaca - Wind 92.0 100 100 99.8 100 57.0 100 56.9 56.9 56.9 92.0 99.8 56.9 100 56.9 56.9 65.1 22.1 65.1 100 100 56.9 100 99.8 100 56.9- Visibility Condition 87.5 49.8 100 59.8 100 54.8 100 49.8 49.8 49.8 87.5 49.8 49.8 100 49.8 49.8 49.8 20.5 49.8 100 49.8 49.8 100 49.8 54.8 49.8- Pressure 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 51.1 23.7 57.8 51.1 51.1 51.1 51.1 17.0 82.9 51.1- Cloud 92.0 56.9 100 99.8 100 57.0 100 56.9 56.9 56.9 92.0 100 56.9 100 65.1 56.9 56.9 22.1 65.1 100 100 56.9 100 99.8 100 56.9- Temperature Condition 53.1 53.1 53.1 18.0 53.1 46.9 0 53.1 53.1 53.1 53.1 53.1 18.0 53.1 18.0 29.7 53.1 29.7 53.1 53.1 53.1 53.1 53.1 53.1 53.1 53.1- Ceiling 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 45.6 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 33.4 50.0 50.0 50.0 50.0 21.0 50.0 16.6 50.0 50.0 50.0 16.6 16.6 50.0

(Lanjutan)KONDISI

PENGOPERASIAN PESAWAT

RESPONDEN/PILOT KE-

209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234

Waktu Terbang

170

Page 173: Disertasi ugm hasil 1

1. Hour Period - Morning (6.00am-11.59am) 57.1 100 57.1 57.1 36.7 57.1 57.1 49.1 25.9 49.1 50.3 73.1 94.4 100 57.1 59.5 57.1 12.4 62.7 57.1 76.1 59.5 62.7 20.4 94.4 49.1

- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 54.9 54.9 54.9 54.9 17.0 54.9 54.9 0 17.0 5.3 43.2 54.9 54.9 66.8 54.9 54.9 54.9 17.0 54.9 54.9 49.7 61.5 54.9 88.2 54.9 54.9

- Night (18.00pm-23.59pm) 52.9 52.9 52.9 52.9 16.3 52.9 52.9 57.8 57.8 65.7 73.0 65.7 95.1 95.1 82.3 88.1 95.1 52.9 52.9 52.9 52.9 95.1 52.9 66.0 65.7 52.9

- Early morning (00.00am-5.59am) 58.2 58.2 58.3 58.2 33.6 68.9 58.2 87.3 87.3 22.9 78.6 68.9 58.2 88.8 78.1 57.7 58.2 45.5 57.7 58.2 46.9 100 68.4 65.9 68.9 45.5

2. Week Period- Weekend 53.4 100 53.4 53.4 18.6 53.4 53.4 44.1 53.6 9.3 44.1 65 99.8 100 53.4 65 44.1 44.1 53.6 53.4 100 90.5 99.8 44.1 30.1 44.1- Weekday 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 57.6 45.1 99 34.6 56.6 56.6 67 46.2 55.5 45.1 56.6 56.6 56.6 45.1 34.6 56.6 45.1 22 56.63. Month Period- Peak Season 54.7 56.9 54.7 54.7 56.9 54.7 54.7 87.2 100 12.8 67.7 56.9 97.7 89.2 97.7 65.4 54.7 54.7 56.9 54.7 97.7 54.9 67.7 54.7 97.7 54.7- Non Peak Season 57.8 57.8 57.8 57.8 11.6 57.8 57.8 10.5 50.5 90.7 57.8 57.8 57.8 57.8 53.5 96.8 57.8 4.3 57.8 57.8 57.8 50.5 50.5 50.5 57.8 57.8Fase Terbang - Take Off 100 100 52.9 52.9 100 100 52.9 88.1 100 57.9 87.2 70.6 95.1 100 100 22.1 100 100 57.8 52.9 95.1 95.1 100 87.2 82.3 57.8- Climb 52.1 52.1 52.1 52.1 9.5 52.1 52.1 52.1 43.9 87.4 63 43.9 52.1 52.1 42.6 17.7 43.9 52.1 52.1 52.1 43.9 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1- Cruise 52.5 16.8 52.5 43.9 0 52.5 43.9 52.5 44.4 85.1 52.5 35.8 43.9 52.5 8.1 44.4 44.4 8.1 52.5 52.5 44.4 56.2 35.8 44.4 52.5 52.5- Descent 54.4 18.5 54.4 54.4 18.5 54.4 54.4 45 45 54.4 54.7 45 54.4 67.1 87.1 18.7 54.4 54.4 54.4 54.4 54.4 54.4 45.4 54.4 87.1 54.4- Approach 56.1 56.1 56.1 56.1 67.8 100 56.1 100 56.1 95.3 95.3 72.5 95.3 95.3 100 35.1 95.3 60.8 60.8 56.1 100 95.3 60.8 88.3 56.1 60.8- Landing 98.8 98.8 55.8 55.8 98.8 98.8 55.8 100 98.8 64.4 98.8 64.4 100 98.8 98.8 64.4 100 98.8 54.6 55.8 98.8 98.8 98.8 89.1 90.2 54.6Lokasi - Plateau 56.3 56.3 56.3 56.3 56.3 56.3 56.3 47.4 55.4 56.3 67.3 55.4 100 56.3 67.3 88.1 55.4 56.3 55.4 56.3 99.1 68.2 68.2 88.1 88.1 56.3- Mountainous 51.9 51.9 51.9 51.9 99 100 51.9 100 52.9 87.8 80.3 64.1 99 99 100 63.1 100 99 52.9 51.9 100 63.1 64.1 87.8 51.9 51.9- Relatively Flat 47.7 47.7 47.7 47.7 0 47.7 47.7 47.7 46 87.9 47.7 39 10.3 10.3 39 60.3 87.9 37.4 47.7 47.7 51.2 47.7 47.7 72 47.7 46Cuaca - Wind 100 100 48.0 48.0 100 100 48.0 100 51.2 59.2 79.1 59.2 96.9 100 100 100 51.2 48.0 51.2 48.0 96.9 96.9 100 88.8 10.4 48.0- Visibility Condition 48.7 48.7 48.7 48.7 83.0 100 48.7 100 100 65.7 95.3 48.7 95.3 87.7 87.7 19.1 100 100 53.4 48.7 100 100 100 87.7 48.7 53.4- Pressure 51.9 51.9 51.9 51.9 35.9 51.9 51.9 51.9 43.4 63.1 63.1 44.3 8.4 51.9 8.4 9.5 51.9 51.9 51.9 51.9 51.9 51.9 43.4 88.8 51.9 51.9- Cloud 100 100 47.8 47.8 81.6 47.8 47.8 66.2 53.2 60.7 81.6 60.7 81.6 100 53.2 53.2 94.5 94.5 53.2 47.8 100 60.7 94.5 81.6 60.7 47.8- Temperature Condition 55.8 55.8 55.8 55.8 0 55.8 55.8 55.8 55.8 55.8 55.8 46.2 11.8 55.8 11.8 55.8 55.8 55.8 55.8 55.8 55.8 55.8 44.0 55.8 55.8 55.8- Ceiling 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 49.2 44.4 83.6 60.8 60.8 56.1 56.1 56.1 56.1 56.1 18.6 56.1 56.1 83.6 83.6 56.1

(Lanjutan)KONDISI

PENGOPERASIAN PESAWAT

RESPONDEN/PILOT KE-

235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260

Waktu Terbang 1. Hour Period

171

Page 174: Disertasi ugm hasil 1

- Morning (6.00am-11.59am)

58.1 10.7 58.1 58.1 100 74.6 87.4 70.8 58.1 86.5 75.8 12.8 11.9 0 58.1 99.1 58.1 48.4 48.4 86.5 47.5 12.8 86.5 71.7 0 87.2

- Afternoon (12.00pm-17.59pm) 54.4 54.4 54.4 49.8 54.4 49.8 54.4 63.9 54.4 54.4 82.3 54.4 17.8 72.1 41.2 54.4 49.8 54.4 62.7 36.6 41.2 4.6 54.4 54.4 64.5 54.4

