disertasi lengkap harrizul rivai
TRANSCRIPT
STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG
SENYAWA FENOLAT UNTUK PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI
TUMBUHAN OBAT INDONESIA
D I S E R T A S I
Oleh:
HARRIZUL RIVAI
06301035
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS
2012
ii
STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG SENYAWA FENOLAT UNTUK PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI
TUMBUHAN OBAT INDONESIA
Oleh: Harrizul Rivai
(Di bawah bimbingan Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar)
RINGKASAN
Pada monografi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat Indonesia terdapat
beberapa kelemahan dalam teknik analisis yang dipakainya. Di antara kelemahan
itu adalah tidak adanya optimasi penyiapan sampel yang berupa simplisia
tumbuhan obat dan pembuatan ekstrak tumbuhan obat, padahal tahap penyiapan
sampel sangat berpengaruh terhadap perolehan zat aktif dan hasil analisis
(Gaedcke et al., 2003). Selain itu, identifikasi dan autentisasi simplisia dan
ekstrak tumbuhan obat dengan menggunakan spektroskopi UV, IR dan teknik-
teknik kromatografi belum ada yang lengkap dalam monografi-monografi tersebut
di atas. Oleh karena itu studi metode analisis simplisia dan ekstrak tumbuhan obat
perlu dilakukan, terutama dalam hal optimasi penyiapan sampel untuk analisis,
studi teknik identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat
dengan spektroskopi UV dan IR serta studi metode analisis simplisia dan ekstrak
tumbuhan obat dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dan teknik
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
Tujuan penelitian: (1) Mempelajari cara penyiapan sampel yang berupa
simplisia obat bahan alam sehingga diperoleh senyawa fenolat dan aktivitas
antioksidan yang optimum dari beberapa obat bahan alam. (2) Mencari pelarut
ekstraksi dan mempelajari cara ekstraksi yang paling cocok untuk mendapatkan
senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang optimum dari obat bahan alam. (3)
iii
Mempelajari cara-cara karakterisasi yang baik untuk identifikasi dan autentisasi
simplisia dan ekstrak obat bahan alam dengan metode spektrofotometri
inframerah (FT-IR), kromatografi lapis tipis (KLT), dan kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT). (4) Mengisolasi senyawa fenolat yang bersifat antioksidan dalam
obat bahan alam.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi, Laboratorium
Sentral Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Laboratorium Biota
Sumatera Universitas Andalas, Laboratorium Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi Padang, Pusat Penelitian Kimia, LIPI, Serpong sejak April 2008 sampai
dengan Maret 2011. Bahan-bahan kimia yang digunakan meliputi pereaksi Folin-
Ciocalteau, 1,1-difenil-2-pikril hidrazil (DPPH), rutin, kuersetin, katekin, asam
galat, metanol, etanol, aseton dan asetonitril. Obat bahan alam yang digunakan
dalam penelitian ini adalah daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC), daun
jambu biji (Psidium guajava L.) dan herba meniran (Phyllanthus niruri L.).
Metode penelitian: (1) Penentuan pengaruh cara pengeringan terhadap
perolehan kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan
alam. (2) Penentuan pengaruh pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa
fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam. (3) Penentuan
pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dan daya
antioksidan beberapa obat bahan alam. (4) Penentuan kadar zat tersari
(rendemen). (5) Penentuan kadar senyawa fenolat total. (6) Penentuan aktivitas
antioksidan. (7) Penentuan pola kromatogram kromatografi lapis tipis (KLT)
beberapa ekstrak tumbuhan obat. (8) Penentuan sidik jari fourir transform infra
red (FTIR) beberapa ekstrak tumbuhan obat. (9) Penentuan pola kromatogram
iv
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) beberapa ekstrak tumbuhan obat. (10)
Isolasi senyawa antioksidan sebagai penanda dalam pengawasan mutu ekstrak
tumbuhan obat.
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara
pengeringan daun dewa yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi
adalah dengan kering oven 40 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat
tertinggi adalah dengan kering angin dan untuk mendapat daya antioksidan
tertinggi tidak banyak dipengaruhi oleh cara pengeringan. Pengeringan daun dewa
dengan oven pada suhu 40 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 208,5 ± 0,6
mg/g. Pengeringan daun dewa dengan cara diangin-anginkan menghasilkan kadar
senyawa fenolat sebesar 0,4039 ± 0,0074% dan daya antioksidan IC50 3,042
µg/mL.
Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk mendapatkan kadar
sari tertinggi adalah dengan kering oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar
senyawa fenolat tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk mendapat
daya antioksidan tertinggi adalah dengan kering angin. Pengeringan daun jambu
biji dengan oven pada suhu 60 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 165,4 ±
0,4 mg/g. Pengeringan daun jambu biji dengan cara oven pada suhu 40 oC
menghasilkan kadar senyawa fenolat sebesar 0,4550 ± 0,0045%. Pengeringan
daun jambu biji dengan diangin-anginkan menghasilkan daya antioksidan IC50
2,825 µg/mL.
Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk mendapatkan kadar
sari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang tertinggi adalah dengan
v
kering oven 40 oC. Pengeringan herba meniran dengan oven pada suhu 40 oC
menghasilkan kadar zat tersari sebesar 202,1 ± 0,1 mg/g, kadar senyawa fenolat
sebesar 0,1007 ± 0,0018% dan daya antioksidan IC50 1,395 µg/mL.
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa
pelarut ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa
fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah metanol. Ekstraksi daun dewa,
daun jambu biji dan herba meniran dengan pelarut metanol menghasilkan kadar
zat tersari sebesar 239,4 ± 0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2 mg/g,
masing-masing, dan kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ± 0,0042%,
0,4949 ± 0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing. Sedangkan daya
antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh jenis
pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya antioksidan daun dewa yang
tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol, daun jambu biji dengan pelarut etanol
dan herba meniran dengan pelarut metanol.
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa
perbandingan pelarut metanol-air yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat
tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah
perbandingan metanol-air antara 70:30 dan 60:40. Kedua perbandingan metanol-
air ini tidak berbeda nyata unjuk kerjanya dalam memperoleh kadar senyawa
fenolat total dari ketiga tumbuhan obat yang diuji (p > 0,05).
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara
vi
ekstraksi terbaik tergantung pada jenis tumbuhan obat yang diekstraksi. Cara
perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang tertinggi untuk herba
meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara sokletasi untuk daun dewa.
Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang optimal, cara sokletasi cocok untuk
daun dewa, cara refluks untuk herba meniran dan cara maserasi untuk daun jambu
biji. Untuk mendapatkan daya antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk
herba meniran, cara perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa.
Berdasarkan hasil analisis KLT didapatkan bahwa komponen-komponen
kimia dalam fraksi-fraksi herba meniran dapat memisah dengan baik dengan
menggunakan eluen campuran heksan-etil asetat 7:3 (kepolaran 1,39) atau
campuran petroleum eter – aseton 7:3 (kepolaran 1,6). Pola KLT ini dapat dipakai
sebagai salah satu parameter untuk menentukan identitas herba meniran sebagai
pelengkap pola kromatografi yang ada dalam Farmakope Herbal Indonesia.
Berdasarkan analisis spektrum FTIR didapatkan bahwa pola spektrum
serbuk dan ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran menunjukkan
pola yang khas. Oleh karena itu, spektrum FTIR dapat digunakan sebagai
pelengkap data monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam
Farmakope Herbal Indonesia. Pada monografi Farmakope Herbal Indonesia Edisi
I (Depkes, 2008) belum ada data spektrum FTIR ketiga simplisia atau ekstrak
tumbuhan obat tersebut.
Dari hasil penelitian karaketrisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan
herba meniran dengan KCKT dapat dilihat bahwa ketiga simplisia ini memiliki
kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari puncak rutin,
yang terdapat pada fraksi etil asetat, butanol dan air sehingga dapat dijadikan
vii
sebagai senyawa identitas untuk penentuan mutu ekstrak ketiga simplisia tersebut.
Dengan demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian
mutu ekstrak ketiga simplisia tersebut..
Ekstrak metanol daun dewa menunjukkan aktivitas antioksidan yang
paling kuat. Selanjutnya ekstrak metanol daun dewa diisolasi dengan kromatografi
kertas preparatif. Hasil isolasi diuji aktivitas antioksidannya dengan metode
DPPH dan dikarakterisasi dengan metode kimia dan spektroskopi (UV, FTIR,
MS, 1H-NMR dan 13C-NMR). Hasilnya menunjukkan bahwa senyawa 5,7,3’,4’-
tetrahidroksi flavonol (kuersetin) adalah senyawa yang paling aktif sebagai
antioksidan dalam daun dewa. Senyawa ini belum ditemukan sebelumnya dalam
daun dewa.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa:
1. Dalam pengawasan mutu simplisia tumbuhan obat, cara penyiapan sampel
dengan pengeringan tergantung pada jenis tumbuhan obat yang
dikeringkan. Cara pengeringan daun dewa yang terbaik untuk
mendapatkan kadar sari tertinggi (208,5 ± 0,6 mg/g) adalah dengan kering
oven 40 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,4039 ±
0,0074%) dan daya antioksidan tertinggi (IC50 3,042 µg/mL) adalah
dengan kering angin. Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk
mendapatkan kadar sari tertinggi (165,4 ± 0,4 mg/g) adalah dengan kering
oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,4550 ±
0,0045%) adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk mendapat daya
antioksidan tertinggi (IC50 2,825 µg/mL ) adalah dengan kering angin.
viii
Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk mendapatkan kadar
sari (202,1 ± 0,1 mg/g), kadar senyawa fenolat (0,1007 ± 0,0018% ) dan
daya antioksidan (IC50 1,395 µg/mL) yang tertinggi adalah dengan kering
oven 40 oC.
2. Untuk analisis simplisia obat bahan alam, pelarut ekstraksi yang terbaik
untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya
antioksidan yang optimum adalah metanol. Ekstraksi daun dewa, daun
jambu biji dan herba meniran dengan pelarut metanol menghasilkan kadar
zat tersari sebesar 239,4 ± 0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2
mg/g, masing-masing, dan kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ±
0,0042%, 0,4949 ± 0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing.
Sedangkan daya antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak
dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya
antioksidan daun dewa yang tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol,
daun jambu biji dengan pelarut etanol dan herba meniran dengan pelarut
metanol.
3. Untuk analisis simplisia obat bahan alam, perbandingan pelarut metanol-
air yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa
fenolat dan daya antioksidan yang optimum dari simplisia daun dewa,
daun jambu biji dan herba meniran adalah perbandingan metanol-air antara
70:30 dan 50:50. Kedua perbandingan metanol-air ini tidak berbeda nyata
unjuk kerjanya dalam memperoleh kadar senyawa fenolat total dari ketiga
tumbuhan obat yang diuji (p > 0,05).
ix
4. Untuk analisis simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran,
cara ekstraksi terbaik tergantung pada jenis tumbuhan obat yang
diekstraksi. Cara perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang
tertinggi untuk herba meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara
sokletasi untuk daun dewa. Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang
optimal, cara sokletasi cocok untuk daun dewa, cara refluks untuk herba
meniran dan cara maserasi untuk daun jambu biji. Untuk mendapatkan
daya antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk herba meniran,
cara perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa.
5. Daun dewa yang dikeringkan dengan oven pada 40 oC, menghasilkan
kadar zat tersari tertinggi (208,3 ± 0,4 mg/g) dan kadar senyawa fenolat
total tertinggi (0,7929 ± 0,0084 %) bila diekstraksi dengan cara sokletasi
memakai pelarut metanol. Daun jambu biji yang dikeringkan dengan oven
pada 40 oC, menghasilkan kadar zat tersari tertinggi (165,4 ± 0,4 mg/g)
bila diekstraksi dengan cara refluks memakai pelarut metanol dan
menghasilkan kadar senyawa fenolat total tertinggi (0,4976 ± 0,0040 %)
bila diekstraksi dengan cara maserasi memakai pelarut campuran metanol-
air (50:50). Herba meniran yang dikeringkan dengan oven pada 40 oC,
menghasilkan kadar zat tersari tertinggi (295,0 ± 0,1 mg/g) bila diekstraksi
dengan cara perkolasi memakai pelarut campuran metanol – air (60:40)
dan menghasilkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,6826 ± 0,0026 %)
bila diekstraksi dengan cara refluks memakai pelarut metanol.
6. Komponen-komponen kimia dalam fraksi-fraksi herba meniran dapat
memisah dengan baik dengan menggunakan eluen campuran heksan-etil
x
asetat 7:3 (kepolaran 1,39) atau campuran petroleum eter – aseton 7:3
(kepolaran 1,6). Pola KLT ini dapat dipakai sebagai salah satu parameter
untuk menentukan identitas herba meniran sebagai pelengkap pola
kromatografi yang ada dalam Farmakope Herbal Indonesia.
7. Pola spektrum FTIR serbuk dan ekstrak simplisia daun dewa, daun jambu
biji dan herba meniran menunjukkan pola yang khas. Oleh karena itu,
spektrum FTIR dapat digunakan sebagai pelengkap data monografi daun
dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal
Indonesia.
8. Daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran memiliki kandungan kimia
flavonoid, terutama rutin, isokuersitrin dan kuersetin. Hal ini ditunjukkan
dari puncak-puncak ketiga senyawa tersebut yang terdapat pada fraksi etil
asetat, butanol dan air sehingga dapat dijadikan sebagai senyawa identitas
untuk pemastian ekstrak ketiga simplisia tersebut. Dengan demikian pola
KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu simplisia
dan ekstrak ketiga simplisia tersebut.
9. Berdasarkan proses isolasi yang dituntun dengan pengujian aktivitas
antioksidan, analisis data spektrum UV dengan pereaksi geser dan analisis
data spektrum LC-MS ESI ion positif, NMR, IR, serta perbandingan
dengan data literatur dapat disimpulkan bahwa flavonoid yang mempunyai
aktivitas antioksidan tertinggi yang terkandung dalam daun dewa adalah
3’,4’,5,7-tetrahidroksi flavonol (kuersetin).
xi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap beberapa
tumbuhan obat dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Dalam penggunaan cara-cara analisis untuk pengawasan mutu obat bahan
alam sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia, pengeringan simplisia
daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran hendaklah dilakukan pada
suhu tidak lebih dari 40 oC. Ekstraksi daun dewa hendaklah dilakukan
dengan cara sokletasi memakai pelarut metanol, ekstraksi daun jambu biji
dengan cara maserasi memakai pelarut campuran metanol – air (50:50)
dan ekstraksi herba meniran dengan cara refluks memakai pelarut metanol.
2. Monografi herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia hendaklah
dilengkapi dengan pola KLT fraksi-fraksinya dengan memakai eluen
campuran heksan-etil asetat 7:3 atau petroleum eter-aseton 7:3.
3. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam
Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data spektrum
FTIR dari serbuk dan ekstrak ketiga simplisia tersebut.
4. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam
Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data profil
KCKT fraksi-fraksinya dengan menggunakan rutin, isokuersetin dan
kuersetin sebagai senyawa identitas.
5. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa fenolat
yang paling aktif sebagai antioksidan dalam daun jambu biji dan herba
meniran sehingga dapat dipakai sebagai senyawa penanda dalam
pengawasan mutu simplisia, ekstrak dan sediaan fitofarmaka yang
mengandung kedua tumbuhan obat tersebut.
xii
6. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa penanda
yang aktif sebagai antimikroba dan antikanker untuk pengawasan mutu
sediaan fitofarmaka yang mengandung simplisia atau ekstrak daun dewa,
daun jambu biji dan herba meniran.
xiii
STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG SENYAWA FENOLAT UNTUK PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI
TUMBUHAN OBAT INDONESIA
Oleh:
HARRIZUL RIVAI
06301035
D i s e r t a s i
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Kimia
pada Program Pascasarjana Universitas Andalas
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS
2012
xiv
Judul Penelitian : STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG
MENGANDUNG SENYAWA FENOLAT UNTUK
PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI TUMBUHAN
OBAT INDONESIA
Nama Mahasiswa : HARRIZUL RIVAI
Nomor Pokok : 06301035
Program Studi : Kimia
Disertasi ini telah diuji dan dipertahankan di depan sidang Panitia Ujian Doktor
Kimia pada Program Pascasarjana Universitas Andalas dan dinyatakan lulus pada
tanggal 5 Desember 2011
Menyetujui:
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. H. Hazli Nurdin, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Hamzar Suyani, M.Sc. Prof. Dr. H. Amri Bakhtiar, M.S., Apt. Anggota Anggota 2. Ketua Program Studi Kimia 3. Direktur Program Pascasarjana Prof.Dr.H. Yunazar Manjang Prof. Dr. Ir. H. Novirman Jamarun, M.Sc
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 September 1953 di Payakumbuh,
sebagai anak kedua dari Ayah Rivai Said dan Ibu Saridahanum. Penulis
menamatkan SD di Talago pada tahun 1966, SMP di Dangung-Dangung pada
tahun 1969 dan SAA YIB di Bukittinggi pada tahun 1972. Penulis memperoleh
gelar Sarjana Farmasi pada Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Andalas di Padang pada tahun 1984 dan
memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Farmasi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung pada tahun 1986.
Sejak tahun 1987 sampai sekarang penulis ditugaskan sebagai dosen oleh
Depertemen Pendidikan Nasional pada Fakultas Farmasi Universitas Andalas di
Padang. Pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan meneruskan
pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Andalas di Padang.
xvi
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas taufik dan
hidayahNya penulis telah dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini ditulis
berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Studi Metode Analisis Bahan Alam
yang Mengandung Senyawa Fenolat untuk Pengembangan Data Monografi
Tumbuhan Obat Indonesia”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Bapak Prof. Dr. H. Hazli Nurdin, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing atas
saran, arahan dan bimbingannya selama penelitian dan penulisan disertasi ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Bapak Prof. Dr. Hamzar
Suyani, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. H. Amri Bakhtiar, M.S., Apt. sebagai Anggota
Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran dan kritik, sehingga disertasi
ini terwujud.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Auzal Halim,
Apt yang telah bersedia meminjamkan fasilitas laboratorium di Sekolah Tinggi
Ilmu Farmasi Tamansiswa Padang selama penelitian ini berlangsung. Kepada Ibu
Titin Rosidah dan Ibu Retno Yusiasih, M.Si dari Pusat Penelitian Kimia-LIPI
yang telah membantu dalam analisis UV, FTIR, LC-MS, 1H-NMR dan 13C-NMR
diucapkan terima kasih. Bantuan dari semua pihak, terutama dari Laboratorium
Kimia Farmasi dan Laboratorium Sentral Farmasi Fakultas Farmasi Universitas
Andalas, Laboratorium Biota Sumatera Universitas Andalas, Laboratorium
Penelitian STIFARM Padang, Fakultas Farmasi Universitas Andalas dan Program
Pascasarjana Universitas Andalas sangat dihargai.
xvii
Akhirnya penulis berharap semoga hasil-hasil penelitian yang dituangkan
dalam disertasi ini akan bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan
tentang obat bahan alam dan pengembangan data monografi ekstrak tumbuhan
obat Indonesia.
Padang, Desember 2011
Penulis
xviii
DAFTAR PUBLIKASI
Disertasi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dipublikasikan
sebagian dalam jurnal ilmiah dan dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah sebagai
berikut:
1. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2010. Pengaruh campuran etanol-air sebagai pelarut ekstraksi terhadap mutu ekstrak herba meniran. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia (JIFI) 8(2): 69-73 (Terakreditasi DIKTI).
2. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari herba meniran (Phyllanthus niruri Linn.). Majalah Farmasi Indonesia (MFI) 22(1), 73 – 76, (Terakreditasi DIKTI).
3. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2010. Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun jambu biji (Psidium guajava Linn.). Jurnal Bahan Alam Indonesia (JBAI) 7( 4): 175-178 (Terakreditasi DIKTI).
4. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2008. Pengaruh perbandingan etanol-air sebagai pelarut ekstraksi terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun jambu biji (Psidium guajava Linn.). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi (JSTF) 13(2): 79-85 (Terakreditasi DIKTI).
5. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2010. Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC]. Majalah Obat Tradisional (MOT) 15(1): 26-33 (Terakreditasi DIKTI).
6. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Karakterisasi ekstrak herba meniran (Phyllanthus niruri L.) dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Berita Biologi, submitted Januari 2011 (Terakreditasi LIPI)
7. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Karakterisasi ekstrak daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC] dengan
xix
kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Farmasi Indonesia (JFI), 5(3):134-141 (Terakreditasi DIKTI)
8. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Karakterisasi bahan baku fitofarmaka ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava Linn.) dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Ilmiah Media Farmasi/Presentasi Oral dalam Seminar & Workshop Pharmacy Update 3 di Medan 18-19 Maret 2011
9. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani, Amri Bakhtiar dan Dewi Weltasari, 2011. Identifikasi senyawa antioksidan dari daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi/Presentasi Oral dalam Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik di Padang 24 September 2011
xx
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ xvi
DAFTAR PUBLIKASI ………………………………………………….. xvii
DAFTAR ISI ............................................................................................... xx
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xxiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxvi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xxx
I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 10
2.1 Tinjauan Kimia Senyawa Fenolat ................................................. 10
2.2 Sumber Senyawa Fenolat dari Bahan Alam ..... ............................ 16
2.3 Metode Analisis Senyawa Fenolat …………................................ 17
2.4 Aktivitas Biologis Senyawa Fenolat Tumbuhan ........................... 28
2.5 Mutu dan Standardisasi Obat Bahan Alam ................................... 40
2.6 Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) ................................. 65
2.7 Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) ….……………………… 75
2.8 Tumbuhan Meniran (Phyllanthus niruri L.) ..…………………… 79
xxi
III. BAHAN DAN METODE .................................................................... 85
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 85
3.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 85
3.3 Metode Penelitian ............................................................................. 86
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 97
4.1 Validasi Metode Analisis Senyawa Fenolat Total ........................... 97
4.2 Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar zat tersari
dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam ........................... 98
4.3 Pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar zat
tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan
beberapa obat bahan alam ……………………………………….. 107
4.4 Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap perolehan kadar
zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan
beberapa obat bahan alam ……………………………………….. 112
4.5 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa
obat bahan alam ………………………………………………… 117
4.6 Karakterisasi herba meniran dengan kromatografi lapis tipis ….. 126
4.7 Karakterisasi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
dengan spektrofotometri fourir-transformer infrared (FTIR) …. 120
4.8 Karakterisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba
meniran dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) ……. 137
4.9 Isolasi senyawa antioksidan dari simplisia daun dewa ………. 148
xxii
V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 162
5.1 Kesimpulan ……………………………………………………… 162
5.2 Saran …………………………………………………………… 165
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 167
LAMPIRAN ................................................................................................ 185
xxiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
2.1 Beberapa sumber flavonoid dan asam fenolat dari bahan alam … 17 2.2 Aktivitas antioksidan senyawa fenolat dan parameter molekulnya 34 4.1 Hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam
galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm …………………………………………………………… 98
4.2 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu
biji dan herba meniran segar dan yang dikeringkan dengan berbagai cara …………………………………………………….. 99
4.3 Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa,
daun jambu biji dan herba meniran segar dan yang dikeringkan dengan berbagai cara …………………………………………….. 102
4.4 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari
daun dewa yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat ………………………………………….. 104
4.5 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari
daun jambu biji yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat ………………………………………….. 105
4.6 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari
Herba meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat ………………………………………….. 106
4.7 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu
biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut ……………………………………………………………. 108
4.8 Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa,
daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut …………………………………………….. 109
4.9 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari
daun dewa yang diekstaksi dengan berbagai jenis pelarut ………. 110
4.10 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun jambu biji yang diekstaksi dengan berbagai jenis pelarut …. 110
xxiv
4.11 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari herba meniran yang diekstaksi dengan berbagai jenis pelarut .…. 111
4.12 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu
biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air ………………………………………… 113
4.13 Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa,
daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air …………………………..….. 115
4.14 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu
biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara ….. 118 4.15 Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa,
daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara ……………………………………………………. 120
4.16 Karakter kromatografi lapis tipis fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan berbagai eluen …………………………………. 124 4.17 Analisis spektrum FTIR serbuk daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ……..……………………………………….. 126 4.18 Analisis spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..…………………… 130 4.19 Analisis spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..…………………………. 132 4.20 Analisis spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..…………………………. 134 4.21 Analisis spektrum FTIR residu daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..…………………………………….. 136 4.22 Waktu retensi senyawa pembanding rutin, isokuersertin dan kuersetin yang diukur berulang kali ……………………………. 139 4.23 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun dewa ……………………………….. 143 4.24 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun jambu biji ………………………….. 145 4.25 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak herba meniran …………………………… 146
xxv
4.26 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa (0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) ………… 150 4.27 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) …….. 152 4.28 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) .. 153 4.29 Data spektrum 1H NMR dan 13C NMR untuk isolat A2 dari
ekstrak daun dewa dan kuersetin (500 MHz, DMSO-d6) ………. 161
xxvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1 Bagan penggolongan senyawa fenolat .......................................... 10 2.2 Struktur dasar senyawa flavonoid ………………………………. 11 2.3 Struktur dasar senyawa tanin ……………………………………. 13 2.4 Struktur dasar asam fenolat ……………………………………… 13 2.5 Perubahan struktur kalkon menjadi produk-produk biosintesisnya 14 2.6 Struktur katekin dan antosianindin ……………………………… 15 2.7 Struktur asam sinamat, asam kafeat dan asam protokatekuat …… 15 2.8 Gugus-gugus yang penting untuk peredaman radikal bebas oleh
senyawa flavonoid ………………………………………………. 31 2.9 Rumus struktur turunan fenolat dan asam dihidrokafeat ……….. 33 2.10 Rumus struktur turunan asam sinamat …………………………... 33 2.11 Rumus struktur turunan tirosol ………………………………….. 34 2.12 Rumus struktur -tokoferol dan trolox …………………………. 34 2.13 Pengaruh pemberian anggur merah terhadap konsentrasi asam
kafeat dalam plasma darah ……………………………………… 38
2.14 Kromatogram gas minyak atsiri dari kemokultivar bunga kamil .. 43 2.15 Pengaruh cara ekstraksi dan kepolaran pelarut terhadap
kandungan flavonoid dalam ekstrak bunga kamil ………………. 44 2.16 Hidrolisis enzimatik apigenin-7-O-glikosida selama ekstraksi
bunga kamil dengan berbagai campuran etanol/air ……………… 45 2.17 Sosok tumbuhan daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC)
(Koleksi Pribadi) dan herbariumnya (Koleksi Natural History Museum, London, UK, BM000924534) ………………………… 66
2.18 Sosok tumbuhan jambu biji ……………………………………… 76 2.19 Sosok tumbuhan meniran ……………………………………… 80
xxvii
4.1 Kurva kalibrasi hasil reaksi larutan standar asam galat dengan
pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm ….. 98 4.2 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan
kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………………………………………………………….. 114
4.3 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan
kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ……………………………………………….. 116
4.4 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran …………………………………………………………… 117 4.5 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ……….…… 119 4.6 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa
fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.. 121
4.7 Pengaruh cara ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………………………. 122
4.8 Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloro- form (K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan
pembanding kuersetin (Q) dengan eluen heksan-etil asetat 7:3 … 124 4.9 Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloro- form (K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan
pembanding kuersetin (Q) dengan eluen petroleum eter-aseton 7:3 ………………………………………………………………. 125
4.10 Spektrum FTIR serbuk daun dewa ……………………………… 127 4.11 Spektrum FTIR serbuk daun jambu biji ………………………… 127 4.12 Spektrum FTIR serbuk herba meniran ..………………………… 128 4.13 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa .…………… 128 4.14 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun jambu biji .……… 129 4.15 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter herba meniran ………… 129 4.16 Spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa …….…………… 131
xxviii
4.17 Spektrum FTIR ekstrak kloroform daun jambu biji ….…………… 131 4.18 Spektrum FTIR ekstrak kloroform herba meniran ….…………… 132 4.19 Spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa ……….…………… 133 4.20 Spektrum FTIR ekstrak metanol daun jambu biji ….…………… 133 4.21 Spektrum FTIR ekstrak metanol herba meniran .….…………… 134 4.22 Spektrum FTIR residu daun dewa ………..……….…………… 135 4.23 Spektrum FTIR residu daun jambu biji .…..……….…………… 135 4.24 Spektrum FTIR residu herba meniran ………..……….………… 136 4.25 Kromatogram rutin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18,
panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm ……………... 138
4.26 Kromatogram isokuersetin dan kuersetin dengan kolom fase
terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm ………………………………………………………... 138
4.27 Kromatogram campuran rutin, isokuersetin dan kuersetin dengan
kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm ……………………………………………... 139
4.28 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan
fraksi air (C) dari ekstrak daun dewa dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm .…….. 144
4.29 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak daun jambu biji dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm …………………………………………………………. 145
4.30 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak herba meniran dengan kolom fase terbalik
xxix
Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm .…….. 148
4.31 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa
(0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) ………… 150 4.32 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun
dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) …… 152 4.33 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak
daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) 153 4.34 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam
metanol …………………………………………………………. 154 4.35 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam
metanol (hitam) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis putus-putus) ………………………………………………. 155
4.36 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam
metanol (hitam) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis titik-titik) dan setelah 5 menit (garis putus-putus) ……….. 155
4.37 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam
metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium asetat (garis tipis) ……………………………………………………... 156
4.38 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam
metanol (garis tebal), setelah penambahan natrium asetat (garis tipis) dan setelah penambahan asam borat (garis putus-putus) .... 157
4.39 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam
metanol (garis tebal) dan setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis) ..…………………………………………………….. 158
4.40 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam
metanol (garis tebal), setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis) dan setelah penambahan asam klorida (garis putus- putus) .………………………………………………………….. 158
4.41 Struktur 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol (kuersetin) …………… 159
xxx
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Daftar ekstrak tumbuhan obat bahan alam Indonesia yang mengandung senyawa fenolat ………………………………… 185
2. Hasil pengolahan data dengan Microsoft Excel 2007 untuk hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelom- bang 765 nm .………………………………………………… 187
3. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa terhadap perolehan kadar zat tersari dengan program SPSS … 188
4. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun jambu Biji terhadap perolehan kadar zat tersari dengan program SPSS 190
5. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap perolehan kadar zat tersari dengan program SPSS … 192
6. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa
terhadap kadar senyawa fenolat dengan program SPSS ……… 194
7. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun jambu Biji terhadap kadar senyawa fenolat dengan program SPSS … 196
8. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap kadar senyawa fenolat dengan program SPSS ……… 198
9. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar zat tersari dengan program SPSS ………. 200
10. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar zat tersari dengan program SPSS ….. 202
11. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba meniran terhadap kadar zat tersari dengan program SPSS …….. 204
12. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar fenolat dengan program SPSS ………….. 206
13. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar fenolat dengan program SPSS .…….. 208
14. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba
xxxi
meniran terhadap kadar fenolat dengan program SPSS ……….. 210
15. Hasil optimasi sistem kromatografi lapis tipis (KLT) untuk karakterisasi herba meniran …………………………………… 212
16. Pola kromatografi lapis tipis simplisia herba meniran menurut Farmakope Herbal Indonesia …………………………………. 216
17. Hasil uji kesesuaian sistem kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk analisis campuran beberapa flavonoid ...……… 217
18. Spektrum infra merah isolat A2 dari ekstrak daun dewa ……... 221
19. Kromatogram LC-MS isolat A2 dari ekstrak daun dewa …….. 222
20. Spektrum massa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dengan LC-MS ESI Positive Ion Mode ………………………………. 223
21. Spektrum 1H NMR isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam
DMSO-d6 …………………………………………………….. 224
22. Spektrum 13C NMR isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam DMSO-d6 …………………………………………………….. 225
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kedua terkaya setelah Brasil dalam aspek
keanekaragaman hayati berupa plasma nutfah, flora dan fauna yang berpotensi
sebagai obat bahan alam. Salah satu obat bahan alam yang paling banyak
dimanfaatkan adalah yang berasal dari tumbuhan, yang biasa disebut tumbuhan
obat (TO). Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tumbuhan, 9.606 spesies
(32,02%) diketahui sebagai tumbuhan obat dan baru 350 spesies (3,64%)
dimanfaatkan dan dibudidayakan secara komersial. Sebagai negara penghasil
tumbuhan obat, Indonesia hanya di posisi ke-19 pada tahun 1999, bahkan
menurun menjadi posisi 31 pada tahun 2003 (Kadiman, 2006). Oleh karena itu,
tumbuhan obat Indonesia perlu diteliti dan dikembangkan terus menjadi obat
bahan alam (OBA) yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya.
Penelitian dan pengembangan OBA, dapat diarahkan menjadi tiga
kelompok, yaitu (a) jamu (obat tradisional Indonesia), (b) obat herbal terstandar,
dan (c) fitofarmaka. Jamu adalah OBA yang pembuktian manfaatnya dilakukan
secara empirik. Obat herbal terstandar adalah OBA yang bahan bakunya
terstandar dan telah terbukti khasiat dan keamanannya melalui uji praklinik.
Fitofarmaka adalah OBA yang bahan baku dan produknya sudah terstandar dan
telah terbukti khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. OBA yang telah
memenuhi syarat sebagai fitofarmaka akan diperlakukan seperti halnya obat
modern yang dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan (BPOM, 2004a).
Sampai awal tahun 2010, sebagian besar produk OBA Indonesia adalah berupa
2
jamu, 17 produk obat herbal terstandar dan 5 produk fitofarmaka (Sarmoko,
2011). Mengingat besarnya potensi tumbuhan obat, tersedianya teknologi, dan
tingginya kebutuhan obat di dalam negeri dan pasar luar negeri, maka perlu
dilakukan peningkatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) kesehatan bidang obat dalam pengelolaan tanaman obat di
Indonesia.
Salah satu arah penelitian, pengembangan dan penerapan iptek kesehatan
di bidang bahan baku obat, sediaan obat, perbekalan farmasi dan alat kesehatan
periode tahun 2005-2025 adalah pengembangan produk herbal terstandar dan
fitofarmaka. Indikator keberhasilan penelitian dan pengembangan produk herbal
terstandar dan fitofarmaka adalah (a) Jumlah simplisia dan ekstrak terstandar
untuk produk herbal terstandar dan fitofarmaka, (b) Jumlah produk herbal
terstandar dan fitofarmaka untuk sindrom metabolik (penyakit kronik) dan
degeneratif (Kadiman, 2006). Sedangkan prioritas pengembangan obat herbal
Indonesia terutama adalah untuk penyakit degeneratif, imunomodulator dan untuk
pemeliharaan kesehatan.
Jika obat bahan alam Indonesia ingin dikembangkan menjadi fitofarmaka
yang dapat digunakan sebagai obat dalam pelayanan kesehatan, maka bahan baku
tumbuhan obat, ekstrak tumbuhan obat dan produk fitofarmaka perlu
distandardisasi dan mutunya harus terjamin. Mutu menjadi dasar untuk menjamin
khasiat dan keamanan obat bahan alam Indonesia yang konsisten. Mutu adalah
status suatu obat, yang ditentukan baik dengan identitas, kemurnian, kandungan
kimia dan sifat-sifat kimia, fisika dan biologis lainnya, ataupun dengan proses
3
pembuatan (Bauer, 1998). Definisi mutu ini juga berlaku pada obat bahan alam
Indonesia.
Dalam standardisasi dan pengawasan mutu obat bahan alam, banyak
permasalahan yang dihadapi, antara lain (Bauer, 1998; Nash et al., 2006):
1. Obat bahan alam adalah campuran dari berbagai bahan aktif dan bahan
tambahan lainnya sehingga sulit distandardisasi.
2. Pada umumnya komponen aktif yang bertangung jawab terhadap
khasiatnya belum diketahui secara pasti.
3. Belum ada metode analisis yang selektif untuk penentuan komponen-
komponen kimia yang ada dalam obat bahan alam.
4. Senyawa pembanding mungkin belum tersedia secara komersial.
5. Adanya variabilitas kimia tumbuhan obat.
6. Adanya variasi/keragaman hayati alamiah.
7. Pengaruh kondisi pemanenan, pengeringan dan penyimpanan.
8. Pengaruh pemrosesan ekstraksi yang berbeda-beda: kepolaran pelarut, cara
ekstraksi, ketidakstabilan konstituen.
Untuk mengatasi kesulitan ini, perlu dikembangkan metode yang sensitif
(dapat mendeteksi dan mengkuantitasi analit dalam konsentrasi yang sangat
rendah) dan metode yang dapat memperlihatkan profil (seperti pola spektrum UV
dan IR, pola kromatogram KLT dan KCKT) bahan baku atau produk obat bahan
alam sehingga dapat digunakan untuk menetapkan spesifikasi standar bahan
tumbuhan obat yang dapat dihubungkan dengan aktivitas biologisnya. Dengan
demikian metode itu dapat dipakai untuk pengawasan mutu dalam produksi obat
4
bahan alam dan dapat pula untuk menentukan kadar komponen-komponen yang
diketahui atau yang mungkin aktif secara biologis.
Oleh karena banyaknya macam obat bahan alam dan banyaknya
kandungan kimia dalam obat bahan alam, maka pada penelitian ini permasalahan
dibatasi pada standardisasi dan pengawasan mutu bahan obat alam yang
mengandung senyawa fenolat, karena senyawa fenolat telah terbukti dari berbagai
penelitian dapat bermanfaat bagi kesehatan, terutama untuk mengatasi penyakit
yang berhubungan dengan ketuaan seperti diabetes, hipertensi, stroke, kanker dan
lain-lain. Selain itu, senyawa fenolat merupakan komponen fitokimia yang paling
banyak terdapat dalam tumbuhan dan mempunyai berbagai macam manfaat bagi
kesehatan manusia (Scalbert et al., 2005).
Dewasa ini muncul kecenderungan baru dalam standardisasi obat bahan
alam, yaitu standardisasi dengan menentukan kandungan total senyawa
fitokonstituen seperti senyawa fenolat yang dapat dihubungkan dengan aktivitas
biologis seperti aktivitas antioksidan (Palav & Priscillia, 2006). Aktivitas
antioksidan itu mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan
gangguan patofisiologis pada manusia seperti hipertensi, stroke, diabetes, kanker,
inflamasi dan gangguan lain yang berkaitan dengan usia. Obat bahan alam yang
diketahui mengandung senyawa fenolat, antara lain: daun dewa (Gynura
pseudochina) (Suda et al., 2005; Herwindriandita, 2006), meniran (Phyllanthus
niruri) (Ishiharu et al., 1992; Bagalkotkar et al., 2006; Than et al., 2006; Shakil et
al., 2007) dan daun jambu biji (Psidium guajava) (Khadeem dan Muhammed,
1959; Zhen dan Wang, 2001; Arima dan Danno, 2002).
5
Ketiga tumbuhan obat tersebut di atas telah diteliti lebih lanjut karena
berbagai alasan. Pertama, ketiga tumbuhan obat tersebut mengandung senyawa
fenolat sebagai komponen utama. Kedua, daun dewa sudah banyak dipakai secara
tradisional dan telah terbukti khasiat dan keamanannya baik secara empiris
maupun secara praklinis, namun monografinya belum ada tercantum dalam
Materia Medika Indonesia, Farmakope Indonesia, Monografi Ekstrak Tumbuhan
Obat Indonesia atau Farmakope Herbal Indonesia. Ketiga, herba meniran dan
daun jambu biji sudah dipakai sebagai bahan baku fitofarmaka (Sarmoko, 2011),
namun cara standardisasi dan pengawasan mutunya belum lengkap dalam
Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1 (BPOM RI, 2004b) atau
Farmakope Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008).
Sementara itu di Indonesia, persyaratan mutu simplisia tumbuhan obat
telah disusun dalam buku Materia Medika Indonesia Jilid 1-6 (Depkes RI, 1977-
1995) dan Farmakope Herbal Indonesia (Depker RI, 2008). Dalam buku-buku itu,
persyaratan simplisia meliputi pemerian, identifikasi, kadar abu, kadar abu yang
tidak larut dalam asam, kadar sari yang larut dalam air, kadar sari yang larut
dalam etanol, bahan organik asing dan penentuan kadar zat aktif. Sedangkan
parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat meliputi parameter non-spesifik
dan parameter spesifik. Parameter non-spesifik untuk ekstrak tumbuhan obat
meliputi susut pengeringan, kadar air, kadar abu, sisa pelarut, residu pestisida,
cemaran logam berat dan cemaran mikroba. Parameter spesifik meliputi identitas,
organoleptik, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, pola kromatogram, kadar
total golongan kandungan kimia dan kadar kandungan kimia tertentu (Depkes RI,
2000). Berdasarkan parameter-parameter tersebut telah disusun monografi untuk
6
65 jenis ekstrak tumbuhan obat Indonesia (BPOM RI, 2004b dan BPOM, 2006).
Namun demikian, monografi tersebut belum mencantumkan standardisasi ekstrak
tumbuhan obat terhadap kandungan total senyawa fenolat dan bioaktivitasnya
sebagai antioksidan. Mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat menyumbang pada
penyempurnaan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia dan Farmakope
Herbal Indonesia pada edisi yang akan terbit di masa datang.
Pada monografi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat Indonesia terdapat
beberapa kelemahan dalam teknik analisis yang dipakainya. Di antara kelemahan
itu adalah tidak adanya optimasi penyiapan sampel yang berupa simplisia
tumbuhan obat dan pembuatan ekstrak tumbuhan obat, padahal tahap penyiapan
sampel sangat berpengaruh terhadap perolehan zat aktif dan hasil analisis
(Gaedcke et al., 2003). Selain itu, identifikasi dan autentisasi simplisia dan
ekstrak tumbuhan obat dengan menggunakan spektroskopi UV, IR dan teknik-
teknik kromatografi belum ada yang lengkap dalam monografi-monografi tersebut
di atas. Oleh karena itu studi metode analisis simplisia dan ekstrak tumbuhan obat
perlu dilakukan, terutama dalam hal optimasi penyiapan sampel untuk analisis,
studi teknik identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat
dengan spektroskopi UV dan IR serta studi metode analisis simplisia dan ekstrak
tumbuhan obat dengan teknik-teknik kromatografi (KLT dan KCKT).
1.2 Perumusan Masalah
Mengingat pentingnya masalah studi metode analisis untuk standardisasi
dan pengawasan mutu obat bahan alam yang mengandung senyawa fenolat
7
sebagai komponen utama, maka masalah pada penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana cara penyiapan sampel yang berupa simplisia obat bahan alam
yang baik agar diperoleh kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan
yang optimum dari beberapa tumbuhan obat bahan alam?
2. Apakah pelarut ekstraksi dan bagaimana cara ekstraksi yang paling cocok
untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang
optimum dari beberapa tumbuhan obat bahan alam?
3. Bagaimana cara karakterisasi yang baik untuk identifikasi dan autentisasi
simplisia dan ekstrak obat bahan alam dengan menggunakan metode
spektroskopi inframerah, kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair
kinerja tinggi?
4. Apa senyawa fenolat yang dapat dijadikan sebagai penanda (marker)
dalam standardisasi obat bahan alam?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mempelajari cara penyiapan sampel yang berupa simplisia obat bahan
alam sehingga diperoleh senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang
optimum dari beberapa obat bahan alam.
2. Mencari pelarut ekstraksi dan mempelajari cara ekstraksi yang paling
cocok untuk mendapatkan senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang
optimum dari obat bahan alam.
8
3. Mempelajari cara-cara karakterisasi yang baik untuk identifikasi dan
autentisasi simplisia dan ekstrak obat bahan alam dengan metode
spektrofotometri inframerah (FT-IR), kromatografi lapis tipis (KLT), dan
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
4. Mengisolasi senyawa fenolat yang bersifat antioksidan dalam obat bahan
alam.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara umum hasil penelitian ini bermanfaat dalam membantu
memecahkan masalah pembangunan dalam bidang kesehatan, terutama dalam
pengembangan obat bahan alam Indonesia menjadi fitofarmaka. Selain itu, secara
khusus hasil penelitian ini bermanfaat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi, terutama dalam pengembangan pengetahuan tentang kandungan
kimia dan aktivitas biologis obat bahan alam serta penyempurnaan teknologi
untuk pengawasan mutu obat bahan alam.
