disertasi irenedonut 19-06-2008
DESCRIPTION
DOKUMENTRANSCRIPT
-
1
UNIVERSITAS INDONESIA
MODEL SIMULATOR RISIKO KARIES GIGI PADA ANAK PRASEKOLAH
DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran Gigi pada Universitas Indonesia di Jakarta,
dibawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri
untuk dipertahankan dihadapan Sidang Ujian Terbuka Program Doktor pada Hari Rabu, tanggal 2 Juli 2008, pukul 10.00 WIB.
Irene Adyatmaka
PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS INDONESIA 2008
-
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karies gigi didefinisikan sebagai hilangnya mineral dari permukaan gigi yang
berkepanjangan, yang distimulasi oleh adanya bakteri tertentu dan produk yang
dihasilkannya. Kehilangan mineral awalnya hanya dapat diamati secara mikroskopis, tetapi
lama-kelamaan akan terlihat pada email sebagai lesi putih (white spot). Kegagalan untuk
mencegah dan mengembalikan kehilangan mineral akan menyebabkan terjadinya lubang.[1-
4] Saat ini ada dua cara penghitungan karies gigi. (1) Penghitungan karies gigi secara
konvensional ditinjau dari kebutuhan epidemiologi sesuai dengan Oral Health Surveys Basic
Method WHO 1997, terdiri dari komponen decay (kavitas yang tampak kasat mata, dan
gigi dengan pengalaman karies gigi seperti gigi dengan tambalan sementara) ditambah
komponen filling (kavitas yang telah ditambal). White spot dan fisur yang mengalami
diskolorasi tidak masuk kategori karies gigi.[5] Penghitungan WHO ini dikenal dengan df-t
untuk gigi sulung / DMF-T untuk gigi tetap.[6] (2) Penghitungan karies secara progresif
memungkinkan pengklasifikasian komponen D(Decay) karies gigi secara anatomi gigi dengan
melihat penetrasinya ke dalam jaringan gigi terlihat pada Gambar 2.3 sebelah kanan, yaitu
(D1) lesi awal (sering disebut sebagai incipient lesion/white spot), (D2) penetrasi karies gigi
mencapai email, tampak kavitas email, (D3) Penetrasi karies gigi mencapai dentin, (D4)
penetrasi karies gigi mencapai pulpa.[6] Sesuai dengan The Application of the International
Classification of Diseases and Stomatology, 3rd edition WHO 1995 karies gigi adalah proses
sejak awal hingga terbentuknya gigi berlubang. Dalam hal ini yang termasuk kodifikasi K02
(Karies gigi) adalah karies gigi terbatas pada email, lesi putih (white spot), karies gigi awal,
karies gigi mencapai dentin, karies gigi pada semen, karies gigi terhenti (arrested caries).
Dalam penghitungan progresif ini, lesi white spot dihitung sebagai karies gigi . Bila
kelanjutan karies gigi di masukkan ke dalam kategori karies gigi maka akan melibatkan
penyakit pulpa dan jaringan periapikal (K04).
Kesehatan gigi dan mulut merupakan hal fundamental bagi kesehatan umum karena
mulut yang sehat memungkinkan individu untuk berbicara, makan, bersosialisasi tanpa
-
3
mengalami rasa sakit, rasa tidak nyaman, maupun rasa malu.[7] Tanpa perawatan yang
memadai, proses karies gigi akan terus berlanjut hingga gigi hancur. Karies gigi merupakan
penyebab utama sakit gigi dan kehilangan gigi. Karies gigi adalah satu di antara banyak
penyakit masa kanak-kanak yang dapat dicegah dan setiap orang rentan terhadap penyakit
ini sepanjang hidupnya.[8] Adanya karies gigi dapat mengganggu sistem pengunyahan pada
umumnya, dan dapat menjadi infeksi fokal sehingga mengganggu kesehatan dan tumbuh
kembang anak.[9] Di Amerika, Kanada, dan Inggris misalnya, terbukti bahwa karies gigi pada
masa kanak-kanak sangat mempengaruhi kualitas hidup anak-anak. Pada anak-anak
Aborigin di Australia Barat, karies gigi merupakan penyakit nomor 5 dari penyakit yang
paling sering menyebabkan anak harus dirawat di rumah sakit pada anak prasekolah (usia 1-
4 tahun).[10] Lebih dari 50 juta jam sekolah pertahun hilang sebagai akibat yang ditimbulkan
oleh sakit gigi pada anak-anak, dan akibat ini akan berdampak hingga kehidupan dewasa
nanti.[7] Di Indonesia 62,4% penduduk merasa terganggu pekerjaan/sekolahnya karena sakit
gigi selama rata-rata 3,86 hari per tahun.[11] Kondisi ini menunjukkan bahwa penyakit gigi,
walaupun tidak menimbulkan kematian, dapat menurunkan produktivitas kerja. Penelitian
di Medan membuktikan adanya dampak karies gigi terhadap empat dimensi kualitas hidup,
yaitu keterbatasan fungsi, rasa sakit, ketidaknyamanan psikis, dan disabilitas fisik.[12] Di DKI
Jakarta sendiri, hasil evaluasi karies gigi pada anak balita tahun 1993 menemukan bahwa
44,4% anak mengalami susah makan karena keluhan sakit gigi, dan hal ini berdampak 13,1%
anak mempunyai status gizi di bawah normal.[13] Sheiham mengemukakan tiga dampak
karies gigi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak prasekolah, yaitu (1) karies gigi
yang tidak terawat dapat menyebabkan rasa sakit sehingga mengganggu asupan makan
anak, (2) rasa sakit bisa menimbulkan gangguan tidur dan selanjutnya mengganggu produksi
glucosteroid dan pertumbuhan, (3) inflamasi kronis dari karies gigi dapat menekan
hemoglobin dan selanjutnya menimbulkan anemia karena produksi eritrosit dalam sumsum
tulang menjadi berkurang. Hal ini menjelaskan bahwa sangat perlu merawat karies gigi pada
anak prasekolah untuk meningkatkan tumbuh kembang dan meningkatkan kualitas hidup
anak.[14]
WHO mentargetkan bahwa pada tahun 2000 sedikitnya 50% anak usia 5-6 tahun
bebas karies gigi .[15] Namun, pada kenyataannya, prevalensi karies gigi pada anak
prasekolah dilaporkan mulai dari 1% hingga 72%.[2, 10, 16-18] Bervariasinya laporan disebabkan
anak usia prasekolah yang terkena karies gigi terkadang tidak memiliki akses untuk
-
4
pemeriksaan gigi. Selain itu, memeriksa anak seusia mereka jauh lebih sulit daripada
memeriksa orang dewasa.[16, 19] Menurut WHO, hingga tahun 2006 karies gigi masih menjadi
masalah utama dan mengenai 60% - 90% murid sekolah.[15] Survai Kesehatan Rumah Tangga
2001 melaporkan bahwa 76,5% anak usia 12 tahun memiliki kerusakan gigi yang belum
ditangani.[11] Prevalensi karies gigi yang mencapai pulpa dan akar gigi sudah dijumpai pada
murid kelas 2 SD sebesar 5,3%, sementara itu 81,3% anak usia 5 tahun memiliki gigi
permanen yang sudah berlubang.[11, 20] Pengamatan pendahuluan di 13 sekolah swasta di
Jakarta menemukan hal serupa, bahwa 55% anak kelas 1 SD memiliki gigi yang berlubang,
dengan rata-rata 2 gigi sulung berlubang per anak.[21] Oleh karena itu, dirasakan adanya
kebutuhan untuk melakukan upaya pencegahan penyakit gigi melalui sekolah, pada jenjang
yang lebih awal, yaitu prasekolah.
Karies gigi saat ini dipahami sebagai penyakit multifaktorial, dapat ditularkan, dan
infeksius, sehingga dianggap sebagai masalah sosial.[16] Mekanisme proses karies gigi pada
dasarnya sama untuk semua jenis karies gigi . Bakteri endogen (kebanyakan mutans dari
Streptococci [Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus] dan Lactobacillus spp)
dalam biofilm memproduksi asam organik lemah sebagai hasil metabolisme karbohidrat
yang dapat difermentasi. Asam ini menyebabkan pH lokal turun hingga di bawah ambang
kritis (pH = 5,5) sehingga terjadilah demineralisasi jaringan gigi.[22, 23] Jika kalsium, fosfat, dan
dan karbonat terus dibiarkan berdifusi keluar dari gigi, maka lama-kelamaan akan terbentuk
lubang. Demineralisasi dapat dibalik arahnya pada tahap awal melalui pemasukan ion
kalsium, fosfat, dan fluor.[3] Fluor bertindak sebagai katalis yang membantu difusi kalsium
dan fosfat masuk ke dalam gigi, yang dapat meremineralisasi struktur kristal gigi pada
daerah lesi. Permukaan kristal gigi yang terbentuk kembali, mempunyai komposisi yang
terdiri dari hidroksiapatit yang terfluoridasi, atau fluorapatit, yang lebih tahan terhadap
serangan asam dibandingkan struktur aslinya.
Faktor risiko fisik dan biologis untuk karies gigi email meliputi aliran dan komposisi
saliva,[3, 23, 24] tebalnya biofilm,[25] kematangan biofilm,[26] bakteri kariogenik dalam jumlah
banyak,[22, 27, 28] kurangnya paparan fluor,[3, 23, 29, 30] komponen imunologi, kebutuhan akan
perawatan kesehatan khusus, riwayat karies gigi sulung,[31] serta faktor genetik.[32] Karies
gigi berhubungan erat dengan gaya hidup seseorang, yang meliputi kebersihan mulut yang
jelek, kebiasaan makan yang jelek (misal sering ngemil karbohidrat refined di antara waktu
makan, seringnya frekuensi penggunaan obat peroral yang mengandung gula, dan cara
-
5
pemberian makanan bayi yang kurang tepat).[24, 33] Faktor risiko karies gigi yang lain
meliputi kemiskinan,[10, 34, 35] status sosial,[36-38] keadaan anak sebagai perokok pasif,[39]
pendidikan orangtua, ada tidaknya asuransi kesehatan gigi, umur ibu,[40] anak dengan
orangtua/pengasuh yang mempunyai riwayat karies gigi yang cukup parah, serta perilaku
orangtua/ pengasuh.[41, 42] Anak dengan berat badan rendah pada saat lahir juga berisiko
terhadap karies gigi , meskipun belum ada bukti yang jelas. Kolonisasi Streptococcus mutans,
serta bakteri kariogenik lainnya pada usia anak yang sangat muda, dapat menjadi faktor
risiko utama perkembangan karies gigi .[2, 24, 43, 44] Saat ini mulai diteliti faktor risiko secara
genetika, dan diketahui analisis amplified polymorphic DNA (AP-PCR) mampu mendeteksi
variasi genetik sehingga di masa yang akan datang diharapkan ada pemahaman yang lebih
baik mengenai transmisi Streptococcus mutans dari ibu/ayah ke bayinya (intrafamilial
transmission) yang dianggap berperan penting dalam kejadian karies gigi.[45] Risiko karies
gigi seseorang dapat bervariasi sejalan dengan waktu karena banyak faktor risiko yang
dapat diperbaiki dan diubah. Etiologi karies gigi dan berbagai faktor risiko yang
mempengaruhi telah dipahami. Yang masih menjadi masalah adalah bagaimana
menerapkan pengetahuan tersebut untuk mendiagnosa tingkat aktivitas karies gigi sebelum
terjadi dampak karies gigi, yaitu lubang, dan kedua, adalah mengubah anak yang rentan
penyakit karies gigi menjadi lebih tidak rentan.[23] Oleh karena itu semua faktor risiko yang
mungkin berkontribusi harus dipertimbangkan agar dapat disusun strategi pencegahan dan
perawatan karies gigi secara spesifik, untuk mendapatkan cara yang lebih efektif efisien.[4,
46]
Pencegahan karies gigi pada anak prasekolah memerlukan strategi khusus.