- Night (18.00pm-23.59pm) 55.7 45.9 55.7 45.9 55.7 57.1 87.1 57.3 55.7 75.9 87.1 45.9 32.1 87.1 68.5 55.7 45.9 100 57.3 55.7 44.5 55.7 68.5 75.9 66.2 9.7

- Early morning (00.00am-5.59am) 49.9 55.5 49.9 44.4 49.9 21.9 88.4 61.6 49.9 100 49.9 55.5 27.5 49.9 45.3 94.4 94.4 67.1 72.5 82.8 39.7 49.9 100 100 67 72.5

2. Week Period- Weekend 50 16.3 50 43.6 100 43.6 83.7 56.4 6.4 83.7 93.6 12.7 6.4 67.4 100 50 6.4 100 12.7 67.4 40.1 6.4 100 59.9 33.7 0- Weekday 50.6 16.2 50.6 50.6 62.2 46 50.6 50.6 4.6 39.1 72.3 4.6 16.2 0 50.6 50.6 4.6 50.6 55.3 34.5 39.1 0 50.6 39.1 34.5 90.83. Month Period- Peak Season 50.6 57.2 50.6 50.6 100 86.8 50.6 23.5 50.6 100 93.4 13.2 16.9 66.3 100 93.4 13.2 100 93.4 66.3 40.3 13.2 83.1 100 33.7 6.6- Non Peak Season 57 16.3 57 48.6 58.5 89 57 16.3 57 40.2 87.5 0 16.3 0 49.7 57 0 57 57 40.2 49.7 8.4 57 40.2 40.2 0Fase Terbang - Take Off 55.7 45.9 55.7 68.5 100 57.1 88.8 68.5 98.3 100 88.8 57.3 55.7 87.1 100 98.3 100 100 88.8 100 88.8 100 100 100 100 98.3- Climb 56.3 48.1 56.3 48.1 56.3 56.3 56.3 66.9 56.3 56.3 66.9 8.2 18.8 56.3 56.3 56.3 8.2 56.3 56.3 37.5 45.7 56.3 56.3 56.3 56.3 56.3- Cruise 53.4 7 53.4 46.4 7 7 13.9 7 7 0 26.6 0 13.9 16.4 39.5 7 0 7 53.4 39.5 0 7 39.5 7 0 0- Descent 54.4 7.3 54.4 45.8 26.2 8.5 15.8 54.4 54.4 54.4 54.4 8.5 15.8 15.8 54.4 8.5 0 54.4 64.8 38.6 47.1 8.5 54.4 54.4 38.6 0- Approach 56.3 18.8 56.3 66.9 71.1 56.3 56.3 56.3 56.3 100 95.8 12.4 56.3 56.3 100 56.3 56.3 100 60.5 56.3 45.7 60.5 56.3 100 85.2 48.1- Landing 55.3 55.2 55.3 68.1 87.1 100 87.1 87.1 55.3 99.9 76.3 55.2 87.2 87.1 99.9 100 99.9 99.9 99.9 99.9 87.1 99.9 99.9 99.9 99.9 100Lokasi- Plateau 53.5 53.5 53.5 53.5 58.7 53.5 53.5 94.9 100 82.3 100 13.1 32.3 82.3 100 53.5 53.5 100 53.5 33.7 41.7 53.5 82.3 82.3 82.3 53.5- Mountainous 57.3 56.1 57.3 64.5 98.8 100 57.3 64.5 64.5 98.8 98.8 56.1 52.7 91.6 98.8 57.3 100 98.8 98.8 34.3 46.1 56.1 57.3 98.8 98.8 100- Relatively Flat 50 43.6 50 43.6 22.6 50 50 50 50 50 6.4 0 0 50 6.4 50 6.4 50 40.1 33.7 40.1 50 50 50 67.4 6.4Cuaca - Wind 54.4 100 67.3 100 100 100 87.4 100 100 100 100 9.7 67.3 87.1 100 99.8 100 100 100 100 45.6 87.4 100 100 100 100- Visibility Condition 53.6 99.9 53.6 66.7 86.6 99.9 86.7 53.4 99.9 99.9 99.9 53.4 66.7 53.4 99.9 53.6 99.9 99.9 100 68.3 53.4 99.9 86.7 99.9 99.9 53.4- Pressure 57.3 52.7 57.3 57.3 47.3 13.0 57.3 57.3 57.3 0 57.3 0 64.5 57.3 0 57.3 57.3 0 100 34.3 47.3 57.3 57.3 0 68.6 13.0- Cloud 61.2 71.6 61.2 58.5 58.5 97.3 84.2 97.3 58.5 86.9 97.3 10.2 32.8 61.2 86.9 100 97.3 61.2 97.3 97.3 48.9 61.2 86.9 61.2 97.3 61.2- Temperature Condition 55.3 55.3 55.3 44.7 21.4 55.3 55.3 44.7 55.3 0 55.3 10.5 68.1 21.4 0 55.3 55.3 0 100 55.3 44.4 55.3 55.3 0 65.8 10.5- Ceiling 56.3 56.3 56.3 56.3 18.8 60.5 56.3 10.6 56.3 56.3 60.5 8.2 71.1 18.8 85.2 56.3 95.8 60.5 56.3 66.4 45.7 56.3 56.3 56.3 85.2 8.2

172

Page 175: Disertasi ugm hasil 1

Untuk mengetahui kondisi mana yang paling terbebani, dapat dilihat pada

perhitungan mean dari setiap level pada faktor yang ada. Dan kondisi yang paling

terbebani terletak pada interaksi dari level tiap faktor dengan rata-rata (mean)

beban kerja mental (mental workload) yang paling besar.

Tabel 4.18 Kondisi Paling Terbebani

Kondisi Pengoperasian Pesawat Mean Beban Mental Pilot

Waktu Terbang (Phases of Time)1. Hour Period

- Morning (6.00am-11.59am) 59.70654 - Afternoon (12.00pm-17.59pm) 47.90692 - Night (18.00pm-23.59pm) 58.70192 - Early morning (00.00am-5.59am) 66.40692 *2. Week Period - Weekend 59.91346 * - Weekday 43.193853. Month Period - Peak Season 66.58885 * - Non Peak Season 41.05615Fase Terbang (Flight Phase) - Take Off 82.98923 - Climb 46.76846 - Cruise 28.21577 - Descent 41.22231 - Approach 69.55538 - Landing 86.80000 *Lokasi (Terrain Condition) - Plateau 63.27846 - Mountainous 75.72192 * - Relatively Flat 42.38154Weather - Wind 84.61731 * - Visibility Condition 79.45962 - Pressure 41.74923 - Cloud 74.28231 - Temperature Condition 41.82231 - Ceiling 50.94846

Pada Tabel 4.18, angka yang bertanda bintang (*) merupakan level dengan

beban terberat pada tiap-tiap dimensi. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan

bahwa kondisi yang paling terbebani oleh dimensi-dimensi tersebut adalah, untuk

dimensi waktu terbang (phases of time) beban mental pilot tertinggi pada saat

penerbangan apabila dilihat dari periode waktu (hour period) adalah penerbangan

173

Page 176: Disertasi ugm hasil 1

yang dilakukan pada dini hari (early morning (00.00.am–05.59 am)), hal ini

dikarenakan secara alamiah manusia dilahirkan untuk menjadi makhluk siang

hari, artinya manusia bangun dan beraktifitas pada siang hari, dan beristirahat atau

tidur pada malam hari, kehidupan ini mengikuti suatu ritme kehidupan biologis

yang disebut dengan ritme circadian (circadian rhythm), ketika siklus/ritme

tersebut terganggu akibat dari perubahan jam kerja dimana tubuh yang seharusnya

berada pada fase istirahat/relaks dituntut untuk bekerja sehingga menyebabkan

hilangnya waktu istirahat (tidur), maka dampak buruk akan terjadi baik bersifat

fisik maupun psikis, yang hal ini dapat mempengaruhi beban kerja mental bagi

seorang pilot, sedangkan jika ditinjau dari periode hari/minggu (week period)

beban mental yang tertinggi terjadi apabila penerbangan dilakukan pada saat hari

libur atau weekend, sedangkan untuk periode musim/bulan (month period), beban

tertinggi terjadi pada saat peak season, hal ini dikarenakan dalam dunia

penerbangan dikenal siklus arus penumpang, yaitu musim padat penumpang (peak

season), yang biasa berlangsung selama liburan sekolah (pertengahan tahun-bulan

Juni/Juli), liburan akhir tahun (bulan Desember), liburan lebaran atau liburan

akhir pekan (long weekend).