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah atau melengkapi
data dalam monografi obat bahan alam (khususnya daun dewa, daun jambu biji
dan heba meniran) baik dalam Materia Medika Indonesia maupun dalam
Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia atau Farmakope Herbal Indonesia
yang sudah ada sekarang. Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk
pengawasan mutu bahan baku obat bahan alam (khususnya daun dewa, daun
jambu biji dan herba meniran) yang akan diproduksi menjadi obat herbal
terstandar dan fitofarmaka oleh perusahaan-perusahaan obat bahan alam di
Indonesia. Walaupun monografi ekstrak daun jambu biji dan herba meniran telah
9
ada dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume I (BPOM RI,
2004b), namun parameter mutunya belum lengkap.
Dengan demikian, hasil penelitian ini bermanfaat dalam menciptakan
monografi baru daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) yang orisinil karena
monografinya belum ada selama ini. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat
dalam melengkapi data monografi herba meniran dan daun jambu biji yang sudah
ada selama ini.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Kimia Senyawa Fenolat
Senyawa fenolat adalah salah satu golongan fitokimia bioaktif yang
tersebar luas dalam dunia tumbuhan (Strube et al., 1993). Secara kimia, senyawa
fenolat dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama: polifenol dan fenol
sederhana. Polifenol dapat dibagi lebih lanjut menjadi dua golongan: flavonoid
(flavon, flavonol, flavanon, flavanol, isoflavon, antosianidin dan kalkon) dan tanin
(polimer asam fenolat, katekin atau isokatekin). Fenol sederhana dapat dibagi lagi
menjadi dua kelompok: asam fenolat (asam sinamat atau asam benzoat dan
turunan-turunannya) dan kumarin (lihat Gambar 2.1) (Luthria, 2006).
Gambar 2.1 Bagan penggolongan senyawa fenolat (Luthria, 2006)
SENYAWA FENOLAT
FENOL SEDERHANA
KUMARIN
ASAM FENOLAT
ASAM HIDROKSIBENZOAT
ASAM HIDROKSISINAMAT
POLIFENOL
FLAVONOID Flavon Khalkon Flavonol Flavanon Isoflavon Flavanol Antosianidin
TANIN
DAPAT DIHIDROLISIS
TIDAK DAPAT DIHIDROLISIS
POLIMER ASAM GALAT
POLIMER KATEKIN DAN EPIKATEKIN
11
2.1.1 Flavonoid
Struktur dasar senyawa flavonoid adalah inti flavon (2-fenil-benzo-γ-
piran) tetapi, tergantung pada metode klasifikasi, golongan flavonoid dapat dibagi
menjadi beberapa kategori berdasarkan tingkat oksidasi cincin C dan hidroksilasi
inti flavonoid serta gula yang terikat padanya (Kuhnau, 1976). Harborne dan
Baxter (1999) membagi struktur flavonoid menjadi sebelas kelas, yaitu: flavon
(1), flavonol (2), flavanon (3), dihidroflavonol (4), flavan (5), isoflavonoid (6),
biflavonil (7), antosianin (8), kalkon (9), dihidrokalkon (10) dan auron (11)
(Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Struktur dasar senyawa flavonoid (Harborne dan Baxter, 1999)
OHO
OH O
OH
1
OHO
OH O
OH
2
OH
OH
OHO
OH O
OH
3
OHO
OH O
OH
4
OH
OH
OHO
OH
OH
OH
5
OHO
OH
6
O OH
12
Gambar 2.2 Struktur dasar senyawa flavonoid (Harborne dan Baxter, 1999) (Lanjutan)
2.1.2 Tanin
Tanin adalah nama umum untuk senyawa fenolat yang dapat menyamak
kulit atau mengendapkan gelatin dari larutan (Haslam, 1996). Tanin dapat dibagi
menjadi tanin terkondensasi seperti proantosianidin C-1 (12) dan tanin yang dapat
terhidrolisis seperti ellagitanin (13) dan gallotanin(14) (Gambar 2.3, Haslam,
1998).
2.1.3 Asam Fenolat
Ada dua golongan asam fenolat yang penting, yaitu golongan asam
hidroksibenzoat (15) dan golongan asam hidroksisinamat (16) (Gambar 2.4,
Macheix dan Fleuriet, 1998).
OHO
OH O
OH
O
HO
OH O
OH
7
OHO
OH
OH
OH
OH
+
8HO
OH9
O
HO
OH10
O
OCH3
HO
OCH311
O
O
OH
OH
13
Gambar 2.3 Struktur dasar senyawa tanin (Haslam, 1998)
Gambar 2.4 Struktur dasar asam fenolat (Macheix dan Fleuriet, 1998)
2.1.4 Biosintesis Senyawa Fenolat
Istilah ‘senyawa fenolat’ mencakup berbagai senyawa tumbuh-tumbuhan
yang mempunyai cincin aromatik dengan satu atau lebih substituen hidroksil.
O
O
O
HO
OH
OH
OH
OH
HO
OH
OH
OH
OH
HO
OH
OH
OH
OH
12
HO
HO
HO
OH
O
15
HO
HO16
O
OH
14
Seringkali senyawa-senyawa ini berikatan dengan gula (glikosida) dan karena itu
cenderung dapat larut dalam air. Flavonoid adalah kelompok terbesar dari
senyawa fenolat. Flavonoid adalah senyawa dengan 15 atom C yang tersusun dari
dua cincin fenolat yang dihubungkan oleh unit tiga-karbon. Secara biosintetis,
flavonoid diperoleh dari asetat dan shikimat (Mann, 1978) sehingga cincin A
mempunyai pola hidroksilasi yang khas pada posisi 5 dan 7. Cincin B biasanya
terhidroksilasi pada posisi 4’, 3’4’ atau 3’4’5’. Gambar 5 memperlihatkan
perubahan struktur flavonoid golongan kalkon (17), menjadi flavonol (18
kuersetin) dan flavon (19 luteolin). Isoflavonoid (20) diperoleh dengan siklisasi
kalkon (17) sedemikian rupa sehingga cincin B terletak pada posisi 3 (Gambar
2.5).
Gambar 2.5 Perubahan struktur kalkon menjadi produk-produk biosintesisnya
HO
OH
OH
OH
O
3
17
OHO
OH
OH
O18
OH
OH
A
B
2
36
82'
3'4'5'
HO
OH O20
A 2
36
8 O
OHB
OHO
OH
OH
O19
OH
A
B
2
36
82'
3'4'5'
15
Kelompok flavonoid penting lainnya adalah katekin (21) (sering dijumpai
sebagai ester dengan asam galat dalam teh) dan antosianidin (22), yang
merupakan pigmen sangat berwarna-warni (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Struktur katekin dan antosianindin Di antara asam-asam fenolat sederhana, asam sinamat (23) dan turunannya
tersebar luas dalam tumbuh-tumbuhan. Senyawa-senyawa ini diperoleh terutama
dari jalur shikimat melalui fenilalanin atau tirosin (Mann, 1978) dan contoh-
contohnya yang penting (Gambar 2.7) adalah asam kumarat (satu gugus hidroksil)
dan asam kafeat (24). Oksidasi rantai samping asam kafeat dapat menghasilkan
turunan asam benzoat seperti asam protokatekuat (25) dan asam gentisat.
Senyawa-senyawa ini biasanya dijumpai di alam sebagai eter glukosa atau dalam
senyawa ester dengan asam kuinat.
Gambar 2.7 Struktur asam sinamat(23), asam kafeat (24) dan asam protokatekuat (25)
Senyawa-senyawa fenolat yang penting lainnya adalah resveratrol,
senyawa hidroksi stilben yang dijumpai dalam anggur merah (Pace-Asciak et al.,
HO
OH21
A 2
36
8
OH
O
OH
OH
B HO
OH22
A 2
36
8
OH
O
OH
OH
B+
COOH
23
COOH
24HO
OH
COOH
25HO
OH
16
1995), oleuropein, zat pahit dari zaitun (Visioli dan Galli, 1994). Selain itu,
senyawa-senyawa fenolat terdapat dalam bentuk senyawa-senyawa kompleks
yang mungkin berasal dari penggandengan oksidatif senyawa-senyawa fenolat
sederhana, misalnya asam salvianolat yang diisolasi dari Salvia miltiorrhiza,
tumbuhan yang digunakan dalam obat tradisional Cina (Lin et al., 1996).
2.2 Sumber Senyawa Fenolat dari Bahan Alam
Beberapa sumber utama senyawa fenolat dari makanan diuraikan dalam
Tabel 2.1. Asupan flavonoid setiap hari diperkirakan antara 20 mg sampai 1 g
(Hertog et al., 1993). Flavonol, terutama katekin dan ester katekin-galat serta
flavonol (kuersetin), dijumpai dalam minuman seperti teh hijau dan teh hitam
(Stagg dan Millin, 1975) dan anggur merah (Frankel et al., 1995). Kuersetin juga
merupakan komponen utama dari bawang, apel dan buah beri. Flavanon, seperti
naringin, dijumpai terutama dalam buah jeruk. Asam-asam fenolat tersebar luas
dalam bahan makanan dan minuman termasuk anggur merah. Pola senyawa
fenolat dalam anggur diselidiki sebagai suatu cara untuk menentukan ‘sidik jari’
anggur (Soleas et al., 1997).
Berdasarkan “Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia” Volume 1
(BPOM RI, 2004b) dan Volume 2 (BPOM RI, 2006), ada beberapa obat bahan
alam Indonesia yang telah terbukti mengandung senyawa fenolat, terutama
golongan flavonoid (Lampiran 1). Dari 65 monografi ekstrak tumbuhan obat
Indonesia dalam kedua buku itu, 39 di antaranya mengandung senyawa fenolat.
Senyawa fenolat ini digunakan sebagai penanda dalam standardisasi dan
pengawasan mutu ekstrak tumbuhan obat tersebut.
17
Tabel 2.1 Beberapa sumber flavonoid dan asam fenolat dari bahan alam
Flavonoid Sumber
Katekin Teh, anggur merah
Flavanon Buah jeruk
Flavonol (misalnya kuersetin) Bawang, zaitun, teh, anggur, apel
Antiosianidin Buah ceri, strowberi, anggur, buah berwarna
Asam kafeat Buah anggur, minuman anggur, zaitun, kopi, apel, tomat, buah plum, buah ceri
2.3 Metode Analisis Senyawa Fenolat
Beberapa tinjauan telah dipublikasikan tentang analisis senyawa-senyawa
fenolat dalam tumbuh-tumbuhan (Harborne, 1989; Waterman dan Mole, 1994;
Harborne, 1998) dan dalam makanan yang berasal dari tumbuhan (Macheix et al.,
1990; Lee dan Widmer, 1996). Sedangkan Hermann (1989) dan Waksmundzka-
Hajnos (1998) telah meninjau analisis asam hidroksisinamat dan asam
hidroksibenzoat dalam tumbuh-tumbuhan dan makanan yang berasal dari
tumbuhan. Analisis flavonoid juga telah ditinjau secara luas oleh Markham (1982,
1989), oleh Harborne (1988, 1994) dan oleh Robards dan Antolovich (1997).
Analisis senyawa fenolat dalam matriks obat bahan alam, makanan mentah
ataupun makanan olahan dimulai dengan ekstraksi. Prosedur ekstraksi tergantung
pada jenis bahan yang akan dianalisis, senyawa fenolat yang akan ditentukan, dan
prosedur analisis yang akan digunakan (Lee dan Widmer, 1996). Tahap pertama
adalah menghancurkan bahan, menggiling dan memaserasi sampel untuk
meningkatkan luas permukaan, sehingga memungkinkan kontak yang lebih baik
antara pelarut pengekstraksi dengan sampel (Waterman dan Mole, 1994). Proses
ini juga membantu pencampuran sampel untuk menjamin bahwa bagian yang
diekstraksi mewakili keseluruhan sampel. Karena beberapa senyawa fenolat
terdapat sebagai glikosida atau ester, maka penyiapan sampel bisa meliputi
18
hidrolisis dengan asam, basa atau enzimatik untuk membebaskan senyawa-
senyawa fenolat yang terikat. Tahap hidrolisis diabaikan jika senyawa fenolat itu
akan dianalisis sebagai turunannya.
2.3.1 Analisis Flavonoid
2.3.1.1 Teknik-teknik Ekstraksi dan Hidrolisis Flavonoid
Umumnya senyawa flavonoid adalah senyawa yang stabil dan bisa
diekstraksi dari bahan tumbuhan segar, kering atau yang telah digiling, dengan
pelarut dingin atau panas. Pelarut yang cocok untuk ekstraksi senyawa fenolat
adalah campuran air dengan etanol, metanol, aseton atau dimetilformamida
(Robards dan Antolovich, 1997). Ekstraksi flavonol telah dilakukan dengan
maserasi bahan tumbuhan segar dalam pelarut pengekstraksi (Wildanger dan
Herman, 1973; Bilyk dan Sapers, 1986; Dick et al., 1987; Price et al., 1999),
dengan ekstraksi sampel buah-buahan segar yang dihomogenkan (Amiot et al.,
1995; Heinonen et al., 1998) atau dengan ekstraksi sampel yang dikering-bekukan
(liofilisasi) (Hertog et al., 1992a,b; Crozier et al., 1997; Justesen et al., 1998).
Analisis kuantitatif masing-masing flavonol glikosida dalam buah-buahan
sulit karena kebanyakan senyawa pembanding tidak sedia dalam perdagangan.
Selain itu, lebih dari 30 jenis senyawa flavonol glikosida telah diidentifikasi
dalam buah-buahan (Macheix et al., 1990). Hidrolisis flavonol glikosida menjadi
aglikonnya masing-masing memberikan metode yang praktis untuk kuantifikasi
flavonol dalam makanan (Robards dan Antolovich, 1997). Hidrolisis flavonol
dengan asam hidroklorida (HCl) telah dijelaskan oleh Harborne (1965).
Wildanger dan Hermann (1973) dan Bylik dan Sapers (1986) menyelidiki
19
kandungan flavonol dalam buah-buahan dengan menggunakan hidrolisis asam
tetapi tanpa optimasi prosedur ekstraksi dan hidrolisis. Hertog et al. (1992a) telah
mengoptimasi ekstraksi dan kondisi hidrolisis asam (dalam metanol berair dengan
HCl) untuk analisis flavonol dan flavon dalam sayur-sayuran dan buah-buahan
yang dikering-bekukan. Ekstraksi dan hidrolisis dalam metanol berair dengan HCl
telah digunakan pula untuk menyelidiki flavonoid aglikon pada sayur-sayuran dan
buah-buahan oleh Justesen et al. (1998) dan Ewald et al. (1999). Rommel dan
Wrolstad (1993a,b) menggunakan hidrolisis basa (NaOH 2N) untuk menyelidiki
flavonol, asam hidroksisinamat dan asam hidroksibenzoat dalam buah-buahan.
Laju hidrolisis asam/basa dari glikosida tergantung pada kekuatan asam/basa, sifat
bagian gula dan posisinya pada inti flavonoid.
Hidrolisis enzimatik memberikan metode yang cepat untuk pemutusan
monosakarida khusus dari flavonoid-O-glikosida. Hidrolisis enzimatik dengan
enzim -gluronidase dan sulfatase telah digunakan untuk menyelidiki flavonoid
dalam plasma manusia oleh Manach et al. (1998) dan Erlund et al. (1999).
2.3.1.2 Teknik-teknik Kromatografi Flavonoid
Metode kromatografi kertas dikembangkan untuk flavonoid dalam tahun
1950-an dan 1960-an (Markham, 1982, Robards dan Antolovich, 1997). Teknik
ini digantikan oleh kromatografi lapis tipis (KLT) dalam tahun 1970-an yang
menyediakan teknik yang murah dan bermanfaat untuk analisis secara bersamaan
beberapa sampel sekaligus (Robards dan Antolovick, 1997; Harborne, 1998).
Pemilihan fase diam dan pelarut yang sesuai tergantung pada golongan flavonoid
yang akan diperiksa. Flavonoid yang bersifat hidrofilik, seperti flavonol, dapat
20
dipisahkan dengan mudah dengan KLT pada fase diam poliamida atau
mikrokristalin selulosa (Wildamer dan Herman, 1973; Robards dan Antolovich,
1997). KLT masih lazim digunakan untuk pemisahan preparatif (Lee dan Widmer,
1996) dan sebagai metode skrining yang cepat dan murah untuk menentukan
golongan flavonoid yang ada dalam buah-buahan (Fernandez de Simon et al.,
1992) dan madu (Sabatier et al., 1992).
Kromatografi gas (KG) terbatas pemakaiannya pada analisis flavonoid dan
senyawa fenolik lainnya karena kemudahannya menguap juga terbatas. Karena itu
ada tahap tambahan yang diperlukan untuk menjamin kemudahan menguap
senyawa fenolik itu (Lee dan Widmer, 1996; Robards dan Antolovich, 1997).
Namun demikian, analisis KG dengan deteksi spektrometri massa (MS) telah
digunakan untuk analisis flavonol dalam teh hitam (Finger et al., 1991) dan kubis
(Nielsen et al., 1993). Keuntungan analisis KG adalah meningkatnya pemisahan
isomer-isomer yang berkaitan erat dan sederhananya penggandengan dengan
detektor MS untuk identifikasi melalui pola fragmentasi (Mouly et al., 1993;
Schmidt et al., 1994).
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) telah menjadi teknik
kromatografi yang paling banyak digunakan dalam analisis flavonoid dewasa ini
(Harborne, 1988; Robards dan Antolovich, 1997; Merken dan Beecher, 2000).
Teknik ini telah menambah dimensi baru pada penyelidikan flavonoid dalam
tumbuhan-tumbuhan dan ekstraknya. Keuntungan utamanya adalah meningkatnya
resolusi campuran flavonoid dibandingkan dengan teknik kromatografi lainnya,
kemampuannya memperoleh data kualitatif dan data kuantitatif yang teliti dalam
satu operasi, tingginya kecepatan analisis (Harborne, 1988; Markham, 1989).
21
Kromatografi fase-normal telah digunakan untuk pemisahan flavonoid
(flavon, flavonol dan flavanon aglikon) dalam air jeruk (Galensa dan Hermann,
1980a,b). Flavonoid dipisahkan secara isokratik pada LiChrosorb Si60 dengan
menggunakan sistem pelarut benzena-asetonitril, benzena-etanol atau iso-oktana-
etanol-asetonitril dan dideteksi pada 312 atau 270 nm. Akan tetapi, untuk sistem
fase-normal, ada kekhawatiran bahwa senyawa yang sangat polar bisa tertahan
secara irreversibel dalam kolom sehingga karakteristik pemisahannya dapat
berubah secara berangsur-angsur (Vande Cateele et al., 1983).
Oleh karena adanya keterbatasan kromatografi fase-normal, maka
kromatografi fase-terbalik telah menjadi metode pilihan untuk pemisahan
senyawa-senyawa fenolat dalam tumbuh-tumbuhan. Senyawa-senyawa fenolat
yang berasal dari alam mempunyai sifat yang dapat larut dalam pelarut polar. Sifat
ini mendorong ke arah kemungkinan penggunaan KCKT fase terbalik dalam
analisis senyawa-senyawa fenolat. Waktu retensi yang cukup akan dicapai dengan
menggunakan kondisi asam untuk menghindarkan adanya bentuk terionisasi dari
analit (Waksmundzka-Hajnos, 1998). Oktadesilsilan (ODS, C18, RP-18) adalah
fase diam yang paling populer, baik untuk analisis secara umum maupun untuk
analisis senyawa-senyawa fenolat (Majors, 2001). Bahan-bahan fase-terbalik
lainnya (misalnya C8) jarang dipakai (Robards dan Antolovich, 1997), karena
produk itu tidak tersedia di pasaran (Majors, 2001). Walaupun demikian, tanin
terkondensasi tidak bisa dianalisis dengan menggunakan KCKT fase terbalik
karena senyawa itu terserap terlalu kuat pada fase diam (Schofield et al., 1998).
Oleh karena itu, tanin terkondensasi harus dianalisis dengan menggunakan teknik
KCKT fase normal (Waksmundzka-Hajnos, 1998).
22
Eluen yang digunakan dalam analisis KCKT fase terbalik untuk senyawa-
senyawa fenolat adalah campuran zat pengubah pH air dengan pelarut organik
polar yang larut-air: metanol (MeOH), asetonitril (ACN) atau tetrahidrofuran
(THF). Walaupun THF mempunyai keuntungan tersendiri karena keselektifannya,
namun pelarut ini jarang dipakai karena mudah terurai, waktu kesetimbangannya
lama, beracun, dan serapan latar belakang ultravioletnya tinggi di bawah 240 nm
(Dolan, 2000). Namun demikian, beberapa metode yang menggunakan THF
sebagai pelarut organik dalam fase gerak telah dipublikasikan (Dick et al., 1987).
Pelarut-pelarut organik lain seperti 2-propanol dan n-butanol jarang dipakai dalam
fase gerak, namun bila dipakai, itu disebabkan terutama karena alasan
keselektifannya (Bronner dan Beecher, 1995).
Zat pengubah pH yang berupa senyawa organik pada konsentrasi rendah
dapat pula mempunyai pengaruh yang besar pada waktu retensi senyawa fenolat
(Arin et al., 1995). Sedangkan pH adalah salah satu faktor penting terutama dalam
pemisahan senyawa-senyawa yang dapat terionisasi seperti asam-asam fenolat.
Zat pengubah pH yang paling sering digunakan dalam metode KCKT fase terbalik
untuk senyawa-senyawa fenolat adalah asam formiat, asam asetat, asam
trifluoroasetat dan asam fosfat, serta buffer fosfat yang diatur pada pH asam untuk
mencapai bentuk tak terionisasi dari analit-analit fenolat (Robards dan
Antolovich, 1997, Waksmundzka-Hajnos, 1998).
2.3.2 Analisis Asam Fenolat
2.3.2.1 Teknik-teknik Ekstraksi dan Hidrolisis
23
Pelarut yang lazim digunakan untuk ekstraksi asam-asam fenolat matriks
tumbuhan adalah etil asetat (Azar et al., 1987; Fernandez de Simon et al., 1990,
1992), dietil eter (Fernandes de Simon et al., 1990,1992) metanol atau metanol
berair (Kuninori dan Nishiyama, 1986; Torres et al., 1987; McRae et al., 1990;
Tomas-Lorente, 1992). Hidrolisis enzimatik dengan enzim -glukosidase (Kanes
et al., 1993) atau enzim hidrosinamoil-kuinat esterase (Goupy et al., 1990) telah
digunakan untuk analisis asam-asam fenolat. Namun demikian, hidrolisis asam
dan basa lebih lazim digunakan untuk penentuan asam-asam fenolat dalam
tumbuh-tumbuhan (Lee dan Widmer, 1996).
Hidrolisis asam untuk penentuan asam-asam fenolat telah dilakukan
dengan cara memanaskan sampel dengan asam klorida (HCl) selama 2 jam atau
lebih (Kuninori dan Nishiyama, 1986). Hidrolisis ester asam benzoat dan ester
asam sinamat dengan basa dapat dilakukan dengan natrium hidroksida (NaOH)
pada suhu kamar selama 4-24 jam (Seo dan Morr, 1984; Torres et al., 1987; Peleg
et al., 1991; Roussef et al., 1992a,b; Rommel dan Wrolstad, 1993a). Rommel dan
Wrolstad (1993a) menguji hidrolisis asam (HCl) dan basa (NaOH) dalam analisis
komposisi senyawa fenolat (asam elegat, asam hidroksibenzoat, asam
hidroksisinamat, favonol dan flavan-3-ol) dari air buah raspberi. Pola senyawa
fenolat sampel yang dihidrolisis basa sangat serupa dengan pola senyawa fenolat
sampel yang dihidrolisis asam. Hanya satu senyawa asam elegat terhidrolisis lebih
efektif dalam kondisi basa daripada dalam kondisi asam. Perolehan kembali
(recovery) sangat jelek (57-67 %) untuk asam hidroksisinamat yang diekstraksi
dari air buah setelah hidrolisis basa (Peleg et al., 1991). Namun demikian, Seo
dan Morr (1984) menemukan bahwa hidrolisis dengan NaOH menyebabkan
24
perolehan kembali asam ferulat dari produk protein kedele lebih baik daripada
hidrolisis dengan HCl. Hollman dan Venema (1993) menguji ekstraksi dan
hidrolisis asam elegat dari kenari dan buah-buahan dengan menggunakan berbagai
konsentrasi HCl dan metanol dalam air bersama-sama dengan variasi lamanya
hidrolisis. Karakteristik hidrolisis elegitanin dari kenari (optimum HCl 5 M dalam
metanol 57% selama 1 jam) berbeda dari karakteristik hidrolisis buah-buahan
(optimum HCl 3,5 M dalam metanol 72% selama 4-8 jam). Pada umumnya,
optimisasi ekstraksi dan kondisi hidrolisis selalu diperlukan bila asam-asam
fenolat ditentukan kadarnya dari buah-buahan atau bahan tumbuhan lainnya (Lee
dan Widmer, 1996).
2.3.2.2 Teknik-teknik Kromatografi untuk Asam Fenolat
Pemakaian kromatografi lapis tipis (KLT) untuk analisis kuantitatif asam-
asam fenolat (Azar et al., 1987; Regnault-Roger et al., 1987; Srisuma et al., 1989)
biasanya dilakukan dengan menggunakan kromatografi fase-normal pada lapisan
tipis selulosa atau silika dan fase gerak campuran pelarut nonpolar (toluen,
dioksan atau benzena) dan zat pengubah organik polar (aseton, butanol, etanol
atau asam asetat). Keuntungan penapisan ekstrak sampel dengan KLT sebelum
analisis dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) adalah deteksi kotoran
yang bisa terserap pada fase diam dalam kolom KCKT, atau penentuan kondisi
pelarut yang perlu untuk berhasilnya pemisahan senyawa-senyawa fenolat
(Fernandez de Simon et al., 1992; Lee dan Widmer, 1996).
Pada tahun 1980-an, kromatografi gas (KG) digunakan untuk analisis
asam-asam fenolat dalam buah-buahan (Moller dan Hermann, 1983; Schuster dan
25
Herrmann, 1985) dan sayur-sayuran (Huang et al., 1986). Namun demikian,
KCKT, terutama KCKT fase-terbalik, adalah metode pilihan dalam analisis asam-
asam fenolat. Sistem pelarut yang digunakan dalam analisis KCKT biasanya
meliputi elusi gradien biner dengan menggunakan pelarut larutan asam asetat,
asam formiat atau asam fosfat dalam air dengan memakai metanol atau asetonitril
sebagai zat pengubah kepolaran organik. Kekuatan ionik dan pH fase gerak
diketahui mempengaruhi retensi senyawa-senyawa fenolat dalam kolom yang
tergantung pada protonasi, disosiasi, atau disosiasi parsial (Marko-Varga dan
Barcelo, 1992). Perubahan pH yang meningkatkan ionisasi suatu sampel dapat
mengurangi retensi dalam pemisahan fase-terbalik. Jadi, sejumlah kecil asam
asetat (2-5%), asam formiat, asam fosfat atau asam trikloroasetat (0,1%)
dimasukkan ke dalam sistem pelarut untuk menekan ionisasi gugus fenolat dan
gugus karboksilat dan karena itu meningkatkan resolusi dan keterulangan proses
kromatografi.
2.3.3 Deteksi dan Identifikasi Senyawa-senyawa Fenolat
Senyawa-senyawa fenolat menyerap dalam daerah ultraviolet (UV) dan
detektor yang lazim dipakai untuk KCKT adalah detektor panjang gelombang
bervariasi UV atau UV-Visible (Lee dan Widmer, 1996; Robards dan Antolovich,
1997). Tidak ada satu panjang gelombang yang ideal untuk memantau semua
golongan senyawa fenolat kerena mereka memperlihatkan serapan maksimum
pada berbagai panjang gelombang (Delage et al., 1991). Kebanyakan turunan
asam benzoat memperlihatkan serapan maksimum pada 246-262 nm, kecuali
untuk asam galat dan asam siringat yang mempunyai serapan maksimum pada 271
26
dan 275 nm, masing-masing (Torres et al., 1987). Turunan asam hidroksisinamat
menyerap pada dua daerah UV, satu serapan maksimum pada rentang 225-235 nm
dan satu lagi pada rentang 290-330 nm (Ribereau-Gayon, 1972). Pada 320 nm,
turunan asam sinamat dapat dideteksi tanpa gangguan dari turunan asam benzoat,
yang mempunyai daya serap lebih tinggi pada 254 nm. Namun demikian, deteksi
pada 280 nm adalah pilihan terbaik untuk penentuan kedua golongan senyawa
fenolat itu (Pussayanawin dan Wetzel, 1987). Rentang serapan pada panjang
gelombang 350-370 nm telah banyak digunakan untuk flavonol aglikon dan
panjang gelombang 280 nm untuk flavan-3-ol dan flavonol glikosida (Robard dan
Antolovich, 1997).
Luasnya penggunaan photo-diode array (PDA) dalam analisis flavonoid
dan asam fenolat dapat disebabkan oleh kemampuannya mengumpulkan spektrum
secara on-line (Hertog et al., 1992a,b; Rommel dan Wrolstad, 1993a,b; Justesen et
al., 1998) tanpa menggunakan teknik aliran-terhenti. Ini telah mendorong
banyaknya peningkatan analisis KCKT untuk tujuan identifikasi dan
membuktikan manfaat informasi kualitatif dalam analisis senyawa fenolat yang
didasarkan pada spektrum serapan (Jaworski dan Lee, 1987; Mazza dan Velioglu,
1992, Fernandez de Simon et al., 1992). PDA mempunyai tiga keuntungan utama:
deteksi panjang gelombang berganda, identifikasi puncak, dan penentuan
kemurnian puncak (Lee dan Widmer, 1996).
Deteksi fluoresensi lebih peka dan lebih selektif daripada deteksi UV.
Namun demikian, deteksi fluoresensi belum banyak dipakai pada analisis senyawa
fenolat (Lee dan Widmer, 1996). Dalam analisis senyawa fenolat dalam air jeruk,
deteksi fluoresensi memberikan keuntungan yang lebih baik daripada deteksi UV
27
dalam kaitan dengan peningkatan keselektifan dan kepekaannya (Roussef et al.,
1992b). Deteksi fluoresensi telah dipakai pula untuk analisis asam-asam fenolat
dalam buah kesemak (Gorinstein, 1994), asam elegat dalam buah berry dan
kacang (Hollman dan Venema, 1993), dan flavonol (Hollman et al., 1996) dan
isomer resveratrol dalam plasma (Giachetti et al., 1999).
Deteksi elektrokimia sangat peka untuk senyawa-senyawa yang dapat
dioksidasi atau direduksi pada potensial voltage rendah. Deteksi elektrokimia
menjadi semakin penting untuk penentuan jumlah senyawa fenolat yang sangat
kecil, karena deteksi elektrokimia ini memperlihatkan kepekaan dan keselektifan
yang lebih meningkat dibandingkan dengan deteksi UV (van Sumere, 1989;
Akasbi et al., 1993). Deteksi elektrokimia telah digunakan untuk deteksi flavonol
dan asam fenolat dalam sayur-sayuran (Chiavari et al., 1988), minuman (Lunte,
1987), dan plasma (Erlund et al., 1999).
Metode gabungan kromatografi cair kinerja tinggi dengan spektrometri
massa (KCKT-SM) adalah metode yang yang cepat dan handal untuk analisis
struktur senyawa-senyawa fenolat yang tidak mudah menguap, semenjak teknik-
teknik yang lebih baik telah dikembangkan untuk pemisahan fase gerak cair
sebelum ionisasi (Careri et al., 1998). Pietta et al. (1994) memperlihatkan bahwa
termospray liquid chromatography (LC)-MS adalah suatu teknik yang sangat baik
untuk analisis flavonol glikosida dari tumbuhan obat. Flavan-3-ol (Lin et al.,
1993) dan berbagai golongan fenolat termasuk flavonol glikosida (Kiehne dan
Engelhardt, 1996) dalam teh telah diselidiki dengan menggunakan thermospray
LC-MS. Positive ion fast atom bambardment (FAB)-MS telah digunakan untuk
menyelidik ikatan glikosida dalam diglikosil flavonoid (Li dan Claeys, 1994).
28
Electrospray dan variasinya adalah perkembangan yang lebih baru dalam
spektrometri massa ionisasi pada tekanan atmosfer (Robards dan Antolovich,
1997). Teknik gabungan HPLC-electospray ionisation (ESI)-MS memberikan
keuntungan dalam kaitannya dengan kepekaan dan kapasitas untuk analisis
senyawa-senyawa yang sangat polar dan labil secara termal (Robards dan
Antolovich, 1997; Careri et al., 1998). HPLC-ESI-MS telah digunakan utnuk
menyelidiki flavonoid dalam teh (Poon, 1998) dan dalam tomat dan plasma
(Mauri et al, 1999). Teknik atmospheric pressure ionisastion (API)-MS telah
digunakan untuk analisis flavonoid dalam buah-buahan dan sayur-sayuran
(Justesen et al., 1998).
2.4 Aktivitas Biologis Senyawa Fenolat Tumbuhan
Senyawa fenolat tersebar luas dalam tumbuhan. Salah satu kelompok
senyawa fenolat yang penting adalah senyawa flavonoid, yang penting dalam
menyumbang pada bau dan warna buah-buahan dan sayur-sayuran serta produk-
produk yang besasal darinya seperti anggur, teh dan coklat. Peranan biologis
beberapa senyawa fenolat sederhana lainnya tidak diketahui sepenuhnya;
senyawa-senyawa itu mungkin memainkan peranan sebagai bahan penyusun
untuk senyawa-senyawa lain atau dalam mekanisme pertahanan tumbuhan.
Senyawa-senyawa fenolat yang berhubungan dengan makanan pada umumnya
dianggap sebagai zat bukan-gizi dan manfaatnya yang mungkin bagi kesehatan
manusia baru akhir-akhir ini dipertimbangkan orang. Dewasa ini, banyak
perhatian ditujukan pada efek biologis senyawa-senyawa fenolat itu semenjak
ditemukan bukti bahwa makanan yang banyak mengandung buah-buahan dan
29
sayur-sayuran terbukti dapat melindungi terhadap penyakit kardiovaskular dan
beberapa bentuk penyakit kanker (Block, 1992; Hertog et al., 1993; Block dan
Langseth, 1994). Semenjak radikal bebas oksigen dan peroksidasi lemak dianggap
terlibat dalam beberapa kondisi penyakit seperti aterosklerosis, kanker dan
inflamasi kronik, maka aktivitas antioksidan senyawa-senyawa fenolat telah
mendapat perhatian yang banyak (Halliwell, 1994). Akhir-akir ini telah ada
beberapa tinjauan tentang aktivitas antioksidan flavonoid (Bors et al., 1990; Rice-
Evans et al., 1996; Cook dan Saman, 1996), sedangkan informasi tentang
senyawa fenolat lainnya masih sedikit tersedia.
Walaupun banyak kemajuan penting dalam memahami aktivitas
aktioksidan senyawa-senyawa fenolat secara in vitro dan sejumlah kajian tentang
penyerapannya pada hewan, namun baru sedikit tersedia data baik tentang
penyerapan ataupun tentang efek antioksidan senyawa-senyawa ini secara in vivo
pada manusia. Bagian ini akan menguraikan pemahaman baru tentang aktivitas
antioksidan flavonoid dan asam fenolat, ketersediaan hayatinya dan metode-
metode untuk menilai efek antioksidannya secara in vivo.
2.4.1 Aktivitas Antioksidan Flavonoid dan Asam Fenolat
Radikal bebas dihasilkan dalam tubuh sebagai bagian metabolisme
normal, misalnya superoksida (O2-) dan nitrogen oksida (NO.) yang mempunyai
fungsi fisiologi penting. Pada umumnya, radikal bebas sangat reaktif dan dapat
menyerang lipid membran misalnya, yang menimbulkan radikal karbon yang
selanjutnya bereaksi dengan oksigen menghasilkan radikal peroksil yang bisa
menyerang asam-asam lemak berdekatan menghasilkan radikal karbon baru.
30
Proses ini menyebabkan reaksi berantai yang menghasilkan produk peroksidasi
lipid (Halliwel, 1994). Dengan cara ini satu radikal saja bisa merusak banyak
molekul dengan memulai reaksi berantai peroksidasi lipid. Karena kuatnya sifat
merusak dari radikal bebas itu, maka tubuh mempunyai sejumlah mekanisme
pertahanan antioksidan yang meliputi enzim-enzim seperti superoksida dismutase,
katalase, transport tembaga dan besi serta protein cadangan, dan antioksidan-
antioksidan molekular baik yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak.
Stres oksidatif bisa timbul apabila pertahanan antioksidan tidak bisa mengatasi
produksi radikal bebas, dan ini bisa disebabkan oleh aksi racun-racun tertentu atau
karena stres fisiologis (Halliwell, 1994).
Flavonoid dan asam fenolat dapat bertindak sebagai antioksidan dengan
beberapa cara yang mungkin. Cara yang paling penting mungkin dengan meredam
radikal bebas karena fenolat dapat memutus reaksi berantai radikal bebas. Agar
suatu senyawa dapat didefinisikan sebagai antioksidan maka senyawa itu harus
memenuhi dua syarat: (i) apabila ada pada konsentrasi rendah dibandingkan
dengan substrat yang dapat dioksidasi ia dapat menunda atau mencegah oksidasi
substrat; (ii) radikal yang terbentuk pada fenolat harus stabil sehingga
mencegahnya bertindak sebagai radikal yang memperbanyak reaksi berantai
(Halliwell et al., 1995). Stabilisasi ini biasanya melalui delokalisasi, ikatan
hidrogen intramolekular atau dengan oksidasi lebih lanjut oleh reaksi dengan
radikal lipid lainnya (Shahidi dan Wanasundara, 1992). Sejumlah penelitian telah
dilakukan mengenai hubungan antara struktur-aktivitas antioksidan dari flavonoid
(Bors et al., 1990; Chen et al., 1996; Rice-Evans et al., 1996; Van Acker et al.,
31
1996; Cao et al., 1997). Ciri struktur utama dari flavonoid yang diperlukan untuk
peredaman radikal yang efisien dapat diringkaskan sebagai berikut:
1. Struktur orto-dihidroksi (katekol) pada cincin B, untuk delokalisasi
elektron;
2. Ikatan rangkap 2,3 berkonjugasi dengan gugus fungsi 4-keto, memberikan
delokalisasi elektron dari cincin B;
3. Gugus hidroksil pada posisi 3 dan 5, memberikan ikatan hidrogen pada
gugus keton.
Ciri-ciri struktur ini dilukiskan dalam Gambar 8 berikut ini.
Gambar 2.8 Gugus-gugus yang penting untuk peredaman radikal bebas oleh senyawa flavonoid
Asam-asam fenolat bisa pula menjadi antioksidan yang baik, terutama
yang mempunyai struktur jenis-katekol seperti asam kafeat (Laranjiha et al., 1994;
Nardini et al., 1995; Abu-Amsha et al., 1996; Velkov et al., 2007). Beberapa
32
penelitian baru-baru ini telah memperlihatkan bahwa asam-asam fenolat
sederhana yang berasal dari sel seperti asam 3-hidroksiantranilat bisa pula
menjadi ko-antioksidan yang efisien untuk alfa-tokofenol, dapat menghambat
peroksidasi lipoprotein dan lipid plasma pada manusia (Thomas et al., 1996).
Interaksi yang mungkin antara flavonoid dan asam fenolat dengan antioksidan
fisiologis lainnya seperti askorbat atau tokoferol adalah cara kerja antiokasidan
lainnya yang mungkin untuk senyawa-senyawa ini. Interaksi sinergistik dari
senyawa-senyawa antioksidan ini bisa dicontohkan dengan peningkatan efek
antiproliferatif kuersetin oleh asam askorbat, mungkin disebabkan oleh
kemampuannya melindungi fenolat dari penguraian oksidatif (Kandaswami et al.,
1993). Dengan cara yang sama, pencampuran low-density liprotein (LDL) dengan
askorbat dan asam kafeat atau asam kumarat menyebabkan perlindungan
sinergistik dari oksidasi yang disebabkan oleh ferilmioglobin (Vieira et al.,
1998a).
Selain struktur kimia, aktivitas antioksidan senyawa-senyawa fenolat
sangat dipengaruhi oleh interaksi yang rumit dalam sel makhluk hidup. Namun
demikian, upaya untuk menyederhanakan masalah ini telah dilakukan dengan
mencari hubungan langsung antara karakteristik molekul senyawa-senyawa
fenolat dengan aktivitas peredaman radikal bebas difenil pikril hidrazil (DPPH),
dengan mengabaikan kondisi lingkungan sel makhluk hidup (Velkov et al., 2007).
Struktur molekul senyawa-senyawa fenolat yang diselidiki dilukiskan dalam
Gambar 2.9 – 2.12 dan hasil pengukuran aktivitas antioksidan serta parameter
molekulnya disajikan dalam Tabel 2.2.
Butil hidroksi toluen (BHT): A1 = A5 = t-butil; A3 = CH3; A2 = A4 = H
OH
A1
A2
A3
A4
A5
33
H
E1
E2
H
H
OE3
Butil hidroksi anisol 1 (BHA1): A2 = t-butil, A3 = OCH3, A1 = A4 = A5 = H Butil hidroksi anisol 2 (BHA 2): A1 = t-butil; A3 = OCH3; A2 = A4 = A5 = H
Tersier butil hidrokuinin (TBHK): A2 = t-butil; A1 = A4 = A5 = H
Asam hidroksikafeat
Gambar 2.9 Rumus struktur turunan fenolat dan asam dihidrokafeat
Asam sinamat B1 = B2 = B3 = B4 = B5 = H Asam o-kumarat B1 = OH, B2 = B3 = B4 = B5 = H Asam m-kumarat B2 = OH, B1 = B3 = B4 = B5 = H Asam p-kumarat B3 = OH, B1 = B2 = B4 = B5 = H Asam ferulat B2 = OCH3, B3 = OH, B1 = B4 = B5 = H Asam isoferulat B2 = OH, B3 = OCH3, B1 = B4 = B5 = H Asam kafeat B2 = B3 = OH, B1 = B4 = B5 = H Asam sinapat B2 = B4 = OCH3, B3 = OH, B1 = B5 = H Asam rosmarinat B3 = B4 = OH, B1 = B2 = H
B5 =
Asam klorogenat B2 = B3 = OH, B1 = B4 = H
B5 =
Gambar 2.10 Rumus struktur turunan asam sinamat
Tirosol: E2 = OH; E1 = E3 = H Hidroksitirosol: E1 = E2 = OH; E3 = H Oleuropein: E1 = E2 = OH; E3 =
H
B1
B2
B3
B4
OB5
O
OH
O
H
H
HO
HO
H
34
Gambar 2.11 Rumus struktur turunan tirosol
Gambar 2.12 Rumus struktur -tokoferol dan trolox
Tabel 2.2 Aktivitas antioksidan senyawa fenolat dan parameter molekulnya (Velkov et al., 2007)
Keterangan: RSA = relative scavenging activity HOMO = highest occupied molecular orbital
Berdasarkan hasil penelitian Velkov et al. (2007) di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa syarat untuk meramalkan aktivitas peredaman
radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat, yaitu:
1. Tersedianya gugus O-H pada sistem aromatik
2. Adanya substituen dengan efek elektronik induktif dan mesomerik positif
No. Senyawa Fenolat RSA, % Energi HOMO, eV
Panjang ikatan C-O, Ao
Kerapatan putaran pada atom O
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Asam dihidrokafeat Asam rosmarinat Asam kafeat Asam klorogenat Asam sinapat Asam ferulat Asam isoferulat Asam p-kumarat Hidroksitirosol Oleuropein Tirosol -Tokoferol Trolox TBHK BHA1 BHA2 BHT Asam o-kumarat Asam m-kumarat Asam sinamat
93,9 88,4 76,6 52,0 56,1 30,9 3,5 3,6
57,0 41,3 2,7
54,0 53,4 58,7 22,3 22,3 8,0 3,5 2,6 0,5
- 0,2221 - 0,2212 - 0,2291 - 0,2270 - 0,2238 - 0,2226 - 0,2243 - 0,2336 - 0,2195 - 0,2218 - 0,2256 - 0,1927 - 0,1975 - 0,2099 - 0,2064 - 0,2058 - 0,2294 - 0,2376 - 0,2421 - 0,2495
1,2601 1,2523 1,2843 1,2528 1,2453 1,2515 1,2510 1,2497 1,2603 1,2599 1,2594 1,2603 1,2597 1,2588 1,2598 1,2592 1,2575 1,2518 1,2597 1,2706
0,3461 0,2856 0,3801 0,2869 0,3151 0,3159 0,3754 0,3350 0,3446 0,3405 0,4049 0,3511 0,3552 0,3621 0,3794 0,3577 0,3476 0,3698 0,4234 0,5507
35
3. Adanya ikatan hidrogen yang melibatkan gugus hidroksi yang dapat
terdisosiasi dan gugus fungsional yang berdekatan
Cara lain kerja antioksidan flavonoid, terutama dalam sistem oksidasi yang
menggunakan ion logam transisi seperti tembaga atau besi, adalah pembentukan
kompleks khelat dengan ion-ion logam itu. Pembentukan kompleks khelat dari
ion-ion logam katalitik bisa mencegah keterlibatannya dalam reaksi Fenton yang
dapat menimbulkan radikal hidroksil yang sangat reaktif (Halliwell et al., 1995).