Kebanyakan peneliti setuju bahwa satu-satunya pendekatan rasional untuk karies gigi
adalah pencegahan, yang diawali dengan penyuluhan kesehatan gigi. Namun, sangat kecil
bukti yang menyatakan bahwa penyuluhan kesehatan gigi dan kampanye kesehatan gigi
dapat menurunkan penyakit mulut secara umum dengan efektif.[47-49] Memberikan
penyuluhan kesehatan gigi pada anak saja ternyata cukup membuat frustrasi para pendidik
kesehatan, dan tidak begitu berhasil menurunkan angka kerusakan gigi, terutama balita.
Untuk anak usia di bawah 4 tahun, keberhasilan pencegahan karies gigi lebih tercapai jika
penyuluhan diberikan kepada orang tuanya.[41] Mahon dalam disertasinya mengatakan
bahwa, pengetahuan serta praktik kesehatan seorang anak dipengaruhi oleh orang tua dan
gurunya.[50]
-
6
Salah satu usaha untuk bisa menjangkau anak prasekolah adalah melalui pendekatan
usaha kesehatan gigi yang dilakukan di sekolah taman kanak-kanak (UKGS). Sekolah
merupakan wadah yang efektif untuk mempromosikan kesehatan gigi dan mulut, karena
anak-anak sekolah jumlahnya mencapai lebih dari 1 miliar di dunia.[7] Banyak masalah
kesehatan gigi dan mulut yang dapat dicegah dan bahkan dapat dihentikan perjalanannya.
Hanya saja, orang tua dan guru seringkali tidak memiliki cukup pengetahuan mengenai
penyebab dan cara pencegahan penyakit gigi dan mulut. Selain itu, ditambah dengan
perilaku berisiko karies gigi tinggi pada anak, maka sekolah merupakan sarana yang tepat
untuk memulai pendidikan pola hidup sehat, karena sekolah memiliki pengaruh yang kuat
terhadap pembentukan perkembangan anak dan kesejahteraannya[7].
Pelaksanaan program upaya kesehatan gigi untuk anak sekolah dasar (UKGS) telah
dilakukan oleh pemerintah pada Sekolah Dasar sejak tahun 1951 dengan program yang
diberlakukan secara massal dan beban dana untuk pelaksanaan program rutin UKGS DKI
Jakarta dari tahun 1999 sampai 2001 mencapai Rp. 1,68 miliar/tahun anggaran.[20] Program
rutin Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) bervariasi mulai dari yang minimal sampai
optimal, meliputi upaya promotif untuk murid dan guru. Upaya pencegahan karies gigi
berupa kumur fluor 2X sebulan dan sikat gigi massal, dilengkapi upaya kuratif berupa
ekstraksi dan pengobatan darurat bagi murid kelas 1-6, serta perawatan medik gigi berupa
ekstraksi gigi permanen dan restorasi amalgam dan ART (Atraumatic Restorative Treatment)
pada gigi permanen murid kelas 4-5. Hasil evaluasi tahun 2002 terhadap UKGS tahap 3
(paket optimal/ paripurna) di DKI Jakarta, menunjukkan prevalensi karies gigi permanen
sebesar 85,5%, prevalensi gingivitis 70,2%, dengan rasio tambal:cabut=2:3, dan nilai
Performed Treatment Index (PTI) 8%.[20] Keterbatasan program yang diberlakukan massal
adalah besarnya biaya, waktu, tenaga, dan belum tentu memberikan hasil seperti yang
diinginkan.
Baelum menyatakan bahwa faktor risiko karies gigi tiap kelompok tidak sama
sehingga intervensi tiap kelompok pun harusnya berbeda.[3] Oleh karenanya perlu
diterapkan konsep identifikasi risiko karies gigi yang bersifat individual. Dibandingkan
dengan pendekatan tradisional, pendekatan intervensi melalui identifikasi risiko pada anak-
anak, terutama usia yang masih muda, memiliki potensi yang lebih baik dalam
meningkatkan kesehatan gigi dan mulut.[23, 51-55] Melalui identifikasi populasi berisiko tinggi
-
7
dan pendekatan yang tepat, karies gigi dapat dikontrol dan bahkan dapat dicegah.[8, 23, 24, 46,
52, 56-58]
Saat ini ada banyak metode dikembangkan untuk mengidentifikasi risiko karies gigi.
Shimono membuat Cariostat, suatu metode kolorimetri untuk mengelompokkan pasien
risiko karies gigi tinggi dan rendah, berdasarkan aktivitas mikroorganisme dalam sampel
biofilm.[59] Bratthall mengembangkan metode untuk mengidentifikasi penilaian risiko karies
gigi melalui Cariogram, yaitu suatu program komputer yang menyajikan diagram pie
interaksi antar berbagai faktor risiko karies gigi, antara lain faktor saliva, pola diet, biofilm,
asupan fluor, adanya penyakit dan pengalaman karies gigi .[29, 60] Hien Ngo membuat Traffic
Light Matrix, yang menyajikan faktor saliva, biofilm, diet, fluor, modifying factors, dalam
skoring merah-kuning-hijau.[23] The American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD)
membuat CAT (Caries Risk Assessment Tool) yang mengelompokkan risiko karies gigi tinggi,
sedang, rendah secara manual berdasarkan faktor fisik, lingkungan, dan kesehatan
umum.[53] Departemen Kesehatan Selandia baru membuat panduan Risk Assessment and
Recall Intervals dengan mengelompokkan individu risiko karies gigi tinggi dan rendah,
berdasarkan faktor riwayat karies gigi, banyaknya biofilm, jenis diet, frekuensi asupan
karbohidrat, sekresi saliva, fluor.[57]
Berbagai instrumen tersebut di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kebanyakan dari instrumen tersebut menggunakan penghitungan jumlah bakteri melalui
media yang harus dibiakkan beberapa hari di laboratorium dan biayanya relatif mahal.
Kendala lain yang spesifik jika diterapkan pada anak prasekolah adalah sulitnya pengambilan
sampel volume saliva.[61] Dalam setting intervensi preventif karies gigi pada anak prasekolah,
terutama dalam hal ini anak taman kanak-kanak, dirasakan perlunya suatu alat bantu yang
secara cepat, mudah, tetapi cukup akurat dapat mengidentifikasi risiko karies gigi anak, bisa
memotivasi anak dan orang tuanya, serta memberikan rekomendasi tindakan pencegahan
yang tepat. Hal ini mengingat laju karies gigi anak dapat sangat progresif, banyaknya jumlah
anak yang harus ditangani di sekolah dan sebagian besar pelaksana di lapangan adalah
perawat gigi. Oleh karena itu, akan dirancang suatu instrumen interaktif berupa simulator
risiko karies gigi, yang secara computerized dapat menilai faktor risiko dan memperkirakan
besarnya kemungkinan terjadinya karies gigi baru. Simulasi dengan program komputer akan
memberikan beberapa keuntungan seperti mudah penggunaannya, cepat memberikan hasil
penilaian, sehingga baik anak maupun orang tua dapat langsung melihat simulasi efek
-
8
perbaikan kesehatan gigi jika mereka melakukan sesuai dengan anjuran yang diberikan.
Selain itu, perlu dikembangkan suatu alat bantu semacam motivational report untuk
orangtua dan anak agar bisa secara mandiri dan berkelanjutan melaksanakan pencegahan
yang disarankan.
1.2 Pertanyaan Penelitian
1. Apakah faktor anak (jenis kelamin, umur, berat badan saat lahir, indeks massa tubuh,
white spot, diskolorasi fisur, gigi berjejal, pH saliva, pH biofilm, konsistensi makanan,
kebiasaan mengemut makanan, kebiasaan makan sayur, kebiasaan makan permen,
frekuensi makan permen, frekuensi sikat gigi, penggunaan pasta gigi, sikat gigi
sendiri/dibantu, lama pemberian ASI, lama pemberian susu botol, frekuensi minum
susu, susu diberi tambahan gula, suka minum soft-drink, kebiasaan sikat gigi malam)
dan faktor ibu (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, praktik kesehatan
gigi), serta faktor ada tidaknya pengasuh, tipe pengasuh, secara bersama-sama
berkontribusi terhadap risiko terjadinya karies gigi pada anak prasekolah?
2. Apakah faktor-faktor di atas dapat membentuk instrumen simulasi risiko karies gigi
dengan program komputer yang dapat diterima penggunaannya oleh dokter gigi dan
perawat untuk memotivasi orang tua dan anak?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan menyusun simulator risiko karies gigi berupa
instrumen simulasi dengan program komputer bagi anak prasekolah berdasarkan
faktor risiko yang terbukti berpengaruh.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1. Menjelaskan faktor-faktor dan besar risiko karies gigi pada anak prasekolah yang
berkaitan dengan karakteristik anak, kondisi lokal mulut anak, dan karakteristik
keluarga (ibu);
2. Mendapatkan instrumen simulasi risiko karies gigi dominan pada anak prasekolah
dan rekomendasinya;
3. Menyusun pemrograman komputasi yang sesuai.
-
9
4. Memberdayakan ibu dan pengasuh untuk melakukan pencegahan karies gigi pada
anak prasekolah.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menghasilkan instrumen simulasi risiko karies gigi bagi anak prasekolah;
2. Studi ini menjelaskan faktor risiko karies gigi yang berpengaruh pada anak
prasekolah, yang di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian serupa dengan
tingkat presisi tinggi;
3. Memberikan informasi yang berguna untuk pengembangan keilmuan, yaitu
pengembangan alat ukur penilaian risiko karies gigi dan saran intervensi menurut
kelompok faktor risiko yang dimiliki setiap anak
1.4.2 Manfaat metodologis
Manfaat metodologis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Simulator yang dihasilkan sangat memudahkan penilaian risiko karies gigi untuk
setiap anak prasekolah;
2. Intervensi yang dilakukan pada anak prasekolah dapat dilakukan secara lebih efektif
dan efisien;
3. Simulator membuat dokumentasi perjalanan risiko tiap anak, sehingga memudahkan
pemantauan dan evaluasi.
1.4.3 Manfaat aplikatif
Manfaat aplikatif penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi kesehatan masyarakat, manfaatnya adalah menemukan indeks komposit tingkat
risiko karies gigi bagi murid taman kanak-kanak;
2. Untuk menemukan faktor dominan karies gigi yang terjadi pada anak prasekolah
sehingga dapat ditentukan urutan prioritas anak untuk dilakukan intervensi;
3. Sebagai simulator interaktif untuk memotivasi perubahan perilaku pada orangtua
dan pengasuh;
-
10
4. Sebagai indikator perubahan faktor risiko setiap anak;
5. Untuk pengatur kebijakan tingkat nasional, metode ini dapat direplikasi di jenjang
taman kanak-kanak dan diharapkan hasil rekomendasi lebih tepat sasaran sehingga
dapat menurunkan angka keparahan karies gigi pada anak-anak;
6. Untuk pengguna, yaitu BPK PENABUR Jakarta, masyarakat luas, dan masyarakat
spesifik dapat digunakan untuk pengefektifan identifikasi risiko karies gigi.
