disertasi lengkap harrizul rivai

258
STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG SENYAWA FENOLAT UNTUK PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI TUMBUHAN OBAT INDONESIA D I S E R T A S I Oleh: HARRIZUL RIVAI 06301035 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS 2012

Upload: harrizul-rivai

Post on 15-Feb-2015

365 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG

SENYAWA FENOLAT UNTUK PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI

TUMBUHAN OBAT INDONESIA

D I S E R T A S I

Oleh:

HARRIZUL RIVAI

06301035

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS

2012

Page 2: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

ii

STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG SENYAWA FENOLAT UNTUK PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI

TUMBUHAN OBAT INDONESIA

Oleh: Harrizul Rivai

(Di bawah bimbingan Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar)

RINGKASAN

Pada monografi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat Indonesia terdapat

beberapa kelemahan dalam teknik analisis yang dipakainya. Di antara kelemahan

itu adalah tidak adanya optimasi penyiapan sampel yang berupa simplisia

tumbuhan obat dan pembuatan ekstrak tumbuhan obat, padahal tahap penyiapan

sampel sangat berpengaruh terhadap perolehan zat aktif dan hasil analisis

(Gaedcke et al., 2003). Selain itu, identifikasi dan autentisasi simplisia dan

ekstrak tumbuhan obat dengan menggunakan spektroskopi UV, IR dan teknik-

teknik kromatografi belum ada yang lengkap dalam monografi-monografi tersebut

di atas. Oleh karena itu studi metode analisis simplisia dan ekstrak tumbuhan obat

perlu dilakukan, terutama dalam hal optimasi penyiapan sampel untuk analisis,

studi teknik identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat

dengan spektroskopi UV dan IR serta studi metode analisis simplisia dan ekstrak

tumbuhan obat dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dan teknik

kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).

Tujuan penelitian: (1) Mempelajari cara penyiapan sampel yang berupa

simplisia obat bahan alam sehingga diperoleh senyawa fenolat dan aktivitas

antioksidan yang optimum dari beberapa obat bahan alam. (2) Mencari pelarut

ekstraksi dan mempelajari cara ekstraksi yang paling cocok untuk mendapatkan

senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang optimum dari obat bahan alam. (3)

Page 3: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

iii

Mempelajari cara-cara karakterisasi yang baik untuk identifikasi dan autentisasi

simplisia dan ekstrak obat bahan alam dengan metode spektrofotometri

inframerah (FT-IR), kromatografi lapis tipis (KLT), dan kromatografi cair kinerja

tinggi (KCKT). (4) Mengisolasi senyawa fenolat yang bersifat antioksidan dalam

obat bahan alam.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi, Laboratorium

Sentral Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Laboratorium Biota

Sumatera Universitas Andalas, Laboratorium Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu

Farmasi Padang, Pusat Penelitian Kimia, LIPI, Serpong sejak April 2008 sampai

dengan Maret 2011. Bahan-bahan kimia yang digunakan meliputi pereaksi Folin-

Ciocalteau, 1,1-difenil-2-pikril hidrazil (DPPH), rutin, kuersetin, katekin, asam

galat, metanol, etanol, aseton dan asetonitril. Obat bahan alam yang digunakan

dalam penelitian ini adalah daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC), daun

jambu biji (Psidium guajava L.) dan herba meniran (Phyllanthus niruri L.).

Metode penelitian: (1) Penentuan pengaruh cara pengeringan terhadap

perolehan kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan

alam. (2) Penentuan pengaruh pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa

fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam. (3) Penentuan

pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dan daya

antioksidan beberapa obat bahan alam. (4) Penentuan kadar zat tersari

(rendemen). (5) Penentuan kadar senyawa fenolat total. (6) Penentuan aktivitas

antioksidan. (7) Penentuan pola kromatogram kromatografi lapis tipis (KLT)

beberapa ekstrak tumbuhan obat. (8) Penentuan sidik jari fourir transform infra

red (FTIR) beberapa ekstrak tumbuhan obat. (9) Penentuan pola kromatogram

Page 4: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

iv

kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) beberapa ekstrak tumbuhan obat. (10)

Isolasi senyawa antioksidan sebagai penanda dalam pengawasan mutu ekstrak

tumbuhan obat.

Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara

pengeringan daun dewa yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi

adalah dengan kering oven 40 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat

tertinggi adalah dengan kering angin dan untuk mendapat daya antioksidan

tertinggi tidak banyak dipengaruhi oleh cara pengeringan. Pengeringan daun dewa

dengan oven pada suhu 40 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 208,5 ± 0,6

mg/g. Pengeringan daun dewa dengan cara diangin-anginkan menghasilkan kadar

senyawa fenolat sebesar 0,4039 ± 0,0074% dan daya antioksidan IC50 3,042

µg/mL.

Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk mendapatkan kadar

sari tertinggi adalah dengan kering oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar

senyawa fenolat tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk mendapat

daya antioksidan tertinggi adalah dengan kering angin. Pengeringan daun jambu

biji dengan oven pada suhu 60 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 165,4 ±

0,4 mg/g. Pengeringan daun jambu biji dengan cara oven pada suhu 40 oC

menghasilkan kadar senyawa fenolat sebesar 0,4550 ± 0,0045%. Pengeringan

daun jambu biji dengan diangin-anginkan menghasilkan daya antioksidan IC50

2,825 µg/mL.

Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk mendapatkan kadar

sari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang tertinggi adalah dengan

Page 5: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

v

kering oven 40 oC. Pengeringan herba meniran dengan oven pada suhu 40 oC

menghasilkan kadar zat tersari sebesar 202,1 ± 0,1 mg/g, kadar senyawa fenolat

sebesar 0,1007 ± 0,0018% dan daya antioksidan IC50 1,395 µg/mL.

Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa

pelarut ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa

fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah metanol. Ekstraksi daun dewa,

daun jambu biji dan herba meniran dengan pelarut metanol menghasilkan kadar

zat tersari sebesar 239,4 ± 0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2 mg/g,

masing-masing, dan kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ± 0,0042%,

0,4949 ± 0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing. Sedangkan daya

antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh jenis

pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya antioksidan daun dewa yang

tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol, daun jambu biji dengan pelarut etanol

dan herba meniran dengan pelarut metanol.

Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa

perbandingan pelarut metanol-air yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat

tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah

perbandingan metanol-air antara 70:30 dan 60:40. Kedua perbandingan metanol-

air ini tidak berbeda nyata unjuk kerjanya dalam memperoleh kadar senyawa

fenolat total dari ketiga tumbuhan obat yang diuji (p > 0,05).

Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara

Page 6: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

vi

ekstraksi terbaik tergantung pada jenis tumbuhan obat yang diekstraksi. Cara

perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang tertinggi untuk herba

meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara sokletasi untuk daun dewa.

Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang optimal, cara sokletasi cocok untuk

daun dewa, cara refluks untuk herba meniran dan cara maserasi untuk daun jambu

biji. Untuk mendapatkan daya antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk

herba meniran, cara perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa.

Berdasarkan hasil analisis KLT didapatkan bahwa komponen-komponen

kimia dalam fraksi-fraksi herba meniran dapat memisah dengan baik dengan

menggunakan eluen campuran heksan-etil asetat 7:3 (kepolaran 1,39) atau

campuran petroleum eter – aseton 7:3 (kepolaran 1,6). Pola KLT ini dapat dipakai

sebagai salah satu parameter untuk menentukan identitas herba meniran sebagai

pelengkap pola kromatografi yang ada dalam Farmakope Herbal Indonesia.

Berdasarkan analisis spektrum FTIR didapatkan bahwa pola spektrum

serbuk dan ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran menunjukkan

pola yang khas. Oleh karena itu, spektrum FTIR dapat digunakan sebagai

pelengkap data monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam

Farmakope Herbal Indonesia. Pada monografi Farmakope Herbal Indonesia Edisi

I (Depkes, 2008) belum ada data spektrum FTIR ketiga simplisia atau ekstrak

tumbuhan obat tersebut.

Dari hasil penelitian karaketrisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan

herba meniran dengan KCKT dapat dilihat bahwa ketiga simplisia ini memiliki

kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari puncak rutin,

yang terdapat pada fraksi etil asetat, butanol dan air sehingga dapat dijadikan

Page 7: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

vii

sebagai senyawa identitas untuk penentuan mutu ekstrak ketiga simplisia tersebut.

Dengan demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian

mutu ekstrak ketiga simplisia tersebut..

Ekstrak metanol daun dewa menunjukkan aktivitas antioksidan yang

paling kuat. Selanjutnya ekstrak metanol daun dewa diisolasi dengan kromatografi

kertas preparatif. Hasil isolasi diuji aktivitas antioksidannya dengan metode

DPPH dan dikarakterisasi dengan metode kimia dan spektroskopi (UV, FTIR,

MS, 1H-NMR dan 13C-NMR). Hasilnya menunjukkan bahwa senyawa 5,7,3’,4’-

tetrahidroksi flavonol (kuersetin) adalah senyawa yang paling aktif sebagai

antioksidan dalam daun dewa. Senyawa ini belum ditemukan sebelumnya dalam

daun dewa.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan

bahwa:

1. Dalam pengawasan mutu simplisia tumbuhan obat, cara penyiapan sampel

dengan pengeringan tergantung pada jenis tumbuhan obat yang

dikeringkan. Cara pengeringan daun dewa yang terbaik untuk

mendapatkan kadar sari tertinggi (208,5 ± 0,6 mg/g) adalah dengan kering

oven 40 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,4039 ±

0,0074%) dan daya antioksidan tertinggi (IC50 3,042 µg/mL) adalah

dengan kering angin. Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk

mendapatkan kadar sari tertinggi (165,4 ± 0,4 mg/g) adalah dengan kering

oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,4550 ±

0,0045%) adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk mendapat daya

antioksidan tertinggi (IC50 2,825 µg/mL ) adalah dengan kering angin.

Page 8: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

viii

Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk mendapatkan kadar

sari (202,1 ± 0,1 mg/g), kadar senyawa fenolat (0,1007 ± 0,0018% ) dan

daya antioksidan (IC50 1,395 µg/mL) yang tertinggi adalah dengan kering

oven 40 oC.

2. Untuk analisis simplisia obat bahan alam, pelarut ekstraksi yang terbaik

untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya

antioksidan yang optimum adalah metanol. Ekstraksi daun dewa, daun

jambu biji dan herba meniran dengan pelarut metanol menghasilkan kadar

zat tersari sebesar 239,4 ± 0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2

mg/g, masing-masing, dan kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ±

0,0042%, 0,4949 ± 0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing.

Sedangkan daya antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak

dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya

antioksidan daun dewa yang tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol,

daun jambu biji dengan pelarut etanol dan herba meniran dengan pelarut

metanol.

3. Untuk analisis simplisia obat bahan alam, perbandingan pelarut metanol-

air yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa

fenolat dan daya antioksidan yang optimum dari simplisia daun dewa,

daun jambu biji dan herba meniran adalah perbandingan metanol-air antara

70:30 dan 50:50. Kedua perbandingan metanol-air ini tidak berbeda nyata

unjuk kerjanya dalam memperoleh kadar senyawa fenolat total dari ketiga

tumbuhan obat yang diuji (p > 0,05).

Page 9: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

ix

4. Untuk analisis simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran,

cara ekstraksi terbaik tergantung pada jenis tumbuhan obat yang

diekstraksi. Cara perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang

tertinggi untuk herba meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara

sokletasi untuk daun dewa. Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang

optimal, cara sokletasi cocok untuk daun dewa, cara refluks untuk herba

meniran dan cara maserasi untuk daun jambu biji. Untuk mendapatkan

daya antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk herba meniran,

cara perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa.

5. Daun dewa yang dikeringkan dengan oven pada 40 oC, menghasilkan

kadar zat tersari tertinggi (208,3 ± 0,4 mg/g) dan kadar senyawa fenolat

total tertinggi (0,7929 ± 0,0084 %) bila diekstraksi dengan cara sokletasi

memakai pelarut metanol. Daun jambu biji yang dikeringkan dengan oven

pada 40 oC, menghasilkan kadar zat tersari tertinggi (165,4 ± 0,4 mg/g)

bila diekstraksi dengan cara refluks memakai pelarut metanol dan

menghasilkan kadar senyawa fenolat total tertinggi (0,4976 ± 0,0040 %)

bila diekstraksi dengan cara maserasi memakai pelarut campuran metanol-

air (50:50). Herba meniran yang dikeringkan dengan oven pada 40 oC,

menghasilkan kadar zat tersari tertinggi (295,0 ± 0,1 mg/g) bila diekstraksi

dengan cara perkolasi memakai pelarut campuran metanol – air (60:40)

dan menghasilkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,6826 ± 0,0026 %)

bila diekstraksi dengan cara refluks memakai pelarut metanol.

6. Komponen-komponen kimia dalam fraksi-fraksi herba meniran dapat

memisah dengan baik dengan menggunakan eluen campuran heksan-etil

Page 10: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

x

asetat 7:3 (kepolaran 1,39) atau campuran petroleum eter – aseton 7:3

(kepolaran 1,6). Pola KLT ini dapat dipakai sebagai salah satu parameter

untuk menentukan identitas herba meniran sebagai pelengkap pola

kromatografi yang ada dalam Farmakope Herbal Indonesia.

7. Pola spektrum FTIR serbuk dan ekstrak simplisia daun dewa, daun jambu

biji dan herba meniran menunjukkan pola yang khas. Oleh karena itu,

spektrum FTIR dapat digunakan sebagai pelengkap data monografi daun

dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal

Indonesia.

8. Daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran memiliki kandungan kimia

flavonoid, terutama rutin, isokuersitrin dan kuersetin. Hal ini ditunjukkan

dari puncak-puncak ketiga senyawa tersebut yang terdapat pada fraksi etil

asetat, butanol dan air sehingga dapat dijadikan sebagai senyawa identitas

untuk pemastian ekstrak ketiga simplisia tersebut. Dengan demikian pola

KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu simplisia

dan ekstrak ketiga simplisia tersebut.

9. Berdasarkan proses isolasi yang dituntun dengan pengujian aktivitas

antioksidan, analisis data spektrum UV dengan pereaksi geser dan analisis

data spektrum LC-MS ESI ion positif, NMR, IR, serta perbandingan

dengan data literatur dapat disimpulkan bahwa flavonoid yang mempunyai

aktivitas antioksidan tertinggi yang terkandung dalam daun dewa adalah

3’,4’,5,7-tetrahidroksi flavonol (kuersetin).

Page 11: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap beberapa

tumbuhan obat dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Dalam penggunaan cara-cara analisis untuk pengawasan mutu obat bahan

alam sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia, pengeringan simplisia

daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran hendaklah dilakukan pada

suhu tidak lebih dari 40 oC. Ekstraksi daun dewa hendaklah dilakukan

dengan cara sokletasi memakai pelarut metanol, ekstraksi daun jambu biji

dengan cara maserasi memakai pelarut campuran metanol – air (50:50)

dan ekstraksi herba meniran dengan cara refluks memakai pelarut metanol.

2. Monografi herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia hendaklah

dilengkapi dengan pola KLT fraksi-fraksinya dengan memakai eluen

campuran heksan-etil asetat 7:3 atau petroleum eter-aseton 7:3.

3. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam

Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data spektrum

FTIR dari serbuk dan ekstrak ketiga simplisia tersebut.

4. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam

Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data profil

KCKT fraksi-fraksinya dengan menggunakan rutin, isokuersetin dan

kuersetin sebagai senyawa identitas.

5. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa fenolat

yang paling aktif sebagai antioksidan dalam daun jambu biji dan herba

meniran sehingga dapat dipakai sebagai senyawa penanda dalam

pengawasan mutu simplisia, ekstrak dan sediaan fitofarmaka yang

mengandung kedua tumbuhan obat tersebut.

Page 12: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xii

6. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa penanda

yang aktif sebagai antimikroba dan antikanker untuk pengawasan mutu

sediaan fitofarmaka yang mengandung simplisia atau ekstrak daun dewa,

daun jambu biji dan herba meniran.

Page 13: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xiii

STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG SENYAWA FENOLAT UNTUK PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI

TUMBUHAN OBAT INDONESIA

Oleh:

HARRIZUL RIVAI

06301035

D i s e r t a s i

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Kimia

pada Program Pascasarjana Universitas Andalas

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS

2012

Page 14: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xiv

Judul Penelitian : STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG

MENGANDUNG SENYAWA FENOLAT UNTUK

PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI TUMBUHAN

OBAT INDONESIA

Nama Mahasiswa : HARRIZUL RIVAI

Nomor Pokok : 06301035

Program Studi : Kimia

Disertasi ini telah diuji dan dipertahankan di depan sidang Panitia Ujian Doktor

Kimia pada Program Pascasarjana Universitas Andalas dan dinyatakan lulus pada

tanggal 5 Desember 2011

Menyetujui:

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. H. Hazli Nurdin, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Hamzar Suyani, M.Sc. Prof. Dr. H. Amri Bakhtiar, M.S., Apt. Anggota Anggota 2. Ketua Program Studi Kimia 3. Direktur Program Pascasarjana Prof.Dr.H. Yunazar Manjang Prof. Dr. Ir. H. Novirman Jamarun, M.Sc

Page 15: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 4 September 1953 di Payakumbuh,

sebagai anak kedua dari Ayah Rivai Said dan Ibu Saridahanum. Penulis

menamatkan SD di Talago pada tahun 1966, SMP di Dangung-Dangung pada

tahun 1969 dan SAA YIB di Bukittinggi pada tahun 1972. Penulis memperoleh

gelar Sarjana Farmasi pada Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Andalas di Padang pada tahun 1984 dan

memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Farmasi Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung pada tahun 1986.

Sejak tahun 1987 sampai sekarang penulis ditugaskan sebagai dosen oleh

Depertemen Pendidikan Nasional pada Fakultas Farmasi Universitas Andalas di

Padang. Pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan meneruskan

pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Andalas di Padang.

Page 16: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xvi

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas taufik dan

hidayahNya penulis telah dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini ditulis

berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Studi Metode Analisis Bahan Alam

yang Mengandung Senyawa Fenolat untuk Pengembangan Data Monografi

Tumbuhan Obat Indonesia”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Bapak Prof. Dr. H. Hazli Nurdin, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing atas

saran, arahan dan bimbingannya selama penelitian dan penulisan disertasi ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Bapak Prof. Dr. Hamzar

Suyani, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. H. Amri Bakhtiar, M.S., Apt. sebagai Anggota

Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran dan kritik, sehingga disertasi

ini terwujud.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Auzal Halim,

Apt yang telah bersedia meminjamkan fasilitas laboratorium di Sekolah Tinggi

Ilmu Farmasi Tamansiswa Padang selama penelitian ini berlangsung. Kepada Ibu

Titin Rosidah dan Ibu Retno Yusiasih, M.Si dari Pusat Penelitian Kimia-LIPI

yang telah membantu dalam analisis UV, FTIR, LC-MS, 1H-NMR dan 13C-NMR

diucapkan terima kasih. Bantuan dari semua pihak, terutama dari Laboratorium

Kimia Farmasi dan Laboratorium Sentral Farmasi Fakultas Farmasi Universitas

Andalas, Laboratorium Biota Sumatera Universitas Andalas, Laboratorium

Penelitian STIFARM Padang, Fakultas Farmasi Universitas Andalas dan Program

Pascasarjana Universitas Andalas sangat dihargai.

Page 17: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xvii

Akhirnya penulis berharap semoga hasil-hasil penelitian yang dituangkan

dalam disertasi ini akan bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan

tentang obat bahan alam dan pengembangan data monografi ekstrak tumbuhan

obat Indonesia.

Padang, Desember 2011

Penulis

Page 18: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xviii

DAFTAR PUBLIKASI

Disertasi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dipublikasikan

sebagian dalam jurnal ilmiah dan dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah sebagai

berikut:

1. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2010. Pengaruh campuran etanol-air sebagai pelarut ekstraksi terhadap mutu ekstrak herba meniran. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia (JIFI) 8(2): 69-73 (Terakreditasi DIKTI).

2. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari herba meniran (Phyllanthus niruri Linn.). Majalah Farmasi Indonesia (MFI) 22(1), 73 – 76, (Terakreditasi DIKTI).

3. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2010. Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun jambu biji (Psidium guajava Linn.). Jurnal Bahan Alam Indonesia (JBAI) 7( 4): 175-178 (Terakreditasi DIKTI).

4. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2008. Pengaruh perbandingan etanol-air sebagai pelarut ekstraksi terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun jambu biji (Psidium guajava Linn.). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi (JSTF) 13(2): 79-85 (Terakreditasi DIKTI).

5. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2010. Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC]. Majalah Obat Tradisional (MOT) 15(1): 26-33 (Terakreditasi DIKTI).

6. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Karakterisasi ekstrak herba meniran (Phyllanthus niruri L.) dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Berita Biologi, submitted Januari 2011 (Terakreditasi LIPI)

7. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Karakterisasi ekstrak daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC] dengan

Page 19: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xix

kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Farmasi Indonesia (JFI), 5(3):134-141 (Terakreditasi DIKTI)

8. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Karakterisasi bahan baku fitofarmaka ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava Linn.) dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Ilmiah Media Farmasi/Presentasi Oral dalam Seminar & Workshop Pharmacy Update 3 di Medan 18-19 Maret 2011

9. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani, Amri Bakhtiar dan Dewi Weltasari, 2011. Identifikasi senyawa antioksidan dari daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi/Presentasi Oral dalam Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik di Padang 24 September 2011

Page 20: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xx

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................ xvi

DAFTAR PUBLIKASI ………………………………………………….. xvii

DAFTAR ISI ............................................................................................... xx

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xxiii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxvi

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xxx

I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 6

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 10

2.1 Tinjauan Kimia Senyawa Fenolat ................................................. 10

2.2 Sumber Senyawa Fenolat dari Bahan Alam ..... ............................ 16

2.3 Metode Analisis Senyawa Fenolat …………................................ 17

2.4 Aktivitas Biologis Senyawa Fenolat Tumbuhan ........................... 28

2.5 Mutu dan Standardisasi Obat Bahan Alam ................................... 40

2.6 Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) ................................. 65

2.7 Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) ….……………………… 75

2.8 Tumbuhan Meniran (Phyllanthus niruri L.) ..…………………… 79

Page 21: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxi

III. BAHAN DAN METODE .................................................................... 85

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 85

3.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 85

3.3 Metode Penelitian ............................................................................. 86

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 97

4.1 Validasi Metode Analisis Senyawa Fenolat Total ........................... 97

4.2 Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar zat tersari

dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam ........................... 98

4.3 Pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar zat

tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan

beberapa obat bahan alam ……………………………………….. 107

4.4 Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap perolehan kadar

zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan

beberapa obat bahan alam ……………………………………….. 112

4.5 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa

obat bahan alam ………………………………………………… 117

4.6 Karakterisasi herba meniran dengan kromatografi lapis tipis ….. 126

4.7 Karakterisasi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

dengan spektrofotometri fourir-transformer infrared (FTIR) …. 120

4.8 Karakterisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba

meniran dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) ……. 137

4.9 Isolasi senyawa antioksidan dari simplisia daun dewa ………. 148

Page 22: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxii

V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 162

5.1 Kesimpulan ……………………………………………………… 162

5.2 Saran …………………………………………………………… 165

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 167

LAMPIRAN ................................................................................................ 185

Page 23: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxiii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

2.1 Beberapa sumber flavonoid dan asam fenolat dari bahan alam … 17 2.2 Aktivitas antioksidan senyawa fenolat dan parameter molekulnya 34 4.1 Hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam

galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm …………………………………………………………… 98

4.2 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu

biji dan herba meniran segar dan yang dikeringkan dengan berbagai cara …………………………………………………….. 99

4.3 Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa,

daun jambu biji dan herba meniran segar dan yang dikeringkan dengan berbagai cara …………………………………………….. 102

4.4 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari

daun dewa yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat ………………………………………….. 104

4.5 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari

daun jambu biji yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat ………………………………………….. 105

4.6 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari

Herba meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat ………………………………………….. 106

4.7 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu

biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut ……………………………………………………………. 108

4.8 Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa,

daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut …………………………………………….. 109

4.9 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari

daun dewa yang diekstaksi dengan berbagai jenis pelarut ………. 110

4.10 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun jambu biji yang diekstaksi dengan berbagai jenis pelarut …. 110

Page 24: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxiv

4.11 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari herba meniran yang diekstaksi dengan berbagai jenis pelarut .…. 111

4.12 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu

biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air ………………………………………… 113

4.13 Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa,

daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air …………………………..….. 115

4.14 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu

biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara ….. 118 4.15 Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa,

daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara ……………………………………………………. 120

4.16 Karakter kromatografi lapis tipis fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan berbagai eluen …………………………………. 124 4.17 Analisis spektrum FTIR serbuk daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ……..……………………………………….. 126 4.18 Analisis spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..…………………… 130 4.19 Analisis spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..…………………………. 132 4.20 Analisis spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..…………………………. 134 4.21 Analisis spektrum FTIR residu daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..…………………………………….. 136 4.22 Waktu retensi senyawa pembanding rutin, isokuersertin dan kuersetin yang diukur berulang kali ……………………………. 139 4.23 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun dewa ……………………………….. 143 4.24 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun jambu biji ………………………….. 145 4.25 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak herba meniran …………………………… 146

Page 25: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxv

4.26 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa (0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) ………… 150 4.27 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) …….. 152 4.28 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) .. 153 4.29 Data spektrum 1H NMR dan 13C NMR untuk isolat A2 dari

ekstrak daun dewa dan kuersetin (500 MHz, DMSO-d6) ………. 161

Page 26: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxvi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1 Bagan penggolongan senyawa fenolat .......................................... 10 2.2 Struktur dasar senyawa flavonoid ………………………………. 11 2.3 Struktur dasar senyawa tanin ……………………………………. 13 2.4 Struktur dasar asam fenolat ……………………………………… 13 2.5 Perubahan struktur kalkon menjadi produk-produk biosintesisnya 14 2.6 Struktur katekin dan antosianindin ……………………………… 15 2.7 Struktur asam sinamat, asam kafeat dan asam protokatekuat …… 15 2.8 Gugus-gugus yang penting untuk peredaman radikal bebas oleh

senyawa flavonoid ………………………………………………. 31 2.9 Rumus struktur turunan fenolat dan asam dihidrokafeat ……….. 33 2.10 Rumus struktur turunan asam sinamat …………………………... 33 2.11 Rumus struktur turunan tirosol ………………………………….. 34 2.12 Rumus struktur -tokoferol dan trolox …………………………. 34 2.13 Pengaruh pemberian anggur merah terhadap konsentrasi asam

kafeat dalam plasma darah ……………………………………… 38

2.14 Kromatogram gas minyak atsiri dari kemokultivar bunga kamil .. 43 2.15 Pengaruh cara ekstraksi dan kepolaran pelarut terhadap

kandungan flavonoid dalam ekstrak bunga kamil ………………. 44 2.16 Hidrolisis enzimatik apigenin-7-O-glikosida selama ekstraksi

bunga kamil dengan berbagai campuran etanol/air ……………… 45 2.17 Sosok tumbuhan daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC)

(Koleksi Pribadi) dan herbariumnya (Koleksi Natural History Museum, London, UK, BM000924534) ………………………… 66

2.18 Sosok tumbuhan jambu biji ……………………………………… 76 2.19 Sosok tumbuhan meniran ……………………………………… 80

Page 27: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxvii

4.1 Kurva kalibrasi hasil reaksi larutan standar asam galat dengan

pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm ….. 98 4.2 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan

kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………………………………………………………….. 114

4.3 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan

kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ……………………………………………….. 116

4.4 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran …………………………………………………………… 117 4.5 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ……….…… 119 4.6 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa

fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.. 121

4.7 Pengaruh cara ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………………………. 122

4.8 Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloro- form (K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan

pembanding kuersetin (Q) dengan eluen heksan-etil asetat 7:3 … 124 4.9 Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloro- form (K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan

pembanding kuersetin (Q) dengan eluen petroleum eter-aseton 7:3 ………………………………………………………………. 125

4.10 Spektrum FTIR serbuk daun dewa ……………………………… 127 4.11 Spektrum FTIR serbuk daun jambu biji ………………………… 127 4.12 Spektrum FTIR serbuk herba meniran ..………………………… 128 4.13 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa .…………… 128 4.14 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun jambu biji .……… 129 4.15 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter herba meniran ………… 129 4.16 Spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa …….…………… 131

Page 28: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxviii

4.17 Spektrum FTIR ekstrak kloroform daun jambu biji ….…………… 131 4.18 Spektrum FTIR ekstrak kloroform herba meniran ….…………… 132 4.19 Spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa ……….…………… 133 4.20 Spektrum FTIR ekstrak metanol daun jambu biji ….…………… 133 4.21 Spektrum FTIR ekstrak metanol herba meniran .….…………… 134 4.22 Spektrum FTIR residu daun dewa ………..……….…………… 135 4.23 Spektrum FTIR residu daun jambu biji .…..……….…………… 135 4.24 Spektrum FTIR residu herba meniran ………..……….………… 136 4.25 Kromatogram rutin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18,

panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm ……………... 138

4.26 Kromatogram isokuersetin dan kuersetin dengan kolom fase

terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm ………………………………………………………... 138

4.27 Kromatogram campuran rutin, isokuersetin dan kuersetin dengan

kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm ……………………………………………... 139

4.28 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan

fraksi air (C) dari ekstrak daun dewa dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm .…….. 144

4.29 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak daun jambu biji dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm …………………………………………………………. 145

4.30 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak herba meniran dengan kolom fase terbalik

Page 29: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxix

Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm .…….. 148

4.31 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa

(0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) ………… 150 4.32 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun

dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) …… 152 4.33 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak

daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) 153 4.34 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam

metanol …………………………………………………………. 154 4.35 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam

metanol (hitam) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis putus-putus) ………………………………………………. 155

4.36 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam

metanol (hitam) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis titik-titik) dan setelah 5 menit (garis putus-putus) ……….. 155

4.37 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam

metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium asetat (garis tipis) ……………………………………………………... 156

4.38 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam

metanol (garis tebal), setelah penambahan natrium asetat (garis tipis) dan setelah penambahan asam borat (garis putus-putus) .... 157

4.39 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam

metanol (garis tebal) dan setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis) ..…………………………………………………….. 158

4.40 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam

metanol (garis tebal), setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis) dan setelah penambahan asam klorida (garis putus- putus) .………………………………………………………….. 158

4.41 Struktur 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol (kuersetin) …………… 159

Page 30: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxx

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Daftar ekstrak tumbuhan obat bahan alam Indonesia yang mengandung senyawa fenolat ………………………………… 185

2. Hasil pengolahan data dengan Microsoft Excel 2007 untuk hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelom- bang 765 nm .………………………………………………… 187

3. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa terhadap perolehan kadar zat tersari dengan program SPSS … 188

4. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun jambu Biji terhadap perolehan kadar zat tersari dengan program SPSS 190

5. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap perolehan kadar zat tersari dengan program SPSS … 192

6. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa

terhadap kadar senyawa fenolat dengan program SPSS ……… 194

7. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun jambu Biji terhadap kadar senyawa fenolat dengan program SPSS … 196

8. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap kadar senyawa fenolat dengan program SPSS ……… 198

9. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar zat tersari dengan program SPSS ………. 200

10. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar zat tersari dengan program SPSS ….. 202

11. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba meniran terhadap kadar zat tersari dengan program SPSS …….. 204

12. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar fenolat dengan program SPSS ………….. 206

13. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar fenolat dengan program SPSS .…….. 208

14. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba

Page 31: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

xxxi

meniran terhadap kadar fenolat dengan program SPSS ……….. 210

15. Hasil optimasi sistem kromatografi lapis tipis (KLT) untuk karakterisasi herba meniran …………………………………… 212

16. Pola kromatografi lapis tipis simplisia herba meniran menurut Farmakope Herbal Indonesia …………………………………. 216

17. Hasil uji kesesuaian sistem kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk analisis campuran beberapa flavonoid ...……… 217

18. Spektrum infra merah isolat A2 dari ekstrak daun dewa ……... 221

19. Kromatogram LC-MS isolat A2 dari ekstrak daun dewa …….. 222

20. Spektrum massa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dengan LC-MS ESI Positive Ion Mode ………………………………. 223

21. Spektrum 1H NMR isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam

DMSO-d6 …………………………………………………….. 224

22. Spektrum 13C NMR isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam DMSO-d6 …………………………………………………….. 225

Page 32: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kedua terkaya setelah Brasil dalam aspek

keanekaragaman hayati berupa plasma nutfah, flora dan fauna yang berpotensi

sebagai obat bahan alam. Salah satu obat bahan alam yang paling banyak

dimanfaatkan adalah yang berasal dari tumbuhan, yang biasa disebut tumbuhan

obat (TO). Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tumbuhan, 9.606 spesies

(32,02%) diketahui sebagai tumbuhan obat dan baru 350 spesies (3,64%)

dimanfaatkan dan dibudidayakan secara komersial. Sebagai negara penghasil

tumbuhan obat, Indonesia hanya di posisi ke-19 pada tahun 1999, bahkan

menurun menjadi posisi 31 pada tahun 2003 (Kadiman, 2006). Oleh karena itu,

tumbuhan obat Indonesia perlu diteliti dan dikembangkan terus menjadi obat

bahan alam (OBA) yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya.

Penelitian dan pengembangan OBA, dapat diarahkan menjadi tiga

kelompok, yaitu (a) jamu (obat tradisional Indonesia), (b) obat herbal terstandar,

dan (c) fitofarmaka. Jamu adalah OBA yang pembuktian manfaatnya dilakukan

secara empirik. Obat herbal terstandar adalah OBA yang bahan bakunya

terstandar dan telah terbukti khasiat dan keamanannya melalui uji praklinik.

Fitofarmaka adalah OBA yang bahan baku dan produknya sudah terstandar dan

telah terbukti khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. OBA yang telah

memenuhi syarat sebagai fitofarmaka akan diperlakukan seperti halnya obat

modern yang dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan (BPOM, 2004a).

Sampai awal tahun 2010, sebagian besar produk OBA Indonesia adalah berupa

Page 33: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

2

jamu, 17 produk obat herbal terstandar dan 5 produk fitofarmaka (Sarmoko,

2011). Mengingat besarnya potensi tumbuhan obat, tersedianya teknologi, dan

tingginya kebutuhan obat di dalam negeri dan pasar luar negeri, maka perlu

dilakukan peningkatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi (IPTEK) kesehatan bidang obat dalam pengelolaan tanaman obat di

Indonesia.

Salah satu arah penelitian, pengembangan dan penerapan iptek kesehatan

di bidang bahan baku obat, sediaan obat, perbekalan farmasi dan alat kesehatan

periode tahun 2005-2025 adalah pengembangan produk herbal terstandar dan

fitofarmaka. Indikator keberhasilan penelitian dan pengembangan produk herbal

terstandar dan fitofarmaka adalah (a) Jumlah simplisia dan ekstrak terstandar

untuk produk herbal terstandar dan fitofarmaka, (b) Jumlah produk herbal

terstandar dan fitofarmaka untuk sindrom metabolik (penyakit kronik) dan

degeneratif (Kadiman, 2006). Sedangkan prioritas pengembangan obat herbal

Indonesia terutama adalah untuk penyakit degeneratif, imunomodulator dan untuk

pemeliharaan kesehatan.

Jika obat bahan alam Indonesia ingin dikembangkan menjadi fitofarmaka

yang dapat digunakan sebagai obat dalam pelayanan kesehatan, maka bahan baku

tumbuhan obat, ekstrak tumbuhan obat dan produk fitofarmaka perlu

distandardisasi dan mutunya harus terjamin. Mutu menjadi dasar untuk menjamin

khasiat dan keamanan obat bahan alam Indonesia yang konsisten. Mutu adalah

status suatu obat, yang ditentukan baik dengan identitas, kemurnian, kandungan

kimia dan sifat-sifat kimia, fisika dan biologis lainnya, ataupun dengan proses

Page 34: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

3

pembuatan (Bauer, 1998). Definisi mutu ini juga berlaku pada obat bahan alam

Indonesia.

Dalam standardisasi dan pengawasan mutu obat bahan alam, banyak

permasalahan yang dihadapi, antara lain (Bauer, 1998; Nash et al., 2006):

1. Obat bahan alam adalah campuran dari berbagai bahan aktif dan bahan

tambahan lainnya sehingga sulit distandardisasi.

2. Pada umumnya komponen aktif yang bertangung jawab terhadap

khasiatnya belum diketahui secara pasti.

3. Belum ada metode analisis yang selektif untuk penentuan komponen-

komponen kimia yang ada dalam obat bahan alam.

4. Senyawa pembanding mungkin belum tersedia secara komersial.

5. Adanya variabilitas kimia tumbuhan obat.

6. Adanya variasi/keragaman hayati alamiah.

7. Pengaruh kondisi pemanenan, pengeringan dan penyimpanan.

8. Pengaruh pemrosesan ekstraksi yang berbeda-beda: kepolaran pelarut, cara

ekstraksi, ketidakstabilan konstituen.

Untuk mengatasi kesulitan ini, perlu dikembangkan metode yang sensitif

(dapat mendeteksi dan mengkuantitasi analit dalam konsentrasi yang sangat

rendah) dan metode yang dapat memperlihatkan profil (seperti pola spektrum UV

dan IR, pola kromatogram KLT dan KCKT) bahan baku atau produk obat bahan

alam sehingga dapat digunakan untuk menetapkan spesifikasi standar bahan

tumbuhan obat yang dapat dihubungkan dengan aktivitas biologisnya. Dengan

demikian metode itu dapat dipakai untuk pengawasan mutu dalam produksi obat

Page 35: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

4

bahan alam dan dapat pula untuk menentukan kadar komponen-komponen yang

diketahui atau yang mungkin aktif secara biologis.

Oleh karena banyaknya macam obat bahan alam dan banyaknya

kandungan kimia dalam obat bahan alam, maka pada penelitian ini permasalahan

dibatasi pada standardisasi dan pengawasan mutu bahan obat alam yang

mengandung senyawa fenolat, karena senyawa fenolat telah terbukti dari berbagai

penelitian dapat bermanfaat bagi kesehatan, terutama untuk mengatasi penyakit

yang berhubungan dengan ketuaan seperti diabetes, hipertensi, stroke, kanker dan

lain-lain. Selain itu, senyawa fenolat merupakan komponen fitokimia yang paling

banyak terdapat dalam tumbuhan dan mempunyai berbagai macam manfaat bagi

kesehatan manusia (Scalbert et al., 2005).

Dewasa ini muncul kecenderungan baru dalam standardisasi obat bahan

alam, yaitu standardisasi dengan menentukan kandungan total senyawa

fitokonstituen seperti senyawa fenolat yang dapat dihubungkan dengan aktivitas

biologis seperti aktivitas antioksidan (Palav & Priscillia, 2006). Aktivitas

antioksidan itu mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan

gangguan patofisiologis pada manusia seperti hipertensi, stroke, diabetes, kanker,

inflamasi dan gangguan lain yang berkaitan dengan usia. Obat bahan alam yang

diketahui mengandung senyawa fenolat, antara lain: daun dewa (Gynura

pseudochina) (Suda et al., 2005; Herwindriandita, 2006), meniran (Phyllanthus

niruri) (Ishiharu et al., 1992; Bagalkotkar et al., 2006; Than et al., 2006; Shakil et

al., 2007) dan daun jambu biji (Psidium guajava) (Khadeem dan Muhammed,

1959; Zhen dan Wang, 2001; Arima dan Danno, 2002).

Page 36: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

5

Ketiga tumbuhan obat tersebut di atas telah diteliti lebih lanjut karena

berbagai alasan. Pertama, ketiga tumbuhan obat tersebut mengandung senyawa

fenolat sebagai komponen utama. Kedua, daun dewa sudah banyak dipakai secara

tradisional dan telah terbukti khasiat dan keamanannya baik secara empiris

maupun secara praklinis, namun monografinya belum ada tercantum dalam

Materia Medika Indonesia, Farmakope Indonesia, Monografi Ekstrak Tumbuhan

Obat Indonesia atau Farmakope Herbal Indonesia. Ketiga, herba meniran dan

daun jambu biji sudah dipakai sebagai bahan baku fitofarmaka (Sarmoko, 2011),

namun cara standardisasi dan pengawasan mutunya belum lengkap dalam

Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1 (BPOM RI, 2004b) atau

Farmakope Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008).

Sementara itu di Indonesia, persyaratan mutu simplisia tumbuhan obat

telah disusun dalam buku Materia Medika Indonesia Jilid 1-6 (Depkes RI, 1977-

1995) dan Farmakope Herbal Indonesia (Depker RI, 2008). Dalam buku-buku itu,

persyaratan simplisia meliputi pemerian, identifikasi, kadar abu, kadar abu yang

tidak larut dalam asam, kadar sari yang larut dalam air, kadar sari yang larut

dalam etanol, bahan organik asing dan penentuan kadar zat aktif. Sedangkan

parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat meliputi parameter non-spesifik

dan parameter spesifik. Parameter non-spesifik untuk ekstrak tumbuhan obat

meliputi susut pengeringan, kadar air, kadar abu, sisa pelarut, residu pestisida,

cemaran logam berat dan cemaran mikroba. Parameter spesifik meliputi identitas,

organoleptik, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, pola kromatogram, kadar

total golongan kandungan kimia dan kadar kandungan kimia tertentu (Depkes RI,

2000). Berdasarkan parameter-parameter tersebut telah disusun monografi untuk

Page 37: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

6

65 jenis ekstrak tumbuhan obat Indonesia (BPOM RI, 2004b dan BPOM, 2006).

Namun demikian, monografi tersebut belum mencantumkan standardisasi ekstrak

tumbuhan obat terhadap kandungan total senyawa fenolat dan bioaktivitasnya

sebagai antioksidan. Mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat menyumbang pada

penyempurnaan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia dan Farmakope

Herbal Indonesia pada edisi yang akan terbit di masa datang.

Pada monografi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat Indonesia terdapat

beberapa kelemahan dalam teknik analisis yang dipakainya. Di antara kelemahan

itu adalah tidak adanya optimasi penyiapan sampel yang berupa simplisia

tumbuhan obat dan pembuatan ekstrak tumbuhan obat, padahal tahap penyiapan

sampel sangat berpengaruh terhadap perolehan zat aktif dan hasil analisis

(Gaedcke et al., 2003). Selain itu, identifikasi dan autentisasi simplisia dan

ekstrak tumbuhan obat dengan menggunakan spektroskopi UV, IR dan teknik-

teknik kromatografi belum ada yang lengkap dalam monografi-monografi tersebut

di atas. Oleh karena itu studi metode analisis simplisia dan ekstrak tumbuhan obat

perlu dilakukan, terutama dalam hal optimasi penyiapan sampel untuk analisis,

studi teknik identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat

dengan spektroskopi UV dan IR serta studi metode analisis simplisia dan ekstrak

tumbuhan obat dengan teknik-teknik kromatografi (KLT dan KCKT).

1.2 Perumusan Masalah

Mengingat pentingnya masalah studi metode analisis untuk standardisasi

dan pengawasan mutu obat bahan alam yang mengandung senyawa fenolat

Page 38: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

7

sebagai komponen utama, maka masalah pada penelitian ini dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana cara penyiapan sampel yang berupa simplisia obat bahan alam

yang baik agar diperoleh kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan

yang optimum dari beberapa tumbuhan obat bahan alam?

2. Apakah pelarut ekstraksi dan bagaimana cara ekstraksi yang paling cocok

untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang

optimum dari beberapa tumbuhan obat bahan alam?

3. Bagaimana cara karakterisasi yang baik untuk identifikasi dan autentisasi

simplisia dan ekstrak obat bahan alam dengan menggunakan metode

spektroskopi inframerah, kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair

kinerja tinggi?

4. Apa senyawa fenolat yang dapat dijadikan sebagai penanda (marker)

dalam standardisasi obat bahan alam?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mempelajari cara penyiapan sampel yang berupa simplisia obat bahan

alam sehingga diperoleh senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang

optimum dari beberapa obat bahan alam.

2. Mencari pelarut ekstraksi dan mempelajari cara ekstraksi yang paling

cocok untuk mendapatkan senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang

optimum dari obat bahan alam.

Page 39: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

8

3. Mempelajari cara-cara karakterisasi yang baik untuk identifikasi dan

autentisasi simplisia dan ekstrak obat bahan alam dengan metode

spektrofotometri inframerah (FT-IR), kromatografi lapis tipis (KLT), dan

kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).

