disertasi irenedonut 19-06-2008

174
1 UNIVERSITAS INDONESIA MODEL SIMULATOR RISIKO KARIES GIGI PADA ANAK PRASEKOLAH DISERTASI Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran Gigi pada Universitas Indonesia di Jakarta, dibawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri untuk dipertahankan dihadapan Sidang Ujian Terbuka Program Doktor pada Hari Rabu, tanggal 2 Juli 2008, pukul 10.00 WIB. Irene Adyatmaka PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS INDONESIA 2008

Upload: rcaandhika

Post on 11-Sep-2015

241 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

DOKUMEN

TRANSCRIPT

  • 1

    UNIVERSITAS INDONESIA

    MODEL SIMULATOR RISIKO KARIES GIGI PADA ANAK PRASEKOLAH

    DISERTASI

    Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran Gigi pada Universitas Indonesia di Jakarta,

    dibawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri

    untuk dipertahankan dihadapan Sidang Ujian Terbuka Program Doktor pada Hari Rabu, tanggal 2 Juli 2008, pukul 10.00 WIB.

    Irene Adyatmaka

    PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

    UNIVERSITAS INDONESIA 2008

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Karies gigi didefinisikan sebagai hilangnya mineral dari permukaan gigi yang

    berkepanjangan, yang distimulasi oleh adanya bakteri tertentu dan produk yang

    dihasilkannya. Kehilangan mineral awalnya hanya dapat diamati secara mikroskopis, tetapi

    lama-kelamaan akan terlihat pada email sebagai lesi putih (white spot). Kegagalan untuk

    mencegah dan mengembalikan kehilangan mineral akan menyebabkan terjadinya lubang.[1-

    4] Saat ini ada dua cara penghitungan karies gigi. (1) Penghitungan karies gigi secara

    konvensional ditinjau dari kebutuhan epidemiologi sesuai dengan Oral Health Surveys Basic

    Method WHO 1997, terdiri dari komponen decay (kavitas yang tampak kasat mata, dan

    gigi dengan pengalaman karies gigi seperti gigi dengan tambalan sementara) ditambah

    komponen filling (kavitas yang telah ditambal). White spot dan fisur yang mengalami

    diskolorasi tidak masuk kategori karies gigi.[5] Penghitungan WHO ini dikenal dengan df-t

    untuk gigi sulung / DMF-T untuk gigi tetap.[6] (2) Penghitungan karies secara progresif

    memungkinkan pengklasifikasian komponen D(Decay) karies gigi secara anatomi gigi dengan

    melihat penetrasinya ke dalam jaringan gigi terlihat pada Gambar 2.3 sebelah kanan, yaitu

    (D1) lesi awal (sering disebut sebagai incipient lesion/white spot), (D2) penetrasi karies gigi

    mencapai email, tampak kavitas email, (D3) Penetrasi karies gigi mencapai dentin, (D4)

    penetrasi karies gigi mencapai pulpa.[6] Sesuai dengan The Application of the International

    Classification of Diseases and Stomatology, 3rd edition WHO 1995 karies gigi adalah proses

    sejak awal hingga terbentuknya gigi berlubang. Dalam hal ini yang termasuk kodifikasi K02

    (Karies gigi) adalah karies gigi terbatas pada email, lesi putih (white spot), karies gigi awal,

    karies gigi mencapai dentin, karies gigi pada semen, karies gigi terhenti (arrested caries).

    Dalam penghitungan progresif ini, lesi white spot dihitung sebagai karies gigi . Bila

    kelanjutan karies gigi di masukkan ke dalam kategori karies gigi maka akan melibatkan

    penyakit pulpa dan jaringan periapikal (K04).

    Kesehatan gigi dan mulut merupakan hal fundamental bagi kesehatan umum karena

    mulut yang sehat memungkinkan individu untuk berbicara, makan, bersosialisasi tanpa

  • 3

    mengalami rasa sakit, rasa tidak nyaman, maupun rasa malu.[7] Tanpa perawatan yang

    memadai, proses karies gigi akan terus berlanjut hingga gigi hancur. Karies gigi merupakan

    penyebab utama sakit gigi dan kehilangan gigi. Karies gigi adalah satu di antara banyak

    penyakit masa kanak-kanak yang dapat dicegah dan setiap orang rentan terhadap penyakit

    ini sepanjang hidupnya.[8] Adanya karies gigi dapat mengganggu sistem pengunyahan pada

    umumnya, dan dapat menjadi infeksi fokal sehingga mengganggu kesehatan dan tumbuh

    kembang anak.[9] Di Amerika, Kanada, dan Inggris misalnya, terbukti bahwa karies gigi pada

    masa kanak-kanak sangat mempengaruhi kualitas hidup anak-anak. Pada anak-anak

    Aborigin di Australia Barat, karies gigi merupakan penyakit nomor 5 dari penyakit yang

    paling sering menyebabkan anak harus dirawat di rumah sakit pada anak prasekolah (usia 1-

    4 tahun).[10] Lebih dari 50 juta jam sekolah pertahun hilang sebagai akibat yang ditimbulkan

    oleh sakit gigi pada anak-anak, dan akibat ini akan berdampak hingga kehidupan dewasa

    nanti.[7] Di Indonesia 62,4% penduduk merasa terganggu pekerjaan/sekolahnya karena sakit

    gigi selama rata-rata 3,86 hari per tahun.[11] Kondisi ini menunjukkan bahwa penyakit gigi,

    walaupun tidak menimbulkan kematian, dapat menurunkan produktivitas kerja. Penelitian

    di Medan membuktikan adanya dampak karies gigi terhadap empat dimensi kualitas hidup,

    yaitu keterbatasan fungsi, rasa sakit, ketidaknyamanan psikis, dan disabilitas fisik.[12] Di DKI

    Jakarta sendiri, hasil evaluasi karies gigi pada anak balita tahun 1993 menemukan bahwa

    44,4% anak mengalami susah makan karena keluhan sakit gigi, dan hal ini berdampak 13,1%

    anak mempunyai status gizi di bawah normal.[13] Sheiham mengemukakan tiga dampak

    karies gigi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak prasekolah, yaitu (1) karies gigi

    yang tidak terawat dapat menyebabkan rasa sakit sehingga mengganggu asupan makan

    anak, (2) rasa sakit bisa menimbulkan gangguan tidur dan selanjutnya mengganggu produksi

    glucosteroid dan pertumbuhan, (3) inflamasi kronis dari karies gigi dapat menekan

    hemoglobin dan selanjutnya menimbulkan anemia karena produksi eritrosit dalam sumsum

    tulang menjadi berkurang. Hal ini menjelaskan bahwa sangat perlu merawat karies gigi pada

    anak prasekolah untuk meningkatkan tumbuh kembang dan meningkatkan kualitas hidup

    anak.[14]

    WHO mentargetkan bahwa pada tahun 2000 sedikitnya 50% anak usia 5-6 tahun

    bebas karies gigi .[15] Namun, pada kenyataannya, prevalensi karies gigi pada anak

    prasekolah dilaporkan mulai dari 1% hingga 72%.[2, 10, 16-18] Bervariasinya laporan disebabkan

    anak usia prasekolah yang terkena karies gigi terkadang tidak memiliki akses untuk

  • 4

    pemeriksaan gigi. Selain itu, memeriksa anak seusia mereka jauh lebih sulit daripada

    memeriksa orang dewasa.[16, 19] Menurut WHO, hingga tahun 2006 karies gigi masih menjadi

    masalah utama dan mengenai 60% - 90% murid sekolah.[15] Survai Kesehatan Rumah Tangga

    2001 melaporkan bahwa 76,5% anak usia 12 tahun memiliki kerusakan gigi yang belum

    ditangani.[11] Prevalensi karies gigi yang mencapai pulpa dan akar gigi sudah dijumpai pada

    murid kelas 2 SD sebesar 5,3%, sementara itu 81,3% anak usia 5 tahun memiliki gigi

    permanen yang sudah berlubang.[11, 20] Pengamatan pendahuluan di 13 sekolah swasta di

    Jakarta menemukan hal serupa, bahwa 55% anak kelas 1 SD memiliki gigi yang berlubang,

    dengan rata-rata 2 gigi sulung berlubang per anak.[21] Oleh karena itu, dirasakan adanya

    kebutuhan untuk melakukan upaya pencegahan penyakit gigi melalui sekolah, pada jenjang

    yang lebih awal, yaitu prasekolah.

    Karies gigi saat ini dipahami sebagai penyakit multifaktorial, dapat ditularkan, dan

    infeksius, sehingga dianggap sebagai masalah sosial.[16] Mekanisme proses karies gigi pada

    dasarnya sama untuk semua jenis karies gigi . Bakteri endogen (kebanyakan mutans dari

    Streptococci [Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus] dan Lactobacillus spp)

    dalam biofilm memproduksi asam organik lemah sebagai hasil metabolisme karbohidrat

    yang dapat difermentasi. Asam ini menyebabkan pH lokal turun hingga di bawah ambang

    kritis (pH = 5,5) sehingga terjadilah demineralisasi jaringan gigi.[22, 23] Jika kalsium, fosfat, dan

    dan karbonat terus dibiarkan berdifusi keluar dari gigi, maka lama-kelamaan akan terbentuk

    lubang. Demineralisasi dapat dibalik arahnya pada tahap awal melalui pemasukan ion

    kalsium, fosfat, dan fluor.[3] Fluor bertindak sebagai katalis yang membantu difusi kalsium

    dan fosfat masuk ke dalam gigi, yang dapat meremineralisasi struktur kristal gigi pada

    daerah lesi. Permukaan kristal gigi yang terbentuk kembali, mempunyai komposisi yang

    terdiri dari hidroksiapatit yang terfluoridasi, atau fluorapatit, yang lebih tahan terhadap

    serangan asam dibandingkan struktur aslinya.

    Faktor risiko fisik dan biologis untuk karies gigi email meliputi aliran dan komposisi

    saliva,[3, 23, 24] tebalnya biofilm,[25] kematangan biofilm,[26] bakteri kariogenik dalam jumlah

    banyak,[22, 27, 28] kurangnya paparan fluor,[3, 23, 29, 30] komponen imunologi, kebutuhan akan

    perawatan kesehatan khusus, riwayat karies gigi sulung,[31] serta faktor genetik.[32] Karies

    gigi berhubungan erat dengan gaya hidup seseorang, yang meliputi kebersihan mulut yang

    jelek, kebiasaan makan yang jelek (misal sering ngemil karbohidrat refined di antara waktu

    makan, seringnya frekuensi penggunaan obat peroral yang mengandung gula, dan cara

  • 5

    pemberian makanan bayi yang kurang tepat).[24, 33] Faktor risiko karies gigi yang lain

    meliputi kemiskinan,[10, 34, 35] status sosial,[36-38] keadaan anak sebagai perokok pasif,[39]

    pendidikan orangtua, ada tidaknya asuransi kesehatan gigi, umur ibu,[40] anak dengan

    orangtua/pengasuh yang mempunyai riwayat karies gigi yang cukup parah, serta perilaku

    orangtua/ pengasuh.[41, 42] Anak dengan berat badan rendah pada saat lahir juga berisiko

    terhadap karies gigi , meskipun belum ada bukti yang jelas. Kolonisasi Streptococcus mutans,

    serta bakteri kariogenik lainnya pada usia anak yang sangat muda, dapat menjadi faktor

    risiko utama perkembangan karies gigi .[2, 24, 43, 44] Saat ini mulai diteliti faktor risiko secara

    genetika, dan diketahui analisis amplified polymorphic DNA (AP-PCR) mampu mendeteksi

    variasi genetik sehingga di masa yang akan datang diharapkan ada pemahaman yang lebih

    baik mengenai transmisi Streptococcus mutans dari ibu/ayah ke bayinya (intrafamilial

    transmission) yang dianggap berperan penting dalam kejadian karies gigi.[45] Risiko karies

    gigi seseorang dapat bervariasi sejalan dengan waktu karena banyak faktor risiko yang

    dapat diperbaiki dan diubah. Etiologi karies gigi dan berbagai faktor risiko yang

    mempengaruhi telah dipahami. Yang masih menjadi masalah adalah bagaimana

    menerapkan pengetahuan tersebut untuk mendiagnosa tingkat aktivitas karies gigi sebelum

    terjadi dampak karies gigi, yaitu lubang, dan kedua, adalah mengubah anak yang rentan

    penyakit karies gigi menjadi lebih tidak rentan.[23] Oleh karena itu semua faktor risiko yang

    mungkin berkontribusi harus dipertimbangkan agar dapat disusun strategi pencegahan dan

    perawatan karies gigi secara spesifik, untuk mendapatkan cara yang lebih efektif efisien.[4,

    46]

    Pencegahan karies gigi pada anak prasekolah memerlukan strategi khusus.