Untuk dimensi fase terbang (flight phase) nilai beban kerja mental pilot akan

meningkat (level tertinggi) atau beban mental pilot tertinggi apabila dihadapkan

pada saat pesawat akan melakukan prosedur pendaratan (landing), hal ini

dikarenakan fakta bahwa fase landing adalah fase yang terjadi dekat dengan tanah

(near the ground) sehingga mengakibatkan resiko yang lebih besar dalam hal

keselamatan. Proses pendaratan pesawat atau landing adalah proses perpindahan

ruang dari satu area/dimensi ke area/dimensi yang lain, dalam hal ini adalah

perpindahan pesawat dari ruang area/dimensi angkasa yang bersifat tidak terbatas

ke ruang area/dimensi yang jauh lebih terbatas yakni didarat Selain itu pada tahap

ini juga banyak prosedur penggantian pengoperasian pesawat (aircraft

configuration) yang harus dilakukan oleh pilot. Tingkat kompleksitas berbagai

sistem yang harus dioperasikan oleh pilot akan mempengaruhi pula beban kerja

mental, sehingga kemungkinan terjadinya error dapat meningkat

174

Page 177: Disertasi ugm hasil 1

Sementara itu untuk dimensi lokasi atau terrain condition pilot merasa

terbebani (beban mental tertinggi) jika dihadapkan pada kondisi pengoperasian

pesawat dengan kondisi permukaan daratan yang memiliki kontur pegunungan,

hal ini dikarenakan terdapat beberapa bahaya yang tidak ditemukan didataran

yang datar (flat) diantaranya adalah perubahan angin yang sangat tiba-tiba yang

menghasilkan severe updraft dan downdraft, awan dapat berkembang dengan

cepat sehingga menutupi jarak pandang, dan area datar untuk forced landing

(pendaratan darurat) yang tidak tersedia. Sedangkan jika ditinjau dari dimensi

cuaca (weather), kondisi yang paling terbebani atau beban kerja mental pilot akan

meningkat (level tertinggi) apabila pesawat menghadapi perubahan

kondisi/fenomena angin. Dalam dunia penerbangan fenomena perubahan arah dan

kecepatan angin didefinisikan sebagai wind shear. Wind shear dalam dunia

penerbangan dirasa sangat mengganggu baik dalam proses take off maupun

landing serta pada waktu mengudara, karena perubahan ini terjadi secara tiba-tiba

terutama bila mendapat arus balik yang semula mendapat angin dari muka

pesawat (head wind), dan dapat berubah 1800 secara tiba-tiba yang disertai dengan

perubahan kecepatan angin, hal ini semua dapat mempengaruhi beban kerja

mental bagi seorang pilot.

Setiap aktifitas atau pekerjaan akan memberikan beban kerja yang berupa

beban kerja fisik maupun beban kerja psikis. Beban kerja muncul karena

adanya interaksi antara operator (manusia) dan tugas yang diberikan. Dalam

melaksanakannya interaksi tersebut seringkali manusia merasakan gangguan

sebagai akibat dari faktor pembebanan yang dirasakan. Faktor pembebanan ini

dapat berupa fisik maupun psikis. Pada jenis aktifitas atau pekerjaan dengan

tingkat stres yang tinggi dan membutuhkan banyak konsentrasi dan perhatian

dalam hal ini pengoperasian pesawat terbang, maka beban kerja psikislah yang

paling dominan. Beban psikis yang yang terlampau tinggi akan menimbulkan

kebosanan dan kejenuhan yang disebut dengan kelelahan psikis (boredom),

yaitu suatu keadaan yang kompleks yang ditandai oleh oleh menurunnya

penggiatan pusat syaraf, yang disertai dengan munculnya perasaan-perasaan

175

Page 178: Disertasi ugm hasil 1

kelelahan, keletihan, kelesuan dan berkurangnya tingkat kewaspadaan, dan hal

inilah yang harus jadi perhatian.

Berdasar analisa yang telah dilakukan, diketahui bahwa beban kerja mental

keseluruhan pilot dikategorikan dalam kategori beban kerja tinggi (overload),

dimana jika dijabarkan beban kerja mental pilot akan meningkat (level tertinggi)

apabila dihadapkan pada kondisi penerbangan dilakukan pada dini hari (early

morning (00.00am–05.59 am)), saat hari libur (weekend) dan memasuki periode

peak season, serta pada saat pesawat akan melakukan prosedur pendaratan

(landing), dan juga apabila terjadi perubahan kondisi angin (wind condition)

dalam penerbangannya, dan akan semakin bertambah beban kerja mental seorang

pilot jika dihadapkan pada kondisi pengoperasian pesawat dengan kondisi (route

condition) permukaan daratan yang memiliki kontur pegunungan (mountainious).

Beban kerja yang tinggi (overload) merupakan stresor penting dalam penerbangan

yang dapat memberikan dampak negatif bagi tingkat kelelahan (fatique). Seperti

diketahui bahwa salah satu penyebab utama kecelakaan pesawat terbang yang

disebabkan oleh manusia adalah stress dan kelelahan (fatique). Kelelahan bisa

disebabkan oleh sebab fisik ataupun tekanan mental (beban mental). Kelelahan

yang terjadi pada pilot diduga lebih banyak disebabkan oleh beban mental (mental

fatique), dan keadaanya diperberat oleh lingkungan kerja yang kekurangan

oksigen, dalam penelitian ini didapati bahwa beban mental pilot tergolong dalam

kategori tinggi (overload) dan dapat mempengaruhi tingkat kelelahan dari pilot itu

sendiri dan jika tidak dikendalikan dapat menjadi sumber terjadinya suatu

kecelakaan pesawat terbang.

176

Page 179: Disertasi ugm hasil 1

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari pengolahan data dan dilakukannya analisa, maka ada

beberapa kesimpulan yang dapat diambil untuk menjawab tujuan dilakukannya

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Model PLS dapat digunakan untuk menganalisa hubungan antara dua

kelompok atau lebih yang terdiri dari peubah-peubah laten dan peubah-peubah

manifes dan metode ini juga mampu untuk memberikan informasi secara

simultan mengenai koefisiesn lintas model pengukuran dan model struktural

dan tingkat hubungan antar peubah-peubah laten dan peubah-peubah manifes ,

sehingga perhitungan-perhitungan statistik dengan menggunakan metode PLS

menjadi lebih efektif dan efisien.

2. Berdasarkan nilai t statistic, maka hubngan yang signifikan pada alpha 5%

adalah phase of time terhadap performance, flight phase terhadap accident,

location terhadap performance, weather terhadap performance, dan weather

terhadap accident. Sedangkan, hubungan antara phase of time terhadap

accident, flight phase terhadap performance, location terhadap accident dan

performance terhadap accident, tidak signifikan pada alpha 5% karena nilai t

ststistic lebih kecil dari 2.0.

3. Nilai koefisien Kendall menentukan penskalaan yang akan dilakukan jika nilai

koefisien yang dihasilkan ≤ 0.75maka peneliti harus melakukan penskalaan

individu yaitu skala akan dilakukan berdasarkan skala masing-masing

operator, dan jika nilai koefisien Kendall yang dihasilkan ≥ 0.75 maka

dilakukan penskalaan kelompok/Group Scale maksudnya adalah bahwa

seluruh operator yang menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki

karakteristik yang sama. Hasil dari software SWAT pada penelitian ini

menghasilkan keseluruhan nilai koefisien Kendall memenuhi kriteria

penskalaan kelompok ≥ 0.75maka hasil yang diperoleh dari urutan kartu akan

diambil berdasarkan Kelompok /Group Scale.