-
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Karies gigi
Konsep penyebab dan perkembangan karies gigi telah berubah selama lebih dari 30
tahun. Paradigma lama memahami karies gigi sebagai proses demineralisasi jaringan keras
gigi yang berjalan satu arah dan juga tidak digambarkan adanya kemungkinan untuk
perbaikan permukaan gigi yang terkena lesi awal.[3]
Gambar 2.1. Model karies gigi tradisional(3)
Paradigma baru memahami karies gigi sebagai proses yang dinamis dan reversible
(bisa dibalik arahnya). Dinamis artinya ada pertukaran ion yang signifikan di antara
permukaan gigi dengan lapisan biofilm mulut yang secara normal terjadi setelah setiap kali
makan atau minum. Reversible artinya demineralisasi apatit email dapat secara cepat
diremineralisasi atau dipulihkan dengan cadangan ion-ion kalsium dan fosfat yang disimpan
di dalam saliva. Faktor penyebab demineralisasi adalah pola diet dan bakteri dalam biofilm,
sedangkan faktor penyebab remineralisasi adalah saliva dan fluor (Gambar 2.2). Akan tetapi,
pada situasi dimana demineralisasi melebihi kapasitas tubuh untuk melakukan
remineralisasi, maka akan menuntun ke arah akumulasi kehilangan kandungan mineral baik
pada email maupun dentin, yang selanjutnya akan diikuti terjadinya kavitas (lubang).
Substrat Gigi
mikroorganisme
Karies gigi
Waktu
-
12
Gambar 2.2 Pemodelan baru konsep karies gigi berdasarkan kesetimbangan
demineralisasi dan remineralisasi (1)
Karies gigi kemudian didefinisikan sebagai kehilangan ion-ion mineral secara kronis dan
berkelanjutan dari email mahkota atau permukaan akar yang dirangsang terutama oleh
kehadiran flora bakteri tertentu dengan produknya.[1, 3, 46]
Karies gigi pada gigi sulung anak-anak prasekolah biasa dikenal sebagai Early
Childhood Caries. Lapisan email gigi sulung lebih tipis daripada gigi tetap sehingga lebih
rentan terhadap karies gigi. Early Childhood Caries berjalan agresif dan cepat yang
menyebabkan rusaknya gigi sulung pada bayi dan balita, dan terutama ditemukan pada
permukaan anterior gigi sulung rahang atas dan dapat pula mengenai gigi molar susu rahang
atas maupun rahang bawah.[2, 16, 43] Karies gigi ini diawali dengan demineralisasi yang
nampak sebagai lesi white spot pada gigi sulung insisivus rahang atas di sepanjang
perbatasan dengan gingiva. Lesi white spot dapat dihentikan bahkan dapat dihilangkan jika
penyebab situasi kariogenik dihilangkan atau dikurangi.[62] Perubahan ultrastruktur yang
terjadi pada email akibat biofilm kariogenik adalah sebagai berikut. Kidd mereviu suatu studi
eksperimental dimana biofilm dibiarkan terbentuk pada permukaan gigi tanpa diganggu.
Setelah 1 minggu terjadi sedikit peningkatan porositas email dan jaringan di bawah lapisan
luar yang ternyata lebih porus dibanding permukaan luar itu sendiri. Kejadian ini disebut
sebagai demineralisasi subsurface yang akan nampak makin jelas pada minggu ke 2, 3, dan 4,
dan akan nampaklah lesi white spot jika terpolarisasi cahaya.[22] White spot adalah
fenomena optik dari kondisi demineralisasi gigi.[1] Kidd mengatakan lesi white spot
seyogyanya dianggap satu tanda atau gejala adanya penyakit (it should be considered the
sign or symptom of the disease). [22]
-
13
Sebuah penelitian longitudinal yang mengamati lesi white spot gigi molar pertama
pada saat anak berusia 8 tahun hingga berusia 15 tahun menemukan bahwa mayoritas lesi
white spot tidak berlanjut menjadi lubang, melainkan terhenti.[63] Pada lesi white spot yang
terhenti tidak selalu terjadi penggantian sempurna mineral yang telah mengalami
demineralisasi dengan mineral baru. Gambaran putih masih mungkin tetap terlihat pada gigi.
Permukaan gigi dari lesi white spot yang terhenti/arrested justru mengandung lebih banyak
fluor dibandingkan permukaan email disekitarnya. [62] Namun jika proses penyakit berjalan
terus, karies gigi akan berkembang dan menyebabkan terjadinya destruksi mahkota gigi.
Pada kasus dengan keparahan sedang, setelah terjadi lubang gigi, karies gigi mulai
menyebar ke gigi molar rahang atas. Namun, pada kasus dengan keparahan tinggi, karies
gigi menghancurkan gigi rahang atas dan menyebar ke gigi molar rahang bawah.[16]
Gambar 2.3 Fenomena Gunung Es ( Iceberg) karies gigi,
gambaran batasan diagnosis dalam epidemiologi dan praktik [64]
Penghitungan karies gigi konvensional ditinjau dari kebutuhan epidemiologi adalah
sesuai dengan Oral Health Surveys Basic Method WHO 1997, terdiri dari komponen decay
(kavitas yang tampak kasat mata, dan gigi dengan pengalaman karies gigi seperti gigi
dengan tambalan sementara) ditambah komponen filling (kavitas yang telah ditambal).
Threshold achieveable by new diagnostic tools now & in the future
D1 + additional diagnostic aid used in practice & reseach
Diagnostic threshold determines what is recorded as diseased or sound
Considered as caries free at the D3 threshold
Threshold used in classical epidemiological survey examination
Threshold used in many practice & research & epid exam (D3 + enamel)
D3
D1
-
14
White spot dan fisur yang mengalami diskolorasi dianggap sehat[5] /considered as caries
free at the D3 threshold.[62] Selengkapnya kutipan pencatatan karies gigi berdasarkan Oral
Health Surveys Basic Method WHO 1997, adalah sebagai berikut [5]:
Caries is recorded as present when a lesion in a pit of fissure, or on smooth-tooth
surface, has an unmistakable cavity, undermined enamel, or a detectably softened
floor or wall. A tooth with a temporary filling.. In cases where the crown has been
destroyed by caries and only the root is left, the caries is judged to have originated on
the crown and therefore scored as crown cavity only.
Should be coded as sound: white or chalky spots; discolored or rough spot that are
not soft to touch with a metal CPI probe; stained pits or fissures in the enamel that do
not have visual signs of undermined enamel, or softening of the floor or walls
detectable with CPI probe; dark, shiny, hard, pitted areas of enamel in a tooth
showing signs of moderate to severe fluorosis; lesion that, on the basis of their
distribution or history, or visual / tactile examination, appear to be due to abrasion.
Pencatatan karies gigi menggunakan indeks df-t/DMF-T mulai dikembangkan tahun
1930 dan hingga hari ini indeks yang sama masih terus dipergunakan setelah lebih dari 70
tahun. Hal ini menunjukkan betapa suksesnya indeks ini dan juga sekaligus sulitnya
menemukan alternatif pengganti yang bisa diterima oleh semua pihak. Indeks ini dipahami
secara internasional dan oleh karenanya mampu diperbandingkan antara satu daerah
dengan daerah lain, antara satu negara dengan negara lain. [6]
Adanya pemahaman karies gigi yang lebih baik pada masa kini juga berdampak pada
cara pengukuran karies gigi. Pengukuran progresif yang dilakukan di klinik memungkinkan
pengklasifikasian karies gigi secara anatomi gigi dengan melihat penetrasi karies gigi ke
dalam jaringan gigi terlihat pada Gambar 2.3 sebelah kanan, yaitu (D1) lesi awal (sering
disebut sebagai incipient lesion/white spot), (D2) penetrasi karies gigi mencapai email,
tampak kavitas email, (D3) Penetrasi karies gigi mencapai dentin, (D4) penetrasi karies gigi
mencapai pulpa.[6] Pengukuran karies pendekatan progresif menggunakan D1 sebagai
ambang batas.
Pada gambar 2.3 iceberg of dental caries sebelah kiri, secara nyata digambarkan
kriteria karies konvensional untuk epidemiologi adalah pada ambang batas D3 yaitu karies
-
15
dentin dengan kavitas kasat mata. Untuk dapat tetap menggunakan data yang sudah
berlaku universal, maka komponen decay dalam kriteria WHO sebenarnya setara dengan d3
untuk gigi sulung / D3 untuk gigi tetap. D3 dianggap sebagai ambang batas karena
merupakan batasan diperlukan suatu perawatan operatif.[6] Pada ambang batas D3, maka
white spot dihitung sebagai caries free, seperti tampak pada Gambar 2.3 Oleh karenanya,
akan lebih tepat dan tetap bisa diperbandingkan secara global jika dipahami bahwa df-t atau
DMF-T pada kriteria WHO sebenarnya adalah d3f-t atau D3MF-T.[6] Selanjutnya,
perkembangan kriteria diagnostik masih akan terus berkembang mengingat kemajuan
teknologi deteksi karies gigipun (misalnya menggunakan fiber-optic transillumination dan
bitewing radiography) semakin bisa mendeteksi lesi yang tidak tampak oleh mata. Itu
sebabnya karies gigi digambarkan sebagai fenomena gunung es. Yang biasa dilihat sebagai
lubang kasat mata adalah sebagian dari gunung es yang tampak di atas air, namun
sebenarnya masih ada sebagian besar gunung es yang tersembunyi di bawah air.[3]
Pemilihan ambang batas karies gigi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan dan rencana
perawatan. Yang penting adalah jika ingin menggunakan suatu data epidemiologis,
seseorang harus tahu betul ambang batas diagnostik yang dipergunakan dalam
pengumpulan data dan pelaporannya.[6] Dalam disertasi ini, semua yang disebutkan
menggunakan df-t/ DMF-T berarti menggunakan ambang batas D3 (kavitas dentin) sesuai
kriteria WHO.[5]
2.2 Distribusi Kejadian Karies gigi
Untuk membandingkan frekuensi dan distribusi kejadian karies gigi secara global
perlu berhati-hati, mengingat banyaknya perbedaan kriteria diagnosis yang digunakan pada
studi yang satu dengan studi yang lainnya. Namun, adanya penurunan prevalensi dan
keparahan karies gigi permanen bisa terlihat pada banyak negara berkembang sepanjang
dekade terakhir ini. Kecepatan perkembangan karies gigi juga menurun sejalan dengan
pertambahan umur .[4, 48]
Penyakit ini terutama ditemukan pada jenis gigi tertentu baik gigi sulung maupun gigi
permanen. Pada gigi permanen, kejadian karies gigi pada permukaan interproksimal dan
permukaan halus lebih rendah daripada kejadian karies gigi pada permukaan oklusal atau
pit dan fisur. Karies gigi pada mahkota gigi permanen anak terutama adalah karies gigi
-
16
pada pit dan fisur. Pada masa awal kanak-kanak, lesi karies gigi justru berkembang pada
permukaan halus, padahal biasanya permukaan halus berisiko rendah terhadap karies gigi .