    Kebanyakan peneliti setuju bahwa satu-satunya pendekatan rasional untuk karies gigi

    adalah pencegahan, yang diawali dengan penyuluhan kesehatan gigi. Namun, sangat kecil

    bukti yang menyatakan bahwa penyuluhan kesehatan gigi dan kampanye kesehatan gigi

    dapat menurunkan penyakit mulut secara umum dengan efektif.[47-49] Memberikan

    penyuluhan kesehatan gigi pada anak saja ternyata cukup membuat frustrasi para pendidik

    kesehatan, dan tidak begitu berhasil menurunkan angka kerusakan gigi, terutama balita.

    Untuk anak usia di bawah 4 tahun, keberhasilan pencegahan karies gigi lebih tercapai jika

    penyuluhan diberikan kepada orang tuanya.[41] Mahon dalam disertasinya mengatakan

    bahwa, pengetahuan serta praktik kesehatan seorang anak dipengaruhi oleh orang tua dan

    gurunya.[50]

  • 6

    Salah satu usaha untuk bisa menjangkau anak prasekolah adalah melalui pendekatan

    usaha kesehatan gigi yang dilakukan di sekolah taman kanak-kanak (UKGS). Sekolah

    merupakan wadah yang efektif untuk mempromosikan kesehatan gigi dan mulut, karena

    anak-anak sekolah jumlahnya mencapai lebih dari 1 miliar di dunia.[7] Banyak masalah

    kesehatan gigi dan mulut yang dapat dicegah dan bahkan dapat dihentikan perjalanannya.

    Hanya saja, orang tua dan guru seringkali tidak memiliki cukup pengetahuan mengenai

    penyebab dan cara pencegahan penyakit gigi dan mulut. Selain itu, ditambah dengan

    perilaku berisiko karies gigi tinggi pada anak, maka sekolah merupakan sarana yang tepat

    untuk memulai pendidikan pola hidup sehat, karena sekolah memiliki pengaruh yang kuat

    terhadap pembentukan perkembangan anak dan kesejahteraannya[7].

    Pelaksanaan program upaya kesehatan gigi untuk anak sekolah dasar (UKGS) telah

    dilakukan oleh pemerintah pada Sekolah Dasar sejak tahun 1951 dengan program yang

    diberlakukan secara massal dan beban dana untuk pelaksanaan program rutin UKGS DKI

    Jakarta dari tahun 1999 sampai 2001 mencapai Rp. 1,68 miliar/tahun anggaran.[20] Program

    rutin Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) bervariasi mulai dari yang minimal sampai

    optimal, meliputi upaya promotif untuk murid dan guru. Upaya pencegahan karies gigi

    berupa kumur fluor 2X sebulan dan sikat gigi massal, dilengkapi upaya kuratif berupa

    ekstraksi dan pengobatan darurat bagi murid kelas 1-6, serta perawatan medik gigi berupa

    ekstraksi gigi permanen dan restorasi amalgam dan ART (Atraumatic Restorative Treatment)

    pada gigi permanen murid kelas 4-5. Hasil evaluasi tahun 2002 terhadap UKGS tahap 3

    (paket optimal/ paripurna) di DKI Jakarta, menunjukkan prevalensi karies gigi permanen

    sebesar 85,5%, prevalensi gingivitis 70,2%, dengan rasio tambal:cabut=2:3, dan nilai

    Performed Treatment Index (PTI) 8%.[20] Keterbatasan program yang diberlakukan massal

    adalah besarnya biaya, waktu, tenaga, dan belum tentu memberikan hasil seperti yang

    diinginkan.

    Baelum menyatakan bahwa faktor risiko karies gigi tiap kelompok tidak sama

    sehingga intervensi tiap kelompok pun harusnya berbeda.[3] Oleh karenanya perlu

    diterapkan konsep identifikasi risiko karies gigi yang bersifat individual. Dibandingkan

    dengan pendekatan tradisional, pendekatan intervensi melalui identifikasi risiko pada anak-

    anak, terutama usia yang masih muda, memiliki potensi yang lebih baik dalam

    meningkatkan kesehatan gigi dan mulut.[23, 51-55] Melalui identifikasi populasi berisiko tinggi

  • 7

    dan pendekatan yang tepat, karies gigi dapat dikontrol dan bahkan dapat dicegah.[8, 23, 24, 46,

    52, 56-58]

    Saat ini ada banyak metode dikembangkan untuk mengidentifikasi risiko karies gigi.

    Shimono membuat Cariostat, suatu metode kolorimetri untuk mengelompokkan pasien

    risiko karies gigi tinggi dan rendah, berdasarkan aktivitas mikroorganisme dalam sampel

    biofilm.[59] Bratthall mengembangkan metode untuk mengidentifikasi penilaian risiko karies

    gigi melalui Cariogram, yaitu suatu program komputer yang menyajikan diagram pie

    interaksi antar berbagai faktor risiko karies gigi, antara lain faktor saliva, pola diet, biofilm,

    asupan fluor, adanya penyakit dan pengalaman karies gigi .[29, 60] Hien Ngo membuat Traffic

    Light Matrix, yang menyajikan faktor saliva, biofilm, diet, fluor, modifying factors, dalam

    skoring merah-kuning-hijau.[23] The American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD)

    membuat CAT (Caries Risk Assessment Tool) yang mengelompokkan risiko karies gigi tinggi,

    sedang, rendah secara manual berdasarkan faktor fisik, lingkungan, dan kesehatan

    umum.[53] Departemen Kesehatan Selandia baru membuat panduan Risk Assessment and

    Recall Intervals dengan mengelompokkan individu risiko karies gigi tinggi dan rendah,

    berdasarkan faktor riwayat karies gigi, banyaknya biofilm, jenis diet, frekuensi asupan

    karbohidrat, sekresi saliva, fluor.[57]

    Berbagai instrumen tersebut di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan.

    Kebanyakan dari instrumen tersebut menggunakan penghitungan jumlah bakteri melalui

    media yang harus dibiakkan beberapa hari di laboratorium dan biayanya relatif mahal.

    Kendala lain yang spesifik jika diterapkan pada anak prasekolah adalah sulitnya pengambilan

    sampel volume saliva.[61] Dalam setting intervensi preventif karies gigi pada anak prasekolah,

    terutama dalam hal ini anak taman kanak-kanak, dirasakan perlunya suatu alat bantu yang

    secara cepat, mudah, tetapi cukup akurat dapat mengidentifikasi risiko karies gigi anak, bisa

    memotivasi anak dan orang tuanya, serta memberikan rekomendasi tindakan pencegahan

    yang tepat. Hal ini mengingat laju karies gigi anak dapat sangat progresif, banyaknya jumlah

    anak yang harus ditangani di sekolah dan sebagian besar pelaksana di lapangan adalah

    perawat gigi. Oleh karena itu, akan dirancang suatu instrumen interaktif berupa simulator

    risiko karies gigi, yang secara computerized dapat menilai faktor risiko dan memperkirakan

    besarnya kemungkinan terjadinya karies gigi baru. Simulasi dengan program komputer akan

    memberikan beberapa keuntungan seperti mudah penggunaannya, cepat memberikan hasil

    penilaian, sehingga baik anak maupun orang tua dapat langsung melihat simulasi efek

  • 8

    perbaikan kesehatan gigi jika mereka melakukan sesuai dengan anjuran yang diberikan.

    Selain itu, perlu dikembangkan suatu alat bantu semacam motivational report untuk

    orangtua dan anak agar bisa secara mandiri dan berkelanjutan melaksanakan pencegahan

    yang disarankan.

    1.2 Pertanyaan Penelitian

    1. Apakah faktor anak (jenis kelamin, umur, berat badan saat lahir, indeks massa tubuh,

    white spot, diskolorasi fisur, gigi berjejal, pH saliva, pH biofilm, konsistensi makanan,

    kebiasaan mengemut makanan, kebiasaan makan sayur, kebiasaan makan permen,

    frekuensi makan permen, frekuensi sikat gigi, penggunaan pasta gigi, sikat gigi

    sendiri/dibantu, lama pemberian ASI, lama pemberian susu botol, frekuensi minum

    susu, susu diberi tambahan gula, suka minum soft-drink, kebiasaan sikat gigi malam)

    dan faktor ibu (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, praktik kesehatan

    gigi), serta faktor ada tidaknya pengasuh, tipe pengasuh, secara bersama-sama

    berkontribusi terhadap risiko terjadinya karies gigi pada anak prasekolah?

    2. Apakah faktor-faktor di atas dapat membentuk instrumen simulasi risiko karies gigi

    dengan program komputer yang dapat diterima penggunaannya oleh dokter gigi dan

    perawat untuk memotivasi orang tua dan anak?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan Umum

    Secara umum, penelitian ini bertujuan menyusun simulator risiko karies gigi berupa

    instrumen simulasi dengan program komputer bagi anak prasekolah berdasarkan

    faktor risiko yang terbukti berpengaruh.

    1.3.2 Tujuan Khusus

    Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

    1. Menjelaskan faktor-faktor dan besar risiko karies gigi pada anak prasekolah yang

    berkaitan dengan karakteristik anak, kondisi lokal mulut anak, dan karakteristik

    keluarga (ibu);

    2. Mendapatkan instrumen simulasi risiko karies gigi dominan pada anak prasekolah

    dan rekomendasinya;

    3. Menyusun pemrograman komputasi yang sesuai.

  • 9

    4. Memberdayakan ibu dan pengasuh untuk melakukan pencegahan karies gigi pada

    anak prasekolah.

    1.4 Manfaat

    1.4.1 Manfaat teoretis

    Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut.

    1. Menghasilkan instrumen simulasi risiko karies gigi bagi anak prasekolah;

    2. Studi ini menjelaskan faktor risiko karies gigi yang berpengaruh pada anak

    prasekolah, yang di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian serupa dengan

    tingkat presisi tinggi;

    3. Memberikan informasi yang berguna untuk pengembangan keilmuan, yaitu

    pengembangan alat ukur penilaian risiko karies gigi dan saran intervensi menurut

    kelompok faktor risiko yang dimiliki setiap anak

    1.4.2 Manfaat metodologis

    Manfaat metodologis penelitian ini adalah sebagai berikut.

    1. Simulator yang dihasilkan sangat memudahkan penilaian risiko karies gigi untuk

    setiap anak prasekolah;

    2. Intervensi yang dilakukan pada anak prasekolah dapat dilakukan secara lebih efektif

    dan efisien;

    3. Simulator membuat dokumentasi perjalanan risiko tiap anak, sehingga memudahkan

    pemantauan dan evaluasi.

    1.4.3 Manfaat aplikatif

    Manfaat aplikatif penelitian ini adalah sebagai berikut.