177

Page 180: Disertasi ugm hasil 1

4. Secara keseluruhan, tingkatan kepentingan relatif yang paling tinggi adalah

dimensi beban usaha waktu (time), maka semua subyek mempunyai

kesepakatan dan menganggap bahwa faktor beban waktu (time) merupakan

faktor yang paling penting dalam menentukan tingkatan beban kerja mental

pilot dalam melaksanakan operasional penerbangan.

5. Beban kerja mental pilot akan meningkat (level tertinggi) apabila dihadapkan

pada kondisi penerbangan dilakukan pada dini hari (early morning (00.00.am–

05.59 am)), saat hari libur (weekend) dan memasuki periode peak season, serta

pada saat pesawat akan melakukan prosedur pendaratan (landing), dan juga

apabila terjadi perubahan kondisi angin (wind condition) dalam

penerbangannya, dan akan semakin bertambah beban kerja mental seorang

pilot jika dihadapkan pada kondisi pengoperasian pesawat dengan kondisi

(route condition) permukaan daratan yang memiliki kontur pegunungan

(mountainious).

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka peneliti dapat memberikan saran

yang mungkin bisa bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Saran-saran dapat

dikemukakan sebagai berikut :

1. Dalam penelitian untuk mengetahui beban kerja ini sebaiknya menggunakan

semacam fasilitas (flight simulator) yang mampu mensimulasikan keadaan

sebenarnya sehingga diharapkan hasil yang didapat akan mendekati

kenyataan.

2. Dalam penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian pengembangan

metode SWAT, terutama pada fase scale development perlu perhatian khusus

untuk menghasilkan data yang objektif.

3. Perlu dilakukan penelitian pengembangan dengan membandingkan dengan

data resmi kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia.

178

Page 181: Disertasi ugm hasil 1

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, H.Y., (2007), Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Konsumen,

Citra Perusahan, Dan Loyalitas Konsumen Pada Perusahaan Jasa (Studi

Pada Jasa Penerbangan di Sulawesi Selatan), Disertasi, Pasca Sarjana

Universitas Brawijaya, Malang, Tidak Dipublikasikan.

Agung, I.G.N., (1992), Metode Penelitian Sosial, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Arikunto, S., (1993), Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Penerbit

Rineke Cipta, Jakarta.

Ayers Jr, M., Shirazi, M., Carvalho, R., Hall, J., Speir, R., Arambula, E., David,

R., Gadzinski, J., Caves, R., Wong, D., & Pitfield, D., (2012), Modeling The

Location and Consequences of Aircraft Accidents, Safety Science, (51) 178-

186.

Azwar, S., (2001), Reliabilitas dan Validitas, Penerbit Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Batt, R., & O’Hare, D., (2005), Pilot Behaviors in the Face of Adverse Weather;

A New Look at an Old Problem, Aviation, Space and Environmental

Medicine, (76), 552-559. [on line]. Dari;

http://docserver.ingentaconnect.com/deliver/connect/asma/00956562/

v76n6/s6.pdf?

expires=1373254671&id=74788166&titleid=8218&accname=Guest+User&

checksum=0213A183C19E10301DFE13DE2AECACB1 > [8 Juli 2013].

Bazarqan, M., & Guzhva,V.S., (2011), Impact of Gender, Age and Experience of

Pilot on General Aviation Accidents, Collegue of Business, Embry-Riddle

Aeronautical University, United States, [on line]. Dari: http://ac.els-

cdn.com/S0001457510003672/1-s2.0-S0001457510003672-main.pdf? > [20

September 2012].

Besco, R.O., (1992), Analyzing Knowledge Deficiencies in Pilot Performance,

The International Journal of Aviation Psychology , 2 (1), 53-74. [on line].

Dari: http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1207/s15327108ijap0201_4 >

[20 April 2013].

179

Page 182: Disertasi ugm hasil 1

Boeing, (2012), Statistical Summary of Commercial Jet Airplane Accidents

Worlwide Operation 1959 – 2011, Boeing, [on line]. Dari:

http://www.boeing.com/news/techissues/pdf/statsum.pdf > [20 September

2012].

Bohlander. S., (2007), Human Resources Management, Thomson South Western,

Philadephia.

Bollen, K.A., (1989), Structural Equation with Latent Variabels, John Wiley and

Sons.

Broach, D., Joseph, K.M., & Schroeder, D.J., (2003), Pilot Age and Accident

Rates Report 3: An Analysis of Profesional Air Transport Pilot Accident

Rates by Age, Civil Aeromedical Institute, Oklahoma, [on line]. Dari:

http://www.faa.gov/data_research/research/med_humanfacs/age60/media/

age60_3.pdf > [20 September 2012].

Burian, B.K., Orasanu, J., & Hitt, J., (2000), Weather-Related Decision Errors:

Differences Across Flight Type, Santa Monica, CA: Human Factors and

Ergonomics Society, Proceedings of the Human Factors and Ergonomics

Society Annual Meeting, (44) 22. [on line]. Dari:

http://pro.sagepub.com/content/44/1/22.refs.html, > [8 Juli 2013].

Bustamante, E.A., Fallon, C.K., Bliss, J.P., Bailet, W.R., & Anderson, B.L.,

(2005), Pilots’ Workload, Situation Awarness, and Trust During Weather

Events as a Function of Time Pressure, Role Assignment, Pilots’ Rank,

Weather Display and Weather System, International Journal of Applied

Aviation Studies, 5 (2).

Cardi, A., Di Mascio, P., Di Vito, M., & Pandolfi, C., (2012), Distribution of Air

Accidents Around Runways, Social and Behavioral Sciences , (53) 862-871.

[on line]. Dari: http://ac.els-cdn.com/S1877042812043972/1-s2.0-

S1877042812043972-main.pdf?_tid=5121d2b0-d6ef-11e2-a9b3-

00000aacb361&acdnat=1371433592_269bd23fff338a8e3aec3d2c4475c70a

> [28 Mei 2013]

Capobianco, G., & Lee, M.D., (2001), The Role of Weather in General Aviation

Accidents: An Analysis of Causes, Contributing Factors and Issues,

180

Page 183: Disertasi ugm hasil 1

Human Factors and Ergonomics Society. [on line]. Dari:

http://pro.sagepub.com/content/45/2/190 > [12 Juni 2013].

Changchun, Z., & Dongdong, H., (2012), Research on Inducement to

Accident/Incident of Civil Aviation in Southwest of China Based on Grey

Incidence Analysis, Procedia Engineering, (45) 942-949.

Chin, W.W., (1998), Overview of The PLS Method, University of Houston.

Chin, W.W., (1998), The Partial Least Squares Approach to Structural Equal

Modeling. In: G.A. Mourcolides (Ed.). Modern Methods for Business

Research, Mahwah, NJ: Lawrence Elbaum Associatiates.

Chin, W.W., (2000), Partial Least Square for Reseracher: A Overview and

Presentation of Recent Advances Using The PLS Approach. [on line] Dari

http://discnt.cba.uh.edu/chin/indx/html > [12 November 2012].

Cohen, B.H., & Lea, R.B., (2004), Essential of Statistics for Social and

Behavioral Sciences, Hoboken, NJ: John wiley & sons, Inc.

Colorado Firecamp (2000), The Human Factors Analysis and Clasification System

(HFACS), The “Swiss Chesse” Model of Accident Causation. [on line] Dari:

http://www.coloradofirecamp.com/swiss-cheese/introduction.htm > [10

Oktober 2012].

Conway, G.A., Mode, N.A., Berman, M.D., Martin, S., & Hill, A., (2005), Flight

Safety in Alaska: Comparing Attitudes and Practices of High and Low

Risk Air Carriers, Aviation, Space, and Environmental Medicine, 76 (1).

Cooper, D.R., & Schindler, S.P., (2008), Business Research Methods – Tenth

Edition, McGraw-Hill Companies, Inc, New York.

Coyne, J.T., Baldwin, C.L., & Latorella, K.A., (2001), Pilot Weather Assessment:

Implications for Visual Flight Rule into Instrumen Meteorogical

Conditions, The International Journal of Aviation Psyhology, 18 (2), 153-

166.[online]Dari:http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/1050841080

1926756 > [20 April 2013].

Danim, S., (2000), Ilmu-Ilmu Perilaku, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

181

Page 184: Disertasi ugm hasil 1

Davison, A. C., & Hinkley, D.V., (2003), Bootstrap Methods and Their

Application (2nd ed.), The Press of The Cambridge University, Cambridge,

United Kingdom.