Pada beberapa kelompok populasi, prevalensi dan keparahan karies gigi sulung sudah stabil
atau sedikit mengalami peningkatan.[4]
Meskipun prevalensi dan keparahan karies gigi permanen dan gigi sulung mengalami
penurunan di banyak negara dengan pendapatan tinggi, tetapi tetap ditemukan perbedaan,
dan tetap banyak anak dan orang dewasa yang menderita penyakit karies gigi.[48] Di Amerika,
karies gigi adalah penyakit kronis anak-anak yang paling sering ditemukan, dan kejadiannya
lima kali lebih sering dibanding penyakit asma.[65] Sebuah survei nasional di Amerika
menyatakan bahwa prevalensi karies gigi pada anak prasekolah di beberapa populasi
bahkan mencapai 90%.[43] Pola karies gigi terpolarisasi pada kelompok anak dari sosial
ekonomi rendah, etnik minoritas pada negara maju, dan beberapa populasi di pedesaan.[16]
Di Australia, karies gigi pada anak telah mengalami penurunan selama 20 tahun terakhir.
Namun, tinggi rendahnya angka def-t (1,332,53 pada anak 5-6 tahun) masih tersebar tidak
merata, dihubungkan dengan faktor geografi dan karakteristik sosial ekonomi.[10] Data dari
Kuwait tahun 1985-1995 menunjukkan trend peningkatan prevalensi karies gigi sulung dari
11,5% - 35,5% pada anak usia 4-6 tahun.[66] Sejauh ini belum ada data pasti yang dilaporkan
mengenai prevalensi gigi sulung di Indonesia. Tinjauan yang dilakukan Heriandi
memperlihatkan adanya variasi prevalensi karies gigi sulung dari 61% - 85%, hasil dari
beberapa penelitian di beberapa daerah di Indonesia.[67] Data BPK PENABUR Jakarta
menunjukkan def-t 2,82 untuk anak kelas 1 SD, dengan prevalensi karies gigi sulung 55%.[21]
2.3 Patogenesis Karies gigi
Karies gigi merupakan hasil dari interaksi selama kurun waktu tertentu antara bakteri
yang memproduksi asam, substrat yang dapat dimetabolisir oleh bakteri, dan banyak faktor
individual meliputi gigi dan saliva. Karies gigi terjadi akibat ketidakseimbangan ekologi
rongga mulut antara mineral gigi dan mikrobial biofilm.[68, 69] Bakteri hidup di rongga mulut
membentuk koloni secara mikro, yang dibungkus oleh matriks organik yang terdiri atas
polisakarida, protein, dan DNA hasil sekresi sel. Matriks ini berfungsi memberikan
perlindungan terhadap kekeringan, melawan pertahanan dari tubuh, serta meningkatkan
resistensi terhadap agen antimikroba. Gigi menyediakan permukaan gigi yang rentan bagi
-
17
perlekatan koloni bakteri serta hasil metabolismenya, yang terakumulasi di dalam biofilm
yang melekat pada permukaan gigi, baik gigi sehat maupun telah terkena karies gigi .[4]
Mekanisme proses karies gigi pada dasarnya sama untuk semua jenis karies gigi .
Bakteri endogen (kebanyakan mutans dari streptococci [Streptococcus mutans dan
Streptococcus sobrinus] dan Lactobacillus spp.) dalam biofilm memproduksi asam organik
lemah sebagai hasil metabolisme karbohidrat yang dapat difermentasi. Asam ini
menyebabkan pH lokal turun hingga di bawah ambang kritis (pH 5,5) sehingga terjadilah
demineralisasi jaringan gigi.[68, 70] Jika kalsium, fosfat, dan dan karbonat terus dibiarkan
berdifusi keluar dari gigi, maka lama-kelamaan akan terbentuk lubang.
Demineralisasi dapat dibalik arahnya pada tahap awal melalui pemasukan ion
kalsium, fosfat, dan fluor.[23] Fluor bertindak sebagai katalis yang membantu difusi kalsium
dan fosfat masuk ke dalam gigi, yang dapat meremineralisasi struktur kristal gigi pada
daerah lesi. Permukaan kristal gigi yang terbentuk kembali, mempunyai komposisi yang
terdiri dari hidroksiapatit yang terfluoridasi dan fluorapatit, yang lebih tahan terhadap
serangan asam dibandingkan struktur aslinya. Enzim yang dihasilkan bakteri dapat pula ikut
berperan dalam perkembangan karies gigi.
Apakah proses karies gigi akan berlanjut, berhenti, atau berbalik arahnya, tergantung
pada keseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi. Proses demineralisasi dan
remineralisasi terus-menerus terjadi pada kebanyakan orang. Sejalan dengan waktu, proses
ini akan berujung pada berlubangnya gigi atau terjadi perbaikan dan penyembuhan lesi,
ataupun tetap status quo.[23]
Remineralisasi seringkali terjadi, terutama jika pH biofilm dinetralkan kembali oleh
saliva, yang bertindak sebagai buffer. Area yang sudah mengalami remineralisasi
mempunyai konsentrasi fluor yang lebih tinggi dan struktur email secara mikroskopis lebih
padat dibandingkan struktur gigi yang semula karena masuknya kalsium dan fosfat dari
saliva.[71]
Proses demineralisasi dan remineralisasi terus-menerus terjadi pada kebanyakan
orang. Sejalan dengan waktu, proses ini akan berujung pada berlubangnya gigi atau terjadi
perbaikan dan penyembuhan lesi, ataupun tetap tak berubah.[4, 43] Lesi karies gigi akan
berkembang jika biofilm mulut dibiarkan menjadi matang (menjadi kariogenik) dan bertahan
pada gigi dalam waktu yang lama. Jika kavitas dibiarkan terus berkembang, daerah tersebut
menjadi habitat sehingga organisme dalam biofilm berangsur-angsur beradaptasi terhadap
-
18
penurunan pH. Lubang gigi merupakan tempat perlindungan bagi biofilm, dan selama pasien
tidak bisa membersihkan daerah ini, proses karies gigi akan terus berjalan. Karies gigi pada
email awalnya terlihat sebagai lesi white spot, yaitu daerah kecil di bawah permukaan gigi
yang mengalami demineralisasi yang terjadi di bawah biofilm gigi.[3]
Faktor genetik diduga (might be)[45, 72] berperan dalam terjadinya karies gigi,
sehingga anak dengan faktor risiko yang sama belum tentu mengalami kejadian karies gigi
yang sama, karena memiliki kerentanan ataupun resistensi terhadap karies gigi yang
berbeda satu sama lain secara genetik.[45, 72]
Gambar 2.4 Ilustrasi patogenesis karies gigi (1)(Permission Assoc. Prof. Hien Ngo)
2.4 Akibat Karies Gigi pada Anak Prasekolah
Adanya karies gigi dapat mengganggu sistem pengunyahan pada umumnya, dan
dapat menjadi infeksi fokal sehingga mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak.[9]
Di Amerika, Kanada, dan Inggris misalnya, terbukti bahwa karies gigi pada masa kanak-kanak
sangat mempengaruhi kualitas hidup anak-anak. Pada anak-anak Aborigin di Australia Barat,
karies gigi merupakan penyakit nomor 5 dari penyakit yang paling sering menyebabkan anak
harus dirawat di rumah sakit pada anak prasekolah (usia 1-4 tahun).[10] Lebih dari 50 juta
jam sekolah pertahun hilang sebagai akibat yang ditimbulkan oleh sakit gigi pada anak-anak,
dan akibat ini akan berdampak hingga kehidupan dewasa nanti.[7] Di Indonesia 62,4%
penduduk merasa terganggu pekerjaan/sekolahnya karena sakit gigi selama rata-rata 3,86
hari per tahun.[11] Kondisi ini menunjukkan bahwa penyakit gigi, walaupun tidak
menimbulkan kematian, dapat menurunkan produktivitas kerja. Penelitian di Medan
membuktikan adanya dampak karies gigi terhadap empat dimensi kualitas hidup, yaitu
-
19
keterbatasan fungsi, rasa sakit, ketidaknyamanan psikis, dan disabilitas fisik.[12] Di DKI
Jakarta sendiri, hasil evaluasi karies gigi pada anak balita tahun 1993 menemukan bahwa
44,4% anak mengalami susah makan karena keluhan sakit gigi, dan hal ini berdampak 13,1%
anak mempunyai status gizi di bawah normal.[13] Sheiham mengemukakan tiga dampak
karies gigi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak prasekolah, yaitu (1) karies gigi
yang tidak terawat dapat menyebabkan rasa sakit sehingga mengganggu asupan makan
anak, (2) rasa sakit bisa menimbulkan gangguan tidur dan selanjutnya mengganggu produksi
glucosteroid dan pertumbuhan, (3) inflamasi kronis dari karies gigi dapat menekan
hemoglobin dan selanjutnya menimbulkan anemia karena produksi eritrosit dalam sumsum
tulang menjadi berkurang.[14]
2.5 Faktor Risiko Karies gigi pada Anak Prasekolah
Berikut ini adalah tinjauan berbagai risiko karies gigi pada anak prasekolah.
2.5.1 Pengertian Risiko Karies gigi
Secara umum, risiko adalah peluang terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan. Risiko
sering didefinisikan sebagai peluang terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan dalam
suatu periode waktu tertentu. Risiko karies gigi adalah peluang terjadinya sejumlah karies
gigi baru, mencapai derajat penyakit tertentu, dalam kurun waktu yang tertentu, dengan
syarat bahwa faktor-faktor risiko berada dalam keadaan sama dan stabil selama kurun
waktu yang ditentukan. Jadi, risiko karies gigi berhubungan dengan peluang terjadinya
karies gigi pada seseorang.[56, 60]
Memperkirakan risiko karies gigi secara tepat adalah sangat mutlak agar tindakan
preventif dapat diarahkan langsung kepada pasien dengan risiko karies gigi tinggi sebelum
timbulnya kavitas baru. Biasanya, jika faktor etiologi utama dapat ditemukan, perawatan
yang sesuai untuk pasien bersangkutan akan membawa hasil yang memuaskan.[56]
Risiko karies gigi seseorang dapat bervariasi sejalan dengan waktu karena banyak
faktor risiko yang dapat diperbaiki dan diubah. Faktor risiko fisik dan biologis untuk karies
gigi email meliputi aliran dan komposisi saliva, bakteri kariogenik dalam jumlah banyak,
kurangnya paparan fluor, komponen imunologi, kebutuhan akan perawatan kesehatan
khusus, serta faktor genetik.
-
20
Faktor risiko karies gigi yang lain meliputi kemiskinan, status sosial, lamanya
mengenyam pendidikan, ada tidaknya asuransi kesehatan gigi. Termasuk juga anak dengan
orangtua/ pengasuh yang mempunyai riwayat karies gigi yang cukup parah dianggap sebagai
faktor yang mempertinggi risiko anak untuk terkena penyakit karies gigi.
2.5.2 Faktor Host
2.5.2.1 Morfologi Gigi Sulung
Yang membedakan pola karies gigi sulung dengan gigi tetap adalah email dan dentin
pada gigi sulung lebih tipis, dan kontak proksimalnya lebih luas dibanding gigi tetap,
sehingga daerah proksimal lebih rentan terhadap karies gigi. Oleh karenanya, pada gigi
sulung, penjalaran karies gigi lebih cepat mengenai pulpa.[16] Selain itu, pada dentin gigi
sulung ditemukan tubulus dengan diameter besar, yang merupakan jalan bagi bakteri untuk
masuk lebih cepat hingga daerah pulpa.[73]
Gambar 2.5 A Menunjukkan tubulus yang besar yang tampak pada oklusal dentin. Gambar 2.5 B Menunjukkan pembesaran daerah yang diberi tanda *, dimana terlihat banyak bakteri dan debris [73].