H2O2 + Cu+ OH + OH- + Cu2+
Cu2+ + O2- Cu+ + O2
Kemampuan senyawa fenolat bereaksi dengan ion-ion logam bisa pula
mengubahnya menjadi pro-oksidan. Sebagai contoh, dalam suatu penelitian oleh
Cao et al. (1997) dengan menggunakan tiga sistem oksidasi yang berbeda-beda,
flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat terhadap radikal peroksil
yang dibangkitkan dari AAPH dan terhadap radikal hidroksil tetapi merupakan
pro-oksidan dengan Cu2+. Kemungkinan flavonoid dapat mereduksi Cu2+ menjadi
Cu+ dan karena itu memungkinkan terbentuknya radikal mula-mula. Asam kafeat
juga telah dibuktikan mempunyai aktivitas pro-oksidan pada oksidasi LDL yang
diinduksi Cu2+ (Yamanaka et al., 1997). Perlu dicatat bahwa aktivitas pro-oksidan
ini hanya terlihat pada fase perambatan oksidasi, tidak pada fase awal di mana
asam kafeat menghambat oksidasi lipoprotein, sesuai dengan temuan-temuan
terdahulu (Laranjiha et al., 1994; Nardini et al., 1995; Abu-Amsha et al., 1996).
Efek pro-oksidan yang mungkin dari flavonoid bisa menjadi penting
secara in vivo jika ion-ion logam transisi bebas terlihat dalam proses oksidasi.
Dalam tubuh manusia yang sehat, ion-ion logam kelihatannya lebih banyak
36
diasingkan dalam bentuk yang tidak bisa mengkatalisis reaksi radikal bebas
(Halliwell dan Gutteridge, 1990). Akan tetapi, kerusakan pada jaringan bisa
melepaskan besi dan tembaga (Halliwell et al., 1992) dan ion-ion logam katalitik
telah diukur pada luka-luka aterosklerotik (Smith et al., 1992). Dalam hal ini
kemungkinan flavonoid bertindak sebagai pro-oksidan tidak dapat diabaikan.
Kerja biologis lainnya dari senyawa-senyawa fenolat mungkin berkaitan
erat dengan efeknya pada kesehatan manusia. Sebagai contoh, asam kafeat bisa
mempunyai efek sitoprotektif pada sel-sel endotelial yang berkaitan tidak hanya
dengan kerja antioksidannya tetapi juga dengan kemampuannya menghalangi
naiknya kalsium intraselular dalam merespon lipoprotein yang teroksidasi (Vieira
et al., 1998b). Beberapa senyawa fenolat bisa pula menghambat agregasi platelet
(Pace-Asciak et al., 1996), sementara senyawa fenolat lain bisa bertindak sebagai
penghambat faktor transkripsi inti NF-B (Natarajan et al., 1996). Kemampuan
senyawa-senyawa fenolat menangkap elektrofil mutagenik seperti reactive
nitrogen species (RNS) bisa pula melindungi molekul-molekul biologis dari
kerusakan (Kato et al., 1997).
37
2.4.2 Absorpsi dan Ketersediaan Hayati Senyawa Fenolat
Pemahaman tentang absorpsi dan ketersediaan hayati senyawa-senyawa
fenolat, serta ukuran dan penanda efeknya pada kerusakan oksidatif secara in vivo,
perlu untuk menilai asupan makanan yang optimal dari senyawa-senyawa ini.
Walaupun data mengenai ketersediaan hayati senyawa-senyawa fenolat pada
manusia langka, namun ada bukti yang cukup menunjukkan bahwa flavonoid
diserap dalam jumlah yang banyak (Hollman, 1997). Flavonoid seperti kuersetin
dapat diserap baik sebagai aglikon bebas maupun glikosida, dan telah terdeteksi
dalam darah dan urin (Cova et al., 1992; Hollman et al., 1995). Ada beberapa
bukti bahwa absorpsi puncak bisa 2-3 jam setelah proses pencernaan (Hackett,
1983). Flavonoid yang diabsorpsi bisa membentuk konjugat seperti glukuronida
atau sulfat dalam hati. Metabolisme flavonoid ditentukan oleh pola
hidroksilasinya, senyawa-senyawa yang mempunyai hidroksilasi 5,7 dan 3’,4’
akan mudah terhidrolisis dan pemecahan cincin heterosiklik oleh degradasi
mikrobiologis dalam usus besar (Griffiths, 1982). Apakah hidrolisis flavonoid
glikosida perlu untuk absorpsi tidak pasti, walaupun metode-metode baru telah
mendeteksi flavonoid sebagai glikosida dalam plasma manusia (Panganga dan
Rice-Evans, 1997). Katekin adalah golongan flavonoid utama lainnya yang telah
terbukti diserap; senyawa itu ada dalam plasma setelah 1 jam dan juga terdeteksi
dalam sampel urine 24 jam setelah satu dosis oral tunggal (Lee et al., 1995).
Bukti selanjutnya untuk absorpsi flavonoid berasal dari sejumlah
penelitian dengan isoflavonoid. Konsentrasi daidzein dan genistein dalam plasma
ditemukan 15-40 kali lebih tinggi pada pria yang makan makanan Jepang
dibandingkan dengan pria yang makan makanan Eropah (Adlercreutz et al.,
38
1993). Ini mencerminkan kandungan kedele (yang kaya dengan isoflavonoid)
yang tinggi dari makanan Jepang. Orang yang diberi makanan tambahan dengan
minuman kedele yang mengandung 2 mg isoflavon memperlihatkan konsentrasi
plasma 2 M setelah 6,5 jam (Xu et al., 1994).
Walaupun beberapa aspek metabolisme dan ketersediaan hayati flavonoid
masih belum banyak diketahui, namun ada cukup bukti menunjukkan bahwa
beberapa flavonoid dijumpai dalam plasma dalam konsentrasi yang cukup tinggi
untuk memberikan efek biologis. Kemajuan metodologi untuk mengukur
flavonoid dalam plasma akan terus memberikan informasi yang berharga dalam
bidang ini.
Informasi tentang absorpsi asam-asam fenolat pada manusia sangat
terbatas. Data penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa kadar asam kafeat
dalam plasma sangat meningkat dalam 1-4 jam setelah minum segelas anggur
merah (Croft, 1999). Peningkatan asam kafeat dalam plasma terjadi karena
penggunaan anggur merah dengan atau tanpa pengurangan alkohol (Gambar
2.13).
Gambar 2.13 Pengaruh pemberian anggur merah terhadap konsentrasi asam
kafeat dalam plasma darah (Croft, 1999)
39
2.4.3 Metode-metode untuk Penilaian Kerusakan Oksidatif In Vivo
Pengembangan metode-metode yang sesuai dan biomarker untuk
menentukan kerusakan oksidatif pada manusia penting untuk penilaian
antioksidan (Halliwell, 1996). Sebagai contoh, metode-metode untuk penilaian
peroksidasi lipid total pada manusia telah dibatasi pada pengukuran ekskresi gas
hidrokarbon dalam udara pernapasan yang dihembuskan. Metode-metode ini
bersifat non-spesifik dan dipengaruhi oleh komponen-komponen dalam makanan
atau lingkungan (Halliwell, 1996). F2 isoprostana yang dibentuk oleh kerusakan
radikal bebas pada asam arakidonat dalam tubuh dapat diukur dalam plasma atau
urine dan bisa menjadi ukuran yang baik untuk peroksidasi lipid pada posisi
mantap (Morrow dan Roberts, 1996). Walaupun metode analisis yang ideal
memerlukan kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS), namun kit
immunoassay enzim komersial telah tersedia, dan pengukuran yang sesuai dengan
metode GC-MS telah dilaporkan (Wang et al., 1995). Untuk pengukuran
kerusakan DNA oksidatif, ekskresi 8-hidroksideoksiguanin dalam urin telah
digunakan tetapi masih mengalami beberapa masalah teknis serta kontribusi dari
asupan makanan (Halliwell, 1996).
Penilaian efek in vivo senyawa-senyawa fenolat makanan dapat menjadi
sangat sulit. Namun demikian, akhir-akhir ini, telah diselidiki efek antioksidan
senyawa fenolat dalam minuman seperti anggur merah terhadap oksidasi LDL
(Abu-Amsha et al., 1996). Oleh karena kerusakan oksidatif pada LDL telah
dihubungkan dengan timbulnya aterosklerosis dan penyakit jantung, maka
kandungan flavonoid yang tinggi pada anggur merah telah menjadi pertimbangan
kemungkinannya bermanfaat melawan penyakit jantung. Walaupun sejumlah
40
penelitian in vitro jelas memperlihatkan efek antioksidan yang kuat dari senyawa
fenolat dalam anggur merah terhadap oksidasi LDL (Frankel et al., 1993; Abu-
Amsha et al., 1996; Puddey dan Croft, 1997), namun beberapa percobaan klinis
pada manusia telah memberikan hasil yang berlawanan (Fuhrman et al., 1995;
Sharpe et al., 1995; De Rijke et al., 1996). Ini mungkin timbul dari kenyataan
bahwa alkohol itu sendiri adalah pro-oksidan dan efek keseluruhan dari minuman
mungkin disebabkan oleh keseimbangan antara komponen pro-oksidannya dan
komponen antioksidannya (Puddey dan Croft, 1997). Selain itu, kebanyakan
penelitian menggunakan kerentanan oksidatif dari LDL terisolasi yang mungkin
tidak selalu berkaitan dengan kerusakan oksidatif yang terjadi in vivo. Lagi pula,
mungkin perlu mempertimbangkan lokasi senyawa-senyawa fenolat yang
mungkin secara in vivo. Dalam suatu penelitian yang menarik baru-baru ini,
Carbonneau et al. (1997) memberikan senyawa fenolat anggur merah kepada 20
orang sukarelawan, yang meningkat kapasitas antioksidan plasma mereka tetapi
tidak mempunyai pengaruh terhadap kemampuan oksidasi LDL terisolasi. Diduga
bahwa senyawa-senyawa fenolat itu bisa bekerja dalam fase air atau pada
permukaan partikel-partikel lipoprotein, dan diduga bahwa ini mungkin terlepas
dari partikel-partikel itu selama tahap dialisis dalam isolasi lipoprotein.
2.5 Mutu dan Standardisasi Obat Bahan Alam
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat telah mendorong
perkembangan obat bahan alam, yang meliputi peningkatan mutu, keamanan,
penemuan indikasi baru dan formulasi. Obat bahan alam yang diproduksi di
Indonesia disebut obat bahan alam Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta
41
jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiatnya, obat bahan alam
Indonesia dikelompokkan menjadi jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.
Jamu harus memenuhi kriteria: aman sesuai dengan persyaratan yang berlaku,
klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data emperis dan memenuhi persyaratan
mutu yang berlaku. Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria: aman sesuai
denyan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra
klinik, telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadinya dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Sedangkan
fitofarmaka harus memenuhi kriteria: aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan uji klinik, telah dilakukan
standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadinya dan
memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (BPOM, 2004a).
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahan obat bahan alam harus aman,
berkhasiat (manjur), bermutu dan bahan bakunya terstandardisasi. Oleh karena itu
obat bahan alam Indonesia harus terjamin keamanan, kasiat dan mutunya. Untuk
menjamin mutu obat bahan alam itu perlu dilakukan standardisasi terhadap bahan
baku dan produk jadinya.
2.5.1 Definisi Mutu Obat Bahan Alam
Mutu obat dapat didefinisikan sebagai status suatu obat, yang ditentukan
baik dengan identitas, kemurnian, kandungan, dan sifat-sifat kimia, fisika dan
biologis lainnya, ataupun dengan proses pembuatan (Bauer, 1998). Agar obat
bahan alam (terutama fitofarmaka) dapat dipakai sebagai obat yang aman dan
manjur, maka definisi ini harus berlaku pula pada obat bahan alam (fitofarmaka)
42
2.5.2 Kesulitan dalam pengendalian mutu obat bahan alam
Semua bahan (alam atau sintetis) yang digunakan untuk pengobatan
manusia dan hewan harus telah terbukti mutu, kemanan dan kemanjurannya. Akan
tetapi, dibandingkan dengan obat-obat sintetis, kriteria dan cara pengendalian
mutu, keamanan dan kemanjuran obat bahan alam jauh lebih rumit. Ada beberapa
aspek yang mempengaruhi mutu obat bahan alam, yang tidak ada pada obat
sintetis. Aspek-aspek tersebut menimbulkan kesulitan dalam pengendalian mutu
obat bahan alam.
1. Obat bahan alam selalu merupakan campuran dari banyak komponen.
Campuran ini jauh lebih sulit dikarakterisasi daripada senyawa murni.
Oleh karena itu, senyawa-senyawa yang diisolasi dari bahan alam atau
senyawa bahan alam murni tidak digolongkan sebagai obat bahan alam
tetapi sebagai zat kimia murni (WHO, 2000).
2. Zat aktif dalam obat bahan alam tidak selalu diketahui dengan pasti. Zat
aktif itu bahkan mungkin berupa campuran beberapa senyawa yang
berbeda-beda golongannya. Sebagai contoh, bunga kamil (Chamomilla
recutita (L.) Rauschert II) mengandung beberapa golongan zat aktif
farmakologis, yaitu minyak atsiri, poliasetilen, terpenoid, flavonoid,
kumarin dan polisakarida (Carle, Fleischhauer dan Fehr 1987). Karena
banyaknya golongan senyawa yang aktif dalam obat bahan alam itu, maka
sulit menetapkan kriteria mutunya secara menyeluruh.
3. Tumbuhan obat mengalami variasi alamiah. Oleh karena itu, mutu
tumbuhan obat yang dikumpulkan dari tempat yang berbeda-beda bisa saja
sangat bervariasi. Salah satu strategi untuk menjaga agar variasi ini kecil
43
adalah dengan cara budidaya (penanaman). Namun demikian, kadang-
kadang masih ada kemovarietas pada tanaman obat yang dibudidayakan
itu sehingga bisa mempengaruhi mutu produk obat bahan alam. Sebagai
contoh, berbagai kemokultivar bunga kamil ada di pasaran, yang berbeda
komposisi minyak atsirinya dan dapat dibedakan dengan analisis
kromatografi gas (Gambar 2.14) (Carle et al., 1987).
4. Pemanenan, pengeringan dan penyimpanan. Cara pemanenan, pengeringan
dan penyimpanan dapat pula mempengaruhi mutu bahan mentah obat
bahan alam. Oleh karena itu, prosedur pemanenan, pengeringan dan
penyimpanan harus distandardisasi sebaik mungkin.
Gambar 2.14 Kromatogram gas minyak atsiri dari kemokultivar bunga kamil (Carle et al., 1987)
44
5. Pengolahan bahan mentah menjadi produk jadi. Cara pengolahan bahan
mentah obat bahan alam menjadi produk jadi dapat mempengaruhi
konstituen yang ada dalam bahan tersebut sehingga akhirnya
mempengaruhi mutu produk jadinya. Kepolaran pelarutan yang berbeda-
beda dan cara ekstraksi yang berbeda-beda dapat menghasilkan ekstrak
yang sangat berbeda konsentrasi konstituennya. Selain itu, ketidakstabilan
beberapa konstituen bisa mempengaruhi komposisi ekstrak. Sebagai
contoh, apabila bunga kamil diekstraksi dengan alkohol yang berbeda-
beda, seperti metanol, etanol dan isopropanol, maka ekstrak yang
dihasilkan mempunyai mutu yang berbeda-beda dalam hal konsentrasi
flavonoidnya (Gambar 2.15) (Bauer, 1998)
Gambar 2.15 Pengaruh cara ekstraksi dan kepolaran pelarut terhadap kandungan flavonoid dalam ekstrak bunga kamil (Bauer, 1998)
45
6. Pengaruh enzim-enzim dalam obat bahan alam. Jika penguraian secara
enzimatik terjadi dalam obat bahan alam, etanol 50% pun mungkin tidak
cukup untuk menstabilkan produk obat bahan alam. Sebagai contoh, pada
ekstraksi bunga kamil, hidrolisis enzimatik apigenin-7-O-glikosida masih
tetap terjadi walaupun menggunakan konsentrasi alkohol yang tinggi
untuk ekstraksi (Schreiber et al., 1990). Proses enzimatik menimbulkan
situasi di mana ekstrak yang lebih polar mengandung aglikon yang kurang
polar (apigenin) yang lebih tinggi konsentrasinya daripada ekstrak yang
dibuat dengan pelarut yang tinggi kadar alkoholnya (lihat Gambar 2.16).
Oleh karena itu, pengendalian enzim dapat pula menjadi masalah penting
dalam standardisasi sediaan obat bahan alam.
Gambar 2.16 Hidrolisis enzimatik apigenin-7-O-glikosida selama ekstraksi
bunga kamil dengan berbagai campuran etanol/air (Bauer, 1998)
Dengan mengingat aspek-aspek di atas, maka proses pengolahan obat
bahan alam yang distandardisasi merupakan persyaratan dasar untuk penetapan
mutu sediaan obat bahan alam yang reprodusibel dan reliabel. Mutu hanya dapat
46
dihasilkan, tidak dapat dipindahkan ke dalam suatu produk dengan menggunakan
metode-metode analisis. Oleh karena proses pengolahan yang berbeda-beda dapat
menyebabkan mutu ekstrak yang berbeda-beda pula, maka setiap produk obat
bahan alam harus memenuhi kriteria mutu tertentu.
2.5.3 Parameter Mutu Obat Bahan Alam
Untuk pengendalian mutu obat bahan alam, perlu ditetapkan kriteria mutu
dan spesifikasi masing-masing untuk setiap obat bahan alam dalam bentuk
“monografi” atau “master file”. Kriteria mutu dan spesifikasi ini bisa serupa
dengan monografi dalam farmakope tetapi biasanya lebih luas daripada monografi
farmakope. Parameter standar umum untuk ekstrak tumbuhan obat Indonesia telah
dipublikasi oleh Depkes RI (2000). WHO (2000) telah membuat pedoman
penilaian mutu obat bahan alam. Di samping itu, monografi ekstrak beberapa
tumbuhan obat Indonesia telah ditetapkan oleh BPOM RI (2004b; 2006). Selain
itu, beberapa artikel dapat dijumpai dalam literatur untuk membantu dalam
melaksanakan pedoman-pedoman di atas.
2.5.3.1 Parameter Mutu Menurut WHO
WHO (2000) menegaskan bahwa penilaian mutu obat bahan alam harus
merujuk kepada monografi farmakope jika ada. Jika monografi farmakope obat
bahan alam itu belum ada, maka suatu monografi harus dibuat dan disusun seperti
yang ada dalam farmakope. Dalam penilaian mutu obat bahan alam, WHO
mengelompokkan obat bahan alam menjadi tiga jenis, yaitu: bahan tumbuhan
mentah, sediaan tumbuhan dan produk jadi.
47
1. Bahan tumbuhan mentah
Pada monografi bahan tumbuhan mentah, definisi botani, termasuk genus,
spesies dan sumber, harus diberikan untuk menjamin identifikasi yang
benar suatu tumbuhan obat. Definisi dan uraian tentang bagian tumbuhan
yang digunakan (misalnya daun, bunga, batang atau akar) harus diberikan,
disertai dengan petunjuk apakah bahan segar, bahan kering atau bahan
yang diperoses secara tradisional yang digunakan. Konstituen aktif dan
konstituen khas harus ditetapkan dan, jika mungkin, batas-batas
kandungan konstituen tersebut harus ditetapkan. Benda asing, kotoran dan
kandungan mikroba harus ditentukan atau dibatasi. Spesimen contoh yang
mewakili setiap kelompok bahan tanaman yang diproses, harus disahkan
oleh ahli botani dan harus disimpan sekurang-kurangnya selama 10 tahun.
Nomor lot harus dibuat dan ini harus kelihatan pada label produk.
2. Sediaan tumbuhan obat
Sediaan tumbuhan obat meliputi bahan tanaman yang dijadikan serbuk,
ekstrak, tingtur, lemak atau minyak atsiri, perasan buah dan sediaan-
sediaan yang pembuatannya melibatkan fraksinasi, pemurnian atau
pemekatan. Pada monografi sediaan tumbuhan obat, prosedur
pembuatannya harus diuraikan secara rinci. Jika bahan lain ditambahkan
selama pembuatan untuk mengatur sediaan tumbuhan obat itu terhadap
kadar zat aktif atau zat penanda tertentu atau untuk sembarang tujuan
lainnya, maka bahan tambahan itu harus disebutkan dalam prosedur
pembuatan. Metode untuk identifikasi dan, bila mungkin, untuk analisis
sediaan tumbuhan obat itu harus ditambahkan. Jika identifikasi suatu zat
48
aktif tidak mungkin, maka cukuplah mengidentifikasi suatu senyawa
penanda atau campuran senyawa (misalnya “sidik jari kromatografi”)
untuk menjamin mutu yang konsisten dari sediaan tumbuhan obat itu.
3. Produk jadi
Pada monografi produk jadi, formula dan prosedur pembuatannya,
termasuk jumlah bahan pembantu, harus diuraikan secara rinci. Spesifikasi
produk jadi itu harus ditetapkan. Metode identifikasi dan, bila mungkin,
metode kuantifikasi bahan tumbuhan dalam produk jadi harus ditetapkan.
Jika identifikasi zat aktif tidak mungkin, maka cukuplah mengidentifikasi
senyawa penanda atau campuran senyawa (misalnya “sidik jari
kromatografi”) untuk menjamin mutu yang konsisten dari produk jadi itu.
Produk jadi harus memenuhi persyaratan umum untuk bentuk sediaan
tertentu.
2.5.3.2 Paramater Mutu Menurut Departemen Kesehatan RI
Depkes RI (2000) telah menetapkan parameter umum ekstrak tumbuhan
obat. Parameter ini digunakan untuk menyusun standar mutu, keamanan dan
kemanfaatan ekstrak tumbuhan obat. Secara umum, parameter mutu ekstrak
tumbuhan obat terdiri atas dua bagian, yaitu parameter non-spesifik dan parameter
spesifik.
Parameter mutu non-spesifik untuk ekstrak tumbuhan obat meliputi:
parameter susut pengeringan,
parameter bobot jenis,
parameter kadar air,
49
parameter kadar abu,
parameter sisa pelarut,
parameter residu pestisida,
parameter cemaran logam berat,
parameter cemaran mikroba,
parameter cemaran kapang, kamir dan aflatoksin.
Parameter susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah
pengeringan pada temperatur 105 oC selama 30 menit atau sampai berat konstan,
yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak
mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap), parameter susut
pengeringan identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di
atmosfer atau lingkungan udara terbuka. Parameter susut pengeringan ini
bertujuan untuk memberikan batasan maksimal besarnya senyawa yang hilang
pada proses pengeringan. Nilai parameter ini mempunyai rentang yang
diperbolehkan dan terkait dengan kemurnian serta kontaminasi ekstrak tumbuhan
obat.
Parameter bobot jenis adalah massa per satuan volume pada suhu kamar
tertentu (25 oC). Parameter ini ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat
lainnya. Parameter bobot jenis bertujuan untuk memberikan batasan besarnya
massa per satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai
ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang. Selain itu, parameter bobot jenis
juga bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan kimia terlarut. Parameter
ini mempunyai nilai minimal atau rentang yang diperbolehkan. Nilai parameter ini
terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat.
50
Parameter kadar air adalah penentuan kandungan air yang berada di dalam
bahan, yang dilakukan dengan cara yang tepat seperti cara titrasi, destilasi atau
gravimetri. Parameter ini bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau
rentang tentang besarnya kandungan air dalam ekstrak tumbuhan obat. Nilai
parameter ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat.
Parameter kadar abu ditentukan dengan cara pemanasan bahan pada
temperatur tinggi sehingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan
menguap. Hasil pemanasan itu adalah unsur mineral dan senyawa anorganik.
Parameter kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral
internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.
Parameter kadar abu mempunyai nilai maksimal atau rentang yang diperbolehkan.
Nilai ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat.
Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa pelarut tertentu
(yang memang ditambahkan) dalam ekstrak tumbuhan obat. Pada umumnya sisa
pelarut ini ditentukan dengan kromatografi gas. Sebagai contoh penentuan kadar
alkohol dalam ekstrak cair. Untuk ekstrak kental dan ekstrak kering, parameter ini
bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa selama proses pembuatan ekstrak
tidak tersisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk
ekstrak cair, parameter ini bertujuan untuk menunjukkan jumlah pelarut (alkohol)
sesuai dengan yang ditetapkan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal yang
diperbolehkan, tetapi dalam hal pelarut berbahaya seperti kloroform, nilai
parameter ini harus negatif sesuai dengan batas deteksi instrumen. Nilai parameter
ini juga terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat.
51
Parameter residu pestisida adalah penentuan kandungan sisa pestisida yang
mungkin saja pernah ditambahkan atau mencemari bahan simplesia untuk
pembuatan ekstrak. Parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa
ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena
berbahaya bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang
yang diperbolehkan. Parameter ini terkait dengan kontaminasi sisa pertanian.
Parameter cemaran logam berat adalah penentuan kandungan logam berat
secara spektroskopi serapan atom atau cara lainnya yang lebih valid. Parameter ini
bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam
berat tertentu (Hg, Pb, Cd, As) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya
bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang yang
diperbolehkan dalam ekstrak tumbuhan obat.
Parameter cemaran mikroba adalah penentuan (identifikasi) adanya
mikroba patogen dengan cara analisis mikrobiologis. Parameter ini bertujuan
untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba
patogen dan tidak mengandung mikroba non-patogen melebihi batas yang
ditetapkan. Mikroba ini berpengaruh terhadap kestabilan ekstrak dan berbahaya
bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang yang
diperolehkan dalam ekstrak tumbuhaan obat.
Parameter cemaran kapang, khamir dan aflatoksin adalah penentuan
adanya jamur dengan cara mikrobiologis dan penentuan adanya aflatoksin dengan
cara kromatografi lapis tipis. Parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan
bahwa ekstrak tidak mengandung cemaran jamur melebihi batas yang ditetapkan
karena jamur berpengaruh terhadap kestabilan ekstrak dan aflatoksin berbahaya
52
bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang yang
diperbolehkan dalam ekstrak tumbuhan obat.
Parameter mutu spesifik untuk ekstrak tumbuhan obat meliputi:
Parameter identitas
Parameter organoleptik
Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Uji kandungan kimia
Parameter identitas ekstrak tumbuhan obat meliputi:
Deskripsi tata nama:
o Nama ekstrak (nama generik, nama dagang, nama paten)
o Nama latin tumbuhan obat (sistematika botani)
o Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsb.)
o Nama Indonesia tumbuhan
Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas, artinya senyawa tertentu
yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu
Parameter identitas ekstrak bertujuan untuk memberikan identitas objektif
dari nama dan identitas spesifik dari senyawa identitas.
Parameter organoleptik ekstrak adalah penggunaan panca indera untuk
mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa ekstrak tubuhan obat sebagai berikut:
Bentuk : padat, sebuk-kering, kental, cair
Warna : kuning, coklat, dll.
Bau : aromatik, tidak berbau, dll.
Rasa: pahit, manis, kelat, dll
53
Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu adalah penentuan
jumlah senyawa yang terlarut dalam pelarut air, etanol, heksana atau
diklorometana dengan metode gravimetri. Parameter ini bertujuan untuk
memberikan gambaran awal jumlah senyawa kimia yang terkandung dalam
ekstrak obat bahan alam. Parameter ini mempunyai nilai monimal atau rentang
yang ditetapkan terlebih dahulu untuk setiap ekstrak tumbuhan obat.
Uji kandungan kimia ekstrak tumbuhan obat meliputi:
Parameter pola kromatogram
Parameter kadar total golongan kandungan kimia
Parameter kadar kandungan kimia tertentu
Parameter pola kromatogram ekstrak tumbuhan obat dapat ditentukan
dengan cara mengekstraksi ekstrak dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian
melakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang
khas. Pola kromatogram itu bertujuan untuk memberikan gambaran awal
komposisi kandungan kimia ekstrak berdasarkan pola kromatogram dari
kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau
kromatografi gas (KG). Pola kromatogram itu dibandingkan dengan data baku
yang ditetapkan terlebih dahulu.
Parameter kadar total golongan kandungan kimia ditentukan dengan
metode spektrofotometri, titrimetri, gravimetri atau metode lainnya. Metode
tersebut harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas
linearitasnya. Ada beberapa golongan kandungan kimia yang dapat dikembangkan
dan ditetapkan metodenya, yaitu:
Golongan minyak atsiri
54
Golongan steroid
Golongan tanin
Golongan flavonoid
Golongan triterpenoid (saponin)
Golongan alkaloid
Golongan antrakinon
Parameter kadar total golongan kandungan kimia bertujuan untuk
memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu
ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis. Parameter ini mempunyai
nilai minimal atau rentang yang telah ditetapkan.
Parameter kadar kandungan kimia tertentu adalah penentuan kadar
kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama atau
kandungan kimia lainnya. Penetapan kadar senyawa ini dapat ditentukan dengan
densitometer, kromatografi gas, kromatografi cair kinerja tinggi atau instrumen
lain yang sesuai. Metode penetapan kadar itu harus diuji terlebih dahulu
validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linearitas, ketelitian, ketepatan dan
lain-lain.
2.5.4 Pengendalian Mutu Obat Bahan Alam
Obat bahan alam dan sediaan-sediaannya telah banyak digunakan selama
ratusan tahun di negara-negara timur seperti Cina, Korea, Jepang, India dan
Indonesia. Salah satu sifat khas sediaan obat bahan alam timur adalah bahwa
semua obat bahan alam itu, baik yang disajikan sebagai tumbuhan obat tunggal
ataupun sebagai kumpulan dari beberapa tumbuhan obat, diekstraksi dengan air
55
mendidih selama proses perebusan. Karena itu pengendalian mutu obat bahan
alam lebih sulit daripada pengendalian mutu obat sintetis (Liang et al., 2004).
Walupun demikian, penelitian tentang keamanan dan kemanjuran obat bahan alam
harus dimajukan, dan mutu penelitian harus ditingkatkan. Penilaian mutu obat
bahan alam harus merujuk kepada monografi farmakope jika ada. Jika monografi
seperti itu tidak ada, maka monografi obat bahan alam itu harus disusun (WHO,
2000).
Untuk menilai mutu dan keaslian atau kebenaran obat bahan alam
biasanya digunakan satu atau lebih zat penanda atau komponen aktif farmakologis
yang ada dalam tumbuhan obat atau campuran tumbuhan obat. Akan tetapi,
penentuan satu atau lebih senyawa penanda itu tidak memberikan gambaran yang
lengkap tentang produk obat bahan alam, karena konstituen gabungan biasanya
bertanggung jawab terhadap efek terapinya. Konstituen gabungan ini bisa bekerja
‘secara sinergistik’ dan susah dipisahkan menjadi bagian-bagian aktif. Selain itu,
konstituen kimia dalam tumbuhan obat yang menyusun produk obat bahan alam
bisa bervariasi tergantung pada musim panen, asal tumbuhan, proses pengeringan
dan faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, kelihatannya perlu menentukan
sebagian besar konstituen fitokimia produk bahan alam untuk menjamin
keandalan dan keterulangan penelitian farmakologis dan penelitian klinis, untuk
memahami bioaktivitas dan efek samping yang mungkin dari senyawa aktif itu
dan untuk meningkatkan pengawasan mutu produk (Bauer, 1998).
Untuk menentukan sebagian besar konstituen fitokimia dalam obat bahan
alam dapat digunakan beberapa teknik kromatografi, seperti kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas (KG), elektroforesis kapiler (EK) dan
56
kromatografi lapis tipis (KLT). Dengan cara ini, produk bahan alam keseluruhan
dapat dianggap sebagai ‘senyawa’ aktif. Untuk menjamin konsistensi ‘senyawa’
aktif dalam produk obat bahan alam, maka konsep fitoekivalensi telah
dikembangkan di Jerman (Tyler, 1999). Menurut konsep ini, profil kimia, seperti
sidik jari kromatografi, untuk produk obat bahan alam harus dibuat dan
dibandingkan dengan profil kimia produk pembanding yang telah terbukti secara
klinis.
Menurut definisi, sidik jari kromatografi suatu obat bahan alam adalah
pola kromatografi ekstrak untuk beberapa komponen kimia umum yang aktif
secara farmakologis dan atau khas secara kimia (Li et al., 2004). Pola
kromatografi ini harus ditonjolkan dengan sifat-sifat dasar “kejelasan” dan
“ketidakjelasan” atau “persamaan” dan “perbedaan” untuk bisa menunjukkan
secara kimia obat bahan alam yang diselidiki. Dengan bantuan sidik jari
kromatografi yang diperoleh, kebenaran dan identifikasi obat bahan alam dapat
dilakukan dengan teliti (“kejelasan”) walaupun jumlah dan/atau konsentrasi
konstituen yang khas secara kimia tidak tepat sama pada berbagai sampel obat
bahan alam ini (“ketidakjelasan”) atau, sidik jari kromatografi dapat
memperlihatkan baik “persamaan” maupun “perbedaan” antar berbagai sampel.
Jadi, kita harus mempertimbangkan secara serentak berbagai konsituen dalam
ekstrak obat bahan alam, dan tidak mempertimbangkan secara individu hanya satu
atau dua komponen penanda saja untuk menilai mutu produk obat bahan alam.
Bagaimanapun, dalam setiap obat bahan alam dan ekstraknya, ada ratusan
komponen yang tidak diketahui dan banyak di antaranya dalam jumlah yang kecil.
Selain itu, biasanya ada variabilitas di dalam bahan mentah obat bahan alam yang
57
sama (Bauer, 1998). Akibatnya, untuk memperoleh sidik jari kromatografi yang
dapat diandalkan untuk menunjukkan komponen aktif farmakologis dan
komponen khas secara kimia bukanlah pekerjaan yang mudah. Untunglah,
kromatografi mempunyai kemampuan pemisahan yang sangat kuat, sehingga
komponen-komponen kimia yang rumit dalam ekstrak obat bahan alam dapat
dipisahkan menjadi beberapa sub-fraksi yang agak sederhana. Selanjutnya,
pendekatan baru dengan menggunakan teknik gabungan kromatografi dan
spektrometri seperti kromatografi cair kinerja tinggi-diode array detection
(KCKT-DAD), kromatografi gas-spektroskopi massa (KG-SM), elektroforesis
kapiler-diode array detection (EK-DAD), KCKT-SM dan KCKT-RMI, dapat
memberikan informasi spektrum tambahan, yang akan sangat membantu untuk
analisis kualitatif dan bahkan untuk elusidasi struktur secara langsung. Dengan
bantuan informasi spektrum itu, alat-alat gabungan itu memperlihatkan unjuk
kerja yang sangat baik dalam kaitannya dengan peniadaan gangguan instrumental,
koreksi pergeseran waktu retensi, selektivitas, kemampuan pemisahan
kromatografi, keseksamaan pengukuran. Jika kromatografi gabungan itu
selanjutnya digabung lagi dengan pendekatan kemometri, maka gambaran yang
lebih jelas bisa dikembangkan untuk menilai sidik jari kromatografi yang
diperoleh. Sidik jari kimia yang diperoleh dengan kromatografi gabungan itu akan
menjadi alat utama untuk pengendalian mutu obat bahan alam (Welsh et al., 1996;
Lazarowych dan Pekos, 1998; Valentao et al., 1999).
58
2.5.4.1 Metode Kromatografi
Pada umumnya, metode-metode untuk pengendalian mutu obat bahan
alam melibatkan pemeriksaan dengan panca indera (pemeriksaan makroskopis
dan mikroskopis) dan pemeriksaan kimia dengan menggunakan teknik-teknik
instrumental seperti KLT, KCKT, KG-MS, KC-MS, inframerah dekat, dan
spektrofotometer lainnya. Selain itu, metode-metode ekstraksi dan penyiapan
sampel juga sangat penting dalam pembuatan sidik jari yang baik untuk obat
bahan alam. Namun demikian, di sini hanya akan dibahas bagaimana cara
membuat profil fitokimia yang baik dan evaluasinya untuk tujuan pengendalian
mutu.
2.5.4.1.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
KLT adalah metode pilihan yang lazim untuk analisis obat bahan alam
sebelum metode kromatografi instrumental seperti KG dan KCKT diciptakan.
Bahkan dewasa ini, KLT masih sering digunakan untuk analisis obat bahan alam
karena berbagai farmakope masih menggunakan KLT untuk memberikan ciri khas
pertama sidik jari tumbuhan obat. KLT bisa pula digunakan secara bersamaan
untuk identifikasi kualitatif dan penentuan kadar senyawa penanda dalam obat
bahan alam (Cheng et al., 2005). Malahan, KLT digunakan sebagai suatu metode
yang lebih mudah untuk penapisan awal dengan evaluasi semikuantitatif bersama-
sama dengan teknik-teknik kromatografi lainnya (Qian et al., 2007).
KLT mempunyai banyak keuntungan untuk mendeteksi komponen aktif
atau penanda dalam analisis obat bahan alam. Selain itu, KLT agak sederhana dan
dapat digunakan untuk analisis banyak sampel sekaligus. Untuk setiap plat, lebih
59
dari 30 noda sampel dapat dipelajari secara bersamaan dalam satu waktu. Karena
itu, penggunaan KLT untuk menganalisis obat bahan alam masih populer dewasa
ini (Ramírez-Durón et al., 2007).
Keuntungan menggunakan KLT untuk membuat sidik jari obat bahan alam
adalah kesederhanaannya, keluasan penggunaannya, kecepatannya tinggi,
kepekaannya dan penyiapan sampelnya sederhana. Dengan demikian, KLT adalah
suatu metode yang baik sekali untuk menentukan mutu dan kemungkinan
pemalsuan produk obat bahan alam.
Selain itu, KLT dapat pula digunakan untuk menentukan bioaktivitas obat
bahan alam. Sebagai contoh, untuk menilai kapasitas antioksidan dan mutu obat
tradisional Cina Gu et al. (2006) menggunakan metode KLT-bioautografi.
Kromatogram KLT dari ekstrak sampel yang telah dikembangkan dengan pelarut
tertentu, disemprot dengan larutan DPPH dalam etanol. Luas noda yang
menghilangkan warna larutan DPPH diukur untuk menunjukkan kapasitas
antioksidan obat bahan alam yang diuji itu. KLT-bioautografi ini dapat digunakan
tidak hanya untuk penapisan komponen yang mempunyai potensi antioksidan
tetapi juga untuk penilaian mutu obat bahan alam pada waktu yang sama, dan
metode ini terbukti selektif, sederhana dan dapat direproduksi.
2.5.4.1.2 Kromatografi Gas
Beberapa komponen aktif farmakologis dalam obat bahan alam adalah
senyawa yang dapat menguap. Karena itu, analisis senyawa yang dapat menguap
dengan kromatografi gas (KG) sangat penting dalam analisis obat bahan alam.
Analisis KG minyak menguap (minyak atsiri) mempunyai banyak keuntungan.
60
Pertama, KG minyak menguap memberikan “sidik jari” yang pantas yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi tumbuhan. Komposisi dan konsentrasi relatif
senyawa organik dalam minyak atsiri merupakan ciri khas tumbuhan tertentu dan
adanya kotoran dalam minyak atsiri dapat dideteksi dengan mudah. Kedua,
ekstraksi minyak atsiri agak lebih jelas dan dapat distandardisasi dan komponen-
komponennya dapat diidentifikasi dengan mudah dengan menggunakan analisis
KG-SM. Jumlah relatif komponen-komponen itu dapat digunakan untuk
memantau atau menilai ciri-ciri khas tertentu obat bahan alam. Perubahan
komposisi minyak atsiri bisa pula digunakan sebagai indikator terjadinya oksidasi,
perubahan enzimatik atau fermentasi mikroba.
Keuntungan KG jelas terletak pada kepekaan deteksinya yang tinggi untuk
hampir semua senyawa kimia yang dapat menguap. Ini terutama berlaku untuk
deteksi FID biasa dan KG-SM. Selain itu, selektivitas kapiler kolom yang tinggi
memungkinkan pemisahan beberapa senyawa yang dapat menguap secara
bersamaan dalam waktu yang cukup singkat. Dengan demikian, pada dasawarsa
yang lalu, KG merupakan alat analitik yang populer dan bermanfaat dalam bidang
penelitian obat bahan alam, terutama teknik kromatografi gas yang digabung
dengan spektrometri massa (Yan et al., 2006; Li et al., 2007).
Sebaliknya, kelemahan KG adalah bahwa ia tidak cocok untuk analisis
sampel yang mengandung senyawa polar dan senyawa yang tidak mudah
menguap. Untuk senyawa-senyawa seperti ini, perlu pengolahan sampel terlebih
dahulu seperti derivatisasi. Salah satu contoh terbaru penggunaan kromatografi
gas dalam pengendalian mutu obat bahan alam adalah identifikasi dan penentuan
61
kadar 11 konstituen flavonoid dalam Kaempferia parviflora (Sutthanut et al.,
2007).
2.5.4.1.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
KCKT adalah suatu metode yang banyak digunakan untuk analisis obat
bahan alam karena mudahnya mempelajari dan menggunakannya serta tidak
dibatasi oleh kemudahan menguap atau kestabilan senyawa sampel. Pada
umumnya, KCKT dapat digunakan untuk menganalisis hampir semua senyawa
dalam obat bahan alam. Karena itu, akhir-akhir ini, KCKT banyak digunakan
dalam analisis obat bahan alam (Qian et al., 2007). Kolom fase terbalik adalah
kolom yang paling banyak digunakan dalam analisis obat bahan alam.
Dalam pemakaian KCKT untuk analisis obat bahan alam perlu
diperhatikan bahwa kondisi pemisahan yang optimal dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti misalnya komposisi fase gerak, pengaturan pH dan tekanan pompa.