Dessler, G., (1997), Manajemen Sumber Daya Manusia/Garry Dessler: alih

bahasa, Benyamin Molan: penyunting, Triyana Iskandarsyah. Ed.,

Prenhallindo, South Western.

De Mello, M.T., Esteves, A.M., Pires, M.L.N., Santos, D.C., Bittencourt, L.R.A,

Silva, R.S., & Tufik, S., (2008), Relationship Between Brazilian Airline

Pilot Errors and Time of Day, Brazilian Journal of Medical and Biological

Research, Brazil, [on line]. Dari: http://dx.doi.org/10.1590/S0100-

879X2008001200014 > [10 Oktober 2012].

DiDomenico, A.T., (2003), An Investigation on Subjective Assessments of

Workload and Postural Stability Under Conditions of Joint Mental and

Physical Demands, Dissertation, Blacksburg, Virginia Polytechnic Institute

and State University.

Ferdinand, A., (2000), Structural Equation Modeling. Dalam Penelitian

Manajemen, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang

Ferdinand, A., (2002), Structural Equation Modeling dalam Penelitian

Manajemen: Aplikasi Model-model Rumit dalam Penelitian untuk Thesis S-2

dan Disertasi S-3, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Ferdinand, A., (2005), Structural Equation Modeling dalam Penelitian

Manajemen, Aplikasi Model-model Rumit dalam Penelitian Untuk Tesis

Magister Dan Disertasi Doktor, Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang.

Fornell, C., & Larcker, D.F., (1981), Structural Equation Modelings with

Unobservable Variables and Measurements Error: Algeebra and Ststistics,

Journal of Marketing Research, 18 (3), 328-388.

Garthiwate, P.H. (1994), An Interpretation of Partial Least Aquare, Journal of

American Statistical Association, 89 (425), 112-127.

Gawron, V.J., (2008), Workload, and Situational Awareness Measures Handbook,

New York: Taylor dan Francis, inc.

182

Page 185: Disertasi ugm hasil 1

Gefen, D., (2000), Structural Equation Modelling and Regression: Guidelines for

Research Practice, Comunications of AIS, 4 (7).

Ghiselli, E.e., John, P.C., & Sheldon, Z., (1981), Measurement Theory for The

Behavioral Sciences, W.H. Freeman and Co., New York.

Ghozali, I.,(2004), Structural Equation Modeling. Metode Alternatif dengan

Partial Least Square, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Ghozali, I., (2006), Structural Equation Modeling : Metode Alternatif Dengan

Partial Least Square, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Ghozali, I.,(2007), Model Persamaan Struktural, Konsep, dan Aplikasi dengan

Program AMOS Versi 16.0, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang.

Ghozali, I., & Fuad, (2008), Structural Equation Modeling: Teori, Konsep, dan

Aplikasi Dengan Program Lisrel 8.80, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang.

Ghozali, I, (2012), Structural Equation Modeling: Metode Alternatif Dengan

Partial Least Square (PLS), Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang.

Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., & Donnely, J.H., (1992), Organisasi: Perilaku,

Struktur, Proses (terjemahan), Jilid I, Edisi 5, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Goh, J., & Wiegman, D., (2002), Human factors Analysis of Accidents Involving

Visual Flight Rules Flight into Adverse Weather, Aviation, Space, and

Environmental Medicine, (73), 817-822.

Goode, J.H., (2003), Are Pilots at Risk of Accident due to Fatigue, Journal of

Safety Research.

Grabowski, G.J., Curriero, F.C., Baker, S.P., & Li G, (2002), Exploratory Spatial

Analysis of Pilot Fatality Rates in General Aviation Crashes Using

Geographic Information Systems, American Journal of Epidemology. [on

line]. Dari: http://aje.oxfordjournals.org/content/155/5/398.full.pdf+html >

[8 Juli 2013].

183

Page 186: Disertasi ugm hasil 1

Grabowski, G.J., Curriero, F.C., Baker, S.P., & Li G, (2002), Geographic Patterns

of Pilot Fatality Rates in Commuter and Air Taxi Crashes, Aviation, Space,

and Environmental Medicine, (73), 1014-1020.

Groenewegen, P & Hutten, J., (1991), “Workload and Job Satisfaction Among

General Practitioners: A Review of The Literature,” Social Science and

Medicine, 32 (5), 1111-1119.

Haenlein, M. & Kaplan, A.M, (2004), A Beginner’s Guide to Partial Least

Squares Analysis, Understanding Ststistics, 3(4), 283-297.

Hair, Jr., Anderson R.E., Tatham, R.L., & Black W.C., (1995), Multivariate Data

Analysis with Readings. 4th Edition, Prentice Hall, Inc, New Jersey.

Hair, Jr., Anderson R.E, Tatham, R.L, & Black W.C., (1998), Multivariate Data

Analysis. 5th Edition, Prentice Hall, Inc, New Jersey.

Hadi, S., (1993), Metedologi Research. Jilid III, Andi Offset, Yogyakarta.

Handoyo, S., & Sudibyo, D., (2010), Aviapedia Ensiklopedia Umum

Penerbangan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Hart, S.G. & Staveland, L.E. (1988), Development of NASA-TLX (Task Load

Index) Result of Empirical and Theoretical Research, Peter A Hancock dan

Najmedin Meshkati, Human Mental Workload, Elsevier Science Publishing

Company, INC, Netherlands, 139-183.

Hasan, I., (2002), Pokok-pokok Materi Metedologi Penelitian, Penerbit Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Henseler, J., Ringle, C.M., & Sinkovics, (2009), The Use of Partial Least Squares

Path Modelling in International Marketing, Advances In International

Marketing, (20), 277-319.

Hopkins, A., (2001), Was Three Mile Island a ‘Normal Accident’?, Journal of

Contingencies and Crisis Management, Blackwell Publishers Ltd., (9), 65-

72.

ICAO, (2001), Annex 13 Aircraft Accident and Incident Investigation – Ninth

Edition, International Civil Aviation Organization, Montreal, Canada.

ICAO, (2004), Annex 14 Aerodromes – Fourth Edition, International Civil

Aviation Organization, Montreal, Canada.

184

Page 187: Disertasi ugm hasil 1

ICAO, (2006), Annex 1 Personnel Licensing – Tenth Edition, International Civil

Aviation Organization, Montreal, Canada.

ICAO, (2006), Phase of Flight Definitions and Usage Notes Version 1.0.1,

International Civil Aviation Organization, Montreal, Canada.

ICAO, (2008a), Doc 9859 Safety Management Manual – Second Edition,

International Civil Aviation Organization, Montreal, Canada.

ICAO, (2009a), Doc 9859 Safety Management Manual – Second Edition,

International Civil Aviation Organization, Montreal, Canada.

ICAO, (2009b), Safety Management, International Civil Aviation Organization,

Montreal, Canada.

Jarboe, M.J., (2005), U.S. Aviation Weather-Related Crashes and Fatalities in

2004, NOAA’s National Weather Service, United States. [on line]. Dari:

http://aviationweather.gov/general/pubs/front/docs/jun-05.pdf > [28 Mei

2013]

Jarvis, C.B., Mackenzie, S.B., & Podsakoff, P.M., (2003), A Critical Review of

Construct Indicators and Measurement Model Misspecification in Marketing

and Consumer Research, Journal of Consumer Research, 199-218.

Jex, S.M., (2002), Organizational Psychology: A Scientist Practitioner Approach,

John Wiley dan Sons, New York.

Johnson, R.B., (1973), Pairwise Nonmetric Multidimensional Scaling,

Psyhometrika, 38 (1).

Kahar, U., (1987), Psikologi Penerbangan dan Permasalahannya, Makalah,

Jakarta: Seminar Kesehatan Penerbangan TNI-AU, Tidak Dipublikasikan.

Kansil, C.L., (2006), Lingkungan Kerja, Stres dan Pengambilan Keputusan

Penerbang, Jurnal Manajemen Transportasi, STMT Trisakti, Jakarta, [on

line]. Dari: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/72068589.pdf > [3

Oktober 2012].