Struktur gigi yang belum matang karena masih banyak mengandung ion karbonat
juga menyebabkan struktur gigi mudah larut oleh asam. Kelainan pembentukan gigi seperti
amelogenesis imperfekta dan dentinogenesis imperfekta walaupun merupakan kejadian
yang sangat jarang (1 di antara 718-14000), meningkatkan risiko karies gigi karena
ketidakmampuan email melindungi struktur gigi di bawahnya .
-
21
Anatomi gigi dengan banyak groove, pit, dan fisur yang dalam dan meluas juga
menyebabkan makanan mudah terperangkap di dalamnya, serta sulit dibersihkan sehingga
meningkatkan risiko gigi berlubang.[1]
2.5.2.2 Saliva
Saliva memainkan peranan utama dalam melindungi gigi-geligi melawan tantangan
asam, juga melindungi jaringan lunak mulut dan jaringan saluran cerna melawan dehidrasi
dan potensial iritan patologis.[74]
Saliva sendiri merupakan proteksi terbaik untuk melawan serangan asam pada
permukaan gigi dan faktor-faktor protektifnya meliputi [23, 74] hal-hal sebagai berikut.
1. Saliva sangat dijenuhi dengan ion-ion Ca2+ dan PO43- tersedia untuk menggantikan
ion-ion yang hilang dari permukaan gigi sebagai akibat dari demineralisasi oleh asam;
2. Ion HPO42- terutama memberikan kapasitas penyanggaan yang signifikan pada pH
istirahat dan pada tahap awal tantangan asam;
3. Pellicle lapisan glikoprotein dari saliva merupakan bagian biofilm mulut yang
melapisi permukaan gigi dan memberikan proteksi tingkat tinggi melawan tantangan
asam. Ia menahan difusi ion-ion asam masuk kedalam gigi, sebagaimana juga
menahan pergerakan apatite keluar dari gigi. Ini juga membatasi mineralisasi apatite
dan menuntun ke pembentukan kalkulus dari lepasnya ion-ion Ca2+ dan PO43- dari
saliva saat mencapai kadar super jenuh;
4. Penyanggaan bikarbonat ada sistem penyanggaan bikarbonate yang sangat efektif
yang memberikan tingkat proteksi tinggi melawan asam organik dan erosif pada
permukaan gigi;
5. Tingkat aliran saliva aliran saliva dan oral clearance rates mempengaruhi
pembuangan sisa-sisa makanan (food-debris) dan mikro-organisme. Namun, aliran
saliva yang tinggi juga dapat mengencerkan obat terapetik yang dipakai secara
topikal, misalnya fluor, menyebabkan diperlukannya penambahan konsentrasi bahan
yang pakai untuk pemeliharaan optimal bagi proteksi gigi;
6. Ion-ion fluor memberikan sumbangan pada keseluruhan proteksi dan memperbaiki
mineralisasi gigi. Kandungan ion fluor normal dalam saliva rata-rata hanya 0,03 ppm
tetapi kadarnya akan bervariasi menyusul masukan ion-ion fluor tambahan dari
sumber makanan, fluor topikal, pasta gigi dan sebagainya.
-
22
Kualitas dan kuantitas saliva yang disekresi akan bervariasi sepanjang hari, tetapi
akan terdepresi selama tidur. Saliva yang tidak distimulasi berisi sedikit penyangga
bikarbonate, dengan lebih sedikit ion Ca2+ tetapi lebih banyak ion PO43- daripada plasma.
Rangsangan refleks aliran saliva dengan mengunyah atau melalui paparan makanan yang
asam, misalnya asam sitrat dapat menambah aliran sampai 10x lipat. Menyusul adanya
rangsangan, konsentrasi penyangga bikarbonat dapat bertambah sampai 60x lipat. Juga
kadar ion Ca2+ akan bertambah secara ringan, tetapi ion-ion PO43- tidak akan bertambah
secara proporsional dengan tingkat aliran saliva.[23, 69, 75]
Pengurangan aliran saliva maksimum sampai 0,7 mL/menit akan menambah risiko
karies gigi , walaupun hal ini tergantung banyak faktor-faktor lain yang berinteraksi. Saat
aliran saliva di bawah 0,7 ml/ menit, saliva tidak akan mampu membilas karbohidrat yang
menempel pada permukaan gigi. Rendahnya aliran saliva mengindikasikan kapasitas buffer
saliva, imunoglobulin Ig A, serta kandungan kalsium dan fosfat yang rendah sehingga
mengurangi kemampuan netralisasi asam dalam biofilm gigi.
Data penelitian Survei Kesehatan dan Nutrisi di Amerika menyimpulkan ada
hubungan antara lingkungan perokok tembakau dan risiko karies gigi pada anak-anak. Anak
yang hidup di lingkungan perokok mempunyai risiko karies gigi 27% dan risiko gigi ditambal
14%, karena diketahui nikotin menyebabkan pertumbuhan bakteri kariogenik S. mutans.
Kondisi perokok pasif (serum cotinine levels 0,2-10 ng/mL) telah dihubungkan dengan
terjadinya penekanan tingkat serum vitamin C pada anak-anak, dan hal ini berdampak pada
pertumbuhan bakteri kariogenik. Kemungkinan lain adalah kondisi perokok pasif
mengurangi kemampuan proteksi saliva terhadap karies gigi. Sistem imun pada anak
biasanya belum matang, komposisi saliva sehubungan dengan konsentrasi IgA pada anak
berbeda dengan orang dewasa. Karenanya anak lebih rentan terhadap lingkungan perokok
dikarenakan sistem imunnya yang belum sempurna dan aliran saliva lebih sedikit dibanding
orang dewasa.[39]
2.5.2.3 Faktor Bakteri pada Anak
Biofilm gigi adalah biofilm yang tertata, berstruktur dan berfungsi. Biofilm terbentuk
dengan cara yang teratur, dan terdiri dari berbagai jenis komposisi mikroba, yang dalam
kesehatan, relatif stabil (microbial homeostasis).[76] Spesies yang dominan pada daerah yang
-
23
sakit, ternyata berbeda dengan spesies di daerah yang sehat, meskipun sejumlah kecil
bakteri patogen juga terdeteksi pada daerah yang normal.
Pada karies gigi, terjadi pergeseran ke arah komunitas yang didominasi spesies yang
tahan asam dan asidogenik, seperti mutans streptococci dan Lactobacillus. Kondisi pH
rendah yang berkepanjangan merupakan lingkungan baik bagi mutans streptococci dan
Lactobacillus.[4, 68, 76]
Mutans streptococci adalah bakteri yang kuat dihubungkan dengan Early Childhood
Caries.[27, 43] Mutans streptococci diklasifikasikan menjadi 7 spesies yang berbeda, yaitu
S.criceti, S. ratti, S. mutans, S. sobrinus, S. macacae, S. downei, dan S. orisratti sp.nov.[45]
Anak dengan ECC memperlihatkan peningkatan jumlah mutans streptococci mencapai lebih
dari 30% flora dalam biofilm. Streptococcus mutans dapat berkoloni pada mulut bayi yang
belum bergigi, dengan menggunakan galur-galur pada lidah sebagai habitatnya.[77]
Streptococcus mutans ditemukan 55% pada sampel biofilm dan 70% pada hasil scrapping
lidah.
Anak yang sudah terinfeksi Streptococcus mutans pada usia 2 tahun memiliki
aktivitas karies gigi yang sangat tinggi pada usia 4 tahun. Dengan demikian, keberadaan
Streptococcus mutans pada usia 1 tahun merupakan prediktor efektif untuk memperkirakan
kondisi karies gigi pada usia 3,5 tahun.
Soerodjo menemukan bahwa konsentrasi Streptococcus mutans dalam 1 mg biofilm
gigi lebih tinggi pada subjek dengan karies gigi positif daripada konsentrasi Streptococcus
mutans pada subjek karies gigi negatif atau subjek karies gigi yang telah dirawat.[44]
Sementara itu, Corby pada penelitannya mengenai Early Childhood Caries mengemukakan
bahwa subjek dengan karies gigi aktif memiliki flora mikro yang berbeda dibandingkan
subjek yang bebas karies gigi. Profil kelompok dengan karies gigi aktif ditandai dengan
berlebihnya jumlah bakteri kariogenik seperti Actinomyces sp., S. mutans, dan Lactobacillus
sp., dan sangat rendahnya jumlah bakteri yang dihubungkan dengan kesehatan seperti S.
parasanguinis, Abiotrophia defectiva, Gemella hemolysans, S. oralis, S. sanguinis.
Streptococcus mutans ditemukan dalam jumlah sangat banyak pada 90% subjek karies gigi
aktif dan ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil pada subjek bebas karies gigi , namun
Actinomyces ditemukan dalam jumlah banyak pada subjek karies gigi maupun bebas karies
gigi .[78] Streptococcus mutans yang bersifat asidogenik dan asidurik, bersama-sama dengan
lactobacillus, merupakan bakteri yang dominan ditemukan pada kebanyakan kasus karies
-
24
gigi.[70, 79, 80] Penemuan terbaru yang mengejutkan adalah Streptococcus mutans mampu
hidup secara normal tanpa melalui Signal Recognition Particle (SRP), yaitu mekanisme
primer penghantaran protein yang mensuplai membran pelindung sel bakteri, yang pada
awalnya dipercaya bahwa SRP merupakan syarat hidup semua sel.[81] Akibatnya, S. mutans
ini mempunyai daya survival yang lebih tinggi daripada spesies lain.
Reservoar utama seorang anak mendapatkan Streptococcus mutans diduga dari ibu
atau pengasuhnya.[2, 16, 77] Beberapa bukti menunjukkan bahwa strain Streptococcus mutans
hasil isolasi dari ibu dan bayinya menunjukkan profil bakteriosin dan pola DNA yang sama.[82,
83] Hal itu diperburuk dengan seringnya frekuensi asupan karbohidrat kariogenik yang dapat
difermentasi. Mutans streptococci menghasilkan asam dalam jumlah banyak dan
menurunkan pH biofilm dalam jangka lama sehingga berakibat pada demineralisasi.
2.5.2.4 Faktor Biofilm
Biofilm atau yang dulu lebih dikenal dengan sebutan plak gigi merupakan suatu
komunitas mikroba yang di dalam mulut terdiri dari lebih 700 spesies dan mempunyai cara
perlekatan yang berbeda ke permukaan gigi.[26, 84] Ada 4 tahap perkembangan biofilm mulut,
dimulai dari tahap 1 berupa pembentukan lapisan pelikel yang terjadi dalam hitungan detik,
dan merupakan prakondisi perlekatan dan kolonisasi bakteri. Kolonisasi bakteri yang
menjadi pioner adalah terutama terdiri dari bakteri kokus gram positif dan bakteri bentuk
batang, yang membelah diri dan membentuk koloni mikro. Jika biofilm supragingival pada
tahap awal ini tidak dibersihkan secara teratur, koloni akan semakin matang dalam tiga
tahap berikutnya. Tahap pertama didominasi oleh bakteri kokus gram positif yang diwakili
oleh spesies streptokoki. Tahap kedua adalah cross linking melalui spesies fusobacterium
yang terjadi dalam hitungan menit, dan tahap ketiga didominasi organisme gram negatif
yang terjadi dalam hitungan jam. Struktur biofilm yang sudah matang sangat kokoh dan
resilien, berperan sebagai alat pertahanan terhadap antibiotik dan bersifat virulen pada
poket periodontal yang dalam. Selanjutnya tahap keempat adalah terlepasnya bakteri dari
permukaan gigi.