    1. Bagi kesehatan masyarakat, manfaatnya adalah menemukan indeks komposit tingkat

    risiko karies gigi bagi murid taman kanak-kanak;

    2. Untuk menemukan faktor dominan karies gigi yang terjadi pada anak prasekolah

    sehingga dapat ditentukan urutan prioritas anak untuk dilakukan intervensi;

    3. Sebagai simulator interaktif untuk memotivasi perubahan perilaku pada orangtua

    dan pengasuh;

  • 10

    4. Sebagai indikator perubahan faktor risiko setiap anak;

    5. Untuk pengatur kebijakan tingkat nasional, metode ini dapat direplikasi di jenjang

    taman kanak-kanak dan diharapkan hasil rekomendasi lebih tepat sasaran sehingga

    dapat menurunkan angka keparahan karies gigi pada anak-anak;

    6. Untuk pengguna, yaitu BPK PENABUR Jakarta, masyarakat luas, dan masyarakat

    spesifik dapat digunakan untuk pengefektifan identifikasi risiko karies gigi.

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pengertian Karies gigi

    Konsep penyebab dan perkembangan karies gigi telah berubah selama lebih dari 30

    tahun. Paradigma lama memahami karies gigi sebagai proses demineralisasi jaringan keras

    gigi yang berjalan satu arah dan juga tidak digambarkan adanya kemungkinan untuk

    perbaikan permukaan gigi yang terkena lesi awal.[3]

    Gambar 2.1. Model karies gigi tradisional(3)

    Paradigma baru memahami karies gigi sebagai proses yang dinamis dan reversible

    (bisa dibalik arahnya). Dinamis artinya ada pertukaran ion yang signifikan di antara

    permukaan gigi dengan lapisan biofilm mulut yang secara normal terjadi setelah setiap kali

    makan atau minum. Reversible artinya demineralisasi apatit email dapat secara cepat

    diremineralisasi atau dipulihkan dengan cadangan ion-ion kalsium dan fosfat yang disimpan

    di dalam saliva. Faktor penyebab demineralisasi adalah pola diet dan bakteri dalam biofilm,

    sedangkan faktor penyebab remineralisasi adalah saliva dan fluor (Gambar 2.2). Akan tetapi,

    pada situasi dimana demineralisasi melebihi kapasitas tubuh untuk melakukan

    remineralisasi, maka akan menuntun ke arah akumulasi kehilangan kandungan mineral baik

    pada email maupun dentin, yang selanjutnya akan diikuti terjadinya kavitas (lubang).

    Substrat Gigi

    mikroorganisme

    Karies gigi

    Waktu

  • 12

    Gambar 2.2 Pemodelan baru konsep karies gigi berdasarkan kesetimbangan

    demineralisasi dan remineralisasi (1)

    Karies gigi kemudian didefinisikan sebagai kehilangan ion-ion mineral secara kronis dan

    berkelanjutan dari email mahkota atau permukaan akar yang dirangsang terutama oleh

    kehadiran flora bakteri tertentu dengan produknya.[1, 3, 46]

    Karies gigi pada gigi sulung anak-anak prasekolah biasa dikenal sebagai Early

    Childhood Caries. Lapisan email gigi sulung lebih tipis daripada gigi tetap sehingga lebih

    rentan terhadap karies gigi. Early Childhood Caries berjalan agresif dan cepat yang

    menyebabkan rusaknya gigi sulung pada bayi dan balita, dan terutama ditemukan pada

    permukaan anterior gigi sulung rahang atas dan dapat pula mengenai gigi molar susu rahang

    atas maupun rahang bawah.[2, 16, 43] Karies gigi ini diawali dengan demineralisasi yang

    nampak sebagai lesi white spot pada gigi sulung insisivus rahang atas di sepanjang

    perbatasan dengan gingiva. Lesi white spot dapat dihentikan bahkan dapat dihilangkan jika

    penyebab situasi kariogenik dihilangkan atau dikurangi.[62] Perubahan ultrastruktur yang

    terjadi pada email akibat biofilm kariogenik adalah sebagai berikut. Kidd mereviu suatu studi

    eksperimental dimana biofilm dibiarkan terbentuk pada permukaan gigi tanpa diganggu.

    Setelah 1 minggu terjadi sedikit peningkatan porositas email dan jaringan di bawah lapisan

    luar yang ternyata lebih porus dibanding permukaan luar itu sendiri. Kejadian ini disebut

    sebagai demineralisasi subsurface yang akan nampak makin jelas pada minggu ke 2, 3, dan 4,

    dan akan nampaklah lesi white spot jika terpolarisasi cahaya.[22] White spot adalah

    fenomena optik dari kondisi demineralisasi gigi.[1] Kidd mengatakan lesi white spot

    seyogyanya dianggap satu tanda atau gejala adanya penyakit (it should be considered the

    sign or symptom of the disease). [22]

  • 13

    Sebuah penelitian longitudinal yang mengamati lesi white spot gigi molar pertama

    pada saat anak berusia 8 tahun hingga berusia 15 tahun menemukan bahwa mayoritas lesi

    white spot tidak berlanjut menjadi lubang, melainkan terhenti.[63] Pada lesi white spot yang

    terhenti tidak selalu terjadi penggantian sempurna mineral yang telah mengalami

    demineralisasi dengan mineral baru. Gambaran putih masih mungkin tetap terlihat pada gigi.

    Permukaan gigi dari lesi white spot yang terhenti/arrested justru mengandung lebih banyak

    fluor dibandingkan permukaan email disekitarnya. [62] Namun jika proses penyakit berjalan

    terus, karies gigi akan berkembang dan menyebabkan terjadinya destruksi mahkota gigi.

    Pada kasus dengan keparahan sedang, setelah terjadi lubang gigi, karies gigi mulai

    menyebar ke gigi molar rahang atas. Namun, pada kasus dengan keparahan tinggi, karies

    gigi menghancurkan gigi rahang atas dan menyebar ke gigi molar rahang bawah.[16]

    Gambar 2.3 Fenomena Gunung Es ( Iceberg) karies gigi,

    gambaran batasan diagnosis dalam epidemiologi dan praktik [64]

    Penghitungan karies gigi konvensional ditinjau dari kebutuhan epidemiologi adalah

    sesuai dengan Oral Health Surveys Basic Method WHO 1997, terdiri dari komponen decay

    (kavitas yang tampak kasat mata, dan gigi dengan pengalaman karies gigi seperti gigi

    dengan tambalan sementara) ditambah komponen filling (kavitas yang telah ditambal).

    Threshold achieveable by new diagnostic tools now & in the future

    D1 + additional diagnostic aid used in practice & reseach

    Diagnostic threshold determines what is recorded as diseased or sound

    Considered as caries free at the D3 threshold

    Threshold used in classical epidemiological survey examination

    Threshold used in many practice & research & epid exam (D3 + enamel)

    D3

    D1

  • 14

    White spot dan fisur yang mengalami diskolorasi dianggap sehat[5] /considered as caries

    free at the D3 threshold.[62] Selengkapnya kutipan pencatatan karies gigi berdasarkan Oral

    Health Surveys Basic Method WHO 1997, adalah sebagai berikut [5]:

    Caries is recorded as present when a lesion in a pit of fissure, or on smooth-tooth

    surface, has an unmistakable cavity, undermined enamel, or a detectably softened

    floor or wall. A tooth with a temporary filling.. In cases where the crown has been

    destroyed by caries and only the root is left, the caries is judged to have originated on

    the crown and therefore scored as crown cavity only.

    Should be coded as sound: white or chalky spots; discolored or rough spot that are

    not soft to touch with a metal CPI probe; stained pits or fissures in the enamel that do

    not have visual signs of undermined enamel, or softening of the floor or walls

    detectable with CPI probe; dark, shiny, hard, pitted areas of enamel in a tooth

    showing signs of moderate to severe fluorosis; lesion that, on the basis of their

    distribution or history, or visual / tactile examination, appear to be due to abrasion.

    Pencatatan karies gigi menggunakan indeks df-t/DMF-T mulai dikembangkan tahun

    1930 dan hingga hari ini indeks yang sama masih terus dipergunakan setelah lebih dari 70

    tahun. Hal ini menunjukkan betapa suksesnya indeks ini dan juga sekaligus sulitnya

    menemukan alternatif pengganti yang bisa diterima oleh semua pihak. Indeks ini dipahami

    secara internasional dan oleh karenanya mampu diperbandingkan antara satu daerah

    dengan daerah lain, antara satu negara dengan negara lain. [6]

    Adanya pemahaman karies gigi yang lebih baik pada masa kini juga berdampak pada

    cara pengukuran karies gigi. Pengukuran progresif yang dilakukan di klinik memungkinkan

    pengklasifikasian karies gigi secara anatomi gigi dengan melihat penetrasi karies gigi ke

    dalam jaringan gigi terlihat pada Gambar 2.3 sebelah kanan, yaitu (D1) lesi awal (sering

    disebut sebagai incipient lesion/white spot), (D2) penetrasi karies gigi mencapai email,

    tampak kavitas email, (D3) Penetrasi karies gigi mencapai dentin, (D4) penetrasi karies gigi

    mencapai pulpa.[6] Pengukuran karies pendekatan progresif menggunakan D1 sebagai

    ambang batas.

    Pada gambar 2.3 iceberg of dental caries sebelah kiri, secara nyata digambarkan

    kriteria karies konvensional untuk epidemiologi adalah pada ambang batas D3 yaitu karies

  • 15

    dentin dengan kavitas kasat mata. Untuk dapat tetap menggunakan data yang sudah

    berlaku universal, maka komponen decay dalam kriteria WHO sebenarnya setara dengan d3

    untuk gigi sulung / D3 untuk gigi tetap. D3 dianggap sebagai ambang batas karena

    merupakan batasan diperlukan suatu perawatan operatif.[6] Pada ambang batas D3, maka

    white spot dihitung sebagai caries free, seperti tampak pada Gambar 2.3 Oleh karenanya,

    akan lebih tepat dan tetap bisa diperbandingkan secara global jika dipahami bahwa df-t atau

    DMF-T pada kriteria WHO sebenarnya adalah d3f-t atau D3MF-T.[6] Selanjutnya,

    perkembangan kriteria diagnostik masih akan terus berkembang mengingat kemajuan

    teknologi deteksi karies gigipun (misalnya menggunakan fiber-optic transillumination dan

    bitewing radiography) semakin bisa mendeteksi lesi yang tidak tampak oleh mata. Itu

    sebabnya karies gigi digambarkan sebagai fenomena gunung es. Yang biasa dilihat sebagai

    lubang kasat mata adalah sebagian dari gunung es yang tampak di atas air, namun

    sebenarnya masih ada sebagian besar gunung es yang tersembunyi di bawah air.[3]

    Pemilihan ambang batas karies gigi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan dan rencana

    perawatan. Yang penting adalah jika ingin menggunakan suatu data epidemiologis,

    seseorang harus tahu betul ambang batas diagnostik yang dipergunakan dalam

    pengumpulan data dan pelaporannya.[6] Dalam disertasi ini, semua yang disebutkan

    menggunakan df-t/ DMF-T berarti menggunakan ambang batas D3 (kavitas dentin) sesuai

    kriteria WHO.[5]

    2.2 Distribusi Kejadian Karies gigi

    Untuk membandingkan frekuensi dan distribusi kejadian karies gigi secara global

    perlu berhati-hati, mengingat banyaknya perbedaan kriteria diagnosis yang digunakan pada

    studi yang satu dengan studi yang lainnya. Namun, adanya penurunan prevalensi dan

    keparahan karies gigi permanen bisa terlihat pada banyak negara berkembang sepanjang

    dekade terakhir ini. Kecepatan perkembangan karies gigi juga menurun sejalan dengan

    pertambahan umur .[4, 48]

    Penyakit ini terutama ditemukan pada jenis gigi tertentu baik gigi sulung maupun gigi

    permanen. Pada gigi permanen, kejadian karies gigi pada permukaan interproksimal dan

    permukaan halus lebih rendah daripada kejadian karies gigi pada permukaan oklusal atau

    pit dan fisur. Karies gigi pada mahkota gigi permanen anak terutama adalah karies gigi

  • 16

    pada pit dan fisur. Pada masa awal kanak-kanak, lesi karies gigi justru berkembang pada

    permukaan halus, padahal biasanya permukaan halus berisiko rendah terhadap karies gigi .