Kartawidjaja, O., (1988), Metoda Mengajar Geografi, Dirjen Dikti Depdikbud,

Jakarta.

185

Page 188: Disertasi ugm hasil 1

Klem, L., (2000), Structural Equation Modeling. Dalam Reading and

Understanding More Multivariate Statistics. Edited by Grimm, Laurrence G

dan Pau R. Yarnold, American Psychological Association. Washington DC.

KNKT, (2012), Data Kecelakaan Transportasi Udara tahun 1988 – 2012, Komite

Nasional keselamatan Transportasi, Indonesia, Tidak Dipublikasikan.

Krantz, D.H., & Tversky, A., (1971), Conjoint-Measurement Analysis of

Composition Rules in Psychology, Psychological Review, 78 (2), 151-169.

Kristovics, A., Vermeulen, L., Wilson, J., & Martinussen, M., (2006), Gender

Issues on the Flight-Deck: An exploratory Analysis, International Journal of

Applied Aviation Studies.

Kruskal, J.B., (1965), Analysis of Factorial Experiment by Estimating Monotone

Transformations of the Data, Journal of Royal Statistical Society, (27), 251-

263.

Kuncoro, M., (2003), Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Lakitan, B., (1997), Dasar-dasar Klimatologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Latan, H., & Gudono., (2012), SEM – Structural Equation Modeling, Penerbit

BPFE, Yogyakarta.

Li, G., Baker, S.P., Grabowski, J.G., Qiang, Y., McCarthy, M., & Rebok, G.W.,

(2002), Age, Flight Experience, and Risk of Involvement in a Cohort of

Profesional Pilot, Johns hopkins Bloomberg School of Public Health,

United States.

Li, G., & Kearney, P.J., (2000), Geographic Variations in Crash Risk of General

Aviations and Air Taxis, Aviation, Space, and Environmenalt Medicine,

(71)19-21. [on line]. Dari:

http://aje.oxfordjournals.org/content/157/10/874.full.pdf+html?

sid=3c767372-9cfd-480a-9491-cbed65eb53b9 > [8 Juli 2013]

Li, G., Rebok, G.W., Qiang, Y., & Baker, S.P., (2009), Geographic Region,

Weather, Pilot Age, and Air Carrier Crashes: a case-control study, Aviation,

Space, and Environmental Medicine.

186

Page 189: Disertasi ugm hasil 1

Li, G., Grabowski, J.G., Baker, S.P., & Rebok, G.W., (2006), Pilot Error in Air

Carrier Accidents: Does Age Matter?, Aviation, Space, and Environmental

Medicine, 77 (7).

MacKenzie, S.B., Podsakoff, P.M., & Jarvis, C.B., (2005), The Problem of

Measurement Model Misspecification in Behaviroral and Organizational

Research and Some Recommended Solutions, Journal of Applied

Psychology, 710-730.

Mangkunegara, A.P., (2001), Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan

(cetakan ke tiga), PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.

Mangkunegara, A.P., (2005), Evaluasi Kinerja SDM, PT. Refika Aditama,

Bandung.

Maming, J., (2011), Pengaruh Kualitas Layanan Orientasi Layanan, Strategi harga

Dampaknya Terhadap Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan jasa

Telekomunikasi di Makassar, Proposal Disertasi, Pasca Sarjana Universitas

Hasanuddin, Makassar.

Martono, H.K., 1987. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa,

Alumni, Bandung.

Maruyama, G.M., (1998), Basics of Structural Equation Modeling, Sage

Publication, California.

Morlok, E.K., (1985), Pengantar Teknik dan Perancanaan Transportasi, Penerbit

Erlangga, Jakarta.

Mathis, R.L., & Jackson, J.H., (2006), Manajemen Sumber Daya Manusia, PT.

Salemba Emban Patria, Jakarta.

McFadden, K.L., (1997), Predicting Pilot Error Incidents of US Airline Pilots

Using Logistic Regression, Journal of Applied Ergonomics: Human

Factors in Technology and Society, 28 (3).

Michael, W.B., & Isaac, S., (1981), Handbook in Research and Evolution

(Second Edition), Edits Publishers, San Diego.

Naik, P., & Tsai, C.L., (2000), Partial Least Squares Estimator for Single-Index

Models, Journal. R. Statistics Social Behaviour, 62 (4), 763-771.

Nasution, A., (1996), Manajemen Transportasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.

187

Page 190: Disertasi ugm hasil 1

Noyes, J., (2001), Designing for Humans, Taylor dan Francis, inc, New York.

NTSB, (2006), Annual Review of Aircraft Accident Data U.S. General Aviation,

Calender Year 2002, National Transport Safety Board, [on line]. Dari

http:/www.ntsb.gov/publictn/2006/ARG0602.pdf > [3 Oktober 2012].

Nugroho, A., (2006), Handling Accident and Incidents, Kertas Kerja Pada

Seminar Sehari di STPI, Curug. Tidak Dipublikasikan.

Pakan, W., (2008), Faktor Penyebab Kecelakaan Penerbangan Di Indonesia

Tahun 2000-2006, LIPI, Jakarta.

Pangestu, S., & Djarwanto, (1993), Statistik Deskriptif, BPPE, Yogyakarta.

Papacostas, C.S., & Prevedouros, P.D., (1993), Transportation Engineering and

Planning, Prentice Hall, Inc., New Jersey.

Pedhazur, E.J., (1982), Multiple Regresion in Behavioral Reserach, CDS College

Publishing, New York.

Poerwoko, F.D., (2011), Zero Accident, Angkasa, Kompas Gramedia, Jakarta.

Prawirosentono, (1999), Kebijakan Performan Kakitangan, Edisi 1, BPPE,

Yogyakarta.

Pruchnicki, S.A., Wu, L.J., & Belenky, G., (2010), An Exploration of The Utility

of Mathematical Modeling Predicting Fatique from Sleep/Wake History

and Circadian Phase Applied in Accident Analysis and Prevention: The

Crash of Comair Flight 5191, Accident Analysis and Prevention (43)

1056-1061.

Pulat, B.M., (1992), Fundamentals of Industrial Ergonomics, Englewood Cliffs,

Prentice Hall, Inc., New Jersey.

Rivai & Basri, (2004), Penilaian Kinerja Karyawan [on line]. Dari: http://jurnal-

sdm.blogspot.com. > [11 Januari 2013].

Reason, J., (1990), Human Error, CambridgeUniversity Press, UK.

Reid, G.B., (1989), Subjective Workload Assessment Technique (SWAT): A user’s

Guide (U), Amstrong Aerospace Medical Research Laboratory, Ohio.

Riduwan, (2004), Metode dan Teknik Menyusun Tesis, CV. Alfabeta, Bandung.

Rosekind, M.R., Graeber, R.C., Dinges, D.F., Connel, L.J., Rountree, M.S.,

Spinweber, C.L., & Gillen, K.A., (1994), Crew Factors in Flight Operation

188

Page 191: Disertasi ugm hasil 1

IX: Effects of Planned Cockpit Rest on Crew Performance and Alertness in

Long-Haul Operations, NASA, United States. [on line]. Dari:

http://www.jetlog.com/fileadmin/downloads/NASA_TM_94_108839.pdf >

[10 Oktober 2012].

Rosekind, M.R., Gregory, K.B., & Mallis, M.M., (2006), Alertness Management

in Aviation Operations: Enhancing Performance and Sleep, Aviation,

Space, and Environmental Medicine, 77 (12).

Saleem, J.J., & Kleiner, B.M., (2005), The Effects of Nighttime and

Deteriorating Visual Condition on Pilot Performanve, Workload and

Situation Awareness in General Aviation for both VFR and IFR

Approaches, International Journal of Applied Aviation Studies , 5 (1).

Salim, H.A.A., (2000), Manajemen Transportasi, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Sambas, A.M., & Maman, A.M., (2007), Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur

Dalam Penelitian, Penerbit Pustaka Setia, Bandung.

Schvaneveldt, R.W., Beringer, D.B., & Lamonica, J.A., (2000), Priority and

Organization of Information Accessed by Pilot in Various Phases of Flight,

The International Journal of Aviation Psychology, 11 (3), 253-280. [on

line].Dari:http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1207/S15327108IJAP110

3_02 > [20 April 2013].