Oleh karena itu, rancangan percobaan yang baik untuk mendapatkan pemisahan
yang baik sangat diperlukan. Untuk memperoleh pemisahan yang lebih baik,
beberapa teknik baru telah dikembangkan akhir-akhir ini dalam bidang penelitian
kromatografi cair. Salah satu contoh teknik KCKT yang telah dikembangkan
adalah penggabungan KCKT dengan electrospray ionization (ESI), spektrometri
massa (SM) dan photodiode array detection (DAD) untuk mengidentifikasi dan
mengkarakterisasi flavonoid dalam sediaan obat bahan alam Cina (Wang et al.,
2008).
62
2.5.4.2 Metode Elektroforetik
Elektroforesis kapiler diperkenalkan pada awal tahun 1980-an sebagai
suatu teknik pemisahan dan analitik yang sangat kuat dan sejak itu telah
berkembang pesat. Metode ini dapat digunakan untuk analisis komponen-
komponen sampel yang bermuatan mulai dari ion anorganik sederhana sampai
DNA. Dengan demikian, metode elektroforetik, terutama elektroforesis kapiler,
sangat banyak digunakan dalam analisis obat bahan alam akhir-akhir ini.
Beberapa contoh pengembangan dan pemakaian metode elektroforetik akan
dibahas berikut ini.
Teknik-teknik yang berdasarkan elektroforesis kapiler telah dikembangkan
untuk analisis alkaloid dalam obat bahan alam Cina. Teknik analisis alkaloid
dalam ekstrak air dan ekstrak bukan air dari tumbuhan obat Cina itu
dikembangkan dengan menggabungkan elektroforesis kapiler dan diode array
detection (CE-DAD) dan mengabungan elektroforesis kapiler dengan spektrometri
massa (CE-MS). Teknik ini dapat mengidentifikasi dan menentukan kadar tujuh
alkaloid protoberberin dan satu alkaloid aporphinoid dalam rhizoma coptidis
(Chen et al., 2008).
2.5.4.3 Metode Gabungan
Dalam dua dasawarsa terakhir ini, penggabungan sistem pemisahan
kromatografi secara langsung dengan detektor spektroskopi untuk memperoleh
informasi struktur analit yang ada dalam sampel telah menjadi pendekatan yang
sangat penting untuk identifikasi dan/atau penegasan identitas target dan senyawa
kimia yang tidak diketahui. Untuk sebagian besar masalah dalam bidang
63
penelitian obat bahan alam, gabungan kromatografi cair kolom atau kromatografi
gas kapiler dengan spektrometer UV-Vis atau spektrometer massa menjadi
pendekatan yang lebih disukai untuk analisis obat bahan alam.
2.5.4.3.1 Gabungan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa
Spektrometri massa adalah metode yang sangat sensitif dan selektif untuk
analisis molekular dan dapat menghasilkan informasi mengenai berat molekul
serta struktur molekul. Gabungan kromatografi dengan spektrometri massa
memberikan keuntungan baik bagi kromatografi sebagai metode pemisahan
maupun bagi spektrometri massa sebagai metode identifikasi. Pada spektrometri
massa, ada sejumlah metode untuk mengionkan senyawa dan kemudian
memisahkan ion-ion itu. Metode pengionan yang lazim digunakan bersama-sama
dengan kromatografi gas adalah electron impact (EI) dan electron capture impact
(ECI). EI terutama digunakan untuk memilih ion positif, sedangkan ECI biasanya
digunakan untuk ion negatif. EI terutama berguna untuk analisis sehari-hari dan
memberikan spektrum massa yang dapat direproduksi sehingga memberikan
informasi struktural. Salah satu contoh pemakaian gabungan kromatografi gas-
spektrometri massa adalah identifikasi dan penilaian mutu sediaan obat bahan
alam Houttuynia cordata (Lu et al., 2006).
Dengan teknik gabungan kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS),
dapat dihasilkan tidak hanya sidik jari kromatografi minyak atsiri dalam obat
bahan alam, tetapi juga informasi yang berkaitan dengan komposisi kualitatif dan
kuantitatifnya. Karena itu, jika teknik ini digunakan dalam analisi obat bahan
alam, ada dua keuntungan yang nyata, yaitu: (1) dengan kolom kapiler, GC-MS
64
pada umumnya mempunyai kemampuan pemisahan yang sangat baik, yang dapat
menghasilkan sidik jari kimia yang bermutu tinggi; (2) dengan spektroskopi
massa yang digabung itu dan database spektrum massa yang bersesuaian,
informasi kualitatif dan kuantitatif tentang tumbuhan obat yang diselidiki dapat
diberikan oleh GC-MS, yang akan bermanfaat untuk menjelaskan hubungan
antara konstituen kimia dan efek farmakologinya dalam penelitian selanjutnya.
Dengan demikian, GC-MS akan menjadi alat yang sangat disukai untuk analisis
senyawa kimia yang dapat menguap dalam obat bahan alam.
2.5.4.3.2 Gabungan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)-DAD
Penggabungan kromatografi cair kinerja tinggi dengan diode aray
detection (KCKT-DAD) telah menjadi teknik yang lazim di kebanyakan
laboratorium analitik di dunia dewasa ini. Dengan adanya informasi spektrum UV
tambahan, analisis kualitatif sampel-sampel yang rumit dalam obat bahan alam
ternyata lebih mudah daripada sebelumnya. Sebagai contoh, analisis kualitatif
dilakukan dengan memeriksa kemurnian puncak dan membandingkan spektrum
standar senyawa kimia yang diketahui dengan spektrum senyawa dalam sampel
yang diselidiki. Dengan berkembangnya spektrometri massa elektrospray,
penggabungan kromatografi cair dan spektometri massa telah membuka cara baru
untuk pemakaian secara luas pada analisis obat bahan alam. Sidik jari
kromatogafi KCKT dapat digunakan selanjutnya untuk dokumentasi ekstrak
herbal lengkap yang mengandung lebih banyak informasi dan analisis kualitatif
secara langsung menjadi mungkin untuk dilakukan.
65
2.6 Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC)
2.6.1 Tinjauan Botani Daun Dewa
Klasifikasi (Davies, 1979, 1980; Bosch, 2004):
Superregnum : Eukaryota
Regnum : Plantae
Divisio : Magnoliophyta (Spermatophyta)
Classis : Magnoliopsida (Dicotyledonae)
Ordo : Asterales
Familia : Asteraceae (Compositae)
Subfamilia : Asteroideae
Tribus : Senecioneae
Genus : Gynura
Species : Gynura pseudochina (L.) DC.
Sinonim:
Gynura segetum (Lour.) Merr.
Gynura miniata Welv.
Nama Daerah (Depkes RI, 1989):
Daun Dewa (Melayu, Jawa Tengah)
Beluntas Cina (Sumatera)
Sabungai (Filipina)
San Qi Cao (Cina)
Deskripsi:
Tumbuhan daun dewa adalah tumbuhan semak semusim, tingginya 10-25
cm. Batangnya lunak, bulat, berambut halus, warna ungu kehijauan. Daunnya
66
tunggal, bentuk bulat telur, tersebar mengelilingi batang, berbulu lebat, ujung
tumpul, tepi bertoreh, pangkal meruncing, pertulangan daun menyirip, permukaan
atas hijau, permukaan bawah ungu. Bunganya majemuk berbentuk bongkol,
berbulu, tangkai bungan 20 – 30 cm, kelopak hijau berbentuk cawan, mahkota 1-
1,5 cm, benang sari berwarna kuning, bentuk jarum. Buah kecil berwarna coklat.
Bijinya berbentuk jarum, panjang ± 0,5 cm, warna coklat. Akarnya membentuk
umbi, panjang 5-8 cm, penampang 3-5 cm. Kulit umbi berwarna keabu-abuan,
sedangkan daging umbinya tampak bening sampai keruh (Davies, 1979, 1980;
Bosch, 2004). Sosok tumbuhan ini diperlihatkan pada Gambar 2.17.
Gambar 2.17 Sosok tumbuhan daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) (Koleksi Pribadi) dan herbariumnya (Koleksi Natural History Museum, London, UK, BM000924534)
Kegunaan:
Di Indononesia, secara tradisional daun dewa digunakan untuk obat
demam (antipiretik) (Depkes RI, 1989), kanker, kencing manis, tekanan darah
tinggi dan penyakit kulit (obat luar) (Soedibyo, 1998). Selain itu daun dewa juga
67
digunakan untuk pengobatan penyakit ginjal dan ruam-ruam pada muka (Perry,
1980).
Di Nigeria, daun dewa digunakan sebagai sayur dan untuk obat demam
serta sakit mata. Di Asia daun dewa digunakan untuk mengurangi iritasi kulit
yang disebabkan oleh sengatan serangga, jerawat dan memar, dan untuk
menyembuhkan skabies dan luka bakar. Daun, batang dan umbi dipercayai
mempunyai aktivitas hemostatik, antipiretik dan kekebalan tubuh. Bagian-bagian
tumbuhan ini digunakan untuk mengatur haid, mengobati tumor payudara, infeksi
herpes dan sakit tenggorokan (Bosch, 2004).
2.6.2 Tinjauan Fitokimia Daun Dewa
Hasil penapisan fitokimia daun dewa menunjukkan adanya senyawa
golongan alkaloid, flavonoid, tanin, steroid dan triterpenoid (Sajuthi et al. 2000).
Pada penelitian lain simplisia daun dewa diekstraksi secara refluks menggunakan
pelarut etanol 95%, dilanjutkan dengan fraksinasi ekstrak secara ekstraksi cair-
cair dan pemisahan lebih lanjut secara kromatografi kertas. Satu senyawa
golongan flavonoid telah diisolasi dari fraksi ekstrak etanol dan dikarakterisasi
secara spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak. Berdasarkan telaah data
spektrum ultraviolet-sinar tampak, isolat termasuk flavonol yang tersubstitusi
dengan gula pada posisi 3-O dan 7-O serta memiliki gugus hidroksi pada posisi C-
5, C-3’ dan C-4’. Isolat ini diduga kuersetin 3,7-O-diglikosida (Herwindriandita,
2006). Zaini (2006) melaporkan bahwa komponen bioaktif terhadap larva udang
dari daun dewa adalah senyawa golongan flavonoid yang mempunyai gugus
fungsi O-H, C=O keton, C=C aromatik dan C-O.
68
Hasil penapisan fitokimia simplisia umbi daun dewa menunjukkan adanya
senyawa steroid/triterpenoid, alkaloid dan flavonoid. Serbuk simplisia umbi daun
dewa diekstraksi secara refluks berturut-turut menggunakan n-heksana, etil asetat
dan etanol. Ekstrak etil asetat difraksinasi secara kromatografi cair vakum dengan
21 macam komposisi eluen. Isolat dimurnikan secara kromatografi lapis tipis
preparatif, kemudian dikarakterisasi menggunakan penampak bercak spesifik,
spektrofotometer ultraviolet-sinar tampak dan spektrofotometer inframerah.
Dengan demikian diperoleh satu isolat dari fraksi etil asetat, yang merupakan
senyawa triterpenoid dengan gugus –OH, -CH2-, -CH3, C=O dan tidak
mempunyai ikatan rangkat terkonjugasi (Ayuningsih, 2006).
Penelitian sebelumnya menunjukkan, daun dewa mengandung enam jenis
alkaloid, tetapi baru empat jenis alkaloid yang dapat diidentifikasi berdasarkan
data spektrumnya (Yuan et al., 1990). Keempat alkaloid itu adalah: senecionine,
seneciphylline, seneciphyllinine dan seneciphyllinine N-oxide. Sedangkan Fu et
al. (2002) menemukan alkaloid pirolizidina (senecionine dan seneciphylline)
dalam daun dewa yang digunakan dalam obat herbal Cina.
Baru-baru ini, Qi et al. (2009) menemukan 20 jenis senyawa dalam daun
dewa, tiga di antaranya adalah alkoloid pirolizidina dan satu alkaloid pirolizina N-
oksida. Alkaloid pirolizidina itu adalah seneciphylline, senecionine dan
seneciphyllinine. Sedangkan alkaloid pirolizidina N-oksida adalah
seneciphyllinine N-oxide. Enam belas senyawa lainnya dilaporkan pertama kali
terdapat dalam daun dewa dan tetrahydrosenecionine belum pernah dilaporkan
sebelumnya sebagai bahan alam. Kadar alkaloid pirolizidina tersebut dapat
ditentukan secara bersamaan dengan metode KCKT fase terbalik (Yang et al.,
69
2009), dengan metode kromatografi kapiler elektrokinetik miselar (KKEM) (Qi et
al., 2009) dan dengan TLC Scanner (Hutajulu et al., 2009).
Pewnim dan Thadaniti (1988) melaporkan kandungan enzim peroksidase
dalam daun dewa. Aktivitas enzim peroksidase itu adalah 1.600 unit/mg protein
pada akar, 625 unit/mg protein pada batang dan 90 unit/mg protein pada daun dari
tumbuhan daun dewa. Selanjutnya Pewnim (1993) membuktikan bahwa enzim
peroksidase yang terdapat dalam daun dari tumbuhan daun dewa terdiri atas dua
jenis enzim isoperoksidase. Enzim itu dapat dipakai untuk penentuan kadar
glukosa.
Dengan melakukan fraksinasi, isolasi dan identifikasi ekstrak metanol
daun dewa yang dituntun dengan uji antiinflamasi, Siriwatanametanon dan
Heinrich (2011) mendapatkan empat senyawa baru yang belum pernah dilaporkan
dari tumbuhan ini. Keempat senyawa itu adalah kuersetin-3-rutinosida, asam 3,5-
di-kafeilkuinat, asam 4,5-di-kafeilkuinat dan asam 5-mono-kafeilkuinat.
2.6.3 Tinjauan Farmakologi Daun Dewa
2.6.3.1 Antikanker
Sajuthi et al. (2000) melaporkan bahwa ekstrak heksana dari daun dewa
menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap larva udang laut. LC50 ekstrak ini
adalah 159,7 ppm yang menunjukkan bahwa ekstrak ini berpeluang sebagai obat
anti kanker. Sedangkan ekstrak etanol daun dewa memberikan aktivitas sitotoksik
yang dapat menghambat 56% pertumbuhan sel kanker HeLa pada konsentrasi
1.000 ppm dibandingkan dengan kontrol.
70
Selanjutnya, Sajuthi (2001) melaporkan bahwa uji toksisitas ekstrak semi
polar dari daun dewa terhadap sel kanker menghasilkan persen penghambatan
pada sel HeLa sebesar 3,03 – 42,4%, sel Hep-2 sebesar 20,3 – 24,1% dan pada sel
Raji sebesar 5,3 – 25,2%. Sedangkan ekstrak polar pada konsentrasi 250 ppm
menghasilkan persen penghambatan pada sel HeLa sebesar 13,3 – 22,7%, sel
Hep-2 sebesar 22,2 – 41,7% dan sel Raji sebesar 12,8 – 46,6%. Dengan demikian,
fraksi polar ternyata cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan sel kanker
jenis limpoma secara in vitro. Aktivitas antikanker daun dewa juga telah
dibuktikan oleh Siriwatanametanon et al. (2010) dengan menggunakan sel HeLa,
sel CCRF-CEM leukemia manusia dan sel CEM/ADR5000 multidrug-resistant.
Hasil penelitian ini memperkuat dasar penggunaan daun dewa secara tradisional
sebagai obat kanker (Mangan, 2003).
2.6.3.2 Obat Luka
Novayanti (2009) telah meneliti pengaruh ekstrak daun dewa (Gynura
pseudochina (Lour.)DC.) terhadap perdarahan dan koagulasi pada tikus putih
(Rattus norwegicus L.) jantan strain Wistar. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ekstrak daun dewa dapat mempercepat waktu perdarahan, waktu koagulasi
dan mampu berfungsi sebagai antiseptik. Ekstrak daun dewa 60% mempercepat
waktu perdarahan secara sangat bermakna dengan rata-rata waktu 31 detik,
sedangkan ekstrak daun dewa 45% mempercepat waktu koagulasi secara
bermakna dengan rata-rata waktu 13 detik. Tingkat kesembuhan tikus
membutuhkan waktu rata-rata 10 hari pada setiap perlakuan. Selain itu, perasan
71
daun dewa dapat mempercepat pembekuan darah pada tikus percobaan (Prihanti,
2008).
2.6.3.3 Antikolesterol
Abdullah (2005) telah melakukan penelitian pengaruh pemberian ekstrak
etanol daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC.) terhadap kadar kolesterol
total, kolesterol HDL, kolesterol HDL dan serum tikus jantan yang diberi diet
tinggi kolesterol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
etanol daun dewa dapat menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL.
Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun dewa dapat
menaikkan kadar kolesterol HDL. Dengan demikian daun dewa berpotensi
sebagai obat untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Selain itu, ekstrak
etanol daun dewa dapat menurunkan keparahan aterosklerosis pada burung puyuh
yang diinduksi dengan makanan berlemak tinggi (Zerizka, 2009)
2.6.3.4 Penghambat Aktivitas Enzim Lipase
Ekstrak kasar daun dewa yang dibuat dengan cara sokletasi memakai
metanol sebagai pelarut mengandung senyawa alkaloid. Ekstrak ini dapat
menghambat aktivitas enzim lipase yang diperoleh dari bakteri Bacillus subtilis.
Kondisi optimum aktivitas enzim lipase pada pH 7, waktu inkubasi 8 menit dan
konsentrasi substrat 2,5% dapat dihambat oleh ekstrak kasar daun dewa 60
mg/mL dengan aktivitas 1,25 µmol/mL.menit (Khalifah, 2008).
72
2.6.3.5 Antiinflamasi dan Analgesik
Daun dewa yang digunakan sebagai obat tradisional di Thailand telah
terbukti dapat menunjukkan efek antiinflamasi secara in vitro
(Siriwatanametanon, et al., 2011). Namun demikian, efek antiinflamasinya secara
in vivo perlu diteliti lebih lanjut untuk memperkuat dasar ilmiah penggunaannya
secara tradisional.
Infus daun dewa 5% dan 10% dapat menghambat respon rasa nyeri
meskipun daya hambatnya tidak sebanding dengan metampiron. Sedangkan infus
daun dewa 20% menunjukkan efek analgesik yang setara dengan metampiron.
Makin tinggi konsentrasi infus daun dewa, makin tinggi pula hambatan respon
rasa nyerinya (Putri, 2006).
2.6.3.6 Antioksidan
Daya antioksidan daun dewa telah dibuktikan secara in vitro menggunakan
metode DPPH, peroksidasi-lipid dan Folin-Ciocalteau (Siriwatanametanon et al.,
2011). Daya antioksidan daun dewa ini dipengaruhi oleh proses pengeringan
(Deswati, 2009) dan jenis pelarut yang dipakai untuk ekstraksinya (Mariani,
2010).
2.6.3.7 Penurunan Kadar Asam Urat Darah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol (Fitria, 2008) dan
dekokta (Astari, 2008) daun dewa dapat menurunkan kadar asam urat darah
mencit putih jantan yang diinduksi dengan kalium oksonat. Ini memperkuat dasar
penggunaan daun dewa sebagai obat tradisional untuk penyakit rematik.
73
2.6.4 Pengawasan Mutu Simplisia dan Ekstrak Daun Dewa
Monografi simplisia daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) belum
ada dalam Materia Medika Indonesia dan monografi lainnya. Namun demikian,
simplisia daun sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) harus
memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Materia Media Indonesia
(Depkes RI, 1989). Menurut persyaratan itu simplisia daun sambung nyawa harus
mengandung minyak atsiri dan flavonoid, tetapi tidak disebut berapa kadarnya dan
bagaimana cara menentukannya. Selain itu, identifikasi simplisia ini dilakukan
dengan beberapa uji kimia dan kromatografi lapis tipis. Namun demikian, tidak
ada uji yang spesifik untuk simplisia ini, apalagi untuk simpilisia dewa dewa
(Gynura pseudochina (Lour.) DC).
Mutu ekstrak daun sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.)
harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Monografi Ekstrak Tumbuhan
Obat Indonesia (BPOM RI, 2004b). Berdasarkan monografi tersebut, ekstrak
kental daun sambung nyawa adalah ekstrak yang dibuat dari tumbuhan Gynura
procumbens (Lour.) Mer., suku Asteraceae, mengandung flavonoid tidak kurang
dari 4%. Ekstrak itu dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 70%. Satu
bagian serbuk kering daun dewa dimasukkan ke dalam maserator, ditambah 10
bagian etanol 70%, direndam selama 6 jam sambil sekali-sekali diaduk. Maserat
dipisahkan dan proses diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama.
Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan penguap vakum hingga
diperoleh ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh ditimbang dan dicatat.
Rendemen tidak kurang dari 5,9%.
74
Ekstrak daun sambung nyawa yang memenuhi syarat monografi itu
berbentuk kental, warna coklat, bau tidak khas dan rasa agak pahit. Ekstrak itu
dikenali dengan kandungan kimianya senyawa flavonoid dengan komponen utama
7-asetil-5-hidroksi-3-metoksi-4’-ribosilflavon. Selain itu, ekstrak ini harus
memenuhi parameter nonspesifik, yaitu kadar air tidak lebih dari 10,6%, kadar
abu total tidak lebih dari 30,1%, kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 5,6%,
residu pestisida fosfor organik dan klor organik tidak lebih dari 5 g/kg, cemaran
logam berat Pb tidak lebih dari 10 mg/kg, Cd tidak lebih dari 0,3 mg/kg dan As
tidak lebih dari 10 g/kg, cemaran aflatoksin tidak lebih dari 20 g/kg dan
cemaran mikroba: angka lempeng total tidak lebih dari 10 koloni/g, angka
kapang/khamir tidak lebih dari 10 koloni/g dan bakteri patogen negatif.
Berdasarkan kajian literatur sampai dengan pertengahan tahun 2011,
standardisasi mutu ekstrak daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) belum
ada, sedangkan standardisasi ekstrak daun sambung nyawa (Gynura procumbens
(Lour.) Merr.) belum mencakup karakteristiknya dengan profil KLT, KCKT atau
KG. Selain itu, standardisasi mutunya belum ada yang mengungkapkan tentang
aktivitas biologis, terutama yang berkaitan dengan daya antioksidannya.
Walaupun persyaratan kadar flavonoid total telah dinyatakan dalam monografi
beberapa ekstrak tumbuhan obat, namun persyaratan kadar senyawa fenolik total
belum ada, sedangkan senyawa fenolik ini sangat erat kaitannya dengan daya
antioksidannya.
75
2.7 Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.)
2.7.1 Tinjauan Botani Jambu Biji
Klasifikasi tumbuhan jambu biji menurut USDA (2011) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Superdivision : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Division : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Class : Magnoliosida (dicotyledonae, tumbuhan biji berkeping)
Subclass : Rosidae
Ordo : Myrtales
Family : Myrtaceae
Genus : Psidium
Species : Psidium guajava L.
Deskripsi tumbuhan jambu biji adalah sebagai berikut:
Tumbuhan jambu biji berupa semak atau pohon, tinggi 3 meter sampai 10
meter, kulit batang halus permukaannya, berwarna coklat dan mudah mengelupas.
Daun tunggal, bertangkai pendek, panjang tangkai daun 0,5 cm sampai 1 cm; helai
daun berbentuk bundar telur agak menjorong atau bulat memanjang, panjang 5 cm
sampai 13 cm, lebar 3 cm sampai 6 cm; pinggir daun rata agak menggulung ke
atas; permukaan atas agak licin, warna hijau kelabu, kelenjar minyak tampak
sebagai bintik-bintik yang tembus cahaya; ibu tulang daun dan tulang cabang
menonjol pada permukaan bawah, bertulang menyirip, warna putih kehijauan.
Perbungaan terdiri dari 1 sampai 3 bunga, panjang gagang perbungaan 2 cm
76
sampai 4 cm, panjang kelopak 7 mm sampai 10 mm, tajuk berbentuk bundar telur
sunsang, panjang 1,5 cm sampai 2 cm. Buah bentuk bulat telur, kalau masak
berwarna kuning, panjang 5 cm sampai 8,5 cm, berdaging yang menyelimuti biji-
biji dan masa berwarna kuning merah jambu (Depkes, 1980). Sosok tumbuhan
jambu biji diperlihatkan dalam Gambar 2.18.
Gambar 2.18 Sosok tumbuhan jambu biji
2.7.2 Tinjauan Fitokimia Jambu Biji
Kajian fitokimia daun jambu biji menunjukkan bahwa kandungan kimia
daun jambu biji dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan senyawa, yaitu:
flavonoid, tanin dan isoprenoid (Metwally et al., 2011).
1. Senyawa Flavonoid
77
i. Kuersetin dan glikosidanya: avikularin, guajaverin, isokuersetin,
hiperin, kuersitrin, kuersetin 3-O--D-arabinopiranosida, kuersetin 3-O-
gentiobiosida dan kuersetin 4’-glukuronoida.
ii. Senyawa flavonoid lain meliputi morin-3-O-α-L-liksopiranosida, morin-
3-O-α-L-arabinopiranosida, kaempferol, luteolin-7-O-glukosida dan
apigenin-7-O-glukosida.
2. Senyawa Tanin
i. Amritosida (asam elegat 4-gentiobiosida)
ii. Guavin A, B, C dan D
iii. Isostriktinin, striktinin dan pedunkulagin (antidiabetes)
iv. (+)-galokatekin (antimutagenik)
3. Senyawa Isoprenoid
i. Monoterpen: karyofilen oksoda, -selinen, 1,8-sineol, α-pinen, mirsen, -
elemen, d-limonen, karyofilen, linalool, eugenol, -bisabolol, -bisabolen,
-seskuifelandren, metil 2-metil-tiazolidin-4-(R)-karboksilat (cis dan trans),
etil 2-metil-tiazolidin-4-(R)-karboksilat (cis dan trans), aromadendren, α-
dan -selinen, karyofelen epoksida, karyofiladienol, (e)-nerolidol, selin-11-
en-4-alfa-ol.
ii. Terpenoid: asam guavanoat, asam guavakumarat, asam guajanoat, asam
ursolat, asam 2α-hidroksiursolat, asam maslinat, asam asiatat, asam
jakumarat, asam isoneriukumarat, asam guajavanoat, guajavolida dan
asam guavenoat.
2.7.3 Tinjauan Farmakologi Jambu Biji
78
Kajian farmakologis terhadap daun jambu biji membuktikan bahwa daun
jambu biji mempunyai berbagai aksi farmasologis. Beberapa aksi farmakologis
daun jambu biji yang menonjol adalah sebagai berikut (Metwally et al., 2011;
Dutta & Das, 2011):
1. Kerja sebagai obat batuk
2. Aktivitas spasmolitik
3. Aktivitas antibakteri
4. Aktivitas antiamuba
5. Aktivitas antijamur
6. Aktivitas antidiare
7. Aktivitas antisestoda
8. Aktivitas antidiabetik, hipoglikemik dan anti-hiperlipidemik
9. Aktivitas antioksidan
10. Efek kardioprotektif
11. Aktivitas antimutagenik
12. Aktivitas penghambatan enzim retroviral reverse trascriptase
13. Aktivitas penekanan sistem saraf pusat
14. Aktivitas antinosiseptif/analgesik
15. Aktivitas anti-inflamasi
16. Efek pada tekanan darah arteri
17. Aktivitas antiulcer
18. Aktivitas hepatoprotektif
2.8 Tumbuhan Meniran (Phyllanthus niruri L.)
2.8.1 Tinjauan Botani Tumbuhan Meniran
79
Klasifikasi (Anonim, 2011):
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Rosidae
Ordo: Euphorbiales
Famili: Euphorbiaceae
Genus: Phyllanthus
Spesies: Phyllanthus niruri L.
Nama umum:
Indonesia: Meniran
Melayu: Dukung anak
Pilipina: Sampa sampalukan
Sinonim:
Nama lain dari Phyllanthus niruri L. adalah P. urinaria L., P. alatus
Bl., P. cantonensis Hornem., P. echinathus Wall., P. lepidocarpus Sieb. et Zuc.,
P. leptocarpus Weigh, (Dalimarta, 2008).
Morfologi:
Meniran merupakan tumbuhan terna semusim, tegak, tinggi hingga 1
m. Batang bulat, liat, masif, tidak berbulu, licin, hijau keunguan, diameter ±
3 mm, sering sangat bercabang dengan tangkai dan cabang-cabang hijau
keunguan. Daun majemuk berseling, warna hijau, anak daun 15-24 helai, bular
80
telur, tepi rata, pangkal membulat, ujung tumpul, di bawah ibu tulang daun
sering terdapat butiran kecil-kecil, menggantung. Bunga tunggal. Daun kelopak
berbentuk bintang, mahkota putih kecil. Buah kotak, bulat, hijau keunguan. Biji
kecil, keras, bentuk ginjal, coklat tua (Sudarsono et al., 1996). Sosok tumbuhan
meniran diperlihatkan dalam Gambar 19.
Gambar 2.19 Sosok tumbuhan meniran (Anonim, 2011)
2.8.2 Tinjauan Kimia Tumbuhan Meniran
Khasiat meniran tidak terlepas dari kandungan kimianya. Kandungan
kimia tumbuhan meniran dapat dibagi menjadi 5 kelompok, yakni (Damle et al.,
2011):
- Lignan, terdiri dari filantin, hipofilantin, nirantin, nirtetralin, nirfilin,
filtetralin, lintetralin, isotetralin, dan filnirurin.
- Flavonoid, terdiri dari kuersetrin, isokuersetrin, rutin, astragalin, nirurin,
dan nirutenin.
81
- Alkaloid, terdiri dari sekurinin, norsekurinin, filantosida.
- Steroid, terdiri dari estradiol dan sitosterol.
- Lipid, terdiri dari asam risinoleat, asam linoleat, asam linolenat, asam
detriankontanoat.
Meniran mengandung golongan senyawa kimia golongan flavonoid,
antara lain quercetin, quercetrin, isoquercetrin, astragalin, rutin kaemperol-4’-
rhamnopyranoside, eriodictyol-7-rhamnopyranoside, fisetin-4’-O-glicoside,
5,6,7,4’-tetrahydroxy-8-(3-methylbut-2-enyl)-flavonone-5-O-runoside (nirurin).
Pada akarnya terdapat 3,5,7-trihydroxyflavonl-4”-O--L-(-) rhamnopyranoside;
suatu senyawa glikosida flavonoid dengan kaemperol sebagai aglikon dan
rhamnosa sebagai bagian glikon. Ikatan glikosida terdapat pada posisi 4
sebagai glikosida flavonoid terdapat pula 5,3’,4;-rihydroxyflavononone-7-O--L-
(-), suatu flavonone (eriodictyol); L(-)-rhamnose sebagai bagian gikon. Di
samping itu terdapat senyawa lignan, norsecurinine, securinine, allosecurinine,
dan senyawa alkaloid (entnorsecurinine). Lignan: nirphyllin (3,3’,5,9,9’-
pentamethoxy-4-hydroxy,4’,5-methylendioxylignan, phyllnirurin (3,4-
methylendioxy-5’-methoxy-9-hidroxy-4’-7-epoxy-8,3’-neolignan), isolintetrain,
hypophyllanthin (tidak pahit). Nirtetralin, niranthin, phyllanthin (pahit),
hinikinin, ligtetralin, phyllanthostatin A, dan alkaloid dari trans-phytol
(Sudarsono et al., 1996; Bagalkotkar et al., 2006).
2.8.3 Tinjauan Farmakologi Tumbuhan Meniran
82
Meniran merupakan salah satu tumbuhan yang berkhasiat menyembuhkan
berbagai penyakit yang telah dipakai secara turun temurun. Secara tradisiomal,
khasiatnya telah terbukti ampuh mengobati penyakit hepatitis. Selain mengobati
lever yang terkena serangan virus hepatitis, meniran juga terkenal sebagai
pembangkit libido. Khasiat lainnya adalah peluruh air seni, gangguan saluran
pernapasan, kencing manis, diare, demam, penyakit kelamin, dan cacar
(Dalimartha, 2008).
Penelitian terbaru tentang meniran mengungkapkan bahwa tumbuhan ini
bisa membantu mencegah berbagai macam infeksi virus dan bakteri serta
meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Pada intinya, selain berkhasiat sebagai
antikanker, meniran juga berkhasiat sebagai imunoterapi atau terapi adjuven
mendampingi obat kanker lainnya (Sulaksana, 2004).
Meniran berbatang hijau kemerahan (Phyllanthus urinaria) ataupun
meniran berbatang hijau pucat (Phyllanthus niruri) mempunyai khasiat yang
hampir sama. Secara etnomedisinal, meniran digunakan masyarakat di berbagai
belahan dunia. Di Indonesia sendiri, meniran telah digunakan secara turun-
temurun dan diyakini dapat menyembuhkan penyakit malaria, sariawan, mencret,
sampai nyeri ginjal. Bila dicampur dengan pegagan, meniran bisa digunakan
untuk mengobati kencing batu. Sementara di Thailand, meniran dimanfaatkan
untuk mengobati demam dan sebagai deuretik (Sulaksana, 2004).
Dalam pengobatan tradisional India (ayurveda) yang telah digunakan
selama lebih dari 2.000 tahun yang lalu, meniran secara luas dimanfaatkan untuk
pengobatan penyakit kuning (jaundice), diabetes, kencing nanah, gangguan
menstruasi, serta gangguan pada kulit seperti bengkak dan gatal-gatal. Di India,
83
secangkir rebusan daun meniran diminum untuk mengobati diare. Hal ini
mungkin disebabkan oleh daun meniran yang mengandung senyawa-senyawa
antibakteri seperti filantin, hipofilantin, nirantin, dan nirtetralin (Sulaksana, 2004).
Di Amerika Selatan, meniran digunakan untuk mengatasi oedema,
kelebihan asam urat, pengobatan batu ginjal, batu empedu, flu, dan demam. Di
samping itu, digunakan juga sebagai deuretik dan infeksi saluran kemih. Orang-
orang Peru menggunakan meniran untuk menghancurkan dan mengeluarkan batu
ginjal dan batu empedu. Hal ini juga dipercaya dapat merangsang poduksi empedu
dan meningkatkan fungsi hati serta kandung empedu. Sering juga ditemukan,
rebusan meniran yang dicampur dengan air jeruk dipakai sebagai tonikum untuk
penderita lever dan diabetes. Selain itu manfaat lain dari meniran adalah
mengobati sakit maag, melancarkan air seni, menghancurkan batu ginjal,
menghancurkan batu empedu, mengobati sakit malaria, menghilangkan nyeri haid,
menurunkan berat badan, menghilangkan jerawat, menyembuhkan sakit gigi,
antitusif (pereda batuk), menyembuhkan luka bakar, dan mengobati sakit ayan
(Sulaksana, 2004).
Kajian farmakologis terhadap herba meniran membuktikan bahwa herba
meniran mempunyai berbagai aksi farmasologis. Beberapa aksi farmakologis
herba meniran yang menonjol adalah sebagai berikut (Damle et al., 2011):
1. Efek hepatoprotektif
2. Penghambatan replikasi HIV (Human Immunodeficiency Virus)
3. Aktivitas penurunan kadar lipid serum darah
4. Aktivitas antidiabetik
5. Aktivitas antimalaria
84
6. Aktivitas terhadap nyamuk filarial (Culex quinquefasciatus)
7. Aktivitas antispasmodik
8. Aktivitas analgesik
9. Penghambatan penyimpangan kromosom
85
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi, Laboratorium
Sentral Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Laboratorium Biota
Sumatera Universitas Andalas, Laboratorium Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi Padang, Pusat Penelitian Kimia, LIPI, Serpong. Penelitian ini telah
dilakukan selama tiga tahun sejak April 2008 sampai dengan Maret 2011
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pereaksi Folin-Ciocalteau
2. 1,1-Diphenyl-2-picryl hydrazyl (DPPH)
3. Rutin
4. Quercetin
5. Katekin
6. Asam galat
7. Metanol
8. Etanol
9. Aseton
10. Asetonitril
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Shimadzu UV/Vis Spectrophotometer 1240
86
2. Perkin Elmer FT-IR Spectrophotometer
3. Shimadzu LC-10A/10Avp High Performance Liquid Chromatography
4. System Controller SCL-10 Avp for Shimadzu HPLC
5. Software Shimadzu LC Workstation CLASS-VP
Obat bahan alam yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC)
2. Herba meniran (Phyllanthus niruri L.)
3. Daun jambu biji (Psidium guajava L.)
Obat bahan alam itu dikumpulkan dari berbagai daerah di Sumatera Barat,
spesimen masing-masing tumbuhan itu akan diidentifikasi berdasarkan literatur
dan dengan bantuan Herbarium Universitas Andalas. Spesimen HR01 (daun
dewa), HR02 (jambu biji) dan HR03 (herba meniran) diisimpan di Laboratorium
Sentral Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Penentuan pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar
senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan
alam
1. Bahan tumbuhan obat dikumpulkan dari lapangan dan disimpan dalam
kantong plastik selama perjalanan ke laboratorium untuk mempertahankan
kesegarannya
2. Bahan tumbuhan obat segar itu dipisahkan menjadi empat kelompok.
3. Masing-masing kelompok diberi perlakuan sebagai berikut:
87
a. Kelompok 1 dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di dalam
ruangan bersirkulasi udara yang baik, kemudian ditimbang.
Pengeringan dilanjutkan sampai bobotnya konstan (lebih kurang
seminggu).
b. Kelompok 2 dikeringkan dalam oven pada suhu 40 oC selama 1
jam, kemudian ditimbang setelah didinginkan sampai suhu kamar.
Pengeringan dan penimbangan diulangi setiap jam sampai
bobotnya konstan (lebih kurang 9 jam).
c. Kelompok 3 dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 1
jam, kemudian ditimbang setelah didinginkan sampai suhu kamar.
Pengeringan dan penimbanan diulangi setiap jam sampai bobotnya
konstan (lebih kurang 6 jam).
d. Kelompok 4 dikeringkan dalam oven microwave pada suhu ± 40
oC selama 1 menit, kemudian ditimbang setelah didinginkan
sampai suhu kamar. Pengeringan dan penimbangan diulangi setiap
menit sampai bobot konstan (lebih kurang 5 menit).
4. Masing masing kelompok diekstraksi dengan cara merendam sebanyak 5 g
serbuk kering tumbuhan obat tersebut dalam 50 ml larutan etanol 50 %
selama 24 jam sambil sekali-sekali diaduk, kemudian disaring dan ulangi
ekstraksi beberapa kali dengan 50 ml larutan etanol 50 % sampai filtrat
terakhir tidak berwarna lagi. Kumpulkan hasil saringan dan uapkan dengan
penguap putar pada suhu < 50 oC sampai kental.
5. Masing-masing ekstrak kental dilarutkan dalam campuran metanol-air
(1:1) dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditentukan kadar ekstraktif
(rendemen) dengan cara pada bagian 3.3.4, kadar senyawa fenolat total
88
dengan cara pada bagian 3.3.5 dan aktivitas antioksidan dengan cara pada
bagian 3.3.6.
6. Prosedur 1 sampai 5 diulangi dua kali lagi untuk ketiga jenis tumbuhan
obat yang diteliti.
3.3.2 Penentuan pengaruh pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar
senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan
alam
1. Bahan tumbuhan obat dikeringkan dengan pengeringan yang paling cocok
sesuai dengan percobaan optimasi pengeringan di atas.
2. Bahan tumbuhan obat kering dibagi menjadi tiga kelompok, masing-
masing ditimbang seksama sebanyak 5 g dan diekstraksi dengan cara
seperti di atas, dengan mengganti pelarutnya sebagai berikut:
a. Kelompok 1 dengan pelarut etanol 50 %
b. Kelompok 2 dengan pelarut metanol 50 %
c. Kelompok 3 dengan pelarut aseton 50%
3. Masing-masing ekstrak dilarutkan dalam campuran metanol-air (1:1)
dalam labu ukur 10 ml, kemudian ditentukan kadar ekstraktif (rendemen),
kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidannya.
4. Prosedur 1 sampai 3 diulangi dua kali lagi.
5. Jenis pelarut yang optimal dioptimasi lagi dengan memvariasikan
konsentrasi pelarut ekstraksi untuk mendapatkan perbandingan pelarut
dan air yang optimum.
89
3.3.3 Penentuan pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar
senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan
alam
1. Bahan tumbuhan obat yang telah dikeringkan dengan cara pengeringan
yang cocok, ditimbang seksama sebanyak 5 gram, diekstraksi dengan
empat cara ekstraksi menggunakan pelarut yang paling cocok sesuai
percobaan di atas:
a. Ekstraksi dengan cara maserasi dengan 50 mL pelarut yang cocok
selama 24 jam dan setelah disaring, ampasnya dimaserasi lagi
beberapa kali dengan pelarut baru sampai maserat terakhir tidak
bersisa bila diuapkan.
b. Ekstraksi dengan cara perkolasi dengan pelarut yang cocok sampai
perkolat terakhir tidak bersisa lagi bila diuapkan.
c. Ekstraksi dengan cara refluks dengan pelarut yang cocok selama
satu jam dan setelah disaring, ampasnya direfluks lagi dengan
pelarut baru sampai ekstrak terakhir tidak bersisa lagi bila
diuapkan.
d. Ekstraksi dengan cara sokletasi sampai tetesan terakhir tidak
berwarna
2. Masing-masing ekstrak diuapkan dengan penguap putar pada suhu < 50 oC
sampai kental.
3. Masing-masing ekstrak kental dilarutkan dalam campuran metanol-air
(1:1) dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditentukan kadar ekstraktif
(rendemen), kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidannya.
90
4. Prosedur 1 sampai 3 diulangi dua kali lagi.
3.3.4 Penentuan kadar ekstraktif (rendemen)
Penentuan kadar ekstraktif (rendeman) ekstrak yang diperoleh dengan
berbagai cara di atas dilakukan menurut metode WHO (1998) sebagai berikut:
1. Larutan ekstrak yang telah disiapkan dengan cara-cara di atas dipipet
sebanyak 10 mL ke dalam piring penguap yang telah ditara.
2. Pelarutnya diuapkan di atas pengas air sampai kering.
3. Sisa pengeringan itu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 OC selama 6
jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu segera
ditimbang.
4. Kadar ekstraktif (rendemen) dihitung dalam satuan mg per g simplisia
kering.
3.3.5 Penentuan kadar senyawa fenolat total
Senyawa fenolat total dalam larutan sampel ditentukan dengan pereaksi
Folin-Ciocalteau menggunakan prosedur Pourmorad et al. (2006) dengan
modifikasi sebagai berikut:
1. Larutan encer masing-masing ekstrak tumbuhan obat (0,5 ml ekstrak 1:10
g/mL) atau larutan asam galat (senyawa fenolat standar) dicampur dengan
pereaksi Folin-Ciocalteau (5 mL, diencerkan 1:10 dengan air suling) dan
larutan natrium karbonat (4 mL, 1 M)
91
2. Campuran di atas dibiarkan selama 15 menit dan kadar senyawa fenolat
total ditentukan dengan mengukur serapan pada 765 nm dengan
spektrofotometer UV-Vis.
3. Kurva standar dibuat dengan menggunakan larutan asam galat dengan
konsentrasi 0; 50; 100; 150; 200; 250 mg/L dalam metanol:air (1:1)
4. Kadar senyawa fenolat total dinyatakan sebagai setara asam galat (mg/g
massa kering atau segar)
3.3.6 Penentuan aktivitas antioksidan
Aktivitas antioksidan ekstrak tumbuhan obat ditentukan dengan metode
DPPH yang digunakan oleh Mosquera et al. (2007) dengan modifikasi sebagai
berikut:
1. Masing-masing ekstrak encer tumbuhan obat sebanyak 1 mL dicampur
dengan 2 mL larutan DPPH (20 mg/L) yang baru dibuat.
2. Masing-masing campuran itu dikocok dan didiamkan selama 30 menit
pada suhu kamar di tempat gelap
3. Kemudian serapan masing-masing campuran itu diukur pada panjang
gelombang 517 nm dengan spektrofotometer UV-Vis
4. Sebagai blanko, digunakan larutan yang dibuat dengan mencampurkan 1
mL metanol-air (1:1) dengan 2 ml larutan DPPH (20 mg/L)
5. Untuk meniadakan serapan ekstrak pada panjang gelombang ini, sampel
blanko dibuat dengan mencampurkan 1 ml ekstrak dengan 2 ml metanol-
air (1:1).