4. Mengisolasi senyawa fenolat yang bersifat antioksidan dalam obat bahan

alam.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara umum hasil penelitian ini bermanfaat dalam membantu

memecahkan masalah pembangunan dalam bidang kesehatan, terutama dalam

pengembangan obat bahan alam Indonesia menjadi fitofarmaka. Selain itu, secara

khusus hasil penelitian ini bermanfaat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan

dan teknologi, terutama dalam pengembangan pengetahuan tentang kandungan

kimia dan aktivitas biologis obat bahan alam serta penyempurnaan teknologi

untuk pengawasan mutu obat bahan alam.

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah atau melengkapi

data dalam monografi obat bahan alam (khususnya daun dewa, daun jambu biji

dan heba meniran) baik dalam Materia Medika Indonesia maupun dalam

Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia atau Farmakope Herbal Indonesia

yang sudah ada sekarang. Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk

pengawasan mutu bahan baku obat bahan alam (khususnya daun dewa, daun

jambu biji dan herba meniran) yang akan diproduksi menjadi obat herbal

terstandar dan fitofarmaka oleh perusahaan-perusahaan obat bahan alam di

Indonesia. Walaupun monografi ekstrak daun jambu biji dan herba meniran telah

Page 40: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

9

ada dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume I (BPOM RI,

2004b), namun parameter mutunya belum lengkap.

Dengan demikian, hasil penelitian ini bermanfaat dalam menciptakan

monografi baru daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) yang orisinil karena

monografinya belum ada selama ini. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat

dalam melengkapi data monografi herba meniran dan daun jambu biji yang sudah

ada selama ini.

Page 41: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Kimia Senyawa Fenolat

Senyawa fenolat adalah salah satu golongan fitokimia bioaktif yang

tersebar luas dalam dunia tumbuhan (Strube et al., 1993). Secara kimia, senyawa

fenolat dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama: polifenol dan fenol

sederhana. Polifenol dapat dibagi lebih lanjut menjadi dua golongan: flavonoid

(flavon, flavonol, flavanon, flavanol, isoflavon, antosianidin dan kalkon) dan tanin

(polimer asam fenolat, katekin atau isokatekin). Fenol sederhana dapat dibagi lagi

menjadi dua kelompok: asam fenolat (asam sinamat atau asam benzoat dan

turunan-turunannya) dan kumarin (lihat Gambar 2.1) (Luthria, 2006).

Gambar 2.1 Bagan penggolongan senyawa fenolat (Luthria, 2006)

SENYAWA FENOLAT

FENOL SEDERHANA

KUMARIN

ASAM FENOLAT

ASAM HIDROKSIBENZOAT

ASAM HIDROKSISINAMAT

POLIFENOL

FLAVONOID Flavon Khalkon Flavonol Flavanon Isoflavon Flavanol Antosianidin

TANIN

DAPAT DIHIDROLISIS

TIDAK DAPAT DIHIDROLISIS

POLIMER ASAM GALAT

POLIMER KATEKIN DAN EPIKATEKIN

Page 42: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

11

2.1.1 Flavonoid

Struktur dasar senyawa flavonoid adalah inti flavon (2-fenil-benzo-γ-

piran) tetapi, tergantung pada metode klasifikasi, golongan flavonoid dapat dibagi

menjadi beberapa kategori berdasarkan tingkat oksidasi cincin C dan hidroksilasi

inti flavonoid serta gula yang terikat padanya (Kuhnau, 1976). Harborne dan

Baxter (1999) membagi struktur flavonoid menjadi sebelas kelas, yaitu: flavon

(1), flavonol (2), flavanon (3), dihidroflavonol (4), flavan (5), isoflavonoid (6),

biflavonil (7), antosianin (8), kalkon (9), dihidrokalkon (10) dan auron (11)

(Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Struktur dasar senyawa flavonoid (Harborne dan Baxter, 1999)

OHO

OH O

OH

1

OHO

OH O

OH

2

OH

OH

OHO

OH O

OH

3

OHO

OH O

OH

4

OH

OH

OHO

OH

OH

OH

5

OHO

OH

6

O OH

Page 43: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

12

Gambar 2.2 Struktur dasar senyawa flavonoid (Harborne dan Baxter, 1999) (Lanjutan)

2.1.2 Tanin

Tanin adalah nama umum untuk senyawa fenolat yang dapat menyamak

kulit atau mengendapkan gelatin dari larutan (Haslam, 1996). Tanin dapat dibagi

menjadi tanin terkondensasi seperti proantosianidin C-1 (12) dan tanin yang dapat

terhidrolisis seperti ellagitanin (13) dan gallotanin(14) (Gambar 2.3, Haslam,

1998).

2.1.3 Asam Fenolat

Ada dua golongan asam fenolat yang penting, yaitu golongan asam

hidroksibenzoat (15) dan golongan asam hidroksisinamat (16) (Gambar 2.4,

Macheix dan Fleuriet, 1998).

OHO

OH O

OH

O

HO

OH O

OH

7

OHO

OH

OH

OH

OH

+

8HO

OH9

O

HO

OH10

O

OCH3

HO

OCH311

O

O

OH

OH

Page 44: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

13

Gambar 2.3 Struktur dasar senyawa tanin (Haslam, 1998)

Gambar 2.4 Struktur dasar asam fenolat (Macheix dan Fleuriet, 1998)

2.1.4 Biosintesis Senyawa Fenolat

Istilah ‘senyawa fenolat’ mencakup berbagai senyawa tumbuh-tumbuhan

yang mempunyai cincin aromatik dengan satu atau lebih substituen hidroksil.

O

O

O

HO

OH

OH

OH

OH

HO

OH

OH

OH

OH

HO

OH

OH

OH

OH

12

HO

HO

HO

OH

O

15

HO

HO16

O

OH

Page 45: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

14

Seringkali senyawa-senyawa ini berikatan dengan gula (glikosida) dan karena itu

cenderung dapat larut dalam air. Flavonoid adalah kelompok terbesar dari

senyawa fenolat. Flavonoid adalah senyawa dengan 15 atom C yang tersusun dari

dua cincin fenolat yang dihubungkan oleh unit tiga-karbon. Secara biosintetis,

flavonoid diperoleh dari asetat dan shikimat (Mann, 1978) sehingga cincin A

mempunyai pola hidroksilasi yang khas pada posisi 5 dan 7. Cincin B biasanya

terhidroksilasi pada posisi 4’, 3’4’ atau 3’4’5’. Gambar 5 memperlihatkan

perubahan struktur flavonoid golongan kalkon (17), menjadi flavonol (18

kuersetin) dan flavon (19 luteolin). Isoflavonoid (20) diperoleh dengan siklisasi

kalkon (17) sedemikian rupa sehingga cincin B terletak pada posisi 3 (Gambar

2.5).

Gambar 2.5 Perubahan struktur kalkon menjadi produk-produk biosintesisnya

HO

OH

OH

OH

O

3

17

OHO

OH

OH

O18

OH

OH

A

B

2

36

82'

3'4'5'

HO

OH O20

A 2

36

8 O

OHB

OHO

OH

OH

O19

OH

A

B

2

36

82'

3'4'5'

Page 46: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

15

Kelompok flavonoid penting lainnya adalah katekin (21) (sering dijumpai

sebagai ester dengan asam galat dalam teh) dan antosianidin (22), yang

merupakan pigmen sangat berwarna-warni (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Struktur katekin dan antosianindin Di antara asam-asam fenolat sederhana, asam sinamat (23) dan turunannya

tersebar luas dalam tumbuh-tumbuhan. Senyawa-senyawa ini diperoleh terutama

dari jalur shikimat melalui fenilalanin atau tirosin (Mann, 1978) dan contoh-

contohnya yang penting (Gambar 2.7) adalah asam kumarat (satu gugus hidroksil)

dan asam kafeat (24). Oksidasi rantai samping asam kafeat dapat menghasilkan

turunan asam benzoat seperti asam protokatekuat (25) dan asam gentisat.

Senyawa-senyawa ini biasanya dijumpai di alam sebagai eter glukosa atau dalam

senyawa ester dengan asam kuinat.

Gambar 2.7 Struktur asam sinamat(23), asam kafeat (24) dan asam protokatekuat (25)

Senyawa-senyawa fenolat yang penting lainnya adalah resveratrol,

senyawa hidroksi stilben yang dijumpai dalam anggur merah (Pace-Asciak et al.,

HO

OH21

A 2

36

8

OH

O

OH

OH

B HO

OH22

A 2

36

8

OH

O

OH

OH

B+

COOH

23

COOH

24HO

OH

COOH

25HO

OH

Page 47: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

16

1995), oleuropein, zat pahit dari zaitun (Visioli dan Galli, 1994). Selain itu,

senyawa-senyawa fenolat terdapat dalam bentuk senyawa-senyawa kompleks

yang mungkin berasal dari penggandengan oksidatif senyawa-senyawa fenolat

sederhana, misalnya asam salvianolat yang diisolasi dari Salvia miltiorrhiza,

tumbuhan yang digunakan dalam obat tradisional Cina (Lin et al., 1996).

2.2 Sumber Senyawa Fenolat dari Bahan Alam

Beberapa sumber utama senyawa fenolat dari makanan diuraikan dalam

Tabel 2.1. Asupan flavonoid setiap hari diperkirakan antara 20 mg sampai 1 g

(Hertog et al., 1993). Flavonol, terutama katekin dan ester katekin-galat serta

flavonol (kuersetin), dijumpai dalam minuman seperti teh hijau dan teh hitam

(Stagg dan Millin, 1975) dan anggur merah (Frankel et al., 1995). Kuersetin juga

merupakan komponen utama dari bawang, apel dan buah beri. Flavanon, seperti

naringin, dijumpai terutama dalam buah jeruk. Asam-asam fenolat tersebar luas

dalam bahan makanan dan minuman termasuk anggur merah. Pola senyawa

fenolat dalam anggur diselidiki sebagai suatu cara untuk menentukan ‘sidik jari’

anggur (Soleas et al., 1997).

Berdasarkan “Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia” Volume 1

(BPOM RI, 2004b) dan Volume 2 (BPOM RI, 2006), ada beberapa obat bahan

alam Indonesia yang telah terbukti mengandung senyawa fenolat, terutama

golongan flavonoid (Lampiran 1). Dari 65 monografi ekstrak tumbuhan obat

Indonesia dalam kedua buku itu, 39 di antaranya mengandung senyawa fenolat.

Senyawa fenolat ini digunakan sebagai penanda dalam standardisasi dan

pengawasan mutu ekstrak tumbuhan obat tersebut.

Page 48: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

17

Tabel 2.1 Beberapa sumber flavonoid dan asam fenolat dari bahan alam

Flavonoid Sumber

Katekin Teh, anggur merah

Flavanon Buah jeruk

Flavonol (misalnya kuersetin) Bawang, zaitun, teh, anggur, apel

Antiosianidin Buah ceri, strowberi, anggur, buah berwarna

Asam kafeat Buah anggur, minuman anggur, zaitun, kopi, apel, tomat, buah plum, buah ceri

2.3 Metode Analisis Senyawa Fenolat

Beberapa tinjauan telah dipublikasikan tentang analisis senyawa-senyawa

fenolat dalam tumbuh-tumbuhan (Harborne, 1989; Waterman dan Mole, 1994;

Harborne, 1998) dan dalam makanan yang berasal dari tumbuhan (Macheix et al.,

1990; Lee dan Widmer, 1996). Sedangkan Hermann (1989) dan Waksmundzka-

Hajnos (1998) telah meninjau analisis asam hidroksisinamat dan asam

hidroksibenzoat dalam tumbuh-tumbuhan dan makanan yang berasal dari

tumbuhan. Analisis flavonoid juga telah ditinjau secara luas oleh Markham (1982,

1989), oleh Harborne (1988, 1994) dan oleh Robards dan Antolovich (1997).

Analisis senyawa fenolat dalam matriks obat bahan alam, makanan mentah

ataupun makanan olahan dimulai dengan ekstraksi. Prosedur ekstraksi tergantung

pada jenis bahan yang akan dianalisis, senyawa fenolat yang akan ditentukan, dan

prosedur analisis yang akan digunakan (Lee dan Widmer, 1996). Tahap pertama

adalah menghancurkan bahan, menggiling dan memaserasi sampel untuk

meningkatkan luas permukaan, sehingga memungkinkan kontak yang lebih baik

antara pelarut pengekstraksi dengan sampel (Waterman dan Mole, 1994). Proses

ini juga membantu pencampuran sampel untuk menjamin bahwa bagian yang

diekstraksi mewakili keseluruhan sampel. Karena beberapa senyawa fenolat

terdapat sebagai glikosida atau ester, maka penyiapan sampel bisa meliputi

Page 49: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

18

hidrolisis dengan asam, basa atau enzimatik untuk membebaskan senyawa-

senyawa fenolat yang terikat. Tahap hidrolisis diabaikan jika senyawa fenolat itu

akan dianalisis sebagai turunannya.

2.3.1 Analisis Flavonoid

2.3.1.1 Teknik-teknik Ekstraksi dan Hidrolisis Flavonoid

Umumnya senyawa flavonoid adalah senyawa yang stabil dan bisa

diekstraksi dari bahan tumbuhan segar, kering atau yang telah digiling, dengan

pelarut dingin atau panas. Pelarut yang cocok untuk ekstraksi senyawa fenolat

adalah campuran air dengan etanol, metanol, aseton atau dimetilformamida

(Robards dan Antolovich, 1997). Ekstraksi flavonol telah dilakukan dengan

maserasi bahan tumbuhan segar dalam pelarut pengekstraksi (Wildanger dan

Herman, 1973; Bilyk dan Sapers, 1986; Dick et al., 1987; Price et al., 1999),

dengan ekstraksi sampel buah-buahan segar yang dihomogenkan (Amiot et al.,

1995; Heinonen et al., 1998) atau dengan ekstraksi sampel yang dikering-bekukan

(liofilisasi) (Hertog et al., 1992a,b; Crozier et al., 1997; Justesen et al., 1998).

Analisis kuantitatif masing-masing flavonol glikosida dalam buah-buahan

sulit karena kebanyakan senyawa pembanding tidak sedia dalam perdagangan.

Selain itu, lebih dari 30 jenis senyawa flavonol glikosida telah diidentifikasi

dalam buah-buahan (Macheix et al., 1990). Hidrolisis flavonol glikosida menjadi

aglikonnya masing-masing memberikan metode yang praktis untuk kuantifikasi

flavonol dalam makanan (Robards dan Antolovich, 1997). Hidrolisis flavonol

dengan asam hidroklorida (HCl) telah dijelaskan oleh Harborne (1965).

Wildanger dan Hermann (1973) dan Bylik dan Sapers (1986) menyelidiki

Page 50: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

19

kandungan flavonol dalam buah-buahan dengan menggunakan hidrolisis asam

tetapi tanpa optimasi prosedur ekstraksi dan hidrolisis. Hertog et al. (1992a) telah

mengoptimasi ekstraksi dan kondisi hidrolisis asam (dalam metanol berair dengan

HCl) untuk analisis flavonol dan flavon dalam sayur-sayuran dan buah-buahan

yang dikering-bekukan. Ekstraksi dan hidrolisis dalam metanol berair dengan HCl

telah digunakan pula untuk menyelidiki flavonoid aglikon pada sayur-sayuran dan

buah-buahan oleh Justesen et al. (1998) dan Ewald et al. (1999). Rommel dan

Wrolstad (1993a,b) menggunakan hidrolisis basa (NaOH 2N) untuk menyelidiki

flavonol, asam hidroksisinamat dan asam hidroksibenzoat dalam buah-buahan.

Laju hidrolisis asam/basa dari glikosida tergantung pada kekuatan asam/basa, sifat

bagian gula dan posisinya pada inti flavonoid.

Hidrolisis enzimatik memberikan metode yang cepat untuk pemutusan

monosakarida khusus dari flavonoid-O-glikosida. Hidrolisis enzimatik dengan

enzim -gluronidase dan sulfatase telah digunakan untuk menyelidiki flavonoid

dalam plasma manusia oleh Manach et al. (1998) dan Erlund et al. (1999).

2.3.1.2 Teknik-teknik Kromatografi Flavonoid

Metode kromatografi kertas dikembangkan untuk flavonoid dalam tahun

1950-an dan 1960-an (Markham, 1982, Robards dan Antolovich, 1997). Teknik

ini digantikan oleh kromatografi lapis tipis (KLT) dalam tahun 1970-an yang

menyediakan teknik yang murah dan bermanfaat untuk analisis secara bersamaan

beberapa sampel sekaligus (Robards dan Antolovick, 1997; Harborne, 1998).

Pemilihan fase diam dan pelarut yang sesuai tergantung pada golongan flavonoid

yang akan diperiksa. Flavonoid yang bersifat hidrofilik, seperti flavonol, dapat

Page 51: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

20

dipisahkan dengan mudah dengan KLT pada fase diam poliamida atau

mikrokristalin selulosa (Wildamer dan Herman, 1973; Robards dan Antolovich,

1997). KLT masih lazim digunakan untuk pemisahan preparatif (Lee dan Widmer,

1996) dan sebagai metode skrining yang cepat dan murah untuk menentukan

golongan flavonoid yang ada dalam buah-buahan (Fernandez de Simon et al.,

1992) dan madu (Sabatier et al., 1992).

Kromatografi gas (KG) terbatas pemakaiannya pada analisis flavonoid dan

senyawa fenolik lainnya karena kemudahannya menguap juga terbatas. Karena itu

ada tahap tambahan yang diperlukan untuk menjamin kemudahan menguap

senyawa fenolik itu (Lee dan Widmer, 1996; Robards dan Antolovich, 1997).

Namun demikian, analisis KG dengan deteksi spektrometri massa (MS) telah

digunakan untuk analisis flavonol dalam teh hitam (Finger et al., 1991) dan kubis

(Nielsen et al., 1993). Keuntungan analisis KG adalah meningkatnya pemisahan

isomer-isomer yang berkaitan erat dan sederhananya penggandengan dengan

detektor MS untuk identifikasi melalui pola fragmentasi (Mouly et al., 1993;

Schmidt et al., 1994).

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) telah menjadi teknik

kromatografi yang paling banyak digunakan dalam analisis flavonoid dewasa ini

(Harborne, 1988; Robards dan Antolovich, 1997; Merken dan Beecher, 2000).

Teknik ini telah menambah dimensi baru pada penyelidikan flavonoid dalam

tumbuhan-tumbuhan dan ekstraknya. Keuntungan utamanya adalah meningkatnya

resolusi campuran flavonoid dibandingkan dengan teknik kromatografi lainnya,

kemampuannya memperoleh data kualitatif dan data kuantitatif yang teliti dalam

satu operasi, tingginya kecepatan analisis (Harborne, 1988; Markham, 1989).

Page 52: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

21

Kromatografi fase-normal telah digunakan untuk pemisahan flavonoid

(flavon, flavonol dan flavanon aglikon) dalam air jeruk (Galensa dan Hermann,

1980a,b). Flavonoid dipisahkan secara isokratik pada LiChrosorb Si60 dengan

menggunakan sistem pelarut benzena-asetonitril, benzena-etanol atau iso-oktana-

etanol-asetonitril dan dideteksi pada 312 atau 270 nm. Akan tetapi, untuk sistem

fase-normal, ada kekhawatiran bahwa senyawa yang sangat polar bisa tertahan

secara irreversibel dalam kolom sehingga karakteristik pemisahannya dapat

berubah secara berangsur-angsur (Vande Cateele et al., 1983).

Oleh karena adanya keterbatasan kromatografi fase-normal, maka

kromatografi fase-terbalik telah menjadi metode pilihan untuk pemisahan

senyawa-senyawa fenolat dalam tumbuh-tumbuhan. Senyawa-senyawa fenolat

yang berasal dari alam mempunyai sifat yang dapat larut dalam pelarut polar. Sifat

ini mendorong ke arah kemungkinan penggunaan KCKT fase terbalik dalam

analisis senyawa-senyawa fenolat. Waktu retensi yang cukup akan dicapai dengan

menggunakan kondisi asam untuk menghindarkan adanya bentuk terionisasi dari

analit (Waksmundzka-Hajnos, 1998). Oktadesilsilan (ODS, C18, RP-18) adalah

fase diam yang paling populer, baik untuk analisis secara umum maupun untuk

analisis senyawa-senyawa fenolat (Majors, 2001). Bahan-bahan fase-terbalik

lainnya (misalnya C8) jarang dipakai (Robards dan Antolovich, 1997), karena

produk itu tidak tersedia di pasaran (Majors, 2001). Walaupun demikian, tanin

terkondensasi tidak bisa dianalisis dengan menggunakan KCKT fase terbalik

karena senyawa itu terserap terlalu kuat pada fase diam (Schofield et al., 1998).

Oleh karena itu, tanin terkondensasi harus dianalisis dengan menggunakan teknik

KCKT fase normal (Waksmundzka-Hajnos, 1998).

Page 53: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

22

Eluen yang digunakan dalam analisis KCKT fase terbalik untuk senyawa-

senyawa fenolat adalah campuran zat pengubah pH air dengan pelarut organik

polar yang larut-air: metanol (MeOH), asetonitril (ACN) atau tetrahidrofuran

(THF). Walaupun THF mempunyai keuntungan tersendiri karena keselektifannya,

namun pelarut ini jarang dipakai karena mudah terurai, waktu kesetimbangannya

lama, beracun, dan serapan latar belakang ultravioletnya tinggi di bawah 240 nm

(Dolan, 2000). Namun demikian, beberapa metode yang menggunakan THF

sebagai pelarut organik dalam fase gerak telah dipublikasikan (Dick et al., 1987).

Pelarut-pelarut organik lain seperti 2-propanol dan n-butanol jarang dipakai dalam

fase gerak, namun bila dipakai, itu disebabkan terutama karena alasan

keselektifannya (Bronner dan Beecher, 1995).

Zat pengubah pH yang berupa senyawa organik pada konsentrasi rendah

dapat pula mempunyai pengaruh yang besar pada waktu retensi senyawa fenolat

(Arin et al., 1995). Sedangkan pH adalah salah satu faktor penting terutama dalam

pemisahan senyawa-senyawa yang dapat terionisasi seperti asam-asam fenolat.

Zat pengubah pH yang paling sering digunakan dalam metode KCKT fase terbalik

untuk senyawa-senyawa fenolat adalah asam formiat, asam asetat, asam

trifluoroasetat dan asam fosfat, serta buffer fosfat yang diatur pada pH asam untuk

mencapai bentuk tak terionisasi dari analit-analit fenolat (Robards dan

Antolovich, 1997, Waksmundzka-Hajnos, 1998).

2.3.2 Analisis Asam Fenolat

2.3.2.1 Teknik-teknik Ekstraksi dan Hidrolisis

Page 54: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

23

Pelarut yang lazim digunakan untuk ekstraksi asam-asam fenolat matriks

tumbuhan adalah etil asetat (Azar et al., 1987; Fernandez de Simon et al., 1990,

1992), dietil eter (Fernandes de Simon et al., 1990,1992) metanol atau metanol

berair (Kuninori dan Nishiyama, 1986; Torres et al., 1987; McRae et al., 1990;

Tomas-Lorente, 1992). Hidrolisis enzimatik dengan enzim -glukosidase (Kanes

et al., 1993) atau enzim hidrosinamoil-kuinat esterase (Goupy et al., 1990) telah

digunakan untuk analisis asam-asam fenolat. Namun demikian, hidrolisis asam

dan basa lebih lazim digunakan untuk penentuan asam-asam fenolat dalam

tumbuh-tumbuhan (Lee dan Widmer, 1996).

Hidrolisis asam untuk penentuan asam-asam fenolat telah dilakukan

dengan cara memanaskan sampel dengan asam klorida (HCl) selama 2 jam atau

lebih (Kuninori dan Nishiyama, 1986). Hidrolisis ester asam benzoat dan ester

asam sinamat dengan basa dapat dilakukan dengan natrium hidroksida (NaOH)

pada suhu kamar selama 4-24 jam (Seo dan Morr, 1984; Torres et al., 1987; Peleg

et al., 1991; Roussef et al., 1992a,b; Rommel dan Wrolstad, 1993a). Rommel dan

Wrolstad (1993a) menguji hidrolisis asam (HCl) dan basa (NaOH) dalam analisis

komposisi senyawa fenolat (asam elegat, asam hidroksibenzoat, asam

hidroksisinamat, favonol dan flavan-3-ol) dari air buah raspberi. Pola senyawa

fenolat sampel yang dihidrolisis basa sangat serupa dengan pola senyawa fenolat

sampel yang dihidrolisis asam. Hanya satu senyawa asam elegat terhidrolisis lebih

efektif dalam kondisi basa daripada dalam kondisi asam. Perolehan kembali

(recovery) sangat jelek (57-67 %) untuk asam hidroksisinamat yang diekstraksi

dari air buah setelah hidrolisis basa (Peleg et al., 1991). Namun demikian, Seo

dan Morr (1984) menemukan bahwa hidrolisis dengan NaOH menyebabkan

Page 55: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

24

perolehan kembali asam ferulat dari produk protein kedele lebih baik daripada

hidrolisis dengan HCl. Hollman dan Venema (1993) menguji ekstraksi dan

hidrolisis asam elegat dari kenari dan buah-buahan dengan menggunakan berbagai

konsentrasi HCl dan metanol dalam air bersama-sama dengan variasi lamanya

hidrolisis. Karakteristik hidrolisis elegitanin dari kenari (optimum HCl 5 M dalam

metanol 57% selama 1 jam) berbeda dari karakteristik hidrolisis buah-buahan

(optimum HCl 3,5 M dalam metanol 72% selama 4-8 jam). Pada umumnya,

optimisasi ekstraksi dan kondisi hidrolisis selalu diperlukan bila asam-asam

fenolat ditentukan kadarnya dari buah-buahan atau bahan tumbuhan lainnya (Lee

dan Widmer, 1996).

2.3.2.2 Teknik-teknik Kromatografi untuk Asam Fenolat

Pemakaian kromatografi lapis tipis (KLT) untuk analisis kuantitatif asam-

asam fenolat (Azar et al., 1987; Regnault-Roger et al., 1987; Srisuma et al., 1989)

biasanya dilakukan dengan menggunakan kromatografi fase-normal pada lapisan

tipis selulosa atau silika dan fase gerak campuran pelarut nonpolar (toluen,

dioksan atau benzena) dan zat pengubah organik polar (aseton, butanol, etanol

atau asam asetat). Keuntungan penapisan ekstrak sampel dengan KLT sebelum

analisis dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) adalah deteksi kotoran

yang bisa terserap pada fase diam dalam kolom KCKT, atau penentuan kondisi

pelarut yang perlu untuk berhasilnya pemisahan senyawa-senyawa fenolat

(Fernandez de Simon et al., 1992; Lee dan Widmer, 1996).

Pada tahun 1980-an, kromatografi gas (KG) digunakan untuk analisis

asam-asam fenolat dalam buah-buahan (Moller dan Hermann, 1983; Schuster dan

Page 56: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

25

Herrmann, 1985) dan sayur-sayuran (Huang et al., 1986). Namun demikian,

KCKT, terutama KCKT fase-terbalik, adalah metode pilihan dalam analisis asam-

asam fenolat. Sistem pelarut yang digunakan dalam analisis KCKT biasanya

meliputi elusi gradien biner dengan menggunakan pelarut larutan asam asetat,

asam formiat atau asam fosfat dalam air dengan memakai metanol atau asetonitril

sebagai zat pengubah kepolaran organik. Kekuatan ionik dan pH fase gerak

diketahui mempengaruhi retensi senyawa-senyawa fenolat dalam kolom yang

tergantung pada protonasi, disosiasi, atau disosiasi parsial (Marko-Varga dan

Barcelo, 1992). Perubahan pH yang meningkatkan ionisasi suatu sampel dapat

mengurangi retensi dalam pemisahan fase-terbalik. Jadi, sejumlah kecil asam

asetat (2-5%), asam formiat, asam fosfat atau asam trikloroasetat (0,1%)

dimasukkan ke dalam sistem pelarut untuk menekan ionisasi gugus fenolat dan

gugus karboksilat dan karena itu meningkatkan resolusi dan keterulangan proses

kromatografi.

2.3.3 Deteksi dan Identifikasi Senyawa-senyawa Fenolat

Senyawa-senyawa fenolat menyerap dalam daerah ultraviolet (UV) dan

detektor yang lazim dipakai untuk KCKT adalah detektor panjang gelombang

bervariasi UV atau UV-Visible (Lee dan Widmer, 1996; Robards dan Antolovich,

1997). Tidak ada satu panjang gelombang yang ideal untuk memantau semua

golongan senyawa fenolat kerena mereka memperlihatkan serapan maksimum

pada berbagai panjang gelombang (Delage et al., 1991). Kebanyakan turunan

asam benzoat memperlihatkan serapan maksimum pada 246-262 nm, kecuali

untuk asam galat dan asam siringat yang mempunyai serapan maksimum pada 271

Page 57: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

26

dan 275 nm, masing-masing (Torres et al., 1987). Turunan asam hidroksisinamat

menyerap pada dua daerah UV, satu serapan maksimum pada rentang 225-235 nm

dan satu lagi pada rentang 290-330 nm (Ribereau-Gayon, 1972). Pada 320 nm,

turunan asam sinamat dapat dideteksi tanpa gangguan dari turunan asam benzoat,

yang mempunyai daya serap lebih tinggi pada 254 nm. Namun demikian, deteksi

pada 280 nm adalah pilihan terbaik untuk penentuan kedua golongan senyawa

fenolat itu (Pussayanawin dan Wetzel, 1987). Rentang serapan pada panjang

gelombang 350-370 nm telah banyak digunakan untuk flavonol aglikon dan

panjang gelombang 280 nm untuk flavan-3-ol dan flavonol glikosida (Robard dan

Antolovich, 1997).

Luasnya penggunaan photo-diode array (PDA) dalam analisis flavonoid

dan asam fenolat dapat disebabkan oleh kemampuannya mengumpulkan spektrum

secara on-line (Hertog et al., 1992a,b; Rommel dan Wrolstad, 1993a,b; Justesen et

al., 1998) tanpa menggunakan teknik aliran-terhenti. Ini telah mendorong

banyaknya peningkatan analisis KCKT untuk tujuan identifikasi dan

membuktikan manfaat informasi kualitatif dalam analisis senyawa fenolat yang

didasarkan pada spektrum serapan (Jaworski dan Lee, 1987; Mazza dan Velioglu,

1992, Fernandez de Simon et al., 1992). PDA mempunyai tiga keuntungan utama:

deteksi panjang gelombang berganda, identifikasi puncak, dan penentuan

kemurnian puncak (Lee dan Widmer, 1996).

Deteksi fluoresensi lebih peka dan lebih selektif daripada deteksi UV.

Namun demikian, deteksi fluoresensi belum banyak dipakai pada analisis senyawa

fenolat (Lee dan Widmer, 1996). Dalam analisis senyawa fenolat dalam air jeruk,

deteksi fluoresensi memberikan keuntungan yang lebih baik daripada deteksi UV

Page 58: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

27

dalam kaitan dengan peningkatan keselektifan dan kepekaannya (Roussef et al.,

1992b). Deteksi fluoresensi telah dipakai pula untuk analisis asam-asam fenolat

dalam buah kesemak (Gorinstein, 1994), asam elegat dalam buah berry dan

kacang (Hollman dan Venema, 1993), dan flavonol (Hollman et al., 1996) dan

isomer resveratrol dalam plasma (Giachetti et al., 1999).

Deteksi elektrokimia sangat peka untuk senyawa-senyawa yang dapat

dioksidasi atau direduksi pada potensial voltage rendah. Deteksi elektrokimia

menjadi semakin penting untuk penentuan jumlah senyawa fenolat yang sangat

kecil, karena deteksi elektrokimia ini memperlihatkan kepekaan dan keselektifan

yang lebih meningkat dibandingkan dengan deteksi UV (van Sumere, 1989;

Akasbi et al., 1993). Deteksi elektrokimia telah digunakan untuk deteksi flavonol

dan asam fenolat dalam sayur-sayuran (Chiavari et al., 1988), minuman (Lunte,

1987), dan plasma (Erlund et al., 1999).

Metode gabungan kromatografi cair kinerja tinggi dengan spektrometri

massa (KCKT-SM) adalah metode yang yang cepat dan handal untuk analisis

struktur senyawa-senyawa fenolat yang tidak mudah menguap, semenjak teknik-

teknik yang lebih baik telah dikembangkan untuk pemisahan fase gerak cair

sebelum ionisasi (Careri et al., 1998). Pietta et al. (1994) memperlihatkan bahwa

termospray liquid chromatography (LC)-MS adalah suatu teknik yang sangat baik

untuk analisis flavonol glikosida dari tumbuhan obat. Flavan-3-ol (Lin et al.,

1993) dan berbagai golongan fenolat termasuk flavonol glikosida (Kiehne dan

Engelhardt, 1996) dalam teh telah diselidiki dengan menggunakan thermospray

LC-MS. Positive ion fast atom bambardment (FAB)-MS telah digunakan untuk

menyelidik ikatan glikosida dalam diglikosil flavonoid (Li dan Claeys, 1994).

Page 59: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

28

Electrospray dan variasinya adalah perkembangan yang lebih baru dalam

spektrometri massa ionisasi pada tekanan atmosfer (Robards dan Antolovich,

1997). Teknik gabungan HPLC-electospray ionisation (ESI)-MS memberikan

keuntungan dalam kaitannya dengan kepekaan dan kapasitas untuk analisis

senyawa-senyawa yang sangat polar dan labil secara termal (Robards dan

Antolovich, 1997; Careri et al., 1998). HPLC-ESI-MS telah digunakan utnuk

menyelidiki flavonoid dalam teh (Poon, 1998) dan dalam tomat dan plasma

(Mauri et al, 1999). Teknik atmospheric pressure ionisastion (API)-MS telah

digunakan untuk analisis flavonoid dalam buah-buahan dan sayur-sayuran

(Justesen et al., 1998).

2.4 Aktivitas Biologis Senyawa Fenolat Tumbuhan

Senyawa fenolat tersebar luas dalam tumbuhan. Salah satu kelompok

senyawa fenolat yang penting adalah senyawa flavonoid, yang penting dalam

menyumbang pada bau dan warna buah-buahan dan sayur-sayuran serta produk-

produk yang besasal darinya seperti anggur, teh dan coklat. Peranan biologis

beberapa senyawa fenolat sederhana lainnya tidak diketahui sepenuhnya;

senyawa-senyawa itu mungkin memainkan peranan sebagai bahan penyusun

untuk senyawa-senyawa lain atau dalam mekanisme pertahanan tumbuhan.

Senyawa-senyawa fenolat yang berhubungan dengan makanan pada umumnya

dianggap sebagai zat bukan-gizi dan manfaatnya yang mungkin bagi kesehatan

manusia baru akhir-akhir ini dipertimbangkan orang. Dewasa ini, banyak

perhatian ditujukan pada efek biologis senyawa-senyawa fenolat itu semenjak

ditemukan bukti bahwa makanan yang banyak mengandung buah-buahan dan

Page 60: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

29

sayur-sayuran terbukti dapat melindungi terhadap penyakit kardiovaskular dan

beberapa bentuk penyakit kanker (Block, 1992; Hertog et al., 1993; Block dan

Langseth, 1994). Semenjak radikal bebas oksigen dan peroksidasi lemak dianggap

terlibat dalam beberapa kondisi penyakit seperti aterosklerosis, kanker dan

inflamasi kronik, maka aktivitas antioksidan senyawa-senyawa fenolat telah

mendapat perhatian yang banyak (Halliwell, 1994). Akhir-akir ini telah ada

beberapa tinjauan tentang aktivitas antioksidan flavonoid (Bors et al., 1990; Rice-

Evans et al., 1996; Cook dan Saman, 1996), sedangkan informasi tentang

senyawa fenolat lainnya masih sedikit tersedia.

Walaupun banyak kemajuan penting dalam memahami aktivitas

aktioksidan senyawa-senyawa fenolat secara in vitro dan sejumlah kajian tentang

penyerapannya pada hewan, namun baru sedikit tersedia data baik tentang

penyerapan ataupun tentang efek antioksidan senyawa-senyawa ini secara in vivo

pada manusia. Bagian ini akan menguraikan pemahaman baru tentang aktivitas

antioksidan flavonoid dan asam fenolat, ketersediaan hayatinya dan metode-

metode untuk menilai efek antioksidannya secara in vivo.

2.4.1 Aktivitas Antioksidan Flavonoid dan Asam Fenolat

Radikal bebas dihasilkan dalam tubuh sebagai bagian metabolisme

normal, misalnya superoksida (O2-) dan nitrogen oksida (NO.) yang mempunyai

fungsi fisiologi penting. Pada umumnya, radikal bebas sangat reaktif dan dapat

menyerang lipid membran misalnya, yang menimbulkan radikal karbon yang

selanjutnya bereaksi dengan oksigen menghasilkan radikal peroksil yang bisa

menyerang asam-asam lemak berdekatan menghasilkan radikal karbon baru.

Page 61: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

30

Proses ini menyebabkan reaksi berantai yang menghasilkan produk peroksidasi

lipid (Halliwel, 1994). Dengan cara ini satu radikal saja bisa merusak banyak

molekul dengan memulai reaksi berantai peroksidasi lipid. Karena kuatnya sifat

merusak dari radikal bebas itu, maka tubuh mempunyai sejumlah mekanisme

pertahanan antioksidan yang meliputi enzim-enzim seperti superoksida dismutase,

katalase, transport tembaga dan besi serta protein cadangan, dan antioksidan-

antioksidan molekular baik yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak.

Stres oksidatif bisa timbul apabila pertahanan antioksidan tidak bisa mengatasi

produksi radikal bebas, dan ini bisa disebabkan oleh aksi racun-racun tertentu atau

karena stres fisiologis (Halliwell, 1994).

Flavonoid dan asam fenolat dapat bertindak sebagai antioksidan dengan

beberapa cara yang mungkin. Cara yang paling penting mungkin dengan meredam

radikal bebas karena fenolat dapat memutus reaksi berantai radikal bebas. Agar

suatu senyawa dapat didefinisikan sebagai antioksidan maka senyawa itu harus

memenuhi dua syarat: (i) apabila ada pada konsentrasi rendah dibandingkan

dengan substrat yang dapat dioksidasi ia dapat menunda atau mencegah oksidasi

substrat; (ii) radikal yang terbentuk pada fenolat harus stabil sehingga

mencegahnya bertindak sebagai radikal yang memperbanyak reaksi berantai

(Halliwell et al., 1995). Stabilisasi ini biasanya melalui delokalisasi, ikatan

hidrogen intramolekular atau dengan oksidasi lebih lanjut oleh reaksi dengan

radikal lipid lainnya (Shahidi dan Wanasundara, 1992). Sejumlah penelitian telah

dilakukan mengenai hubungan antara struktur-aktivitas antioksidan dari flavonoid

(Bors et al., 1990; Chen et al., 1996; Rice-Evans et al., 1996; Van Acker et al.,

Page 62: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

31

1996; Cao et al., 1997). Ciri struktur utama dari flavonoid yang diperlukan untuk

peredaman radikal yang efisien dapat diringkaskan sebagai berikut:

1. Struktur orto-dihidroksi (katekol) pada cincin B, untuk delokalisasi

elektron;

2. Ikatan rangkap 2,3 berkonjugasi dengan gugus fungsi 4-keto, memberikan

delokalisasi elektron dari cincin B;

3. Gugus hidroksil pada posisi 3 dan 5, memberikan ikatan hidrogen pada

gugus keton.

Ciri-ciri struktur ini dilukiskan dalam Gambar 8 berikut ini.

Gambar 2.8 Gugus-gugus yang penting untuk peredaman radikal bebas oleh senyawa flavonoid

Asam-asam fenolat bisa pula menjadi antioksidan yang baik, terutama

yang mempunyai struktur jenis-katekol seperti asam kafeat (Laranjiha et al., 1994;

Nardini et al., 1995; Abu-Amsha et al., 1996; Velkov et al., 2007). Beberapa

Page 63: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

32

penelitian baru-baru ini telah memperlihatkan bahwa asam-asam fenolat

sederhana yang berasal dari sel seperti asam 3-hidroksiantranilat bisa pula

menjadi ko-antioksidan yang efisien untuk alfa-tokofenol, dapat menghambat

peroksidasi lipoprotein dan lipid plasma pada manusia (Thomas et al., 1996).

Interaksi yang mungkin antara flavonoid dan asam fenolat dengan antioksidan

fisiologis lainnya seperti askorbat atau tokoferol adalah cara kerja antiokasidan

lainnya yang mungkin untuk senyawa-senyawa ini. Interaksi sinergistik dari

senyawa-senyawa antioksidan ini bisa dicontohkan dengan peningkatan efek

antiproliferatif kuersetin oleh asam askorbat, mungkin disebabkan oleh

kemampuannya melindungi fenolat dari penguraian oksidatif (Kandaswami et al.,

1993). Dengan cara yang sama, pencampuran low-density liprotein (LDL) dengan

askorbat dan asam kafeat atau asam kumarat menyebabkan perlindungan

sinergistik dari oksidasi yang disebabkan oleh ferilmioglobin (Vieira et al.,

1998a).

Selain struktur kimia, aktivitas antioksidan senyawa-senyawa fenolat

sangat dipengaruhi oleh interaksi yang rumit dalam sel makhluk hidup. Namun

demikian, upaya untuk menyederhanakan masalah ini telah dilakukan dengan

mencari hubungan langsung antara karakteristik molekul senyawa-senyawa

fenolat dengan aktivitas peredaman radikal bebas difenil pikril hidrazil (DPPH),

dengan mengabaikan kondisi lingkungan sel makhluk hidup (Velkov et al., 2007).

Struktur molekul senyawa-senyawa fenolat yang diselidiki dilukiskan dalam

Gambar 2.9 – 2.12 dan hasil pengukuran aktivitas antioksidan serta parameter

molekulnya disajikan dalam Tabel 2.2.

Butil hidroksi toluen (BHT): A1 = A5 = t-butil; A3 = CH3; A2 = A4 = H

OH

A1

A2

A3

A4

A5

Page 64: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

33

H

E1

E2

H

H

OE3

Butil hidroksi anisol 1 (BHA1): A2 = t-butil, A3 = OCH3, A1 = A4 = A5 = H Butil hidroksi anisol 2 (BHA 2): A1 = t-butil; A3 = OCH3; A2 = A4 = A5 = H

Tersier butil hidrokuinin (TBHK): A2 = t-butil; A1 = A4 = A5 = H

Asam hidroksikafeat

Gambar 2.9 Rumus struktur turunan fenolat dan asam dihidrokafeat

Asam sinamat B1 = B2 = B3 = B4 = B5 = H Asam o-kumarat B1 = OH, B2 = B3 = B4 = B5 = H Asam m-kumarat B2 = OH, B1 = B3 = B4 = B5 = H Asam p-kumarat B3 = OH, B1 = B2 = B4 = B5 = H Asam ferulat B2 = OCH3, B3 = OH, B1 = B4 = B5 = H Asam isoferulat B2 = OH, B3 = OCH3, B1 = B4 = B5 = H Asam kafeat B2 = B3 = OH, B1 = B4 = B5 = H Asam sinapat B2 = B4 = OCH3, B3 = OH, B1 = B5 = H Asam rosmarinat B3 = B4 = OH, B1 = B2 = H

B5 =

Asam klorogenat B2 = B3 = OH, B1 = B4 = H

B5 =

Gambar 2.10 Rumus struktur turunan asam sinamat

Tirosol: E2 = OH; E1 = E3 = H Hidroksitirosol: E1 = E2 = OH; E3 = H Oleuropein: E1 = E2 = OH; E3 =

H

B1

B2

B3

B4

OB5

O

OH

O

H

H

HO

HO

H

Page 65: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

34

Gambar 2.11 Rumus struktur turunan tirosol

Gambar 2.12 Rumus struktur -tokoferol dan trolox

Tabel 2.2 Aktivitas antioksidan senyawa fenolat dan parameter molekulnya (Velkov et al., 2007)

Keterangan: RSA = relative scavenging activity HOMO = highest occupied molecular orbital

Berdasarkan hasil penelitian Velkov et al. (2007) di atas, dapat

disimpulkan bahwa ada beberapa syarat untuk meramalkan aktivitas peredaman

radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat, yaitu:

1. Tersedianya gugus O-H pada sistem aromatik

2. Adanya substituen dengan efek elektronik induktif dan mesomerik positif

No. Senyawa Fenolat RSA, % Energi HOMO, eV

Panjang ikatan C-O, Ao

Kerapatan putaran pada atom O

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Asam dihidrokafeat Asam rosmarinat Asam kafeat Asam klorogenat Asam sinapat Asam ferulat Asam isoferulat Asam p-kumarat Hidroksitirosol Oleuropein Tirosol -Tokoferol Trolox TBHK BHA1 BHA2 BHT Asam o-kumarat Asam m-kumarat Asam sinamat

93,9 88,4 76,6 52,0 56,1 30,9 3,5 3,6

57,0 41,3 2,7

54,0 53,4 58,7 22,3 22,3 8,0 3,5 2,6 0,5

- 0,2221 - 0,2212 - 0,2291 - 0,2270 - 0,2238 - 0,2226 - 0,2243 - 0,2336 - 0,2195 - 0,2218 - 0,2256 - 0,1927 - 0,1975 - 0,2099 - 0,2064 - 0,2058 - 0,2294 - 0,2376 - 0,2421 - 0,2495

1,2601 1,2523 1,2843 1,2528 1,2453 1,2515 1,2510 1,2497 1,2603 1,2599 1,2594 1,2603 1,2597 1,2588 1,2598 1,2592 1,2575 1,2518 1,2597 1,2706

0,3461 0,2856 0,3801 0,2869 0,3151 0,3159 0,3754 0,3350 0,3446 0,3405 0,4049 0,3511 0,3552 0,3621 0,3794 0,3577 0,3476 0,3698 0,4234 0,5507

Page 66: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

35

3. Adanya ikatan hidrogen yang melibatkan gugus hidroksi yang dapat

terdisosiasi dan gugus fungsional yang berdekatan

Cara lain kerja antioksidan flavonoid, terutama dalam sistem oksidasi yang

menggunakan ion logam transisi seperti tembaga atau besi, adalah pembentukan

kompleks khelat dengan ion-ion logam itu. Pembentukan kompleks khelat dari

ion-ion logam katalitik bisa mencegah keterlibatannya dalam reaksi Fenton yang

dapat menimbulkan radikal hidroksil yang sangat reaktif (Halliwell et al., 1995).