Sekaran, U., (2003), Research Methods for Business: A Skill Building Approach,

4th ed, New Jersey: John Wiley dan Sons., Inc.

Setijowarno, D., & Frazila, R.B., (2004), Pengantar Sistem Transportasi, Unika

Soegijapranata, Semarang.

Shappel, S.A., Detwiler, C., Holcomb, K., Hackworth C., Boquet, A., &

Wiegman, D.A., (2007), Human Error and Commercial Aviation Accidents:

An Analysis using The Human Factors Analysis and Classification System.

Shappel, S.A., & Wiegman, D.A., (2003), A Human Error Analysis of General

Aviation Controlled Flight Into Terrain Accidents Occuring Between 1990-

1998, U.S. Departement of Transportation, Federal Aviation Administration,

[online].Dari:http://www.dtic.mil/cgibin/GetTRDoc?

189

Page 192: Disertasi ugm hasil 1

Location=U2&doc=GetTRDoc.pdf&AD=ADA417230 > [10 Oktober

2012].

Sharma, S., (1996), Applied Multivariate Techniques, John Wiley & Sons, Inc.,

Toronto.

Sheridan, T.B., & Simpson, R.W., (1979), Toward The Definition and

Measurement of The Mental Workload of Transport Pilots (FTL Report

R79-4), Cambridge, MA: Flight Transportation Laboratory.

Shrivastava, S., Sonpar, K., & Pazzaglia, F., (2009), Normal Accident Theory

versus High Reliability Theory: A resolution and call for an open systems

view of accidents, Human Relations, (62) 1357-1390.

Simamora, H., (1995), Manajemen Sumber Daya Manusia, STIE YKPN, Jakarta.

Simanjuntak, P.J., (2005), Manajemen dan Evaluasi Kinerja, Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Singarimbun, M., (1995), Metode Penelitian Survei, PT. Pustaka LP3ES

Indonesia, Jakarta.

Singarimbun, M., & Effendi, S., (1989), Metode Penelitian Survei, PT. Pustaka

LP3ES Indonesia, Jakarta.

Singarimbun, M., & Effendi, S., (1994), Metode Penelitian Survei, PT. Pustaka

LP3ES Indonesia, Jakarta.

Sjafei, M., (2006), Introduksi Penyelidikan Faktor Manusia Sebagai Penyebab

Kecelakaan Pesawat Terbang, Jurnal Manajemen Transportasi, STMT

Trisakti, Jakarta.

Soetjipto, B.W., (1997), Mengukur Kinerja Bisnis Balanced Scorecard,

Usahawan, No 06, Tahun XXVI, Juni, hal 21-25, [on line]. Dari:

http://duniaesai.com/ekonomi/Eko32.htm > [ 20 Februari 2013].

Solimun, (2002), Multivariate Analysis, Structural Equation Modeling (SEM)

dengan LISREL dan AMOS, Penerbit Universitas Brawijaya, Malang.

Spector, P.E., (1997), Job Satisfaction, Thousan Oaks, CA: Sage Publications,

Inc.

190

Page 193: Disertasi ugm hasil 1

Sudjono, I, (2009), Upaya Peningkatan Keselamatan Penerbangan Sipil Pada

Kondisi Pra Terbitnya Undang-Undang Penerbangan No 1 Tahun 2009,

Badan Litbang Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Sugiyono, (2005), Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung.

Sugiyono, (2008), Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.

Sukajaya, C., Bisara, C.T., Rahardjo, B., & Dayaun, A.K, (2010), Pengertian dan

Istilah Penerbangan Sipil, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sukawaningtyas, M., (2007), Kelelahan Pilot dan Strategi Mengatasinya, Tesis

Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tidak

Dipublikasikan.

Sumaatmadja, N., (1988), Studi Geografi Pendekatan dan Analisa Keruangan,

Alumni, Bandung.

Suparmono, & Haryanto, O.J., (2005), Desain Proposal Penelitian Studi

Pemasaran, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Supranto, J., (1997), Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, Penerbit Rineka

Cipta, Jakarta.

Suprihanto. J., (2000), Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan. Edisi I,

Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Susetyadi, A., Masrifah, S., & Yuliawati, E., (2008), Pengkajian Kinerja Pilot

Dalam Menunjang Keselamatan Penerbangan, LIPI, Jakarta.

Surakhmad, W., (1994), Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung.

Swanson, J., Pearmain, D., & Loughead, K., (1992), Stated Preference Sample

Size, Proceeding PTRC Seminar-E, University of Manchester, United

Kingdom.

Tan, W.G., Chan, T., & Gable, G.G., (1999), A Structural Model of Software

Maintainer Effectiveness, Proc. 10th Australian Conference on Information

Systems, Quensland University of Technology, Australia.

Tantri, F., (2002), Motivasi Kerja Awak Pesawat, Disertasi, Program Doktor,

Universitas Negeri Jakarta, Jakarta. Tidak Dipublikasikan.

Tarigan, R., (2005), Ekonomi Regional; Terapan dan Aplikasi. Edisi Revisi, Bumi

Aksara, Jakarta.

191

Page 194: Disertasi ugm hasil 1

Tarwaka, (2004), Ergonomi untuk Keselamatan Kesehatan Kerja dan

Produktivitas, Surakarta: UNIBA Press.

Telesca, L., & Lovallo, M., (2007), Non-random Components in Aircraft

Accidents Time Series. Physica A, 3 (81) 407-410.

Thompson, R., Barclay, D., & Higgins, C., (1995), The Partial Least Square

(PLS) Approach to Casual Modelling: Personal Computer Adoption and

Use an Ilustration, Technology Studies: Special Issue on Research

Methodology 2 (2), 285-309.

Tiabtiamrat, S., & Wiriyacosol, S., (2009), Hull Loss Accident Model For Narrow

Body Commercial Aircraft, Songklanakarin Journal of Science And

Technology, Thailand.[on line]. Dari: http://rdo.psu.ac.th/sjstweb/journal/32-

5/0125-3395-32-5-489-496.pdf > [20 Oktober 2012].

Tiabtiamrat, S., Wiriyacosol, S., & Niyomthai, N., (2009), Boeing 737

Commercial jet Aircraft Accident Analysis, Songklanakarin Journal of

Science And Technology, Thailand. [on line]. Dari:

http://kasetsartjournal.ku.ac.th/kuj_files/2010/A1006241047025528.pdf >

[20 Okteber 2012].

Triton, P.B., (2005), SPSS 13.0 Tarapan: Riset Statistik Parametik, Andi Offset,

Yogyakarta.

Tvaryanas, A.P., & MacPherson, G.D., (2009), Fatique in Pilots of Remotely

Piloted Aircraft Before and After Shift Work Adjusment, Aviation, Space,

and Environmental Medicine, 80 (5).

Utari, W., (2004), Loyalitas Pelanggan Pada Industri Jasa Penerbangan: Pengaruh

Kualitas Layanan, Perbaikan, dan Harga, Disertasi, Program Pasca Sarjana

Universitas Brawijaya, Malang. Tidak Dipublikasikan

Vail, G.J., & Ekman, L.G., (1986), Pilot Error Accidents: Male vs Female,

Applied Ergonomics, 17 (4) 297-303. [on line]. Dari:

http://kasetsartjournal.ku.ac.th/kuj_files/2010/A1006241047025528.pdf

> [20 Okteber 2012].

Valk, P.J.L, & Simons, M., (1997), Pros and Cons of Strategics Napping on Long

Haul Flights, Netherlands Aerospace Medical Centre, Netherlands. [on

192

Page 195: Disertasi ugm hasil 1

line]. Dari: http://ftp.rta.nato.int/public/PubFulltext/AGARD/CP/AGARD-

CP-599/10SE2-05.pdf > [12 Okteber 2012].

Walpole, R.E., & Myers, R.H., (1995), Ilmu Peluang Untuk Insinyur dan

Ilmuwan, Edisi ke-4, Alih Bahasa oleh Sembiring, R.K., Penerbit ITB,

Bandung.