    Pada beberapa kelompok populasi, prevalensi dan keparahan karies gigi sulung sudah stabil

    atau sedikit mengalami peningkatan.[4]

    Meskipun prevalensi dan keparahan karies gigi permanen dan gigi sulung mengalami

    penurunan di banyak negara dengan pendapatan tinggi, tetapi tetap ditemukan perbedaan,

    dan tetap banyak anak dan orang dewasa yang menderita penyakit karies gigi.[48] Di Amerika,

    karies gigi adalah penyakit kronis anak-anak yang paling sering ditemukan, dan kejadiannya

    lima kali lebih sering dibanding penyakit asma.[65] Sebuah survei nasional di Amerika

    menyatakan bahwa prevalensi karies gigi pada anak prasekolah di beberapa populasi

    bahkan mencapai 90%.[43] Pola karies gigi terpolarisasi pada kelompok anak dari sosial

    ekonomi rendah, etnik minoritas pada negara maju, dan beberapa populasi di pedesaan.[16]

    Di Australia, karies gigi pada anak telah mengalami penurunan selama 20 tahun terakhir.

    Namun, tinggi rendahnya angka def-t (1,332,53 pada anak 5-6 tahun) masih tersebar tidak

    merata, dihubungkan dengan faktor geografi dan karakteristik sosial ekonomi.[10] Data dari

    Kuwait tahun 1985-1995 menunjukkan trend peningkatan prevalensi karies gigi sulung dari

    11,5% - 35,5% pada anak usia 4-6 tahun.[66] Sejauh ini belum ada data pasti yang dilaporkan

    mengenai prevalensi gigi sulung di Indonesia. Tinjauan yang dilakukan Heriandi

    memperlihatkan adanya variasi prevalensi karies gigi sulung dari 61% - 85%, hasil dari

    beberapa penelitian di beberapa daerah di Indonesia.[67] Data BPK PENABUR Jakarta

    menunjukkan def-t 2,82 untuk anak kelas 1 SD, dengan prevalensi karies gigi sulung 55%.[21]

    2.3 Patogenesis Karies gigi

    Karies gigi merupakan hasil dari interaksi selama kurun waktu tertentu antara bakteri

    yang memproduksi asam, substrat yang dapat dimetabolisir oleh bakteri, dan banyak faktor

    individual meliputi gigi dan saliva. Karies gigi terjadi akibat ketidakseimbangan ekologi

    rongga mulut antara mineral gigi dan mikrobial biofilm.[68, 69] Bakteri hidup di rongga mulut

    membentuk koloni secara mikro, yang dibungkus oleh matriks organik yang terdiri atas

    polisakarida, protein, dan DNA hasil sekresi sel. Matriks ini berfungsi memberikan

    perlindungan terhadap kekeringan, melawan pertahanan dari tubuh, serta meningkatkan

    resistensi terhadap agen antimikroba. Gigi menyediakan permukaan gigi yang rentan bagi

  • 17

    perlekatan koloni bakteri serta hasil metabolismenya, yang terakumulasi di dalam biofilm

    yang melekat pada permukaan gigi, baik gigi sehat maupun telah terkena karies gigi .[4]

    Mekanisme proses karies gigi pada dasarnya sama untuk semua jenis karies gigi .

    Bakteri endogen (kebanyakan mutans dari streptococci [Streptococcus mutans dan

    Streptococcus sobrinus] dan Lactobacillus spp.) dalam biofilm memproduksi asam organik

    lemah sebagai hasil metabolisme karbohidrat yang dapat difermentasi. Asam ini

    menyebabkan pH lokal turun hingga di bawah ambang kritis (pH 5,5) sehingga terjadilah

    demineralisasi jaringan gigi.[68, 70] Jika kalsium, fosfat, dan dan karbonat terus dibiarkan

    berdifusi keluar dari gigi, maka lama-kelamaan akan terbentuk lubang.

    Demineralisasi dapat dibalik arahnya pada tahap awal melalui pemasukan ion

    kalsium, fosfat, dan fluor.[23] Fluor bertindak sebagai katalis yang membantu difusi kalsium

    dan fosfat masuk ke dalam gigi, yang dapat meremineralisasi struktur kristal gigi pada

    daerah lesi. Permukaan kristal gigi yang terbentuk kembali, mempunyai komposisi yang

    terdiri dari hidroksiapatit yang terfluoridasi dan fluorapatit, yang lebih tahan terhadap

    serangan asam dibandingkan struktur aslinya. Enzim yang dihasilkan bakteri dapat pula ikut

    berperan dalam perkembangan karies gigi.

    Apakah proses karies gigi akan berlanjut, berhenti, atau berbalik arahnya, tergantung

    pada keseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi. Proses demineralisasi dan

    remineralisasi terus-menerus terjadi pada kebanyakan orang. Sejalan dengan waktu, proses

    ini akan berujung pada berlubangnya gigi atau terjadi perbaikan dan penyembuhan lesi,

    ataupun tetap status quo.[23]

    Remineralisasi seringkali terjadi, terutama jika pH biofilm dinetralkan kembali oleh

    saliva, yang bertindak sebagai buffer. Area yang sudah mengalami remineralisasi

    mempunyai konsentrasi fluor yang lebih tinggi dan struktur email secara mikroskopis lebih

    padat dibandingkan struktur gigi yang semula karena masuknya kalsium dan fosfat dari

    saliva.[71]

    Proses demineralisasi dan remineralisasi terus-menerus terjadi pada kebanyakan

    orang. Sejalan dengan waktu, proses ini akan berujung pada berlubangnya gigi atau terjadi

    perbaikan dan penyembuhan lesi, ataupun tetap tak berubah.[4, 43] Lesi karies gigi akan

    berkembang jika biofilm mulut dibiarkan menjadi matang (menjadi kariogenik) dan bertahan

    pada gigi dalam waktu yang lama. Jika kavitas dibiarkan terus berkembang, daerah tersebut

    menjadi habitat sehingga organisme dalam biofilm berangsur-angsur beradaptasi terhadap

  • 18

    penurunan pH. Lubang gigi merupakan tempat perlindungan bagi biofilm, dan selama pasien

    tidak bisa membersihkan daerah ini, proses karies gigi akan terus berjalan. Karies gigi pada

    email awalnya terlihat sebagai lesi white spot, yaitu daerah kecil di bawah permukaan gigi

    yang mengalami demineralisasi yang terjadi di bawah biofilm gigi.[3]

    Faktor genetik diduga (might be)[45, 72] berperan dalam terjadinya karies gigi,

    sehingga anak dengan faktor risiko yang sama belum tentu mengalami kejadian karies gigi

    yang sama, karena memiliki kerentanan ataupun resistensi terhadap karies gigi yang

    berbeda satu sama lain secara genetik.[45, 72]

    Gambar 2.4 Ilustrasi patogenesis karies gigi (1)(Permission Assoc. Prof. Hien Ngo)

    2.4 Akibat Karies Gigi pada Anak Prasekolah

    Adanya karies gigi dapat mengganggu sistem pengunyahan pada umumnya, dan

    dapat menjadi infeksi fokal sehingga mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak.[9]

    Di Amerika, Kanada, dan Inggris misalnya, terbukti bahwa karies gigi pada masa kanak-kanak

    sangat mempengaruhi kualitas hidup anak-anak. Pada anak-anak Aborigin di Australia Barat,

    karies gigi merupakan penyakit nomor 5 dari penyakit yang paling sering menyebabkan anak

    harus dirawat di rumah sakit pada anak prasekolah (usia 1-4 tahun).[10] Lebih dari 50 juta

    jam sekolah pertahun hilang sebagai akibat yang ditimbulkan oleh sakit gigi pada anak-anak,

    dan akibat ini akan berdampak hingga kehidupan dewasa nanti.[7] Di Indonesia 62,4%

    penduduk merasa terganggu pekerjaan/sekolahnya karena sakit gigi selama rata-rata 3,86

    hari per tahun.[11] Kondisi ini menunjukkan bahwa penyakit gigi, walaupun tidak

    menimbulkan kematian, dapat menurunkan produktivitas kerja. Penelitian di Medan

    membuktikan adanya dampak karies gigi terhadap empat dimensi kualitas hidup, yaitu

  • 19

    keterbatasan fungsi, rasa sakit, ketidaknyamanan psikis, dan disabilitas fisik.[12] Di DKI

    Jakarta sendiri, hasil evaluasi karies gigi pada anak balita tahun 1993 menemukan bahwa

    44,4% anak mengalami susah makan karena keluhan sakit gigi, dan hal ini berdampak 13,1%

    anak mempunyai status gizi di bawah normal.[13] Sheiham mengemukakan tiga dampak

    karies gigi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak prasekolah, yaitu (1) karies gigi

    yang tidak terawat dapat menyebabkan rasa sakit sehingga mengganggu asupan makan

    anak, (2) rasa sakit bisa menimbulkan gangguan tidur dan selanjutnya mengganggu produksi

    glucosteroid dan pertumbuhan, (3) inflamasi kronis dari karies gigi dapat menekan

    hemoglobin dan selanjutnya menimbulkan anemia karena produksi eritrosit dalam sumsum

    tulang menjadi berkurang.[14]

    2.5 Faktor Risiko Karies gigi pada Anak Prasekolah

    Berikut ini adalah tinjauan berbagai risiko karies gigi pada anak prasekolah.

    2.5.1 Pengertian Risiko Karies gigi

    Secara umum, risiko adalah peluang terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan. Risiko

    sering didefinisikan sebagai peluang terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan dalam

    suatu periode waktu tertentu. Risiko karies gigi adalah peluang terjadinya sejumlah karies

    gigi baru, mencapai derajat penyakit tertentu, dalam kurun waktu yang tertentu, dengan

    syarat bahwa faktor-faktor risiko berada dalam keadaan sama dan stabil selama kurun

    waktu yang ditentukan. Jadi, risiko karies gigi berhubungan dengan peluang terjadinya

    karies gigi pada seseorang.[56, 60]

    Memperkirakan risiko karies gigi secara tepat adalah sangat mutlak agar tindakan

    preventif dapat diarahkan langsung kepada pasien dengan risiko karies gigi tinggi sebelum

    timbulnya kavitas baru. Biasanya, jika faktor etiologi utama dapat ditemukan, perawatan

    yang sesuai untuk pasien bersangkutan akan membawa hasil yang memuaskan.[56]

    Risiko karies gigi seseorang dapat bervariasi sejalan dengan waktu karena banyak

    faktor risiko yang dapat diperbaiki dan diubah. Faktor risiko fisik dan biologis untuk karies

    gigi email meliputi aliran dan komposisi saliva, bakteri kariogenik dalam jumlah banyak,

    kurangnya paparan fluor, komponen imunologi, kebutuhan akan perawatan kesehatan

    khusus, serta faktor genetik.

  • 20

    Faktor risiko karies gigi yang lain meliputi kemiskinan, status sosial, lamanya

    mengenyam pendidikan, ada tidaknya asuransi kesehatan gigi. Termasuk juga anak dengan

    orangtua/ pengasuh yang mempunyai riwayat karies gigi yang cukup parah dianggap sebagai

    faktor yang mempertinggi risiko anak untuk terkena penyakit karies gigi.