Patogenisitas dari biofilm ditandai dengan dua karakteristik yaitu meningkatnya
ketahanan terhadap antibiotik dan komunitas bakteri yang tidak mampu difagositosis oleh
sel inflamasi dari pejamu.
-
25
Gambar 2.6 Empat tahap pertumbuhan biofilm mulut [26]
Hal ini menunjukkan bahwa biofilm mulut akan selalu terbentuk dan oleh karenanya
tidak bisa dihilangkan.[26, 68, 76, 84] Sifat patogen dari biofilm dapat dikurangi dengan
mengurangi jumlah flora dalam mulut, yang dapat dilakukan dengan menjaga higiene mulut
melalui gosok gigi setiap hari, flossing, dan pada kasus yang melibatkan periodontal dapat
ditambah penggunaan obat kumur antimikroba. Kuncinya adalah pencegahan melalui
penatalaksanaan kesehatan mulut yang normal dengan menjaga keseimbangan ekosistem
mulut.[26] Anak prasekolah biasanya masih kurang terampil dalam menggosok gigi secara
efektif. Oleh karena itu dalam pembentukan kebiasaan hidup sehatnya, ia harus secara aktif
disupervisi oleh pengasuhnya.[50, 52]
2.5.3 Faktor Nutrisi dan Pola Makan
Status nutrisi adalah indikator kesehatan umum yang akurat pada usia awal
kehidupan. Jika terjadi undernutrition dan gangguan terjadi pada masa pembentukan
matriks gigi, maka timbul hipoplasia email. Email yang mengalami hipoplasia dan defek
merupakan tempat paling ideal untuk pertumbuhan mutans streptococci. Hipoplasia email
ada hubungannya dengan karies gigi nantinya dan merupakan prediktor karies gigi yang baik.
Anak dengan berat badan rendah pada saat lahir juga dianggap anak yang berisiko
terhadap karies gigi , meskipun belum ada bukti yang jelas adanya relasi antara berat badan
lahir yang rendah dengan kejadian karies gigi.
-
26
Anak yang mengalami malnutrisi memiliki sekresi saliva dan kapasitas buffer yang
rendah, kadar Ca dan sekresi protein lebih rendah pada saliva terstimulasi, dan faktor
pertahanan lebih rendah pada saliva istirahat .[33]
Obesitas anak saat ini adalah bentuk malnutrisi yang paling sering terjadi. Pola
makan merupakan kontributor terhadap obesitas dan karies gigi. Anak cenderung
mengkonsumsi banyak makanan berlemak, garam, dan kurang asupan buah, sayur, dan
Kalsium. Anak dengan pola makan buruk (tidak makan pagi, dan makan kurang dari 5
macam buah dan sayur per hari) bertendensi untuk mempunyai karies gigi lebih banyak
dibanding anak dengan pola makan sehat. Obesitas dan karies gigi terjadi karena perubahan
gaya hidup dan lingkungan. Kurang aktivitas fisik, lebih banyak jam belajar di kelas sering
nonton TV, lebih banyak input tentang iklan makanan tidak sehat, lebih sering snack, kurang
makan besar, menyebabkan konsumsi kalori berlebihan.[65]
Risiko karies gigi meningkat sejalan dengan makin meningkatnya frekuensi makan
dan banyak jumlah karbohidrat yang masuk.[85] Jus buah merupakan sumber nutrisi yang
baik, namun konsumsi jus berlebihan menyebabkan kalori berlebih, kurang nafsu makan
untuk makanan sehat, dan menyebabkan karies gigi pada anak. Soft-drink dan jus
mengandung asam sitrat atau asam fosfat yang bisa mendemineralisasi email jika
dikonsumsi terlalu sering. Potensi erosi gigi dalam satu menit pertama gigi terekspose oleh
minuman Cola, misalnya, adalah 10 kali lebih besar dibanding potensi erosi oleh jus jeruk.[86]
Konsumsi soft-drink pada anak prasekolah merupakan indikator risiko karies gigi sulung dan
oleh karenanya harus dikurangi konsumsinya.[87] Anak dengan Early Childhood Caries
biasanya mengonsumsi minuman yang mengandung gula dengan frekuensi yang sering dan
minuman tersebut berada dalam mulut dalam jangka waktu yang lebih lama.[2]
Buah-buahan seperti bengkoang dan apel, serta keju dan crackers merupakan
makanan yang berisiko rendah terhadap karies gigi [3, 88] sehingga bisa disarankan untuk
dijadikan alternatif jajanan/ snack sehat untuk anak.
2.5.4 Faktor Perilaku
Karies gigi berhubungan erat dengan gaya hidup seseorang, dan faktor perilaku yang
kendalinya di bawah individu ini memiliki implikasi yang jelas.[2, 48] Faktor ini meliputi
kebersihan mulut yang jelek, kebiasaan makan yang jelek (misal sering ngemil refined
-
27
karbohidrat di antara waktu makan, seringnya frekuensi penggunaan obat peroral yang
mengandung gula, dan cara pemberian makanan bayi yang kurang tepat).[2]
Setelah faktor perilaku yang berhubungan dengan karies gigi dapat diidentifikasi,
tantangan berikutnya adalah mencari penyebab perilaku tertentu dan menentukan metode
untuk bisa mengatasi dan mengubah determinan tersebut.[89] Ned menyimpulkan
berdasarkan empat tinjauan sistematik bahwa peningkatan pengetahuan seseorang tidak
berarti perubahan perilaku yang bertahan dalam jangka waktu panjang.[90]
Berikut adalah beberapa acuan ilmu perilaku yang dianggap relevan dengan tujuan
perbaikan perilaku kesehatan gigi dalam penelitian ini.
2.5.4.1 Health Belief Model (HBM)
HBM pertama kali dikembangkan tahun 1950 sebagai upaya untuk menjelaskan
alasan kegagalan partisipasi seseorang terhadap program pencegahan ataupun program
deteksi dini penyakit. Kemudian, tahun 1974 diperluas lagi untuk menjelaskan reaksi
seseorang terhadap gejala penyakit dan bagaimana perilakunya dalam merespon suatu
penyakit yang telah terdiagnosis, serta kepatuhannya terhadap pengobatan.
HBM menyatakan bahwa orang bertindak sesuai dengan apa yang dipercayainya.
HBM menekankan pentingnya peran persepsi dalam pengambilan keputusan.[91] Persepsi
adalah sesuatu yang diyakini/dipercaya benar oleh seseorang, meskipun secara objektif
belum tentu benar.
Tiga elemen kunci kepercayaan dalam HBM yang dipakai untuk menilai apakah
seseorang akan mengikuti anjuran dari suatu perilaku pencegahan adalah sebagai berikut.
I. Ancaman
a. persepsi kerentanan terhadap suatu keadaan sakit
b. persepsi tingkat keparahan suatu penyakit
II. Harapan Keluaran
a. persepsi keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan
b. persepsi hambatan yang dihadapi untuk melakukan suatu tindakan
III. Harapan efikasi
a. keyakinan akan kemampuannya untuk melakukan tindakan yang dianjurkan
-
28
Untuk bisa mengubah perilaku, seseorang harus percaya bahwa pola perilakunya
yang sekarang merupakan ancaman, dan bahwa perilaku tersebut dapat menimbulkan suatu
kelainan yang serius. Selanjutnya, orang tersebut harus percaya bahwa perubahan perilaku
yang spesifik dapat memberikan keuntungan, tanpa biaya yang berlebihan. Tapi, di samping
itu, orang tersebut juga harus merasa cukup kompeten untuk bisa mengimplementasikan
perubahan tersebut.
Namun konsep HBM mempunyai beberapa keterbatasan, seperti berikut.
1. Hubungan antara kepercayaan dan perilaku belum bisa secara seragam ditetapkan;
2. Usaha yang langsung ditujukan untuk mengubah kepercayaan seseorang seringkali
tidak berhasil dan untuk itu memerlukan beberapa pendekatan alternatif;
3. Seharusnya tidak hanya faktor individu, tetapi faktor sosial dan lingkungan harus
menjadi target intervensi kesehatan juga;
4. HBM kurang dapat dikuantifikasi, karena variabelnya kebanyakan hanya merupakan
skala nominal. Suatu model yang bermanfaat dikatakan sebaiknya mampu
memberikan koefisien numerik terhadap persepsi kerentanan, keparahan,
keuntungan, hambatan, dan efikasi, dan dapat memberikan hubungan matematis di
antara variabel tersebut;
5. Dengan berfokus pada determinan individu dari suatu perilaku kesehatan, terdapat
bahaya meletakkan kesalahan pada faktor individu jika terjadi suatu masalah
kesehatan.[92]
Untuk penyempurnaan itulah, HBM digambarkan seperti berikut.
-
29
Gambar 2.7 Komponen dasar HBM [91] Berdasarkan Teori HBM di atas, diadopsi pula Teori Precede-Proceed untuk menyusun
kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini.
2.5.4.2 Teori Precede - Proceed
Teori Precede adalah suatu Model Perencanaan Kesehatan dengan pendekatan
diagnostik, yang menggunakan cara berpikir deduktif, dimulai dari menetapkan outcome
yang berefek pada kualitas hidup, kemudian berpikir ke belakang, mencari faktor penyebab
yang mendahului terjadinya masalah tersebut. Modifikasinya kemudian disebut dengan
Precede Proceed.[93] Terdapat sembilan tahap dalam proses perencanaan ini, yaitu sebagai
berikut.
Tahap Precede (melangkah ke belakang)
1. Tahap 1, diagnosis masalah sosial : menetapkan masalah pada masyarakat yang
mempengaruhi kualitas hidup
2. Tahap 2, diagnosis epidemiologi : mengidentifikasi akar masalah kesehatan yang
merupakan penyebab atau memberi kontribusi terhadap masalah yang sudah
ditetapkan pada Tahap 1.
3. Tahap 3, diagnosis perilaku dan lingkungan : mengidentifikasi perilaku kesehatan
yang spesifik, yang berkaitan dengan masalah yang diuraikan pada Tahap 2.
Persepsi kerentanan Persepsi keparahan Persepsi keuntungan melakukan
tindakan preventif Persepsi hambatan melakukan
tindakan preventif
Persepsi ancaman
Dasar bertindak : Informasi Pengingat
Komunikasi persuasi Pengalaman
Variabel demografik Variabel sosiopsikologi
Kemungkinan menjalankan tindakan
preventif yang disarankan
Persepsi Individu Faktor Modifying Kemungkinan tindakan
-
30
Dibedakan dalam dua kategori, yaitu faktor perilaku dan faktor nonperilaku
(misalnya ekonomi, genetik, faktor lingkungan).
4. Tahap 4, diagnosis pendidikan dan kebijakan organisasi : mengidentifikasi tiga faktor
utama yang menyebabkan terbentuknya suatu perilaku kesehatan yang disebutkan
pada Tahap 3. Tiga faktor tersebut meliputi faktor predisposisi (predisposing factors),
faktor yang memfasilitasi/memungkinkan (enabling factors), faktor yang
memperkuat (reinforcing factors).