H2O2 + Cu+ OH + OH- + Cu2+

Cu2+ + O2- Cu+ + O2

Kemampuan senyawa fenolat bereaksi dengan ion-ion logam bisa pula

mengubahnya menjadi pro-oksidan. Sebagai contoh, dalam suatu penelitian oleh

Cao et al. (1997) dengan menggunakan tiga sistem oksidasi yang berbeda-beda,

flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat terhadap radikal peroksil

yang dibangkitkan dari AAPH dan terhadap radikal hidroksil tetapi merupakan

pro-oksidan dengan Cu2+. Kemungkinan flavonoid dapat mereduksi Cu2+ menjadi

Cu+ dan karena itu memungkinkan terbentuknya radikal mula-mula. Asam kafeat

juga telah dibuktikan mempunyai aktivitas pro-oksidan pada oksidasi LDL yang

diinduksi Cu2+ (Yamanaka et al., 1997). Perlu dicatat bahwa aktivitas pro-oksidan

ini hanya terlihat pada fase perambatan oksidasi, tidak pada fase awal di mana

asam kafeat menghambat oksidasi lipoprotein, sesuai dengan temuan-temuan

terdahulu (Laranjiha et al., 1994; Nardini et al., 1995; Abu-Amsha et al., 1996).

Efek pro-oksidan yang mungkin dari flavonoid bisa menjadi penting

secara in vivo jika ion-ion logam transisi bebas terlihat dalam proses oksidasi.

Dalam tubuh manusia yang sehat, ion-ion logam kelihatannya lebih banyak

Page 67: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

36

diasingkan dalam bentuk yang tidak bisa mengkatalisis reaksi radikal bebas

(Halliwell dan Gutteridge, 1990). Akan tetapi, kerusakan pada jaringan bisa

melepaskan besi dan tembaga (Halliwell et al., 1992) dan ion-ion logam katalitik

telah diukur pada luka-luka aterosklerotik (Smith et al., 1992). Dalam hal ini

kemungkinan flavonoid bertindak sebagai pro-oksidan tidak dapat diabaikan.

Kerja biologis lainnya dari senyawa-senyawa fenolat mungkin berkaitan

erat dengan efeknya pada kesehatan manusia. Sebagai contoh, asam kafeat bisa

mempunyai efek sitoprotektif pada sel-sel endotelial yang berkaitan tidak hanya

dengan kerja antioksidannya tetapi juga dengan kemampuannya menghalangi

naiknya kalsium intraselular dalam merespon lipoprotein yang teroksidasi (Vieira

et al., 1998b). Beberapa senyawa fenolat bisa pula menghambat agregasi platelet

(Pace-Asciak et al., 1996), sementara senyawa fenolat lain bisa bertindak sebagai

penghambat faktor transkripsi inti NF-B (Natarajan et al., 1996). Kemampuan

senyawa-senyawa fenolat menangkap elektrofil mutagenik seperti reactive

nitrogen species (RNS) bisa pula melindungi molekul-molekul biologis dari

kerusakan (Kato et al., 1997).

Page 68: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

37

2.4.2 Absorpsi dan Ketersediaan Hayati Senyawa Fenolat

Pemahaman tentang absorpsi dan ketersediaan hayati senyawa-senyawa

fenolat, serta ukuran dan penanda efeknya pada kerusakan oksidatif secara in vivo,

perlu untuk menilai asupan makanan yang optimal dari senyawa-senyawa ini.

Walaupun data mengenai ketersediaan hayati senyawa-senyawa fenolat pada

manusia langka, namun ada bukti yang cukup menunjukkan bahwa flavonoid

diserap dalam jumlah yang banyak (Hollman, 1997). Flavonoid seperti kuersetin

dapat diserap baik sebagai aglikon bebas maupun glikosida, dan telah terdeteksi

dalam darah dan urin (Cova et al., 1992; Hollman et al., 1995). Ada beberapa

bukti bahwa absorpsi puncak bisa 2-3 jam setelah proses pencernaan (Hackett,

1983). Flavonoid yang diabsorpsi bisa membentuk konjugat seperti glukuronida

atau sulfat dalam hati. Metabolisme flavonoid ditentukan oleh pola

hidroksilasinya, senyawa-senyawa yang mempunyai hidroksilasi 5,7 dan 3’,4’

akan mudah terhidrolisis dan pemecahan cincin heterosiklik oleh degradasi

mikrobiologis dalam usus besar (Griffiths, 1982). Apakah hidrolisis flavonoid

glikosida perlu untuk absorpsi tidak pasti, walaupun metode-metode baru telah

mendeteksi flavonoid sebagai glikosida dalam plasma manusia (Panganga dan

Rice-Evans, 1997). Katekin adalah golongan flavonoid utama lainnya yang telah

terbukti diserap; senyawa itu ada dalam plasma setelah 1 jam dan juga terdeteksi

dalam sampel urine 24 jam setelah satu dosis oral tunggal (Lee et al., 1995).

Bukti selanjutnya untuk absorpsi flavonoid berasal dari sejumlah

penelitian dengan isoflavonoid. Konsentrasi daidzein dan genistein dalam plasma

ditemukan 15-40 kali lebih tinggi pada pria yang makan makanan Jepang

dibandingkan dengan pria yang makan makanan Eropah (Adlercreutz et al.,

Page 69: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

38

1993). Ini mencerminkan kandungan kedele (yang kaya dengan isoflavonoid)

yang tinggi dari makanan Jepang. Orang yang diberi makanan tambahan dengan

minuman kedele yang mengandung 2 mg isoflavon memperlihatkan konsentrasi

plasma 2 M setelah 6,5 jam (Xu et al., 1994).

Walaupun beberapa aspek metabolisme dan ketersediaan hayati flavonoid

masih belum banyak diketahui, namun ada cukup bukti menunjukkan bahwa

beberapa flavonoid dijumpai dalam plasma dalam konsentrasi yang cukup tinggi

untuk memberikan efek biologis. Kemajuan metodologi untuk mengukur

flavonoid dalam plasma akan terus memberikan informasi yang berharga dalam

bidang ini.

Informasi tentang absorpsi asam-asam fenolat pada manusia sangat

terbatas. Data penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa kadar asam kafeat

dalam plasma sangat meningkat dalam 1-4 jam setelah minum segelas anggur

merah (Croft, 1999). Peningkatan asam kafeat dalam plasma terjadi karena

penggunaan anggur merah dengan atau tanpa pengurangan alkohol (Gambar

2.13).

Gambar 2.13 Pengaruh pemberian anggur merah terhadap konsentrasi asam

kafeat dalam plasma darah (Croft, 1999)

Page 70: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

39

2.4.3 Metode-metode untuk Penilaian Kerusakan Oksidatif In Vivo

Pengembangan metode-metode yang sesuai dan biomarker untuk

menentukan kerusakan oksidatif pada manusia penting untuk penilaian

antioksidan (Halliwell, 1996). Sebagai contoh, metode-metode untuk penilaian

peroksidasi lipid total pada manusia telah dibatasi pada pengukuran ekskresi gas

hidrokarbon dalam udara pernapasan yang dihembuskan. Metode-metode ini

bersifat non-spesifik dan dipengaruhi oleh komponen-komponen dalam makanan

atau lingkungan (Halliwell, 1996). F2 isoprostana yang dibentuk oleh kerusakan

radikal bebas pada asam arakidonat dalam tubuh dapat diukur dalam plasma atau

urine dan bisa menjadi ukuran yang baik untuk peroksidasi lipid pada posisi

mantap (Morrow dan Roberts, 1996). Walaupun metode analisis yang ideal

memerlukan kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS), namun kit

immunoassay enzim komersial telah tersedia, dan pengukuran yang sesuai dengan

metode GC-MS telah dilaporkan (Wang et al., 1995). Untuk pengukuran

kerusakan DNA oksidatif, ekskresi 8-hidroksideoksiguanin dalam urin telah

digunakan tetapi masih mengalami beberapa masalah teknis serta kontribusi dari

asupan makanan (Halliwell, 1996).

Penilaian efek in vivo senyawa-senyawa fenolat makanan dapat menjadi

sangat sulit. Namun demikian, akhir-akhir ini, telah diselidiki efek antioksidan

senyawa fenolat dalam minuman seperti anggur merah terhadap oksidasi LDL

(Abu-Amsha et al., 1996). Oleh karena kerusakan oksidatif pada LDL telah

dihubungkan dengan timbulnya aterosklerosis dan penyakit jantung, maka

kandungan flavonoid yang tinggi pada anggur merah telah menjadi pertimbangan

kemungkinannya bermanfaat melawan penyakit jantung. Walaupun sejumlah

Page 71: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

40

penelitian in vitro jelas memperlihatkan efek antioksidan yang kuat dari senyawa

fenolat dalam anggur merah terhadap oksidasi LDL (Frankel et al., 1993; Abu-

Amsha et al., 1996; Puddey dan Croft, 1997), namun beberapa percobaan klinis

pada manusia telah memberikan hasil yang berlawanan (Fuhrman et al., 1995;

Sharpe et al., 1995; De Rijke et al., 1996). Ini mungkin timbul dari kenyataan

bahwa alkohol itu sendiri adalah pro-oksidan dan efek keseluruhan dari minuman

mungkin disebabkan oleh keseimbangan antara komponen pro-oksidannya dan

komponen antioksidannya (Puddey dan Croft, 1997). Selain itu, kebanyakan

penelitian menggunakan kerentanan oksidatif dari LDL terisolasi yang mungkin

tidak selalu berkaitan dengan kerusakan oksidatif yang terjadi in vivo. Lagi pula,

mungkin perlu mempertimbangkan lokasi senyawa-senyawa fenolat yang

mungkin secara in vivo. Dalam suatu penelitian yang menarik baru-baru ini,

Carbonneau et al. (1997) memberikan senyawa fenolat anggur merah kepada 20

orang sukarelawan, yang meningkat kapasitas antioksidan plasma mereka tetapi

tidak mempunyai pengaruh terhadap kemampuan oksidasi LDL terisolasi. Diduga

bahwa senyawa-senyawa fenolat itu bisa bekerja dalam fase air atau pada

permukaan partikel-partikel lipoprotein, dan diduga bahwa ini mungkin terlepas

dari partikel-partikel itu selama tahap dialisis dalam isolasi lipoprotein.

2.5 Mutu dan Standardisasi Obat Bahan Alam

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat telah mendorong

perkembangan obat bahan alam, yang meliputi peningkatan mutu, keamanan,

penemuan indikasi baru dan formulasi. Obat bahan alam yang diproduksi di

Indonesia disebut obat bahan alam Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta

Page 72: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

41

jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiatnya, obat bahan alam

Indonesia dikelompokkan menjadi jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.

Jamu harus memenuhi kriteria: aman sesuai dengan persyaratan yang berlaku,

klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data emperis dan memenuhi persyaratan

mutu yang berlaku. Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria: aman sesuai

denyan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra

klinik, telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam

produk jadinya dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Sedangkan

fitofarmaka harus memenuhi kriteria: aman sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan uji klinik, telah dilakukan

standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadinya dan

memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (BPOM, 2004a).

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahan obat bahan alam harus aman,

berkhasiat (manjur), bermutu dan bahan bakunya terstandardisasi. Oleh karena itu

obat bahan alam Indonesia harus terjamin keamanan, kasiat dan mutunya. Untuk

menjamin mutu obat bahan alam itu perlu dilakukan standardisasi terhadap bahan

baku dan produk jadinya.

2.5.1 Definisi Mutu Obat Bahan Alam

Mutu obat dapat didefinisikan sebagai status suatu obat, yang ditentukan

baik dengan identitas, kemurnian, kandungan, dan sifat-sifat kimia, fisika dan

biologis lainnya, ataupun dengan proses pembuatan (Bauer, 1998). Agar obat

bahan alam (terutama fitofarmaka) dapat dipakai sebagai obat yang aman dan

manjur, maka definisi ini harus berlaku pula pada obat bahan alam (fitofarmaka)

Page 73: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

42

2.5.2 Kesulitan dalam pengendalian mutu obat bahan alam

Semua bahan (alam atau sintetis) yang digunakan untuk pengobatan

manusia dan hewan harus telah terbukti mutu, kemanan dan kemanjurannya. Akan

tetapi, dibandingkan dengan obat-obat sintetis, kriteria dan cara pengendalian

mutu, keamanan dan kemanjuran obat bahan alam jauh lebih rumit. Ada beberapa

aspek yang mempengaruhi mutu obat bahan alam, yang tidak ada pada obat

sintetis. Aspek-aspek tersebut menimbulkan kesulitan dalam pengendalian mutu

obat bahan alam.

1. Obat bahan alam selalu merupakan campuran dari banyak komponen.

Campuran ini jauh lebih sulit dikarakterisasi daripada senyawa murni.

Oleh karena itu, senyawa-senyawa yang diisolasi dari bahan alam atau

senyawa bahan alam murni tidak digolongkan sebagai obat bahan alam

tetapi sebagai zat kimia murni (WHO, 2000).

2. Zat aktif dalam obat bahan alam tidak selalu diketahui dengan pasti. Zat

aktif itu bahkan mungkin berupa campuran beberapa senyawa yang

berbeda-beda golongannya. Sebagai contoh, bunga kamil (Chamomilla

recutita (L.) Rauschert II) mengandung beberapa golongan zat aktif

farmakologis, yaitu minyak atsiri, poliasetilen, terpenoid, flavonoid,

kumarin dan polisakarida (Carle, Fleischhauer dan Fehr 1987). Karena

banyaknya golongan senyawa yang aktif dalam obat bahan alam itu, maka

sulit menetapkan kriteria mutunya secara menyeluruh.

3. Tumbuhan obat mengalami variasi alamiah. Oleh karena itu, mutu

tumbuhan obat yang dikumpulkan dari tempat yang berbeda-beda bisa saja

sangat bervariasi. Salah satu strategi untuk menjaga agar variasi ini kecil

Page 74: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

43

adalah dengan cara budidaya (penanaman). Namun demikian, kadang-

kadang masih ada kemovarietas pada tanaman obat yang dibudidayakan

itu sehingga bisa mempengaruhi mutu produk obat bahan alam. Sebagai

contoh, berbagai kemokultivar bunga kamil ada di pasaran, yang berbeda

komposisi minyak atsirinya dan dapat dibedakan dengan analisis

kromatografi gas (Gambar 2.14) (Carle et al., 1987).

4. Pemanenan, pengeringan dan penyimpanan. Cara pemanenan, pengeringan

dan penyimpanan dapat pula mempengaruhi mutu bahan mentah obat

bahan alam. Oleh karena itu, prosedur pemanenan, pengeringan dan

penyimpanan harus distandardisasi sebaik mungkin.

Gambar 2.14 Kromatogram gas minyak atsiri dari kemokultivar bunga kamil (Carle et al., 1987)

Page 75: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

44

5. Pengolahan bahan mentah menjadi produk jadi. Cara pengolahan bahan

mentah obat bahan alam menjadi produk jadi dapat mempengaruhi

konstituen yang ada dalam bahan tersebut sehingga akhirnya

mempengaruhi mutu produk jadinya. Kepolaran pelarutan yang berbeda-

beda dan cara ekstraksi yang berbeda-beda dapat menghasilkan ekstrak

yang sangat berbeda konsentrasi konstituennya. Selain itu, ketidakstabilan

beberapa konstituen bisa mempengaruhi komposisi ekstrak. Sebagai

contoh, apabila bunga kamil diekstraksi dengan alkohol yang berbeda-

beda, seperti metanol, etanol dan isopropanol, maka ekstrak yang

dihasilkan mempunyai mutu yang berbeda-beda dalam hal konsentrasi

flavonoidnya (Gambar 2.15) (Bauer, 1998)

Gambar 2.15 Pengaruh cara ekstraksi dan kepolaran pelarut terhadap kandungan flavonoid dalam ekstrak bunga kamil (Bauer, 1998)

Page 76: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

45

6. Pengaruh enzim-enzim dalam obat bahan alam. Jika penguraian secara

enzimatik terjadi dalam obat bahan alam, etanol 50% pun mungkin tidak

cukup untuk menstabilkan produk obat bahan alam. Sebagai contoh, pada

ekstraksi bunga kamil, hidrolisis enzimatik apigenin-7-O-glikosida masih

tetap terjadi walaupun menggunakan konsentrasi alkohol yang tinggi

untuk ekstraksi (Schreiber et al., 1990). Proses enzimatik menimbulkan

situasi di mana ekstrak yang lebih polar mengandung aglikon yang kurang

polar (apigenin) yang lebih tinggi konsentrasinya daripada ekstrak yang

dibuat dengan pelarut yang tinggi kadar alkoholnya (lihat Gambar 2.16).

Oleh karena itu, pengendalian enzim dapat pula menjadi masalah penting

dalam standardisasi sediaan obat bahan alam.

Gambar 2.16 Hidrolisis enzimatik apigenin-7-O-glikosida selama ekstraksi

bunga kamil dengan berbagai campuran etanol/air (Bauer, 1998)

Dengan mengingat aspek-aspek di atas, maka proses pengolahan obat

bahan alam yang distandardisasi merupakan persyaratan dasar untuk penetapan

mutu sediaan obat bahan alam yang reprodusibel dan reliabel. Mutu hanya dapat

Page 77: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

46

dihasilkan, tidak dapat dipindahkan ke dalam suatu produk dengan menggunakan

metode-metode analisis. Oleh karena proses pengolahan yang berbeda-beda dapat

menyebabkan mutu ekstrak yang berbeda-beda pula, maka setiap produk obat

bahan alam harus memenuhi kriteria mutu tertentu.

2.5.3 Parameter Mutu Obat Bahan Alam

Untuk pengendalian mutu obat bahan alam, perlu ditetapkan kriteria mutu

dan spesifikasi masing-masing untuk setiap obat bahan alam dalam bentuk

“monografi” atau “master file”. Kriteria mutu dan spesifikasi ini bisa serupa

dengan monografi dalam farmakope tetapi biasanya lebih luas daripada monografi

farmakope. Parameter standar umum untuk ekstrak tumbuhan obat Indonesia telah

dipublikasi oleh Depkes RI (2000). WHO (2000) telah membuat pedoman

penilaian mutu obat bahan alam. Di samping itu, monografi ekstrak beberapa

tumbuhan obat Indonesia telah ditetapkan oleh BPOM RI (2004b; 2006). Selain

itu, beberapa artikel dapat dijumpai dalam literatur untuk membantu dalam

melaksanakan pedoman-pedoman di atas.

2.5.3.1 Parameter Mutu Menurut WHO

WHO (2000) menegaskan bahwa penilaian mutu obat bahan alam harus

merujuk kepada monografi farmakope jika ada. Jika monografi farmakope obat

bahan alam itu belum ada, maka suatu monografi harus dibuat dan disusun seperti

yang ada dalam farmakope. Dalam penilaian mutu obat bahan alam, WHO

mengelompokkan obat bahan alam menjadi tiga jenis, yaitu: bahan tumbuhan

mentah, sediaan tumbuhan dan produk jadi.

Page 78: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

47

1. Bahan tumbuhan mentah

Pada monografi bahan tumbuhan mentah, definisi botani, termasuk genus,

spesies dan sumber, harus diberikan untuk menjamin identifikasi yang

benar suatu tumbuhan obat. Definisi dan uraian tentang bagian tumbuhan

yang digunakan (misalnya daun, bunga, batang atau akar) harus diberikan,

disertai dengan petunjuk apakah bahan segar, bahan kering atau bahan

yang diperoses secara tradisional yang digunakan. Konstituen aktif dan

konstituen khas harus ditetapkan dan, jika mungkin, batas-batas

kandungan konstituen tersebut harus ditetapkan. Benda asing, kotoran dan

kandungan mikroba harus ditentukan atau dibatasi. Spesimen contoh yang

mewakili setiap kelompok bahan tanaman yang diproses, harus disahkan

oleh ahli botani dan harus disimpan sekurang-kurangnya selama 10 tahun.

Nomor lot harus dibuat dan ini harus kelihatan pada label produk.

2. Sediaan tumbuhan obat

Sediaan tumbuhan obat meliputi bahan tanaman yang dijadikan serbuk,

ekstrak, tingtur, lemak atau minyak atsiri, perasan buah dan sediaan-

sediaan yang pembuatannya melibatkan fraksinasi, pemurnian atau

pemekatan. Pada monografi sediaan tumbuhan obat, prosedur

pembuatannya harus diuraikan secara rinci. Jika bahan lain ditambahkan

selama pembuatan untuk mengatur sediaan tumbuhan obat itu terhadap

kadar zat aktif atau zat penanda tertentu atau untuk sembarang tujuan

lainnya, maka bahan tambahan itu harus disebutkan dalam prosedur

pembuatan. Metode untuk identifikasi dan, bila mungkin, untuk analisis

sediaan tumbuhan obat itu harus ditambahkan. Jika identifikasi suatu zat

Page 79: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

48

aktif tidak mungkin, maka cukuplah mengidentifikasi suatu senyawa

penanda atau campuran senyawa (misalnya “sidik jari kromatografi”)

untuk menjamin mutu yang konsisten dari sediaan tumbuhan obat itu.

3. Produk jadi

Pada monografi produk jadi, formula dan prosedur pembuatannya,

termasuk jumlah bahan pembantu, harus diuraikan secara rinci. Spesifikasi

produk jadi itu harus ditetapkan. Metode identifikasi dan, bila mungkin,

metode kuantifikasi bahan tumbuhan dalam produk jadi harus ditetapkan.

Jika identifikasi zat aktif tidak mungkin, maka cukuplah mengidentifikasi

senyawa penanda atau campuran senyawa (misalnya “sidik jari

kromatografi”) untuk menjamin mutu yang konsisten dari produk jadi itu.

Produk jadi harus memenuhi persyaratan umum untuk bentuk sediaan

tertentu.

2.5.3.2 Paramater Mutu Menurut Departemen Kesehatan RI

Depkes RI (2000) telah menetapkan parameter umum ekstrak tumbuhan

obat. Parameter ini digunakan untuk menyusun standar mutu, keamanan dan

kemanfaatan ekstrak tumbuhan obat. Secara umum, parameter mutu ekstrak

tumbuhan obat terdiri atas dua bagian, yaitu parameter non-spesifik dan parameter

spesifik.

Parameter mutu non-spesifik untuk ekstrak tumbuhan obat meliputi:

parameter susut pengeringan,

parameter bobot jenis,

parameter kadar air,

Page 80: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

49

parameter kadar abu,

parameter sisa pelarut,

parameter residu pestisida,

parameter cemaran logam berat,

parameter cemaran mikroba,

parameter cemaran kapang, kamir dan aflatoksin.

Parameter susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah

pengeringan pada temperatur 105 oC selama 30 menit atau sampai berat konstan,

yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak

mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap), parameter susut

pengeringan identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di

atmosfer atau lingkungan udara terbuka. Parameter susut pengeringan ini

bertujuan untuk memberikan batasan maksimal besarnya senyawa yang hilang

pada proses pengeringan. Nilai parameter ini mempunyai rentang yang

diperbolehkan dan terkait dengan kemurnian serta kontaminasi ekstrak tumbuhan

obat.

Parameter bobot jenis adalah massa per satuan volume pada suhu kamar

tertentu (25 oC). Parameter ini ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat

lainnya. Parameter bobot jenis bertujuan untuk memberikan batasan besarnya

massa per satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai

ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang. Selain itu, parameter bobot jenis

juga bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan kimia terlarut. Parameter

ini mempunyai nilai minimal atau rentang yang diperbolehkan. Nilai parameter ini

terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat.

Page 81: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

50

Parameter kadar air adalah penentuan kandungan air yang berada di dalam

bahan, yang dilakukan dengan cara yang tepat seperti cara titrasi, destilasi atau

gravimetri. Parameter ini bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau

rentang tentang besarnya kandungan air dalam ekstrak tumbuhan obat. Nilai

parameter ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat.

Parameter kadar abu ditentukan dengan cara pemanasan bahan pada

temperatur tinggi sehingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan

menguap. Hasil pemanasan itu adalah unsur mineral dan senyawa anorganik.

Parameter kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral

internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.

Parameter kadar abu mempunyai nilai maksimal atau rentang yang diperbolehkan.

Nilai ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat.

Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa pelarut tertentu

(yang memang ditambahkan) dalam ekstrak tumbuhan obat. Pada umumnya sisa

pelarut ini ditentukan dengan kromatografi gas. Sebagai contoh penentuan kadar

alkohol dalam ekstrak cair. Untuk ekstrak kental dan ekstrak kering, parameter ini

bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa selama proses pembuatan ekstrak

tidak tersisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk

ekstrak cair, parameter ini bertujuan untuk menunjukkan jumlah pelarut (alkohol)

sesuai dengan yang ditetapkan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal yang

diperbolehkan, tetapi dalam hal pelarut berbahaya seperti kloroform, nilai

parameter ini harus negatif sesuai dengan batas deteksi instrumen. Nilai parameter

ini juga terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat.

Page 82: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

51

Parameter residu pestisida adalah penentuan kandungan sisa pestisida yang

mungkin saja pernah ditambahkan atau mencemari bahan simplesia untuk

pembuatan ekstrak. Parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa

ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena

berbahaya bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang

yang diperbolehkan. Parameter ini terkait dengan kontaminasi sisa pertanian.

Parameter cemaran logam berat adalah penentuan kandungan logam berat

secara spektroskopi serapan atom atau cara lainnya yang lebih valid. Parameter ini

bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam

berat tertentu (Hg, Pb, Cd, As) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya

bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang yang

diperbolehkan dalam ekstrak tumbuhan obat.

Parameter cemaran mikroba adalah penentuan (identifikasi) adanya

mikroba patogen dengan cara analisis mikrobiologis. Parameter ini bertujuan

untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba

patogen dan tidak mengandung mikroba non-patogen melebihi batas yang

ditetapkan. Mikroba ini berpengaruh terhadap kestabilan ekstrak dan berbahaya

bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang yang

diperolehkan dalam ekstrak tumbuhaan obat.

Parameter cemaran kapang, khamir dan aflatoksin adalah penentuan

adanya jamur dengan cara mikrobiologis dan penentuan adanya aflatoksin dengan

cara kromatografi lapis tipis. Parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan

bahwa ekstrak tidak mengandung cemaran jamur melebihi batas yang ditetapkan

karena jamur berpengaruh terhadap kestabilan ekstrak dan aflatoksin berbahaya

Page 83: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

52

bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang yang

diperbolehkan dalam ekstrak tumbuhan obat.

Parameter mutu spesifik untuk ekstrak tumbuhan obat meliputi:

Parameter identitas

Parameter organoleptik

Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Uji kandungan kimia

Parameter identitas ekstrak tumbuhan obat meliputi:

Deskripsi tata nama:

o Nama ekstrak (nama generik, nama dagang, nama paten)

o Nama latin tumbuhan obat (sistematika botani)

o Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsb.)

o Nama Indonesia tumbuhan

Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas, artinya senyawa tertentu

yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu

Parameter identitas ekstrak bertujuan untuk memberikan identitas objektif

dari nama dan identitas spesifik dari senyawa identitas.

Parameter organoleptik ekstrak adalah penggunaan panca indera untuk

mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa ekstrak tubuhan obat sebagai berikut:

Bentuk : padat, sebuk-kering, kental, cair

Warna : kuning, coklat, dll.

Bau : aromatik, tidak berbau, dll.

Rasa: pahit, manis, kelat, dll

Page 84: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

53

Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu adalah penentuan

jumlah senyawa yang terlarut dalam pelarut air, etanol, heksana atau

diklorometana dengan metode gravimetri. Parameter ini bertujuan untuk

memberikan gambaran awal jumlah senyawa kimia yang terkandung dalam

ekstrak obat bahan alam. Parameter ini mempunyai nilai monimal atau rentang

yang ditetapkan terlebih dahulu untuk setiap ekstrak tumbuhan obat.

Uji kandungan kimia ekstrak tumbuhan obat meliputi:

Parameter pola kromatogram

Parameter kadar total golongan kandungan kimia

Parameter kadar kandungan kimia tertentu

Parameter pola kromatogram ekstrak tumbuhan obat dapat ditentukan

dengan cara mengekstraksi ekstrak dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian

melakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang

khas. Pola kromatogram itu bertujuan untuk memberikan gambaran awal

komposisi kandungan kimia ekstrak berdasarkan pola kromatogram dari

kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau

kromatografi gas (KG). Pola kromatogram itu dibandingkan dengan data baku

yang ditetapkan terlebih dahulu.

Parameter kadar total golongan kandungan kimia ditentukan dengan

metode spektrofotometri, titrimetri, gravimetri atau metode lainnya. Metode

tersebut harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas

linearitasnya. Ada beberapa golongan kandungan kimia yang dapat dikembangkan

dan ditetapkan metodenya, yaitu:

Golongan minyak atsiri

Page 85: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

54

Golongan steroid

Golongan tanin

Golongan flavonoid

Golongan triterpenoid (saponin)

Golongan alkaloid

Golongan antrakinon

Parameter kadar total golongan kandungan kimia bertujuan untuk

memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu

ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis. Parameter ini mempunyai

nilai minimal atau rentang yang telah ditetapkan.

Parameter kadar kandungan kimia tertentu adalah penentuan kadar

kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama atau

kandungan kimia lainnya. Penetapan kadar senyawa ini dapat ditentukan dengan

densitometer, kromatografi gas, kromatografi cair kinerja tinggi atau instrumen

lain yang sesuai. Metode penetapan kadar itu harus diuji terlebih dahulu

validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linearitas, ketelitian, ketepatan dan

lain-lain.

2.5.4 Pengendalian Mutu Obat Bahan Alam

Obat bahan alam dan sediaan-sediaannya telah banyak digunakan selama

ratusan tahun di negara-negara timur seperti Cina, Korea, Jepang, India dan

Indonesia. Salah satu sifat khas sediaan obat bahan alam timur adalah bahwa

semua obat bahan alam itu, baik yang disajikan sebagai tumbuhan obat tunggal

ataupun sebagai kumpulan dari beberapa tumbuhan obat, diekstraksi dengan air

Page 86: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

55

mendidih selama proses perebusan. Karena itu pengendalian mutu obat bahan

alam lebih sulit daripada pengendalian mutu obat sintetis (Liang et al., 2004).

Walupun demikian, penelitian tentang keamanan dan kemanjuran obat bahan alam

harus dimajukan, dan mutu penelitian harus ditingkatkan. Penilaian mutu obat

bahan alam harus merujuk kepada monografi farmakope jika ada. Jika monografi

seperti itu tidak ada, maka monografi obat bahan alam itu harus disusun (WHO,

2000).

Untuk menilai mutu dan keaslian atau kebenaran obat bahan alam

biasanya digunakan satu atau lebih zat penanda atau komponen aktif farmakologis

yang ada dalam tumbuhan obat atau campuran tumbuhan obat. Akan tetapi,

penentuan satu atau lebih senyawa penanda itu tidak memberikan gambaran yang

lengkap tentang produk obat bahan alam, karena konstituen gabungan biasanya

bertanggung jawab terhadap efek terapinya. Konstituen gabungan ini bisa bekerja

‘secara sinergistik’ dan susah dipisahkan menjadi bagian-bagian aktif. Selain itu,

konstituen kimia dalam tumbuhan obat yang menyusun produk obat bahan alam

bisa bervariasi tergantung pada musim panen, asal tumbuhan, proses pengeringan

dan faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, kelihatannya perlu menentukan

sebagian besar konstituen fitokimia produk bahan alam untuk menjamin

keandalan dan keterulangan penelitian farmakologis dan penelitian klinis, untuk

memahami bioaktivitas dan efek samping yang mungkin dari senyawa aktif itu

dan untuk meningkatkan pengawasan mutu produk (Bauer, 1998).

Untuk menentukan sebagian besar konstituen fitokimia dalam obat bahan

alam dapat digunakan beberapa teknik kromatografi, seperti kromatografi cair

kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas (KG), elektroforesis kapiler (EK) dan

Page 87: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

56

kromatografi lapis tipis (KLT). Dengan cara ini, produk bahan alam keseluruhan

dapat dianggap sebagai ‘senyawa’ aktif. Untuk menjamin konsistensi ‘senyawa’

aktif dalam produk obat bahan alam, maka konsep fitoekivalensi telah

dikembangkan di Jerman (Tyler, 1999). Menurut konsep ini, profil kimia, seperti

sidik jari kromatografi, untuk produk obat bahan alam harus dibuat dan

dibandingkan dengan profil kimia produk pembanding yang telah terbukti secara

klinis.

Menurut definisi, sidik jari kromatografi suatu obat bahan alam adalah

pola kromatografi ekstrak untuk beberapa komponen kimia umum yang aktif

secara farmakologis dan atau khas secara kimia (Li et al., 2004). Pola

kromatografi ini harus ditonjolkan dengan sifat-sifat dasar “kejelasan” dan

“ketidakjelasan” atau “persamaan” dan “perbedaan” untuk bisa menunjukkan

secara kimia obat bahan alam yang diselidiki. Dengan bantuan sidik jari

kromatografi yang diperoleh, kebenaran dan identifikasi obat bahan alam dapat

dilakukan dengan teliti (“kejelasan”) walaupun jumlah dan/atau konsentrasi

konstituen yang khas secara kimia tidak tepat sama pada berbagai sampel obat

bahan alam ini (“ketidakjelasan”) atau, sidik jari kromatografi dapat

memperlihatkan baik “persamaan” maupun “perbedaan” antar berbagai sampel.

Jadi, kita harus mempertimbangkan secara serentak berbagai konsituen dalam

ekstrak obat bahan alam, dan tidak mempertimbangkan secara individu hanya satu

atau dua komponen penanda saja untuk menilai mutu produk obat bahan alam.

Bagaimanapun, dalam setiap obat bahan alam dan ekstraknya, ada ratusan

komponen yang tidak diketahui dan banyak di antaranya dalam jumlah yang kecil.

Selain itu, biasanya ada variabilitas di dalam bahan mentah obat bahan alam yang

Page 88: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

57

sama (Bauer, 1998). Akibatnya, untuk memperoleh sidik jari kromatografi yang

dapat diandalkan untuk menunjukkan komponen aktif farmakologis dan

komponen khas secara kimia bukanlah pekerjaan yang mudah. Untunglah,

kromatografi mempunyai kemampuan pemisahan yang sangat kuat, sehingga

komponen-komponen kimia yang rumit dalam ekstrak obat bahan alam dapat

dipisahkan menjadi beberapa sub-fraksi yang agak sederhana. Selanjutnya,

pendekatan baru dengan menggunakan teknik gabungan kromatografi dan

spektrometri seperti kromatografi cair kinerja tinggi-diode array detection

(KCKT-DAD), kromatografi gas-spektroskopi massa (KG-SM), elektroforesis

kapiler-diode array detection (EK-DAD), KCKT-SM dan KCKT-RMI, dapat

memberikan informasi spektrum tambahan, yang akan sangat membantu untuk

analisis kualitatif dan bahkan untuk elusidasi struktur secara langsung. Dengan

bantuan informasi spektrum itu, alat-alat gabungan itu memperlihatkan unjuk

kerja yang sangat baik dalam kaitannya dengan peniadaan gangguan instrumental,

koreksi pergeseran waktu retensi, selektivitas, kemampuan pemisahan

kromatografi, keseksamaan pengukuran. Jika kromatografi gabungan itu

selanjutnya digabung lagi dengan pendekatan kemometri, maka gambaran yang

lebih jelas bisa dikembangkan untuk menilai sidik jari kromatografi yang

diperoleh. Sidik jari kimia yang diperoleh dengan kromatografi gabungan itu akan

menjadi alat utama untuk pengendalian mutu obat bahan alam (Welsh et al., 1996;

Lazarowych dan Pekos, 1998; Valentao et al., 1999).

Page 89: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

58

2.5.4.1 Metode Kromatografi

Pada umumnya, metode-metode untuk pengendalian mutu obat bahan

alam melibatkan pemeriksaan dengan panca indera (pemeriksaan makroskopis

dan mikroskopis) dan pemeriksaan kimia dengan menggunakan teknik-teknik

instrumental seperti KLT, KCKT, KG-MS, KC-MS, inframerah dekat, dan

spektrofotometer lainnya. Selain itu, metode-metode ekstraksi dan penyiapan

sampel juga sangat penting dalam pembuatan sidik jari yang baik untuk obat

bahan alam. Namun demikian, di sini hanya akan dibahas bagaimana cara

membuat profil fitokimia yang baik dan evaluasinya untuk tujuan pengendalian

mutu.

2.5.4.1.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

KLT adalah metode pilihan yang lazim untuk analisis obat bahan alam

sebelum metode kromatografi instrumental seperti KG dan KCKT diciptakan.

Bahkan dewasa ini, KLT masih sering digunakan untuk analisis obat bahan alam

karena berbagai farmakope masih menggunakan KLT untuk memberikan ciri khas

pertama sidik jari tumbuhan obat. KLT bisa pula digunakan secara bersamaan

untuk identifikasi kualitatif dan penentuan kadar senyawa penanda dalam obat

bahan alam (Cheng et al., 2005). Malahan, KLT digunakan sebagai suatu metode

yang lebih mudah untuk penapisan awal dengan evaluasi semikuantitatif bersama-

sama dengan teknik-teknik kromatografi lainnya (Qian et al., 2007).

KLT mempunyai banyak keuntungan untuk mendeteksi komponen aktif

atau penanda dalam analisis obat bahan alam. Selain itu, KLT agak sederhana dan

dapat digunakan untuk analisis banyak sampel sekaligus. Untuk setiap plat, lebih

Page 90: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

59

dari 30 noda sampel dapat dipelajari secara bersamaan dalam satu waktu. Karena

itu, penggunaan KLT untuk menganalisis obat bahan alam masih populer dewasa

ini (Ramírez-Durón et al., 2007).

Keuntungan menggunakan KLT untuk membuat sidik jari obat bahan alam

adalah kesederhanaannya, keluasan penggunaannya, kecepatannya tinggi,

kepekaannya dan penyiapan sampelnya sederhana. Dengan demikian, KLT adalah

suatu metode yang baik sekali untuk menentukan mutu dan kemungkinan

pemalsuan produk obat bahan alam.

Selain itu, KLT dapat pula digunakan untuk menentukan bioaktivitas obat

bahan alam. Sebagai contoh, untuk menilai kapasitas antioksidan dan mutu obat

tradisional Cina Gu et al. (2006) menggunakan metode KLT-bioautografi.

Kromatogram KLT dari ekstrak sampel yang telah dikembangkan dengan pelarut

tertentu, disemprot dengan larutan DPPH dalam etanol. Luas noda yang

menghilangkan warna larutan DPPH diukur untuk menunjukkan kapasitas

antioksidan obat bahan alam yang diuji itu. KLT-bioautografi ini dapat digunakan

tidak hanya untuk penapisan komponen yang mempunyai potensi antioksidan

tetapi juga untuk penilaian mutu obat bahan alam pada waktu yang sama, dan

metode ini terbukti selektif, sederhana dan dapat direproduksi.

2.5.4.1.2 Kromatografi Gas

Beberapa komponen aktif farmakologis dalam obat bahan alam adalah

senyawa yang dapat menguap. Karena itu, analisis senyawa yang dapat menguap

dengan kromatografi gas (KG) sangat penting dalam analisis obat bahan alam.

Analisis KG minyak menguap (minyak atsiri) mempunyai banyak keuntungan.

Page 91: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

60

Pertama, KG minyak menguap memberikan “sidik jari” yang pantas yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi tumbuhan. Komposisi dan konsentrasi relatif

senyawa organik dalam minyak atsiri merupakan ciri khas tumbuhan tertentu dan

adanya kotoran dalam minyak atsiri dapat dideteksi dengan mudah. Kedua,

ekstraksi minyak atsiri agak lebih jelas dan dapat distandardisasi dan komponen-

komponennya dapat diidentifikasi dengan mudah dengan menggunakan analisis

KG-SM. Jumlah relatif komponen-komponen itu dapat digunakan untuk

memantau atau menilai ciri-ciri khas tertentu obat bahan alam. Perubahan

komposisi minyak atsiri bisa pula digunakan sebagai indikator terjadinya oksidasi,

perubahan enzimatik atau fermentasi mikroba.

Keuntungan KG jelas terletak pada kepekaan deteksinya yang tinggi untuk

hampir semua senyawa kimia yang dapat menguap. Ini terutama berlaku untuk

deteksi FID biasa dan KG-SM. Selain itu, selektivitas kapiler kolom yang tinggi

memungkinkan pemisahan beberapa senyawa yang dapat menguap secara

bersamaan dalam waktu yang cukup singkat. Dengan demikian, pada dasawarsa

yang lalu, KG merupakan alat analitik yang populer dan bermanfaat dalam bidang

penelitian obat bahan alam, terutama teknik kromatografi gas yang digabung

dengan spektrometri massa (Yan et al., 2006; Li et al., 2007).

Sebaliknya, kelemahan KG adalah bahwa ia tidak cocok untuk analisis

sampel yang mengandung senyawa polar dan senyawa yang tidak mudah

menguap. Untuk senyawa-senyawa seperti ini, perlu pengolahan sampel terlebih

dahulu seperti derivatisasi. Salah satu contoh terbaru penggunaan kromatografi

gas dalam pengendalian mutu obat bahan alam adalah identifikasi dan penentuan

Page 92: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

61

kadar 11 konstituen flavonoid dalam Kaempferia parviflora (Sutthanut et al.,

2007).

2.5.4.1.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

KCKT adalah suatu metode yang banyak digunakan untuk analisis obat

bahan alam karena mudahnya mempelajari dan menggunakannya serta tidak

dibatasi oleh kemudahan menguap atau kestabilan senyawa sampel. Pada

umumnya, KCKT dapat digunakan untuk menganalisis hampir semua senyawa

dalam obat bahan alam. Karena itu, akhir-akhir ini, KCKT banyak digunakan

dalam analisis obat bahan alam (Qian et al., 2007). Kolom fase terbalik adalah

kolom yang paling banyak digunakan dalam analisis obat bahan alam.

Dalam pemakaian KCKT untuk analisis obat bahan alam perlu

diperhatikan bahwa kondisi pemisahan yang optimal dipengaruhi oleh beberapa

faktor, seperti misalnya komposisi fase gerak, pengaturan pH dan tekanan pompa.

Oleh karena itu, rancangan percobaan yang baik untuk mendapatkan pemisahan

yang baik sangat diperlukan. Untuk memperoleh pemisahan yang lebih baik,

beberapa teknik baru telah dikembangkan akhir-akhir ini dalam bidang penelitian

kromatografi cair. Salah satu contoh teknik KCKT yang telah dikembangkan

adalah penggabungan KCKT dengan electrospray ionization (ESI), spektrometri

massa (SM) dan photodiode array detection (DAD) untuk mengidentifikasi dan

mengkarakterisasi flavonoid dalam sediaan obat bahan alam Cina (Wang et al.,

2008).