    2.5.2 Faktor Host

    2.5.2.1 Morfologi Gigi Sulung

    Yang membedakan pola karies gigi sulung dengan gigi tetap adalah email dan dentin

    pada gigi sulung lebih tipis, dan kontak proksimalnya lebih luas dibanding gigi tetap,

    sehingga daerah proksimal lebih rentan terhadap karies gigi. Oleh karenanya, pada gigi

    sulung, penjalaran karies gigi lebih cepat mengenai pulpa.[16] Selain itu, pada dentin gigi

    sulung ditemukan tubulus dengan diameter besar, yang merupakan jalan bagi bakteri untuk

    masuk lebih cepat hingga daerah pulpa.[73]

    Gambar 2.5 A Menunjukkan tubulus yang besar yang tampak pada oklusal dentin. Gambar 2.5 B Menunjukkan pembesaran daerah yang diberi tanda *, dimana terlihat banyak bakteri dan debris [73].

    Struktur gigi yang belum matang karena masih banyak mengandung ion karbonat

    juga menyebabkan struktur gigi mudah larut oleh asam. Kelainan pembentukan gigi seperti

    amelogenesis imperfekta dan dentinogenesis imperfekta walaupun merupakan kejadian

    yang sangat jarang (1 di antara 718-14000), meningkatkan risiko karies gigi karena

    ketidakmampuan email melindungi struktur gigi di bawahnya .

  • 21

    Anatomi gigi dengan banyak groove, pit, dan fisur yang dalam dan meluas juga

    menyebabkan makanan mudah terperangkap di dalamnya, serta sulit dibersihkan sehingga

    meningkatkan risiko gigi berlubang.[1]

    2.5.2.2 Saliva

    Saliva memainkan peranan utama dalam melindungi gigi-geligi melawan tantangan

    asam, juga melindungi jaringan lunak mulut dan jaringan saluran cerna melawan dehidrasi

    dan potensial iritan patologis.[74]

    Saliva sendiri merupakan proteksi terbaik untuk melawan serangan asam pada

    permukaan gigi dan faktor-faktor protektifnya meliputi [23, 74] hal-hal sebagai berikut.

    1. Saliva sangat dijenuhi dengan ion-ion Ca2+ dan PO43- tersedia untuk menggantikan

    ion-ion yang hilang dari permukaan gigi sebagai akibat dari demineralisasi oleh asam;

    2. Ion HPO42- terutama memberikan kapasitas penyanggaan yang signifikan pada pH

    istirahat dan pada tahap awal tantangan asam;

    3. Pellicle lapisan glikoprotein dari saliva merupakan bagian biofilm mulut yang

    melapisi permukaan gigi dan memberikan proteksi tingkat tinggi melawan tantangan

    asam. Ia menahan difusi ion-ion asam masuk kedalam gigi, sebagaimana juga

    menahan pergerakan apatite keluar dari gigi. Ini juga membatasi mineralisasi apatite

    dan menuntun ke pembentukan kalkulus dari lepasnya ion-ion Ca2+ dan PO43- dari

    saliva saat mencapai kadar super jenuh;

    4. Penyanggaan bikarbonat ada sistem penyanggaan bikarbonate yang sangat efektif

    yang memberikan tingkat proteksi tinggi melawan asam organik dan erosif pada

    permukaan gigi;

    5. Tingkat aliran saliva aliran saliva dan oral clearance rates mempengaruhi

    pembuangan sisa-sisa makanan (food-debris) dan mikro-organisme. Namun, aliran

    saliva yang tinggi juga dapat mengencerkan obat terapetik yang dipakai secara

    topikal, misalnya fluor, menyebabkan diperlukannya penambahan konsentrasi bahan

    yang pakai untuk pemeliharaan optimal bagi proteksi gigi;

    6. Ion-ion fluor memberikan sumbangan pada keseluruhan proteksi dan memperbaiki

    mineralisasi gigi. Kandungan ion fluor normal dalam saliva rata-rata hanya 0,03 ppm

    tetapi kadarnya akan bervariasi menyusul masukan ion-ion fluor tambahan dari

    sumber makanan, fluor topikal, pasta gigi dan sebagainya.

  • 22

    Kualitas dan kuantitas saliva yang disekresi akan bervariasi sepanjang hari, tetapi

    akan terdepresi selama tidur. Saliva yang tidak distimulasi berisi sedikit penyangga

    bikarbonate, dengan lebih sedikit ion Ca2+ tetapi lebih banyak ion PO43- daripada plasma.

    Rangsangan refleks aliran saliva dengan mengunyah atau melalui paparan makanan yang

    asam, misalnya asam sitrat dapat menambah aliran sampai 10x lipat. Menyusul adanya

    rangsangan, konsentrasi penyangga bikarbonat dapat bertambah sampai 60x lipat. Juga

    kadar ion Ca2+ akan bertambah secara ringan, tetapi ion-ion PO43- tidak akan bertambah

    secara proporsional dengan tingkat aliran saliva.[23, 69, 75]

    Pengurangan aliran saliva maksimum sampai 0,7 mL/menit akan menambah risiko

    karies gigi , walaupun hal ini tergantung banyak faktor-faktor lain yang berinteraksi. Saat

    aliran saliva di bawah 0,7 ml/ menit, saliva tidak akan mampu membilas karbohidrat yang

    menempel pada permukaan gigi. Rendahnya aliran saliva mengindikasikan kapasitas buffer

    saliva, imunoglobulin Ig A, serta kandungan kalsium dan fosfat yang rendah sehingga

    mengurangi kemampuan netralisasi asam dalam biofilm gigi.

    Data penelitian Survei Kesehatan dan Nutrisi di Amerika menyimpulkan ada

    hubungan antara lingkungan perokok tembakau dan risiko karies gigi pada anak-anak. Anak

    yang hidup di lingkungan perokok mempunyai risiko karies gigi 27% dan risiko gigi ditambal

    14%, karena diketahui nikotin menyebabkan pertumbuhan bakteri kariogenik S. mutans.

    Kondisi perokok pasif (serum cotinine levels 0,2-10 ng/mL) telah dihubungkan dengan

    terjadinya penekanan tingkat serum vitamin C pada anak-anak, dan hal ini berdampak pada

    pertumbuhan bakteri kariogenik. Kemungkinan lain adalah kondisi perokok pasif

    mengurangi kemampuan proteksi saliva terhadap karies gigi. Sistem imun pada anak

    biasanya belum matang, komposisi saliva sehubungan dengan konsentrasi IgA pada anak

    berbeda dengan orang dewasa. Karenanya anak lebih rentan terhadap lingkungan perokok

    dikarenakan sistem imunnya yang belum sempurna dan aliran saliva lebih sedikit dibanding

    orang dewasa.[39]

    2.5.2.3 Faktor Bakteri pada Anak

    Biofilm gigi adalah biofilm yang tertata, berstruktur dan berfungsi. Biofilm terbentuk

    dengan cara yang teratur, dan terdiri dari berbagai jenis komposisi mikroba, yang dalam

    kesehatan, relatif stabil (microbial homeostasis).[76] Spesies yang dominan pada daerah yang

  • 23

    sakit, ternyata berbeda dengan spesies di daerah yang sehat, meskipun sejumlah kecil

    bakteri patogen juga terdeteksi pada daerah yang normal.

    Pada karies gigi, terjadi pergeseran ke arah komunitas yang didominasi spesies yang

    tahan asam dan asidogenik, seperti mutans streptococci dan Lactobacillus. Kondisi pH

    rendah yang berkepanjangan merupakan lingkungan baik bagi mutans streptococci dan

    Lactobacillus.[4, 68, 76]

    Mutans streptococci adalah bakteri yang kuat dihubungkan dengan Early Childhood

    Caries.[27, 43] Mutans streptococci diklasifikasikan menjadi 7 spesies yang berbeda, yaitu

    S.criceti, S. ratti, S. mutans, S. sobrinus, S. macacae, S. downei, dan S. orisratti sp.nov.[45]

    Anak dengan ECC memperlihatkan peningkatan jumlah mutans streptococci mencapai lebih

    dari 30% flora dalam biofilm. Streptococcus mutans dapat berkoloni pada mulut bayi yang

    belum bergigi, dengan menggunakan galur-galur pada lidah sebagai habitatnya.[77]

    Streptococcus mutans ditemukan 55% pada sampel biofilm dan 70% pada hasil scrapping

    lidah.

    Anak yang sudah terinfeksi Streptococcus mutans pada usia 2 tahun memiliki

    aktivitas karies gigi yang sangat tinggi pada usia 4 tahun. Dengan demikian, keberadaan

    Streptococcus mutans pada usia 1 tahun merupakan prediktor efektif untuk memperkirakan

    kondisi karies gigi pada usia 3,5 tahun.

    Soerodjo menemukan bahwa konsentrasi Streptococcus mutans dalam 1 mg biofilm

    gigi lebih tinggi pada subjek dengan karies gigi positif daripada konsentrasi Streptococcus

    mutans pada subjek karies gigi negatif atau subjek karies gigi yang telah dirawat.[44]

    Sementara itu, Corby pada penelitannya mengenai Early Childhood Caries mengemukakan

    bahwa subjek dengan karies gigi aktif memiliki flora mikro yang berbeda dibandingkan

    subjek yang bebas karies gigi. Profil kelompok dengan karies gigi aktif ditandai dengan

    berlebihnya jumlah bakteri kariogenik seperti Actinomyces sp., S. mutans, dan Lactobacillus

    sp., dan sangat rendahnya jumlah bakteri yang dihubungkan dengan kesehatan seperti S.

    parasanguinis, Abiotrophia defectiva, Gemella hemolysans, S. oralis, S. sanguinis.

    Streptococcus mutans ditemukan dalam jumlah sangat banyak pada 90% subjek karies gigi

    aktif dan ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil pada subjek bebas karies gigi , namun

    Actinomyces ditemukan dalam jumlah banyak pada subjek karies gigi maupun bebas karies

    gigi .[78] Streptococcus mutans yang bersifat asidogenik dan asidurik, bersama-sama dengan

    lactobacillus, merupakan bakteri yang dominan ditemukan pada kebanyakan kasus karies

  • 24

    gigi.[70, 79, 80] Penemuan terbaru yang mengejutkan adalah Streptococcus mutans mampu

    hidup secara normal tanpa melalui Signal Recognition Particle (SRP), yaitu mekanisme

    primer penghantaran protein yang mensuplai membran pelindung sel bakteri, yang pada

    awalnya dipercaya bahwa SRP merupakan syarat hidup semua sel.[81] Akibatnya, S. mutans

    ini mempunyai daya survival yang lebih tinggi daripada spesies lain.

    Reservoar utama seorang anak mendapatkan Streptococcus mutans diduga dari ibu

    atau pengasuhnya.[2, 16, 77] Beberapa bukti menunjukkan bahwa strain Streptococcus mutans

    hasil isolasi dari ibu dan bayinya menunjukkan profil bakteriosin dan pola DNA yang sama.[82,

    83] Hal itu diperburuk dengan seringnya frekuensi asupan karbohidrat kariogenik yang dapat

    difermentasi. Mutans streptococci menghasilkan asam dalam jumlah banyak dan

    menurunkan pH biofilm dalam jangka lama sehingga berakibat pada demineralisasi.

    2.5.2.4 Faktor Biofilm

    Biofilm atau yang dulu lebih dikenal dengan sebutan plak gigi merupakan suatu

    komunitas mikroba yang di dalam mulut terdiri dari lebih 700 spesies dan mempunyai cara

    perlekatan yang berbeda ke permukaan gigi.[26, 84] Ada 4 tahap perkembangan biofilm mulut,

    dimulai dari tahap 1 berupa pembentukan lapisan pelikel yang terjadi dalam hitungan detik,

    dan merupakan prakondisi perlekatan dan kolonisasi bakteri. Kolonisasi bakteri yang

    menjadi pioner adalah terutama terdiri dari bakteri kokus gram positif dan bakteri bentuk

    batang, yang membelah diri dan membentuk koloni mikro. Jika biofilm supragingival pada

    tahap awal ini tidak dibersihkan secara teratur, koloni akan semakin matang dalam tiga

    tahap berikutnya. Tahap pertama didominasi oleh bakteri kokus gram positif yang diwakili

    oleh spesies streptokoki. Tahap kedua adalah cross linking melalui spesies fusobacterium

    yang terjadi dalam hitungan menit, dan tahap ketiga didominasi organisme gram negatif

    yang terjadi dalam hitungan jam. Struktur biofilm yang sudah matang sangat kokoh dan

    resilien, berperan sebagai alat pertahanan terhadap antibiotik dan bersifat virulen pada

    poket periodontal yang dalam. Selanjutnya tahap keempat adalah terlepasnya bakteri dari

    permukaan gigi.