92
6. Persentase aktivitas antioksidan dihitung dengan menggunakan rumus
berikut:
%100(%) xA
AAnAntioksidaAktivitaskontrol
ekstrakkontrol
Di sini Akontrol adalah serapan larutan DPPH tanpa ekstrak, Aekstrak adalah
serapan ekstrak uji yang sama dengan serapan ekstrak tumbuhan obat +
DPPH dikurangi dengan serapan ekstrak blanko tanpa DPPH
7. Nilai IC50 ekstrak tumbuhan obat ditentukan dengan mengukur persentase
aktivitas antioksidan larutan ekstrak tumbuhan dengan konsentrasi 100,
50, 25, 12,5 dan 6,76 mg/mL melalui analisis regresi linear
3.3.7 Penentuan pola kromatogram kromatografi lapis tipis (KLT)
beberapa ekstrak tumbuhan obat
Pola kromatogram kromatografi lapis tipis ekstrak tumbuhan obat
ditentukan dengan prosedur yang digunakan oleh Hu et al. (2005) dengan
modifikasi sebagai berikut:
1. Larutan ekstrak encer tumbuhan obat dibuat dengan cara yang telah
dioptimasi pada percobaan terdahulu, kemudian difraksinasi berturut-turut
dengan petroleun eter, kloroform dan metanol untuk memisahkan
komponen kimia berdasarkan tingkat kepolarannya, mulai dari yang
nonpolar, semipolar sampai polar.
2. Masing-masing fraksi dipekatkan dan kemudian dilarutkan dalam
kloroform sampai 50 mL.
3. Plat KLT silica gel 60 F254 10 x 10 cm (Merck) dikeringkan dalam oven
pada suhu 105 oC selama 30 menit
93
4. Larutan uji (10 µL) yang berupa larutan fraksi petroleum eter, fraksi
kloroform dan fraksi metanol dalam kloroform, larutan zat pembanding
dalam kloroform ditotolkan pada plat KLT.
5. Kemudian plat dikembangkan dalam chamber yang dijenuhkan terlebih
dahulu dengan fase gerak
6. Fasa gerak yang digunakan dioptimasi dengan memvariasikan campuran
heksana-etilasetat dan campuran petroleum eter-aseton.
7. Setelah fase gerak mencapai 9 cm, plat dikeringkan di udara dan bercak
dilihat di bawah sinar ultraviolet (254 nm)
8. Kemudian plat disemprot dengan larutan H2SO4 5 % dalam metanol,
dipanaskan pada 110 oC selama 10 menit dan dilihat di bawah sinar
ultraviolet.
3.3.8 Penentuan sidik jari fourir transform infra red (FTIR) beberapa
ekstrak tumbuhan obat
Sidik jari FTIR ditentukan dengan prosedur yang dipakai oleh Liu et al.
(2006) dengan modifikasi sebagai berikut:
1. Larutan ekstrak encer tumbuhan obat dibuat dengan cara yang telah
dioptimasi pada percobaan terdahulu, kemudian difraksinasi berturut-turut
dengan petroleum eter, kloroform dan metanol.
2. Masing-masing fraksi diuapkan pelarutnya dan dikeringkan-bekukan,
kemudian masing-masing sampel sebanyak 2 mg dicampur dengan 100
mg KBr lalu dikempa menjadi pellet.
3. Masing-masing pellet sampel diukur spektrumnya dengan spektrometer
FTIR pada bilangan gelombang 400 – 4000 cm-1.
94
3.3.9 Penentuan pola kromatogram kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT) beberapa ekstrak tumbuhan obat
Pola kromatogram KCKT ditentukan dengan prosedur yang dipakai oleh
Chaudary et al. (2007) dengan modifikasi sebagai berikut:
1. Larutan ekstrak encer tumbuhan obat dibuat dengan cara yang telah
dioptimasi pada percobaan terdahulu (cara refluks dengan campuran
metanol-air (70:30) , kemudian difraksinasi berturut-turut dengan heksana,
etil asetat, butanol dan air.
2. Masing-masing fraksi diuapkan pelarutnya dan dilarutkan kembali dalam
metanol sampai 50 mL, kemudian disaring melalui filter 0,45 µm ke dalam
vial kromatografi, kemudian 20 µL larutan ekstrak diinjeksikan ke dalam
sistem kromatografi
3. Sistem kromatografi yang digunakan terdiri dari Shimadzu LC-10ATVP
dan SPD-M10AVP detector
4. Pemisahan kromatografi cair dilakukan pada kolom Kromasil-C18 (5 µm,
4,6 x 250 mm) pada suhu kamar
5. Data dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan perangkat lunak
Shimadzu Class-VP 6.12
6. Pelarut yang digunakan dioptimasi dengan memvariasikan campuran
asetonitril-air, metanol-air dan metanol-asam asetat 1% dalam berbagai
perbandingan.
7. Laju alir fase mobil adalah 1 mL/menit
8. Panjang gelombang deteksi diatur pada 210, 254, 300 dan 360 nm.
95
9. Larutan rutin, kuersetin dan isokuersetin 1 mg/mL digunakan sebagai
sebagai standar pembanding
3.3.10 Isolasi senyawa antioksidan sebagai penanda dalam pengawasan mutu
ekstrak daun dewa
Penyiapan sampel bahan tumbuhan
Daun dewa segar sebanyak 1 kilogram, dicuci dengan air sampai bersih
lalu dikering-anginkan pada suhu kamar. Pengeringan ini dilakukan sampai
daun dewa menjadi kering (kadar air kurang dari 10 %). Setelah kering, daun
dewa digiling dengan blender menjadi serbuk kasar.
Ekstraksi dan pengujian daya antioksidan ekstrak
Sebanyak 100 g serbuk daun dewa kering diekstraksi dengan cara refluks
berturut dengan n-heksana, kloroform dan metanol. Masing-masing ekstrak
diuapkan dengan penguap putar sampai diperoleh ekstrak kental. Masing-masing
ekstrak kental diuji daya antioksidannya dengan menggunakan metode DPPH
(Mosquera et al., 2009).
Isolasi dan pengujian daya antioksidan isolat
Ekstrak yang mempunyai daya antioksidan yang tinggi diidentifikasi dan
diisolasi dengan menggunakan kromatografi kertas dua arah dan kromatografi
kertas preparatif. Masing-masing isolat diuji daya antioksidannya dengan
menggunakan metode DPPH (Mosquera et al., 2009).
Identifikasi isolat yang aktif sebagai antioksidan
Isolat yang mempunyai daya antioksidan tinggi dimurnikan dengan cara
rekristalisasi menggunakan metanol panas. Kemurnian isolat tersebut diuji dengan
96
KLT pada plat silica F254 dengan fase gerak campuran heksan-etil asetat (7:3)
dan noda dilihat di bawah sinar UV 254 dan 366 nm, setelah itu disemprot dengan
larutan asam sufat pekat 5% dalam metanol dan nodanya dilihat di bawah sinar
tampak. Karakterisasi kimia dari isolat yang aktif sebagai antioksidan dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis, FT-IR, LC-MS, 1H-NMR dan
13C-NMR.
97
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Validasi metode analisis senyawa fenolat total
Pengukuran kadar senyawa fenolat total dalam beberapa tumbuhan obat
segar dan yang telah dikeringkan dilakukan dengan menggunakan pereaksi Folin-
Ciocalteau yang telah digunakan sebelumnya oleh Pourmorad et al. (2006) untuk
penentuan kadar senyawa fenolat dalam tumbuhan obat di Iran. Agar metode itu
dapat dipakai dalam penelitian ini, unjuk kerja dan validasi metode tersebut harus
dievaluasi terlebih dahulu karena sampel yang dipakainya berbeda dari yang
dipakai dalam penelitian ini. Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi metode
analisis disebut figures of merit (Mitra dan Brukh, 2003). Hasil evaluasi dan
validasi metode tersebut menunjukkan persamaan regresi hubungan antara
absorban (y) dan konsentrasi senyawa fenolat (x) sebagai y = 0,0158 + 0,0064 x,
dengan koefisien korelasi R = 0,9967, koefisien determinasi R2 = 0,9934, rentang
linearitas 25 – 125 µg/mL, batas deteksi 11,172 µg/mL, batas kuantisasi 37,240
µg/mL, perolehan kembali 97% dan simpangan baku relatif 0,24% (lihat Tabel 4.1
dan Gambar 4.1). Hasil evaluasi tersebut menunjukkan bahwa metode analisis
untuk menentukan kadar senyawa fenolat secara spektrofotometri dengan pereaksi
Folin-Ciocalteau mempunyai ketepatan dan ketelitian yang tinggi sesuai dengan
batas-batas unjuk kerja yang baik (Harmita, 2004). Pengolahan data dengan ana-
lisis regresi linear memakai Microsoft Excel 2007 dapat dilihat pada Lampiran 2.
98
Tabel 4.1 Hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm.
Konsentrasi (mcg/mL) Absorban
25 0,200 50 0,311 75 0,476 100 0,665 125 0,821
Gambar 4.1 Kurva kalibrasi hasil reaksi larutan standar asam galat dengan
pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm.
4.2 Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar
senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat alam bahan
Tabel 4.2 memperlihatkan kadar zat tersari yang diperoleh dari daun dewa,
daun jambu biji dan herba meniran setelah dikeringkan dengan berbagai cara.
Cara pengeringan kelihatannya mempunyai kecenderungan yang sama dalam
y = 0,0158 + 0,0064xR² = 0,9934
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0 50 100 150
Sera
pan
Kadar Asam Galat (µg/mL)
99
mempengaruhi perolehan kadar zat tersari. Pengeringan daun dewa dengan cara
kering angin menyebabkan penurunan kadar zat tersari yang nyata (p < 0,05)
dibandingkan dengan cara kering oven dan kering microwave (Hasil pengolahan
data dengan SPSS dapat dilihat pada Lampiran 3). Kadar zat tersari yang paling
tinggi diperoleh dengan pengeringan memakai oven microwave. Namun
demikian, kadar zat tersari yang tinggi belum tentu juga menunjukkan kadar zat
aktif yang tinggi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan parameter lain yang
dipengaruhi oleh cara pengeringan, seperti kadar senyawa fenolat total dan daya
antioksidan.
Tabel 4.2 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan
herba meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara
Cara Pengeringan
Jenis Sampel
Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran
Kering Angin 184,4 185,1 184,8
120,1 119,9 120,2
194,9 195,1 194,9
Rata-rata ± SD 184,8 ± 0,4a 120,1 ± 0,2a 195,0 ± 0,1a
Kering Oven 40 oC 207,9 208,6 209,1
150,3 149,9 150,4
202,2 202,0 202,3
Rata-rata ± SD 208,5 ± 0,6b 150,2 ± 0,3b 202,1 ± 0,1b
Kering Oven 60 oC 194,6 195,2 194,9
165,4 165,7 165,0
162,9 163,0 162,7
Rata-rata ± SD 194,9 ± 0,3c 165,4 ± 0,4c 162,9 ± 0,1c
Kering Oven Microwave 332,8 334,7 333,8
Rata-rata ± SD 333,8 ± 0,9d
Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Pengeringan daun dewa dengan oven microwave memberikan kadar zat
tersari yang jauh lebih tinggi (Tabel 4.2). Namun demikian pengeringan dengan
oven microwave tidak praktis karena sulitnya menentukan lama pengeringan yang
100
tepat. Pengeringan yang terlalu lama akan menyebabkan simplisia menjadi terlalu
kering dan malahan bisa hangus. Oleh karena itu, percobaan pengeringan
tumbuhan obat lain dengan oven microwave tidak dilanjutkan.
Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa, selain pengeringan dengan microwave,
pengeringan daun dewa dengan oven pada suhu 40 oC memberikan kadar zat
tersari yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan diangin-anginkan atau oven
60 oC. Dengan pengeringan pada 40 oC dapat diperoleh zat tersari yang lebih
banyak karena pengeringan lebih merata dan waktu pengeringan lebih cepat
(BPOM RI, 2006). Hasil penelitian ini dipertegas oleh laporan sebelumnya
dalam literatur bahwa pengeringan dengan oven 40 oC lebih menguntungkan
daripada pengeringan dengan cara lain (Mahanom, et al., 1999).
Tabel 4.2 juga memperlihatkan kadar zat tersari yang diperoleh dari daun
jambu biji setelah dikeringkan dengan berbagai cara. Cara pengeringan
kelihatannya mempunyai kecenderungan yang sama dalam mempengaruhi
perolehan kadar zat tersari. Pengeringan daun jambu biji dengan cara kering angin
menyebabkan penurunan kadar zat tersari yang nyata (p < 0,05) dibandingkan
dengan cara kering oven (Hasil pengolahan data dengan SPSS dapat dilihat pada
Lampiran 4). Kadar zat tersari yang paling tinggi diperoleh dengan pengeringan
memakai oven pada suhu 60 oC.
Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa pengeringan dengan oven pada suhu 60 oC
memberikan kadar zat tersari yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan
diangin-anginkan atau oven 40 oC. Dengan pengeringan pada 60 oC dapat
diperoleh zat tersari yang lebih banyak karena pengeringan lebih merata dan
waktu pengeringan lebih cepat (BPOM RI, 2006). Namun demikian, kadar zat
101
tersari yang tinggi belum tentu juga menunjukkan kadar zat aktif yang tinggi.
Oleh karena itu perlu dipertimbangkan parameter lain yang dipengaruhi oleh cara
pengeringan, seperti kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan.
Tabel 4.2 juga memperlihatkan kadar zat tersari yang diperoleh dari herba
meniran setelah dikeringkan dengan berbagai cara. Pengeringan herba meniran
dengan cara kering angin menyebabkan penurunan kadar zat tersari yang nyata (p
< 0,05) dibandingkan dengan cara kering oven 40 oC (Hasil pengolahan data
dengan SPSS dapat dilihat pada Lampiran 5). Kadar zat tersari yang paling tinggi
diperoleh dengan pengeringan herba meniran memakai oven pada suhu 40 oC.
Dengan pengeringan memakai oven pada 40 oC dapat diperoleh zat tersari yang
lebih banyak karena pengeringan lebih merata dan waktu pengeringan lebih cepat
(BPOM RI, 2006). Namun demikian, kadar zat tersari yang tinggi belum tentu
juga menunjukkan kadar zat aktif yang tinggi. Oleh karena itu perlu
dipertimbangkan parameter lain yang dipengaruhi oleh cara pengeringan, seperti
kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan.
Tabel 4.3 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan
kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.
Pengeringan daun dewa dengan cara diangin-anginkan menghasilkan kadar
senyawa fenolat total yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan oven pada
suhu 40 oC, 60 oC dan oven microwave. Sedangkan pengeringan daun dewa
dengan oven pada suhu 60 oC menghasilkan senyawa fenolat yang sama rendah
dengan pengeringan memakai oven microwave (p < 0,05; lihat Lampiran 6).
Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat yang tinggi, daun
dewa harus dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Hal ini sesuai dengan cara
102
pengeringan yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006) untuk pengeringan bagian
tanaman yang lunak seperti bunga, daun dan sebagainya atau yang mengandung
senyawa aktif mudah menguap.
Tabel 4.3 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara
Cara Pengeringan
Jenis Sampel
Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran
Kering Angin 0,4007 0,3987 0,4124
0,4140 0,4251 0,3992
0,0975 0,1016 0,0966
Rata-rata ± SD 0,4039 ± 0,0074a 0,4128 ± 0,0130a 0,0986 ± 0,0027a
Kering Oven 40 oC 0,2913 0,3019 0,2854
0,4536 0,4601 0,4514
0,1014 0,0987 0,1021
Rata-rata ± SD 0,2929 ± 0,0084b 0,4550 ± 0,0045b 0,1007 ± 0,0018a
Kering Oven 60 oC 0,1624 0,1711 0,1605
0,4189 0,4201 0,4184
0,0814 0,0855 0,0808
Rata-rata ± SD 0,1647 ± 0,0057c 0,4191 ± 0,0209a 0,0826 ± 0,0026b
Kering Oven Microwave
0,1673 0,1702 0,1655
Rata-rata ± SD 0,1677 ± 0,0024c
Keterangan: Kadar senyawa fenolat dihitung dalam satuan % berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Tabel 4.3 juga memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap
perolehan kadar senyawa fenolat total dari daun jambu biji. Pengeringan daun
jambu biji dengan cara oven 40 oC menghasilkan kadar senyawa fenolat total yang
lebih tinggi daripada pengeringan dengan angin dan oven pada suhu 60 oC (p <
0,05; lihat Lampiran 7). Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar senyawa
fenolat yang tinggi, daun jambu biji harus dikeringkan dengan oven pada suhu 40
oC. Hal ini sesuai dengan cara pengeringan yang dianjurkan oleh BPOM RI
103
(2006) untuk pengeringan bagian tanaman yang lunak seperti bunga, daun dan
sebagainya atau yang mengandung senyawa aktif mudah menguap.
Pada Tabel 4.3 memperlihatkan pula pengaruh cara pengeringan terhadap
perolehan kadar senyawa fenolat total dari herba meniran. Pengeringan herba
meniran dengan cara oven 40 oC menghasilkan kadar senyawa fenolat total yang
lebih tinggi daripada pengeringan dengan oven pada suhu 60 oC, tetapi tidak
berbeda nyata dengan pengeringan dengan diangin-anginkan (p < 0,05; lihat
Lampiran 8). Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat yang
tinggi, herba meniran harus dikeringkan dengan oven pada suhu 40 oC atau
diangin-anginkan saja. Hal ini sesuai dengan cara pengeringan yang dianjurkan
oleh BPOM RI (2006) untuk pengeringan bagian tanaman yang lunak seperti
bunga, daun dan sebagainya atau yang mengandung senyawa aktif mudah
menguap.
Tabel 4.4 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap aktivitas
antioksidan dari daun dewa. Aktivitas antioksidan daun dewa dihitung sebagai
persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang terdapat
dalam daun dewa yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara dengan jumlah
µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Kelihatannya cara pengeringan
tidak banyaknya pengaruhnya terhadap daya antioksidan daun dewa. Namun
demikian, pengeringan daun dewa dengan kering angin dan kering oven pada
suhu 60 oC memberikan persen inhibisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
cara pengeringan lainnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan simplisia daun
dewa yang mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi harus dikeringkan
dengan mengangin-anginkan. Hal ini juga sesuai dengan cara pengeringan
104
simplisia daun yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006). Selain itu, jumlah dan
komposisi ekstrak yang diperoleh dari bahan herbal dipengaruhi oleh cara
pengeringan bahan awal herbal tersebut (Gaedcke, et al., 2003).
Tabel 4.4 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun
dewa yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat
Kadar (µg/mL) Asam galat (pembanding)
Cara Pengeringan
Kering Angin Kering Oven
40 oC Kering Oven
60 oC Kering
Microwave 1 42,94 33,33 32,01 33,58 21,38
2 57,77 41,06 39,98 41,67 32,85
3 72,46 50,60 47,10 50,00 44,81
4 84,60 57,73 55,07 58,45 58,70
5 92,66 65,58 63,65 66,67 70,77
IC50 1,409 3,042 3,312 2,991 3,345
Tabel 4.5 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap aktivitas
antioksidan dari daun jambu biji. Aktivitas antioksidan daun jambu biji dihitung
sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang
terdapat dalam daun jambu biji yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara
dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Pengeringan daun
jambu biji dengan kering angin memberikan persen inhibisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan cara pengeringan lainnya. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan simplisia daun jambu biji yang mempunyai aktivitas antioksidan
yang tinggi harus dikeringkan dengan mengangin-anginkan. Hal ini juga sesuai
dengan cara pengeringan simplisia daun yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006).
Selain itu, jumlah dan komposisi ekstrak yang diperoleh dari bahan herbal
dipengaruhi oleh cara pengeringan bahan awal herbal tersebut (Gaedcke, et al.,
2003).
105
Tabel 4.5 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun
jambu biji yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat
Kadar
(µg/mL) Asam galat
(pembanding)
Cara Pengeringan
Kering Angin Kering Oven
40 oC Kering Oven
60 oC 1 42,94 35,31 33,06 31,56 2 57,77 42,04 40,99 39,65 3 72,46 52,58 48,11 48,08 4 84,60 59,71 56,08 56,43 5 92,66 67,56 64,66 64,63
IC50 1,409 2,825 3,181 3,233
Tabel 4.6 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap aktivitas
antioksidan dari herba meniran. Aktivitas antioksidan herba meniran dihitung
sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang
terdapat dalam herba meniran yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara
dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Pengeringan herba
meniran dengan kering oven pada suhu 40 oC memberikan persen inhibisi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan cara pengeringan lainnya. Oleh karena itu,
untuk mendapatkan simplisia herba meniran yang mempunyai aktivitas
antioksidan yang tinggi harus dikeringkan dengan oven pada suhu 40 oC. Hal ini
juga sesuai dengan cara pengeringan simplisia daun yang dianjurkan oleh BPOM
RI (2006). Selain itu, jumlah dan komposisi ekstrak yang diperoleh dari bahan
herbal dipengaruhi oleh cara pengeringan bahan awal herbal tersebut (Gaedcke, et
al., 2003).
Tabel 4.6 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari herba
meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat
106
Kadar
(µg/mL) Asam galat
(pembanding)
Cara Pengeringan
Kering Angin Kering Oven 40 oC
Kering Oven 60 oC
1 42,94 29,58 48,55 37,43 2 57,77 36,59 53,50 44,68 3 72,46 42,02 57,60 53,98 4 84,60 50,25 65,21 57,24 5 92,66 56,64 71,73 65,10
IC50 1,409 4,030 1,395 2,752
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara
pengeringan daun dewa yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi
adalah dengan kering oven 40 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat
tertinggi adalah dengan kering angin dan untuk mendapat daya antioksidan
tertinggi tidak banyak dipengaruhi oleh cara pengeringan. Pengeringan daun dewa
dengan oven pada suhu 40 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 208,5 ± 0,6
mg/g. Pengeringan daun dewa dengan cara diangin-anginkan menghasilkan kadar
senyawa fenolat sebesar 0,4039 ± 0,0074% dan daya antioksidan IC50 3,042
µg/mL.
Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk mendapatkan kadar
sari tertinggi adalah dengan kering oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar
senyawa fenolat tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk mendapat
daya antioksidan tertinggi adalah dengan kering angin. Pengeringan daun jambu
biji dengan oven pada suhu 60 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 165,4 ±
0,4 mg/g. Pengeringan daun jambu biji dengan cara oven pada suhu 40 oC
menghasilkan kadar senyawa fenolat sebesar 0,4550 ± 0,0045%. Pengeringan
107
daun jambu biji dengan diangin-anginkan menghasilkan daya antioksidan IC50
2,825 µg/mL.
Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk mendapatkan kadar
sari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang tertinggi adalah dengan
kering oven 40 oC. Pengeringan herba meniran dengan oven pada suhu 40 oC
menghasilkan kadar zat tersari sebesar 202,1 ± 0,1 mg/g, kadar senyawa fenolat
sebesar 0,1007 ± 0,0018% dan daya antioksidan IC50 1,395 µg/mL.
4.3 Pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat alam
bahan
Tabel 4.7 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap
perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.
Pelarut metanol, etanol dan aseton memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap peroleh kadar zat tersari (p < 0,05). Pengujian secara statistik
menunjukkan bahwa metanol mempunyai pengaruh yang tertinggi terhadap
peroleh kadar zat tersari, diikuti oleh etanol dan aseton (lihat Lampiran 9, 10 dan
11). Perbedaan ini disebabkan oleh tingkat kepolaran pelarut. Metanol mempunyai
kepolaran yang paling tinggi di antara ketiga pelarut tersebut (Gaedcke, et al.,
2003). Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Bauer (1998) yang menemukan
bahwa metanol merupakan pelarut terbaik untuk ekstraksi bunga kamil.
Tabel 4.7 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut
108
Jenis Pelarut
Jenis Sampel
Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran
Metanol 239,1 240,2 239,0
182,0 182,0 181,5
209,1 209,0 209,3
Rata-rata ± SD 239,4 ± 0,7a 181,8 ± 0,3a 209,1 ± 0,2a
Etanol 184,8 185,2 184,7
120,1 119,9 120,2
194,9 195,1 194,9
Rata-rata ± SD 184,9 ± 0,3b 120,1 ± 0,2b 195,0 ± 0,1a
Aseton 178,5 178,0 178,6
140,3 140,0 140,4
192,2 192,0 192,3
Rata-rata ± SD 178,4 ± 0,3c 140,2 ± 0,2a 192,1 ± 0,1b
Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Tabel 4.8 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut terhadap perolehan kadar
senyawa fenolat dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Pelarut
metanol, etanol dan aseton mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap
perolehan kadar senyawa fenolat dari daun dewa (p < 0,05). Pengujian secara
statistik menunjukkan bahwa metanol mempunyai pengaruh yang tertinggi
terhadap perolehan kadar senyawa fenolat, diikuti oleh etanol dan aseton (lihat
Lampiran 12, 13 dan 14). Perbedaan ini disebabkan oleh tingkat kepolaran
pelarut. Metanol mempunyai kepolaran yang paling tinggi di antara ketiga pelarut
tersebut (Gaedcke, et al., 2003). Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Bauer
(1998) yang menemukan bahwa metanol merupakan pelarut terbaik untuk
ekstraksi bunga kamil.
Tabel 4.8 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun
jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut
Jenis Pelarut Jenis Sampel
109
Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran
Metanol 0,7512 0,7589 0,7520
0,4931 0,5002 0,4913
0,4930 0,4937 0,5124
Rata-rata ± SD 0,7540 ± 0,0042a 0,4949 ± 0,0047a 0,4997 ± 0,0110a
Etanol 0,4007 0,3987 0,4124
0,4140 0,4251 0,3992
0,0975 0,1016 0,0966
Rata-rata ± SD 0,4029 ± 0,0074b 0,4128 ± 0,0130b 0,0986 ± 0,0027a
Aseton 0,2902 0,3008 0,2954
0,4525 0,4585 0,4503
0,1014 0,0987 0.1021
Rata-rata ± SD 0,2955 ± 0,0053c 0,4538 ± 0,0042a 0,1007 ± 0,0018b
Keterangan: Kadar fenolat dihitung dalam satuan persen berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Tabel 4.9 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap
aktivitas antioksidan dari daun dewa. Aktivitas antioksidan daun dewa dihitung
sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang
terdapat dalam daun dewa yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara dengan
jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Daun dewa yang
diekstraksi dengan pelarut metanol menunjukkan daya antioksidan yang tertinggi
dibandingkan dengan pelarut etanol dan aseton. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya senyawa fenolat yang bersifat antioksidan seperti senyawa golongan
flavonoid yang terekstraksi dengan metanol (Bauer, 1998).
Tabel 4.9 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun dewa yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut
Kadar (µg/mL) Asam galat
Jenis Pelarut
Metanol Etanol Aseton
1 42,94 25,22 33,33 21,38
2 57,77 38,79 41,06 28,94
3 72,46 55,82 50,60 47,37
4 84,60 69,78 57,73 62,09
5 92,66 74,01 65,58 73,65
IC50 1,409 2,788 3,042 3,241
110
Tabel 4.10 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap
aktivitas antioksidan dari daun jambu biji. Aktivitas antioksidan daun jambu biji
dihitung sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa
fenolat yang terdapat dalam daun jambu biji yang dihitung sebagai kadar sampel
yang setara dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Daun
jambu biji yang diekstraksi dengan pelarut etanol menunjukkan daya antioksidan
yang tertinggi dibandingkan dengan pelarut metanol dan aseton. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya senyawa fenolat yang bersifat antioksidan seperti
senyawa golongan flavonoid yang terekstraksi dengan etanol.
Tabel 4.10 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun
jambu biji yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut
Kadar (µg/mL) Asam galat Jenis Pelarut
Metanol Etanol Aseton
1 42,94 26,72 35,31 30,06 2 57,77 33,48 42,04 37,99 3 72,46 42,54 52,58 45,11 4 84,60 49,90 59,71 51,08 5 92,66 58,03 67,56 59,66
IC50 1,409 3,995 2,825 3,722
Tabel 4.11 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap
aktivitas antioksidan dari herba meniran. Aktivitas antioksidan herba meniran
dihitung sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa
fenolat yang terdapat dalam daun jambu biji yang dihitung sebagai kadar sampel
yang setara dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Herba
meniran yang diekstraksi dengan pelarut metanol menunjukkan daya antioksidan
yang tertinggi dibandingkan dengan pelarut etanol dan aseton. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya senyawa fenolat yang bersifat antioksidan seperti senyawa
golongan flavonoid yang terekstraksi dengan metanol (Bauer, 1998).
111
Tabel 4.11 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut
Kadar (µg/mL) Asam galat
Jenis Pelarut
Metanol Etanol Aseton
1 42,94 31,56 29,58 28,55 2 57,77 38,18 36,59 33,50 3 72,46 46,15 42,02 47,60 4 84,60 54,97 50,25 55,21 5 92,66 62,46 56,64 61,73
IC50 1,409 3,424 4,030 3,532
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa
pelarut ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa
fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah metanol. Ekstraksi daun dewa,
daun jambu biji dan herba meniran dengan pelarut metanol menghasilkan kadar
zat tersari sebesar 239,4 ± 0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2 mg/g,
masing-masing, dan kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ± 0,0042%,
0,4949 ± 0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing. Sedangkan daya
antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh jenis
pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya antioksidan daun dewa yang
tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol, daun jambu biji dengan pelarut etanol
dan herba meniran dengan pelarut metanol.
4.4 Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap perolehan kadar zat
tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat
bahan alam
Tabel 4.12 memperlihatkan pengaruh perbandingan metanol-air terhadap
perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.
112
Perbandingan metanol-air memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
perolehan kadar zat tersari (p < 0,05). Pengujian secara statistik menunjukkan
bahwa perbandingan metanol-air 60:40 mempunyai pengaruh yang tertinggi
terhadap peroleh kadar zat tersari, diikuti oleh perbandingan metanol-air 70:30,
80:20, 50:50, 100:0 dan 40:60.
Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap kadar zat tersari
diperlihatkan dengan jelas pada Gambar 4.2. Dari gambar tersebut terlihat bahwa
daun dewa menghasilkan kadar zat tersari paling tinggi bila diekstraksi dengan
metanol-air 70:30, sedangan daun jambu biji menghasilkan kadar zat tersari paling
tinggi bila diekstraksi dengan metanol-air 50:50 dan herba meniran dengan
metanol 60:40. Secara menyeluruh, campuran metanol-air antara 50:50 sampai
70:30 merupakan pelarut yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari yang
optimum dari ketiga tumbuhan obat tersebut. Adanya air yang cukup dalam
pelarut ekstraksi diperlukan agar pelarut dapat merembes ke dalam sel tumbuhan
obat sehingga dapat melarutkan komponen-komponen aktif dari tumbuhan obat
tersebut (Gaedcke, et al., 2003). Fenomena seperti ini juga telah dibuktikan oleh
Bauer (1998) dalam mengekstraksi bunga kamil dengan pelarut metanol.
Tabel 4.12 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air
Perbandingan Metanol-
air Jenis Sampel
Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran
100:0
220,6 85,7 184,3
218,5 86,0 181,5
219,4 81,2 180,1
rata-rata 219,5a 84,3a 182,0a
SD 1,1 2,7 2,1
80:20 241,1 87,1 220,6
240,8 84,5 221,0
113
240,9 87,1 218,7
rata-rata 240,9b 86,2b 220,1b
SD 0,2 1,5 1,2
70:30
266,5 93,4 242,1
265,4 94,4 248,9
266,3 92,0 250,1
rata-rata 266,1c 93,3c 247,0c
SD 0,6 1,2 4,3
60:40
250,1 117,4 265,9
249,7 113,6 263,1
249,5 116,4 267,1
rata-rata 249,8d 115,8d 265,4d
SD 0,3 2,0 2,1
50:50
184,8 120,5 192,2
185,2 118,7 195,4
184,7 120,4 194,5
rata-rata 184,9e 119,9e 194,0e
SD 0,3 1,0 1,7
40:60
126,8 108,6 116,8
125,7 107,4 114,7
126,5 110,7 117,1
rata-rata 126,3f 108,9f 116,2f
SD 0,6 1,7 1,3
Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Gambar 4.2 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan kadar
zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
0
50
100
150
200
250
300
100:0 80:20 70:30 60:40 50:50 40:60
Perbandingan Metanol-Air
Kad
ar z
at te
rsar
i (m
g/g)
Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
114
Tabel 4.13 memperlihatkan pengaruh perbandingan metanol-air terhadap
perolehan kadar senyawa fenolat dari daun dewa, daun jambu biji dan herba
meniran. Perbandingan metanol-air memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap perolehan kadar senyawa fenolat (p < 0,05). Pengujian secara statistik
menunjukkan bahwa perbandingan metanol-air 70:30 dan 60:40 mempunyai
pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap perolehan kadar senyawa fenolat (p >
0,05), sedangkan perbandingan metanol-air 50:50, 80:20, 40:60 dan 100:0 dan
40:60 mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar
senyawa fenolat (p < 0,05). Adanya air yang cukup dalam pelarut ekstraksi
mempermudah pelarut menembus dinding sel tumbuhan obat sehingga pelarut
dapat melarutkan senyawa fenolat yang ada dalam sel tumbuhan obat tersebut
(Gaedcke, et al., 2003). Hal ini telah dibuktikan pula sebelumnya oleh Bauer
(1998) dalam mengekstrasi flavonoid dari bunga kamil memakai pelarut metanol.
115
Tabel 4.13 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air
Perbandingan Metanol-
Air Jenis Sampel
Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran
100:0
0,3766 0,1750 0,1030
0,3689 0,1720 0,1037
0,3751 0,1800 0,1064
rata-rata 0,3735a 0,1757a 0,1044a
SD 0,0041 0,0040 0,0018
80:20
0,4786 0,2070 0,1396
0,4802 0,2060 0,1381
0,4795 0,2060 0,1413
rata-rata 0,4794b 0,2063b 0,1397b
SD 0,0008 0,0006 0,0016
70:30
0,5897 0,3100 0,1448
0,5875 0,3060 0,1447
0,5768 0,3080 0,1443
rata-rata 0,5847c 0,3080c 0,1446c
SD 0,0069 0,0020 0,0003
60:40
0,5165 0,3650 0,1493
0,5045 0,3500 0,1489
0,5211 0,3450 0,1493
rata-rata 0,5140c 0,3533c 0,1492c
SD 0,0086 0,0104 0,0002
50:50
0,4007 0,4140 0,1016
0,3987 0,3992 0,0975
0,4124 0,4251 0,0966
rata-rata 0,4039d 0,4128d 0,0986d
SD 0,0074 0,0130 0,0027
40:60
0,3567 0,3420 0,0884
0,3548 0,3430 0,0876
0,3495 0,3450 0,0867
rata-rata 0,3537e 0,3433e 0,0876e
SD 0,0037 0,0015 0,0009
Keterangan: Kadar senyawa fenolat total dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap kadar senyawa fenolat
diperlihatkan dengan jelas pada Gambar 4.3. Dari gambar terlihat bahwa daun
dewa menghasilkan kadar senyawa fenolat paling tinggi bila diekstraksi dengan
metanol-air 70:30, sedangkan daun jambu biji menghasilkan kadar zat tersari
116
paling tinggi bila diekstraksi dengan metanol-air 50:50 dan herba meniran dengan
metanol-air 60:40. Secara menyeluruh, campuran metanol-air antara 50:50 sampai
dengan 70:30 merupakan pelarut yang terbaik untuk mendapatkan kadar senyawa
fenolat yang optimum dari ketiga tumbuhan obat tersebut.
Gambar 4.3 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Gambar 4.4 memperlihatkan pengaruh perbandingan metanol-air terhadap
aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.
Kelihatannya perbandingan pelarut ekstraksi metanol-air tidak banyak
pengaruhnya terhadap aktivitas antioksidan ketiga tumbuhan tersebut. Namun
demikian, herba meniran dan daun jambu biji menunjukkan pengaruh yang agak
berbeda, karena ekstraksi kedua tumbuhan obat itu dengan perbandingan pelarut
metanol-air 70:30 dan 60:40 menyebabkan daya antioksidannya mendekati daya
antioksidan asam galat. Sebaliknya, ekstraksi daun dewa dengan pelarut metanol-
air 60:40 menyebabkan daya antioksidannya bertambah (IC-50 menurun).
-
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.700
100:0 80:20 70:30 60:40 50:50 40:60
Kada
r sen
yaw
a fe
nola
t (%
)
Perbandingan Metanol:Air
Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
117
Gambar 4.4 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap aktivitas
antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa
perbandingan pelarut metanol-air yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat
tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah
perbandingan metanol-air antara 70:30 dan 60:40. Kedua perbandingan metanol-
air ini tidak berbeda nyata unjuk kerjanya dalam memperoleh kadar senyawa
fenolat total dari ketiga tumbuhan obat yang diuji (p > 0,05).
4.5 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar
senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam
Tabel 4.14 memperlihatkan pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan
kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Cara
ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar zat
tersari (p < 0,05). Pengujian secara statistik menunjukkan bahwa cara sokletasi
0
1
2
3
4
100:0 80:20 70:30 60:40 50:50 40:60
Perbandingan Metanol-Air
IC-5
0 (m
cg/m
L)
Daun Dewa Daun Jambu Biji
Herba Meniran Asam Galat (Pembanding)
118
mempunyai pengaruh yang tertinggi terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun
dewa, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara perkolasi untuk herba meniran.
Tabel 4.14 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara
Cara Ekstraksi
Jenis Sampel
Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran
Maserasi
149,0 122,0 249,1
150,2 122,0 249,0
149,0 121,5 249,1
rata-rata 149,4a 121,8a 249,1a
SD 0,7 0,3 0,1
Perkolasi
184,7 130,1 294,9
185,5 130,9 295,1
184,8 130,2 294,9
rata-rata 185,0b 130,4b 295,0b
SD 0,5 0,4 0,1
Sokletasi
208,4 150,3 202,2
207,8 150,0 202,0
208,6 150,4 202,3
rata-rata 208,3c 150,2c 202,1c
SD 0,4 0,2 0,1
Refluks
194,3 165,4 262,9
195,1 165,7 263,0
194,8 165,0 262,7
rata-rata 194,7d 165,4d 262,9d
SD 0,4 0,4 0,1
Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari diperlihatkan
dengan jelas pada Gambar 4.5. Dari gambar itu terlihat bahwa daun dewa
menghasilkan kadar zat tersari paling tinggi bila diekstraksi dengan cara sokletasi,
sedangkan herba meniran menghasilkan kadar zat tersari paling tinggi bila
diekstraksi dengan cara perkolasi dan daun jambu biji menghasilkan kadar zat
tersari tertinggi bila diekstraksi dengan cara refluks. Kelihatan dari hasil penelitian
119
ini bahwa cara ekstraksi mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap
perolehan kadar zat tersari, tergantung pada tumbuhan obat yang diekstraksi
(Gaedcke, et al., 2003). Cara ekstraksi dingin (perkolasi) cocok untuk
mendapatkan kadar zat tersari dari herba meniran, sedangkan ekstraksi panas
(sokletasi dan refluks) lebih cocok untuk daun dewa dan daun jambu biji.
Fenomena seperti ini telah ditemukan pula sebelumnya oleh Bauer (1998) dalam
mengekstrasi bunga kamil dengan cara maserasi dan sokletasi.
Gambar 4.5 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari dari
daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Tabel 4.15 memperlihatkan pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan
kadar senyawa fenolat dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Cara
ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar
senyawa fenolat (p < 0,05).
Tabel 4.15 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun
jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara
Cara Ekstraksi Jenis Sampel
0
50
100
150
200
250
300
350
Maserasi Perkolasi Sokletasi Refluks
Cara Ekstraksi
Kad
ar z
at te
rsar
i (m
g/g)
Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
120
Daun Dewa Daun Jambu Biji Herba Meniran
Maserasi
0,6547 0,4954 0,4980
0,6604 0,5022 0,4957
0,6535 0,4953 0,5154
rata-rata 0,6562a 0,4976a 0,5030a
SD 0,0037 0,0040 0,0108
Perkolasi
0,7007 0,4144 0,5975
0,6987 0,4262 0,6016
0,7124 0,3992 0,5966
rata-rata 0,7039b 0,4133b 0,5986b
SD 0,0074 0,0135 0,0027
Sokletasi
0,7913 0,4566 0,6014
0,8019 0,4592 0,5987
0,7854 0,4514 0,6021
rata-rata 0,7929c 0,4557c 0,6007c
SD 0,0084 0,0040 0,0018
Refluks
0,7624 0,4179 0,6814
0,7711 0,4199 0,6855
0,7605 0,4184 0,6808
rata-rata 0,7647d 0,4187d 0,6826d
SD 0,0057 0,0010 0,0026
Keterangan: Kadar senyawa fenolat total dihitung dalam satuan % berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat
diperlihatkan dengan jelas pada Gambar 4.6. Dari gambar itu terlihat bahwa daun
dewa menghasilkan kadar senyawa fenolat paling tinggi bila diekstraksi dengan
cara sokletasi, sedangkan herba meniran menghasilkan kadar senyawa fenolat
paling tinggi bila diekstraksi dengan cara refluks dan daun jambu biji
menghasilkan kadar zat tersari tertinggi bila diekstraksi dengan cara maserasi.
Kelihatan dari hasil penelitian ini bahwa cara ekstraksi mempunyai pengaruh yang
berbeda-beda terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total, tergantung pada
tumbuhan obat yang diekstraksi (Gaedcke, et al., 2003). Cara ekstraksi dingin
(maserasi) cocok untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat dari daun jambu biji,
sedangkan ekstraksi panas (sokletasi dan refluks) lebih cocok untuk daun dewa
dan herba meniran. Hasil penelitian seperti ini telah ditemukan pula sebelumnya
121
oleh Bauer (1998) dalam mengekstrasi senyawa flavonoid dari bunga kamil
dengan cara maserasi dan sokletasi.
Gambar 4.6 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat
total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran Gambar 4.7 memperlihatkan pengaruh cara ekstraksi terhadap aktivitas
antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Kelihatannya
cara ekstraksi banyak pengaruhnya terhadap daya antioksidan ketiga tumbuhan
tersebut. Herba meniran menunjukkan pengaruh yang agak berbeda, karena
ekstraksi tumbuhan obat itu dengan cara sokletasi menyebabkan aktivitas
antioksidannya mendekati daya antioksidan asam galat. Sebaliknya, ekstraksi
daun dewa dan daun jambu biji dengan cara perkolasi menyebabkan aktivitas
antioksidannya bertambah (IC-50 menurun).
-
0.1000
0.2000
0.3000
0.4000
0.5000
0.6000
0.7000
0.8000
0.9000
Maserasi Perkolasi Sokletasi Refluks
Kada
r fen
olat
(%)
Cara Ekstraksi
Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
122
Gambar 4.7 Pengaruh cara ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan dari daun
dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara
ekstraksi terbaik tergantung pada jenis tumbuhan obat yang diekstraksi. Cara
perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang tertinggi untuk herba
meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara sokletasi untuk daun dewa.
Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang optimal, cara sokletasi cocok untuk
daun dewa, cara refluks untuk herba meniran dan cara maserasi untuk daun jambu
biji. Untuk mendapatkan daya antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk
herba meniran, cara perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa.