Page 93: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

62

2.5.4.2 Metode Elektroforetik

Elektroforesis kapiler diperkenalkan pada awal tahun 1980-an sebagai

suatu teknik pemisahan dan analitik yang sangat kuat dan sejak itu telah

berkembang pesat. Metode ini dapat digunakan untuk analisis komponen-

komponen sampel yang bermuatan mulai dari ion anorganik sederhana sampai

DNA. Dengan demikian, metode elektroforetik, terutama elektroforesis kapiler,

sangat banyak digunakan dalam analisis obat bahan alam akhir-akhir ini.

Beberapa contoh pengembangan dan pemakaian metode elektroforetik akan

dibahas berikut ini.

Teknik-teknik yang berdasarkan elektroforesis kapiler telah dikembangkan

untuk analisis alkaloid dalam obat bahan alam Cina. Teknik analisis alkaloid

dalam ekstrak air dan ekstrak bukan air dari tumbuhan obat Cina itu

dikembangkan dengan menggabungkan elektroforesis kapiler dan diode array

detection (CE-DAD) dan mengabungan elektroforesis kapiler dengan spektrometri

massa (CE-MS). Teknik ini dapat mengidentifikasi dan menentukan kadar tujuh

alkaloid protoberberin dan satu alkaloid aporphinoid dalam rhizoma coptidis

(Chen et al., 2008).

2.5.4.3 Metode Gabungan

Dalam dua dasawarsa terakhir ini, penggabungan sistem pemisahan

kromatografi secara langsung dengan detektor spektroskopi untuk memperoleh

informasi struktur analit yang ada dalam sampel telah menjadi pendekatan yang

sangat penting untuk identifikasi dan/atau penegasan identitas target dan senyawa

kimia yang tidak diketahui. Untuk sebagian besar masalah dalam bidang

Page 94: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

63

penelitian obat bahan alam, gabungan kromatografi cair kolom atau kromatografi

gas kapiler dengan spektrometer UV-Vis atau spektrometer massa menjadi

pendekatan yang lebih disukai untuk analisis obat bahan alam.

2.5.4.3.1 Gabungan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa

Spektrometri massa adalah metode yang sangat sensitif dan selektif untuk

analisis molekular dan dapat menghasilkan informasi mengenai berat molekul

serta struktur molekul. Gabungan kromatografi dengan spektrometri massa

memberikan keuntungan baik bagi kromatografi sebagai metode pemisahan

maupun bagi spektrometri massa sebagai metode identifikasi. Pada spektrometri

massa, ada sejumlah metode untuk mengionkan senyawa dan kemudian

memisahkan ion-ion itu. Metode pengionan yang lazim digunakan bersama-sama

dengan kromatografi gas adalah electron impact (EI) dan electron capture impact

(ECI). EI terutama digunakan untuk memilih ion positif, sedangkan ECI biasanya

digunakan untuk ion negatif. EI terutama berguna untuk analisis sehari-hari dan

memberikan spektrum massa yang dapat direproduksi sehingga memberikan

informasi struktural. Salah satu contoh pemakaian gabungan kromatografi gas-

spektrometri massa adalah identifikasi dan penilaian mutu sediaan obat bahan

alam Houttuynia cordata (Lu et al., 2006).

Dengan teknik gabungan kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS),

dapat dihasilkan tidak hanya sidik jari kromatografi minyak atsiri dalam obat

bahan alam, tetapi juga informasi yang berkaitan dengan komposisi kualitatif dan

kuantitatifnya. Karena itu, jika teknik ini digunakan dalam analisi obat bahan

alam, ada dua keuntungan yang nyata, yaitu: (1) dengan kolom kapiler, GC-MS

Page 95: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

64

pada umumnya mempunyai kemampuan pemisahan yang sangat baik, yang dapat

menghasilkan sidik jari kimia yang bermutu tinggi; (2) dengan spektroskopi

massa yang digabung itu dan database spektrum massa yang bersesuaian,

informasi kualitatif dan kuantitatif tentang tumbuhan obat yang diselidiki dapat

diberikan oleh GC-MS, yang akan bermanfaat untuk menjelaskan hubungan

antara konstituen kimia dan efek farmakologinya dalam penelitian selanjutnya.

Dengan demikian, GC-MS akan menjadi alat yang sangat disukai untuk analisis

senyawa kimia yang dapat menguap dalam obat bahan alam.

2.5.4.3.2 Gabungan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)-DAD

Penggabungan kromatografi cair kinerja tinggi dengan diode aray

detection (KCKT-DAD) telah menjadi teknik yang lazim di kebanyakan

laboratorium analitik di dunia dewasa ini. Dengan adanya informasi spektrum UV

tambahan, analisis kualitatif sampel-sampel yang rumit dalam obat bahan alam

ternyata lebih mudah daripada sebelumnya. Sebagai contoh, analisis kualitatif

dilakukan dengan memeriksa kemurnian puncak dan membandingkan spektrum

standar senyawa kimia yang diketahui dengan spektrum senyawa dalam sampel

yang diselidiki. Dengan berkembangnya spektrometri massa elektrospray,

penggabungan kromatografi cair dan spektometri massa telah membuka cara baru

untuk pemakaian secara luas pada analisis obat bahan alam. Sidik jari

kromatogafi KCKT dapat digunakan selanjutnya untuk dokumentasi ekstrak

herbal lengkap yang mengandung lebih banyak informasi dan analisis kualitatif

secara langsung menjadi mungkin untuk dilakukan.

Page 96: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

65

2.6 Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC)

2.6.1 Tinjauan Botani Daun Dewa

Klasifikasi (Davies, 1979, 1980; Bosch, 2004):

Superregnum : Eukaryota

Regnum : Plantae

Divisio : Magnoliophyta (Spermatophyta)

Classis : Magnoliopsida (Dicotyledonae)

Ordo : Asterales

Familia : Asteraceae (Compositae)

Subfamilia : Asteroideae

Tribus : Senecioneae

Genus : Gynura

Species : Gynura pseudochina (L.) DC.

Sinonim:

Gynura segetum (Lour.) Merr.

Gynura miniata Welv.

Nama Daerah (Depkes RI, 1989):

Daun Dewa (Melayu, Jawa Tengah)

Beluntas Cina (Sumatera)

Sabungai (Filipina)

San Qi Cao (Cina)

Deskripsi:

Tumbuhan daun dewa adalah tumbuhan semak semusim, tingginya 10-25

cm. Batangnya lunak, bulat, berambut halus, warna ungu kehijauan. Daunnya

Page 97: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

66

tunggal, bentuk bulat telur, tersebar mengelilingi batang, berbulu lebat, ujung

tumpul, tepi bertoreh, pangkal meruncing, pertulangan daun menyirip, permukaan

atas hijau, permukaan bawah ungu. Bunganya majemuk berbentuk bongkol,

berbulu, tangkai bungan 20 – 30 cm, kelopak hijau berbentuk cawan, mahkota 1-

1,5 cm, benang sari berwarna kuning, bentuk jarum. Buah kecil berwarna coklat.

Bijinya berbentuk jarum, panjang ± 0,5 cm, warna coklat. Akarnya membentuk

umbi, panjang 5-8 cm, penampang 3-5 cm. Kulit umbi berwarna keabu-abuan,

sedangkan daging umbinya tampak bening sampai keruh (Davies, 1979, 1980;

Bosch, 2004). Sosok tumbuhan ini diperlihatkan pada Gambar 2.17.

Gambar 2.17 Sosok tumbuhan daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) (Koleksi Pribadi) dan herbariumnya (Koleksi Natural History Museum, London, UK, BM000924534)

Kegunaan:

Di Indononesia, secara tradisional daun dewa digunakan untuk obat

demam (antipiretik) (Depkes RI, 1989), kanker, kencing manis, tekanan darah

tinggi dan penyakit kulit (obat luar) (Soedibyo, 1998). Selain itu daun dewa juga

Page 98: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

67

digunakan untuk pengobatan penyakit ginjal dan ruam-ruam pada muka (Perry,

1980).

Di Nigeria, daun dewa digunakan sebagai sayur dan untuk obat demam

serta sakit mata. Di Asia daun dewa digunakan untuk mengurangi iritasi kulit

yang disebabkan oleh sengatan serangga, jerawat dan memar, dan untuk

menyembuhkan skabies dan luka bakar. Daun, batang dan umbi dipercayai

mempunyai aktivitas hemostatik, antipiretik dan kekebalan tubuh. Bagian-bagian

tumbuhan ini digunakan untuk mengatur haid, mengobati tumor payudara, infeksi

herpes dan sakit tenggorokan (Bosch, 2004).

2.6.2 Tinjauan Fitokimia Daun Dewa

Hasil penapisan fitokimia daun dewa menunjukkan adanya senyawa

golongan alkaloid, flavonoid, tanin, steroid dan triterpenoid (Sajuthi et al. 2000).

Pada penelitian lain simplisia daun dewa diekstraksi secara refluks menggunakan

pelarut etanol 95%, dilanjutkan dengan fraksinasi ekstrak secara ekstraksi cair-

cair dan pemisahan lebih lanjut secara kromatografi kertas. Satu senyawa

golongan flavonoid telah diisolasi dari fraksi ekstrak etanol dan dikarakterisasi

secara spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak. Berdasarkan telaah data

spektrum ultraviolet-sinar tampak, isolat termasuk flavonol yang tersubstitusi

dengan gula pada posisi 3-O dan 7-O serta memiliki gugus hidroksi pada posisi C-

5, C-3’ dan C-4’. Isolat ini diduga kuersetin 3,7-O-diglikosida (Herwindriandita,

2006). Zaini (2006) melaporkan bahwa komponen bioaktif terhadap larva udang

dari daun dewa adalah senyawa golongan flavonoid yang mempunyai gugus

fungsi O-H, C=O keton, C=C aromatik dan C-O.

Page 99: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

68

Hasil penapisan fitokimia simplisia umbi daun dewa menunjukkan adanya

senyawa steroid/triterpenoid, alkaloid dan flavonoid. Serbuk simplisia umbi daun

dewa diekstraksi secara refluks berturut-turut menggunakan n-heksana, etil asetat

dan etanol. Ekstrak etil asetat difraksinasi secara kromatografi cair vakum dengan

21 macam komposisi eluen. Isolat dimurnikan secara kromatografi lapis tipis

preparatif, kemudian dikarakterisasi menggunakan penampak bercak spesifik,

spektrofotometer ultraviolet-sinar tampak dan spektrofotometer inframerah.

Dengan demikian diperoleh satu isolat dari fraksi etil asetat, yang merupakan

senyawa triterpenoid dengan gugus –OH, -CH2-, -CH3, C=O dan tidak

mempunyai ikatan rangkat terkonjugasi (Ayuningsih, 2006).

Penelitian sebelumnya menunjukkan, daun dewa mengandung enam jenis

alkaloid, tetapi baru empat jenis alkaloid yang dapat diidentifikasi berdasarkan

data spektrumnya (Yuan et al., 1990). Keempat alkaloid itu adalah: senecionine,

seneciphylline, seneciphyllinine dan seneciphyllinine N-oxide. Sedangkan Fu et

al. (2002) menemukan alkaloid pirolizidina (senecionine dan seneciphylline)

dalam daun dewa yang digunakan dalam obat herbal Cina.

Baru-baru ini, Qi et al. (2009) menemukan 20 jenis senyawa dalam daun

dewa, tiga di antaranya adalah alkoloid pirolizidina dan satu alkaloid pirolizina N-

oksida. Alkaloid pirolizidina itu adalah seneciphylline, senecionine dan

seneciphyllinine. Sedangkan alkaloid pirolizidina N-oksida adalah

seneciphyllinine N-oxide. Enam belas senyawa lainnya dilaporkan pertama kali

terdapat dalam daun dewa dan tetrahydrosenecionine belum pernah dilaporkan

sebelumnya sebagai bahan alam. Kadar alkaloid pirolizidina tersebut dapat

ditentukan secara bersamaan dengan metode KCKT fase terbalik (Yang et al.,

Page 100: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

69

2009), dengan metode kromatografi kapiler elektrokinetik miselar (KKEM) (Qi et

al., 2009) dan dengan TLC Scanner (Hutajulu et al., 2009).

Pewnim dan Thadaniti (1988) melaporkan kandungan enzim peroksidase

dalam daun dewa. Aktivitas enzim peroksidase itu adalah 1.600 unit/mg protein

pada akar, 625 unit/mg protein pada batang dan 90 unit/mg protein pada daun dari

tumbuhan daun dewa. Selanjutnya Pewnim (1993) membuktikan bahwa enzim

peroksidase yang terdapat dalam daun dari tumbuhan daun dewa terdiri atas dua

jenis enzim isoperoksidase. Enzim itu dapat dipakai untuk penentuan kadar

glukosa.

Dengan melakukan fraksinasi, isolasi dan identifikasi ekstrak metanol

daun dewa yang dituntun dengan uji antiinflamasi, Siriwatanametanon dan

Heinrich (2011) mendapatkan empat senyawa baru yang belum pernah dilaporkan

dari tumbuhan ini. Keempat senyawa itu adalah kuersetin-3-rutinosida, asam 3,5-

di-kafeilkuinat, asam 4,5-di-kafeilkuinat dan asam 5-mono-kafeilkuinat.

2.6.3 Tinjauan Farmakologi Daun Dewa

2.6.3.1 Antikanker

Sajuthi et al. (2000) melaporkan bahwa ekstrak heksana dari daun dewa

menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap larva udang laut. LC50 ekstrak ini

adalah 159,7 ppm yang menunjukkan bahwa ekstrak ini berpeluang sebagai obat

anti kanker. Sedangkan ekstrak etanol daun dewa memberikan aktivitas sitotoksik

yang dapat menghambat 56% pertumbuhan sel kanker HeLa pada konsentrasi

1.000 ppm dibandingkan dengan kontrol.

Page 101: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

70

Selanjutnya, Sajuthi (2001) melaporkan bahwa uji toksisitas ekstrak semi

polar dari daun dewa terhadap sel kanker menghasilkan persen penghambatan

pada sel HeLa sebesar 3,03 – 42,4%, sel Hep-2 sebesar 20,3 – 24,1% dan pada sel

Raji sebesar 5,3 – 25,2%. Sedangkan ekstrak polar pada konsentrasi 250 ppm

menghasilkan persen penghambatan pada sel HeLa sebesar 13,3 – 22,7%, sel

Hep-2 sebesar 22,2 – 41,7% dan sel Raji sebesar 12,8 – 46,6%. Dengan demikian,

fraksi polar ternyata cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan sel kanker

jenis limpoma secara in vitro. Aktivitas antikanker daun dewa juga telah

dibuktikan oleh Siriwatanametanon et al. (2010) dengan menggunakan sel HeLa,

sel CCRF-CEM leukemia manusia dan sel CEM/ADR5000 multidrug-resistant.

Hasil penelitian ini memperkuat dasar penggunaan daun dewa secara tradisional

sebagai obat kanker (Mangan, 2003).

2.6.3.2 Obat Luka

Novayanti (2009) telah meneliti pengaruh ekstrak daun dewa (Gynura

pseudochina (Lour.)DC.) terhadap perdarahan dan koagulasi pada tikus putih

(Rattus norwegicus L.) jantan strain Wistar. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa ekstrak daun dewa dapat mempercepat waktu perdarahan, waktu koagulasi

dan mampu berfungsi sebagai antiseptik. Ekstrak daun dewa 60% mempercepat

waktu perdarahan secara sangat bermakna dengan rata-rata waktu 31 detik,

sedangkan ekstrak daun dewa 45% mempercepat waktu koagulasi secara

bermakna dengan rata-rata waktu 13 detik. Tingkat kesembuhan tikus

membutuhkan waktu rata-rata 10 hari pada setiap perlakuan. Selain itu, perasan

Page 102: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

71

daun dewa dapat mempercepat pembekuan darah pada tikus percobaan (Prihanti,

2008).

2.6.3.3 Antikolesterol

Abdullah (2005) telah melakukan penelitian pengaruh pemberian ekstrak

etanol daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC.) terhadap kadar kolesterol

total, kolesterol HDL, kolesterol HDL dan serum tikus jantan yang diberi diet

tinggi kolesterol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak

etanol daun dewa dapat menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL.

Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun dewa dapat

menaikkan kadar kolesterol HDL. Dengan demikian daun dewa berpotensi

sebagai obat untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Selain itu, ekstrak

etanol daun dewa dapat menurunkan keparahan aterosklerosis pada burung puyuh

yang diinduksi dengan makanan berlemak tinggi (Zerizka, 2009)

2.6.3.4 Penghambat Aktivitas Enzim Lipase

Ekstrak kasar daun dewa yang dibuat dengan cara sokletasi memakai

metanol sebagai pelarut mengandung senyawa alkaloid. Ekstrak ini dapat

menghambat aktivitas enzim lipase yang diperoleh dari bakteri Bacillus subtilis.

Kondisi optimum aktivitas enzim lipase pada pH 7, waktu inkubasi 8 menit dan

konsentrasi substrat 2,5% dapat dihambat oleh ekstrak kasar daun dewa 60

mg/mL dengan aktivitas 1,25 µmol/mL.menit (Khalifah, 2008).

Page 103: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

72

2.6.3.5 Antiinflamasi dan Analgesik

Daun dewa yang digunakan sebagai obat tradisional di Thailand telah

terbukti dapat menunjukkan efek antiinflamasi secara in vitro

(Siriwatanametanon, et al., 2011). Namun demikian, efek antiinflamasinya secara

in vivo perlu diteliti lebih lanjut untuk memperkuat dasar ilmiah penggunaannya

secara tradisional.

Infus daun dewa 5% dan 10% dapat menghambat respon rasa nyeri

meskipun daya hambatnya tidak sebanding dengan metampiron. Sedangkan infus

daun dewa 20% menunjukkan efek analgesik yang setara dengan metampiron.

Makin tinggi konsentrasi infus daun dewa, makin tinggi pula hambatan respon

rasa nyerinya (Putri, 2006).

2.6.3.6 Antioksidan

Daya antioksidan daun dewa telah dibuktikan secara in vitro menggunakan

metode DPPH, peroksidasi-lipid dan Folin-Ciocalteau (Siriwatanametanon et al.,

2011). Daya antioksidan daun dewa ini dipengaruhi oleh proses pengeringan

(Deswati, 2009) dan jenis pelarut yang dipakai untuk ekstraksinya (Mariani,

2010).

2.6.3.7 Penurunan Kadar Asam Urat Darah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol (Fitria, 2008) dan

dekokta (Astari, 2008) daun dewa dapat menurunkan kadar asam urat darah

mencit putih jantan yang diinduksi dengan kalium oksonat. Ini memperkuat dasar

penggunaan daun dewa sebagai obat tradisional untuk penyakit rematik.

Page 104: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

73

2.6.4 Pengawasan Mutu Simplisia dan Ekstrak Daun Dewa

Monografi simplisia daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) belum

ada dalam Materia Medika Indonesia dan monografi lainnya. Namun demikian,

simplisia daun sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) harus

memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Materia Media Indonesia

(Depkes RI, 1989). Menurut persyaratan itu simplisia daun sambung nyawa harus

mengandung minyak atsiri dan flavonoid, tetapi tidak disebut berapa kadarnya dan

bagaimana cara menentukannya. Selain itu, identifikasi simplisia ini dilakukan

dengan beberapa uji kimia dan kromatografi lapis tipis. Namun demikian, tidak

ada uji yang spesifik untuk simplisia ini, apalagi untuk simpilisia dewa dewa

(Gynura pseudochina (Lour.) DC).

Mutu ekstrak daun sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.)

harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Monografi Ekstrak Tumbuhan

Obat Indonesia (BPOM RI, 2004b). Berdasarkan monografi tersebut, ekstrak

kental daun sambung nyawa adalah ekstrak yang dibuat dari tumbuhan Gynura

procumbens (Lour.) Mer., suku Asteraceae, mengandung flavonoid tidak kurang

dari 4%. Ekstrak itu dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 70%. Satu

bagian serbuk kering daun dewa dimasukkan ke dalam maserator, ditambah 10

bagian etanol 70%, direndam selama 6 jam sambil sekali-sekali diaduk. Maserat

dipisahkan dan proses diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama.

Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan penguap vakum hingga

diperoleh ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh ditimbang dan dicatat.

Rendemen tidak kurang dari 5,9%.

Page 105: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

74

Ekstrak daun sambung nyawa yang memenuhi syarat monografi itu

berbentuk kental, warna coklat, bau tidak khas dan rasa agak pahit. Ekstrak itu

dikenali dengan kandungan kimianya senyawa flavonoid dengan komponen utama

7-asetil-5-hidroksi-3-metoksi-4’-ribosilflavon. Selain itu, ekstrak ini harus

memenuhi parameter nonspesifik, yaitu kadar air tidak lebih dari 10,6%, kadar

abu total tidak lebih dari 30,1%, kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 5,6%,

residu pestisida fosfor organik dan klor organik tidak lebih dari 5 g/kg, cemaran

logam berat Pb tidak lebih dari 10 mg/kg, Cd tidak lebih dari 0,3 mg/kg dan As

tidak lebih dari 10 g/kg, cemaran aflatoksin tidak lebih dari 20 g/kg dan

cemaran mikroba: angka lempeng total tidak lebih dari 10 koloni/g, angka

kapang/khamir tidak lebih dari 10 koloni/g dan bakteri patogen negatif.

Berdasarkan kajian literatur sampai dengan pertengahan tahun 2011,

standardisasi mutu ekstrak daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) belum

ada, sedangkan standardisasi ekstrak daun sambung nyawa (Gynura procumbens

(Lour.) Merr.) belum mencakup karakteristiknya dengan profil KLT, KCKT atau

KG. Selain itu, standardisasi mutunya belum ada yang mengungkapkan tentang

aktivitas biologis, terutama yang berkaitan dengan daya antioksidannya.

Walaupun persyaratan kadar flavonoid total telah dinyatakan dalam monografi

beberapa ekstrak tumbuhan obat, namun persyaratan kadar senyawa fenolik total

belum ada, sedangkan senyawa fenolik ini sangat erat kaitannya dengan daya

antioksidannya.

Page 106: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

75

2.7 Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.)

2.7.1 Tinjauan Botani Jambu Biji

Klasifikasi tumbuhan jambu biji menurut USDA (2011) adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)

Superdivision : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Division : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Class : Magnoliosida (dicotyledonae, tumbuhan biji berkeping)

Subclass : Rosidae

Ordo : Myrtales

Family : Myrtaceae

Genus : Psidium

Species : Psidium guajava L.

Deskripsi tumbuhan jambu biji adalah sebagai berikut:

Tumbuhan jambu biji berupa semak atau pohon, tinggi 3 meter sampai 10

meter, kulit batang halus permukaannya, berwarna coklat dan mudah mengelupas.

Daun tunggal, bertangkai pendek, panjang tangkai daun 0,5 cm sampai 1 cm; helai

daun berbentuk bundar telur agak menjorong atau bulat memanjang, panjang 5 cm

sampai 13 cm, lebar 3 cm sampai 6 cm; pinggir daun rata agak menggulung ke

atas; permukaan atas agak licin, warna hijau kelabu, kelenjar minyak tampak

sebagai bintik-bintik yang tembus cahaya; ibu tulang daun dan tulang cabang

menonjol pada permukaan bawah, bertulang menyirip, warna putih kehijauan.

Perbungaan terdiri dari 1 sampai 3 bunga, panjang gagang perbungaan 2 cm

Page 107: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

76

sampai 4 cm, panjang kelopak 7 mm sampai 10 mm, tajuk berbentuk bundar telur

sunsang, panjang 1,5 cm sampai 2 cm. Buah bentuk bulat telur, kalau masak

berwarna kuning, panjang 5 cm sampai 8,5 cm, berdaging yang menyelimuti biji-

biji dan masa berwarna kuning merah jambu (Depkes, 1980). Sosok tumbuhan

jambu biji diperlihatkan dalam Gambar 2.18.

Gambar 2.18 Sosok tumbuhan jambu biji

2.7.2 Tinjauan Fitokimia Jambu Biji

Kajian fitokimia daun jambu biji menunjukkan bahwa kandungan kimia

daun jambu biji dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan senyawa, yaitu:

flavonoid, tanin dan isoprenoid (Metwally et al., 2011).

1. Senyawa Flavonoid

Page 108: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

77

i. Kuersetin dan glikosidanya: avikularin, guajaverin, isokuersetin,

hiperin, kuersitrin, kuersetin 3-O--D-arabinopiranosida, kuersetin 3-O-

gentiobiosida dan kuersetin 4’-glukuronoida.

ii. Senyawa flavonoid lain meliputi morin-3-O-α-L-liksopiranosida, morin-

3-O-α-L-arabinopiranosida, kaempferol, luteolin-7-O-glukosida dan

apigenin-7-O-glukosida.

2. Senyawa Tanin

i. Amritosida (asam elegat 4-gentiobiosida)

ii. Guavin A, B, C dan D

iii. Isostriktinin, striktinin dan pedunkulagin (antidiabetes)

iv. (+)-galokatekin (antimutagenik)

3. Senyawa Isoprenoid

i. Monoterpen: karyofilen oksoda, -selinen, 1,8-sineol, α-pinen, mirsen, -

elemen, d-limonen, karyofilen, linalool, eugenol, -bisabolol, -bisabolen,

-seskuifelandren, metil 2-metil-tiazolidin-4-(R)-karboksilat (cis dan trans),

etil 2-metil-tiazolidin-4-(R)-karboksilat (cis dan trans), aromadendren, α-

dan -selinen, karyofelen epoksida, karyofiladienol, (e)-nerolidol, selin-11-

en-4-alfa-ol.

ii. Terpenoid: asam guavanoat, asam guavakumarat, asam guajanoat, asam

ursolat, asam 2α-hidroksiursolat, asam maslinat, asam asiatat, asam

jakumarat, asam isoneriukumarat, asam guajavanoat, guajavolida dan

asam guavenoat.

2.7.3 Tinjauan Farmakologi Jambu Biji

Page 109: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

78

Kajian farmakologis terhadap daun jambu biji membuktikan bahwa daun

jambu biji mempunyai berbagai aksi farmasologis. Beberapa aksi farmakologis

daun jambu biji yang menonjol adalah sebagai berikut (Metwally et al., 2011;

Dutta & Das, 2011):

1. Kerja sebagai obat batuk

2. Aktivitas spasmolitik

3. Aktivitas antibakteri

4. Aktivitas antiamuba

5. Aktivitas antijamur

6. Aktivitas antidiare

7. Aktivitas antisestoda

8. Aktivitas antidiabetik, hipoglikemik dan anti-hiperlipidemik

9. Aktivitas antioksidan

10. Efek kardioprotektif

11. Aktivitas antimutagenik

12. Aktivitas penghambatan enzim retroviral reverse trascriptase

13. Aktivitas penekanan sistem saraf pusat

14. Aktivitas antinosiseptif/analgesik

15. Aktivitas anti-inflamasi

16. Efek pada tekanan darah arteri

17. Aktivitas antiulcer

18. Aktivitas hepatoprotektif

2.8 Tumbuhan Meniran (Phyllanthus niruri L.)

2.8.1 Tinjauan Botani Tumbuhan Meniran

Page 110: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

79

Klasifikasi (Anonim, 2011):

Kingdom: Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Sub Kelas: Rosidae

Ordo: Euphorbiales

Famili: Euphorbiaceae

Genus: Phyllanthus

Spesies: Phyllanthus niruri L.

Nama umum:

Indonesia: Meniran

Melayu: Dukung anak

Pilipina: Sampa sampalukan

Sinonim:

Nama lain dari Phyllanthus niruri L. adalah P. urinaria L., P. alatus

Bl., P. cantonensis Hornem., P. echinathus Wall., P. lepidocarpus Sieb. et Zuc.,

P. leptocarpus Weigh, (Dalimarta, 2008).

Morfologi:

Meniran merupakan tumbuhan terna semusim, tegak, tinggi hingga 1

m. Batang bulat, liat, masif, tidak berbulu, licin, hijau keunguan, diameter ±

3 mm, sering sangat bercabang dengan tangkai dan cabang-cabang hijau

keunguan. Daun majemuk berseling, warna hijau, anak daun 15-24 helai, bular

Page 111: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

80

telur, tepi rata, pangkal membulat, ujung tumpul, di bawah ibu tulang daun

sering terdapat butiran kecil-kecil, menggantung. Bunga tunggal. Daun kelopak

berbentuk bintang, mahkota putih kecil. Buah kotak, bulat, hijau keunguan. Biji

kecil, keras, bentuk ginjal, coklat tua (Sudarsono et al., 1996). Sosok tumbuhan

meniran diperlihatkan dalam Gambar 19.

Gambar 2.19 Sosok tumbuhan meniran (Anonim, 2011)

2.8.2 Tinjauan Kimia Tumbuhan Meniran

Khasiat meniran tidak terlepas dari kandungan kimianya. Kandungan

kimia tumbuhan meniran dapat dibagi menjadi 5 kelompok, yakni (Damle et al.,

2011):

- Lignan, terdiri dari filantin, hipofilantin, nirantin, nirtetralin, nirfilin,

filtetralin, lintetralin, isotetralin, dan filnirurin.

- Flavonoid, terdiri dari kuersetrin, isokuersetrin, rutin, astragalin, nirurin,

dan nirutenin.

Page 112: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

81

- Alkaloid, terdiri dari sekurinin, norsekurinin, filantosida.

- Steroid, terdiri dari estradiol dan sitosterol.

- Lipid, terdiri dari asam risinoleat, asam linoleat, asam linolenat, asam

detriankontanoat.

Meniran mengandung golongan senyawa kimia golongan flavonoid,

antara lain quercetin, quercetrin, isoquercetrin, astragalin, rutin kaemperol-4’-

rhamnopyranoside, eriodictyol-7-rhamnopyranoside, fisetin-4’-O-glicoside,

5,6,7,4’-tetrahydroxy-8-(3-methylbut-2-enyl)-flavonone-5-O-runoside (nirurin).

Pada akarnya terdapat 3,5,7-trihydroxyflavonl-4”-O--L-(-) rhamnopyranoside;

suatu senyawa glikosida flavonoid dengan kaemperol sebagai aglikon dan

rhamnosa sebagai bagian glikon. Ikatan glikosida terdapat pada posisi 4

sebagai glikosida flavonoid terdapat pula 5,3’,4;-rihydroxyflavononone-7-O--L-

(-), suatu flavonone (eriodictyol); L(-)-rhamnose sebagai bagian gikon. Di

samping itu terdapat senyawa lignan, norsecurinine, securinine, allosecurinine,

dan senyawa alkaloid (entnorsecurinine). Lignan: nirphyllin (3,3’,5,9,9’-

pentamethoxy-4-hydroxy,4’,5-methylendioxylignan, phyllnirurin (3,4-

methylendioxy-5’-methoxy-9-hidroxy-4’-7-epoxy-8,3’-neolignan), isolintetrain,

hypophyllanthin (tidak pahit). Nirtetralin, niranthin, phyllanthin (pahit),

hinikinin, ligtetralin, phyllanthostatin A, dan alkaloid dari trans-phytol

(Sudarsono et al., 1996; Bagalkotkar et al., 2006).

2.8.3 Tinjauan Farmakologi Tumbuhan Meniran

Page 113: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

82

Meniran merupakan salah satu tumbuhan yang berkhasiat menyembuhkan

berbagai penyakit yang telah dipakai secara turun temurun. Secara tradisiomal,

khasiatnya telah terbukti ampuh mengobati penyakit hepatitis. Selain mengobati

lever yang terkena serangan virus hepatitis, meniran juga terkenal sebagai

pembangkit libido. Khasiat lainnya adalah peluruh air seni, gangguan saluran

pernapasan, kencing manis, diare, demam, penyakit kelamin, dan cacar

(Dalimartha, 2008).

Penelitian terbaru tentang meniran mengungkapkan bahwa tumbuhan ini

bisa membantu mencegah berbagai macam infeksi virus dan bakteri serta

meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Pada intinya, selain berkhasiat sebagai

antikanker, meniran juga berkhasiat sebagai imunoterapi atau terapi adjuven

mendampingi obat kanker lainnya (Sulaksana, 2004).

Meniran berbatang hijau kemerahan (Phyllanthus urinaria) ataupun

meniran berbatang hijau pucat (Phyllanthus niruri) mempunyai khasiat yang

hampir sama. Secara etnomedisinal, meniran digunakan masyarakat di berbagai

belahan dunia. Di Indonesia sendiri, meniran telah digunakan secara turun-

temurun dan diyakini dapat menyembuhkan penyakit malaria, sariawan, mencret,

sampai nyeri ginjal. Bila dicampur dengan pegagan, meniran bisa digunakan

untuk mengobati kencing batu. Sementara di Thailand, meniran dimanfaatkan

untuk mengobati demam dan sebagai deuretik (Sulaksana, 2004).

Dalam pengobatan tradisional India (ayurveda) yang telah digunakan

selama lebih dari 2.000 tahun yang lalu, meniran secara luas dimanfaatkan untuk

pengobatan penyakit kuning (jaundice), diabetes, kencing nanah, gangguan

menstruasi, serta gangguan pada kulit seperti bengkak dan gatal-gatal. Di India,

Page 114: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

83

secangkir rebusan daun meniran diminum untuk mengobati diare. Hal ini

mungkin disebabkan oleh daun meniran yang mengandung senyawa-senyawa

antibakteri seperti filantin, hipofilantin, nirantin, dan nirtetralin (Sulaksana, 2004).

Di Amerika Selatan, meniran digunakan untuk mengatasi oedema,

kelebihan asam urat, pengobatan batu ginjal, batu empedu, flu, dan demam. Di

samping itu, digunakan juga sebagai deuretik dan infeksi saluran kemih. Orang-

orang Peru menggunakan meniran untuk menghancurkan dan mengeluarkan batu

ginjal dan batu empedu. Hal ini juga dipercaya dapat merangsang poduksi empedu

dan meningkatkan fungsi hati serta kandung empedu. Sering juga ditemukan,

rebusan meniran yang dicampur dengan air jeruk dipakai sebagai tonikum untuk

penderita lever dan diabetes. Selain itu manfaat lain dari meniran adalah

mengobati sakit maag, melancarkan air seni, menghancurkan batu ginjal,

menghancurkan batu empedu, mengobati sakit malaria, menghilangkan nyeri haid,

menurunkan berat badan, menghilangkan jerawat, menyembuhkan sakit gigi,

antitusif (pereda batuk), menyembuhkan luka bakar, dan mengobati sakit ayan

(Sulaksana, 2004).

Kajian farmakologis terhadap herba meniran membuktikan bahwa herba

meniran mempunyai berbagai aksi farmasologis. Beberapa aksi farmakologis

herba meniran yang menonjol adalah sebagai berikut (Damle et al., 2011):

1. Efek hepatoprotektif

2. Penghambatan replikasi HIV (Human Immunodeficiency Virus)

3. Aktivitas penurunan kadar lipid serum darah

4. Aktivitas antidiabetik

5. Aktivitas antimalaria

Page 115: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

84

6. Aktivitas terhadap nyamuk filarial (Culex quinquefasciatus)

7. Aktivitas antispasmodik

8. Aktivitas analgesik

9. Penghambatan penyimpangan kromosom

Page 116: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

85

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi, Laboratorium

Sentral Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Laboratorium Biota

Sumatera Universitas Andalas, Laboratorium Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu

Farmasi Padang, Pusat Penelitian Kimia, LIPI, Serpong. Penelitian ini telah

dilakukan selama tiga tahun sejak April 2008 sampai dengan Maret 2011

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pereaksi Folin-Ciocalteau

2. 1,1-Diphenyl-2-picryl hydrazyl (DPPH)

3. Rutin

4. Quercetin

5. Katekin

6. Asam galat

7. Metanol

8. Etanol

9. Aseton

10. Asetonitril

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Shimadzu UV/Vis Spectrophotometer 1240

Page 117: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

86

2. Perkin Elmer FT-IR Spectrophotometer

3. Shimadzu LC-10A/10Avp High Performance Liquid Chromatography

4. System Controller SCL-10 Avp for Shimadzu HPLC

5. Software Shimadzu LC Workstation CLASS-VP

Obat bahan alam yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC)

2. Herba meniran (Phyllanthus niruri L.)

3. Daun jambu biji (Psidium guajava L.)

Obat bahan alam itu dikumpulkan dari berbagai daerah di Sumatera Barat,

spesimen masing-masing tumbuhan itu akan diidentifikasi berdasarkan literatur

dan dengan bantuan Herbarium Universitas Andalas. Spesimen HR01 (daun

dewa), HR02 (jambu biji) dan HR03 (herba meniran) diisimpan di Laboratorium

Sentral Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Penentuan pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar

senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan

alam

1. Bahan tumbuhan obat dikumpulkan dari lapangan dan disimpan dalam

kantong plastik selama perjalanan ke laboratorium untuk mempertahankan

kesegarannya

2. Bahan tumbuhan obat segar itu dipisahkan menjadi empat kelompok.

3. Masing-masing kelompok diberi perlakuan sebagai berikut:

Page 118: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

87

a. Kelompok 1 dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di dalam

ruangan bersirkulasi udara yang baik, kemudian ditimbang.

Pengeringan dilanjutkan sampai bobotnya konstan (lebih kurang

seminggu).

b. Kelompok 2 dikeringkan dalam oven pada suhu 40 oC selama 1

jam, kemudian ditimbang setelah didinginkan sampai suhu kamar.

Pengeringan dan penimbangan diulangi setiap jam sampai

bobotnya konstan (lebih kurang 9 jam).

c. Kelompok 3 dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 1

jam, kemudian ditimbang setelah didinginkan sampai suhu kamar.

Pengeringan dan penimbanan diulangi setiap jam sampai bobotnya

konstan (lebih kurang 6 jam).

d. Kelompok 4 dikeringkan dalam oven microwave pada suhu ± 40

oC selama 1 menit, kemudian ditimbang setelah didinginkan

sampai suhu kamar. Pengeringan dan penimbangan diulangi setiap

menit sampai bobot konstan (lebih kurang 5 menit).

4. Masing masing kelompok diekstraksi dengan cara merendam sebanyak 5 g

serbuk kering tumbuhan obat tersebut dalam 50 ml larutan etanol 50 %

selama 24 jam sambil sekali-sekali diaduk, kemudian disaring dan ulangi

ekstraksi beberapa kali dengan 50 ml larutan etanol 50 % sampai filtrat

terakhir tidak berwarna lagi. Kumpulkan hasil saringan dan uapkan dengan

penguap putar pada suhu < 50 oC sampai kental.

5. Masing-masing ekstrak kental dilarutkan dalam campuran metanol-air

(1:1) dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditentukan kadar ekstraktif

(rendemen) dengan cara pada bagian 3.3.4, kadar senyawa fenolat total

Page 119: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

88

dengan cara pada bagian 3.3.5 dan aktivitas antioksidan dengan cara pada

bagian 3.3.6.

6. Prosedur 1 sampai 5 diulangi dua kali lagi untuk ketiga jenis tumbuhan

obat yang diteliti.

3.3.2 Penentuan pengaruh pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar

senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan

alam

1. Bahan tumbuhan obat dikeringkan dengan pengeringan yang paling cocok

sesuai dengan percobaan optimasi pengeringan di atas.

2. Bahan tumbuhan obat kering dibagi menjadi tiga kelompok, masing-

masing ditimbang seksama sebanyak 5 g dan diekstraksi dengan cara

seperti di atas, dengan mengganti pelarutnya sebagai berikut:

a. Kelompok 1 dengan pelarut etanol 50 %

b. Kelompok 2 dengan pelarut metanol 50 %

c. Kelompok 3 dengan pelarut aseton 50%

3. Masing-masing ekstrak dilarutkan dalam campuran metanol-air (1:1)

dalam labu ukur 10 ml, kemudian ditentukan kadar ekstraktif (rendemen),

kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidannya.

4. Prosedur 1 sampai 3 diulangi dua kali lagi.

5. Jenis pelarut yang optimal dioptimasi lagi dengan memvariasikan

konsentrasi pelarut ekstraksi untuk mendapatkan perbandingan pelarut

dan air yang optimum.

Page 120: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

89

3.3.3 Penentuan pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar

senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan

alam

1. Bahan tumbuhan obat yang telah dikeringkan dengan cara pengeringan

yang cocok, ditimbang seksama sebanyak 5 gram, diekstraksi dengan

empat cara ekstraksi menggunakan pelarut yang paling cocok sesuai

percobaan di atas:

a. Ekstraksi dengan cara maserasi dengan 50 mL pelarut yang cocok

selama 24 jam dan setelah disaring, ampasnya dimaserasi lagi

beberapa kali dengan pelarut baru sampai maserat terakhir tidak

bersisa bila diuapkan.

b. Ekstraksi dengan cara perkolasi dengan pelarut yang cocok sampai

perkolat terakhir tidak bersisa lagi bila diuapkan.

c. Ekstraksi dengan cara refluks dengan pelarut yang cocok selama

satu jam dan setelah disaring, ampasnya direfluks lagi dengan

pelarut baru sampai ekstrak terakhir tidak bersisa lagi bila

diuapkan.

d. Ekstraksi dengan cara sokletasi sampai tetesan terakhir tidak

berwarna

2. Masing-masing ekstrak diuapkan dengan penguap putar pada suhu < 50 oC

sampai kental.

3. Masing-masing ekstrak kental dilarutkan dalam campuran metanol-air

(1:1) dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditentukan kadar ekstraktif

(rendemen), kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidannya.

Page 121: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

90

4. Prosedur 1 sampai 3 diulangi dua kali lagi.

3.3.4 Penentuan kadar ekstraktif (rendemen)

Penentuan kadar ekstraktif (rendeman) ekstrak yang diperoleh dengan

berbagai cara di atas dilakukan menurut metode WHO (1998) sebagai berikut:

1. Larutan ekstrak yang telah disiapkan dengan cara-cara di atas dipipet

sebanyak 10 mL ke dalam piring penguap yang telah ditara.

2. Pelarutnya diuapkan di atas pengas air sampai kering.

3. Sisa pengeringan itu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 OC selama 6

jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu segera

ditimbang.

4. Kadar ekstraktif (rendemen) dihitung dalam satuan mg per g simplisia

kering.

3.3.5 Penentuan kadar senyawa fenolat total

Senyawa fenolat total dalam larutan sampel ditentukan dengan pereaksi

Folin-Ciocalteau menggunakan prosedur Pourmorad et al. (2006) dengan

modifikasi sebagai berikut:

1. Larutan encer masing-masing ekstrak tumbuhan obat (0,5 ml ekstrak 1:10

g/mL) atau larutan asam galat (senyawa fenolat standar) dicampur dengan

pereaksi Folin-Ciocalteau (5 mL, diencerkan 1:10 dengan air suling) dan

larutan natrium karbonat (4 mL, 1 M)

Page 122: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

91

2. Campuran di atas dibiarkan selama 15 menit dan kadar senyawa fenolat

total ditentukan dengan mengukur serapan pada 765 nm dengan

spektrofotometer UV-Vis.

3. Kurva standar dibuat dengan menggunakan larutan asam galat dengan

konsentrasi 0; 50; 100; 150; 200; 250 mg/L dalam metanol:air (1:1)

4. Kadar senyawa fenolat total dinyatakan sebagai setara asam galat (mg/g

massa kering atau segar)

3.3.6 Penentuan aktivitas antioksidan

Aktivitas antioksidan ekstrak tumbuhan obat ditentukan dengan metode

DPPH yang digunakan oleh Mosquera et al. (2007) dengan modifikasi sebagai

berikut:

1. Masing-masing ekstrak encer tumbuhan obat sebanyak 1 mL dicampur

dengan 2 mL larutan DPPH (20 mg/L) yang baru dibuat.

2. Masing-masing campuran itu dikocok dan didiamkan selama 30 menit

pada suhu kamar di tempat gelap

3. Kemudian serapan masing-masing campuran itu diukur pada panjang

gelombang 517 nm dengan spektrofotometer UV-Vis

4. Sebagai blanko, digunakan larutan yang dibuat dengan mencampurkan 1

mL metanol-air (1:1) dengan 2 ml larutan DPPH (20 mg/L)

5. Untuk meniadakan serapan ekstrak pada panjang gelombang ini, sampel

blanko dibuat dengan mencampurkan 1 ml ekstrak dengan 2 ml metanol-

air (1:1).