    Patogenisitas dari biofilm ditandai dengan dua karakteristik yaitu meningkatnya

    ketahanan terhadap antibiotik dan komunitas bakteri yang tidak mampu difagositosis oleh

    sel inflamasi dari pejamu.

  • 25

    Gambar 2.6 Empat tahap pertumbuhan biofilm mulut [26]

    Hal ini menunjukkan bahwa biofilm mulut akan selalu terbentuk dan oleh karenanya

    tidak bisa dihilangkan.[26, 68, 76, 84] Sifat patogen dari biofilm dapat dikurangi dengan

    mengurangi jumlah flora dalam mulut, yang dapat dilakukan dengan menjaga higiene mulut

    melalui gosok gigi setiap hari, flossing, dan pada kasus yang melibatkan periodontal dapat

    ditambah penggunaan obat kumur antimikroba. Kuncinya adalah pencegahan melalui

    penatalaksanaan kesehatan mulut yang normal dengan menjaga keseimbangan ekosistem

    mulut.[26] Anak prasekolah biasanya masih kurang terampil dalam menggosok gigi secara

    efektif. Oleh karena itu dalam pembentukan kebiasaan hidup sehatnya, ia harus secara aktif

    disupervisi oleh pengasuhnya.[50, 52]

    2.5.3 Faktor Nutrisi dan Pola Makan

    Status nutrisi adalah indikator kesehatan umum yang akurat pada usia awal

    kehidupan. Jika terjadi undernutrition dan gangguan terjadi pada masa pembentukan

    matriks gigi, maka timbul hipoplasia email. Email yang mengalami hipoplasia dan defek

    merupakan tempat paling ideal untuk pertumbuhan mutans streptococci. Hipoplasia email

    ada hubungannya dengan karies gigi nantinya dan merupakan prediktor karies gigi yang baik.

    Anak dengan berat badan rendah pada saat lahir juga dianggap anak yang berisiko

    terhadap karies gigi , meskipun belum ada bukti yang jelas adanya relasi antara berat badan

    lahir yang rendah dengan kejadian karies gigi.

  • 26

    Anak yang mengalami malnutrisi memiliki sekresi saliva dan kapasitas buffer yang

    rendah, kadar Ca dan sekresi protein lebih rendah pada saliva terstimulasi, dan faktor

    pertahanan lebih rendah pada saliva istirahat .[33]

    Obesitas anak saat ini adalah bentuk malnutrisi yang paling sering terjadi. Pola

    makan merupakan kontributor terhadap obesitas dan karies gigi. Anak cenderung

    mengkonsumsi banyak makanan berlemak, garam, dan kurang asupan buah, sayur, dan

    Kalsium. Anak dengan pola makan buruk (tidak makan pagi, dan makan kurang dari 5

    macam buah dan sayur per hari) bertendensi untuk mempunyai karies gigi lebih banyak

    dibanding anak dengan pola makan sehat. Obesitas dan karies gigi terjadi karena perubahan

    gaya hidup dan lingkungan. Kurang aktivitas fisik, lebih banyak jam belajar di kelas sering

    nonton TV, lebih banyak input tentang iklan makanan tidak sehat, lebih sering snack, kurang

    makan besar, menyebabkan konsumsi kalori berlebihan.[65]

    Risiko karies gigi meningkat sejalan dengan makin meningkatnya frekuensi makan

    dan banyak jumlah karbohidrat yang masuk.[85] Jus buah merupakan sumber nutrisi yang

    baik, namun konsumsi jus berlebihan menyebabkan kalori berlebih, kurang nafsu makan

    untuk makanan sehat, dan menyebabkan karies gigi pada anak. Soft-drink dan jus

    mengandung asam sitrat atau asam fosfat yang bisa mendemineralisasi email jika

    dikonsumsi terlalu sering. Potensi erosi gigi dalam satu menit pertama gigi terekspose oleh

    minuman Cola, misalnya, adalah 10 kali lebih besar dibanding potensi erosi oleh jus jeruk.[86]

    Konsumsi soft-drink pada anak prasekolah merupakan indikator risiko karies gigi sulung dan

    oleh karenanya harus dikurangi konsumsinya.[87] Anak dengan Early Childhood Caries

    biasanya mengonsumsi minuman yang mengandung gula dengan frekuensi yang sering dan

    minuman tersebut berada dalam mulut dalam jangka waktu yang lebih lama.[2]

    Buah-buahan seperti bengkoang dan apel, serta keju dan crackers merupakan

    makanan yang berisiko rendah terhadap karies gigi [3, 88] sehingga bisa disarankan untuk

    dijadikan alternatif jajanan/ snack sehat untuk anak.

    2.5.4 Faktor Perilaku

    Karies gigi berhubungan erat dengan gaya hidup seseorang, dan faktor perilaku yang

    kendalinya di bawah individu ini memiliki implikasi yang jelas.[2, 48] Faktor ini meliputi

    kebersihan mulut yang jelek, kebiasaan makan yang jelek (misal sering ngemil refined

  • 27

    karbohidrat di antara waktu makan, seringnya frekuensi penggunaan obat peroral yang

    mengandung gula, dan cara pemberian makanan bayi yang kurang tepat).[2]

    Setelah faktor perilaku yang berhubungan dengan karies gigi dapat diidentifikasi,

    tantangan berikutnya adalah mencari penyebab perilaku tertentu dan menentukan metode

    untuk bisa mengatasi dan mengubah determinan tersebut.[89] Ned menyimpulkan

    berdasarkan empat tinjauan sistematik bahwa peningkatan pengetahuan seseorang tidak

    berarti perubahan perilaku yang bertahan dalam jangka waktu panjang.[90]

    Berikut adalah beberapa acuan ilmu perilaku yang dianggap relevan dengan tujuan

    perbaikan perilaku kesehatan gigi dalam penelitian ini.

    2.5.4.1 Health Belief Model (HBM)

    HBM pertama kali dikembangkan tahun 1950 sebagai upaya untuk menjelaskan

    alasan kegagalan partisipasi seseorang terhadap program pencegahan ataupun program

    deteksi dini penyakit. Kemudian, tahun 1974 diperluas lagi untuk menjelaskan reaksi

    seseorang terhadap gejala penyakit dan bagaimana perilakunya dalam merespon suatu

    penyakit yang telah terdiagnosis, serta kepatuhannya terhadap pengobatan.

    HBM menyatakan bahwa orang bertindak sesuai dengan apa yang dipercayainya.

    HBM menekankan pentingnya peran persepsi dalam pengambilan keputusan.[91] Persepsi

    adalah sesuatu yang diyakini/dipercaya benar oleh seseorang, meskipun secara objektif

    belum tentu benar.

    Tiga elemen kunci kepercayaan dalam HBM yang dipakai untuk menilai apakah

    seseorang akan mengikuti anjuran dari suatu perilaku pencegahan adalah sebagai berikut.

    I. Ancaman

    a. persepsi kerentanan terhadap suatu keadaan sakit

    b. persepsi tingkat keparahan suatu penyakit

    II. Harapan Keluaran

    a. persepsi keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan

    b. persepsi hambatan yang dihadapi untuk melakukan suatu tindakan

    III. Harapan efikasi

    a. keyakinan akan kemampuannya untuk melakukan tindakan yang dianjurkan

  • 28

    Untuk bisa mengubah perilaku, seseorang harus percaya bahwa pola perilakunya

    yang sekarang merupakan ancaman, dan bahwa perilaku tersebut dapat menimbulkan suatu

    kelainan yang serius. Selanjutnya, orang tersebut harus percaya bahwa perubahan perilaku

    yang spesifik dapat memberikan keuntungan, tanpa biaya yang berlebihan. Tapi, di samping

    itu, orang tersebut juga harus merasa cukup kompeten untuk bisa mengimplementasikan

    perubahan tersebut.

    Namun konsep HBM mempunyai beberapa keterbatasan, seperti berikut.

    1. Hubungan antara kepercayaan dan perilaku belum bisa secara seragam ditetapkan;

    2. Usaha yang langsung ditujukan untuk mengubah kepercayaan seseorang seringkali

    tidak berhasil dan untuk itu memerlukan beberapa pendekatan alternatif;

    3. Seharusnya tidak hanya faktor individu, tetapi faktor sosial dan lingkungan harus

    menjadi target intervensi kesehatan juga;

    4. HBM kurang dapat dikuantifikasi, karena variabelnya kebanyakan hanya merupakan

    skala nominal. Suatu model yang bermanfaat dikatakan sebaiknya mampu

    memberikan koefisien numerik terhadap persepsi kerentanan, keparahan,

    keuntungan, hambatan, dan efikasi, dan dapat memberikan hubungan matematis di

    antara variabel tersebut;

    5. Dengan berfokus pada determinan individu dari suatu perilaku kesehatan, terdapat

    bahaya meletakkan kesalahan pada faktor individu jika terjadi suatu masalah

    kesehatan.[92]

    Untuk penyempurnaan itulah, HBM digambarkan seperti berikut.

  • 29

    Gambar 2.7 Komponen dasar HBM [91] Berdasarkan Teori HBM di atas, diadopsi pula Teori Precede-Proceed untuk menyusun

    kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

    2.5.4.2 Teori Precede - Proceed

    Teori Precede adalah suatu Model Perencanaan Kesehatan dengan pendekatan

    diagnostik, yang menggunakan cara berpikir deduktif, dimulai dari menetapkan outcome

    yang berefek pada kualitas hidup, kemudian berpikir ke belakang, mencari faktor penyebab

    yang mendahului terjadinya masalah tersebut. Modifikasinya kemudian disebut dengan

    Precede Proceed.[93] Terdapat sembilan tahap dalam proses perencanaan ini, yaitu sebagai

    berikut.

    Tahap Precede (melangkah ke belakang)

    1. Tahap 1, diagnosis masalah sosial : menetapkan masalah pada masyarakat yang

    mempengaruhi kualitas hidup

    2. Tahap 2, diagnosis epidemiologi : mengidentifikasi akar masalah kesehatan yang

    merupakan penyebab atau memberi kontribusi terhadap masalah yang sudah

    ditetapkan pada Tahap 1.

    3. Tahap 3, diagnosis perilaku dan lingkungan : mengidentifikasi perilaku kesehatan

    yang spesifik, yang berkaitan dengan masalah yang diuraikan pada Tahap 2.

    Persepsi kerentanan Persepsi keparahan Persepsi keuntungan melakukan

    tindakan preventif Persepsi hambatan melakukan

    tindakan preventif

    Persepsi ancaman

    Dasar bertindak : Informasi Pengingat

    Komunikasi persuasi Pengalaman

    Variabel demografik Variabel sosiopsikologi

    Kemungkinan menjalankan tindakan

    preventif yang disarankan

    Persepsi Individu Faktor Modifying Kemungkinan tindakan

  • 30

    Dibedakan dalam dua kategori, yaitu faktor perilaku dan faktor nonperilaku

    (misalnya ekonomi, genetik, faktor lingkungan).

    4. Tahap 4, diagnosis pendidikan dan kebijakan organisasi : mengidentifikasi tiga faktor

    utama yang menyebabkan terbentuknya suatu perilaku kesehatan yang disebutkan

    pada Tahap 3. Tiga faktor tersebut meliputi faktor predisposisi (predisposing factors),

    faktor yang memfasilitasi/memungkinkan (enabling factors), faktor yang

    memperkuat (reinforcing factors).