0
1
2
3
4
Maserasi Perkolasi Sokletasi Refluks
Cara Ekstraksi
IC-5
0 (m
cg/m
L)
Daun Dewa Daun Jambu Biji
Herba Meniran Asam Galat (Pembanding)
123
4.6 Karakterisasi herba meniran dengan kromatografi lapis tipis (KLT)
Sebelum penggunaan KLT untuk karakterisasi herba meniran, campuran
pelarut yang digunakan sebagai eluen dioptimasi terlebih dahulu. Ada dua eluen
yang digunakan: eluen pertama adalah campuran heksana-etil asetat dengan
perbandingan antara 9:1 sampai 5:5 (kepolaran antara 0,53 sampai 2,25). Eluen
kedua adalah campuran petroleum eter-aseton dengan perbandingan antara 9:1
sampai 5:5 (kepolaran antara 0,6 sampai 2,6). Hasil optimasi selengkapnya
disajikan pada Lampiran 15.
Hasil optimasi analisis kromatografi lapis tipis fraksi-fraksi dari ekstrak
herba meniran menunjukkan bahwa eluen campuran petroleum eter – aseton yang
paling baik pemisahannya dan paling banyak noda diperoleh adalah pada
perbandingan 7:3. Pada fraksi petroleum eter ada 9 noda dengan Rf 0,96; 0,88;
0,82; 0,76; 0,72; 0,66; 0,6; 0,54; dan 0,16. Pada fraksi kloroform ada 11 noda
dengan Rf 0,96; 0,86; 0,76; 0,68; 0,64; 0,58; 0,52; 0,36; 0,28; 0,2 dan 0,1. Pada
fraksi metanol ada 4 noda dengan Rf 0,6; 0,42; 0,34; dan 0,24 (Table 4.16 dan
Gambar 4.8 dan 4.9).
Eluen campuran heksan – etil asetat yang paling baik pemisahannya
adalah pada perbandingan 7:3. Pada fraksi petroleum eter ada 7 noda dengan Rf
0,94; 0,8; 0,74; 0,64; 0,5; 0,4; dan 0,32. Pada fraksi kloroform ada 9 noda dengan
Rf 0,9; 0,8; 0,72; 0,6; 0,52; 0,42; 0,3; 0,24; dan 0,1. Pada fraksi metanol ada 2
noda dengan Rf 0,6 dan 0,1 (Table 4.10 dan Gambar 4.8 dan 4.9).
124
Tabel 4.16 Karakter kromatografi lapis tipis fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan berbagai eluen
Jenis Eluen Jenis Fraksi
Fraksi petroleum eter
Fraksi kloroform
Fraksi metanol
Heksan-etil asetat 7:3
(Kepolaran 1,39)
Noda: 7 noda Noda: 9 noda Noda: 2 noda
Rf: 0,94, 0,8, 0,74, 0,64, 0,50, 0,4,
0,32
Rf: 0,90, 0,80, 0,72, 0,60, 0,52, 0,42, 0,30, 0,24,
0,1
Rf: 0,6, 0,1
Petroleum eter-aseton 7:3
(Kepolaran 1,6)
Noda :9 noda Noda : 11 noda Noda : 4 noda Rf : 0,96, 0,88, 0,82 0,76, 0,72, 0,66, 0,60, 0,54,
0,16
Rf : 0,96, 0,86, 0,76, 0,68, 0,64, 0,58, 0,52, 0,36, 0,28, 0,20, 0,1
Rf : 0,6, 0,42, 0,34, 0,24
Catatan: Noda dilihat di bawah sinar tampak, sinar UV 254 nm dan sinar tampak setelah disemprot dengan larutan asam sulfat 5% dalam metanol
Gambar 4.8 Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloroform
(K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan pembanding kuersetin (Q) dengan eluen heksan-etil asetat 7:3
Keterangan: Gambar kiri dilihat dengan sinar tampak, gambar tengah dilihat
dengan sinar UV 254 nm dan gambar kanan dilihat dengan sinar tampak setelah disemprot dengan larutan asam sulfat 5% dalam metanol
125
Gambar 4.9 Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloroform
(K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan pembanding kuersetin (Q) dengan eluen petroleum eter – aseton 7:3
Keterangan : Gambar kiri dilihat dengan sinar tampak, gambar tengah dilihat dengan sinar UV 254 nm dan gambar kanan dilihat dengan sinar tampak setelah disemprot dengan larutan asam sulfat 5% dalam metanol
Berdasarkan hasil analisis KLT di atas dapat disimpulkan bahwa
komponen-komponen kimia dalam fraksi-fraksi herba meniran dapat memisah
dengan baik dengan menggunakan eluen campuran heksan-etil asetat 7:3
(kepolaran 1,39) atau campuran petroleum eter – aseton 7:3 (kepolaran 1,6). Pola
KLT ini dapat dipakai sebagai salah satu parameter untuk menentukan identitas
herba meniran sebagai pelengkap pola kromatografi yang ada dalam Farmakope
Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008). Pola kromatografi lapis tipis herba meniran
tersebut disajikan pada Lampiran 16.
126
4.7 Karakterisasi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan
spektrofotometri fourir-transformer infrared (FTIR)
Spektrum FTIR serbuk kering daun dewa, daun jambu biji dan herba
meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.10, 4.11 dan 4.12. Dari gambar-gambar ini
terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah serbuk kering daun dewa, daun
jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.17).
Tabel 4.17 Analisis spektrum FTIR serbuk daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Puncak/Pita Spektrum
Daun Dewa (cm-1)
Puncak/Pita Spektrum
Daun Jambu Biji
(cm-1)
Puncak/Pita Spektrum
Herba Meniran (cm-1)
Daerah Spektrum
(cm-1)
Jenis Ikatan (Cresswell et al.,
1982)
3433 3414 3414 3750 - 3000 Regang O – H atau N – H
2920 2928 2919 3300 - 2900 Regang C – H pada alkuna, alkena atau
Ar-H
3000 - 2700
Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C tersier dan H
pada aldehida
2400 - 2100 Regang C ≡ C atau C
≡ N
1900 - 1650
Regang C=O (asam, aldehida, keton,
amida, ester, anhidrida)
1637 1624 1636 1675 - 1500
Regang C = C (alifatik dan
aromatik), regang C=N-
1384 1317 1387 1475 - 1300 Lentur C – H pada atom C tersier
1384, 1130, 1104, 1063,
1043 1317, 1056 1387, 1232,
1077 < 1500 Daerah sidik jari
988, 819, 668 781 625 1000 - 650 Lentur C – H pada alkena dan Ar – H
(luar bidang)
127
Gambar 4.10 Spektrum FTIR serbuk daun dewa
Gambar 4.11 Spektrum FTIR serbuk daun jambu biji
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.026.04
26.5
27.0
27.5
28.0
28.5
29.0
29.5
30.0
30.5
31.0
31.5
32.0
32.5
33.0
33.5
34.17
cm-1
%T
3414
2928
1624
13171056
781
128
Gambar 4.12 Spektrum FTIR serbuk herba meniran
Gambar 4.13 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.05.0
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20.3
cm-1
%T
3414
2919
1636
13871232
1077
625
129
Gambar 4.14 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun jambu biji
Gambar 4.15 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter herba meniran
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.00.0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
3031.0
cm-1
%T
34333008
29182850
1744
1541
1514
1463
1378
12611237
11561139
1112
1032
807
720
130
Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa, daun jambu biji dan
herba meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.13, 4.14 dan 4.15. Dari gambar-
gambar ini terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah ekstrak petroleum eter
daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu
(Tabel 4.18).
Tabel 4.18 Analisis spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Puncak/Pita Spektrum
Daun Dewa (cm-1)
Puncak/Pita Spektrum
Daun Jambu Biji
(cm-1)
Puncak/Pita Spektrum
Herba Meniran (cm-1)
Daerah Spektrum
(cm-1)
Jenis Ikatan (Cresswell et al.,
1982)
3436 3573, 3425 3433, 3008 3750 - 3000
Regang O – H atau N – H
2958, 2920 2925 2918 3300 - 2900
Regang C – H pada alkuna, alkena atau
Ar-H
2856 2852 2850 3000 - 2700
Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H
pada atom C tersier dan H pada
aldehida
2380, 2346 2400 - 2100
Regang C ≡ C atau C ≡ N
1734 1744 1900 - 1650
Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida,
ester, anhidrida)
1509 1629 1541, 1514 1675 - 1500
Regang C = C (alifatik dan
aromatik), regang C=N-
1465, 1429, 1366
1437, 1381, 1304 1463, 1378 1475 -
1300 Lentur C – H pada
atom C tersier
1465, 1429, 1366, 1229,
1082, 716, 698
1437, 1381, 1304, 11,83,
1023
1463, 1378, 1261, 1237, 1156,1139, 1112, 1032
< 1500 Daerah sidik jari
716, 698 807, 720 1000 - 650 Lentur C – H pada alkena dan Ar – H
(luar bidang)
131
Spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa, daun jambu biji dan herba
meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.16, 4.17 dan 4.18. Dari gambar-gambar ini
terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah ekstrak kloroform daun dewa, daun
jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.19).
Gambar 4.16 Spektrum FTIR Ekstrak kloroform daun dewa
132
Gambar 4.17 Spektrum FTIR Ekstrak kloroform daun jambu biji
Gambar 4.18 Spektrum FTIR Ekstrak kloroform herba meniran
Tabel 4.19 Analisis spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Puncak/Pita
Spektrum Puncak/Pita
Spektrum Puncak/Pita
Spektrum Daerah
Spektrum Jenis Ikatan
(Cresswell et al.,
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.020.0
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35.0
cm-1
%T
37843660
3572
3409
2926
2854
1617
14571167
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.08.0
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
31.0
cm-1
%T
3435
2919
2851
1740
1716
15131498
14631457
1378
12611237
11581100
1033
720
133
Daun Dewa (cm-1)
Daun Jambu Biji
(cm-1)
Herba Meniran (cm-1)
(cm-1) 1982)
3433 3660, 3572, 3409 3435 3750 -
3000 Regang O – H atau N –
H
2921 2926 2919 3300 - 2900
Regang C – H pada alkuna, alkena atau Ar-
H
2856 2854 2851 3000 - 2700
Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C tersier dan H
pada aldehida
2400 - 2100
Regang C ≡ C atau C ≡ N
1734 1740, 1716 1900 - 1650
Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida,
ester, anhidrida)
1513 1617 1513 1675 - 1500
Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang
C=N-
1458, 1363 1457 1463, 1457, 1378
1475 - 1300
Lentur C – H pada atom C tersier
1458, 1364, 1165, 1105,
925, 696 1457, 1167
1498, 1463, 1457, 1378, 1261, 1237, 1158, 1100,
1033
< 1500 Daerah sidik jari
925, 696 720 1000 - 650 Lentur C – H pada
alkena dan Ar – H (luar bidang)
Spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa, daun jambu biji dan herba
meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.19, 4.20 dan 4.21. Dari gambar-gambar ini
terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah ekstrak metanol daun dewa, daun
jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.20).
134
Gambar 4.19 Spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa
Gambar 4.20 Spektrum FTIR ekstrak metanol daun jambu biji
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.010.0
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
34
36
38
40
42
4445.0
cm-1
%T
3751
3393
2925
1699
1611
1518
1448
1231
1048
579
135
Gambar 4.21 Spektrum FTIR ekstrak metanol herba meniran
Tabel 4.20 Analisis spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Puncak/Pita Spektrum
Daun dewa (cm-1)
Puncak/Pita Spektrum
Daun Jambu Biji
(cm-1)
Puncak/Pita Spektrum
Herba Meniran (cm-1)
Daerah Spektrum
(cm-1)
Jenis Ikatan (Cresswell et al.,
1982)
3437 3393 3427 3750 - 3000
Regang O – H atau N – H
2927 2925 3300 - 2900
Regang C – H pada alkuna, alkena atau Ar-H
3000 - 2700
Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C
tersier dan H pada aldehida
2400 - 2100
Regang C ≡ C atau C ≡ N
1734 1699 1900 - 1650
Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida,
ester, anhidrida)
1631 1611, 1518 1624 1675 - 1500
Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang
C=N-
1384 1448 1384 1475 - 1300
Lentur C – H pada atom C tersier
1384, 1989, 1056, 915, 821, 662
1448, 1231, 1048
1384, 1212, 1051 < 1500 Daerah sidik jari
915, 821, 662 1000 - 650 Lentur C – H pada
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.02.0
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24.0
cm-1
%T
3780
3424
1624
1384
12121051
624
136
alkena dan Ar – H (luar bidang)
Spektrum FTIR residu daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
diperlihatkan dalam Gambar 4.22, 4.23 dan 4.24. Dari gambar-gambar ini terlihat
ciri khas pita-pita serapan infra merah residu daun dewa, daun jambu biji dan
herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.21).
Gambar 4.22 Spektrum FTIR residu daun dewa
137
Gambar 4.23 Spektrum FTIR residu daun jambu biji
Gambar 4.24 Spektrum FTIR residu herba meniran
Tabel 4.21 Analisis spektrum FTIR residu daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Puncak/Pita
Spektrum Daun Dewa
(cm-1)
Puncak/Pita Spektrum
Daun Jambu Biji
(cm-1)
Puncak/Pita Spektrum
Herba Meniran (cm-1)
Daerah Spektrum
(cm-1)
Jenis Ikatan (Cresswell et al., 1982)
3433 3424 3409 3750 - Regang O – H atau N – H
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.020.0
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38.0
cm-1
%T
3421
2928
2346
1623
1443
1318
1237
1052
781605
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.04.0
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20.0
cm-1
%T
3409
2931
1639
13881320
1232
1095
647
138
3000
2931 3300 - 2900
Regang C – H pada alkuna, alkena atau Ar-H
2870 2928 3000 - 2700
Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C
tersier dan H pada aldehida
2346 2400 - 2100
Regang C ≡ C atau C ≡ N
1720 1900 - 1650
Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida,
ester, anhidrida)
1632, 1579 1623 1639 1675 - 1500
Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang
C=N-
1443, 1318 1388, 1320 1475 - 1300
Lentur C – H pada atom C tersier
1150, 1103,694
1443, 1318, 1237, 1052
1388, 1320, 1232, 1095 < 1500 Daerah sidik jari
694 781 647 1000 - 650 Lentur C – H pada alkena dan Ar – H (luar bidang)
Berdasarkan analisis spektrum FTIR di atas dapat dilihat bahwa pola
spektrum serbuk dan ekstrak ketiga simplisia itu menunjukkan pola yang khas.
Oleh karena itu, spektrum FTIR dapat digunakan sebagai pelengkap data
monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope
Herbal Indonesia. Pada monografi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I (Depkes,
2008) belum ada data spektrum FTIR ketiga simplisia atau ekstrak tumbuhan obat
tersebut.
4.8 Karakterisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
Dari beberapa perbandingan fase gerak yang digunakan untuk pemisahan
campuran senyawa pembanding flavonoid diperoleh hasil terbaik dengan
menggunakan fase gerak metanol : asam asetat 1% pada perbandingan 70 : 30 dan
sistem KCKT partisi fase terbalik RP 18 (250 x 4,6 mm, 5 µm), detektor UV pada
139
panjang gelombang 360 nm dan kecepatan alir 1 mL/menit. Dari kromatogram
dapat dilihat bahwa senyawa rutin terlihat pada waktu retensi 3,225 menit
(Gambar 4.25), sedangkan pada kromatogram pembanding kuersetin terdapat dua
puncak yaitu isokuersitrin terlihat pada waktu retensi 4,450 menit dan kuersetin
terlihat pada waktu retensi 5,683 menit (Gambar 4.26). Kromatogram campuran
ketiga senyawa pembanding tersebut menunjukkan tiga puncak pada waktu retensi
3,208, 4,483 dan 5,767 menit (Gambar 4.27). Pada pengukuran KCKT senyawa
pembanding secara berulang diperoleh waktu retensi seperti pada Tabel 4.22.
Gambar 4.25 Kromatogram Rutin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
140
Gambar 4.26 Kromatogram isokuersetin dan quersetin dengan kolom fase
terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
Gambar 4.27 Kromatogram campuran rutin, isokuersitrin dan kuersetin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
141
Tabel 4.22 Waktu retensi senyawa pembanding rutin, isokuersitrin dan kuersetin yang diukur berulang kali
Senyawa Pembanding
Waktu Retensi (menit)
Rata-rata (menit)
Minimum (menit)
Maksimum (menit)
Rutin
3,225 3,250 3,242 3,225 3,233
3,235 3,225 3,250
Isokuersitrin
4,450 4,525 4,508 4,467 4,517
4,493 4,450 4,525
Kuersetin
5,808 5,817 5,800 5,683 5,725
5,767 5,683 5,817
Ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran difraksinasi
terlebih dahulu untuk memisahkan senyawa yang bersifat non polar, semi polar
dan polar. Pelarut yang digunakan pada proses fraksinasi ini adalah heksan (non
polar), etil asetat (semi polar) dan butanol (polar) dan air (paling polar). Dari
fraksinasi ekstrak daun dewa didapat 4 fraksi yaitu fraksi heksan, fraksi etil asetat,
fraksi butanol dan fraksi air. Dari keempat fraksi ini, fraksi heksan tidak
dikarakterisasi dengan KCKT karena dikhawatirkan fraksi heksan yang bersifat
non polar akan terikat kuat dalam kolom. Fraksi-fraksi etil asetat, butanol dan air
dikarakterisasi menggunakan KCKT. Fraksi-fraksi ini mengandung senyawa
fenolat dan senyawa semi polar lainnya. Hasil fraksinasi ini diuapkan dengan
rotary evaporator sehingga diperoleh larutan pekat. Larutan pekat ini dilarutkan
dalam metanol lalu diukur dengan menggunakan KCKT fase terbalik.
142
Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam karakterisasi ekstrak daun
dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan KCKT, uji kesesuaian sistem
perlu dilakukan terlebih dahulu. Untuk uji kesesuaian sistem, faktor-faktor yang
harus diperhatikan adalah jenis kolom yang digunakan, jenis fase gerak yang
cocok dan panjang gelombang detektor. Pada penelitian ini kolom yang
digunakan adalah kolom Chromasil-C18, ukuran 250 mm x 4,6 mm. Pemilihan
kolom ini disesuaikan dengan metode KCKT yang digunakan yaitu KCKT partisi
fase terbalik yang dapat digunakan dengan fase gerak polar dan semi polar. Uji
kesesuaian sistem ini dilakukan dengan menggunakan senyawa pembanding yang
diperkirakan terkandung dalam ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba
meniran yaitu rutin, isokuersitrin dan kuersetin. Dari kromatogram yang
dihasilkan dihitung nilai tinggi plat teoritis (HETP), jumlah plat teoritis (N),
faktor kesimetrisan (TF), resolusi (R), selektivitas (α) dan faktor kapasitas (k’).
Hasil uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisis campuran beberapa flavonoid
disajikan selengkapnya pada Lampiran 17.
Detektor yang digunakan adalah detektor UV pada panjang gelombang
360 nm. Panjang gelombang ini dipilih karena senyawa pembanding yang
digunakan adalah senyawa flavonoid yaitu rutin, isokuersitrin dan kuersetin yang
memiliki banyak gugus kromofor pada strukturnya sehingga bisa terdeteksi
panjang gelombang 360 nm. Selain itu, senyawa flavonoid dapat terdeteksi secara
maksimal pada panjang gelombang tersebut (Pennarietta et al., 2007).
Pada penelitian ini fase gerak yang dicobakan adalah campuran asetonitril
– air (50:50, 60:40, 70:30), campuran metanol – air (50:50, 60:40, 70:30) dan
campuran metanol – asam asetat 1% (50:50, 60:40, 70:30). Dari semua fase gerak
143
yang telah dicobakan diperoleh pemisahan yang terbaik untuk campuran senyawa
pembanding rutin, isokuersitrin dan kuersetin dengan menggunakan fase gerak
campuran metanol – asam asetat 1% dengan perbandingan 70:30 (Gambar 4.27).
Dari hasil uji kesesuaian sistem tersebut dapat disimpulkan bahwa kolom
yang dapat digunakan untuk memisahkan ketiga komponen itu dengan baik adalah
kolom fase terbalik Chromasil-C18 (250 x 4,6 mm, 5 µm) dengan memakai fase
gerak campuran metanol – asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL dan
laju alir 1 mL/menit. Karena itu sistem ini dapat dipakai untuk karakterisasi
ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.
Untuk menentukan senyawa kimia yang terkandung di dalam fraksi etil
asetat, butanol dan air digunakan senyawa pembanding. Senyawa pembanding
yang digunakan adalah rutin dan kuersetin. Kedua senyawa ini digunakan sebagai
pembanding karena ekstrak daun dewa mengandung senyawa flavonoid dengan
komponen utama kuersetin dan rutin (Herwindriandita et al., 2006). Syarat
senyawa pembanding yang baik adalah senyawa harus murni yang menghasilkan
satu puncak. Senyawa pembanding rutin menunjukkan satu puncak yang dominan
pada pada waktu retensi 3,208 (Gambar 4.27) sehingga dapat dipakai sebagai
pembanding. Senyawa pembanding kuersetin menunjukkan dua puncak yang
dominan pada waktu retensi 4,483 menit dan 5,767 menit. Waktu retensi 4,483
menit menunjukkan senyawa isokuersitrin dan waktu retensi 5,767 menit
menunjukkan senyawa kuersetin. Senyawa pembanding kuersetin yang diperoleh
dari Laboratorium Biota Sumatra Universitas Andalas berupa campuran
isokuersitrin dan kuersetin. Senyawa isokuersitrin memiliki satu gugus gula pada
strukturnya sedangkan senyawa kuersetin tidak memiliki gugus gula (aglikon).
144
Oleh karena itu senyawa isokuersitrin lebih polar dibandingkan dengan kuersetin
sehingga isokuersitrin lebih dulu keluar pada kromatogram (Gambar 4.26 dan
4.27).
Dari kromatogram hasil pengukuran ekstrak daun dewa (Gambar 4.28)
dapat dilihat bahwa pada fraksi etil asetat, butanol dan air dapat terdeteksi
beberapa senyawa. Karakteristik kromatogram itu diringkaskan dalam Tabel 4.23.
Pada kromatogram fraksi etil asetat (Gambar 4.28A) terdeteksi lima senyawa
dengan waktu retensi 3,358, 4,833, 6,350, 11,867 dan 12,317 menit. Pada
kromatogram fraksi butanol (Gambar 4.28B) terdeteksi tujuh senyawa dengan
waktu retensi 2,742, 2,942, 3,275, 3,625, 4,592, 5,000 dan 6,150 menit.
Sedangkan pada kromatogram fraksi air (Gambar 4.28C) terdeteksi enam senyawa
dengan waktu retensi 2,717, 2,875, 3,267, 7,500, 8,667 dan 13,150 menit.
Tabel 4.23 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi
air dari ekstrak daun dewa
Fraksi Jumlah Puncak
Puncak 1
(menit)
Puncak 2
(menit)
Puncak 3
(menit)
Puncak 4
(menit)
Puncak 5
(menit)
Puncak 6
(menit)
Puncak 7
(menit) Etil Asetat 5 3,358 4,833 6,350 11,867 12,317
Butanol 7 2,742 2,942 3,275 3,625 4,592 5,000 6,150 Air 6 2,717 2,875 3,267 5,883 8,667 13,150
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ekstrak daun dewa memiliki
kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari puncak rutin
yang terdapat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 3,358 menit), fraksi butanol
(waktu rentensi 3,275 menit) dan fraksi air (waktu retensi 3,267 menit). Puncak
isokuersetin terlihat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 4,833 menit) dan pada
fraksi butanol (waktu retensi 4,582 menit). Pada fraksi air dari ekstrak daun dewa
145
tidak terlihat puncak isokuersetin. Namun kedua puncak isokuersetin ini pada
fraksi etil asetat dan fraksi butanol dari ekstrak daun dewa tidak dominan. Puncak
kuersetin tidak terlihat pada fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari
ekstrak daun dewa. Dengan demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk
identifikasi dan pemastian mutu ekstrak daun dewa.
146
A
B
C
Gambar 4.28 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak daun dewa dengn kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
Dari kromatogram hasil pengukuran ekstrak daun jambu biji (Gambar
4.29) dapat dilihat bahwa pada fraksi etil asetat, butanol dan air dapat terdeteksi
beberapa senyawa. Karakteristik kromatogram itu diringkaskan dalam Tabel 4.25.
Pada kromatogram fraksi etil asetat (Gambar 4.29A) terdeteksi tiga senyawa
dengan waktu retensi 2,792, 3,433 dan 7,725 menit. Pada kromatogram fraksi
butanol (Gambar 4.29B) terdeteksi empat senyawa dengan waktu retensi 2,759,
3,242, 4,175 dan 5,208 menit. Sedangkan pada kromatogram fraksi air (Gambar
147
4.29C) terdeteksi enam senyawa dengan waktu retensi 2,042, 2,692, 3,200, 3,758,
4,200 dan 6,317 menit.
A
B
C
Gambar 4.29 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak daun jambu biji dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
Tabel 4.24 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun jambu biji
Fraksi Jumlah
Puncak Puncak 1 (menit)
Puncak 2 (menit)
Puncak 3 (menit)
Puncak 4 (menit)
Puncak 4 (menit)
Puncak 6 (menit)
Etil Asetat 3 2,792 3,433 7,725
Butanol 4 2,750 3,242 4,175 5,208 Air 6 2,042 2,692 3,200 3,758 4,200 6,317
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ekstrak daun jambu biji
memiliki kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari
148
puncak rutin yang terdapat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 3,433 menit),
fraksi butanol (waktu retensi 3,242 menit) dan fraksi air (waktu retensi 3,200
menit). Puncak isokuersitrin dan puncak kuersetin tidak terlihat dengan nyata pada
fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun jambu biji. Dengan
demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu
ekstrak daun jambu biji.
Dari kromatogram hasil pengukuran ekstrak herba meniran (Gambar 4.30)
dapat dilihat bahwa pada fraksi etil asetat, butanol dan air dapat terdeteksi
beberapa senyawa. Karakteristik kromatogram itu diringkaskan dalam Tabel 4.25.
Pada kromatogram fraksi etil asetat (Gambar 4.30A) terdeteksi dua senyawa
dengan waktu retensi 3,167 menit dan 3,817 menit. Pada kromatogram fraksi
butanol (Gambar 4.30B) terdeteksi lima senyawa dengan waktu retensi 1,992
menit, 3,183 menit, 3,625 menit, 4,158 menit dan 9,142 menit. Sedangkan pada
kromatogram fraksi air (Gambar 4.30C) terdeteksi enam senyawa dengan waktu
retensi 2,442 menit, 2,675 menit, 3,192 menit, 7,500 menit, 7,842 menit dan 9,950
menit.
Tabel 4.25 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi
air dari ekstrak herba meniran
Fraksi Jumlah Puncak
Puncak 1 (menit)
Puncak 2 (menit)
Puncak 3 (menit)
Puncak 4 (menit)
Puncak 4 (menit)
Puncak 6 (menit)
Etil Asetat 2 3,167 3,817
Butanol 5 1,992 3,183 3,625 4,158 9,142 Air 6 2,442 2,675 3,192 7,500 7,842 9,950
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ekstrak herba meniran
memiliki kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari
puncak rutin yang terdapat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 3,167 menit),
149
fraksi butanol (waktu retensi 3,183 menit) dan fraksi air (waktu retensi 3,192
menit). Puncak isokuersitrin dan puncak kuersetin tidak terlihat dengan nyata pada
fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak herba meniran. Dengan
demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu
ekstrak herba meniran.
150
A
B
C
Gambar 4.30 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak herba meniran dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
4.9 Isolasi senyawa antioksidan dari daun dewa
Serbuk kering daun dewa (100 g) telah diekstraksi dengan cara refluks
secara berturut-turut dengan n-heksana, kloroform dan metanol. Setelah
151
pelarutnya diuapkan dengan penguap putar diperoleh ekstrak kental n-heksana
sebanyak 17,1 g (17,1%), ekstrak kental kloroform 13,2 g (13,2%) dan ekstrak
kental metanol 11,3 g (11,3%). Walaupun persentase ekstrak n-heksana paling
tinggi di antara ketiga ekstrak tersebut, namun aktivitas antioksidannya belum
tentu lebih tinggi. Karena itu, pengujian aktivitas antioksidan ketiga ekstrak ini
perlu dilakukan.
Hasil pengujian aktivitas antioksidan ketiga ekstrak tersebut menunjukkan
bahwa ekstrak heksana menunjukkan persen inhibisi 5,75%, ekstrak kloroform
9,28% dan ekstrak metanol 87,32% pada konsentrasi 0,4 mg/mL. Sedangkan
senyawa pembanding kuersetin menunjukkan persen inhibisi 90,23% pada
konsentrasi 0,1 mg/mL. Hasil pengujian ini memperlihatkan bahwa ekstrak
metanol mempunyai aktivitas antioksidan dan paling tinggi (Tabel 4.26, Gambar
4.31). Oleh karena itu, ekstrak metanol daun dewa diidentifikasi dan diisolasi
lebih lanjut dengan kromatografi kertas.
152
Tabel 4.26 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa (0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
Jenis Ekstrak Ulangan % Inhibisi
Rata-rata Simpangan
Baku Kesalahan
baku
Selang Kepercayaan 95%
Batas Bawah
Batas Atas
Heksana 3 5,75a 0,21 0,12 5,23 6,26 Kloroform 3 9,28b 0,60 0,35 7,79 10,77 Metanol 3 87,32c 2,11 1,22 82,09 92,55 Kuersetin 3 90,23d 0,27 0,15 89,56 90,89 Total 12 48,14 42,48 12,26 21,15 75,13 Catatan: Nilai % inhibisi rata-rata yang mempunyai superkrip yang berbeda
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada P < 0,05
Gambar 4.31 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa (0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
Pengujian ekstrak metanol daun dewa dengan kromatografi kertas dua arah
menunjukkan tiga bercak yang berwarna kuning redup di bawah sinar UV 366 nm
dan warna kuningnya lebih nyata bila diberi uap amoniak. Hasil pengujian ini
153
menunjukkan bahwa ketiga bercak tersebut adalah senyawa flavonoid golongan
flavonol yang mengandung 3-OH bebas dengan atau tanpa 5-OH bebas
(Markham, 1988). Berdasarkan pola sebaran bercak pada kertas kromatografi
tersebut dapat ditafsirkan senyawa flavonoid yang mungkin ada dalam ekstrak
metanol adalah aglikon (flavon, flavonol, biflavon, khalkon and auron) dan
glikosida (flavonol 3-O-diglikosida, flavonol 3-O-monoglikosida), katekin atau
epikatekin (Markham, 1988). Hasil pengujian ini membuktikan bahwa aktivitas
antioksidan ekstrak metanol daun dewa disebabkan oleh adanya senyawa
flavonoid. Selanjut perlu dibuktikan senyawa flavonoid apa yang mempunyai
aktivitas antioksidan paling tinggi dalam ekstrak metanol daun dewa tersebut.
Hasil pemisahan senyawa flavonoid dalam ekstrak metanol daun dewa
dengan kromatografi kertas preparatif memakai eluen asam asetat 15%
menunjukkan dua pita berwarna kuning redup di bawah sinar UV dan berwarna
kuning bila ditambah amoniak. Kedua pita itu adalah senyawa flavonoid yang
perlu diuji aktivitas antioksidannya. Hasil pengujian aktivitas antioksidan isolat
kedua pita itu menunjukkan bahwa isolat pita A (Rf = 0,14) memberikan persen
inhibisi DPPH sebesar 89,0% dan isolat pita B (0,6) sebesar 8,08%. Dengan
demikian isolat pita A mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada
isolat pita B (Tabel 4.27, Gambar 4.32). Karena itu, isolat pita A selanjutnya diuji
kemurnian dan identitasnya.
154
Tabel 4.27 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
Jenis Isolat Ulangan % Inhibisi
Rata-rata Simpangan
Baku Kesalahan
Baku
Selang Kepercayaan
95% Batas
Bawah Batas Atas
Isolat A 3 89,02a 0,60 0,35 6,59 9,57 Isolat B 3 8,08b 0,46 0,26 87,88 90,16 Kuersetin 3 90,23c 0,27 0,15 89,56 90,89 Total 9 62,44 40,78 13,59 31,09 93,79 Catatan: Nilai rata-rata yang mempunyai superkrip yang berbeda menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan pada P < 0,05
Gambar 4.32 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
Hasil pengujian kemurnian isolat A dengan menggunakan kromatografi
kertas memakai eluen asam asetat 25% menunjukkan bahwa isolat A belum
murni, karena ada dua bercak dengan Rf 0,16 dan 0,18. Oleh karena itu isolat A
diisolasi lebih lanjut dengan kromatografi kertas preparatif memakai eluen asam
asetat 25% dan diuji aktivitas antioksidannya. Hasilnya menunjukkan bahwa
155
isolat A1 (Rf 0,16) memberikan persen inhibisi DPPH sebesar 60,1% dan isolat
A2 (Rf 0,18) sebesar 91,0%. Dengan demikian isolat A2 mempunyai aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi daripada isolat A1 (Tabel 4.28, Gambar 4.33).
Karena itu, isolat A2 diidentifikasi lebih lanjut baik secara kimia maupun secara
spektrofotometri.
Tabel 4.28 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak daun
dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
Jenis Isolat Ulangan % Inhibisi
rata-rata Simpangan
Baku Kesalahan
Baku
Selang Kepercayaan 95%
Batas Bawah
Batas Atas
Isolat A1 3 59,78a 1,21 0,70 56,78 62,78 Isolat A2 3 90,61b 0,46 0,26 89,47 91,75 Kuersetin 3 90,21b 0,34 0,20 89,37 91,06 Total 9 80,20 15,33 5,11 68,41 91,99 Catatan: Nilai rata-rata yang mempunyai superkrip yang berbeda menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan pada P < 0,05
Gambar 4.33 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
156
Isolat A2 berupa serbuk warna kuning muda yang menghasilkan reaksi
positif dengan larutan besi(III) klorida dan uji Shinoda (Mg-HCl). Uji kimia ini
menunjukkan adanya senyawa polifenol dan kerangka flavonoid. Spektrum UV
isolat A2 memperlihat pita I pada 368,20 nm dan pita II pada 255,60 nm (Gambar
4.34). Pita I terletak pada rentang 350-385 nm dan pita II terletak pada rentang
250-280 nm yang membuktikan adanya senyawa flavonol dengan 3-OH bebas
(Markham, 1988).
Gambar 4.34 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol
Pada penambahan pereaksi diagnostik natrium metoksida ke dalam larutan
isolat A2 dalam metanol diperoleh spektrum seperti Gambar 4.35. Pada gambar
ini terlihat pergeseran batokromik pada pita I sebesar 48,6 nm (dari 368,20 nm
menjadi 416,80 nm) dengan adanya penurunan intensitas (dari absorban 0,525
menjadi 0,305). Setelah lima menit spektrumnya diukur kembali dan ternyata
intensitasnya menurun lebih lanjut (dari absorban 0,305 menjadi 0,250) (Gambar
4.36). Penurun intensitas spektrum setelah waktu tertentu merupakan petunjuk
157
adanya gugus yang peka terhadap basa. Dengan demikian senyawa flavonoid
tersebut mempunyai gugus 3,4’-OH, o-diOH pada cincin A; pada cincin B: 3’-OH
yang berdampingan (Markham, 1988)
Gambar 4.35 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam
metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis putus-putus)
Gambar 4.36 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam
metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis titik-titik) dan setelah 5 menit (garis putus-putus)
Pada penambahan natrium asetat ke dalam larutan isolat A2 dalam
metanol diperoleh spektrum UV seperti Gambar 4.37 dengan geseran batokromik
sebesar 12,6 nm pada pita II (dari 255,60 nm menjadi 268,20 nm). Penambahan
158
natrium asetat ke dalam larutan isolat A2 bermanfaat untuk mendeteksi gugus
spesifik 7-hidroksil bebas (atau yang setara). Natrium asetat akan menyebabkan
pengionan pada gugus hidroksil flavonoid yang paling asam (Markham, 1988).
Ionisasi gugus 7-hidroksil sebagian besar mempengaruhi pita II, sedangkan gugus
3- dan/atau 4’-hidroksil sebagian besar mempengaruhi pita I. Dengan demikian
isolat A2 adalah senyawa flavonol yang mempunyai gugus 7-hidroksil.
Gambar 4.37 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium asetat (garis tipis)
Pada penambahan asam borat ke dalam larutan flavonoid dalam metanol
yang telah diberi natrium asetat, asam borat akan membentuk kompleks dengan
gugus o-dihidroksil dan digunakan untuk mendeteksi gugus tersebut (Markham,
1988). Spektrum UV larutan isolat A2 dalam metanol yang telah ditambah dengan
natrium asetat dan asam borat (Gambar 4.38) memperlihatkan adanya geseran
batokromik sebesar 11,4 nm (< 12 nm) nisbi terhadap spektrum dalam larutan
metanol pada pita I (dari 368,20 nm menjadi 379,60 nm). Hal ini menunjukkan
adanya gugus o-dihidroksil pada cincin A (pada posisi 6,7 atau 7,8).
159
Gambar 4.38 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal), setelah penambahan natrium asetat (garis tipis) dan setelah penambahan asam borat (garis putus-putus)
Penambahan pereaksi aluminium klorida ke dalam larutan flavonoid dalam
metanol akan membentuk kompleks tahan asam antara gugus hidroksil dan keto
yang bertetangga dan membentuk kompleks tidak tahan asam dengan gugus o-
dihidroksil. Karena itu pereaksi ini dapat digunakan untuk mendeteksi kedua
gugus tersebut (Markham, 1988). Pada penambahan pereaksi aluminium klorida
ke dalam larutan isolat A2 dalam metanol diperoleh spektrum UV seperti Gambar
4.39. Pada gambar itu terlihat adanya geseran batokromik sebesar 64,40 nm (dari
368,20 nm menjadi 432,60 nm) pada pita I. Penambahan asam klorida ke dalam
larutan isolat A2 yang telah diberi aluminium klorida menyebabkan terjadinya
pergeseran batokromik sebesar 60 nm (dari 368,2 nm menjadi 428,20 nm) pada
pita I (Gambar 4.40). Dengan demikian kompleks antara flavonoid dan aluminium
klorida tersebut tahan terhadap asam. Hal ini menunjukkan bahwa isolat A2
adalah senyawa flavon atau flavonol yang mempunyai gugus 3-OH (dengan atau
tanpa 5-OH).
160
Gambar 4.39 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal) dan setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis)
Gambar 4.40 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal), setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis) dan setelah penambahan asam klorida (garis putus-putus)
Berdasarkan penafsiran dari spektrum UV isolat A2 dalam metanol dan
setelah ditambah dengan pereaksi-pereaksi geser dapat disimpulkan bahwa isolat
A2 tersebut diduga senyawa flavonoid dengan struktur seperti Gambar 4.41.
Kepastian struktur flavonoid tersebut diuji lebih lanjut dengan spektrofotometer
inframerah, spektroskopi massa, spektroskopi 1H-NMR dan 13C-NMR.
161
Gambar 4.41 Struktur 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol (kuersetin)
Pita absorpsi inframerah pada bilangan gelombang 3292, 1614, 1517 dan
1165 cm-1 (Lampiran 18) menunjukkan adanya gugus-gugus hiroksil, karbonil,
cincin aromatik dan gugus eter pada isolat A2 (William & Fleming, 1980). Data
spektrum absorpsi inframerah isolat A2 ini memperkuat bukti bahwa isolat A2
dari ekstrak metanol daun dewa adalah senyawa flavonol.
Analisis kemurnian isolat A2 dengan LC-MS menunjukkan bahwa isolat
A2 sudah murni dengan satu puncak pada waktu retensi 4,0 menit (Lampiran 19).
Spektrum massa isolat A2 dari ekstrak metanol daun dewa dengan LC-MS ESI
ion positif menunjukkan ion puncak [M+H]+ pada 303,11 m/z (Lampiran 20).
Angka ini menunjukkan bahwa isolat A2 mempunyai bobot molekul 302,11
karena ion molekul menangkap satu proton (Kazakevich & LoBrutto, 2007).
Spektrum 1H NMR (500 MHz, DMSO-d6) isolat A2 (Lampiran 21)
menunjukkan signal pada 6,18 ppm (1 H, d) dan 6,40 ppm (1 H, d) yang
disebabkan oleh proton berpasangan meta pada cincin-A (H-6 dan H-8) inti
flavonoid. Sedangkan signal pada 6,88 ppm (1 H, d), 7,67 ppm (1 H, d) dan 7,53
ppm (1 H, q) disebabkan oleh H-5’, H-2’ dan H-6’ pada cincin B inti flavonoid.
Sinyal pada 12,49 ppm (1 H, s) disebabkan oleh ikatan hidrogen yang kuat pada
posisi 5-OH dan sinyal pada 9,35 ppm (2 H, d), 9,60 ppm (1 H, s) dan 10,79 ppm
O
OOH
OH
OH
OHHO
1
2
34
105
6
78
9 1'
2'
3'
4'5'
6'
162
(1 H, s) di-sebabkan oleh gugus OH lainnya. Spektrum 1H NMR ini menunjukkan
adanya inti flavonoid (Markham, 1988).
Spektrum 13C NMR (500 MHz, DMSO-d6) isolat A2 dari ekstrak metanol
daun dewa menunjukkan adanya 15 atom karbon yang disebabkan oleh inti
flavonoid (Lampiran 22). Signal pada 175,8552 ppm disebabkan oleh gugus
karbonil pada C-4 inti flavonoid. Signal 163,8942 ppm disebabkan oleh C-7,
signal 160,7370 ppm oleh C-5, signal 156,1491 ppm oleh C-9, signal 147,7172
ppm oleh C-4’, signal 146,8015 ppm oleh C-2, signal 145,0751 ppm oleh C-3’,
signal 135,7561 ppm oleh C-3, signal 121,9637 oleh C-1’, signal 119,9893 ppm
oleh C-6’, signal 115,6207 ppm oleh C-5’, signal 115,0675 ppm oleh C-2’, signal
103,0302 ppm oleh C-10, signal 98,1942 ppm oleh C-6 dan signal 93,3678 ppm
oleh C-8 (Markham, 1988).
163
Tabel 4.29 Data spektrum 1H NMR dan 13C NMR untuk isolat A2 dari ekstrak daun dewa dan kuersetin (500 MHz, DMSO-d6)
Posisi Data 1H Isolat A2
Data 1H Kuersetin (Adeyemi et al. 2010)
Data 13C Isolat A2
Data 13C Kuersetin (Adeyemi et al. 2010)
Data 13C Kuersetin
(Markham, 1988)
2 3 4 5 6 7 8 9 10 1’ 2’ 3’ 4’ 5’ 6’
5-OH OH lain
6,18 (d)
6,40 (d)
7,67 (d)
6,88 (d) 7,53 (q) 12,49 (s)
9,35 – 10,79
6,18 (d)
6,40 (d)
7,68 (d)
6,89 (d) 7,55 (q) 12,48 (s) 9,4 – 11,2
146,8015 135,7561 175,8552 160,7370 98,1942 163,8942 93,3678 156,1491 103,0302 121,9637 115,0675 145,0751 147,7172 115,6207 119,9893
147,5 136,3 176,5 161,4 98,9 164,5 94,0 156,8 103,7 122,6 115,8 145,7 148,4 116,3 120,7
146,8 135,6 175,9 160,7 98,2 163,9 93,5 156,2 103,1 121,7 115,3 145,0 147,6 115,6 120,0
Data spektrum NMR isolat A2 (Tabel 4.29) sangat mirip dengan data
spektrum 3’,4’,5,7-tetrahidroksi flavonol (kuersetin) yang dilaporkan dalam
literatur (Markham, 1988; Adeyemi et al., 2010). Berdasarkan data spektrum LC-
MS ESI ion positif, NMR, IR, UV dan perbandingan dengan data literatur dapat
disimpulkan bahwa flavonoid antioksidan yang terkandung dalam daun dewa
adalah 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol (kuersetin) dengan struktur seperti pada
Gambar 4.41.