Page 123: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

92

6. Persentase aktivitas antioksidan dihitung dengan menggunakan rumus

berikut:

%100(%) xA

AAnAntioksidaAktivitaskontrol

ekstrakkontrol

Di sini Akontrol adalah serapan larutan DPPH tanpa ekstrak, Aekstrak adalah

serapan ekstrak uji yang sama dengan serapan ekstrak tumbuhan obat +

DPPH dikurangi dengan serapan ekstrak blanko tanpa DPPH

7. Nilai IC50 ekstrak tumbuhan obat ditentukan dengan mengukur persentase

aktivitas antioksidan larutan ekstrak tumbuhan dengan konsentrasi 100,

50, 25, 12,5 dan 6,76 mg/mL melalui analisis regresi linear

3.3.7 Penentuan pola kromatogram kromatografi lapis tipis (KLT)

beberapa ekstrak tumbuhan obat

Pola kromatogram kromatografi lapis tipis ekstrak tumbuhan obat

ditentukan dengan prosedur yang digunakan oleh Hu et al. (2005) dengan

modifikasi sebagai berikut:

1. Larutan ekstrak encer tumbuhan obat dibuat dengan cara yang telah

dioptimasi pada percobaan terdahulu, kemudian difraksinasi berturut-turut

dengan petroleun eter, kloroform dan metanol untuk memisahkan

komponen kimia berdasarkan tingkat kepolarannya, mulai dari yang

nonpolar, semipolar sampai polar.

2. Masing-masing fraksi dipekatkan dan kemudian dilarutkan dalam

kloroform sampai 50 mL.

3. Plat KLT silica gel 60 F254 10 x 10 cm (Merck) dikeringkan dalam oven

pada suhu 105 oC selama 30 menit

Page 124: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

93

4. Larutan uji (10 µL) yang berupa larutan fraksi petroleum eter, fraksi

kloroform dan fraksi metanol dalam kloroform, larutan zat pembanding

dalam kloroform ditotolkan pada plat KLT.

5. Kemudian plat dikembangkan dalam chamber yang dijenuhkan terlebih

dahulu dengan fase gerak

6. Fasa gerak yang digunakan dioptimasi dengan memvariasikan campuran

heksana-etilasetat dan campuran petroleum eter-aseton.

7. Setelah fase gerak mencapai 9 cm, plat dikeringkan di udara dan bercak

dilihat di bawah sinar ultraviolet (254 nm)

8. Kemudian plat disemprot dengan larutan H2SO4 5 % dalam metanol,

dipanaskan pada 110 oC selama 10 menit dan dilihat di bawah sinar

ultraviolet.

3.3.8 Penentuan sidik jari fourir transform infra red (FTIR) beberapa

ekstrak tumbuhan obat

Sidik jari FTIR ditentukan dengan prosedur yang dipakai oleh Liu et al.

(2006) dengan modifikasi sebagai berikut:

1. Larutan ekstrak encer tumbuhan obat dibuat dengan cara yang telah

dioptimasi pada percobaan terdahulu, kemudian difraksinasi berturut-turut

dengan petroleum eter, kloroform dan metanol.

2. Masing-masing fraksi diuapkan pelarutnya dan dikeringkan-bekukan,

kemudian masing-masing sampel sebanyak 2 mg dicampur dengan 100

mg KBr lalu dikempa menjadi pellet.

3. Masing-masing pellet sampel diukur spektrumnya dengan spektrometer

FTIR pada bilangan gelombang 400 – 4000 cm-1.

Page 125: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

94

3.3.9 Penentuan pola kromatogram kromatografi cair kinerja tinggi

(KCKT) beberapa ekstrak tumbuhan obat

Pola kromatogram KCKT ditentukan dengan prosedur yang dipakai oleh

Chaudary et al. (2007) dengan modifikasi sebagai berikut:

1. Larutan ekstrak encer tumbuhan obat dibuat dengan cara yang telah

dioptimasi pada percobaan terdahulu (cara refluks dengan campuran

metanol-air (70:30) , kemudian difraksinasi berturut-turut dengan heksana,

etil asetat, butanol dan air.

2. Masing-masing fraksi diuapkan pelarutnya dan dilarutkan kembali dalam

metanol sampai 50 mL, kemudian disaring melalui filter 0,45 µm ke dalam

vial kromatografi, kemudian 20 µL larutan ekstrak diinjeksikan ke dalam

sistem kromatografi

3. Sistem kromatografi yang digunakan terdiri dari Shimadzu LC-10ATVP

dan SPD-M10AVP detector

4. Pemisahan kromatografi cair dilakukan pada kolom Kromasil-C18 (5 µm,

4,6 x 250 mm) pada suhu kamar

5. Data dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan perangkat lunak

Shimadzu Class-VP 6.12

6. Pelarut yang digunakan dioptimasi dengan memvariasikan campuran

asetonitril-air, metanol-air dan metanol-asam asetat 1% dalam berbagai

perbandingan.

7. Laju alir fase mobil adalah 1 mL/menit

8. Panjang gelombang deteksi diatur pada 210, 254, 300 dan 360 nm.

Page 126: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

95

9. Larutan rutin, kuersetin dan isokuersetin 1 mg/mL digunakan sebagai

sebagai standar pembanding

3.3.10 Isolasi senyawa antioksidan sebagai penanda dalam pengawasan mutu

ekstrak daun dewa

Penyiapan sampel bahan tumbuhan

Daun dewa segar sebanyak 1 kilogram, dicuci dengan air sampai bersih

lalu dikering-anginkan pada suhu kamar. Pengeringan ini dilakukan sampai

daun dewa menjadi kering (kadar air kurang dari 10 %). Setelah kering, daun

dewa digiling dengan blender menjadi serbuk kasar.

Ekstraksi dan pengujian daya antioksidan ekstrak

Sebanyak 100 g serbuk daun dewa kering diekstraksi dengan cara refluks

berturut dengan n-heksana, kloroform dan metanol. Masing-masing ekstrak

diuapkan dengan penguap putar sampai diperoleh ekstrak kental. Masing-masing

ekstrak kental diuji daya antioksidannya dengan menggunakan metode DPPH

(Mosquera et al., 2009).

Isolasi dan pengujian daya antioksidan isolat

Ekstrak yang mempunyai daya antioksidan yang tinggi diidentifikasi dan

diisolasi dengan menggunakan kromatografi kertas dua arah dan kromatografi

kertas preparatif. Masing-masing isolat diuji daya antioksidannya dengan

menggunakan metode DPPH (Mosquera et al., 2009).

Identifikasi isolat yang aktif sebagai antioksidan

Isolat yang mempunyai daya antioksidan tinggi dimurnikan dengan cara

rekristalisasi menggunakan metanol panas. Kemurnian isolat tersebut diuji dengan

Page 127: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

96

KLT pada plat silica F254 dengan fase gerak campuran heksan-etil asetat (7:3)

dan noda dilihat di bawah sinar UV 254 dan 366 nm, setelah itu disemprot dengan

larutan asam sufat pekat 5% dalam metanol dan nodanya dilihat di bawah sinar

tampak. Karakterisasi kimia dari isolat yang aktif sebagai antioksidan dilakukan

dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis, FT-IR, LC-MS, 1H-NMR dan

13C-NMR.

Page 128: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

97

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Validasi metode analisis senyawa fenolat total

Pengukuran kadar senyawa fenolat total dalam beberapa tumbuhan obat

segar dan yang telah dikeringkan dilakukan dengan menggunakan pereaksi Folin-

Ciocalteau yang telah digunakan sebelumnya oleh Pourmorad et al. (2006) untuk

penentuan kadar senyawa fenolat dalam tumbuhan obat di Iran. Agar metode itu

dapat dipakai dalam penelitian ini, unjuk kerja dan validasi metode tersebut harus

dievaluasi terlebih dahulu karena sampel yang dipakainya berbeda dari yang

dipakai dalam penelitian ini. Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi metode

analisis disebut figures of merit (Mitra dan Brukh, 2003). Hasil evaluasi dan

validasi metode tersebut menunjukkan persamaan regresi hubungan antara

absorban (y) dan konsentrasi senyawa fenolat (x) sebagai y = 0,0158 + 0,0064 x,

dengan koefisien korelasi R = 0,9967, koefisien determinasi R2 = 0,9934, rentang

linearitas 25 – 125 µg/mL, batas deteksi 11,172 µg/mL, batas kuantisasi 37,240

µg/mL, perolehan kembali 97% dan simpangan baku relatif 0,24% (lihat Tabel 4.1

dan Gambar 4.1). Hasil evaluasi tersebut menunjukkan bahwa metode analisis

untuk menentukan kadar senyawa fenolat secara spektrofotometri dengan pereaksi

Folin-Ciocalteau mempunyai ketepatan dan ketelitian yang tinggi sesuai dengan

batas-batas unjuk kerja yang baik (Harmita, 2004). Pengolahan data dengan ana-

lisis regresi linear memakai Microsoft Excel 2007 dapat dilihat pada Lampiran 2.

Page 129: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

98

Tabel 4.1 Hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm.

Konsentrasi (mcg/mL) Absorban

25 0,200 50 0,311 75 0,476 100 0,665 125 0,821

Gambar 4.1 Kurva kalibrasi hasil reaksi larutan standar asam galat dengan

pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm.

4.2 Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar

senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat alam bahan

Tabel 4.2 memperlihatkan kadar zat tersari yang diperoleh dari daun dewa,

daun jambu biji dan herba meniran setelah dikeringkan dengan berbagai cara.

Cara pengeringan kelihatannya mempunyai kecenderungan yang sama dalam

y = 0,0158 + 0,0064xR² = 0,9934

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0 50 100 150

Sera

pan

Kadar Asam Galat (µg/mL)

Page 130: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

99

mempengaruhi perolehan kadar zat tersari. Pengeringan daun dewa dengan cara

kering angin menyebabkan penurunan kadar zat tersari yang nyata (p < 0,05)

dibandingkan dengan cara kering oven dan kering microwave (Hasil pengolahan

data dengan SPSS dapat dilihat pada Lampiran 3). Kadar zat tersari yang paling

tinggi diperoleh dengan pengeringan memakai oven microwave. Namun

demikian, kadar zat tersari yang tinggi belum tentu juga menunjukkan kadar zat

aktif yang tinggi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan parameter lain yang

dipengaruhi oleh cara pengeringan, seperti kadar senyawa fenolat total dan daya

antioksidan.

Tabel 4.2 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan

herba meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara

Cara Pengeringan

Jenis Sampel

Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran

Kering Angin 184,4 185,1 184,8

120,1 119,9 120,2

194,9 195,1 194,9

Rata-rata ± SD 184,8 ± 0,4a 120,1 ± 0,2a 195,0 ± 0,1a

Kering Oven 40 oC 207,9 208,6 209,1

150,3 149,9 150,4

202,2 202,0 202,3

Rata-rata ± SD 208,5 ± 0,6b 150,2 ± 0,3b 202,1 ± 0,1b

Kering Oven 60 oC 194,6 195,2 194,9

165,4 165,7 165,0

162,9 163,0 162,7

Rata-rata ± SD 194,9 ± 0,3c 165,4 ± 0,4c 162,9 ± 0,1c

Kering Oven Microwave 332,8 334,7 333,8

Rata-rata ± SD 333,8 ± 0,9d

Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)

Pengeringan daun dewa dengan oven microwave memberikan kadar zat

tersari yang jauh lebih tinggi (Tabel 4.2). Namun demikian pengeringan dengan

oven microwave tidak praktis karena sulitnya menentukan lama pengeringan yang

Page 131: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

100

tepat. Pengeringan yang terlalu lama akan menyebabkan simplisia menjadi terlalu

kering dan malahan bisa hangus. Oleh karena itu, percobaan pengeringan

tumbuhan obat lain dengan oven microwave tidak dilanjutkan.

Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa, selain pengeringan dengan microwave,

pengeringan daun dewa dengan oven pada suhu 40 oC memberikan kadar zat

tersari yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan diangin-anginkan atau oven

60 oC. Dengan pengeringan pada 40 oC dapat diperoleh zat tersari yang lebih

banyak karena pengeringan lebih merata dan waktu pengeringan lebih cepat

(BPOM RI, 2006). Hasil penelitian ini dipertegas oleh laporan sebelumnya

dalam literatur bahwa pengeringan dengan oven 40 oC lebih menguntungkan

daripada pengeringan dengan cara lain (Mahanom, et al., 1999).

Tabel 4.2 juga memperlihatkan kadar zat tersari yang diperoleh dari daun

jambu biji setelah dikeringkan dengan berbagai cara. Cara pengeringan

kelihatannya mempunyai kecenderungan yang sama dalam mempengaruhi

perolehan kadar zat tersari. Pengeringan daun jambu biji dengan cara kering angin

menyebabkan penurunan kadar zat tersari yang nyata (p < 0,05) dibandingkan

dengan cara kering oven (Hasil pengolahan data dengan SPSS dapat dilihat pada

Lampiran 4). Kadar zat tersari yang paling tinggi diperoleh dengan pengeringan

memakai oven pada suhu 60 oC.

Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa pengeringan dengan oven pada suhu 60 oC

memberikan kadar zat tersari yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan

diangin-anginkan atau oven 40 oC. Dengan pengeringan pada 60 oC dapat

diperoleh zat tersari yang lebih banyak karena pengeringan lebih merata dan

waktu pengeringan lebih cepat (BPOM RI, 2006). Namun demikian, kadar zat

Page 132: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

101

tersari yang tinggi belum tentu juga menunjukkan kadar zat aktif yang tinggi.

Oleh karena itu perlu dipertimbangkan parameter lain yang dipengaruhi oleh cara

pengeringan, seperti kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan.

Tabel 4.2 juga memperlihatkan kadar zat tersari yang diperoleh dari herba

meniran setelah dikeringkan dengan berbagai cara. Pengeringan herba meniran

dengan cara kering angin menyebabkan penurunan kadar zat tersari yang nyata (p

< 0,05) dibandingkan dengan cara kering oven 40 oC (Hasil pengolahan data

dengan SPSS dapat dilihat pada Lampiran 5). Kadar zat tersari yang paling tinggi

diperoleh dengan pengeringan herba meniran memakai oven pada suhu 40 oC.

Dengan pengeringan memakai oven pada 40 oC dapat diperoleh zat tersari yang

lebih banyak karena pengeringan lebih merata dan waktu pengeringan lebih cepat

(BPOM RI, 2006). Namun demikian, kadar zat tersari yang tinggi belum tentu

juga menunjukkan kadar zat aktif yang tinggi. Oleh karena itu perlu

dipertimbangkan parameter lain yang dipengaruhi oleh cara pengeringan, seperti

kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan.

Tabel 4.3 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan

kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.

Pengeringan daun dewa dengan cara diangin-anginkan menghasilkan kadar

senyawa fenolat total yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan oven pada

suhu 40 oC, 60 oC dan oven microwave. Sedangkan pengeringan daun dewa

dengan oven pada suhu 60 oC menghasilkan senyawa fenolat yang sama rendah

dengan pengeringan memakai oven microwave (p < 0,05; lihat Lampiran 6).

Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat yang tinggi, daun

dewa harus dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Hal ini sesuai dengan cara

Page 133: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

102

pengeringan yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006) untuk pengeringan bagian

tanaman yang lunak seperti bunga, daun dan sebagainya atau yang mengandung

senyawa aktif mudah menguap.

Tabel 4.3 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara

Cara Pengeringan

Jenis Sampel

Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran

Kering Angin 0,4007 0,3987 0,4124

0,4140 0,4251 0,3992

0,0975 0,1016 0,0966

Rata-rata ± SD 0,4039 ± 0,0074a 0,4128 ± 0,0130a 0,0986 ± 0,0027a

Kering Oven 40 oC 0,2913 0,3019 0,2854

0,4536 0,4601 0,4514

0,1014 0,0987 0,1021

Rata-rata ± SD 0,2929 ± 0,0084b 0,4550 ± 0,0045b 0,1007 ± 0,0018a

Kering Oven 60 oC 0,1624 0,1711 0,1605

0,4189 0,4201 0,4184

0,0814 0,0855 0,0808

Rata-rata ± SD 0,1647 ± 0,0057c 0,4191 ± 0,0209a 0,0826 ± 0,0026b

Kering Oven Microwave

0,1673 0,1702 0,1655

Rata-rata ± SD 0,1677 ± 0,0024c

Keterangan: Kadar senyawa fenolat dihitung dalam satuan % berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)

Tabel 4.3 juga memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap

perolehan kadar senyawa fenolat total dari daun jambu biji. Pengeringan daun

jambu biji dengan cara oven 40 oC menghasilkan kadar senyawa fenolat total yang

lebih tinggi daripada pengeringan dengan angin dan oven pada suhu 60 oC (p <

0,05; lihat Lampiran 7). Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar senyawa

fenolat yang tinggi, daun jambu biji harus dikeringkan dengan oven pada suhu 40

oC. Hal ini sesuai dengan cara pengeringan yang dianjurkan oleh BPOM RI

Page 134: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

103

(2006) untuk pengeringan bagian tanaman yang lunak seperti bunga, daun dan

sebagainya atau yang mengandung senyawa aktif mudah menguap.

Pada Tabel 4.3 memperlihatkan pula pengaruh cara pengeringan terhadap

perolehan kadar senyawa fenolat total dari herba meniran. Pengeringan herba

meniran dengan cara oven 40 oC menghasilkan kadar senyawa fenolat total yang

lebih tinggi daripada pengeringan dengan oven pada suhu 60 oC, tetapi tidak

berbeda nyata dengan pengeringan dengan diangin-anginkan (p < 0,05; lihat

Lampiran 8). Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat yang

tinggi, herba meniran harus dikeringkan dengan oven pada suhu 40 oC atau

diangin-anginkan saja. Hal ini sesuai dengan cara pengeringan yang dianjurkan

oleh BPOM RI (2006) untuk pengeringan bagian tanaman yang lunak seperti

bunga, daun dan sebagainya atau yang mengandung senyawa aktif mudah

menguap.

Tabel 4.4 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap aktivitas

antioksidan dari daun dewa. Aktivitas antioksidan daun dewa dihitung sebagai

persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang terdapat

dalam daun dewa yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara dengan jumlah

µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Kelihatannya cara pengeringan

tidak banyaknya pengaruhnya terhadap daya antioksidan daun dewa. Namun

demikian, pengeringan daun dewa dengan kering angin dan kering oven pada

suhu 60 oC memberikan persen inhibisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan

cara pengeringan lainnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan simplisia daun

dewa yang mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi harus dikeringkan

dengan mengangin-anginkan. Hal ini juga sesuai dengan cara pengeringan

Page 135: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

104

simplisia daun yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006). Selain itu, jumlah dan

komposisi ekstrak yang diperoleh dari bahan herbal dipengaruhi oleh cara

pengeringan bahan awal herbal tersebut (Gaedcke, et al., 2003).

Tabel 4.4 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun

dewa yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat

Kadar (µg/mL) Asam galat (pembanding)

Cara Pengeringan

Kering Angin Kering Oven

40 oC Kering Oven

60 oC Kering

Microwave 1 42,94 33,33 32,01 33,58 21,38

2 57,77 41,06 39,98 41,67 32,85

3 72,46 50,60 47,10 50,00 44,81

4 84,60 57,73 55,07 58,45 58,70

5 92,66 65,58 63,65 66,67 70,77

IC50 1,409 3,042 3,312 2,991 3,345

Tabel 4.5 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap aktivitas

antioksidan dari daun jambu biji. Aktivitas antioksidan daun jambu biji dihitung

sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang

terdapat dalam daun jambu biji yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara

dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Pengeringan daun

jambu biji dengan kering angin memberikan persen inhibisi yang lebih tinggi

dibandingkan dengan cara pengeringan lainnya. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan simplisia daun jambu biji yang mempunyai aktivitas antioksidan

yang tinggi harus dikeringkan dengan mengangin-anginkan. Hal ini juga sesuai

dengan cara pengeringan simplisia daun yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006).

Selain itu, jumlah dan komposisi ekstrak yang diperoleh dari bahan herbal

dipengaruhi oleh cara pengeringan bahan awal herbal tersebut (Gaedcke, et al.,

2003).

Page 136: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

105

Tabel 4.5 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun

jambu biji yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat

Kadar

(µg/mL) Asam galat

(pembanding)

Cara Pengeringan

Kering Angin Kering Oven

40 oC Kering Oven

60 oC 1 42,94 35,31 33,06 31,56 2 57,77 42,04 40,99 39,65 3 72,46 52,58 48,11 48,08 4 84,60 59,71 56,08 56,43 5 92,66 67,56 64,66 64,63

IC50 1,409 2,825 3,181 3,233

Tabel 4.6 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap aktivitas

antioksidan dari herba meniran. Aktivitas antioksidan herba meniran dihitung

sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang

terdapat dalam herba meniran yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara

dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Pengeringan herba

meniran dengan kering oven pada suhu 40 oC memberikan persen inhibisi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan cara pengeringan lainnya. Oleh karena itu,

untuk mendapatkan simplisia herba meniran yang mempunyai aktivitas

antioksidan yang tinggi harus dikeringkan dengan oven pada suhu 40 oC. Hal ini

juga sesuai dengan cara pengeringan simplisia daun yang dianjurkan oleh BPOM

RI (2006). Selain itu, jumlah dan komposisi ekstrak yang diperoleh dari bahan

herbal dipengaruhi oleh cara pengeringan bahan awal herbal tersebut (Gaedcke, et

al., 2003).

Tabel 4.6 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari herba

meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat

Page 137: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

106

Kadar

(µg/mL) Asam galat

(pembanding)

Cara Pengeringan

Kering Angin Kering Oven 40 oC

Kering Oven 60 oC

1 42,94 29,58 48,55 37,43 2 57,77 36,59 53,50 44,68 3 72,46 42,02 57,60 53,98 4 84,60 50,25 65,21 57,24 5 92,66 56,64 71,73 65,10

IC50 1,409 4,030 1,395 2,752

Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara

pengeringan daun dewa yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi

adalah dengan kering oven 40 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat

tertinggi adalah dengan kering angin dan untuk mendapat daya antioksidan

tertinggi tidak banyak dipengaruhi oleh cara pengeringan. Pengeringan daun dewa

dengan oven pada suhu 40 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 208,5 ± 0,6

mg/g. Pengeringan daun dewa dengan cara diangin-anginkan menghasilkan kadar

senyawa fenolat sebesar 0,4039 ± 0,0074% dan daya antioksidan IC50 3,042

µg/mL.

Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk mendapatkan kadar

sari tertinggi adalah dengan kering oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar

senyawa fenolat tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk mendapat

daya antioksidan tertinggi adalah dengan kering angin. Pengeringan daun jambu

biji dengan oven pada suhu 60 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 165,4 ±

0,4 mg/g. Pengeringan daun jambu biji dengan cara oven pada suhu 40 oC

menghasilkan kadar senyawa fenolat sebesar 0,4550 ± 0,0045%. Pengeringan

Page 138: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

107

daun jambu biji dengan diangin-anginkan menghasilkan daya antioksidan IC50

2,825 µg/mL.

Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk mendapatkan kadar

sari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang tertinggi adalah dengan

kering oven 40 oC. Pengeringan herba meniran dengan oven pada suhu 40 oC

menghasilkan kadar zat tersari sebesar 202,1 ± 0,1 mg/g, kadar senyawa fenolat

sebesar 0,1007 ± 0,0018% dan daya antioksidan IC50 1,395 µg/mL.

4.3 Pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat alam

bahan

Tabel 4.7 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap

perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.

Pelarut metanol, etanol dan aseton memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap peroleh kadar zat tersari (p < 0,05). Pengujian secara statistik

menunjukkan bahwa metanol mempunyai pengaruh yang tertinggi terhadap

peroleh kadar zat tersari, diikuti oleh etanol dan aseton (lihat Lampiran 9, 10 dan

11). Perbedaan ini disebabkan oleh tingkat kepolaran pelarut. Metanol mempunyai

kepolaran yang paling tinggi di antara ketiga pelarut tersebut (Gaedcke, et al.,

2003). Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Bauer (1998) yang menemukan

bahwa metanol merupakan pelarut terbaik untuk ekstraksi bunga kamil.

Tabel 4.7 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut

Page 139: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

108

Jenis Pelarut

Jenis Sampel

Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran

Metanol 239,1 240,2 239,0

182,0 182,0 181,5

209,1 209,0 209,3

Rata-rata ± SD 239,4 ± 0,7a 181,8 ± 0,3a 209,1 ± 0,2a

Etanol 184,8 185,2 184,7

120,1 119,9 120,2

194,9 195,1 194,9

Rata-rata ± SD 184,9 ± 0,3b 120,1 ± 0,2b 195,0 ± 0,1a

Aseton 178,5 178,0 178,6

140,3 140,0 140,4

192,2 192,0 192,3

Rata-rata ± SD 178,4 ± 0,3c 140,2 ± 0,2a 192,1 ± 0,1b

Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)

Tabel 4.8 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut terhadap perolehan kadar

senyawa fenolat dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Pelarut

metanol, etanol dan aseton mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap

perolehan kadar senyawa fenolat dari daun dewa (p < 0,05). Pengujian secara

statistik menunjukkan bahwa metanol mempunyai pengaruh yang tertinggi

terhadap perolehan kadar senyawa fenolat, diikuti oleh etanol dan aseton (lihat

Lampiran 12, 13 dan 14). Perbedaan ini disebabkan oleh tingkat kepolaran

pelarut. Metanol mempunyai kepolaran yang paling tinggi di antara ketiga pelarut

tersebut (Gaedcke, et al., 2003). Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Bauer

(1998) yang menemukan bahwa metanol merupakan pelarut terbaik untuk

ekstraksi bunga kamil.

Tabel 4.8 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun

jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut

Jenis Pelarut Jenis Sampel

Page 140: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

109

Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran

Metanol 0,7512 0,7589 0,7520

0,4931 0,5002 0,4913

0,4930 0,4937 0,5124

Rata-rata ± SD 0,7540 ± 0,0042a 0,4949 ± 0,0047a 0,4997 ± 0,0110a

Etanol 0,4007 0,3987 0,4124

0,4140 0,4251 0,3992

0,0975 0,1016 0,0966

Rata-rata ± SD 0,4029 ± 0,0074b 0,4128 ± 0,0130b 0,0986 ± 0,0027a

Aseton 0,2902 0,3008 0,2954

0,4525 0,4585 0,4503

0,1014 0,0987 0.1021

Rata-rata ± SD 0,2955 ± 0,0053c 0,4538 ± 0,0042a 0,1007 ± 0,0018b

Keterangan: Kadar fenolat dihitung dalam satuan persen berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)

Tabel 4.9 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap

aktivitas antioksidan dari daun dewa. Aktivitas antioksidan daun dewa dihitung

sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang

terdapat dalam daun dewa yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara dengan

jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Daun dewa yang

diekstraksi dengan pelarut metanol menunjukkan daya antioksidan yang tertinggi

dibandingkan dengan pelarut etanol dan aseton. Hal ini disebabkan oleh

banyaknya senyawa fenolat yang bersifat antioksidan seperti senyawa golongan

flavonoid yang terekstraksi dengan metanol (Bauer, 1998).

Tabel 4.9 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun dewa yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut

Kadar (µg/mL) Asam galat

Jenis Pelarut

Metanol Etanol Aseton

1 42,94 25,22 33,33 21,38

2 57,77 38,79 41,06 28,94

3 72,46 55,82 50,60 47,37

4 84,60 69,78 57,73 62,09

5 92,66 74,01 65,58 73,65

IC50 1,409 2,788 3,042 3,241

Page 141: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

110

Tabel 4.10 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap

aktivitas antioksidan dari daun jambu biji. Aktivitas antioksidan daun jambu biji

dihitung sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa

fenolat yang terdapat dalam daun jambu biji yang dihitung sebagai kadar sampel

yang setara dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Daun

jambu biji yang diekstraksi dengan pelarut etanol menunjukkan daya antioksidan

yang tertinggi dibandingkan dengan pelarut metanol dan aseton. Hal ini

disebabkan oleh banyaknya senyawa fenolat yang bersifat antioksidan seperti

senyawa golongan flavonoid yang terekstraksi dengan etanol.

Tabel 4.10 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun

jambu biji yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut

Kadar (µg/mL) Asam galat Jenis Pelarut

Metanol Etanol Aseton

1 42,94 26,72 35,31 30,06 2 57,77 33,48 42,04 37,99 3 72,46 42,54 52,58 45,11 4 84,60 49,90 59,71 51,08 5 92,66 58,03 67,56 59,66

IC50 1,409 3,995 2,825 3,722

Tabel 4.11 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap

aktivitas antioksidan dari herba meniran. Aktivitas antioksidan herba meniran

dihitung sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa

fenolat yang terdapat dalam daun jambu biji yang dihitung sebagai kadar sampel

yang setara dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Herba

meniran yang diekstraksi dengan pelarut metanol menunjukkan daya antioksidan

yang tertinggi dibandingkan dengan pelarut etanol dan aseton. Hal ini disebabkan

oleh banyaknya senyawa fenolat yang bersifat antioksidan seperti senyawa

golongan flavonoid yang terekstraksi dengan metanol (Bauer, 1998).

Page 142: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

111

Tabel 4.11 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut

Kadar (µg/mL) Asam galat

Jenis Pelarut

Metanol Etanol Aseton

1 42,94 31,56 29,58 28,55 2 57,77 38,18 36,59 33,50 3 72,46 46,15 42,02 47,60 4 84,60 54,97 50,25 55,21 5 92,66 62,46 56,64 61,73

IC50 1,409 3,424 4,030 3,532

Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa

pelarut ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa

fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah metanol. Ekstraksi daun dewa,

daun jambu biji dan herba meniran dengan pelarut metanol menghasilkan kadar

zat tersari sebesar 239,4 ± 0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2 mg/g,

masing-masing, dan kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ± 0,0042%,

0,4949 ± 0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing. Sedangkan daya

antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh jenis

pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya antioksidan daun dewa yang

tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol, daun jambu biji dengan pelarut etanol

dan herba meniran dengan pelarut metanol.

4.4 Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap perolehan kadar zat

tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat

bahan alam

Tabel 4.12 memperlihatkan pengaruh perbandingan metanol-air terhadap

perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.

Page 143: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

112

Perbandingan metanol-air memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap

perolehan kadar zat tersari (p < 0,05). Pengujian secara statistik menunjukkan

bahwa perbandingan metanol-air 60:40 mempunyai pengaruh yang tertinggi

terhadap peroleh kadar zat tersari, diikuti oleh perbandingan metanol-air 70:30,

80:20, 50:50, 100:0 dan 40:60.

Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap kadar zat tersari

diperlihatkan dengan jelas pada Gambar 4.2. Dari gambar tersebut terlihat bahwa

daun dewa menghasilkan kadar zat tersari paling tinggi bila diekstraksi dengan

metanol-air 70:30, sedangan daun jambu biji menghasilkan kadar zat tersari paling

tinggi bila diekstraksi dengan metanol-air 50:50 dan herba meniran dengan

metanol 60:40. Secara menyeluruh, campuran metanol-air antara 50:50 sampai

70:30 merupakan pelarut yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari yang

optimum dari ketiga tumbuhan obat tersebut. Adanya air yang cukup dalam

pelarut ekstraksi diperlukan agar pelarut dapat merembes ke dalam sel tumbuhan

obat sehingga dapat melarutkan komponen-komponen aktif dari tumbuhan obat

tersebut (Gaedcke, et al., 2003). Fenomena seperti ini juga telah dibuktikan oleh

Bauer (1998) dalam mengekstraksi bunga kamil dengan pelarut metanol.

Tabel 4.12 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air

Perbandingan Metanol-

air Jenis Sampel

Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran

100:0

220,6 85,7 184,3

218,5 86,0 181,5

219,4 81,2 180,1

rata-rata 219,5a 84,3a 182,0a

SD 1,1 2,7 2,1

80:20 241,1 87,1 220,6

240,8 84,5 221,0

Page 144: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

113

240,9 87,1 218,7

rata-rata 240,9b 86,2b 220,1b

SD 0,2 1,5 1,2

70:30

266,5 93,4 242,1

265,4 94,4 248,9

266,3 92,0 250,1

rata-rata 266,1c 93,3c 247,0c

SD 0,6 1,2 4,3

60:40

250,1 117,4 265,9

249,7 113,6 263,1

249,5 116,4 267,1

rata-rata 249,8d 115,8d 265,4d

SD 0,3 2,0 2,1

50:50

184,8 120,5 192,2

185,2 118,7 195,4

184,7 120,4 194,5

rata-rata 184,9e 119,9e 194,0e

SD 0,3 1,0 1,7

40:60

126,8 108,6 116,8

125,7 107,4 114,7

126,5 110,7 117,1

rata-rata 126,3f 108,9f 116,2f

SD 0,6 1,7 1,3

Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)

Gambar 4.2 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan kadar

zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

0

50

100

150

200

250

300

100:0 80:20 70:30 60:40 50:50 40:60

Perbandingan Metanol-Air

Kad

ar z

at te

rsar

i (m

g/g)

Daun Dewa

Daun Jambu Biji

Herba Meniran

Page 145: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

114

Tabel 4.13 memperlihatkan pengaruh perbandingan metanol-air terhadap

perolehan kadar senyawa fenolat dari daun dewa, daun jambu biji dan herba

meniran. Perbandingan metanol-air memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap perolehan kadar senyawa fenolat (p < 0,05). Pengujian secara statistik

menunjukkan bahwa perbandingan metanol-air 70:30 dan 60:40 mempunyai

pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap perolehan kadar senyawa fenolat (p >

0,05), sedangkan perbandingan metanol-air 50:50, 80:20, 40:60 dan 100:0 dan

40:60 mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar

senyawa fenolat (p < 0,05). Adanya air yang cukup dalam pelarut ekstraksi

mempermudah pelarut menembus dinding sel tumbuhan obat sehingga pelarut

dapat melarutkan senyawa fenolat yang ada dalam sel tumbuhan obat tersebut

(Gaedcke, et al., 2003). Hal ini telah dibuktikan pula sebelumnya oleh Bauer

(1998) dalam mengekstrasi flavonoid dari bunga kamil memakai pelarut metanol.

Page 146: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

115

Tabel 4.13 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air

Perbandingan Metanol-

Air Jenis Sampel

Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran

100:0

0,3766 0,1750 0,1030

0,3689 0,1720 0,1037

0,3751 0,1800 0,1064

rata-rata 0,3735a 0,1757a 0,1044a

SD 0,0041 0,0040 0,0018

80:20

0,4786 0,2070 0,1396

0,4802 0,2060 0,1381

0,4795 0,2060 0,1413

rata-rata 0,4794b 0,2063b 0,1397b

SD 0,0008 0,0006 0,0016

70:30

0,5897 0,3100 0,1448

0,5875 0,3060 0,1447

0,5768 0,3080 0,1443

rata-rata 0,5847c 0,3080c 0,1446c

SD 0,0069 0,0020 0,0003

60:40

0,5165 0,3650 0,1493

0,5045 0,3500 0,1489

0,5211 0,3450 0,1493

rata-rata 0,5140c 0,3533c 0,1492c

SD 0,0086 0,0104 0,0002

50:50

0,4007 0,4140 0,1016

0,3987 0,3992 0,0975

0,4124 0,4251 0,0966

rata-rata 0,4039d 0,4128d 0,0986d

SD 0,0074 0,0130 0,0027

40:60

0,3567 0,3420 0,0884

0,3548 0,3430 0,0876

0,3495 0,3450 0,0867

rata-rata 0,3537e 0,3433e 0,0876e

SD 0,0037 0,0015 0,0009

Keterangan: Kadar senyawa fenolat total dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)

Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap kadar senyawa fenolat

diperlihatkan dengan jelas pada Gambar 4.3. Dari gambar terlihat bahwa daun

dewa menghasilkan kadar senyawa fenolat paling tinggi bila diekstraksi dengan

metanol-air 70:30, sedangkan daun jambu biji menghasilkan kadar zat tersari

Page 147: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

116

paling tinggi bila diekstraksi dengan metanol-air 50:50 dan herba meniran dengan

metanol-air 60:40. Secara menyeluruh, campuran metanol-air antara 50:50 sampai

dengan 70:30 merupakan pelarut yang terbaik untuk mendapatkan kadar senyawa

fenolat yang optimum dari ketiga tumbuhan obat tersebut.

Gambar 4.3 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

Gambar 4.4 memperlihatkan pengaruh perbandingan metanol-air terhadap

aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.

Kelihatannya perbandingan pelarut ekstraksi metanol-air tidak banyak

pengaruhnya terhadap aktivitas antioksidan ketiga tumbuhan tersebut. Namun

demikian, herba meniran dan daun jambu biji menunjukkan pengaruh yang agak

berbeda, karena ekstraksi kedua tumbuhan obat itu dengan perbandingan pelarut

metanol-air 70:30 dan 60:40 menyebabkan daya antioksidannya mendekati daya

antioksidan asam galat. Sebaliknya, ekstraksi daun dewa dengan pelarut metanol-

air 60:40 menyebabkan daya antioksidannya bertambah (IC-50 menurun).

-

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0.600

0.700

100:0 80:20 70:30 60:40 50:50 40:60

Kada

r sen

yaw

a fe

nola

t (%

)

Perbandingan Metanol:Air

Daun Dewa

Daun Jambu Biji

Herba Meniran

Page 148: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

117

Gambar 4.4 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap aktivitas

antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa

perbandingan pelarut metanol-air yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat

tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah

perbandingan metanol-air antara 70:30 dan 60:40. Kedua perbandingan metanol-

air ini tidak berbeda nyata unjuk kerjanya dalam memperoleh kadar senyawa

fenolat total dari ketiga tumbuhan obat yang diuji (p > 0,05).

4.5 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar

senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam

Tabel 4.14 memperlihatkan pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan

kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Cara

ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar zat

tersari (p < 0,05). Pengujian secara statistik menunjukkan bahwa cara sokletasi

0

1

2

3

4

100:0 80:20 70:30 60:40 50:50 40:60

Perbandingan Metanol-Air

IC-5

0 (m

cg/m

L)

Daun Dewa Daun Jambu Biji

Herba Meniran Asam Galat (Pembanding)

Page 149: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

118

mempunyai pengaruh yang tertinggi terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun

dewa, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara perkolasi untuk herba meniran.

Tabel 4.14 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara

Cara Ekstraksi

Jenis Sampel

Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran

Maserasi

149,0 122,0 249,1

150,2 122,0 249,0

149,0 121,5 249,1

rata-rata 149,4a 121,8a 249,1a

SD 0,7 0,3 0,1

Perkolasi

184,7 130,1 294,9

185,5 130,9 295,1

184,8 130,2 294,9

rata-rata 185,0b 130,4b 295,0b

SD 0,5 0,4 0,1

Sokletasi

208,4 150,3 202,2

207,8 150,0 202,0

208,6 150,4 202,3

rata-rata 208,3c 150,2c 202,1c

SD 0,4 0,2 0,1

Refluks

194,3 165,4 262,9

195,1 165,7 263,0

194,8 165,0 262,7

rata-rata 194,7d 165,4d 262,9d

SD 0,4 0,4 0,1

Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)

Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari diperlihatkan

dengan jelas pada Gambar 4.5. Dari gambar itu terlihat bahwa daun dewa

menghasilkan kadar zat tersari paling tinggi bila diekstraksi dengan cara sokletasi,

sedangkan herba meniran menghasilkan kadar zat tersari paling tinggi bila

diekstraksi dengan cara perkolasi dan daun jambu biji menghasilkan kadar zat

tersari tertinggi bila diekstraksi dengan cara refluks. Kelihatan dari hasil penelitian

Page 150: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

119

ini bahwa cara ekstraksi mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap

perolehan kadar zat tersari, tergantung pada tumbuhan obat yang diekstraksi

(Gaedcke, et al., 2003). Cara ekstraksi dingin (perkolasi) cocok untuk

mendapatkan kadar zat tersari dari herba meniran, sedangkan ekstraksi panas

(sokletasi dan refluks) lebih cocok untuk daun dewa dan daun jambu biji.

Fenomena seperti ini telah ditemukan pula sebelumnya oleh Bauer (1998) dalam

mengekstrasi bunga kamil dengan cara maserasi dan sokletasi.

Gambar 4.5 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari dari

daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

Tabel 4.15 memperlihatkan pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan

kadar senyawa fenolat dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Cara

ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar

senyawa fenolat (p < 0,05).

Tabel 4.15 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun

jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara

Cara Ekstraksi Jenis Sampel

0

50

100

150

200

250

300

350

Maserasi Perkolasi Sokletasi Refluks

Cara Ekstraksi

Kad

ar z

at te

rsar

i (m

g/g)

Daun Dewa

Daun Jambu Biji

Herba Meniran

Page 151: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

120

Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran

Maserasi

0,6547 0,4954 0,4980

0,6604 0,5022 0,4957

0,6535 0,4953 0,5154

rata-rata 0,6562a 0,4976a 0,5030a

SD 0,0037 0,0040 0,0108

Perkolasi

0,7007 0,4144 0,5975

0,6987 0,4262 0,6016

0,7124 0,3992 0,5966

rata-rata 0,7039b 0,4133b 0,5986b

SD 0,0074 0,0135 0,0027

Sokletasi

0,7913 0,4566 0,6014

0,8019 0,4592 0,5987

0,7854 0,4514 0,6021

rata-rata 0,7929c 0,4557c 0,6007c

SD 0,0084 0,0040 0,0018

Refluks

0,7624 0,4179 0,6814

0,7711 0,4199 0,6855

0,7605 0,4184 0,6808

rata-rata 0,7647d 0,4187d 0,6826d

SD 0,0057 0,0010 0,0026

Keterangan: Kadar senyawa fenolat total dihitung dalam satuan % berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)

Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat

diperlihatkan dengan jelas pada Gambar 4.6. Dari gambar itu terlihat bahwa daun

dewa menghasilkan kadar senyawa fenolat paling tinggi bila diekstraksi dengan

cara sokletasi, sedangkan herba meniran menghasilkan kadar senyawa fenolat

paling tinggi bila diekstraksi dengan cara refluks dan daun jambu biji

menghasilkan kadar zat tersari tertinggi bila diekstraksi dengan cara maserasi.

Kelihatan dari hasil penelitian ini bahwa cara ekstraksi mempunyai pengaruh yang

berbeda-beda terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total, tergantung pada

tumbuhan obat yang diekstraksi (Gaedcke, et al., 2003). Cara ekstraksi dingin

(maserasi) cocok untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat dari daun jambu biji,

sedangkan ekstraksi panas (sokletasi dan refluks) lebih cocok untuk daun dewa

dan herba meniran. Hasil penelitian seperti ini telah ditemukan pula sebelumnya

Page 152: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

121

oleh Bauer (1998) dalam mengekstrasi senyawa flavonoid dari bunga kamil

dengan cara maserasi dan sokletasi.

Gambar 4.6 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat

total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran Gambar 4.7 memperlihatkan pengaruh cara ekstraksi terhadap aktivitas

antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Kelihatannya

cara ekstraksi banyak pengaruhnya terhadap daya antioksidan ketiga tumbuhan

tersebut. Herba meniran menunjukkan pengaruh yang agak berbeda, karena

ekstraksi tumbuhan obat itu dengan cara sokletasi menyebabkan aktivitas

antioksidannya mendekati daya antioksidan asam galat. Sebaliknya, ekstraksi

daun dewa dan daun jambu biji dengan cara perkolasi menyebabkan aktivitas

antioksidannya bertambah (IC-50 menurun).

-

0.1000

0.2000

0.3000

0.4000

0.5000

0.6000

0.7000

0.8000

0.9000

Maserasi Perkolasi Sokletasi Refluks

Kada

r fen

olat

(%)

Cara Ekstraksi

Daun Dewa

Daun Jambu Biji

Herba Meniran

Page 153: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

122

Gambar 4.7 Pengaruh cara ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan dari daun

dewa, daun jambu biji dan herba meniran

Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara

ekstraksi terbaik tergantung pada jenis tumbuhan obat yang diekstraksi. Cara

perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang tertinggi untuk herba

meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara sokletasi untuk daun dewa.

Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang optimal, cara sokletasi cocok untuk

daun dewa, cara refluks untuk herba meniran dan cara maserasi untuk daun jambu

biji. Untuk mendapatkan daya antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk

herba meniran, cara perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa.

0

1

2

3

4

Maserasi Perkolasi Sokletasi Refluks

Cara Ekstraksi

IC-5

0 (m

cg/m

L)

Daun Dewa Daun Jambu Biji

Herba Meniran Asam Galat (Pembanding)

Page 154: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

123

4.6 Karakterisasi herba meniran dengan kromatografi lapis tipis (KLT)

Sebelum penggunaan KLT untuk karakterisasi herba meniran, campuran

pelarut yang digunakan sebagai eluen dioptimasi terlebih dahulu. Ada dua eluen

yang digunakan: eluen pertama adalah campuran heksana-etil asetat dengan

perbandingan antara 9:1 sampai 5:5 (kepolaran antara 0,53 sampai 2,25). Eluen

kedua adalah campuran petroleum eter-aseton dengan perbandingan antara 9:1

sampai 5:5 (kepolaran antara 0,6 sampai 2,6). Hasil optimasi selengkapnya

disajikan pada Lampiran 15.