Wiegmann, D.A., Goh, J., & O’Hare, D., (2002), The Role of Situation

Assessment and Flight Experience in Pilots Decisions to Continue Visual

Flight Rules Flight into Adverse Weather, Human Factors and Ergonomics

Society, 44 (2), 189-197. [on line]. Dari;

http://hfs.sagepub.com/content/44/2/189.full.pdf+html > [8 Juli 2013].

Wenzhi, Z., & Weiwei, Y., (2008), The Simulation Algorithm Design of The

Safety Margin for An Aircraft Accident, International Conference on

Advanced Computer Control.

Wibisana, S., (2007), Berbagai Kisah Kecelakaan Tragis Pesawat Terbang,

PLANE CRASH, Media Pressindo, Yogyakarta.

Wignjosoebroto, S., & Zaini, P., (2007), Studi Aplikasi Ergonomi Kognitif Untuk

Beban Kerja Mental Pilot Dalam Pelaksanaan Prosedur Pengendalian

Pesawat Dengan Metode “SWAT”, [on line]. Dari:

http://www.its.ac.id/personal/files/pub/2824-m_sritomo-ie-Aplikasi

%20Ergonomi%20Kognitif%20-%20Sritomo%20W.Soebroto.pdf > [20

Oktober 2012].

Wijayanto, S.H., (2008), Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8

Konsep dan Tutorial, Penerbit Graha Ilmu,Yogyakarta.

Wijaya, T., (2009), Analisis SEM Menggunakan AMOS, Penerbit Universitas

Atma Jaya, Jakarta.

Wold, H., (1982), Partial Least Square, Encyclopedia of Statistical Sciences, Vol.

VI, John Wiley and Sons, New York.

Wong, D.K.Y., Pitfield, D.E., Caves, R.E., & Appleyard, A.J., (2006),

Quantifaying and Characteristing Aviation Accident Risk Factors,

Loughborough University, Loughborough. [on line]. Dari:

https://dspace.lboro.ac.uk/dspace-jspui/bitstream/2134/4042/1/Revised%20-

193

Page 196: Disertasi ugm hasil 1

%20Quantifying%20and%20characterising%20aviation%20accident

%20risk%20factors.pdf > [10 Oktober 2012].

Yamin, S., & Kurniawan, H., (2011), Generasi Baru Mengolah Data Penelitian

dengan Partial Least Square Path Modeling, Penerbit Salemba Infotek,

Jakarta.

__________, Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 830.

__________, Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 20.

__________, (1997), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

__________, (2007), Pengkajian Pengaruh Human Factor Penyebab Kecelakaan

Penerbangan Sipil di Indonesia, Pusat Litbang Perhubungan Udara, Tidak

Dipublikasikan.

__________, (2008), Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008

Tentang Pedoman Analisis Beban Kerja Di Lingkungan Departemen Dalam

Negeri dan Pemerintah Daerah, [on line]. Dari:

http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/2008/02/20/peraturan-

mendagri-no-12-tahun-2008 > [1 Februari 2013].

__________, Petunjuk dan Pelaksana Teknis KNKT, Kementerian Perhubungan,

Tidak Dipublikasikan.

__________, (2003), Studi Evaluasi Kebijakan Keselamatan Penerbangan, Pusat

Litbang Perhubungan Udara, Tidak Dipublikasikan.

__________, (2006), Studi Evaluasi Tentang Kebijakan Keselamatan

Penerbangan, Pusat Litbang Perhubungan Udara, Tidak Dipublikasikan.

__________, (2009), Undang-Undang No.1 Tahun 2009, Tentang Penerbangan,

Kementerian Perhubungan.

http://adilkurnia.wordpress.com/2010/02/11/definisi-analisis-beban-kerja/ > [1

Maret 2013].

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04penilaian-kinerja-karyawandefinisi.html >

[1 Maret 2013].

http://naufal-indoflyer.blogspot.com/2009/11/bahaya-bahaya-yang-mengintai-

saat-take.html > [1 Maret 2013].

http://www.aviation-safety.net/database.html > [2 Oktober 2012].

194

Page 197: Disertasi ugm hasil 1

http:/www.boeing.com/commercial/737family/index.html > [2 Oktober 2012].

http://www.boeing.com/news/techissues/pdf/statsum.pdf , statistical summary of

commercial jet airplane accidents worlwide operation 1959-2011, > [2

Oktober 2012]

http://www.b737org.uk/accidentreports.htm > [2 Okteber 2012].

http://www.planecrashinfo.com/cause.htm > [2 Oktober 2012].

http://skybrary.aer/index.php/ICAO SHELL MODEL > [20 Okteber 2012].

195

Page 198: Disertasi ugm hasil 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

a. Nama Lengkap dan Gelar : Abadi Dwi Saputra, S.Si.T., M.Sc.

b. Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 3 Desember 1982

c. Pangkat/Golongan/jabatan : Penata /III.c/Fungsional Umum

d. Riwayat Pendidkan Tinggi :

Universitas dan Lokasi Gelar Tahun

Pendidikan Program Studi

Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia – Curug, Tangerang

Sarjana Sains Terapan (S.Si.T) 2001-2005

Teknik Penerbangan (Teknik Listrik Bandar Udara)

Universitas Gadjah Mada, Yogyakrta dan Karlstad University, Swedia

Master of Science (M.Sc) 2008-2010

Sistem dan Teknik Transportasi, dan Service Science

e. Karya Ilmiah/Penelitian :

No. Judul Tahun

1 Analisis Pembagian Beban Listrik UPS di Gedung Radar Bandar Udara Adisucipto-Yogyakarta(Tugas Akhir/Skripsi DIV-Teknik Penerbangan)

2005

2 Analysis of Train Passenger Responses on Provided ServiceCase study: PT. Kereta Api Indonesia and Statens Järnvägar (SJ) AB, Sweden(Tesis S2 Sistem dan Teknik Transportasi dan Service Science)

2010

3 Comparison of Passenger Services Between PT. Kereta Api Indonesia and Statens Järnvägar (SJ) AB, Sweden(Tulisan Ilmiah pada Jurnal T2M)

2010

4 Analysis of Train Passenger Responses on Provided ServiceCase study: PT. Kereta Api Indonesia and Statens Järnvägar (SJ) AB, Sweden(Tulisan Ilmiah pada Jurnal ECTS)

2010

196

Page 199: Disertasi ugm hasil 1

f. Pertemuan Ilmiah dan Pelatihan Yang Dihadiri : :

Pertemuan Ilmiah dan Pelatihan Kota Tahun

Aviation Enforcement Course Jakarta 2006Pelatihan Dasar Teknik dan Investigasi Kecelakaan Kereta Api Jakarta 2006

Pelatihan Peran Public Relations dalam Diseminasi Informasi Sektor Perhubungan Jakarta 2006

Human Factors for Transport Safety Investigators Course Jakarta 2007

Airplanes 101 Course Program Jakarta 2007Boeing Safety Management Training Support Training Jakarta 2007Pelatihan Dasar-Dasar Teknik Investigasi dan Penelitian Kecelakaan Kapal Laut Jakarta 2007

Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Pegawai Negeri Sipil Golongan III Bogor 2007

English Course Grade Pre-IntermediateEF Jakarta Jakarta 2008

Transportation Accident and Serious Incident Investigation Course Jakarta 2008

Sarasehan dan pertemuan Tahunan Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi (FSTPT) Semarang 2010

Goods Dominant Logics and Service Dominant Logics Seminars Swedia 2010

Pendidikan dan Pelatihan membangun Karakter dan Kesemaptaan Kementerian Perhubungan Jakarta 2011

Underwater Search of Flight Recorders Course Singapura 2011Penyuluhan Penanganan Pertama Kecelakaan Transportasi Udara Jakarta 2011

Seminar on Indonesia readiness Towards ASEAN Open Sky Policy Challenge Jakarta 2011

Aircraft Accident Investigation Fundamentals Course Jakarta 2012Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV (Diklat Pim Tk. IV) Bogor 2012

g. Pengalaman Kerja : :

Instansi/Perusahaan Jabatan Tahun

Bandara Adisucipto-Yogyakarta Teknisi Jan – Mar2005

Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Kementerian Perhubungan

Koordinator PKT Udara/Fungsional

Umum

2006 – Sekarang

197