    5. Tahap 5, diagnosis kebijakan dan administrasi: dengan mempelajari faktor

    predisposisi, faktor pendukung, faktor yang memperkuat, dapat diambil keputusan

    dalam memilih kombinasi intervensi yang sesuai.

    Tahap Proceed (melangkah maju):

    6. Tahap 6, implementasi intervensi

    7. Tahap 7, evaluasi proses

    8. Tahap 8, evaluasi dampak

    9. Tahap 9, evaluasi hasil akhir / evaluasi outcome

    Gambar 2.8 Precede-Proceed Model [93]

    PROMOSI KESEHATAN

    Pendidikan kesehatan

    Kebijakan Peraturan organisasi

    Faktor Predisposisi

    Faktor Reinforcing

    Faktor Enabling

    Perilaku & gaya hidup

    Nonperilaku : Lingkungan

    Masalah Kesehatan

    Kualitas hidup

    Tahap 2 Tahap 3 Tahap 5

    Tahap 6 Tahap 7 Tahap 8 Tahap 9

    Tahap 4 Tahap 1

    PROCEED

    PRECEDE

  • 31

    Sebuah studi di India mengevaluasi efektivitas program screening dan rujukan untuk

    melihat respon anak sekolah dalam mencari perawatan gigi. Studi ini menyimpulkan bahwa

    screening dan motivasi secara bermakna meningkatkan persentase anak sekolah yang pergi

    mencari perawatan gigi sebanyak 3 kali lipat lebih besar dibandingkan anak sekolah yang

    tidak mendapatkan program screening.[94]

    2.5.4.3 Identifikasi Perilaku secara Multidimensi Biopsikososial pada Anak Prasekolah

    Identifikasi perilaku pada anak prasekolah meliputi tiga dimensi, yaitu dimensi biofisik,

    psikologis, dan sosial.

    2.5.4.3.1 Dimensi Biofisik

    Pada anak usia 3-5 tahun, perkembangan fisik meliputi perkembangan motorik kasar

    dan motorik halus. Anak usia ini merasa senang dengan pencapaiannya. Mereka belajar

    mengkoordinasikan kelompok ototnya yang besar-besar, mereka bisa naik turun tangga,

    melempar bola, menangkap bola, dan mereka tidak pernah lelah berlari dan bermain petak

    umpet. Anak usia 5 tahun dapat menulis huruf besar dan angka. Mereka dapat belajar

    menggunakan gunting, cat, pensil, krayon. Untuk kelompok umur ini, program permainan

    berbasis komputer lebih interaktif dan mengena untuk anak, yang tanpa perlu bisa

    membaca, tetapi merupakan sarana bermain dan belajar.[95]

    Untuk mendapatkan kekuatan biofisik, nutrisi penting diperhatikan pada masa ini.

    Apa yang dimakan anak berdampak pada pertumbuhan tulang dan gigi, bentuk tubuh, serta

    kemampuan melawan penyakit.

    2.5.4.3.2 Dimensi Psikologis

    Perkembangan kognitif dan kemampuan memproses informasi mulai terjadi. Anak

    mempunyai pikiran imajinasi. Pada usia 5 tahun, pemikiran logis dan pemahaman mengenai

    waktu mulai timbul. Mereka bersifat egosentris, tidak mampu membedakan bahwa cara

    pandang diri sendiri mungkin berbeda dengan orang lain. Sesudah usia 3 tahun, mereka

    baru bisa mengingat suatu informasi.

    Pada masa ini pula, anak mulai berinteraksi sosial. Rasa takut dan fobia, terutama

    takut gelap, dimulai pada usia awal anak. Jika anak mengalami trauma maka dapat terjadi

    kelainan depresi paska trauma. Menggunakan anak lain sebagai model, dapat melatih

  • 32

    respons empati pada anak.[95] Pada masa ini anak harus dilatih supaya bisa melakukan

    sesuatu dengan lebih baik, termasuk cara menggosok gigi.

    2.5.4.3.3 Dimensi sosial

    Dimensi sosial berupa keluarga dan kelompok; yang juga mempengaruhi

    perkembangan perilaku anak adalah peran ibu, peran ayah, jumlah saudara sekandung,

    teman seusia anak.

    Selain itu, yang mempengaruhi perkembangan perilaku anak adalah komunitas

    sekolah dan sistem yang menunjang. Melibatkan orangtua sangat penting untuk menjamin

    kesuksesan anak.

    2.6 Ringkasan Faktor Risiko Karies gigi

    Gambar 2.9 Interaksi berbagai faktor risiko karies gigi. [3]

    Tabel 2.1 akan menyajikan ringkasan berbagai faktor risiko yang pernah diteliti dan dianggap

    berhubungan dengan karies gigi dari berbagai literatur, disertai dengan Odds Rationya (jika

    dicantumkan dalam literatur).

  • 33

    Tabel 2.1 Ringkasan Faktor Risiko Karies gigi

    NO LITERATUR FAKTOR RISIKO KARIES GIGI

    1 [79] Jumlah Streptococcus mutans, jumlah lactobacillus, banyaknya asupan karbohidrat

    2 [43] Streptococcus mutans

    3 [96] Saliva, morfologi permukaan gigi, kesehatan umum, status nutrisi, status hormonal,

    diet, bakteri, kebersihan gigi, ketersediaan fluor

    4 [9] Berat badan saat lahir (OR=7,9)

    5 [97] Aliran saliva, kapasitas buffer saliva, pengobatan sistemik yang menyebabkan

    xerostomia, Sjorgen syndrome dan kondisi yang berhubungan, spesifik Imunoglobulin

    A dalam saliva

    6 [98] Saliva

    7 [32] Keturunan / genetik

    8 [99] Kunjungan ke dokter gigi, konsumsi permen, etnis, jenis kelamin

    9 [77] Streptococcus mutans

    10 [100] Berat badan saat lahir, umur anak terkena S.mutans, jumlah S. mutans, status karies

    gigi sulung, plak secara jelas nampak pada gigi anterior rahang atas, pendidikan ortu,

    penghasilan ortu

    11 [36] Status sosial ekonomi

    12 [58] Riwayat karies gigi terdahulu, pendidikan orangtua, status sosial ekonomi, DMF-S,

    morfologi pit dan fisur.

    13 [28] Pengalaman karies gigi terdahulu, penyakit yang berpengaruh, konten diet, frekuensi

    diet, jumlah plak, jumlah mutans streptococci, asupan fluor, sekresi saliva, kapasitas

    buffer saliva

    14 [31] Status karies gigi sulung (OR=2,6)

    15 [101] Frekuensi asupan karbohidrat

    16 [40] Umur ibu

    17 [69] Ekologi berbagai bakteri dalam plak

    18 [102] Pola diet yang mengandung gula

    19 [24] Riwayat karies gigi masa lampau, Streptococcus mutans, aliran saliva, kebersihan

    mulut

    20 [35] Penghasilan keluarga, minum susu sambil tertidur (OR=1,9)

    21 [2] Akuisisi S. mutans pada usia dini, pola diet, kebiasaan cara makan

    22 [103] Dehidrasi ringan

  • 34

    NO LITERATUR FAKTOR RISIKO KARIES GIGI

    23 [41] Perilaku orangtua

    24 [22] Kariogenik biofilm

    25 [57] Riwayat karies gigi terdahulu, jumlah plak, jenis diet, frekuensi asupan karbohidrat,

    sekresi saliva, fluor

    26 [104] Frekuensi paparan gula, bakteri kariogenik, berkurangnya aliran saliva

    27 [105] Frekuensi asupan gula bebas, jumlah gula bebas

    28 [38] Pekerjaan ibu (OR=14,4), kandungan makanan (OR=2,3), frekuensi sikat gigi (OR=4,2),

    pendidikan ibu (OR=2,3), minum susu sambil tertidur (OR=1,2), Berat badan saat lahir

    (OR=1,3)

    29 [85] Frekuensi asupan gula, konsumsi gula di antara makan besar

    30 [33] Anak dengan kebiasaan tidak makan pagi atau makan kurang dari 5 jenis sayur dan

    buah (OR=3,77)

    31 [16] Streptococcus mutans, substrat, host

    32 [1] Diet & plak, aliran saliva, kapasitas buffer saliva, oral clearance rate, pH saliva

    33 [42] Persepsi orangtua

    34 [88] Konsumsi makanan kariogenik, praktik kesehatan gigi ibu

    35 [37] Pendidikan orangtua (OR=2,5), penghasilan keluarga, frekuensi asupan gula (OR= 2,5)

    36 [106] Ibu tidak bergigi

    37 [107] Faktor diet, pembersihan gigi, mikrobiologi, sosiodemografi, pengalaman karies gigi

    terdahulu

    38 [23] Saliva, diet, fluor, biofilm, modifying factors

    39 [44] Streptococcus mutans dari plak

    40 [106] Pendidikan ibu (OR=2,4), umur ibu (OR=1,6), status ekonomi (OR=1,8), frekuensi sikat

    gigi (OR=1,3)

    41 [29] Frekuensi makan (OR=3,2)

    42 [65] Obesitas, frekuensi makan, lama makan

    43 [73] Tubulus dentin yang besar pada gigi sulung

    44 [78] Actinomyces sp. strain B19SC, Streptococcus mutans, lactobacillus spp.

    45 [108] Pemberian ASI saat tidur malam, konsumsi gula, makan nasi yang telah dikunyahkan

    oleh ibu

  • 35

    NO LITERATUR FAKTOR RISIKO KARIES GIGI

    46 [34] Cara pemberian makanan pada anak, cara pembersihan gigi, persepsi orangtua, anak

    yang menunda membersihkan gigi sampai usia 24 bulan, sosial ekonomi rendah

    47 [39] Perokok pasif (OR=2,1)

    48 [17, 18] Pemberian ASI dalam jangka waktu lebih dari 18 bulan

    49 [26] Kariogenik biofilm

    50 [109] Mutans streptococci, plak, ngemil malam hari, frekuensi asupan gula, pekerjaan ibu,

    latar belakang imigran

    51 [51] Plak yang nampak mata, frekuensi ngemil makanan ringan, lesi interproksimal/

    radiolusensi interproksimal, white spot/ diskolorasi pada oklusal (OR=1,5)

    52 [110] Streptococcus sobrinus

    53 [111] Index DMF-T ibu, pendidikan ibu, kebiasaan cara pemberian makan anak

    54 [68] pH Plak

    55 [82] Mutans streptococci pada plak dan saliva

    56 [112] Jumlah Streptococcus mutans dan lactobacilli

    57 [87] Konsumsi soft-drink pada masa gigi sulung

    58 [55] Bakteri, kebersihan mulut, organisme spesifik, plak, fluor, pengalaman karies gigi

    masa lampau, kesehatan umum, faktor demografi

    59 [113] Soft-drink sebagai faktor risiko kesehatan umum (misal diabetes)

    60 [4] Faktor fisik, biologis, lingkungan, faktor yang berhubungan dengan gaya hidup

    Dari berbagai faktor risiko yang disebutkan di atas, faktor risiko yang tersering

    dilaporkan bermakna khususnya terhadap karies gigi pada anak dan memegang peranan

    penting adalah sebagai berikut.

    1. Pola diet, meliputi frekuensi diet, banyaknya karbohidrat, kebiasaan cara makan,

    jenis karbohidrat, pemberian susu / ASI, kebiasaan makan permen, lama makan,

    kebiasaan minum soft-drink.

    2. Bakteri, kebanyakan menyebutkan S.mutans.

    3. Kebersihan gigi

    4. Pendidikan ibu

    5. Pengalaman karies gigi terdahulu

    6. Penghasilan orangtua/ sosial ekonomi

    7. Biofilm

  • 36

    8. Morfologi gigi

    9. Fluor

    10. Berat Badan saat lahir

    11. Umur ibu

    12. Saliva

    13. Genetik

    14. White spot dan diskolorasi fisur

    2.7 Pencegahan Karies gigi

    Untuk bisa mengatasi karies gigi terlebih dahulu diperlukan pemahaman mengenai

    faktor yang memberi kontribusi terjadinya karies gigi , penetapan diagnosis yang akurat,

    serta kemampuan mendeteksi dan menangani lesi aktif.