Hasil optimasi analisis kromatografi lapis tipis fraksi-fraksi dari ekstrak

herba meniran menunjukkan bahwa eluen campuran petroleum eter – aseton yang

paling baik pemisahannya dan paling banyak noda diperoleh adalah pada

perbandingan 7:3. Pada fraksi petroleum eter ada 9 noda dengan Rf 0,96; 0,88;

0,82; 0,76; 0,72; 0,66; 0,6; 0,54; dan 0,16. Pada fraksi kloroform ada 11 noda

dengan Rf 0,96; 0,86; 0,76; 0,68; 0,64; 0,58; 0,52; 0,36; 0,28; 0,2 dan 0,1. Pada

fraksi metanol ada 4 noda dengan Rf 0,6; 0,42; 0,34; dan 0,24 (Table 4.16 dan

Gambar 4.8 dan 4.9).

Eluen campuran heksan – etil asetat yang paling baik pemisahannya

adalah pada perbandingan 7:3. Pada fraksi petroleum eter ada 7 noda dengan Rf

0,94; 0,8; 0,74; 0,64; 0,5; 0,4; dan 0,32. Pada fraksi kloroform ada 9 noda dengan

Rf 0,9; 0,8; 0,72; 0,6; 0,52; 0,42; 0,3; 0,24; dan 0,1. Pada fraksi metanol ada 2

noda dengan Rf 0,6 dan 0,1 (Table 4.10 dan Gambar 4.8 dan 4.9).

Page 155: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

124

Tabel 4.16 Karakter kromatografi lapis tipis fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan berbagai eluen

Jenis Eluen Jenis Fraksi

Fraksi petroleum eter

Fraksi kloroform

Fraksi metanol

Heksan-etil asetat 7:3

(Kepolaran 1,39)

Noda: 7 noda Noda: 9 noda Noda: 2 noda

Rf: 0,94, 0,8, 0,74, 0,64, 0,50, 0,4,

0,32

Rf: 0,90, 0,80, 0,72, 0,60, 0,52, 0,42, 0,30, 0,24,

0,1

Rf: 0,6, 0,1

Petroleum eter-aseton 7:3

(Kepolaran 1,6)

Noda :9 noda Noda : 11 noda Noda : 4 noda Rf : 0,96, 0,88, 0,82 0,76, 0,72, 0,66, 0,60, 0,54,

0,16

Rf : 0,96, 0,86, 0,76, 0,68, 0,64, 0,58, 0,52, 0,36, 0,28, 0,20, 0,1

Rf : 0,6, 0,42, 0,34, 0,24

Catatan: Noda dilihat di bawah sinar tampak, sinar UV 254 nm dan sinar tampak setelah disemprot dengan larutan asam sulfat 5% dalam metanol

Gambar 4.8 Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloroform

(K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan pembanding kuersetin (Q) dengan eluen heksan-etil asetat 7:3

Keterangan: Gambar kiri dilihat dengan sinar tampak, gambar tengah dilihat

dengan sinar UV 254 nm dan gambar kanan dilihat dengan sinar tampak setelah disemprot dengan larutan asam sulfat 5% dalam metanol

Page 156: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

125

Gambar 4.9 Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloroform

(K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan pembanding kuersetin (Q) dengan eluen petroleum eter – aseton 7:3

Keterangan : Gambar kiri dilihat dengan sinar tampak, gambar tengah dilihat dengan sinar UV 254 nm dan gambar kanan dilihat dengan sinar tampak setelah disemprot dengan larutan asam sulfat 5% dalam metanol

Berdasarkan hasil analisis KLT di atas dapat disimpulkan bahwa

komponen-komponen kimia dalam fraksi-fraksi herba meniran dapat memisah

dengan baik dengan menggunakan eluen campuran heksan-etil asetat 7:3

(kepolaran 1,39) atau campuran petroleum eter – aseton 7:3 (kepolaran 1,6). Pola

KLT ini dapat dipakai sebagai salah satu parameter untuk menentukan identitas

herba meniran sebagai pelengkap pola kromatografi yang ada dalam Farmakope

Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008). Pola kromatografi lapis tipis herba meniran

tersebut disajikan pada Lampiran 16.

Page 157: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

126

4.7 Karakterisasi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan

spektrofotometri fourir-transformer infrared (FTIR)

Spektrum FTIR serbuk kering daun dewa, daun jambu biji dan herba

meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.10, 4.11 dan 4.12. Dari gambar-gambar ini

terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah serbuk kering daun dewa, daun

jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.17).

Tabel 4.17 Analisis spektrum FTIR serbuk daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

Puncak/Pita Spektrum

Daun Dewa (cm-1)

Puncak/Pita Spektrum

Daun Jambu Biji

(cm-1)

Puncak/Pita Spektrum

Herba Meniran (cm-1)

Daerah Spektrum

(cm-1)

Jenis Ikatan (Cresswell et al.,

1982)

3433 3414 3414 3750 - 3000 Regang O – H atau N – H

2920 2928 2919 3300 - 2900 Regang C – H pada alkuna, alkena atau

Ar-H

3000 - 2700

Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C tersier dan H

pada aldehida

2400 - 2100 Regang C ≡ C atau C

≡ N

1900 - 1650

Regang C=O (asam, aldehida, keton,

amida, ester, anhidrida)

1637 1624 1636 1675 - 1500

Regang C = C (alifatik dan

aromatik), regang C=N-

1384 1317 1387 1475 - 1300 Lentur C – H pada atom C tersier

1384, 1130, 1104, 1063,

1043 1317, 1056 1387, 1232,

1077 < 1500 Daerah sidik jari

988, 819, 668 781 625 1000 - 650 Lentur C – H pada alkena dan Ar – H

(luar bidang)

Page 158: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

127

Gambar 4.10 Spektrum FTIR serbuk daun dewa

Gambar 4.11 Spektrum FTIR serbuk daun jambu biji

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.026.04

26.5

27.0

27.5

28.0

28.5

29.0

29.5

30.0

30.5

31.0

31.5

32.0

32.5

33.0

33.5

34.17

cm-1

%T

3414

2928

1624

13171056

781

Page 159: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

128

Gambar 4.12 Spektrum FTIR serbuk herba meniran

Gambar 4.13 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.05.0

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20.3

cm-1

%T

3414

2919

1636

13871232

1077

625

Page 160: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

129

Gambar 4.14 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun jambu biji

Gambar 4.15 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter herba meniran

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.00.0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

22

24

26

28

3031.0

cm-1

%T

34333008

29182850

1744

1541

1514

1463

1378

12611237

11561139

1112

1032

807

720

Page 161: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

130

Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa, daun jambu biji dan

herba meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.13, 4.14 dan 4.15. Dari gambar-

gambar ini terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah ekstrak petroleum eter

daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu

(Tabel 4.18).

Tabel 4.18 Analisis spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

Puncak/Pita Spektrum

Daun Dewa (cm-1)

Puncak/Pita Spektrum

Daun Jambu Biji

(cm-1)

Puncak/Pita Spektrum

Herba Meniran (cm-1)

Daerah Spektrum

(cm-1)

Jenis Ikatan (Cresswell et al.,

1982)

3436 3573, 3425 3433, 3008 3750 - 3000

Regang O – H atau N – H

2958, 2920 2925 2918 3300 - 2900

Regang C – H pada alkuna, alkena atau

Ar-H

2856 2852 2850 3000 - 2700

Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H

pada atom C tersier dan H pada

aldehida

2380, 2346 2400 - 2100

Regang C ≡ C atau C ≡ N

1734 1744 1900 - 1650

Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida,

ester, anhidrida)

1509 1629 1541, 1514 1675 - 1500

Regang C = C (alifatik dan

aromatik), regang C=N-

1465, 1429, 1366

1437, 1381, 1304 1463, 1378 1475 -

1300 Lentur C – H pada

atom C tersier

1465, 1429, 1366, 1229,

1082, 716, 698

1437, 1381, 1304, 11,83,

1023

1463, 1378, 1261, 1237, 1156,1139, 1112, 1032

< 1500 Daerah sidik jari

716, 698 807, 720 1000 - 650 Lentur C – H pada alkena dan Ar – H

(luar bidang)

Page 162: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

131

Spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa, daun jambu biji dan herba

meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.16, 4.17 dan 4.18. Dari gambar-gambar ini

terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah ekstrak kloroform daun dewa, daun

jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.19).

Gambar 4.16 Spektrum FTIR Ekstrak kloroform daun dewa

Page 163: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

132

Gambar 4.17 Spektrum FTIR Ekstrak kloroform daun jambu biji

Gambar 4.18 Spektrum FTIR Ekstrak kloroform herba meniran

Tabel 4.19 Analisis spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

Puncak/Pita

Spektrum Puncak/Pita

Spektrum Puncak/Pita

Spektrum Daerah

Spektrum Jenis Ikatan

(Cresswell et al.,

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.020.0

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35.0

cm-1

%T

37843660

3572

3409

2926

2854

1617

14571167

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.08.0

10

12

14

16

18

20

22

24

26

28

30

31.0

cm-1

%T

3435

2919

2851

1740

1716

15131498

14631457

1378

12611237

11581100

1033

720

Page 164: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

133

Daun Dewa (cm-1)

Daun Jambu Biji

(cm-1)

Herba Meniran (cm-1)

(cm-1) 1982)

3433 3660, 3572, 3409 3435 3750 -

3000 Regang O – H atau N –

H

2921 2926 2919 3300 - 2900

Regang C – H pada alkuna, alkena atau Ar-

H

2856 2854 2851 3000 - 2700

Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C tersier dan H

pada aldehida

2400 - 2100

Regang C ≡ C atau C ≡ N

1734 1740, 1716 1900 - 1650

Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida,

ester, anhidrida)

1513 1617 1513 1675 - 1500

Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang

C=N-

1458, 1363 1457 1463, 1457, 1378

1475 - 1300

Lentur C – H pada atom C tersier

1458, 1364, 1165, 1105,

925, 696 1457, 1167

1498, 1463, 1457, 1378, 1261, 1237, 1158, 1100,

1033

< 1500 Daerah sidik jari

925, 696 720 1000 - 650 Lentur C – H pada

alkena dan Ar – H (luar bidang)

Spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa, daun jambu biji dan herba

meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.19, 4.20 dan 4.21. Dari gambar-gambar ini

terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah ekstrak metanol daun dewa, daun

jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.20).

Page 165: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

134

Gambar 4.19 Spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa

Gambar 4.20 Spektrum FTIR ekstrak metanol daun jambu biji

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.010.0

12

14

16

18

20

22

24

26

28

30

32

34

36

38

40

42

4445.0

cm-1

%T

3751

3393

2925

1699

1611

1518

1448

1231

1048

579

Page 166: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

135

Gambar 4.21 Spektrum FTIR ekstrak metanol herba meniran

Tabel 4.20 Analisis spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

Puncak/Pita Spektrum

Daun dewa (cm-1)

Puncak/Pita Spektrum

Daun Jambu Biji

(cm-1)

Puncak/Pita Spektrum

Herba Meniran (cm-1)

Daerah Spektrum

(cm-1)

Jenis Ikatan (Cresswell et al.,

1982)

3437 3393 3427 3750 - 3000

Regang O – H atau N – H

2927 2925 3300 - 2900

Regang C – H pada alkuna, alkena atau Ar-H

3000 - 2700

Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C

tersier dan H pada aldehida

2400 - 2100

Regang C ≡ C atau C ≡ N

1734 1699 1900 - 1650

Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida,

ester, anhidrida)

1631 1611, 1518 1624 1675 - 1500

Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang

C=N-

1384 1448 1384 1475 - 1300

Lentur C – H pada atom C tersier

1384, 1989, 1056, 915, 821, 662

1448, 1231, 1048

1384, 1212, 1051 < 1500 Daerah sidik jari

915, 821, 662 1000 - 650 Lentur C – H pada

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.02.0

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24.0

cm-1

%T

3780

3424

1624

1384

12121051

624

Page 167: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

136

alkena dan Ar – H (luar bidang)

Spektrum FTIR residu daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

diperlihatkan dalam Gambar 4.22, 4.23 dan 4.24. Dari gambar-gambar ini terlihat

ciri khas pita-pita serapan infra merah residu daun dewa, daun jambu biji dan

herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.21).

Gambar 4.22 Spektrum FTIR residu daun dewa

Page 168: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

137

Gambar 4.23 Spektrum FTIR residu daun jambu biji

Gambar 4.24 Spektrum FTIR residu herba meniran

Tabel 4.21 Analisis spektrum FTIR residu daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

Puncak/Pita

Spektrum Daun Dewa

(cm-1)

Puncak/Pita Spektrum

Daun Jambu Biji

(cm-1)

Puncak/Pita Spektrum

Herba Meniran (cm-1)

Daerah Spektrum

(cm-1)

Jenis Ikatan (Cresswell et al., 1982)

3433 3424 3409 3750 - Regang O – H atau N – H

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.020.0

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38.0

cm-1

%T

3421

2928

2346

1623

1443

1318

1237

1052

781605

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.04.0

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20.0

cm-1

%T

3409

2931

1639

13881320

1232

1095

647

Page 169: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

138

3000

2931 3300 - 2900

Regang C – H pada alkuna, alkena atau Ar-H

2870 2928 3000 - 2700

Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C

tersier dan H pada aldehida

2346 2400 - 2100

Regang C ≡ C atau C ≡ N

1720 1900 - 1650

Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida,

ester, anhidrida)

1632, 1579 1623 1639 1675 - 1500

Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang

C=N-

1443, 1318 1388, 1320 1475 - 1300

Lentur C – H pada atom C tersier

1150, 1103,694

1443, 1318, 1237, 1052

1388, 1320, 1232, 1095 < 1500 Daerah sidik jari

694 781 647 1000 - 650 Lentur C – H pada alkena dan Ar – H (luar bidang)

Berdasarkan analisis spektrum FTIR di atas dapat dilihat bahwa pola

spektrum serbuk dan ekstrak ketiga simplisia itu menunjukkan pola yang khas.

Oleh karena itu, spektrum FTIR dapat digunakan sebagai pelengkap data

monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope

Herbal Indonesia. Pada monografi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I (Depkes,

2008) belum ada data spektrum FTIR ketiga simplisia atau ekstrak tumbuhan obat

tersebut.

4.8 Karakterisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)

Dari beberapa perbandingan fase gerak yang digunakan untuk pemisahan

campuran senyawa pembanding flavonoid diperoleh hasil terbaik dengan

menggunakan fase gerak metanol : asam asetat 1% pada perbandingan 70 : 30 dan

sistem KCKT partisi fase terbalik RP 18 (250 x 4,6 mm, 5 µm), detektor UV pada

Page 170: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

139

panjang gelombang 360 nm dan kecepatan alir 1 mL/menit. Dari kromatogram

dapat dilihat bahwa senyawa rutin terlihat pada waktu retensi 3,225 menit

(Gambar 4.25), sedangkan pada kromatogram pembanding kuersetin terdapat dua

puncak yaitu isokuersitrin terlihat pada waktu retensi 4,450 menit dan kuersetin

terlihat pada waktu retensi 5,683 menit (Gambar 4.26). Kromatogram campuran

ketiga senyawa pembanding tersebut menunjukkan tiga puncak pada waktu retensi

3,208, 4,483 dan 5,767 menit (Gambar 4.27). Pada pengukuran KCKT senyawa

pembanding secara berulang diperoleh waktu retensi seperti pada Tabel 4.22.

Gambar 4.25 Kromatogram Rutin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm

Page 171: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

140

Gambar 4.26 Kromatogram isokuersetin dan quersetin dengan kolom fase

terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm

Gambar 4.27 Kromatogram campuran rutin, isokuersitrin dan kuersetin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm

Page 172: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

141

Tabel 4.22 Waktu retensi senyawa pembanding rutin, isokuersitrin dan kuersetin yang diukur berulang kali

Senyawa Pembanding

Waktu Retensi (menit)

Rata-rata (menit)

Minimum (menit)

Maksimum (menit)

Rutin

3,225 3,250 3,242 3,225 3,233

3,235 3,225 3,250

Isokuersitrin

4,450 4,525 4,508 4,467 4,517

4,493 4,450 4,525

Kuersetin

5,808 5,817 5,800 5,683 5,725

5,767 5,683 5,817

Ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran difraksinasi

terlebih dahulu untuk memisahkan senyawa yang bersifat non polar, semi polar

dan polar. Pelarut yang digunakan pada proses fraksinasi ini adalah heksan (non

polar), etil asetat (semi polar) dan butanol (polar) dan air (paling polar). Dari

fraksinasi ekstrak daun dewa didapat 4 fraksi yaitu fraksi heksan, fraksi etil asetat,

fraksi butanol dan fraksi air. Dari keempat fraksi ini, fraksi heksan tidak

dikarakterisasi dengan KCKT karena dikhawatirkan fraksi heksan yang bersifat

non polar akan terikat kuat dalam kolom. Fraksi-fraksi etil asetat, butanol dan air

dikarakterisasi menggunakan KCKT. Fraksi-fraksi ini mengandung senyawa

fenolat dan senyawa semi polar lainnya. Hasil fraksinasi ini diuapkan dengan

rotary evaporator sehingga diperoleh larutan pekat. Larutan pekat ini dilarutkan

dalam metanol lalu diukur dengan menggunakan KCKT fase terbalik.

Page 173: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

142

Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam karakterisasi ekstrak daun

dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan KCKT, uji kesesuaian sistem

perlu dilakukan terlebih dahulu. Untuk uji kesesuaian sistem, faktor-faktor yang

harus diperhatikan adalah jenis kolom yang digunakan, jenis fase gerak yang

cocok dan panjang gelombang detektor. Pada penelitian ini kolom yang

digunakan adalah kolom Chromasil-C18, ukuran 250 mm x 4,6 mm. Pemilihan

kolom ini disesuaikan dengan metode KCKT yang digunakan yaitu KCKT partisi

fase terbalik yang dapat digunakan dengan fase gerak polar dan semi polar. Uji

kesesuaian sistem ini dilakukan dengan menggunakan senyawa pembanding yang

diperkirakan terkandung dalam ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba

meniran yaitu rutin, isokuersitrin dan kuersetin. Dari kromatogram yang

dihasilkan dihitung nilai tinggi plat teoritis (HETP), jumlah plat teoritis (N),

faktor kesimetrisan (TF), resolusi (R), selektivitas (α) dan faktor kapasitas (k’).

Hasil uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisis campuran beberapa flavonoid

disajikan selengkapnya pada Lampiran 17.

Detektor yang digunakan adalah detektor UV pada panjang gelombang

360 nm. Panjang gelombang ini dipilih karena senyawa pembanding yang

digunakan adalah senyawa flavonoid yaitu rutin, isokuersitrin dan kuersetin yang

memiliki banyak gugus kromofor pada strukturnya sehingga bisa terdeteksi

panjang gelombang 360 nm. Selain itu, senyawa flavonoid dapat terdeteksi secara

maksimal pada panjang gelombang tersebut (Pennarietta et al., 2007).

Pada penelitian ini fase gerak yang dicobakan adalah campuran asetonitril

– air (50:50, 60:40, 70:30), campuran metanol – air (50:50, 60:40, 70:30) dan

campuran metanol – asam asetat 1% (50:50, 60:40, 70:30). Dari semua fase gerak

Page 174: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

143

yang telah dicobakan diperoleh pemisahan yang terbaik untuk campuran senyawa

pembanding rutin, isokuersitrin dan kuersetin dengan menggunakan fase gerak

campuran metanol – asam asetat 1% dengan perbandingan 70:30 (Gambar 4.27).

Dari hasil uji kesesuaian sistem tersebut dapat disimpulkan bahwa kolom

yang dapat digunakan untuk memisahkan ketiga komponen itu dengan baik adalah

kolom fase terbalik Chromasil-C18 (250 x 4,6 mm, 5 µm) dengan memakai fase

gerak campuran metanol – asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL dan

laju alir 1 mL/menit. Karena itu sistem ini dapat dipakai untuk karakterisasi

ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.

Untuk menentukan senyawa kimia yang terkandung di dalam fraksi etil

asetat, butanol dan air digunakan senyawa pembanding. Senyawa pembanding

yang digunakan adalah rutin dan kuersetin. Kedua senyawa ini digunakan sebagai

pembanding karena ekstrak daun dewa mengandung senyawa flavonoid dengan

komponen utama kuersetin dan rutin (Herwindriandita et al., 2006). Syarat

senyawa pembanding yang baik adalah senyawa harus murni yang menghasilkan

satu puncak. Senyawa pembanding rutin menunjukkan satu puncak yang dominan

pada pada waktu retensi 3,208 (Gambar 4.27) sehingga dapat dipakai sebagai

pembanding. Senyawa pembanding kuersetin menunjukkan dua puncak yang

dominan pada waktu retensi 4,483 menit dan 5,767 menit. Waktu retensi 4,483

menit menunjukkan senyawa isokuersitrin dan waktu retensi 5,767 menit

menunjukkan senyawa kuersetin. Senyawa pembanding kuersetin yang diperoleh

dari Laboratorium Biota Sumatra Universitas Andalas berupa campuran

isokuersitrin dan kuersetin. Senyawa isokuersitrin memiliki satu gugus gula pada

strukturnya sedangkan senyawa kuersetin tidak memiliki gugus gula (aglikon).

Page 175: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

144

Oleh karena itu senyawa isokuersitrin lebih polar dibandingkan dengan kuersetin

sehingga isokuersitrin lebih dulu keluar pada kromatogram (Gambar 4.26 dan

4.27).

Dari kromatogram hasil pengukuran ekstrak daun dewa (Gambar 4.28)

dapat dilihat bahwa pada fraksi etil asetat, butanol dan air dapat terdeteksi

beberapa senyawa. Karakteristik kromatogram itu diringkaskan dalam Tabel 4.23.

Pada kromatogram fraksi etil asetat (Gambar 4.28A) terdeteksi lima senyawa

dengan waktu retensi 3,358, 4,833, 6,350, 11,867 dan 12,317 menit. Pada

kromatogram fraksi butanol (Gambar 4.28B) terdeteksi tujuh senyawa dengan

waktu retensi 2,742, 2,942, 3,275, 3,625, 4,592, 5,000 dan 6,150 menit.

Sedangkan pada kromatogram fraksi air (Gambar 4.28C) terdeteksi enam senyawa

dengan waktu retensi 2,717, 2,875, 3,267, 7,500, 8,667 dan 13,150 menit.

Tabel 4.23 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi

air dari ekstrak daun dewa

Fraksi Jumlah Puncak

Puncak 1

(menit)

Puncak 2

(menit)

Puncak 3

(menit)

Puncak 4

(menit)

Puncak 5

(menit)

Puncak 6

(menit)

Puncak 7

(menit) Etil Asetat 5 3,358 4,833 6,350 11,867 12,317

Butanol 7 2,742 2,942 3,275 3,625 4,592 5,000 6,150 Air 6 2,717 2,875 3,267 5,883 8,667 13,150

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ekstrak daun dewa memiliki

kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari puncak rutin

yang terdapat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 3,358 menit), fraksi butanol

(waktu rentensi 3,275 menit) dan fraksi air (waktu retensi 3,267 menit). Puncak

isokuersetin terlihat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 4,833 menit) dan pada

fraksi butanol (waktu retensi 4,582 menit). Pada fraksi air dari ekstrak daun dewa

Page 176: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

145

tidak terlihat puncak isokuersetin. Namun kedua puncak isokuersetin ini pada

fraksi etil asetat dan fraksi butanol dari ekstrak daun dewa tidak dominan. Puncak

kuersetin tidak terlihat pada fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari

ekstrak daun dewa. Dengan demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk

identifikasi dan pemastian mutu ekstrak daun dewa.

Page 177: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

146

A

B

C

Gambar 4.28 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak daun dewa dengn kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm

Dari kromatogram hasil pengukuran ekstrak daun jambu biji (Gambar

4.29) dapat dilihat bahwa pada fraksi etil asetat, butanol dan air dapat terdeteksi

beberapa senyawa. Karakteristik kromatogram itu diringkaskan dalam Tabel 4.25.

Pada kromatogram fraksi etil asetat (Gambar 4.29A) terdeteksi tiga senyawa

dengan waktu retensi 2,792, 3,433 dan 7,725 menit. Pada kromatogram fraksi

butanol (Gambar 4.29B) terdeteksi empat senyawa dengan waktu retensi 2,759,

3,242, 4,175 dan 5,208 menit. Sedangkan pada kromatogram fraksi air (Gambar

Page 178: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

147

4.29C) terdeteksi enam senyawa dengan waktu retensi 2,042, 2,692, 3,200, 3,758,

4,200 dan 6,317 menit.

A

B

C

Gambar 4.29 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak daun jambu biji dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm

Tabel 4.24 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun jambu biji

Fraksi Jumlah

Puncak Puncak 1 (menit)

Puncak 2 (menit)

Puncak 3 (menit)

Puncak 4 (menit)

Puncak 4 (menit)

Puncak 6 (menit)

Etil Asetat 3 2,792 3,433 7,725

Butanol 4 2,750 3,242 4,175 5,208 Air 6 2,042 2,692 3,200 3,758 4,200 6,317

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ekstrak daun jambu biji

memiliki kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari

Page 179: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

148

puncak rutin yang terdapat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 3,433 menit),

fraksi butanol (waktu retensi 3,242 menit) dan fraksi air (waktu retensi 3,200

menit). Puncak isokuersitrin dan puncak kuersetin tidak terlihat dengan nyata pada

fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun jambu biji. Dengan

demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu

ekstrak daun jambu biji.

Dari kromatogram hasil pengukuran ekstrak herba meniran (Gambar 4.30)

dapat dilihat bahwa pada fraksi etil asetat, butanol dan air dapat terdeteksi

beberapa senyawa. Karakteristik kromatogram itu diringkaskan dalam Tabel 4.25.

Pada kromatogram fraksi etil asetat (Gambar 4.30A) terdeteksi dua senyawa

dengan waktu retensi 3,167 menit dan 3,817 menit. Pada kromatogram fraksi

butanol (Gambar 4.30B) terdeteksi lima senyawa dengan waktu retensi 1,992

menit, 3,183 menit, 3,625 menit, 4,158 menit dan 9,142 menit. Sedangkan pada

kromatogram fraksi air (Gambar 4.30C) terdeteksi enam senyawa dengan waktu

retensi 2,442 menit, 2,675 menit, 3,192 menit, 7,500 menit, 7,842 menit dan 9,950

menit.

Tabel 4.25 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi

air dari ekstrak herba meniran

Fraksi Jumlah Puncak

Puncak 1 (menit)

Puncak 2 (menit)

Puncak 3 (menit)

Puncak 4 (menit)

Puncak 4 (menit)

Puncak 6 (menit)

Etil Asetat 2 3,167 3,817

Butanol 5 1,992 3,183 3,625 4,158 9,142 Air 6 2,442 2,675 3,192 7,500 7,842 9,950

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ekstrak herba meniran

memiliki kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari

puncak rutin yang terdapat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 3,167 menit),

Page 180: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

149

fraksi butanol (waktu retensi 3,183 menit) dan fraksi air (waktu retensi 3,192

menit). Puncak isokuersitrin dan puncak kuersetin tidak terlihat dengan nyata pada

fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak herba meniran. Dengan

demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu

ekstrak herba meniran.

Page 181: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

150

A

B

C

Gambar 4.30 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak herba meniran dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm

4.9 Isolasi senyawa antioksidan dari daun dewa

Serbuk kering daun dewa (100 g) telah diekstraksi dengan cara refluks

secara berturut-turut dengan n-heksana, kloroform dan metanol. Setelah

Page 182: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

151

pelarutnya diuapkan dengan penguap putar diperoleh ekstrak kental n-heksana

sebanyak 17,1 g (17,1%), ekstrak kental kloroform 13,2 g (13,2%) dan ekstrak

kental metanol 11,3 g (11,3%). Walaupun persentase ekstrak n-heksana paling

tinggi di antara ketiga ekstrak tersebut, namun aktivitas antioksidannya belum

tentu lebih tinggi. Karena itu, pengujian aktivitas antioksidan ketiga ekstrak ini

perlu dilakukan.

Hasil pengujian aktivitas antioksidan ketiga ekstrak tersebut menunjukkan

bahwa ekstrak heksana menunjukkan persen inhibisi 5,75%, ekstrak kloroform

9,28% dan ekstrak metanol 87,32% pada konsentrasi 0,4 mg/mL. Sedangkan

senyawa pembanding kuersetin menunjukkan persen inhibisi 90,23% pada

konsentrasi 0,1 mg/mL. Hasil pengujian ini memperlihatkan bahwa ekstrak

metanol mempunyai aktivitas antioksidan dan paling tinggi (Tabel 4.26, Gambar

4.31). Oleh karena itu, ekstrak metanol daun dewa diidentifikasi dan diisolasi

lebih lanjut dengan kromatografi kertas.

Page 183: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

152

Tabel 4.26 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa (0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)

Jenis Ekstrak Ulangan % Inhibisi

Rata-rata Simpangan

Baku Kesalahan

baku

Selang Kepercayaan 95%

Batas Bawah

Batas Atas

Heksana 3 5,75a 0,21 0,12 5,23 6,26 Kloroform 3 9,28b 0,60 0,35 7,79 10,77 Metanol 3 87,32c 2,11 1,22 82,09 92,55 Kuersetin 3 90,23d 0,27 0,15 89,56 90,89 Total 12 48,14 42,48 12,26 21,15 75,13 Catatan: Nilai % inhibisi rata-rata yang mempunyai superkrip yang berbeda

menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada P < 0,05

Gambar 4.31 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa (0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)

Pengujian ekstrak metanol daun dewa dengan kromatografi kertas dua arah

menunjukkan tiga bercak yang berwarna kuning redup di bawah sinar UV 366 nm

dan warna kuningnya lebih nyata bila diberi uap amoniak. Hasil pengujian ini

Page 184: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

153

menunjukkan bahwa ketiga bercak tersebut adalah senyawa flavonoid golongan

flavonol yang mengandung 3-OH bebas dengan atau tanpa 5-OH bebas

(Markham, 1988). Berdasarkan pola sebaran bercak pada kertas kromatografi

tersebut dapat ditafsirkan senyawa flavonoid yang mungkin ada dalam ekstrak

metanol adalah aglikon (flavon, flavonol, biflavon, khalkon and auron) dan

glikosida (flavonol 3-O-diglikosida, flavonol 3-O-monoglikosida), katekin atau

epikatekin (Markham, 1988). Hasil pengujian ini membuktikan bahwa aktivitas

antioksidan ekstrak metanol daun dewa disebabkan oleh adanya senyawa

flavonoid. Selanjut perlu dibuktikan senyawa flavonoid apa yang mempunyai

aktivitas antioksidan paling tinggi dalam ekstrak metanol daun dewa tersebut.

Hasil pemisahan senyawa flavonoid dalam ekstrak metanol daun dewa

dengan kromatografi kertas preparatif memakai eluen asam asetat 15%

menunjukkan dua pita berwarna kuning redup di bawah sinar UV dan berwarna

kuning bila ditambah amoniak. Kedua pita itu adalah senyawa flavonoid yang

perlu diuji aktivitas antioksidannya. Hasil pengujian aktivitas antioksidan isolat

kedua pita itu menunjukkan bahwa isolat pita A (Rf = 0,14) memberikan persen

inhibisi DPPH sebesar 89,0% dan isolat pita B (0,6) sebesar 8,08%. Dengan

demikian isolat pita A mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada

isolat pita B (Tabel 4.27, Gambar 4.32). Karena itu, isolat pita A selanjutnya diuji

kemurnian dan identitasnya.

Page 185: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

154

Tabel 4.27 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)

Jenis Isolat Ulangan % Inhibisi

Rata-rata Simpangan

Baku Kesalahan

Baku

Selang Kepercayaan

95% Batas

Bawah Batas Atas

Isolat A 3 89,02a 0,60 0,35 6,59 9,57 Isolat B 3 8,08b 0,46 0,26 87,88 90,16 Kuersetin 3 90,23c 0,27 0,15 89,56 90,89 Total 9 62,44 40,78 13,59 31,09 93,79 Catatan: Nilai rata-rata yang mempunyai superkrip yang berbeda menunjukkan

adanya perbedaan yang signifikan pada P < 0,05

Gambar 4.32 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)

Hasil pengujian kemurnian isolat A dengan menggunakan kromatografi

kertas memakai eluen asam asetat 25% menunjukkan bahwa isolat A belum

murni, karena ada dua bercak dengan Rf 0,16 dan 0,18. Oleh karena itu isolat A

diisolasi lebih lanjut dengan kromatografi kertas preparatif memakai eluen asam

asetat 25% dan diuji aktivitas antioksidannya. Hasilnya menunjukkan bahwa

Page 186: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

155

isolat A1 (Rf 0,16) memberikan persen inhibisi DPPH sebesar 60,1% dan isolat

A2 (Rf 0,18) sebesar 91,0%. Dengan demikian isolat A2 mempunyai aktivitas

antioksidan yang lebih tinggi daripada isolat A1 (Tabel 4.28, Gambar 4.33).

Karena itu, isolat A2 diidentifikasi lebih lanjut baik secara kimia maupun secara

spektrofotometri.

Tabel 4.28 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak daun

dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)

Jenis Isolat Ulangan % Inhibisi

rata-rata Simpangan

Baku Kesalahan

Baku

Selang Kepercayaan 95%

Batas Bawah

Batas Atas

Isolat A1 3 59,78a 1,21 0,70 56,78 62,78 Isolat A2 3 90,61b 0,46 0,26 89,47 91,75 Kuersetin 3 90,21b 0,34 0,20 89,37 91,06 Total 9 80,20 15,33 5,11 68,41 91,99 Catatan: Nilai rata-rata yang mempunyai superkrip yang berbeda menunjukkan

adanya perbedaan yang signifikan pada P < 0,05

Gambar 4.33 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)

Page 187: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

156

Isolat A2 berupa serbuk warna kuning muda yang menghasilkan reaksi

positif dengan larutan besi(III) klorida dan uji Shinoda (Mg-HCl). Uji kimia ini

menunjukkan adanya senyawa polifenol dan kerangka flavonoid. Spektrum UV

isolat A2 memperlihat pita I pada 368,20 nm dan pita II pada 255,60 nm (Gambar

4.34). Pita I terletak pada rentang 350-385 nm dan pita II terletak pada rentang

250-280 nm yang membuktikan adanya senyawa flavonol dengan 3-OH bebas

(Markham, 1988).

Gambar 4.34 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol

Pada penambahan pereaksi diagnostik natrium metoksida ke dalam larutan

isolat A2 dalam metanol diperoleh spektrum seperti Gambar 4.35. Pada gambar

ini terlihat pergeseran batokromik pada pita I sebesar 48,6 nm (dari 368,20 nm

menjadi 416,80 nm) dengan adanya penurunan intensitas (dari absorban 0,525

menjadi 0,305). Setelah lima menit spektrumnya diukur kembali dan ternyata

intensitasnya menurun lebih lanjut (dari absorban 0,305 menjadi 0,250) (Gambar

4.36). Penurun intensitas spektrum setelah waktu tertentu merupakan petunjuk

Page 188: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

157

adanya gugus yang peka terhadap basa. Dengan demikian senyawa flavonoid

tersebut mempunyai gugus 3,4’-OH, o-diOH pada cincin A; pada cincin B: 3’-OH

yang berdampingan (Markham, 1988)

Gambar 4.35 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam

metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis putus-putus)

Gambar 4.36 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam

metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis titik-titik) dan setelah 5 menit (garis putus-putus)

Pada penambahan natrium asetat ke dalam larutan isolat A2 dalam

metanol diperoleh spektrum UV seperti Gambar 4.37 dengan geseran batokromik

sebesar 12,6 nm pada pita II (dari 255,60 nm menjadi 268,20 nm). Penambahan

Page 189: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

158

natrium asetat ke dalam larutan isolat A2 bermanfaat untuk mendeteksi gugus

spesifik 7-hidroksil bebas (atau yang setara). Natrium asetat akan menyebabkan

pengionan pada gugus hidroksil flavonoid yang paling asam (Markham, 1988).

Ionisasi gugus 7-hidroksil sebagian besar mempengaruhi pita II, sedangkan gugus

3- dan/atau 4’-hidroksil sebagian besar mempengaruhi pita I. Dengan demikian

isolat A2 adalah senyawa flavonol yang mempunyai gugus 7-hidroksil.

Gambar 4.37 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium asetat (garis tipis)

Pada penambahan asam borat ke dalam larutan flavonoid dalam metanol

yang telah diberi natrium asetat, asam borat akan membentuk kompleks dengan

gugus o-dihidroksil dan digunakan untuk mendeteksi gugus tersebut (Markham,

1988). Spektrum UV larutan isolat A2 dalam metanol yang telah ditambah dengan

natrium asetat dan asam borat (Gambar 4.38) memperlihatkan adanya geseran

batokromik sebesar 11,4 nm (< 12 nm) nisbi terhadap spektrum dalam larutan

metanol pada pita I (dari 368,20 nm menjadi 379,60 nm). Hal ini menunjukkan

adanya gugus o-dihidroksil pada cincin A (pada posisi 6,7 atau 7,8).

Page 190: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

159

Gambar 4.38 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal), setelah penambahan natrium asetat (garis tipis) dan setelah penambahan asam borat (garis putus-putus)

Penambahan pereaksi aluminium klorida ke dalam larutan flavonoid dalam

metanol akan membentuk kompleks tahan asam antara gugus hidroksil dan keto

yang bertetangga dan membentuk kompleks tidak tahan asam dengan gugus o-

dihidroksil. Karena itu pereaksi ini dapat digunakan untuk mendeteksi kedua

gugus tersebut (Markham, 1988). Pada penambahan pereaksi aluminium klorida

ke dalam larutan isolat A2 dalam metanol diperoleh spektrum UV seperti Gambar

4.39. Pada gambar itu terlihat adanya geseran batokromik sebesar 64,40 nm (dari

368,20 nm menjadi 432,60 nm) pada pita I. Penambahan asam klorida ke dalam

larutan isolat A2 yang telah diberi aluminium klorida menyebabkan terjadinya

pergeseran batokromik sebesar 60 nm (dari 368,2 nm menjadi 428,20 nm) pada

pita I (Gambar 4.40). Dengan demikian kompleks antara flavonoid dan aluminium

klorida tersebut tahan terhadap asam. Hal ini menunjukkan bahwa isolat A2

adalah senyawa flavon atau flavonol yang mempunyai gugus 3-OH (dengan atau

tanpa 5-OH).

Page 191: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

160

Gambar 4.39 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal) dan setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis)

Gambar 4.40 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal), setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis) dan setelah penambahan asam klorida (garis putus-putus)

Berdasarkan penafsiran dari spektrum UV isolat A2 dalam metanol dan

setelah ditambah dengan pereaksi-pereaksi geser dapat disimpulkan bahwa isolat

A2 tersebut diduga senyawa flavonoid dengan struktur seperti Gambar 4.41.

Kepastian struktur flavonoid tersebut diuji lebih lanjut dengan spektrofotometer

inframerah, spektroskopi massa, spektroskopi 1H-NMR dan 13C-NMR.

Page 192: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

161

Gambar 4.41 Struktur 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol (kuersetin)

Pita absorpsi inframerah pada bilangan gelombang 3292, 1614, 1517 dan

1165 cm-1 (Lampiran 18) menunjukkan adanya gugus-gugus hiroksil, karbonil,

cincin aromatik dan gugus eter pada isolat A2 (William & Fleming, 1980). Data

spektrum absorpsi inframerah isolat A2 ini memperkuat bukti bahwa isolat A2

dari ekstrak metanol daun dewa adalah senyawa flavonol.

Analisis kemurnian isolat A2 dengan LC-MS menunjukkan bahwa isolat

A2 sudah murni dengan satu puncak pada waktu retensi 4,0 menit (Lampiran 19).

Spektrum massa isolat A2 dari ekstrak metanol daun dewa dengan LC-MS ESI

ion positif menunjukkan ion puncak [M+H]+ pada 303,11 m/z (Lampiran 20).

Angka ini menunjukkan bahwa isolat A2 mempunyai bobot molekul 302,11

karena ion molekul menangkap satu proton (Kazakevich & LoBrutto, 2007).

Spektrum 1H NMR (500 MHz, DMSO-d6) isolat A2 (Lampiran 21)

menunjukkan signal pada 6,18 ppm (1 H, d) dan 6,40 ppm (1 H, d) yang

disebabkan oleh proton berpasangan meta pada cincin-A (H-6 dan H-8) inti

flavonoid. Sedangkan signal pada 6,88 ppm (1 H, d), 7,67 ppm (1 H, d) dan 7,53

ppm (1 H, q) disebabkan oleh H-5’, H-2’ dan H-6’ pada cincin B inti flavonoid.

Sinyal pada 12,49 ppm (1 H, s) disebabkan oleh ikatan hidrogen yang kuat pada

posisi 5-OH dan sinyal pada 9,35 ppm (2 H, d), 9,60 ppm (1 H, s) dan 10,79 ppm

O

OOH

OH

OH

OHHO

1

2

34

105

6

78

9 1'

2'

3'

4'5'

6'

Page 193: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

162

(1 H, s) di-sebabkan oleh gugus OH lainnya. Spektrum 1H NMR ini menunjukkan

adanya inti flavonoid (Markham, 1988).

Spektrum 13C NMR (500 MHz, DMSO-d6) isolat A2 dari ekstrak metanol

daun dewa menunjukkan adanya 15 atom karbon yang disebabkan oleh inti

flavonoid (Lampiran 22). Signal pada 175,8552 ppm disebabkan oleh gugus

karbonil pada C-4 inti flavonoid. Signal 163,8942 ppm disebabkan oleh C-7,

signal 160,7370 ppm oleh C-5, signal 156,1491 ppm oleh C-9, signal 147,7172

ppm oleh C-4’, signal 146,8015 ppm oleh C-2, signal 145,0751 ppm oleh C-3’,

signal 135,7561 ppm oleh C-3, signal 121,9637 oleh C-1’, signal 119,9893 ppm

oleh C-6’, signal 115,6207 ppm oleh C-5’, signal 115,0675 ppm oleh C-2’, signal

103,0302 ppm oleh C-10, signal 98,1942 ppm oleh C-6 dan signal 93,3678 ppm

oleh C-8 (Markham, 1988).

Page 194: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

163

Tabel 4.29 Data spektrum 1H NMR dan 13C NMR untuk isolat A2 dari ekstrak daun dewa dan kuersetin (500 MHz, DMSO-d6)

Posisi Data 1H Isolat A2

Data 1H Kuersetin (Adeyemi et al. 2010)

Data 13C Isolat A2

Data 13C Kuersetin (Adeyemi et al. 2010)

Data 13C Kuersetin

(Markham, 1988)

2 3 4 5 6 7 8 9 10 1’ 2’ 3’ 4’ 5’ 6’

5-OH OH lain

6,18 (d)

6,40 (d)

7,67 (d)

6,88 (d) 7,53 (q) 12,49 (s)

9,35 – 10,79

6,18 (d)

6,40 (d)

7,68 (d)

6,89 (d) 7,55 (q) 12,48 (s) 9,4 – 11,2

146,8015 135,7561 175,8552 160,7370 98,1942 163,8942 93,3678 156,1491 103,0302 121,9637 115,0675 145,0751 147,7172 115,6207 119,9893

147,5 136,3 176,5 161,4 98,9 164,5 94,0 156,8 103,7 122,6 115,8 145,7 148,4 116,3 120,7

146,8 135,6 175,9 160,7 98,2 163,9 93,5 156,2 103,1 121,7 115,3 145,0 147,6 115,6 120,0

Data spektrum NMR isolat A2 (Tabel 4.29) sangat mirip dengan data

spektrum 3’,4’,5,7-tetrahidroksi flavonol (kuersetin) yang dilaporkan dalam

literatur (Markham, 1988; Adeyemi et al., 2010). Berdasarkan data spektrum LC-

MS ESI ion positif, NMR, IR, UV dan perbandingan dengan data literatur dapat

disimpulkan bahwa flavonoid antioksidan yang terkandung dalam daun dewa

adalah 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol (kuersetin) dengan struktur seperti pada

Gambar 4.41.