164
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa:
10. Untuk analisis simplisia obat bahan alam yang mengandung senyawa fenolat,
faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah cara pengeringan sampel, jenis
pelarut yang dipakai untuk ekstraksi, perbandingan campuran pelarut dengan
air dan cara ekstraksi. Faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang
berbeda-beda tergantung pada jenis tumbuhan obat bahan alam yang
dianalisis.
a. Cara pengeringan daun dewa yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari
tertinggi (208,5 ± 0,6 mg/g) adalah dengan kering oven 40 oC, untuk
mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,4039 ± 0,0074%) dan
daya antioksidan tertinggi (IC50 3,042 µg/mL) adalah dengan kering
angin. Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk
mendapatkan kadar sari tertinggi (165,4 ± 0,4 mg/g) adalah dengan
kering oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi
(0,4550 ± 0,0045%) adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk
mendapat daya antioksidan tertinggi (IC50 2,825 µg/mL ) adalah dengan
kering angin. Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk
mendapatkan kadar sari (202,1 ± 0,1 mg/g), kadar senyawa fenolat
(0,1007 ± 0,0018% ) dan daya antioksidan (IC50 1,395 µg/mL) yang
tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC.
165
b. Jenis pelarut ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari,
kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah
metanol. Ekstraksi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
dengan pelarut metanol menghasilkan kadar zat tersari sebesar 239,4 ±
0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2 mg/g, masing-masing, dan
kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ± 0,0042%, 0,4949 ±
0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing. Sedangkan daya
antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh
jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya antioksidan daun
dewa yang tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol, daun jambu biji
dengan pelarut etanol dan herba meniran dengan pelarut metanol.
c. Perbandingan pelarut metanol-air yang terbaik untuk mendapatkan kadar
zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum
dari simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran adalah
perbandingan metanol-air antara 70:30 dan 50:50. Kedua perbandingan
metanol-air ini tidak berbeda nyata unjuk kerjanya dalam memperoleh
kadar senyawa fenolat total dari ketiga tumbuhan obat yang diuji (p >
0,05).
d. Cara perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang tertinggi untuk
herba meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara sokletasi
untuk daun dewa. Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang optimal,
cara sokletasi cocok untuk daun dewa, cara refluks untuk herba meniran
dan cara maserasi untuk daun jambu biji. Untuk mendapatkan daya
166
antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk herba meniran, cara
perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa.
11. Untuk identifikasi simplisia tumbuhan obat yang mengandung senyawa
fenolat dapat digunakan pola-pola yang ditunjukkan oleh kromatografi lapis
tipis (KLT), spektrofotometri inframerah (IR) dan kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT) dari simplisia dan fraksi-fraksinya.
a. Pola kromatografi lapis tipis dari fraksi-fraksi herba meniran dapat
memisah dengan baik dengan menggunakan eluen campuran heksan-etil
asetat 7:3 (kepolaran 1,39) atau campuran petroleum eter – aseton 7:3
(kepolaran 1,6). Pola KLT ini dapat dipakai sebagai salah satu parameter
untuk menentukan identitas herba meniran sebagai pelengkap pola
kromatografi yang ada dalam Farmakope Herbal Indonesia.
b. Pola spektrum FTIR serbuk dan ekstrak simplisia daun dewa, daun jambu
biji dan herba meniran menunjukkan pola yang khas. Oleh karena itu,
spektrum FTIR dapat digunakan sebagai pelengkap data monografi daun
dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal
Indonesia.
c. Pola kromatogram kromatografi cair kinerja tinggi fraksi-fraksi etil
asetat, butanol dan air dari ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba
meniran menunjukkan adanya kandungan kimia flavonoid, terutama
rutin, isokuersitrin dan kuersetin. Hal ini ditunjukkan oleh puncak-
puncak ketiga senyawa tersebut yang terdapat pada kromatogram fraksi
etil asetat, butanol dan air sehingga dapat dijadikan sebagai senyawa
167
identitas untuk pemastian mutu simplisia dan ekstrak ketiga simplisia
tersebut.
12. Berdasarkan proses isolasi yang dituntun dengan pengujian aktivitas
antioksidan, analisis data spektrum UV dengan pereaksi geser dan analisis
data spektrum LC-MS ESI ion positif, NMR, IR, serta perbandingan dengan
data literatur dapat disimpulkan bahwa flavonoid yang mempunyai aktivitas
antioksidan tertinggi yang terkandung dalam daun dewa adalah 3’,4’,5,7-
tetrahidroksi flavonol (kuersetin).
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap beberapa
tumbuhan obat dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:
7. Dalam penggunaan cara-cara analisis untuk pengawasan mutu obat bahan
alam sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia, pengeringan simplisia
daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran hendaklah dilakukan pada
suhu tidak lebih dari 40 oC. Ekstraksi daun dewa hendaklah dilakukan
dengan cara sokletasi memakai pelarut metanol, ekstraksi daun jambu biji
dengan cara maserasi memakai pelarut campuran metanol – air (50:50)
dan ekstraksi herba meniran dengan cara refluks memakai pelarut metanol.
8. Monografi herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia hendaklah
dilengkapi dengan pola KLT fraksi-fraksinya dengan memakai eluen
campuran heksan-etil asetat 7:3 atau petroleum eter-aseton 7:3.
168
9. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam
Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data spektrum
FTIR dari serbuk dan ekstrak ketiga simplisia tersebut.
10. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam
Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data profil
KCKT fraksi-fraksinya dengan menggunakan rutin, kuersetin dan
isokuersetin sebagai senyawa identitas.
11. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa fenolat
yang aktif sebagai antioksidan dalam daun jambu biji dan herba meniran
sehingga dapat dipakai sebagai senyawa identitas dalam pengawasan mutu
simplisia, ekstrak dan sediaan fitofarmaka yang mengandung kedua
tumbuhan obat tersebut.
12. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa identitas
yang aktif sebagai antimikroba dan antikanker untuk pengawasan mutu
sediaan fitofarmaka yang mengandung simplisia atau ekstrak daun dewa,
daun jambu biji dan herba meniran.
169
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. 2005. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) terhadap kadar kolesterol total, kolesterol HDL dan kolesterol LDL dalam serum tikus jantan hiperkolesterolemik. Tesis. Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Abu-Amsha, R., K.D. Croft, I.B. Puddey, J.M. Proudfoot and L.J. Beilin. 1996. Phenolic content of various beverages determines the extent of inhibition of human serum and low density lipoprotein oxidation in vivo identification and mechanism of action of some cinnamic acid derivatives from red wine. Clinical Science 91: 449-458.
Adlercreutz, H., H. Markkanen and S. Watanabe. 1993. Plasma concentration of phytoestrogens in Japanese men and women consuming a traditional Japanese diet. Lancet 342: 1209-1210.
Akasbi, M., D.W. Shoeman and A.S. Csallany. 1993. High performance liquid chromatography of selected phenolic compounds in olive oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 70: 367–370.
Amiot, M.J., M. Tachimi, S.Y. Aubert and W. Oleszek. 1995. Influence of Cultivar, Maturity Stage, and Storage Conditions on Phenolic Composition and Enzymatic Browning of Pear Fruits, J. Agric. Food Chem 43: 1132-1137.
Anonim, 2011. Meniran (Phyllanthus niruri), Plantamor.com situs dunia tumbuhan. http://www.plantamor.com/index.php?plant=990 (diakses 11 Agustus 2011)
Arima, H. and G. Danno. 2002. Isolation of Antimicrobial Compound from Guava (Psidium guajava L.) and Their Structural Elucidation, Bioscience, Biotechnology and Biochemistry 66(8): 1727-1730.
Arin, M.J., M.T. Diez and J.A. Resines. 1995. High-performance liquid chromatographic determination of phenolic acids isolated from plants. J. Liq. Chromatogr. 18(20): 4183-4192.
Astari, E.Y. 2008. Pengaruh pemberian decocta daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) DC.] terhadap penurunan kadar asam urat serum pada mencit putih jantan galur Balb-C hiperurisemia. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Ayuningsih, W. 2006. Telaah kandungan kimia umbi daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC.). Skripsi Sekolah Farmasi ITB. http://www.bahan-alam.fa.itb.ac.id (diakses 5 Mei 2009).
170
Azar, M., E. Verette and S. Brun. 1987. Identification of Some Phenolic Compounds in Bilberry Juice Viccinium myrtillus. J. Food Sci. 52: 1255-1257
Bagalkotkar, G., S.R. Sagineedu, M.S. Saad and J. Stanslas. 2006. Phytochemical from Phyllanthus niruri Linn. and Their Pharmacological Properties: A Review, J. Pharm Pharmacol. 58(12): 1559-1570.
Bauer, R. 1998. Quality criteria and standardization of phytopharmaceuticals: can acceptable drug standards be achieved? Drug Information Journal 32:101-110.
Bilyk, A. and G.M. Sapers. 1986. Varietal differences in the quercetin, kaempferol, and myricetin contents of highbush blueberry, cranberry, and thornless blackberry, J. Agric. Food Chem. 34: 585-588.
Block, G. and L. Langseth. 1994. Antioxidant vitamins and disease prevention. Food Technology July: 80-84.
Block, G. 1992. A role for antioxidants in reducing cancer risk. Nutition Review 50: 207-213.
Bors, W., W. Heller, C. Michael and M. Saran. 1990. Flavonoids as antioxidants: determination of radical-scavenging efficiencies. Methods in Enzymology 186: 343-355.
Bosch, C.H. 2004. Gynura pseudochina (L.) DC. In: Grubben, G.J.H. & Denton, O.A. (Editors). PROTA 2: Vetertables/Legumes. [CD-Rom]. PROTA, Wageningen, Netherlands.
BPOM RI. 2004a. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.4.2411 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia.
BPOM RI. 2004b. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Volume 1, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
BPOM RI. 2006. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Volume 2, Badang Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
Bronner,W.E. and G.R. Beecher. 1995. Extraction and measurement of prominent flavonoids in orange and grapefruit juice concentrates. J. Chromatogr. A 705(2): 247.256.
Cao, G., E. Sofic and R.L. Prior. 1997. Antioxidant and pro-oxidant hehavior of flavonoids: structure-activity relationships. Free Radical Biology and Medicine 22(5): 749-760.
171
Careri, M., M. Mangia and M. Musci. 1998 Overview of the applications of liquid chromatography-mass spectrometry interfacing systems in food analysis: Naturally occurring substances in food. J Chromatogr A. 794: 263–297.
Carbonneau, M.A., C.L. Lager, L. Monnier, C. Bonnet, F. Michel, G. Fouret, F. Deieu and B. Descomps. 1997. Supplementation with wine phenolic compounds increases the antioxidant capacity of plasma and vitamin E of low-density lipoprotein without changing the lipoprotein Cu2+ oxidazability: possible explanation by phenolic location. European Journal of Clinical Nutrition 51: 682-690.
Carle, R., I. Fleischhauer and D. Fehr. 1987. Judgement of quality of chamomile oil, Dtsch. Apoth. Ztg. 127(47):2451-2457.
Chaudhary, M.I., H. Qing, P.G. Xiao and Y.Y. Cheng. 2007. Clematis huchouensis Tamura: A tradisonal Chinese herbal medicine and its quality control using a high performance liquid chromatography technique, Biol. Pharm. Bull. 30(1): 165-168.
Chen, J., H. Zhao, X. Wang, F.S. Lee, H. Yang and L. Zheng. 2008. Analysis of major alkaloid in rhizoma coptidis by capillary electrophoresis-electrospray-time of flight mass spectrometry with different background elektrolytes, Electrophoresis 29(10): 2135-2147.
Chen, Z.Y., P.T. Chan, K.Y. Ho, K.P. Fung and J. Wang. 1996. Antioxidant activity of natural flavonoids is governed by number and location of their aromatic hydroxyl groups. Chemistry and Physics of Lipids 76: 157-163.
Cheng, Z.H., G.X. Chou and Z.T. Wang. 2005. A study on quality standard for Herba Siegesbeckidae. Zhongguo Zhong Yao Za Zhi 30(4): 257-259.
Chiavari, G., V. Concialini and G.C. Galletti. 1988. Electrochemical detection in the high-performance liquid chromatographic analysis of plant phenolics. Analyst. 113: 91–94.
Cook, N.C. and S. Samman. 1996. Flavonoids, chemistry, metabolism, cardioprotective effects amd dietary sources. Journal of Nutritional Biochemistry 7: 66-76.
Cova, D., L. De Angelis, F. Giavarini, G. Palladini and R. Parego. 1992. Pharmacokinetics and metabolism of oral diosmin in healthy volunteers. International Journal of Clinical Pharmacology Therapeutics and Toxicology 30: 279-286.
Cresswell, J.C., O.A. Runquist and M.M. Campbell, 1982, Analisis Spektrum Senyawa Organik, Edisi Ke-2, Diterjemahkan oleh K. Padmawinata dan I. Soediro, Penerbit ITB, Bandung
172
Croft, K.D. 1999. Antioxidant effects of plant phenolic compounds. In T.K. Basu, N.J. Temple, & M.L. Garg (Eds.), Antioxidants in human health and disease. New York: CABI Publishing.
Crozier, A., M.E.J. Lean, M.S. McDonald and C. Black. 1997. Quantitative Analysis of The Flavonoid Content of Commercial Tomatoes, Onions, Lettuce, and Celery, J. Agric. Food Chem. 45: 590-595.
Dalimartha, S. 2008. Atlas tumbuhan obat Indonesia, Jilid 2, Cetakan X, Jakarta: Trubus Agriwidya.
Damle, M.C., S.H. Gala, A.A. Joshi, K. Rajagopalan and S. Vora. 2011. Phyllanthus Niruri, Pharmainfo.net http://www.pharmainfo.net/reviews/ phyllanthus-niruri, diakses 5 September 2011.
Davies, F.G. 1979. The genus of Gynura (Compositae) in Eastern Asia and Himalayas. Kew Bulletin. 33(4): 629-640.
Davies, F.G. 1980. The genus of Gynura (Compositae) in India, Sri Lanka abd the Seychelles. Kew Bulletin. 35(2): 373-367.
Delage, E., G.B. Baron and J-F. Drilleau. 1991. High-performance liquid chromatography of the phenolic compounds in the juice of some French cider apple varieties. J Chromatogr. 555: 125–136.
de Rijke, X.B., P.N.M. Demacker, N.A. Assen, L.M. Sloots, M.B. Katan and A.F.H. Stalenhoef. 1996. Red wine consumption does not effect oxidizability of low density lipoproteins in volunteers. American Journal of Clinical Nutrition 63: 329-334.
Depkes RI. 1977-1995. Materia Medika Indonesia Jilid I-VI, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta
Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Deswati. 2009. Pengaruh cara pengeringan dengan microwave terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) Merr.]. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi, Padang
Dick, A.J., P.R. Redden, A.C. de Marco, P.D. Lidster and T.B.Grindley. 1987. Flavonoid glycosides of Spartan apple peel. J. Agric. Food Chem. 35(4): 529-531.
Dolan , J.W. 2000. Starting out right, Part I . Selecting the tools. LC GC-Mag. Sep. Sci. 13(1): 12-15.
173
Dutta, S. and S. Das. 2011. Effect of the leaves of Psidium guajava Linn. on experimentally induced colitis in animal models. IJGP. 5(1): 55-60.
Ewald C., S. Fjelkner-Modig, K. Johansson, I. Sjoholm and B. Akesson. 1999. Effect of processing on major flavonoids in processed onions, green beans, and peas, Food Chem. 64: 231-235.
Erlund, I., G. Alfthan, H. Siren, K. Ariniemi and A. Aro. 1999. Validated method for the quantitation of quercetin from human plasma using high-performance liquid chromatography with electrochemical detection, J. Chromatogr. A 727: 179-189
Fernandez de Simon, B., J. Perez-Ilzarbe, T. Hernandez, C. Gomez-Cordoves and I. Esterella. 1990. HPLC study of efficiency of extraction of phenolic compounds, Chromatogr. 30: 35-37
Fernandez de Simon, B., J. Perez-Ilzarbe, T. Hernandez, C. Gomez-Cordoves and I. Esterella. 1992. Importance of phenolic compounds for the characterization of fruit juices. J. Agric. Food Chem. 40: 1531-1535
Finger, A., U.H. Engelhardt and V. Wray. 1991. Flavonol glycosides in tea – kaempferol and quercetin rhamnodiglucosides. J. Sci. Food Agric. 55: 313-321
Fitria, A.T. 2008. Efek ekstrak etanol daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) DC] terhadap penurunan kadar asam urat mencit putih jantan galur Balb-C. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Frankel, E.N., A.L. Waterhouse and P.L. Teissedre.1995. Principle phenolic phytochemicals in selected Californian wines and their antioxidant activity in inhibitung oxidation of human low-density lipoproteins. Journal of Agricultural and Food Chemistry 43: 890-894.
Fu, P.P., Y.C. Yang, Q. Xia, M.W. Chou, Y.Y. Cui and G.Lin. 2002. Pyrrolizidine alkaloids – Tumorigenic components in Chinese herbal medicines and dietary supplements. Journal of Food and Drug Analysis 10(4): 198-211.
Gaedcke, F., B. Steinhoff and H. Blasius. 2003. Herbal Medicinal Product. Medpharm Scientific Publisher, Stuttgart, Germany
Galensa, R. and K. Herrmann. 1980a. Analysis of flavonoids by high-performance liquid chromatography. J. Chromatogr. 189: 217-224
Galensa R. and K. Herrmann. 1980b. Hochdruck flussigkeits chromatographische bestimmung von hesperidin in orangensaften, Dtsch. Lebensm-Rundsch 76: 270-273
Giachetti, C., C. Tognolono, P. Gnemi and A. Tenchoni. 1999. Simultaneous determination of trans- and cis-resveratrol in spiked plasma by high-
174
performance liquid chromatography with photo-diode array UV-Vis and fluorimetric detection. Chromatogr. 50: 571–577.
Goupy, P.M., P.J.A. Varoquaux, J.J. Nicolas and J.J. Macheix. 1990. Identification and localization of hydroxycinnamoyl an flavonol derivatives from endive (Cichorium endivia L. cv. geante Maraichere) leaves. J. Agric. Food Chem. 38: 2116-2121
Gorinstein, S., M. Zemser and M. Weisz. 1994. Fluorometric analysis of phenolics in persimmons. Biosci Biotech Biochem 58: 1087–1092.
Griffiths, L. 1982. Mammalian metabolism of flavonoids. In: J. Harborne and T. Marby (eds). The Flavonoids: Advances in Research. Chapman and Hall, London, hal. 681-718.
Gu, L.H., T. Wu, Z.J. Zhang, G.X. Chou and Z.T. Wang. 2006. Evaluation of antioxidant activity of radix linderae and other two Chinese drugs using TLC-bioautography. Yao Xue Xue Bao 41(10): 956-962.
Hackett, A.M. 1983. The metabolism and excretion of (+)-14C-cyanidenol-3 in man following oral administration. Xenobiotica 13: 279-286.
Halliwell, B. and J.M.C. Gutteridge. 1990. The antioxidants of human extracellular fluids. Archives of Biochemistry and Biophysics 280: 1-8.
Halliwell, B. 1994. Free radicals, antioxidants and human disease: curiosity, cause or consequence? Lancet 344: 721-724.
Halliwell, B. (1996). Oxidative stress, nutrition and health. Experimental strategies for optimation of nutritional antioxidant intake in humans. Free Radical Research 25: 54-74.
Halliwell, B., J.M.C. Gutteridge and C.E. Cross. 1992. Free radicals, antioxidants and human disease: where are we now? Journal of Laboratory Clinical Medicine 119: 598-620.
Halliwell, B., R. Aeschbach, J. Loliger and O.I. Aruoma. 1995. The Characterization of Antioxidants, Food Chemical Toxicity 33: 601-617.
Harborne, J.B. 1965. Plant Polyphenols XIV. Characterization of flavonoid glycosides by acidic and enzymic hydrolysis, Phytochem. 4: 107-120.
Harborne, J.B. 1988. The Flavonoids: Recent Advances. In: Goodwin, T.W. ed. Plant Pigments. Academic Press, London
Harborne, J.B. 1989. Plant polyphenol. In: Dey, P.M. and J.B. Harborne (Eds.), Methods in Plant Biochemistry, Vol. 1, Academic Press, London.
Harborne, J.B. 1994). The flavonoids: advances in research since 1986, Chapman and Hall, London
175
Harborne, J.B. 1998. Phytochemical methods: a guide to modern techniques of plant analysis, Chapman and Hall, London
Harborne, J.B. and H. Baxter, Eds. 1999. The handbook of natural flavonoid, Vol 1 dan 2, John Wiley and Sons, Chichester
Harmita, 2004. Petunjuk pelaksanaan validasi metode dan cara perhitungannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, 1(3): 117-135
Haslam, E. 1996. Natural polyphenols (vegetable tannins) as drug: possible modes of action. J. Nat. Prod. 59(2): 205-215
Haslam, E. 1998): Practical poliphenolics, from structure to molecular recognition and physiological action, Cambridge University Press, Cambridge.
Heinonen, I.M., A.S. Meyer and E.N. Frankel. 1998. Antioxidant activity of berry phenolic on human low-density lipoprotein and liposome oxidation. J. Agric. Food Chem. 46(10): 4107-4112.
Hermann, K. 1989. Occurence and content of hydrocinnamic acid and hydroxybenzoic acid compounds in food. Crit. Rev. Food. Sci. Nutr. 28: 315-347.
Hertog, M.G.L., P.C.H. Holman and D.P. Venema. 1992a. Optimation of a quantitative HPLC determination of potentially anticarcinogenic flavonoids in Vegetables and Fruits. J. Agi. Food Chem. 40: 1591-1598.
Hertog, M.G.L., P.C.H. Holman and M.B. Katan. 1992b. Content of potentially antiarcinogenic flavonoids of 28 vegetables and 9 fruits commonly consumed in The Netherlands J. Agi. Food Chem. 40: 2379-2383.
Hertog, M.G.L., E.J.M. Feskens, P.C.H. Hollman, M.B. Katan and D. Kromhout. 1993. Dietary antioxidant flavonoids and risk of coronary heart disease, The Zutphen Elderly Study. Lancet 342: 1007-1011.
Herwindriandita. 2006. Telaah fitokimia daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC). Skripsi Sekolah Farmasi ITB. http://www.bahan-alam.fa.itb.ac.id (diakses 5 Mei 2009).
Hollman, P.C.H. and D.P. Venema. 1993. The content of potentially anticarcinogenic ellagic acid in plant foods. In: Waldron, K.W., I.T. Johnson and G.R. Fenwick (eds.). Food and Cancer Prevention: Chemical and Biological Aspects. Royal Society of Chemistry, Cambridge
Hollman, P.C.H., J.H. van Vries, S.D. van Leeuwen, M.J. Mengelers and M.B. Katan. 1995. Absorption of dietary quercetin glycosides and quercetin in healthy ileostomy volunteers. American Journal of Clinical Nutrition 62: 1276-1282.
176
Hollman, P.C.H., J.M.P. van Trijp and N.C.P. Buysman. 1996. Fluorescence detection of flavonols in HPLC by postcolumn chelation with aluminium. Anal. Chem. 68: 3511–3515.
Hollman, P.C.H. 1997. Bioavailability of Flavonoids. European Journal of Clinical Nutrition 51: S66-S69.
Hu, P., G.A. Luo, Z. Zhao and Z.H. Jiang. 2005. Quality assessment of radix Salviae miltiorrhizae. Chem. Pharm. Bull. 53(5): 481-486.
Hutajulu, T.F., R. Sari dan E.S. Hartanto. 2009. Analisis kandungan senyawa pirolizidin dalam hasil olahan kering teh herbal daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC). Journal of Agro-Based Industry. 26(2): 1-12
Ishiharu, K., K. Yoshimatsu, T. Yamakawa, H. Kamada and K. Shimomura. 1992. Phenolic constituents in tissue cultures of Phyllanthus niruri, Phytochem. 31(6): 2015-2018
Jaworski, A.W. and C.Y. Lee. 1987. Fractionation and HPLC determination of grape phenolics. J Agric Food Chem 38: 257–259.
Justesen, U., P. Knuthsen and T. Leth. 1998. Quantitative analysis of flavonols, flavones, and flavanones in fruits, vegetables and beverages by high-performance liquid chromatography with photo-diode array and mass spectrometric detection. J. Chromatogr. A 799: 101-110.
Kadiman, K. 2006. Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek Bidang Kesehatan dan Obat 2005–2025, Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Jakarta
Kandaswami, G., E. Perkins, D.S. Soloniuk, G. Drzewiecki and E. Middleton. 1993. Ascorbic acid enhanced antiproliferative effect of flavonoids on squamous cell carcinoma in vitro. Anticancer Drugs 4: 91-96.
Kanes, K., B. Tisserat, M. Berhow and C. Vandercook. 1993. Phenolic composition in various tissues of rutaceae species. Phytochem. 32: 967-974
Kato, Y., Y. Ogino, T. Aoki, K. Uchida, S. Kawakishi and T. Osawa. 1997. Phenolic antioxidants prevent peroxynitrite-derived collagen modification in vitro. J. Agric. Food Chem. 45: 3004-3009.
Khadeem, E.H.E. and Y.S. Muhammed. 1959. Constituents of the leaves of Psidium guajava L. J. Chem. Soc. 11: 3320-3323.
Khalifah, N. 2008. Pengaruh ekstrak kasar senyawa alkaloi dari daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC] terhadap aktivitas enzim lipase. Skripsi. Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Malang.
Kiehne, A. and U.H. Engelhardt. 1996Thermospray -LC-MS analysis of various groups of polyphenols in tea. Z Lebensm-Unters Forsch. 202; 48–54.
177
Kuninori, T and J. Nishiyama. 1986. Separation and quantitation of ferulic acid and tyrosin in wheat seeds (Triticum aestivum) by reversed-phase high-performance liquid chromatography. J. Chromatogr. 362: 255-262
Laranjinha, J.A.N., L.M. Almeida and V.M.C. Madeira. 1994. Reactivity of dietary phenolic acids with peroxyl radicals: antioxidant activity upon low density lipoprotein peroxidation. Biochemical Pharmacology 48: 487-494.
Lazarowych, N.J. and P. Pekos. 1998. Use of fingerprinting and marker compounds for identification and standardization of botanical drugs: strategies for applying pharmaceutical HPLC analysis to herbal product. Drug Information Journal 32: 497-512.
Lee, M.J., Z.Y. Wang, H. Li, L. Chen, Y. Sun, S. Gabbo, D.A. Balentine and C.S. Yang. 1995. Analysis of plasma and urinary tea polyphenols in human subjects. Cancer Epidemiology, Biomarker and Preventors 4: 393-399.
Lee, H.S and B.W. Widmer. 1996., Phenolic compounds. In: Handbook of Food Analysis. Physical Characterization and Nutrient Analysis. Vol. 1, Marcel Dekker, Inc., New York, USA.
Li, Q.M. and M. Claeys. 1994. Characterization and differentiation of diglycosyl flavonoids by positive ion fast atom bombardment and tandem mass spectrometry. Biol Mass Spectrom. 23: 406–416.
Li, Y., Z. Hu and L. He. 2007. An approach to develop binary chromatographic fingerprints of the total alkaloids from Caulophyllum robustum by high performance liquid chromatography/diode array detector and gas chromatography/mass spectrometry. J Pharm Biomed Anal. 43(5): 1667-72.
Li, B.Y., Y. Hu, Y.Z. Liang, P.S. Xieb and Y.P. Du. 2004. Quality evaluation of fingerprints of herbal medicine with chromatographic data. Analytica Chimica Acta 514: 69-77
Liang, Y.Z., P. Xie and K. Chan. 2004. Quality control of herbal medicines. J. Chromatogr. B 812: 53-73
Lin, Y.Y., K.J. Ng and S. Yang. 1993Characterization of flavonoids by liquid chromatography-tandem mass spectrometry. J. Chromatogr. 629: 389–393.
Lin, T.J., K.J. Zhang and G.T. Liu. 1996. Effects of salvianolic acid A on oxigen radicals released by rat neutrophils and on neutrophil function. Biochemical Pharmacology 51: 1237-1241.
Liu, H.X., S.Q. Sun, G.H. Lv and K.K.C. Chan. 2006. Study on angelica and its different extracts by Fourier transform infrared spectroscopy and two-dimentional correlation IR spectroscopy, Spectrochimica Acta, Part A 64: 321-326.
178
Liu, X.Q., L.L. Du, W.W. Li, H.F. Guan and F. Liu. 2008. Simultaneous qualitative and quantitative analysis of commercial bistorta rhizome and its differentiation from closely related herbs using TLC and HPLC-DAD fingerprinting, Chem. Pharm. Bull. 56(1): 75-78.
Lu, H.M., Y.Z. Liang and S. Chen. 2006. Identification and quality assessment of Houttuynia cordata injection using GC-MS fingerprint: a standardization approach. J. Ethnopharmacol. 105(3): 436-440.
Lunte, S.M. 1987. Structural classification of flavonoids in beverages by liquid chromatography with ultraviolet-visible and electrochemical detection. J Chromatogr. 384: 371–382.
Luthria, L. 2006. Influence of Sample Preparation on the Assay of Phytochemicals, American Laboratory, March 2006: 12-14
Macheix, J.J. and A. Fleuriet. 1998. Phenolic acids in fruits, In: Rive-Evans, C.A. and L. Packer (Eds.), Flavonoids in Health and Disease, Marcel Dekker Inc., New York.
Macheix, J.J., A. Fleuriet and J. Billot. 1990. Fruit phenolics. CRC Press, Boca Raton, USA.
Mahanom, H. , A.H. Azizah and M.H. Dzulkifly. 1999. Effect of different drying methods on concentrations of several phytochemicals in herbal preparation of 8 medicinal plants leaves. Mal J Nutr 5:47-54
Majors, R.E. 2001. New chromatography columns and accessories at the 2001 Pittsburgh Conference, Part 1. LC GC Eur. 14(5): 284-301
Manach, C., C. Morand and V. Crespy. 1998. Quercetin is recovered in human plasma as conjugated derivatives which retain antioxidant properties. FEBS Lett. 426: 331-336
Mangan, Y. 2003. Cara bijak menaklukkan kanker. Jakarta: AgroMedia
Mann, J. 1978. Secondary metabolism. Oxford Chemistry Series, Clarendon Press, Oxford.
Mariani. 2010. Pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) DC]. Skripsi. Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Padang
Markham, K.R. 1982. Technique of flavonoid identification, Academic Press, New York, USA.
Markham, K.R. 1989. Flavones, flavonols and their glycoside, In: Dey, P.M. and J.B. Harborne (Eds.) Methods in Plant Biochemistry, Vol. 1 Plant Phenolics, Academic Press, London
179
Marko-Varga, G. and D. Barcelo. 1992. Liquid chromatographic retention and separation of phenols and related aromatic compounds on reversed phase columns. Chromatogr. 34: 146–154.
Mauri, P.L., L. Iemoli and C. Gardana. 1999. Liquid chromatography/electrospray ionization mass spectrometric characterization of flavonol glycosides in tomato extracts and human plasma. Rapid Comm Mass Spectr. 13: 924–931.
Mazza, G. and Y.S. Velioglu. 1992. Anthocyanins and other phenolic compounds in fruits of red-flesh apples. Food Chem 43: 113–117.
McRae, K.B., P.D. Lidster, A.C. DeMarco and A.J. Dick. 1990. Comparison of the polyphenol profiles of apple fruit cultivars by correspondence analysis, J. Sci. Food Agric. 50: 329-342
Merken, H.M. and G.R. Beecher. 2000. Measurement of food flavonoids by high-performance liquid chromatography: a review. J. Agric. Food Chem. 48: 577-599
Metwally, A.M., A.A. Omar, N.M. Ghazy, F.M. Harraz and A.M. El Sohafy. 2011. Monography of Psidium guajava L. leaves. Phcog J. 3(21): 89-104
Mitra, S. and R. Brukh. 2003. Sample Preparation: An Analytical Perspective, in Sample Preparation Techniques in Analytical Chemistry, (Ed: Mitra, S.), New York: John Wiley & Sons, Inc., 1-36
Möller, B. and K. Herrmann. 1983. Quinic acid esters of hydroxycinnamic acids in stone and pome fruit. Phytochem. 22: 477–481.
Morrow, J.D. and L.J. Roberts. 1996. The isoprostanes: current knowledge and directions for future research. Biochemical Pharmacology 51: 1-9.
Mosquera, O.M., Y.M. Correa, D.C. Buitrago and J. Nino. 2007. Antioxidant activity of twenty five plants from Columbian biodiversity. Mem Inst Oswaldo Cruz 102(5): 631-634
Mosquera, O. M., Y.M. Correa, and J. Nino. 2009. Antioxidant activity of plants extract from Colombian flora, Braz. J. Pharmacogn., 19(2A), 382-387
Mouly, P., E.M. Gaydou and J. Estienne. 1993. Column liquid chromatographic determination of flavanone in citrus, J. Chromatogr. 634: 129-134
Nardini, M., M. D’Aquino, G. Tomassi, V. Gentili, N. Di Felice and C. Scaccini. 1995. Inhibition of human LDL oxidation by caffeic acid and other hydroxycinnamic acid derivatives. Free Radical Biology and Medicine 19: 541-552.
Nash, R.J., H.P. Parry and A.A. Watson. 2006. Method for monitoring the quality of a herbal medicine, US Patent No. 2006/0003029 A1.
180
Natarajan, K. S. Singh, T.R. Burke, D. Grunberger and B.B. Aggarwal. 1996. Caffeic acid phenethyl ester is a potent and specific inhibitor of activation on nuclear transcription factor NF-B. Proceedings of the National Academy of sciences, USA 93, 9090-9095.
Nielson, J.K., C.E. Olsen and M.K. Peterson. 1993. Acylated flavonol glycosides from cabbage leaves, Phytochem. 34: 539-544
Novayanti, D. 2009. Pengaruh ekstrak daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC.) terhadap waktu perdarahan and koagulasi pada tikus putih (Rattus norwegicus L.). Skripsi Sarjana. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Pace-Asciak, C.R., S. Hahn, E. Diamandis, G. Soleas and D.M. Goldberg. 1995. The red wine phenolics trans-resveritrol and quercetin block human platelet aggregation and eicosanoid synthesis: implication for protection against coronary heart disease. Clinica Chimica Acta 235: 207-219.
Paganga, G. and C.A. Rice-Evans. 1997. The identification of flavonoids as glycosides in human plasma. FEBS Letters 401: 78-82.
Palav, Y.K and P.M.D. Priscilla. 2006. Standardization of selected Indian medicinal herbal raw materials containing polyphenol as major phytoconstituents, Indian Journal of Pharmaceutical Sciences 68(4): 506-509
Peleg, H., M. Naim, R.L. Roussef and U. Zehavi. 1991. Distribution of bound and free phenolic acids in oranges (Citrus sinensis) and grapefruit (Citrus paradisi), J. Sci. Food Agric. 57: 417-426
Pennarietta, J.M., Alvarado, J.A., Akesson, B. and Bergenstahk, B. 2007. Separation of phenolic compounds from foods by reversed-phased high performance liquid chromatography. Bolivian Journal of Chemistry 24(1): 1-4.
Perry, L.M. 1980. Medicinal Plants of East and South East Asia: Attributed Properties and Uses. MIT Press, Cambridge, M.A.
Pewnim, T. 1993. Production of peroxidase from plants in the Thachin basin. Research Abstract: Silpakorn University 1993: 156
Pewnim, T. and S. Thadaniti. 1988. Study on medicinal plants of the Thachin basin with emphasis on the chemical and biological properties. Research Summary: Silpakorn University No. 3: 158
Pietta, P., R.M. Facino, M. Carini and P. Mauri. 1994. Thermospray liquid chromatography-mass spectrometry of flavonol glycosides from medicinal plants. J Chromatogr A. 661: 121–126.
Poon, G.K. 1998. Analysis of catechins in tea extracts by liquid chromatography-electrospray ionization mass spectrometry. J Chromatogr. 794: 63–74.
181
Pourmorad, F., S.J. Hosseinimehr, N. Sgahabimajd. 2006. Antioxidant activity, phenol and flavonoid contents of some selected Iranian medicinal plants, African Journal of Biotechnology 5(11): 11-42-1145.
Price, K.R., T. Prosser, A.M.F. Richetin and M.J.C. Rodes. 1999. A comparison of the flavonol content and composition in desert, cooking and cider-making apples; distribution within the fruit and effect of juicing, Food Chem. 66: 489-494.
Prihanti, A.M.H. 2008. Pengaruh pemberian perasan daun dewa [Gynura segetum (Lour.) Merr.] terhadap bleeding time dan cloting time pada tikus Wistar jantan. Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember.
Puddey, I.B. and K.D. Croft. 1997. Alcoholic beverages and lipid peroxidation: relevance to cardiovascular disease. Addiction Biology 2: 269-276.
Pussayanawin, V. and D.L. Wetzel. 1987. High-performance liquid chromatographic determination of ferulic acid in wheat milling fractions as a measure of bran contamination. J Chromatogr 391: 243–255.
Putri, C.A.R. 2006. Efek infusum daun dewa [Gynura segetum (Lour.) Merr.] terhadap hambatan respon rasa nyeri: Penelitian eksperimental laboratoris pada mencit Balb C. Skripsi. Universitas Airlaingga, Surabaya.
Qi, X., B. Wu, Y. Cheng and H. Qu. 2009. Simultaneous characterization of pyrrolizidine alkaloids and N-oxides in Gynura segetum by liquid chromatography/ion trap mass spectrometry. Rapid Commun. Mass Spectrom. 23(2): 291-302
Qian, G.S., Q. Wang, K.S. Leung, Y. Qin, Z. Zao and Z.H. Jiang. 2007. Quality assessment of rhizoma et radix notopterygii by HPTLC and HPLC fingerprinting and HPLC quantitative analysis. J. Pharm. Biomed. Anal. 44(3): 812-817.
Ramírez-Durón, R., L. Ceniceros-Almaguer, R. Salazar-Aranda , L. Salazar-Cavazos and N. Waksman de Torres. 2007. Evaluation of thin-layer chromatography methods for quality control of commercial products containing Aesculus hippocastanum, Turnera diffusa, Matricaria recutita, Passiflora incarnata, and Tilia occidentalis. J AOAC Int. 90(4): 920-924
Regnault-Roger, C., R. Hadidane, J.F. Biard and K. Boukef. 1987. High performance liquid and thin-layer chromatographic determination of phenolic acids in palm (Phoenix dactilifera) products. Food Chem 25: 61–71.
Ribereau-Gayon, P. 1972. Plant Phenolics. New York, USA: Hafner
Rice-Evans, C.A., N. Miller and G. Paganga. 1996. Structure-antioxidant Activity Relationships of Flavonoids and Phenolic Acids. Free Radic. Biol. Med. 20(7): 933-956.
182
Robards, K. and M. Antolovich. 1997. Analytical chemistry of fruit bioflavonoids: a review, Analyst. 122(2): 11R-34R.
Rommel, A. and R.E. Wrolstad. 1993a. Influence of acid and base hydrolysis on the phenolic composition of red raspberry juice, J. Agric. Food. Chem. 41: 1237-1241
Rommel, A. and R.E. Wrolstad. 1993b. Composition of flavonol in red raspberry juice as influenced by cultivar, processing, and environment factors, J. Agric. Food. Chem. 41: 1941-1950
Rouseff, R.L., K. Seetharaman, M. Naim, S. Nagy and U. Zahevi. 1992a. Improved HPLC determination of hydroxycinnamic acids in orange juice using solvents containing THF, J. Agic. Food Chem. 40: 1139-1143
Rouseff, R.L., G.R. Dettweiler and R.M. Swaine. 1992b. Solid-phase extraction and HPLC determination of 4-vinyl guaiacol and its precursor, ferulic acid, in orange juice, J. Chromatogr. Sci. 30: 383-387
Sabatier, S., M.J. Amiot, M. Tacchini and S. Aubert. 1992. Identification of flavonoids in sunflower honey. J. Food Sci. 57: 773-777
Sajuthi, D., L.K. Darusman, I.H. Suparto, A. Imanah. 2000. Potensi senyawa bioaktif daun dewa (Gynura pseudochina) sebagai antikanker, Tahap I. Buletin Kimia (Indonesia) 1(1): 23-29
Sajuthi, D. 2001. Ekstraksi, fraksinasi, karakterisasi dan uji hayati in vitro senyawa bioaktif daun dewa (Gynura pseudochina) sebagai antikanker, Tahap II. Buletin Kimia 1: 75-79
Sarmoko, 2011. Fitofatmaka di Indonesia. http://moko31.wordpress.com/ 2009/05/01/fitofarmaka-di-indonesia/ diakses tanggal 14 Oktober 2011.
Scalbert, A., I.T. Johnson and M. Saltmarsh. 2005. Polyphenols: antioxidants and beyond, Am. J. Clin. Nutr. 81(suppl.): 215S-217S.
Schmidt, T.J., I. Merfort and G. Willuhn. 1994. Gas chromatography-mass spectrometry of flavonoid aglicones II. Structure-retention relationships and a possibility of differentiation between isomeric 6- and 8-methoxyflavones, J. Chromatogr. A. 669: 236-240
Schofield, J.A., A.E. Hagerman and A. Harold. 1998. Loss of tannins and other phenolics from willow leaf litter. J. Chem. Ecol. 24(8): 1409-1421
Schreiber, A., R. Carle and E. Reinhard. 1990. On the accumulation of apigenin in chamomile flowers Planta Medica 56:179-181
Schuster, B. and K. Herrmann. 1985. Hydroxybenzoic and hydroxycinnamic acid derivatives in soft fruits. Phytochem. 24: 2761–2764.
183
Seo, A. and C.V. Morr. 1984. Improved high-performance liquid chromatographyc analysis of phenolic acids and isoflavonoids from soybean protein products, J. Agric. Food Chem. 32: 530-533
Shahidi, F. and P.K.J.P.D. Wanasundara. 1992. Phenolic antioxidants. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 32(1): 67-103.
Shakil, N.S., Pankaj, J. Kumar, R.K. Pandey and D.B. Saxena. 2007. Nematicidal prenylated flavanones from Phyllanthus niruri. Phytochemistry Sep 2007: [Epub ahead of print]
Sharpe, P.C., L.T. McGrath, E. McLean, I.S. Yound and G.P. Archibold. 1995. Effect of red wine consumption on lipoprotein (a) and other risk factors for atherosclerosis. Quarterly Journal of Medicine 88: 101-108.
Sriwatanametanon, N., B.L. Fiebich, T. Efferth, J.M. Prieto and M. Heinrich. 2010. Traditionally used Thai medicinal plants: in vitro anti-inflammatory, anticancer and antioxidant activities. J. Ethnopharmacol. 130(2): 196-207
Siriwatanametanon, N. and M. Heinrich. 2011. The Thai medicinal plant Gynura pseudochina var. hispida: chemical composition and in vitro NF-kappaB inhibitory activity. Nat Prod Commun. 6(5): 627-630
Smith, C., M.J. Mitchinson, O.I. Arudma and B. Helliwell. 1992. Stimulation of lipid peroxidation and hydroxyl radical generation by the contents of atherosclerotic lesions. Biochemical Journal 288: 901-905.
Soedibyo, B.R.A.M. 1998. Alam sumber kesehatan: manfaat dan kegunaan. Balai Pustaka, Jakarta.
Soleas, G.J., D.M. Goldberg and E.P. Diamandis. 1997. Towards the fingerprinting of wines: cultivar-related patterns of polyphenolic constituents in Ontario wines. Journal of Agricultural and Food Chemistry 45: 3871-3880.
Srisuma N., R. Hammersschmidt, M.A. Uebersax, S. Ruengsakulrach, M.R. Bennink, G.L. Hosfield. 1989. Storage induced changes of phenolic acids and the development of hard-to-cook in dry beans (Phaseolus vulgaris, var. Seafarer). J Food Sci 54: 311–317.
Stagg, G.V. and D.J. Millin. 1975. The nutritional and therapeutic value of tea – a review. Journal of Science, Food and Agriculture 26: 1439-1459.