5. Tahap 5, diagnosis kebijakan dan administrasi: dengan mempelajari faktor
predisposisi, faktor pendukung, faktor yang memperkuat, dapat diambil keputusan
dalam memilih kombinasi intervensi yang sesuai.
Tahap Proceed (melangkah maju):
6. Tahap 6, implementasi intervensi
7. Tahap 7, evaluasi proses
8. Tahap 8, evaluasi dampak
9. Tahap 9, evaluasi hasil akhir / evaluasi outcome
Gambar 2.8 Precede-Proceed Model [93]
PROMOSI KESEHATAN
Pendidikan kesehatan
Kebijakan Peraturan organisasi
Faktor Predisposisi
Faktor Reinforcing
Faktor Enabling
Perilaku & gaya hidup
Nonperilaku : Lingkungan
Masalah Kesehatan
Kualitas hidup
Tahap 2 Tahap 3 Tahap 5
Tahap 6 Tahap 7 Tahap 8 Tahap 9
Tahap 4 Tahap 1
PROCEED
PRECEDE
-
31
Sebuah studi di India mengevaluasi efektivitas program screening dan rujukan untuk
melihat respon anak sekolah dalam mencari perawatan gigi. Studi ini menyimpulkan bahwa
screening dan motivasi secara bermakna meningkatkan persentase anak sekolah yang pergi
mencari perawatan gigi sebanyak 3 kali lipat lebih besar dibandingkan anak sekolah yang
tidak mendapatkan program screening.[94]
2.5.4.3 Identifikasi Perilaku secara Multidimensi Biopsikososial pada Anak Prasekolah
Identifikasi perilaku pada anak prasekolah meliputi tiga dimensi, yaitu dimensi biofisik,
psikologis, dan sosial.
2.5.4.3.1 Dimensi Biofisik
Pada anak usia 3-5 tahun, perkembangan fisik meliputi perkembangan motorik kasar
dan motorik halus. Anak usia ini merasa senang dengan pencapaiannya. Mereka belajar
mengkoordinasikan kelompok ototnya yang besar-besar, mereka bisa naik turun tangga,
melempar bola, menangkap bola, dan mereka tidak pernah lelah berlari dan bermain petak
umpet. Anak usia 5 tahun dapat menulis huruf besar dan angka. Mereka dapat belajar
menggunakan gunting, cat, pensil, krayon. Untuk kelompok umur ini, program permainan
berbasis komputer lebih interaktif dan mengena untuk anak, yang tanpa perlu bisa
membaca, tetapi merupakan sarana bermain dan belajar.[95]
Untuk mendapatkan kekuatan biofisik, nutrisi penting diperhatikan pada masa ini.
Apa yang dimakan anak berdampak pada pertumbuhan tulang dan gigi, bentuk tubuh, serta
kemampuan melawan penyakit.
2.5.4.3.2 Dimensi Psikologis
Perkembangan kognitif dan kemampuan memproses informasi mulai terjadi. Anak
mempunyai pikiran imajinasi. Pada usia 5 tahun, pemikiran logis dan pemahaman mengenai
waktu mulai timbul. Mereka bersifat egosentris, tidak mampu membedakan bahwa cara
pandang diri sendiri mungkin berbeda dengan orang lain. Sesudah usia 3 tahun, mereka
baru bisa mengingat suatu informasi.
Pada masa ini pula, anak mulai berinteraksi sosial. Rasa takut dan fobia, terutama
takut gelap, dimulai pada usia awal anak. Jika anak mengalami trauma maka dapat terjadi
kelainan depresi paska trauma. Menggunakan anak lain sebagai model, dapat melatih
-
32
respons empati pada anak.[95] Pada masa ini anak harus dilatih supaya bisa melakukan
sesuatu dengan lebih baik, termasuk cara menggosok gigi.
2.5.4.3.3 Dimensi sosial
Dimensi sosial berupa keluarga dan kelompok; yang juga mempengaruhi
perkembangan perilaku anak adalah peran ibu, peran ayah, jumlah saudara sekandung,
teman seusia anak.
Selain itu, yang mempengaruhi perkembangan perilaku anak adalah komunitas
sekolah dan sistem yang menunjang. Melibatkan orangtua sangat penting untuk menjamin
kesuksesan anak.
2.6 Ringkasan Faktor Risiko Karies gigi
Gambar 2.9 Interaksi berbagai faktor risiko karies gigi. [3]
Tabel 2.1 akan menyajikan ringkasan berbagai faktor risiko yang pernah diteliti dan dianggap
berhubungan dengan karies gigi dari berbagai literatur, disertai dengan Odds Rationya (jika
dicantumkan dalam literatur).
-
33
Tabel 2.1 Ringkasan Faktor Risiko Karies gigi
NO LITERATUR FAKTOR RISIKO KARIES GIGI
1 [79] Jumlah Streptococcus mutans, jumlah lactobacillus, banyaknya asupan karbohidrat
2 [43] Streptococcus mutans
3 [96] Saliva, morfologi permukaan gigi, kesehatan umum, status nutrisi, status hormonal,
diet, bakteri, kebersihan gigi, ketersediaan fluor
4 [9] Berat badan saat lahir (OR=7,9)
5 [97] Aliran saliva, kapasitas buffer saliva, pengobatan sistemik yang menyebabkan
xerostomia, Sjorgen syndrome dan kondisi yang berhubungan, spesifik Imunoglobulin
A dalam saliva
6 [98] Saliva
7 [32] Keturunan / genetik
8 [99] Kunjungan ke dokter gigi, konsumsi permen, etnis, jenis kelamin
9 [77] Streptococcus mutans
10 [100] Berat badan saat lahir, umur anak terkena S.mutans, jumlah S. mutans, status karies
gigi sulung, plak secara jelas nampak pada gigi anterior rahang atas, pendidikan ortu,
penghasilan ortu
11 [36] Status sosial ekonomi
12 [58] Riwayat karies gigi terdahulu, pendidikan orangtua, status sosial ekonomi, DMF-S,
morfologi pit dan fisur.
13 [28] Pengalaman karies gigi terdahulu, penyakit yang berpengaruh, konten diet, frekuensi
diet, jumlah plak, jumlah mutans streptococci, asupan fluor, sekresi saliva, kapasitas
buffer saliva
14 [31] Status karies gigi sulung (OR=2,6)
15 [101] Frekuensi asupan karbohidrat
16 [40] Umur ibu
17 [69] Ekologi berbagai bakteri dalam plak
18 [102] Pola diet yang mengandung gula
19 [24] Riwayat karies gigi masa lampau, Streptococcus mutans, aliran saliva, kebersihan
mulut
20 [35] Penghasilan keluarga, minum susu sambil tertidur (OR=1,9)
21 [2] Akuisisi S. mutans pada usia dini, pola diet, kebiasaan cara makan
22 [103] Dehidrasi ringan
-
34
NO LITERATUR FAKTOR RISIKO KARIES GIGI
23 [41] Perilaku orangtua
24 [22] Kariogenik biofilm
25 [57] Riwayat karies gigi terdahulu, jumlah plak, jenis diet, frekuensi asupan karbohidrat,
sekresi saliva, fluor
26 [104] Frekuensi paparan gula, bakteri kariogenik, berkurangnya aliran saliva
27 [105] Frekuensi asupan gula bebas, jumlah gula bebas
28 [38] Pekerjaan ibu (OR=14,4), kandungan makanan (OR=2,3), frekuensi sikat gigi (OR=4,2),
pendidikan ibu (OR=2,3), minum susu sambil tertidur (OR=1,2), Berat badan saat lahir
(OR=1,3)
29 [85] Frekuensi asupan gula, konsumsi gula di antara makan besar
30 [33] Anak dengan kebiasaan tidak makan pagi atau makan kurang dari 5 jenis sayur dan
buah (OR=3,77)
31 [16] Streptococcus mutans, substrat, host
32 [1] Diet & plak, aliran saliva, kapasitas buffer saliva, oral clearance rate, pH saliva
33 [42] Persepsi orangtua
34 [88] Konsumsi makanan kariogenik, praktik kesehatan gigi ibu
35 [37] Pendidikan orangtua (OR=2,5), penghasilan keluarga, frekuensi asupan gula (OR= 2,5)
36 [106] Ibu tidak bergigi
37 [107] Faktor diet, pembersihan gigi, mikrobiologi, sosiodemografi, pengalaman karies gigi
terdahulu
38 [23] Saliva, diet, fluor, biofilm, modifying factors
39 [44] Streptococcus mutans dari plak
40 [106] Pendidikan ibu (OR=2,4), umur ibu (OR=1,6), status ekonomi (OR=1,8), frekuensi sikat
gigi (OR=1,3)
41 [29] Frekuensi makan (OR=3,2)
42 [65] Obesitas, frekuensi makan, lama makan
43 [73] Tubulus dentin yang besar pada gigi sulung
44 [78] Actinomyces sp. strain B19SC, Streptococcus mutans, lactobacillus spp.
45 [108] Pemberian ASI saat tidur malam, konsumsi gula, makan nasi yang telah dikunyahkan
oleh ibu
-
35
NO LITERATUR FAKTOR RISIKO KARIES GIGI
46 [34] Cara pemberian makanan pada anak, cara pembersihan gigi, persepsi orangtua, anak
yang menunda membersihkan gigi sampai usia 24 bulan, sosial ekonomi rendah
47 [39] Perokok pasif (OR=2,1)
48 [17, 18] Pemberian ASI dalam jangka waktu lebih dari 18 bulan
49 [26] Kariogenik biofilm
50 [109] Mutans streptococci, plak, ngemil malam hari, frekuensi asupan gula, pekerjaan ibu,
latar belakang imigran
51 [51] Plak yang nampak mata, frekuensi ngemil makanan ringan, lesi interproksimal/
radiolusensi interproksimal, white spot/ diskolorasi pada oklusal (OR=1,5)
52 [110] Streptococcus sobrinus
53 [111] Index DMF-T ibu, pendidikan ibu, kebiasaan cara pemberian makan anak
54 [68] pH Plak
55 [82] Mutans streptococci pada plak dan saliva
56 [112] Jumlah Streptococcus mutans dan lactobacilli
57 [87] Konsumsi soft-drink pada masa gigi sulung
58 [55] Bakteri, kebersihan mulut, organisme spesifik, plak, fluor, pengalaman karies gigi
masa lampau, kesehatan umum, faktor demografi
59 [113] Soft-drink sebagai faktor risiko kesehatan umum (misal diabetes)
60 [4] Faktor fisik, biologis, lingkungan, faktor yang berhubungan dengan gaya hidup
Dari berbagai faktor risiko yang disebutkan di atas, faktor risiko yang tersering
dilaporkan bermakna khususnya terhadap karies gigi pada anak dan memegang peranan
penting adalah sebagai berikut.
1. Pola diet, meliputi frekuensi diet, banyaknya karbohidrat, kebiasaan cara makan,
jenis karbohidrat, pemberian susu / ASI, kebiasaan makan permen, lama makan,
kebiasaan minum soft-drink.
2. Bakteri, kebanyakan menyebutkan S.mutans.
3. Kebersihan gigi
4. Pendidikan ibu
5. Pengalaman karies gigi terdahulu
6. Penghasilan orangtua/ sosial ekonomi
7. Biofilm
-
36
8. Morfologi gigi
9. Fluor
10. Berat Badan saat lahir
11. Umur ibu
12. Saliva
13. Genetik
14. White spot dan diskolorasi fisur
2.7 Pencegahan Karies gigi
Untuk bisa mengatasi karies gigi terlebih dahulu diperlukan pemahaman mengenai
faktor yang memberi kontribusi terjadinya karies gigi , penetapan diagnosis yang akurat,
serta kemampuan mendeteksi dan menangani lesi aktif.