Page 195: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

164

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan

bahwa:

10. Untuk analisis simplisia obat bahan alam yang mengandung senyawa fenolat,

faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah cara pengeringan sampel, jenis

pelarut yang dipakai untuk ekstraksi, perbandingan campuran pelarut dengan

air dan cara ekstraksi. Faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang

berbeda-beda tergantung pada jenis tumbuhan obat bahan alam yang

dianalisis.

a. Cara pengeringan daun dewa yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari

tertinggi (208,5 ± 0,6 mg/g) adalah dengan kering oven 40 oC, untuk

mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,4039 ± 0,0074%) dan

daya antioksidan tertinggi (IC50 3,042 µg/mL) adalah dengan kering

angin. Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk

mendapatkan kadar sari tertinggi (165,4 ± 0,4 mg/g) adalah dengan

kering oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi

(0,4550 ± 0,0045%) adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk

mendapat daya antioksidan tertinggi (IC50 2,825 µg/mL ) adalah dengan

kering angin. Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk

mendapatkan kadar sari (202,1 ± 0,1 mg/g), kadar senyawa fenolat

(0,1007 ± 0,0018% ) dan daya antioksidan (IC50 1,395 µg/mL) yang

tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC.

Page 196: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

165

b. Jenis pelarut ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari,

kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah

metanol. Ekstraksi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran

dengan pelarut metanol menghasilkan kadar zat tersari sebesar 239,4 ±

0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2 mg/g, masing-masing, dan

kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ± 0,0042%, 0,4949 ±

0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing. Sedangkan daya

antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh

jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya antioksidan daun

dewa yang tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol, daun jambu biji

dengan pelarut etanol dan herba meniran dengan pelarut metanol.

c. Perbandingan pelarut metanol-air yang terbaik untuk mendapatkan kadar

zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum

dari simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran adalah

perbandingan metanol-air antara 70:30 dan 50:50. Kedua perbandingan

metanol-air ini tidak berbeda nyata unjuk kerjanya dalam memperoleh

kadar senyawa fenolat total dari ketiga tumbuhan obat yang diuji (p >

0,05).

d. Cara perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang tertinggi untuk

herba meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara sokletasi

untuk daun dewa. Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang optimal,

cara sokletasi cocok untuk daun dewa, cara refluks untuk herba meniran

dan cara maserasi untuk daun jambu biji. Untuk mendapatkan daya

Page 197: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

166

antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk herba meniran, cara

perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa.

11. Untuk identifikasi simplisia tumbuhan obat yang mengandung senyawa

fenolat dapat digunakan pola-pola yang ditunjukkan oleh kromatografi lapis

tipis (KLT), spektrofotometri inframerah (IR) dan kromatografi cair kinerja

tinggi (KCKT) dari simplisia dan fraksi-fraksinya.

a. Pola kromatografi lapis tipis dari fraksi-fraksi herba meniran dapat

memisah dengan baik dengan menggunakan eluen campuran heksan-etil

asetat 7:3 (kepolaran 1,39) atau campuran petroleum eter – aseton 7:3

(kepolaran 1,6). Pola KLT ini dapat dipakai sebagai salah satu parameter

untuk menentukan identitas herba meniran sebagai pelengkap pola

kromatografi yang ada dalam Farmakope Herbal Indonesia.

b. Pola spektrum FTIR serbuk dan ekstrak simplisia daun dewa, daun jambu

biji dan herba meniran menunjukkan pola yang khas. Oleh karena itu,

spektrum FTIR dapat digunakan sebagai pelengkap data monografi daun

dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal

Indonesia.

c. Pola kromatogram kromatografi cair kinerja tinggi fraksi-fraksi etil

asetat, butanol dan air dari ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba

meniran menunjukkan adanya kandungan kimia flavonoid, terutama

rutin, isokuersitrin dan kuersetin. Hal ini ditunjukkan oleh puncak-

puncak ketiga senyawa tersebut yang terdapat pada kromatogram fraksi

etil asetat, butanol dan air sehingga dapat dijadikan sebagai senyawa

Page 198: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

167

identitas untuk pemastian mutu simplisia dan ekstrak ketiga simplisia

tersebut.

12. Berdasarkan proses isolasi yang dituntun dengan pengujian aktivitas

antioksidan, analisis data spektrum UV dengan pereaksi geser dan analisis

data spektrum LC-MS ESI ion positif, NMR, IR, serta perbandingan dengan

data literatur dapat disimpulkan bahwa flavonoid yang mempunyai aktivitas

antioksidan tertinggi yang terkandung dalam daun dewa adalah 3’,4’,5,7-

tetrahidroksi flavonol (kuersetin).

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap beberapa

tumbuhan obat dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:

7. Dalam penggunaan cara-cara analisis untuk pengawasan mutu obat bahan

alam sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia, pengeringan simplisia

daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran hendaklah dilakukan pada

suhu tidak lebih dari 40 oC. Ekstraksi daun dewa hendaklah dilakukan

dengan cara sokletasi memakai pelarut metanol, ekstraksi daun jambu biji

dengan cara maserasi memakai pelarut campuran metanol – air (50:50)

dan ekstraksi herba meniran dengan cara refluks memakai pelarut metanol.

8. Monografi herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia hendaklah

dilengkapi dengan pola KLT fraksi-fraksinya dengan memakai eluen

campuran heksan-etil asetat 7:3 atau petroleum eter-aseton 7:3.

Page 199: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

168

9. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam

Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data spektrum

FTIR dari serbuk dan ekstrak ketiga simplisia tersebut.

10. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam

Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data profil

KCKT fraksi-fraksinya dengan menggunakan rutin, kuersetin dan

isokuersetin sebagai senyawa identitas.

11. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa fenolat

yang aktif sebagai antioksidan dalam daun jambu biji dan herba meniran

sehingga dapat dipakai sebagai senyawa identitas dalam pengawasan mutu

simplisia, ekstrak dan sediaan fitofarmaka yang mengandung kedua

tumbuhan obat tersebut.

12. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa identitas

yang aktif sebagai antimikroba dan antikanker untuk pengawasan mutu

sediaan fitofarmaka yang mengandung simplisia atau ekstrak daun dewa,

daun jambu biji dan herba meniran.

Page 200: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

169

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. 2005. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) terhadap kadar kolesterol total, kolesterol HDL dan kolesterol LDL dalam serum tikus jantan hiperkolesterolemik. Tesis. Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

Abu-Amsha, R., K.D. Croft, I.B. Puddey, J.M. Proudfoot and L.J. Beilin. 1996. Phenolic content of various beverages determines the extent of inhibition of human serum and low density lipoprotein oxidation in vivo identification and mechanism of action of some cinnamic acid derivatives from red wine. Clinical Science 91: 449-458.

Adlercreutz, H., H. Markkanen and S. Watanabe. 1993. Plasma concentration of phytoestrogens in Japanese men and women consuming a traditional Japanese diet. Lancet 342: 1209-1210.

Akasbi, M., D.W. Shoeman and A.S. Csallany. 1993. High performance liquid chromatography of selected phenolic compounds in olive oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 70: 367–370.

Amiot, M.J., M. Tachimi, S.Y. Aubert and W. Oleszek. 1995. Influence of Cultivar, Maturity Stage, and Storage Conditions on Phenolic Composition and Enzymatic Browning of Pear Fruits, J. Agric. Food Chem 43: 1132-1137.

Anonim, 2011. Meniran (Phyllanthus niruri), Plantamor.com situs dunia tumbuhan. http://www.plantamor.com/index.php?plant=990 (diakses 11 Agustus 2011)

Arima, H. and G. Danno. 2002. Isolation of Antimicrobial Compound from Guava (Psidium guajava L.) and Their Structural Elucidation, Bioscience, Biotechnology and Biochemistry 66(8): 1727-1730.

Arin, M.J., M.T. Diez and J.A. Resines. 1995. High-performance liquid chromatographic determination of phenolic acids isolated from plants. J. Liq. Chromatogr. 18(20): 4183-4192.

Astari, E.Y. 2008. Pengaruh pemberian decocta daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) DC.] terhadap penurunan kadar asam urat serum pada mencit putih jantan galur Balb-C hiperurisemia. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Ayuningsih, W. 2006. Telaah kandungan kimia umbi daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC.). Skripsi Sekolah Farmasi ITB. http://www.bahan-alam.fa.itb.ac.id (diakses 5 Mei 2009).

Page 201: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

170

Azar, M., E. Verette and S. Brun. 1987. Identification of Some Phenolic Compounds in Bilberry Juice Viccinium myrtillus. J. Food Sci. 52: 1255-1257

Bagalkotkar, G., S.R. Sagineedu, M.S. Saad and J. Stanslas. 2006. Phytochemical from Phyllanthus niruri Linn. and Their Pharmacological Properties: A Review, J. Pharm Pharmacol. 58(12): 1559-1570.

Bauer, R. 1998. Quality criteria and standardization of phytopharmaceuticals: can acceptable drug standards be achieved? Drug Information Journal 32:101-110.

Bilyk, A. and G.M. Sapers. 1986. Varietal differences in the quercetin, kaempferol, and myricetin contents of highbush blueberry, cranberry, and thornless blackberry, J. Agric. Food Chem. 34: 585-588.

Block, G. and L. Langseth. 1994. Antioxidant vitamins and disease prevention. Food Technology July: 80-84.

Block, G. 1992. A role for antioxidants in reducing cancer risk. Nutition Review 50: 207-213.

Bors, W., W. Heller, C. Michael and M. Saran. 1990. Flavonoids as antioxidants: determination of radical-scavenging efficiencies. Methods in Enzymology 186: 343-355.

Bosch, C.H. 2004. Gynura pseudochina (L.) DC. In: Grubben, G.J.H. & Denton, O.A. (Editors). PROTA 2: Vetertables/Legumes. [CD-Rom]. PROTA, Wageningen, Netherlands.

BPOM RI. 2004a. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.4.2411 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia.

BPOM RI. 2004b. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Volume 1, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

BPOM RI. 2006. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Volume 2, Badang Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

Bronner,W.E. and G.R. Beecher. 1995. Extraction and measurement of prominent flavonoids in orange and grapefruit juice concentrates. J. Chromatogr. A 705(2): 247.256.

Cao, G., E. Sofic and R.L. Prior. 1997. Antioxidant and pro-oxidant hehavior of flavonoids: structure-activity relationships. Free Radical Biology and Medicine 22(5): 749-760.

Page 202: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

171

Careri, M., M. Mangia and M. Musci. 1998 Overview of the applications of liquid chromatography-mass spectrometry interfacing systems in food analysis: Naturally occurring substances in food. J Chromatogr A. 794: 263–297.

Carbonneau, M.A., C.L. Lager, L. Monnier, C. Bonnet, F. Michel, G. Fouret, F. Deieu and B. Descomps. 1997. Supplementation with wine phenolic compounds increases the antioxidant capacity of plasma and vitamin E of low-density lipoprotein without changing the lipoprotein Cu2+ oxidazability: possible explanation by phenolic location. European Journal of Clinical Nutrition 51: 682-690.

Carle, R., I. Fleischhauer and D. Fehr. 1987. Judgement of quality of chamomile oil, Dtsch. Apoth. Ztg. 127(47):2451-2457.

Chaudhary, M.I., H. Qing, P.G. Xiao and Y.Y. Cheng. 2007. Clematis huchouensis Tamura: A tradisonal Chinese herbal medicine and its quality control using a high performance liquid chromatography technique, Biol. Pharm. Bull. 30(1): 165-168.

Chen, J., H. Zhao, X. Wang, F.S. Lee, H. Yang and L. Zheng. 2008. Analysis of major alkaloid in rhizoma coptidis by capillary electrophoresis-electrospray-time of flight mass spectrometry with different background elektrolytes, Electrophoresis 29(10): 2135-2147.

Chen, Z.Y., P.T. Chan, K.Y. Ho, K.P. Fung and J. Wang. 1996. Antioxidant activity of natural flavonoids is governed by number and location of their aromatic hydroxyl groups. Chemistry and Physics of Lipids 76: 157-163.

Cheng, Z.H., G.X. Chou and Z.T. Wang. 2005. A study on quality standard for Herba Siegesbeckidae. Zhongguo Zhong Yao Za Zhi 30(4): 257-259.

Chiavari, G., V. Concialini and G.C. Galletti. 1988. Electrochemical detection in the high-performance liquid chromatographic analysis of plant phenolics. Analyst. 113: 91–94.

Cook, N.C. and S. Samman. 1996. Flavonoids, chemistry, metabolism, cardioprotective effects amd dietary sources. Journal of Nutritional Biochemistry 7: 66-76.

Cova, D., L. De Angelis, F. Giavarini, G. Palladini and R. Parego. 1992. Pharmacokinetics and metabolism of oral diosmin in healthy volunteers. International Journal of Clinical Pharmacology Therapeutics and Toxicology 30: 279-286.

Cresswell, J.C., O.A. Runquist and M.M. Campbell, 1982, Analisis Spektrum Senyawa Organik, Edisi Ke-2, Diterjemahkan oleh K. Padmawinata dan I. Soediro, Penerbit ITB, Bandung

Page 203: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

172

Croft, K.D. 1999. Antioxidant effects of plant phenolic compounds. In T.K. Basu, N.J. Temple, & M.L. Garg (Eds.), Antioxidants in human health and disease. New York: CABI Publishing.

Crozier, A., M.E.J. Lean, M.S. McDonald and C. Black. 1997. Quantitative Analysis of The Flavonoid Content of Commercial Tomatoes, Onions, Lettuce, and Celery, J. Agric. Food Chem. 45: 590-595.

Dalimartha, S. 2008. Atlas tumbuhan obat Indonesia, Jilid 2, Cetakan X, Jakarta: Trubus Agriwidya.

Damle, M.C., S.H. Gala, A.A. Joshi, K. Rajagopalan and S. Vora. 2011. Phyllanthus Niruri, Pharmainfo.net http://www.pharmainfo.net/reviews/ phyllanthus-niruri, diakses 5 September 2011.

Davies, F.G. 1979. The genus of Gynura (Compositae) in Eastern Asia and Himalayas. Kew Bulletin. 33(4): 629-640.

Davies, F.G. 1980. The genus of Gynura (Compositae) in India, Sri Lanka abd the Seychelles. Kew Bulletin. 35(2): 373-367.

Delage, E., G.B. Baron and J-F. Drilleau. 1991. High-performance liquid chromatography of the phenolic compounds in the juice of some French cider apple varieties. J Chromatogr. 555: 125–136.

de Rijke, X.B., P.N.M. Demacker, N.A. Assen, L.M. Sloots, M.B. Katan and A.F.H. Stalenhoef. 1996. Red wine consumption does not effect oxidizability of low density lipoproteins in volunteers. American Journal of Clinical Nutrition 63: 329-334.

Depkes RI. 1977-1995. Materia Medika Indonesia Jilid I-VI, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta

Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Deswati. 2009. Pengaruh cara pengeringan dengan microwave terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) Merr.]. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi, Padang

Dick, A.J., P.R. Redden, A.C. de Marco, P.D. Lidster and T.B.Grindley. 1987. Flavonoid glycosides of Spartan apple peel. J. Agric. Food Chem. 35(4): 529-531.

Dolan , J.W. 2000. Starting out right, Part I . Selecting the tools. LC GC-Mag. Sep. Sci. 13(1): 12-15.

Page 204: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

173

Dutta, S. and S. Das. 2011. Effect of the leaves of Psidium guajava Linn. on experimentally induced colitis in animal models. IJGP. 5(1): 55-60.

Ewald C., S. Fjelkner-Modig, K. Johansson, I. Sjoholm and B. Akesson. 1999. Effect of processing on major flavonoids in processed onions, green beans, and peas, Food Chem. 64: 231-235.

Erlund, I., G. Alfthan, H. Siren, K. Ariniemi and A. Aro. 1999. Validated method for the quantitation of quercetin from human plasma using high-performance liquid chromatography with electrochemical detection, J. Chromatogr. A 727: 179-189

Fernandez de Simon, B., J. Perez-Ilzarbe, T. Hernandez, C. Gomez-Cordoves and I. Esterella. 1990. HPLC study of efficiency of extraction of phenolic compounds, Chromatogr. 30: 35-37

Fernandez de Simon, B., J. Perez-Ilzarbe, T. Hernandez, C. Gomez-Cordoves and I. Esterella. 1992. Importance of phenolic compounds for the characterization of fruit juices. J. Agric. Food Chem. 40: 1531-1535

Finger, A., U.H. Engelhardt and V. Wray. 1991. Flavonol glycosides in tea – kaempferol and quercetin rhamnodiglucosides. J. Sci. Food Agric. 55: 313-321

Fitria, A.T. 2008. Efek ekstrak etanol daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) DC] terhadap penurunan kadar asam urat mencit putih jantan galur Balb-C. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Frankel, E.N., A.L. Waterhouse and P.L. Teissedre.1995. Principle phenolic phytochemicals in selected Californian wines and their antioxidant activity in inhibitung oxidation of human low-density lipoproteins. Journal of Agricultural and Food Chemistry 43: 890-894.

Fu, P.P., Y.C. Yang, Q. Xia, M.W. Chou, Y.Y. Cui and G.Lin. 2002. Pyrrolizidine alkaloids – Tumorigenic components in Chinese herbal medicines and dietary supplements. Journal of Food and Drug Analysis 10(4): 198-211.

Gaedcke, F., B. Steinhoff and H. Blasius. 2003. Herbal Medicinal Product. Medpharm Scientific Publisher, Stuttgart, Germany

Galensa, R. and K. Herrmann. 1980a. Analysis of flavonoids by high-performance liquid chromatography. J. Chromatogr. 189: 217-224

Galensa R. and K. Herrmann. 1980b. Hochdruck flussigkeits chromatographische bestimmung von hesperidin in orangensaften, Dtsch. Lebensm-Rundsch 76: 270-273

Giachetti, C., C. Tognolono, P. Gnemi and A. Tenchoni. 1999. Simultaneous determination of trans- and cis-resveratrol in spiked plasma by high-

Page 205: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

174

performance liquid chromatography with photo-diode array UV-Vis and fluorimetric detection. Chromatogr. 50: 571–577.

Goupy, P.M., P.J.A. Varoquaux, J.J. Nicolas and J.J. Macheix. 1990. Identification and localization of hydroxycinnamoyl an flavonol derivatives from endive (Cichorium endivia L. cv. geante Maraichere) leaves. J. Agric. Food Chem. 38: 2116-2121

Gorinstein, S., M. Zemser and M. Weisz. 1994. Fluorometric analysis of phenolics in persimmons. Biosci Biotech Biochem 58: 1087–1092.

Griffiths, L. 1982. Mammalian metabolism of flavonoids. In: J. Harborne and T. Marby (eds). The Flavonoids: Advances in Research. Chapman and Hall, London, hal. 681-718.

Gu, L.H., T. Wu, Z.J. Zhang, G.X. Chou and Z.T. Wang. 2006. Evaluation of antioxidant activity of radix linderae and other two Chinese drugs using TLC-bioautography. Yao Xue Xue Bao 41(10): 956-962.

Hackett, A.M. 1983. The metabolism and excretion of (+)-14C-cyanidenol-3 in man following oral administration. Xenobiotica 13: 279-286.

Halliwell, B. and J.M.C. Gutteridge. 1990. The antioxidants of human extracellular fluids. Archives of Biochemistry and Biophysics 280: 1-8.

Halliwell, B. 1994. Free radicals, antioxidants and human disease: curiosity, cause or consequence? Lancet 344: 721-724.

Halliwell, B. (1996). Oxidative stress, nutrition and health. Experimental strategies for optimation of nutritional antioxidant intake in humans. Free Radical Research 25: 54-74.

Halliwell, B., J.M.C. Gutteridge and C.E. Cross. 1992. Free radicals, antioxidants and human disease: where are we now? Journal of Laboratory Clinical Medicine 119: 598-620.

Halliwell, B., R. Aeschbach, J. Loliger and O.I. Aruoma. 1995. The Characterization of Antioxidants, Food Chemical Toxicity 33: 601-617.

Harborne, J.B. 1965. Plant Polyphenols XIV. Characterization of flavonoid glycosides by acidic and enzymic hydrolysis, Phytochem. 4: 107-120.

Harborne, J.B. 1988. The Flavonoids: Recent Advances. In: Goodwin, T.W. ed. Plant Pigments. Academic Press, London

Harborne, J.B. 1989. Plant polyphenol. In: Dey, P.M. and J.B. Harborne (Eds.), Methods in Plant Biochemistry, Vol. 1, Academic Press, London.

Harborne, J.B. 1994). The flavonoids: advances in research since 1986, Chapman and Hall, London

Page 206: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

175

Harborne, J.B. 1998. Phytochemical methods: a guide to modern techniques of plant analysis, Chapman and Hall, London

Harborne, J.B. and H. Baxter, Eds. 1999. The handbook of natural flavonoid, Vol 1 dan 2, John Wiley and Sons, Chichester

Harmita, 2004. Petunjuk pelaksanaan validasi metode dan cara perhitungannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, 1(3): 117-135

Haslam, E. 1996. Natural polyphenols (vegetable tannins) as drug: possible modes of action. J. Nat. Prod. 59(2): 205-215

Haslam, E. 1998): Practical poliphenolics, from structure to molecular recognition and physiological action, Cambridge University Press, Cambridge.

Heinonen, I.M., A.S. Meyer and E.N. Frankel. 1998. Antioxidant activity of berry phenolic on human low-density lipoprotein and liposome oxidation. J. Agric. Food Chem. 46(10): 4107-4112.

Hermann, K. 1989. Occurence and content of hydrocinnamic acid and hydroxybenzoic acid compounds in food. Crit. Rev. Food. Sci. Nutr. 28: 315-347.

Hertog, M.G.L., P.C.H. Holman and D.P. Venema. 1992a. Optimation of a quantitative HPLC determination of potentially anticarcinogenic flavonoids in Vegetables and Fruits. J. Agi. Food Chem. 40: 1591-1598.

Hertog, M.G.L., P.C.H. Holman and M.B. Katan. 1992b. Content of potentially antiarcinogenic flavonoids of 28 vegetables and 9 fruits commonly consumed in The Netherlands J. Agi. Food Chem. 40: 2379-2383.

Hertog, M.G.L., E.J.M. Feskens, P.C.H. Hollman, M.B. Katan and D. Kromhout. 1993. Dietary antioxidant flavonoids and risk of coronary heart disease, The Zutphen Elderly Study. Lancet 342: 1007-1011.

Herwindriandita. 2006. Telaah fitokimia daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC). Skripsi Sekolah Farmasi ITB. http://www.bahan-alam.fa.itb.ac.id (diakses 5 Mei 2009).

Hollman, P.C.H. and D.P. Venema. 1993. The content of potentially anticarcinogenic ellagic acid in plant foods. In: Waldron, K.W., I.T. Johnson and G.R. Fenwick (eds.). Food and Cancer Prevention: Chemical and Biological Aspects. Royal Society of Chemistry, Cambridge

Hollman, P.C.H., J.H. van Vries, S.D. van Leeuwen, M.J. Mengelers and M.B. Katan. 1995. Absorption of dietary quercetin glycosides and quercetin in healthy ileostomy volunteers. American Journal of Clinical Nutrition 62: 1276-1282.

Page 207: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

176

Hollman, P.C.H., J.M.P. van Trijp and N.C.P. Buysman. 1996. Fluorescence detection of flavonols in HPLC by postcolumn chelation with aluminium. Anal. Chem. 68: 3511–3515.

Hollman, P.C.H. 1997. Bioavailability of Flavonoids. European Journal of Clinical Nutrition 51: S66-S69.

Hu, P., G.A. Luo, Z. Zhao and Z.H. Jiang. 2005. Quality assessment of radix Salviae miltiorrhizae. Chem. Pharm. Bull. 53(5): 481-486.

Hutajulu, T.F., R. Sari dan E.S. Hartanto. 2009. Analisis kandungan senyawa pirolizidin dalam hasil olahan kering teh herbal daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC). Journal of Agro-Based Industry. 26(2): 1-12

Ishiharu, K., K. Yoshimatsu, T. Yamakawa, H. Kamada and K. Shimomura. 1992. Phenolic constituents in tissue cultures of Phyllanthus niruri, Phytochem. 31(6): 2015-2018

Jaworski, A.W. and C.Y. Lee. 1987. Fractionation and HPLC determination of grape phenolics. J Agric Food Chem 38: 257–259.

Justesen, U., P. Knuthsen and T. Leth. 1998. Quantitative analysis of flavonols, flavones, and flavanones in fruits, vegetables and beverages by high-performance liquid chromatography with photo-diode array and mass spectrometric detection. J. Chromatogr. A 799: 101-110.

Kadiman, K. 2006. Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek Bidang Kesehatan dan Obat 2005–2025, Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Jakarta

Kandaswami, G., E. Perkins, D.S. Soloniuk, G. Drzewiecki and E. Middleton. 1993. Ascorbic acid enhanced antiproliferative effect of flavonoids on squamous cell carcinoma in vitro. Anticancer Drugs 4: 91-96.

Kanes, K., B. Tisserat, M. Berhow and C. Vandercook. 1993. Phenolic composition in various tissues of rutaceae species. Phytochem. 32: 967-974

Kato, Y., Y. Ogino, T. Aoki, K. Uchida, S. Kawakishi and T. Osawa. 1997. Phenolic antioxidants prevent peroxynitrite-derived collagen modification in vitro. J. Agric. Food Chem. 45: 3004-3009.

Khadeem, E.H.E. and Y.S. Muhammed. 1959. Constituents of the leaves of Psidium guajava L. J. Chem. Soc. 11: 3320-3323.

Khalifah, N. 2008. Pengaruh ekstrak kasar senyawa alkaloi dari daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC] terhadap aktivitas enzim lipase. Skripsi. Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Malang.

Kiehne, A. and U.H. Engelhardt. 1996Thermospray -LC-MS analysis of various groups of polyphenols in tea. Z Lebensm-Unters Forsch. 202; 48–54.

Page 208: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

177

Kuninori, T and J. Nishiyama. 1986. Separation and quantitation of ferulic acid and tyrosin in wheat seeds (Triticum aestivum) by reversed-phase high-performance liquid chromatography. J. Chromatogr. 362: 255-262

Laranjinha, J.A.N., L.M. Almeida and V.M.C. Madeira. 1994. Reactivity of dietary phenolic acids with peroxyl radicals: antioxidant activity upon low density lipoprotein peroxidation. Biochemical Pharmacology 48: 487-494.

Lazarowych, N.J. and P. Pekos. 1998. Use of fingerprinting and marker compounds for identification and standardization of botanical drugs: strategies for applying pharmaceutical HPLC analysis to herbal product. Drug Information Journal 32: 497-512.

Lee, M.J., Z.Y. Wang, H. Li, L. Chen, Y. Sun, S. Gabbo, D.A. Balentine and C.S. Yang. 1995. Analysis of plasma and urinary tea polyphenols in human subjects. Cancer Epidemiology, Biomarker and Preventors 4: 393-399.

Lee, H.S and B.W. Widmer. 1996., Phenolic compounds. In: Handbook of Food Analysis. Physical Characterization and Nutrient Analysis. Vol. 1, Marcel Dekker, Inc., New York, USA.

Li, Q.M. and M. Claeys. 1994. Characterization and differentiation of diglycosyl flavonoids by positive ion fast atom bombardment and tandem mass spectrometry. Biol Mass Spectrom. 23: 406–416.

Li, Y., Z. Hu and L. He. 2007. An approach to develop binary chromatographic fingerprints of the total alkaloids from Caulophyllum robustum by high performance liquid chromatography/diode array detector and gas chromatography/mass spectrometry. J Pharm Biomed Anal. 43(5): 1667-72.

Li, B.Y., Y. Hu, Y.Z. Liang, P.S. Xieb and Y.P. Du. 2004. Quality evaluation of fingerprints of herbal medicine with chromatographic data. Analytica Chimica Acta 514: 69-77

Liang, Y.Z., P. Xie and K. Chan. 2004. Quality control of herbal medicines. J. Chromatogr. B 812: 53-73

Lin, Y.Y., K.J. Ng and S. Yang. 1993Characterization of flavonoids by liquid chromatography-tandem mass spectrometry. J. Chromatogr. 629: 389–393.

Lin, T.J., K.J. Zhang and G.T. Liu. 1996. Effects of salvianolic acid A on oxigen radicals released by rat neutrophils and on neutrophil function. Biochemical Pharmacology 51: 1237-1241.

Liu, H.X., S.Q. Sun, G.H. Lv and K.K.C. Chan. 2006. Study on angelica and its different extracts by Fourier transform infrared spectroscopy and two-dimentional correlation IR spectroscopy, Spectrochimica Acta, Part A 64: 321-326.

Page 209: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

178

Liu, X.Q., L.L. Du, W.W. Li, H.F. Guan and F. Liu. 2008. Simultaneous qualitative and quantitative analysis of commercial bistorta rhizome and its differentiation from closely related herbs using TLC and HPLC-DAD fingerprinting, Chem. Pharm. Bull. 56(1): 75-78.

Lu, H.M., Y.Z. Liang and S. Chen. 2006. Identification and quality assessment of Houttuynia cordata injection using GC-MS fingerprint: a standardization approach. J. Ethnopharmacol. 105(3): 436-440.

Lunte, S.M. 1987. Structural classification of flavonoids in beverages by liquid chromatography with ultraviolet-visible and electrochemical detection. J Chromatogr. 384: 371–382.

Luthria, L. 2006. Influence of Sample Preparation on the Assay of Phytochemicals, American Laboratory, March 2006: 12-14

Macheix, J.J. and A. Fleuriet. 1998. Phenolic acids in fruits, In: Rive-Evans, C.A. and L. Packer (Eds.), Flavonoids in Health and Disease, Marcel Dekker Inc., New York.

Macheix, J.J., A. Fleuriet and J. Billot. 1990. Fruit phenolics. CRC Press, Boca Raton, USA.

Mahanom, H. , A.H. Azizah and M.H. Dzulkifly. 1999. Effect of different drying methods on concentrations of several phytochemicals in herbal preparation of 8 medicinal plants leaves. Mal J Nutr 5:47-54

Majors, R.E. 2001. New chromatography columns and accessories at the 2001 Pittsburgh Conference, Part 1. LC GC Eur. 14(5): 284-301

Manach, C., C. Morand and V. Crespy. 1998. Quercetin is recovered in human plasma as conjugated derivatives which retain antioxidant properties. FEBS Lett. 426: 331-336

Mangan, Y. 2003. Cara bijak menaklukkan kanker. Jakarta: AgroMedia

Mann, J. 1978. Secondary metabolism. Oxford Chemistry Series, Clarendon Press, Oxford.

Mariani. 2010. Pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) DC]. Skripsi. Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Padang

Markham, K.R. 1982. Technique of flavonoid identification, Academic Press, New York, USA.

Markham, K.R. 1989. Flavones, flavonols and their glycoside, In: Dey, P.M. and J.B. Harborne (Eds.) Methods in Plant Biochemistry, Vol. 1 Plant Phenolics, Academic Press, London

Page 210: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

179

Marko-Varga, G. and D. Barcelo. 1992. Liquid chromatographic retention and separation of phenols and related aromatic compounds on reversed phase columns. Chromatogr. 34: 146–154.

Mauri, P.L., L. Iemoli and C. Gardana. 1999. Liquid chromatography/electrospray ionization mass spectrometric characterization of flavonol glycosides in tomato extracts and human plasma. Rapid Comm Mass Spectr. 13: 924–931.

Mazza, G. and Y.S. Velioglu. 1992. Anthocyanins and other phenolic compounds in fruits of red-flesh apples. Food Chem 43: 113–117.

McRae, K.B., P.D. Lidster, A.C. DeMarco and A.J. Dick. 1990. Comparison of the polyphenol profiles of apple fruit cultivars by correspondence analysis, J. Sci. Food Agric. 50: 329-342

Merken, H.M. and G.R. Beecher. 2000. Measurement of food flavonoids by high-performance liquid chromatography: a review. J. Agric. Food Chem. 48: 577-599

Metwally, A.M., A.A. Omar, N.M. Ghazy, F.M. Harraz and A.M. El Sohafy. 2011. Monography of Psidium guajava L. leaves. Phcog J. 3(21): 89-104

Mitra, S. and R. Brukh. 2003. Sample Preparation: An Analytical Perspective, in Sample Preparation Techniques in Analytical Chemistry, (Ed: Mitra, S.), New York: John Wiley & Sons, Inc., 1-36

Möller, B. and K. Herrmann. 1983. Quinic acid esters of hydroxycinnamic acids in stone and pome fruit. Phytochem. 22: 477–481.

Morrow, J.D. and L.J. Roberts. 1996. The isoprostanes: current knowledge and directions for future research. Biochemical Pharmacology 51: 1-9.

Mosquera, O.M., Y.M. Correa, D.C. Buitrago and J. Nino. 2007. Antioxidant activity of twenty five plants from Columbian biodiversity. Mem Inst Oswaldo Cruz 102(5): 631-634

Mosquera, O. M., Y.M. Correa, and J. Nino. 2009. Antioxidant activity of plants extract from Colombian flora, Braz. J. Pharmacogn., 19(2A), 382-387

Mouly, P., E.M. Gaydou and J. Estienne. 1993. Column liquid chromatographic determination of flavanone in citrus, J. Chromatogr. 634: 129-134

Nardini, M., M. D’Aquino, G. Tomassi, V. Gentili, N. Di Felice and C. Scaccini. 1995. Inhibition of human LDL oxidation by caffeic acid and other hydroxycinnamic acid derivatives. Free Radical Biology and Medicine 19: 541-552.

Nash, R.J., H.P. Parry and A.A. Watson. 2006. Method for monitoring the quality of a herbal medicine, US Patent No. 2006/0003029 A1.

Page 211: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

180

Natarajan, K. S. Singh, T.R. Burke, D. Grunberger and B.B. Aggarwal. 1996. Caffeic acid phenethyl ester is a potent and specific inhibitor of activation on nuclear transcription factor NF-B. Proceedings of the National Academy of sciences, USA 93, 9090-9095.

Nielson, J.K., C.E. Olsen and M.K. Peterson. 1993. Acylated flavonol glycosides from cabbage leaves, Phytochem. 34: 539-544

Novayanti, D. 2009. Pengaruh ekstrak daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC.) terhadap waktu perdarahan and koagulasi pada tikus putih (Rattus norwegicus L.). Skripsi Sarjana. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Pace-Asciak, C.R., S. Hahn, E. Diamandis, G. Soleas and D.M. Goldberg. 1995. The red wine phenolics trans-resveritrol and quercetin block human platelet aggregation and eicosanoid synthesis: implication for protection against coronary heart disease. Clinica Chimica Acta 235: 207-219.

Paganga, G. and C.A. Rice-Evans. 1997. The identification of flavonoids as glycosides in human plasma. FEBS Letters 401: 78-82.

Palav, Y.K and P.M.D. Priscilla. 2006. Standardization of selected Indian medicinal herbal raw materials containing polyphenol as major phytoconstituents, Indian Journal of Pharmaceutical Sciences 68(4): 506-509

Peleg, H., M. Naim, R.L. Roussef and U. Zehavi. 1991. Distribution of bound and free phenolic acids in oranges (Citrus sinensis) and grapefruit (Citrus paradisi), J. Sci. Food Agric. 57: 417-426

Pennarietta, J.M., Alvarado, J.A., Akesson, B. and Bergenstahk, B. 2007. Separation of phenolic compounds from foods by reversed-phased high performance liquid chromatography. Bolivian Journal of Chemistry 24(1): 1-4.

Perry, L.M. 1980. Medicinal Plants of East and South East Asia: Attributed Properties and Uses. MIT Press, Cambridge, M.A.

Pewnim, T. 1993. Production of peroxidase from plants in the Thachin basin. Research Abstract: Silpakorn University 1993: 156

Pewnim, T. and S. Thadaniti. 1988. Study on medicinal plants of the Thachin basin with emphasis on the chemical and biological properties. Research Summary: Silpakorn University No. 3: 158

Pietta, P., R.M. Facino, M. Carini and P. Mauri. 1994. Thermospray liquid chromatography-mass spectrometry of flavonol glycosides from medicinal plants. J Chromatogr A. 661: 121–126.

Poon, G.K. 1998. Analysis of catechins in tea extracts by liquid chromatography-electrospray ionization mass spectrometry. J Chromatogr. 794: 63–74.

Page 212: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

181

Pourmorad, F., S.J. Hosseinimehr, N. Sgahabimajd. 2006. Antioxidant activity, phenol and flavonoid contents of some selected Iranian medicinal plants, African Journal of Biotechnology 5(11): 11-42-1145.

Price, K.R., T. Prosser, A.M.F. Richetin and M.J.C. Rodes. 1999. A comparison of the flavonol content and composition in desert, cooking and cider-making apples; distribution within the fruit and effect of juicing, Food Chem. 66: 489-494.

Prihanti, A.M.H. 2008. Pengaruh pemberian perasan daun dewa [Gynura segetum (Lour.) Merr.] terhadap bleeding time dan cloting time pada tikus Wistar jantan. Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember.

Puddey, I.B. and K.D. Croft. 1997. Alcoholic beverages and lipid peroxidation: relevance to cardiovascular disease. Addiction Biology 2: 269-276.

Pussayanawin, V. and D.L. Wetzel. 1987. High-performance liquid chromatographic determination of ferulic acid in wheat milling fractions as a measure of bran contamination. J Chromatogr 391: 243–255.

Putri, C.A.R. 2006. Efek infusum daun dewa [Gynura segetum (Lour.) Merr.] terhadap hambatan respon rasa nyeri: Penelitian eksperimental laboratoris pada mencit Balb C. Skripsi. Universitas Airlaingga, Surabaya.

Qi, X., B. Wu, Y. Cheng and H. Qu. 2009. Simultaneous characterization of pyrrolizidine alkaloids and N-oxides in Gynura segetum by liquid chromatography/ion trap mass spectrometry. Rapid Commun. Mass Spectrom. 23(2): 291-302

Qian, G.S., Q. Wang, K.S. Leung, Y. Qin, Z. Zao and Z.H. Jiang. 2007. Quality assessment of rhizoma et radix notopterygii by HPTLC and HPLC fingerprinting and HPLC quantitative analysis. J. Pharm. Biomed. Anal. 44(3): 812-817.

Ramírez-Durón, R., L. Ceniceros-Almaguer, R. Salazar-Aranda , L. Salazar-Cavazos and N. Waksman de Torres. 2007. Evaluation of thin-layer chromatography methods for quality control of commercial products containing Aesculus hippocastanum, Turnera diffusa, Matricaria recutita, Passiflora incarnata, and Tilia occidentalis. J AOAC Int. 90(4): 920-924

Regnault-Roger, C., R. Hadidane, J.F. Biard and K. Boukef. 1987. High performance liquid and thin-layer chromatographic determination of phenolic acids in palm (Phoenix dactilifera) products. Food Chem 25: 61–71.

Ribereau-Gayon, P. 1972. Plant Phenolics. New York, USA: Hafner

Rice-Evans, C.A., N. Miller and G. Paganga. 1996. Structure-antioxidant Activity Relationships of Flavonoids and Phenolic Acids. Free Radic. Biol. Med. 20(7): 933-956.

Page 213: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

182

Robards, K. and M. Antolovich. 1997. Analytical chemistry of fruit bioflavonoids: a review, Analyst. 122(2): 11R-34R.

Rommel, A. and R.E. Wrolstad. 1993a. Influence of acid and base hydrolysis on the phenolic composition of red raspberry juice, J. Agric. Food. Chem. 41: 1237-1241

Rommel, A. and R.E. Wrolstad. 1993b. Composition of flavonol in red raspberry juice as influenced by cultivar, processing, and environment factors, J. Agric. Food. Chem. 41: 1941-1950

Rouseff, R.L., K. Seetharaman, M. Naim, S. Nagy and U. Zahevi. 1992a. Improved HPLC determination of hydroxycinnamic acids in orange juice using solvents containing THF, J. Agic. Food Chem. 40: 1139-1143

Rouseff, R.L., G.R. Dettweiler and R.M. Swaine. 1992b. Solid-phase extraction and HPLC determination of 4-vinyl guaiacol and its precursor, ferulic acid, in orange juice, J. Chromatogr. Sci. 30: 383-387

Sabatier, S., M.J. Amiot, M. Tacchini and S. Aubert. 1992. Identification of flavonoids in sunflower honey. J. Food Sci. 57: 773-777

Sajuthi, D., L.K. Darusman, I.H. Suparto, A. Imanah. 2000. Potensi senyawa bioaktif daun dewa (Gynura pseudochina) sebagai antikanker, Tahap I. Buletin Kimia (Indonesia) 1(1): 23-29

Sajuthi, D. 2001. Ekstraksi, fraksinasi, karakterisasi dan uji hayati in vitro senyawa bioaktif daun dewa (Gynura pseudochina) sebagai antikanker, Tahap II. Buletin Kimia 1: 75-79

Sarmoko, 2011. Fitofatmaka di Indonesia. http://moko31.wordpress.com/ 2009/05/01/fitofarmaka-di-indonesia/ diakses tanggal 14 Oktober 2011.

Scalbert, A., I.T. Johnson and M. Saltmarsh. 2005. Polyphenols: antioxidants and beyond, Am. J. Clin. Nutr. 81(suppl.): 215S-217S.

Schmidt, T.J., I. Merfort and G. Willuhn. 1994. Gas chromatography-mass spectrometry of flavonoid aglicones II. Structure-retention relationships and a possibility of differentiation between isomeric 6- and 8-methoxyflavones, J. Chromatogr. A. 669: 236-240

Schofield, J.A., A.E. Hagerman and A. Harold. 1998. Loss of tannins and other phenolics from willow leaf litter. J. Chem. Ecol. 24(8): 1409-1421

Schreiber, A., R. Carle and E. Reinhard. 1990. On the accumulation of apigenin in chamomile flowers Planta Medica 56:179-181

Schuster, B. and K. Herrmann. 1985. Hydroxybenzoic and hydroxycinnamic acid derivatives in soft fruits. Phytochem. 24: 2761–2764.

Page 214: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

183

Seo, A. and C.V. Morr. 1984. Improved high-performance liquid chromatographyc analysis of phenolic acids and isoflavonoids from soybean protein products, J. Agric. Food Chem. 32: 530-533

Shahidi, F. and P.K.J.P.D. Wanasundara. 1992. Phenolic antioxidants. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 32(1): 67-103.

Shakil, N.S., Pankaj, J. Kumar, R.K. Pandey and D.B. Saxena. 2007. Nematicidal prenylated flavanones from Phyllanthus niruri. Phytochemistry Sep 2007: [Epub ahead of print]

Sharpe, P.C., L.T. McGrath, E. McLean, I.S. Yound and G.P. Archibold. 1995. Effect of red wine consumption on lipoprotein (a) and other risk factors for atherosclerosis. Quarterly Journal of Medicine 88: 101-108.

Sriwatanametanon, N., B.L. Fiebich, T. Efferth, J.M. Prieto and M. Heinrich. 2010. Traditionally used Thai medicinal plants: in vitro anti-inflammatory, anticancer and antioxidant activities. J. Ethnopharmacol. 130(2): 196-207

Siriwatanametanon, N. and M. Heinrich. 2011. The Thai medicinal plant Gynura pseudochina var. hispida: chemical composition and in vitro NF-kappaB inhibitory activity. Nat Prod Commun. 6(5): 627-630

Smith, C., M.J. Mitchinson, O.I. Arudma and B. Helliwell. 1992. Stimulation of lipid peroxidation and hydroxyl radical generation by the contents of atherosclerotic lesions. Biochemical Journal 288: 901-905.

Soedibyo, B.R.A.M. 1998. Alam sumber kesehatan: manfaat dan kegunaan. Balai Pustaka, Jakarta.

Soleas, G.J., D.M. Goldberg and E.P. Diamandis. 1997. Towards the fingerprinting of wines: cultivar-related patterns of polyphenolic constituents in Ontario wines. Journal of Agricultural and Food Chemistry 45: 3871-3880.

Srisuma N., R. Hammersschmidt, M.A. Uebersax, S. Ruengsakulrach, M.R. Bennink, G.L. Hosfield. 1989. Storage induced changes of phenolic acids and the development of hard-to-cook in dry beans (Phaseolus vulgaris, var. Seafarer). J Food Sci 54: 311–317.

Stagg, G.V. and D.J. Millin. 1975. The nutritional and therapeutic value of tea – a review. Journal of Science, Food and Agriculture 26: 1439-1459.

Strube, M., L.O. Dragstedt and J.C. Larsen, Eds. 1993. Naturally occuring antitumourigens. I. Plant Phenols. The Nordic Council of Minesters, Copenhagen.