Strube, M., L.O. Dragstedt and J.C. Larsen, Eds. 1993. Naturally occuring antitumourigens. I. Plant Phenols. The Nordic Council of Minesters, Copenhagen.
Suda, I., T. Oki, Y. Nishiba, M. Masuda, M. Konayashi, S. Nagai, R. Hiyane and T. Miyashige. 2005. Polyphenol contents and radical scavenging activity of
184
extracts from fruit and vegetables in cultivated in Okinawa, Japan, Nippon Shokuhin Kagaku Kaishi 52(10): 462-471.
Sudarsono, A. Pudjoanto, D. Gunawan, S. Wahyuono, I.A. Donatus, M. Drajad, S. Wibowo, dan Ngatidjan, 1996, Tumbuhan Obat, Hasil Penelitian, Sifat-sifat dan Penggunaan, 44-52, Pusat Penelitian Obat Tradisional, UGM, Yogyakarta.
Sulaksana, J. 2004. Meniran Budi Daya dan Pemanfaatan Untuk Obat, Jakarta: Penebar Swadaya
Sutthanut, K., B. Sripanidkulchai, C. Yenjai and M. Jay. 2007. Simultaneous identification and quantitation of 11 flavonoid constituents in Kaempferia parviflora by gas chromatography. J. Chromatogr. A. 1143(1-2): 227-233.
Than, N.N., S. Fotso, B. Poeggeler, R. Hardeland and H. Laatsch. 2006. Niruriflavone, a new antioxidant flavone sulfonic acid from Phyllanthus niruri, Z. Natureforsch. 61(b): 1-4
Thomas, S.R., P.K. Witting and R. Stocker. 1996. 3-Hydroxyanthranilic acid is an efficient, cell-derived co-antioxidant for -tocopherol, inhibiting human low density lipoprotein and plasma lipid peroxidation. J. Biol. Chem. 271: 32714-32721.
Tomas-Lorente, F., C. Garcia-Viguera, F. Ferreres and F.A. Tomas-Barberan. 1992. Phenolic compounds analysis in the determination of fruit jam genuineness. J. Agric. Food Chem. 40: 1800-1804
Torres, A.M., T. Mau-Lastovicka and R. Rezaaiyan. 1987. Total phenolics and high-performance liquid chromatography of phenolic acids of avocado, J. Agric. Food Chem. 35: 921-925
Tyler, V.E. 1999. Phytomedicines: back to the future. Journal of Natural Product. 62(11): 1589-92.
USDA, 2011. Plants Profil for Psidium guajava (guava). http://plants.usda.gov/java/profile (diakses 23 Juni 2011)
Valentão, P., P.B. Andrade, F. Areias, F. Ferreres and R.M. Seabra. 1999. Analysis of vervain flavonoids by HPLC/diode array detector method. Its application to quality control. J. Agric. Food Chem. 47(11): 4579 -4582
Van Acker, S.A.B.E., D.J. Van Denberg, M.N.J.L. Tromp, D.H. Griffinoen, W.P. Van Bennekom, W.J.F. Van Dervijgh and A. Bast. 1996. Structural aspects of antioxidant activity of flavonoids. Free radical Biology and Medicine 20: 331-342.
Vande Casteele, K., H. Geiger and C.F. van Sumere. 1983. Separation of phenolics (benzoic acids, cinnamic acids, phenylacetic acids, miscellaneous phenolics) and coumarins by reversed-phase high-performance liquid chromatography, J. Chromatogr. 258: 111-124
185
Van Sumere, C.F. 1989. Phenols and phenolic acids. In: Dey PM, Harborne JB, eds. Methods in Plant Biochemistry. London, UK: Academic Press, p. 29–74.
Velkov, Z.A., M.K. Kolev and A.V. Tadjer. 2007. Modelling and statistical analysis of DPPH scavenging activity of phenolics. Collection of Czechoslovak Chemical Communication 72(11): 1461-1471.
Viera, O., J. Laranjinha, V. Madeira and L. Almeida. 1998a. Cholesteryl ester hydroperoxide formation in myoglobin-catalysed low density lipoprotein oxidation: concerted antioxidation activity of caffeic and coumaric acids with ascorbate. Biochemical Pharmacology 55: 333-340.
Viera, O., I. Escargueil-Blanc, O. Meilhac, J.P. Basile, J. Laranjinha, L. Almeida, R. Salvayre and A. Negre-Salvayre. 1998b. Effect of dietary phenolic compounds on apoptosis of human cultured endothelial cells induced by oxidized LDL. British Journal of Pharmacology 123: 565-573.
Visioli, F. and C. Galli. 1994. Oleuropein protects low density lipoprotein from oxidation. Life Science 55: 1965-1971.
Waksmundzka-Hajnos, M. 1998. Chromatografic separation of aromatic carboxylic acid, J. Chromatogr. B 717: 93-118.
Wang, H., G. Cao and R.L. Prior. 1996. Total antioxidant capacity of fruits. J. Agric. Food Chem. 44(3): 701-705
Wang, Y., L. Yang, Y.Q. He, C.H. Wang, E,W. Welbeck, S.W. Bligh and Z.T. Wang. 2008. Characterization of fifty-one flavonoids in a Chinese herbal preparation Longdan Xiegan Decoction by high-performance liquid chromatography coupled to electrospray ionization tandem mass spectrometry and photodiode array detection. Rapid Commun. Mass Spectrom. 22(12): 1767-1778.
Wang, Z., G. Ciabattoni, C. Creminon, J. Lawson, G.A. Fitzgerald, C. Patrono and J. Maclouf. 1995. Immunological characterization of urinary 8-epi-prostaglandin F2 excretion in man. Journal of Pharmacology and Experimental Theraphy 275: 94-100.
Waterman, P.G and S. Mole. 1994. Analysis of phenolic plant metabolites, In: Lawton, J.H. and G.E. Likens (Eds.), The Methods in Ecology Series, Blackwell Scientific Publicaions, Oxford
Welsh, W.J., W. Lin, S.H. Tersigni, E. Collantes, R. Duta, M.S. Carey, W.L. Zielinski, J. Brower, J.A. Spencer and T.P. Layloff. 1996. Pharmaceutical fingerprinting: evaluation of neural networks and chemometric techniques for distinguishing among same-product manufacturers. Anal. Chem. 68(19): 3473 -3482
WHO. 2000. General guidelines for methodologies on research and evaluation of traditional medicine. World Health Organization, Geneva.
186
WHO. 2011. Quality control methods for herbal materials. World Health Organization, Geneva.
Wildanger, W. and K. Herman. 1973. The phenolics of fruits. II. The flavonols of fruits, Z. Lebensm-Unters Forsch 151: 103-108.
Williams, D.H. and I. Fleming. 1980. Spectroscopic methods in organic chemistry. 3rd Edition, McGraw-Hill Book Company (UK) Limited, Maidenhead, Berkshire, England.
Xu, X., H.J. Wang, B.A. Murphy, L. Cook and S. Hendrich . 1994. Daidzin is a more bioavailable soymilk isoflavone than is genestein in adult women. Journal of Nutrition 124: 825-832.
Yamanaka. N., O. Oda and S. Nagao. 1997. Pro-oxidant activity of caffeic acid, dietary non-flavonoid phenolic acid, on Cu2+-induced low density lipoprotein oxidation. FEBS Letters 405: 186-190.
Yan, S., W. Xin, G. Luo, Y. Wang and Y. Cheng. 2006. Chemical fingerprinting of Gardenia jasminoides fruit using direct sample introduction and gas chromatography with mass spectrometry detection. J AOAC Int. 89(1): 40-5.
Yang, M., J-Y. Li, X-Y. Li, L-B. Cong, J. Zhu, H. Xie, H-L. Yuan and X-H. Xiao. 2009. Simultaneous determination of senecionine, seneciphylline and Senecionine N-oxide in Gynura segetum by RP-HPLC. Analytical Letters. 42(12): 1820-1830
Yuan, S.Q., G.M. Gu and T.T. Wei. 1990. Studies on the alkaloids of Gynura segetum (Lour.) Merr. Yao Xue Xue Bao 25(3): 191-197
Zaini, R. 2006. Isolasi komponen bioaktif flavonoid dari tanaman daun dewa Gynura pseudochina (Lour) DC, Tesis¸Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Zerizka. 2009. Pengaruh ekstrak etanol daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC] terhadap aterosklerosis. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang
Zhen, W. and S.Y. Wang. 2001. Antioxidant activity and phenolic compounds in selected herbs, J. Agric. Food Chem. 49: 5165-5170.
187
Lampiran 1. Daftar ekstrak tumbuhan obat bahan alam Indonesia yang mengandung senyawa fenolat (BPOM RI, 2004b; BPOM RI, 2006)
No. Nama Simplisia Nama Ilmiah
Tumbuhan Suku Kandungan Fenolat 1 Buah Adas Foeniculum vulgare
Miller Apiaceae Trans-anetol 7,8%
2 Daun Jinten Coleus amboinicis (L.) Spreng
Lamiaceae Flavonoid 5,2%
3 Daun Ungu Graptophyllum pictum (L.) Griff.
Acantaceae Flavonoid 0,4%
4 Rimpang Jahe Zingiber officinale Rosc.
Zingiberacea Gingerol
5 Rimpang Jahe Merah
Zingiber officinale (Willd.) Rosc. Var. rubrum
Zingiberacea Gingerol
6 Daun Jambu Biji
Psidium guajava L. Myrtaceae Flavonoid 1,4%
7 Daun Jambu Mete
Anacardium occidentale L.
Anacardiaceae Flavonoid 2,3%
8 Daun Jati Blanda
Guazuma ulmifolia Lamk.
Sterculiaceae Flavonoid 3,2%
9 Daun Katu Sauropus androgynus (L.) Merr.
Euphorbiaceae Flavonoid 0,5%
10 Buah Kayu Putih
Melaleuca leucadendron L.
Myrtaceae Flavonoid 5,6 %
11 Biji Kedawung Parkia roxburghii G. Don.
Fabaceae Flavonoid 3,2%
12 Rimpang Kencur
Kaempferia galanga L.
Zingiberaceae Etil-p-metoksisinamat
4,3% 13 Daun Kumis
Kucing Orthosiphon stamineus L.
Lamiaceae Flavonoid 1,1%
14 Rimpang Kunyit
Curcuma domestica Val.
Zingiberaceae Kurkuminoid 33,9%
15 Rimpang Lempuyang Gajah
Zingiber zerumbet L. Zingiberaceae Kurkumin 1,8%
16 Rimpang Lengkuas
Languas galanga (L.) Stuntz.
Zingiberaceae Galangin
17 Buah Mengkudu
Morinda citrifolia L. Rubiaceae Skopoletin 0,4%
18 Herba Meniran Phyllanthus niruri L. Euphorbiaceae Flavonoid 3,2% 19 Biji Pala Myristica fragrans
Houtt. Myristicaceae Miristisin
20 Akar Pasak Bumi
Eurycoma longifolia Jack
Simarubaceae Tanin 5%
21 Daun Salam Syzigium polyanthum (Wigh.) Walp.
Myrtaceae Tanin 21,7%
188
22 Daun Sambung Nyawa
Gynura procumbens (Lour.) Merr.
Asteraceae Flavonoid 4%
23 Kayu Secang Caesalpinia sappan L. Caesalpiniaceae Brazilin 24 Herba Seledri Apium graviolens L. Apiaceae Apiin 1,4% 25 Daun Sirih Piper betle L. Piperaceae Flavonoid 0,3% 26 Daun Tapak
Liman Elephantopus scaber Linn.
Asteraceae Flavonoid 6,2%
27 Daun Tempuyung
Sonchus arvensis L. Asteraceae Flavonoid 7-glukosillutein 0,9%
28 Rimpang Temu Giring
Curcuma heyneana Val. dan V. Zyp.
Zingiberaceae Kurkuminoid 2%
29 Rimpang Temu Kunci
Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht.
Zingiberaceae Flavonoid 0,2%
30 Rimpang Temulawak
Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Zingiberaceae Kurkuminoid 14,2%
31 Daun Blimbing Wuluh
Averrhoa bilimbi L. Oxalidaceae Flavonoid total 0,7%
32 Umbi Bidara Upas
Merremia mammosa Hall
Convolvulaceae Polifenol total 10,6%
33 Daun Sendok Plantago major L. Plantaginaceae Flavonoid total 0,1%
34 Kulit Buah Delima Putih
Punica granatum L. Punicaceae Polifenol 2,8%
35 Daun Gambir Uncaria gambir (Hunter) Roxb.
Rubiaceae Katekin 90,0%
36 Kulit Kayu Rapat
Parameria laevigata (Juss.) Moldenke
Apocynaceae Tanin 5%
37 Daun Paliasa Kleinhovia hospita L. Sterculiaceae Flavonoid total 2,9%
38 Kulit Batang Pulasari
Alyxia reinwardtii Blume
Apocynaceae Kumarin 0,19%
39 Daun Sembung Blumea balsamifera Asteraceae Flavonoid total 2,4%
189
Lampiran 2. Hasil pengolahan data dengan Microsoft Excel 2007 untuk hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm
Kadar Serapan SUMMARY OUTPUT
25 0,200
50 0,311 Regression Statistics
75 0,476 Multiple R 0,996688
100 0,665 R Square 0,993387
125 0,821 Adjusted R Square 0,991183
Standard Error 0,023774
Observations 5
ANOVA
df SS MS F Significance
F
Regression 1 0,254722 0,254722 450,6752 0,000229 Residual 3 0,001696 0,000565
Total 4 0,256417
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
Intercept 0,0158 0,024934 0,633665 0,571312 -0,06355 0,095152 -0,06355 0,095152
X Variable 1 0,006384 0,000301 21,22911 0,000229 0,005427 0,007341 0,005427 0,007341
RESIDUAL OUTPUT
BD = 11,17196
Observation Predicted Y Residuals BK = 37,23987
1 0,1754 0,0246 Recovery = 97%
2 0,335 -0,024 3 0,4946 -0,0186 4 0,6542 0,0108
5 0,8138 0,0072
190
Lampiran 3. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa
terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway Descriptives
Kadar Ekstraktif
N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
Angin 3 184.767 .3512 .2028 183.894 185.639 184.4 185.1
Oven 40 C 3 208.533 .6028 .3480 207.036 210.031 207.9 209.1
Oven 60 C 3 194.923 .3150 .1819 194.141 195.706 194.6 195.2
Microwave 3 333.767 .9504 .5487 331.406 336.128 332.8 334.7
Total 12 230.497 62.8955 18.1564 190.536 270.459 184.4 334.7
ANOVA
Kadar Ekstraktif
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 43511.328 3 14503.776 38956.356 .000
Within Groups 2.978 8 .372
Total 43514.306 11
191
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar Ekstraktif
(I) Cara
Pengering
an
(J) Cara
Pengering
an
Mean
Difference (I-
J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Tukey
HSD
Angin Oven 40 C -23.7667* .4982 .000 -25.362 -22.171
Oven 60 C -10.1567* .4982 .000 -11.752 -8.561
Microwave -149.0000* .4982 .000 -150.595 -147.405
Oven 40 C Angin 23.7667* .4982 .000 22.171 25.362
Oven 60 C 13.6100* .4982 .000 12.015 15.205
Microwave -125.2333* .4982 .000 -126.829 -123.638
Oven 60 C Angin 10.1567* .4982 .000 8.561 11.752
Oven 40 C -13.6100* .4982 .000 -15.205 -12.015
Microwave -138.8433* .4982 .000 -140.439 -137.248
Microwave Angin 149.0000* .4982 .000 147.405 150.595
Oven 40 C 125.2333* .4982 .000 123.638 126.829
Oven 60 C 138.8433* .4982 .000 137.248 140.439
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar Ekstraktif
Cara Pengeringan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Tukey HSDa Angin 3 184.767 Oven 60 C 3 194.923 Oven 40 C 3 208.533 Microwave 3 333.767
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Duncana Angin 3 184.767 Oven 60 C 3 194.923 Oven 40 C 3 208.533 Microwave 3 333.767
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
192
Lampiran 4. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun
jambu biji terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS Oneway
Descriptives Kadar zat tersari (mg/g)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Kering Angin
3 120.067 .1528 .0882 119.687 120.446 119.9 120.2
Kering Oven 40 C
3 150.200 .2646 .1528 149.543 150.857 149.9 150.4
Kering Oven 60 C
3 165.367 .3512 .2028 164.494 166.239 165.0 165.7
Total 9 145.211 19.9705 6.6568 129.860 160.562 119.9 165.7
Test of Homogeneity of Variances
Kadar zat tersari (mg/g)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.855 2 6 .471
ANOVA
Kadar zat tersari (mg/g)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3190.136 2 1595.068 22085.554 .000 Within Groups .433 6 .072 Total 3190.569 8
193
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)
(I) Cara Pengeringan
(J) Cara Pengeringan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD
Kering Angin Kering Oven 40 C
-30.1333* .2194 .000 -30.807 -29.460
Kering Oven 60 C
-45.3000* .2194 .000 -45.973 -44.627
Kering Oven 40 C
Kering Angin 30.1333* .2194 .000 29.460 30.807
Kering Oven 60 C
-15.1667* .2194 .000 -15.840 -14.493
Kering Oven 60 C
Kering Angin 45.3000* .2194 .000 44.627 45.973
Kering Oven 40 C
15.1667* .2194 .000 14.493 15.840
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar zat tersari (mg/g)
Cara Pengeringan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Tukey HSDa Kering Angin 3 120.067 Kering Oven 40 C 3 150.200 Kering Oven 60 C 3 165.367
Sig. 1.000 1.000 1.000
Duncana Kering Angin 3 120.067 Kering Oven 40 C 3 150.200 Kering Oven 60 C 3 165.367
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
194
Lampiran 5. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway
Descriptives Kadar zat tersari (mg/g)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Kering Angin
3 194.972 .1268 .0732 194.657 195.287 194.9 195.1
Kering Oven 40 C
3 202.140 .1462 .0844 201.777 202.503 202.0 202.3
Kering Oven 60 C
3 162.874 .1357 .0784 162.537 163.211 162.7 163.0
Total 9 186.662 18.1093 6.0364 172.742 200.582 162.7 202.3
Test of Homogeneity of Variances
Kadar zat tersari (mg/g)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.065 2 6 .938
ANOVA
Kadar zat tersari (mg/g)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2623.466 2 1311.733 70445.434 .000 Within Groups .112 6 .019 Total 2623.578 8
195
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)
(I) Cara Pengeringan
(J) Cara Pengeringan
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD Kering Angin Kering Oven 40 C
-7.1673* .1114 .000 -7.509 -6.825
Kering Oven 60 C
32.0983* .1114 .000 31.756 32.440
Kering Oven 40 C
Kering Angin 7.1673* .1114 .000 6.825 7.509
Kering Oven 60 C
39.2657* .1114 .000 38.924 39.608
Kering Oven 60 C
Kering Angin -32.0983* .1114 .000 -32.440 -31.756
Kering Oven 40 C
-39.2657* .1114 .000 -39.608 -38.924
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar zat tersari (mg/g)
Cara Pengeringan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 Tukey HSDa Kering Oven 60 C 3 162.874
Kering Angin 3 194.972 Kering Oven 40 C 3 202.140
Sig. 1.000 1.000 1.000
Duncana Kering Oven 60 C 3 162.874 Kering Angin 3 194.972 Kering Oven 40 C 3 202.140
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
196
Lampiran 6. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa terhadap kadar senyawa fenolat dengan Program SPSS
Oneway
Descriptives Kadar Fenolat (%)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Kering Angin 3 .403933 .0074002 .0042725 .385550 .422317 .3987 .4124 Kering Oven 40 C 3 .292867 .0083608 .0048271 .272097 .313636 .2854 .3019 Kering Oven 60 C 3 .164667 .0056518 .0032631 .150627 .178707 .1605 .1711 Kering Oven Microwave
3 .167667 .0023714 .0013691 .161776 .173557 .1655 .1702
Total 12 .257283 .1037780 .0299581 .191346 .323221 .1605 .4124
Test of Homogeneity of Variances
Kadar Fenolat (%)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.639 3 8 .256
ANOVA Kadar Fenolat (%)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .118 3 .039 970.981 .000 Within Groups .000 8 .000 Total .118 11
197
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar Fenolat (%)
(I) Cara Pengeringan (J) Cara Pengeringan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD Kering Angin
Kering Oven 40 C .1110667* .0051999 .000 .094415 .127719
Kering Oven 60 C .2392667* .0051999 .000 .222615 .255919
Kering Oven Microwave .2362667* .0051999 .000 .219615 .252919
Kering Oven 40 C
Kering Angin -.1110667* .0051999 .000 -.127719 -.094415
Kering Oven 60 C .1282000* .0051999 .000 .111548 .144852
Kering Oven Microwave .1252000* .0051999 .000 .108548 .141852
Kering Oven 60 C
Kering Angin -.2392667* .0051999 .000 -.255919 -.222615
Kering Oven 40 C -.1282000* .0051999 .000 -.144852 -.111548
Kering Oven Microwave -.0030000 .0051999 .936 -.019652 .013652
Kering Oven Microwave
Kering Angin -.2362667* .0051999 .000 -.252919 -.219615
Kering Oven 40 C -.1252000* .0051999 .000 -.141852 -.108548
Kering Oven 60 C .0030000 .0051999 .936 -.013652 .019652 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogeneous Subsets
Kadar Fenolat (%)
Cara Pengeringan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Tukey HSDa Kering Oven 60 C 3 .164667
Kering Oven Microwave 3 .167667
Kering Oven 40 C 3 .292867
Kering Angin 3 .403933
Sig. .936 1.000 1.000
Duncana Kering Oven 60 C 3 .164667
Kering Oven Microwave 3 .167667
Kering Oven 40 C 3 .292867
Kering Angin 3 .403933
Sig. .580 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
198
Lampiran 7. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun jambu biji terhadap kadar senyawa fenolat dengan Program SPSS
Oneway
Descriptives Kadar fenolat (%)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Kering Angin 3 .412767 .0129940 .0075021
.380488 .445045 .3992 .4251
Kering Oven 40 C
3 .455033 .0045236 .0026117
.443796 .466271 .4514 .4601
Kering Oven 60 C
3 .419133 .0008737 .0005044
.416963 .421304 .4184 .4201
Total 9 .428978 .0209044 .0069681
.412909 .445046 .3992 .4601
Test of Homogeneity of Variances
Kadar fenolat (%)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
3.329 2 6 .107
ANOVA
Kadar fenolat (%)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .003 2 .002 24.589 .001 Within Groups .000 6 .000 Total .003 8
199
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar fenolat (%)
(I) Cara Pengeringan
(J) Cara Pengeringan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD Kering Angin Kering Oven 40 C
-.0422667* .0064991 .002 -.062208 -.022326
Kering Oven 60 C
-.0063667 .0064991 .615 -.026308 .013574
Kering Oven 40 C
Kering Angin .0422667* .0064991 .002 .022326 .062208
Kering Oven 60 C
.0359000* .0064991 .004 .015959 .055841
Kering Oven 60 C
Kering Angin .0063667 .0064991 .615 -.013574 .026308
Kering Oven 40 C
-.0359000* .0064991 .004 -.055841 -.015959
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar fenolat (%)
Cara Pengeringan N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Tukey HSDa Kering Angin 3 .412767 Kering Oven 60 C 3 .419133 Kering Oven 40 C 3 .455033
Sig. .615 1.000
Duncana Kering Angin 3 .412767 Kering Oven 60 C 3 .419133 Kering Oven 40 C 3 .455033
Sig. .365 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
200
Lampiran 8. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap kadar senyawa fenolat dengan Program SPSS
Oneway
Descriptives Kadar fenolat (%)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Kering Angin
3 .098567 .0026652 .0015388 .091946 .105187 .0966 .1016
Kering Oven 40 C
3 .100733 .0017954 .0010366 .096273 .105193 .0987 .1021
Kering Oven 60 C
3 .082567 .0025580 .0014769 .076212 .088921 .0808 .0855
Total 9 .093956 .0088350 .0029450 .087164 .100747 .0808 .1021
Test of Homogeneity of Variances
Kadar fenolat (%)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.541 2 6 .608
ANOVA
Kadar fenolat (%)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .001 2 .000 52.524 .000 Within Groups .000 6 .000 Total .001 8
201
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar fenolat (%)
(I) Cara Pengeringan
(J) Cara Pengeringan
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD Kering Angin Kering Oven 40 C
-.0021667 .0019362 .538 -.008107 .003774
Kering Oven 60 C
.0160000* .0019362 .000 .010059 .021941
Kering Oven 40 C
Kering Angin .0021667 .0019362 .538 -.003774 .008107
Kering Oven 60 C
.0181667* .0019362 .000 .012226 .024107
Kering Oven 60 C
Kering Angin -.0160000* .0019362 .000 -.021941 -.010059
Kering Oven 40 C
-.0181667* .0019362 .000 -.024107 -.012226
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar fenolat (%)
Cara Pengeringan N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Tukey HSDa Kering Oven 60 C 3 .082567 Kering Angin 3 .098567
Kering Oven 40 C 3 .100733
Sig. 1.000 .538
Duncana Kering Oven 60 C 3 .082567 Kering Angin 3 .098567
Kering Oven 40 C 3 .100733
Sig. 1.000 .306
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
202
Lampiran 9. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway
Descriptives Kadar zat tersari (mg/g)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Metanol 3 239.433 .6658 .3844 237.779 241.087 239.0 240.2 Etanol 3 184.900 .2646 .1528 184.243 185.557 184.7 185.2 Aseton 3 178.367 .3215 .1856 177.568 179.165 178.0 178.6 Total 9 200.900 29.0408 9.6803 178.577 223.223 178.0 240.2
Test of Homogeneity of Variances
Kadar zat tersari (mg/g)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
3.389 2 6 .104
ANOVA
Kadar zat tersari (mg/g)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 6745.707 2 3372.853 16408.476 .000 Within Groups 1.233 6 .206 Total 6746.940 8
203
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)
(I) Jenis Pelarut
(J) Jenis Pelarut
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD Metanol Etanol 54.5333* .3702 .000 53.398 55.669
Aseton 61.0667* .3702 .000 59.931 62.202
Etanol Metanol -54.5333* .3702 .000 -55.669 -53.398
Aseton 6.5333* .3702 .000 5.398 7.669 Aseton Metanol -61.0667* .3702 .000 -62.202 -59.931
Etanol -6.5333* .3702 .000 -7.669 -5.398 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar zat tersari (mg/g)
Jenis Pelarut N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Tukey HSDa Aseton 3 178.367 Etanol 3 184.900 Metanol 3 239.433
Sig. 1.000 1.000 1.000
Duncana Aseton 3 178.367 Etanol 3 184.900 Metanol 3 239.433
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
204
Lampiran 10. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway
Descriptives Kadar zat tersari (mg/g)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
Metanol 3 181.833 .2887 .1667 181.116 182.550 181.5 182.0 Etanol 3 120.067 .1528 .0882 119.687 120.446 119.9 120.2 Aseton 3 140.233 .2082 .1202 139.716 140.750 140.0 140.4 Total 9 147.378 27.2779 9.0926 126.410 168.345 119.9 182.0
Test of Homogeneity of Variances
Kadar zat tersari (mg/g)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.333 2 6 .332
ANOVA Kadar zat tersari (mg/g)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 5952.376 2 2976.188 59523.756 .000 Within Groups .300 6 .050 Total 5952.676 8
205
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)
(I) Jenis Pelarut
(J) Jenis Pelarut
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD Metanol Etanol 61.7667* .1826 .000 61.206 62.327
Aseton 41.6000* .1826 .000 41.040 42.160
Etanol Metanol -61.7667* .1826 .000 -62.327 -61.206
Aseton -20.1667* .1826 .000 -20.727 -19.606 Aseton Metanol -41.6000* .1826 .000 -42.160 -41.040
Etanol 20.1667* .1826 .000 19.606 20.727 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar zat tersari (mg/g)
Jenis Pelarut N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Tukey HSDa Etanol 3 120.067 Aseton 3 140.233 Metanol 3 181.833
Sig. 1.000 1.000 1.000
Duncana Etanol 3 120.067 Aseton 3 140.233 Metanol 3 181.833
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
206
Lampiran 11. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba meniran terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway Descriptives
Kadar zat tersari (mg/g)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Metanol 3 209.133 .1528 .0882 208.754 209.513 209.0 209.3 Etanol 3 194.967 .1155 .0667 194.680 195.254 194.9 195.1 Aseton 3 192.167 .1528 .0882 191.787 192.546 192.0 192.3 Total 9 198.756 7.8782 2.6261 192.700 204.811 192.0 209.3
Test of Homogeneity of Variances
Kadar zat tersari (mg/g)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.133 2 6 .878
ANOVA
Kadar zat tersari (mg/g)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 496.402 2 248.201 12410.056 .000
Within Groups .120 6 .020
Total 496.522 8
207
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)
(I) Jenis Pelarut
(J) Jenis Pelarut
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Tukey HSD Metanol Etanol 14.1667* .1155 .000 13.812 14.521
Aseton 16.9667* .1155 .000 16.612 17.321
Etanol Metanol -14.1667* .1155 .000 -14.521 -13.812
Aseton 2.8000* .1155 .000 2.446 3.154
Aseton Metanol -16.9667* .1155 .000 -17.321 -16.612
Etanol -2.8000* .1155 .000 -3.154 -2.446 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar zat tersari (mg/g)
Jenis Pelarut N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Tukey HSDa Aseton 3 192.167 Etanol 3 194.967 Metanol 3 209.133
Sig. 1.000 1.000 1.000
Duncana Aseton 3 192.167 Etanol 3 194.967 Metanol 3 209.133
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
208
Lampiran 12. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar fenolat dengan Program SPSS
Oneway
Descriptives Kadar Fenolat (%)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Metanol 3 .754033 .0042336 .0024443 .743516 .764550 .7512 .7589 Etanol 3 .403933 .0074002 .0042725 .385550 .422317 .3987 .4124 Aseton 3 .295467 .0053003 .0030601 .282300 .308633 .2902 .3008 Total 9 .484478 .2076114 .0692038 .324894 .644062 .2902 .7589
Test of Homogeneity of Variances
Kadar Fenolat (%)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.841 2 6 .477
ANOVA
Kadar Fenolat (%)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .345 2 .172 5129.268 .000 Within Groups .000 6 .000 Total .345 8
209
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar Fenolat (%)
(I) Jenis Pelarut
(J) Jenis Pelarut
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Tukey HSD Metanol Etanol .3501000* .0047324 .000 .335580 .364620
Aseton .4585667* .0047324 .000 .444046 .473087
Etanol Metanol -.3501000* .0047324 .000 -.364620 -.335580
Aseton .1084667* .0047324 .000 .093946 .122987
Aseton Metanol -.4585667* .0047324 .000 -.473087 -.444046
Etanol -.1084667* .0047324 .000 -.122987 -.093946 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar Fenolat (%)
Jenis Pelarut N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 Tukey HSDa Aseton 3 .295467
Etanol 3 .403933 Metanol 3 .754033
Sig. 1.000 1.000 1.000
Duncana Aseton 3 .295467 Etanol 3 .403933 Metanol 3 .754033
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
210
Lampiran 13. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar fenolat dengan Program SPSS
Oneway
Descriptives Kadar Fenolat (%)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Metanol 3 .494867 .0047057 .0027168 .483177 .506556 .4913 .5002 Etanol 3 .412767 .0129940 .0075021 .380488 .445045 .3992 .4251 Aseton 3 .453767 .0042442 .0024504 .443223 .464310 .4503 .4585 Total 9 .453800 .0362778 .0120926 .425914 .481686 .3992 .5002
Test of Homogeneity of Variances
Kadar Fenolat (%)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.860 2 6 .235
ANOVA Kadar Fenolat (%)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .010 2 .005 72.564 .000 Within Groups .000 6 .000 Total .011 8
211
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar Fenolat (%)
(I) Jenis Pelarut
(J) Jenis Pelarut
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD Metanol Etanol .0821000* .0068150 .000 .061190 .103010
Aseton .0411000* .0068150 .002 .020190 .062010
Etanol Metanol -.0821000* .0068150 .000 -.103010 -.061190
Aseton -.0410000* .0068150 .002 -.061910 -.020090
Aseton Metanol -.0411000* .0068150 .002 -.062010 -.020190
Etanol .0410000* .0068150 .002 .020090 .061910 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar Fenolat (%)
Jenis Pelarut N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Tukey HSDa Etanol 3 .412767 Aseton 3 .453767 Metanol 3 .494867
Sig. 1.000 1.000 1.000
Duncana Etanol 3 .412767 Aseton 3 .453767 Metanol 3 .494867
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
212
Lampiran 14. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba meniran terhadap kadar fenolat dengan Program SPSS
Oneway
Descriptives Kadar Fenolat (%)
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Metanol 3 .499700 .0110041 .0063532 .472364 .527036 .4930 .5124 Etanol 3 .098567 .0026652 .0015388 .091946 .105187 .0966 .1016 Aseton 3 .100733 .0017954 .0010366 .096273 .105193 .0987 .1021 Total 9 .233000 .2001093 .0667031 .079182 .386818 .0966 .5124
Test of Homogeneity of Variances
Kadar Fenolat (%)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
9.255 2 6 .015
ANOVA
Kadar Fenolat (%)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .320 2 .160 3653.498 .000 Within Groups .000 6 .000 Total .320 8
213
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable:Kadar Fenolat (%)
(I) Jenis Pelarut
(J) Jenis Pelarut
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Tukey HSD Metanol Etanol .4011333* .0054040 .000 .384552 .417714
Aseton .3989667* .0054040 .000 .382386 .415548
Etanol Metanol -.4011333* .0054040 .000 -.417714 -.384552
Aseton -.0021667 .0054040 .916 -.018748 .014414
Aseton Metanol -.3989667* .0054040 .000 -.415548 -.382386
Etanol .0021667 .0054040 .916 -.014414 .018748 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar Fenolat (%)
Jenis Pelarut N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Tukey HSDa Etanol 3 .098567 Aseton 3 .100733 Metanol 3 .499700
Sig. .916 1.000
Duncana Etanol 3 .098567 Aseton 3 .100733 Metanol 3 .499700
Sig. .702 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
214
Lampiran 15. Hasil optimasi sistem kromatografi lapis tipis (KLT) untuk karakterisasi herba meniran
Gambar 15.1 Kromatogram lapis tipis berbagai fraksi dari ekstrak herba meniran
dengan eluen campuran heksan-etil asetat (5:5, 6:4, 7:3, 8:2 dan 9:1) dan penampak noda H2SO4 5% dalam metanol
Keterangan: P : fraksi petroleum eter K : fraksi kloroform M : fraksi metanol Q : pembanding kuersetin
215
Tabel 15.1 Hasil pengujian profil KLT fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan eluen berbagai perbandingan campuran heksan - etil asetat
Fraksi Sistem pelarut heksana-etil asetat Jumlah noda & harga Rf (penampak noda H2SO4 5% dalam metanol) Perbandingan Kepolaran
Petroleum eter
9 :1 0,53 4 noda Rf 0,4, 0,2, 0,1, 0,06
8:2 0,96 9 noda
Rf 0,76, 0,68, 0,52, 0,44, 0,4, 0,34, 0,28, 0,22, 0,14
7:3 1,39 7 noda
Rf 0,94, 0,8, 0,74, 0,64, 0,5, 0,4, 0,32
6:4 1,82 6 noda
Rf 0,86, 0,76, 0,66, 0,6, 0,46, 0,06
5:5 2,25 5 noda Rf 0,9, 0,7, 0,6, 0,2, 0,12
Kloroform
9:1 0,53 5 noda Rf 0,76, 0,36, 0,2, 0,12, 0,04
8:2 0,96 7 noda
Rf 0,92, 0,74, 0,66, 0,52, 0,38, 0,2, 0,14
7:3 1,39 7 noda
Rf 0,9, 0,8, 0,72, 0,6, 0,52, 0,42, 0,3
6:4 1,82 8 noda
Rf 0,94, 0,86, 0,76, 0,68, 0,6, 0,5, 0,24, 01
5:5 2,25 9 noda
Rf 0,94, 0,88, 0,76, 0,66, 0,54, 0,4, 0,3, 0,18, 0,08
Metanol
9:1 0,53 Tidak tampak noda
8:2 0,96 Tidak tampak noda
7:3 1,39 2 noda Rf 0,1, 0,6
6:4 1,82 2 noda Rf 0,2, 0,1
5:5 2,25 4 noda Rf 0,62, 0,32, 0,22, 0,08
Kuersetin
9:1 0,53 Tidak tampak noda
8:2 0,96 Tidak tampak noda
7:3 1,39 1 noda Rf 0,2
6:4 1,82 Tidak tampak noda
5:5 2,25 Tidak tampak noda
216
Gambar 15.2 Kromatogram lapis tipis berbagai fraksi dari ekstrak herba meniran
dengan eluen campuran petroleum eter-aseton (5:5, 6:4, 7:3, 8:2 dan 9:1) dan penampak noda H2SO4 5% dalam metanol
Keterangan: P : fraksi petroleum eter K : fraksi kloroform M : fraksi metanol Q : pembanding kuersetin
217
Tabel 15.2 Hasil pengujian profil KLT fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan eluen berbagai perbandingan campuran petroleum eter - aseton
Fraksi Sistem pelarut petroleum eter-
aseton Jumlah noda & harga Rf
( penampak noda H2SO4 5% dalam metanol) Perbandingan Kepolaran
Petroleum eter
9:1 0,6 3 noda Rf 0,46, 0,22, 0,26
8:2 1,1 7 noda
Rf 0,74, 0,64, 0,48, 0,42, 0,36, 0,26, 0,2
7:3 1,6 7 noda
Rf 0,88, 0,76, 0,72, 0,66, 0,6, 0,54, 0,16
6:4 2,1 9 noda
Rf 0,86, 0,78, 0,74, 0,64, 0,6, 0,54, 0,48, 0,2, 0,1
5:5 2,6 6 noda
Rf 0,96, 0,88, 0,6, 0,52, 0,38, 0,3
Kloroform
9:1 0,6 3 noda Rf 0,86, 0,48, 0,26
8:2 1,1 8 noda
Rf 0,72, 0,64, 0,48, 0,4, 0,36, 0,3, 0,24, 0,18
7:3 1,6 11 noda
Rf 0,96, 0,86, 0,76, 0,68, 0,64, 0,58, 0,52, 0,36, 0,28, 0,2, 0,1
6:4 2,1 10 nada
Rf 0,92, 0,84, 0,76, 0,7, 0,64, 0,6, 0,56, 0,5, 0,26, 0,16
5:5 2,6 10 noda
Rf 0,96, 0,88, 0,82, 0,76, 0,68, 0,6, 0,52, 0,46, 0,3, 0,22
Metanol
9:1 0,6 Tidak ada noda
8:2 1,1 1 noda Rf 0,16
7:3 1,6 4 noda Rf 0,6, 0,42, 0,34, 0,24
6:4 2,1 4 noda Rf 0,58, 0,52, 0,4, 0,3
5:5 2,6 5 noda Rf 0,78, 0,62, 0,52, 0,38, 0,16
Kuersetin
9:1 0,6 Tidak ada noda
8:2 1,1 1 noda Rf 0.1
7:3 1,6 1 noda Rf 0,2
6:4 2,1 2 noda Rf 0,2, 0,4
5:5 2,6 2 noda Rf 0,8, 0,7
218
Lampiran 16. Pola kromatografi lapis tipis simplisia herba meniran menurut Farmakope Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008)
Gambar 16.1 Pola kromatografi lapis tipis simplisia herba meniran menurut
Farmakope Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008)
219
Lampiran 17. Hasil uji keseuaian sistem kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk analisis campuran beberapa flavonoid
Gambar 17.1 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak
metanol : aquabidest (60:40) Tabel 17.1 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan
kuersetin pada fasa gerak methanol : aquabidestilata (60:40)
No Senyawa tR (menit) w (menit) N HETP (mm) TF k’ R α
1. 2 3.
Rutin Isokuersetin
Kuersetin
4,167 4,892 11,925
1,4 0,8 1,2
141,747 598,292 1580,06
0,176 0,042 0,016
- 0,95
-
0,603 0,882 3,587
0,659 7,033
1,46 4,06
220
Gambar 17.2 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak
metanol : aquabidest (70:30) Tabel 17.2 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan
kuersetin pada fasa gerak metanol : aquabidestilata (70:30)
No Senyawa tR (menit) W (menit) N HETP (mm) TF k’ R α
1. 2 3.
Rutin Isokuersetin
Kuersetin
3,317 4,808 6,000
1,0 1,5 1,9
176,039 164,387 158,557
0,142 0,152 0,158
2,333 0,938 2,636
0,229 0,781 1,222
1,193 0,701
3,41 1,56
221
Gambar 17.3 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak
metanol : asam asetat 1 % (60:40) Tabel 17.3 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan
kuersetin pada fasa gerak methanol : asam asetat 1% (60:40)
No Senyawa tR (menit) W (menit) N HETP (mm) TF k’ R α
1. 2. 3.
Rutin Isokuersetin
Kuersetin
3,933 6,983 10,383
1,9 2,3 2
68,5584 147,485 431,227
0,365 0,169 0,058
1,2 1,5 1,5
0,513 1,686 2,993
1,452 1,581
3,28 1,77
222
Gambar 17.4 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak
metanol : asam asetat 1 % (70:30) Tabel 17.4 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan
kuersetin pada fasa gerak methanol : asam asetat 1% (70:30)
No Senyawa tR (menit) W (menit) N HETP
(mm) TF k’ R α
1 2 3
Rutin Isokuersetin Kuersetin
3,300 4,625 5,942
1,1 1,1 1,2
144 282,85 392,3
0,174 0,088 0,064
0,917 1,55 0,5
0,222 0,713 1,201
1,20 1,14
3,208 1,68
Keterangan:
2
16
wtN R
NLHETP
abTF
0
0't
ttk R α01
02
tttt
R
R
12
122wwttR
N = Jumlah pelat teori TF = Faktor kesimetrisan
tR = Waktu retensi zat (menit) k’ = Faktor kapasitas
t0 = Waktu retensi pelarut R = Resolusi
w = Lebar puncak (menit) α = selektifitas
HETP = Tinggi yang setara dengan plat teoritis
L = Panjang kolom (mm)
Lampiran 18. Spektrum infra merah isolat A2 dari ekstrak daun dewa
Lampiran 19. Kromatogram LC-MS isolat A2 dari ekstrak daun dewa
1 2 0 01 4 0 01 6 0 01 8 0 02 0 0 02 4 0 02 8 0 03 2 0 03 6 0 04 0 0 0
5 0
5 5
6 0
6 5
7 0
7 5
8 0
8 5
9 0
9 5
1 0 0
% T
3425
.58
3292
.49 31
94.1
2
3093
.82
2953
.02
2916
.37
2833
.43
2719
.63
2609
.69
2472
.74
2308
.79
1926
.89
1870
.95
1759
.08
1670
.35
1614
.42
1517
.98
1460
.11
1431
.18
1361
.74
1319
.31
1294
.24
1244
.09 1213
.23
1165
.00
1099
.43
S T I F / H R O 1 / 0 1 1 2
ccxxiv
0 4 8 12 16Retention Time (Min)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
% I
nten
sity
BPI=>NR(2.00)
T4.0
ccxxv
Lampiran 20. Spektrum massa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dengan LC-
MS ESI Positive Ion Mode
99.0 319.2 539.4 759.6Mass (m/z)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
% I
nten
sity
Mariner Spec /82:84 (T /3.91:4.01) -67:71 (T -3.91:4.01) ASC=>NR(2.00)[BP = 303.1, 2920]
303.11
304.12
305.11 397.12 657.39
ccxxvi
Lampiran 21. Spektrum 1H NMR isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam DMSO-d6
ccxxvii
Lampiran 22. Spektrum 13C NMR Isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam DMSO-d6