    Pemilihan terapi bergantung pada permukaan daerah lesi karies gigi, tingkat risiko,

    aktivitas penyakit, umur anak. Misalnya, progres lesi proksimal pada anak risiko tinggi tanpa

    paparan fluor membutuhkan waktu 18 bulan, sedangkan pada anak risiko rendah

    memerlukan waktu 40 bulan. Artinya, tidak semua lesi proksimal yang tampak pada

    radiografik harus diintervensi dengan penambalan karena belum tentu semua berakhir

    menjadi kavitas.

    Terdapat bukti kuat bahwa untuk mencegah ataupun memperlambat proses karies

    gigi pada anak-anak terdapat beberapa faktor penting yang harus dimodifikasi, yaitu pola

    diet, kebersihan mulut, asupan fluor, dan intervensi berupa sealant,[114] seperti dipaparkan

    berikut ini.

    2.7.1 Pola Diet

    Salah satu cara untuk mencegah Early Childhood Caries adalah dengan membatasi

    pemberian makanan kariogenik. Namun usaha untuk mengedukasi orang tua mengenai hal

    ini, tidak banyak membuahkan hasil.[41, 48, 49] Sebuah penelitian terkini berusaha mengganti

    sukrosa dengan silitol karena silitol tidak dapat dimetabolisir oleh bakteri sehingga tidak

    terbentuk asam. Penggunaan permen karet yang mengandung silitol, 3-5 kali per hari,

    selama minimum 5 menit sesudah makan, dapat mencegah akumulasi plak, mencegah

    demineralisasi, merangsang remineralisasi, dan menurunkan hitung mutans streptococci.[90]

  • 37

    Rekomendasi mengenai pola makan sebenarnya cukup sederhana,[114] yaitu sebagai

    berikut.

    1. Membatasi frekuensi makan/ intake menjadi 5-6 kali per hari, berarti 3 kali makan

    besar dan 3 kali makan ringan. Hindarkan kebiasaan ngemil di antara waktu makan.

    2. Batasi pemberian permen dan snack manis menjadi satu kali seminggu (Saturday

    sweets).

    3. Jika pemberian permen tidak bisa dihindarkan, berikan produk dengan pemanis

    pengganti sukrosa, misalnya silitol dan sorbitol.

    4. Kurangi minum-minuman yang asam seperti soft-drink, jus buah, dan minuman sport.

    2.7.2 Menjaga Kebersihan Mulut

    WHO menyarankan menggosok gigi dua kali sehari cukup efektif mengurangi

    perkembangan karies gigi. Menggosok gigi lebih dari dua kali sehari dapat memberikan

    proteksi tambahan. Namun, hal itu tidak disarankan untuk anak prasekolah, mengingat

    semakin sering sikat gigi maka risiko tertelannya Fluor menjadi lebih tinggi pula.[105]

    Alternatif lain adalah dengan berusaha mencegah transmisi bakteri dari ibu ke

    bayinya, dengan cara mengontrol bakteri ibu. Pendekatan yang lain dengan mencegah

    terakumulasinya Streptococcus mutans hingga level yang patogenik, dengan pemberian

    agen antimikroba secara topikal. Menurut penelitian di Puerto Rico, antimikroba yang bisa

    digunakan adalah 10% povidon iodin, dioleskan pada gigi bayi dua bulan sekali.[2]

    2.7.3 Fluor dalam Pasta Gigi

    Peran fluor dalam pencegahan karies gigi sudah dikenal sejak 50 tahun yang lalu.

    Secara umum, fluor bekerja melalui tiga cara, yaitu (1) memperlambat perkembangan karies

    gigi dengan menghentikan proses demineralisasi, (2) meningkatkan ketahanan email

    terhadap serangan asam dengan cara membantu proses remineralisasi terhadap

    hidroksiapatit dan mengubahnya menjadi fluorapatit, (3) dalam dosis tinggi dapat

    menghentikan metabolisme bakteri.[1] Tabel 2.2 berikut ini menjelaskan asupan fluor yang

    direkomendasikan bagi anak prasekolah dan perkiraan ambang batas risiko terjadinya

    fluorosis.[1, 19, 115]

  • 38

    Tabel. 2.2 Rekomendasi asupan Fluor harian (117) dan perkiraan ambang batas risiko fluorosis gigi tetap(116)

    Umur Berat Badan (kg)

    Kecukupan asupan (mg/hari)

    Ambang batas risiko fluorosis gigi tetap (mg/ hari)

    0-6 bulan 7 0,01 0,7 6-12 bulan 9 0,5 0,9 1-3 tahun 13 0,7 1,3 4-6 tahun 22 1,1 2,2

    Bagi anak usia prasekolah, pemberian fluor dalam pasta gigi adalah sarana

    pencegahan karies gigi yang paling murah, mudah didapat, sekaligus efektif. Berikut adalah

    kandungan fluor dalam berbagai sediaan pasta gigi.

    Tabel 2.3 Kandungan fluor dalam sediaan pasta gigi (116)

    Pasta Gigi Konsentrasi Fluor Dosis Fluor dalam 1 aplikasi 1500 ppm F 0,15% F 0,6 g = 0,9 mg F 1000 ppm F 0,1%F 0,6 g = 0,6 mg F 500 ppm F 0,05% F 0,4 g = 0,2 mg F 250 ppm F 0,025% F 0,4 g = 0,1 mg F

    Produsen pasta gigi menggunakan bahan aktif yang berbeda-beda, yang paling sering

    digunakan ada dua, yaitu sodium fluoride dan sodium monofluorophosphat. Oleh karena itu

    pada tabel di bawah ini ditampilkan kandungan pasta gigi yang ekuivalen dengan Fluor

    dalam satuan ppm (parts per million).[3]

    Tabel 2.4 Kandungan fluor dalam pasta gigi yang ekuivalen dengan ppm F(3)

    Fluoride (ppm) Sodium Fluoride (% by weight)

    Sodium monofluorophosphate (% by weight)

    1500 0,32 1,14 1000 0,22 0,76 500 0,11 0,38

    Ambang batas untuk risiko terjadinya fluorosis gigi tetap adalah asupan Fluor sekitar

    0,04-0,1 mg F/kg berat badan per hari dalam jangka panjang yang terjadi pada saat periode

    pembentukan gigi tetap (umur 2-4 tahun).[19] Dosis toksik untuk anak adalah jika tertelan 5

    mg F/kg berat badan, anak akan mengalami pusing dan muntah. Jika anak menelan fluor

    melebihi 15 mg/kg berat badan, bisa menimbulkan kematian. Penggunaan pasta berfluor

  • 39

    pada anak di bawah usia 6 tahun harus diperhatikan, mengingat anak sering menelan pasta

    gigi karena rasanya manis dan karena anak belum bisa mengontrol refleks menelannya

    dengan baik. Dosis pasta gigi untuk anak di bawah usia 2 tahun adalah pasta gigi dioleskan

    tipis (smear) pada sikat gigi. Untuk 2-6 tahun disarankan pasta gigi diberikan seukuran

    butiran kacang polong (pea-sized) atau sekitar 0,25 g pasta gigi.[19, 115] Sebuah sikat gigi anak

    bisa menampung 0,7-1 g pasta gigi (full strip). Pemilihan pasta gigi untuk anak harus

    dibedakan dengan pasta untuk orang dewasa karena kandungan fluor di dalamnya berbeda.

    Terapi dengan fluor ada dua macam, yaitu intensitas rendah dan intensitas tinggi.

    Yang dimaksud intensitas rendah adalah terapi menggosok gigi dengan pasta gigi berfluor

    sesuai anjuran ADA (American Dental Association). Sedangkan yang dimaksud intensitas

    tinggi adalah pemberian gel fluor, varnish fluor, dan pasta atau obat kumur fluor konsentrasi

    tinggi. Namun untuk lesi awal yang terdapat pada pit dan fisur, terapi fluor kurang dapat

    bekerja efektif. Karena itu untuk penanganan lesi awal pada pit dan fisur disarankan untuk

    diberikan sealant.[6]

    2.7.4 Pemberian CPP ACP (Casein Phosphopeptide Amorphous Calcium Phosphate)

    Kehilangan Calcium phosphate dari subsurface email dikenal sebagai white spot.

    Gambaran putih pada gigi karena adanya fenomena optik yang terkait dengan porositas

    email. Pada stadium ini proses adalah reversible dan dimungkinkan ion calcium dan ion

    phosphate, biasanya dalam bentuk ion netral pasangan CaHPO40 , mengadakan difusi

    kedalam lesi subsurface untuk memperbaiki kehilangan apatit, yang disebut proses

    remineralisasi. Secara klinis aplikasi larutan yang mengandung ion calcium dan ion

    phosphate, ternyata tidak mampu mengadakan remineralisasi karena kelarutan Calcium

    Phosphate yang rendah dan tidak dapat menempel cukup lama di permukaan email. Riset

    terkini menemukan kemampuan sediaan Casein-Phosphopeptide Amorphous Calcium

    Phosphate nanocomplexes (CCP-ACP) mampu mengurangi aktivitas karies gigi. CPP-ACP

    mampu menstabilkan kelarutan CaHPO40 dan mampu menempel pada permukaan gigi

    melalui biofilm, sehingga memungkinkan terjadinya remineralisasi.[1]

    CPP- ACP terbukti mampu terlokalisir pada permukaan gigi, melekat pada biofilm

    supragingival, dan mempunyai daya anti karies gigi seperti tampak dalam gambaran di

    bawah ini.[1]

  • 40

    Gambar 2.10 Perlekatan CPP-ACP pada supragingival biofilm (Prof. Eric Reynolds) (1)

    2.7.5 Tindakan Sealant dan Surface Protection

    Pemberian sealant terbukti dapat menghentikan laju karies gigi pada lesi awal

    (incipient lesion)[1]. Pemberian sealant di atas lesi awal, yaitu fisur yang mengalami staining,

    diskolorasi coklat kehitaman, namun belum terjadi kavitasi; dapat menghentikan proses

    karies gigi. Pemberian sealant memungkinkan kerja antibakteri di dalam sealant untuk

    mengeliminir reservoir bakteri pada pit dan fisur.[6]

    Surface protection adalah konsep yang lebih maju dalam tindakan sealant.

    Konsep ini menggunakan bahan semen glass ionomer yang flowable dan memiliki

    kandungan fluor tinggi. Surface protection berarti tidak hanya men-seal, tetapi sekaligus

    mematangkan struktur gigi dan menggantikan ion karbonat pada hidroksiapatit gigi dengan

    kompleks kalsium, fosfat, fluor, sehingga terbentuklah ikatan fluorapatit pada gigi sehingga

    lebih tahan asam.

    Gambar 2.11 Gigi yang diberi proteksi

    surface protection (permission Assoc. Prof. Hien Ngo)

  • 41

    2.8 Indikator Prediksi Karies gigi

    Saat ini adalah lebih penting tidak hanya mengetahui faktor risiko, tetapi membuat

    prediksi kejadian karies gigi agar bisa disusun strategi pencegahannya. Berikut ini adalah

    beberapa upaya menemukan prediktor karies gigi.

    Norman merekomendasikan perlunya indikator untuk memprediksi risiko karies gigi

    anak, yaitu dengan mengamati ada tidaknya karies gigi pada anterior rahang atas, dan karies

    gigi permukaan proksimal molar sulung. Senada dengan Norman, Li menganjurkan

    menggunakan karies gigi molar sulung dan karies gigi sulung anterior rahang atas sebagai

    indikator risiko karies gigi pa