Suda, I., T. Oki, Y. Nishiba, M. Masuda, M. Konayashi, S. Nagai, R. Hiyane and T. Miyashige. 2005. Polyphenol contents and radical scavenging activity of

Page 215: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

184

extracts from fruit and vegetables in cultivated in Okinawa, Japan, Nippon Shokuhin Kagaku Kaishi 52(10): 462-471.

Sudarsono, A. Pudjoanto, D. Gunawan, S. Wahyuono, I.A. Donatus, M. Drajad, S. Wibowo, dan Ngatidjan, 1996, Tumbuhan Obat, Hasil Penelitian, Sifat-sifat dan Penggunaan, 44-52, Pusat Penelitian Obat Tradisional, UGM, Yogyakarta.

Sulaksana, J. 2004. Meniran Budi Daya dan Pemanfaatan Untuk Obat, Jakarta: Penebar Swadaya

Sutthanut, K., B. Sripanidkulchai, C. Yenjai and M. Jay. 2007. Simultaneous identification and quantitation of 11 flavonoid constituents in Kaempferia parviflora by gas chromatography. J. Chromatogr. A. 1143(1-2): 227-233.

Than, N.N., S. Fotso, B. Poeggeler, R. Hardeland and H. Laatsch. 2006. Niruriflavone, a new antioxidant flavone sulfonic acid from Phyllanthus niruri, Z. Natureforsch. 61(b): 1-4

Thomas, S.R., P.K. Witting and R. Stocker. 1996. 3-Hydroxyanthranilic acid is an efficient, cell-derived co-antioxidant for -tocopherol, inhibiting human low density lipoprotein and plasma lipid peroxidation. J. Biol. Chem. 271: 32714-32721.

Tomas-Lorente, F., C. Garcia-Viguera, F. Ferreres and F.A. Tomas-Barberan. 1992. Phenolic compounds analysis in the determination of fruit jam genuineness. J. Agric. Food Chem. 40: 1800-1804

Torres, A.M., T. Mau-Lastovicka and R. Rezaaiyan. 1987. Total phenolics and high-performance liquid chromatography of phenolic acids of avocado, J. Agric. Food Chem. 35: 921-925

Tyler, V.E. 1999. Phytomedicines: back to the future. Journal of Natural Product. 62(11): 1589-92.

USDA, 2011. Plants Profil for Psidium guajava (guava). http://plants.usda.gov/java/profile (diakses 23 Juni 2011)

Valentão, P., P.B. Andrade, F. Areias, F. Ferreres and R.M. Seabra. 1999. Analysis of vervain flavonoids by HPLC/diode array detector method. Its application to quality control. J. Agric. Food Chem. 47(11): 4579 -4582

Van Acker, S.A.B.E., D.J. Van Denberg, M.N.J.L. Tromp, D.H. Griffinoen, W.P. Van Bennekom, W.J.F. Van Dervijgh and A. Bast. 1996. Structural aspects of antioxidant activity of flavonoids. Free radical Biology and Medicine 20: 331-342.

Vande Casteele, K., H. Geiger and C.F. van Sumere. 1983. Separation of phenolics (benzoic acids, cinnamic acids, phenylacetic acids, miscellaneous phenolics) and coumarins by reversed-phase high-performance liquid chromatography, J. Chromatogr. 258: 111-124

Page 216: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

185

Van Sumere, C.F. 1989. Phenols and phenolic acids. In: Dey PM, Harborne JB, eds. Methods in Plant Biochemistry. London, UK: Academic Press, p. 29–74.

Velkov, Z.A., M.K. Kolev and A.V. Tadjer. 2007. Modelling and statistical analysis of DPPH scavenging activity of phenolics. Collection of Czechoslovak Chemical Communication 72(11): 1461-1471.

Viera, O., J. Laranjinha, V. Madeira and L. Almeida. 1998a. Cholesteryl ester hydroperoxide formation in myoglobin-catalysed low density lipoprotein oxidation: concerted antioxidation activity of caffeic and coumaric acids with ascorbate. Biochemical Pharmacology 55: 333-340.

Viera, O., I. Escargueil-Blanc, O. Meilhac, J.P. Basile, J. Laranjinha, L. Almeida, R. Salvayre and A. Negre-Salvayre. 1998b. Effect of dietary phenolic compounds on apoptosis of human cultured endothelial cells induced by oxidized LDL. British Journal of Pharmacology 123: 565-573.

Visioli, F. and C. Galli. 1994. Oleuropein protects low density lipoprotein from oxidation. Life Science 55: 1965-1971.

Waksmundzka-Hajnos, M. 1998. Chromatografic separation of aromatic carboxylic acid, J. Chromatogr. B 717: 93-118.

Wang, H., G. Cao and R.L. Prior. 1996. Total antioxidant capacity of fruits. J. Agric. Food Chem. 44(3): 701-705

Wang, Y., L. Yang, Y.Q. He, C.H. Wang, E,W. Welbeck, S.W. Bligh and Z.T. Wang. 2008. Characterization of fifty-one flavonoids in a Chinese herbal preparation Longdan Xiegan Decoction by high-performance liquid chromatography coupled to electrospray ionization tandem mass spectrometry and photodiode array detection. Rapid Commun. Mass Spectrom. 22(12): 1767-1778.

Wang, Z., G. Ciabattoni, C. Creminon, J. Lawson, G.A. Fitzgerald, C. Patrono and J. Maclouf. 1995. Immunological characterization of urinary 8-epi-prostaglandin F2 excretion in man. Journal of Pharmacology and Experimental Theraphy 275: 94-100.

Waterman, P.G and S. Mole. 1994. Analysis of phenolic plant metabolites, In: Lawton, J.H. and G.E. Likens (Eds.), The Methods in Ecology Series, Blackwell Scientific Publicaions, Oxford

Welsh, W.J., W. Lin, S.H. Tersigni, E. Collantes, R. Duta, M.S. Carey, W.L. Zielinski, J. Brower, J.A. Spencer and T.P. Layloff. 1996. Pharmaceutical fingerprinting: evaluation of neural networks and chemometric techniques for distinguishing among same-product manufacturers. Anal. Chem. 68(19): 3473 -3482

WHO. 2000. General guidelines for methodologies on research and evaluation of traditional medicine. World Health Organization, Geneva.

Page 217: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

186

WHO. 2011. Quality control methods for herbal materials. World Health Organization, Geneva.

Wildanger, W. and K. Herman. 1973. The phenolics of fruits. II. The flavonols of fruits, Z. Lebensm-Unters Forsch 151: 103-108.

Williams, D.H. and I. Fleming. 1980. Spectroscopic methods in organic chemistry. 3rd Edition, McGraw-Hill Book Company (UK) Limited, Maidenhead, Berkshire, England.

Xu, X., H.J. Wang, B.A. Murphy, L. Cook and S. Hendrich . 1994. Daidzin is a more bioavailable soymilk isoflavone than is genestein in adult women. Journal of Nutrition 124: 825-832.

Yamanaka. N., O. Oda and S. Nagao. 1997. Pro-oxidant activity of caffeic acid, dietary non-flavonoid phenolic acid, on Cu2+-induced low density lipoprotein oxidation. FEBS Letters 405: 186-190.

Yan, S., W. Xin, G. Luo, Y. Wang and Y. Cheng. 2006. Chemical fingerprinting of Gardenia jasminoides fruit using direct sample introduction and gas chromatography with mass spectrometry detection. J AOAC Int. 89(1): 40-5.

Yang, M., J-Y. Li, X-Y. Li, L-B. Cong, J. Zhu, H. Xie, H-L. Yuan and X-H. Xiao. 2009. Simultaneous determination of senecionine, seneciphylline and Senecionine N-oxide in Gynura segetum by RP-HPLC. Analytical Letters. 42(12): 1820-1830

Yuan, S.Q., G.M. Gu and T.T. Wei. 1990. Studies on the alkaloids of Gynura segetum (Lour.) Merr. Yao Xue Xue Bao 25(3): 191-197

Zaini, R. 2006. Isolasi komponen bioaktif flavonoid dari tanaman daun dewa Gynura pseudochina (Lour) DC, Tesis¸Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Zerizka. 2009. Pengaruh ekstrak etanol daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC] terhadap aterosklerosis. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang

Zhen, W. and S.Y. Wang. 2001. Antioxidant activity and phenolic compounds in selected herbs, J. Agric. Food Chem. 49: 5165-5170.

Page 218: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

187

Lampiran 1. Daftar ekstrak tumbuhan obat bahan alam Indonesia yang mengandung senyawa fenolat (BPOM RI, 2004b; BPOM RI, 2006)

No. Nama Simplisia Nama Ilmiah

Tumbuhan Suku Kandungan Fenolat 1 Buah Adas Foeniculum vulgare

Miller Apiaceae Trans-anetol 7,8%

2 Daun Jinten Coleus amboinicis (L.) Spreng

Lamiaceae Flavonoid 5,2%

3 Daun Ungu Graptophyllum pictum (L.) Griff.

Acantaceae Flavonoid 0,4%

4 Rimpang Jahe Zingiber officinale Rosc.

Zingiberacea Gingerol

5 Rimpang Jahe Merah

Zingiber officinale (Willd.) Rosc. Var. rubrum

Zingiberacea Gingerol

6 Daun Jambu Biji

Psidium guajava L. Myrtaceae Flavonoid 1,4%

7 Daun Jambu Mete

Anacardium occidentale L.

Anacardiaceae Flavonoid 2,3%

8 Daun Jati Blanda

Guazuma ulmifolia Lamk.

Sterculiaceae Flavonoid 3,2%

9 Daun Katu Sauropus androgynus (L.) Merr.

Euphorbiaceae Flavonoid 0,5%

10 Buah Kayu Putih

Melaleuca leucadendron L.

Myrtaceae Flavonoid 5,6 %

11 Biji Kedawung Parkia roxburghii G. Don.

Fabaceae Flavonoid 3,2%

12 Rimpang Kencur

Kaempferia galanga L.

Zingiberaceae Etil-p-metoksisinamat

4,3% 13 Daun Kumis

Kucing Orthosiphon stamineus L.

Lamiaceae Flavonoid 1,1%

14 Rimpang Kunyit

Curcuma domestica Val.

Zingiberaceae Kurkuminoid 33,9%

15 Rimpang Lempuyang Gajah

Zingiber zerumbet L. Zingiberaceae Kurkumin 1,8%

16 Rimpang Lengkuas

Languas galanga (L.) Stuntz.

Zingiberaceae Galangin

17 Buah Mengkudu

Morinda citrifolia L. Rubiaceae Skopoletin 0,4%

18 Herba Meniran Phyllanthus niruri L. Euphorbiaceae Flavonoid 3,2% 19 Biji Pala Myristica fragrans

Houtt. Myristicaceae Miristisin

20 Akar Pasak Bumi

Eurycoma longifolia Jack

Simarubaceae Tanin 5%

21 Daun Salam Syzigium polyanthum (Wigh.) Walp.

Myrtaceae Tanin 21,7%

Page 219: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

188

22 Daun Sambung Nyawa

Gynura procumbens (Lour.) Merr.

Asteraceae Flavonoid 4%

23 Kayu Secang Caesalpinia sappan L. Caesalpiniaceae Brazilin 24 Herba Seledri Apium graviolens L. Apiaceae Apiin 1,4% 25 Daun Sirih Piper betle L. Piperaceae Flavonoid 0,3% 26 Daun Tapak

Liman Elephantopus scaber Linn.

Asteraceae Flavonoid 6,2%

27 Daun Tempuyung

Sonchus arvensis L. Asteraceae Flavonoid 7-glukosillutein 0,9%

28 Rimpang Temu Giring

Curcuma heyneana Val. dan V. Zyp.

Zingiberaceae Kurkuminoid 2%

29 Rimpang Temu Kunci

Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht.

Zingiberaceae Flavonoid 0,2%

30 Rimpang Temulawak

Curcuma xanthorrhiza Roxb.

Zingiberaceae Kurkuminoid 14,2%

31 Daun Blimbing Wuluh

Averrhoa bilimbi L. Oxalidaceae Flavonoid total 0,7%

32 Umbi Bidara Upas

Merremia mammosa Hall

Convolvulaceae Polifenol total 10,6%

33 Daun Sendok Plantago major L. Plantaginaceae Flavonoid total 0,1%

34 Kulit Buah Delima Putih

Punica granatum L. Punicaceae Polifenol 2,8%

35 Daun Gambir Uncaria gambir (Hunter) Roxb.

Rubiaceae Katekin 90,0%

36 Kulit Kayu Rapat

Parameria laevigata (Juss.) Moldenke

Apocynaceae Tanin 5%

37 Daun Paliasa Kleinhovia hospita L. Sterculiaceae Flavonoid total 2,9%

38 Kulit Batang Pulasari

Alyxia reinwardtii Blume

Apocynaceae Kumarin 0,19%

39 Daun Sembung Blumea balsamifera Asteraceae Flavonoid total 2,4%

Page 220: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

189

Lampiran 2. Hasil pengolahan data dengan Microsoft Excel 2007 untuk hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm

Kadar Serapan SUMMARY OUTPUT

25 0,200

50 0,311 Regression Statistics

75 0,476 Multiple R 0,996688

100 0,665 R Square 0,993387

125 0,821 Adjusted R Square 0,991183

Standard Error 0,023774

Observations 5

ANOVA

df SS MS F Significance

F

Regression 1 0,254722 0,254722 450,6752 0,000229 Residual 3 0,001696 0,000565

Total 4 0,256417

Coefficients Standard

Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Lower 95,0%

Upper 95,0%

Intercept 0,0158 0,024934 0,633665 0,571312 -0,06355 0,095152 -0,06355 0,095152

X Variable 1 0,006384 0,000301 21,22911 0,000229 0,005427 0,007341 0,005427 0,007341

RESIDUAL OUTPUT

BD = 11,17196

Observation Predicted Y Residuals BK = 37,23987

1 0,1754 0,0246 Recovery = 97%

2 0,335 -0,024 3 0,4946 -0,0186 4 0,6542 0,0108

5 0,8138 0,0072

Page 221: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

190

Lampiran 3. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa

terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS

Oneway Descriptives

Kadar Ekstraktif

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

Angin 3 184.767 .3512 .2028 183.894 185.639 184.4 185.1

Oven 40 C 3 208.533 .6028 .3480 207.036 210.031 207.9 209.1

Oven 60 C 3 194.923 .3150 .1819 194.141 195.706 194.6 195.2

Microwave 3 333.767 .9504 .5487 331.406 336.128 332.8 334.7

Total 12 230.497 62.8955 18.1564 190.536 270.459 184.4 334.7

ANOVA

Kadar Ekstraktif

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 43511.328 3 14503.776 38956.356 .000

Within Groups 2.978 8 .372

Total 43514.306 11

Page 222: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

191

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar Ekstraktif

(I) Cara

Pengering

an

(J) Cara

Pengering

an

Mean

Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Tukey

HSD

Angin Oven 40 C -23.7667* .4982 .000 -25.362 -22.171

Oven 60 C -10.1567* .4982 .000 -11.752 -8.561

Microwave -149.0000* .4982 .000 -150.595 -147.405

Oven 40 C Angin 23.7667* .4982 .000 22.171 25.362

Oven 60 C 13.6100* .4982 .000 12.015 15.205

Microwave -125.2333* .4982 .000 -126.829 -123.638

Oven 60 C Angin 10.1567* .4982 .000 8.561 11.752

Oven 40 C -13.6100* .4982 .000 -15.205 -12.015

Microwave -138.8433* .4982 .000 -140.439 -137.248

Microwave Angin 149.0000* .4982 .000 147.405 150.595

Oven 40 C 125.2333* .4982 .000 123.638 126.829

Oven 60 C 138.8433* .4982 .000 137.248 140.439

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets Kadar Ekstraktif

Cara Pengeringan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Tukey HSDa Angin 3 184.767 Oven 60 C 3 194.923 Oven 40 C 3 208.533 Microwave 3 333.767

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000

Duncana Angin 3 184.767 Oven 60 C 3 194.923 Oven 40 C 3 208.533 Microwave 3 333.767

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 223: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

192

Lampiran 4. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun

jambu biji terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS Oneway

Descriptives Kadar zat tersari (mg/g)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound Upper Bound

Kering Angin

3 120.067 .1528 .0882 119.687 120.446 119.9 120.2

Kering Oven 40 C

3 150.200 .2646 .1528 149.543 150.857 149.9 150.4

Kering Oven 60 C

3 165.367 .3512 .2028 164.494 166.239 165.0 165.7

Total 9 145.211 19.9705 6.6568 129.860 160.562 119.9 165.7

Test of Homogeneity of Variances

Kadar zat tersari (mg/g)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.855 2 6 .471

ANOVA

Kadar zat tersari (mg/g)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3190.136 2 1595.068 22085.554 .000 Within Groups .433 6 .072 Total 3190.569 8

Page 224: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

193

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)

(I) Cara Pengeringan

(J) Cara Pengeringan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Tukey HSD

Kering Angin Kering Oven 40 C

-30.1333* .2194 .000 -30.807 -29.460

Kering Oven 60 C

-45.3000* .2194 .000 -45.973 -44.627

Kering Oven 40 C

Kering Angin 30.1333* .2194 .000 29.460 30.807

Kering Oven 60 C

-15.1667* .2194 .000 -15.840 -14.493

Kering Oven 60 C

Kering Angin 45.3000* .2194 .000 44.627 45.973

Kering Oven 40 C

15.1667* .2194 .000 14.493 15.840

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Kadar zat tersari (mg/g)

Cara Pengeringan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa Kering Angin 3 120.067 Kering Oven 40 C 3 150.200 Kering Oven 60 C 3 165.367

Sig. 1.000 1.000 1.000

Duncana Kering Angin 3 120.067 Kering Oven 40 C 3 150.200 Kering Oven 60 C 3 165.367

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 225: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

194

Lampiran 5. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS

Oneway

Descriptives Kadar zat tersari (mg/g)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound Upper Bound

Kering Angin

3 194.972 .1268 .0732 194.657 195.287 194.9 195.1

Kering Oven 40 C

3 202.140 .1462 .0844 201.777 202.503 202.0 202.3

Kering Oven 60 C

3 162.874 .1357 .0784 162.537 163.211 162.7 163.0

Total 9 186.662 18.1093 6.0364 172.742 200.582 162.7 202.3

Test of Homogeneity of Variances

Kadar zat tersari (mg/g)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.065 2 6 .938

ANOVA

Kadar zat tersari (mg/g)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2623.466 2 1311.733 70445.434 .000 Within Groups .112 6 .019 Total 2623.578 8

Page 226: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

195

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)

(I) Cara Pengeringan

(J) Cara Pengeringan

Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Tukey HSD Kering Angin Kering Oven 40 C

-7.1673* .1114 .000 -7.509 -6.825

Kering Oven 60 C

32.0983* .1114 .000 31.756 32.440

Kering Oven 40 C

Kering Angin 7.1673* .1114 .000 6.825 7.509

Kering Oven 60 C

39.2657* .1114 .000 38.924 39.608

Kering Oven 60 C

Kering Angin -32.0983* .1114 .000 -32.440 -31.756

Kering Oven 40 C

-39.2657* .1114 .000 -39.608 -38.924

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Kadar zat tersari (mg/g)

Cara Pengeringan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 Tukey HSDa Kering Oven 60 C 3 162.874

Kering Angin 3 194.972 Kering Oven 40 C 3 202.140

Sig. 1.000 1.000 1.000

Duncana Kering Oven 60 C 3 162.874 Kering Angin 3 194.972 Kering Oven 40 C 3 202.140

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 227: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

196

Lampiran 6. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa terhadap kadar senyawa fenolat dengan Program SPSS

Oneway

Descriptives Kadar Fenolat (%)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound Upper Bound

Kering Angin 3 .403933 .0074002 .0042725 .385550 .422317 .3987 .4124 Kering Oven 40 C 3 .292867 .0083608 .0048271 .272097 .313636 .2854 .3019 Kering Oven 60 C 3 .164667 .0056518 .0032631 .150627 .178707 .1605 .1711 Kering Oven Microwave

3 .167667 .0023714 .0013691 .161776 .173557 .1655 .1702

Total 12 .257283 .1037780 .0299581 .191346 .323221 .1605 .4124

Test of Homogeneity of Variances

Kadar Fenolat (%)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.639 3 8 .256

ANOVA Kadar Fenolat (%)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .118 3 .039 970.981 .000 Within Groups .000 8 .000 Total .118 11

Page 228: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

197

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar Fenolat (%)

(I) Cara Pengeringan (J) Cara Pengeringan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Tukey HSD Kering Angin

Kering Oven 40 C .1110667* .0051999 .000 .094415 .127719

Kering Oven 60 C .2392667* .0051999 .000 .222615 .255919

Kering Oven Microwave .2362667* .0051999 .000 .219615 .252919

Kering Oven 40 C

Kering Angin -.1110667* .0051999 .000 -.127719 -.094415

Kering Oven 60 C .1282000* .0051999 .000 .111548 .144852

Kering Oven Microwave .1252000* .0051999 .000 .108548 .141852

Kering Oven 60 C

Kering Angin -.2392667* .0051999 .000 -.255919 -.222615

Kering Oven 40 C -.1282000* .0051999 .000 -.144852 -.111548

Kering Oven Microwave -.0030000 .0051999 .936 -.019652 .013652

Kering Oven Microwave

Kering Angin -.2362667* .0051999 .000 -.252919 -.219615

Kering Oven 40 C -.1252000* .0051999 .000 -.141852 -.108548

Kering Oven 60 C .0030000 .0051999 .936 -.013652 .019652 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogeneous Subsets

Kadar Fenolat (%)

Cara Pengeringan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa Kering Oven 60 C 3 .164667

Kering Oven Microwave 3 .167667

Kering Oven 40 C 3 .292867

Kering Angin 3 .403933

Sig. .936 1.000 1.000

Duncana Kering Oven 60 C 3 .164667

Kering Oven Microwave 3 .167667

Kering Oven 40 C 3 .292867

Kering Angin 3 .403933

Sig. .580 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 229: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

198

Lampiran 7. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun jambu biji terhadap kadar senyawa fenolat dengan Program SPSS

Oneway

Descriptives Kadar fenolat (%)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound Upper Bound

Kering Angin 3 .412767 .0129940 .0075021

.380488 .445045 .3992 .4251

Kering Oven 40 C

3 .455033 .0045236 .0026117

.443796 .466271 .4514 .4601

Kering Oven 60 C

3 .419133 .0008737 .0005044

.416963 .421304 .4184 .4201

Total 9 .428978 .0209044 .0069681

.412909 .445046 .3992 .4601

Test of Homogeneity of Variances

Kadar fenolat (%)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

3.329 2 6 .107

ANOVA

Kadar fenolat (%)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .003 2 .002 24.589 .001 Within Groups .000 6 .000 Total .003 8

Page 230: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

199

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar fenolat (%)

(I) Cara Pengeringan

(J) Cara Pengeringan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Tukey HSD Kering Angin Kering Oven 40 C

-.0422667* .0064991 .002 -.062208 -.022326

Kering Oven 60 C

-.0063667 .0064991 .615 -.026308 .013574

Kering Oven 40 C

Kering Angin .0422667* .0064991 .002 .022326 .062208

Kering Oven 60 C

.0359000* .0064991 .004 .015959 .055841

Kering Oven 60 C

Kering Angin .0063667 .0064991 .615 -.013574 .026308

Kering Oven 40 C

-.0359000* .0064991 .004 -.055841 -.015959

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Kadar fenolat (%)

Cara Pengeringan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Tukey HSDa Kering Angin 3 .412767 Kering Oven 60 C 3 .419133 Kering Oven 40 C 3 .455033

Sig. .615 1.000

Duncana Kering Angin 3 .412767 Kering Oven 60 C 3 .419133 Kering Oven 40 C 3 .455033

Sig. .365 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 231: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

200

Lampiran 8. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap kadar senyawa fenolat dengan Program SPSS

Oneway

Descriptives Kadar fenolat (%)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound Upper Bound

Kering Angin

3 .098567 .0026652 .0015388 .091946 .105187 .0966 .1016

Kering Oven 40 C

3 .100733 .0017954 .0010366 .096273 .105193 .0987 .1021

Kering Oven 60 C

3 .082567 .0025580 .0014769 .076212 .088921 .0808 .0855

Total 9 .093956 .0088350 .0029450 .087164 .100747 .0808 .1021

Test of Homogeneity of Variances

Kadar fenolat (%)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.541 2 6 .608

ANOVA

Kadar fenolat (%)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .001 2 .000 52.524 .000 Within Groups .000 6 .000 Total .001 8

Page 232: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

201

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar fenolat (%)

(I) Cara Pengeringan

(J) Cara Pengeringan

Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Tukey HSD Kering Angin Kering Oven 40 C

-.0021667 .0019362 .538 -.008107 .003774

Kering Oven 60 C

.0160000* .0019362 .000 .010059 .021941

Kering Oven 40 C

Kering Angin .0021667 .0019362 .538 -.003774 .008107

Kering Oven 60 C

.0181667* .0019362 .000 .012226 .024107

Kering Oven 60 C

Kering Angin -.0160000* .0019362 .000 -.021941 -.010059

Kering Oven 40 C

-.0181667* .0019362 .000 -.024107 -.012226

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Kadar fenolat (%)

Cara Pengeringan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Tukey HSDa Kering Oven 60 C 3 .082567 Kering Angin 3 .098567

Kering Oven 40 C 3 .100733

Sig. 1.000 .538

Duncana Kering Oven 60 C 3 .082567 Kering Angin 3 .098567

Kering Oven 40 C 3 .100733

Sig. 1.000 .306

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 233: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

202

Lampiran 9. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS

Oneway

Descriptives Kadar zat tersari (mg/g)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound Upper Bound

Metanol 3 239.433 .6658 .3844 237.779 241.087 239.0 240.2 Etanol 3 184.900 .2646 .1528 184.243 185.557 184.7 185.2 Aseton 3 178.367 .3215 .1856 177.568 179.165 178.0 178.6 Total 9 200.900 29.0408 9.6803 178.577 223.223 178.0 240.2

Test of Homogeneity of Variances

Kadar zat tersari (mg/g)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

3.389 2 6 .104

ANOVA

Kadar zat tersari (mg/g)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 6745.707 2 3372.853 16408.476 .000 Within Groups 1.233 6 .206 Total 6746.940 8

Page 234: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

203

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)

(I) Jenis Pelarut

(J) Jenis Pelarut

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Tukey HSD Metanol Etanol 54.5333* .3702 .000 53.398 55.669

Aseton 61.0667* .3702 .000 59.931 62.202

Etanol Metanol -54.5333* .3702 .000 -55.669 -53.398

Aseton 6.5333* .3702 .000 5.398 7.669 Aseton Metanol -61.0667* .3702 .000 -62.202 -59.931

Etanol -6.5333* .3702 .000 -7.669 -5.398 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Kadar zat tersari (mg/g)

Jenis Pelarut N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa Aseton 3 178.367 Etanol 3 184.900 Metanol 3 239.433

Sig. 1.000 1.000 1.000

Duncana Aseton 3 178.367 Etanol 3 184.900 Metanol 3 239.433

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 235: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

204

Lampiran 10. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS

Oneway

Descriptives Kadar zat tersari (mg/g)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

Metanol 3 181.833 .2887 .1667 181.116 182.550 181.5 182.0 Etanol 3 120.067 .1528 .0882 119.687 120.446 119.9 120.2 Aseton 3 140.233 .2082 .1202 139.716 140.750 140.0 140.4 Total 9 147.378 27.2779 9.0926 126.410 168.345 119.9 182.0

Test of Homogeneity of Variances

Kadar zat tersari (mg/g)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.333 2 6 .332

ANOVA Kadar zat tersari (mg/g)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 5952.376 2 2976.188 59523.756 .000 Within Groups .300 6 .050 Total 5952.676 8

Page 236: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

205

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)

(I) Jenis Pelarut

(J) Jenis Pelarut

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Tukey HSD Metanol Etanol 61.7667* .1826 .000 61.206 62.327

Aseton 41.6000* .1826 .000 41.040 42.160

Etanol Metanol -61.7667* .1826 .000 -62.327 -61.206

Aseton -20.1667* .1826 .000 -20.727 -19.606 Aseton Metanol -41.6000* .1826 .000 -42.160 -41.040

Etanol 20.1667* .1826 .000 19.606 20.727 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Kadar zat tersari (mg/g)

Jenis Pelarut N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa Etanol 3 120.067 Aseton 3 140.233 Metanol 3 181.833

Sig. 1.000 1.000 1.000

Duncana Etanol 3 120.067 Aseton 3 140.233 Metanol 3 181.833

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 237: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

206

Lampiran 11. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba meniran terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS

Oneway Descriptives

Kadar zat tersari (mg/g)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound Upper Bound

Metanol 3 209.133 .1528 .0882 208.754 209.513 209.0 209.3 Etanol 3 194.967 .1155 .0667 194.680 195.254 194.9 195.1 Aseton 3 192.167 .1528 .0882 191.787 192.546 192.0 192.3 Total 9 198.756 7.8782 2.6261 192.700 204.811 192.0 209.3

Test of Homogeneity of Variances

Kadar zat tersari (mg/g)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.133 2 6 .878

ANOVA

Kadar zat tersari (mg/g)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 496.402 2 248.201 12410.056 .000

Within Groups .120 6 .020

Total 496.522 8

Page 238: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

207

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)

(I) Jenis Pelarut

(J) Jenis Pelarut

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Tukey HSD Metanol Etanol 14.1667* .1155 .000 13.812 14.521

Aseton 16.9667* .1155 .000 16.612 17.321

Etanol Metanol -14.1667* .1155 .000 -14.521 -13.812

Aseton 2.8000* .1155 .000 2.446 3.154

Aseton Metanol -16.9667* .1155 .000 -17.321 -16.612

Etanol -2.8000* .1155 .000 -3.154 -2.446 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Kadar zat tersari (mg/g)

Jenis Pelarut N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa Aseton 3 192.167 Etanol 3 194.967 Metanol 3 209.133

Sig. 1.000 1.000 1.000

Duncana Aseton 3 192.167 Etanol 3 194.967 Metanol 3 209.133

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 239: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

208

Lampiran 12. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar fenolat dengan Program SPSS

Oneway

Descriptives Kadar Fenolat (%)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound Upper Bound

Metanol 3 .754033 .0042336 .0024443 .743516 .764550 .7512 .7589 Etanol 3 .403933 .0074002 .0042725 .385550 .422317 .3987 .4124 Aseton 3 .295467 .0053003 .0030601 .282300 .308633 .2902 .3008 Total 9 .484478 .2076114 .0692038 .324894 .644062 .2902 .7589

Test of Homogeneity of Variances

Kadar Fenolat (%)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.841 2 6 .477

ANOVA

Kadar Fenolat (%)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .345 2 .172 5129.268 .000 Within Groups .000 6 .000 Total .345 8

Page 240: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

209

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar Fenolat (%)

(I) Jenis Pelarut

(J) Jenis Pelarut

Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Tukey HSD Metanol Etanol .3501000* .0047324 .000 .335580 .364620

Aseton .4585667* .0047324 .000 .444046 .473087

Etanol Metanol -.3501000* .0047324 .000 -.364620 -.335580

Aseton .1084667* .0047324 .000 .093946 .122987

Aseton Metanol -.4585667* .0047324 .000 -.473087 -.444046

Etanol -.1084667* .0047324 .000 -.122987 -.093946 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Kadar Fenolat (%)

Jenis Pelarut N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 Tukey HSDa Aseton 3 .295467

Etanol 3 .403933 Metanol 3 .754033

Sig. 1.000 1.000 1.000

Duncana Aseton 3 .295467 Etanol 3 .403933 Metanol 3 .754033

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 241: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

210

Lampiran 13. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar fenolat dengan Program SPSS

Oneway

Descriptives Kadar Fenolat (%)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound Upper Bound

Metanol 3 .494867 .0047057 .0027168 .483177 .506556 .4913 .5002 Etanol 3 .412767 .0129940 .0075021 .380488 .445045 .3992 .4251 Aseton 3 .453767 .0042442 .0024504 .443223 .464310 .4503 .4585 Total 9 .453800 .0362778 .0120926 .425914 .481686 .3992 .5002

Test of Homogeneity of Variances

Kadar Fenolat (%)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.860 2 6 .235

ANOVA Kadar Fenolat (%)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .010 2 .005 72.564 .000 Within Groups .000 6 .000 Total .011 8

Page 242: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

211

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar Fenolat (%)

(I) Jenis Pelarut

(J) Jenis Pelarut

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Tukey HSD Metanol Etanol .0821000* .0068150 .000 .061190 .103010

Aseton .0411000* .0068150 .002 .020190 .062010

Etanol Metanol -.0821000* .0068150 .000 -.103010 -.061190

Aseton -.0410000* .0068150 .002 -.061910 -.020090

Aseton Metanol -.0411000* .0068150 .002 -.062010 -.020190

Etanol .0410000* .0068150 .002 .020090 .061910 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Kadar Fenolat (%)

Jenis Pelarut N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa Etanol 3 .412767 Aseton 3 .453767 Metanol 3 .494867

Sig. 1.000 1.000 1.000

Duncana Etanol 3 .412767 Aseton 3 .453767 Metanol 3 .494867

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 243: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

212

Lampiran 14. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba meniran terhadap kadar fenolat dengan Program SPSS

Oneway

Descriptives Kadar Fenolat (%)

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound Upper Bound

Metanol 3 .499700 .0110041 .0063532 .472364 .527036 .4930 .5124 Etanol 3 .098567 .0026652 .0015388 .091946 .105187 .0966 .1016 Aseton 3 .100733 .0017954 .0010366 .096273 .105193 .0987 .1021 Total 9 .233000 .2001093 .0667031 .079182 .386818 .0966 .5124

Test of Homogeneity of Variances

Kadar Fenolat (%)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

9.255 2 6 .015

ANOVA

Kadar Fenolat (%)

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .320 2 .160 3653.498 .000 Within Groups .000 6 .000 Total .320 8

Page 244: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

213

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Dependent Variable:Kadar Fenolat (%)

(I) Jenis Pelarut

(J) Jenis Pelarut

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Tukey HSD Metanol Etanol .4011333* .0054040 .000 .384552 .417714

Aseton .3989667* .0054040 .000 .382386 .415548

Etanol Metanol -.4011333* .0054040 .000 -.417714 -.384552

Aseton -.0021667 .0054040 .916 -.018748 .014414

Aseton Metanol -.3989667* .0054040 .000 -.415548 -.382386

Etanol .0021667 .0054040 .916 -.014414 .018748 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Kadar Fenolat (%)

Jenis Pelarut N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Tukey HSDa Etanol 3 .098567 Aseton 3 .100733 Metanol 3 .499700

Sig. .916 1.000

Duncana Etanol 3 .098567 Aseton 3 .100733 Metanol 3 .499700

Sig. .702 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Page 245: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

214

Lampiran 15. Hasil optimasi sistem kromatografi lapis tipis (KLT) untuk karakterisasi herba meniran

Gambar 15.1 Kromatogram lapis tipis berbagai fraksi dari ekstrak herba meniran

dengan eluen campuran heksan-etil asetat (5:5, 6:4, 7:3, 8:2 dan 9:1) dan penampak noda H2SO4 5% dalam metanol

Keterangan: P : fraksi petroleum eter K : fraksi kloroform M : fraksi metanol Q : pembanding kuersetin

Page 246: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

215

Tabel 15.1 Hasil pengujian profil KLT fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan eluen berbagai perbandingan campuran heksan - etil asetat

Fraksi Sistem pelarut heksana-etil asetat Jumlah noda & harga Rf (penampak noda H2SO4 5% dalam metanol) Perbandingan Kepolaran

Petroleum eter

9 :1 0,53 4 noda Rf 0,4, 0,2, 0,1, 0,06

8:2 0,96 9 noda

Rf 0,76, 0,68, 0,52, 0,44, 0,4, 0,34, 0,28, 0,22, 0,14

7:3 1,39 7 noda

Rf 0,94, 0,8, 0,74, 0,64, 0,5, 0,4, 0,32

6:4 1,82 6 noda

Rf 0,86, 0,76, 0,66, 0,6, 0,46, 0,06

5:5 2,25 5 noda Rf 0,9, 0,7, 0,6, 0,2, 0,12

Kloroform

9:1 0,53 5 noda Rf 0,76, 0,36, 0,2, 0,12, 0,04

8:2 0,96 7 noda

Rf 0,92, 0,74, 0,66, 0,52, 0,38, 0,2, 0,14

7:3 1,39 7 noda

Rf 0,9, 0,8, 0,72, 0,6, 0,52, 0,42, 0,3

6:4 1,82 8 noda

Rf 0,94, 0,86, 0,76, 0,68, 0,6, 0,5, 0,24, 01

5:5 2,25 9 noda

Rf 0,94, 0,88, 0,76, 0,66, 0,54, 0,4, 0,3, 0,18, 0,08

Metanol

9:1 0,53 Tidak tampak noda

8:2 0,96 Tidak tampak noda

7:3 1,39 2 noda Rf 0,1, 0,6

6:4 1,82 2 noda Rf 0,2, 0,1

5:5 2,25 4 noda Rf 0,62, 0,32, 0,22, 0,08

Kuersetin

9:1 0,53 Tidak tampak noda

8:2 0,96 Tidak tampak noda

7:3 1,39 1 noda Rf 0,2

6:4 1,82 Tidak tampak noda

5:5 2,25 Tidak tampak noda

Page 247: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

216

Gambar 15.2 Kromatogram lapis tipis berbagai fraksi dari ekstrak herba meniran

dengan eluen campuran petroleum eter-aseton (5:5, 6:4, 7:3, 8:2 dan 9:1) dan penampak noda H2SO4 5% dalam metanol

Keterangan: P : fraksi petroleum eter K : fraksi kloroform M : fraksi metanol Q : pembanding kuersetin

Page 248: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

217

Tabel 15.2 Hasil pengujian profil KLT fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan eluen berbagai perbandingan campuran petroleum eter - aseton

Fraksi Sistem pelarut petroleum eter-

aseton Jumlah noda & harga Rf

( penampak noda H2SO4 5% dalam metanol) Perbandingan Kepolaran

Petroleum eter

9:1 0,6 3 noda Rf 0,46, 0,22, 0,26

8:2 1,1 7 noda

Rf 0,74, 0,64, 0,48, 0,42, 0,36, 0,26, 0,2

7:3 1,6 7 noda

Rf 0,88, 0,76, 0,72, 0,66, 0,6, 0,54, 0,16

6:4 2,1 9 noda

Rf 0,86, 0,78, 0,74, 0,64, 0,6, 0,54, 0,48, 0,2, 0,1

5:5 2,6 6 noda

Rf 0,96, 0,88, 0,6, 0,52, 0,38, 0,3

Kloroform

9:1 0,6 3 noda Rf 0,86, 0,48, 0,26

8:2 1,1 8 noda

Rf 0,72, 0,64, 0,48, 0,4, 0,36, 0,3, 0,24, 0,18

7:3 1,6 11 noda

Rf 0,96, 0,86, 0,76, 0,68, 0,64, 0,58, 0,52, 0,36, 0,28, 0,2, 0,1

6:4 2,1 10 nada

Rf 0,92, 0,84, 0,76, 0,7, 0,64, 0,6, 0,56, 0,5, 0,26, 0,16

5:5 2,6 10 noda

Rf 0,96, 0,88, 0,82, 0,76, 0,68, 0,6, 0,52, 0,46, 0,3, 0,22

Metanol

9:1 0,6 Tidak ada noda

8:2 1,1 1 noda Rf 0,16

7:3 1,6 4 noda Rf 0,6, 0,42, 0,34, 0,24

6:4 2,1 4 noda Rf 0,58, 0,52, 0,4, 0,3

5:5 2,6 5 noda Rf 0,78, 0,62, 0,52, 0,38, 0,16

Kuersetin

9:1 0,6 Tidak ada noda

8:2 1,1 1 noda Rf 0.1

7:3 1,6 1 noda Rf 0,2

6:4 2,1 2 noda Rf 0,2, 0,4

5:5 2,6 2 noda Rf 0,8, 0,7

Page 249: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

218

Lampiran 16. Pola kromatografi lapis tipis simplisia herba meniran menurut Farmakope Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008)

Gambar 16.1 Pola kromatografi lapis tipis simplisia herba meniran menurut

Farmakope Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008)

Page 250: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

219

Lampiran 17. Hasil uji keseuaian sistem kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk analisis campuran beberapa flavonoid

Gambar 17.1 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak

metanol : aquabidest (60:40) Tabel 17.1 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan

kuersetin pada fasa gerak methanol : aquabidestilata (60:40)

No Senyawa tR (menit) w (menit) N HETP (mm) TF k’ R α

1. 2 3.

Rutin Isokuersetin

Kuersetin

4,167 4,892 11,925

1,4 0,8 1,2

141,747 598,292 1580,06

0,176 0,042 0,016

- 0,95

-

0,603 0,882 3,587

0,659 7,033

1,46 4,06

Page 251: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

220

Gambar 17.2 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak

metanol : aquabidest (70:30) Tabel 17.2 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan

kuersetin pada fasa gerak metanol : aquabidestilata (70:30)

No Senyawa tR (menit) W (menit) N HETP (mm) TF k’ R α

1. 2 3.

Rutin Isokuersetin

Kuersetin

3,317 4,808 6,000

1,0 1,5 1,9

176,039 164,387 158,557

0,142 0,152 0,158

2,333 0,938 2,636

0,229 0,781 1,222

1,193 0,701

3,41 1,56

Page 252: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

221

Gambar 17.3 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak

metanol : asam asetat 1 % (60:40) Tabel 17.3 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan

kuersetin pada fasa gerak methanol : asam asetat 1% (60:40)

No Senyawa tR (menit) W (menit) N HETP (mm) TF k’ R α

1. 2. 3.

Rutin Isokuersetin

Kuersetin

3,933 6,983 10,383

1,9 2,3 2

68,5584 147,485 431,227

0,365 0,169 0,058

1,2 1,5 1,5

0,513 1,686 2,993

1,452 1,581

3,28 1,77

Page 253: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

222

Gambar 17.4 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak

metanol : asam asetat 1 % (70:30) Tabel 17.4 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan

kuersetin pada fasa gerak methanol : asam asetat 1% (70:30)

No Senyawa tR (menit) W (menit) N HETP

(mm) TF k’ R α

1 2 3

Rutin Isokuersetin Kuersetin

3,300 4,625 5,942

1,1 1,1 1,2

144 282,85 392,3

0,174 0,088 0,064

0,917 1,55 0,5

0,222 0,713 1,201

1,20 1,14

3,208 1,68

Keterangan:

2

16

wtN R

NLHETP

abTF

0

0't

ttk R α01

02

tttt

R

R

12

122wwttR

N = Jumlah pelat teori TF = Faktor kesimetrisan

tR = Waktu retensi zat (menit) k’ = Faktor kapasitas

t0 = Waktu retensi pelarut R = Resolusi

w = Lebar puncak (menit) α = selektifitas

HETP = Tinggi yang setara dengan plat teoritis

L = Panjang kolom (mm)

Page 254: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

Lampiran 18. Spektrum infra merah isolat A2 dari ekstrak daun dewa

Lampiran 19. Kromatogram LC-MS isolat A2 dari ekstrak daun dewa

1 2 0 01 4 0 01 6 0 01 8 0 02 0 0 02 4 0 02 8 0 03 2 0 03 6 0 04 0 0 0

5 0

5 5

6 0

6 5

7 0

7 5

8 0

8 5

9 0

9 5

1 0 0

% T

3425

.58

3292

.49 31

94.1

2

3093

.82

2953

.02

2916

.37

2833

.43

2719

.63

2609

.69

2472

.74

2308

.79

1926

.89

1870

.95

1759

.08

1670

.35

1614

.42

1517

.98

1460

.11

1431

.18

1361

.74

1319

.31

1294

.24

1244

.09 1213

.23

1165

.00

1099

.43

S T I F / H R O 1 / 0 1 1 2

Page 255: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

ccxxiv

0 4 8 12 16Retention Time (Min)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

% I

nten

sity

BPI=>NR(2.00)

T4.0

Page 256: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

ccxxv

Lampiran 20. Spektrum massa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dengan LC-

MS ESI Positive Ion Mode

99.0 319.2 539.4 759.6Mass (m/z)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

% I

nten

sity

Mariner Spec /82:84 (T /3.91:4.01) -67:71 (T -3.91:4.01) ASC=>NR(2.00)[BP = 303.1, 2920]

303.11

304.12

305.11 397.12 657.39

Page 257: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

ccxxvi

Lampiran 21. Spektrum 1H NMR isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam DMSO-d6

Page 258: Disertasi Lengkap Harrizul Rivai

ccxxvii

Lampiran 22. Spektrum 13C NMR Isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam DMSO-d6