Pemilihan terapi bergantung pada permukaan daerah lesi karies gigi, tingkat risiko,
aktivitas penyakit, umur anak. Misalnya, progres lesi proksimal pada anak risiko tinggi tanpa
paparan fluor membutuhkan waktu 18 bulan, sedangkan pada anak risiko rendah
memerlukan waktu 40 bulan. Artinya, tidak semua lesi proksimal yang tampak pada
radiografik harus diintervensi dengan penambalan karena belum tentu semua berakhir
menjadi kavitas.
Terdapat bukti kuat bahwa untuk mencegah ataupun memperlambat proses karies
gigi pada anak-anak terdapat beberapa faktor penting yang harus dimodifikasi, yaitu pola
diet, kebersihan mulut, asupan fluor, dan intervensi berupa sealant,[114] seperti dipaparkan
berikut ini.
2.7.1 Pola Diet
Salah satu cara untuk mencegah Early Childhood Caries adalah dengan membatasi
pemberian makanan kariogenik. Namun usaha untuk mengedukasi orang tua mengenai hal
ini, tidak banyak membuahkan hasil.[41, 48, 49] Sebuah penelitian terkini berusaha mengganti
sukrosa dengan silitol karena silitol tidak dapat dimetabolisir oleh bakteri sehingga tidak
terbentuk asam. Penggunaan permen karet yang mengandung silitol, 3-5 kali per hari,
selama minimum 5 menit sesudah makan, dapat mencegah akumulasi plak, mencegah
demineralisasi, merangsang remineralisasi, dan menurunkan hitung mutans streptococci.[90]
-
37
Rekomendasi mengenai pola makan sebenarnya cukup sederhana,[114] yaitu sebagai
berikut.
1. Membatasi frekuensi makan/ intake menjadi 5-6 kali per hari, berarti 3 kali makan
besar dan 3 kali makan ringan. Hindarkan kebiasaan ngemil di antara waktu makan.
2. Batasi pemberian permen dan snack manis menjadi satu kali seminggu (Saturday
sweets).
3. Jika pemberian permen tidak bisa dihindarkan, berikan produk dengan pemanis
pengganti sukrosa, misalnya silitol dan sorbitol.
4. Kurangi minum-minuman yang asam seperti soft-drink, jus buah, dan minuman sport.
2.7.2 Menjaga Kebersihan Mulut
WHO menyarankan menggosok gigi dua kali sehari cukup efektif mengurangi
perkembangan karies gigi. Menggosok gigi lebih dari dua kali sehari dapat memberikan
proteksi tambahan. Namun, hal itu tidak disarankan untuk anak prasekolah, mengingat
semakin sering sikat gigi maka risiko tertelannya Fluor menjadi lebih tinggi pula.[105]
Alternatif lain adalah dengan berusaha mencegah transmisi bakteri dari ibu ke
bayinya, dengan cara mengontrol bakteri ibu. Pendekatan yang lain dengan mencegah
terakumulasinya Streptococcus mutans hingga level yang patogenik, dengan pemberian
agen antimikroba secara topikal. Menurut penelitian di Puerto Rico, antimikroba yang bisa
digunakan adalah 10% povidon iodin, dioleskan pada gigi bayi dua bulan sekali.[2]
2.7.3 Fluor dalam Pasta Gigi
Peran fluor dalam pencegahan karies gigi sudah dikenal sejak 50 tahun yang lalu.
Secara umum, fluor bekerja melalui tiga cara, yaitu (1) memperlambat perkembangan karies
gigi dengan menghentikan proses demineralisasi, (2) meningkatkan ketahanan email
terhadap serangan asam dengan cara membantu proses remineralisasi terhadap
hidroksiapatit dan mengubahnya menjadi fluorapatit, (3) dalam dosis tinggi dapat
menghentikan metabolisme bakteri.[1] Tabel 2.2 berikut ini menjelaskan asupan fluor yang
direkomendasikan bagi anak prasekolah dan perkiraan ambang batas risiko terjadinya
fluorosis.[1, 19, 115]
-
38
Tabel. 2.2 Rekomendasi asupan Fluor harian (117) dan perkiraan ambang batas risiko fluorosis gigi tetap(116)
Umur Berat Badan (kg)
Kecukupan asupan (mg/hari)
Ambang batas risiko fluorosis gigi tetap (mg/ hari)
0-6 bulan 7 0,01 0,7 6-12 bulan 9 0,5 0,9 1-3 tahun 13 0,7 1,3 4-6 tahun 22 1,1 2,2
Bagi anak usia prasekolah, pemberian fluor dalam pasta gigi adalah sarana
pencegahan karies gigi yang paling murah, mudah didapat, sekaligus efektif. Berikut adalah
kandungan fluor dalam berbagai sediaan pasta gigi.
Tabel 2.3 Kandungan fluor dalam sediaan pasta gigi (116)
Pasta Gigi Konsentrasi Fluor Dosis Fluor dalam 1 aplikasi 1500 ppm F 0,15% F 0,6 g = 0,9 mg F 1000 ppm F 0,1%F 0,6 g = 0,6 mg F 500 ppm F 0,05% F 0,4 g = 0,2 mg F 250 ppm F 0,025% F 0,4 g = 0,1 mg F
Produsen pasta gigi menggunakan bahan aktif yang berbeda-beda, yang paling sering
digunakan ada dua, yaitu sodium fluoride dan sodium monofluorophosphat. Oleh karena itu
pada tabel di bawah ini ditampilkan kandungan pasta gigi yang ekuivalen dengan Fluor
dalam satuan ppm (parts per million).[3]
Tabel 2.4 Kandungan fluor dalam pasta gigi yang ekuivalen dengan ppm F(3)
Fluoride (ppm) Sodium Fluoride (% by weight)
Sodium monofluorophosphate (% by weight)
1500 0,32 1,14 1000 0,22 0,76 500 0,11 0,38
Ambang batas untuk risiko terjadinya fluorosis gigi tetap adalah asupan Fluor sekitar
0,04-0,1 mg F/kg berat badan per hari dalam jangka panjang yang terjadi pada saat periode
pembentukan gigi tetap (umur 2-4 tahun).[19] Dosis toksik untuk anak adalah jika tertelan 5
mg F/kg berat badan, anak akan mengalami pusing dan muntah. Jika anak menelan fluor
melebihi 15 mg/kg berat badan, bisa menimbulkan kematian. Penggunaan pasta berfluor
-
39
pada anak di bawah usia 6 tahun harus diperhatikan, mengingat anak sering menelan pasta
gigi karena rasanya manis dan karena anak belum bisa mengontrol refleks menelannya
dengan baik. Dosis pasta gigi untuk anak di bawah usia 2 tahun adalah pasta gigi dioleskan
tipis (smear) pada sikat gigi. Untuk 2-6 tahun disarankan pasta gigi diberikan seukuran
butiran kacang polong (pea-sized) atau sekitar 0,25 g pasta gigi.[19, 115] Sebuah sikat gigi anak
bisa menampung 0,7-1 g pasta gigi (full strip). Pemilihan pasta gigi untuk anak harus
dibedakan dengan pasta untuk orang dewasa karena kandungan fluor di dalamnya berbeda.
Terapi dengan fluor ada dua macam, yaitu intensitas rendah dan intensitas tinggi.
Yang dimaksud intensitas rendah adalah terapi menggosok gigi dengan pasta gigi berfluor
sesuai anjuran ADA (American Dental Association). Sedangkan yang dimaksud intensitas
tinggi adalah pemberian gel fluor, varnish fluor, dan pasta atau obat kumur fluor konsentrasi
tinggi. Namun untuk lesi awal yang terdapat pada pit dan fisur, terapi fluor kurang dapat
bekerja efektif. Karena itu untuk penanganan lesi awal pada pit dan fisur disarankan untuk
diberikan sealant.[6]
2.7.4 Pemberian CPP ACP (Casein Phosphopeptide Amorphous Calcium Phosphate)
Kehilangan Calcium phosphate dari subsurface email dikenal sebagai white spot.
Gambaran putih pada gigi karena adanya fenomena optik yang terkait dengan porositas
email. Pada stadium ini proses adalah reversible dan dimungkinkan ion calcium dan ion
phosphate, biasanya dalam bentuk ion netral pasangan CaHPO40 , mengadakan difusi
kedalam lesi subsurface untuk memperbaiki kehilangan apatit, yang disebut proses
remineralisasi. Secara klinis aplikasi larutan yang mengandung ion calcium dan ion
phosphate, ternyata tidak mampu mengadakan remineralisasi karena kelarutan Calcium
Phosphate yang rendah dan tidak dapat menempel cukup lama di permukaan email. Riset
terkini menemukan kemampuan sediaan Casein-Phosphopeptide Amorphous Calcium
Phosphate nanocomplexes (CCP-ACP) mampu mengurangi aktivitas karies gigi. CPP-ACP
mampu menstabilkan kelarutan CaHPO40 dan mampu menempel pada permukaan gigi
melalui biofilm, sehingga memungkinkan terjadinya remineralisasi.[1]
CPP- ACP terbukti mampu terlokalisir pada permukaan gigi, melekat pada biofilm
supragingival, dan mempunyai daya anti karies gigi seperti tampak dalam gambaran di
bawah ini.[1]
-
40
Gambar 2.10 Perlekatan CPP-ACP pada supragingival biofilm (Prof. Eric Reynolds) (1)
2.7.5 Tindakan Sealant dan Surface Protection
Pemberian sealant terbukti dapat menghentikan laju karies gigi pada lesi awal
(incipient lesion)[1]. Pemberian sealant di atas lesi awal, yaitu fisur yang mengalami staining,
diskolorasi coklat kehitaman, namun belum terjadi kavitasi; dapat menghentikan proses
karies gigi. Pemberian sealant memungkinkan kerja antibakteri di dalam sealant untuk
mengeliminir reservoir bakteri pada pit dan fisur.[6]
Surface protection adalah konsep yang lebih maju dalam tindakan sealant.
Konsep ini menggunakan bahan semen glass ionomer yang flowable dan memiliki
kandungan fluor tinggi. Surface protection berarti tidak hanya men-seal, tetapi sekaligus
mematangkan struktur gigi dan menggantikan ion karbonat pada hidroksiapatit gigi dengan
kompleks kalsium, fosfat, fluor, sehingga terbentuklah ikatan fluorapatit pada gigi sehingga
lebih tahan asam.
Gambar 2.11 Gigi yang diberi proteksi
surface protection (permission Assoc. Prof. Hien Ngo)
-
41
2.8 Indikator Prediksi Karies gigi
Saat ini adalah lebih penting tidak hanya mengetahui faktor risiko, tetapi membuat
prediksi kejadian karies gigi agar bisa disusun strategi pencegahannya. Berikut ini adalah
beberapa upaya menemukan prediktor karies gigi.
Norman merekomendasikan perlunya indikator untuk memprediksi risiko karies gigi
anak, yaitu dengan mengamati ada tidaknya karies gigi pada anterior rahang atas, dan karies
gigi permukaan proksimal molar sulung. Senada dengan Norman, Li menganjurkan
menggunakan karies gigi molar sulung dan karies gigi sulung anterior rahang atas sebagai
indikator risiko karies gigi pa